penanaman sorgum pada ber

43
KAJIAN PRODUKSI SORGUM PADA SISTEM SILVO PASTURAL AGROFORESTRI DI GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA Makalah Hasil Program Studi Ilmu Peternakan Diajukan oleh : Marhen Harjono 11/323555/PPT/00791 Kepada PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS GADJAH MADAH YOGYAKARTA i

Transcript of penanaman sorgum pada ber

Page 1: penanaman sorgum pada ber

KAJIAN PRODUKSI SORGUM PADA SISTEM SILVO PASTURAL AGROFORESTRI DI GUNUNG KIDUL

YOGYAKARTA

Makalah HasilProgram Studi Ilmu Peternakan

Diajukan oleh :

Marhen Harjono11/323555/PPT/00791

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADAHYOGYAKARTA

Desember, 2012

i

Page 2: penanaman sorgum pada ber

Seminar Hasil

KAJIAN PRODUKSI SORGUM PADA SISTEM SILVO PASTURAL AGROFORESTRI DI GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA

Diajukan oleh :

Marhen Harjono11/323555/PPT/00791

Telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama

Bambang Suwignyo. S.Pt., M.P., Ph.,D Tanggal………………….

Pembimbing Pendamping

Prof. Dr. Ir. Ristianto Utomo. SU Tanggal…………………..

ii

Page 3: penanaman sorgum pada ber

KAJIAN PRODUKSI SORGUM PADA SISTEM SILVO PASTURAL AGROFORESTRI DI GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA

Oleh :

Marhen Harjono011/323555/PPT/791

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas tanaman sorgum (Sorghum bicolor) yang di tanam pada sistem silvo pastural agroforestri. Sorgum yang telah ditanam ada tiga jenis varietas, yaitu varietas sorgum Manis, sorgum varietas CTY dan varietas Numbu. Sistem silvo pastural agrofoerstri menggunakan tiga fase yaitu fase awal, fase menengah dan fase lanjut. Jenis hutan agroforestrinya adalah tanaman pohon jati, pohon mahoni, akasia serta pohon kakao. Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial. Faktor utamanya adalah fase silvo pastural agroforestri yang terdiri dari fase awal (F1), fase menengah (F2) dan fase lanjut (F3) dan faktor interaksinya adalah varietas Manis (S1), CTY (S2) dan varietas Numbu (S3). Penelitian ini telah dilakukan di Desa Klanggeran Gunung Kidul Daerah Istimewah Yogyakarta, waktu pelaksanaannya dimulai dari April sampai September 2012. Dari penelitian yang telah dilakukan rata-rata produksi berat segar tanaman yang di panen pada umur 70 hari adalah fase pertama sebanyak 23,69 ton/ha, fase menengah sebanyak 8,09 ton/ha dan fase lanjut 10,16 ton/ha. Dari segi varietas, varietas Manis menghasilkan 12,05 ton/ha, CTY 13,91 ton/ha dan Numbu sebanyak 15,99 ton/ha. Jika dilihat dari rata-rata kandungan nutrien protein kasar pada tiga fase agroforestri maka fase awal sebanyak 6,29% fase menengah 7,43% dan fase lanjut 7,87%. Kandungan protein kasar dari tiga varietas yang ditanam, varietas sorgum Manis sebanyak 6,86% varietas CTY 7,35% dan varietas Numbu 7,39%. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa produksi pada fase awal memiliki hasil lebih banyak jika dibandingkan pada fase menengah dan lanjut sedangkan untuk kandungan untuk kandungan protein kasar fase lanjut memiliki kandungan protein lebih tinggi jika dibandingkan pada fase awal dan menengah.

Kata Kunci : Produktivitas, Varietas Manis, CTY, Numbu, Silvo Fastural Agroforestri, Fase Awal, Fase Menengah dan Fase Lanjut.

iii

Page 4: penanaman sorgum pada ber

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Upaya pengembangan produksi ternak ruminansia menuntut adanya

ketersediaan pakan yang stabil dan berkualitas, karena pakan merupakan faktor

penentu keberhasilan dan kelangsungan usaha produksi. Ternak sapi dan

kerbau secara langsung membutuhkan pakan hijauan walaupun tersedia pula

pakan tambahan (konsentrat) guna memenuhi kebutuhan nutrisi (Malik, 2011),

namun penyataan tersebut tidak semua dimiliki oleh setiap Provinsi atau

Kabupaten yang berada di Indonesia.

Gunung Kidul adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi

Daerah Istimewah Yogyakarta (DIY), yang merupakan sentra peternakan dimana

hampir setiap rumah tangga memelihara ternak baik ternak besar seperti sapi

dan kerbau maupun ternak kecil, kambing dan domba. Menurut data Badan

Pusat Statistik Gunung Kidul (2010), jumlah populasi ternak sapi sebanyak

126.461 ekor. Suatu permasalahan sangat mendasar yang dimilki Kabupaten

Gunung Kidul ini adalah karena daerah ini merupakan dataran tinggi

pegunungan kapur, jika terjadi musim kemarau sumber air sangat minim sekali

sehingga tanaman pakan baik yang dibudidayakan ataupun belum dikelola

secara intensif rata-rata mati akibat kekeringan sehingga peternak sangat

kesulitan dalam mendatangkan bahan pakan khususnya Hijauan Makanan

Ternak (HMT). Permasalahan lain yang dimiliki sebagian masyarakat peternak

Gunung Kidul adalah lahan kosong yang selama ini dimanfaatkan untuk

budidaya pakan ataupun pangan, saat ini dijadikan tanaman perkebunan kayu

jati, mahoni dan jenis pohon tahunan lainnya.

Tanaman perkebunan yang telah dilakukan oleh masyarakat Gunung

Kidul, dapat dikategorikan dalam tiga fase, fase pertama adalah masa penaman,

dimana lahan tempat pertanian tanaman pangan tadi baru ditanami dengan bibit

jati, mahoni dan jenis lainnya. Fase yang kedua adalah fase menengah dimana

tanaman pohon mulai membesar sehingga kanopi tanaman perkebunan sudah

mulai menutupi sinar matahari menembus permukaan tanah, dan fase yang

ketiga dikategorikan fase lanjut, tanaman perkebunan telah besar dan kanopi

sudah menutupi permukaan dan sampai menunggu pemanenan hasil hutan.

1

Page 5: penanaman sorgum pada ber

Desa Klanggeran merupakan desa yang berada di Kabupaten Gunung

Kidul, yang mana mata pencaharian penduduknya adalah disektor peternakan,

pertanian dan perkebunan. Permasalahan dalam bidang peternakan yaitu

tanaman pakan akan mati dimusim kemarau dan sebagian lahan lain dijadikan

untuk tanaman perkebunan, sehingga mata pencaharian yang terfokus pada

sektor peternakan akan sangat kesulitan dalam mencari bahan pakan, bahkan

peternak harus mendatangkan bahan pakan dari luar kabupaten.

Permasalahan tersebut di atas perlu dicarikan solusinya agar peternakan

tetap menjadi suatu mata pencaharian, pangan tetap tersedia dan lahan

perkebunan menjadi sumber pendapatan dalam jangka panjang. Dalam

memecahkan masalah ini perlu diadakan penelitian dimana masyarakat tetap

bisa mengadakan hijauan pakan ternak dari lahan sendiri walaupun saat musim

kemarau, juga masyarakat tetap bisa menanam hijauan pakan dilahan yang telah

ditanam dengan tanaman perkebunan.

Sorgum atau dalam bahasa jawa disebut dengan chantel merupakan

tanaman pangan, pakan dan juga bahan bioethanol yang tahan terhadap

kekeringan dan memberikan hasil produksi yang tinggi baik untuk pangan

ataupun pakan (Sumantri et al., 1996). Tanaman ini akan dicoba untuk diteliti di

lahan kering dan yang telah ditanami dengan tanaman perkebunan dalam

beberapa fase, dengan harapan tetap memberikan produksi yang banyak,

kualitas yang baik walaupun ditanam di daerah kering dan di bawah naungan

tanaman perkebunan.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini berguna untuk mengetahui produksi tanaman sorgum

yang ditanam di daerah 3 fase agroforestri di Kabupaten Gunung Kidul

khususnya di Desa Klanggeran.

Manfaat Penelitian

Apabila penelitian ini berhasil dan sesuai yang diharapkan maka dapat

memberikan informasi baru bagi petani ataupun peternak tentang penanaman

sorgum di area sistem silvo pastural agroforestri sebagai pakan ternak

2

Page 6: penanaman sorgum pada ber

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Sorgum

Sorgum (Sorghum bicolor) adalah tanaman serealia yang potensial untuk

dikembangkan dan dibudidayakan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan

kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi

yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, input lebih sedikit serta

lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibandingkan tanaman pangan lain.

Selain itu, tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, sehingga

sangat baik digunakan sebagai sumber pangan maupun pakan ternak alternatif

(OISAT, 2011).

Zelaya (1996) yang dikutip oleh Yoku (2010), mengklasifikasikan sorgum

sebagai berikut :

Divisi : Anthophyta (angiospermae)

Kelas : monocotyledone

Ordo : poales

Famili : poaceace

Subfamili : panicoideae

Genus : sorgum

Spesies : Sorghum bicolor

FAO (2011), menyatakan bahwa tanaman sorgum tergolong graminae

atau rerumputan yang tumbuh semusim atau perenial dalam jangka pendek.

Lebih lanjut Suprapto dan Mujisono (1987) menjelaskan bahwa secara morfologi

tanaman ini mempunyai karakteristik membentuk akar lateral yang mencapai 1,3-

1,8 m dan panjang akar total dapat mencapai 10,8 m. Tinggi tanaman mencapai

2,5 m dan dapat membentuk tunas atau anakan baru. Sorgum juga dapat

membentuk anakan yang tumbuh di atas akar, daun berjumlah sekitar 6-12 helai

dan permukaan daun dilapisi oleh lilin yang tebal sehingga dapat mengurangi

transpirasi. Bunga berbentuk malai bertangkai panjang dan dapat melakukan

penyerbukan sendiri, biji tertutup oleh sekam, ada yang tertutup sebagian atau

tidak tertutup sama sekali. Warna biji ada yang putih abu-abu, merah hingga

coklat tua, kuning dan kehitam-hitaman.

Sorgum (Sorghum bicolor) merupakan salah satu tanaman bahan pangan

penting di dunia. Kebanyakan produksinya digunakan sebagai bahan makanan,

3

Page 7: penanaman sorgum pada ber

minuman, makanan ternak, dan kepentingan industri. Tanaman sorgum

merupakan sumber karbohidrat yang mudah dibudidayakan. Dalam setiap 100

gram sorgum, terkandung 73,0 gram karbohidrat dan 332 kcal, serta nutrisi

lainnya, seperti protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin B1 dan air

(Rukmana dan Usman, 2005). Selain memiliki potensi sebagai sumber

karbohidrat, tanaman sorgum, mempunyai keistimewaan lebih yaitu tahan

terhadap kekeringan dan genangan bila dibandingkan dengan tanaman palawija

lainnya serta dapat tumbuh hampir di setiap jenis tanah, mudah dibudidayakan

dengan daya hasil yang cukup tinggi, sedikit membutuhkan air, resiko

kegagalannya kecil, daya adaptasi luas baik ditanam secara monokultur maupun

dalam pola tanam ganda, dapat diratun sehingga bisa menghemat waktu, tenaga

dan pupuk.

Pertumbuhan Tanaman

Pertumbuhan tanaman adalah suatu proses pertambahan ukuran, baik

volume, bobot, dan jumlah sel yang bersifat irreversible (tidak dapat kembali ke

asal) yang mencerminkan bertambahnya protoplasma akibat bertambahnya

ukuran dan jumlah sel, sedangkan pertumbuhan tinggi tanaman merupakan

pertambahan ukuran tinggi tanaman dimulai dari awal pertunasan sampai

tanaman menjadi tua (Harjadi, 1991). Menurut Sitompul dan Gorito (1995) disitasi

oleh Saputro (2006) menyatakan pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran

tanaman secara keseluruhan dari organ-organ akibat pertambahan jaringan sel

yang mengalami pertambahan ukuran sel, jumlah sel yang semakin besar dan

semakin banyaknya bahan organik atau unsur-unsur yang diambil dari

lingkungan, seperti CO2, unsur hara, air dan radiasi matahari.

Menurut Gardiner et al. (1985) disitasi Saputro (2006), faktor-faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan dikategorikan sebagai faktor eksternal dan faktor

internal. Faktor eksternal meliputi iklim (cahaya, temperatur, air, angin, panjang

hari), tanah (bahan organik, tekstur, ketersediaan nutrien, pH) dan biologis

(gulma, serangga, bakteri), sedangkan faktor internal antara lain meliputi laju

fotosintesis, respirasi, aktivitas enzim, pengaruh gen dan defrensiasi. Van Soest

(1994) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan

produksi tanaman adalah faktor lingkungan yang terdiri cahaya temperatur,

panjang hari ketinggian tempat air, kesuburan tanah dan faktor genetik yaitu

spesies dan morfologi.

4

Page 8: penanaman sorgum pada ber

Produksi dan Nutisi Tanaman Sorgum

Sebagai pakan ternak ruminansia, hijauan sorgum biasanya

dimanfaatkan sebagai pakan bagi ternak sapi perah dan ternak sapi yang

digemukkan. Hijauan sorgum ini sangat palatabel terutama tanaman yang masih

muda dan yang sedang berbunga. Nilai nutrisi yang dikandung sorgum yang

menjelang berbunga adalah 21% bahan kering, 12,8% protein kasar, 2,0%

lemak, 31,5 serat kasar, dan 44,6% BETN (Legel 1990).

Supriyanto (2010), menjelaskan bahwa batang dan daun sorgum dapat

dimanfaatkan untuk pakan ternak, terutama sapi, batangnya renyah dan manis.

Di Australia dikembangkan forage sorgum dan sweet sorgum untuk pakan

ternak. Potensi batang dan daun sorgum dapat mencapai 30-40 ton/ha berat

basah. Dijelaskan oleh Sirappa (2003), Limbah sorgum (daun dan batang segar)

dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak. Potensi daun sorgum manis

sekitar 14−16% dari bobot segar batang atau sekitar 3 ton daun segar/ha dari

total produksi 20 ton/ha.

Jerami sorgum merupakan limbah tanaman sorgum yang sering

digunakan sebagai pakan sapi dipedesaan. Jerami sorgum relatif sama

komposisi zat nutrisinya dengan jerami padi. Protein jerami padi 4,8% demikian

pula jerami sorgum. Kecernaan jerami sorgum 53,5% sedangkan jerami padi

adalah 42,5%. Pada fase vegetatif, lignin jerami sorgum sebesar 7% dan HCN

yang terkandung cukup tinggi. Lignin, HCN dan rendahnya protein kasar

merupakan kendala pengunaan jerami sorgum. Upaya untuk meningkatkan

pemanfaatan jerami sorgum dapat dilakukan dengan amoniasi. Sapi lebih toleran

terhadap tanin. Tanin pada sapi juga dapat mencegah penyakit kembung

(Gunawan dan Zainudin, 1995)

Soebarinoto dan Hermanto (1996) melaporkan bahwa setiap hektar

tanaman sorgum dapat menghasilkan jerami lebih kurang 2,62 ton bahan kering.

Konsumsi rata-rata setiap ekor sapi adalah 15 kg daun segar/hari (Direktorat

Jenderal Perkebunan, 1996). Daun sorgum tidak dapat diberikan secara

langsung kepada ternak, tetapi harus dilayukan dahulu sekitar 2−3 jam.

Hijauan sorgum juga dimanfaatkan sebagai hay. Hay sorgum yang

berasal dari hijauan yang dipanen pada umur 50 hari mengandung 16,2% protein

kasar dalam bahan kering. Kandungan gula dan sari buah yang terdapat pada

tangkainya menyebabkan sorgum menjadi salah satu dari tanaman yang terbaik

5

Page 9: penanaman sorgum pada ber

untuk dijadikan silase ( FAO, 2011). Keskin et al. (2005) melaporkan bahwa nilai

nutrisi yang ada dalam silase hijauan sorgum adalah 29,29% bahan kering,

92,21% bahan organik, 11, 45% protein kasar, 63,50% NDF dan 39,65% ADF.

Agroforestri

Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem dan teknologi penggunaan

lahan, secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan

mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.)

dengan tanaman pertanian dan /atau hewan (ternak) dan /atau ikan, yang

dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi

ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada (Rianse dan Abdi,

2010). Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestri dikenal dengan istilah

wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan

di lahan pertanian. Agroforestri merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan

agronomi, yang memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan

untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian, peternakan dan

pelestarian hutan (King, 1979).

Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat

dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan

sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem

pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau

lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar

mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau

dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk

lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang

bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat),

nangka, melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti

dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada

tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, sorgum, kedelai, kacang-kacangan,

ubi kayu, sayur sayuran dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Sistem

agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan

banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun

yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti

pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat

6

Page 10: penanaman sorgum pada ber

beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman

musiman dan rerumputan dalam jumlah besar.

Ciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik

dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan

primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut

sebagai agroforestri (Icraf dalam Hairiah et al., 2003).

Pertanaman Ganda

Pertanaman ganda didefinisikan sebagai penanaman dua atau lebih jenis

tanaman pada suatu lahan dalam satu tahun atau didefinsikan penanaman

dalam dimensi ruang dan atau waktu (Palaniappan, 1985). Pertanaman ganda

mempunyai berbagai macam bentuk secara garis besar dibedakan menjadi

tanaman berurutan dan tumpang sari. Pertanaman berurutan adalah penanaman

dua atau lebih tanaman secara berurutan pada suatu lahan selama satu tahun,

biasanya tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertamanya dipanen.

Tumpang sari merupakan bentuk penanaman dua atau lebih tanaman secara

bersamaan pada lahan yang sama (Plucknett dan Smith, 1986). Pada masa

sekarang ini, pola tanaman tumpang sari dilakukan karena berbagai alasan

fisioteknik maupun sosial ekonomi antara lain pemanfaatan faktor lingkungan

yang lebih baik, stabilitas hasil yang lebih tinggi pada berbagai lingkungan,

perlindungan terhadap tanah, menjaga keseimbangan antara masukan dan

keluaran serta penyediaan bahan pangan (Beets, 1982).

7

Page 11: penanaman sorgum pada ber

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

Landasan Teori

Sorgum merupakan jenis tanaman biji-bijian yang telah lama dikenal oleh

masyarakat Indonesia. Sorgum termasuk dalam kategori bahan pangan namun

sorgum juga dapat menjadi bahan pakan alteratif dan sumber bahan industri

untuk pembuatan energi bioetanol. Dilihat dari sudut pandang sebagai bahan

pakan, sorgum mempunyai beberapa kelebihan diantaranya adalah dapat

tumbuh di daerah curah hujan yang rendah dan daerah kering. Batang dan

daunnya memiliki komposisi kimia yang tinggi seperti protein kasar (PK), energi

dan lemak kasar. Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah sorgum

mempunyai daya kesukaan (palatabel), apalagi diberikan ke ternak pada saat biji

mulai megeras atau sekitar umur 50-70 hari setelah tanam, sehingga bahan

pakan alternatif ini sangat cocok sebagai bahan pakan ruminansia besar dan

dibudidayakan di daerah kering.

Tanaman sorgum dapat menghasilkan anakan baru/ratun yang tumbuh

pada bagian akarnya, apabila jumlah produksi sangat melimpah maka sorgum

dapat dibuat silase sebagai bahan pakan ternak. Silase sorgum juga disukai oleh

ternak dan kandungan protein kasarnya juga tinggi mencapai 11,45%. Disamping

itu hijauan sorgum ketika dalam jumlah yang cukup banyak dapat dibuat hay

sebagai bahan pakan awetan untuk diberikan keternak pada saat persediaan

sudah berkurang.

Sistem agroforestri dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah

tanaman perkebunan baru ditanam, dimana lahan masih sangat cocok untuk

ditanam tanaman pangan ataupun pakan seperti sorgum. Fase menengah

adalah tanaman perkebunan mulai membesar tapi cahaya matahari masih

menembus bagian bawah pohon dan fase lanjut adalah tanaman perkebunan

suda siap untuk dipanen dan sinar matahari suda tertutupi oleh pepohonan

perkebunan.

Dalam memanfaatkan lahan secara optimal, tanaman sorgum dapat

ditanam di area agroforestri, dimana harapannya adalah tanaman sorgum dapat

menghasilkan produksi yang tinggi baik dari sudut pandang sebagai hijauan

makanan ternak (HMT) maupun sebagai bahan pangan untuk diambil bijinya.

Namun suatu permasalahan yang dihadapi pada penanaman sistem tumpang

8

Page 12: penanaman sorgum pada ber

sari agroforestri adalah apabila tanaman perkebunan sudah mulai membesar

dan kanopi daun menutupi bagian bawah maka tanaman bagian bawah akan

kekurangan cahaya dan menyebabkan produksi akan berkurang apabila

dibandingkan dengan penanaman pada fase awal atau tanaman perkebunan

baru tanam.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ;

1. Produksi berat segar ataupun bahan kering tanaman sorgum tidak akan

sama dalam tiap fase.

2. Produksi fase awal lebih banyak jika dibandingkan dengan fase

menengah dan fase lanjut.

3. Nilai nutrien komposisi kimia sorgum tidak akan sama setiap varietas

maupun fase agroforestri.

9

Page 13: penanaman sorgum pada ber

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian lapangan ini telah dilaksanakan di Desa Klanggeran

Kecamatan Patuk Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarta (DIY).

Desa Klanggeran berada 640 m di atas permukaan laut (BAKOSURTANAL,

1996). Analisis laboratorium akan dilaksanakan di Laboratorium Hijauan

Makanan Ternak dan Pastura, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, dimulai dari awal bulan

April 2012 sampai akhir Agustus 2012. Jenis tanah Desa Klanggeran adalah

tanah ultisol. Sebelum penelitian ini dimulai, terlebih dahulu melakukan

pengamatan untuk data pendukung seperti mengidentifikasi jenis dan nama

pohon naungan pada lahan yang telah digunakan sebai faktor naungan dalam

penelitian ini dan juga menghitung jumlah naungan pada masing-masing fase

perlakuan.

Materi Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih Sorgum. Benih

sorgum disini ada tiga varietas yaitu varietas sorgum Manis, CTY (varietas

sorgum jenis penghasil pati) dan Numbu (varietas sorgum penghasil biomasa).

Ketiga jenis varietas sorgum ini diperoleh di balai Pembibitan Benih Dinas

Pertanian Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bahan-bahan lain yang telah

digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk kandang, pupuk KCL dan pupuk

Urea serta furadan

Alat penelitian

Peralatan yang telah digunakan dalam penelitian ini dari awal sampai

akhir penelitian adalah, cangkul, garu manual, tali rapiah, meter ukur untuk

mengukur tinggi tanaman , timbangan gantung yang berfungsi untuk mengukur

kebutuhan pupuk kandang yang ditebar, serta timbangan analitik yang berfungsi

untuk menimbang sampel yang dianalisis.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan rancangan faktorial, dengan faktor

utama adalah tanaman sorgum yang terdiri atas tiga varietas yaitu varietas

Manis, varietas sorgum CTY dan varietas Numbu, sedangkan faktor interaksinya

10

Page 14: penanaman sorgum pada ber

adalah fase agroforestri yang terdiri dari fase awal, menengah dan lanjut. Simbol

dan kombinasi antara varietas sorgum dan fase silvopastura agroforestri dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kombinasi perlakuan antara varietas dan fase agroforestri

NoPerlakuan

KombinasiFase Agroforestri Varietas sorgum

123456789

F1 = Awal

F2 = Tengah

F3 = Lanjut

S1 = ManisS2 = CTYS3 = NumbuS1 = ManisS2 = CTYS3 =NumbuS1 = ManisS2 = CTYS3 = Numbu

F1S1F1S2F1S3F2S1F2S2F2S3F3S1F3S2F3S3

Secara keseluruhan terdapat 9 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan

sebagai blok. Masing-masing kombinasi perlakuan disetiap ulangan

menggunakan sebuah petak percobaan, sehingga secara keseluruhan terdapat

27 petak percobaan. Ukuran petak perlakuan adalah 6 m x 10 m.

Pelaksanaan Penelitian

Pengolahan tanah dan penanaman

Sebelum penanaman terlebih dahulu tanah dicangkul dan digemburkan

menggunakan cangkul dan garu. Setelah tanah selesai dicangkul lalu pemberian

pupuk kandang ke lahan yang telah dicangkul dengan dosis 10 ha (Lana, 2009).

Kemudian dilanjutkan pembuatan petak bedengan dengan ukuran 6 m X 10 m

dan jarak antar petak bedengan 1 m, jarak petak bedengan ini disamping

pembatas juga sebagai drainase. Gambar bedengan dapat dilihat pada Lampiran

1.

Penanaman dilakukan dengan cara ditugal kemudian ditutup dengan

tanah ringan pada kedalaman 1-2 cm degan jarak tanam 60 x 20 cm. tiap lubang

tanam diisi 2-3 butir benih biji sorgum.

Penyulaman. Penyulaman dilakukan apabila ada benih yang ditanam

dilahan penelitian tidak tumbuh atau ada yang mati. Penyulaman pertama kali

dilakukan satu minggu setelah tanam, alat yang digunakan berupa sabit yang

berfungsi untuk menggali tanah.

11

Page 15: penanaman sorgum pada ber

Penyiangan. Penyiangan dilakukan 2 minggu setelah tanam, yaitu

dilakukan dengan cara mencabut gulma yang tumbuh dan untuk gulma yang

masih kecil dibersihkan dengan sabit.

Pemupukan. Tanaman sorgum banyak membutuhkan pupuk N

(Nitrogen), pupuk anorganik yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk

adalah 200 kg/ha Urea, 100 kg/ha TSP atau SP36 dan 50 kg/ha KCl. Pemberian

pupuk urea diberikan dua kali, yaitu 1/3 bagian diberikan pada waktu tanam

sebagai pupuk dasar bersama-sama dengan pemberian pupuk TSP/SP36 dan

KCl, sisanya (2/3 bagian) diberikan setelah umur satu bulan setelah

tanam. Pemupukan dasar dilakukan saat tanam dengan cara di tugal sejauh 7

cm dari lubang tanam. Urea dan TSP/SP36 dimasukkan dalam satu lubang,

sedang KCl dalam lubang di sisi yang lain

Panen. Dalam setiap ulangan penelitian, akan dilakukan dua tahap

pemanenan, sampel pemanen akan diamabil 2 m2. Pemanenan pertama akan

dilakukan pada umur 70 hari dan pemanenan kedua pada umur 130 hari. Sampel

tanaman pada umur 70 hari akan dihitung analisis proksimatnya serta

kandungan kadar HCN dan pemanenan kedua hanya dihitung produksi berat

segar daun sorgum.

Variabel Pengamatan Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa variabel pengamatan dan analisis,

variabel tersebut adalah :

Tinggi tanaman. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengamatan

terhadap parameter pertumbuhan tinggi tanaman. Tanaman sampel diambil 5

lubang tanaman perpetak penelitian yaitu pada bagian empat sudut bagian tepi

diambil secara acak dan bagian tengah juga diambil secara acak dan kelima

lubang ini akan ditetapkan untuk diukur selama penelitian berlangsung.

Pengukuran tinggi tanaman akan dimulai dari minggu kedua setelah

tanam (Mst) dengan interval dua minggu sampai menjelang panen (Biji mulai

mengeras). Cara pengukuran dimulai dari permukaan tanah sampai ujung daun

yang paling tinggi.

Produksi hijauan berat segar. Dalam setiap tahap pemanenan akan

dilakukan penghitungan terhadap produksi berat segar. Cara pengukuran

terhadap produksi segar yaitu tanaman sorgum dipanen 2 m2 setiap perlakuan

lalu ditimbang berat segar dan dikonversikan dalam satuan hektar. Produksi

12

Page 16: penanaman sorgum pada ber

berat segar ini terdiri dari batang daun dan semua yang terpotong pada saat

panen.

Produksi berat kering. Hasil produksi bahan kering tanaman sorgum ini

akan dihitung dalam bentuk satuan kilogram per hektar (kg/ha) cara

mendapatkannya yaitu dihitung dengan cara mengalikan jumlah produksi berat

segar perpetak penelitian ke dalam satuan hektar dengan persentase kadar

bahan kering perpetak peneltian.

Nilai nutirisi hijauan sorgum. Nilai nutrisi hijauan sorgum akan

diperoleh melalui analisis proksimat (AOAC, 2005) yang meliputi kadar abu,

kadar serat kasar dan kadar protein kasar,

Kandungan HCN. Dalam penelitian ini, juga akan dilakukan analisis

kandungan asam siandia (HCN), untuk analisis kandungan HCN hanya pada

panen tahap pertama (70 hari), karena diperkirakan kandungan HCNnya masih

sangat banyak.

Analisis Data

Analisis data menggunakan SAS 9. Data hasil pengukuran setiap

variabel perlakuan dianalisis dengan anova. Apabila uji F menunjukkan adanya

pengaruh nyata dari masing-masing perlakuan maupun interaksinya, dilanjutkan

degan uji duncan (Duncan’s multiple ranges test) pada tingkat ketelitian 5%

(Gomez dan Gomez, 1995).

13

Page 17: penanaman sorgum pada ber

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini ada beberapa parameter yang diamati dan kemudian

data tersebut diambil dan dianalisis, parameter tersebut antara lain sebagai

berikut :

Produksi Berat Segar

Produksi berat segar tanaman sorgum diambil pada umur 70 hari dimana

pada umur ini tanaman telah berbuah, jumlah batang dan daun masih sangat

bagus untuk digunakan sebagai pakan ternak. Rata-rata produksi berat segar

hijauan tanaman sorgum terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi dan rata-rata hijauan segar tanaman sorgum umur 70 hari, (ton/ha)

Varietas 

FaseRata-ratans

F1 F2 F3S1 16,03 6,44 13,67 12,05S2 27,08 7,93 6,72 13,91S3 27,97 9,89 10,09 15,99

Rata-rata 23,69a 8,09b 10,16b

Keterangan : F1= Fase awal, F2= Fase Menengah, F3= Fase lanjut, S1= Manis, S2=CTY, S3= Numbu. ns = non significant a,b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan sangat nyata (P<0,01)

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan

statistical analysis system 9 ( SAS 9). Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa

rata-rata produksi berat segar antar fase menunjukan bahwa tiap fase terdapat

perbedaan yang nyata, dimana pada fase awal rata-rata produksinya adalah

23,69 ton/ha, produksi berat segar pada fase menengah adalah 8,09 ton/ha dan

pada fase akhir adalah 10,16 ton/ha.

Dari produksi hijauan sorgum yang dipotong pada umur 70 hari ini dimana

antara jumlah rata-rata produksi fase awal dengan fase menengah terdapat

selisih yang sangat signifikan yaitu 15,60 ton/ha, perbedaan yang besar sekali

apabila dibandingkan dengan fase menengah dan fase akhir yaitu 2,07 ton/ha.

Uji lanjut DMRT menggunakan SAS 9, menunjukan bahwa fase awal dengan

produksi 23,69 ton/ha sangat berbeda nyata dan untuk fase menengah dan fase

lanjut tidak terjadi perbedaan dalam hal jumlah produksi, Tabel Anova dan Tabel

DMRT menggunakan SAS 9 dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.

14

Page 18: penanaman sorgum pada ber

Perbedaan jumlah produksi yang sangat berbeda antara fase awal

dengan fase menengah dan lanjut adalah disebabkan oleh beberapa hal

diantaranya adalah karena jumlah intensitas sinar yang diterima pada fase awal

masih sangat optimal yaitu sinar matahari dapat menyinari tanaman dari pagi

sampai sore hari jika dibandingkan dengan fase menengah dan fase lanjut,

sehingga dengan intensitas cahaya matahari yang masih optimal maka sistem

fotosintesis berjalan dengan sempurna yang akhirnya akan menghasil produksi

yang lebih cepat, juga dijelaskan oleh Utomo (2003), tanaman C4 akan cepat

beproduksi dan akan cepat mengalami penuaan.

Apabila dilihat dari jumlah naugan yang berada pada lahan penelitian

maka jumlah naungan pada fase lanjut sistem agroforestri lebih banyak

naungannya jika dibandingkan dengan fase menengah, fase menengah jumlah

naungannya lebih banyak jika dibandingkan pada fase awal, sehingga jumlah

produksi berat segar tanaman jika melihat jumlah naungan yang terdapat pada

area penlitian adalah jumlah produksi akhir akan lebih sedikit jika dibandingkan

dengan fase menengah dan jumlah produksi fase menengah akan jauh lebih

sedikit jika dibandingkan dengan fase awal.

Dari penelitian yang telah dilakukan juga dapat diketahui seperti yang

yang terdapat pada Tabel 2 bahwa setiap varietas menunjukan jumlah produksi

yang hampir sama yaitu varietas sorgum manis sebanyak 12, 05 ton/ha, sorgum

varietas CTY dengan hasil rata-rata sesbanyak 13,91 ton/ha dan varietas Numbu

dengan rata-rata hasil produksi berat segar sebanyak 15, 99 ton/ha. Dari uji

analisis statistik menggunakan SAS bahawa hasil antar varietas dari ketiga

varietas yang ditanam tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Tidak adanya

perbedaan hasil produksi dari tiga varietas karena tanaman sorgum merupakan

tanaman tropis yang banyak membutuhkan sinar matahari sehingga dengan

kurangnya sinar maka akan terhambatnya sistem fotosintesis dan asimilasinya.

Hasil produksi berat segar dari penelitian ini telah menjawab dari tujuan

utama penelitian yaitu untuk mengetahui hasil dari masing-masing verietas yang

ditanam pada fase lahan penelitian dan produksi rata-rata tiap fase dari ke tiga

varietas tanaman sorgum. Pada fase awal lahan agrforestri memberikan hasil

yang lebih bagus dibandingan pada fase menengah dan fase lanjut sedangkan

untuk produksi dari ketiga varietas tidak memberikan hasil yang signifikan.

15

Page 19: penanaman sorgum pada ber

Produksi Bahan Kering Hijauan Sorgum

Hasil produksi bahan kering tanaman sorgum dalam penelitian ini dihitung

dalam bentuk satuan ton per hektar (ton/ha), Cara mendapatkannya adalah

dengan mengalikan jumlah produksi berat segar perhektar ( lampiran 4) tiap-tiap

perlakuan dengan persentase bahan kering dari dari perlakuan tersebut

(Lampiran 5). Persentase dan produksi rata-rata bahan kering tanaman sorgum

dapat dilihat pada Tabel 3 danTabel 4.

Tabel 3. Persentase bahan kering tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari (%)

Varietas 

FaseRata-rata

F1 F2 F3S1 22,19 23,57 27,95 24,57 S2 21,31 23,91 20,51 21,91 S3 24,77 25,10 26,00 25,29

Rata-rata 22,75 24,19 24,82  Keterangan : F1= Fase awal, F2= Fase Menengah, F3= Fase lanjut, S1= Manis, S2=CTY, S3= Numbu

Tabel 4. Rata-rata produksi bahan kering tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari (Ton/ha)

Varietas 

FaseRata-ratans

F1 F2 F3S1 3,72 1,56 3,86 3,05S2 6,30 1,93 1,37 3,20S3 6,92 2,50 2,61 4,01

Rata-rata 5,65a 1,99b 2,62b  Keterangan : F1= Fase awal, F2= Fase Menengah, F3= Fase lanjut, S1= Manis, S2=CTY, S3= Numbu. ns = non significant a,b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan sangat nyata (P<0,01)

Penelitian ini selain menjawab tujuan utama dari penelitian ini adalah

untuk membuktikan hipotesis yang diajukan, yaitu bahwa tanaman sorgum dapat

hidup dilahan yang kering dan curah hujan rendah, ada hal yang menarik selama

penelitian di lapangan, yakni tentang kondisi iklim wilayah penelitian. Mulai awal

sampai berakhirnya penelitian (4 bulan), di daerah penelitian tidak terjadi turun

hujan, sehingga penelitian ini juga dapat melihat secara langsung ketahanan

tanaman hijauan sorgum terhadap kondisi kekeringan karena tidak adanya

hujan. Apabila dilihat dari Tabel 3 persentase kandungan bahan kering tanaman

sorgum maka persentase rata-rata bahan kering tertinggi terdapat pada fase

16

Page 20: penanaman sorgum pada ber

lanjut yaitu sebesar 24,82% kemudian fase menengah dan disusul fase awal

yaitu 24,19% dan 22, 75%. Persentase bahan kering fase lanjut lebih tinggi

dibandingkan dengan fase menengah dan awal disebabkan karena dengan iklim

yang sama , tidak adanya hujan sebagai sumber air sedangkan ketersediaan air

tanah banyak diserap oleh pohon naungan maka sorgum yang difase lanjut akan

mengeluarkan respon fisiologis yaitu tanaman akan berusaha mempertahankan

proses metabolisme dalam tubuhnya dengan cara melakukan transpirasi,

sehingga kadar air yang terkandung pada tanaman tidak begitu banyak, dan

akan menurunkan produksi karbohidrat nonstruktural. Karakteristik morfologi juga

akan mempengaruhi kandungan bahan kering hijauan tanaman pakan. Pada

tanaman yang lebih banyak mempunyai batang akan lebih banyak mempunyai

kandungan bahan kering tanaman (Mansyur et al., 2005)

Hasil analisis statistik menunjukan bahwa produksi perhektar tanaman

sorgum yang ditanam pada fase agroforestri pada Tabel 4 terdapat adanya

perbedaan yang signifikan namun untuk masing-masing varietas tidak adanya

perbedaan yang signifikan (Lampiran 6). Produksi bahan kering tertinggi tiap fase

masih terdapat pada fase awal kemudian disusul pada fase lanjut dan

menengah.

Kandungan Protein Kasar

Kadar protein kasar ditentukan dengan prosedur Kjeldahl, metode ini

untuk mengukur nitrogen (N) total dalam bahan makananan. Persentase protein

kasar yang terdapat pada suatu bahan pakan ditentukan dengan mengalikan %

N dengan faktor protein yaitu 100/16 = 6, 25 ( umumnya protein mengandung

16% N) sehingga protein kasar = 6, 25 X % N (Tilman et al., 1998).

Dari penelitian yang telah dilakuan, persentase kandungan protein kasar

hijauan tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari dapat dilihat pada

Tabel 5.

17

Page 21: penanaman sorgum pada ber

Tabel 5. Persentase kandungan protein kasar tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari (%)

Varietas 

FaseRata-rata

F1 F2 F3S1 6,30 7,03 7,25 6,86a

S2 6,63 7,17 8,24 7,35b

S3 5,94 8,10 8,12 7,39b

Rata-ratans 6.29 7,43 7,87  Keterangan : F1= Fase awal, F2= Fase Menengah, F3= Fase lanjut, S1= Manis, S2=CTY, S3= Numbu. ns = non significant a,b Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan sangat nyata (P<0,01)

Hasil penelitian yang telah dilakuan, pada tanaman sorgum yang dipanen

pada umur 70 hari menujukan bahwa persentase rata-rata protein tertinggi

terdapat pada tanaman sorgum varietas CTY yang ditanam pada fase lanjut

(F3S2) yaitu sebesar 8,24 % dan yang kedua juga terdapat pada varietas

sorgum Numbu juga pada fase lanjut (F3S3) yaitu sebesar 8,12%. Dari Tabel 5

juga dapat diketahui bahwa rata-rata persentase terendah kandungan protein

kasar terdapat pada sorgum varietas Numbu fase pertama (F1S3) yaitu 5,9%

dan yang kedua persentase terendah terdapat pada sorgum varietas Manis pada

lahan agroforestri awal (F1S1) yaitu 6,30 %.

Apabila dilihat rata-rata persentase kadar protein kasar sorgum yang

dipanen pada umur 70 hari dari sudut fase agroforestri bahwa dari fase awal (F1)

sampai ke fase lanjut (F3) menunjukan adanya peningkatan kadar protein kasar

yaitu fase awal 6, 29 % fase menengah 7, 43% dan fase lanjut 7,89%. Adanya

perbedaan ini dapat disebabkan beberapa kemungkinan diantaranya adalah

karena jumlah intensitas sinar matahari yang diterima oleh tanaman, seperti yang

dijelaskan oleh Norton et al., (1990) tanaman pakan yang ditanam di bawah

naungan mempunyai kandungan nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan

tanaman yang ditanam pada lahan terbuka. Tingginya kandungan nitrogen

disebabkan kondisi naungan yang membuat ketersediaan nitrogen dalam tanah

mudah diserap oleh tanaman yang pada akhirnya akan meningkatkan

kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman (Wilson dan Ludlow, 1990; Wong

dan Wilson, 1980). Dari hasil analisis statistik, walaupun terjadi peningkatan

kadar protein kasar dari fase awal sampai ke fase akhir tidak menunjukan

adanya perbedaan yang signifikan antar fase, tabel anova dapat dilihat pada

Lampiran 7.

18

Page 22: penanaman sorgum pada ber

Analisis statistik rata-rata persentase kandungan protein kasar ketiga

varietas yang ditanam pada penelitian menunjukan adanya perbedaan yang

signifikan. Kandungan protein kasar tertinggi pada varietas Numbu yaitu sebesar

7, 39% kemudian yang kedua terdapat pada verietas CTY yaitu sebesar 7, 35 %

dan yang terendah terdapat pada sorgum varietas Manis yaitu sebesar 6, 86%.

Perbedaan kandungan disebabkan oleh genentik dari tanaman tersebut seperti

yang dijelaskan oleh Bogdan (1977) bahwa masing masing varietas maupun

spesies yang berbeda sifat genetis akan memengaruhi tanggapnya terhadap

pembentukan protein kasar. Selain faktor genetis, kadar protein kasar, serat

kasar, maupun HCN suatu tanaman dipengaruhi pula oleh iklim dan kesuburan

tanah tempat tumbuh, juga umur tanaman (Crowder dan Chedda, 1982). Oleh

sebab itu, kadar protein kasar dari hasil penelitian ini tidak sama (lebih rendah)

dari yang dilaporkan oleh Legel (1990).

Persentase Serat Kasar

Menurut Bogdan (1977) serat kasar merupakan dinding sel tanaman

terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang dilapisi lignin dan silika. Semakin tua

umur tanaman semakin tinggi kadar serat kasar yang ditunjukkan oleh dinding

sel tanaman yang semakin keras dan kuat sebagai penopang tanaman. Dalam

penelitian ini kandungan serat kasar tanaman sorgum yang potong pada umur 70

hari dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Persentase kandungan serat kasar tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari (%)

Varietas 

FaseRata-ratans

F1 F2 F3S1 28,15 26,09 24,69 26,31S2 25,29 24,76 27,06 25,70S3 30,58 25,12 23,92 26,54

Rata-ratans 28,01 25,33 25,23Keterangan : F1= Fase awal, F2= Fase Menengah, F3= Fase lanjut, S1= Manis, S2=CTY, S3= Numbu. ns = non significant

Hasil analisis persentase kadar serat kasar tanaman sorgum tidak

menunjukan adanya perbedaan yang signifikan baik interaksi, fase naungan

maupun varietas sorgum yang dipanen umur 70 hari (Lampiran 8). Apabila dilihat

antar fase menunjukan adanya perbedaan rata-rata persentase serat kasar.

19

Page 23: penanaman sorgum pada ber

Seperti yang terdapat pada Tabel 6, bahwa serat kasar tertinggi terdapat pada

fase awal yaitu 28,01 kemudian fase menengah dan fase lanjut. Rata- rata fase

pertama lebih tinggi dibandingkan fase menegah dan lanjut karena jumlah sinar

sinar matahari lebih banyak diterima sehingga dengan banyaknya sinar matahari

yang diterima maka proses fotosentesis lebih efektif dan tanaman akan cepat

mengalami penebelan dinding sel karena cepat mengalami penuaan

(Wilson,1981).

20

Page 24: penanaman sorgum pada ber

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa

hijauan tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari yang ditanam pada

fase awal menghasilkan produksi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan

fase menengah dan lanjut. Kandungan nutrien protein kasar tiap varietas

berbeda-beda, kandungan protein tertinggi terdapat pada varietas Numbu

kemudian varietas CTY dan varietas sorgum Manis.

Saran

Penelitian yang telah dilakukan ini dilaksanakan pada musim kemarau

dan sumber air yang terdapat di daerah gunung kidul sangat minim sekali,

disarankan untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka sebaiknya penelitian

di Gunung Kidul seharusnya pada awal musim Penghujan agar pertumbuhan

tanaman sorgum tidak terhambat.

21

Page 25: penanaman sorgum pada ber

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 2005. Official Methods of Analyisis of the Association of Official Analytical Chemists. Published by the Association of Official Analytical Chemist. Marlyand

Badan Pusat Satistik Gunung Kidul. 2010. Data Pertanian 2010. http://gunungkidulkab.bps.go.id/. Dibuka 12 April 2012.

Betts, W. C. 1982. Multiple Cropping and Tropical Farming System. Grower Publishing Company Limited Hamphsire, England.

Bogdan AV, 1977. Nutritive Value. Tropical Pasture and Fodder Plans. Longman Inc., London and New York; 14-18.

Crowder L dan Chedda HR, 1982. Tropical Grassland Husbandry. 1st edition. Longman, New York, London, 308−370.

De Foresta, H. and G. Michon. 1997. The Agroforestri Alternative to Imperata Grasslands: When Small Holder Agriculture and Forestry Reach Sustainability. Agroforestri Systems. Published by ICRAF, ORSTOM,CIRAD-CP and the Ford Foundation.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 1996. Sorgum Manis Komoditi Harapan di Provinsi Kawasan Timur Indonesia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang kacangan dan Umbi-umbian No.4-1996: 6−12.

Gomez, K. A dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Edisi kedua. Terjemahan E. Sjamsudin dan J. S. Baharsjah. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Gunawan dan D. Zainudin. 1995. Komposisi Zat Nutrisi Dan Anti Nutrisi Beberapa Jenis Sorgum Sebagai Faktor Utama Dalam Penyusunan Ransum Ternak. Dalam Buku, Risalah Symposium, Prospek Tanaman Sorgum Untuk Pengembangan Agro-Industri. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Pangan. Malang. Edisi Khusus Baliktabi No.4-1996.

Hairiah, K., M. A. Sardjono dan S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestri. Indonesia World Agroforestri Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. PO Box 161. Bogor, Indonesia.

Harjadi, M. M. 1991. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia, Jakarta.

Keskin, B., I H Yilmaz., M Aktif Karsli., H.Nursoy. 2005. Effects of Urea Plus Molasses Supplementation to Silage With Different Sorghum Varietas Harvested At the Milk Stage on the Quality in Vitro Dry Matter Digestibility of Silages. Turk J. Vet. Anim Sci. 29.

22

Page 26: penanaman sorgum pada ber

King, K. F. S., 1979. Agroforestri. Proceeding of the Fiftieth Symposium on Tropical Agriculture. Royal Tropical Institute, Amsterdam, The Netherlands.

Lana, W. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Sapi dan Mikoriza Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Tanah di Lahan Kering. Majalah Ilmia Untab. Vol 6. No. 1 Februari 2009. Tabana.

Legel, S. 1990. Tropical Forage Legums And Grasses. Institute of Tropical Agriculture of The Karl-Mark-University.Leipzig.

Malik, R. J. 2011. Alternatif Menjaga Ketersediaan Pakan Ternak. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten. Jl. Ciptayasa km 01 Ciruas, Serang, Banten. 42182.

Mansyur., P. Nyimas, Susilawati, dan T. Dahlia. 2005. Pertumbuhan Dan Produktivitas Tanaman Pakan Di Bawah Naungan Perkebunan Pisang. Jurnal Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung

Norton, B. W., J.R. Wilson, H.M.Shelton, and K.D. Hill, 1990. The Effect of shade on forage quality. In: H.M. Shelton and W.W Sturs (eds.). Forages for Plantation Crops. Proceeding of workshop, Sanur, Bali, Indonesia. 83 – 88.

OISAT. 2011. Sorghum. PAN Germany Pestizid Aktions-Netzwekk e.V. PAN Germany.

Plucknet, D. L. and N. J .H. Smith. 1986. Historial Perspectives On Multiple Cropping. In: Francis, C. A. Multiple Cropping Systems, Macmillan Publishing Company, New YORK. Pp 20-29.

Rukmana dan Usman. 2005. Budidya Rumput Unggul. Kanisius. Yogyakrta

Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestri, Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Alfabeta. Bandung

Saputro, K. 2006. Pengaruh Pemotongan Batang Terhadap Produksi dan Komposisi Kimia Daun, Serta Produksi Ubi Ketela Pohon. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada.

Supriyanto. 2010. Pengembangan Sorgum Dilahan Kering Untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan, Pakan, Energi dan Industri. SEAMEO-BIOTROP. IPB.BOGOR.

Sirappa, M. P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia Sebagai Komoditas Alternatif untuk Pangan, Pakan, dan Industri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar. Jurnal Litbang Pertanian. 22(4).

23

Page 27: penanaman sorgum pada ber

Soebarinoto dan Hermanto. 1996. Potensi Jerami Sorgum Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian No. 4-1996: 217−221.

Utomo, R. 2003. Penyediaan Pakan Di daerah Tropik:Problematika, Kontinuitas, dan Kualitas. Pengukuhan guru besar. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Van Soest, P. J. 1985. Composition, fiber Quality and Nutritive Value of Forage, In; M. E. Heat, R. F. Barnes and D. S. Metcalfe (Eds). Forages. 4th Ed. Lowa State University, Ames Lowa.

Yoku, O. 2010. Produksi Hijauan Dan Nilai Nutrisi Rumput Sudan (Sorgum Sudaneses) Sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Fakultas Peternakan.UGM.

Wilson, J. R. and M. M. Ludlow, 1990. The environment and potensial growth of herbage under plantations. In: H.M. Shelton and W.W Sturs (eds.). Forages for Plantation Crops. Proceeding of workshop, Sanur, Bali, Indonesia. 10 – 24.

Wilson, J. R. 1981. Plant structures: Their digestive and physical breakdown. In: Ho et al., Eds.). Recent Advances on the Nutrition of Herbivores. Proceeding of the Third International Symposium on the Nutrition of Herbivores. (Malaysian society of Animal Production. UPM., Serdang

Wong, C. C. and J.R. Wilson, 1980. Effect of shading on growth and nitrogen content of green panic and siratro in pure and mixed swards defoliated at two frequencies. Australian Journal of Agriculture Research. 31: 269-285.

24

Page 28: penanaman sorgum pada ber

Lampiran 1. Desain Bedengan Untuk Tiap-tiap Fase

Fase awal (A)

Ulangan 11 m

Ulangan 2 Ulangan 3

10m 10m 10m

B1S1 B2S2 B3S36m

B2S2 B3S3 B1S1 B3S3 B1S1 B2S2

Fase menengah (T)

10m 10m 10m

B1S1 B2S2 B3S3 6m B2S2 B3S3 B1S1 B3S3 B1S1 B2S2

Fase lanjut (L)

10m 10m 10m

B1S1 B2S2 B3S3 6m B2S2 B3S3 B1S1 B3S3 B1S1 B2S2

Keterangan

B1= blok ke 1, B2= blok ke 2, B3= Blok ke 3, S1= sorgum varietas manis, S2= sorgum varietas CTY, S3= sorgum varietas numbu

25

Page 29: penanaman sorgum pada ber

Lampiran 2. Tabel Anova produksi berat segar tanaman sorgum

Source DF Type SS Mean Square F Value Pr > FBlok 2 109,27 54,63 1,41 0,272Fase 2 1.292,77 646,38 16,68 0,001Varietas 2 69,92 34,96 0,90 0,421Interaksi 4 285,98 71,49 1,85 0,174

Lampiran 3. Tabel Uji Lanjut DMRT produksi segar tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari ( SAS.9)

Duncan Grouping Mean N FaseA 23,69 9 AwalB 10,16 9 MenengahB 8,09 9 Lanjut

Duncan Grouping Mean N Varietas A 15,98 9 NumbuA 13,91 9 CTYA 12,04 9 Manis

Lampiran 4. Produksi berat segar tanaman sorgum perhektar (ton/ha)

Varietas UlanganFase

Awal Menengah Lanjut

ManisU1 10,79 3,13 11,28U2 7,14 8,60 16,63U3 30,16 7,60 13,09

CTYU1 33,35 6,68 5,22U2 12,36 6,42 10,07U3 35,53 10,71 4,87

 Numbu U1 31,97 11,73 9,81U2 25,17 7,49 10,78U3 26,78 10,46 9,69

Lampiran 5. Persentase bahan kering tanaman sorgum (%)

Varietas UlanganFase

Awal Menengah Lanjut

ManisU1 21,70 21,08 28,98 U2 20,43 24,96 31,53 U3 24,43 24,67 23,36

CTYU1 23,99 27,13 21,27 U2 14,19 18,71 20,23 U3 25,75 25,89 20,04

 Numbu U1 25,25 26,72 25,63 U2 27,07 24,48 23,28 U3 21,98 24,08 29,09

26

Page 30: penanaman sorgum pada ber

Lampiran 6. Tabel Anova persentase berat kering tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari ( SAS.9)

Source DF Type SS Mean Square F Value Pr > FBlok 2 7, 286 3,643 1,08 0,362Fase 2 68,880 34,404 10,17 0,001Varietas 2 4,822 2,411 0,71 0,505Interaksi 4 22,988 5, 747 1,70 0,199

Lampiran 7. Tabel Anova persentase protien kasar tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari ( SAS.9)

Source DF Type SS Mean Square F Value Pr > FBlok 2 3,47 1,73 1,76 0,20 Fase 2 1,54 0,77 0,78 0,47 Varietas 2 11,99 5,99 6,08 0,01 Interaksi 4 2,95 0,73 0,75 0,57

Lampiran 6. Tabel Anova persentase serat kasar tanaman sorgum yang dipanen pada umur 70 hari ( SAS.9)

Source DF Type SS Mean Square F Value Pr > FBlok 2 56, 51 28,25 2, 42 0,12Fase 2 44,76 22,38 1,92 0,17Varietas 2 3, 76 1,68 0,14 0,86Interaksi 4 57,57 14,39 1,23 0,33

27