Penanganan Atonia Uteri
-
Upload
mulia-tahir -
Category
Documents
-
view
697 -
download
19
Embed Size (px)
Transcript of Penanganan Atonia Uteri

PENANGANAN ATONIA UTERI
A. Pendahuluan
Perdarahan postpartum adalah salah satu penyebab paling penting dari
kematian ibu. Kematian maternal di Amerika sekitar 7-10 wanita /100.000 kelahiran
hidup. Statistik nasional mendeteksi 8% kematian maternal disebabkan oleh
perdarahan post partum. American college of Obstetricians and Gynecologists
memperkirakan 140.000 kematian maternal pertahun ataupun 1 perempuan
meninggal tiap 4 menitnya.1
Berdasarkan SDKI survey terakhir tahun 2007 Angka Kematian Ibu
Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, meskipun demikian angka
tersebut masih tertinggi di Asia. Tiga faktor utama penyebab kematian ibu
melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi dan infeksi.
Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu yaitu 28%.1,2
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak dari perdarahan post partum
primer yaitu sekitar 90%. Atonia uteri adalah ketidakmampuan myometrium untuk
berkontraksi secara efektif. Otot dari uterus biasanya berkontraksi untuk
menghentikan pendarahan sesaat setelah bayi dan plasenta lahir. Otot bekerja untuk
menutup pembuluh darah yang terbuka, menghentikan aliran darah dan
memperbaiki dinding uterus. Atonia uteri menyebabkan uterus dalam kondisi yang
relaksasi dan membuat otot berhenti untuk berkontraksi secara teratur. Pembuluh
darah yang tidak tertutup dapat mengeluarkan aliran darah dalam volume yang
banyak, yang menyebabkan perdarahan yang berat dan hipotensi.1,2,3,4
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat dari : 1) Partus lama, 2) pembesaran
uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil kembar, hidramnion
atau janin besar, 3) multiparitas, 4) anestesi yang dalam, 5) anestesi lumbal. Atonia
uteri juga dapat timbul karena adanya kesalahan penanganan kala III persalinan,
dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan
plasenta, sementara plasenta belum terlepas dari uterus.5,6,7
1

B. ANATOMI UTERUS
Uterus terbentuk seperti buah avokad atau buah peer yang sedikit gepeng, ke
arah antefleksi (depan belakang): ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai
rongga. Dindingnya terdiri atas otot-otot polos. Ukuran panjang uterus 7-7,5 cm,
lebar sekitar 5,25 cm, tebal 2,5 cm, dan tebal dinding 1,25 cm. letak uterus dalam
keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio (serviks ke depan dan membentuk sudut
dengan vagina, demikian pula korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan
serviks uteri).5
Gambar 1 : Anatomi Uterus7
Uterus terdiri dari fundus uteri, korpus uteri, dan serviks uteri. Fundus uteri
adalah bagian uterus proksimal. Korpus uteri merupakan bagian uterus yang terbesar
sebagai tempat janin berkembang, rongga yang terdapat di korpus uteri disebut
kavum uteri (rongga rahim). Serviks uteri terdiri atas pars vaginalis serviks uteri
yang dinamakan porsio, pars supravaginalis serviks uteri yaitu bagian serviks yang
berada diatas vagina.5
Saluran yang terdapat pada serviks disebut kanalis servikalis terbentuk
sebagai saluran lonjong dengan panjang 2,5 cm. Pintu saluran serviks sebelah dalam
disebut ostium uteri internum, dan pintu di vagina disebut ostium uteri eksternum.
2

Secara histologi uterus terdiri atas endometrium di korpus uteri dan endoserviks di
serviks uteri, otot-otot polos, lapisan serosa yakni peritoneum viserale.5
Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar dan jaringan dengan
banyak pembuluh darah yang berkeluk-keluk. Endometrium melapisi seluruh kavum
uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid pada seorang wanita dalam masa
reproduksi. Pada masa haid, endometrium sebagian besar dilepaskan, untuk
kemudian tumbuh lagi pada fase proliferasi dan selanjutnya ke fase sekretorik.5
Lapisan otot-otot polos dibagian dalam berbentuk sirkuler, dan disebelah luar
berbentuk longitudinal. Diantara kedua lapisan itu terdapat lapisan otot oblik,
berbentuk anyaman, dan lapisan ini paling penting pada persalinan oleh karena
sesudah plasenta lahir, uterus berkontraksi kuat dan menjepit pembuluh-pembuluh
darah yang terbuka.5
Uterus dalam rongga pelviks disokong oleh jaringan ikat dan ligament yang
menyokongnya, sehingga terfiksasi dengan baik. Adapun ligament yang memfiksasi
uterus adalah : 3
1. Ligamentum kardinale sinistrum et dekstrum (Mackenrodt), yakni
ligamentum yang terpenting, mencegah supaya uterus tidak turun, terdiri atas
jaringan ikat tebal, dan berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah
lateral dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak pembuluh darah,
antara lain vena dan arteri uterine.
2. Ligamentum sakro-uternium sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang
menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan dari serviks bagian
belakang, kiri, kanan, kearah os sacrum kiri dan kanan.
3. Ligamentum rotundum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang
menahan uterus dalam antefleksi dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan
kanan, ke daerah inguinal kiri dan kanan.
4. Ligamentum latum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang meliputi
tuba, berjalan dari uterus kearah sisi, tidak banyak mengandung jaringan
ikat.
5. Ligamentum infundibulo pelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba
falloppii berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis.
3

Isthmus adalah bagian uterus antara serviks dan korpus uteri, yang diliputi
oleh peritoneum viserale. Di tempat inilah dinding uterus dibuka saat seksio sesarea
transperitonealis profunda. Dinding belakang uterus seluruhnya diliputi oleh
peritoneum viserale yang membentuk suatu rongga yang disebut kavum Douglasi
yang menonjol jika ada cairan (darah atau asites) atau ada tumor di daerah tersebut.5
Vaskularisasi uterus diberikan oleh arteria uterine sinistra et dekstra yang
terdiri dari ramus asendens dan ramus desendens. Pembuluh darah ini berasal dari
a.iliaka interna (a.hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum latum, masuk ke
dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5 dari forniks vagina.5
Vaskularisasi uterus yang lain ialah arteri ovarika sinistra et dekstra.
Vaskularisasi ini berjalan dari lateral dinding pelvis, melalui ligamentum
infundibulo-pelvikum mengikuti tuba Falloppi, beranastomosis dengan ramus
ascendens arteri uterine disebelah lateral, kanan dan kiri uterus. Bersama-sama
dengan arteri-arteri tersebut diatas terdapat vena-vena yang kembali melalui pleksus
vena ke vena hipogastrika.5
Gambar 2 : Vaskularisasi Uterus7
C. FAKTOR RESIKO
Identifikasi perempuan dengan resiko atonia uteri adalah yang terpenting
untuk mencegah terjadinya kejadian ini. Persiapan kelahiran harus dilakukan dengan
baik.3
4

Faktor resiko yang berhubungan dengan atonia uteri ialah :3
Faktor yang berhubungan dengan peregangan uterus yang berlebihan :
Kehamilan ganda
Polihidramnion
Bayi makrosomia
Faktor persalinan
Induksi persalinan
Partus lama
Tindakan manual plasenta
Penggunaan obat relaksasi uterus
Anestesi dalam
Magnesium sulfat
Faktor intrinsik
Riwayat perdarahan post partum sebelumnya
Perdarahan antepartum
Obesitas
Umur > 35 thn
D. PATOFISIOLOGI
Pada awal persalinan, estrogen akan meningkat dalam darah. Hal ini
menyebabkan uterus menjadi lebih mudah terangsang, dan pembentukan
prostaglandin lebih banyak lagi, yang kemudian menyebabkan kontraksi uterus.
Jumlah reseptor oksitosin lebih banyak lagi, yang kemudian menyebabkan kontraksi
uterus. Jumlah reseptor oksitosin di miometrium dan desidua (endometrium
kehamilan) meningkat lebih dari 100 kali selama kehamilan dan mencapai
puncaknya selama awal persalinan. Estrogen meningkatkan jumlah reseptor
oksitosin, dan peregangan uterus pada akhir kehamilan juga dapat meningkatkan
pembentukan uterus berespon terhadap konsentrasi oksitosin plasma yang normal.
Begitu persalinan dimulai, kontraksi uterus menyebabkan dilatasi serviks, dilatasi ini
selanjutnya menimbulkan sinyal pada saraf aferen yang dipancarkan ke nukleus
supraoptik dan paraventrikel meningkatkan sekresi oksitosin. Kadar oksitosin
plasma meningkat dan lebih banyak oksitosin tersedia untuk bekerja pada uterus.
5

Dengan demikian, terjadi umpan balik positif yang membantu persalinan dan
berakhir setelah hasil konsepsi dikeluarkan. Oksitosin meningkatkan kontraksi
uterus dengan dua cara :1) bekerja langsung pada sel otot polos uterus untuk
membuatnya berkontraksi, dan 2) merangsang pembentukan prostaglandin di
desidua.2,8
Dalam persalinan, pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi ke sana. Setelah persalinan, kontraksi uterus merupakan
mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.8
Gambar 4. Kontraksi miometrium uteri menutup pembuluh setelah persalinan5
Adanya peregangan yang berlebihan atau berkurangnya kerja reseptor
oksitosin di miometrium pasca persalinan menyebabkan kontraksi uterus menurun
atau disebut hipotonia uteri, yang jika tidak tertangani akan jatuh menjadi atonia
uteri. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan postpartum
secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang
mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta.
Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak
berkontraksi.9,10
E. GAMBARAN KLINIS
Atonia uteri didiagnosa dengan adanya tanda-tanda perdarahan uterus yang
disertai dengan kurangnya kontraksi tonus miometrium yang merupakan salah satu
etiologi dari perdarahan post partum.9
Tanda dan gejala atonia uteri adalah :9
6

1) Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah
tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan,
hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti
pembeku darah. Jumlah darah yang keluar ialah lebih dari 500 cc.
2) Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang menyebabkan
atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
3) Fundus uteri tidak teraba
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan
menggumpal.
4) Terdapat tanda-tanda syok
Hipotensi, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan
lain-lain.
F. PENATALAKSANAAN
Banyaknya darah yang keluar mempengaruhi keadaan pasien. Pasien bisa
masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai menjadi syok hipovolemik
berat. Perdarahan yang lebih dari 1000 cc atau 1500 cc (20-25% volume darah) akan
menimbulkan gangguan vaskular hingga terjadi syok hemoragik sehingga transfusi
darah diperlukan segera. Tindakan pertama yang dilakukan tergantung pada keadaan
klinisnya.5
Tabel 1 Klasifikasi Derajat Perdarahan5
7

Gambar 12 : Bagan penanganan atonia uteri.3
1. Resusitasi
8
Masase fundus uteri segera setelah plasenta lahir (maksimal 15 detik)
Uterus kontraksi ? Evaluasi rutin
Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selaput ketuban Kompresi bimanual interna (KBI) : maksimal 5 menit
Uterus kontraksi ? Pertahankan KBI selama 1-2 menit Keluarkan tangan secara hati-hati Lakukan pengawasan kala IV
Ajarkan keluarga melakukan KBI Keluarkan tangan secara hati-hati Suntikkan Methylergometrin 0,2 mg IM Pasang IVFD RL + 20 IU oxytocin,
guyur Lakukan kembali KBI
Uterus kontraksi ? Pengawasan kala IV
Rujuk, siapkan laparatomi Lanjutkan pemberian infus + 20 IU oksitosin minimal 500 cc/jam hingga mencapai tempat
rujukan Selama perjalanan dapat dilakukan kompresi aorta abdominalis atau KBI
Ligasi arteriuterina dan atau hipogastrika B-Lynch method
Perdarahan ?
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
tetap
berhenti
Pertahankan Uterus
Histerektomi

Apabila terjadi perdarahan postpartum banyak, maka penanganan awal yaitu
resusitasi dengan sikap trendelenberg, memberikan oksigen, dan pemberian
cairan intrevena cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan
monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu
dilakukan untuk persiapan transfusi darah.1,2,11
2. Merangsang kontraksi uterus dengan cara :
Masase fundus uteri dan kompresi bimanual.
Masase fundus uteri dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus
yang akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah
lahirnya plasenta (maksimal 15 detik).1,3,11
1) Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung,
periksa apakah perineum/vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit
atau rujuk segera.
2) Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina dan lubang
serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong. Lakukan kompresi
bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
a. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan
perlahan-lahan dan pantau kala IV dengan ketat. 1,3,9,10,11
Gambar 5. Kompresi Bimanual Interna.11
9

b. Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai
melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-
lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg IM (jangan diberikan jika hipertensi);
Pasang infuse menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml
RL +20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin;
Ulangi KBI.1,11
Gambar 6 : Kompresi Bimanual Eksterna.6
Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala IV, 15
menit untuk 1 jam pertama, 30 menit untuk 1 jam kedua. Jika uterus tidak
berkontraksi dalam 1-2 menit, segera rujuk ibu karena ini bukan atonia uteri
sederhana. Ibu membutuhkan tindakan gawat darurat di fasilitas kesehatan rujukan
yang mampu melakukan tindakan operasi dan transfusi darah. Selama dalam
perjalanan ketempat rujukan penolong bisa tetap melakukan kompresi bimanual
eksterna atau kompresi aorta abdominalis yaitu dengan cara meraba arteri femoralis
dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut. Genggam tangan kanan
kemudian tekankan pada daerah umbilicus, tegak lurus dengan sumbu badan,
sehingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat, akan menghentikan
atau sangat mempengaruhi denyut arteri femoralis. 1,3,10
10

Terapi Farmakologik
Pengobatan uterotonika merupakan terapi terpilih untuk pemberian obat-
obatan perdarahan post partum karena atonia uteri. Tabel dibawah ini menunjukkan
obat-obat uterotonik, dosis, efek samping, dan kontraindiksinya.
Penggunaan Tampon Uterus
Pada kondisi di mana rujukan tidak memungkinkan dan semua upaya
menghentikan perdarahan tidak berhasil maka alternative yang mungkin dapat
dilakukan adalah pemasangan tampon utero-vaginal.11
Pemasangan tampon uterovagina
1. Vagina dibuka dengan spekulum, dinding depan dan belakang serviks
dipegang dengan ring tang, kemudian tampon dimasukkan dengan
menggunakan tampon yang melalui serviks sampai ke fundus uteri.
2. Apabila perdarahan masih terjadi setelah pemasangan tampon ini,
pemasangan tampon tidak boleh diulangi, dan segera harus dilakukan
laparotomi untuk melakukan histerektomi ataupun ligasi arteria
hipogastrika.11
11

Gambar 7 : Cara
pemasangan tampon uterovaginalis11
Alternatif dari pemasangan tampon selain dengan kasa, juga dipakai
beberapa cara yaitu: dengan menggunakan Sengstaken-Blakemore tube, Rusch
hidrostatik balloon kateter (Folley catheter) atau SOS Bakri tamponade balloon
catheter. Cara penggunaannya adalah dengan menginsersikan balon pada uterus
kemudian dikembangkan dengan menggunakan cairan saline sebanyak 500 ml lalu
dapat dipasang tampon kasa pada vagina untuk menjaga balon tetap di berada dalam
uterus serta untuk mengevaluasi perdarahan, dan dilepas 24-48 jam kemudian.13
12

Gambar 8 : Bakri ballon, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley catheter), dan
Sengstaken-Blakemore tube13
3. Operatif
a. Ligasi arteri uterine
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterine menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterine yang
berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika
dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah
rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan
benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uteria. Saat melakukan
ligasi, hindari rusaknya vasa uterine dan ligasi harus mengenai cabang
asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm
miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan bilateral pada vasa uterina
bagian bawah, 3- cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus
mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim
dan cabang arteri uterina yang menuju ke serviks, jika perdarahan masih
terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa
ovarian.8,9,12
Gambar 9 : Ligasi
arteri uterine. 8
b. Ligasi arteri
Iliaka Interna
Identifikasi bifurkasio arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral parallel
dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial
kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan
13

eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan
benang non absorbable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. hindari
trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan
femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Resiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.8,9,12
Gambar 10 : Anatomi arteri iliaca Interna8
Gambar 11 : Tempat Ligasi a. Iliaka Interna8
14

c. Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh
Christopher B-Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk
mengatasi perdarahan post partum.9,12,13
Gambar 12 : Teknik B-Lynch pada penanganan Atonia Uteri 12
d. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika
terjadi perdarahan postpartum masif yang membutuhkan tindakan operatif.
Insidensi mencapai 7-4 per 10.000 kelahiran. 1,3,9,10,12,13
G. PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada jumlah darah yang hilang (sesuai dengan rasio
berat badan pasien), komplikasi yang terjadi, dan keberhasilan terapi.11
15

H. PENCEGAHAN
Untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum ialah manajemen aktif
kala III. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cochrane yang membandingkan
pasien yang mendapat oksitosin ternyata terjadi penurunan rata-rata jumlah darah
yang hilang, perdarahan postpartum, dan kebutuhan akan oksitosin tambahan
dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan oksitosin. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian oksitosin sebelum pengeluaran plasenta dapat
mengurangi jumlah darah yang hilang dan juga jumlah transfusi postpartum yang
dibutuhkan. Beberapa penelitian lain justru menunjukkan tidak ada pengaruh
mengenai waktu pemberian oksitosin.9
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
postpartum dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan,
anemia, dan kebutuhan transfusi darah. Kegunaan utama oksitosin sebagai
pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan
tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling
bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan
pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5
unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam. Analog sintetik
oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk
mencegah dan mengatasi perdarahan postpartum dini. Karbetosin merupakan obat
long-acting dan onset kerjanya cepat. Penelitian di Canada membandingkan antara
pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan
operasi sesar, kartebosin ternyata lebih efektif dibandingkan oksitosin.9
16

DAFTAR PUSTAKA
1. Smith RJ. Postpartum Hemorrhage. December 2012. Available in URL :
http://emedicine.medscape.com/article/275038-overview
2. Angka Kematian Ibu. 2012. Available in URL: www.menegpp.go.id
3. Lim Shan Pei. Uterine Atony: Management Strategies. University Kebangsaan
Malaysia Medical center. Available in URL: www.intechopen.com
4. Foley MR, Strong TH, Garite JT. PostPartum Hemorrhage. In : Obstetric
Intensive Care Manual. Third edition. McGraw-Hill. United States. 2011
5. Winkjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. anatomi Alat Kandungan. In:
Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono. 2006.
6. Pelatihan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Atonia Uteri. Bagian Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar.2008
7. Uterua. Encyclopedia Britannica Facts matter. 2012. Available in URL:
http://global.britannica.com/EBchecked/topic/620603/uterus
8. Sherwood L. Sistem Reproduksi. In: Fisiologi Manusia Edisi 2. Jakarta:
EGC.2001. Hal. 728-732.
9. Cunningham,FG. Obstetrical Hemorrhage. In : Williams Obstetrics. Twenty
Second edition. USA. McGraw-Hill. 2005
10. Pernoll, ML. Uterine Atony. In : Benson and Pernoll’s Obstetricts and
Gynecology. Tenth Edition. USA. McGraw-Hill.2001.
11. Saifuddin, AB. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Perdarahan Pascapersalinan. Edisi Pertama. Jakarta. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono. 2002
12. Gabbe GS, Niebyl RJ, Simpson LJ. Obstetrichs Normal and Problem
Pregnancies. 5 th edition. Uterine Atony. 2007.
13. C. V-Lynch, L. G. Keith,A. B. Lalonde, and M. Karoshi, Eds. A Textbook of
Postpartum Hemorrhage. A Comprehensive Guide to Evaluation, Management
and Surgical Intervention. Sapiens Publishing. 2006.
17