Penanganan DAS Bengawan Solo Di Masa Datang

download Penanganan DAS Bengawan Solo Di Masa Datang

If you can't read please download the document

Transcript of Penanganan DAS Bengawan Solo Di Masa Datang

Penanganan DAS Bengawan Solo di Masa DatangIr. Iman Sudradjat MPM (Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional ) Sumber: http://bulletin.penataanruang.net/ DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi perkotaan dan perdesaan yang ada di sekitarnya, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun kebutuhan ekonomi. Pentingnya peranan DAS dinyatakan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang menetapkan DAS Bengawan Solo sebagai salah satu prioritas utama dalam penataan ruang sehubungan dengan fungsi hidrologi untuk mendukung pengembangan wilayah. Selain itu, DAS Bengawan Solo juga merupakan satu sistem ekologi besar yang dalam perkembangannya saat ini mengalami banyak kerusakan dan mengarah pada kondisi degradasi lingkungan. Ada dua indikator degradasi, pertama, konversi lahan hutan di daerah hulu ke penggunaan pertanian, perkebunan, dan permukiman yang menyebabkan terjadinya peningkatan laju erosi dan peningkatan laju sedimentasi. Kedua, terjadinya fluktuasi debit sungai yang mencolok di musim hujan dan kemarau. Berdasarkan pertimbangan ekologis dan sosial ekonomi, DAS Bengawan Solo merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan tidak mengenal batas wilayah administrasi. Potensi dan persoalan yang ada ini tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja tetapi perlu disikapi bersama-sama secara bijak. Selain pertimbangan ekologis, sosial ekonomi, maupun sejarah, juga karena keberadaan sumber daya alam DAS Bengawan Solo sebagai sumber daya alam bersama (common pool resources) yang menuntut adanya kepemilikan bersama (collective ownership). Sebagai sumberdaya alam milik bersama, maka sumber daya alam yang terdapat di DAS Bengawan Solo membutuhkan penanganan secara bersama di antara semua pemangku kepentingan atau yang dikenal dengan collective management yang mengarah pada suatu bentuk collaborative management. Hal ini juga menjadi penting karena hingga saat ini belum tercipta kerjasama penataan ruang di antara semua pemerintah daerah di dalam kawasan DAS yang bertujuan untuk penyelamatan DAS. PENINGKATAN PENATAAN KAWASAN DAS Posisi yang SOLO BENGAWAN penting dan keunikan karakteristik dari DAS Bengawan Solo ini perlu diwadahi dan diantisipasi dalam suatu arahan penataan ruang yang menyeluruh dan jelas. Rencana tata ruang DAS Bengawan Solo yang menjadi panduan bagi semua RTRW provinsi, kabupaten maupun kota yang berada di Kawasan DAS Bengawan Solo sebagai dasar kegiatan pengembangan wilayah di provinsi, kabupaten maupun kota tersebut, sampai saat ini belum tersusun. Padahal, rencana tata ruang ini nantinya diharapkan dapat menjadi dasar pemanfaatan dan pengendalian lahan sehingga secara langsung dapat mengurangi kontribusi debit puncak dan volume banjir yang terjadi dan sekaligus menjadi pengikat dalam kerjasama penataan DAS. Jelas bahwa RTR DAS Bengawan Solo memiliki peran penting. Untuk itu telah dilakukan penyusunan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang serta pengelolaan wilayah sungai yang terakomodasi antar sektor

dan antar wilayah sehingga dapat tercapai pola pemanfaatan ruang yang mendukung kelestarian dan keserasian pemanfaatan wilayah Sungai Bengawan Solo. Selanjutnya kebijakan dan strategi tersebut akan menjadi dasar dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta mampu meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat setempat. Dari beberapa pertemuan telah dilakukan kesepakatan untuk ditindak lanjuti yaitu: Guna Lahan Optimal (GLO), yang diharapkan menjadi dasar pemanfaatan ruang DAS dan menjadi basis untuk penyusunan rencana tata ruang DAS Bengawan Solo. Adapun GLO ini sudah mempertimbangkan aspek kontribusi debit puncak dan volume banjir berdasarkan pemanfaatan penggunaan lahan; Arahan kebijakan, strategi, dan arahan program, yang dapat menjadi panduan untuk menata DAS Bengawan Solo dengan memperhatikan aspek bencana banjir, longsor, dan pengembangan wilayah kawasan; Mekanisme kelembagaan dan arahan pengendalian untuk mendukung tercapainya penyesuaian RTRW masing-masing pemerintah daerah dengan Guna Lahan Optimal, terciptanya rencana tata ruang DAS Bengawan Solo, tercapainya sinkronisasi semua RTRW dengan rencana tata ruang DAS, dan tercapainya penataan DAS dengan memperhatikan aspek sosial-ekonomi kawasan. Optimalisasi Penggunaan Lahan di Kawasan DAS Bengawan Solo Guna Lahan Optimal adalah guna lahan yang memberikan kondisi: debit puncak banjir berkurang, run off menurun, volume banjir berkurang, kegiatan ekonomi tetap berkembang, kondisi sosial dan budaya masyarakat tidak terganggu Penggunaan Lahan optimal DAS Bengawan Solo Optimalisasi penggunaan lahan di Kawasan DAS Bengawan Solo merupakan hasil simulasi guna lahan dengan menggunakan pemodelan hidrologi dan geologi lingkungan. Beberapa kondisi di DAS Bengawan Solo berdasarkan pemodelan tersebut adalah sebagai berikut: Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan, ladang, sawah, dan permukiman yang terjadi di DAS Bengawan Solo menimbulkan puncak dan volume banjir yang semakin besar; Besarnya banjir dari anak-anak sungai tergantung juga dari jenis tanah selain dari perubahan fungsi lahan dan karakteristik hidrologi seperti kemiringan dan panjang sungai; Daerah yang rentan terhadap pertambahan banjir adalah sub-sub DAS yang mengandung jenis tanah berkemampuan meresapkan air ke dalam tanah cukup tinggi (daerah resapan); Sub-sub DAS dengan alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan, ladang, sawah, dan permukiman terjadi pada sebagian besar kawasan sehingga menimbulkan pertambahan puncak dan volume banjir lebih dari 100%; Sub-sub DAS dengan dominasi jenis tanah kurang mampu meresapkan air (kemampuan melewatkan air di permukaan tanah cukup tinggi) biasanya rentan terhadap perubahan fungsi lahan seperti diketemukan pada bagian hulu sub-DAS Kali Madiun dan sebagian besar sub DAS Bengawan Solo Hilir; Perubahan guna lahan mempengaruhi tinggi rendahnya debit puncak dan volume banjir. Komposisi guna lahan seperti sekarang menimbulkan puncak dan volume banjir makin besar

dibandingkan dengan guna lahan sebelumnya di tahun 1964 untuk sub DAS Bengawan Solo Hilir; Pengembalian fungsi konservasi hutan pada beberapa kawasan akan memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap pengurangan debit puncak dan volume banjir apabila dikombinasikan dengan penerapan Low Impact Development (LID); Kondisi di atas juga dipicu oleh kondisi alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan kemampuan lahan yang ada. Berdasarkan pada hasil analisis geologi lingkungan terkait kemampuan lahan tersebut, terdapat beberapa kondisi penggunaan lahan di DAS Bengawan Solo sebagai berikut: Terdapat penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahannya; Terdapat penggunaan lahan pada kawasan rawan dengan kemampuan lahan sedang, seperti di sekitar puncak Gunung Lawu, Gunung Merapi dan Gunung Jeding-Patujbanteng, Cawas, Wonogiri-Eromoko, Giriwoyo, Tirtomoyo, Slogohimo, Badegan, Wonokerto, Jetis, Sarangan, Kendal, Ngrampe, PulungWungu, Caruban, Talangkembar, dan Ngadirejo-Juwok; Terdapat kawasan yang tidak boleh dikembangkan karena kemampuan lahan yang rendah, seperti di sekitar daerah Cawas, Wonogiri-Eromoko, Tirtomoyo, Slogohimo, Badegan, Wonokerto, Sarangan, Kendal, Ngrampe, dan Pulung- Wungu; dan Terdapat beberapa kawasan yang harus dihutankan kembali atau dikembalikan fungsinya sebagai kawasan konservasi, seperti yang terjadi di Boyolali, Klaten, Wonogiri, Gresik, Madiun, Magetan, Ponorogo, dan Tuban. Terumuskannya Implikasi Perubahan Iklim dan Perubahan Guna Lahan terhadap Puncak dan Volume Banjir di Kawasan DAS Bengawan Solo Beberapa kondisi di Kawasan DAS Bengawan Solo berdasarkan pemodelan perubahan iklim tersebut yaitu: Hujan di kawasan DAS Bengawan Solo mengakibatkan banjir cenderung bertambah besar; Hujan tahunan yang cenderung berkurang disertai dengan alih fungsi lahan mengakibatkan aliran air di musim kemarau berkurang sehingga intensitas kekeringan bertambah besar; Untuk 30 tahun mendatang, perubahan iklim akan mengakibatkan banjir bertambah 50% dan perubahan guna lahan akan mengakibatkan banjir bertambah 53%; Jika proses perubahan iklim terjadi saat perubahan guna lahan, maka puncak dan volume banjir akan bertambah sebesar 135%. Terumuskannya Pengembangan Ekonomi Alternatif dan Ramah Lingkungan untuk Pengembangan Wilayah Adanya alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya merupakan akibat dari tekanan kebutuhan lahan yang pada akhirnya menyebabkan adanya degradasi lingkungan. Berdasarkan hasil analisis ekonomi untuk Kawasan DAS Bengawan Solo, faktor lahan merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa temuan studi sebagai berikut: Peningkatan luasan lahan budidaya di Kawasan DAS Bengawan Solo akan meningkatkan PDRB DAS Bengawan Solo, dan sebaliknya pengurangan luasan

lahan budidaya akan dapat mengurangi PDRB DAS Bengawan Solo; Setiap pertambahan luasan lahan budidaya di DAS Bengawan Solo sebesar 1% akan meningkatkan PDRB DAS sebesar 0,144% dan sebaliknya; Peningkatan luasan lahan budidaya akan meningkatkan PDRB sub-DAS Bengawan Solo Hulu dan sebaliknya pengurangan luasan lahan budidaya akan mengurangi PDRB; Setiap pertambahan luasan lahan budidaya di sub DAS Bengawan Solo Hulu sebesar 1% akan meningkatkan PDRB sebesar 0,168% dan sebaliknya; Terdapat beberapa sektor yang memiliki kecenderungan dominan unggul, dominan menurun, dan potensial berkembang yang berbeda-beda di setiap kabupaten/kota; Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor yang dominan unggul di hampir setiap kabupaten/kota di DAS Bengawan Solo, dimana kontribusi sektor terhadap PDRB kabupaten/kota besar dan memiliki pertumbuhan yang positif; Sektor pertanian merupakan sektor yang dominan di hampir semua kabupaten/kota di DAS Bengawan Solo, namun dengan pertumbuhan yang cenderung negatif/ menurun; dan Sektor-sektor tersier (non-ekstraktif ) merupakan sektor potensial berkembang dengan pertumbuhan yang tinggi namun kontribusinya kecil di hampir setiap kabupaten/ kota di DAS Bengawan Solo DAS Bengawan Solo merupakan bagian dari Wilayah Sungai Bengawan Solo, yang berdasarkan RTRWN ditetapkan masuk ke dalam kategori Wilayah Sungai LINTAS PROVINSI. Namun pada perkembangannya, berdasarkan persyaratan yang ada, DAS Bengawan Solo sudah memenuhi kriteria sebagai kawasan strategis nasional. Hal ini berimplikasi pada mekanisme penyelenggaraan penataan ruang untuk DAS Bengawan Solo. Oleh karena itu, kedudukan dan status rencana tata ruang DAS Bengawan Solo adalah sebagai berikut: Perlu ada rencana tata ruang DAS Bengawan Solo yang berfungsi untuk mengikat seluruh pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah agar kegiatan peningkatan penataan Kawasan DAS Bengawan Solo berdasarkan optimalisasi penggunaan lahan dapat dilaksanakan; Perlu ada kejelasan mengenai kedudukan rencana tata ruang DAS Bengawan Solo terhadap dokumen perencanaan lainnya; Dibutuhkan dasar hukum yang kuat bagi rencana tata ruang DAS Bengawan Solo agar dapat menjadi acuan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di daerah. Kedudukan Rencana Tata Ruang DAS Bengawan Solo terhadap Perencanaan Dokumen Lain Faktor lahan merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan konomi masyarakat. Hasil kajian Peningkatan Penataan Kawasan DAS Bengawan Solo menunjukkan adanya beberapa kebutuhan untuk penanganan lebih lanjut dari sisi penataan ruang, yang meliputi: Penanganan yang sifatnya lintas sektor dan seluruh pemangku kepentingan terkait, Perlunya pengaturan penataan ruang dan pengarahan pemanfaatan ruang yang mempertimbangkan optimalisasi pengembalian fungsi hidrologi sungai dan pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat; dan Perlunya penanganan bersama untuk pengelolaan DAS dalam suatu mekanisme kelembagaan

kolaboratif (collaborative management). PERAN DAN KEDUDUKAN HASIL GUNA LAHAN OPTIMAL (GLO) Dengan penerapan GLO, maka debit puncak dan volume banjir dapat dikurangi, dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitarnya dapat terus meningkat. Dalam rangkaian studi Peningkatan Penataan Kawasan DAS Bengawan Solo, GLO merupakan salah satu keluaran yang dihasilkan yang diharapkan dapat diwujudkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah baik provinsi, kota, maupun kabupaten. Di samping adanya beberapa manfaat yang dapat diperoleh, penerapan GLO di tengah banyaknya kebijakan dan strategi penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo yang dihasilkan oleh para pemangku kepentingan yang terkait tetap berpotensi untuk menimbulkan beberapa persoalan sebagai implikasinya, antara lain: Kemungkinan alokasi ruang dalam GLO berbeda dengan alokasi pola ruang dalam RTRW, sehingga; Kemungkinan kebijakan, strategi, dan arahan program untuk perwujudan GLO berbeda dengan kebijakan dan strategi dalam RTRW. PERAN DAN KEDUDUKAN USULAN KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN ARAHAN PROGRAM Kebijakan, strategi, dan arahan program peningkatan penataan kawasan DAS Bengawan Solo ini, dalam kaitannya dengan kebijakan dan strategi penataan DAS Bengawan Solo lainnya yang telah ada, dapat menjadi masukan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) DAS Bengawan Solo dan penyempurnaan Pola Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo dari sisi pengembangan wilayah. Selain itu kebijakan, strategi, dan arahan program yang dihasilkan ini akan menjadi pelengkap bagi Rencana Induk Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air Satuan Wilayah Sungai Bengawan Solo atau yang lebih dikenal sebagai CDMP yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum. Masukan dari sisi Pengembangan Wilayah Kedudukan Kebijakan, Strategi, dan Arahan Program yang Dihasilkan dari Studi Peningkatan Penataan DAS Bengawan Solo dalam Kerangka Penanganan DAS Bengawan Solo Kebijakan, strategi, dan arahan program yang dihasilkan dipahami sebagai kebijakan untuk peningkatan DAS Bengawan Solo dengan melakukan intervensi terhadap penggunaan lahan yang ada beserta aktivitas yang ada di atasnya. Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan penataan kawasan DAS Bengawan Solo, kebijakan, strategi, dan arahan program yang dihasilkan ini merupakan suatu bentuk upaya perwujudan dan pengantisipasian implikasi kebutuhan peningkatan dan penataan DAS Bengawan Solo. Dalam hal ini, kebijakan, strategi, dan arahan program yang dihasilkan dipahami sebagai kebijakan untuk peningkatan DAS Bengawan Solo dengan melakukan intervensi terhadap penggunaan lahan yang ada beserta aktivitas yang ada di atasnya, serta sistem yang mempengaruhinya. Kebijakan peningkatan DAS Bengawan Solo dalam konteks ini didudukan sebagai suatu penguatan dan tindak lanjut dari kebutuhan untuk mewujudkan penataan lahan yang optimal (GLO) yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan DAS Bengawan Solo itu sendiri. Maka kebijakan, strategi, dan

arahan peningkatan penataan DAS Bengawan Solo secara garis besar terbagi dalam 6 (enam) arahan kebijakan besar, yaitu: PENINGKATAN KUALITAS RTRW PROV/KAB/KOTA PENGEMBANGAN SISTEM KELEMBAGAAN BERSAMA PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH PENDEKATAN SOSIAL DAN EKOSISTEM DALAM PENANGANAN DAS OPTIMALISASI PENGGUNAAN LAHAN PENERAPAN LID (LOW IMPACT DEVELOPMENT) topik utama Secara garis besar, keterkaitan keenam kebijakan tersebut dalam perwujudan penataan lahan yang optimal dapat dilihat pada Gambar berikut. Keenam arahan kebijakan tersebut, pada dasarnya saling terkait satu sama lain dan dapat dirangkum dalam 4 (empat) kelompok kebijakan, yaitu: PENATAAN RUANG, yang meliputi peningkatan kualitas dari RTRW di provinsi/kota/kabupaten yang berada di dalam lingkup DAS Bengawan Solo beserta peningkatan kualitas RTR DAS Bengawan Solo; PENATAAN KAWASAN BUDIDAYA, yang meliputi pengendalian pemanfaatan pada kawasan budidaya eksisting dengan memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat, fisik lingkungan, penerapan LID, dan pengembangan ekonomi wilayah; FUNGSI LINDUNG KAWASAN, yang meliputi pengembalian fungsi lindung kawasan resapan dengan juga memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat, fisik lingkungan, penerapan LID, dan pengembangan ekonomi wilayah; serta KELEMBAGAAN, yang mengarah pada perwujudan suatu lembaga kolaborasi yang didalamnya mencakup semua pemangku kepentingan. Memperhatikan karakterisik DAS Bengawan Solo sebagai Common Pool Resources (CPR) yang melibatkan banyak pemangku kepentingan yang terkait, maka perumusan kelembagaan yang baik menjadi salah satu syarat mutlak dalam upaya penanganan dan pengelolaannya. Aspek kelembagaan ini diharapkan dapat: mengawal pelaksanaan kebijakan, strategi, dan arahan program. mengawal terlaksananya penyesuaian RTRW kabupaten, kota, dan provinsi dengan hasil guna lahan optimal; menguatkan hasil studi GLO ini untuk menjadi basis usulan Rencana Tata Ruang DAS Bengawan Solo; dan mengawal terlaksananya sinkronisasi RTRW antar kabupaten- kota-dan-provinsi. Aspek kelembagaan diharapkan tidak hanya fokus pada pengelolaan sumber daya air, melainkan juga pada aspek dll Pemerintah Provinsi Pemerintah Pusat BBWS Penerima Manfaat Penerima Persoalan penataan ruang dan pengembangan wilayah. Implementasi dari aspek kelembagaan ini sendiri tidak harus berupa lembaga baru, melainkan dapat memanfaatkan lembaga koordinasi yang sudah ada. Kelembagaan yang diperlukan adalah kelembagaan bersama yang bersifat lintas sektor dengan pembagian peran dan fungsi yang jelas, yang disepakati secara bersama oleh stakeholders

(kabupaten/kota) terkait untuk menangani DAS. Kelembagaan ini akan dikoordinasi oleh suatu sekretariat lembaga kolaborasi yang bertugas untuk membentuk aturan dan tata cara pengelolaan dan penanganan bersama DAS Bengawan Solo, serta mengkoordinasikan semua pemangku kepentingan yang terkait dalam upaya pengelolaan dan penanganan bersama DAS Bengawan Solo tersebut. Secara diagramatis konsepsi mekanisme kelembagaan bersama dapat dilihat pada Gambar berikut. dan Limbah oleh oleh PDAM Hutan oleh Dinas dinas Lingkungan Kehutanan Hidup Terdapat beberapa alternatif bentuk kelembagaan yang mungkin dikembangkan untuk penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo. FORUM Bentuk Lembaga Kolaboratif Berdasarkan hasil analisis dan diskusi teridentifikasi berbagai bentuk kelembagaan untuk penataan DAS Bengawan Solo secara kolaboratif, baik dalam bentuk lembaga baru maupun mengembangkan lembaga yang sudah ada. Adapun saat ini sudah cukup banyak organisasi pengelolaan DAS (River Basin Organization RBO) yang menangani Bengawan Solo, seperti PJT, BBWS, Forum DAS, dan sebagainya. Terkait dengan hal ini terdapat beberapa alternatif bentuk kelembagaan yang mungkin dikembangkan untuk penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel berikut. BMengacu pada tabel tersebut, terdapat dua kemungkinan untuk pengembangan lembaga kolaborasi penataan DAS Bengawan Solo, yaitu mengoptimalkan lembaga yang telah ada dan membentuk lembaga baru, yang masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. TINDAK LANJUT PENANGANAN DAS BENGAWAN SOLO Adapun untuk proses implementasi tersebut diperlukan beberapa kesepakatan awal oleh semua pemangku kepentingan terkait. Setidaknya terdapat 4 (empat) hal yang disepakati, yaitu: kesepakatan mengenai usulan kebijakan, strategi, darahan program dalam penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo; kesepakatan mengenai penanganan DAS Bengawan Solo secara kolaboratif; kesepakatan mengenai mekanisme pengendalian penanganan DAS Bengawan Solo; kesepakatan mengenai mekanisme kelembagaan untuk menjamin tercapainya penyesuaian dan sinkronisasi RTRW dengan GLO, dan pada akhirnya dengan RTR DAS, serta antar RTRW kabupaten-kota-provinsi lain di dalam kawasan DAS. Untuk memperkuat kesempatan tersebut, maka legitimasinya perlu ditandatangani oleh pimpinan daerah sebagai sebuah kesepakatan bersama (kolaborasi) di mana semua pemerintah daerah di dalam DAS Bengawan Solo secara bersama-sama menyepakati untuk berkontribusi dalam penataan ruang DAS. Selain itu, kesepakatan tersebut perlu ditindaklanjuti dalam suatu rencana aksi penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo yang juga dirumuskan dan disepakati bersama oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait.

Suka

BAB I

PENDAHULUAN

1.

A.

Latar Belakang

Dewasa ini dinamika pemanfaatan lahan cenderung mengabaikan dampak menurunnya kualitas lingkungan dan pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya daya dukung lahan. Oleh karena itu pemanfaatan lahan perlu diarahkan menurut fungsinya untuk menghindarkan dampak negatif dari pembangunan yang terus berjalan. Arahan fungsi pemanfaatan lahan merupakan salah satu bagian dari Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah yang biasanya menggunakan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit

perencanaan sekaligus sebagai unit wilayah kerja kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah.

Nugraha, dkk (2006: 2) menyatakan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah Suatu kawasan ekosistem yang dibatasi oleh topografi pemisah air (punggung-punggung bukit) dan berfungsi sebagai penampung, penyimpan dan penyalur air dalam sistem sungai dan keluar melalui satu outlet tunggal.

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan wilayah tata air dan ekosistem yang di dalamnya terjadi interaksi antara unsur-unsur biotik berupa vegetasi penutup lahan dan abiotik terutama berupa tanah dan iklim. Interaksi tersebut dinyatakan dalam bentuk keseimbangan masukan dan luaran berupa hujan dan aliran. Adanya manusia dengan segala aktivitasnya yang memanfaatkan sumber daya dalam ekosistem DAS mengakibatkan terjadinya interaksi antara dua subsistem yaitu subsistem biofisik dan subsistem sosial ekonomi. Menurut Sandy (1996), Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam perspektif keruangan merupakan bagian dari muka bumi, yang airnya mengalir ke dalam sungai yang bersangkutan apabila hujan jatuh. Dalam DAS, terdapat karakteristik yang diperoleh dari air hujan yang jatuh terhadap penggunaan tanah.

Asdak (1995: 11) menyatakan bahwa Daerah aliran sungai dapatlah dianggap sebagai suatu ekosistem. Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem tidak ada satu komponenpun yang berdiri sendiri, melainkan ia mempunyai keterkaitan dengan komponen lain, langsung atau tidak langsung.

Aktifitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan dengan demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan timbal-balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya, bila hubungan timbal-balik antar komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologi.

Nugraha, dkk (2006: 1) mengemukakan bahwa dengan berpedoman pada ekosistemnya, wilayah DAS dapat dibagi menjadi (1) sub sistem DAS bagian hulu (upland watershed), (2) sub sistem DAS bagian tengah (midland watershed), dan (3) sub sistem DAS bagian hilir atau pantai (lowland watershed). Masingmasing sub sistem DAS tersebut di atas mempunyai karakteristik (ciri khas) dan sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) sendiri-sendiri, sehingga akan mempunyai daya dukung dan daya tampung lingkungan yang berbeda, akibatnya dalam usaha pengelolaan lingkungan harus disesuaikan dengan kondisi tersebut dan diikuti dengan tindakan dan pengambilan kebijakan yang mengikuti ciri khas dan potensi sumberdaya alam yang ada.

DAS sebagai sebuah ekosistem umumnya dibagi ke dalam tiga daerah, yaitu daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir. Ekosistem DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan fungsi tata air terhadap seluruh bagian DAS. Keterkaitan daerah hulu dan hilir adalah melalui keterkaitan biofisik, yaitu melalui siklus hidrologi.

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur utamanya terdiri dari sumberdaya alam vegetasi, tanah dan air serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam. Pemanfaatan sumberdaya alam mencerminkan pola perilaku, keadaan sosial ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan kelembagaan (tatanan institusional).

Terjadinya limpasan air yang besar pada saat musim penghujan menunjukkan bahwa DAS tidak lagi mampu menyerap curah hujan yang ada sehingga air yang diterima sebagian besar langsung dialirkan melalui aliran permukaan ke sungai. Terbatasnya jumlah air yang masuk ke dalam tanah juga berdampak pada sedikitnya jumlah air yang memasok air tanah, sehingga pada musim kemarau debit air sungai menjadi kecil. Disamping itu besarnya limpasan permukaan dapat menimbulkan erosi, yang dicirikan oleh warna air sungai yang keruh. Pada kondisi DAS yang baik, kondisi antara debit sungai di musim penghujan dan kemarau adalah kecil, karena sebagian besar curah hujan dapat diserap ke dalam tanah, sehingga aliran permukaan sangat kecil. Oleh karena itu aliran airnya tampak jernih sebagai indikator bahwa lingkungan di DAS tersebut dalam kondisi baik. Apabila kerusakan sumberdaya alam DAS tersebut dibiarkan terus serta tidak ada upaya penanganan yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terkait, maka bencana alam yang

lebih besar dan berdampak lebih luas terhadap tata kehidupan dan perekonomian masyarakat, akan semakin sulit untuk ditangani.Sebagai satu kesatuan unit pengelolaan, maka DAS harus dapat menampung kepentingan seluruh sektor dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Untuk itu perlu dikembangkan pola tata ruang yang dapat menyerasikan tata guna lahan, air serta sumberdaya lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pola perkembangan kependudukan yang serasi. Tata ruang perlu dikelola secara terpadu melalui

pendekatan wilayah dengan tetap memperhatikan sifat lingkungan alam dan sosial sesuai dengan karakteristik DAS yang mendukungnya. Adapun tataguna lahan dikembangkan dengan memberikan perhatian khusus pada pencegahan penggunaan lahan yang berlebihan terhadap lahan pertanian produktif yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Dalam mengembangkan tata air perhatian khusus perlu diberikan pada faktor penyediaan baik secara kuantitas, kualitas maupun kontinuitas yang meliputi pencegahan banjir dan kekeringan, pencegahan kemerosotan mutu dan kelestarian air serta penyelamatan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebagai kesatuan unit perencanaan, berarti DAS mempunyai peranan yang sangat penting, yakni perencanaan pengelolaan DAS harus dapat menampung dan saling mendukung dan menjadi acuan bagi perencanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

B.

Perumusan Masalah

Terjadinya banjir, penyumbatan sungai dan erosi sungai, sebagian besar disebabkan banyaknya penduduk yang bermukim di daerah aliran sungai, banyaknya limbah rumah tangga yang langsung dibuang ke sungai dan menurunnya daerah tangkapan air hujan. Hal ini menyebabkan air hujan tidak bisa meresap kedalam tanah karena banyaknya rumah penduduk yang menghambat air hujan untuk masuk kedalam tanah dan tersumbatnya aliran sungai karena sampah yang menumpuk. Selain pemukiman penduduk, limbah-limbah industri juga menyumbang kerusakan kondisi sungai, pabrik-pabrik di Indonesia sebagian besar belum mempunyai sistem untuk pengolahan limbah. Limbah industri yang langsung di buang ke sungai menyebabkan pencemaran yang berbahaya, tercemarnya air sungai yang menyebabkan banyak penghuni di dalam sungai tercemar dan menurunya kualitas air sungai. Pemerintah daerah sudah mencoba berbagai cara untuk memindahkan penduduk yang tinggal di bantaran sungai, tetapi mendapat tanggapan buruk dari penduduk. Penduduk bantaran sungai menganggap limbah industri yang menyebabkan kerusakan sungai dan terjadinya banjir. Enam puluh DAS di Indonesia diidentifikasi mengalami degradasi sejak tahun 2000 MS Kaban (2009). Karena berbagai faktor seperti meluasnya lahan kritis, penebangan hutan dan perambahan kawasan lindung. Kondisi DAS tersebut akan semakin parah jika terjadi pembangunan saranaprasarana fasilitas umum, industri dan pemukiman dengan kepadatan yang tinggi di daerah perkotaan hilir. Ini menyebabkan terjadinya penyempitan palung sungai dan diiringi dengan meningkatnya pembuangan limbah ke sungai baik limbah industri maupun limbah rumah tangga serta terjadinya pencemaran lingkungan dan tersumbatnya sistem drainase perkotaan. Jika terjadi demikian, hujan deras secara lokal di

perkotaan saja seringkali menyebabkan banjir walaupun debit sungai dari daerah hulu tidak terjadi peningkatan. Permasalahan yang di kaji dalam penelitian ini adalah :

1.

Bagaimanakah pengelolaan DAS secara terpadu?

C.

Tujuan

1. 1. Untuk memahami dan mendiskripsikan secara rinci dan mendalam mengenai pengelolaan DAS secara terpadu?

D.

Manfaat

1. 1. Hasil makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perencana dan pengelola DAS di kota surakarta khususnya dan pengelola DAS di Indonesia pada umumnya. 2. Memberikan masukan kepada pembuat kebijakan bagi penyusunan strategi permasalahan yang timbul dari suatu DAS, misalkan; banjir longsor dll. 3. Memberikan masukan kepada pembuat kebijakan dalam memperluas pandangan tentang perencanaan pengelolaan DAS secara terpadu, guna tersusunya kegiatan pengelolaan DAS yang lebih tepat dan mengatasi berbagai masalah yang ada di dalam ekosistem DAS.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. 2.

1.

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Pengertian Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). Berdasarkan pengertian dari definisi tersebut maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah,

vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah.

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara organisme dari lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi pertukaran material dan energi. Dalam ekosistem DAS dapat dilihat hubungan antara hujan sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan air sebagai output. Hujan sebagai input dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa diubah atau diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan bisa menekan kerusakan yang terjadi (Priyono dan Cahyono, 2003). Karena DAS secara alamiah juga merupakan satuan hidrologis, maka dampak pengelolaan yang dilakukan di dalam DAS akan terindikasikan dari keluarannya yang berupa tata air.

Daerah aliran sungai (DAS) diartikan sebagai daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama (Asdak, 1995: 4)

DAS juga didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah berupa batas topografi yang berfungsi untuk menanmpung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan untuk kemudian

mengalirkannya ke laut/danau melalui satu sungai utama. (Dephut, 1997: 235).

Selanjutnya DAS (catchmen, basin, watershed) juga diartikan sebagai daerah dimana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan, daerah ini umumnya dibatasi oleh batas topografi yang berarti ditetapkan berdasar aliran permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasar air bawah tanah karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkatan kegiatan pemakaian. (Harto, 1993: 5).

1.

Pembagian Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai terbagi menjadi tiga daerah yaitu bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir.

1)

DAS Bagian Hulu

DAS bagian hulu mempunyai ciri-ciri:

a)

Merupakan daerah konservasi.

b)

Mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi.

c)

Merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%).

d)

Bukan merupakan daerah banjir.

e)

Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase.

f)

Jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.

g)

Laju erosi lebih cepat daripada pengendapan.

h)

Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf V.

2)

DAS Bagian Tengah

DAS bagian tengah merupakan daerah peralihan antara bagian hulu dengan bagian hilir dan mulai terjadi pengendapan. Ekosistem tengah sebagai daerah distributor dan pengatur air. Dicirikan dengan daerah yang relatif datar. Daerah aliran sungai bagian tengah menjadi daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda antara hulu dengan hilir.

3)

DAS Bagian Hilir (Zona Sedimentasi)

DAS bagian hilir dicirikan dengan:

a)

Merupakan daerah pemanfaatan atau pemakai air.

b)

Kerapatan drainase kecil.

c)

Merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%).

d)

Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan).

e)

Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi.

f)

Jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan

bakau/gambut.

g)

Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf U

Ekosistem DAS dapat dibagi menjadi tiga, yaitu bagian hulu, tengah dan hilir yang satu dengan lainnya mempunyai keterkaitan biofisik maupun hidrologis. DAS bagian hulu dicirikan sebagai kawasan konservasi, bagian tengah merupakan kawasan penyangga dan bagian hilir merupakan kawasan pemanfaatan. Dengan tidak mengurangi arti penting DAS bagian tengah dan hilir, DAS bagian hulu mempunyai fungsi lindung bagi keseluruhan bagian DAS, terutama dalam fungsi tata air. Fungsi hidrologis DAS dipengaruhi oleh curah hujan yang diterima, geoogi lahan dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis DAS mencakup : (a) mengalirkan air, (b) menyangga kejadian puncak hujan, (c) melepas air secara bertahap, (d) memelihara kualitas air, dan (d) mengurangi pembuangan massa.

Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu akan berpengaruh sampai pada hilir. Oleh karenanya DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, jadi apabila terjadi pengelolan yang tidak benar terhadap bagian hulu maka dampak yang ditimbulkan akan dirasakan juga pada bagian hilir. Sebagai contoh adalah bila terjadi praktik bercocok tanam yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, maka hal ini akan mengakibatkan terjadinya erosi. Erosi yang terjadi tersebut tidak hanya berdampak bagi daerah dimana erosi tersebut berlangsung yang berupa terjadinya penurunan kualitas lahan, tetapi dampak erosi juga akan dirasakan dibagian hilir, dampak yang dapat dirasakan oleh bagian hilir adalah dalam bentuk penurunan kapasitas tampung waduk ataupun sungai yang dapat menimbulkan resiko banjir sehingga akan menurunkan luas lahan irigasi (Asdak, 1995:12).

1.

Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Beberapa proses alami dalam DAS dapat memberikan dampak menguntungkan kepada sebagian kawasan DAS, tetapi pada saat yang sama dapat merugikan bagian yang lain. Bencana alam banjir dan kekeringan silih berganti yang terjadi di suatu wilayah atau daerah merupakan dampak negatif kegiatan manusia pada suatu DAS, dapat dikatakan bahwa kegiatan manusia telah menyebarkan DAS gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai penampung air hujan, penyimpan, dan pendistribusian air ke saluran-saluran atau sungai. Air permukaan baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa) dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem daerah aliran sungai (DAS). Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.

Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah dan manusia. Apabila salah satu faktor tersebut mengalami perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi juga ekosistem DAS tersebut dan akan

menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi DAS. Apabila fungsi suatu DAS telah terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian itu akan menyebabkan melimpahnya air pada musim penghujan dan sangat minimum pada musim pada musim kemarau, sehingga fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim kemarau berbeda tajam. Hal ini berarti bahwa fungsi DAS tidak bekerja dengan baik, apabila hal ini terjadi berarti bahwa fungsi DAS tersebut adalah rendah (Suripin, 2004:186).

1.

2.

Pengelolaan DAS

Pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai yang pernah diragukan efektivitasnya kini mulai relevan kembali seiring dengan semakin lajunya degradasi sumber daya alam di daerah aliran sungai. Perubahan situasi, kondisi, dan pergeseran paradigma dalam pengelolaan daerah aliran sungai perlu diikuti dengan teknologi pengelolaan daerah aliran sungai yang sesuai.

Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan DAS dipahami sebagai suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang dalam hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Chay Asdak, 1998).

Secara garis besar ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS meliputi :

1.

Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan.

2.

Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan.

3.

Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi).

4.

Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air.

5.

Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS.

Gambar 3. Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir

Sumber: Hidrologi dan Pengelolaan DAS (Chay Asdak, 1998).

endekatan yang digunakan dalam pengelolaan daerah Aliran Sungai ada berbagai macam, antara lain :

1.

Pendekatan Fisik, contoh : pembangunan waduk atau cek dam, terrasering untuk pertanian, reboisasi, penataan ruang untuk tata guna lahan, dll

2.

Pendekatan Sodial Budaya, contoh : pelibatan masyarakat pada pemeliharaan hutan dengan sistem hutan sosial, penyuluhan mengenai program pelestarian lingkungan, pembentukan kelompokkelompok kerja, dll

3.

Pendekatan Regulasi dan kelembagaan pembentukan Peraturan Daerah , Kepres dll yang berkaitan dengan pelestarian DAS beserta sanksi-sanksinya

Pengembangan teknologi pengelolaan DAS untuk sumber daya air ditujukan pada teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air (terutama irigasi) dan konsumsi air. Selain itu perlu didukung dengan pengembangan kelembagaan tradisional seperti Subak di Bali, Karuhan di Tasikmalaya Jawa Barat, atau Pasang di Sulawesi Selatan. Dalam kaitan inilah, maka penggunaan DAS sebagai unit hidrologi dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien dalam pengembangan model dan teknologi pengelolaan sumber daya air dalam DAS.

Kegiatan pengelolaan DAS tersebut di atas mencakup aspek-aspek perencanaan, pengorganisasian, implementasi kegiatan di lapangan, pengendalian dan aspek pendukung yang melibatkan berbagai pihak pemangku kepentingan (stakeholders), baik unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat.

Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.

Persepsi yang banyak dianut dalam pengelolaan DAS dewasa ini adalah bahwa hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang paling tepat dalam memelihara fungsi DAS. Selain itu, merubah kawasan hutan menjadi bentuk-bentuk penggunaan lahan lainnya dianggap akan mengurangi kemampuan DAS

mempertahankan fungsi tersebut. Persepsi ini masih dapat diperdebatkan. Seberapa baik atau buruk sebenarnya bentuk penggunaan lahan non-hutan dalam memelihara fungsi DAS? Dapatkah sistem berbasis kayu menyamai hutan dalam memelihara fungsi DAS? Jawaban atas pertanyaan pertanyaan tersebut sangat penting dan menarik bagi para pembuat kebijakan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan DAS. Selain itu, jawaban tersebut diperlukan dalam upaya pengembangan mekanisme pemberian imbalan bagi masyarakat daerah hulu atas jasa lingkungan yang mereka sediakan.

Mekanisme yang dapat menghubungkan para pemanfaat di daerah hilir dengan pengguna lahan di daerah hulu, misalnya melalui mekanisme imbalan yang tepat, mungkin merupakan strategi kunci yang diperlukan untuk menangani kemiskinan pedesaan di daerah hulu sekaligus sebagai cara yang hemat biaya dalam meningkatkan pembangunan daerah hulu dan melestarikan nilai ekosistem hulu DAS. Konsep inilah yang menjadi pokok gagasan Proyek RUPES (Rewarding the Upland Poor for the Environmental Services they provide).

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya.

Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnyakondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempatrawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement).

Pengelolaan DAS Secara Terpadu adalah suatu proses formulasi danimplementasi kebijakan dan kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan manusia dalam suatu DAS secara utuh dengan mempertimbangkan aspek-aspek fisik, sosial, ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Pentingnya asas keterpaduan dalam pengelolaan DAS erat kaitannya dengan pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan DAS, yaitu pendekatan ekosistem. Ekosistem DAS merupakan sistem yang kompleks karena melibatkan berbagai komponen biogeofisik dan sosial ekonomi dan budaya yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Kompleksitas ekosistem DAS mempersyaratkan suatu pendekatan pengelolaan yang bersifat multisektor, lintas daerah, termasuk kelembagaan dengan kepentingan masing-masing serta mempertimbangkan prinsip prinsip saling ketergantungan. Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS :

1.

Terdapat keterkaitan antara berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pembinaan aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Melibatkan berbagai disiplin ilmu dan mencakup berbagai kegiatan yang tidak selalu saling mendukung.

2.

Meliputi daerah hulu, tengah, dan hilir yang mempunyai keterkaitan biofisik dalam bentuk daur hidrologi. Dalam melaksanakan pengelolaan DAS, tujuan dan sasaran yang diinginkan harus dinyatakan dengan jelas. Tujuan umum pengelolaan DAS terpadu adalah :

3.

Terselenggaranya

koordinasi,

keterpaduan,

keserasian

dalam

perencanaan,

pelaksanaan,

pengendalian, monitoring dan evaluasi DAS. 4. Terkendalinya hubungan timbal balik sumberdaya alam dan lingkungan DAS dengan kegiatan manusia guna kelestarian fungsi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Sasaran pengelolaan DAS yang ingin dicapai pada dasarnya adalah: 5. 6. 7. Terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal. Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat. Tertata dan berkembangnya kelembagaan formal dan informal masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS dan konservasi tanah. 8. Meningkatnya kesadaran dan partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS secara berkelanjutan. 9. Terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.

Ruang

lingkup

pengelolaan

DAS

secara

umum

meliputi

perencanaan,

pengorganisasian,

implementasi/pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap upaya upaya pokok berikut:

1.

Pengelolaan ruang melalui usaha pengaturan penggunaan lahan (landuse) dan konservasi tanah dalam arti yang luas.

2.

Pengelolaan sumberdaya air melalui konservasi, pengembangan, penggunaan dan pengendalian daya rusak air.

3.

Pengelolaan vegetasi yang meliputi pengelolaan hutan dan jenis vegetasi terestrial lainnya yang memiliki fungsi produksi dan perlindungan terhadap tanah dan air.

4.

Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia termasuk pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, sehingga ikut berperan dalam upaya pengelolaan DAS.

3.

Permasalahan Daerah Aliran Sungai

Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik karena dimanfaatkan sebagai lahan pertanian maupun penggunaan lahan lain seperti permukiman dan pertambangan sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS

Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa pertambangan dan eksploitasi hutan telah menyebabkan penurunan kondisi

hidrologis suatu DAS. Penurunan fungsi hidrologis DAS tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim kemarau dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai base flow pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan

sebaliknya pada musim kemarau aliran base flow sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran airnya sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar.

Kerusakan DAS di Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS kritis, dan pada tahun 1992 menjadi 39 DAS kritis dan hingga tahun 1998 bertambah lagi menjadi 59 DAS kritis, dan saat ini diperkirakan ada 70 DAS kritis. Pengelolaan sumberdaya DAS telah menjadi perhatian publik dalam beberapa dekade terakhir. Berbagai bencana alam yang terjadi seperti banjir dan krisis air bersih telah membangkitkan kesadaran semua pihak tentang pentingnya kelestarian ekosistem DAS, sehingga pengelolaannya harus terpadu dengan melibatkan seluruh unsur terkait. Kesadaran tersebut seharusnya mendorong semua pihak yang memperoleh manfaat untuk memberikan kontribusi terhadap tindakan rehabilitasi, konservasi dan pelestarian DAS.

Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun. Sedangkan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun.

Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS.

Dampak kerusakan hutan pada ekosistem DAS telah menyebabkan bencana kekeringan di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Pangesti (2000) dalam Kodoatie,et all., (2002), kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu, (1) kebutuhan domestik; (2) irigasi pertanian; dan (3) industri. Pada tahun 1990 kebutuhan air untuk domestik adalah sebesar 3.169 juta m3, sedangkan angka proyeksi untuk tahun 2000 dan 2015 berturut-turut sebesar 6.114 juta m3 dan 8.903 juta m3 . Persentase kenaikan berkisar antara 10 % / tahun (1990 2000) dan 6.67 % / tahun (2000 2015). Kebutuhan air untuk keperluan irigasi pertanian dan tambak pada tahun 1990 sebesar 74.9 x 109 m3 / tahun, sedangkan pada tahun 2000 kebutuhan air untuk keperluan tersebut meningkat menjadi 91.5 x 109 m3/ tahun dan pada tahun 2015 kebutuhan tersebut menjadi sebesar 116.96 x 109 m3/ tahun. Berarti adanya peningkatan kebutuhan untuk sektor ini sebesar 10 % / tahun (1990 2000) dan antara 2000 2015 meningkat sebesar 6.7 % / tahun (Data Departemen Pekerjaan Umum, 1991). Kebutuhan air untuk sektor industri juga cukup besar. Berdasarkan informasi dari Departemen Perindustrian, kebutuhan air untuk sektor industri di Indonesia adalah sebesar 703.5 x 106 m3/tahun pada tahun 1990 dan sebesar 6.475 x 109m3/tahun pada tahun 1998. Berarti adanya peningkatan kebutuhan sebesar 12.5 %/tahun terutama akibat berkembangnya industri diberbagai propinsi di Indonesia (Isnugroho 2002).

Permasalahan DAS Bengawan Solo

DAS Bengawan Solo secara keseluruhan luasnya sekitar 1.873.452 hektar dengan rincian: 742.034,01 Ha di daerah hulu, 670.564,31 Ha di daerah tengah, dan 400.507,23 Ha di daerah Hilir. Panjang sungai utama berkisar 527 km (BPDAS Solo, 2007). DAS Bengawan Solo melintasi 19 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 16.462.997 jiwa yang meliputi dua provinsi yakni Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kondisi Iklim DAS Bengawan Solo termasuk daerah beriklim tropis dengan suhu rata-rata bulanan di atas 27,40C, kelembaban rata-rata sekitar 65%. Curah hujan rata-rata 2.165 mm/tahun dengan curah hujan rata-rata bulanan 242,3 mm.DAS Bengawan Solo merupakan DAS yang sangat kompleks permasalahannya. Banjir terjadi hampir di seluruh daerah di DAS Bengawan Solo baik di hulu, tengah maupun hilir.

Gambar 2 Wilayah Kerja DAS Bengawan Solo

Berbagai permasalahan aktual di wilayah DAS Bengawan Solo, yang di duga sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan dan penyebab terjadinya banjir dan kekeringan yang berkepanjangan adalah :

1.

Perubahan Tutupan Lahan

Dari hasil intrepretasi Citra Landsat Tahun 2000 dan 2007 di DAS Bengawan Soloi menunjukan adanya perubahan tutupan lahan yang signifikan dimana terjadi peningkatan luasan tanah terbuka lebih dari 300 % atau tiga kali lipat dari luasan tahun 2000. Terjadi penurunan luasan hutan sebesar 31 %, sedangkan permukiman mengalami kenaikan sebesar 26 %. Hal tersebut akan meningkatkan laju erosi yang kemudian dapat berakibat terjadinya bencana longsor. Dengan memperhatikan status kawasan hutan (perhutani), dapat terlihat bahwa terjadi kenaikan lahan terbuka yang berada dalam wilayah status kawasan hutan (perhutani), yaitu seluas 3.839 Ha pada tahun 2000 bertambah menjadi 20.173 Ha pada tahun 2007 yang berarti terjadi penambahan lahan terbuka secara besar-besaran, yaitu seluas 16.334 Ha selama 7 tahun. Aktivitas penggunaan lahan di bagian hulu kebanyakan tidak sesuai lagi peruntukannya berdasarkan kemiringan lereng. Penyebab utama adalah deforestasi dan perubahan tata guna lahan akibat aktivitas pertanian dan pemabalakan liar.

Gambar 3 : Perubahan Tutupan Lahan DAS Bengawan Solo Th 2000 Th 2007

Gambar 4 : Status Kawasan Hutan (Perhutani) di DAS Bengawan Solo

1.

Erosi dan Sedimentasi

Pada bendungan Gadjah Mungkur tahun 2001 sedimen sudah mencapai 30% dari tampungan, karena masuknya sedimen dari anak sungai terdekat Intake (kali Keduwang) sedimen sudah menutup hampir separuh tinggi intake, apabila tidak ditangani segera intake akan tersumbat sehingga suplai air ke hilir terhenti dan air dapat melimpah di atas bendungan, banjir besar di hilir. Proses sedimentasi juga sudah mulai berlangsung di saluran induk irigasi (kali Catur, Madiun) penanggulangan yang dapat dilakukan adalah pengerukan/penggalian sedimen, konservasi lahan dan perawatan. Disamping itu bangunan penahan longsor yang kurang memadai menyebabkan sering terjadi longsor, terutama pada lereng-lereng yang curam, stabilitas tanah rendah dengan intensitas hujan yang tinggi.

1.

Pesatnya perkembangan budidaya pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi, serta semakin padatnya penduduk yang diikuti dengan perkembangan permukiman dan aktivitas ekonomi

lainnya seperti industri dan pertambangan menyebabkan rusaknya lingkungan pada bagian tengah DAS Bengawan Solo.Disamping itu, juga akibat tidak terpeliharanya sempadan-sempadan sungai, serta fungsi retensi hutan semakin menurun baik yang ada di bagian hulu maupun bagian tengah DAS. 2. Fluktuasi Debit Bengawan Solo

Rasio debit (Qmax/Qmin) sungai Bengawan Solo berkisar antara 106 164 sehingga termasuk dalam kategori fluktuasi debit yang tinggi. Curah hujan pada daerah hulu Bengawan Solo mempunyai potensi erovitas tinggi.

Sungai dan anak sungai dibagian hulu membentuk pola drainase radial dengan kelerengan yang terjal. Bagian tengah dan hilir membentuk pola drainase rectanguler dengan catchment area dan kelerengan rendah. Akibat dari dua pola ini maka di beberapa tempat terutama pertemuan antara sungai Madiun dan Bengawan Solo selalu akan terjadi Banjir pada bentuk sungai induk yang membentuk meander.

BAB III

PEMBAHASAN

Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Dalam peraturan pemerintah ini DAS dibatasi sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun 1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim kemarau dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai (base flow) pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran (base flow) sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar. Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran kondisi suatu daerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan perundangundangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis, parameter iklim, dan parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih merupakan salah satu input yang paling relevan

dalam model DAS untuk mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut, khususnya apabila dikaitkan dengan fungsi hidrologis DAS. Dalam prosesnya, maka kejadian-kejadian tersebut merupakan fenomena yang timbul sebagai akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologi yang melibatkan kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan yang menyebabkan terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Menurut Pasaribu (1999), Dari hasil inventarisasi lahan kritis menunjukkan bahwa terdapat 14,4 juta hektar di luar kawasan hutan dan 8,3 juta hektar di dalam kawasan hutan.

Pemikiran dasar penduduk daerah bantaran sungai yang selalu menyalahkan limbah industri sebagai penyebab kerusakan sungai membuat penduduk bantaran sungai tidak mau direlokasi ketempat tinggal yang lebih layak. Disamping itu tidak tahunya penduduk bantaran sungai mengenai peraturan daerah tentang jalur hijau terutama di bagian DAS. Akibat dari penduduk bantaran sungai sendiri banyak orang yang terkena dampaknya, masalah banjir menjadi masalah yang terbesar ketika musim hujan tiba, sampah permukiman penduduk yang berada di daerah hulu terbawa arus dan menghambat aliran air yang berada di bagian hilir, ini menyebabkan air yang meluber dan menyebabkan banjir saat debit sungai bertambah. Tidak bisanya air hujan meresap kedalam tanah karena terhambat oleh permukiman penduduk yang

mengakibatkan genangan air dimana-mana, selain banjir permukiman penduduk di daerah bantaran sungai juga menjadikan pandangan di sekitar sungai menjadi tidak enak dilihat dan terkesan kumuh dan kotor. Rendahnya tingkat pendidikan para penduduk bantaran sungai juga menyebabkan tidak pedulinya mereka terhadap kondisi lingkungan sungai.

Sektor permukiman dan prasarana wilayah masih menjadi prioritas dalam pembangunan dibandingkan dengan sektor kehutanan. Indikator pembangunan barangkali lebih mudah dilihat dengan berhasil dibangunnya berbagai sarana fisik, sementara pembangunan di bidang kehutanan masih dipandang sebagai investasi yang beresiko dan hasilnya diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Pada satu sisi sarana irigasi dibangun sebagai penunjang upaya peningkatan produksi tanaman pangan di sektor pertanian, namun pada sisi lain kemampuan hutan sebagai penyangga sistem DAS semakin menurun dengan meningkatnya nilai nisbah sungai. Penebangan hutan terus berlanjut sebagai upaya memenuhi produksi kayu hutan. Akibatnya pada musim hujan air berlimpah sehingga menjadi bencana banjir, dan pada musim kemarau air surut sehingga timbul bencana kekeringan. Pada musim kering banyak sarana irigasi yang kering sehingga produksi tanaman pangan terganggu. Sementara itu pendekatan yang dipakai dalam penyelesaiaan masalah bencana banjir dan kekeringan selama ini tampaknya lebih banyak berorientasi pada penyelesaian yang

bersifat fisik yaitu dengan membangun prasarana pengendali banjir yang sekaligus dapat berfungsi sebagai penampung air bagi penyediaan air irigasi di musim kemarau. Padahal hal ini seringkali bersifat symtomatik hanya sekedar menangani gejala yang timbul tetapi kurang memperhatikan akar permasalahannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, tampaknya alokasi dana APBN yang ada untuk sektor kehutanan ditambah dengan Dana Reboisasi (DR) belum mampu memperbaiki kondisi hutan. Hutan terus terdegradasi sehingga kemampuannya sebagai penyangga sistem DAS terus menurun, dan dampaknya dirasakan oleh seluruh subsistem DAS dari hulu hingga ke hilir khususnya sektor permukiman wilayah dan sektor pertanian dalam bentuk bencana banjir dan kekeringan.

DAS atau daerah aliran sungai adalah daerah sekitar aliran sungai dan sekelilingnya yang jika terjadi hujan airnya mengalir kesungai. DAS dibagi menjadi dua macam yaitu:

1.

DAS Gemuk

DAS yang luas sehingga dapat menampung air yang besar. DAS ini umumnya mengalami luapan air ketika hujan besar di bagian hulu.

1.

DAS Kurus

DAS ini mempunyai daya tampung air hujan yang sedikit. DAS ini tidak mengalami luapan air yang begitu besar pada saat hujan turun di bagian hulu.

Fungsi DAS:

1)

DAS bagian hulu sebagai konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS

agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air dan air hujan.

2)

DAS bagian tengah sebagai pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk memberikan manfaat bagi

kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain yang dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.

3)

DAS bagian hilir sebagai pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat

kepentingan masyarakat, yang diindikasikan melalui kuantitas air dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengolahan air limbah.

Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang dikelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh sarana dan prasarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik.

Dalam rangka memulihkan dan mendayagunakan sungai dan pemeliharaan kelestarian DAS, maka rekomendasi ke depan perlu disusun kebijakan pemerintah yang mengatur tentang pengelolaan DAS terpadu, yang antara lain dapat memuat:

1.

Pengelolaan DAS terpadu yang meliputi: 1. Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai. 2. Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan programprogram kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya. 3. Keterpaduan program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah. 4. Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses evaluasi dan monitoring. 5. 6. Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan. Hak dan kewajiban dalam pengelolaan DAS yang meliputi hak setiap orang untuk mengelola sumber daya air dengan memperhatikan kewajiban melindungi, menjaga dan memelihara kelestarian daerah aliran sungai. 7. Pembagian kewenangan yang jelas antara daerah kabupaten/kota, daerah propinsi dengan pemerintah pusat dalam mengelola DAS secara terpadu. 8. Badan pengelola daerah aliran sungai (aspek kelembagaan) dapat berupa badan usaha atau badan/instansi pemerintah. Badan-badan tersebut ditetapkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah sesuai dengan kewenangan yang berlaku. 9. Kebijakan pemerintah ini selain mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS terpadu, juga mengatur sanksi (hukuman) bagi masyarakat yang tidak mengindahkan peraturan pemerintah dalam pengelolaan DAS terpadu baik pada DAS lokal, regional maupun nasional.

Pengelolaan Terpadu DAS pada dasarnya merupakan pengelolaan partisipasi berbagai sektor/sub sektor yang berkepentigan dalam pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu DAS, sehingga di antara mereka saling mempercayai, ada keterbukaan, mempunyai rasa tanggung jawab dan saling mempunyai

ketergantungan (inter-dependency). Demikian pula dengan biaya kegiatan pengelolaan DAS, selayaknya tidak lagi seluruhnya dibebankan kepada pemerintah tetapi harus ditanggung oleh semua pihak yang

memanfaatkan dan semua yang berkepentingan dengan kelestariannya. Untuk dapat menjamin kelestarian DAS, pelaksanaan pengelolaan DAS komponen masukan utama terdiri atas curah hujan sedang komponen keluaran terdiri atas debit aliran dan muatan sedimen, termasuk unsur hara dan bahan pencemar di dalamnya. DAS yang terdiri atas komponenkomponen vegetasi, tanah, topografi, air/sungai, dan manusia berfungsi sebagai prosesor.

Berikut ini adalah kegiatan yang relevan dengan pengelolaan DAS untuk menjamin kelestarian serta adanya peran para pengelola yang terlibat.

1)

Pengelolaan Daerah Tangkapan Air (catchment area)

Sesuai dengan rencana makro, rencana kerja jangka menengah dan tahunan konservasi Daerah Tangkapan Air (DTA/catchment area), Dinas/instansi terkait dan masyarakat, sebagai pelaksana pengelolaan sumberdaya alam di DAS melaksanakan kegiatan pemanfaatan dan konservasi DTA. Bentuk kegiatan pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam di DTA diutamakan untuk meningkatkan produktivitas lahan dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi masyarakat dan sekaligus memelihara kelestarian ekosistem DAS. Kegiatan tersebut dilakukan melalui tataguna lahan (pengaturan tataruang), penggunaan lahan sesui dengan peruntukannya (kesesuaian lahan, rehabilitasi hutan dan lahan yang telah rusak, penerapan teknik-teknik konservasi tanah, pembangunan struktur untuk pengendalian daya rusak air, erosi dan longsor. Dilakukan pula kegiatan monitoring kondisi daerah tangkapan air dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pengelolaan DAS.

2)

Pengelolaan Sumberdaya Air

2.1 Manajemen Kuantitas Air (Penyediaan Air)

a. Pembangunan Sumberdaya Air

Menyiapkan rencana induk pengembangan sumberdaya air termasuk di dalamnya neraca air, yang melibatkan berbagai instansi terkait serta melaksanakan pembangunan prasarana pengairan (sesuai dengan penugasan yang diberikan) dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya air.

b. Prediksi Kekeringan

Melakukan pemantauan dan pengolahan data hidrologis, membuat prediksi kemungkinan terjadinya kekeringan (mungkin, menggunakan fasilitas telemetri dan bantuan simulasi komputer yang dihubungkan dengan basis data nasional dan internasional).

c. Penanggulangan Kekeringan

Secara aktif bersama Dinas/Instansi terkait dalam Satkorlak-PBA melakukan upaya penanggulangan pada saat terjadi kekeringan yang tidak dapat terelakkan.

d. Perijinan Penggunaan Air

Memberikan rekomendasi teknis atas penerbitan ijin penggunaan air dengan memperhatikan optimasi manfaat sumber daya yang tersedia.

e. Alokasi Air

Menyusun konsep pola operasi waduk/alokasi air untuk mendapatkan optimasi pengalokasian air.

f. Distribusi Air

Melakukan pengendalian distribusi air bersama Dinas/Instansi terkait dengan bantuan telemetri untuk melaksanakan ketetapan alokasi air.

2.2 Manajemen Kualitas Air

a. Perencanaan Pengendalian Kualitas Air

Bersama Dinas/Instansi terkait menyiapkan rencana induk dan program kerja jangka menengah dan tahunan pengendalian pencemaran air dan peningkatan kualitas air.

b. Pemantauan dan Pengendalian Kualitas Air

Berdasarkan rencana induk, melakukan pemantauan dan pengendalian kualitas air yang melibatkan berbagai instansi terkait. Pemantauan dilakukan secara periodik (baik kualitas air sungai maupun buangan limbah cair yang dominan) dan melaksanakan pengujian laboratorium serta evaluasi terhadap hasil uji tersebut. Rekomendasi diberikan kepada Pemerintah Daerah (Gubernur maupun Bapedalda) dalam upaya

pengendalian pencemaran air, penegakan aturan dan peningkatan kualitas air sungai. Penyediaan Debit Pemeliharaan Sungai Berdasarkan pola operasi waduk dan/atau kondisi lapangan, dapat disediakan sejumlah debit pemeliharaan sungai setelah mendapatkan pengesahan alokasi dari Dewan DAS Propinsi.

d. Peningkatan Daya Dukung Sungai

Pelaksanaan peningkatan daya dukung sungai dengan melaksanakan upaya pengendalian di instream (penggelontoran, penyediaan debit pemeliharaan, peningkatan kemampuan asimilasi sungai) dan

berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengendalian di offstream (pada sumber pencemar) melalui instrumen hukum maupun instrumen ekonomi di samping melaksanakan kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan kontrol sosial dari masyarakat.

e. Koordinasi pengendalian pencemaran

Bersama dengan instansi/dinas terkait menyelenggarakan koordinasi penyiapan program dan implementasi pengendalian pencemaran dan limbah domestik, industri dan pertanian.

3)

Pemeliharaan Prasarana Pengairan

a. Pemeliharaan Preventif

Melakukan pemeliharaan rutin, berkala dan perbaikan kecil untuk mencegah terjadinya kerusakan prasarana pengairan yang lebih parah.

b. Pemeliharaan Korektif

Melakukan perbaikan besar, rehabilitasi dan reaktifikasi dalam rangka mengembalikan atau meningkatkan fungsi prasarana pengairan.

c. Pemeliharaan Darurat

Melakukan perbaikan sementara yang harus dilakukan secepatnya karena kondisi mendesak/darurat (karena kerusakan banjir dsb- nya).

d. Pengamatan Instrumen Keamanan Bendungan

Melakukan pengamatan instrumen keamanan bendungan (phreatic line, pore pressure dan lain-lain) serta menganalisis hasil pengamatan tersebut untuk mengetahui adanya penurunan (settlement), rembesan (seepage) atau perubahan ragawi lainnya terhadap bendungan.

4)

Pengendalian Banjir

a. Pemantauan dan Prediksi Banjir

Melakukan pemantauan dan pengolahan data hidrologis, membuatprediksi iklim, cuaca dan banjir dengan menggunakan fasilitas telemetri dan bantuan simulasi komputer yang dihubungkan dengan basis data nasional dan internasional.

b. Pengaturan (distribusi) dan Pencegahan Banjir Menyiapkan pedoman siaga banjir yang berlaku sebagai SOP (Standard Operation Procedure) pengendalian banjir yang dipergunakan oleh seluruh instansi terkait. Pengendalian banjir dilakukan melalui pengaturan operasi waduk untuk menampung debit banjir, dan pengaturan bukaan pintu air guna mendistribusikan banjir sehingga dapat dikurangi/dihindari dari bencana akibat banjir.

c. Penanggulangan Banjir

Berpartisipasi secara

aktif bersama

Dinas/Instansi terkait dalam Satkorlak-PBA

melakukan

upaya

penanggulangan pada saat terjadi banjir yang tidak dapat terelakkan.

d. Perbaikan Kerusakan Akibat Banjir

Bersama instansi terkait melakukan perbaikan atas kerusakan akibat terjadinya bencana banjir yang tidak terelakkan.

5)

Pengelolaan Lingkungan Sungai

1.

Perencanaan Peruntukan Lahan Daerah Sempadan Sungai Bersama dinas/instansi terkait menyusun penetapan garis sempadan dan rencana peruntukan lahan daerah sempadan sungai sesuai dengan Rencana detail Tata Ruang Daerah dalam rangka pengamatan fungsi sungai.

2.

Pengendalian

Penggunaan

Lahan

Sempadan

Sungai

Melakukan

pengendalian

dan

penertiban

penggunaan lahan di daerah sempadan sungai bersama dinas/instansi terkait. 3. Pelestarian biota air Mengupayakan peningkatan kondisi sungai yang kondusif untuk pertumbuhan biota air.

4.

Pengembangan pariwisata, olah raga, dan trasnportasi air Mengembangkan pemanfaatan sungai dan waduk untuk keperluan wisata, olah raga, dan transportasi air bekerja sama dengan pihakpihak terkait.

6)

Pemberdayaan Masyarakat

1.

Program penguatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan perdesaan, sehingga pendapatan petani meningkat.

2.

Program pengembangan pertanian konservasi, sehingga dapat berfungsi produksi dan pelestarian sumber daya tanah dan air.

3.

Penyuluhan dan transfer teknologi untuk menunjang program pertanian konservasi dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pengelolaan DAS.

4.

Pengembangan berbagai bentuk insentif (rangsangan) baik insentif langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk bantuan teknis, pinjaman, yang dapat memacu peningkatan produksi pertanian dan usaha konservasi tanah dan air.

5.

Upaya mengembangkan kemandirian dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah, sehingga mampu memperluas keberdayaan masyarakat dan berkembangnya ekonomi rakyat.

6.

Memonitor dan evaluasi terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat, serta tingkat kesadaran masyarakat dalam ikut berperan

serta dalam pengelolaan DAS.

BAB V

PENUTUP

1.

Simpulan

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan, dengan daerah bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahanbahan terlarut di dalamnya. Dengan demikian pengelolaan DAS merupakan aktifitas yang berdimensi

biofisik,yaitu pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis. Pengelolaan pertanian konservatif berdimensi kelembagaan, yaitu insentif dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi dan berdimensi sosial yang lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya setempat, sehingga dalam perencanaan model pengembangan DAS terpadu harus mempertimbangkan aktifitas/teknologi pengelolaan DAS sebagai satuan unit perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Operasionalisasi konsep DAS terpadu sebagai satuan unit perencanaan dalam pembangunan selama ini masih terbatas pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air, sedangkan kelembagaan yang utuh tentang pengelolaan DAS belum terpola. Agar pengelolaan DAS dapat dilakukan secara optimal, maka perlu direncanakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.

1.

B.

Saran

Sebaiknya Pemerintah lebih memperhatikan hutan yang telah gundul, tidak hanya membangun sarana pengendali banjir karena akan lebih menghabiskan biaya dari pada biaya memperbaiki hutan, selain itu jika pemerintah memperhatikan jalur hijau khususnya hutan dan DAS di Indonesia masalah banjir akan bisa dicegah. Perlunya penggalakan kepada penduduk yang berada di Daerah Aliran Sungai agar kondisi sungai dapat diperbaiki dan mencegah terjadinya banjir yang lebih parah. Penduduk seharusnya lebih peduli terhadap lingkungan yang ditempati, dengan cara tidak membuang sampah ke dalam sungai, tidak menebang hutan secara illegal, memperluas kawasan hutan lindung dan mengadakan tebang pilih tanam, menanam pohon di Daerah Aliran Sungai.

Daftar Pustaka

Anjayani Eni & Haryanto Tri. 2009. Geografi. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bandung: ITB

Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Berry

N

Forqan.

2007. Pembangunan

Berbuah

Bencana;

Eksploitasi

SDA

Dan

Pengabaian

Hak

Rakyat. http://www.walhikalsel.org. Di Download: December 2009

Endarto Danang, Prihadi Singgih & Sarwono. 2009. Geografi. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Harmanto, Gatot. 2009. Geografi. Bandung: Yrama Widya.

Harmanto, Gatot. 2009. Geografi (Ringkasan Materi X, XI dan XII). Bandung: Yrama Widya.

K. Wardyatmoko. 2007.Geografi. Jakarta: Erlangga.

Nugraha, Setya. 1997. Studi Morfokonservasi di Daerah Aliran Sungai Nagung Kabupaten Dati II Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Yogyakarata: Universitas Gadjah Mada.

Waluya, Bagja. 2009. Geografi. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Asdak C.

1998 . Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . Gadjah Mada University Press,

Yograkarta. (terjemahan)

Departemen Kehutanan Republik Indonesia.2008. Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Di Indonesia. http://www.dephut.go.id

Indonesia

Infrastructure

Forum.

2009.

Studi

Kebijakan

Sinkronisasi

Pengendalian

Banjir

dan

Kekeringan. Infrastructureforum.wordpress.com

Kementerian Lingkungan Hidup . 2008. Dampak Lingkungan Akibat Banjir. Bahan Rapat Kerja Komisi VII DPR RI

http://bebasbanjir2025.wordpress.com

Loka

Karya

Membangun

Kapasitas

Para

Pihak

Untuk

Penyelamatan

Daerah

Aliran

Sungai

(DAS) http://digilib-ampl.net /file/pdf/newsletter_ agustus_09.pdf (18 desember 2009)

Nugroho, Priyono dan Cahyono . Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai : Cakupan, Permasalahan dan Upaya Penerapannya . Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS, IBB.

Surakarta. www.bappenas.go.id

Riyn

(2008).

Daerah

Aliran

Sungai

(DAS) http://riyn.multiply.com/journal/item/44/Daerah_Aliran_Sungai_DAS (19 desember 2009)

Undang-undang Republik Indonesia No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Wardhanie, B. (2001). Evaluasi Kebijakan Jalur Hijau di Permukiman Sungai Code: Studi Kasus Ledok Ratmakan dan Ledok Gondolayu, Yogyakarta. Tesis. Tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Indonesia.

DAS Dan Pengelolaannya (3)

PEMBANGUNAN PARTISIPATORIS DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (PARTICIPATORY ACTIONS PROGRAM IN WATERSHED DEVELOPMENT)Oleh: Apik Karyana Sumber: http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/01101/AKARYANA.htm Apik Karyana(P23600002/DAS); [email protected] Re-edited 20 December 2000, Copyright 2000 Apik Karyana Makalah Falsafah Sains (PPs 702), Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor; Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng PENDAHULUAN Pengertian Pengertian DAS yang banyak dikenal pada bidang kehutanan, adalah wilayah/daerah yang dibatasi oleh topografi alami yang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga semua air yang jatuh pada daerah tersebut akan keluar dari satu sungai utama. Sedangkan pengelolaan DAS diartikan sebagai upaya manusia di dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan segala aktifitasnya sehingga terjadi keserasian ekosistem serta dapat meningkatkan kemanfaatan bagi manusia.. Tujuan dari pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada dasarnya adalah pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dengan terlanjutkan (sustainable) sehingga tidak membahayakan lingkungan lokal, regional, nasional dan bahkan global. Tujuan ini sangat mulia dan harus didukung oleh seluruh umat manusia. Oleh karena itu masalahnya bukanlah pada tujuan pengelolaan DAS, tetapi bagaimana cara mencapai Konsep Partisipasi tujuan tersebut.

Kenyataan menunjukkan bahwa kalau dipertanyakan apakah yang dimaksud dengan partisipasi ?. Jawabanya bisa tidak menentu. Istilah-istilah lain yang merupakan sinonim partisipasi adalah keikutsertaan, keterlibatan atau peran serta. Gordon W. Apport dalam bukunya yang berjudul The Psychology of Participation (1945), dalam Sastropoetro (1988) menyatakan : The person who participates is ego-involved instead of merely tasks involved Pendapat ini dapat diterjemahkan dengan kalimat sebagai berikut: Bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterliba tan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dirinya dalam pekerjaan atau tugas saja. Artinya keterlibatan dirinya termasuk keterlibatan pikiran dan perasaannya. Ilmuwan Keith Davis dalam bukunya yang berjudul The Human Relation of Work (1962) mengemukakan sebagai berikut: Participation can be defined as mental and emotional involvement of a person in group situation which encourages to contribute to group goals and share responsibility in them. Di dalam definisi di atas terdapat tiga gagasan yang penting, yaitu : (a) bahwa dalam partisipasi bukan semata-mata keterlibatan secara jasmaniah, tetapi juga keterlibatan mental dan perasaan, (b) adanya kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok dan (c) adanya unsur tanggung jawab. Dari berbagai pengalaman proyek-proyek pengelolaan DAS, ada indikasi bahwa partisipasi hanya menjadi slogan tanpa makna yang nyata. Partisipasi yang asli harus datang dari inisiatif masyarakat sendiri. Partisipasi seperti itu merupakan partisipasi sejati yang bersifat swakarsa dan interaktif, bukan bersifat artificial atau semu. Tuntuan dasar untuk menempatkan azas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS akhirnya menjadi prioritas. Bryant (1982) merumuskan partisipasi sebagai fungsi dari manfaat (benefit) yang akan diperoleh, dikalikan probabilitas atau kemungkinan untuk benar-benar memetik manfaat itu (Probability), dikurangi dengan dua jenis biaya (cost), yaitu biaya langsung (direct cost) dan biaya oportunitas (opportunity cost). Semuanya dikalikan dengan besarnya risiko (risks) yang sanggup ditanggung. Secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut: P = ( B X Pr) (DC + OC) R Dimana : P = Participation B = Benefit Pr = Probability

DC = Direct Cost OC = Opportunity Cost R = Risks Untuk mengkaji lebih jauh bagaimana mengelola partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS diperlukan kajian yang mendalam berkaitan dengan kharakteristik DAS (biofisik), Kharakteristik aturan main (kelembagaan) dan kharakteristik masyarakat (Sosial ekonomi dan kebudayaan). HISTORIS Konsep pengelolaan DAS di Indonesia sebenarnya telah dikenalkan sejak jaman Belanda, khususnya dalam praktek pengelolaan hutan, dimana pembagian-pembagian daerah hutan diatur berdasarkan satuan DAS. Pada tahun 1961 diadakan gerakan penghijauan secara massal dalam bentuk Pekan Penghijauan I di Gunung Mas, Puncak Bogor. Pada tahun 1973 sampai 1981, FAO dan UNDP telah melakukan berbagai uji coba untuk memperoleh metoda yang tepat dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang ditinjau dari aspek fisik maupun sosial ekonomi di DAS Solo. Hasil-hasil pengujian ini antara lain diterapkan dalam proyek Inpres Penghijauan dan Reboisasi sejak tahun 1976 pada 36 DAS di Indonesia. Upaya pengelolaan DAS terpadu yang pertama dilaksanakan di DAS Citanduy pada tahun 1981, dimana berbagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin dilakukan. Selanjutnya pengelolaan DAS terpadu dikembangkan di DAS Brantas, Jratun Seluna. Namun proyek-proyek pengelolaan DAS saat itu lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur fisik kegiatan konservasi tanah untuk mencegah erosi dan bajir yang hampir seluruhnya dibiayai oleh dana pemerintah. Baru tahun 1994 konsep partisipasi mulai diterapkan dalam penyelengaraan Inpres Penghijauan dan Reboisasi, walaupun dalam tarap perencanaan. Meskipun upaya-upaya pengelolaan DAS di Indonesia telah cukup lama dilaksanakan, namun karena kompleksitas masalah yang dihadapi hasilnya belum mencapai yang diinginkan, terutama yang berkaitan dengan pembangunan sumberdaya manusia dan kelembagan masyarakat. FAKTA DAN PERMASALAHAN Fakta Di Indonesia, berdasarkan data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Planologi, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, laju kerusakan hutannya hampir mencapai 1,6 juta ha per tahun. Laju angka kerusakan ini mengalami peningkatan 3 kali lipat selama kurun waktu 6 tahun.

Tingginya angka laju pengundulan hutan ini terutama disebabkan karena kejadian kebakaran hutan rutin yang melanda hutan-hutan di kawasan pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. FAO (1985) melaporkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia menempati urutan tertinggi dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Jika proses degradasi lahan ini terus berlangsung tanpa upaya yang nyata untuk menghentikannya, produktivitas pertanian akan mengalami penurunan sebesar 15-30 % sampai dengan tahun 2003. Permasalahan Permasalahan utama dalam pembangunan pengelolaan DAS adalah belum mantapnya institusi dan lemahnya sistem perencanaan yang komprehensif. Gejala umum yang timbuk dari kondisi di atas antara lain: (1) masyarakat dalam DAS masih ditempatkan sebagai objek dan bukan subjek pembangunan (2) manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati oleh elit-elit tertentu dan belum terdistribusi secara merata (3) masyarakat belum mampu untuk berpartisipasi secara nyata dalam proses pembangunan (4) masyarakat masih menjadi bagian terpisah (eksternal) dari ekosistem DAS. PARADIGMA PEMBANGUNAN PARTISIPATORIS Agar mencapai hasil-hasil pembangunan yang berkelanjutan, banyak kalangan sepakat diperlukan pergeseran paradigma di bidang pengelolan DAS yang bersifat partisipatoris. Pendekatan pembangunan partisipatoris harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan masyarakat, setempat yaitu masyarakat itu sendiri. Dalam kontek DAS pendekatan ini memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat untuk menilai dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk mengembangkan diri. Pendekatan partisipatoris harus disertai perubahan cara pandang terhadap DAS sebagai sistem hidrologi yang semula merupakan benda fisik menjadi benda ekonomi yang memiliki fungsi sosial. Perubahan peran pemerintah dari provider menjadi enabler, tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis, sistem pembangunan dan pengelolaan dari government centris menjadi publicprivate community participation, pelayanan dari birokratis-normatif menjadi professional-responsif dan fleksibel, penentuan kebijakan dari top-down menjadi bottom-up. Munculnya paradigma pembangunan pengelolaan DAS yang partisipatoris mengindikasikan adanya dua perspektif. Pertama : pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanan dan

pelaksanaan proyek/program pengelolaan DAS yang akan mewarnai kehidupan mereka, sehingga dapat dijamin bahwa persepsi, pola sikap dan pola berpikir serta nilai-nilai dan pengetahuan lokal ikut dipertimbangkan secara penuh.

Kedua: adanya umpan balik (feed back) yang pada hakekatnya adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan pembangunan. METODOGI Untuk mewujudkan pembangunan pengelolaan DAS yang partisipatoris dibutuhkan pendekatan partisipasi dalam rangka memobilisasi peran serta dan meningkatkan keefektifannya. Untuk memperoleh pendekatan yang partisipatoris diperlukan metoda penelitian yang bersifat partisipatoris pula (studi eksploratoris). Metoda partisipatoris berguna untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan kunci dalam merumuskan masalah (Mikkelsen, 1999). Metoda ini sedikit menyimpang dari pendekatan konvensional dimana para peneliti ahli yang merumuskan masalah. Dengan metoda partisipatoris, maka dalam merumuskan masalah, menentukan tujuan prioritas dan tidak lanjut yang diperlukan menjadi upaya bersama dengan masyarakat dan pihak-pihak lain yang terkait. Kajian Preliminer Kajian ini diawali dengan serangkaian diskusi tentang kerangka pemikiran serta arah kajian yang akan dicapai dengan berbagai stakeholders. Pada tahap ini juga digali berbagai sumber data dan informasi sekunder yang berkaitan dengan kondisi biofisik DAS, kondisi masyarakat serta berbagai kebijaksanaan yang telah diberlakukan dalam pengelolaan DAS. Hasil yang diperoleh pada tahap ini adalah dapat dirumuskannya : 1. Kerangka pemikiran dan arah kajian 2. Kebijaksanan umum pengelolaan DAS secara hipotetik Seluruh rangkaian proses ini merupakan proses belajar bagi semua pihak. Untuk melaksanakan studi eksploratoris diperlukan teknik-teknik PRA (Participatory Rural Appraisal). Teknik PRA digunakan untuk memperoleh informasi awal mengenai suatu topik. Gambaran studi eksploratoris untuk pengelolaan DAS dapat dilihat pada Gamber di bawah ini. Penetapan Peubah Kunci Dari hasil kajian preliminer dan penjabaran operasional kerangka pemikiran menghasilkan

permasalahan hipotetik dalam pe