Penanggung Jawab - YLBHI - Keadilan untuk Semua€¦ · Pada edisi ini pembaca disajikan materi...
Transcript of Penanggung Jawab - YLBHI - Keadilan untuk Semua€¦ · Pada edisi ini pembaca disajikan materi...
2
Penanggung Jawab
Asfinawati
Pemimpin Redaktur
Siti Rakhma Mary Herwati
Redaktur
Asfinawati
Febionesta
Arip Yogiawan
Muhamad Isnur
Editor
Jane Aileen Tedjaseputra
Siti Rakhma Mary Herwati
Layout
Muhamad Isnur
REDAKSI
3
PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………...... 4 FOTO-FOTO KEGIATAN ……………………………………………………………………………………… 5 ARTIKEL
PENEGAKAN HUKUM DAN REFORMASI SEKTOR KEAMANAN …………............. 11 MISKONSEPSI PENGAKUAN AGAMA DI INDONESIA …………………………………… 23 PEMILUKADA DI TENGAH REZIM PEMBANGUNAN EKONOMI…………………… 33 MENJAGA IBU BUMI, MERAWAT IBU PERTIWI ………………………………………… 42 KRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT:ANCAMAN DAN USULAN KEBIJAKAN….. 57
PROFIL PBH ……………………………………………………………………………………………………….. 70
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………… 74
DAFTAR ISI
4
YLBHI pernah memiliki jurnal bernama “Diponegoro 74” yang pada masanya menjadi rujukan karena tidak saja mengupas teori-teori hukum dan sosial tetapi memuat fakta-fakta pelanggaran HAM langsung dari tangan pertama yaitu penyintas dan pembelanya dari 15 kantor LBH. Jurnal online edisi pertama ini merupakan “Diponegoro 74” versi digital sesuai perkembangan zaman di mana bahan cetakan/bacaan berbasis kertas menurun peminatnya dan sebaliknya dengan tulisan menggunakan medium internet. Dalam bentuknya kali ini, tulisan-tulisan ini dapat melintasi waktu dan terus menjadi rekaman jejak persoalan hukum bangsa. Pada edisi ini pembaca disajikan materi yang luas cakupannya mulai dari isu sektor keamanan, agraria yang kali ini diwakili oleh kasus Kendeng hingga kebebasan berekspresi. Pembaca juga dapat mengikuti perjalanan penuh perjuangan dari salah satu Pengabdi Bantuan Hukum yang saat ini menjadi direktur LBH Yogyakarta. Tak lupa kami sertakan resensi buku sebagai alat mengintip buku yang menarik. Terakhir, tentu saja selamat menikmati. Kami mohon maaf atas kekurangan di sana sini. Semoga pemikiran mengenai strategi advokasi baru dapat lahir melalui stimulus berupa jurnal ini. Begitu pula dengan semangat baru dan lahirnya pengabdi bantuan hukum baru melalui kisah penyintas yang kita ikuti dalam kasus-kasus yang diangkat. Salam Juang! Asfinawati
PENDAHULUAN
5
Rakerda dan Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Manado
Kunjungan Asesmen YLBHI Ke LBH Bandung
Kegiatan Asesmen di LBH Jakarta
FOTO-FOTO
KEGIATAN
6
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Medan
Kegiatan Asesmen YLBHI di LBH Makassar
Kegiatan Asesmen di LBH Banda Aceh
8
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Pekanbaru
Kegiatan Asesmen YLBHI di LBH Padang
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Lampung
9
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Papua
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Palembang
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Yogyakarta
11
PENEGAKAN HUKUM DAN REFORMASI SEKTOR KEAMANAN
ASFINAWATI1
1 Ketua Umum – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
ARTIKEL
12
Konsep Sektor Keamanan (Security Sector)
Pembicaraan mengenai sektor
keamanan pada awalnya terfokus pada militer, tetapi kemudian terjadi perkembangan penting yang membuat definisi sektor keamanan menjadi lebih luas dan dalam. Sektor keamanan diartikan sebagai gabungan antara aktor keamanan tradisional, misalnya unit pertahanan, polisi, penjaga perbatasan, badan intelijen, lembaga peradilan, angkatan pertahanan yang tidak resmi seperti perusahaan militer, swasta, kelompok pemberontak, serta manajemen dan organ pengawas seperti kementerian atau parlemen2.
Sektor keamanan saat ini meliputi transformasi sistem keamanan yang mencakup semua aktor, peran mereka, tanggung jawab, dan
2 Heiner Hänggi and Fred Tanner,
‘Promoting Security Sector Governance in the EU’s Neighbourhood’, Challiot Paper no. 80, July 2005, p. 13. And also e.g. Edward Rees, ‘SSR and Peace operations: Matching Mandate and Means’, UN Best Practices, 2005, p. 7 dalam Eirin Mobekk, Transitional Justice and Security Sector Reform: Enabling Sustainable Peace, hal. 3.
tindakan bekerja bersama untuk mengatur dan melaksanakan sistem dalam cara yang lebih konsisten dengan norma demokrasi dan prinsip pemerintahan yang baik sehingga menyumbang kepada kerangka keamanan yang berfungsi baik3. Reformasi sektor keamanan juga digambarkan secara lebih sederhana sebagai sebuah proses untuk mengembangkan struktur keamanan yang profesional dan efektif yang akan membuat warganegara hidup secara aman4.
United Nations Development Programme (UNDP) juga membuat pemahaman yang luas tentang reformasi sektor keamanan dengan mengartikannya sebagai reformasi sektor keadilan dan keamanan, dimana sektor keamanan mencakup orgnisasi peradilan kriminal dan badan pengawas, lembaga militer dan intelijen, institusi non inti seperti pabean,
3 DAC Guidelines and Reference Series,
OECD/DAC Security System Reform, 2005, p. 20 dalam Eirin Mobekk, Transitional Justice and Security Sector Reform: Enabling Sustainable Peace, hal. 3. 4 Dfid, Security Sector Reform Policy Brief ,
2003, p. 2 dalam Eirin Mobekk, Transitional Justice and Security Sector Reform: Enabling Sustainable Peace, hal. 3.
13
dan tenaga keamanan tidak resmi dan masyarakat sipil.5
Sektor Keamanan Pada Masa Orde Baru
Orde Baru sering disebut sebagai Orde Pembangunan sehingga pembangunisme menjadi kata yang muncul beriringan dengan berlangsungnya Orde Baru6. Turunan dari pembangunan adalah stabilitas karena Orde Baru percaya investasi ditopang upah murah dan stabilitas yang menggantikan
5 UNDP, Justice and SSR, BPCR’s
Programmic Approach, November 2002, p. 8. For more on SSR see e.g. Nicole Ball, ‘Spreading Good Practices in SSR: Policy Options for the British Government’, London: Saferworld, 1998. Alan Bryden and Philipp Fluri (eds.), SSR: Institutions, Society and Good Governance (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 2003). DFID, ‘Understanding and Supporting SSR, London, 2002. OECD-DAC, Security System Reform and Governance: Po licy and Good Practice , 2004. Nicole Ball, ‘Justice and SSR: A Conceptual Framework dalam Eirin Mobekk, Transitional Justice and Security Sector Reform: Enabling Sustainable Peace, hal. 3. 6 Lihat Sritua Arief, Pembangunanisme dan
Ekonomi Indonesia : Pemberdayaan Rakyat
dalam Arus Globalisasi, Bandung: Zaman
Wacana Mulia, 1998.
kepastian hukum dan good governance khususnya anti korupsi yang tak mampu dijalankan.
Posisi ABRI (sekarang TNI) menjadi sangat kuat dengan meluasnya peran dan fungsinya melalui dwi fungsi ABRI, konsep yang dicetuskan Jenderal Nasution untuk keterlibatan militer secara langsung dalam kehidupan sosial politik pada seluruh tingkat masyarakat. Melalui konsep dwi fungsi ini ABRI bertindak sebagai alat utama untuk pengembangan dan implementasi kebijakan pemerintah juga sebagai dinamisator dan fasilitator pembangunan nasional. 7
Kuatnya posisi ABRI juga tercermin dari diserapnya polisi sebagai angkatan ke 5. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Jenderal Purnawirawan Kunarto yang saat itu menjabat sebagai Kapolri pada tahun 1991-1993. Ia menunjukkan degradasi kekuasaan polisi yang terjadi di masa Orde Baru, perampasan kekuasaan polisi oleh militer, dan tantangan-tantangan yang dihadapi Polri dalam menyelenggarakan reformasi
7 Andrew Renton-Green, Indonesia After
Soeharto Civil or Military Rule? Working Paper 12/98.
14
terhadap suatu angkatan yang kekurangan tenaga kerja, tidak memiliki peralatan yang memadai, korup, dibenci masyarakat dan tidak memiliki ingatan kelembagaan akan kemerdekaan kelembagaan sebagai bagian dari sistem penegakan hukum yang bekerja dengan baik.8
Kondisi Terkini Sektor Keamanan
Salah satu buah reformasi dan tonggak penting bagi reformasi sektor keamanan adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Bagian menimbang TAP MPR9
8 Kunarto, ‘Jangan Berharap Polri Berubah’
di ICG Asia Report No. 13, Indonesia: Reformasi Kepolisian Nasional. 9 Bagian menimbang TAP MPR VI/MPR/2000
lengkapnya menyatakan
a. bahwa salah satu tuntutan reformasi dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan restrukturisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
b. bahwa dengan adanya kebijakan dalam bidang pertahanan/keamanan telah dilakukan penggabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara Republik
benar-benar menggambarkan suasana sosial politik reformasi yaitu:
1. Reposisi dan restrukturisasi ABRI adalah bagian dari demokratisasi
2. Penggabungan Polri ke dalam ABRI telah mengakibatkan kerancuan dan tumpang tindih peran fungsi TNI di bidang pertahanan dan peran fungsi Polri sebagai penjaga kemanan dan ketertiban.
Indonesia dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
c. bahwa sebagai akibat dari penggabungan tersebut terjadi kerancuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia sebagai kekuatan pertahanan negara dengan peran dan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat;
d. bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat;
15
3. Peran sosial politik dalam dwifungsi ABRI adalah penyimpangan yang mengakibatkan tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Penguatan Polri sebagai institusi
reformis tampaknya berpuncak
pada pemisahan dengan TNI.
Dengan meningkatnya demokrasi
secara perlahan-lahan TNI “kembali
ke barak” menjalankan fungsinya
sebagai penjaga pertahanan
nasional10. Sebaliknya Polri menjadi
institusi yang banyak berkiprah
karena mandatanya adalah penjaga
keamanan nasional11. Seiring
dengan hal ini keluhan masyarakat
terhadap Polri secara konsisten
10
Pasal 30 (3): “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”. 11
Pasal 30 (4): “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
menempati posisi tinggi di berbagai
lembaga.
Data pengaduan Komnas HAM
menunjukkan selama 3 tahun
berturut-turut sejak 2014
menunjukkan kepolisian
menempati posisi tertinggi sebagai
pihak yang diadukan. Mari kita lihat
perbandingannya dengan institusi
lain sejak tahun 2014 hingga 2016
di bawah ini.
16
Urutan 2016 2015 2014
1. Kepolisian: 2.290 Kepolisian 2734
Kepolisian: 2.483
2. Korporasi: 1.030 Korporasi: 1.231
Korporasi: 1.127
3. Pemerintah daerah: 931 Pemerintah daerah: 1011
Pemerintah daerah: 771
4. Pemerintah pusat (Kementerian): 619
Lembaga peradilan: 640
Lembaga Peradilan: 641
5. Lembaga peradilan: 436 Pemerintah pusat (Kementerian): 548
Pemerintah pusat (Kementerian): 499
6. BUMN/BUMD: 359
BUMN/BUMD: 381
BUMN/BUMD: 463
7. TNI: 280 TNI: 331 Lembaga Negara (Non kementerian): 282
8. Kejaksaan: 214 Lembaga negara (Non kementerian): 288
TNI: 215
9. Lembaga negara (Non kementerian): 122
Kejaksaan: 252 Kejaksaan: 195
10. Lembaga pendidikan: 108 Lembaga pendidikan: 146
Lembaga Pendidikan: 134
11. Lembaga Organisasi: 55 Organisasi: 58
17
pemasyarakatan dan / atau Rutan: 56
12. Organisasi: 43
Lembaga pelayanan kesehatan: 44
Lembaga Pemasyarakatan dan/atau Rutan: 44
13. Lembaga pelayanan kesehatan: 28
Lembaga pemasyarakatan dan/atau Rutan: 43
Lembaga Pelayanan Kesehatan: 41
14. Pemerintah negara lain: 15
Pemerintah negara lain: 9
Pemerintah negara lain: 13
15. Lembaga legislatif: 4 Lembaga legislatif: 4
Lembaga legislatif: 1
Masalah yang diadukan ke Komnas HAM pada tahun 201512 adalah:
1. Proses alur penyidikan
dan/atau penyelidikan 1475
(81%);
2. Penangkapan dan/atau
penahanan tidak sesuai dengan
ketentuan 87;
3. Penangkapan dan/atau
penahanan disertai kekerasan
23;
12
Laporan Tahunan 2015 Komnas HAM, Pemulihan Hak-hak Korban Pelanggaran HAM, hal. 87.
4. Tindak kekerasan, pemukulan,
penembakan, dan intimidasi 13;
5. Penyiksaan dalam proses
pemeriksaan 102;
6. Lain – lain 120.
Laporan Komnas HAM dikonfirmasi oleh data pengaduan yang dimiliki Ombudsman RI. Laporan Ombudsman menunjukkan kepolisian berada pada peringkat kedua (45 persen) dalam bentuk penundaan berlarut dengan 11 laporan per hari, institusi pemerintahan (42 persen) dalam bentuk kesalahan prosedur sebanyak lima laporan per hari, dan
18
praktek suap dan pungli di instansi pemerintah daerah (53 persen) dengan rata-rata dua laporan setiap harinya. Berdasarkan laporan di sektor penegakan hukum, kepolisian paling tinggi terindikasi penundaan berlarut, yaitu 51 persen. Menurut Ombudsman, suap atau pungli biasanya ditandai dengan adanya penundaan berlarut dan pelanggaran prosedur13.
Penundaan berlarut dalam proses penyidikan tak terhindarkan dalam sistem hukum acara pidana Indonesia saat ini karena KUHAP memberikan peluang penafsiran yang berbeda dari semangat peradilan yang cepat, murah, dan sederhana. Meskipun Pasal 50 KUHAP mengatur bahwa: (1) Tersangka berhak segera
mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum;
13
Tempo.co, Ombudsman: Pungli Tertinggi di Kepolisian dan Pemda, 16 Oktober 2016
https://m.tempo.co/read/news/2016/10/16/063812570/ombudsman-pungli-tertinggi-di-kepolisian-dan-pemda.
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum;
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Tetapi dalam prakteknya ketiadaan pembatasan waktu membuat pasal ini seolah tidak memiliki kekuatan hukum dan hanya mengikat secara moral. Lebih dari itu, masa penyidikan di tiap-tiap tahap sering diukur dengan masa penahanan maksimal. Meskipun ketentuan penahanan dan perpanjangan penahanan pada setiap tingkat pemeriksaan yaitu di kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan MA14 menyatakan “tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi” tapi pada kenyataannya penerapan ketentuan pasal ini nyaris tidak pernah terdengar. Penahanan di Indonesia sudah berubah dari maksud sebenarnya
14
Lihat Pasal 24 ayat (3), 25 ayat (3), 26 ayat (3), 27 ayat (3), 28 ayat (3), 29 ayat (5) KUHAP.
19
untuk mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan15 menjadi penghukuman serta penyandera hakim agar memutuskan bersalah. Dalam praktek jarang sekali hakim membebaskan terdakwa yang sudah ditahan karena besarnya resiko jika ia menuntut aparat penegak hukum. Komite Menentang Penyiksaan (Committee Against Torture) dalam concluding observations pada sesi keempat tanggal 28 April-16 May 2008 menyoroti lamanya penahanan dan tidak adanya mekanisme membawa tahanan segera ke depan pengadilan untuk menguji penahanannya: “Failure to bring detainees promptly before a
15
Pasal 20 (1) Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
judge, thus keeping them in prolonged police custody for up to 61 days”. Meskipun Indonesia sudah menjadikan Kovenan Hak Sipil dan Politik (KHSP) menjadi hukum Indonesia dengan UU 12/2005 tetapi Pasal 9 KHSP tidak diikuti dengan perubahan sistem peradilan pidana di Indonesia. Pasal 9 ayat (3) menyatakan:
Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
Kemudian pasal 9 ayat (4) mengatur:
20
Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.
Beberapa orang atau bahkan banyak orang akan berargumen praperadilan adalah bukti telah terpenuhinya ketentuan di atas. Benarkah demikian? Praperadilan bukanlah sebuah kewajiban dari negara melainkan berskema permohonan yang artinya harus dimohonkan dan tidak berlaku otomatis untuk setiap orang. Sedangkan ketentuan di atas jelas sekali menyatakan “setiap orang wajib segera dihadapkan ke pengadilan” yang artinya negara lah yang harus menghadapkan orang-orang yang ditahan tersebut dan bukan orang yang ditahan itu yang harus mengajukan permohonan.
Lamanya masa penahanan dan tiadanya kontrol atas penahanan ini membuka peluang terjadinya penyiksaan dan berujung pada mengadili orang yang salah. Tidak ada ketentuan mengenai pengeyampingan bukti yang diperoleh melalui penyiksaan (exclusionary evidence) membuat penyiksaan masih berlangsung. Pemahaman yang belum bergeser dari HIR yaitu pengakuan tersangka/terdakwa sebagai alat bukti juga membuat pengejaran pengakuan melalui penyiksaan menjadi tujuan. Padahal pengakuan tersangka tidak bisa digunakan karena yang diakui adalah yang ia katakan di sidang dan pengakuannya tidak serta merta membuat terdakwa bersalah melainkan perlu adanya alat bukti lain16.
16
Pasal 189 (1) Keterangan terdakwa ialah apa
yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung
21
Peradilan sesat juga ditopang tidak ada mekanisme pengawas eksternal baik oleh hakim untuk melihat kesahihan penahanan seperti di atas, ataupun penuntut sebagai pengendali perkara. Penyidik yang tidak pernah berangkat ke pengadilan dalam sistem peradilan pidana, tentu memiliki pemahaman yang berbeda tentang bukti apa yang berguna untuk pengadilan. Tiadanya kewajiban untuk mempertahankan bukti itu tentu juga membuat tanggung jawab penyidik berbeda dengan penuntut terhadap kehati-hatian penyusunan bukti-bukti.
Faktor lain berlarutnya penyidikan adalah hubungan antara penuntut dengan penyidik. Tidak adanya kewajiban definitif penyidik menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya
oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.
penyidikan kepada penuntut umum membuat pasal 109 KUHAP sering diakali dan pemberitahuan baru diberikan setelah penyidikan berjalan beberapa saat. Putusan MK kemudian mengkoreksi hal ini meskipun menolak permohonan lainnya dalam Putusan No. 130/PUU-XIII/2015 dengan menyatakan “..., penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”. Masalah lain adalah bolak-balik perkara antara penyidik dengan penuntut yang meskipun tersirat hanya dapat berjalan 2 kali (dilimpahkan oleh penyidik ke penuntut, dikembalikan oleh penuntut kemudian penyidik mengirimkannya kembali17 tetapi dalam prakteknya disimpangi hingga perkara bisa bolak balik lebih dari itu misal dalam kasus Abraham Samad yang dikriminalisasi saat menjadi ketua
17
Lihat pasal 110 dan 138 KUHAP.
22
KPK yang mengalami 4 kali bolak balilk berkas perkara18.
18Kompas.com, Ditolak Lagi, Berkas Abraham
Samad Sudah 4 Kali Dikembalikan, 28 Juli 2015. Dapat dilihat di http://regional.kompas.com/read/2015/07/28/15344261/Ditolak.Lagi.Berkas.Abraham.Samad.Sudah.4.Kali.Dikembalikan.
MISKONSEPSI PENGAKUAN AGAMA DI
INDONESIA
FEBIONESTA19
19
Ketua Bidang Pengembangan Organisasi-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Telah menjadi pemahaman umum
bahwa Indonesia hanya mengakui
enam agama yang sering pula
disebut sebagai agama-agama yang
resmi diakui negara. Agama-agama
dimaksud antara lain: Budha,
Hindu, Kristen, Katolik, Islam, dan
Konghucu. Agama-agama selain
yang disebut barusan dipandang
bukan sebagai agama resmi yang
diakui di negeri ini.
Diskriminasi Penganut Agama yang
Tidak Diakui
Pemahaman tentang agama yang
“diakui” ini kemudian diadopsi ke
dalam produk legislasi dan praktek
birokrasi. Pemahaman ini ternyata
berimplikasi pada pengecualian
hak-hak kewarganegaraan para
penganut agama yang dinilai tidak
“diakui”. Mulai dari minimnya
pengakuan persamaan kedudukan
di muka hukum dan pemerintahan,
diskriminasi pelayanan publik,
pembatasan hak beragama, bahkan
sampai mendorong intoleransi di
tengah-tengah masyarakat.
Lihat saja KTP para penganut agama
di luar enam agama tersebut.
Identitas keagamaan mereka tidak
dapat dicatatkan ke dalam kolom
agama di KTP mereka. Hal ini
kemudian berimbas pada
diskriminasi dalam pencatatan
perkawinan, kelahiran, bahkan
kematian. Tak berhenti di sini,
diskriminasi terhadap warga negara
penganut agama tidak “diakui” juga
merambah ke sektor pelayanan
publik lainnya. Misalnya di sektor
pendidikan; para siswa yang berasal
dari orang tua penganut agama
atau kepercayaan di luar agama
25
yang "diakui", selama ini tidak
memperoleh layanan pengajaran
agama di sekolah-sekolah negeri.
Di masa lalu, demi mendapatkan
layanan kependudukan para
penganut agama atau kepercayaan
minoritas terpaksa mencatatkan
salah satu dari agama yang “diakui”
ke dalam kolom agama di KTP-nya,
meski pada kenyataannya mereka
masih mempraktekan agama atau
kepercayaan asalnya.
Baru pada 2006, para penganut
agama atau kepercayaan minoritas
mulai dapat memperoleh KTP
dengan kolom agama yang tidak
diisi. Meski demikian, diskriminasi
tetap saja berlangsung. Sistem
layanan publik yang saat ini serba
terkomputerisasi seringkali tak
dapat mengakomodasi
pengosongan kolom agama. Hal ini
menyebabkan terhambatnya akses
layanan publik yang berkelanjutan.
Misalnya di sektor pendidikan,
ketika para penganut kepercayaan
mencantumkan identitas agama
atau kepercayaan asalnya20 sistem
Data Pokok Pendidikan (DAPODIK)
akan menjawab: “belum diisi
dengan agama yang benar”.
Tak adanya pengakuan terhadap
kelompok agama minoritas di luar
agama yang “diakui” dalam
administrasi kependudukan telah
mendorong aksi intoleransi di
masyarakat. Sebagai contoh,
penganut Kepercayaan Sapto
Darmo di Brebes mengalami
penolakan penguburan jenazah di
Tempat Pemakaman Umum.
Sementara di Tangerang Selatan,
20
Presentasi Dewi Kanti, penganut Sunda Wiwitan.
26
kegiatan Majelis Luhur Kepercayaan
Indonesia dibubarkan paksa oleh
Front Pembela Islam.21 Dalam
beberapa peristiwa tersebut,
tuduhan bahwa penganut
kepercayaan adalah orang-orang
yang tidak beragama kerap menjadi
dasar penolakan.
Landasan Yuridis Pengakuan
Agama
Masalah pengakuan negara
terhadap suatu agama atau
kepercayaan sebagai agama yang
“diakui” menunjukkan ke-
cenderungan perlakuan dis-
kriminatif dan intoleran terhadap
mereka yang termasuk dalam
kelompok penganut agama atau
21
Periksa http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170106084635-20-184477/hantu-aksi-intoleran-di-tahun-ayam-api/
kepercayaan di luar agama yang
“diakui”. Pertanyaannya kemudian
adalah apakah di dalam sistem
hukum dan ketatanegaraan di
Indonesia terdapat pengaturan
tentang agama yang “diakui”?
Sebelum diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Ke-
pendudukan, pengakuan terhadap
lima agama yakni Kristen, Katolik,
Hindu, Islam, dan Budha dapat
ditemukan dalam praktek
pelayanan administrasi
kependudukan. Masyarakat yang
berasal dari agama atau
kepercayaan di luar kelima agama
dimaksud, terpaksa memilih salah
satunya demi memperoleh
kemudahan dalam pelayanan
publik, seperti pengurusan KTP,
layanan kesehatan, perkawinan,
27
akta kelahiran, pendidikan, atau
pemakaman.
Praktek administrasi kependudukan
yang hanya mengakui lima agama
ternyata didorong oleh adanya
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia No. 477/74054
tanggal 18 Nopember 1978 tentang
Petunjuk pengisian kolom Agama.
Dalam Surat Edaran itu disebutkan
bahwa bagi masyarakat yang tidak
menganut salah satu dari kelima
agama yang resmi diakui oleh
pemerintah, maka kolom agama
pada formulir perdaftaran
perkawinannya cukup diisi dengan
tanda garis pendek mendatar atau
(–).
Pengakuan terhadap lima agama
disebutkan di dalam Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri dengan
merujuk pada Undang-Undang
Nomor 1/pnps/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan
Penodaan Agama.22 Padahal jika
diteliti lebih seksama, penyebutan
enam macam agama, antara lain
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha
dan Khonghucu23 di dalam Undang-
Undang tersebut adalah untuk
menjelaskan agama-agama yang
dipeluk oleh hampir seluruh
penduduk Indonesia yang dilindungi
dari potensi penyalahgunaan atau
penodaan agama. Namun tidak
22
Undang-Undang Nomor 1/pnps/1965 awalnya merupakan Penetapan Presiden yang kemudian telah ditingkatkan menjadi Undang-Undang melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969. 23
Khonghucu sempat mengalami pelarangan di era orde baru berdasarkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Baru pada 2000, Presiden Abdurahman Wahid menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang intinya mencabut Inpres larangan terhadap Khonghucu.
28
sekali pun Undang-Undang ini
mengatur adanya pengakuan
terhadap keenam agama tersebut.
Hal ini juga dipertegas di dalam
Undang-Undang dengan
menjelaskan bahwa agama-agama
lain, misalnya: Yahudi, Zaratustrian,
Shinto, atau Thaoism, tidak dilarang
dan mendapat jaminan penuh
untuk tetap berada di Indonesia.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya Nomor
140/PUU-VII/2009 berpendapat
bahwa Undang-Undang Nomor
1/pnps/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan Penodaan
Agama tidak membatasi
pengakuan atau perlindungan
hanya terhadap enam agama akan
tetapi mengakui semua agama
yang dianut oleh rakyat Indonesia.
Dengan demikian jelas bahwa Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri yang
membatasi pengakuan hanya
terhadap lima agama, tidak
memiliki dasar alasan hukum yang
sah.
Ketentuan dalam Undang-Undang
Administrasi Kependudukan
Beberapa kalangan menyebut
bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009
hanya berlaku pada Penetapan
Presiden tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan Penodaan
Agama, tetapi tidak berdampak
pada Undang-Undang Administrasi
Kependudukan. Sementara itu,
Undang-Undang Administrasi
Kependudukan secara khusus di
dalam Pasal 61 (2) dan 64 (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 atau Pasal 64 (5) Undang-
29
Undang Nomor 24 Tahun 2013
mengatur bahwa keterangan kolom
agama atau elemen data
kependudukan tentang agama bagi
penduduk yang agamanya belum
diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-
undangan atau bagi penghayat
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap
dilayani dan dicatat dalam database
kependudukan.
Mengacu pada ketentuan Undang-
Undang Administrasi
Kependudukan tersebut, meskipun
tetap dilayani, para penganut
agama atau kepercayaan di luar
enam agama yang dianggap
“diakui”, tidak dapat
mencantumkan agama atau
kepercayaan sesuai yang
diyakininya di dalam kolom agama
atau elemen data
kependudukannya. Walhasil, para
penganut agama atau kepercayaan
demikian kerap kali dipersepsikan
tidak beragama di kalangan
masyarakat.
Meskipun Undang-Undang
Administrasi Kependudukan me-
nyebut istilah “agama yang belum
diakui” namun jika kita telisik lebih
jauh, Undang-Undang tersebeut
tidak jelas mengatur apa yang
dimaksud dengan agama yang
belum diakui. Tidak ditemukan, baik
di dalam batang tubuh maupun
penjelasannya, macam-macam
agama yang diakui atau yang belum
diakui. Undang-Undang hanya
menyebut bahwa agama yang
diakui atau tidak diakui itu
didasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
30
Persoalannya adalah, ketentuan
perundang-undangan yang mana
yang dimaksud sebagai mengatur
pengakuan agama? Satu-satunya
perundang-undangan yang me-
nyebut macam-macam agama
adalah Undang-Undang Nomor
1/pnps/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama. Namun, perlu
kembali ditegaskan, sebagaimana
dijelaskan oleh Mahkamah
Kontitusi, bahwa Undang-Undang
ini tidak membatasi pengakuan
atau perlindungan hanya terhadap
enam agama akan tetapi mengakui
semua agama yang dianut oleh
rakyat Indonesia. Dengan demikian,
praktek administrasi kependudukan
yang hanya mengakomodasi
pengisian kolom agama terhadap
enam agama, tidak memiliki dasar
yang sah menurut hukum.
Sebaliknya, Undang-Undang Dasar
justru mengatur di pasal 28E (1) dan
(2) dan Pasal 29 (2)-nya mengenai
jaminan bagi setiap orang untuk
memeluk agama atau kepercayaan,
serta beribadah menurut agama
atau kepercayaannya masing-
masing. Jaminan ini kembali
ditegaskan di dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan Pasal 18 Konvensi Hak Sipil dan
Politik yang telah disahkan menjadi
hukum yang berlaku secara
domestik.
Terlebih, baik Konstitusi maupun
berbagai instrumen hukum yang
mengatur tentang hak asasi
manusia atau peraturan perundang-
undang sektoral lainnya telah
menjamin hak setiap orang untuk
31
dapat menikmati hak asasinya dan
memperoleh perlakuan yang sama
di muka hukum, pemerintahan,
serta pelayanan publik tanpa
pembedaan (diskriminasi)
berdasarkan latar-belakang
identitas apapun termasuk agama.
Dengan melihat realitas sosial
masyarakat Indonesia, agama yang
hidup dan dianut oleh masyarakat
tidak terbatas pada enam agama
saja. Agama atau kepercayaan di
luar enam agama, seperti Sikh,
Bahai, Sunda Wiwitan, serta
beragam agama atau kepercayaan
lainnya benar-benar ada dan dianut
oleh masyarakat Indonesia
meskipun populasinya relatif lebih
kecil dari para penganut enam
agama. Dengan merujuk pada
Konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
serta Putusan Mahkamah
Konstitusi, beragam agama atau
kepercayaan yang ada di Indonesia
sudah semestinya mendapat
jaminan pengakuan, perlakuan, dan
perlindungan yang sama.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa pemahaman
yang selama ini berkembang di
masyarakat dan praktek
administrasi kependudukan me-
ngenai “agama yang diakui”
merupakan miskonsepsi pe-
mahaman hukum dan praktek
birokrasi. Dalam hal ini, secara jelas
dan tegas menurut hukum yang
berlaku, konsepsi ”agama yang
diakui” tidak memiliki landasan
sosiologis dan yuridis.
Dengan demikian, praktek
administrasi kependudukan yang
32
hanya mengakomodasi pengakuan
terhadap enam agama saja
merupakan praktek yang
diskriminatif yang bertentangan
dengan hukum, bahkan dapat
mendorong tindak intoleransi dan
berbagai pelanggaran hak asasi
lainnya atas dasar agama. Oleh
karena itu, miskonsepsi
pemahaman tentang “agama yang
diakui” ini harus segera
ditinggalkan. Demikian pula segala
tindakan diskriminatif serta
intoleransi atau tindakan-tindakan
pelanggaran hak asasi yang
berangkat dari miskonsepsi
pemahaman ini, harus segera
dihapuskan. Pemerintah perlu
memperbaiki sistem dan perilaku
aparat di bidang administrasi
kependudukan dan menegakkan
hukum untuk melindungi para
penganut agama yang menjadi
korban akibat dari miskonsepsi
pemahaman tentang “agama yang
diakui” ini.
33
PEMILUKADA DI TENGAH REZIM PEMBANGUNGAN EKONOMI
ARIP YOGIAWAN24
24
Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Agenda pembangunan ekonomi
di Indonesia kian mengkhawatirkan
dengan mengedepannya investasi
sebagai pilar utama dengan
mengabaikan hak-hak rakyat. Sejak
berkuasanya Presiden SBY,
pemerintah telah merumuskan blue
print pembangunan ekonomi
Indonesia yang diberi nama
Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). Dalam dokumen
tersebut Indonesia dibagi-bagi
menjadi enam koridor ekonomi
yaitu koridor Sumatera, Sulawesi,
Kalimantan, Jawa, Bali-Nusa
Tenggara, dan Maluku-Papua.
Setelah Jokowi berkuasa, agenda
pembangunan ekonomi dapat
dilihat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN). Dalam RPJMN
2015-2019 khususnya di bidang
infrastruktur, rencana pem-
bangunan Jokowi tak jauh berbeda
dengan masa sebelumnya. Jokowi
juga tetap meneruskan proyek
MP3EI masa SBY.
Presiden Jokowi fokus pada
pembangunan ekonomi. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa agenda
Konferensi Tingkat Tinggi, misalnya
dalam KTT APEC di Beijing, Jokowi
mengundang negara-negara dan
investor untuk berinvestasi di
Indonesia. Begitu pula dalam KTT G
20 di Brisbane dan KTT G 20 di
Guangzhou, Presiden Jokowi
mengundang para investor untuk
berinvestasi di Indonesia25.
Pembangunan ekonomi dengan
berbagai mega proyek tersebut tak
sepenuhnya memberi manfaat
kepada rakyat, justru sebaliknya
malah menimbulkan kerugian.
Misalnya, penolakan masyarakat
atas pembangunan pabrik semen
PT Semen Indonesia di Rembang.
Masyarakat protes hingga me-
masung kaki-kaki mereka dengan
semen di depan “beranda” istana
sang Presiden. Contoh lain adalah
penolakan masyarakat terhadap
proyek reklamasi di Bali. Reklamasi
tak hanya terjadi di Bali, tetapi juga
di Jakarta dan Makasar. Sedangkan
penolakan masyarakat terhadap
25 Periksa http://www.dw.com/id/pidato-jokowi-di-forum-ktt-apec-di-beijing/a-18055685.
35
pembangunan infrastruktur juga
terjadi dalam kasus pembangunan
PLTU tenaga batu bara di Batang,
Indramayu, dan Cirebon.
Dalam proyek-proyek pem-
bangunan tersebut, keterlibatan
pemerintah daerah sebagai pe-
megang otoritas di daerah,
terutama dalam mengeluarkan izin
menjadi signifikan. Kita dapat
melihat peran Ganjar Pranowo
dalam pem-bangunan pabrik semen
di Pegunungan Kendeng atau peran
Basuki Tjahaya Purnama dalam
reklamasi Jakarta. Kepala daerah
menjadi kunci penting antara lain
dalam konteks perizinan dalam
pembangunan proyek-proyek pem-
bangunan. Oleh karena itu, posisi
Kepala Daerah menjadi rebutan
banyak orang. Kepala daerah
menjadi posisi yang “basah” karena
massifnya pembangunan proyek-
proyek besar yang menjadi agenda
pembangunan ekonomi di
Indonesia.
Pemilihan Umum Kepala Daerah
yang merupakan bagian dari proses
demokrasi di Indonesia di-
khawatirkan justru kehilangan
makna dalam mengimplemen-
tasikan demokrasi substansial.
Pilkada memperkuat dugaan akan
langgengnya demokrasi prosedural
yang pada akhirnya terpisahkan dari
substansi demokrasi itu sendiri.
Pemilihan Umum Kepala Daerah
Sebelum 2005, Pemilihan Kepala
Daerah dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
tetapi sejak diterbitkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, Kepala
Daerah langsung dipilih oleh
penduduk dalam suatu wilayah
administrasi. Awalnya, hal tersebut
dinilai sebagai kemajuan demokrasi
di Indonesia, karena rakyat dapat
memilih langsung kepala daerah.
Bahkan dimungkinkan adanya
seorang calon kepala daerah dari
perseorangan atau lebih dikenal
dengan istilah calon independen,
yaitu calon kepala daerah yang
tidak diusung oleh suatu partai
politik atau gabungan partai politik.
Hal tersebut juga sering dianggap
sebagai “deparpolisasi”, karena
seseorang dapat saja mencalonkan
diri menjadi kepala daerah tidak
36
melalui partai politik, padahal partai
politik merupakan infrastruktur
politik. Dalam praktek, pemenang
Pemilukada dari jalur independen
masih amat sedikit.
Pemilukada tahun 2017 ini
dilaksanakan secara serentak di 101
daerah, 76 kabupaten, 18 kota, dan
tujuh provinsi yaitu Aceh, Bangka
Belitung, Banten, DKI Jakarta,
Gorontalo, Sulawesi Barat, dan
Papua Barat26.
Pilkada DKI Yang Fenomenal
Pemilihan Umum Kepala Daerah
DKI Jakarta tahun 2017 merupakan
Pilkada yang paling banyak disorot
oleh media baik nasional maupun
internasional. Besarnya sorotan
media kepada Pilkada DKI seolah
menenggelamkan pemberitaan
pilkada di daerah-daerah lain.
Pilkada DKI Jakarta kali ini diikuti
oleh 3 pasangan calon diantaranya
adalah Pasangan Agus Harimurti
dan Sylviana Murni nomor 1, Basuki
Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful
26 Periksa http://pilkada.liputan6.com/read/2436435/ini-101-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-2017.
Hidayat nomor urut 2 serta Anis
Baswedan dan Sandiaga Uno nomor
urut 3. Salah satu Calon Gubernur
yaitu Basuki Tjahaja Purnama
kemudian tersandung dengan
persoalan pidana sebagaimana
diatur dalam pasal 156 a KUHP jo
pasal 28 ayat (2) UU NO 11 tahun
2008 tentang Transaksi Elektronik.
Kasus itu memicu banyaknya aksi
penolakan terhadap calon
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok. Terlebih pasal yang
dikenakan adalah pasal penodaan
agama, yang mana dalam konteks
pe-nyelenggaraan Pilkada menjadi
sangat sensitif, terlebih Ahok tidak
beragama Islam dan berasal dari
etnis Tionghoa. Berbagai
gelombang aksi dengan tema “bela
islam” digelar menuntut agar Ahok
segera dihukum. Dengan jumlah
massa jutaan memasuki Jakarta
tentu saja menjadi suatu berita
yang fenomenal tentang Pilkada
DKI. Begitu massifnya aksi tersebut
sehingga berdampak terhadap
aspek keamanan Ibu Kota
menjelang penyelenggaraan
Pilkada. Hal lain, karena konten
pemberitaan lebih Jakarta sentris,
37
tentu saja penyelenggaraan Pilkada
Jakarta Jauh lebih banyak dibahas
dan diperhatikan orang dibanding
100 Pilkada lainnya.
Calon Tunggal Melawan Kotak
Kosong
Dalam penyelenggaraan Pilkada
serentak tahun 2017, ada 9 daerah
yang hanya memiliki calon tunggal
sehingga calon kepala daerah akan
melawan kotak kosong. Daerah-
daerah yang hanya memiliki calon
tunggal dan harus melawan kotak
kosong diantaranya adalah Kota
Tebing Tinggi, Kabupaten Tulang
Bawang Barat, Kabupaten Pati,
Kabupaten Landak, Kabupaten
Buton, Kabupaten Maluku Tengah,
Kota Jayapura, Kabupaten
Tanbrauw dan Kota Sorong.27
Sempat tersiar informasi di
Kabupaten Pati bahwa pemenang
Pilkada adalah kotak kosong,
walaupun kemudian KPUD
mengumumkan bahwa calon
27 Periksa https://news.detik.com/berita/3424076/mereka-yang-berjaya-melawan-kotak-kosong.
tunggal yaitu Hariyanto dan Saiful
Arifin dinyatakan sebagai pe-
menang. Suara yang diperoleh oleh
pasangan calon sebanyak 519.675
suara, sedangkan kotak kosong
mendapat 177.762 suara sehingga
total suara sah 697.437, sedangkan
DPT Kabupaten Pati mencapai
1.034.256 suara. Dengan demikian,
tingkat partisipasi sebesar 68,9%.28
Terlepas di sembilan
wilayah ini para pasangan calon
menang dari kotak kosong, tetapi
hal ini sangat menarik. Angka
177.762 pemilih yang memilih kotak
kosong adalah angka yang cukup
besar. Dalam kondisi tersebut
biasanya orang sepintas menilai
bahwa kaderisasi partai tidak
berjalan sehingga tidak mampu
menimbulkan calon-calon kepala
daerah. Terbukti calon kepala
daerah hanya satu pasangan saja,
tidak ada yang mencalonkan dari
jalur perseorangan atau indepeden.
Di bawah ini adalah para pengusung
28 Periksa https://kumparan.com/ananda-wardhiati-teresia/real-count-kpu-pilkada-pati-dimenangkan-paslon-bukan-kolom-kosong.
38
para calon kepala daerah tunggal
tersebut29:
1. Umar Zunaidi Hasibuan dan Oki
Doni Siregar, pasangan calon
Walikota Tebing Tinggi
Sumatera Utara, diusung oleh
NasDem, Demokrat, Hanura,
Gerindra, PKB, Golkar, PDIP dan
PPP;
2. Umar Ahmad dan Fauzi Hasan,
pasangan calon Bupati Tulang
Bawang Barat Lampung,
diusung oleh PKS, Demokrat,
PPP, PDIP, Gerindra, Golkar,
PAN, PKB, Hanura dan NasDem;
3. Hariyanto dan Syaiful Arifin,
pasangan calon Bupati Pati,
diusung oleh PDIP, Gerindra,
PKS, PKB, Demokrat, Golkar,
Hanura, dan PPP;
4. Karolin Margaret Natasa dan
Herculanus Heriadi, pasangan
calon Bupati Landak, diusung
oleh PDIP, Demokrat, PKB,
Golkar, Hanura, NasDem,
Gerindra, PAN;
29 Periksa https://news.detik.com/berita/3424076/mereka-yang-berjaya-melawan-kotak-kosong.
5. Samsul Umar Abdul Samiun dan
La Bakry, pasangan calon Bupati
Buton, diusung oleh PKB, PKS,
NasDem, PAN, Demokrat,
Golkar, dan PBB;
6. Tuasikal Abua dan Martlatu
Leleuroy, pasangan calon
Bupati Maluku Tengah, diusung
oleh Partai Gerindra, Golkar,
Hanura, Demokrat, NasDem,
PAN, PBB, dan PDIP;
7. Benhur Tomi Mano dan Rustan
Saru, pasangan calon Walikota
Jayapura, diusung oleh partai
PKB, Hanura, PAN, NasDem,
Golkar, PDIP, dan Gerindra;
8. Gabriel Asem dan Mesak
Metusala Yekwan, pasangan
calon Bupati Tambrauw,
diusung oleh NasDem, PDIP,
Golkar, Demokrat, Gerindra,
PKS, PKB dan Hanura;
9. Lamberthus Jitmau dan Pahima
Iskandar, pasangan calon
Walikota Sorong, diusung oleh
partai Golkar, Demokrat, PDIP,
PAN, NasDem, Gerindra,
Hanura, dan PKB.
Kesembilan pasangan calon ini rata-
rata didukung oleh delapan partai
pengusung. Partai-partai pengusung
39
yang terlibat di sembilan daerah
tersebut hampir semuanya adalah
partai besar atau partai terkenal.
Selanjutnya, yang menggelitik
adalah partai-partai besar ini sudah
berada dalam suatu koalisi sehingga
kekuatan di parlemen untuk kepala
daerah terpilih sangat kuat. Di
samping itu juga menggambarkan
kekuatan politik satu koalisi. Koalisi
tersebut terbangun dengan proses
yang tidak singkat karena sudah ada
pembagian peran dan sudah
terselesaikannya kompromi politik
di antara mereka. Pertanyaan
berikutnya adalah apa yang akan
terjadi setelah terpilih jadi kepala
daerah dengan dukungan mayoritas
partai-partai besar. Saya
menganalisis bahwa antara
eksekutif (kepala daerah) dan
partai-partai pendukung akan
menguasai parlemen. Sehingga
ruang untuk menjadi oposisi atau
kontrol dalam ruang-ruang formil
ketatanegaraan menjadi tertutup.
Kaitan antara Pilkada dengan
proses pembangunan yang sedang
berjalan tersebut amat menarik.
Untuk mempertajamnya, kita bisa
melihat contoh Pilkada melawan
kotak kosong yaitu yang terjadi di
Kabupaten Pati Jawa Tengah. Di
Pati tengah terjadi perlawanan
masyarakat atas rencana
pembangunan pabrik semen PT
Sahabat Mulia Sakti. Bupati terpilih
di Pati adalah petahana yang
didukung oleh 8 partai. Sementara
komposisi di DPRD Pati ada 9 partai
yang mendapat kursi, di antaranya
Nasdem 4 kursi, PKB 6 Kursi, PKS 5
Kursi, PDIP 8 Kursi, Golkar 6 Kursi,
Gerindra 8 Kursi, Demokrat 6 kursi,
PPP3 Kursi, dan Hanura 4 Kursi.
Total keseluruhan ada 50 kursi30.
Sementara itu, pengusung Bupati
ada 8 partai kecuali NasDem. Suara
NasDem sendiri hanya 4 kursi.
Artinya 46 kursi di parlemen adalah
pengusung Bupati terpilih. Terdapat
8 partai atau setara dengan 46 kursi
di Parlemen yang menjadi
pendukung dari Bupati terpilih.
Maka, kebijakan-kebijakan baik
kebijakan politik maupun kebijakan
ekonomi Bupati akan berjalan
mulus tanpa oposisi dari parlemen.
30 Periksa http://www.patinews.com/daftar-jumlah-perolehan-kursi-dprd-kabupaten-pati-per-partai/.
40
Kekerasan dalam Pilkada
Selain fakta-fakta di atas, cerita
berbeda tersaji di tanah Papua.
Setelah rapat pleno KPU Intan Jaya,
terjadi kerusuhan di Sugapa, ibu
kota Kabupaten Intan Jaya. Tiga
orang dikabarkan meninggal. Selain
itu, 90 orang mengalami luka-luka
dan kantor KPU Intan Jaya
mengalami kerusakan. Peristiwa ini
merupakan catatan penting tentang
penyelenggaraan Pilkada yang
masih saja menimbulkan tindak
kekerasan dan melahirkan korban31.
Pemilukada, Demokrasi, dan
Pembangunan Ekonomi
Penyelenggaraan Pemilukada,
fenomenalnya pemilihan Gubernur
DKI Jakarta, fenomena calon
tunggal melawan kotak kosong, dan
kerusuhan di Intan Jaya Papua
menggambarkan bahwa arus
politik, kekuasaan, dan dampak
terhadap masalah keamanan masih
31 Periksa https://www.merdeka.com/peristiwa/tiga-tewas-dan-90-luka-saat-rusuh-rekapitulasi-pilkada-intan-jaya.html.
menjadi masalah utama di negeri
ini. Kepala daerah hendaknya tak
hanya menjadi kontestasi antar
para calon yang nantinya akan
berkuasa. Pilkada semestinya
menjadi ajang bagi rakyat untuk
menentukan masa depan bangsa
ini. Kontestasi di Pilkada semestinya
adalah kontestasi tokoh-tokoh yang
nantinya akan menjadi pelayan
rakyat dan berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan,
pemenuhan hak, dan perwujudan
keadilan. Jika para tokoh itu sudah
bersikap adil secara procedural
maka akan mudah mencapai adil
secara substansial.
Pilkada menjadi signifikan karena
situasi pembangunan ekonomi yang
gencar membangun proyek-proyek
raksasa. Tentu saja akan berdampak
terhadap kehidupan sehari-hari
warga. Kepala Daerah yang dipilih
dengan sistem demokrasi yang adil,
jujur, dan tidak transaksional tentu
akan melahirkan Kepala Daerah
yang peduli terhadap rakyatnya.
Sehingga sederas apapun agenda
pembangunan ekonomi, ia akan
memikirkan bagaimana pemenuhan
hak rakyat, bagaimana rasa
41
keadilan rakyat, dan yang utama
berorientasi pada kesejahteraan
rakyat.
Jika harapan-harapan di atas dapat
diwujudkan maka demokrasi akan
menemukan maknanya. Yaitu
demokrasi substansial yang
berpihak kepada rakyat.
42
MENJAGA IBU BUMI,
MERAWAT IBU PERTIWI
MUHAMAD ISNUR32
32 Ketua Bidang Advokasi- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)., 2017-2021.
Perjuangan Warga Pegunungan Kendeng
Menjaga Alam dan Melestarikan
Lingkungan
Sore itu, Jumat 11 Maret 2017 ada
panggilan suara melalui whatsapp call.
Kang Gun (panggilan keseharian
Gunretno) rupanya. Di ujung telepon
dia bersuara “Nur, iki dulur-dulur wis
rembukan, Senen sesok (14 Maret
2017) aksi cor kaki yo, Minggu dulur-
dulur datang nang YLBHI”. Gelagapan
dan terkaget mendengarnya, saya balas
tanya “mau berapa lama Kang?”, dia
menjawab “pokoke sampai KLHS
(Kajian Lingkungan Hidup Strategis)
selesai, rencanaku seratus orang dicor”.
Entah harus menjawab apa lagi
kemudian saya hanya mengiyakan dan
menyatakan siap membantu.
Kabar ini sangat tiba-tiba, tak ada rapat
persiapan dan perencanaan sama sekali
sebelumnya. Saya hanya melihat Jumat
siang Kang Gun membagikan foto ada
semacam kumpul keluarga, ada
Muhnur dan Sobirin (dua orang pegiat
Kendeng) disana. Saya langsung kontak
Muhnur, ia tak bisa menjelaskan apa-
apa, ia meminta agar tanya Sobirin.
Ketika ditanya Sobirin hanya menjawab
“Yo wis ayo siapkan”.
Walau ini adalah aksi cor kaki dengan
semen yang kedua, tetap saja sangat
mengagetkan bagi saya. Terlebih para
pegiat kendeng dan pendamping yang
biasanya mendampingi dan
berpengalaman pada saat aksi cor
pertama sedang pada berangkat ke
Kongres Aiansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) di Medan. Aksi yang
direncanakan Senin (14 Maret 2017)
siang itu hingga Senin pagi sama sekali
belum siap pendukung apapun,
perangkat cor (semen, pasir dan batu
split), perangkat kesehatan (gypsona,
perban, dan Dokter), perangkat
transportasi, menghubungi media dan
lain-lain belum dilakukan. Dulur-dulur
kendeng datang hanya bermodal
badan, beberapa potong baju, dan
kotak-kotak balok kayu untuk
mengecor kaki. Untuk mempersiapkan
banyak kebutuhan itu kemudian
diantara para pegiat/pendamping yang
ikut rapat saling bertanya siapa yang
punya uang, agar bisa dipakai dulu
untuk membeli semua keperluan.
Aksi “Dipasung Semen Jilid 2” yang
dimulai 14 Maret 2017 sampai 20
Maret 2017 adalah aksi yang cukup
berbahaya, membutuhkan energi yang
sangat besar, membutuhkan
kerjasama, bantuan, serta melibatkan
sangat banyak aktor di lapangan. Aksi
ini dilakukan tanpa persiapan panjang,
tanpa intervensi dari LSM dan
pendamping lainnya. Walau belum tau
bagaimana kebutuhan diatas mereka
44
langsung bergerak, datang ke YLBHI
dan memutuskan aksi.
Keputusan seperti ini pun kerap dan
biasa dalam aksi-aksi lain seperti Cor
Kaki Jilid 1, Aksi Pukul Lesung Depan
Istana 1 dan 2, dan aksi-aksi lainnya.
Keputusan sepenuhnya di tangan
warga. Para pendamping kemudian
memberi masukan dan membantu
segala hal yang diperlukan. Walaupun
ada dinamika, masukan dan pandangan
dari pendamping, tapi secara umum
ide-ide selalu datang dari warga. Jika
biasanya dalam kasus-kasus lain warga
diorganisir oleh pendamping, dalam
kasus kendeng justru pendamping yang
diorganisir oleh warga.
Pendahuluan
Pegunungan Kendeng Utara (atau
yang dikenal sebagai Zona Rembang
menurut van Bemmelen 1949)
membentang dari Kabupaten Pati,
Kabupaten Grobogan, Kabupaten
Rembang, dan Kabupaten Blora di
Jawa Tengah; hingga ke Kabupaten
Bojonegoro, dan Kabupaten
Lamongan di Jawa Timur33. Sebagai
kawasan bentang alam karst,
kawasan ini berlimpah sumber daya
air dan dikenal sebagai kawasan
imbuhan, resapan, dan
penyimpanan air. Kawasan ini juga
merupakan sumber pembelajaran
akademik dan wisata. Tetapi selain
itu kawasan ini juga kaya akan batu
gamping dan tanah liat yang
merupakan bahan baku utama
semen. Potensi inilah yang menjadi
incaran banyak perusahaan semen
untuk mengeksploitasi dan
menambang.
Sejak 2007 hingga kini, warga
Pegunungan Kendeng Utara terus
konsisten menolak pembangunan
pabrik semen dan penambangan.
Penambangan tersebut akan
merusak ekosistem karst dan
33
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Tahap I (Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih & Sekitarnya, Kabupaten Rembang), Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang BerkelanjutanKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017.
45
berdampak luar biasa bagi ruang
hidup, alam dan pertanian.
Penolakan terus berkembang lintas
wilayah yang melibatkan warga di
lima kabupaten (Pati, Rembang,
Blora, Grobogan, dan Kudus) dan
lintas komunitas, dimana banyak
aktor lintas isu dan sektor seperti
guru besar, seniman, aktivis,
akademisi, dan organisasi-
organisasi non pemerintah.
Di tengah gempuran kepentingan
korporat/pemodal dan juga aparat
pemerintah di berbagai wilayah dan
sektor seperti tambang,
perkebunan, dan properti yang
mengancam ruang-ruang hidup
warga di berbagai penjuru
nusantara, perjuangan warga
Pegunungan Kendeng Utara dengan
konsistensi dan ketahanan dalam
berjuang menjadi oase di tengah
padang tandus beratnya ancaman
dan tumpulnya advokasi.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar
Pranowo dalam sebuah wawancara
mengatakan: “Pabrik (semen) itu
banyak, Holcim di Nusa
Kambangan, silakan di-browsing,
apakah ada penolakan atau tidak?
Kedua, ada semen Bima di
Ajibarang, sudah jalan, silakan di-
browsing, ada enggak penolakan?
Sekarang ada kurang lebih 12 yang
masuk….” “Aneh saja, emang ada
orang demo di Cibinong?” Ketika
ditanya anda tahu perumahan di
Cibinong itu mengeluh soal kualitas
air? “Whatever lah, saya sudah
tidak peduli aja. Itu ada fakta kamu
demo atau enggak. Kenapa di sini,
kenapa tidak di situ?”34. Maka
menjadi menarik untuk diangkat
mengapa perlawanan begitu kuat
dari Kendeng. Pembangunan semen
sangat banyak di mana-mana,
tetapi perlawanan di Kendeng
begitu hebat dan memiliki
ketahanan yang baik.
Jaringan Advokasi Tambang
mencatat Pulau Jawa memiliki
luasan karst paling kecil, yaitu 1.124
hektar dari 15,4 ribu hektar dari
wilayah karst di Indonesia. Artinya,
jika merujuk pada luasan kawasan
34
Wawancara dengan jurnalis tirto.id, 4 Januari 2017, lihat di https://tirto.id/kalau-mau-tutup-tutup-saja-pabrik-semen-indonesia-cefw.
46
karst, selama ini Pulau Jawa telah
mendapatkan beban sangat berat
karena populasi terbesar tinggal di
pulau Jawa. Saat ini sudah ada 21
pabrik semen berskala besar
beroperasi di Jawa. Jumlah izin
tambang di pulau Jawa kini
mencapai 1.131 izin pertambangan
yang berarti Bertambahnya
tambang gamping dan pabrik
semen akan memperburuk kualitas
lingkungan di Pulau Jawa35.
Pembangunan Pabrik Semen dan
Perlawanan Warga
Kasus bermula di Kecamatan
Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah pada tahun 2007 ketika ada
desas-desus calo-calo tanah
berusaha membeli tanah dengan
murah kepada warga. Ternyata,
kejadian ini merupakan rencana
pembangunan pabrik semen PT
Semen Gresik. Masyarakat dan para
aktivis kemudian bergerak. Di
tengah berbagai tekanan,
stereotype, bahkan kriminalisasi,
35
Lihat https://www.jatam.org/2017/04/03/kendeng-ora-didol-izin-tidak-untuk-diobral/.
warga bersama beberapa pegiat
lingkungan hidup melakukan
advokasi, konsolidasi dan
mobilisasi. Diwakili kuasa
hukumnya LBH Semarang, gugatan
pembatalan Izin Eksplorasi diajukan
oleh WALHI yang memiliki legal
standing mengajukan gugatan
lingkungan hidup. PTUN Semarang
kemudian membatalkan Izin
Eksplorasi PT Semen Gresik
tersebut, dan setelah melalui
banding, dan kasasi, putusan ini
berkekuatan hukum tetap melalui
putusan Mahkamah Agung Nomor
103/K/TUN/2010. Upaya dan
putusan ini berhasil membuat PT.
Semen Gresik Tbk (Persero)
hengkang dan menyatakan berhenti
dari rencana pembangunan pabrik
semen pada 2009 dan kemudian
pindah ke Tuban. Dari Tuban, PT
Semen Gresik pindah ke Rembang
pada 2012 dan berganti nama
menjadi PT Semen Indonesia.
Pada 2014, Bupati Pati
mengeluarkan kembali izin
lingkungan kepada PT Sahabat
47
Mulia Sakti, anak perusahaan
Indocement. Warga kembali
bergerak. Mereka menolak
keberadaan Surat Keputusan Bupati
tersebut dan menggugatnya ke
PTUN Semarang. Gugatan ini
menang di PTUN Semarang, tetapi
kalah pada tingkat kasasi di
Mahkamah Agung. Meski demikian,
pembangunan pabrik belum
dimulai.
Akan halnya kasus PT Semen
Indonesia di Rembang, setelah
dikalahkan di Pengadilan Tata
Usaha Negara Semarang dan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jawa Tengah, warga
bersama WALHI sebagai penggugat
serta kuasa hukum dari LBH
Semarang dan para advokat yang
tergabung dalam Jaringan Advokasi
Peduli Lingkungan berhasil
memenangkan gugatan di
Mahkamah Agung melalui upaya
Peninjauan Kembali (PK) pada 2016.
Izin lingkungan pembangunan
pabrik semen PT Semen Indonesia
dibatalkan.
Dengan aksi-aksi yang
‘mengagetkan’ dan kreatif seperti
memukul lesung, jalan kaki sejauh
150 km lebih, dan mengecor kaki di
depan Istana Negara, Presiden Joko
Widodo pun menemui warga.
Pertemuan dengan Presiden
menyepakati penundaan segala
jenis pembangunan dan izin-izin
tambang di Pegunungan Kendeng.
Presiden kemudian memerintahkan
Kantor Staf Presiden dan
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan untuk membuat Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
di Wilayah Pegunungan Kendeng
dengan melibatkan para pakar.
KLHS tahap 1 untuk wilayah
Rembang pun selesai. KLHS ini
menyimpulkan dan me-
rekomendasikan bahwa wilayah
Cekungan Air Tanah Watuputih
dimana ada sekitar 23 perusahaan
yang mendapat konsesi tambang
termasuk PT Semen Indonesia di
Rembang adalah Kawasan
Bentangan Alam Karst (KBAK) dan
Kawasan Lindung yang tidak boleh
ditambang.
Meski rekomendasi KLHS melarang
48
penambangan, kenyataan di
lapangan sebaliknya. Berdasarkan
keterangan warga yang
menyaksikan langsung, bukti-bukti
fisik dan foto, PT Semen Indonesia
Tbk (Persero) memulai mengebom
kawasan CAT Watuputih untuk
membuat akses conveyor belt dan
memulai produksi semen.
Ketidakpatuhan PT Semen
Indonesia ini belum mendapatkan
tindakan apapun dari pemerintah.
Prinsip, Nilai, dan Sejarah
Perlawanan Sedulur Sikep
Penulis36 memiliki kesamaan
pandangan dengan Watchdoc37
ketika membuat film tentang
36
Diskusi bersama dengan Ali Nursyahid, Sobirin, dan Dhyta Caturani dalam yang sudah bertahun-tahun mendampingi Warga Kendeng, dalam Tour #AkuKendeng, 11 – 14 Mei 2017.
37 Rumah produksi audio visual yang berdiri
sejak 2009, lebih lengkap lihat http://watchdoc.co.id.
perjuangan petani dan sedulur-
dulur Kendeng dengan judul “Samin
Vs Semen”. Penolakan
pembangunan pabrik semen
dipelopori dan dipimpin oleh
Sedulur Sikep38 atau Masyarakat
Samin39. Ali Nursahid, seorang
pegiat lingkungan dari Pati
menjelaskan bahwa lapisan gerakan
Kendeng Lestari terdiri dari Wong
Sikep/Samin, petani, akademisi,
budayawan, seniman, aktivis LSM,
38
Komunitas Sedulur Sikep, barangkali
merupakan masyarakat petani yang paling
banyak diteliti dalam sejarah Indonesia
modern. Sejak zaman kolonial Belanda,
dengan diawali oleh laporan Residen Tuban
J. E. Jasper, banyak peneliti baik dari
Indonesia maupun luar negeri telah menulis
puluhan artikel, makalah, buku dan laporan
riset untuk membahas komunitas
masyarakat ini. Lihat Amrih Widodo, “Untuk
Hidup Tradisi Harus Mati”, dalam Majalah
Basis, edisi September-Oktober tahun 2000.
Yogyakarta: Yayasan B.P Basis. 2000, hal.
16.
39 Disebut Masyarakat Samin karena
komunitas ini pertama kali didirikan oleh Samin Surasentiko (1859-1914) di desa Klopodhuwur, Randublatung, Blora, Jawa Tengah pada pertengahan tahun 1890-an. RPA. Soerjanto Sastroatmodjo, Masyarakat Samin: Siapakah Mereka?, Yogyakarta, Narasi, 2003. hlm. 59.
49
jurnalis, dan aktor pemerintah yang
berpihak. Seluruh pengambilan
keputusan ada di tangan Sedulur
Sikep. Sesepuh Sedulur Sikep
seperti Mbah Tarno40 atau tokoh-
tokoh muda sedulur sikep seperti
Gunretno41, Gunarti, Sapari dan
lainnya merupakan aktor sentral
dalam advokasi penolakan semen.
Advokasi ini diwadahi dalam
Jaringan Masyarakat Peduli
Pegunungan Kendeng (JMPPK). Ada
juga Kelompok Perempuan Peduli
Lingkungan (KPPL) Simbar Wareh
yang mengkonsolidasikan gerakan
perempuan sehingga dapat
“tampil” dan menjadi duta advokasi
Kendeng.
Kepeloporan Sedulur Sikep dalam
penolakan pabrik semen tak lepas
dari prinsip keyakinan/ajaran,
sejarah perlawanan, dan nilai-nilai
yang tertanam secara intrinsik
40
Tokoh kharismatik Sedulur Sikep asal Dusun Kalioso, Desa Karangrowo, Undakan, Kudus yang kemudian bermukim di Dusun Ngawen, Sukolilo. Meninggal di usia seratus tahun lebih pada 4 Juni 2009.
41 Sebelum terbentuk JMPPK, Gunretno juga
memimpin Serikat Petani Pati.
dalam keseharian mereka.
Penolakan kaum Samin atau
Sedulur Sikep terhadap rencana
eksplorasi dan eksploitasi semen di
kawasan Pegunungan Kendeng
merupakan salah satu ekspresi dari
sikap hidupnya untuk menghargai
keseimbangan alam. Pegunungan
Kendeng yang membujur dari Pati
sampai Blora menyimpan jutaan
kubik karst berfungsi untuk
menyimpan air, resapan air hujan
dan rumah bagi flora fauna. Mereka
bisa melihat dan merasakan
langsung, perusakan oleh tambang
liar di beberapa titik kawasan
pegunungan Kendeng
menyebabkan banjir bandang di
Sukolilo dan Kayen, Pati, pada 3
Desember 201142.
Salah satu keyakinan pandangan
hidup mereka adalah pekerjaan
mengolah tanah atau menjadi
petani merupakan satu-satunya
42
Munawir Aziz , Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama, Dan Adat Dalam Pro-Kontra Pembangunan Pabrik Semen Di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, Jurnal Kawistara, Volume 2 no. 3, 22 Desember 2012 hal. 225-328.
50
pekerjaan yang demunung (jelas
perkaranya atau asal-usulnya).
Keyakinan ini bersumber dari ajaran
keharusan menjalankan perilaku
dengan jujur, lugu, dan murni.
Perilaku jujur, lugu, dan murni ini
juga harus dipraktekkan dalam hal
usaha memenuhi kebutuhan
sandang dan pangan yang mereka
sebut sebagai tata nggauto (tata
cara mencari nafkah). Keyakinan
bahwa hasil kerja keras untuk
memenuhi sandang dan pangan
haruslah berasal dari sesuatu yang
demunung. Dalam kaitan dengan
konsep demunung inilah pekerjaan
mengolah tanah atau menjadi
petani merupakan satu-satunya
pekerjaan yang demunung bagi
mereka43. Menjadi petani dengan
cara-cara yang alami dan organik
serta sangat mengandalkan air yang
mengalir dari mata air karst adalah
43
Addi Mawahibun Idhom, Resistensi Komunitas Sedulur Sikep Terhadap Rencana Pembangunan Tambang Semen Di Pegunungan Kendeng, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah , Skripsi Pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2009, hal. 89.
tradisi mereka.
Maka lingkungan yang lestari, air
melimpah yang selama ini dialiri
dari mata air-mata air yang keluar
dari perbukitan karst menjadi
prasyarat utama dalam tata
kehidupan mereka. Perjuangan
melestarikan lingkungan
merupakan prinsip dasar yang
harus dilakukan, karena adanya
pabrik semen dan penambangan
akan merusak lingkungan,
ekosistem dan tradisi pertanian
mereka.
51
Landasan dan nilai yang sangat
menghargai Bumi sebagai Ibu
nampak dalam tembang yang
senantiasa mereka lantunkan:
”Ibu Bumi Wis Maringi,
Ibu Bumi Dilarani,
Ibu Bumi Kang Ngadili”
(Ibu Bumi telah memberi,
Ibu Bumi disakiti,
Ibu Bumi yang akan mengadili)
52
bersama tembang mocopat seperti
Pangkur, lagu, atau syair lainnya
yang senantiasa mengiringi warga
Pegunungan Kendeng ketika
mengecor kaki di depan Istana
Negara. Demikian juga tembang-
tembang tersebut dibawakan saat
berjalan ratusan kilometer dari
Rembang dan Pati menuju
Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang atau Kantor Gubernur
Jawa Tengah di Semarang, saat aksi
menabuh lesung, dan ratusan aksi
lainnya. Tembang-tembang yang
penuh kedalaman rasa,
penghayatan jiwa, keluasan pikiran,
kekuatan batin dan kekayaan
pengalaman demi menjaga bumi
yang merupakan ibu yang memberi,
mengasuh, membesarkan, terus
melimpahkan segala hal dengan
anugerahnya.
Aspek Transendental
Selain prinsip di atas, hal lain yang
mempengaruhi perlawanan Sedulur
Sikep adalah aspek transendental.
Sedulur Sikep dan masyarakat lokal
lainnya di Pati memiliki keterkaitan
kultural dengan Pegunungan
Kendeng. Hal ini ditandai dengan
simbol-simbol yang terdapat pada
situs-situs di sekitar Pegunungan
Kendeng seperti Situs Watu Payung.
Situs ini merupakan simbolisasi dari
sejarah pewayangan Dewi Kunti.
Beberapa narasi pewayangan Dewi
Kunti juga terartikulasikan dalam
beberapa relief alam yang terdapat
di Pegunungan Kendeng44.
Warisan Perlawanan dan Spirit
Perjuangan
Politik identitas dan perlawanan
kaum Samin pada masa kini juga
dipengaruhi oleh warisan ingatan
dan spirit perjuangan melawan
rezim penjajah dan perlawanan
44
Diskusi dengan Sobirin di bawah Situs Watu Payung 11 Mei 2017. Sobirin adalah Direktur Yayasan Desantara, yang juga merupakan pendamping Masyarakat Pegunungan Kendeng. Hal ini juga diakui oleh Subarkah dan Anggit Wicaksono (Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus) dalam Perlawanan Masyarakat Samin (Sedulur Sikep) Atas Kebijakan Pembangunan Semen Gresik Di Sukolilo Pati (Studi Kebijakan Berbasis Lingkungan Dan Kearifan Lokal).
53
komunitas pada masa Orde Baru45.
Pada masa kolonialisme, Samin
Surosentiko mengajak warganya
untuk menolak menyumbang untuk
lumbung desa yang dikelola
pemerintah kolonial, menolak
menggembala ternak bersama-
sama, dan menolak membayar
pajak46. Amrih Widodo, seorang
peneliti Samin menjelaskan
kemunculan ajaran dan gerakan
saminisme itu dipicu salah satunya
adalah kebijakan pemerintah
Belanda menjadikan hutan sebagai
perusahaan negara (houtvesterijen)
yang menyebabkan petani di sekitar
hutan tidak lagi memiliki akses
untuk memanfaatkan hutan sebagai
sumber kehidupan mereka.47 Pada
45
Munawir Aziz, op.cit hal. 253.
46 Harri J. Benda-Lance Castles dalam King,
V.T., 1973, Some Observations on the Samin
Movement of the North-Central Java. BKI.
Deel 129, 4e avlevering, ‘s-Gravenhage,
Martinus Nijhoff.
47 Amrih Widodo, “Samin In The New Order:
The Politic of Encounter and Isolation”, dalam Jim Schiller dan Barbara Martin Schiller (eds.), Imagining Indonesia, Cultural Politics and Political Culture (Ohio University Press, 1997), hal. 268.
masa Orde Baru (1966-1998), kaum
Samin dianggap sebagai anti-
pembangunan, yang tak mau
menerima bantuan dari
pemerintah, serta tak dapat
disentuh dalam proyek islamisasi
maupun penginjilan. Kaum Samin
juga menolak perangkat agama dan
pemerintahan masuk dalam batas
hidup komunitasnya48.
Dukungan, Kekompakan, dan
Strategi Komunikasi
Ketika saya bertanya kepada para
pegiat Kendeng seperti Sobirin, Ali,
Dhyta, juga beberapa pendamping
mengapa mereka begitu setia dan
konsisten terus mendampingi
warga Kendeng, mereka menjawab.
Pertama, kesetiaan warga akan nilai
dan prinsip-prinsip terhadap
lingkungan dan kehidupan di atas.
Kedua, adanya konsep brotherhood
dan sisterhood. Seluruh warga dan
pendamping dianggap sebagai
saudara, sedulur. Hal inilah yang
kemudian sangat berdampak pada
48
Munawir Aziz, ibid.
54
hubungan antar aktor; bukan
sekedar pendamping, akademisi
yang melakukan riset, atau LSM
yang melakukan advokasi, tetapi
lebih dari itu menjadi hubungan
persaudaraan, menjadi keluarga.
Maka hingga hari ini, ratusan orang
terus terlibat dan dengan senang
hati terus berpartisipasi dalam
advokasi serta agenda-agenda
kultural yang di dalamnya
dinyalakan api dan semangat
perjuangan, seperti Kupatan
Kendeng, Halal Bihalal, Brokohan
dan lain-lain bersama dulur-dulur
Kendeng.
Ketiga, bagi dulur-dulur,
kekompakan dan kerukunan selalu
menjadi nilai-nilai yang mereka
anggap harus tetap dijaga dan
dipelihara. Dalam keseharian,
mereka selalu menyebut teman
atau tetangga dengan sebutan
dulur (saudara). Meskipun yang
disebut itu bukan termasuk
komunitas Sedulur Sikep, asal
mereka pandang tidak melukai dan
membahayakan diri mereka
masing-masing, mereka
memanggilnya dulur. Menurut
Amrih Widodo, jika dipandang dari
kacamata filsafat politik yang dianut
komunitas Sedulur Sikep, konsep
perwakilan ditolak karena
cenderung mereduksi otonomi
individu dan mensubordinasikan
individu di bawah kelompok49. Oleh
sebab itulah, kekompakan
komunitas ini selalu tampak
mengemuka dengan jelas. Hal ini
karena pada tingkat komunitas,
keputusan-keputusan bersama yang
mengatasnamakan Sedulur Sikep
selalu dihasilkan dari rapat-rapat
yang melibatkan semua individu
dalam komunitas Sedulur Sikep.
Dalam rapat-rapat itu, semua suara
anggota komunitas Sedulur Sikep
ditampung dan dipertimbangkan.
Maka, tak ada upaya membuat
organisasi resmi, tak ada pemimpin
yang ditunjuk, atau pucuk
organisasi. Semua anggota bisa
mewakili dan mengatasnamakan
JMPPK.
Keempat, adanya keluwesan dalam
berkomunikasi. Pada aksi cor kaki
49
Amrih Widodo “Samin In The New Order: The Politic of Encounter and Isolation”, hal. 279.
55
jilid 1 tahun 2016, Yu Giyem,
perempuan Kendeng yang dicor
kakinya turut berorasi. Bagi Dhyta
Caturani, orasi Yu Giyem sangat
dahsyat. Yu Giyem membuka
orasinya dengan memulai
komunikasi dengan polisi: "Sudah
sarapan? Sarapan apa? Nasi, Nasi
dari mana?” Yu Giyem mengaitkan
Kendeng dengan petani, air, dan
kelestarian alam. Dhyta melihat Yu
Giyem sangat menguasai teknik
ruang dan momentum dalam
berorasi. Walau seorang petani, Yu
Giyem sangat bagus dalam berorasi.
Keluwesan dan kemahiran
berkomunikasi ini juga penulis lihat
dalam berbagai kesempatan
bersama dulur-dulur Kendeng.
Kelihaian mereka sangat terlihat
ketika menggunakan metafora-
metafora dan kesederhanaan dalam
menjelaskan atau berargumen.
Keluwesan juga terlihat mereka
bertemu dengan semua lapisan dan
aktor, ini diperkuar prinsip ‘dulur’
bagi semua dan kelihaian mereka
dalam berkomunikasi.
Kecanggihan anggota komunitas
dalam berbahasa serta kekayaan
pemahaman metaforik
menyebabkan komunitas ini
disegani oleh masyarakat sekitar.
Kebanyakan dari mereka mengakui
bahwa nalar yang dimiliki oleh
“wong samin” tidaklah rendah. Hal
itu tercermin dari cara mereka
membahasakan maksud ucapannya.
Konsistensi anggota Sedulur Sikep
untuk menjalankan ajaran
leluhurnya menunjukkan
keberhasilan pendidikan keluarga
yang dijalankan pada generasi
muda. Di samping itu, tingginya
intensitas jejagongan (berkumpul)
yang dilakukan generasi tua dan
muda di sejumlah rumah tokoh
Sedulur Sikep pada malam-malam
tertentu menyebabkan
transformasi ajaran sikep tak
pernah putus oleh waktu50.
Bagi penulis, nilai-nilai hidup yang
dihayati Sedulur Sikep membuat
mereka teguh melawan berbagai
kekuatan yang ingin merusak alam
dan menjadi pelopor bagi petani
serta jaringan masyarakat lainnya
dalam melawan. Perlawanan
50
Addi Mawahibun Idhom, op.cit, hal. 100.
56
Sedulur Sikep dan Petani serta
warga Kendeng lainnya menjadi
pembelajaran penting bagi
komunitas-komunitas lain yang
tengah berjuang mempertahankan
ruang hidup dan ketidakadilan
sosial.
57
KRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT: ANCAMAN DAN USULAN KEBIJAKAN51
SITI RAKHMA MARY HERWATI52
51
Pada mulanya naskah ini merupakan makalah yang disampaikan pada Sarasehan “Mencari
Format Pembelaan dan Pendampingan Hukum untuk Masyarakat Adat”, yang
diselenggarakan dalam rangka Kongres Ke-5 Masyarakat Adat Nusantara (KMAN V),
Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampung Tanjung Gusta, Medan dan Deli Serdang –
Sumatera Utara, 15 Maret 2017. 52
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Pendahuluan
Masyarakat-masyarakat adat di
Indonesia dapat digolongkan
sebagai indigenous peoples
sebagaimana dimaksudkan secara
khusus dalam Declaration on the
Rights of Indigenous Peoples yang
diresmikan pada tahun 2007. Selain
terkandung secara khusus dalam
Declaration on the Rights of
Indigenous Peoples itu, hak
masyarakat adat juga terkandung
dalam Kovenan Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya. Sedangkan hak
atas tanah merupakan isu yang juga
tersebar di beberapa isu yang lain
seperti masyarakat adat, hak atas
perumahan, dan perempuan.
Dalam Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik, hak atas tanah
disetarakan dengan istilah right to
property.
Bagi masyarakat adat, hak ekonomi,
sosial, dan budaya adalah hak yang
memberikan eksistensi bagi
masyarakat adat dalam rangka
memperoleh harkat dan
martabatnya. Hak ekosob
mencakup beberapa hal: pertama,
mencakup berbagai masalah utama
yang dialami masyarakat adat
sehari-hari menyangkut kebutuhan
dasar dan kelangsungan hidup
komunitas. Kedua, hak ekosob tak
dapat dipisahkan dengan hak asasi
manusia lainnya. Ketiga, hak ekosob
mengubah kebutuhan-kebutuhan
masyarakat adat menjadi hak yang
harus dipenuhi.
Hak ekosob yang paling esensial
bagi masyarakat adat adalah hak
untuk menentukan nasib sendiri
(right to self determination) dan hak
atas tanah dan sumber daya alam
(right to land and natural
resources). Kedua hak ini penting
karena tergolong sebagai hak-hak
kolektif yang menjadi
dasar/landasan perjuangan
masyarakat adat. Hak kolektif itu
terkait dengan tiga hal berikut ini:
kepentingan untuk
mempertahankan identitas budaya
dan bahasa dari suatu komunitas
tertentu, kepentingan untuk
mendapatkan perlindungan atas
hak atas tanah dan sumber daya
alam, dan penentuan nasib sendiri
yang bersifat politis dan hukum
(Saleh, 2007).
59
Hak-hak tersebut terkandung dalam
bagian pertama pasal 1 ayat 1
Kovenan Ekosob: “Semua bangsa
mempunyai hak untuk menentukan
nasibnya sendiri atas kekuatan itu,
mereka dengan bebas menentukan
status politiknya dan bebas
mengejar perkembangan ekosob
mereka sendiri”
Sedangkan hak atas sumber daya
alam terdapat dalam bagian I pasal
2 ayat 2: “Semua bangsa dapat
secara bebas mengatur segala
kekayaan dan sumberdaya mereka
sendiri, tanpa mengurangi
kewajiban-kewajiban yang mungkin
timbul dari kerjasama ekonomi
internasional. Tidak dapat
dibenarkan suatu bangsa merampas
upaya penghidupan rakyatnya
sendiri”.
Kedua hak kolektif tersebut
terdapat dikuatkan melalui Resolusi
Majelis Umum PBB 1803 (XVII) 1962
yang menyatakan bahwa
kedaulatan permanen atas sumber
daya alam merupakan konsekuensi
logis dari hak penentuan nasib
sendiri.
Hak-hak masyarakat adat dalam
kebijakan nasional dimuat dalam
UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 yang
berbunyi: “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”, dan UUD 1945
Bab XA tentang Hak Asasi Manusia
pasal 28 I ayat 3 yang berbunyi:
“identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”.
Selain itu, perlindungan terhadap
masyarakat adat juga terdapat
dalam UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia,
khususnya pasal 6 ayat 1 dan 2.
Pasal 6 ayat 1 berbunyi:”Dalam
rangka penegakan hak asasi
manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum adat
harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hukum, masyarakat, dan
pemerintah. Sementara ayat 2
menyebutkan:”Identitas budaya
60
masyarakat hukum adat, termasuk
hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan
zaman.”
Selama Indonesia di masa Orde
Baru berkuasa (1966-1998),
masyarakat adat tidak diakui
keberadaannya apalagi hak-haknya.
Kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah justru
mengabaikan hak-hak masyarakat
adat atas wilayah dan sumber daya
alamnya. Beberapa kebijakan Orde
Baru tersebut diantaranya: UU No.
5/1967 tentang Pokok-pokok
Kehutanan, UU No. 1/1967 tentang
Penanaman Modal Asing, dan UU
No.11/1967 tentang Pertambangan.
Pada masa ini, pemerintah juga
meneruskan klaim kolonial Hindia
Belanda terhadap penguasaan
hutan melalui kebijakan Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK). Pada
masa ini juga dikeluarkan Inpres No.
1/1976 dan Undang‐undang No.
5/1979 tentang Desa yang bisa
dibaca sebagai niat Orde Baru
untuk menghilangkan hak ulayat
masyarakat adat. Inpres No. 1
Tahun 1976 tentang Sinkronisasi
Pelaksanaan Tugas Bidang
Keagrariaan dengan Bidang
Kehutanan, Pertambangan,
Transmigrasi, dan Pekerjaan Umum.
Pada bagian VI tentang Pelaksanaan
Status Hak Tanah, khususnya di
angka 3 dan 4 menyebutkan bahwa:
“Dalam hal sebidang tanah yang
dimaksud pada ad.ii terdapat tanah
yang dikuasai penduduk atau
masyarakat hukum adat dengan
sesuatu hak yang sah, maka hak itu
dibebaskan terlebih dahulu oleh
pemegang Hak Pengusahaan Hutan
dengan memberikan ganti rugi
kepada pemegang hak tersebut
untuk kemudian dimohonkan
haknya, dengan mengikuti tatacara
yang ditetapkan dalam peraturan
perundang‐undangan agraria yang
berlaku.” Sedangkan angka 4
menyebutkan: “Dalam hal
pengusahaan areal Hak
Pengusahaan Hutan memerlukan
penetapan area sehingga
mengakibatkan penduduk dan atau
masyarakat hutan setempat tidak
melaksanakan hak adanya, maka
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan
harus memberikan ganti rugi
kepada penduduk dan atau
masyarakat hukum tersebut.”
(sebagaimana termuat dalam
61
Rachman, dkk, 2012). Substansi
Inpres ini segaris dengan paradigma
pembangunan Orde Baru yang
berkeinginan mewujudkan
pertumbuhan ekonomi sebesar-
besarnya dengan dengan memberi
kemudahan kepada para
perusahaan-perusahaan ekstraksi
mendapatkan tanah untuk
usahanya. Salah satunya dengan
memfasilitasi proses pelepasan
tanah-tanah ulayat secara mudah.
Sedangkan UU No. 5/1979 tentang
Desa mengubah desa yang beragam
menjadi seragam dan mengubah
masyarakat tradisional atau
masyarakat adat menjadi modern.
Hal ini telah melemahkan,
menghilangkan, bahkan
menghancurkan struktur dan
susunan asli masyarakat adat dan
hak ulayatnya. Proses-proses politik
dan pengambilan keputusan tidak
lahir dari desa tetapi dilakukan oleh
pemerintah pusat. Hal ini
mengakibatkan desa kehilangan
otonominya (Rachman, dkk, 2012).
Pada tahun 1999, keluar kebijakan
pemerintah yaitu Permenag No.
5/1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Tetapi
peraturan ini mengandung
beberapa substansi yang justru
merugikan masyarakat adat.
Permenag ini terbit karena desakan
dari satu tekanan besar kelompok-
kelompok masyarakat hukum adat
di berbagai tempat yang menuntut
pemerintah mengakui
keberadaannya, termasuk hak-
haknya atas tanah, sumber daya
alam, dan wilayah kelolanya. Tetapi,
peraturan ini memiliki banyak
kelemahan, salah satunya karena
peraturan ini tidak bisa diterapkan
di atas tanah-tanah ulayat yang
sudah dimiliki perorangan atau
badan hukum. Padahal justru
perampasan tanah ulayat banyak
dilakukan badan hukum maupun
perorangan.
Pada masa Reformasi, meski
terdapat Undang-undang yang
mengakui keberadaan masyarakat
adat yakni UU No. 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, beberapa
kebijakan pemerintah masa
Reformasi masih tetap
menegasikan hak-hak masyarakat
adat. Beberapa UU di bidang
62
sumber daya alam terkait adalah:
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
dan UU No. 18/2004 tentang
Perkebunan. Pasal-pasal pidana
dalam perundang-undangan
tersebut telah berhasil
memenjarakan mencerabut hak-
hak masyarakat adat atas tanahnya
dan bahkan memenjarakan mereka.
Sebagai contoh, kriminalisasi
terhadap masyarakat adat Desa
Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan
Barat karena memberlakukan
hukum adat berupa denda kepada
perusahaan yang menggusur lahan
masyarakat.
Beberapa upaya masyarakat adat
melalui AMAN (Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara) dan masyarakat
sipil/NGOs untuk meninjau kembali
keberadaan pasal-pasal tersebut
telah berhasil. MK telah
membatalkan pasal 21 dan pasal 47
ayat 1 dan 2 UU No.18/2004
tentang Perkebunan melalui Judicial
Review yang dilakukan PiLNet.
Sedangkan AMAN telah berhasil
membuat gebrakan monumental
dengan dibatalkannya pasal 1 angka
6 UU Kehutanan melalui judicial
review yang dilakukan pada tahun
2012. Putusan MK telah
mengkoreksi rumusan Pasal 1 angka
6 sehingga berubah menjadi:
“Hutan adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat.”
Pada Oktober 2015, beberapa NGO
yaitu Sawit Watch, SPKS, SPI, API,
FIELD, Bina Desa, dan IHCS
mengajukan judicial review
terhadap UU No. 39 tahun 2014
tentang Perkebunan. MK kemudian
memutuskan permohonan
dikabulkan sebagian terkait pasal 27
ayat 3, pasal 29, pasal 30 ayat 1,
pasal 42, pasal 55, dan pasal 107.
Tetapi, apakah dengan
dibatalkannya pasal-pasal
kriminalisasi dalam UU Perkebunan
tersebut mengakibatkan
dihentikannya kriminalisasi?
Ternyata tidak.
Data AMAN menyebutkan 125
masyarakat adat di 10 wilayah
menjadi korban kriminalisasi di
kawasan hutan. Mereka tersebar di
Bengkulu, Sumatera Selatan,
Sumatera Utara, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Utara, NTB,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
63
Maluku Utara, dan Nusa Tenggara
Timur. Masyarakat dikenakan pasal-
pasal pidana dalam UU No. 41/1999
dan UU No. 18/2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (P3H). UU P3H
sudah bermasalah sejak awal
pembuatannya. Koalisi Masyarakat
anti Mafia Hutan sudah sejak awal
menolak keberadaan UU ini karena
selain pembahasannya secara diam-
diam, juga mengandung salah
kaprah secara teori hukum pidana.
Undang-undang ini dirumuskan
dengan ceroboh sehingga memberi
ruang terjadinya over kriminalisasi,
yakni dipidananya orang yang
seharusnya dilindungi hukum.
Selain itu, UU ini juga tidak memiliki
konsep terhadap kejahatan seperti
apa yang hendak dicegah, dan tidak
mempunyai arah untuk mengatur
mengenai hak-hak apa saja dan
siapa-siapa yang hendak dilindungi
(Nagara, 2014).
Di luar kasus-kasus kehutanan,
terdapat kriminalisasi masyarakat di
sektor lain seperti perkebunan dan
pertambangan. Di luar perampasan
lahan melalui pemberian izin oleh
Menteri Kehutanan, Badan
Pertanahan Nasional atau
Bupati/Gubernur, modus
perampasan lahan yang digunakan
adalah, jika PTPN, menambah
luasan atau memperluas lahan
perkebunan dari luas yang tertera
di sertifikat HGU. Jika kawasan
hutan, dengan memasukkan
wilayah kelola masyarakat adat ke
dalam hutan negara.
Sedangkan tindak pidana yang
kerap ditujukan pada masyarakat
adalah: memasuki tanah PTPN
tanpa izin, pengrusakan,
penggunaan lahan perkebunan
tanpa izin, penganiayaan,
melakukan kekerasan terhadap
orang atau barang, dan menguasai
tanah tanpa izin. Selain itu, dalam
beberapa kasus yang spesifik,
masyarakat dituduh merintangi
kemerdekaan orang dari bergerak
di jalan umum, pengancaman,
melakukan perbuatan tidak
menyenangkan, dan menghentikan
aktivitas alat berat. Sementara itu
jika berkaitan dengan perlawanan
dengan senjata tajam, masih juga
digunakan Pasal 2 UU Drt
No.12/1951 tentang kepemilikan
senjata tajam.
64
Pasal-pasal lain yang digunakan
untuk mengkriminalkan masyarakat
adat adalah pasal pencurian (363
(1), jo pasal 64 (1) KUHP). Hal ini
terjadi pada 9 orang masyarakat
adat Kalteng yang dituduh
menyadap karet PT SIL.
Beberapa pasal UU 41/1999 yang
kerap digunakan untuk
mengkriminalkan masyarakat adat
adalah: membawa, menyimpan,
mengangkut hasil hutan tanpa
disertai dokumen lengkap, dan
merambah hutan.
Sementara itu berkaitan dengan UU
P3H, pasal-pasal yang kerap
dikenakan pada masyarakat adalah:
pasal 82 ayat (1) huruf c, pasal 12
huruf c, pasal 94 ayat 1 huruf a dan
b.
Dalam kasus-kasus pidana tersebut,
vonis yang dijatuhkan majelis hakim
rata-rata satu sampai dua tahun
penjara.
Kriminalisasi terhadap para pejuang
agraria juga tergolong sebagai salah
satu bentuk pelanggaran hak asasi
manusia dan pelanggaran hukum.
Pasal 9 Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik yang telah
diratifikasi menjadi UU No. 12
tahun 2005 menyatakan bahwa
setiap orang berhak atas kebebasan
dan keamanan pribadi. Tidak
seorang pun dapat ditangkap atau
ditahan secara sewenang- wenang.
Tidak seorang pun dapat dirampas
kebebasannya kecuali berdasarkan
alasan-alasan yang sah, sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan
oleh hukum. Jaminan perlindungan
kepada tiap warga negara telah
diatur dalam UUD 1945 yang
kemudian dipertegas lagi dalam UU
No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Pasal 6 UU No. 39/1999 tentang
Hak Asasi Manusia juga
memberikan perlindungan
terhadap masyarakat hukum adat
dan hak-hak atas tanahnya
termasuk terhadap kriminalisasi
yang selengkapnya berbunyi: “(1)
Dalam rangka penegakan hak asasi
manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum adat
harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hukum, masyarakat, dan
pemerintah; (2) Identitas budaya
masyarakat hukum adat, termasuk
hak atas tanah ulayat dilindungi,
65
selaras dengan perkembangan
zaman”. Hak-hak masyarakat atas
tanah atau hak milik yang
dikategorikan sebagai hak atas
properti juga tertuang dalam pasal
17 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia: (1) Everyone has the right
to own property alone as well as in
association with others, and (2) No
one shall be arbitrarily deprived of
his property, ((1) Setiap orang
berhak memiliki harta/milik, baik
sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, (2) Tidak
seorang pun boleh dirampas harta
miliknya dengan semena- mena).
Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil Politik yang diratifikasi oleh
pemerintah melalui UU No.
12/2005. Pasal 26 Kovenan ini
menyebutkan sebagai berikut:
“Semua orang berkedudukan sama
dihadapan hukum dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama
tanpa diskriminasi apapun. Dalam
hal ini hukum harus melarang
diskriminasi apapun, dan menjamin
perlindungan yang sama dan efektif
bagi semua orang terhadap
diskriminasi atas dasar apapun
seperti ras, warna, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau
pendapat lain, asal-usul kebangsaan
atau sosial, milik, kelahiran atau
status lain) (Herwati, 2015).
Akar Konflik Yang Harus
Diselesaikan
Jika melihat kasus di atas, ketika
terjadi kriminalisasi, praktis seluruh
upaya yang dibangun sejak awal
untuk mengembalikan hak-hak
masyarakat adat menjadi berhenti.
Hampir seluruh kekuatan
dikerahkan untuk mendampingi
masyarakat yang dikriminalkan.
Baik kekuatan seluruh komunitas,
para pendamping, paralegal,
maupun pengacara masyarakat
adat. Penanganan kasus di
pengadilan sungguuh menguras
tenagwa, waktu, pikiran, dan biaya.
Terlebih jika perkara bergulir di
pengadilan, diperlukan biaya besar
bagi anggota keluarga yang
dikriminalisasi untuk mondar-
mandir ke pengadilan menghadiri
66
persidangan. Belum lagi kalau yang
dikriminalkan adalah tulang
punggung keluarga. Kriminalisasi
adalah jalan praktis dan terkadang
ampuh untuk menghentikan
perjuangan masyarakat adat.
Proses penyelidikan dan penyidikan
di tingkat kepolisian sebenarnya
menentukan apakah perkara akan
dilanjutkan ke tahap berikutnya
atau tidak. Polisi seharusnya tidak
mempergunakan pasal-pasal pidana
terhadap masyarakat adat yang
sedang memperjuangkan haknya.
Maka, pemahaman atas kasus
perampasan tanah adat menjadi
keharusan bagi polisi ketika
mendapat laporan dari perusahaan.
Ada beberapa hal yang berkaitan
dengan akar konflik dan
perkembangan baru kebijakan
kehutanan perlu dipahami oleh
aparat kepolisian:
Pertama, akar konflik adalah
perampasan lahan atau wilayah
kelola masyarakat adat oleh
perusahaan-perusahaan
perkebunan, kehutanan,
pertambangan, maupun
dimasukkannya lahan-lahan
masyarakat adat ke dalam hutan
negara.
Kedua, mengenai keluarnya
putusan MK No.35/PUU/XII/2012
yang disertai dengan kebijakan-
kebijakan penetapan hutan adat
yang dikeluarkan pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Di
wilayah-wilayah yang diindikasikan
terjadi konflik berkaitan
penguasaan kawasan hutan antara
masyarakat dengan hutan yang
dikuasai perusahaan maupun hutan
negara, harus dihentikan
penggunaan pasal-pasal pidana
untuk masyarakat adat dikarenakan
sedang terjadi proses penyelesaian
status hukum atas hutan-hutan
masyarakat adat tersebut. Bahkan,
terhadap wilayah-wilayah yang
sudah jelas status hukumnya
sebagai hutan adat, dan terdapat
masyarakat adat yang dikriminalkan
sebelumnya di lokasi hutan adat itu,
harus ada upaya-upaya hukum
untuk membebaskan mereka yang
sedang disangka, didakwa, ataupun
sudah dipidana karena dituduh
menempati hutan negara.
Ketiga, telah dibatalkannya pasal-
pasal pidana (pasal 21 dan 47)
67
dalam UU Perkebunan No. 18/2004
dan juga putusan judicial review UU
No. 39/2014 harus menjadi catatan
bagi kepolisian untuk menghentikan
penangkapan-penangkapan
masyarakat yang tengah berkonflik
lahan dengan perusahaan
perkebunan. Putusan JR UU No.
39/2014 yang berkaitan dengan
masyarakat adat antara lain
menyatakan anggota masyarakat
hukum adat sah untuk
mengerjakan, menggunakan,
menduduki, dan/atau menguasai
lahan perkebunan. Norma pasal 55
UU Perkebunan yang berbunyi:
“Setiap orang secara tidak sah
dilarang: a. mengerjakan,
menggunakan, menduduki,
dan/atau menguasai lahan
perkebunan; b. mengerjakan,
menggunakan, menduduki,
dan/atau menguasai tanah
masyarakat atau tanah hak ulayat
masyarakat hukum adat dengan
maksud untuk usaha perkebunan; c.
melakukan penebangan tanaman
dalam kawasan perkebunan; atau
memanen dan/atau memungut
hasil perkebunan.”
Frasa “secara tidak sah” dalam
norma pasal a quo, dinyatakan MK
bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai “tidak
termasuk anggota kesatuan
masyarakat hukum adat yang telah
memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam
Putusan MK Nomor 31/PUU-
V/2007.
Keempat, perlunya memahami
putusan MK No 95/PUU-XII/2014
tentang pengujian UU P3H dan UU
No.41/1999. Amar putusan MK
menyatakan bahwa pasal 50 ayat
(3) huruf e UU No. 41/1999
bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai bahwa
ketentuan dimaksud dikecualikan
terhadap masyarakat yang hidup
secara turun temurun di dalam
hutan dan tidak ditujukan untuk
kepentingan komersial.
MK juga menyatakan bahwa Pasal
50 ayat 3 huruf e juga tidak
mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai
bahwa ketentuan dimaksud
dikecualikan terhadap masyarakat
yang hidup secara turun temurun di
68
dalam hutan dan tidak ditujukan
untuk kepentingan komersial.
Pasal 50 ayat 3 huruf e. menebang
pohon atau memanen atau
memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin
dari pejabat yang berwenang,
dikecualikan terhadap masyarakat
yang hidup secara turun temurun di
dalam hutan dan tidak ditujukan
untuk kepentingan komersial.
Pasal 50 ayat 3 huruf I
bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai bahwa
ketentuan dimaksud dikecualikan
terhadap masyarakat yang hidup
secara turun temurun di dalam
hutan dan tidak ditujukan untuk
kepentingan komersial;
Pasal 50 ayat 3 huruf i tidak
mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai
bahwa ketentuan dimaksud
dikecualikan terhadap masyarakat
yang hidup secara turun-temurun di
dalam hutan dan tidak ditujukan
untuk kepentingan komersial.
Pasal 50 ayat 3 huruf i berbunyi:
“Setiap orang dilarang: ….i.
menggembalakan ternak di dalam
kawasan hutan yang tidak ditunjuk
secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang
berwenang”, dikecualikan terhadap
masyarakat yang hidup secara
turun temurun di dalam hutan dan
tidak ditujukan untuk kepentingan
komersial.”
Peluang Intervensi di Tataran
Kebijakan
Pertama, akar konflik lahan antara
masyarakat adat dengan
perusahaan-perusahaan
perkebunan, tambang, hutan, dan
negara adalah diberikannya
konsesi-konsesi industri-industri
ekstraktif tersebut. Sementara itu
pemerintah daerah juga memiliki
kewenangan sangat besar dengan
memberikan izin-izin lokasi kepada
perusahaan-perusahaan ekstraktif
tersebut. Penulis memandang
bahwa hal ini adalah pangkal atau
akar konflik yang utama. Maka
untuk menghentikannya harus
dimulai dari menghentikan
pemberian-pemberian izin tersebut.
Selanjutnya, pemerintah harus
melakukan review dan pencabutan
atau pembatalan-pembatalan izin
69
atau hak atas lahan yang terkait
konflik dengan masyarakat adat.
Kedua, beberapa rancangan
Undang-undang perlu diintervensi
oleh masyarakat adat dan
kelompok masyarakat sipil seperti:
RUU Masyarakat Adat, RUU
Kehutanan, dan RUU Pertanahan.
Ketiga, mendorong lebih banyaknya
pengakuan-pengakuan hukum
mengenai hak atas wilayah adat
dan sumber daya alam dalam
bentuk peraturan-peraturan di
tingkat lokal.
Keempat, perlu mendorong
Presiden untuk menyelesaikan
konflik agraria
Kelima, mendorong Presiden untuk
memberikan grasi, amnesti, abolisi,
dan rehabilitasi kepada masyarakat
adat yang sedang menjalani proses
persidangan maupun yang sudah
dipidana. Selain itu, mendorong
penghentian kasus-kasus pidana
yang sedang ditangani kepolisian
dan membebaskan masyarakat adat
dari sangkaan pidana.
Rekomendasi
Masyarakat dan para
pendampingnya perlu melakukan
uji materi kembali untuk dua
Undang-undang yaitu UU No.
41/1999 tentang Kehutanan dan UU
No. 18/2013 tentang Pencegahan
Pemberantasan dan Perusakan
Hutan. Selain itu, harus
diperluasnya bantuan hukum untuk
masyarakat adat dan memperluas
keberadaan paralegal atau
pendamping hukum rakyat untuk
masyarakat adat. Kedua, perlu ada
pendidikan atau penyampaian
informasi kepada kepolisian
mengenai Putusan MK No. 35, UU
Kehutanan, dan UU P3H, serta
memberikan pendidikan hak asasi
manusia kepada aparat penegak
hukum.
70
HAMZAL WAHYUDIN, SH DIREKTUR - LBH YOGYAKARTA
Didin, begitulah ia dipanggil. Pria
berperawakan tinggi, kekar, dan bermata tajam ini adalah Direktur LBH Yogyakarta. “Saya mulai mengenal LBH Yogya ketika menjabat Gubernur BEM FH Universitas Ahmad Dahlan Yogya. Saya perhatikan, LBH kerap melibatkan mahasiswa dalam diskusi-diskusi menyikapi isu nasional ataupun mengkritisi kebijakan pemerintah. Dari situlah saya sering terlibat aksi bersama LBH”, tuturnya. LBH pun menjadi rumah bersama untuk berkonsolidasi. Didin mengamati, LBH adalah salah satu organisasi yang cukup konsisten gerakan dan keberpihakan pada masyarakat marjinal. Maka, ketika LBH mengadakan Kalabahu (Karya Latihan Bantuan Hukum), Didin pun mendaftar. Metode in class (proses membangun perspektif dan strategi keberpihakan) dan out class
(mewajibkan peserta turun ke lapangan di kantong-kantong organisasi rakyat) membuatnya tambah jatuh hati pada LBH. Ia pun melamar menjadi volunteer LBH dan diterima! Siapa sangka, Direktur LBH Yogyakarta ini dulunya adalah pekerja di kapal pesiar. Sebelum kuliah di Fakultas Hukum, Didin
PROFIL PBH
71
sempat mengikuti kuliah pariwisata dengan orientasi kerja di kapal pesiar. Setelah belajar satu tahun lebih di bangku kuliah pariwisata, Didin mengikuti tes bekerja di kapal pesiar khusus wilayah Asia (Malaysia, Hongkong, Thailand, Cina) dan ia diterima kerja sebagai pekerja yang khusus di bagian Gudang. Selama bekerja di sana, ia mendapati upah buruh kapal pesiar dari Indonesia lebih rendah dibandingkan buruh Asia lainnya. Didin bekerja di kapal selama dua tahun dan lalu berkuliah dari uang hasil kerjanya.
Mengabdi di LBH ternyata sesuai dengan cita-citanya. Sejak mahasiswa, Didin ingin menjadi pengacara publik yang berorientasi memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin dan marjinal. Dalam bekerja, yang dipikirkannya hanyalah berkontribusi dan berkeyakinan untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Maka, ia tak begitu mempedulikan soal pendapatan. Menurutnya. menjadi Pengabdi Bantuan Hukum adalah bagian dari tanggung jawab moral dirinya. Ada banyak tanggung jawab dalam diri Pengabdi Bantuan Hukum yang mesti dilakukan: tanggung jawab
PBH sebagai aktivis untuk mengawal proses demokrasi, sosial, dan ekonomi, dan tanggung jawab melakukan perubahan hukum melalui terobosan kebijakan. Demikian pula tanggung jawab memberikan pelayanan bantuan hukum cuma-cuma terhadap masyarakat miskin dan marginal yang mengalami ketidakadilan. Mengenai hal ini, Didin bercerita tentang pengalamannya: ada satu kasus yang menarik selama dia bekerja sebagai PBH yaitu kasus pengguran masyarakat pesisir pantai Parangkusumo, Kretek, Bantul DIY.
Pada 14 Desember 2016, terjadi tragedi kemanusiaan pada warga pesisir pantai Parangkusumo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul. Mereka jadi korban penggusuran paksa yang dilakukan Bupati Bantul yang katanya hanya menjalankan perintah dari Gubernur DIY. Kurang lebih 33 KK kehilangan ruang hidupnya. Adapun sumber penghidupan warga selama bermukim di pesisir pantai yaitu ada yang berjualan dengan membuka warung kecil-kecilan, penjaga parkir, peternak, dan nelayan. Tanah yang dikuasai, dikelola, dan dimanfaatkan
72
masyarakat terdiri atas rumah tinggal, pemilik kandang, dan penggarap dari lahan permukiman serta wisata Pantai Cemoro Sewu yang berada di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DIY.
Selama ini penentuan kawasan sebagai dasar penetapan kawasan Parangkusumo sebagai kawasan lindung didasarkan pada “Laporan Kajian Restorasi Kawasan Kagungan Dalem Gumuk Pasir” tertanggal 4 September 2015. Laporan ini adalah tindak lanjut hasil pertemuan Gubernur DIY dengan Kepala BIG dan Dekan Geografi UGM pada tanggal 12 Agustus 2015 yang menugaskan Fakultas Geografi UGM menyusun Kajian tentang tentang Restorasi Kawasan Kagungan dalem Gumuk Pasir Parangtritis. Dalam surat tersebut, wilayah itu diklasifikasikan menjadi 3 zona: Zona Inti Gumuk Pasir dengan luas 141,15 ha Zona Terbatas Gumuk Pasir (ZTGP) dengan luas 95,30 ha, dan Zona Penunjang Gumuk Pasir (ZPGP) dengan luas 176,60 ha.
Tetapi, Gubernur mengeluarkan surat tertanggal 12 April 2016, tentang penanganan gumuk pasir di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul. Surat tersebut
ditujukan kepada Bupati Bantul. Dalam surat itu, pemerintah DIY meminta Bupati menjaga kelestarian gumuk pasir di Kawasan Kretek Kabupaten Bantul yang merupakan warisan geologi dan kawasan habitat alami. Berdasar peraturan tersebut, Pemerintah Bantul diharapkan menertibkan wilayah Gumuk Pasir Parangkusumo. Sedangkan K.H.P. Wahonosartokriyo Kraton Ngayogyakarta atau Panitikismo Kraton Ngayogyakarta juga mengeluarkan surat tertanggal 27 Juli 2016 yang ditujukan ke Bupati Bantul perihal Penertiban Zona Gumuk Pasir di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul.
Dalam kasus ini, masyarakat berhadapan dengan negara yang memaksakan kehendak menggusur masyarakat miskin yang sudah hidup di pesisir Pantai Parangkusumo selama lebih dari 10 tahun. Sehingga selain berhadapan dengan Pemerintah DIY, masyarakat juga berhadapan dengan pihak Kraton DIY. Pihak Kraton mengklaim bahwa tanah tersebut adalah Sultan Ground. Maka, terjadilah perampasan lahan-lahan yang ditempati warga
73
masyarakat pesisir yang diklaim sebagai tanah milik Kraton DIY.
Didin menemukan pelanggaran hukum dan HAM oleh negara dalam kasus ini. Negara berdalih kebijakan, program, dan hukum yang menjadi legitimasi untuk menggusur, merampas, dan mengkriminalisasi rakyatnya yang sedang mempertahankan ruang hidup dan sumber penghidupannya. Melalui bantuan hukum struktural, LBH mengarahkan pola kerja advokasi hukum dan advokasi politik untuk mengontrol, mengkritisi, dan mengubah struktur atau sistem yang menciptakan ketidakadilan, ketimpangan, dan kemiskinan menjadi struktur yang adil. Bantuan hukum struktural memadukan gerakan bersama dalam segala tahapan advokasi baik advokasi hukum maupun advokasi non hukum/politik untuk meminta pertanggungjawaban negara atas tindakan sewenang-wenangnya kepada masyarakat. LBH juga
melakukan pendidikan hukum kritis untuk membangun organisasi rakyat agar memiliki kemampuan untuk memperjuangkan hak-haknya, membangun kekuatan politik jaringan, mahasiswa dan kampus untuk terlibat dalam gerakan bersama dalam menyelesaikan persoalan yang ada. LBH juga membangun opini publik melalui kampanye publik di berbagai media yang bertujuan mendapatkan kepedulian dan solidaritas dari masyarakat umum.
“Advokasi tersebut memerlukan tenaga, pikiran, dan tekad yang sungguh-sungguh dari seorang PBH. Selain itu, PBH juga harus siap menghadapi ancaman dan intimidasi,” tutur Didin. “Maka, bukan PBH namanya jika tidak serius, fokus, dan tak mampu mengorbankan waktu dan kehidupan pribadinya, “ tutupnya.
74
Aziz, Munawir, 2012. Identitas Kaum Samin Pasca Kolonial. Pergulatan Negara, Agama, Dan Adat Dalam Pro-Kontra Pembangunan Pabrik Semen Di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, Jurnal Kawistara, Volume 2 no. 3, 22 Desember 2012.
Benda, Harri J., dan Castles, Lance dalam King, V.T., 1973. Some Observations on
the Samin Movement of the North-Central Java. BKI. Deel 129, 4e avlevering, ‘s-
Gravenhage, Martinus Nijhoff.
Idhom, Addi Mawahibun. 2009, Resistensi Komunitas Sedulur Sikep Terhadap Rencana Pembangunan Tambang Semen Di Pegunungan Kendeng, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Skripsi Pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
RPA. Soerjanto Sastroatmodjo, 2003. Masyarakat Samin: Siapakah Mereka? Yogyakarta: Narasi.
Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang BerkelanjutanKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Tahap I (Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih & Sekitarnya, Kabupaten Rembang).
Widodo, Amrih, 1997. “Samin In The New Order: The Politic of Encounter and Isolation”, dalam Jim Schiller dan Barbara Martin Schiller (eds.), Imagining Indonesia, Cultural Politics and Political Culture. Ohio University Press,
Widodo, Amrih, 2000. “Untuk Hidup Tradisi Harus Mati”, dalam Majalah Basis, edisi September-Oktober tahun 2000. Yogyakarta: Yayasan B.P Basis.
Arizona, 2016. Masyarakat Adat dan Pembaruan Hukum. Presentasi diunduh dari
https://prezi.com/m/i02fgkxjawgd/masyarakat-adat-dan-pembaruan-hukum-
daerah/ Diakses 13 Maret 2017.
Binadesa, 2014. Mahkamah Konstitusi Mengabulkan Sebagian Gugatan Atas UU
Perkebunan. Diunduh dari: [http://binadesa.org/putusan-mahkamah-konstitusi-
mengabulkan-sebagian-gugatan-takp/]. Diakses 13 Maret 2017.
DAFTAR
PUSTAKA
75
Herwati, 2015. Pemberian Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi untuk Para Pejuang
Agraria Demi Keadilan. Policy Paper Sayogjo Institute No. 1 tahun 2015. Diunduh
dari <http://sajogyo-institute.org/wp-content/uploads/2016/05/Pemberian-
amnesti-abolisi-dan-rehabilitasi-untuk-para-pejuang-agraria-demi-keadilan.pdf>.
Diakses [13 MAret 2017].
KOMNAS HAM, 2016. Inkuiri Nasional KOMNAS HAM: Hak Masyarakat Hukum Adat
Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Jakarta: KOMNAS HAM.
Rachman, dkk, 2012. Kajian Kritis Atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomo5 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kertas kerja Epistema Nomor 1/2012. Jakarta:
Epistema.
Nagara, G., 2014. Pokok-pokok Gugatan Masyarakat Sipil Terhadap UU P3H.
Putusan Nomor 95/MK/PUU-XII/2014.
Saleh, M.R., 2007. Masyarakat Adat dan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Yogyakarta: Pusham UII.