PENAKLUK UJUNG DUNIA

188
Penakluk Ujung Dunia Karya Bokor Hutasuhut Djvu, convert & Ebook : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/ Penakluk Ujung Dunia Ayahanda Bokor menjadi mubaliq Islam di Tanah Batak. Karena itu, dia suka ikut menyusup hutan belantara, mendaki bukit dan lembah Bukit Barisan. Menyusup melewati Pintu Pohan, Parhitean, naik ke Tangga dan tembus ke Simalungun. Juga kembali melalui Dairi ke Tanah Samosir.

Transcript of PENAKLUK UJUNG DUNIA

Page 1: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Penakluk Ujung Dunia Karya Bokor Hutasuhut

Djvu, convert & Ebook : Dewi KZ Tiraikasih Website

http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/

Penakluk Ujung Dunia

Ayahanda Bokor menjadi mubaliq Islam di Tanah Batak. Karena itu, dia suka ikut menyusup hutan belantara, mendaki bukit dan lembah Bukit Barisan. Menyusup melewati Pintu Pohan, Parhitean, naik ke Tangga dan tembus ke Simalungun. Juga kembali melalui Dairi ke Tanah Samosir.

Page 2: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Dalam perjalanan, sering ngobrol sepanjang malam dengan para tetua, wakil masa silam, masih primitif, sederhana, tapi simpatik. Dengan para tetua itu. Bokor setempat tidur dan para tetua terus bercerita

Di hutan, lembah, dan ngarai sudah biasa saja. Bertemu harimau dan binatang buas lain tak soal lagi. Dan, suatu kali, di suatu hutan, di atas dedahanan rimbun terdapat sarang tawon ruang pun memanjat poitu berusaha mengisap madu itu. Tapi, seseorang lantas ikut naik, memanjat pohon yang sama yang setelah bibir berdecap mengucap jampi, beruang itu menyisih .

Dan, "Penakluk Ujung Dunia" berkisah pada sulitnya memperoleh lahan. Perang warga sering berkecamuk. Lantas Ronggur mencoba menerobos Sungai Titian Dewata untuk mencari daerah baru. Kepergiannya dikutuk karena melawan tradisi. Dan, setelah dia kembali dan berhasil menemukan daerah baru, justru dia akan dihukum gantung karena Ronggur tetap saja sudah melawan tradisi kepercayaan yang sudah hidup turun temurun.

Sungguh menawan dan indah ....

PENAKLUK UJUNG DUNIA

Oleh: Bokor Hutasuhut Hak Pengarang dilindungi undang-undang Desain Kulit: Sriwidodo

Cetakan Pertama 1964 PT Pembangunan-Jakarta Cetakan Kedua 1988

Penerbit: PT Pustaka Karya Grafika Utama Jakarta

Page 3: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Sekilas Pengarang:

BOKOR HUTASUHUT, lahir di Balige, Tanah Batak, Sumatra Utara 2 Juni 1934. Dalam catatan masuk HIS, hari lahir itu berubah menjadi 2 Juni 1933. Menurut ayahnya, H.A.M. Mangaraja Gende Hutasuhut, perubahan itu perlu jika ingin sekolah. Dalam catatan itu juga tercatat nama benar Buchari Hutasuhut agar kelak menjadi pengarang tafsir Quran.

Sejak 1953 sudah menulis cerita pendek ke berbagai majalah sastera dan media budaya. Selain buku ini, juga sudah terbit buku "Tanah Kesayangan" dan "Datang Malam".

Kini berdomisili di Medan.

Page 4: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Kata Pengantar

Bokor Hutasuhut punya gaya bercerita yang merupakan gabungan sifat formal dan bebas. Formalitasnya, formalitas tutur kata bahasa lisan menurut tradisi Batak. Sedangkan kebebasannya, kebebasan penghayatan kebudayaan modem dari tradisi sastra modern.

Ia sangat sadar bahwa ia sedang menyelami dan melukiskan kehidupan masyarakat Batak yang unik tradisional kepada pembaca sastra modern pada umumnya. Ketelitiannya di dalam melukiskan detail-detail ia gabungkan dengan rasa harmoni seni dalam bercerita mengenai watak manusia, plot, segi memandang persoalan sebagai sastrawan modern. Sehingga hasilnya bukanlah sekedar laporan anthropolis - akademis, tetapi suatu karya sastra segar dengan latar belakang pengaruh tradisi kebudayaan Batak. Begitulah ia muncul sebagai sastrawan dengan gaya yang unik di antara sastraivan modern yang lain di Indonesia.

Ia bukan photo copy kebudayaan Batak, tetapi orang Batak tulen yang menjadi sastrawan Indonesia. Ia telah selesai melakukan wawancara dengan tradisinya dan dengan dinamika modern dari Indonesia Raya, lalu duduk dan menulis novel ini. Alangkah hidup detail-detail dari lukisannya. Satu pertanda bahwa ia mengerti betul-betul apa yang ia tuliskan.

Marilah kita sekarang menikmatinya.

Rendra

Page 5: PENAKLUK UJUNG DUNIA

1 Satu-satu para lelaki keluar rumah, memenuhi panggilan

suara gong yang dipalu sesekali dekat unggun api yang ada di halaman perkampungan. Wajah para lelaki yang bermunculan di mulut pintu, memancarkan rasa marah dan mendendam. Senja baru saja berlalu. Di langit bintang gemerlapan. Tapi, tidak ada bulan. Hingga cahaya unggun api yang samar, cukup punya arti. Nyalanya meliuk ditiup angin. Para lelaki itu membentuk lingkaran seputar unggun api. Tapi, di sebelah hulu, belum seorang pun mengambil tempat. Sengaja dikosongkan.

Angin pegunungan berhembus. Lebih dulu meliukkan pucuk bambu duri yang ditanam orang sekitar kampung, langsung menjadi pagar kampung. Bambu duri itu, ditanam melingkar. Mengikuti lingkaran rumah dan di tengah dikosongkan. Halaman kampung menjadi luas, tempat penghuni kampung selalu berkumpul di saat yang perlu. Di saat Kerajaan Marga yang mendiami kampung itu mengadakan musyawarah.

Wajah para lelaki tambah jelas kelihatan, setelah cukup dekat unggun api. Wajah yang cukup matang dan keras, yang dimasak kerasnya hidup sehari-hari, wajah yang menampung sinar matahari penuh. Dan, memecahkan tanah batu untuk dijadikan persawahan.

Gong masih dipalu sesekali. Para lelaki tambah banyak berkumpul. Tapi, satu sama lain, tampaknya saling diam. Dari jauh kedengaran suara ratap para perempuan. Kemudian kelompok manusia itu menjadi tambah hening, tidak ada yang berkerisik, sewaktu enam orang lagi lelaki datang mendekat. Salah seorang di antaranya menyandang ulos-batak ragi-hidup, kepalanya dibeliti bolat-an berwarna t iga jalin-menjalin: merah, putih, dan hitam. Tangan kanan memegang tungkotpanaluan, yang hulunya berukirkan wajah dan kepala manusia, serta dihiasi rambut manusia. Di pinggang, terselip

Page 6: PENAKLUK UJUNG DUNIA

pisau gajah-dompak. Pertanda dia Raja Panggonggom, yang memegang kekuasaan adat dan hukum tertinggi di perkampungan itu, di marga yang mendiami kampung itu.

Yang berjalan di sebelah kanannya, memakai bolatan juga. Tapi, warnanya hanya merah dan putih berjalinan, pertanda dia Raja Ni Huta. Juga dia menyandang ulos-batak, tapi raginya berbeda dengan yang dipakai oleh Raja Panggonggom. Raja Ni Huta yang memakai bolatan ini, pengerah tenaga rakyat, dan langsung memimpin para Raja Ni Huta dari kampung lain, yang masih semarga dengan mereka.

Di sebelah kiri Raja Panggonggom, berjalan seseorang yang memakai bolatan warna merah saja, pertanda dia Raja Nabegu, pemegang pimpinan para panglima dan para hulubalang perkasa. Dia juga menyandang ulos-batak, tapi raginya berbeda dengan ragi yang disandang fyaja Panggonggom dan Raja Ni Huta. Sedang di tangannya, tergenggam tombak yang hulunya berukirkan kepala manusia.

Di belakang mereka bertiga, mengiring pula Raja Partahi, Raja Namora, dan Datu Bolon Gelar Guru Mafla-sak. Raja Partahi dan Raja Namora, memakai bolatan warna putih, pertanda mereka pemegang perbekalan marga. Sedang Datu Bolon Gelar Guru Marlasak menyandang kulit monyet yang sudah kering, sedang mulutnya terus-terusan menguyah sirih dan meludah. Mereka mengambil tempat di sebelah hulu, yang sejak tadi dikosongkan. Tempat mereka lebih tinggi dari yang lain. Di tangan kiri Raja Panggonggom, tergenggam sebilah pisau yang ujungnya berlumur darah merah. Sebelum duduk, lebih dahulu dia menancapkan tungkotpanaluan ke tanah. Semua mata diarahkan padanya berusaha mengikuti gerak-geriknya. Kuping sudah, siap mendengar yang hendak diucapkannya.

Setelah mengangkat tangan kanan, dia mengaju tanya, "Apakah sudah semua lelaki hadir di sini?"

Page 7: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Setiap suku kata ditekankan kuat-kuat. Suaranya yang beruntum keluar dengan cepat, pewarta bahwa dia sedang marah. Matanya merah nyala. Sedang dari kejauhan, tetap kedengaran sesayup sampai ratap perempuan, yang meratap kan kepiluan hati, hati yang berduka. Ratap inilah yang. membuat wajah para lelaki itu bermuraman, muram mengandung marah yang menuntut dibalaskan. Cepat saja diketahui bahwa t idak seorang pun perempuan hadir di antara para lelaki yang mengitari unggun api itu.

"Sudah semua," sahut seseorang, yang langsung berdiri dari duduknya, kepalanya memakai bolatan warna hitan, tangannya menggenggam tombak berukirkan kepala manusia, tapi tidak berhiaskan rambut, pertanda dia panglima marga atau hulubalang marga.

"Apakah sudah berkumpul semua pemuda di sini?" tanyanya pula melanjut.

"Belum," sahut seseorang, yang juga memakai bolatan warna hitam, dan menggenggam sebuah tombak, tapi bolatannya lebih kecil dari orang pertama. Pertanda dia, hulubalang muda.

"Siapa yang belum hadir?" tanya raja.

"Si Ronggur."

"Si Ronggur belum hadir? Ke mana dia pergi?"

Tidak ada yang menyahut. Raja Panggonggom lalu mengatakan, "Ayoh, pergilah salah seorang dari kamu memanggilnya. Apakah harus aku yang pergi memanggilnya?"

Hulubalang Muda cepat berdiri. Terus pergi melaksanakan perintah. Dia berlari dengan langkah yang panjang dan cepat.

Kembali Raja Panggonggom duduk. Tongkat panaluan, pusaka nenek moyang turun-temurun dielusnya seketika. Tubuhnya yang sudah tua itu masih membayangkan bekas bentuk tubuh yang tegap di masa muda, disaputi kulit hitam

Page 8: PENAKLUK UJUNG DUNIA

yang cukup matang. Wajahnya yang berkerut-kerut, keningnya yang lebar, dan sinar matanya masih tetap bercahaya, bernadakan kepercayaan akan diri sendiri.

Para lelaki yang duduk di sampingnya, juga sudah agak tua. Di hadapannya, para lelaki yang masih muda, punya otot tubuh yang tegap dan masih berada di puncak kekuatan. Walau ada di antara mereka yang agak kecil, namun garis di wajahnya, ototnya, kulitnya yang hitam, segumpal daging yang dapat dipercaya kesehatan dan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Sedang para pemuda, yang tubuhnya setiap hari masih terus membentuk sebuah tubuh yang wajar, dan dari wajahnya memancar kebeningan tapi bercampur-baur dengan kematangan, sesuatu pertanda ketangkasan.

Sambil duduk, Raja Panggonggom menggerutu, "Kita harus menunggu anak itu lagi."

Tidak seorang pun yang berani menambahi cakapnya. Tapi, wajah Raja Nabegu, yang duduk sejajar dengannya, menjadi merah padam, seperti merasakan sesuatu kesalahan, kenapa Ronggur tidak bisa hadir sebelum golongan raja hadir di sana.

Dari jauh kelihatan dua orang pemuda mendekat.

"Apakah kau tidak mendengar gong dipalu? Apakah kau tidak mengetahui, apa arti gong yang dipalu dengan pukulan satu-satu? Apakah kau harus diajar untuk mendengar dan mengartikannya lagi? Bukankah kau sudah diajari Raja Nabegu?" tanya Raja Panggonggom cepat, ma-nyambut kehadiran mereka.

"Aku dapat mendengar dan mengartikannya, Paduka Raja," jawab pemuda itu.

"Kenapa kau tidak terus mematuhi panggilan? Kenapa kau melalaikannya? Apakah tubuhmu itu tidak dialiri darah merah yang diwariskan Almarhum ayahmu lagi?"

Page 9: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Masih, Paduka Raja."

"Tahukah kau bahwa ayahmu tidak pernah mengabaikan panggilan gong pusaka ini? Terlebih bila gong dipalu satu-satu? Ataukah dengan sengaja kau melambatkan kedatanganmu karena kau bukan seorang lelaki? Jawab pertanyaanku dengan jujur. Supaya para arwah nenek moyang dan dewata tidak marah."

"Paduka Raja, dalam tubuhku mengalir darah yang diwariskan ayahanda almarhum. Kupingku mendengarkan suara gong pusaka, malah langsung membakar semangatku."

"Kalau begitu, kenapa kau terlambat datang? Atau, kau memang sengaja mengabaikan panggilannya?"

"Aku tidak mengabaikannya, Paduka Raja. Tapi, aku sedang memikirkan, bagaimana aku harus melaksanakan perintah yang akan ditugaskan padaku. Dan apa yang harus kuucapkan dalam pertemuan ini, bila saat musyawarah diadakan."

"Nah, kalau begitu dengar dulu kataku."

Raja Panggonggom menebarkan pandang ke sekitar. Menatap wajah demi wajah dengan pandang tajam, lalu,

"Semua lelaki yang ada di hadapanku, yang pada tiap tubuhmu mengalir darah merah warisan nenek moyang, merahnya, api semangat yang tidak boleh dipadamkan. Barulah kau dapat dikatakan seorang lelaki yang menghormati nama baik nenek moyangmu, nama baik rajamu, nama baik kampung, margamu, dan marga kita. Dan, barulah pula kau wajar dihormati sebagai seorang lelaki."

Orang terdiam mendengarkan. Pada tiap wajah makin jelas kelihatan pancaran sesuatu cahaya yang tidak mau dipadamkan. Mata tiap orang menjadi merah dan gusar. Tubuh mereka berkeringat olehnya. Otot yang tegap itu menjadi mengencang, dibakar perasaan dalam hati.

Page 10: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Pada tangan sebelah kiriku," lanjut Raja Panggonggom, "tergenggam sebilah pisau, yang tadi pagi sengaja ditusukkan orang, orang dari marga lain, ke dada salah seorang dari antara kamu, dari antara kita, sehingga dia meninggal. Mayatnya sekarang terlentang kaku di Sopo Bolon. Sekitar mayatnya duduk melingkar para perempuan. Meratap berkepanjangan. Tentu kamu turut mendengar ratap mereka, ratap yang menangiskan sebuah perpisahan, perpisahan yang timbul karena perbuatan orang lain. Para perempuan itu berduka. Tapi, bagi kita para lelaki, tidak saja kepiluan mendatangi diri. Yang menekan hati, lebih berat mendatang dari penghinaan yang dengan sengaja diarahkan marga lain yang membunuh Ama ni Boltung itu. Penghinaan yang harus ditantang dengan sikap jantan, dengan darah merah yang memancarkan cahaya semangat yang tak akan padam pada tiap wajah kita. Ketahuilah, ratap para perempuan itu, sesuatu yang mengharapkan penuntutan balas. Kita terkutuk, bila kita tidak menuntut balas. Dan, kita tidak berhak lagi disebut dan dihormati sebagai lelaki, bila penghinaan yang sangat nista ini kita terima begitu saja."

Suara mendengung pada kelompok yang ada di depan raja. Berakhir dengan meledaknya ucapan, "Perintahkan dengan cepat, apa yang harus kami perbuat. Sebuah penghinaan harus segera dilenyapkan. Supaya orang lain tidak berani mengulanginya terhadap marga kita!"

"Ya, memang untuk itu kita berkumpul malam ini."

Ronggur berdiri. Matanya dilayangkan pada kelompok pemuda, kemudian pada kelompok para lelaki. Lalu tertumpu akhirnya ke tempat para raja.

"Ada yang hendak kau katakan?" tanya Raja Panggonggom.

"Ya. Kalau paduka raja mengijinkan aku berbicara," suaranya tegas dan pasti. Kuat meledak. "Bicaralah____"

Page 11: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Paduka Raja, dapatkah Paduka Raja menceritakan pada kami, kenapa marga lain itu menancapkan ujung pisaunya ke dada Ama ni Boltung?"

"Pisau itu mereka tancapkan ke dada Ama ni Boltung, karena persoalan pembagian air yang harus dialirkan ke sawah. Juga karena pertengkaran mengenai perbatasan sawah. Yang menyerang Ama ni Boltung, tidak seorang saja. Tidak kurang dari lima orang malah. Mereka menyerang sekaligus, hingga Ama ni Boltung yang sudah kita kenal keberanian dan ketangkasannya berkelahi, rubuh ke atas tanah. Tapi, janganlah kita beranggapan bahwa Ama ni Boltung terlalu lalai menghadapi musuhnya. Dia masih sempat membawa korban. Tidak kurang dari dua orang yang menyerang dirubuhkannya, dicabutnya nyawa mereka dengan ujung pisau. Dan, seorang lagi luka pada tangannya. Arwahnya tentu ditempatkan para dewata di tempat para hulubalang perkasa, tempat terhormat."

"Kuhormati kepahlawanan Ama ni Boltung," sahut Ronggur, "tapi yang paling perlu kita pikirkan sekarang, mula atau sebab timbulnya perkelahian itu. Dari keterangan Paduka Raja, dapatlah diketahui bahwa soalnya timbul karena pembagian air dan perbatasan sawah. Soal yang sudah terlalu sering menimbulkan pertengkaran, yang sudah terlalu sering mengakibatkan pecahnya perang antara satu marga dengan marga lain, antara satu lu hak dengan luhak lain. Yang menjadi pokok persoalan sekarang menurut pendapatku, hendaknya kita menelaah, kenapa persoalan begitu rupa tambah sering kita hadapi. Tambah sering mengganggu ketenteraman hidup? Mengganggu kerukunan hidup di pantai Danau Toba ini?" Semua terdiam. Juga raja.

Ronggur melanjutkan, "Soalnya, karena semakin sempitnya tanah yang dapat kita garap. Tadi siang, aku jalan-jalan sampai ke kaki bukit, yang tanahnya bercampur batu. Sudah sampai ke sana perluasan sawah. Tanah batu yang cukup

Page 12: PENAKLUK UJUNG DUNIA

keras itu mereka pecahkan dengan cangkul yang diayunkan kedua tangan mereka. Mereka melinggis pinggiran gunung batu, membangun sebuah parit saluran air. Lihatlah, betapa sungguhnya tiap orang dan marga yang ada di sekitar danau ini mempertahankan hidupnya. Mereka orang yang berani hidup. Yang taat melaksanakan pesan nenek moyang masing-masing, melanjutkan hidup keluarga dan marga."

"Cukup," kata raja, "kami juga sudah mengetahui itu. Kami juga turut bekerja. Tangan kami juga turut lecet karena mengayun pacul ke tanah berbatu. Keringat kami juga turut membasahi tanah batu, supaya batu menjadi lumat agar bisa menghasilkan padi."

"Paduka Raja," kata Ronggur pula tak mau henti, "jadi, soal sebenarnya sudah kita ketahui. Tanah yang dapat kita kerjakan masih tanah yang dulu juga. Tidak bertambah luas. Tapi, tiap suku tambah berkembang biak. Berarti, tambah banyak mulut yang harus diberi makan dari hasil tanah yang itu juga. Ini sudah terang menambah kesulitan hidup. Karena itulah, setiap orang menggunakan akal licik untuk memperoleh setapak tanah. Orang tambah berebut pada air parit yang dangkal agar sawahnya lebih dan dapat lebih banyak menghasilkan padi. Inilah mula persoalan! Harus awal soal ini yang diatasi agar hal yang bisa menimbulkan perkelahian dan peperangan yang menumbuhkan luka dan duka di tiap hati dapat dihilangkan."

"Apa maksudmu?" tanya Raja Panggonggom.

"Kita harus mencari - ya, mencari daerah baru tempat perluasan marga."

Dengungan suara pun bangkit di tengah orang banyak.

"Usulmu memang bagus," sahut Raja Panggonggom mengatasi dengung suara itu. "Tapi, ke mana kita harus mencari tanah garapan baru? Sekitar kita, melingkar gunung batu yang tandus lagi t inggi. Kita t idak tahu, berakhir di mana

Page 13: PENAKLUK UJUNG DUNIA

gunung ini. Kita tidak dapat tahu, apakah masih ada tanah datar di seberang pegunungan ini. Pegunungan ini berlapis-lapis, pagar alam yang sengaja dibuat para dewata, supaya kita tidak melintasi dan melewatinya. Tiap puncak dijaga para dewata, yang menjelma menjadi binatang buas. Penjaga ini tidak senang pada orang yang berani melintas di sana, karena mengganggu ketenteraman para dewata yang tidak tampak oleh mata kita. Binatang buas akan membunuh tiap orang tanpa ampun. Siapa yang mau membunuh diri dengan pekerjaan sia-sia itu? Karena itu, bagaimanapun, kita harus mempertahankan tiap jengkal dan tiap tapak tanah yang kita pusakai dan kuasai. Dan, harus berusaha pula meluaskannya. Caranya terserah pada kekuatan kita. Habis perkara."

Ronggur tidak langsung menyahut, namun sinar wajahnya masih tetap memancarkan sikap keyakinan. Lebih dulu ditatapinya wajah para raja, kemudian wajah para lelaki, beralih pula pada wajah pemuda sebayanya. Lalu katanya dengan suara perlahan tapi pasti: "Menurut cerita nenek moyang, yang dituliskan pada pustaka, setiap sungai akan bermuara ke tanah landai. Karena itu, kita akan mengikuti sungai."

"Sungai mana?" cepat Raja Panggonggom memotong.

"Sungai Titian Dewata, yang bermula dari salah satu teluk danau."

Dengung suara bangkit di tengah kelompok lebih gemuruh dari tadi. Wajah Raja Panggonggom memancarkan sinar kemarahan, apalagi orang tua yang duduk di belakangnya yang menyandang kulit kera yang sudah dikeringkan. Dan, yang juga sejak tadi terus-menerus mengunyah sirih. Sambil meludah merasa jijik atas ucapan Ronggur, dikenal bernama Datu Bolon Gelar Guru Marla-sak. Setiap orang jadi merasakan, telah dipermainkan Ronggur. Tapi, Datu Bolon itu lebih merasakan, Ronggur sudah memancing kemarahan para dewata. Kutuk dewata akan tiba.

Page 14: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Tapi, dengan sikap bijaksana yang melekat pada Raja Panggonggom, dia dapat mengatasi luapan marahnya, lalu mengatakan:

"Ronggur, kau masih terlalu muda, Anakku! Sungai Titian Dewata itu lain dari sungai biasa. Sungai Titian Dewata, berakhir di ujung dunia. Sengaja diciptakan dewata untuk Titian Para Dewata menuju matahari, tempat Mula Jadi Na Bolon bersemayam. Jadi, kita tidak dapat mengikuti Sungai Titian Dewata bila hendak mencapai tanah landai. Sungai Titian Dewata, jalan arwah kita kelak ke dunia lain, ke hidup lain, di mana para dewata dan arwah nenek moyang bersemayam di sekita/ Mula Jadi Na Bolon. Tempat terhormat. Hendaknya, semua rakyatku, tiba ke sana, agar hidupnya di dunia lain itu berbahagia."

Sikap Ronggur masih mau berbicara lagi. Tapi, Raja Panggonggom memberi isarat, agar dia duduk. Tidak memberi kesempatan bicara lagi. Orang tambah merasa dipermainkan Ronggur. Karena perintah itu, Ronggur harus duduk, memendam semua yang ada di dalam hati. Gong sudah tidak dipalu orang lagi sehingga ratap perempuan dari Sopo Bolo tambah jelas kedengaran.

Raja Panggonggom kembali berbicara, "Kita tadi dengan sengaja telah membuka satu percakapan yang cukup panjang. Tapi, percakapan itu tidak langsung penyebab kita kumpul di sini, saat ini. Lihat, pisau yang tergenggam di tangan kiriku ini. Darah Ama ni Boltung masih melekat di sini, masih basah malah. Alangkah sia-sia, suatu kemurtadan, kalau kita tidak menuntut balas, kalau kita tidak menghapus corengan arang yang di buat orang di wajah marga kita. Karena kita tidak mau disebut orang murtad, orang yang dikutuk arwah nenek moyang, terutama pula setelah suruhan kita diusir oleh marga yang membunuh Ama ni Boltung itu, sidang kerajaan hari ini memutuskan: mengumumkan perang dengan marga yang membunuh Ama ni Boltung!"

Page 15: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Huraa . . . .!" para lelaki dan pemuda bertempik sorak menyambut putusan raja, sehingga suara ratap perempuan tenggelam.

"Apakah seluruh rakyatku, seluruh hulubalangku, dapat menerima dan mendukung putusan ini?"

"Kami akan laksanakan dengan gigih," jawab serentak.

Setelah Raja Panggonggom duduk, Raja Nabegu berdiri. Wajahnya lebih tegas dan ganas dari Raja Panggonggom. Sewaktu dia berbicara, wajahnya menjadi merah dan matanya menyinarkan cahaya marah yang tidak terpadam-kan. Suaranya deras mengalir dan mengguntur:

"Para hulubalang, pendukung kehormatan marga. Padamu sekarang terletak tugas untuk menghapus corengan arang dari wajah kita masing-masing. Tunjukkanlah kebe-ranianmu, tunjukkanlah kehulubalanganmu. Rapat kerajaan hari ini, Raja Partahi, Raja Namora, dan Raja Ni Huta, akan membantu para hulubalang marga dari bidang masing-masing. Janganlah sia-siakan segala bantuan ini! Jadi, mulai malam ini, diumumkan awal peperangan dengan marga yang sangat angkuh itu. Tangkaplah mereka di mana saja berjumpa. Bunuh kalau melawan. Musnahkan kampungnya, rampas, lalu jadikan kampung perluasan bagi marga kita! Tawan rajanya! Jadikan budak setiap keturunannya . . . .!" Kelompok kembali bersorak.

"Para perempuan." kata Raja Nabegu selanjutnya, "setelah mengebumikan mayat Ama ni Boltung besok pagi, akan dikerahkan Raja Ni Huta menyediakan batu sungai peluru ambalangmu. Raja Namora, akan menyediakan makanan bagimu. Raja Partahi, akan menyediakan alat peperangan untukmu. Sedang Raja ni Huta, dari kampung sekitar, kampung yang didiami marga kita juga sebagai kampung perluasan, sebentar lagi akan berkumpul di sini. Mereka sekarang sedang menyiapkan segala sesuatu mengumpulkan

Page 16: PENAKLUK UJUNG DUNIA

pasukan untuk membantu kita. Mereka, adik-adik kita yang setia."

Kelompok kembali bersorak dan bertepuk tangan.

"Ada di antara kalian yang tidak setuju dengan perintah ini, dengan putusan sidang kerajaan ini?"

Tidak ada sahutan. Ronggur menundukkan kepala. Pada bayang pandangnya, sudah tergambar darah merah basah menetes dari tiap tubuh, beberapa mayat bergelimpangan di tanah.

"Kau Ronggur!" tegur Raja Nagebu, "masihkah kau seorang pemuda?"

"Seperti tampak Paduka Tuan."

"Kalau kau pemuda, tentu kau akan melaksanakan tugas pemuda."

"Ya. Walaupun usulku ditolak, sebagai pemuda marga, aku akan turut melaksanakan tugas. Apa sekalipun!"

"Bagus, bagus, asahlah kapakmu! Tajamkan mata tombakmu! Perkuat tali ambalangmu. Perbaiki perisaimu!" Lalu, dia kembali duduk.

Raja Panggonggom kembali berdiri. Menatap bala tentara yang sudah penuh semangat. Raja Partahi dan Raja Namora sudah menyisih dari khalayak ramai. Pergi menyembelih beberapa ekor babi dan mengeluarkan alat perang dari tempat simpanan. Sedang Raja Ni Huta telah menyediakan peralatan gondang, lengkap dengan pemain. Raja Panggonggom lalu mengatakan:

"Bapa Paru Bolon Gelar Guru Marlasak. Tenunglah dengan kekuatan batinmu! Panggillah para arwah nenek moyang melalui kekuatan sihirmu agar mereka membantu kita dalam peperangan. Panggillah para dewata agar memberkati seluruh laskar kita. Supaya kita berada di pihak yang menang, bisa

Page 17: PENAKLUK UJUNG DUNIA

mengalahkan musuh, dan supaya semangat terus mengapi tanpa mau padam sebelum musuh ditundukkan, dijadikan budak belian."

Datu Bolon Gelar Guru Marlasak berdiri. Maju ke tengah khalayak dan di sana membuka parhalaan. Kemudian bersemadi entah beberapa lama, duduk bersila di atas tanah. Kemudian, ludahnya yang merah karena mengunyah sirih, disemburkan ke sekitar. Kemudian membaca jampi-jampi, mulutnya bergerak-gerak.

Di saat itu, Raja Partahi, Raja Namora, dan Raja Ni Huta, telah kembali duduk di tempat semula.

Setelah memberikan tanda, mulai berdiri, Datu Bolon meneriakkan dengan suaranya parau:

mahluk halus penjaga rumah,

mahluk halus penjaga tanah

yang tidak dapat dilihat mata

semangat poyang tujuh keturunan

kupanggil kau, datanglah bersama kami

bapak pargaul pargonci,

palulah gondang somba-somba

Gondang pun dipalu, gondang somba-somba. Orang pada berdiri, bersiap-siap mau manortor. Di belakang Datu Bolon, tempat kerajaan baru khalayak ramai. Kepala mereka menunduk-nunduk, memberi hormat pada arwah halus yang tadi dipanggil, Datu Bolon menemani mereka membasmi musuh. Tangan yang dua, dirapatkan dikening, bersujud.

Habis itu, Datu Bolon meminta agar dimainkan pula gondang Mula jadi na Bolon sebagai penghormatan yang mutlak terhadap pencipta asal kehidupan dan yang kepadanya akan kembali segala yang hidup. Cepat pula diiringi Gondang

Page 18: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Bataraguru, agar Dewata Bataraguru memberi kekuatan jiwa bagi mereka dalam menghadapi musuh, kekuatan jiwa dalam menghadapi saat yang genting, sehingga mereka tidak mengenal menyerah. Lalu menyusul Gondang Balabulan, agar Dewata Balabulan, memurkai dan mengutuk musuh. Melumpuhkan semangat musuh agar tidak berani menghadapi laskar mereka. Lalu Gondang Debata Sori mengikutinya agar dewata Sori memberi kebijaksanaan bagi para hulubalang dalam menyusun strategi perang. Dan, memberi keselamatan bagi mereka semua. Habis itu, menyusul Gondang Habo-naran, yaitu yang menunjukkan bahwa mereka memang berada di pihak yang benar. Setiap yang berpihak pada kebenaran, pasti akan menang. Gondang Sitio-tio, memohon pada seluruh dewata, agar merahmati mereka, baik dalam pertempuran, begitu pula untuk selanjutnya. Sebagai penutup, dimainkan Gondang Husahatan, supaya tiba ke tempat yang dicitakan, sampai kepada kemenangan akhir.

Datu Bolon mengakhiri tortor itu dengan menjampikan pantun kemenangan:

Mendaratlah perahu meniti ombak ketanah landai berangkat kita ke medan perang pantang pulang sebelum menang Semua, baik kerajaan, begitu pula para hulubalang, dan laskar menyambut dengan sorak-sorai dan gemuruh.

Orang kembali duduk ke tempat masing-masing. Tapi, Datu Bolon masih di tengah lingkaran, kemudian mengatakan, "Bawalah ke mari seekor ayam jantan putih yang sudah bertaji."

Raja Ni Huta cepat memberikan yang diminta Datu Bolon. Datu Bolon langsung menjampi ayam itu. Kemudian, dipulasnya leher itu, sehingga menitikkan darah. Cepat-cepat dia mendekati kelompok kerajaan, lalu menyuruh mereka mereguk darah ayam yang masih mentah itu, langsung dari leher ayam yang dipulasnya. Kembali sorak-sorai.

Page 19: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Bangkai ayam diletakkan di tengah kelompok. Kembali dia bersemadi, entah berapa lama. Dalam saat begitu, gondang dipalu orang perlahan-lahan, hampir tidak kedengaran. Di saat begitu ratap perempuan dari Sopo Bolon kembali terdengar. Meratapi mayat Ama ni Boltung.

Seperti tidak tersangkakan, Datu Bolon meloncat dari jongkoknya sambil berteriak dan memekik. Kemudian berdiri tegak lurus, lalu mengatakan:

"Besok pagi bila fajar pertama terbit, serbulah musuh. Seranglah mereka dari segala arah. Desak mereka sampai ke tepi kampung induk marganya. Kamu bisa menerobos pertahanan kampung induknya dari arah timur. Di sana bambu duri pagar desa, masih muda. Kamu bisa menyusup dari sana ke tengah kampung tanpa dihalangi duri bambu yang rapat dan keras. Kucar-kacirkanlah mereka! Tawan setiap lelakinya yang masih hidup! Begitu pula para perempuan, jadikanlah budak belian. Bunuh kalau melawan atau berusaha melarikan diri!" Orang kembali bertempik sorak.

Ayam jantan putih tadi, mereka bakar langsung dengan bulunya sekali ke dalam api unggun. Di saat dagingnya belum masak benar, Datu Bolon telah membagikannya pada golongan raja, sebagai wakil para dewata memakan daging sembahan.

Pada tengah malam, Raja Ni Huta dari kampung sekitar yang masuk pangkat adik, lengkap dengan pasukan, telah tiba di sana. Raja Panggonggom menyambut mereka, dengan basa-basi kerajaan.

Raja Ni Huta yang pangkat adik itu, kemudian melaporkan bahwa mereka sudah siap sedia melaksanakan perinlah dan pangkat abang mereka. Lalu mereka mengambil tempat. Para laskarnya bersatu dengan laskar yang sejak tadi ada di sana. Raja Ni Huta yang tujuh orang itu, yang berarti ada tujuh kampung lagi masuk lingkungan kerajaan marga itu, duduk dekat raja, di tengah lingkaran. Setiap Raja Ni Huta pangkat

Page 20: PENAKLUK UJUNG DUNIA

adik itu, memakai bolatan juga, tapi warna putihnya lebih kecil dari Raja Ni Huta yang berdiam di induk kampung marga. Lalu, kedengaran Raja Panggonggom berkata:

Rotan ras rotan singorong mengikat keutuhan marga bersatu raja dan hulubalang menjunjung martabat marga Raja Ni Huta yang tertua menyahut: Berbaris kami seperti gajah di hutan balantara perintah raja menjadi suluh kami abdi abadi '.

Raja Panggonggom melanjutkan:

Tujuh sisiku

menghadap tiap penjuru

indah mimpiku

hulubalang perkasa punyaku

Khalayak ramai serentak menyahut:

Kami genggam tombak

tombak pusaka godang

bila raja bersama khalayak

bahagia rakyatnya

Lalu gondang pun kembali dipalu. Raja Ni Huta yang tujuh orang itu manortor bersama, yang diiringi oleh seluruh rakyat yang mereka bawa. Tortor yang menunjukkan kesetiaan. Lalu, Raja Panggonggom turun dari tempatnya, menyelempangkan ulos-batak ke tiap pundak Raja Ni Huta yang tujuh itu.

Pertemuan itu tidak bubar sampai pagi hari. Mereka terus margondang dan terus manortor. Para hulubalang, bersama Raja Nagebu, telah selesai menyusun strategi dan taktik peperangan sesuai dengan petunjuk Datu Bolon. Tuak dan daging babi terus dihidangkan sampai hampir setiap orang sempoyongan. Dalam bergembira itu, terlupa terjun besok pagi ke kancah pertempuran.

Page 21: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur selalu menyisih dan meminum tuak seperlunya saja, menghalau dingin dari tubuh sehingga keseimbangan pikirannya tetap terpelihara. Dia melihat orang yang sedang menari, orang yang sedang bernyanyi, orang yang sedang dibius semangat, untuk memasuki nasib yang tidak terduga. Dia tahu pasti, beberapa orang di antara mereka akan jatuh menjadi korban dalam peperangan. Mati! Semua bayangan kemungkinan ini mempengaruhi pikiran dan perasaannya. Tapi, semua itu harus ditekan. Dia harus turut, malah menjunjung putusan kerajaan. Usulnya ditolak! Tapi, semangat usul itu tetap berakar dalam hati.

Bersama terbitnya fajar pagi yang memancar dari balik puncak Dolok Simanuk-manuk, para lelaki yang marah itu, yang sudah dibius semangat itu, bergerak menuju sasaran, memusnahkan musuh. Sambil bertempik dan bersorak. Di depan sekali berjalan para hulubalang. Kemudian kerajaan. Di sayap kanan dan kiri para laskar. Mengisi seluruh lapangan terbuka, yang punya tanah tipis dan di bawahnya batu alam yang keras. Kemudian menurun ke sawah yang baru dibajak. Mereka dihadang musuh pada sebuah sungai kecil. Pasukan dari marga lain itu, juga membawa senjata seperti yang mereka bawa. Jarak antara kedua pasukan itu dipisah sebuah sungai kecil yang airnya dangkal. Kerajaan dari marga lain itu, turut bersama laskarnya. Tak ubah seperti kerajaan marga mereka sendiri. Lengkap dengan Datu Bolonnya. Manusia di seberang kali sana pun bertempik sorak. Mengacung-acungkan senjata tajam. Wajah manusia itu tak ubah seperti wajah mereka sendiri, marah, mendendam.

Batu yang dilemparkan ambalang, berterbangan di udara. Kemudian jatuh mencari sasaran, kepala manusia. Dari segala arah kedengaran pekik dan jeritan, hardik dan hasutan. Bercampur baur dengan udara yang terik. Seolah matahari mau membakar setiap tubuh manusia dan bumi. Debu mengepul ke udara di tempat kering. Lumpur berhamburan

Page 22: PENAKLUK UJUNG DUNIA

lalu mengotori wajah manusia di tempat basah. Tempik dan sorak, pekik, hardik, dan hasutan terus menerus bergema.

Pasukan kedua marga yang sedang marah itu, sorong-menyorong. Tidak ada yang mau kalah. Jarak antara keduanya bertambah dekat. Ambalang tidak digunakan lagi. Langsung tombak, panggada, dan kampak dipukulkan dan ditangkis perisai. Siapa yang jatuh, jatuh tersungkur tanpa diperdulikan, malah menimbulkan kegembiraan bagi orang yang dapat merubuhkannya. Kedua pasukan marga itu sudah sama-sama terjun ke dalam sungai. Di sana mereka bersicucukan, bersihantaman, dan bersipu-kulan dengan segala macam taktik dan cara. Matahari terus bersinar terik. Pasukan kedua marga itu sama banyak, sama kuat, dan sama berani.

Sehari itu keadaan pertempuran tidak berobah. Beberapa orang yang luka di bawa ke garis belakang oleh para perempuan. Beberapa-orang yang mati dibawa ke garis belakang juga, tapi tidak sempat ditangisi. Anak-anak pun sudah turut serta. Mengumpulkan batu, yang segera diberikan pada para lelaki pemegang ambalang. Tapi, batu itu tidak sempat lagi dilemparkan dengan ambalang, langsung dilemparkan tangan. Dan terkadang tidak jarang, anak itu turut terjun ke tengah pertempuran untuk memukul atau dipukul.

Bila senja tiba, kedua pasukan marga itu saling meninggalkan daerah pertempuran. Mereka disambut gendang dan tortor para orang tua, para perempuan, para gadis di induk kampung. Daging babi, tuak, terus diedarkan membakar semangat bertempur. Datu Bolon terus-menerus menjampi. Lalu, memberi nasihat baru.

Dan, bila fajar terbit lagi, mereka kembali terjun ke daerah pertempuran. Di tengahnya, Ronggur mengamuk ke kiri dan ke kanan. Ronggur bersama beberapa pemuda menyusup ke depan, berusaha mengkucar-kacirkan daerah musuh. Susupan

Page 23: PENAKLUK UJUNG DUNIA

mereka ini cepat diikuti gelombang kedua, ketiga, dan keempat, yang membuat pertahanan musuh tembus. Musuh kelabakan. Tapi, yang hendak dikucar-kacirkan itu, tidak mau menyerah begitu saja. Mereka juga mengadakan perbaikan pada pertahanannya dengan cepat. Lalu mengadakan pukulan balasan. Tapi, pasukan marga Ronggur mengadakan desakan yang terus-menerus, bertubi-tubi, sehingga garis pertahanan musuh mulai dipukul mundur. Sampai akhirnya mendekat ke kampung musuh.

Malam itu pasukan marga Ronggur tidak kembali ke induk kampung. Mereka terus mengepung induk kampung musuh. Pagi berikutnya pasukan marga Ronggur menyerbu induk kampung musuh dari sebelah timur, seperti yang dinasihatkan Datu Bolon. Melalui bambu duri yang masih muda, mereka menerjang ke tengah kampung, dengan pekikan yang melengking.

Dengan segala tenaga yang ada, marga yang diserbu itu mengadakan perlawanan. Ikut sudah para perempuan, baik yang tua begitu pula yang masih gadis. Tampaknya tidak akan habis perlawanan itu sebelum mereka mati semua. Mampus semua.

Dari tempat ketinggian, sekali waktu Ronggur melihat, anak gadis Raja Nabegu kampung yang mereka serbu, turut mengadakan perlawanan. Rambutnya yang panjang terurai lepas. Dibasahi oleh keringat. Dilihat biji mata Ronggur sendiri, sudah ada dua tiga orang pasukan marganya ditumbangkan anak gadis itu. Dengan satu loncatan jarak jauh, Ronggur sudah berada di hadapan perempuan itu. Mata perempuan itu memancarkan sinar merah, mengapi, hendak menelan Ronggur bulat-bulat. Perempuan itu memukulkan penggada ke arah Ronggur. Tapi, Ronggur mengelak dengan melompat, dan peng-gadanya sendiri mengenai tengkuk perempuan itu sampai jatuh ke tanah. Dalam hati Ronggur berucap

“Sungguh perempuan pemberani!"

Page 24: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Juga, sekali waktu menumbangkan seseorang yang sedang membidikkan tombaknya ke arah Raja Panggonggom marganya. Sewaktu Raja Panggonggom dan pengawalnya ke arah lain. Cepat Ronggur menyergap orang itu. Tapi, tangannya sendiri, lengannya, luka. Namun musuhnya dapat ditumbangkannya dengan menghantamkan penggada ke kepala musuh. Otak meleleh dari luka. Raja Panggonggom melihat ini semua.

Luka di lengannya cepat dibalut Ronggur. Lalu terjun lagi ke tengah pertempuran yang dahsyat itu.

Asap pun mulai mengepul. Rumah sudah mulai dibakar. Padi dari lumbung desa diangkut, juga harta rampasan perang. Para lelaki yang belum mati, begitu pula para perempuan yang belum mati, ditawan. Untuk dijadikan budak belian. Yang sampai keturunannya kelak akan tetap dan tidak bisa terangkat dari martabat budak. Tidak akan berhak lagi mengadakan pekerjaan adat. Harus patuh setiap saat mengerjakan apa saja yang diperintahkan tuannya.

Kampung berdekatan dengan induk kampung itu sudah dibakar. Perang sudah berakhir. Kekalahan dipihak marga yang diserbu. Para rakyatnya yang masih hidup sudah ditawan, dirantai.

Ronggur teringat pada perempuan yang ditumbangkannya. Cepat dia menuju ke sana. Keringat melelehi seluruh tubuhnya. Entah kenapa hatinya mengharapkan agar pukulannya hendaknya tidak terlalu keras. Dia mengharapkan, hendaknya perempuan itu masih hidup. Dia mau menawannya.

Merasa bersyukur dia, perempuan itu masih merintih. Cepat dia mengambil air lalu diusapnya wajah perempuan itu dengan air. Kemudian diberinya minum. Didengarnya suara gadis itu perlahan mengatakan:

Page 25: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Aku harus bersama kalian, hai lelaki margaku. Pertahankan martabat marga kita. Sampai mati!"

Ronggur tersenyum mendengar rintihan itu. Dia dapat menghargai keberanian dan semangat perlawanan yang dipunyai perempuan itu.

Matahari sore dengan lembut memancarkan sinar, seperti sudah turut lesu menyaksikan peperangan yang baru saja berakhir dan banyak menimbulkan korban. Menjadi sumber rintihan, air mata, dan dendam. Dengan pekik kemenangan pasukan laskar marga Ronggur menuju pulang ke induk perkampungan. Sambil melangkah mereka lagukan nyanyi kemenangan. Tangan menarik para tawanan. Sebagian disuruh mengangkut harta rampasan.

Nanti akan dibagi-bagikan pada tiap keluarga, terutama pada keluarga yang suaminya atau anak lelakinya jatuh sebagai pahlawan di medan laga. Lebihnya akan dimasukkan ke dalam lumbung desa.

Ronggur menarik tali yang mengikat perempuan yang ditawannya. Perempuan itu selalu meronta dan ingin melepaskan diri. Ronggur tersenyum saja dan terus menarik tali dengan tabah.

Di gerbang kampung, para perempuan, lelaki yang sudah tua, dan lelaki yang luka menyambut mereka. Begitu pula anak-anak yang masih digendong, disuruh ibunya melambaikan tangan ke arah ayah, abang mereka yang pulang dari peperangan sebagai pemenang. Sedang para perempuan yang tidak dikunjungi suaminya lagi, tidak dikunjungi anak lelakinya lagi, karena mati dalam pertempuran, pergi bersama ke Sopo Bolon mengasingkan diri dari orang yang sedang bergembira. Di sana mereka meratap dengan lemah. Diusahakan agar tidak mengganggu kegembiraan para pahlawan yang menang perang. Agar tidak mengotori rasa gembira pada Mula Jadi Na Bolon dan seluruh para dewata serta arwah nenek moyang, karena mereka telah

Page 26: PENAKLUK UJUNG DUNIA

dipilihnya menjadi pemenang, yang dengan sendirinya mengangkat martabat marga dan raja mereka. Sendirinya pula daerah taklukan mereka bertambah luas. Kampung marga yang mereka kalahkan, akan dijadikan kampung perluasan bagi marga mereka. Sawahnya akan diambil dan dibagi-bagikan.

Upacara kemenangan pun diadakan. .Beberapa ekor babi dipotong lagi dan darahnya diminum bersama. Gondang dipalu dan tortor kemenangan ditarikan orang bersama-sama. Sebagai penutup upacara Raja Panggonggom mengucapkan terima kasih pada seluruh laskarnya. Baik yang sudah mati begitu pula pada yang masih hidup. Harta rampasan dibagi. Tanah persawahan rampasan juga ditentukan jatuh ke tangan siapa. Pun, dengan suka rela dimintakan pada setiap orang yang mau pindah ke kampung yang ditaklukkan itu. Diizinkan mereka mendirikan rumah di situ. Jadilah kemudian kampung itu menjadi kampung perluasan marga. Yang harus tunduk ke induk kampung. Pada tiap kampung sebagai pelaksana adat dan penyelenggara hukum, ditunjuk beberapa orang yang cukup berjasa menjadi Raja Ni Huta. Raja Panggonggom melirik secara khusus pada Ronggur, lalu, "Ronggur, dalam pertempuran kau telah menyelamatkan nyawa kami. Sekarang giliran kami membalas jasamu yang besar itu. Katakanlah, kehendakmu!"

Ronggur memohonkan agar padanya diberi kekuasaan untuk terus menawan tawanannya, menjadikannya sebagai budak untuk membantu ibunya yang sudah tua mengerjakan urusan rumah, mencabuti rumput sawah bila saatnya tiba. Justru karena Ronggur tidak punya adik perempuan. Dia anak tunggal.

Permintaan itu dikabulkan. Dikatakan pula, Raja Ni Huta induk kampung musuh yang ditaklukkan itu, dikuasakan pada Ronggur. Tapi, karena dia belum berumah tangga, jadi belum cukup dewasa dalam peralatan adat dan hukum, ditunjuk

Page 27: PENAKLUK UJUNG DUNIA

seseorang menjadi walinya, yang disetujui Ronggur sendiri. Sawahnya yang ada dekat induk kampung marganya diserahkan pada kerajaan. Sebagai gantinya diberikan kepadanya sawah yang dulu dimiliki Raja Nabegu dari marga yang mereka kalahkan.

Sejak hari itu, Ronggur dikenal orang sebagai Raja Ni Huta Muda merangkap Hulubalang Muda.

Untuk beberapa hari, orang masih tetap dipengaruhi suasana kegembiraan menang perang. Pesta kemenangan dilangsungkan tiga hari tiga malam. Walaupun pesta sudah selesai, ingatan orang masih tetap terpaut ke sana. Di sana sini Ronggur mendengar orang mengatakan:

"Dengan cara beginilah kita harus menguasai tanah persawahan subur yang ada di sekitar danau untuk melanjutkan keturunan."

Beberapa orang ampangardang, baik dari marga sendiri begitu pula dari marga lain yang masih banyak bertabur di sekitar danau, menghapal jalannya pertempuran lalu memindahkannya ke bentuk yang dapat dinyanyikan. Mereka tebarkan dari mulut ke mulut sambil memetik kecapi. Beberapa nama pahlawan timbul, menjadi tokoh keberanian dan ketangkasan serta kesetiaan termasuk nama Ronggur sendiri.

Tapi, Ronggur sendiri, sehabis pesta kemenangan itu cepat-cepat mengerahkan rakyat yang suka rela pindah ke induk kampung musuh yang dikuasakan padanya. Membangun perumahan baru di atas puing-puing reruntuhan. Oleh tugas yang banyak dan memang dia sendiri ingin cepat melupakan saat menanjakkan marganya ke tingkat yang lebih tinggi dan meningkatkan kedudukan dirinya sendiri, cepat dilupakannya.

Memang dia sudah menjadi Raja Ni Huta Muda dan Hulubalang Muda, orang tidak berani lagi atau tidak wajar lagi menyebut nama kecilnya. Orang selalu menyebut atau

Page 28: PENAKLUK UJUNG DUNIA

memanggilnya dengan Raja Ni Huta Muda dan Hulubalang Muda.

ccdw-kzaa

2 Rumah baru sudah berdiri pengganti rumah yang dulu

terbakar. Darah yang tercecer ke lumpur sawah sudah bercampur baur dengan tanah menjadi pupuk di musim mendatang. Tidak tampak lagi warna merahnya. Kuburan yang digali tempat abadi bagi orang yang mati, sudah ditumbuhi rerumputan hijau. Padi di sawah sudah bunting. Masa merumputi sudah lewat. Pekerjaan orang kembali senggang. Saat yang baik bagi pemuda pergi martandang ke kampung paman mencari jodoh.

Anak-anak sudah ada berlahiran, pengganti yang mati dalam peperangan. Jumlahnya lebih banyak malah. Para gadis belajar memintal benang dan bertenun. Bila bulan purnama, menumbuk padi di halaman perkampungan sambil bernyanyi, dan menerima datangnya partandang. Anak lelaki diajar membaca dan menulis huruf Batak. Cerita kepahlawanan disampaikan pada mereka. Juga mereka diajari memanjat pepohonan tinggi supaya tidak gamang. Yang agak besar, diajari menggunakan senjata.

Lambat-laun kehidupan kembali tenang. Yang membuat ingatan orang sudah menipis pada peperangan yang baru lewat. Tapi, pada mereka sampai juga berita dari sekitar danau: marga anu berperang dengan marga satu lagi. Lu hak anu berperang dengan luhak satu lagi. Sumber malapetaka tetap sama: air parit dan batas tanah. Orang yang kalah dijadikan budak. Tapi, yang sempat melarikan diri, memencilkan diri ke tanah tandus di kaki bukit, menjadi orang

Page 29: PENAKLUK UJUNG DUNIA

buruan. Orang buruan ini membuat rumahnya di dinding bukit dan gua.

Jadi, bagi Ronggur, ketenangan yang sekarang dikecap marganya masih tetap mengandung sesuatu kemungkinan yang menakutkan. Setiap warta pecahnya perang antara satu marga dengan marga lain selalu membuatnya berduka. Karena itu, dia lebih banyak menyendiri. Bila temannya sebaya sudah banyak berumah tangga, dia belum. Walau sudah sering diminta ibunya, dia masih tetap menampik.

Perlakuannya pada wanita tawanannya berbeda dengan perlakuan orang lain yang punya budak terhadap budak masing-masing. Dia masih tetap memandang dan memperlakukannya sebagai manusia yang punya hak. Tapi, keyakinan yang digenggamnya ini belum berani dia menyampaikannya pada orang lain. Masih merasa takut dia, masih merasa kecil dia menurut anggapannya, melawan tradisi yang sudah tertanam dan berurat akar di hati manusia yang ada di sekitarnya.

Karena memperoleh perlakuan yang baik itu, akhirnya Tio, wanita tawanan itu, merasa senang juga. Padanya tetap diberikan Ronggur kebebasan bergerak. Dia boleh pergi ke padang-padang luas, mengembara, dan berburu bersama anjingnya si belang. Tak ubah seperti kebebasan yang ada pada orang merdeka.

Dan, Ronggur tidak merasa kuatir kalau budaknya itu melarikan diri. Dia yakin kalau memperoleh perlakuan yang baik budak itu tidak akan melarikan diri.

Namun perasaan terpencil tetap menguasai diri Tio, justru karena gadis yang sebaya dengannya dari suku Ronggur tidak mengawaninya. Ini jugalah yang mendesaknya agar setiap hari pergi jauh dari kampung ke tempat terpencil yang jarang dikunjungi orang. Di sana dia menghabiskan hari.

Page 30: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Tio menyendiri sampai ke kaki bukit. Dari situ dia dapat melihat danau di bawah. Dan, sesuatu keinginan selalu timbul di dadanya, ingin pergi jauh. Namun keluh akhirnya mematikan keinginan itu. Dia dibenturkan kembali pada kenyataan bahwa dia bukan orang merdeka. Kalau lari saja? Ronggur sudah berbuat baik terhadapnya. Merasa kurang enak baginya untuk menghianati seseorang yang menghormati dirinya'dengan sewajarnya. Lagi pula kalau dia lari, Ronggur lelaki yang paling jahanam, akan mengejarnya ke mana saja. Dia akan dapat ditangkap Ronggur.

Berburu bisa membuat Tio asyik. Atas bantuan si belang, Tio dapat mengetahui tempat seekor pelanduk bersembunyi, tempat kawanan burung berondok. Dengan mata tombaknya yang pasti arahnya, dengan lemparan ambalanganya yang deras, dia bisa membunuh binatang buruan itu. Kemudian membawanya pulang.

Ronggur selalu tertawa lebar bila dia pulang dengan hasil buruan. Ronggur tidak segan-segan melemparkan pujian yang menurut perasaan Tio terkadang terlalu menyanjung. Dengan lahap Ronggur akan memakan daging binatang buruan itu, yang dibakar dan dipanggang.

Hari itu, Tio sedang mengikuti arah seekor elang terbang, setelah menyambar seekor induk ayam dari kampung. Terkadang harus berlari kecil mengikuti elang yang terbang di atas. Matanya terus-menerus menangkap elang hitam yang terbang, lalu terus mengikuti arah elang itu pergi. Di hatinya timbul niat, dia harus membunuh elang yang seekor itu, yang sudah banyak menyambar ayam kampung. Pertanda elang itu akan hinggap belum ada walau mendekat ke kaki bukit. Seolah elang itu datang dari balik gunung dan hendak kembali ke balik gunung, yang belum pernah ditempuh manusia.

Di saat putus asa mulai mencekam hati, elang itu mengadakan putaran. Berkeliling pada satu lingkaran. Pertanda elang itu mau hinggap. Dapat dipastikan Tio bahwa

Page 31: PENAKLUK UJUNG DUNIA

pohon yang tinggi lagi rimbun dedaunannya, pada salah satu dahannya, di situlah sarang elang itu. Elang itu mengarah ke lembah, di mana batang pohon besar itu tertancap ke tanah. Tio terus mendekat menuruni jenjang lembah.

Si belang sudah mengerti bahwa mereka sedang mengadakan perburuan. Elang itu cepat menukik ke bawah setelah mengadakan putaran entah beberapa lama. Dan, waktu itulah, kepaknya mengenai salah satu dahan, sambarannya jatuh ke tanah. Elang itu mengikutkan sambarannya ke bawah. Saat yang baik itu tidak dilewatkan Tio. Cepat dia mengayun ambalangnya. Lalu melepaskan peluru. Seketika napasnya serasa terhenti melihat peluru ambalangnya mengenai sasaran atau tidak.

Sayang sekali peluru ambalangnya hanya mengenai buntut elang. Karena terkejut elang itu buru-buru mengepakkan sayapnya. Mau terbang. Tapi, dari arah lain sebuah tombak terbang cepat. Langsung tertancap ke dada elang. Elang itu jatuh ke tanah bersama gelepar lemah, gelepar akhir. Wajah Tio menjadi merah padam dan merasa kesal bercampur malu, kenapa peluru ambalangnya tidak mengenai dada elang jtu. Atau, kenapa dia tidak menggunakan tombaknya? Sebuah tawa meledak di antara rimbunan ilalang. Si belang berlari cepat ke tempat suara itu bersumber. Lalu, Ronggur sudah ada di hadapan Tio.

Bersama senyum kemenangan, Ronggur berkata: "Sudah mampus penyambar ayam yang paling jahanam ini."

Tio masih terpaku pada tempatnya. Merasa malu akan ketololannya. Ronggur memanggilnya agar datang mendekat. Baru dia bergerak.

"Lihat," kata Ronggur. "Muncung tombakku tertancap di dadanya."

"Aku tahu, Hulubalang Muda," sahut Tio. Suaranya halus dan menggetar.

Page 32: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur menatapi Tio lama-lama hingga T io menundukkan kepala menatap tanah.

"Tapi, peluru ambalangmu sangat deras dan bagus arahnya. Buntut elang kena membuat elang tidak bisa cepat terbang. Di saat itulah aku mengayunkan tombakku. Kalau buntutnya tidak kena ambalangmu, belum tentu muncung tombakku bisa tertancap di dadanya."

"Hulubalang Muda terlalu melebih-lebihkannya," sahut Tio.

"Itu yang sebenarnya. Dan, kau Tio," mata Ronggur lama menatap wajah gadis itu, matanya, lalu, "maukah kau berjanji akan melaksanakan permintaanku?"

"Aku sudah ditakdirkan akan melaksanakan sebaik mungkin segala perintah Hulubalang Muda."

"Dengarkan baik-baik," kata Ronggur seraya memegang bahu anak gadis itu, "sejak saat ini kuminta, agar kau tidak memanggil aku dengan sebutan Hulubalang Muda atau Raja Ni Huta Muda lagi. Sebutlah namaku. Ronggur. Cukup begitu."

Pundak Tio cepat turun naik, tapi masih diusahakannya mengatakan, "Bukankah itu menurunkan derajat Hulubalang Muda?"

"Sama sekali t idak! Kau harus melaksanakannya!"

"Bagaimana nanti kalau didengar orang kampung dan ibu?"

"Peduli apa dengan mereka? Sebut namaku, habis perkara. Kalau mereka menegur kau, katakan aku yang menyuruhmu. Yang mengurus mereka ialah aku."

Tio tambah tertunduk. Wajahnya memerah. Ronggur menjauh. Walau sesuatu rasa menggelusak dalam dada.

Si belang sudah memagut tubuh elang dengan muncungnya. Membawanya ke dekat mereka berdua. Si belang kembali menjauh. Lalu, si belang memagut ayam yang

Page 33: PENAKLUK UJUNG DUNIA

disambar elang tadi dan membawanya ke dekat Ronggur dan Tio. Lalu, menjauh lagi.

"Tio, keluarkanlah isi perut elang dan ayam ini. Biar kunyalakan api. Dagingnya tentu enak dimakan."

Tio berlari kecil membawa elang dan ayam itu ke parit kecil dekat situ yang mengalirkan air pegunungan yang jernih. Dibersihkannya perut kedua binatang itu. Kemudian dibawanya ke tempat Ronggur menghidupkan api. Lalu, mulai membakarnya lengkap bersama bulu-bulunya.

Ronggur menelentangkan tubuh di atas tanah batu yang cukup keras, di bawah pohon yang rindang. Perutnya terasa kenyang. Si belang masih mengunyah tulang belulang elang dan ayam yang diberikan kepadanya. Mata Ronggur agak mengantuk. Matahari bersinar keras. Cukup terik. Tidak jauh darinya, Tio duduk melihat si belang. Yang kemudian mendekat kepadanya sambil mengibaskan ekor. Tidur di ujung kakinya. Tio mengelus leher si belang dengan lembut. Lalu, mulutnya tidak dapat lagi dikuasainya untuk tidak menyanyikan sebuah lagu, berpantun:

Sanduduk di kaki bukit

di atas batu

ditimpa sinar matahari

itulah siang melilit bumi

sanduduk di kaki bukit

di atas batu

ditimpa sinar rembulan itulah malam, redup mengalun

saat siang dan malam

antara terik dan nyaman

Page 34: PENAKLUK UJUNG DUNIA

mentari dan gemintang

bagi beta tidak berbeda

karena hatiku

terkenang padamu

Ronggur membiarkan Tio menyanyi walau hatinya merasa rawan. Tentu, pikir Ronggur, Tio teringat pada masa kemerdekaannya. Matahari tambah lama jadi melemah. Di bawah mereka melalui tingkat tanah yang terus menurun, perkampungan demi perkampungan dan berakhir pada tepian danau.

Oleh nyanyi Tio kembali Ronggur teringat akan permintaan ibunya, begitu pula atas usul Raja Panggonggom, agar dia berumah tangga. Agar langsung memegang Raja Ni Huta di kampungnya, agar nama Muda dari belakang Hulubalangnya dihilangkan. Dia disuruh ibunya pergi ke Samosir, ke kampung paman.

Tetapi, cepat pula ingatan itu dibarengi bahwa kalau dia berumah tangga, itu berarti istrinya nanti akan melahirkan anak. Kemudian anak ini akan menjadi dewasa, lalu kawin lagi. Untuk melahirkan anak lagi. Dalam tiga keturunan saja, jumlah keturunannya bisa berlipat ganda. Tentu hasil yang dapat diberikan tanahnya akan terasa kurang menghidupi keturunannya.

Dia merasa takut. Bila persoalan yang mencekamnya itu diluaskan pada keadaan sekitarnya dan dia tambah merasakan marabahaya yang sedang menantikan, yang mengintai dengan taringnya yang tajam, meruntuhkan kerukunan kehidupan mereka di tepi danau. Pada suatu saat, pikirnya, akan tiba saat itu, yaitu orang bertambah banyak sedangkan tanah yang dapat digarap masih tetap itu juga. Hasilnya akan terasa atau memang kurang untuk membekali orang yang hidup di sekitar

Page 35: PENAKLUK UJUNG DUNIA

danau. Hal begitu sudah tentu akan lebih banyak mengobarkan perkelahian, peperangan, dan sendirinya pula akan lebih banyak kepiluan dan dendam bersarang di hati manusia. Dia menakutkan masa itu.

Dia selalu memikirkan, apa usaha yang dapat ditempuh untuk melenyapkan ancaman dari masa itu? Ronggur cepat bangun dari goleknya. Tio menatap ke arahnya. Ronggur menundukkan kepala. Tapi, dari mulutnya lalu meledak kata, "Tio, kenapa kau tidak belajar memintal benang dan bertenun? Kau sudah harus mengurangi kegemaranmu pergi mengembara. Kau harus belajar memintal dan bertenun, seperti gadis lain."

Warna duka membayang di wajah Tio. Yang tidak disangka Ronggur mulanya.

"Ada yang salah?" tanya Ronggur pula.

Tio tetap terdiam dan tertunduk.

Barulah Ronggur sadar bahwa seorang gadis yang berderajat budak tidak dibolehkan belajar memintal dan bertenun. Menenun ulos-batak ialah pekerjaan para gadis yang merdeka. Perlahan-lahan, tapi pasti, Ronggur mengatakan, "Tio, kau harus belajar memintal dan bertenun Aku akan meminta izin pada Raja Panggonggom”

Pada biji mata Tio menyinar cahaya kegembiraan. Lalu, "Betul kau bolehkan aku memintal dan bertenun? Betul kau akan meminta izin pada Raja Panggonggom? Aku akan bertenun seperti gadis lain dari margamu ?"

"Ya, akan kuusahakan sampai dapat”

Karena gembira, tidak disadari Tio, dia memeluk Ronggur sambil mengatakan dengan kegembiraan. “Ah, betapa bersyukur aku. Betapa berbahagia. Aku.. aku akan menenun ulos untukmu. Ulos yang paling halus raginya. Yang paling baik campuran warnanya”

Page 36: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur membiarkan Tio begitu. Sampai akhirnya Tio sadar sendiri. Lalu, melepaskan pelukannya perlahan-lahan. Kembali dia dihadapkan pada kenyataan. Ronggur diam saja melihat perubahan kelakuan Tio itu. Sedang matanya dengan mesra menancap ke biji mata Tio. Tio menundukkan kepala perlahan-lahan. Begitu pula akhirnya Ronggur. Beberapa saat terdiam.

Matahari bertambah lemah sinarnya. Tidak terik lagi. Ronggur menatap ke sekitar, lalu dengan suara pasti dia mengatakan, "Tio, mari ke pundak bukit pertama. Ada yang hendak kutunjukkan padamu."

Mereka mendaki tanjakan bukit sampai tiba ke pundak pertama. Dari sana jelas tampak oleh mereka lengkungan tepian danau. Pada salah sebuah teluk dapat diketahui Ronggur bahwa di situlah bermula sungai Titian Dewata. Telunjuknya mengarah ke teluk itu sambil mulutnya mengatakan, "Tio, di sanalah bermula sungai Titian Dewata."

"Aku tahu," kata T io, "aku sudah pernah dibawa almarhum ayah dan ibu ke sana."

"Garis putih yang membelah dada persawahan yang sedang menghijau, lalu menghilang atau seperti masuk menyusup ke perut pegunungan sebelah timur, itulah jaluran sungai. Dapat kau lihat dan perhatikan garis putih itu?" tanya Ronggur.

"Dapat."

"Menurut cerita orang tua, sungai itu berakhir ke ujung dunia. Barang siapa yang berani melayari sungai ke muara atau berusaha mencapai muara, tidak akan kembali lagi. Karena jatuh ke tebing ujung dunia. Arwahnya akan dikutuki dewata. Tapi, sungai itu jalan arwah kita kelak, menuju tempat Mula jadi Na Bolon."

"Tahu juga aku," sahut Tio.

Page 37: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur diam seketika. Terus menatap ke arah sungai. Sedang Tio melirik ke biji mata Ronggur yang menyinarkan sesuatu arti. Ronggur mengaju tanya padanya:

"Apakah kau juga sependapat dengan mereka bahwa sungai itu berakhir di ujung dunia itu?"

"Begitulah kata mereka. Ada apa kiranya?"

"Apakah kau tidak bisa punya pendapat sendiri?"

"Apa maksudmu?"

"Apakah kau tidak sering membaca pustaka di rumah ayahmu dulu?"

"Sering. Sering sekali. Aku bisa membaca dan menulis dengan baik."

"Menurut cerita yang ada di sana, setiap sungai menuju tanah landai dan subur."

"Ya, memang begitu."

"Entah bagaimana, aku berpendapat bahwa sungai itu pun akan tiba ke tanah landai yang subur, juga sudah kuselidiki dalam pustaka yang tua bahwa sungai itu tidak ada dikatakan berujung di akhir dunia."

"Kepercayaan yang diwariskan kepada kita mengatakan, sungai Titian Dewata berakhir ke ujung dunia. Buktinya sampai sekarang tidak ada orang yang berani melintasi daerah yang telah ditentukan, sampai ke mana bisa seseorang nelayan menangkap ikan. juga sungai ini, lain dari sungai yang lain."

"Kalau begitu, kau pun sependapat dengan mereka."

"Begitu menurut cerita mereka. Aku tidak dapat mengatakan yang lain. janganlah marah padaku."

Page 38: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur terdiam. Keheningan mengambang di antara mereka. Tidak ada yang berkata. Angin turun, angin sore yang nyaman.

"Tapi, timbul bisikan dalam hatiku, sungai itu pun sama dengan sungai yang lain," kata Ronggur;

"Kenapa kau beranggapan bahwa sungai ini lain?" tanya Tio memecah sunyi, "apakah kau berniat hendak melayarinya membuktikan kebenaranmu?"

Tapi, Tio menjadi takut pada ucapannya itu. Dia takut kalau Ronggur benar-benar melayari sungai itu. Yang berarti bunuh diri. Dia akan tinggal di dunia ini. Dia akan jatuh ke tangan orang lain yang pasti akan memperlakukannya sebagai budak biasa. Kebebasan akan benar-benar direnggutkan orang.

"Ya, aku memang mau melayarinya," sahut Ronggur tanpa memperhatikan wajah Tio yang menjadi pucat. "Sudah lama niat ini menguasai dadaku," lanjutnya pula, "tapi, aku melayarinya bukan bermaksud untuk membuktikan bahwa aku berada di pihak yang benar. Aku mau berusaha mencari tanah garapan baru, daerah perluasan, tanah hubungkasan."

"Itu berarti bunuh diri. Arwahmu akan tidak diterima dewata," potong Tio.

Perasaan takutnya tambah mencekam. Dia mengharap dapat menggagalkan maksud Ronggur dengan ancaman begitu. Tapi, Ronggur cepat pula mengatakan:

"Dengar dulu yang kumaksud. Tahukah kau Tio bahwa tanah selingkar danau ialah tanah subur? Tahukah kau, setiap tahunnya manusia yang hidup di sini yang memerlukan tanah garapan bertambah banyak juga? Akhirnya tanah yang tadinya terasa luas, setiap tahunnya bertambah sempit. Dan, akan terus bertambah sempit. Akibatnya akan bertambah banyak pertengkaran yang memungkinkan pecahnya peperangan. Seperti perang antara margamu dengan margaku."

Page 39: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Tio tertunduk. Wajahnya menjadi muram dan sedih.

"Janganlah bersedih. Aku tidak bermaksud membongkar yang sudah lewat. Tidak bermaksud aku mengingatkanmu ke saat kejatuhan margamu. Tidak! Tapi, aku mau mengatakan, karena kurasa kau dapat merasakannya, yang akan menimpa manusia yang hidup di sekitar danau di hari mendatang, bila tanah habungkasan tidak ditemui. Pertengkaran karena setapak tanah, karena setitik air parit, akan tambah banyak terjadi. Ini sudah pasti. Cobalah turut mendengar berita bahwa setelah perang antara margamu dengan margaku selesai, sudah berapa kali lagi peperangan terjadi di antara marga? Kalau tidak salah, sudah ada tiga gelombang peperangan antara marga satu dengan, marga lain. Dan, peperangan itu akan bertambah banyak lagi timbul di masa mendatang. Jadi, sebelum saat itu tiba, harus ada usaha mencari tanah habungkasan. Orang yang berani dan bertanggung jawab akan masa datang, harus mulai sekarang memulai kerja ke arah itu, merintis jalan, dengan berani menantang segala aral-melintang, berani menantang segala cerita yang bersifat menakut-nakuti. Berani menantang sesuatu yang dirasakan ialah satu kepercayaan bagi kebanyakan orang. Karena aku merasakan persoalan itu, kupikir, aku harus turut memikul bebannya, walaupun nyawaku sendiri menjadi taruhannya."

Seketika Ronggur berhenti. Tio tidak membumbuhi cakap Ronggur yang panjang itu. Dibiarkannya Ronggur meneruskan:

"Sudah sering Tio, aku diganggu mimpi. Mimpi menghimbau aku selalu dari tempat jauh, dengan suaranya yang nyaring. Mengajak aku memulai perjalanan mengikuti sungai. Sampai ke mana dia tiba. Dalam mimpi itu selalu aku dibawanya ke suatu tempat yang teduh. Penuh pepohonan dan tanahnya begitu landai. Dan, dalam mimpi itu, aku menemui sebuah danau yang sangat luas, jauh lebih luas dari

Page 40: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Danau Toba yang kita kenal ini. Tanah yang kutemui dalam mimpi itu begitu gemburnya. Tidak seperti tanah di s ini, tanah tipis yang menyaputi batu alam yang keras. Itu yang selalu menemani tidurku. Merangsangku di saat jaga."

Wajah Tio bertambah pucat. Dengan suara tersengal-sengal, dia mengatakan:

"Barangkali itu godaan setan jahat. Kau perlu berobat pada dukun. Berobatlah cepat-cepat. Jangan sampai kekuasaan setan tertanam didirimu."

"Tidak Tio. Wajah orang yang melambai aku dalam mimpi itu dan menuntun jalanku mirip sekali dengan wajahku. Kata orang, wajah almarhum ayah, mirip sekali dengan wajahku. Apakah tidak mungkin, arwah almarhum ayah yang datang padaku, memanggil aku, menunjuk tanah habungkasan yang subur padaku?"

"Ronggur," untuk pertama kalinya Tio menyebutnya hingga Ronggur merasakan satu desiran menyinggung hatinya, "barangkali, itu setan yang menyaru."

"Tidak Tio. Orang yang digoda setan, akan merasakan tubuhnya kurang sehat. Aku kau lihat sendiri, tetap sehat dan pikiranku tetap waras."

"Ronggur," kata Tio lagi, "aku merasa takut! Aku takut!"

"Janganlah takut, selagi aku di dekatmu."

"Aku takut mendengar ceritamu. Cerita itu, mula duka cerita yang akan mendatangi diriku."

"Jangan berkata begitu."

Tio begitu saja menyandarkan kepalanya yang terhisak ke bahu Ronggur, menelungkup di sana. Dibiarkan Ronggur, Tio berbuat begitu. Entah berapa lama.

Sore dengan perlahan beralih pada senja. Pada mulanya warna Jingga, kemudian bertambah merah, lembayung

Page 41: PENAKLUK UJUNG DUNIA

tambah jelas. Tari warna bermain di wajah danau, di riak danau. Angin tambah lemah. Mereka menuju pulang.

Orang yang berpapasan dengan mereka tidak berapa mereka perdulikan. Tio mengikuti langkah Ronggur yang panjang dan cepat diayunkan. Si belang kadang berlari di depan mereka. Kemudian berlari lagi ke belakang. Sambil menggonggong.

Dan, hati Ronggur tambah digoda perjalanan yang harus dimulainya. Dia sudah harus mengadakan persiapan untuk perjalanan itu. Pada pikirannya, dia sudah memilih teman yang akan diajak turut serta. Yang sendirinya menantang dan menghadapi segala kemungkinan. Meruntuhkan satu kepercayaan. Tapi, mungkin juga satu perjalanan yang akan mengakhiri hidupnya sendiri. Tapi, mungkin juga mula kelanjutan hidup keturunan, bermarga.

Ibunya menyambut kedatangan mereka berdua di ambang pintu. Mereka sudah sering pulang terlambat. Dengan cepat ibunya menyediakan makanan dan Tio membantu. Mereka makan bersama. Jadi pada rumah itu, tidak terdapat atau dengan sengaja diadakan keharusan bahwa seorang budak harus belakangan makan, yaitu memakan sisa tuannya. Ronggur tidak mau begitu. Sedang ibunya tidak berdaya melawan kehendak Ronggur, walaupun itu bertentangan dengan adat. Ibunya pun merasa senang pada kelakuan Tio, yang menurul pertimbangannya masih tetap membawakan sifat dan kelakuan sebagai anak raja.

"Ibu," kata Ronggur sesudah makin seraya melap mulut. "Ceritalah kembali ibu, di mana sebenarnya ayah dikuburkan. Ceritalah karena apa ayah meninggal dulu. Karena sakit, karena kecelakaan dalam perburuan atau .... Dalam mimpiku, selalu aku bertemu dengan seseorang yang wajahnya mirip benar dengan wajahku. Orang itu selalu mengajak aku agar memulai suatu perjalanan. Mengikutkan arus Sungai Titian

Page 42: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Dewata sampai ke muara. Bukankah ibu mengatakan bahwa wa|ahku mirip benar dengan wajah almarhum ayah?"

Ibunya tak langsung menyahut, lerpaku mendengarkan. Dengan mata terbelalak akhirnya dia mengatakan, "Apa katamu, Ronggur? Apa katamu?"

"Orang itu selalu mengajak aku, agar memulai perjalanan mengikuti arus Sungai Titian Dewata sampai ke muara. Bila aku katanya tidak mau melaksanakan permintaannya. dia akan selalu berduka. Kerja yang dimulai di masa hidupnya, katanya akan sia-sia."

"Jangan lagi berkata begitu, Anakku. Jangan lagi. Ibu takut mendengarnya. Dan, ibu sudah tua."

"Ibu, ceritalah. Di mana sebenarnya kubur ayah? Sampai begini besarku, ibu tidak mau mengatakan dan aku belum pernah berziarah ke kuburnya untuk meminta doa restu. Bukankah aku bisa dikatakan orang, dikatakan para arwah, anak durhaka, karena tidak pernah menziarahi kubur ayahnya?"

Wajah ibunya tambah jelas memancarkan perasaan ketakutan. Keheningan menguasai ruang. Tarikan napas ibunya yang satu-satu lagi dalam jelas kedengaran. Tarikan napas yang terputus-putus.

"Ibu, ceritalah. Kalau tidak, aku akan pergi mencari sendiri."

Ibunya mengangkat wajah. Tegak. Tapi, melesu lagi, lalu:

"Anakku, aku juga tidak tahu pasti, di mana sebenarnya kuburan almarhum ayahmu. Pergilah tanya bekas Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan. Dia yang tahu! Dialah teman ayahmu yang terakhir pergi jauh dari kampung kita ini. Dan, yang pulang kemudian, hanya bekas Datu Bolon Guru Marsait Lipan. Ayahmu tidak pernah lagi pulang. Kau tentu tahu, tempat tinggal Datu Bolon itu sekarang."

Page 43: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Cepat Ronggur bangkit dari duduknya. Setelah membelitkan ulos ke lehernya, dia terus berangkat. Ibunya dan Tio melihat saja. Kemudian ibu Ronggur menatap Tio, yang juga pada wajahnya bergantungan sesuatu ragam perasaan.

"Ibu, aku juga turut merasakan yang Ibu rasakan. Tadi dikatakannya padaku, dia akan pergi memenuhi panggilan mimpinya, panggilan negeri jauh. Aku sudah berusaha mencegah. Tapi, Ibu tentu lebih tahu dariku bahwa dia tidak dapat dihalangi. Bukankah sudah sifat Ronggur begitu?"

"Apa katamu? Kau sebut namanya? Nama Hulubalang Muda kau sebut?"

Tio terkejut. Dia sadar bahwa yang dihadapinya ialah ibu Ronggur. Dia tertunduk. Dihempaskan kembali pada derajat yang tidak berharga, yang tidak boleh menyebut nama tuannya. Didengarnya perempuan itu menghardik setelah lebih dulu menarik napas yang panjang lagi dalam:

"Berani kau menyebut namanya? Apa kau pikir dia sama derajat dengan kau?"

Seolah orang tua itu, perempuan itu, karena marah sudah lupa pada masalah yang sebenarnya dihadapi.

Tio menggerutu pada diri sendiri. Kenapa lidahnya terus sefasih itu menyebut nama Ronggur. Dari tunduknya dia menyahut:

"Dia yang menyuruh aku, memaksa aku harus menyebut namanya, Bu. Tidak mau dan tidak dibolehkannya aku memanggilnya dengan Raja Ni Huta atau Hulubalang Muda."

"Dia menyuruhmu menyebut namanya? Itu kau katakan?"

"Benar, Bu. Bukan keinginanku."

"Benar begitu?"

Page 44: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Benar, Bu."

"Tentu Ronggur sudah digoda setan. Sudah diizinkannya seorang budak belian makan bersama, sekarang diberinya pula keizinan pada seorang budak belian menyebut namanya. Apakah dia tidak .tahu tentang martabatnya yang begitu tinggi? O, Mula jadi Na Bolon, lindungilah anakku dari godaan setan."

Perempuan tua itu serasa dipukul kepalanya dan ulu hatinya. Napasnya sesak. Tapi, dengan tersengal-sengal dan berusaha mengangkat kepala, dia menatap Tio, lalu:

"Aku tahu bahwa perangaimu baik, Tio. Tapi, kau tidak sepantasnya menyebut namanya. Jangan lagi sebut namanya. Penuhilah permintaanku ini. Bagaimana kalau tetangga mendengar kau menyebut namanya di depanku? Maukah kau memenuhi permintaanku ini?"

"Akan kuusahakan, Bu."

"Berjanjilah demi dewata."

"Aku berjanji."

Baru kembali ibu yang sudah tua itu teringat akan masalah yang sebenarnya dihadapinya. Perasaan marah kembali mencair, lalu perasaan takut mencekam dadanya.

Ronggur sudah melintasi halaman perkampungan. Menerobos gerbang perkampungan. Di pematang sawah yang kecil lagi licin dia melompat-lompat memilih jalan yang baik. Dia kenal pada jalan itu. Dia tak perlu takut karena tergelincir. Langsung dia menuju dangau kecil yang terpencil di satu ladang. Tanpa dipanggil, si belang mengikutinya. Tidak disuruhnya supaya si belang pulang. Dibiarkannya si belang mengikuti. Gelap malam tidak diperdulikan.

Setelah melompati sebuah parit yang agak lebar, kemudian menyuruh si belang melompatinya, mereka sudah berada di tanah perladangan yang di petak-petaki tanah yang

Page 45: PENAKLUK UJUNG DUNIA

ditinggikan sebagai batas dan langsung pula menjadi pagar. Supaya kerbau tidak merusakkan tanaman yang ada di ladang. Dilompatinya pula tanah tinggi itu. Dikejauhan sudah kelihatan cahaya pelita yang menerobos dari celah dinding. Tempat tujuan. Dia tambah menegaskan langkah.

Tangannya mengetuk pintu dengan lemah. Suara parau menyuruhnya masuk ke ruang dangau. Ruang tengahnya begitu kecil. Orang tua itu sedang mengunyah sirih. Di sebelah kanannya, terletak tempat sirih yang terbuat dari kulit kera. Di depannya lesung pelumat s irih. Pada kedua lengan tangannya membelit kayu hitam, akar kayu yang dihitamkan dengan segala macam minyak dan lemak, beru kirkan bentuk ular sedang menjalar. Diberi pula berhiasan suatu benda mengkilat, seperti matanya. Bercahaya ditimpa sinar pelita yang lemah.

‘Pakaian datu’, pikir Ronggur. Pakaian itu tidak ditanggalkannya walaupun orang tidak pernah lagi datang padanya minta diobati, minta pertolongan melihat nasib, meminta agar arwah nenek moyang dipanggil melindungi orang yang meminta tolong padanya. Juga kerajaan tidak pernah lagi memintanya untuk menenung sesuatu maksud kerajaan, apakah berhasil baik atau tidak.

Mata orang tua itu tajam menumpu ke wajah Ronggur. Pada dadanya, kemudian diketahui Ronggur, bergantungan potongan gading gajah, taring, dan kuku harimau. Yang pernah dibunuhnya. Baik dalam suatu perkelahian, begitu pula dalam perburuan.

Setelah memberi salam, Ronggur duduk di lantai seperti orang tua itu sendiri, berhadap-hadapan.

"Ada apa, Anakku?" tanya orang tua itu.

"Bapak, izinkanlah aku mengajukan beberapa pertanyaan," kata Ronggur.

"Silakan, Nak. Bapak akan menolongmu sebisa mungkin."

Page 46: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Kata ibu, kalau aku mau tahu kubur almarhum ayah, dan kenapa almarhum ayah menemui saat meninggalnya, aku harus menanyakannya pada Bapak. Hanya Bapak kata ibu yang mengetahui dengan pasti. Orang lain tidak. Ibu sendiri pun tidak."

Orang tua itu menegakkan kepala, tidak menyangka pertanyaan begitu. Lalu kembali dia mengaju tanya:

"Ibumu menyuruh kau datang padaku?"

"Ya, Bapak. Ibu menyuruh aku menemui Bapak."

"Ibumu tidak pernah menceritakannya padamu?"

"Tidak, tidak pernah."

Orang tua itu menarik napas yang dalam.

"Anakku, selama ini kupikir, ibumu mendendam padaku. Lalu mengalirkan dendam itu ke tubuhmu. Kemudian kau membenci aku, atau berusaha untuk menuntut balas. Kiranya, ibumu tidak mau menceritakan. Dan, tidak menanam dendam ke dadamu. Maafkan kesalahanku itu."

"Apa maksud Bapak?" tanya Ronggur pula.

Orang tua itu memperbaiki duduknya.

"Anakku, kalau dikatakan bahwa kecelakaan itu punya mula dan sebab, maka mula dan sebab kecelakaan itu harus diletakkan di pundakku. Aku juga harus mendukungnya. Dan, bila sesuatu hukuman yang harus ditimpakan pada orang yang memulai malapetaka itu, maka hukuman itu pun seharusnya ditimpakan padaku."

"Kenapa Bapak berkata begitu?"

Lebih dulu orang tua itu menumpukan pandang ke mata Ronggur. Begitu dalam.

"Bapak juga sudah lama memikirkan bahwa pada satu saat, mulut manusia yang harus kita beri makan akan bertambah

Page 47: PENAKLUK UJUNG DUNIA

banyak. Sehingga hasil yang dapat diberikan tanah yang ada di sekitar kita t idak akan mencukupi. Begitulah bapak memulai pertenungan. Menanyakan arwah gaib yang tidak dapat dilihat mata. Bapak menanyakan pada mereka di mana dapat ditemui tanah habungkasan yang subur. Agar pertengkaran karena setapak tanah dan yang bisa meledakkan satu peperangan bisa diatas i. Hasil tenung itu mengatakan pada bapak, ikutilah Sungai Titian Dewata."

Orang tua itu terbatuk sebentar. Setelah mengunyah sirih lalu meludah dari celah lantai, dia melanjutkan.

"Hasil pertenungan itu kuceritakan pada ayahmu. Dia juga sepakat denganku. Tanah perluasan harus dicari dan ditemukan. Ayahmu begitu percaya akan hasil pertenungan bapak dan begitu percaya akan kekuatan gaibku. Maka kami pun mulai mengadakan perjalanan mengikuti Sungai Titian Dewata tanpa memperoleh halangan dari kerajaan. Waktu itu bapak masih memegang kekuasaan mutlak sebagai Datu Bolon Kerajaan. Dan, bapakmu hulubalang yang dihormati kerajaan karena keberaniannya. Kami pun memulai perjalanan, mengikuti jalur sungai. Tapi, apa yang kami temui? Pada suatu tempat tertentu, setelah berhari-hari berkayu, di kiri kanan kami hanyalah batu alam melulu, di tengahnya air sungai mengalir. Bertambah hari bertambah deras. Air seperti mau membulat. Hingga akhirnya biduk yang kami tumpangi tidak terkendalikan. Sebuah terowongan batu, semacam gua, air menuju ke sana. Mulut gua itu menganga seperti mau menelan. Karena tidak tahan menerima kenyataan ini, yang berbeda dengan hasil tenungku, bapak cepat melompat ke pinggir sungai sambil berteriak: 'Ama ni Ronggur, cepat tinggalkan biduk'. Tapi, sewaktu bapak melompat itu keseimbangan biduk hilang. Bapakmu dan biduk lalu dihanyutkan arus yang menggila. Dihantamkan ke dinding batu yang keras. Pecah di sana. Sebuah lengkingan yang panjang menggema. Itulah lengkingan yang paling akhir. Yang bapak rasakan menyuruh bapak cepat meninggalkan tempat

Page 48: PENAKLUK UJUNG DUNIA

itu. Namun bapak masih menantikan ayahmu untuk beberapa hari. Tapi, dia tidak pernah lagi muncul. Tidak pernah lagi kembali. Suara air yang bertemparasan ke dinding sungai yang terbuat dari batu alam yang hitam, berkerisik dan kuat, menyanyikan kemenangannya dan kegagalan serta kekalahan kami”

Orang tua terdiam sebentar. Seperti berusaha mengingat sesuatu. Sedang Ronggur khusuk mendengarkan.

"Akhirnya bapak percaya bahwa ayahmu sudah menjadi korban atas kemurkaan dewata. Tenungku salah, Anakku. Tafsir tenungku tidak benar. Membuat salah seorang sahabatku menjadi korban."

Suara orang tua itu menjadi tambah parau. Dari matanya meleleh titikan air bening. Kerongkongannya tersendat. Di antara isaknya dia masih mengatakan dengan suara parau:

"Maafkanlah kesalahanku, Anakku. Dan, sejak itulah bapak tidak pernah lagi dipanggil kerajaan mengadakan pertenungan. Tidak pernah lagi orang datang meminta bantuan. Bapak disisihkan dari pergaulan sehari-hari. Bapak terpencil. Tapi, pada upacara besar yang dilangsungkan di halaman perkampungan, bapak tetap juga mengikutinya. Tapi, tempat bapak di tengah rimbunan bambu duri agar orang tidak melihat bapak. Dari tempatku yang tersembunyi itulah bapak melihat dan mendengar usulmu, agar orang mencari tanah habungkasan mengikuti arus Sungai Titian Dewata. Bapak mendengar usulmu, Anakku."

Orang tua itu menundukkan kepala.

Wajah Ronggur di samping merasakan perasaan duka, tapi bercampur baur dengan perasaan bangga dan gembira. Justru karena ada juga orang yang bisa atau turut merasakan apa yang dirasakannya. Turut memikirkan apa yang dipikirkannya. Dan, berusaha mencari tanah habungkasan. Memang mereka

Page 49: PENAKLUK UJUNG DUNIA

menemui kegagalan. Tapi, apakah satu kegagalan harus dihukum dengan kutuk dan dendam?

‘Tidak’, sahut Rongur sendiri atas segala pertanyaan yang timbul dalam dirinya. Segala percobaan yang berusaha mendekati kebaikan dan mengupas kebenaran, walau menemui kegagalan sekali, lalu menimbulkan korban yang tidak kecil harus dihormati. Setelah memperoleh kesimpulan ini, Ronggur mengatakan:

”Bapak, jadi bapak mendengar usulku? Dan, telah lebih dulu memikirkannya bersama almarhum ayah?"

“Benar. Aku mendengar usulmu. Ah, yang tampak oleh mataku, waktu kau berbicara itu dengan suara yang lantang berani, seperti almarhum ayahmu sendiri, waktu dia dulu turut membela hasil tenungku. Agar kerajaan tidak menghalangi keberangkatan kami."

"Bapak, aku menghormati pendapat bapak tentang perlunya tanah habungkasan. Kegagalan yang ditemui bapak, darinya atau padanya tidak sewajarnya dialamatkan dendam. Malah kegagalan itu harus dibuat menjadi batu loncatan. Ditoleh sedemikian rupa sehingga sumber kegagalan pertama dapat dilintasi. Sampai ditemui satu kemenangan."

"Seharusnya begitu, Anakku. Tapi, orang yang ada di sekitar kita, yang punya kepercayaan bahwa Titian Dewata sungai dewata, kemudian mengetahui kegagalanku dan meninggalnya ayahmu, kepercayaan mereka tambah menebal juga. Malah bapak sendiri lalu disisihkan dari pergaulan. Hasil tenungku tidak diperlukan orang lagi."

"Itu risiko, Bapak. Risiko yang harus kita terima. Tapi, janganlah karena itu kita lantas menanggalkan satu cita yang tumbuh dalam dada kita. Cita yang baik."

"Apa maksudmu, Anakku?"

Page 50: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur menarik napas yang dalam. Lalu, dengan suara pasti dia mengatakan, "Sudah tiba saatnya, aku harus melanjutkan pekerjaan yang gagal itu. Aku harus dapat mengatasinya. Aku harus melanjutkannya."

Orang tua itu menatapi dan membiarkan Ronggur berbicara.

"Kata Bapak, melayari sungai dengan biduk?"

"Ya."

"Kalau begitu harus diusahakan melayarinya dengan perahu. Yang lebih besar dari biduk. Dasar perahu harus agak luas dibuat agar tidak mudah terbalik waktu melawan arus atau melalui arus."

"Pikiran yang baik," kata orang tua itu. "Tapi, ada baiknya kau pikirkan bahwa sesuatu sungai biasa, pada pangkalnya mempunyai arus yang kencang. Tapi, sungai ini lain. Pada pangkalnya tidak berapa deras arusnya. Tapi, lambat laun tambah ke hilir, menjadi deras arusnya. Bukankah itu pertanda bahwa sungai itu memang lain dari sungai biasa?"

Ronggur terdiam.

"Arus itu," kata orang tua itu pula, "dapat dikatakan cukup menggila. Dinding batunya begitu keras. Kalau perahu terhantam ke sana pasti pecah. Dan, penumpangnya akan dihanyutkan arus tanpa ampun. Tidak sempat berenang ke tepian. Bukankah arus menggila itu memang satu pertanda bahwa sungai akhirnya memang jatuh ke satu tempat yang maha dalam, yang menurut kata orang di sekitar ialah ujung dunia?"

Ronggur masih terdiam. Keningnya berkerut. Lalu, dia mengaju tanya pula: "Jadi, apakah menurut pendapat bapak, setelah mengalami kegagalan bahwa Sungai Titian Dewata memang jatuh ke ujung dunia?"

Orang tua itu mendongakkan kepala.

Page 51: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Tidak dapat kupastikan, Anakku. Karena hasil tenungku sampai saat ini tetap berpendapat bahwa sungai itu tidak jatuh ke ujung dunia. Karena pendapat ini jugalah membuat bapak disisihkan orang. Tapi, kenyataan keadaan sungai itu tidak dapat dipungkiri."

"Nah, kalau begitu yang kita hadapi hanyalah arus sungai yang menggila. Boleh jadi arus menggila karena sungai melalui riam yang banyak ditemui pada sesuatu sungai."

"Juga tidak dapat bapak jawab. Karena arus sesuatu riam tidak akan begitu kencang dan begitu menggila."

"Boleh jadi riamnya lebih dalam."

"Boleh saja kita berpendapat begitu."

"Karena itulah, aku harus melayarinya dengan perahu yang jauh lebih besar dari biduk. Dan, sewaktu melintasi arus sungai harus menggunakan tenaga pembantu. Tidak cukup kemudi saja menahan kencangnya perahu. Tapi, harus menggunakan batu pemberat."

"Maksudmu?"

"Batu sebesar kepala manusia atau sebesar kepala kerbau kita ikat. Talinya kita ikatkan pada buritan perahu. Setiap melintasi arus yang tambah kencang, setiap itu pula batu itu kita jatuhkan ke dalam air sebagai penahan. Agar perahu tidak dihanyutkan arus dengan sesuka hatinya."

Orang tua itu menundukkan kepala. Mengiakan lalu mulutnya mengatakan: "Satu pikiran yang baik."

"Nah, dengan akal begitulah aku bermaksud melayari Sungai Titian Dewata sampai ke muara. Dan, darimu, kumohonkan doa restu. Agar kami direstui dan diberkati para dewata dan arwah nenek moyang, begitu pula arwah almarhum ayah."

Page 52: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Bapak akan membantumu, Anakku," kata orang tua itu seraya pundak Ronggur ditepuk-tepuk.

"Anakku, perjalanan ini t idak mudah. Kau akan menghadapi rintangan kepercayaan orang yang ada di sekitarmu. Karena itu kekuatan jiwa dan tekad yang padu harus kau punyai dan kau pupuk selalu dalam hati."

"Baik, Bapak. Tapi, doakanlah agar anakmu ini selamat dalam perjalanan."

Orang tua itu merasa gembira bercampur bangga karena ada orang yang sependapat dengan dia. Karena, untuk pertama kali setelah bertahun-tahun ada orang meminta pertolongan doa restunya. Tenaga gaib yang dipunyainya. Matanya bersinar. Dadanya diangkat, sedang mulutnya mengatakan dengan suara pasti:

"Anakku, beritahukan pada bapak kelak, kapan kau hendak memulai perjalanan itu. Ah, kalaulah bapak masih muda, masih punya tenaga yang kuat, bapak akan turut bersamamu."

"Doa Bapak yang akan mengiringi langkahku, kurasa lebih besar manfaatnya dari apa saja." kata Ronggur. "Dan, aku mau mempersiapkan peralatan yang kuperlukan dulu. Sebuah perahu yang agak besar, yang punya dasar yang lebih datar dari perahu biasa. Beberapa gulungan tali ijuk yang kuat. Sesudah ini s iap semua, perjalanan itu akan kumulai. Dan, aku akan datang memberitahukannya pada Bapak."

Ronggur meminta diri. Orang tua itu melepaskannya menerjang kelam malam yang pekat. Mata orang tua menyinarkan cahaya kemenangan, berusaha menembus segala kegelapan yang menyungkup keadaan sekitar.

Si belang berlari-lari di samping Ronggur, sambil mengibaskan ekor.

Malam sudah jauh, dibaliknya pagi.

Page 53: PENAKLUK UJUNG DUNIA

ccdw-kzaa

3 Kabut pagi masih rendah menyungkup tanah. Ronggur

sudah berada di halaman bersama Tio dan si belang. Tangan kanan Ronggur menggemggam kampak, tangan kirinya menggenggam tombak. Di tubuhnya membelit tali ambalang. Di pundaknya disandangkan sumpit bertali, yang berisikan alat kecil.

Pundak Tio juga menyandang sumpit bertali yang berisikan beras. Tangannya juga menggenggam kampak dan tombak. Matanya sering tertumpu ke pinggang Ronggur yang menyelipkan panggada. Mereka tampaknya akan mengadakan perjalanan yang tidak dapat dikatakan pendek masanya.

Ronggur melangkah cepat, panjang, dan menembus kabut. Tio tetap mengiring dari belakang bersama si belang. Si belang sering menggonggong, meregangkan tubuh seperti mengendorkan urat yang dibekukan dingin pagi berkabut rendah. Tapi, tampaknya, dari gerak-geriknya si belang gembira. Karena seperti tahu bahwa mereka akan mengadakan perjalanan yang lama dan jauh dari lingkungan perkampungan. Orang tidak ada di halaman.

Langsung rombongan kecil itu mengarah ke kaki bukit sebelah barat. Jalanan terus menanjak. Perkampungan tambah tertinggal di bawah. Masih juga dibalut kabut, tapi sudah tambah menipis dengan bertambah tingginya hari.

Lewat perkampungan danau, kabut di sana lebih tebal, lebih kental, dan rendah. Air yang biru tidak dapat dilihat pandang, begitu pula Pulau Samosir dan Tuktuk Sigaol. Semua teggelam ke perut kabut. Mereka terus melangkah. Bergegas.

Page 54: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Kabut yang rendah tambah terangkat. Untuk kemudian secara perlahan mulai menyisih dari tanah. Matahari memberi sinar, suluh abadi yang dikenal mereka sejak masa kanak. Permukaan danau, secara berangsur perlahan, tepian Pulau Samosir dan Tuktuk Sigaol, bertambah lama bertambah jelas tampak. Akhirnya keputihan yang pekat tadi yang merupakan satu bundaran yang tidak berujud, sekarang sudah tampak isinya.

Air danau biru tenang di pagi hari tanpa angin. Samosir dan Tuktuk Sigaol berhadapan. Di sebelah lain Tuktuk Tarabunga menjulur ke depan, seperti hendak menjangkau Samosir. Ini semua dapat dilihat setelah melalui tingkatan sawah yang padinya sedang bunting, dedaunan padi yang menghijau. Pada tempat tertentu tampak tumpukan bambu duri yang melingkar. Pertanda perkampungan. Asap sudah mengepul dari kampung itu, pertanda pengisi kampung sudah bangun dari tidurnya. Satu dua biduk berlayar di permukaan danau, penangkap ikan yang bekerja semalaman mengayuh menuju pantai.

Mereka meneruskan langkah, jalanan menanjak. Setiap saat, tambah jauh mereka di atas, dan perkampungan serta danau, tambah jauh berada di bawah. Langkah mereka begitu cepat diayunkan. Tergesa tampaknya. Karena ingin cepat tiba ke tempat yang dituju. Tidak banyak mereka mengeluarkan kata.

Matahari tambah tinggi berlayar di langit dan sinarnya terus menerus tambah terik. Angin yang berdesir di lidah ilalang yang tinggi, lalu ilalang itu bergoyangan, sudah mulai bangkit. Lidah ilalang yang bergoyangan, terkadang menyayati daging mereka dengan tipis. Terasa pedih juga bila sayatan kecil itu dibasahi keringat. Terkadang mereka seperti tenggelam di padang ilalang yang cukup tinggi. Untuk tampak kembali pada tempat di mana ilalang agak rendah. Biasanya, si raja hutan, bersembunyi di sana menanti mangsa. Itu yang membuat

Page 55: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur tetap was-was. Di tangannya terus tergenggam tombak dan kampak, siap sedia dipergunakan.

"Sebelum matahari condong ke barat, kita sudah harus menuruni lembah berhutan yang ada di salah satu lekuk danau. Agar kita tidak kemalaman mencari tempat bermalam," kata Ronggur. "juga untuk memilih dahan pohon yang baik untuk tempat tidur."

Tio tidak menyahut. Langkahnya tambah dipercepat dan diperpanjang, dilincahkan sebagai sahutan.

Matahari terus berlayar di langit dan mereka terus melangkah di bumi. Lidah si belang terjulur merah dan berbuih. Dia tidak menggonggong lagi, tapi terus mengikuti tuannya.

Dari tempat ketinggian, mereka menatap ke sekitar. Pandang bebas diarahkan ke mana suka, hanya ke arah belakang yang kandas pada pegunungan. Barat, melalui tingkatan dinding teluk, didasarnya hutan yang mereka tuju. Utara, danau yang biru. Beriak-riak. Dari sana tampak lebih jelas lagi, di teluk di mana Sungai Titian Dewata bermula.

Mata Ronggur lama tertancap ke sana. Alis matanya terangkat. Dalam hati terucap kata: akan kutembus kau sampai ke muara. Melihat Ronggur bersikap begitu, dada Tio bernadakan lagu lain, ketakutan bercampur baur dengan penyesalan, kenapa sungai itu harus diadakan dewata.

Kelompok bambu duri pertanda perkampungan tambah banyak dapat mereka lihat dari sana. Tercecer bertumpuk di sana sini. Bermula dari pantai danau, berakhir ke kaki bukit. Sawah menghijau oleh dedaunan padi yang sudah panjang dan sudah bunting.

Mereka menuruni lembah berhutan yang tidak berapa luas. Tapi, cukup hijau. Mereka sudah dapat mencium bau dedaunan yang segar, berair, dan teduh. Dedaunan yang rapat didukung pepohonan yang tumbuh di sana, menampung

Page 56: PENAKLUK UJUNG DUNIA

sinar matahari, hingga tanahnya tetap teduh dan berair. Dedaunan gugur melapisi permukaan tanah. Jaringan dahan dan rantingnya, mendukung dedaunan, permadani yang lembut, buatan alam.

Tapi, Ronggur sudah tahu bahwa mulai panen tahun muka, kerajaan marganya sudah memutuskan membuka hutan itu untuk dijadikan tanah persawahan. Tapi, bersamaan dengan niat itu kerajaan marga lain juga telah memutuskan untuk membuka hutan itu untuk dijadikan tanah persawahan marganya. Kerajaan marga lain yang juga mendengar berita itu dengan tandas pula menyatakan maksud masing-masing. Untuk membuka hutan itu lalu membagi-bagikan tanahnya bagi warga marganya. Akhirnya setiap kerajaan marga yang berdekatan, harus mengadakan pertemuan kerajaan, untuk membicarakan masalah hutan itu. Sampai sekarang memang belum ada satu marga pun yang mempunyainya. Tapi, setiap marga merasakan bahwa kerajaannya punya hak atas hutan itu. Kalau hutan itu dibuka, marganya harus memperoleh bagian.

Begitulah, sudah beberapa kali dilangsungkan sidang kerajaan dengan kerajaan. Di induk kampung marga Ronggur juga sudah pernah diadakan pertemuan. Tapi, hasilnya masih tetap sama: belum memperoleh kata mupakat. Satu marga mengusulkan, boleh marganya tidak memperoleh tanah bagian, tapi sebagai pembayar bagiannya kerajaan lain harus memberikan kerbau pada kerajaannya. Masalah itu memang hangat dibicarakan. tapi, belum sampai ke taraf yang menentukan. Yang bisa membuat satu luhak berkelahi dengan luhak lain. Bila satu luhak telah menang, yang di tempati beberapa marga, antara marga sendiri pun akan ada pertengkaran. Yang mungkin pula menimbulkan peperangan marga.

Jadi, dari tanah hutan yang tidak seberapa luas itu, bisa saja timbul peperangan yang berturut-turut. Pada mulanya

Page 57: PENAKLUK UJUNG DUNIA

peperangan luhak, lalu melanjut pada yang lebih kecil, peperangan kerajaan marga.

Suatu kerajaan yang memperolehnya, akhirnya dapat memindahkan beberapa keluarga ke sana. Tanah perluasan buat sementara. Karena luasnya tidak seberapa. Hanyalah tempat singgahan sementara sebelum tiba ke saat yang ditakutkan Ronggur. Namun untuk merebutnya, kemungkinan pecahnya peperangan begitu besar. Dan, atas putusan kerajaan Ronggur, untuk membuka hutan itu, tanpa memperdulikan kepentingan kerajaan marga lain, sudah jelas garisnya: peperangan tidak terelakkan lagi, bila marga lain itu tetap merasakan bahwa kerajaannya punya hak juga atas hutan itu. Hendaknya, pikir Ronggur, dia bisa lebih dulu menemui tanah habungkasan, sebelum peperangan dari perebutan hutan itu meledak.

Mereka menurun ke lembah berhutan dielus angin sore yang nyaman.

Tepi hutan. Kesejukannya telah memberikan kesegaran bagi mereka yang sehari penuh dipanggang sinar matahari. Ronggur duduk melepas lelah pada teduhan sebuah pohon. Menelentangkan diri. Menutup mata. Memperbaiki jalan pernapasan. Si belang, mendudukkan diri tidak jauh darinya. Lidahnya terjulur ke luar. Berbuih. Ronggur kembali duduk, lantas mengatakan:

"Tolong berikan padaku nasi yang kau bawa itu sebungkus."

Tio cepat memberikan. Diambilnya sebungkus untuknya. Memberi beberapa jemput untuk si belang.

"Bila selesai makan, kumpulkanlah ranting kering. Untuk bahan bakar api unggun malam hari," kata Ronggur lagi.

Tio mengiakan.

Page 58: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Hari sudah sore. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Di sini cepat gelap. Sebaliknya," kata Ronggur pula, "kita memilih dahan tempat bermalam. Agar terhindar dari gangguan binatang buas. Membuat lobang pada salah satu sisi jurang tidak sempat lagi."

Lagi-lagi Tio mengiakan.

Ronggur memilih dahan yang baik untuk tempat tidur, yang bercabang dua, cukup besar, dan tidak vertikal, tapi mendatar. Tidak terlalu bulat. Agak gepeng sedikit. Di mana tubuh enak ditelentangkan. Di bawah dahan mereka bakar api unggun, agar nyamuk tidak banyak mengganggu. Juga bisa mengusir dingin malam. Dahan yang dipilih Ronggur untuknya dan untuk Tio tidak berjauhan.

"Si belang di mana tidur?" tanya Tio.

"Biarlah di tanah. Penciumannya cukup tajam. Bila bahaya datang, dia sudah dapat mencium dari jarak jauh. Dia akan terus menggonggong lalu membuat kita bangun. Lantas memberi bantuan."

Begitu tergesa mereka menyiapkan sesuatunya. Tio tidak hanya mengumpulkan reranting. Dahan yang patah dari sesuatu pohon dipotong, lalu dibawanya ke bawah pohon tempat mereka bermalam.

Ronggur pergi menyusuri tepian hutan. Ditatapi Tio terus sampai Ronggur hilang ke antara pepohonan atau tenggelam kerimbunan rerumputan yang tinggi. Baru Tio memulai mengonggokkan ranting di lapisan bawah diatasnya dahan. Dihidupkannya api. Mula-mula dibakar ranting. Potongan dahan kayu yang sebesar betisnya dionggokkannya kenyala api menjilam. Tidak sekali banyak. Tapi, sedikit demi sedikit supaya api tidak mati. Dan tetap ada nyala menjilam. Bara memanas di bawah bila sudah ada dahan sebesar betis yang habis dimakan api.

Page 59: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ya, pikirnya. Ronggur dapat diibaratkan seperti api unggun. Tingkah lakunya yang dapat dilihat atau yang muncul kepenglihatan, yang dikatakan sikap jantan yang berani, masih menyimpan bara kehidupan yang cukup besar didasarnya. Sehingga apa yang dilihat itulah, sesuatu yang dipikirnya dan dirasakannya punya kebenaran, tak seorang pun dapat menghalanginya untuk mengerjakannya.

Begitu pula dengan tekad perjalanannya yang akan menempuh Sungai Titian Dewata tak satu pun kekuatan baik melalui kemesraan dan kasih, baik melalui ancaman bahaya yang mungkin ditemuinya, yang dapat mencegahnya, mengendorkan maksudnya. Walaupun itu berarti dia akan merombak kepercayaan yang sudah tertanam di dasar hati penduduk turun-temurun, atau dia sendiri akan musnah. Seperti api unggun itu sendiri, bila hendak memadaminya, harus turut baranya dipadamkan baru tidak mengandung panas lagi, mengandung bahaya lagi yang bisa membakar dan menghanguskan.

Dari jauh sudah kedengaran siulan Ronggur datang mendekat. Ronggur melihat api yang sudah menyala dan memberi kilatan cahaya pada sekitar, yang cepat menjadi kelam. Dedaunan yang merimbun menampung cahaya matahari yang sudah lemah, senja. Sambil tersenyum Ronggur berkata:

"Kau pandai menyalakan api. Di tikungan jalan tikus menanjak sana, sudah kutemui kumpulan pohon maranti batu. Tapi, belum kutemui maranti batu yang cukup tua, yang baik dijadikan perahu. Pohon yang kuperlukan harus cukup tua lagi besar. Sedang panjang batangnya yang lurus hendaknya melebihi tiga depa. Tapi, bagaimanapun kumpulan pohon maranti batu yang masih muda itu, sudah menjadi pertanda bahwa di hutan ini akan kutemui pohon yang kuperlukan."

“Harus pohon maranti batu?" tanya Tio menyeling.

Page 60: PENAKLUK UJUNG DUNIA

“Ya. Semua perahu yang baik dibuat dari jenis kayu itu. walau susah mengerjakannya karena kayunya cukup keras. Tapi meranti batu tidak mudah busuk walau direndam dalam air dan dipanggang terik matahari. Lagi, daya apungnya sangat baik."

Kemudian Tio terdiam. Matanya seperti bermimpi. Menatap entah ke mana saja. Dan, Ronggur melanjutkan:

“Sewaktu aku meneruskan perjalananku lebih ke atas, kutemui pula parit kecil. Airnya bening. Di tepi parit banyak kulihat bekas jejak binatang buruan. Jadi, kita tidak akan kekurangan daging di sini. Tahukah kau di sebelah hulu parit, banyak pohon aren liar tumbuh. Sudah ada yang tua. Kau harus menebang pohon aren yang sudah tua itu. Memintal ijuknya menjadi tali. Harus cukup besar, kalau bisa sebesar pergelangan tangan. Harus pula panjang. Sangat kuperlukan nanti dalam perjalanan. Itulah kerjamu."

“Aku akan mengerjakan," sahut Tio. Dalam hati selalu mengiring tanya, kuperlukan dalam perjalanan. Apakah Ronggur pergi sendiri, tidak mengajaknya? Betapa pun ancaman yang tumbuh dari maksud perjalanan itu, namun Tio bila memang Ronggur harus berangkat juga, dia ingin ikut.

“Besok pagi benar, bangunlah. Kita harus mengadakan pengintaian. Membunuh beberapa ekor binatang itu, agar ada daging persediaan. Jangan lebih dulu menebang kayu. Suara kampak yang berlaga dengan pohon kayu bisa menakutkan binatang. Binatang akan pergi menjauh."

Tio mendengarkan. Begitu yakin dia bahwa kemana pun dia pergi, bila bersama Ronggur, mereka tidak akan mati kelaparan. Keberaniannya, akalnya yang cukup banyak, kekuatan tubuhnya memberi jaminan.

Tapi, bila diingatnya bahwa Ronggur akan menyusuri sungai Titian Dewata mencapai muara, maka itu sangat lain soalnya. Walaupun tubuh Ronggur cukup tegap menyimpan

Page 61: PENAKLUK UJUNG DUNIA

tenaga yang kuat, akalnya banyak, namun untuk menghadapi ketentuan dewata, semuanya itu tidak berarti. Kalau dewata berkehendak, apalagi kalau dilanggar ketentuannya, siapa pula dapat menantangnya?

Entah kenapa perasaan takut itu tambah hari tambah dalam mencekam di hatinya. Namun dia tidak mengatakan. Kurang wajar rasanya dia menasihati perjalanan yang sudah diputuskan Ronggur harus ditempuh. Tapi, apakah Ronggur tidak dapat membaca apa yang tersirat dicerlang matanya?

Malam hari. Binatang rimba mulai bernyanyi. Jengkrik dengan kerisiknyayang nyaring dan di kejauhan gonggong dan salak anjing liar selalu membuat si belang mendongakkan kepala. Mendengarkan dan meraba sumber suara itu.

Ronggur menyuruh Tio mengikatkan tubuh ke dahan kayu yang bercabang, berbentuk gepeng, agar tidak jatuh sewaktu diri lelap tidur. Tapi, ikatannya jangan dipintal mati. Harus bisa dibuka dengan cepat. Karena mungkin saja diperlukan pada saat tertentu,. Ronggur juga mengikatkan tubuhnya ke dahan tempatnya tidur. Si belang di bawah, dekat unggun api.

Dalam hayalnya Ronggur sudah menggambarkan bentuk perahu yang hendak dibuatnya. Sudah di reka-rekanya bahwa dasar perahu harus mendatar, jangan melancip.

Biarlah tidak bisa dikayuh cepat. Biarlah perahu agak lamban jalannya. Tapi, bisa mengikuti arus sungai walau melalui riam. Dinding perahu harus agak tinggi agar tidak dimasuki temperasan air yang memercik. Ya, pikirnya, penimba air harus dibawa serta. Yang dibuat dari bambu.

Malam begitu dekatnya. Nyala menjilam dari unggun api. Tambah jauh malam nyala itu tambah mengecil. Ronggur turun ke bawah. Menimpakan beberapa potong lagi dedahanan ke atas api. Hingga jilam yang mau padam tadi, lalu tampak bara membara, kembali menyala. Jilam-nya begitu tinggi. Sekitar menjadi terang dan panas. Si belang duduk di

Page 62: PENAKLUK UJUNG DUNIA

tanah dekat api melihat jilam api yang terkadang meliuk ditiup angin lalu.

"Perahu yang kubuat," lanjut Ronggur berbicara pada diri sendiri setelah dia kembali meletakkan diri dan mengikat tubuhnya ke dahan kayu itu. Harus bisa memuat penumpang sebanyak tujuh orang paling sedikit. Dasar perahu harus lebih lebar dari perahu biasa, agar tidak mudah oleng waktu melintasi riam sungai. Juga agar mudah menjaga keseimbangan. Sudah dibayangkan, siapa yang akan diajaknya serta. Akan diminta kesediaan mereka menemaninya. Dan, ke dalam yang tujuh orang itu, tidak termasuk Tio.

Perjalanan yang menanggung risiko begitu berat, bukanlah pekerjaan perempuan. Lagi, Tio perlu dekat ibu. Membantu mengerjakan sawah bila saat panen tiba. Siapa ttliu, boleh jadi perjalanan itu sangat panjang.

Dikiranya pula, bila setiap hari dia mengerjakan perahu, dalam dua kali purnama tenggelam dan terbit lagi sudah bisa selesai. Berarti sepulangnya dari hutan itu, padi telah menguning di sawah. Sehabis panen, dia akan memulai perjalanan itu. Seketika, teringat dia atas maksud kerajaan marganya untuk membuka hutan itu menjadi tanah persawahan.

"Ah," pikirnya pula, "dari orang yang sangat dekat dengan Raja Panggonggom, diperolehnya keterangan bahwa s iasat itu baru gertakan saja pada kerajaan marga sekitar. Untuk menduga sampai di mana kesungguhan kerajaan marga lain itu untuk menguasai hutan itu.

"Tapi, betapa pun," pikirnya pula, "hutan itu akan dibuka orang juga. Dan, darinya timbul satu ancaman pada ketenteraman hidup. Karena setiap kerajaan marga merasakan sama-sama berhak atas hutan yang kecil itu."

Page 63: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Tio, kau sudah tidur?" tanyanya. Tidak ada sahutan. "Ah," pikirnya, "Tio sudah tidur."

Dan, dia masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya terus berbicara dan bercerita dan mereka-reka bentuk masa datang. Dia tidak tahu pasti, kapan dia jatuh tertidur. Kokok ayam hutan membangunkan mereka. Cepat Ronggur turun dari dahan. Begitu pula Tio. Setelah meregangkan tubuh beberapa saat, menguapkan mulut. "Enak tidurmu malam tadi?" tanya Ronggur.

Tio hanya menundukkan kepala. Sekitar masih remang. Masih pagi benar. Tapi, bila mereka pergi ke pinggir hutan, tahulah mereka bahwa matahari sebenarnya sudah muncul di atas pundak Dolok Simanuk-manuk yang dapat mereka tatap dari mulut teluk. Dedaunan yang rimbun menghalangi sinar matahari jatuh menimpa wajah mereka. Cepat-cepat Ronggur mengajak Tio mendekat ke parit yang dikatakannya semalam. Perlahan-lahan mereka mendekat, seolah-olah tidak menimbulkan bunyi. Walau melalui ranting-ranting kering yang berserakan di atas tanah.

Ronggur menunjukkan sekumpulan pelanduk yang sedang minum dan bermain-main di parit kecil itu.

"Lihat," bisik Ronggur. "Bidiklah yang sebelah sana, yang kepalanya berbelang putih. Aku membidik yang kakinya berbelang."

Tio mengiakan dengan anggukan. Bersama mereka mengayunkan tombak yang cepat melayang. Lalu, tertancap ke sasaran. Karena terkejut, pelanduk lain melarikan diri. Sedang pelanduk yang dikenai tombak melengking dan berusaha melarikan diri beberapa jauh, membawa luka di tubuh yang mengucurkan darah. Untuk itu, si belang cepat bangkit dan mengadakan pengejaran. Digigitnya kaki pelanduk itu sampai tidak berdaya. Sampai rubuh ke tanah. Kemudian si belang menggonggong, mewartakan kepada tuannya di mana pelanduk tergeletak.

Page 64: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur dan Tio cepat mendekat. Mereka kuliti binatang itu. Dagingnya mereka potong tipis-tipis. Mereka jemur di atas batu yang langsung menampung sinar matahari penuh tanpa dihalangi dedaunan. Sehari itu, si belang disuruh menjaga agar tidak dicuri burung gagak.

Rongur memilih dinding jurang yang baik digali untuk membuat lubang perlindungan, tidak jauh dari parit kecil agar mudah mengambil air. Berdua mereka menggali. Mulut lubang dibuat besar, hingga bisa masuk dengan leluasa. Sedang ruang dalam agak luas. Mereka bisa menyangkutkan ulos-batak sebagai batas tempat tidur masing-masing. Sampai jauh malam mereka mengerjakan lubang itu. Peralatan mereka simpan di sana. Begitu pula dengan daging hasil pemburuan tadi pagi yang harus dijemur besok harinya, karena belum cukup kering untuk disimpan.

Mereka gembira karena sudah memperoleh daging yang dibutuhkan dan sudah punya lubang perlindungan. Ronggur bisa tidur nyenyak malam itu, begitu pula T io. Di mulut lubang si belang tidur-tiduran. Seperti menjaga kemungkinan adanya gangguan binatang buas.

Pagi itu, Ronggur melanjutkan mencari kayu. Dia menyuruk-nyuruk di bawah rerantingan, menyibak rerumputan yang terkadang berduri dan melukai tubuhnya dengan garis-garis kecil. Tapi sudah dapat menitikkan darah untuk kemudian membeku

Agak jauh di tengah hutan, baru ditemui pohon yang dicari. Besar batang pohon, tiga kali pelukannya. Panjang batang pohon yang tegak lurus, sekira tiga depa. Diperiksanya batang pohon itu baik-baik, hingga dia yakin bahwa pohon itu sudah cukup tua. Dikulitinya batang pohon sekira sejengkal, lalu tampak kayu yang sudah berminyak. Kemudian dipanjatnya. Diperiksa, apakah tidak terlalu banyak mata kayunya. Tahulah dia bahwa kayu itu cukup baik dijadikan perahu. Langsung saja Ronggur mulai mendahaninya, agar waktu tumbang nanti

Page 65: PENAKLUK UJUNG DUNIA

tidak menyangkut pada pepohonan lain yang bisa menimbulkan cacat pada pohon itu. Tanah di sekitar pohon itu dibersihkan.

Sesudah selesai menjemur daging hasil buruan semalam dan menyuruh si belang menjaga, Tio langsung menebang aren yang sudah tua. Batangnya dibelah. Umbi aren diasingkan untuk ditumbuk, kemudian direndam dengan air, lalu ditapis untuk diasingkan tepungnya Yang baik, dimakan pengganti beras. Belahan pohon aren dijemur di bawah terik matahari, di tanah yang tidak terlindung. Ijuknya cepat berlepasan satu sama lain bila pohonnya sudah kering. Ijuk yang berlepasan itu bisa dipintal menjadi tali yang cukup kuat.

Begitulah mereka saling mengerjakan tugas masing-masing. Bila daging sudah mulai habis, kembali mereka mengadakan pemburuan. Sedang persediaan beras tampaknya tidak berkurang-kurang karena persediaan tepung umbi aren.

Dari dedahanan kayu yang ditebang Ronggur, yang panjang lagi kurus, dua tiga biji dipilihnya untuk dijadikan galah. Katanya sekali waktu pada Tio, galah itu sangat diperlukan dalam melayari sungai. Bila air sungai t idak berapa dalam bisa digunakan membantu jalannya perahu, dengan mencucukkan galah ke dasar sungai lalu menyorongkan. Atau, mendorongkan perahu yang mau terhempas ke tepian berbatu dengan menjolokkan galah ke pinggir sungai berbatu.

Dua biji lagi kayu yang tidak berapa besar ditebang Ronggur. Batang pohon itu dipotong. Ujungnya dilancipkan kemudian dipacakkan ke tanah. Bersilangan.

Persilangan itu diikat dengan rotan kuat-kuat. Dibuatnya pula pacakan begitu dua lagi. Sedang batang pohon maranti batu yang sudah tumbang itu, diukurnya. Tepat sepanjang yang diperlukannya. Lebihnya dibuang. Dengan dibantu Tio, Ronggur menaikkan batang pohon maranti batu itu ke atas

Page 66: PENAKLUK UJUNG DUNIA

pacakan yang berupa galangan itu. Di sana batang pohon itu dikulitinya, ditelanjangi.

Di atas pacakan itu Ronggur mulai membuat perahu. Di atas pacakan, batang pohon itu bisa dibalik-balikkan. Ronggur harus hati-hati memilih, bagian batang mana yang harus dijadikan dasar perahu. Dari sebelah mana harus dimulai penukilan membentuk semacam lobang di batang kayu itu. Dia harus memilih dasar perahu yang terbuat dari bagian batang yang tidak banyak mata kayunya. Mata kayu biasanya mudah lepas dari kesatuan kayu dan bila sudah lepas, perahu akan bocor.

Bentuk lobang yang dibuat Ronggur di batang kayu itu, yang nanti menjadi tempat pemenumpang, pada bagian hulu dan buritan tidak berapa dalam. Tapi, di bagian perut lebih dalam dan luas. Setelah bentuk lobang itu agak nyata, Ronggur beralih pula menukil bagian luar. Membentuk semacam dinding yang baik, mengambil tuntutan dari bagian dalam perahu. Dasarnya sengaja diperluas.

Bila dasar perahu dan dinding perahu bertambah terbentuk, kapak tidak berapa dipergunakan Ronggur lagi. Dikeluarkannya tuhil, alat yang yang terbuat dari batu yang tajam muncungnya. Dengan tuhil Ronggur melanjutkan membentuk lobang atau memperhalus bekas makanan kampak. Tuhil itu ditancapkan lebih dulu, kemudian hulunya diketok perlahan. Dia harus memperhatikan benar, berhati-hati, agar dinding perahu tidak terlalu tipis lalu mudah pecah.

Begitu pula dasarnya. Tapi, tidak pula boleh terlalu tebal. Agar perahu tidak berat atau agar daya apung perahu cukup baik dan punya keseimbangan. Karena itu, tebal kedua sisi dinding perahu, diusahakan agar sama. Pada bagian buritan dan hulu perahu, dipahatnya semacam ukiran, menggambarkan kepala harimau. Satu menghadap ke depan, satu lagi menghadap ke belakang. Langsung bersatu dengan tubuh perahu.

Page 67: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Buritan dan hulu perahu, dindingnya tebal dibuat di sana, justru karena di buritan dan di hulu perahulah terletak tenaga sesuatu perahu tersimpan. Bila buritan dan hulu perahu retak atau pecah, sendirinya saja bagian perut perahu akan pecah.

Waktu saat memintal ijuk tiba, setelah pohon aren yang tua habis ditumbangkan Tio di tempat itu, tahulah Tio, betapa susahnya memintal ijuk pohon aren. Ijuk yang keras sering menusuk kulit telapak tangan, sehingga bisa mengucurkan darah. Kulit telapak tangan berlecetan di sana-sini. Kemudian melahirkan kulit baru yang lebih tebal dan lebih tahan menghadapi ijuk. Tapi, kasar.

Alat pemintal, ialah dua potong kayu sebesar pergelangan tangan. Dibuat bersilang. Kayu bersilang itu diputarkan pada tumpukan ijuk yang dicerai-beraikan. Dan, sudah kering sehingga ijuk mengikut pada putaran kayu itu. Ijuk yang mengikut itu, yang diusahakan sebesar yang dikehendaki dan sudah cukup panjang diikatkan pada pepohonan yang ada di sekitarnya. Lalu dimulainya memutar-mutarkan kayu bersilang tadi ke tumpukan ijuk. Ijuk yang memanjang, yang sudah dua jalur itu, disatukan. Dipilin tangan demikian rupa sehingga berbentuk tali yang jalin-menjalin, hitam, dan kokoh. Tahan air. Tahan panas matahari, asal saja jangan dibakar api.

Tio harus mencari pohon aren baru untuk ditebang. Dia harus menyusur lebih ke hulu parit lagi. Pohon aren yang setumpuk itu sudah pada tumbang. Dan, ijuknya sudah dipintal menjadi tali. Tapi, Ronggur mengatakan tali yang dipintalnya masih kurang banyak. Karena itu, dia harus mencari pohon aren lagi. Menebang. Membelahnya. Menjemur. Menyisihkan umbinya. Merendam ke air. Menapis agar diperoleh tepungnya. Bila batang aren sudah kering, melepaskan ijuknya dari batangnya. Mencerai-beraikan. Kemudian memintalnya menjadi tali.

Page 68: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Tio menyuruki rimbunan kekayuan yang agak rendah, mencari pohon aren. Dari jauh sudah terlihat daun aren yang panjang itu. Ke sana dia menuju.

Setiba di bawah pohon aren itu, betapa gembira dia karena dia menemui sarang babi hutan. Anak babi hutan lima ekor, matanya masih sipit. Dielusnya perlahan tubuh anak babi yang masih lembut. Yang masih punya bulu begitu halus dan menggelikan telapak tangan.

Tiba-tiba dia sadar bahwa menemui sarang babi hutan yang mempunyai anak yang masih kecil, juga mengandung mara bahaya yang mengancam di samping kegembiraan. Induk babi yang baru melahirkan dan masih menyusukan tentu cukup galak dan tetap diiringi jantannya.

Waktu dia berpaling, didengarnya dengusan babi dari semak yang ada di atasnya. Sadarlah dia, itu dengusan induk babi. Dilihatnya keadaan sekitar, tidak menguntungkan. Tidak ada batang kayu yang dekat yang bisa dipanjat untuk menghindar bila babi itu menyerang. Sebelah kanannya, jalan tikus yang sempit. Sebelah kedua sisinya, belukar. Dari depannya, suara dengusan babi.

Tapi, masih ada semacam dinding tanah sebelum menembus ke jalan tikus itu. Bila dia mundur ke sana dan mengadakan pertahanan, yang harus dihadapinya hanyalah satu arah saja, yaitu depannya. Padahal babi hanya bisa menyerang dari satu arah. Dengusan napas babi tambah mendekat.

Dibulatkannya tekad, dia harus menghadapi segala kemungkinan. Dia harus menghadapi serangan babi itu. Jalan menyingkir sudah tidak ada. Walau dia tahu seekor babi hutan tidak akan terus jatuh ketika pukulan pertama mengenai tubuh atau kepalanya. Babi itu akan menyeruduk maju ke depan, menyerang sampai mangsanya terjepit. Muncungnya yang panjang kemudian akan ditusukkan ke bagian tubuh yang lunak. Dan, bila babi jantan itu sudah bertaring,

Page 69: PENAKLUK UJUNG DUNIA

taringnya akan digunakan mencabik-cabik daging mangsanya. Menggigil juga dia.

Sambil mundur perlahan, matanya tetap awas dan terus diarahkan ke sumber dengusan. Tapi, pikirannya masih dapat mengingat bahwa bila babi menyerang selalu membabi buta. Langsung saja menyergap ke depan tanpa rem. Dalam saat begitu, seseorang yang lincah dan tidak gugup, dengan meloncat ke kiri atau ke kanan, bisa mengelak serangan. Bisa mengelak serangan babi sambil menggunakan kesempatan itu menghantamkan panggada atau kampak yang ada di tangan.

Tiba-tiba si belang menggonggong. Begitu nyaring suaranya. Taringnya ditunjukkan, putih tajam dan kukuh. Dalam hati, Tio mengharap Ronggur dapat mendengar dan mengerti maksud gonggongan si belang. Dua ekor babi sekaligus sudah berada di hadapannya, di tempat terbuka yang sempit.

Seekor dari babi itu sudah bertaring, yang jantan. Mata kedua babi itu merah menyala. Keduanya mengais-ngais tanah, bergaya, mengambil ancang-ancang memulai serangan. Tio terus mundur sampai mendekat ke satu sudut tanah tinggi yang keras. Matanya terus awas, mengikuti sikap dan gerak-gerik babi yang dua ekor itu. Bila babi menyeruduk maju tanpa rem, di saat dia harus melompat ke kiri atau ke kanan, dia harus terus cepat pula mengayunkan kampak yang ada di tangannya, sambil harus terus awas menantikan serangan babi yang seekor lagi.

Si belang masih terus menggonggong dengan nyaring dan bersikap menanti. Karena itu, babi itu belum menyerang. Gonggong si belang cepat berhenti karena babi jantan menyerang si belang. Si belang melompat ke samping. Babi jantan terdorong ke depan. Si belang cepat melompat ke punggung babi itu. Si belang sudah berada di punggung babi.

Tapi, sebelum si belang memperoleh posisi yang baik, babi itu masih sempat mempergunakan taringnya sehingga leher si

Page 70: PENAKLUK UJUNG DUNIA

belang kena dan mengeluarkan darah. Tapi, si belang tidak lagi melepaskan pundak babi jantan itu. Taringnya yang tajam dan kukuh ditancapkan ke bagian punggung leher babi. Babi itu menggelepar dan berlari dengan berputar untuk menjatuhkan si belang dari pundaknya. Namun si belang tidak melepaskan gigitannya lagi. Darah babi muncrat. Namun, belum ada pertanda babi itu mau mengalah. Akhirnya, babi itu berlari ke satu batang pohon yang besar, mendorongkan pundaknya agar si belang terjepit. Dengan kaki belakangnya, si belang menahan dorongan itu. Taringnya tambah dalam ditancapkan ke daging babi.

Babi betina melihat babi jantan dalam keadaan payah mulai mengambil ancang-ancang akan menyerang. Waktu itu, secepat kilat tangan Tio mengayunkan kampak, berusaha menghantamkan ke bagian punggung leher babi. Tapi, yang kena bagian punggung belakang saja.

Babi itu cepat berpaling. Panggada yang ada di tangan Tio diayunkan beruntun, menghantam kepala babi itu. Tapi, babi itu terus maju mendorong, mendesak Tio ke sisi tanah tinggi. Terkadang didorong ke rimbunan lalang yang ada di sekitar. Tio tetap berusaha menjaga arah mundur. Tapi, justru karena serangan babi itu yang terkadang berubah arah, sekali waktu dia tergelincir juga. Dia tersandar ke pohon aren yang berduri tajam. Duri pohon aren menusuk punggungnya. Terasa sakit.

Cepat babi itu mundur ke belakang dan cepat pula melompat ke depan bermaksud menjepit Tio ke batang pohon aren. Tapi, secepat itu pula Tio mengelak. Namun, betisnya sempat disambar babi dengan muncungnya. Luka menggaris, darah mengucur.

Tio memperbaiki posisi sambil menghantamkan panggada ke sana ke mari, menghalangi jalan maju babi itu. Sekarang, Tio sudah bersandar ke dinding tanah tinggi yang keras. Kembali babi itu mengambil ancang-ancang mundur beberapa

Page 71: PENAKLUK UJUNG DUNIA

langkah. Tio berhenti mengayunkan panggada. Seperti melengah.

Dan, saat ini dipergunakan babi dengan menyeruduk cepat ke depan. Saat genting. Dan, Tio cepat mengelak ke samping. Kepala babi terhantam ke dinding tanah tinggi yang keras. Kampak yang tadi tertancap di pundak babi menjadi lepas. Cepat dipungut Tio, lalu menghantamkan kampak ke leher babi yang belum sempat berpaling. Akhirnya babi itu tidak berdaya sama sekali. Tergeletak di tanah dengan mata yang masih memancarkan sinar kemarahan.

Kaki belakang si belang semakin lemah menahan dorongan babi jantan. Pantatnya sudah mulai kena ke batang pohon. Tio masih begitu payah. Napasnya satu-satu dan tubuhnya mandi keringat. Betisnya terasa pedih mengucur darah. Hingga dia untuk beberapa saat tinggal melihat saja. Napasnya tersengal. Urat sarafnya begitu tergoncang.

Dan, secara perlahan diketahuinya, si belang sedang berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan bersamaan dengan mengendornya urat saraf itu. Bersikap mengayun kampak, Tio maju perlahan. Tapi, waktu itulah sebuah tombak yang sudah cukup dikenalnya tertancap ke perut babi.

Ronggur telah ada di sana dengan tubuh berkeringat. Matanya menyala marah. Ototnya mengencang. Ujung tombak satu lagi dipegang Ronggur kuat-kuat, hingga mata tombak tambah dalam tertanam ke perut babi. Kemudian Ronggur memerintahkan agar si belang melompat dari pundak babi. Begitu si belang melompat menjauh, secepat itu pundak babi dihantam Ronggur dengan kampak. Babi itu akhirnya rubuh ke tanah. Tergeletak di tanah dengan gelepar lemah.

Ronggur melihat Tio terduduk di tanah dengan napas tersengal. Di dekat seekor babi betina yang terkapar. Si belang masih menggonggong babi yang tidak berdaya itu dengan moncong berlumur merah darah babi. Tapi, lehernya luka kena taring babi.

Page 72: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Dengan senyum, Ronggur mendekati T io. Lalu tahulah dia, betis Tio luka, punggungnya bergaris-garis bekas tusukan duri.

Tanpa diminta Ronggur, Tio terus saja menceritakan mula perkelahian dengan babi itu.

"Kau telah mengadakan perlawanan yang cukup berani dan berarti. Di saat kita kehabisan daging, di situ pula kau merubuhkan babi yang dagingnya enak. Tapi, lukamu perlu cepat diobati. Begitu juga luka s i belang," ucap Ronggur.

Tio masih tetap terduduk. Masih merasa capek. Dan, merasa malu dia dilihat Ronggur dalam kepayahan.

Ronggur mengangkat dagunya perlahan. Mata mereka bertemu. Ronggur kembali menghadiahkan senyum. Hanya begitu.

Cepat Ronggur menjauh. Mencari dedaunan untuk ramuan mengobati luka Tio dan si belang. Ramuan dedaunan itu dilekatkannya ke luka Tio dan si belang. Seketika terasa mulut luka itu perih hingga T io harus menjerit kecil, sedang si belang melengking perlahan. Ronggur mengelus punggung si belang agar tabah, sedang pada Tio dihadiahkan senyum manis.

"Tidak berapa lama akan tidak terasa apa-apa. Lukamu akan cepat sembuh. Ramuan itu membunuh bisa. Lagi pula lukamu tidak berapa dalam, juga luka si belang."

Cepat Ronggur menghidupkan api. Kedua ekor babi itu dibakar sampai kulitnya hangus. Kemudian isi perut babi itu dibuang. Baru kemudian daging babi itu dipotong kecil-kecil. Dijemur di panas matahari supaya kering dan tahan disimpan. Sedang anak babi yang lima ekor itu akan mereka bawa pulang ke kampung, dipelihara menjadi babi peliharaan yang jinak. Tio menjalin rotan, membuat sarang babi yang sekaligus menjadi kurungan bagi anak babi itu.

Malam harinya, mereka lanjutkan memanggang daging babi itu dalam gua. Sepotong paha diberikan kepada si belang

Page 73: PENAKLUK UJUNG DUNIA

sebagai hadiah, la asik menyabik-nyabiknya di mulut lobang perlindungan.

Perahu yang dikerjakan Ronggur tambah berbentuk dan mulai mengarah ke tarap penyelesaian. Tali yang dipintal Tio sudah beberapa depa dan sudah ada lima gulungan besar yang selesai. Kulit binatang buruan sudah pada mengering. Hendak mereka bawa pulang. Begitu pula anak babi yang lima ekor itu sudah punya bulu yang agak kasar, matanya sudah terbuka, dan jinak. Bila Tio bermain dengan anak babi itu, tidak diingatnya lagi betapa perasaannya waktu menghadapi kedua ekor induk binatang itu.

Sedang luka di betisnya sudah sembuh, hanya tinggal bekas kecil saja. Begitu pula luka di leher si belang, tinggal segaris saja, tapi tidak, ditumbuhi bulu lagi.

Ronggur sudah selesai menghaluskan bekas tuhilannya. Pada penglihatan mata, kedua sisi dinding perahu, begitu pula perbandingan berat hulu perahu dan buritan perahu, sudah sama. Perahu yang cukup besar yang bisa memuat tujuh orang penumpang bersama peralatan. Dengan tali yang dipintal Tio, Ronggur mengikat perahu itu pada hulunya. Batang pohon maranti batu yang dulu begitu berat, sekarang sudah ringan. Ronggur dan Tio menurunkan perahu itu dari galangan.

Kemudian mereka menarik tali itu dan terseretlah perahu. Di dalam perahu, semua peralatan bersama kelima anak babi dimuat. Karena jalanan menurun dan dedaunan membusuk di lapisan tanah, mereka tidak menakutkan dasar perahu bolong dibuat batu. Tanah begitu lembut dan berair. Si belang mengikut dan menggonggong. Mereka langsung menuju tepian danau yang ada di mulut teluk, jadi, mereka tidak pulang melalui jalan darat.

Setiba di tepi danau, Ronggur dan Tio mengosongkan perahu. Mereka harus menguji keseimbangan perahu dulu dengan mengapungkan di permukaan danau. Dan, tahulah

Page 74: PENAKLUK UJUNG DUNIA

dia, apa yang bagi penglihatan mata sudah punya keseimbangan yang sama, setelah diuji masih mempunyai perbedaan. Haluan perahu terlalu berat. Walaupun Ronggur sudah duduk di buritan perahu, haluan itu masih bergaya mau tenggelam. Perahu yang begitu rupa, tidak baik dibawa berlayar.

Ronggur menipiskan bahagian haluan lagi. Membuang bagian yang tidak berguna. Setelah itu selesai, perahu kembali diapungkan. Tahu pulalah dia bahwa bagian sisi kanan perahu, lebih berat dari sisi kiri, sehingga perahu selalu oleng ke kanan. Kembali perahu didaratkan. Sisi kanan perahu harus lebih direndahkan dan ditipiskan pada bahagiannya yang masih tebal. Sampai tercapai keseimbangan. Jadi, mereka harus bermalam lagi untuk beberapa malam di tepi danau, sebelum perahu rampung benar. Juga mata kayu yang ada di dasar perahu yang tidak dapat dielakkan sejak mula, ternyata dapat ditembus air. Ronggur lalu merekatnya dengan getah pohon damar.

Bila keseimbangan perahu telah diperoleh, kembali segala peralatan dimuat ke dalam perahu, bersama kelima ekor anak babi itu, juga si belang. Mereka menuju pulang.

Mereka berkayuh dan berkayuh. Karena dasar perahu agak luas terasa pendayungan agak berat. Tapi, tidak dihiraukan.

Senja hari. Tari warna bermain di riak danau. Ronggur mencampakkan pandang jauh, ke teluk di mana bermula Sungai Titian Dewata sudah ada. Tapi, bagi Tio sendiri setelah mengayuh perahu di permukaan danau, kembali dia teringat bahwa saat berpisah dengan Ronggur sudah semakin dekat. Apakah Ronggur akan kembali lagi? Walau dia tahu bahwa sesuatu ancaman sedang menanti Ronggur, namun dia masih mengharapkan, hendaknya Ronggur dapat kembali dengan selamat.

Bila lekuk teluk telah dilewati, mereka telah berada di danau bebas, malam sudah melingkup segala. Ronggur

Page 75: PENAKLUK UJUNG DUNIA

menyuruh Tio agar duduk di haluan perahu, memperhatikan jalan, apakah ada perahu lain yang bersilangan dengan mereka. Sepanjang malam mereka terus berkayuh di permukaan danau yang tenang dan tidur. Bintang gemerlapan di langit. Bulan mencurah cahaya. Permukaan danau kembali memantulkannya ke langit. Suasana yang romantis.

Tapi, antara mereka berdua, kebisuan yang meraja. Tio lebih banyak diam dan tenggelam ke dasar perasaannya: bagaimana kelak kalau Ronggur sudah berangkat? Apakah orang masih memperlakukannya dengan baik? Sedang Ronggur diamuk satu kepercayaan bahwa dia akan menaklukkan Sungai Titian Dewata bahwa dia yakin, Sungai Titian Dewata akan membawanya ke tanah landai lagi subur. Tanah yang diimpikan setiap orang.

Bertambah larut malam, secara berangsur, perlahan, bulan semakin mengundurkan diri. Maka sekitar diselubungi kegelapan. Tapi, kemudian di ufuk timur, menggaris cahaya putih. Subuh baru telah lahir bersamanya lahir hari baru dengan harapan baru. Sinar matahari telah meng-kuakkan tabir kegelapan, maka terhamparlah depan mereka persawahan yang bermula dari tepian danau, berakhir pada kaki pegunungan batu.

"Tio, padi telah menguning di sawah. Kita tidak punya waktu mengasuh lagi. Harus terus turun ke sawah memotong padi," kata Ronggur.

"Ya, aku tahu."

"Dan, sehabis memotong padi, saatku berangkat tiba. Mardege, ada baiknya diserahkan saja pada orang lain. Aku tidak bisa lagi berlama-lama mengundurkan saat keberangkatanku."

Tio hanya menundukkan kepala.

Perahu terus dikayuh. Menari bersama riak danau. Bila gelombang membesar, Ronggur tinggal tersenyum karena

Page 76: PENAKLUK UJUNG DUNIA

gelombang danau tidak dapat mengolengkan perahunya. Dan, serpihan air yang dilemparkan ombak tidak dapat memasuki perahu.

Belum siang benar, mereka telah tiba ke tepian danau perkampungan. Orang mencampak pandang pada mereka. Para penangkap ikan melihat mereka. Ronggur belum dapat mengartikan, kenapa mereka pada membisu, tidak gembira menyambut kedatangannya bersama perahu yang dibuatnya sendiri. Kalau tidak ditegor lebih dulu, itupun

ccdw-kzaa

4 Hari itu juga, sebelum Ronggur sempat mengasuh, utusan

kerajaan datang, menyuruh Ronggur menghadap ke Sopo Bolon. Ibunya melepaskan dengan tatapan pilu, begitu pula Tio. Ronggur melangkah dengan dada diangkat. Orang sudah banyak memanen padi di sawah. Dia lalu di sana. Menyapa di sana-sini, dan memperoleh jawaban sekedarnya saja. Tidak seorang pun menanya tentang perahunya dan kapan dia berangkat. Tampaknya setiap orang enggan bersapaan dengan Ronggur.

Tapi, semua itu tidak berapa diacuhkan Ronggur, atau memang dia belum tahu sebabnya.

Selagi Ronggur dan Tio membuat perahu di hutan, orang sudah saling berbisik membicarakan maksud Ronggur hendak melayari Sungai Titian Dewata mencapai muara. Pada umumnya orang tak dapat menyetujui maksud itu. Tapi, sebagian besar, terutama rakyat yang langsung berada di bawah lindungannya sebagai Raja Ni Huta, tidak ada yang berani terang-terangan mengeluarkan pendapat. Sebagian lagi, ada yang mengejek, walaupun tidak secara terang-terangan, masih sembunyi.

Page 77: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Satu sama lain saling mengeluarkan pendapat bahwa Sungai Titian Dewata, menuju matahari terbit. Tempat para dewata dan arwah menghadap Mula jadi Na Bolon. Bila seseorang berani melewati batas yang sudah ditentukan sampai di mana boleh seseorang berlayar, itu berarti sudah melanggar ketentuan dewata. Dewata akan murka dan menghancurkan orang yang berani melanggar peraturannya. Matahari, tempat Mula jadi Na Bolon mengedari dunia setiap saat, untuk melihat manusia yang mengerjakan hal yang baik, begitu pula dari matahari Mula jadi Na Bolon, melihat orang jahat membuat kejahatan untuk diganjar kelak di hidup lain.

Dan, karena maksud perjalanan itu menantang kepercayaan rakyat yang sudah tertanam turun-temurun, sebagian merasa kasihan melihat Ronggur, tapi sebagian lagi merasa terhina. Karena ada seorang manusia yang hendak meruntuhkan atau sama sekali tidak mengindahkan kepercayaan yang mereka anut. Kasihan dan ejek.

Di Sopo Bolon, Ronggur telah dinantikan kerajaan yang lengkap. Segala Raja Ni Huta dari tiap kampung yang didiami marga mereka telah ada di sana. Dia terus tahu, sidang kerajaan akan diadakan hari itu. Raja Panggonggom sudah duduk di tempat dengan wajah murung, pertanda warta yang kurang baik. Di kiri kanan Raja panggonggom, duduk berjajar Raja Partahi, Raja Namora, Raja Nabegu. Di belakang mereka, duduk para Raja Ni Huta. Hanya Raja Ni Huta dari induk kampung marga yang duduk sejajar dengan Raja Panggonggom. Pada tempat tertentu, hadir pula Datu Bolon Gelar Guru Marlasak. Diapit oleh para tua kampung, yang selalu dipanggil menghadiri sidang kerajaan, bila yang hendak dibahas hal penting.

Ronggur duduk di barisan Raja Ni Huta. Orang pada diam sewaktu Ronggur memasuki ruang Sopo Bolon. Semua mata diarahkan padanya. Mulut tidak mengucapkan sepatah kata. Memperoleh lalapan dari tiap mata itu, membuat Ronggur

Page 78: PENAKLUK UJUNG DUNIA

agak kaku juga sikapnya. Tapi, sewaktu matanya tertumpu pada orang tua yang duduk di sudut yang agak remang itu, yaitu bekas Datu Gelar Guru Marsait Lipan, perasaan kaku itu berangsur menghilang dari tubuhnya. Orang tua itu menyambutnya dengan senyum yang dibalasnya selintasan. Untuk pertama kalinya orang tua itu menghadiri sidang kerajaan dengan terang-terangan. Dari suasana dalam Sopo Bolon, tahulah Ronggur bahwa sidang akan membahas sesuatu hal yang sangat penting tampaknya.

Ruangan tetap hening. Sewaktu Ronggur mengalih pandang tahulah dia bahwa Raja Panggonggom terus menerus menancapkan pandang ke arahnya. Memperhatikan gerak-geriknya. Lalu Raja Panggonggom mengangkat tangan yang sebelah kanan, menjemput tongkat panaluan dari tempatnya. Tongkat itu digenggam, dito-pangkan agar berdiri tegak lurus. Pertanda pertemuan dimulai.

"Semua kerajaan, pagar kesatuan marga, orang tua yang bijaksana, yang bertanggung jawab akan kelanjutan hidup marga dan keturunan kita kelak, kami undang hari ini menghadiri pertemuan kerajaan di Sopo Bolon ini. Karena, ada sesuatu hal yang sangat penting kita bicarakan dan bahas bersama."

Hadirin pada diam semua. Menyimak yang diucapkan Raja Panggonggom. Terutama Ronggur.

"Hal itu," lanjut Raja Panggonggom, "tampaknya mengancam, dan bermaksud merubuhkan sesuatu yang kita percayai. Yang bisa menimbulkan kegaduhan yang tidak kecil di kalangan rakyat. Malah menurut sebagian orang, akan mendatangkan mara bahaya pada seluruh rakyat dan kerajaan."

Melalui ucapan Raja Panggonggom sebagai kata pembukaan rapat, tahulah Ronggur bahwa hal yang akan dibicarakan bersangkut-paut dengan maksud perjalanannya menembus Sungai Titian Dewata. Karena itu, hatinya tambah

Page 79: PENAKLUK UJUNG DUNIA

gedebak-gedebuk, menantikan putusan rapat. Atau, jalannya pertemuan itu. Apakah ada orang yang bisa diharapkannya untuk membela maksud perjalanannya itu, lalu menyokongnya? Apakah mereka semua akan menjadi musuh, yang menantang maksud perjalanan itu?

"Karena hal ini sangat menentukan," lanjut Raja Panggonggom, "kami berpendapat harus melalui musyawarah lengkap yang boleh mengambil putusan tertentu terhadapnya, sehingga putusan itu nanti menjadi pendapat kita yang mutlak, yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Camkanlah baik-baik pentingnya maksud pertemuan ini."

Raja Panggonggom berhenti sebentar. Dia menarik napas. Setelah mencampakkan pandang pada Ronggur, dia melanjutkan:

"Ronggur, kami dengar kabar kau sudah menyelesaikan perahu yang akan kau pergunakan menyusuri Sungai Titian Dewata untuk mencapai muara. Karena kau bermaksud akan mencapai tanah habungkasan. Apakah berita itu benar?"

"Benar, Paduka Raja," sahut Ronggur.

"Nah, sidang yang terhormat, yang disampaikan orang itu ternyata benar. Ronggur sudah mengakui terus terang sehingga jalan rapat t idak terlalu repot dan berbelit. Untuk itu, kita harus mengucapkan terimakasih padanya. Ronggur, coba ceritakan pada kami, kenapa kau begitu bernafsu hendak mencari Sungai Titian Dewata?"

Ronggur disuruh berdiri. Dan, setelah mencampakkan pandang ke sekitar, dia lalu membeberkan hal yang kan dialami marga mereka kelak bila tanah habungkasan tidak ditemui. Karena itu, dia berpendapat, tanah habungkasan itu harus dicari. Dia yakin, katanya selanjutnya, seseorang yang berani melayari Sungai Titian Dewata sampai ke muara berarti akan sampai ke tanah landai yang subur. Tanah yang dimimpikan tiap orang. Karena itu, dia mengharap agar

Page 80: PENAKLUK UJUNG DUNIA

kerajaan memberi iz in padanya untuk menyusuri sungai itu sampai ke muara dan membolehkan beberapa orang menjadi kawannya. Sungai Titian Dewata tidak berakhir di ujung dunia, katanya tegas.

Seketika Ronggur berhenti. Rapat hening. Hanya wajah Datu Bolon Gelar Guru Marlasak yang menjadi merah padam mendengar semua omongannya. Dari s ikapnya tampak bahwa dia sama sekali tidak mengingini mendengarkan ucapan Ronggur.

Ronggur melanjutkan, "Aku telah memilih kayu yang paling baik jenisnya. Daya apung perahu sangat baik. Dasarnya lebih lebar dari perahu biasa. Tidak mudah oleng waktu melalui arus riam sungai. Percikan air tidak mudah masuk ke perahu karena dinding perahu kubuat agak tinggi."

"Sudah siap semua yang ingin kau ucapkan?" tanya Raja Panggonggom.

"Sudah, Paduka Raja!" jawab Ronggur lalu kembali duduk bersila di lantai.

"Ronggur, tahukah kau bahwa perjalananmu itu sangat berbahaya?"

"Benar Paduka Raja!" sahut Ronggur. "Perjalanan ini menghadapi risiko yang tidak kecil. Tapi, seseorang yang berusaha mencapai sesuatu kebajikan akan selalu menghadapi risiko. Tak ubah seperti mengerjakan sawah. Pada mulanya kita harus berani membuang tenaga dan waktu untuk mencangkul tanah. Lama sesudah itu baru tanah memberi hasil pada kita."

Dalam hati kecilnya Raja Panggonggom menghormati sikap terus terang dan keberanian yang dimiliki Ronggur. Tapi, karena maksud perjalanan itu sendirinya pula membelakangi kepercayaan rakyat dan kepercayaan sendiri, maka soalnya menjadi lain.

Page 81: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Ronggur, maksudku tidak di situ saja. Tidakkah kau tahu bahwa Sungai Titian Dewata itu sungai yang jatuh ke ujung dunia? Sungai Titian Dewata jalan para dewata dan arwah menghadap Mula Jadi Na Bolon."

"Paduka Raja, memang padaku diajarkan kepercayaan begitu rupa. Tapi, karena maksud perjalanan ini t idaklah untuk kesenangan perseorangan saja, tapi bertujuan untuk kepentingan bersama, izinkanlah aku untuk memikul segala risiko itu bila yang kurasakan dan kupikirkan itu salah!"

"Bagaimana pendapatmu tentang Sungai Titian Dewata?"

"Paduka Raja, aku selalu digoda mimpi. Mimpi itu selalu mengajak aku agar memulai satu perjalanan, yaitu menyusuri Sungai Titian Dewata. Mimpi itu mewartakan bahwa bila aku melayarinya, aku akan tiba ke tanah landai di muara sungai. Tanah landai itu begitu luas. Bisa menampung kebutuhan kita dan keturunan kita kelak akan persawahan. Turun temurun. Selanjutnya mimpi itu selalu mengatakan padaku, bila aku tidak memulai perjalanan itu, aku seorang manusia yang telah menyia-nyiakan satu kesempatan. Aku orang yang tidak dapat dikatakan seorang lelaki."

"Apakah kau tidak mungkin digoda setan?" potong Raja Panggonggom.

"Paduka Raja, bila warta mimpi itu tidak dapat kutunjukkan dalam kenyataan, berartilah aku digoda setan. Tapi, berilah kesempatan padaku untuk membuktikannya atau aku sendiri akan musnah. Aku telah rela menerima dan memikul segala risiko itu."

Datu Bolon Gelar Guru Marlasak cepat berdiri. Dadanya naik turun dengan cepat. Wajahnya memancarkan sinar kemarahan. Mulutnya cepat-cepat mengeluarkan kata: "Ronggur! Menurut kepercayaan kami, menurut hukum yang diwariskan kepada kami, kau pasti akan mendapat bencana. Jadi, sebelum bencana itu menimpa dirimu, ada baiknya kau

Page 82: PENAKLUK UJUNG DUNIA

mengurungkan niat itu. Tapi, kau juga harus tahu karena yang kau tantang itu hukum dewata. Kemarahan dewata tidak saja menimpa dirimu, tapi semua marga akan dikutuknya. Kerukunan keluarga akan hancur. Padi di sawah akan tidak menjadi. Kalau cuma kau yang dikutuk dewata tidaklah menjadi soal besar. Tapi, ini menyangkut seluruh marga kita. Kerajaan kita akan berakhir pada suatu yang menyedihkan, justru karena keinginanmu untuk mengharungi Sungai Titian Dewata. Tidakkah dapat kau rasakan ancaman mara bahaya yang akan timbul dan menimpa warga marga itu?"

"Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, yang kuhormati kebenaran tenungnya. Yang kuhormati arwah halus penjaga diri dan yang dapat dipanggilnya untuk membisikkan sesuatu pendengarannya. Aku selalu memperhitungkan dan tetap merasakan, bencana yang mungkin meruntuhh-an kelangsungan hidup marga. Justru karena memperhitungkan hal itulah aku mengambil kesimpulan, tanah habungkasan perlu dicari. Diusahakan menemukan. Aku percaya bahwa Datu Bolon pun memikirkan hal itu. Soalnya bila Datu Bolon meninjau dari sudut gaib, aku melihat dari kenyataan sesuatu perhitungan yang hasilnya pasti tiba."

"Kalau begitu, tidak ada lagi sesuatu hal yang bisa mengurungkan niatmu," kata Datu Bolon menyindir.

"Begitulah rasanya," jawab Ronggur dengan tabah dan tenang. "Seperti tidak ada sesuatu kekuatan yang dapat menghentikan orang mengisi perutnya," sindirnya pula dengan halus dan tenang.

"Ronggur," tiba-tiba suara Raja Nagebu meninggi, dengan hentakan kasar mengatakan, "Apa yang menggoda hatimu? Apakah kau dengan perjalananmu yang akan menimbulkan bencana dan yang telah menimbulkan huru-hara terpendam di kalangan rakyat dan para hulubalang, yang menanti saat meledak sehingga ketenteraman hidup terganggu dan kucar-kacir, masih kau katakan untuk memperjuangkan kelanjutan

Page 83: PENAKLUK UJUNG DUNIA

hidup marga dan keturunan? Atau, kau memang sengaja mencari nama, menunjukkan bahwa kau lebih berani dari setiap hulubalang kita, sehingga patentengan menantang hukum dewata? Ronggur menantang hukum dewata bukanlah keberanian, tapi ketololan."

Seketika dia diam. Wajahnya bertambah merah. Lalu melanjutkan, "Ronggur, bidang sawah yang diserahkan atau dipercayakan kerajaan padamu cukup luas lagi subur. Biar kau mengambil seorang istri atau lebih, kemudian istrimu itu melahirkan anak banyak, kau belum perlu menguatirkan makanan untuk mereka. Hasil sawahmu memberi jaminan. Jelaslah sebenarmya kau mengimpikan sesuatu yang maha mulia dialamatkan pada dirimu."

"Paduka Raja Nagebu, pemegang tampuk dan penggerak para hulubalang perkasa. Maksudku jauh dari dugaan tuanku. Kalaulah yang kuimpikan bisa nyata dalam kenyataan tidak bermaksud aku disebut penemunya. Sekali-kali t idak. Juga aku tahu, bila untukku sendiri dan jaluran keturunanku langsung, sawah yang dikuasakan padaku memang cukup memberi nafkah. Belum perlu menguatirkannya. Tapi, pokok persoalan sekarang di sini bukanlah aku, tapi kita semua. Marga kita. Tahukah paduka raja bahwa banyak dari marga ya'ng hanya punya tanah beberapa bidang dan hanya dapat menghasilkan padi yang cukup untuk makanan sekedarnya saja? Dan mereka terus saja melahirkan anak, anak yang perlu kita beri makan. Dan tahulah paduka raja bahwa permintaan bantuan dari lumbung desa setiap tahunnya bertambah banyak juga? Sehingga kita tidak bisa lagi mengadakan pesta pujaan terhadap Mula Jadi Na Bolon dengan besar-besaran? Inilah semua yang jadi persoalan. Jadi, bukan diriku dan bukan pula hanya diri tuanku saja."

Keadaan menjadi sunyi. Dalam saat itu, Raja Panggonggom mengadakan sidang kecil dengan para Raja Partahi, Raja Nagebu, Raja Namora, dan Raja Ni Huta dari induk kampung.

Page 84: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Kemudian mereka panggil pula Datu Bolon Gelar Guru Marlasak. Mereka berbicara perlahan, tapi dari tiap wajah memancar kesungguhan. Jelas tampak mereka sedang mengambil ketentuan dan keputusan rapat, yang akan diumumkan pada seluruh marga, sebagai undang-undang kerajaan yang tidak boleh dibantah.

Tiba-tiba saja Panggonggom menyuruh bekas Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan, berbicara pada hadirin, menceritakan kegagalannya dulu mengharungi Sungai Titian Dewata.

"Bapak bekas Datu Bolon, yang pernah meminta izin pada almarhum ayah kami, yang mewariskan kedudukan Raja Panggonggom pada kami, untuk mengharungi Sungai Titian Dewata. Menurut pustaka kerajaan, almarhum ayah kami memberi iz in pada bapak untuk mengharungi sungai tersebut. Bagaimanakah hasilnya?"

Orang tua itu berbicara perlahan, "Memang benar Paduka Raja bahwa aku pernah meminta agar diberi iz in mengharungi Sungai Titian Dewata. Tapi, yang kutemui berbeda dengan hasil tenungku. Kami mengalami kegagalan."

"Selanjutnya, bagaimana?" tanya Raja Panggonggom.

"Ayah Ronggur memperoleh cedera dalam perjalanan itu. Dia temanku. Dia tidak pernah lagi pulang."

"Sesudah itu?"

"Aku sendiri pulang ke mari. Karena almarhum ayah paduka raja, sabahat karibku, tetap juga menerimaku kembali. Tapi, tidak lama kemudian kami mengadakan pemburuan. Di s itulah mendapat kenahasan. Almarhum ayah paduka raja diserang seekor harimau dengan tiba-tiba, sehingga beliau memperoleh luka yang mengakibatkan kewafatannya. Dalam igaunya selalu mengatakan, "Pembalasan dewata telah datang. Pembalasan dewata telah datang!"

Page 85: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Apakah tidak mungkin, apa yang dimaksudkannya itu karena mengizinkan bapak mengharungi Sungai Titian Dewata dan menerima bapak pulang kembali?"

"Tidak dapat kupastikan. Tapi, boleh juga begitu maksudnya."

"Hadirin semua, terutama kau Ronggur, telah mendengarkan satu pengakuan dari seseorang yang pernah mengharungi Sungai Titian Dewata, yang menimbulkan kemarahan para dewata. Apakah setelah mendengar pengakuan ini kau masih bermaksud meneruskan niatmu? Berilah jawaban, Ronggur!"

Ronggur terdiam beberapa saat. Dia dihadapkan sudah pada saat yang menentukan. Bintikan keringat melebihi keningnya. Akhirnya dia mengatakan:

"Paduka yang bijaksana, apakah karena satu kegagalan, sesuatu maksud baik harus dibatalkan? Apakah tidak hanya satu kebetulan saja hal nahas itu mendatang?"

"Kutanya padamu, Ronggur, apakah kau masih bermaksud meneruskan niatmu atau mengurungkan setelah mendengar pengakuan bekas Datu Bolon yang sudah disisihkan orang dari kehidupan ramai? Lain tidak! Dia membawa kenahasan bagi kerajaan."

Ronggur terdiam. Belum memberi sesuatu pilihan yang menentukan. Golongan raja kembali mengadakan sidang kilat. Lalu sebelum Ronggur memberi keputusan, Raja Panggonggom mengatakan:

"Kita telah sama mendengarkan cerita bahwa Ronggur hendak mengharungi Sungai Titian Dewata untuk mencari tanah habungkasan. Maksud yang baik. Tapi, Ronggur telah melupakan riwayat nenek moyang dan berusaha merombak kepercayaan yang kita anut atau menurut kata Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, telah menghina kepercayaan yang kita anut." Hening sejenak.

Page 86: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Saran yang dapat kami ajukan pada Ronggur, dan menjadi undang-undang bagi kita semua, ialah bila Ronggur meneruskan niat itu, tidak seorang pun dari warga yang dibolehkan mengikuti dan membantu perjalanannya. Bila dia mulai melangkah dari gerbang kampung memulai perjalanan, maka dia tidak berhak lagi mencantumkan marga kita di belakang namanya. Begitu pula gelar Raja Ni Huta Muda, gelar Hulubalang Muda dicabut kembali!"

"Dia tidak boleh memakai nama kerajaan kita untuk melindungi diri dari kutukan dewata, dari gangguan setan, dan dari gangguan perampok di tengah jalan. Kalau ada orang yang membunuhnya dalam perjalanan, marga kita tidak akan menganggap serangan itu serangan yang langsung pada marga kita. Ronggur sendiri yang harus memikul risikonya. Sawah yang telah dipercayakan padanya disita kerajaan. Ibunya yang sudah tua akan dibelanjai langsung oleh lumbung desa. Dirangsum ala kadarnya!"

"Syarat ini kami ajukan justru karena kami berpegang pada satu kepercayaan: siapa saja yang mengikuti perjalanan Ronggur, siapa saja yang membantunya mengharungi Sungai Titian Dewata, jalan para dewata dan para arwah menuju matahari terbit tempat Mula Jadi Na Bolon bersemayam, akan turut dikutuk oleh dewata. Biarlah kami dan marga kita disebut pengecut, namun melawan dewata kita t idak mau.

"Jadi kami umumkan pada semua Raja Ni Huta, agar tidak membolehkan rakyat yang ada dikampungnya membantu dan mengikuti perjalanan Ronggur. Kalau kau Ronggur tidak dapat menerima syarat ini, hendaknya urungkan dan batalkan niatmu sebelum terlambat. Bila kau mengalami kegagalan kemudian kau pulang ke kampung ini, kau akan tidak dianggap anggota marga lagi. Kau akan ditangkap dan dijadikan budak belian. Kami tidak mau mengulangi kenahasan yang pernah menimpa almarhum ayah kami, untuk menimpa

Page 87: PENAKLUK UJUNG DUNIA

diri kami sendiri. Pikirkan baik-baik Ronggur. Dan, berilah jawaban di tempat ini juga."

Keadaan menjadi hening. Pada kening Ronggur menitik keringat. Bekas Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan menundukkan kepala. Tidak sanggup mengangkat kepala. Di wajah Datu Bolon Gelar Guru Marlasak dan Raja Nagebu membayang kepuasan. Para Raja Ni Huta lain dengan takjim menerima undang-undang Raja Panggonggom. Pada wajah dan sikapnya tergambar bahwa mereka akan melaksanakannya sebaik mungkin.

Sejak tadi di luar Sopo Bolon, hujan turun menderu. Bersabung dengan petir dan kilat.

"Ronggur, katakanlah pilihanmu, biar kami tahu mengambil sikap," kata Raja Panggonggom memecah kesepian.

Ronggur masih tertunduk juga. Belum berdiri untuk menyatakan pilihan.

"Ronggur, kau tidak dapat memberikan keputusan? Kau merasa takut dan bimbang? Karena itu kami sarankan, janganlah sekali-kali mencoba untuk menentang kepercayaan yang kita anut bersama, janganlah menghina diri sendiri," kata Datu Bolon Gelar Guru Marlasak. Nada suaranya mengejek. Membakar dada Ronggur. Dengan wajah merah serta sinar mata yang manyala, akhirnya Ronggur berdiri dengan menghentak: "Semua pertaruhan yang dibebankan ke pundakku aku terima. Aku, ibuku, tidak berhak lagi memanen padi dari sawahku yang sedang menguning. Karena itu, secepat mungkin aku akan berangkat. Dengan satu janji, bila aku menemui tanah habungkasan yang landai lagi subur, hasil penemuan itu akan tetap kuhadiahkan bagi margaku, bagi kalian semua."

Suaranya mengguntur mengalahkan suara petir yang bersabung di luar Sopo Bolon. Orang semua mengangkat kepala dibuatnya. Dan, sehabis mengucapkan pilihan itu,

Page 88: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur terus meninggalkan ruang Sopo Bolon. Perasaannya terbakar, dadanya panas, walau udara begitu dingin. Dia menerjang ke tengah hujan, angin, dan halilintar yang bersabung dengan petir.

Terus melangkah melewati sawah yang pematangnya menjadi licin, mencapai kampung di mana dia sebelum itu memegang tampuk Raja Ni Huta Muda dan Hulubalang Muda. Tapi, dia tidak memperdulikan keadaan alam itu, dia terus melangkah cepat di atas pematang yang licin. Tidak mau berteduh ke dangau yang ada di tengah sawah. Orang yang berhenti memotong padi dan berteduh di dangau melihatnya begitu saja.

Gonggong si belang menyambut di tangga rumah. Pintu rumah cepat dibuka Tio. Dilihatnya Ronggur basah kuyup. Ibunya cepat mengangkat wajah, menatap padanya. Otot Ronggur mengeras, wajahnya memerah. Pertanda berita yang kurang baik.

Sebelum ditanya Ronggur dengan suara lantang karena masih marah, menceritakan semua keputusan rapat dan pilihannya sendiri. Ibunya jadi kaku tegang, seperti patung tanpa nyawa. Tangan, kaki, tubuh Ronggur masih menggetar tidak karena merasa dingin, tapi karena marah.

Tapi, sewaktu matanya tertumpu ke biji mata ibunya yang berseri, yang mulai digenangi air bening tipis, dia sadar bahwa orang tua itu telah dihadapkannya pada satu kenyataan, yaitu kepahitan dan kegetiran hidup di saat hari tuanya. Yang sepantasnya tidak wajar lagi hidupnya disusahi. Cepat Ronggur mendekat, lalu menyembah sujud di kaki perempuan tua itu. Di antara isaknya sendiri dia mengatakan:

"Maafkanlah aku, Bu. Maafkan anakmu ini. Aku telah mempersusah hidupmu. Katakanlah Bu, aku tidak boleh pergi. Aku harus menggagalkan niat perjalananku itu. Aku akan menuruti ibu. Aku akan minta maaf pada kerajaan atas kelancanganku. Katakanlah, apa yang harus kuperbuatl"

Page 89: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Perasaan marahnya telah mencair, menghadapi wajah dan mata ibunya yang bersedih. Segala tekad menjadi kendur, demi hasrat diri yang tidak mau melihat ibu kandung yang sudah tua mengalami kesusahan. Tidak cepat ibunya menyahut. Tangan ibunya yang sudah mengkerut, membelai kepalanya yang masih basah. Mengusap perlahan sambil lalu mengeringkannya. Kemudian mengatakan perlahan-lahan:

"Ronggur, kau tidak boleh mengurungkan niatmu lagi. Kau tidak boleh membatalkan yang telah kau pilih. Kau telah mengatakan dalam pertemuan raja dengan berani. Kau harus meneruskannya, walau apa yang akan terjadi."

Seketika ibu tua berhenti, tapi disambung pula, suaranya sudah tambah jelas dan tabah:

"Seperti terbangnya burung ambaroba, mengitari tebing curam, mengikuti lingkaran pegunungan, mencari mata air yang bening, tanpa memperdulikan arti haus dan dahaga, karena anaknya di sarang, menginginkan setetes dua air melalui kerongkongan kering. Harus begitu kau. Seorang lelaki yang berani mengatakan maksudnya, tapi dapat disebut jantan, bila berani tidak mengingkari janji. Jadilah, anakku sulung anakku bungsu, seorang lelaki berhati jantanl Ibumu ini, tidak mau anak lelaki berhati betina."

Perempuan tua itu tidak mengucurkan air mata lagi. Perempuan tua itu tidak mengisak lagi. Telah tabah menerima segala yang tiba. Telah rela melepas anaknya sulung, anaknya bungsu, untuk pergi selamanya, mempertaruhkan keyakinan diri. Segala air mata telah dihamburkan dari dasarnya sampai kering.

Keheningan merayap di ruang mereka berada. Sendu. Tapi dipecahkan suara halus yang bermula dari T io, "Bawalah daku bersamamu. Bawalah daku, jangan tinggalkan daku."

Sambil berkata Tio mendekat, lalu duduk di sisi anak beranak itu.

Page 90: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Perlahan, ibu Ronggur merenggangkan pelukannya dari tubuh Ronggur. Perlahan pula, Ronggur melepaskan diri dari pelukan ibunya. Lalu menatap dalam ke biji mata Tio, yang tertancap ke biji matanya tanpa mengedip.

"Tio, dapatkah kau menduga kemungkinan yang bisa saja menimpa diriku dalam perjalanan? Tahukah kau, apa yang akan kutemui bila tafsiran mimpiku meleset?"

"Aku sudah tahu. Aku sudah maklum. Bila kelak kita tidak bisa kembali lagi agar Mula Jadi Na Bolon tidak murka padamu, katakanlah bahwa arwahku kau bawa serta sebagai sembahanmu padanya."

Lama Ronggur menatapi wajah Tio yang sudah punya kepastian sinarnya. Olehnya tekad Ronggur kembali pada pijakan semula begitu kokoh. Tidak ada lagi satu kekuatan yang dapat menghalangi maksudnya.

Angin di luar tambah kencang, hujan rasanya tidak akan henti. Halilintar dan guruh terus bersabung. Angin melanggari pucuk dan batang bambu duri, berkerisik dan bunyinya begitu ngilu pada pendengaran. Di rumah itu orang terus sibuk. Menyiapkan yang perlu mereka bawa. Bila fajar pagi terbit pertanda hari baru tiba mereka sudah harus berangkat.

Ibunya menyelipkan pisau gajah lompak ke pinggang Ronggur, pisau pusaka turun-temurun. Yang berukirkan kakek kesatuan keturunan mereka yang langsung. Di tengah malam buta, Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan datang ke sana. Dia menjampi Ronggur dan Tio, agar selamat dalam perjalanan. Supaya terhindar dari godaan setan. Kemudian pada Ronggur diberikannya ajimat yang terbuat dari besi putih, diukir dengan huruf Batak. Juga pada Tio diberinya ajimat, terbuat dari jalinan benang berwarna tujuh.

Mereka menyongsong terbitnya fajar.

ccdw-kzaa

Page 91: PENAKLUK UJUNG DUNIA

5 Masih pagi benar. Udara cukup dingin. Tanah lembab

pertinggal hujan semalam. Dua tiga biji bambu duri terbelintang di tengah jalan, tumbang. Di darat kabut tipis saja. Hijaunya dedaunan dapat juga dilihat pandang. Bertambah segar karena mengandung butir air. Tapi, permukaan danau, jika bertambah jauh ke tengah, kabut mengental. Beberapa depa saja dapat ditembus pandang. Pulau Samosir Tuktuk Sigaol t idak tampak. Air danau alangkah dinginnya.

Ronggur, Tio, dan si belang sudah berada dalam perahu. Tempat begitu lapang. Pengayuh, galah, penimba air, sudah di tempatnya. Tombak, kampak, panggada, ambalang, dan sesumpit batu sungai yang keras. Beras sesumpit. Disumpit lain daging kering. Juga mereka bawa mata pancing serta talinya.

Pada leher Ronggur membelit ulos batak ragi purada yang dibelitkan ibunya. Begitu juga pada leher Tio, dibelitkan ulos batak ragi purada yang diiringi kata, "Belitkanlah pada tubuhmu, di kala dingin mencekam. Pengganti tangan bunda . . .." Hanya perempuan tua itu dan bekas Datu Bolon di tepian danau mengantar mereka. Orang lain sudah dilarang untuk mengantarkan mereka. Ronggur menatap pada ibunya, sebelum perahu hilang ditelan kabut. Lalu pada orang tua itu, melalui renggangan batang bambu duri, dicampakkan pandang ke tengah kampung. Mencari bekas kehidupan masa lalu di sana. Tingkah lakunya yang sopan serta ramah-tamah, keberanian yang tidak gentar menghadapi sesuatu soal pada saatnya, memikat hati orang di sekitarnya. Karena itu dia banyak mempunyai teman.

Tapi, di saat dia harus meninggalkan perkampungan itu untuk satu perjalanan yang belum tentu akhirnya, tak terduga

Page 92: PENAKLUK UJUNG DUNIA

nasibnya, tidak seorang pun dari temannya yang dibolehkan mengantarkan. Melepasnya. Tahulah dia, betapa pahit perasaan mencekam hati untuk meninggalkan tanah tempat lahir, dibesarkan, dan diasuh, punya teman, tapi tidak boleh pamitan.

Di sebelah haluan perahu, Tio berdiri. Matanya jauh mengedari tanah yang sudah cukup dikenalnya. Di mana dia pernah disanjung puja, selagi martabat marganya belum runtuh. Teringat pula saat kejatuhan marganya dan dia sendiri, harus menjadi budak belian. Temannya sebaya banyak yang mati di saat itu. Setetes dua air-mata membasahi pipi. Cepat dihapus agar tidak sempat dilihat Ronggur.

Perahu bergerak perlahan meninggalkan tepian. Tangan mereka membalas lambaian kedua orang tua yang mengantarkan mereka. Sebelum pferahu ditelan kabut, tidak hentinya lambaian dilepaskan dari tepian, tinggi melengking. Si belang pun seperti tahu, perjalanan mereka sekali ini amat panjang. Perlahan perahu memasuki daerah yang dilingkungi kabut tebal. Perlahan pula tepian menghilang dari pemandangan. Untuk digantikan warna putih saja pada akhirnya. Tangan terkulai tak ada lagi yang hendak dilambai.

Tidak dilihat Ronggur lagi, ibunya mencampakkan diri ke pohon hariara yang besar itu. Tersedu di sana. Meratap panjang. Bekas Datu Bolon menyabari. Kemudian menuntunnya pulang ke rumah.

"Mereka akan berhasil, mereka akan pulang membawa berita baik dan menggembirakan," bujuk bekas Datu Bolon. "Semua yang dikorbankan Ronggur untuk perjalanan ini akan kembali padanya, malah lebih dari itu akan dipunyainya."

Perempuan tua itu menundukkan kepala, mengiakan, walau sebenarnya dia tidak dapat meyakini bujukan itu.

Bila sinar matahari pagi telah muncul dari puncak Dolok Simanuk-manuk, kabut tambah menipis lalu menghilang.

Page 93: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Kerajaan sudah tahu bahwa Ronggur bersama Tio telah berangkat, maka Raja Panggonggom mencoret nama Ronggur dari silsilah keturunan marga. Ronggur telah dianggap mati. Riwayat Ronggur berakhir di s itu saja.

Perahu yang dikayuh Ronggur dan Tio maju perlahan. Tio mendayung ke hulu. Ronggur di buritan langsung menjadi pengemudi. Beberapa biji mata pancing yang sudah diumpani dijatuhkan Tio ke danau. Sambil berkayuh, mereka mengharapkan dapat pula sambil lalu menangkap beberapa ekor ikan. Mereka berdua terus mengkayuh. Antara keduanya belum mengucap sesuatu kata.

Perahu terasa berat dikayuh. Karena dasarnya agak lebar. Haluannya tumpul. Menahan air atau menghempang kelajuan perahu. Tapi, mereka masing-masing melaksanakan tugas, walau perahu agak susah dikayuh dan walau hati masing-masing masih diselubungi sakitnya perpisahan dengan kaum kerabat, dengan tanah tempat dibesarkan, tanpa pamit. Walaupun Tio tetap merasakan bahwa dia akan aman selalu bila berdekatan dengan Ronggur, yang mempunyai otot yang tegap, tekad hati yang bulat, keberanian yang jantan, sikap ramah tamah, dan sopan santun yang manis, namun pada saat itu, setiap perahu tambah jauh dikayuh, hatinya merasa kecut juga mendatangi ajal yang ada di depan.

Tapi, dihiburnya diri, kalau dia tidak ikut, bukankah itu berarti memberikan tubuhnya, hidupnya ke tangan nasib yang telah tertentu belangnya, yaitu menjadi budak belian orang, yang akan memperlakukannya seperti memperlakukan hewan. Bukankah itu berarti penghinaan akan martabat diri, tidak tahu menghargai diri sebagai manusia yang dapat membedakan arti dan hakikat manusia merdeka dengan budak belian?

Ah, katanya dalam hati sendiri, bila diri tahu perbedaan antara menjadi seorang budak belian dengan manusia merdeka dan diri tidak berpihak kemerdekaan itu, seseorang

Page 94: PENAKLUK UJUNG DUNIA

yang tidak dapat mengucapkan terima kasih pada Mula Jadi Na Bolon, yang telah menciptakannya menjadi manusia. Tidak menciptakannya menjadi hewan.

Satu keuntungan bagi tiap manusia, yang bisa mempergunakan tiap kesempatan yang ada, untuk membebaskan diri dari belenggu yang menindas harga diri itu. Dan, kata Tio selanjutnya pada diri sendiri, kesempatan, kupikir dan kurasakan, ada bila aku bersama Ronggur. Bila aku memilih jalan yang ditempuhnya. Walau apa bentuk nasib yang menanti di depan. Itulah risiko.

Manusia lahiratau dilahirkan memang untuk menghadapi risiko, mengatasinya, lalU tercapailah idaman hati. Atau, memang diri mampus karena tidak dapat mengatasi risiko itu. Tapi, diri telah melaksanakan tugas kehidupan sebaik-baiknya. Dan, itulah kehidupan. Kabut sudah terangkat, matahari leluasa melemparkan sinarnya.

"Sentak pancing yang ada di sebelah kananmu!" teriak Ronggur yang sekaligus membangunkan Tio dari renungan. Tangannya cepat menggapai tali pancing. Tidak lama kemudian, seekor ikan mas yang sudah cukup besar, menggelepar di permukaan air.

"Tangkap dengan jaring," kata Ronggur pula.

Tio mengikuti petunjuk itu. Dengan sebuah pukulan panggada pada kepala, ikan itu melepaskan gelepar akhirnya. Isi perutnya dibuang Tio. Disisikinya. Lalu dia bertanya pada Ronggur:

"Kita apakan ikan ini? Kita ura?"

"Ya, ura saja. Banyak bikin asamnya. Biar cepat masak. Tapi, harus rata. Biar masaknya rata pula."

Dengan sedih akhirnya Tio mengatakan, "Tapi, daun pembungkusnya tidak ada."

Page 95: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur mencampak pandang ke pinggir danau. Cepat dia menujukan haluan perahu ke tepian. Lalu melompat dari perahu ke tepian berpasir basah, langsung memanjat sebuah pohon berdaun lebar. Beberapa tangkai dedaunan yang cukup lebar dijatuhkan ke tanah. Cepat dipungut Tio. Ikan diasami. Lalu dibaluri dengan kunyit. Kemudian dibungkus baik-baik. Seolah tidak tertembus hawa.

Mereka melanjutkan perjalanan. Mereka tidak memenggal perjalanan melalui tengah danau. Selalu mengikuti pantai. Hingga perjalanan menjadi bertambah jauh. Beberapa kali mereka berpapasan dengan penangkap ikan. Tapi, tidak seorang pun dari penangkap ikan yang melambaikan tangan dan menyapa mereka. Para penangkap ikan itu menatap dengan dungu ke arah mereka. Lalu, cepat mengkayuh sampan masing-masing, agar cepat jauh dari manusia yang sudah digoda setan jahat itu. Sekarang Ronggur sudah dapat mengartikan, kenapa orang tidak menegurnya dengan ramah lagi.

Matahari tambah tinggi dan terik. Gelombang mulai menggila. Perahu mulaii menunduk nunduk mengikuti alun gelombang. Sampan penangkap ikan sudah sunyi dari danau. Ronggur mengkayuh melalui ke tepian. Tepian yang dipilih ialah lepian yang jauh dan kampung yang banyak bertebar sepanjang pantai danau. Di sana mereka memasak nasi lalu makan siang. Daging kering masih ada. Sedang ikan yang diura itu, baru bebeiapa hari kemudian dapat dibuka dari bungkusannya untuk dimakan.

Bila sinar matahari sudah tidak terik lagi, kembali mereka melanjutkan perjalanan. Matahari leluasa melemparkan sinarnya dan membakar mereka berdua, turut si belang, justru karena perahu mereka tidak punya atap. Si belang tidak sering lagi menggonggong, sudah lebih banyak diam dan tiduran di perut perahu. Pada mulanya dia selalu menggonggong perahu dan sampan yang berpapasan dengan mereka, tapi karena

Page 96: PENAKLUK UJUNG DUNIA

orang yang ada dalam sampan atau perahu yang digonggongnya tidak melambaikan tangan, membalas gonggongnya, akhirnya si belang sendiri pun tinggal diam saja melihat mereka, sambil menjulurkan lidah.

Setelah dua hari berkayuh, tepian danau kembali dirimbuni rumpun bambu duri dengan rapat. Pertanda perkampungan. Titik putih yang besar itu, dapat mereka terka bahwa itu kuburan nenek moyang yang pertama merambah mendirikan perkampungan. Dapat mereka tentukan melalui titik putih itu bahwa itulah gerbang perkampungan. Kuburan nenek moyang yang pertama membuka satu perkampungan, selalu dikebumikan di gerbang kampung. Titik kecil yang bermunculan di sana menatap ke arah mereka, ada yang menuding. Tapi, tidak ada yang melambaikan tangan.

Tio tidak memikirkan itu. Tapi, pada pikirannya mendatang pengenalan bahwa mereka telah memasuki lekuk danau yang pada salah satu tepiannya, bermula Sungai Titian Dewata. Dia menarik napas yang dalam. Sedang Ronggur memperhatikan permukaan air dengan awas. Meneliti awal sungai.

Pada mulut sungai banyak terdapat gugusan pasir hidup. Perahu dan sampan nelayan yang terdampar ke sana karena tidak hati-hati, secara perlahan-lahan akan ditelan pasir hidup itu. Orangnya bisa selamat kalau pandai berenang. Pasir hidup selalu berpindah tempat, bergerak dibawa arus. Jadi orang yang berlayar di sana harus hati-hati. Tanda pasir hidup dapat diketahui dari permukaan air danau yang agak memutih, bercampur keruh, dan beriak.

"Percepatlah mengayuh Tio," kata Ronggur. "Sebelum sore benar, kita sudah harus memasuki mulut sungai. Biar kita dapat terus menyusuri sungai sampai ke tempat yang jarang perkampungannya. Juga agar dapat kita bedakan, antara permukaan air yang aman dan jebakan pasir hidup. Kita tak dapat menepi di sini. Terlalu rapat perkampungannya. Siapa tahu, di antara mereka ada yang bermaksud jahat pada kita."

Page 97: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Tio mempercepat kayuhannya. Si belang kalau sudah capek duduk, terkadang berjalan hilir mudik dalam perahu. Mengibaskan ekor pada punggung Tio, begitu pula pada kaki Ronggur. Tampaknya si belang seperti menyesal, karena tidak dapat membantu tuannya.

Cahaya senja sudah bermain di permukaan air yang beriak. Riak yang seperti disorong ke satu arah, punya arus, tapi masih perlahan. Mula sungai. Riak itu, walau masih perlahan, tetap bergerak, tetap disorong sesuatu tenaga untuk ditibakan ke satu tempat.

Pada kedua tepian pangkal sungai, banyak orang berdiri. Melihat mereka dengan dungu. Dari sekian banyak orang, yang diketahui Ronggur sudah lain dari kesatuan marganya, seorang pun tidak ada yang menyapa mereka. Tapi, orang mencampak pandang ke arah mereka. Menonton tanpa menggunakan perasaan. Oleh tatapan itu, oleh kebisuan itu, Tio menjadi gelisah.

Si belang sudah pernah menggonggong ke arah mereka, seperti menjenggak. Tapi, orang itu tetap juga di tempatnya. Si belang akhirnya capek sendiri. Tio bolak-balik melihat pada orang banyak, kemudian pada Ronggur yang terus mengayuh dan menjaga kemudi dengan hati-hati.

"Ronggur, kau lihat mereka itu?"

"Ya, kulihat. Teruslah mengayuh, jangan ambil perduli."

"Tidak seorang pun dari mereka yang mengaju tanya pada kita. Sedang mereka sudah berbeda marganya dari margamu. Apakah mereka tidak bisa mengucapkan sepatah kata?"

"Kepercayaan mereka sama dengan yang dianut margaku. Tidak mengapa. Teruskan mengayuh. Kepercayaan itu yang melarang mereka untuk bercakap dengan kita. Atau, kepercayaan itu membuat mereka bisu. Perasaan mereka tumpul dibuatnya. Teruslah mengayuh. Sebelum jauh malam,

Page 98: PENAKLUK UJUNG DUNIA

hendaknya kita sudah sampai ke tempat yang cukup jauh dari perkampungan mereka."

"Mata mereka tidak bercahaya. Seperti mata ikan yang mati. Aku ngeri melihatnya dan merasa terpukau berhadapan dengan manusia yang begitu banyak, tapi yang begitu diam dan bisu, seperti patung. Tidak berkerisik."

"Teruslah berkayuh, Tio. Biar cepat kita jauh dari tatapan mereka. Agar godaan darinya tidak lama mempengaruhi tekad diri."

Tio meneruskan mengayuh. Untuk akhir kalinya, si belang sekali lagi menggonggong ke arah tumpukan orang yang diam bisu itu, sebelum mereka menjauh benar. Arus sungai masih lemah. Belum bisa menghayutkan perahu. Mereka masih harus mengayuh kuat-kuat, agar perahu melaju.

Senja di langit bertambah tua. Merahnya mewarnai segala. Dan, dari satu tempat yang ketinggian lagi sunyi, seseorang memanggil nama Ronggur. Mulanya begitu lemah dan jauh. Seperti suara setan yang bangkit dari dunia jauh. Ronggur mendongakkan kepala, mencari dari mana suara itu datang. Si belang mempertajam penciuman. Menggonggong. Disuruh Tio diam. Si belang mengikut.

Seseorang berlari di pematang sawah sambil melambaikan tangan. Ronggur berhenti berkayuh. Diikuti Tio. Orang itu sudah berada di tepian sungai. Setelah beberapa hari tidak mendengar suara orang lain yang mencakapkan mereka, rasanya, suara orang itu seperti hadiah yang besar, hadiah yang membuat mereka gugup.

"Ronggur," kata orang itu, napasnya masih tersengal, "bawalah aku bersama kalian. Aku mau turut."

Ronggur tambah terdiam. Hampir tidak dapat mempercayai pendengarannya.

Page 99: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Ronggur, kau dengarkah aku? Aku si Lolom. Kawanmu sejak kecil. Aku mau turut."

"Kudengar kau, Lolom. Kudengar kau. Apa maksudmu?" tanya Ronggur kembali. Dia belum yakin benar akan pendengarannya.

"Bawalah aku bersama kalian. Aku mau turut. Tidak bermaksud jahat aku. Bawalah aku."

Ronggur dan Tio tambah terdiam mendengarkan permohonan orang itu, permohonan yang tidak diduga sama sekali. Di saat mereka disisihkan dari sekitar, dari alam kehidupan mereka sehari-hari, di saat itu pula seseorang dari anggota masyarakat yang menyisihkan itu memohon pada mereka, agar dibolehkan turut serta. Membuat Ronggur ingin tahu, kenapa orang itu mau turut.

"Kenapa kau harus ikut?" tanya Ronggur.

"Aku tahu perjalananmu mendatangkan ajal. Tapi, aku tidak perduli. Aku mau ikut. Karena aku memang dengan sengaja mencari kecelakaan pada diri sial ini. Bawalah aku, Ronggur. Sungguh sial nasib menimpa diriku. Aku kalah berjudi. Sawahku sudah tergadai. Namun hutangku masih bertumpuk."

"Jadi kau sengaja mau mencari malapetaka?"

"Ya, seperti kalian. Seperti kau. Tepikanlah perahu itu biar masuk aku. Daripada aku membunuh diri, gantung diri, lebih baik kurasa, lebih tenteram kurasa hati, bila ada teman sama-sama mati. Karena aku takut sendirian menuju negeri jauh itu. Bawalah aku, biar aku tidak merasakan kesunyian di saat nyawa berpisah dari tubuh. Justru karena tahu ada teman sama-sama mati."

"Kau pikir kami sengaja mencari kematian dengan melayari sungai ini? Atau, sengaja mendatangi kecelakaan yang bisa

Page 100: PENAKLUK UJUNG DUNIA

mengakibatkan kematian?" tanya Ronggur pula. Sinar matanya memancarkan cahaya benci.

"Apa maksudmu?" kembali Lolom bertanya. "Bukankah kau dengan sengaja mencari sumber malapetaka dengan melayari Sungai Titian Dewata ini?"

"Tidak. Kami mau mencari penghidupan yang lebih sempurna. Mencapai tanah luas tempat habungkasan," jawab Ronggur tegas.

"Ah, jangan bersilat kata, Kawan. Kau sengaja mencari kecelakaan, kematian, dan aku mau turut. Habis perkara," suara si Lolom mulai ringan dan lincah, tidak seperti semula lagi.

"Kenapa kau berkata begitu, Lolom?"

"Karena kau Ronggur, jatuh cinta pada budakmu. Memang budakmu itu manis. Bukankah karena tidak tahan menanggung malu di dunia ini, kau melarikan diri dari kehidupan ini dengan dalih mencari tanah habungkasan bersama budakmu itu? Bawalah aku. Aku tidak bermaksud mempengaruhi perasaan cinta yang tumbuh di hati kalian berdua. Itu soalmu. Aku akan menutup mata dan mulut, di saat kalian bercumbuan. Percayalah. Bawalah aku Ronggur. Biar ada temanmu sama-sama mati. Biar ada pula temanku sama-sama mati. Walaupun sebab kita berbeda. Kau karena menyintai seorang budak. Aku karena kalah berjudi. Dari kita sebenarnya sama sialnya."

Dengan hentakan kasar, Tio membenamkan pengayuh ke air hingga air muncrat ke atas, lalu mulai mendayung.

"Perjalanan kami tidak wajar dikotori seorang penjudi yang mau bunuh diri," jawab Tio kasar. "Perjalanan yang menuju atau mencari tanah habungkasan."

Wajahnya memerah. Dan, ia tidak tahu, kenapa dia harus mengatakannya. Sebenarnya dia sendiri memang sependapat

Page 101: PENAKLUK UJUNG DUNIA

dengan orang lain, dengan Lolom bahwa perjalanan itu akan kandas di karang kecelakaan. Tapi, biarpun begitu, t idak wajar rasanya, perjalanan yang bermaksud baik itu dikotori seseorang yang memang sengaja mau bunuh diri.

"Apa kau katakan budak manis? Apakah kau tidak dengan sengaja mengotori hidup si Ronggur? Dengan wajahmu yang manis, kau telah menggoda dan menjerumuskan seorang sahabatku ke lembah kehinaan. Jatuh cinta pada seorang budak, karena setiap saat kau menggodanya dan kata orang, kau sedang bunting. Kalian telah bersetubuh sebelum meminta izin dari Mula Jadi Na Bolon, dari para orang tua, dari kerajaan, dan datu bolon. tanganlah berkata aku membawa sial padamu. Nasibmu jauh lebih celaka dari nasib kita semua. Aku kalah berjudi, Ronggur jatuh cinta, kau penggoda keparat."

"Siapa mengatakan itu padamu, Lolom?" tanya Ronggur keras

“Kau masih bertanya. Itulah berita yang tersiar luas di antara penduduk. Lain tidak. Aku juga mempercayainya. Aku juga tidak dapat mempercayai bila seseorang yang melayari sungai ini, masih mengatakan akan mencari tanah habungkasan. Bagiku itu omong kosong dan dusta paling besar. Karena itu, marilah sama-sama mati, kawan. Bawalah aku. Aku yang mau bunuh diri."

Seketika Ronggur terdiam. Tidak menyahut. Kemudian Lolom melanjutkan, "Kenapa kau diam, Ronggur? Karena tepat apa yang kukatakan?"

Ronggur masih diam. Lolom terkekeh lupa akan masalahnya sendiri. Tio sudah hendak mendayung perahu, tapi dicegah Ronggur dengan membenamkan kemudi ke air. Akhirnya Ronggur mengatakan:

"Lolom, sayang sekali apa sebabnya kau mau ikut dengan kami. Kalau alasanmu berbeda dari alasan yang kau katakan

Page 102: PENAKLUK UJUNG DUNIA

itu, betapa gembira hatiku menerima kehadiranmu. Betapa aku berterima kasih karena kau mau menemani aku seraya bersedia memikul segala akibatnya."

Lolom masih tertawa di pinggir sungai. Kemudian Ronggur melanjutkan:

"Aku mau buktikan Lolom bahwa yang kuimpikan atau yang diwartakan mimpiku padaku, benar. Aku akan menemui tanah habungkasan. Sungai ini akan membawaku ke tanah landai yang subur. Sendirinya pula aku akan buktikan bahwa kepercayaan yang tertanam di hati kita selama ini mengenai sungai ini salah."

"Jangan mencari dalih lagi," kata Lolom menghentak. "Sudah kukatakan aku tidak dapat mempercayainya, walau kau kawanku. Kita akan sama-sama mati bila kita sama-sama melayari sungai ini. Yang kuminta padamu, bawalah aku biar ada temanku sama-sama mati. Aku takut mati sendiri. Itu saja soalnya."

"Tapi, aku tidak mencari kematian dengan sengaja," jawab Ronggur dengan suara kuat. "Perjalanan yang kumulai ini bertujuan baik. Hasilnya kelak akan kuserahkan pada semua orang, agar semua orang terlepas dari ancaman yang selalu mengikuti hidupnya, berperang karena setapak tanah, bersibunuhan karena setetes air parit. Karena itu dan karena aku tahu pepatah lama, seseorang penjudi yang kalah, dialah yang bernasib sial. Seseorang yang dengan sengaja mau bunuh diri padanya akan datang malapetaka. Karena aku tidak mau bunuh diri, karena aku tidak mau mencari malapetaka, tapi sebaliknya, sewajarnya pula aku menolak permohonanmu. Agar nasib sialmu, agar kutukan dewata padamu karena kau mau bunuh diri tidak turut menimpa kami. Kami masih tetap mengharapkan dan memohon agar dewata menunjuki jalan kami. Yang kelak hasilnya akan dikecap setiap orang. Tidak wajar mengorbankan nasib orang yang begitu banyak, masa datang orang banyak, karena kau seorang. Karena itu, carilah,

Page 103: PENAKLUK UJUNG DUNIA

tempuhlah sendiri, dan datangilah sendiri ajal yang akan merenggutkanmu dari kehidupan ini!"

Sambil tertawa dan perutnya berguncang-guncang, Lolom mengatakan:

"Ronggur, ke mana perginya akal sehatmu yang selama ini kau punyai? Ya, memang kau masih menggunakan akal sehat itu. Yaitu, menerjunkan diri ke ujung dunia agar bangkai kalian tidak dapat dikuburkan. Agar kubur kalian tidak ada jadi pertinggal di dunia ini. Nah, aku pun bermaksud begitu. Penjudi yang kalah main, kalau mati t idak wajar menunjukkan kuburnya agar tidak ada lagi tempat bagi mengunjungnya, menagih hutang. Begitu pula agar tidak ada tempat bagi sanak saudara, bagi anak yang masih kecil, tempat mencampakkan segala penjelasan di atas pusaraku, karena aku segala penjudi yang kalah, membuat hidup mereka menjadi morat-marit." Waktu Lolom berkata, perahu sudah mulai dikayuh

Ronggur dan Tio. Dan, waktu Lolom sadar bahwa kencang perahu tambah tak dapat diikutinya lagi, walau dia sudah berlari-lari di tepian, dengan pengap-pengap dia memohon:

"Ronggur, apa yang harus kuperbuat? Aku takut mati kalau aku sendiri yang menghadapinya. Dan, kalian tidak mau pula membawa aku serta, aku yang sudah rela mati. Hendak mereka jadikan aku budak. Ronggur, kau dengarkah aku?" ratapnya mulai meninggi, "sampai hatikah kau melihat aku manjadi budak?"

Ratapan si Lolom yang tambah meninggi, membuat Ronggur tertegun. Kembali dia berhenti mendayung. Menyuruh Tio berhenti pula mendayung. Dia mencampak pandang ke daratan. Matanya menyala merah. Tapi, dia berusaha agar marahnya tidak meledak. Lalu, dia berkata dengan kuat lagi tajam:

Page 104: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Lolom, kau kawanku sejak kecil. Kau telah menghina aku. Tapi, bagiku itu tidak mengapa. Untuk ikut serta dalam perjalanan ini kau tidak boleh. Aku tidak bersedia mengorbankan perjalanan ini pada nasib sial yang akan menimpamu. Karena kau memang sengaja mencari kematian."

"Lantas, apa yang harus kuperbuat?" tanya Lolom pula melanjut dan memotong cakap Ronggur.

"Kalau berjudi bagimu sangat baik. Agar kau tahu dan menyadari bahaya main judi. Pesanku padamu, janganlah dulu bunuh diri. Kelak aku akan membawa berita padamu bahwa tanah habungkasan telah kutemui. Kau boleh pindah ke sana dan kau kembali menjadi orang merdeka. Sekarang biarlah dulu kau rasakan betapa sakitnya menjadi budak orang lain. Agar kau tahu betapa nikmatnya mimpi akan kemerdekaan. Dan, agar kau tahu, betapa berharganya sebuah kemerdekaan, sehingga kau tidak mau lagi mempermainkannya di perjudian."

"Begitu percaya kau Ronggur bahwa kau akan menemui tanah habungkasan."

"Mimpiku telah mewartakan padaku. Dan perasaanku selama ini, yang turut merasakan pahitnya derita seorang budak, pahitnya perasaan diri sendiri justru harus membunuh orang lain, karena orang lain itu pun ingin hidup lalu berusaha menguasai setapak tanah, mempunyai setetes air parit telah memaksa aku harus mencapai tanah habungkasan. Untuk bisa terlepas dari belenggu itu, dari penjara perasaan yang meracuni diri sendiri, semua terletak pada hasil perjalanan ini."

"Dan, bila kau pun nanti turut menanggungnya, merasakan pahitnya menjadi seorang budak, maka kau pun akan mendoakan agar perjalanan ini memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Harapanmu terletak pada hasil perjalanan ini. Agar kau bisa kembali menjadi seorang yang merdeka.

Page 105: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Bertobatkah, karena doa seorang yang tobat, sangat didengarkan Mula Jadi Na Bolon."

Sebelum Lolom sempat mengatakan sesuatu, Ronggur telah melanjutkan:

"Di samping itu, bila kau memang ingin berbakti, wartakanlah pada orang semargamu bahwa anggapan mereka akan perjalanan kami ini tidak benar sama sekali. Suruhlah mereka bersiap menerima sebuah warta kebenaran. Yang mungkin berbeda malah menantang kepercayaan yang mereka anut selama ini. Agar tidak terguncang perasaan mereka bila kelak menerima warta penemuanku atas tanah habungkasan."

Ronggur dan Tio kembali mendayung. Dengan tercengang Lolom melepas mereka. Dan, sesudah dia sadar bahwa perahu Ronggur sudah menjauh dan melaju, kembali dia meratap dan menangis. Tapi, disela tangis itu dia mengharapkan, agar Ronggur dan Tio berhasil, sehingga dia bisa kembali menjadi orang merdeka. Harapan masih ada walau masih begitu samar, karenanya dia belum mau mati.

Perahu terus melancar. Bulan mulai memancar di langit mencurahkan sinar ke bumi. Menjadi suluh bagi Ronggur dan Tio mengikuti jalur sungai. Secara perlahan arus sungai mulai terasa. Tanah datar yang terdiri dari tanah batu di kiri-kanan sungai. Hanya satu-satu pepohonan tumbuh di tepian. Tidak berdaun rindang. Meranggas.

Setelah merasakan bahwa mereka sudah cukup jauh dari perkampungan, Ronggur mendaratkan perahu. Memilih tempat bermalam. Si belang disuruh berjaga. Perahu ditambatkan. Memang begitu selalu, selagi perahu dikayuh, si belang kebanyakan tiduran. Kalau malam, dia yang berjaga, di saat Ronggur dan Tio melepas lelah. Dan, bila pagi terbit lagi, mereka akan melanjutkan perjalanan itu.

Page 106: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Setiap hari arus sungai tambah terasa. Dan, tetap diperhatikan dan dipelajari Ronggur. Menurut keterangan bekas Datu Bolon, bila arus bertambah deras, dia harus bertambah hati-hati. Bila suara gemuruh air sungai berban-tingan ke dinding batu mulai kedengaran, dia harus mulai mencari mulut gua yang diceritakan Datu Bolon, yang menganga bergaya mau menelan.

Tekadnya harus bertambah bulat dan kukuh memasukinya. Atau, memulai jalan darat. Karena itu, tidak jarang Ronggur melengketkan telinga ke permukaan air, untuk merasakan getar air. Dan, setiap Ronggur mengerjakannya sambil memejamkan mata, setiap itu pula T io memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Dan, hatinya bergoncang dalam dada. Bila Ronggur kembali mengangkat kepala, Tio akan menarik napas yang panjang, tapi diusahakan agar tidak kedengaran pada Ronggur.

Pada hari selanjutnya, mereka telah tiba ke batas yang boleh ditempuh manusia. Walau matahari tidak terik, dan masing-siang, namun Ronggur mendaratkan perahu ke pinggir sungai. Lalu menyuruh Tio menghidupkan api. Pertanda mereka akan bermalam di sana.

Dia pergi ke tempat ketinggian, mendaki sebuah pundak bukit, mengadakan peninjauan. Sejauh mata memandang yang dilihat hanya batu padas saja. Sedang sungai seolah terus menuju satu arah yang jauh, menerjang terus ke perut bukit. Menembus bukit. Itulah mula gua yang diceritakan bekas Datu Bolon. Arus sungai sudah cukup deras. Satu dua batu jangkar sudah dijatuhkan Ronggur, agar kelajuan perahu dapat dikendalikan.

Kembali dia ke tempat Tio, yang mencampakkan pandang padanya, pandang yang meminta penjelasan. Tapi, Ronggur tidak mengucapkan, sepatah kata. Kediam-diaman. Perasaan masing-masing saling mengajuk nasib yang menanti mereka, bila mereka mulai melewati batas itu besok pagi.

Page 107: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur dan Tio, pada pagi berikut melihat matahari muncul dari satu kekosongan, tepat dari belahan jalur sungai. Jadi t idak dari pundak Dolok Simanuk-manuk lagi, seperti yang mereka kenal. Namun mereka meneruskan perjalanan juga. Mulut tambah terkatup. Terus saja Ronggur mencampakkan pandang ke kejauhan. Tetap meneliti keadaan. Wajahnya bersikap menantang dan begitu tegang. Tangannya pasti menggenggam ulu kemudi.

Mereka tidak perlu lagi mengayuh. Arus sungai sudah dapat menghanyutkan perahu malah terlalu liar. Hingga batu jangkar sudah tiga biji dijatuhkan. Telapak tangan Tio yang sudah lecet dan keputihan, susut karana terus-terusan direndam air, sekarang bisa mengasoh. Tangannya mengelus leher si belang yang duduk di sampingnya. Dia mencari kekuatan hati dari elusan itu. Atau, melontarkan perasaan yang tertekan.

Tapi, hari itu mereka tidak menemui sesuatu. Hanya arus sungai yang bertambah kencang. Mereka masih selamat. Walau sudah jauh melewati batas yang boleh didatangi manusia.

Dikejauhan, bila diperhatikan benar, desiran arus sungai kedengaran bangkit, mendesis. Dari jalur sungai dikejauhan, bulan muncul. Menyinari kiri-kanan sungai yang tidak punya tanda kehidupan. Tandus dan kosong. Bila mereka mendarat ke pinggiran lagi, mereka temui sebuah lobang alam pada s isi sungai yang agak tinggi, terbuat dari batu alam. Lobang yang bersisi berlantai dan beratap batu. Dalam lobang, t idak seperti lobang alam yang pernah mereka temui, tidak ada sepenggal kayu atau bekas api. Tidak pernah didatangi manusia layaknya. Dingin. Buru-buru Tio menghidupkan api. Beberapa potong kayu diangkutnya dari perahu. Nyala api menari-nari di dinding batu, di atap batu.

Tengah malam. Awan hitam merayap dan menjalar, lalu menutupi wajah bulan. Keadaan sekitar menjadi pekat. Angin kencang datang dari hulu sungai. Membangkitkan riak yang

Page 108: PENAKLUK UJUNG DUNIA

tidak dapat dikatakan kecil, cukup gelisah permukaan sungai. Satu-satu halilintar mengkilap membelah bumi. Diiringi suara guntur yang mau memecahkan segala, menyengkak. Si belang mendekat pada Tio. Memanaskan diri dekat api. Bersabung halilintar dan guruh, hujan turun seperti dicurahkan dari langit. Permukaan sungai naik. Riak sungai menjadi besar dan tambah gelisah. Seperti marah karena ada orang yang berani berlayar melewati batas yang sudah ditentukan.

Dalam saat begitu, perubahan alam begitu rupa menimbulkan prasangka dalam diri, yang menumbuhkan berbagai ragam anggapan, pertanda mula kecelakaan yang akan menimpa diri. Semuanya serba asing dan menakutkan, atau semua serba seperti menakut-nakuti. Ronggur pergi ke tepian sungai memperkokoh ikatan tambatan perahu. Lantas pergi ke atas gua alam itu, menatap ke sekitar. Kepekatan menyeluruh menelan segala. Kekelaman yang abadi. Baru beberapa saat yang lalu, keadaan udara cukup terang benderang oleh sinar bulan yang nyaman.

Begitu cepat suasana alam berubah. Beberapa saat dia berdiri di sana, memperhatikan sekitar dan mempelajari arah dan mata angin yang menggalau. Tio yang tepat berada di bawahnya, tidak mengetahui bahwa Ronggur tepat berada di atasnya. Dipisah langit-langit gua yang terbuat dari batu alam. Kulit tangannya masih tetap pucat dan menyusut.

Selagi Ronggur tidak ada dekatnya, dia merasa sepi atau merasa takut. Dia selalu begitu, walau dia tahu Ronggur tidak pergi jauh. Dia merasa lebih tenteram bila Ronggur di dekatnya, walau tidak mengatakan sesuatu, selain hai yang penting saja. Seperti: "Besok pagi kita melanjutkan perjalanan sebelum matahari terbit. Tidurlah, selimuti dirimu dengan kulit binatang berbulu. Biar terasa panas."

Mendengar cakap yang sepenggal itu saja, sudah melonggarkan perasaan tertekan. Dan, dia tidak akan menyahut, tapi melaksanakan yang dimaksudkan Ronggur.

Page 109: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Malam itu Ronggur agak lama baru kembali. Perasaan sak wasangka tambah mencekam diri, karena dia tahu bahwa mereka sudah berada di daerah yang berbahaya, daerah yang belum pernah dimasuki manusia. Tio bangkit dari duduknya. Dengan membungkuk dia menuju mulut gua. Hendak melihat ke mana Ronggur pergi atau di mana Ronggur berada. Tapi, ketika itu juga, tubuhnya tertumbuk ke tubuh Ronggur yang berdada telanjang. T io terpekik karena terkejut. Lalu mundur. Ronggur tersenyum, lalu mengatakan, "Pergilah tidur. Tidak apa-apa. Besok, bila badai telah teduh, kita akan meneruskan perjalanan."

Tio malu akan ketololan dan ketakutannya. Dia menyesali diri kenapa dia harus terpekik. Dari goleknya dia melihat Ronggur mengeringkan tubuh. Telapak tangan ditelempapkan ke tubuh, lalu dikaiskan. Butiran air berjatuhan. Kemudian Ronggur berjongkok dekat api. Mendekatkan telapak tangan ke jilaman api. Begitu dekat hingga Tio yang melihatnya merasa ngeri, kalau tangan itu akan hangus terbakar. Tidak disadarinya matanya dapat ditangkap pandangan Ronggur. Sambil memalingkan pandang Ronggur berkata, "Kau belum tidur juga? Belum mengantuk?"

Tio menyurukkan kepala ke bawah kulit binatang. Dalam hatinya dia merasa geli atas kelakuan Ronggur, Sedang Ronggur merasa geli pula atas kelakuan Tio yang menyurukkan kepala ke bawah selimut buru-buru, yang dengan sendirinya kakinya menjadi telanjang. Kulit binatang itu tidak cukup panjang untuk menyelimuti tubuhnya sekaligus. Ronggur tersenyum, seperti Tio sendiri, tersenyum di bawah selimut kulit berbulu.

Di luar hujan, angin, kilat, dan guruh masih bersabung. Si belang sekali ini sudah tertidur. Permukaan sungai menaik, riak sudah membesar sudah menyerupai ombak danau. Namun perasaan keadaan sekitar, dia tahu, air tidak mungkin menggenangi mulut gua di mana mereka berada. Dia

Page 110: PENAKLUK UJUNG DUNIA

menggolekkan diri. Suara mendesis yang bersumber dari sungai itu sangat menyayat atau menyengat pendengaran. Suara yang timbul atau seolah datang dari dunia jauh, dunia lain. Ronggur menutup kedua belah kupingnya, memejamkan mata dengan paksa.

Cahaya putih sudah menerobos dari mulut lobang waktu Ronggur membuka mata kembali. Api sudah padam. Dalam gua menjadi dingin kembali, angin yang bersabung dan hujan yang menderu di luar belum henti.

Tapi, sudah mulai melemah. Desis lidah air masih terus mengganggu pendengaran. Waktu kepalanya dijulurkan dari mulut lobang untuk mengetahui keadaan cuaca, dia pun tahu, bahwa cuaca masih tetap seburuk kemaren. Walau matahari sudah terbit dan agak tinggi, namun bias cahayanya tidak dapat menembus awan yang bergumpal dengan sempurna.

Dengan malas Ronggur kembali masuk ke dalam lobang. Membaringkan diri. Tio belum bangun. Juga si belang. Malah menggulungkan tubuhnya sampai bengkok untuk melawan dingin. Didengarnya kelepak lemah di langit-langit gua. Tambah lama tambah banyak. Matanya diliarkan menatap langit-langit. Kelepak itu berasal dari lobang-lobang kecil yang banyak di langit-langit gua. Perlahan dia bangkit, takut kalau kelepak lemah itu henti. Dia mendekati salah satu lobang kecil.

Heh, pikirnya. Di sini banyak kampret. Enak dimakan. Lalu dia mengambil sebatang kayu. Dengan kayu itu, dicoloknya tiap lobang. Kampret berjatuhan. Patah sayap. Asik dia dengan pekerjaannya. Merasa bersyukur, justru karena dia tahu, daging kampret enak dimakan.

Di samping itu, lalu dia dapat memastikan bahwa sesuatu yang bernyawa masih ada di sana. Kampret itu ditumpukkan. Tidak tahu dia Tio sudah bangun. Terus menghidupkan api. Menjerangkan air yang ditampung dari pinggir sungai. Waktu nyala api meloncat-loncat dan menari-nari di dinding gua,

Page 111: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur berpaling. Tio tersenyum tapi tertunduk. Disambutnya juga senyum itu, lalu: "Di sini banyak kampret. Bakarlah. Enak juga dimakan."

Kampret itu mereka panggang, langsung dengan bulunya. Cepat benar sudah masak. Sambil meneguk air simar palia yang pahit kental lagi panas, rasa dingin dan kantuk cepat menghilang, mulut mengunyah daging kampret yang manis. Bila angin dan hujan reda, mereka akan meneruskan perjalanan. Yang terasa tidak punya akhir dan ujung.

Ingatan Ronggur cepat meloncat. Cepat dia mengaju tanya: "Tio, di mana kau bikin pundi-pundi tempat bibit itu? Sudah berapa hari t idak kulihat."

Tio memegang pinggangnya yang agak menonjol. Pundi-pundi itu diikatkan di pinggangnya. Tio menjaga bibit itu dengan baik. Bibit pertama yang akan mereka tanam di tanah habungkasan. Atau, padi yang bisa mengurangi rasa laparnya bila mereka memang jatuh ke ujung dunia. Jajan arwahnya dalam perjalanan menghadap Mula Jadi Na Bolon.

"Kau menjaganya dengan baik kalau begitu." kata Ronggur. Tio menundukkan kepala, Ronggur menyambung: "Teruskan jaga baik-baik. Bila angin dan hujan teduh, kita meneruskan perjalanan. Di tanah habungkasan yang kita tuju, bibit itu sangat penting dan perlu bagi kita. Jangan sia-siakan. Teruslah jaga baik-baik."

Cakapnya punya kepastian seolah mereka akan menemui tanah habungkasan yang dimimpikan. Tio diam saja mendengarkan. Padanya, menemui tanah habungkasan atau menemui ajal, sekarang telah menjadi sama. Dia telah menunjukkan kesetiaan sebagai budak pada tuannya. Atau, dia sebagai perempuan, telah menunjukkan kesetiaan hingga berani pergi ke mana saja, bersama seorang lelaki yang dipercayainya kejujuran dan keberaniannya. Dan, dia telah berani memilih perjalanan tanpa nasib, meninggalkan nasib yang malarig di belakang. Itu saja pun baginya cukuplah.

Page 112: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Karena itu dia hanya menelan air liur mendengar omongan Ronggur yang punya kepastian itu.

Cahaya yang menerobos ke dalam gua tambah terang juga, berangsur secara perlahan. Angin tambah melemah dan hujan sudah mulai teduh. Tapi, desis air yang menyayat pendengaran itu tetap juga. Ronggur dan Tio bersama si belang cepat-cepat meninggalkan gua, lalu memulai perjalanan lagi. Menyusuri sungai. Si belang menggoyangkan tubuh, membuang butir-butir air yang melengket pada bulunya. Dia melengking kecil, atau suara lengkingan itu tersekat dalam kerongkongan.

Perubahan pada kedua tepi sungai tambah nyata, tambah beda dengan tepian sungai yang sudah mereka lewati. Air sungai terus menerus mengarah ke satu bukit yang seolah tegak berdiri, terhunjam ke dada bumi, menghadang sungai. Tapi, air terus menerobos.

Tepian sungai menjadi tambah tinggi juga, terbuat dari batu alam yang hitam. Tambah lama tambah berbentuk semacam terowongan. Itulah gunung Batu yang diterobos air sungai yang arusnya bertambah deras. Air yang bertemperasan ke dinding tepian batu, berdesis dan muncrat ke sana kemari. Gelisah tidak pernah henti. Sudah lebih dari lima batu jangkar dijatuhkan Ronggur, namun kelajuan perahu terus bertambah kencang. Seperti tidak terkendalikan.

Pendengaran terus dipertajam Ronggur, namun suara gemuruh belum ada kedengaran. Karena, pikir Ronggur, bila air sungai jatuh ke akhir dunia, tentunya menimbulkan suara gemuruh yang dahsyat. Karena itulah, dia masih meneruskan penyusuran itu. Bahaya, atau ujung dunia, masih jauh. Atau, mula dari impiannya, tanah subur yang landai.

Batu jangkar sudah tujuh buah dijatuhkannya. Tali temalinya bertegangan diseret perahu. Dan, kelajuan perahu terus bertambah. Tapi, dapat dikuasai karena dibantu batu jangkar itu. Bila arus bertambah kencang, batu jangkar terus

Page 113: PENAKLUK UJUNG DUNIA

dijatuhkan. Begitu seterusnya. Melanjutkan perlawanan terhadap arus sungai yang setiap saat bertambah kencang juga.

Pancing yang diumpankan Tio tidak pernah lagi mengenal Ikan bertambah jarang atau memang tidak ada sama sekali. Ronggur hanya tinggal menunggui kemudi. Kelokan sungai yaitu patah tambah sering mereka temui. Dan pada setiap akhir kelokan riam sungai teap ditemui. Pada tiap riam, air sungai gelisah warna putih melambung ke atas. Pada riam yang lebih curam, walau dinding perahu sudah tinggi dibuat, bisa juga temperasan masuk ke dalam perahu. Tio cepat menimbanya, membuangnya kembalinya ke sungai. Dan, terkadang wajah Ronggur sendiri disembur air, yang terus memegang kemudi, tanpa mau melepaskan seketika saja pun selagi perahu terus berlari dibawa arus.

Tepian sungai yang terbuat dari batu alam bertambah tinggi juga. Pada puncaknya yang masih bisa dijangkau mata tidak ada sesuatu yang tumbuh, selain dari tumbuhan kerdil yang tidak berdaun hijau. Begitu curam dinding batu itu. Ada kalanya sinar matahari seperti tidak sampai pada permukaan sungai karena disungkup kedua dinding batu yang bertemu puncaknya. Air sungai menjadi lebih dingin dan hitam. Sekitar menjadi taram-temaram.

Mereka tidak bisa lagi dengan leluasa melihat matahari. Membuat mereka terkadang tidak dapat mengetahui peredaran waktu dengan pasti. Dan, keadaan begitu bertambah jauh menyusuri sungai, bertambah memanjang. Namun mereka tetap berlayar. Sebuah kata pun tidak ada yang diucapkan. Mata terus-terusan ditancapkan ke depan.

Segala perasaan dikerahkan meraba yang menanti di depan. Air yang bertemperasan pada dinding batu tambah mendesis dan menyayat pendengaran. Tahulah Ronggur suara desisan air yang menyayat pendengaran itu, bermula dari air yang bertemperasan ke sisi sungai dan lebih hebat pada salah

Page 114: PENAKLUK UJUNG DUNIA

satu tikungan. Celah dinding sungai di atas bertambah kecil juga. Seperti mereka berada dalam satu lembah yang sempit diapit kedua sisinya yang tinggi.

Arus sungai terus menerus bertambah kencang dan tambah menggila. Air membiru sudah seperti menghitam. Sudah lebih sepuluh batu jangkar yang mereka jatuhkan. Kelanjutan perahu terus juga menggila. Air seperti membulat. Dari warna biru permukaan yang sudah menghitam itu, tahulah Ronggur bahwa sungai amat dalam.

Suara air yang bertemperasan ke dinding batu, terus menerus mengisi pendengaran, terasa sangat membosankan. Terlebih pula tidak ada yang menyelingi. Begitu menyiksa terasa. Biarpun dia tahu bahwa sungai sangat dalam, tapi pada tikungan yang dilalui terkadang ada juga batu muncul ke permukaan air, menghadang. Mereka harus hati-hati melewatinya. Bila terdampar ke sana, perahu akan pecah remuk, dan nasib sudah teraba bentuknya. Air yang bertumbukan dengan batu mencuat itu menjadi gelisah dan liar. Bertemperasan. Tidak sedikit terlempar ke dalam perahu. Perut perahu menjadi tergenang air. Tio harus cepat menimbanya. Peralatan mereka menjadi basah. Dada dipukul detak hati yang tambah mengencang. Tapi, wajah Ronggur terus menantang ke depan. Meneliti dan menduga sesuatu yang sedang menanti.

Mereka tidak ada lagi menemui gua alam. Begitu pula tepian sungai yang landai, jadi, kalau cahaya yang menerobos dari celah dinding sungai di atas itu melemah, mereka hanya bisa menambatkan perahu ke salah satu tungkul batu yang mencuat. Mereka lalu tidur dalam perahu tanpa unggun api. Selain kayu bakar tidak ada, menghidupkan api dalam perahu berarti bunuh diri. Karena itu, mereka harus menahan dingin malam yang menyiksa.

Tio di hulu perahu Ronggur di buritan, di tengah si belang. Dalam saat begitu, pandang mereka sering ketemu. Cepat

Page 115: PENAKLUK UJUNG DUNIA

dipalingkan. T idak mereguk air panas lagi di pagi hari. Hanya air sungai yang dingin diteguk sehabis cuci muka. Tio menyelimuti diri dan juga si belang, yang selalu mendekat padanya dengan lengkingnya yang tersekat dalam kerongkongan.

Dan, mereka akan meneruskan perjalanan lagi, menempuh jalur sungai yang tidak dapat teraba, ke mana diri akan dibawanya, bila utusan cahaya kembali menerobos celah dinding sungai di atas itu.

Bila temperasan air yang melemparkan air ke perut perahu tidak ada, yang berarti pekerjaan Tio tidak ada, dia selalu melemparkan pandang ke depan dan menggunakan segala perasaan. Begitu pula Ronggur yang berada di buritan perahu. Tikungan bertambah sering ditemui. Arus sungai tambah menggila. Dinding sungai bertambah tinggi dan tandus. Suasana tambah menekan. Jiwa tambah terasa dihantam habis-habisan.

Tio tidak terus-terusan atau tidak tekun lagi menatap ke depan saja. Sudah sering dia berpaling ke belakang menatapi, Ronggur. Tapi, Ronggur seperti tidak melihatnya. Mata Ronggur terus memandang ke depan. Walau terkadang hanya tertumpu ke dinding batu pertanda sebuah tikungan. Terkadang Tio berdiri meregangkan tubuh yang kaku, tapi cepat saja Ronggur menyuruhnya agar duduk kembali. Agar tatapannya tidak terhalang. Atau, agar kepala Tio tidak tersangkut pada salah satu lingkungan dinding sungai yang terkadang begitu rendah.

Mulanya sangat lemah sekali. Tambah lama tambah nyata. Wajah Ronggur agak pucat juga dibuatnya. Bibirnya gemetaran. Tio tertunduk. Arus sungai menggila Batu jangkar sudah lebih duapuluh biji dijatuhkan. Namun perahu seperti diseret dan dilarikan setan saja kencang nya. Suara yang lemah itu, yang bangkit di depan itu, tambah nyala: mengguruh. Mengancam nadanya, mengancam siapa saja

Page 116: PENAKLUK UJUNG DUNIA

yang berani mendekat. Namun Ronggur belum mendaratkan perahu. Dia masih meneruskan pelayaran.

Urat saraf Tio seperti lumpuh karena terus-terusan ditekan suasana ketegangan. Walau air tidak tertumpuk pada salah satu batu yang mencuat di permukaan sungai, namun riak air sudah seperti gelombang. Pecah. Memercik ke sana ke mari. Banyak terlempar ke dalam perahu. Tapi, Tio tidak bisa lagi menimbanya. Perahu terangguk-angguk dan tergoncang.

Tiba-tiba saja biasan cahaya mencurah ruah, celah dinding melebar di atas. Tapi, tingginya alangkah jauh lagi curam. Seperti tidak terdaki layaknya. Ronggur menatap ke depan dan pendengarannya terus dipertajam. Suara gemuruh di depan tambah jelas. Tiba-tiba saja Tio menghantamkan tangan ke haluan perahu, sambil berteriak:

"Ronggur, mendaratlah. Apakah kau mau bunuh diri?"

Berbaur akhirnya dengan suara gemuruh di depan dan desis air dan suara riak sungai yang menari gila. Namun Ronggur tidak memperdulikan atau tidak mendengarkan. Matanya sebentar melihat ke kiri dan ke kanan, cepat bertukar tempat. Lalu terus ke depan. Begitu liar. Suara gemuruh itu seperti suara dari sesuatu benda yang jatuh ke satu tempat yang amat dalam.

"Ronggur, kau tidak mendengarkan aku? Mendaratlah ke tepi. Jangan teruskan lagi mengikuti sungai. Tidak dengar suara gemuruh yang mengancam itu?"

Masih tidak diperdulikannya. Tio terus menjerit, melengking. Dalam jeritannya sering dia memanggil nama almarhum ayah bundanya. Sering dia menyebut nama dewata, memohonkan ampun atas keangkuhan mereka berdua. Yang telah berani menantang ketentuan dewata. Dengan tidak berapa dikuasaiya pula, meledak teriakan panjang dari mulutnya:

Page 117: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Ronggur, dengarlah aku. Aku cinta padamu . . . ." lalu tangisnya berkepanjangan, "Ronggur, jagalah dirimu, diri kita berdua . . . ."

Perahu tambah dalam dan kuat anggukannya. Dan, Ronggur mengangkat kepala mendengar jeritan Tio itu, yang meledak dari dasar hatinya.

Air sungai tambah membulat dan berlari kencang, dulu mendahului riaknya. Tiba-tiba saja tangan Ronggur mengayunkan tali ke dinding sebelah kanan. Talinya tetap sangkut pada sebuah gundukan batu yang mencuat agak panjang dan besar, kokoh tertanam. Dapat dipercaya. Dinding sungai agak landai tapi tetap mendaki ke atas.

Sewaktu Tio merasakan bahwa perahu mereka tergoncang kuat karena ada yang menarik dan ada yang menahan, dia mengangkat kepala. Kedua pelupuk matanya, pipinya basah kuyup oleh air mata. Perahu sudah tertambat dan sudah terhenti walau arus sungai berusaha melarikannya. Dia menatapi Ronggur dengan biji mata yang tergenang air mata, isaknya belum henti.

"Hapuslah mata dan pipimu," kata Ronggur. "Kering-kanlah. Aku tidak sanggup melihat mata yang digenangi air mata yang bening. Kita masih harus menempuh perjalanan yang jauh. Kau lihat dinding sebelah kanan itu? Kita harus mendakinya ke atas. Supaya kita dapat tahu yang ada di depan. Kita harus meninjau dari sana. Tapi, sebelum itu, kuatkan dulu hatimu bahwa kau sanggup mendakinya. Marilah dulu makan daging kering. Biar kita punya tenaga. Kemudian bambu itu isilah dengan air. kita memerlukan air barangkali di atas sana. Mungkin tidak ada air di sana."

Tio mengerjakan semua yang dimaksud Ronggur. Sedang Ronggur tambah memperkuat tambatan mengikat pinggangnya dengan tali, sedang ujung satu lagi dibebaskan, dan sebuah gulungan lagi disandang, dia mulai mendaki. Tapi, cepat dihentikan Tio dengan teguran, "Si belang bagaimana?"

Page 118: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Biarlah tinggal dulu di perahu. Kita perlu mengadakan peninjauan. Atau, kita memang sudah harus mendarat di sini. Kau perlu turut ke atas agar ada nanti yang menarik peralatan-peralatan kecil ke atas. Aku akan turun lagi. Mengikat peralatan itu dan membawa si belang ke atas."

Di pinggangnya diselipkan penggada dan kampak digenggam. Tio membelitkan bungkusan yang berisikan bekal. Lebih dulu dielusnya leher si belang, baru dia mendarat. Tajam lidah batu alam seperti menusuk telapak kakinya, yang sudah beberapa hari basah saja. Si belang menggonggong kecil, lehernya digoyang-goyangkan.

Ronggur maju menanjak sambil terus membuat semacam anak tangga pada batu padas. Tidak vertikal. Agak mencong jalannya tapi terus mendaki setapak demi setapak. Tio memegang ujung tali satu lagi yang ujungnya dikaitkan pada pinggang Ronggur sebagai pegangan. Supaya ada tempatnya bergantung kalau dia tergelincir. Atau, tali itu bisa ditahannya kalau Ronggur sendiri yang tergelincir. Tangga demi tangga dibuat Ronggur dan didaki, yang terus diikuti Tio. Suara yang menakutkan dan mengancam itu terus bergema. Terkadang Tio menatap ke bawah melihat perahu mereka yang terangguk-angguk, di perutnya si belang menatap ke arah mereka sambil menjulur lidah.

Kemajuan pendakian itu lambat sekali. Namun tetap pasti. Mereka sudah di pertengahan pendakian. Dari sana sudah dapat kembali mereka tatap keluasan langit, yang untuk beberapa hari lamanya tidak mereka lihat. Tak ubahnya mereka seperti baru keluar dari satu lobang alam yang kelam lagi sunyi, yang tidak memberi kesempatan pada mereka untuk menatap keluasan langit. Walau sinar matahari melemah, namun merasa lemah juga mata menatap yang sudah sering ditatap tapi yang buat beberapa hari tidak ditatap. Tapi, keadaan tetap sunyi. Tidak ada pertanda kehidupan.

Page 119: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Yang ada hanya gemuruh yang menakutkan, yang mengancam, tidak memberi kegembiraan. Dan arah matahari dan lemahnya sinar, Ronggur tahu, hari sudah sore. Sebelum gelap mereka sudah harus sampai di puncak. Karena itu, dia sering membesarkan hati Tio, agar bisa lebih mendaki tanjakan.

"Sebentar lagi, sebentar lagi," selalu katanya, "kita sudah sampai ke atas. Tidak jauh lagi. Teruslah mendaki. Tapi, hati-hati, agak licin di sini."

Mereka harus bercakap kuat-kuat. Tidak bisa perlahan-lahan, agar dapat ditangkap pendengaran. Keringat meleleh dari tubuh masing-masing. Seperti memancur. Sudah cukup haus Tio, namun Ronggur melarang meminum air sekali banyak-banyak.

Betapa bersukur hati Ronggur, waktu tangannya sudah dapat menggapai puncak yang dituju. Tapi, perasaan lega itu tidak lama mengisi ruang dada.

Setiba di puncak, tahulah mereka yang ditemui, hanya sejalur batu tandus dan di sana-sini berlidah tajam. Di kanan, lembah putih, seperti diselaputi sesuatu dan tidak punya dasar tampaknya. Di sebelah kiri, lembah yang dasarnya sungai yang menggila arusnya. Ke arah depan dan belakang, jaluran batu padas yang lebarnya hanyalah barang sedepa. Tidak lebih.

Itu pun tidak jauh-jauh ditatap, karena ada sesuatu yng menyungkap, putih kental seperti kabut. Atau, awan rendah. Tidak bertepi dan tidak bermula. Angin meniup. Penemuan ini membuat hati terpukau. Di depan sekali suara mengguruh itu menanti.

Matahari memancarkan sinar kemerahan yang lemah, tidak mampu menembus keputihan yang mengental.

Tidak ada satu suara pertanda kehidupan, tapi suara yang mengancam kehidupan dengan liar mengguruh di depan.

Page 120: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Berlagak mau melumpuhkan dan mematikan tekad hati yang sepadu-padunya.

Tio lantas saja memeluk tubuh Ronggur dengan gemetar. Gigi gemelatukan. Tubuh menggigil. Ronggur membiarkan. Karena dia pun seperti kehilangan semangat. Tekad hati yang padu menjadi cair. Satu sama lain tidak bisa mengeluarkan pendapat. Bisu. Senja tambah samar, cepat kelam. Tidak berapa lama tari warnanya menghias langit.

"Kita akan mati lemas di sini," kata Tio pelan sekali.

Ronggur menoleh kepadanya seenak tanpa mengatakan sesuatu. Pada sinar matanya, tidak ada lagi sinar cahaya percaya diri. Mati. Namun tanpa bicara, dia membimbing tangan Tio, bergerak ke depan perlahan-lahan. Geraknya seperti gerakan yang bermula dari kedalaman. Melangkah begitu saja, sempoyongan, tanpa percaya diri. Melangkah berserah diri.

Sesekali mereka hendak tergelincir jatuh ke bawah, ke jurang tanpa dasar. Karena, jalannya begitu licin. Ronggur berjalan di depan. Tio di belakang, menggenggam tali lebih kuat dan begitu dekat di belakang Ronggur. Dia gamang. Lidah batu yang tajam menusuk telapak kaki. Terasa ngilu. Mereka terus melangkah.

Sesayup sampai, salak si belang dari dasar sebelah kiri kedengaran. Seperti mengantar mereka ke tempat tujuan akhir. Dapat juga mereka temui tempat yang agak luas sedikit, sekira tiga empat depa luas jaluran di sana. Mereka memutuskan untuk bermalam di sana. Tidak ada yang dapat dibakar. Sekeliling begitu dingin membeku. Tio tidak berani jauh-jauh dari Ronggur.

Sebelah atas mereka, awan rendah menyungkap. Mereka rasakan langit begitu dekat. Tidak tampak bintang atau bulan. Awan rendah menyungkap semua atau memang langit begitu rendah. Tambah lama menjadi hitam. Kental. Berlagak mau

Page 121: PENAKLUK UJUNG DUNIA

menyelimuti segala. Sampai payah bernapas. Ronggur tidak dapat tidur walau tubuh cukup capek dan payah. Semalaman matanya terus terbuka.

Pada satu saat angin bertiup dari arah depan. Butiran air halus memerciki tubuh mereka, dipikirnya hujan turun. Suara gemuruh, desis air sungai yang bertemperasan ke dinding sungai, lagu tunggal yang abadi, tapi menakutkan. Melumpuhkan perasaan yang ada dalam diri. Lagu kematian yang hendak mengantarkan para arwah ke tempat abadi, dunia jauh lagi as ing.

"Apakah hujan?" tanya Tio.

"Aku tidak tahu. Tapi, kita sudah basah. Air begitu tipis. Tidak pernah hujan begini t ipis."

Kembali mereka diam. Akhirnya dapat diketahui Ronggur, Tio jatuh tertidur sambil menggulungkan atau melipatkan kakinya dekat ke dadanya, melingkar.

Ronggur terus membuka mata. Berusaha mengikuti perobahan alam kalau memang perobahan itu ada. Lama-lama hitam pekat itu beralih pula. Seperti ada utasan cahaya putih, tapi begitu lemah. Sekitar, sekira empat lima depa, dapat kembali ditatap. Tapi, sampai di situ saja. Lagi-lagi Tio mengaju tanya, "Apakah sudah pagi?"

"Aku tidak tahu, Tio. Tapi, kepekatan yang menghitam itu sudah kembali agak memutih. Namun mata hanya dapat menembus sekira empat lima depa saja."

"Barangkali kita sudah terjebak," kata Tio pula.

"janganlah berkata begitu. Tapi, tetaplah waspada," katanya menasihati walau diri sendiri bimbang. Ada juga dirasakannya kebenaran yang diucapkan Tio itu.

"Ke mana lagi kita harus pergi?" tanya Tio pula.

Page 122: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Tabahlah," sahut Ronggur. "Sekalipun kita harus kembali ke tempat asal, ke tempat Mula jadi Na Bolon, tapi marilah dengan tabah mendekatinya."

Tio terdiam. Sedang Ronggur setelah dicekam habis-habisan oleh perasaan takut, akhirnya muncul kembali, secara berangsur, kepercayaan akan diri sendiri. Kemurnian cita yang digenggam kembali memberi suluh pada keyakinan. Bilapun Mula Jadi Na Bolon murka, tapi dengan alasan kenapa dia harus mengarungi Sungai Titian Dewata, tentu dapat melembutkan hati Mula Jadi Na Bolon yang pengasih penyayang itu, pikir Ronggur.

"Kalau kita surut, tentu tidak bisa melawan arus yang menggila," kata Tio pula.

"Ya, aku tahu," sahut Ronggur, "kita tidak bisa lagi menempuh jalan sungai."

"Kita terjebak di s ini."

"Tidak terjebak. Tapi, kita telah melaksanakan tugas kehidupan. Marilah tabah menerima upahnya, ganjarannya," bujuk Ronggur.

Tio terdiam. Beberapa saat kembali hening. Ronggur mencampak pandang ke sebelah kiri, mencari tangga yang dibuatnya semalam. Kembali dia teringat pada s i belang, pada perahu, pada peralatan yang masih tinggal di sana. Lalu diputuskan, dia harus menjemput si belang dan peralatan serta perahu itu kembali.

Kalaupun ajal t iba, dia mau menghembuskan napas dengan tenang di perut perahu itu. Perahu itu seperti rumah dan tempatnya terakhir. Dengan perahu itu dia akan mendatangi tempat Mula Jadi Na Bolon. Semua peralatan itu akan menjadi saksi di depan Mula Jadi Na Bolon, tentang tujuan citanya.

Dia mulai menuruni anak tangga yang dibuatnya semalam. Tio memegang ujung tali di atas. Bila perintah datang, melalui

Page 123: PENAKLUK UJUNG DUNIA

goyangan tali yang digoncang Ronggur, Tio mengulurkan tali lebih panjang. Sesampai di bawah, Ronggur mengikat peralatan kecil. Dengan berteriak sekuatnya, sekerasnya, disuruhnya agar Tio menarik.

Tio menarik. Kemudian menjatuhkan tali lagi ke bawah. Ronggur mengikat perahu baik-baik. Mengisi air pada bambu tempat air yang dilobangi ruasnya, tapi ruas sebelah bawah tidak dilobangi. Air bisa tersimpan baik di sana. Kemudian dituntunnya si belang. Kembali dia mendekat ke atas. Meraba-raba. Terkadang harus digendongnya si belang. Si belang seperti tahu marabahaya yang sedang mereka hadapi. Dia menuruti segala petunjuk Ronggur dengan baik.

Setiba dipuncak, bersama dengan Tio, ditarik mereka perahu ke atas. Perlahan-lahan agar tidak terbanting ke tebing bukit batu, yang bisa membuat perahu pecah. Mereka masukkan semua barang bawaan ke perut perahu. Tapi, kampak terus digenggam, sedang di pinggang menyelip panggada. Dia tambah yakin lagi pada diri sendiri. Perjalanan itu tidak boleh surut dan tidak boleh henti. Harus terus maju. Sampai tiba ke tempat yang menentukan.

Diputuskan akan terus mengikuti jaluran batu yang tidak berapa luas itu ke depan. Ronggur di depan. Tio di belakang. Mereka pikul perahu, jalan sempit terkadang, luas terkadang. Keadaan masih tetap sama. Hanya beberapa depa dapat ditembus pandang. Kabut tebal atau awan rendah menyungkup segala dengan putihnya yang padu.

Tambah maju ke depan, suara gemuruh itu bertambah jelas. Dan, alas yang mereka pijak seperti mempunyai getaran kecil. Digoncang sesuatg tenaga yang maha kuat dan dahsyat. Membuat hati kembali tertekan. Namun dengan tabah serta keberanian yang bangkit perlahan-lahan, Ronggur terus memelopori perjalanan rombongan yang kecil itu. Menuju tempat yang menentukan, mimpinya benar atau memang mimpi itu godaan setan jahat. Si belang mengikuti langkah

Page 124: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur, dekat sekali di belakangnya. Si belang tidak berani mendahului ke depan. Tidak menggonggong. Hanya melengking kecil.

Cahaya putih yang lemah itu menjadi tambah lemah lagi. Keadaan sekitar kembali menghitam. Ruang hampa. Kembali mereka mencari tempat istirahat. Air tipis halus itu, sudah terus-terusan menghambur dari asalnya yang tidak tahu di mana.

Ronggur mengosongkan peralatan mereka dari perut perahu. Kemudian, perahu dibalikkan. Disuruhnya Tio dan si belang berondok ke sana, agar tidak terus-menerus diperciki air tipis. Dia sendiri tetap di luar. Tidak hentinya melihat sekitar, walau yang dapat ditembus pandang hanya beberapa depa saja.

Dingin mencekam. Ronggur tidak tahu, Tio menggigil juga dalam sungkupan perahu, kedinginan. Wajah dan bibirnya menjadi pucat. Tapi, Tio tidak mau mengatakan. Tidak ada sumber panas yang bisa menyamankan sedikit.

Kembali warna putih yang lemah itu mendatang dari segala arah. Tapi, begitu lemah. Kembali mereka melanjutkan perjalanan, mengikuti jaluran setapak itu. Keadaan cuaca masih tetap seperti semula. Terkadang jaluran itu mendaki, tapi terkadang menurun, untuk mendatar lagi. Jalanan bergelombang. Terkadang melurus, tapi tidak jarang memenggok ke kiri dan ke kanan.

Mereka mengikutinya dengan tabah. Tapi, harus lebih hati-hati, jalanan bertambah licin. Air tipis tambah tetap berhamburan dari sumbernya. Suara gemuruh di depan yang membosankan itu, tetap mengguruh. Si belang tidak berani lagi berjalan sendiri. Dia harus dimasukkan ke perut perahu, didukung. Beban bertambah berat. Di saat tubuh mulai melesu. Di saat kepercayaan terakhir mulai merenggang dari tubuh Tio.

Page 125: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Sambil mengisak, Tio meminta, agar mereka menghentikan perjalanan. Dia mendudukkan diri begitu saja. Tempat itu agak luas sedikit. Sehingga mereka bisa agak leluasa sedikit bergerak. Namun harus tetap hati-hati. Karena basah, licin.

"Ada apa Tio?" tanya Ronggur sambil mendekat. Tio menundukkan kepala. Mengisak terus. Wajahnya memucat. Bibirnya gemetar. Dingin. Sambil duduk di depan Tio, Ronggur mencari dagunya. Diangkatnya perlahan dengan telapak tangan yang menggetar juga karena basah. Ditatapnya wajah, bibir, dan mata Tio yang memucat sayu

"Kau capek Tio?" Belum ada sahutan.

"Katakanlah."

"Katakanlah."

Tapi, begitu bening dan terasa agung. Ronggur tidak dapat memancarkan sinar merah lagi di matanya.

"Marilah menanti hari esok di s ini, bila hari esok masih ada. Marilah menanti apa saja di sini, apa saja," Tio lalu menundukkan kepala. Melepaskan dagunya dari telapak tangan Ronggur. Air berhamburan terus, membasahi tubuh mereka. Tio mulai menggigil. Si belang juga. Terus membulatkan tubuh dalam perahu, tidak berani turun.

"Katakanlah, apa yang harus kita kerjakan lagi Tio," kata Ronggur melemah. "Aku telah membawamu ke tempat yang hampa ini. Apakah kita harus pulang ke kampung halaman, yang telah melemparkan aku, yang tidak menerima aku lagi menjadi warganya? Nasib telah tertentu di sana, nasib yang malang menanti diri. Katakanlah Tio, aku akan mengikutinya.”

"Marilah berhenti di sini," sahut Tio akhirnya. "Kupikir t idak ada lagi gunanya kita meneruskan perjalanan ini. Marilah pasrah di s ini. Berserah dengan hati bulat ke tangan Mula Jadi Na Bolon. Bawalah daku padanya sebagai sembahanmu, agar

Page 126: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Mula Jadi Na Bolon tidak marah padamu." Suaranya begitu lemah.

Tio menjatuhkan diri ke ujung kaki Ronggur. Sambil mengisak dia mengatakan, "Janganlah kembali ke sana. Walau apa yang telah kita temui. Marilah berpasrah diri di depan Mula Jadi Na Bolon. Barangkali, ya barangkali, aku yang membawa kenahasan ini padamu. Maafkanlah aku, Ronggur."

Perlahan, kembali Ronggur mengangkat dagu Tio. Mendudukkannya. Ditatapnya lama biji mata yang sayu itu. Jari jemarinya meraba pergelangan Tio. Lalu dengan hentakan kasar, direnggutkannya gelang yang dipakai Tio, pertanda dia seorang budak belian. Gelang itu dicampakkan Ronggur sekuat tenaga. Jauh-jauh. Tio sudah merdeka kembali. Berhadapan dengan kenyataan ini hatinya jadi bersorak gembira. Air mata yang menggenangi pelupuk matanya tidak bersumber dari kepiluan dan ketakutan lagi. Tapi, bermula dari perasaan gembira.

"Kau merdekakan aku, Ronggur? Sungguh?"

"Ya, seperti kau lihat. Tidak ada sembahan kubawa ke hadapan Mula jadi Na Bolon, selain diri sendiri."

Tio terdiam. Lalu dilanjutkan Ronggur, "Kalaupun kita mati, mati bersama, sebagai orang yang sama hak, sama-sama orang merdeka."

Arwah nenek moyang Tio akan menerima arwahnya di tempat yang baik. Matinya, mati seorang manusia yang merdeka, terhormat. Dia tambah mendekatkan bibirnya ke bibir Ronggur. Sesuatu benda hangat tapi lembut menyentuh bibirnya, melengket di sana beberapa saat. Lupa kepahitan, lupa siksaan, lupa hal yang menghadang di depan. Terayun dan dibuai sebuah lagu yang selama ini terpendam di dasarnya. Sekarang berlomba bermunculan, membuai mereka berdua.

Page 127: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Ronggur," kata Tio dengan tegas, "marilah melanjutkan perjalanan. Kita tidak boleh pulang. Kita harus maju. Sampai tahu kepastian yang akan kita temui."

Ronggur tersenyum. Lalu, "Kita harus istirahat dulu di sini. Sudah terlalu kelam untuk melanjutkan perjalanan. Lagi pula kita telah menemui yang kita cari di sini. Boleh jadi, di sini akhirnya."

"Tidak, tidak ada akhir," kata Tio tegas, "semuanya, permulaan yang tidak punya akhir. Hanya permulaan."

Ronggur tersenyum. Tio tersenyum. Telapak tangan Tio masih terus mengelus rambut Ronggur yang basah, dari mulutnya keluar kata, "Aku cinta padamu . . .."

"Tio," bisik Ronggur, "maukah kau, bila kita mati, aku akan mengatakan pada Mula Jadi Na Bolon bahwa arwahmu bukanlah sembahanku. Tapi, istriku. Istri yang paling setia. Yang tabah bersama suami mengarungi kehidupan, karena ada cita tergenggam di tangan dan di hati. Berani mengarungi segala kemungkinan, karena mau turut mempertaruhkan keyakinan suaminya."

Tio menangkap leher Ronggur, lalu menciumi bibir Ronggur lagi dengan bertubi-tubi.

"Marilah bersujud ke hadapan Mula Jadi Na Bolon. Memohon ampun atas keangkuhanku, yang telah membawamu ke tempat ini. Ke tempat para dewata bersemayam." Tio memperbaiki duduknya. Ronggur memimpin doa:

Mula Jadi Na Bolon

Asal mula dari segala kehidupan

Padanya kembali karena dia yang punya

Terimalah kedatangan kami

Hambamu

Page 128: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Karena keangkuhan yang berbenah dalam diri

Kami telah tiba di s ini Melanggar peraturanmu!

Ronggur menggenggam tangan Tio, lalu dilanjutkan:

Karena darimu mula cinta

Napasmu sangkala cinta

Satukanlah aku dan Tio

Suami isteri yang dihidupi api cinta

Tebarkanlah api cinta

Tiuplah api cinta

Membakar dada kami

Dari saat ke saat tanpa akhir!

Kembali mereka berdua berdekapan, seperti tidak mau dipisah lagi, baik ruang, baik waktu. Dan, air tipis itu, terus-terusan berhamburan. Sekitar menjadi kelam kembali. Bersama mereka menyuruk ke perut perahu yang dibalikkan.

Karena cinta telah punya laut dan pelabuhan, batas ruang dan waktu tidak berarti lagi. Si belang keluar dari sungkupan perahu. Berjaga di luar perahu.

ccdw-kzaa

6 Ronggur terbangun. Menggigil kedinginan, walau dia dan

Tio berpelukan di bawah telungkupan perahu. Perlahan

Page 129: PENAKLUK UJUNG DUNIA

diungkapnya pinggir perahu, lalu dijulurkannya kepala melalui celah, yang sudah ditopang oleh batu yang diganjalkan.

Dia telah mengenal kabut pegunungan dan danau sejak kecil. Tapi, kabut yang begini rupa tebalnya dan lamanya belum pernah ditemui sebelum itu. Atau, awan rendah belum pernah melingkupi tanah serendah itu. Langit seperti di atas kepala saja dan dapat dijangkau tangan. Tapi, bila tangan digapaikan ke atas, yang ada hanyalah kehampaan yang tidak bertepi.

Perlahan melepaskan pelukan Tio. Waktu itulah Tio bangun. Bermalas-malas. Kembali tangannya dilingkarkan di leher Ronggur, lalu seperti! anak kecil, dia menciumi pundak Ronggur. Dari mulutnya perlahan berbisik, "Kenapa kau buru-buru bangun? Apalagi yang mengejarmu? Bukankah sudah semua kita lalui dan sekarang kita hanya tinggal menantikan yang akan terjadi, permulaan dari segalanya?"

Ucapan manja bercampur kekanakan, membangkitkan iba Ronggur. Tapi, dengan tegas dia menyahut, "Semalam atau ya saat lalu, kita sudah berpendapat bahwa kita tidak akan melihat dan mengecap saat lain lagi. Kita sudah beranggapan bahwa tidak ada lagi hari, tapi sampai kini masih hidup dan mengenal hari."

"Apa sudah pagi?" tanya Tio.

"Aku tidak tahu. Tapi, katakanlah dulu sudah pagi. Hingga waktu lewat, hari lalu, dan waktu kini, hari yang kita nantikan kemaren. Hari yang kita harapkan membawa perobahan pada nasib yang mendatangi diri. Atau, perobahan pada yang hendak kita temui. Lihatlah sekitar. Masih disungkup kabut atau awan rendah yang masih tebal. Cahaya putih yang lemah sudah ada lagi, hanya masih begitu lemah. Masih seperti saat lalu."

"Wajahmu capek kelihatan," kata Tio.

Page 130: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Tidak mengapa. Dibaliknya terkandung kegembiraan dan harapan selalu."

"Kita masih mengharapkan?"

"Selalu. Harapan, satu-satunya api yang dapat membakar semangat hidup. Tapi, janganlah pergunakan harapan untuk harapan saja. Harapan harus dapat melahirkan sesuatu yang berwujud dalam kenyataan kerja."

"Cakapmu tidak dapat kuartikan," kata Tio. Tapi, Tio tersenyum. Merapatkan kepalanya ke pundak Ronggur.

Mereka mencuci muka dengan melapkan tangan saja karena wajah mereka tetap basah. Dengan mengulurkan lidah, beberapa titik air dapat ditelan sebagai sarapan pagi.

Ronggur berusaha menatap sekitar, namun pandangnya masih tetap disungkup diputihan. Perlahan dirasakannya angin bangkit. Di arah darimana bermula angin itu. Tio terus merapatkan tubuhnya ke tubuh Ronggur, karena dia tetap kedinginan yang tambah lama tambah bermaksud membekukan diri. Panas tubuh mereka berdua yang merapat, bisa sebagai bedeng, bisa menimbulkan panas.

"Lihat," kata Ronggur kemudian, "apa kau pikir itu?"

"Apa maksudmu?" tanya Tio.

"Lihat. Tidak kau lihat? Lihat ke bawah sana. Lurus ke depan."

Tampak oleh mereka berdua sebuah benda putih yang kecil tapi bundar, putih dan lebih putih dari semua, bergerak dengan lamban seperti bermalas-malas. Namun tetap naik atau berusaha naik ke atas, mengatasi segalanya. Begitu putih hingga memijarkan sinar, tapi sinar lemah. Sinar yang dipancarkannya sedang mengadakan perlawanan atau berusaha menghancurkan kabut putih atau awan rendah itu. Untuk menyingkirkannya. Agar bisa dapat dilihat mata apa sebenarnya yang ada di sana, seperti itulah gayanya. Deru

Page 131: PENAKLUK UJUNG DUNIA

yang terus menderu di depan memberi gendang layaknya. Tidak mati-mati. Biar sesaat pun. Kuping benda bundar putih tidak memperdulikannya.

Benda putih bundar itu merangkak perlahan, mendaki ke ketinggian. Mata mereka terus mengikuti gerak malas dari benda putih yang bundar itu. Hati mereka menjadi tambah menduga. Mereka belum pernah melihat tamasya alam begitu rupa. Sesuatu benda putih yang bundar mengadakan perlawanan terhadap sesuatu yang melingkupi segala dengan warna putih, tapi tidak berwujud. Bundarnya, hampir menyerupai bundar matahari yang mereka kenal, sewaktu ditutupi awan di langit. Tapi, mereka tahu, matahari tetap berada di atas.

Mereka tidak pernah memikirkan bahwa pada satu saat dan tempat yang berobah, rnatahari bisa dilihat seperti berada di bawah. Namun mata mereka terus mengikuti gerak lamban dan malas dari benda putih yang semakin tinggi itu. Mulut mereka ternganga. Bila butiran air tambah menebal melengket di wajah, di rambut hingga menyusahkan mata untuk menatap, sekali hapus saja akan hilang tapi cepat melengket di sana butir air yang lain. Mulanya tipis. Lama kelamaan menjadi tebal. Dan, bila sudah menebal, dihapus dengan telapak tangan.

Tidak disadari mereka, entah berapa lama mereka tenggelam dalam keadaan begitu. Tidak disadari mereka, kenapa pandang mereka terpaut mengikuti gerak perlahan yang menanjak itu. Mereka belum dapat menduga, warta yang akan timbul darinya. Mereka memang tidak tahu lagi, apalagi yang harus mereka hadapi. Hati berdenyut juga walau sudah punya tekad, bersedia menerima segala tiba.

Detak hati yang menandakan diri anak manusia biasa. Dari tubuh Ronggur sendiri, segala perasaan mencurah keluar, mengikuti perjalanan benda bundar yang lemah itu. Dalam saat begitu rupa, dia memerlukan kelembutan yang bermula

Page 132: PENAKLUK UJUNG DUNIA

dari tubuh Tio. Dia tambah mengeratkan pelukannya ke pinggang Tio. Kalau mati, marilah mati berpelukan, kata hatinya ke diri sendiri. Dia tidak mau mengatakannya pada Tio, takut kalau Tio menjadi takut, dan merasa ngeri. Tio mendekatkan pipinya ke pipi Ronggur. Mata mereka terus mengikuti gerak perlahan yang terus menanjak di depan bermalas-malas, dengan tidak mau tahu pada mereka berdua yang mengikuti geraknya terus menerus.

Perlahan sekali sehingga tidak terasa, sungkupan awan rendah bercampur kabut tambah menipis juga dari sekitar. Perobahan yang tidak tersadari. Mulut jurang sungai tambah berbentuk. Begitu pula mulut jurang di sebelah kanan. Si belang turut duduk dekat mereka, tidak bergerak. Melihat ke arah yang mereka tatap. Lidahnya dijulurkan. Seperti menanti sesuatu yang menentukan akan tiba.

Tebing jurang tambah menghitam, namun dasarnya belum tampak atau memang tidak punya dasar. Apakah benda putih itu akan menyuluh jurang yang tidak berdasar? Pandang sudah bisa mereka campakkan barang sepuluh depa ke depan, ke samping dan ke sekitar. Tambah jauh jarak yang dapat ditangkap pandang.

Bila cuaca bertambah terang, si belang mulai sering melangkah ke depan dan ke belakang, seperti melemaskan otot. Tapi, cepat Tio memanggil kembali, takut kalau si belang terjerumus ke mulut jurang yang belum tampak dasarnya.

Benda bundar yang putih itu bertambah tinggi juga. Bertambah garang cahaya yang memancar darinya. Mereka ikuti terus dengan tabah. Jarak yang dapat ditangkap pandang bertambah jauh dan luas. Jauh ke belakang dapat dilihat Ronggur, di sana tebing tidak berapa curam. Bisa dituruni, bila hendak turun ke lembah di seberang kanan. Tapi, dasarnya belum tampak sama sekali. Tapi, suatu harapan telah menggeliat dalam hatinya. Tebing yang tidak berapa curam itu

Page 133: PENAKLUK UJUNG DUNIA

menurut perhitungannya, bisa dituruni secara perlahan. Tidak berapa sulit malah.

"Ronggur," pekik Tio meninggi sambil mempererat pelukannya ke pinggang Ronggur, " itu matahari! Itu matahari! Mula hidup! Itu matahari!"

Cepat Ronggur berpaling. Terbelalak mata mereka melihat sinar yang tambah terang. Sungkupan kabut dan awan rendah tambah menipis dan terangkat.

"Dan, - dan —" dengan gugup, gugup sekali, karena tidak menduga walau itu yang dicari dan diharapkan, karena dengan itu mereka telah dibebaskan dari kungkungan yang mencekam dan mengancam. Karena dengan itu, mereka telah menemui, jauh di bawah, melalui tingkatan pundak bukit, terhempang kehijauan yang sangat luas. Kehijauan yang maha lebat lagi datar.

Dapat ditangkap dengan pandang sekarang, itu dedaunan dari pucuk pepohonan yang tinggi. Pucuk dedaunan itu seperti berombak ditiup angin lalu, angin pagi. Angin pegunungan. Sejauh mata memandang, yang dapat dilihat kehijauan yang merata, lebat berimbun.

"Ronggur, itulah tanahmu. Ronggur, itulah tanah habungkasanmu. Ronggur, itulah yang ditunjukkan mimpi dan perkataan gaib dalam mimpimu. Dia telah membawamu ke tanah habungkasan yang maha luas."

Ronggur gugup. Tidak dapat menyahut dengan segera. Matanya menitikkan air bening. Semangatnya kembali hidup secara perlahan. Api dalam dirinya kembali menyala atau bara yang untuk beberapa saat tertimbun oleh debu, sekarang debu itu telah menyisih sehingga merahnya bara kembali rrienjilamkan panas menyala, membuat suhu tubuhnya menjadi naik. Dapat dirasakan Tio. Lalu dia mengatakan perlahan:

Page 134: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Tio, tidak tanah itu saja yang ditunjukkan mimpi padaku. Tidak tanah habungkasan itu saja."

"Apa lagi?" tanya Tio terbodoh.

Lama Ronggur menumpa pandang ke biji matanya, lalu, "Juga kau. Kau, sayang!"

Pandang lama bertemu, lalu Ronggur melingkarkan tangannya ke tubuh Tio dengan ketat, yang sekarang, sudah bisa pula melemas.

"Tio, marilah mengucapkan sukur pada Mula Jadi Na Bolon, yang telah mengirim matahari untuk kita, yang membuat kita dapat melihat tanah habungkasan yang dijanjikannya dan membuat aku dapat dengan jelas melihat wajahmu, menanamkan pandang ke dasar bening matamu."

Mereka bersujud ke arah matahari. Perlahan, Ronggur menegakkan Tio dari sujudnya. Setelah memberi kecupan pada bibirnya, dia mengatakan pula, "Itu bukan tanahku, Istriku. Tapi, juga tanahmu. Tanah kita berdua. Tanah anak kita. Tanah keturunan kita, yang pasti banyak dan akan terus berkembang. Tapi, juga tanah orang lain, yang mau bungkas ke sana."

Beberapa saat keduanya terdiam. Tapi, kata Ronggur kemudian, "Perjalanan kita masih jauh. Kita harus menyelidiki keadaan tanah di sana. Apakah baik dijadikan tanah persawahan. Apakah hutannya banyak menyimpan binatang buruan. Tapi, sebelum itu, sebelum kita memulai perjalanan ke sana, izinkanlah aku mengatakan sesuatu kata yang telah lama terpendam di hati, "aku cinta padamu Tio."

Tio menggigit bibir. Matanya menitikkan air bening. Sambil tersedu karena terharu, dia menelungkupkan kepala ke dada Ronggur yang bidang. Ronggur membiarkannya begitu beberapa saat. Tidak mengganggu. Tangannya terus menerus mengelus rambut Tio yang panjang lagi lembut dan lemas, tapi basah.

Page 135: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Kita akan terus mengikuti aliran sungai menuju tanah landai," kata Ronggur kemudian, "lihat terus ke sebelah timur sana, sesuatu garis putih yang membelah kehijauan, ialah terusan Sungai Titian Dewata."

Tio mengikuti arah yang dimaksudkan Ronggur. Melalui dinding batu yang tidak berapa curam, mereka dapat melihat gundukan perbukitan di sebelah kanan.

"Itulah jalan yang baik ditempuh," kata Ronggur.

Lalu dia mengikat pinggangnya dengan tali. Dia turun sendirian ke gundukan tanah pertama. Membuat anak tangga. Jalan ke gundukan pertama, agak curam. Tapi, dari sana, dia ketahui, menurun ke gundukan kedua, lebih landai. Begitu seterusnya, sampai tiba ke tanah datar di bawah. Kembali dia memanjat. Lalu menyuruh Tio turun, sedang ia memegang ujung tali, ujung yang lain diikatkan ke pinggang Tio. Kemudian diturunkannya satu-satu peralatan, Tio menerima di bawah, sampai akhirnya perahu sendiri. Kemudian dia sendiri turun sambil menuntun si belang.

Mereka sudah sama berada di gundukan pertama, yang mempunyai tanah, tapi masih begitu tipis, tanah melapisi batu. Untuk pertama kali kembali mereka lengkap bersama alatnya, termasuk si belang, memijak tanah, setelah beberapa hari terendam di air, kemudian terdampar ke batu padas, dibasahi titikan air yang terus menghujani mereka. Serpihan air t ipis yang menghujani itu tidak sampai lagi ke sana. Sudah bisa mereka berjemur di sana, mengeringkan tubuh dan memanaskan tubuh. Si belang menggoncangkan tubuh, mengibaskan ekor biar cepat kering. Mereka tentukan untuk bermalam di sana. Hari sudah sore.

Rumput kering, dijalin begitu rupa, hingga agak besar. Lalu dibakar menghidupkan api. Betapa nikmatnya panas jilam api, setelah beberapa lama tidak merasainya.

Page 136: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Malam itu keinginan Ronggur untuk meniup seruling memuncak. Lagu yang mesra ditiupnya perlahan. Gemuruh air dibalik bedeng terus kedengaran, sekarang seperti melengkapi irama seruling yang ditiup Ronggur. Tidak menakutkan dan mengancam lagi. Malah seperti menjadi pertanda. Agar seseorang yang menyusuri sungai jangan meneruskan penyusuran lagi, tapi agar memulai menempuh jalan darat. Kemudian Tio mengiringi t iupan seruling itu dengan nyanyi:

Bila bulan di awan purnama

Di tepi danau aku menanti

Wajahmu menghias tanda masa

Mengajak daku ke dunia mimpi

Ronggur berhenti meniup seruling, dia melanjutkan nyanyian itu:

Pohon aren di belah dua

Tempat berayun monyet berdua

Janji telah memadu

Pinang sebelah dibagi dua

Lalu berdua mereka melanjutkan:

Terbang engkau elang

Hinggap di kayu rindang

Ke mana engkau sayang

Page 137: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Kasihku tetap mendendang

Kemudian hanya T io melanjutkan sedang Ronggur kembali meniup seruling:

Kalaulah benar warta impian

Ditimang beta dengan sayang

Sinar purnama empuk menayang

Haribaanmu lagu impian

Tio meletakkan kepala ke pangkuan Ronggur. Memejamkan mata dengan manja. Api unggun yang kecil itu terus menari dan menari. Si belang duduk menjauh, memaling pandang. Malam terus melanjut.

Pagi terbit lagi. Pemandangan seperti pagi kemaren. Bola putih itu pada mulanya lemah sinarnya dan berada seperti di bawah mereka. Kemudian secara berangsur perlahan, keadaan sekitar bertambah terang.

Sehabis sarapan pagi mereka melanjutkan perjalanan. Seperti taktik kemaren juga. Begitulah secara perlahan dan hati-hati, akhirnya sampai juga mereka ke tanah landai di bawah. Di atas kepala, memayung dedaunan hijau, sedang kemaren dedaunan itu masih berada di bawah mereka, perobahan tempat mengadakan perbedaan.

Sinar matahari hanya dari celah dedaunan saja sampai ke tanah. Tanah cukup lembab dan basah. Dilapisi dedaunan yang gugur sudah membusuk. Membentuk lapisan tanah yang lembut dan berair. Kaki mereka terbenam sampai ke lutut terkadang. Membuat mereka agak susah bergerak. Tapi, di

Page 138: PENAKLUK UJUNG DUNIA

sana bisa mereka tarik perahu bersama peralatan lain, tanpa takut dasar perahu bolong.

Mereka meneruskan perjalanan yang agak melingkar, karena suara gemuruh bertambah hebat dan terasa menggoncangkan. Berpedoman pada ingatan pemandangan kemaren sore di mana terusan sungai berada, agar kembali tiba ke sungai. Si belang berlari ke sana ke mari dan menggonggong. Kekayuan yang tinggi dan besar batangnya seperti t iang abadi yang bergaya mendukung langit, agar tidak runtuh lalu menimpa bumi serta penghuninya. Getaran bumi tambah terasa. Tergoncang.

Di satu tempat di arah depan, sinar matahari lebih leluasa tiba ke tanah. Ke sana mereka menuju, walau suara gemuruh tambah jelas dan memekakkan telinga. Dan, betapa ternganga mulut mereka melihat benda itu. Sesuatu benda putih mengapas putih melambung ke atas. Kemudian jatuh ke bawah bergulung-gulung, itulah air terjun yang tidak hentinya menerjunkan diri. Membuat dedaunan sekitarnya bergoyangan, membentuk telaga yang agak luas pada tempat jatuhnya, tapi airnya berputar dengan cepat. Di sana-sini terbentuk curup di lingkungan yang gelisah itu yang bisa menenggelamkan apa saja yang jatuh ke tengah curup itu.

Tio merapatkan tubuhnya pada Ronggur. Tapi, mata terus ditancapkan pada benda jatuh itu. Kala di bawah arusnya melingkar dan membikin kepala pusing bila lama-lama menatapnya, la mengalir dengan besarnya ke arah timur. Itulah kelanjutan sungai.

Mereka menyisih cepat dari sana. Merasa takut kalau batu yang membentuk jaluran kejatuhan air itu akan runtuh lalu menimpa mereka. Jalanan terus menurun.

Seperti menuruni pundak perbukitan, tapi sudah ditumbuhi kekayuan yang tua. Di sana-sini dedaunan gugur membentuk lapisan tanah yang lembut.

Page 139: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Di arah depan kembali kedengaran suara gemuruh, tapi tidak sekuat yang tadi lagi. Arus sungai kembali menggila, membuat mereka tidak langsung berkayuh melalui sungai. Tapi, tetap mengikut pinggiran sungai. Kembali mereka temui air terjun, jarak jatuhnya lebih pendek dan lebih landai dari yang pertama. Sehingga busa air tidak terlalu hebat sewaktu jatuh.

Dengan memilih jalan agak melingkar mereka menurun terus ke bawah. Sampai akhirnya berada di tempat jatuhnya air kedua. Mereka menatap ke atas, benda putih mengkabut bermula dari air jatuh pertama. Terus mereka menghilir mengikuti tepian sungai. Sampai akhirnya arus sungai tidak beriam lagi. Menurut perhitungan Ronggur sudah dapat memulai pelajaran dari sana. Tapi, karena hari sudah agak sore, mereka memutuskan untuk bermalam di sana.

Si belang melompat ke depan. Masuk semak. Biarpun Tio memanggilnya. Beberapa saat kemudian, si belang keluar dari semak mengejar seekor kijang, la meloncat ke depan. Dan, tercengang melihat Tio dan Ronggur. Ronggur tidak melewatkan kesempatan baik itu. Dengan tombaknya cepat dia membunuh kijang yang tercengang itu. Kijang terguling ke tanah, ujung tombak tertancap di dadanya.

Sambil menguliti, Ronggur mengatakan, "Kalau begitu, di sini banyak binatang buruan. Kita tidak menguatirkan mati kelaparan. Lagi masih begitu jinak binatang itu. Tidak punya prasangka pada manusia yang memburunya "

"Lihat," kata Tio pula. "Itu pohon aren. Umbinya bisa kita jadikan bahan makanan. Pengganti beras. Bila beras habis."

Tambah tahulah mereka tanah yang mereka temui itu, mempunyai tumbuhan yang bersamaan dengan tumbuhan yang ada di bidang tanah yang mereka tinggalkan. Binatangnya juga begitu. Mereka tebang beberapa pohon aren. Mereka ambil umbinya. Lalu mereka jemur, dan tumbuk

Page 140: PENAKLUK UJUNG DUNIA

lalu direndam lagi kemudian ditapis untuk mengambil tepungnya. Untuk beberapa hari mereka tinggal di situ.

Walaupun sudah menghilir arus sungai masih kencang. Sungai terus menerus membelah hutan belantara. Terkadang sungai seperti ditutupi dedaunan hijau yang merimbun di atasnya. Sehingga sinar matahari tidak sampai ke permukaan sungai.

Dan, mereka harus lebih hati-hati menjaga kemudi. Tidak bisa berdiri dengan leluasa. Dedahanan terlalu rendah terkadang. Beberapa buah batu jangkar masih dijatuhkan, menjaga keseimbangan kelajuan perahu. Tio lebih banyak memperhatikan sekitar, karena dia belum perlu mengkayuh. Tapi, biarpun begitu perasaan Ronggur begitu pasti bahwa mereka akan tiba ke tanah yang lebih landai dan lebih baik.

Dengan melampaui riak air yang terkadang menghempas ke batu yang muncul di sana-sini, melalui riam yang liar di tikungan sungai yang patah. Tapi, sekitar mereka sekarang berwarna hijau dan tanah mengambangkan bau kesuburan. Dari celah renggangan dedaunan, sinar matahari terus memberi suluh abadi. Bila cahaya itu melemah, tahulah mereka, hari sudah mengarah sore. Cepat mereka meminggirkan perahu. Memilih dahan kayu yang baik untuk tempat bermalam. Mereka tidak menguatirkan kehabisan bahan bakar. Di sana-sini berletakan ranting kering, bergeletakan dahan kering yang patah dari batangnya. Untuk digantikan dahan lain mendukung dedaunan yang lebih hijau, segar lagi lebat.

Kemana saja mata diarahkan, tetap tertumpu pada pohon yang besar lagi tinggi, seperti raksasa dalam dongeng, menjelma kepada penglihatan, ibarat penopang langit agar tidak jatuh ke atas tanah. Ronggur dapat merasakan bahwa batang kayu yang besar itu dapat digunakan selanjutnya untuk kepentingan kehidupan.

Page 141: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Perjalanan diteruskan menuju ke timur, menghilir sungai. Perasaan dalam dada masing-masing, seperti berlomba keluar untuk disuarakan, meneriakkan kegembiraan. Untuk mencari bentuk kata, kata yang paling sesuai diucapkan dengan yang dirasakan dalam hati, yang ditiupkan musik alam ke dalam diri atau untuk menyiutkan nada musik yang memadat dalam rongga dada. Arus sungai tambah perlahan. Beberapa buah batu jangkar sudah diangkat ke atas. Tapi, masih ada juga dijatuhkan.

Ronggur selalu menghirup udara dalam-dalam. Ingin dia menghirup habis segala kebebasan yang diberikan alam padanya, namun dia tidak sanggup menghabiskannya. Bila mereka menemui gua alam di tepi sungai, dan bila mereka bermalam di sana dan biasanya lebih lama daripada bila mereka tidur di dahan, Ronggur meniup seruling dan Tio bernyanyi. Sedang si belang berlari kian kemari, menggonggong dan menyalak, memelopori sebuah perburuan bila fajar pagi tiba.

ccdw-kzaa

7 Bertambah hari, mereka menghilir sungai. Arus sungai

tambah perlahan. Batu jangkar sudah diangkat. Luas sungai tambah lebar. Tapi, mereka belum perlu mengayuh. Arus masih dapat menghanyutkan perahu walau dengan perlahan.

Ronggur selalu mengukur dalamnya sungai dengan tali yang di ujungnya diikat batu sebagai pemberat. Di depannya tali yang terbenam, itulah dalam sungai. Bila mereka bosan dengan sungai, mereka mendarat ke tepian.

Sering Ronggur memanjat kayu yang tinggi, menatap dari arah mana mereka datang dan menduga hendak ke mana mereka dibawa sungai yang diikuti itu. Pundak pegunungan

Page 142: PENAKLUK UJUNG DUNIA

bertambah jauh di belakang sudah membiru. Melalui pengenalan akan pundak pegunungan, Ronggur dapat menduga bahwa di balik pegunungan yang semakin menjauh itu, di situlah kampung halamannya.

Bila mereka hendak pulang ke sana melalui jalan darat, mereka harus menaklukkan pundak bukit itu, atau menembus celah pegunungan yang terdapat pada pertemuan bukit yang memanjang. Lalu menatap ke arah hilir sungai, hutan lebat hijau di mana-mana menampung penglihatan.

Selalu dibuatnya tanda pada pohon kayu yang dipanjatnya. Di garis batangnya melingkar. Sedang pada tepi sungai, ditanamnya batu besar dan disambungkannya pada salah satu bagiannya.

Pancing yang diumpankan Tio selalu mengena. Pancing tidak perlu berlama diumpankan. Dalam waktu singkat ikan sudah ada yang menyambar. Ikan yang cukup besar. Bila dipanggang bara api bisa padam. Karena lemaknya.

Terkadang sampai berhari-hari mereka mengadakan pemburuan, bila bosan dengan ikan sungai. Binatang buruan begitu banyak dan jinak. Si belang sudah mulai gemuk. Bulunya tebal berlinang. Tapi, satu hal makin mereka rasakan, udara bertambah panas. Walau mereka berada di naungan pepohonan rindang, udara panas itu tetap mengganggu, membuat Ronggur tidak kerasan memakai sehelai kain atau kulit binatang di bagian dadanya. Dibiarkannya dada telanjang.

Setiap hari tepian sungai bertambah luas. Pepohonan tidak lagi di tepian sungai seperti di hulu. Sudah agak menjauh. Tanah luas yang berlumpur semakin lebar mengikuti jalur sungai. Arus sungai tambah perlahan. Membuat mereka harus mengayuh terkadang.

Dan, tanah berlumpur yang mengiring jaluran sungai, tambah luas. Ronggur selalu menelitinya dengan seksama.

Page 143: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Digenggamnya tanah itu. Diperhatikan lunaknya. Terkadang diciumnya dengan hidung, apakah bau lumpurnya sama dengan bau lumpur yang ada di kampung halaman. Tapi, dari lumut lumpur dia tahu bahwa tanah yang mereka temui itu lebih lemak dan subur dari tanah di kampung halaman.

Sedang di hutan yang semakin menjauh dari tepian sungai itu, mereka temui pohon yang berbuah. Buahnya lain dari buah mangga yang mereka kenal di kampung halaman. Lebih enak dan lezat. Membuat mereka terkadang seharian hanya memakan buahan saja.

Hanya udara yang bertambah panas itu saja yang membuat mereka agak merasa tidak senang. Udara seperti itu tidak pernah mereka temui di sekitar kampung halaman, walaupun matahari cukup terik. Ini tidak. Walau terkadang matahari dilindungi awan, panas itu masih tetap terasa. Membuat tubuh mereka selalu berkeringat, tapi cepat kering disapu angin lalu. Tubuh seperti berminyak jadinya. Lengket dan tidak mengenakkan perasaan. Membuat mereka sering terjun ke dalam sungai, berenang, dan menyelam, agar keringat melengket itu bisa menghilang untuk datang dan untuk dihilangkan lagi.

Alangkah terkejutnya mereka, pada suatu hari, sewaktu Ronggur berenang mengikuti perahu yang menghilir, sekelompok binatang yang sedang berendam di tanah lumpur, bergerak, lalu mengejar. Cepat Tio mengatakan, "Ronggur, awas. Cepatlah ke perahu."

Ronggur berenang sekuat tenaga. Binatang itu memburu. Perahu agak oleng sewaktu Ronggur menaikinya dari satu sisi. Lalu terus mengayuh. Binatang itu terus mengejar. Jalan satu-satunya untuk mempertahankan diri, Ronggur menyuruh Tio terus mengayuh, sedang dia, dengan mempergunakan kampak, tombak, memukuli set iap ada binatang datang mendekat ke perahu, mencucuknya. Panggada juga turut digunakan.

Page 144: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Satu dua ada yang mati di antara binatang itu. Terapung. Binatang itu belum pernah mereka lihat. Begitu pandai berenang. Mulutnya menganga lebar hendak menelan saja. Ekornya bergerigi dan begitu keras tampak. Walaupun belum pernah mengenalnya namun naluri mereka dapat memastikan bahwa binatang itu binatang air yang membahayakan.

Binatang yang mati dan dihanyutkan arus mereka tangkap. Dagingnya kurang enak dimakan. Karena itu daging binatang itu mereka biarkan saja membusuk. Tapi, kulitnya cepat kering dan dapat dilipat, begitu halus. Karena itu kulit binatang itu mereka bawa. Bisa dibuat menjadi kantong tempat menyimpan alat. Bila digantungkan di pinggang kelembutannya selalu mengikutkan gerak-gerik pinggang.

Ronggur tetap memperhatikan dan mempelajari perobahan bentuk tepi sungai. Air sungai tidak sebening di hulu lagi. Sudah mulai keruh dan kotor. Tidak tahu mereka dari mana datangnya air keruh itu. Kenapa air yang tadinya begitu bening, bisa berobah menjadi keruh.

Pepohonan semakin jauh dari tepian sungai. Digantikan gelagah dan daun nipah. Lumpurnya bertambah lembut dan bertambah dalam dasarnya. Bertambah ke hilir bertambah banyak anak sungai bersatu dengan sungai itu.

Bila mereka terus melalui tanah lumpur itu mendekat ke tepian hutan yang semakin jauh, sebelum tiba ke tepi hutan, lebih dulu ada tanah yang hanya ditumbuhi ilalang. Tanah juga lembut. Gembur, bagus untuk ditanami.

"Inilah dia," kata Ronggur. "Inilah tanah yang kita cari. Tanah landai yang sudah lama kumimpikan. Lihat, tepi hutan tidak berapa lebat. Bisa ditebang pohonnya untuk dijadikan persawahan."

"Apakah kita sampai di sini saja?" tanya Tio.

"Tidak," sahut Ronggur. "Kita harus meneruskan perjalanan. Menyusuri sungai. Kita harus tahu, sampai ke

Page 145: PENAKLUK UJUNG DUNIA

mana sungai ini. di mana muaranya. Itu sangat penting. Di muara tanah landai akan tambah lebar lagi."

"Biasanya," kata Tio, "sungai yang ada di kampung halaman, yang tidak sebesar sungai ini, bermula dari kaki bukit. Untuk bermuara ke danau. Apakah sungai ini juga akan bermuara ke danau?"

"Danau apa?" tanya Ronggur pula.

"Aku hanya bertanya."

"Kebiasaan memang begitu. Tapi, belum dapat kupastikan mengenai sungai ini,"' jawab Ronggur.

Lalu mereka meneruskan penyusuran. Bertambah ke hilir, di samping arus semakin perlahan, ada semacam getaran mengganggu jalan perahu. Ada kalanya perahu tidak dapat laju biar setapak pun ke depan. Walau mereka mengayuh sekuat tenaga. Ada semacam tenaga menahan.

Dan, di saat itu, permukaan sungai naik. Air menjadi sangat keruh dan asin. Tanah lumpur dan tumbuhannya, gelagah dan daun nipah menjadi tergenang. Terkadang sampai ke pucuk digenangi air. Ronggur memperhatikan ini semua. Lalu dapat memastikan bahwa tanah lumpur yang di tepian sungai benar, tidak baik dijadikan persawahan. Karena sering tergenang. Bisa membuat padi busuk. Harus lebih ke atas lagi, ke tempat yang tidak dapat memastikan, dari mana air itu datang.

Kenapa permukaan sungai menaik. Dan, sungai menjadi menggeliat. Berombak. Membuat mereka takut pada mulanya. Sehingga mereka harus buru-buru mendarat ke tepi. Langsung mencari tanah yang agak tiriggi. Di sana mereka harus menggali tanah membuat sumur. Supaya ada air tawar. Sambil terus memperhatikan perobahan pada permukaan air.

Dan, setelah beberapa lama, air sungai susut lagi. Di saat begitu arus sungai mengencang ke hilir. Sehingga enak berlayar. Tidak perlu mendayung. Arus menghanyutkan

Page 146: PENAKLUK UJUNG DUNIA

perahu. Untuk tiba pula pada keadaan, arus mati. Kemudian datang pula saat permukaan air sungai naik. Perahu tidak bisa dikayuh. Malah hendak disorong ke belakang, kembali ke hulu.

Berhadapan dengan keadaan baru ini, Ronggur bertambah was-was. Saat sungai menaik permukaannya dan saat sungai kembali ke tarap biasa, diperhatikan dan disesuaikan waktunya. Dicocokkan dengan waktu peredaran bulan dan bintang. Kemudian diputuskannya untuk terus melayari sungai. Biar permukaan sungai menaik atau menyusut. Agar tahu dengan pasti, apa sebabnya dan apa akibatnya pada orang yang berlayar di saat begitu.

Mereka terus berlayar. Dan, saat permukaan sungai naik telah tiba. Mereka harus mengayuh dengan sekuat tenaga. Gelombang sungai mulai menggeliat. Tapi, terus mereka lawan. Berkayuh dan berkayuh. Walau tidak ada ditemui kemajuan. Malah mereka seperti disorong ke belakang.

Mereka terus melawan. Arus sungai menyongsong dengan kuat. Perahu seperti dihanyutkan kembali ke hulu. Walau mereka sudah berkayuh dengan sekuat tenaga. Tapi, mereka berdua terus berkayuh melawan air yang menyongsong itu. Walau malam sudah bertambah jauh, mereka terus di dalam perahu dan terus mengayuh.

Menjelang subuh, terasalah permukaan sungai kembali menyusut. Sehingga perahu mereka begitu lajunya dihanyutkan kembali ke hilir. Di saat begitu, mereka dapat melepas lelah. Sambil T io berkata, "Apa lagi yang akan terjadi, dan apa lagi yang akan ditemui pada perobahan sungai?"

"Justru, itu yang perlu kita ketahui," jawab Ronggur.

Karena begitu capek, mereka tertidur. Kantuk telah membawa mereka ke alam tidur, di mana keadaan sekitar dan kejadian dapat dilupakan. Perahu terus dihanyutkan arus sungai.

Page 147: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Sinar matahari sudah kembali menampari wajah alam dan wajah mereka sendiri yang tertidur di perut perahu. Si belang berada di haluan perahu, mencerminkan mukanya ke permukaan air. Lalu menggonggong panjang, melihat keluasan yang terhampar di depannya. Di sekitarnya.

Karena silau dan karena gonggong si belang, mereka terbangun. Pada penciuman terasa keluasan dan kebebasan udara. Tidak terkungkung sedikit pun. Alangkah terbelalaknya mata Ronggur sewaktu di hadapannya, di sekitarnya, air yang maha luas mengitari mereka, perahunya terapung dan mengangguk-angguk dipermainkan riak. Pada sisi kanan, kiri dan di hadapan, air itu bertemu dengan kaki langit demi kaki langit. Di bagian punggung, jauh sudah, tepian, atau daratan yang hijau. Buru-buru Ronggur menyuruh Tio duduk, lalu:

"Lihat, lihat Tio. Kita menemui danau. Tapi, danau yang maha luas. Airnya, alangkah asin. Tidak bisa diminum."

Tio memilin mata. Membelalakkan pandang. Sinar matahari mencurah ruah. Kemudian dipantulkan air ke atas kembali. Sehingga lebih silau.

"Danau, tapi danau yang sangat luas," akhirnya Tio mengatakan dengan kagum. "Danau apa ini?"

"Aku tidak tahu."

"Marilah ke tepi. Kita tidak tahu ke mana berakhir air yang maha luas ini," ajak Tio.

Cepat mereka mengayuh ke tepian. Tepian memutih ditimpa sinar matahari penuh. Agak jauh kedalam bermula jajaran pohon kurus panjang dan hanya di bagian puncaknya ada daun kelapa. Nyiur. Berjajar memagar pantai.

Cepat Ronggur dan Tio mengayuh. Benda ditepian yang menerima sinar matahari seperti menyala itu, pasir putih. Beda dengan pasir pantai danau yang mereka kenal di kampung halaman. Mereka mendaratkan perahu jauh ke

Page 148: PENAKLUK UJUNG DUNIA

darat. Menambatkannya pada pokok kelapa. Tambah siang ombak tambah membesar. Ronggur memanjat kelapa lalu memetik buahnya yang masih muda.

Mereka minum air kelapa muda. Diseling Tio, "Di sini kelapa tidak akan habis. Sekuat kita memakainya, putiknya akan cepat mendatang lagi dan berlipat ganda banyaknya."

Sambil menatap keluasan air. Yang bergelung-gelung ombaknya dan memecah di pantai, dengan lagunya sendiri. Berdesir angin yang melewati atau membuat daun nyiur melambai. Burung putih berterbangan ke sana ke mari, menari dengan gaya yang bagus dan begitu jinak. Tidak punya prasangka pada Ronggur dan Tio. Sehingga sambil bermalas-malas, Ronggur dapat melemparnya. Beberapa ekor kena dan jatuh ke tanah. Si belang menjemputnya. Dengan moncongnya si belang menggigit dan membawa ke tempat mereka berdua duduk.

Pada tanah lumpur sekitar muara sungai, bertambah rimbun pohon gelagah dan daun nipah, diselang seling pohon bakau. Walaupun daun nipah sudah kering, namun tetap kuat dan tampak berminyak. Dengan daun nipah itulah, mereka buat atap sebuah dangau. Tiangnya agak tinggi dibuat dari pohon bakau yang panjang dan lurus lagi kuat. jendelanya jauh lebih besar dari jendela rumah yang ada di kampung halaman. Karena udara panas.

Sekarang mereka sudah punya rumah kembali. Sekarang mereka sudah punya danau yang sangat luas malah. Walaupun airnya asin, namun sangat banyak mengandung ikan. Ikan yang besar. Mereka lalu kenal juga binatang laut yang ada di tepian yang juga enak dimakan. Sedang pada hutan di sebelah punggung mereka, dan di tanah yang ditumbuhi ilalang sebagai pinggiran hutan, banyak menyimpan binatang buruan. Mulai dari burung, ayam hutan, kijang sampai pada binatang buas yang ditakutkan: Harimau, gajah,

Page 149: PENAKLUK UJUNG DUNIA

beruang, dan di tepian sungai berpaya, binatang air itu, buaya.

Pada hari pertama Ronggur tetap memperhatikan mula dan arah angin. Akhirnya dapat mereka ketahui, pasang air sungai yang membuat permukaan sungai naik dan sungai punya arus ke hulu, tidak menetap saatnya. Tergantung pada hari bulan. Begitu pula saat sungai surut kembali.

Bila air sungai pasang, perahu agak tertahan menuju muara. Tapi, bila air sungai surut perahu dilarikan arus ke tengah danau yang maha luas itu. Waktu siang hari angin dari arah danau luas bertiup ke darat. Waktu itu bila berkayuh menuju tepian dari tengah, sangat baik. Arus ombak menghanyutkan perahu ke tepian. Sedang waktu malam hari, menjelang dini hari, angin daratyang bermula dari hutan di punggung mereka, bertiup ke arah danau luas itu.

Waktu itu sangat baik untuk memulai pelayaran ke tengah danau luas itu. Dan, bila pasang naik tanah lumpur itu tergenang, terkadang sampai sedalam dada. Bila air surut permukaan sungai merendah. Tanah lumpur itu, rawa itu kembali tampak. Tapi, walaupun tanahnya lumpur dan lembut karena selalu tergenang, tidak baik dijadikan persawahan.

Bila mereka hendak membuka sawah percobaan, harus memilih tempat yang agak tinggi dan jauh dari pantai, jauh dari tepi sungai, agak menusuk ke tengah hutan. Mereka harus merambah hutan belukar agak ke pedalaman.

Mereka cari tumpukan tanah yang agak datar di hutan dan ditumbuhi ilalang. Agar lebih mudah mengerjakan sawah percobaan itu. Kemudian dari hulu sungai yang belum asin airnya, dibuka aliran parit. Sehingga ada pengairan ke sawah itu, di samping air hujan. Dekat sawah itu mereka dirikan dangau, tempat istirahat atau bermalam, bila merasa malas pulang ke rumah di tepi pantai.

Page 150: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Persemaian telah digarap. Tanahnya cepat lembut. Setelah beberapa lama tanah yang digarap itu digenangi air yang dialirkan ke sana, tanah itu cepat menghitam, mengambangkan kesuburan. Beberapa bidang lagi tanah telah diolah menjadi sawah percobaan.

Waktu menancapkan cangkul ke dada tanah, tahulah Ronggur dan Tio, tanah itu tidak melapisi batu. Tanah itu begitu gembur. Cepat lunak dan cepat menjadi lumpur hitam yang lembut, bila telah digenangi air. Tidak tersangkakan, walau itu yang diharapkan, tanah begitu cepat menerima taburan bibit. Kemudian bermunculan di atas tanah batang padi yang gemuk hijau, menjanjikan akan mendukung bulir padi yang bernas. Merunduk ke tanah karena berisi.

Usaha percobaan itu terus diluaskan ke tanah yang lebih tinggi dan agak susah didatangi air parit. Di sana juga tanah dengan cepat menerima taburan bibit. Walau tidak punya air selain air hujan dan yang dikandung tanah. Itulah ladang, huma, sawah kering. Ini semua menanam harapan yang lebih sempurna dalam dada.

Tanah yang mereka temui tanah yang dimimpikan setiap orang di kampung halaman, yang dapat mengurangi pertentangan yang bisa timbul antara kaum semarga, antara marga, antara suku dan antara luhak. Perang yang bisa terjadi di antara mereka, yang mengakibatkan kematian dan kemelaratan, bisa dihilangkan, bila tanah habungkasan ini ditunjukkan pada mereka.

Bila batang padi telah bertumbuhan di sawah, di ladang dengan hijau gemuk, kerja Ronggur dan Tio tinggal mencabuti rerumputan, agar pertumbuhan batang padi tidak terganggu. Pada malam hari, mengadakan penjagaan yang dibantu si belang, agar rombongan babi hutan tidak turun dari hutan merusak sawah dan ladang percobaan itu.

Kemudian batang padi yang hijau gemuk itu, telah dihiasi bulir padi dengan mencuat ke atas tegak lurus. Ditiup angin

Page 151: PENAKLUK UJUNG DUNIA

terkadang, dan bulir yang belum berisi itu bergoyangan perlahan, tangkainya kokoh mendukung. Kemudian bulir itu semakin merunduk ke tanah, merunduk menguning kemudian dipanen. Saat mardege tiba. Lalu hasil panen itu disimpan ke dalam lumbung, yang didirikan tidak jauh dari sawah percobaan itu.

Ronggur dan Tio harus memperbesar dangau kecil itu. Mau dijadikan lumbung padi. Kekayuannya mereka ambil dari hutan sekitar yang begitu dekat. Atap daun nipah yang tidak mudah bocor, yang banyak ditemui di muara sungai. Padi yang menguning, kemudian dipanen. Saat mardege tiba. Lalu hasil panen itu disimpan ke dalam lumbung, yang didirikan tidak jauh dari sawah percobaan itu.

Mereka tahu, hasil panen percobaan itu tidak akan habis mereka makan sampai tiga kali jangka musim panen, bila untuk mereka berdua saja. Lagi pula, musim panen lebih pendek masanya di tanah habungkasan itu dari yang mereka kenal di kampung halaman.

Ronggur dan Tio, sambil melepas lelah dari kerja berat di sawah semusim panen itu, seharian mengadakan perjalanan menyusuri tepi pantai. Setiap tambah jauh mereka berkayuh, setiap itu pula, malah berlipat ganda luas air yang mereka temui. Tidak bertepi dan tidak berujung. Bermula dari keluasan dan berakhir pada keluasan. Membuat perasaan lebih kagum lagi atas ciptaan alam yang hebat dan sempurna itu.

Ciptaan Mula Jadi Na Bolon, dan hati tambah berterima kasih atas tuntunan Mula Jadi Na Bolon, hingga mereka bisa tiba ke sana. Dan, Ronggur tahu, bila luas danau begitu rupa dihadiahkan pada orang di kampungnya, mereka tidak perlu lagi mengadakan pancang sebagai batas di danau, sebagai pertanda bahwa pancang itu perbatasan antara satu marga dengan marga lain tepi danau mana yang boleh di tempati suatu marga menangkap ikan. Juga pelanggaran perbatasan

Page 152: PENAKLUK UJUNG DUNIA

di danau di kampung halaman, sering menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, yang bisa menimbulkan sesuatu peperangan.

Di danau yang maha luas itu, set iap orang dari set iap marga mana saja pun, boleh pergi ke mana suka. Menangkap ikan sekuat tenaga. Modal yang pokok hanya satu, kemauan bekerja. Sekitar yang bermula dari keluasan itu dan berakhir pada keluasan itu, menjanjikan kebahagiaan pada setiap orang, melanjutkan hidup berkeluarga dan keturunan.

Rangsang lain mulai mempengaruhi pikiran Ronggur. Janji harus ditepati, katanya selalu. Janji yang selalu mengingatkan kampung halaman, yang mempertajam perasaannya akan bahaya yang mengancam kerukunan hidup di kampung halaman. Rindu pada ibu, pada bekas Datu-Bolon yang sudah tua itu, keinginan untuk melepaskan mereka dari berbagai rupa ancaman.

Dia harus mewartakan berita penemuannya itu ke tengah keluarganya, ke tengah marganya yang sudah mencoret namanya dari silsilah marga, karena itu janji. Pada pendengarannya, tambah sering mendengung suara bekas Datu Bolon yang sudah tua itu, "Anakku, bapak yakin, kalian akan menemui tanah habungkasan. Walau begitu pahitnya penerimaan orang di sekitarmu atas cita-citamu, janganlah kau berkecil hati. Seorang manusia yang ditunjuk dewata menemui kebenaran, harus dengan tabah pula menyampaikan warta kebenaran itu pada orang yang ada di sekitarnya. Agar manusia itu dapat pula mencicipi nikmatnya. Walau pada mulanya mereka menentangnya, dan menganggap diri yang dikurnia dewata seorang gila. Mereka t idak perlu dihancurkan, tapi perlu diinsafkan agar mereka tahu, lalu dapat merasakan kenikmatan yang terkandung dalam kebenaran itu. Untuk kelanjutan hidupnya, kelanjutan keluarganya, hingga akhirnya turut merasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh kebenaran itu. Karena itu anakku, bila kau menemui tanah

Page 153: PENAKLUK UJUNG DUNIA

habungkasan di rantau, kau harus kembali kemari membawa berita ria itu. Berjanjilah anakku, janji seorang lelaki. Karena janji yang dibuat lelaki, janji yang akan tetap ditepati."

"Aku berjanji, Bapak."

"Terima kasih, Anakku," kata orang tua itu, lalu melanjutkan, "Anakku, sesuatu penemuan yang bisa membuat orang gembira dan berbahagia, bila keserakahan diri atau dendam yang bersarang dalam dada, memaksa dan membuat orang yang menemui itu tidak mewartakan-nya pada orang lain, yang memerlukannya, sehingga orang lain tidak dapat menikmati arti dan nilai penemuan itu akan berkurang, malah beralih pada penemuan itu akan mengutuki diri. Karena itu, agar kerjamu tidak sia-sia, janji yang kau buat sebagai lelaki, penuhilah pula sebagai lelaki yang berhati jantan."

"Aku bapak," katanya. Lantas selanjutnya dia mengatakan, "Doakanlah aku bapak, agar anakmu ini dilindungi Mula Jadi Na Bolon."

"Doa dan restuku akan selalu mengiringi perjalananmu."

Dengungan percakapan itu tambah nyata dan jelas. Memaksanya harus kembali ke kampung halaman, mewartakan penemuan itu. Harus kembali mengarungi sungai ke hulu, melawan arus. tapi, telah dapat diduganya, untuk terus melawan arus, sangat susah.

Karena itu, dia sudah membayangkan bahwa mereka akan menembus jalan darat. Dari pengenalan akan pundak bukit, dan usaha menaklukkannya, dari pengenalan akan celah pertemuan bukit dan usaha untuk menembusnya, dia sudah dapat menggambarkan suasana perjalanan itu dalam kepala. Perjalanan yang tentunya memayahkan, tapi perjalanan untuk memenuhi janji yang dibuhul sebagai lelaki bersikap jantan.

Ronggur telah menentukan kapan mereka memulai perjalanan pulang itu. Tio diam saja mendengarkan sambil menundukkan kepala. Berhadapan dengan kebisuan Tio, yang

Page 154: PENAKLUK UJUNG DUNIA

tidak menyahut itu, Ronggur lalu berkata, "Apakah kau tidak ingin mewartakan berita ini pada sanak keluarga? Pada setiap orang, yang selalu diancam bahaya di kampung halaman? Agar mereka dapat bebas dari ancaman yang selalu menakut-nakuti mereka itu?"

"Bukan itu alasannya. Bukan itu," sahut Tio.

Wajah Tio agak pucat waktu tengadah padanya. Darah Ronggur tersirap dibuatnya.

"Tio, wajahmu pucat. Seperti orang sakit. Kau sakit?"

"Tidak. Tidak sakit."

"Kenapa wajahmu sepucat itu? Apa yang terjadi?" Wajah Tio seperti menanggungkan sesuatu. Bibirnya gemetaran. Tio merasakan sesuatu menggeliat dalam perutnya. Tambah lama tambah sering dan menimbulkan perasaan nyeri. Sesuatu tekanan mendesak hendak melalui kerongkongan, berupa rintihan dan jeritan. Tapi, ditahan. Namun, sesuatu rintihan lepas juga dari celah bibir yang dikatupkan, digigit oleh gigi sendiri. Tapi, masih tetap berusaha tersenyum, bila pandangnya bertemu dengan pandang Ronggur.

Akhirnya Ronggur tahu, sesuatu akan terjadi. Barulah sadar arti perobahan bentuk tubuh istrinya, yang akhir-akhir ini begitu nyata dan jelas. Sambil tersenyum dan duduk dekat Tio, Ronggur mengatakan, "Kita memang masih belum bisa memulai perjalanan pulang. Kita harus menanti di sini. Biarlah perjalanan pulang ditangguhkan untuk beberapa lama."

Cepat Ronggur pergi memetik daun ampapaga, yang banyak tumbuh di pematang sawah di antara rerumputan. Daun ampapaga itu di dikeringkan di panas matahari. Bila sudah kering, direbus, airnya sangat baik buat minuman seorang ibu yang hendak dan baru melahirkan. Dan, dingin-dingin ditelempapkan ke perut Tio dan kening. Dijerangkan terus menerus air panas dalam periuk tanah. Dan, dia tidak mau lagi pergi jauh-jauh dari dekat Tio, walau Tio selalu

Page 155: PENAKLUK UJUNG DUNIA

mengatakan, "Aku tidak apa-apa. Tidak usah repot. Pergilah berburu, atau menangkap ikan."

Ronggur pura-pura tidak mendengarkan. Disunggingkan senyum sebagai sahutan. Dalam kepala terbayang seorang anak lelaki yang sehat. Lelaki yang kelak sanggup mengolah tanah yang bidang menjadi persawahan. Lelaki yang dapat memelopori orang menjelajah hutan belantara yang abadi itu. Hendaknya kehijauan daun padi dapat mengimbangi hijaunya daun pepohonan, agar orang tidak takut kelaparan, juga diharapkan agar anaknya seorang lelaki yang sanggup meniti gelombang yang besar di danau luas itu. Mencapai daerah baru.

Saat kelahiran semakin dekat, dan perasaan nyeri tambah memaksa Tio merintih, sering juga membuat Ronggur harus mengatakan dalam kebingungan, "Apa yang harus kuperbuat? ke mana harus kucari dukun?"

Dari sela rintihannya, Tio menyahut, "jangan repot. Semuanya akan menjadi beres, berjalan dengan baik." Balik Tio yang menasihati dan menenteramkan hati Ronggur.

Setelah melengkingkan sebuah pekikan yang panjang lagi nyaring, Tio lalu memelas, dan segumpal daging telah ditayang Ronggur dengan hati-hati. Dipotongnya jabang bayi dengan bambu yang ditajamkan pada kedua sisinya. Bayi dimandikan. Tio diberinya minum air ampapaga. Kening Tio yang berkeringat, dilap Ronggur dengan sayang. Anak lelaki meneriakkan suaranya pertama, seperti warta pada dunia bahwa dia telah lahir. Tak lama kemudian, Tio sudah dapat senyum. Menoleh ke bayi yang baru dilahirkannya, seorang lelaki, cukup umur, cukup merah. Begitu sehat. Tangisnya pertama menantang gemuruh ombak yang memecah di pantai. Atau, ombak itu menggamitnya, agar memulai perjalanan, meniti ombak demi ombak yang begitu besar.

Hari berikutnya, anak kecil itu sudah digendong Ronggur sambil dinyanyikannya. Tidak jarang, Tio harus senyum pada

Page 156: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur dalam saat begitu bahagia. Kekerabatan dan keakraban berumah tangga tambah terjalin. Tio sudah menjadi seorang ibu, Ronggur sudah menjadi seorang ayah, ibu dan ayah dari anak lelaki yang sehat. Bergaya seorang yang akan cukup kuat dan punya ketahanan serta keberanian.

Bertambah hari, dan bertambah usia si anak, Ronggur sudah menggendong si anak ke tepi pantai bersama Tio. Ronggur selalu mengatakan, "Tataplah dengan mata kanakmu, luasnya danau yang ada di depanmu, yang menanti dayungmu berkayuh di permukaannya, meniti ombak demi ombak yang bergulung-gulung memecah di pantai, mencapai pantai lain. Tio, katanya, anak kita akan menjadi seorang pengarung danau yang maha luas ini kelak."

Bila telah dua kali purnama timbul dan tenggelam, maka Ronggur pun kembali mengatakan, "Tio, sudah waktunya kita memulai perjalanan kembali ke kampung halaman. Memberitakan dan mewartakan, akan penemuan-tanah habungkasan, dan danau yang maha luas ini."

Tio tidak membantah. Dia akan tetap mendampingi Ronggur, ke mana saja pun. Bermulalah perjalanan itu. Mulanya menyusuri sungai ke hulu . . ..

ccdw-kzaa

8 Setelah menyediakan segala sesuatu yang perlu dalam

perjalanan, mereka pun memulai perjalanan pulang. Tiga pundi padi yang bernas dibawa serta, akan mereka tunjukkan sebagai bukti pada orang di kampung halaman. Bahwa padi yang mereka bawa sepundi dulu sudah menjadi tiga pundi. Sedang yang ditinggalkan di tanah habungkasan masih banyak benar. T idak habis dimakan sekeluarga dalam jangka tiga kali panen.

Page 157: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Beberapa potong kulit binatang buruan yang halus hulunya dan sudah dikeringkan dibawa serta. Mereka berusaha, agar yang dibawa, seringan mungkin dan yang perlu saja dalam perjalanan. Tio, selalu menggendong anaknya di punggung.

Mulanya mereka menyusuri sungai ke hulu. Sampai tiba ke lempat arus mulai menderas dan susah dikayuh. Baru mereka mulai menempuh jalan darat. Memenggal-meng-gal hutan belantara, yang dilingkungi hamparan dedaunan hijau lebat, permadani alam yang tebal lagi abadi. Jadi, perjalanan pulang itu pun, sendirinya pula usaha merintis jalan darat, yang kelak dapat digunakan jalan pulang pergi antara kampung halaman dan tanah habungkasan, dan lebih aman daripada menyusuri Sungai Titian Dewata.

Mereka sering berhenti di satu tempat sampai dua tiga hari, mempelajari pintasan jalan yang lebih mudah ditempuh. Begitu pula mengadakan tanda tertentu pada sesuatu pohon, yang dipanjat Ronggur untuk menentukan arah tempuh. Mempelajari jalur lembah dangkal yang banyak dalam hutan, dan memilih tanjakan yang tidak menaik untuk didaki.

Tambah jauh mereka menyusup ke pedalaman hutan, bukit dan lembah tambah banyak mereka temui. Lembahnya tambah dalam dan perbukitannya tambah tinggi. Tanah di lembah dipelajari Ronggur baik-baik. Melalui pengenalannya akan tanah, tahulah dia, tanah itu sangat baik dijadikan perladangan atau persawahan, bila kekayuan hutan sudah ditebang. Sedang pundak perbukitan yang juga ditumbuhi kekayuan tua, bukanlah bukit batu seperti bukit tandus di kampung halaman. Tapi, bukit tanah yang gembur, hitam mengandung kesuburan. Tidak tanah tipis melapisi batu alam.

Tidak jarang pula mereka temui parit kecil yang bermula dari sesuatu dinding bukit yang bercelah. Airnya begitu bening dan dingin. Sejuk. Pada sesuatu mata air begitu, Ronggur selalu mengadakan tanda.

Page 158: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Dalam merintis jalan itu, Ronggur selalu berusaha agar mereka dapat tiba kembali ke tempat air terjun itu. Tapi, di tengah hutan tidak jarang mereka bertemu dengan kumpulan binatang buruan yang enak dagingnya. Dan, tidak jarang pula mereka harus mempertahankan diri dari serangan binatang buas: harimau, beruang, dan kelompok gajah. Penciuman si belang banyak membantu keselamatan rombongan kecil itu. Bila si belang meringis dan mengarahkan penciumannya ke satu arah terus-terusan, cepat mereka mengalih langkah. Menyisih dari tempat sesuatu binatang buas, sarang binatang. Tapi, tidak jarang Ronggur dengan dibantu si belang, harus mengadakan perlawanan mempertahankan diri, kalau kepergok. Dalam saat begitu, Tio memeluk anaknya, sambil berjaga.

Mereka terus menyuruk di bawah hamparan dedaunan hijau yang abadi itu. Terus berusaha mengarahkan langkah ke tempat air terjun itu. Dari sana baru mereka tentukan, pundak bukit yang memanjang sebagai pagar dan batas tanah dataran tinggi kampung halaman dengan tanah habungkasan, yang harus ditaklukkan. Atau, celah bukit mana yang harus diterobos menuju kampung halaman. Dedahanan kekayuan yang berjalinan mendukung dedaunan lebat, menghambat sinar matahari menimpa tanah. Sehingga terasa, jangka siang hari, agak pendek di bawah naungan yang tebal itu.

Anak mereka yang sudah mendekat ketiga purnama usianya, dan sudah dapat melempar senyum di saat dia merasa senang, tidak dapat melempar senyum, sebaik dia turut mendengar suara air terjun yang mengguruh.

Tapi, bila lama-lama mereka berada di sana dan tidak ada sesuatu yang menyakiti tubuhnya, dia tersenyum kembali. Sedang Ronggur mengarahkan tatapan si anak ke air terjun yang memutih kapas itu.

Apa yang ditakutkan Ronggur pada mulanya masih tetap tidak terjadi. Batu jaluran yang ditembus air sungai yang

Page 159: PENAKLUK UJUNG DUNIA

terjun, masih tetap kokoh pada tempatnya. Tidak terjadi reruntuhan. Tapi, gemuruhnya tetap menderu. Dan, benda putih diambangkan ke atas terus menerus. Bila lama kelamaan ditatapi jatuhnya air itu dan kuping biasa kembali mendengar suara mengguruh itu, yang menyerupai aum harimau, mereka namakan air terjun itu, Sampuran Harimau.

"Tio," kata Ronggur, setelah beberapa lama mereka terpukau di tempatnya tegak.

Tio memaling wajah pada Ronggur tanpa sahutan.

"Kita istirahat di sini untuk beberapa hari. Melepas lelah. Dari sini kita akan mulai mendaki kaki pegunungan, menaklukkan pundak demi pundak bukit, dan berusaha menerobos celah bukit. Jalan memotong ke kampung halaman. Perjalanan begitu tentu berat. Karena itu, perlu kita istirahat untuk beberapa hari. Agar tenaga kita pulih kembali."

"Harus di sini kita istirahat?" tanya Tio.

"Ya, agar mudah kita memperoleh air. Lagi pula dinding bukit sebelah sana, terdiri dari batu alam yang tidak keras. Mudah digali. Untuk dijadikan lobang perlindungan. Aku akan memburu binatang buruan, agar cukup daging untuk dimakan nanti dalam perjalanan. Di pundak bukit gundul itu, payah ditemui binatang buruan."

Mereka menggali lobang perlindungan yang agak luas. Agar memberi ruang yang lapang bagi mereka. Ronggur dan Tio bekerja sama menggalinya. Anak mereka ditidurkan di tanah beralaskan kulit binatang buruan yang lembut. Di sampingnya duduk si belang seperti menjaga. Ekornya dikibaskan, agar tidak ada serangga hinggap ke wajah anak yang sedang tidur nyenyak itu. Menjelang senja Ronggur dan Tio berhenti menggali lobang. Mata mereka patok menatapi permainan warna pelangi aneka rupa berpadu dengan air yang memutih kapas. Sambil menggendong anaknya, Ronggur mengatakan, "Lihat, lihat Tio. Betapa indah. Tari warna yang sempurna.

Page 160: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Begitu indah kalau hujan tidak turun atau kalau kabut tidak menyungkup."

Tio mengikuti telunjuk jari Ronggur.

Nanar mereka menatapi tari warna pelangi yang aneka ragam itu, mengagumi lukisan alam yang sempurna. Beberapa ekor burung terbang di udara, menuju hutan belantara luas, mencapai sarang. Sayang sekali, cicitnya tenggelam ditelan gemuruh air terjun yang jatuh, tidak kedengaran.

Pada hari berikutnya, tinggal Tio saja yang meluaskan mulut lobang perlindungan dan memperluas ruang dalam. Ronggur sudah pergi berburu bersama si belang. Bila anaknya haus, meminta ditetekkan, dia duduk berjuntai di mulut gua. Mencampakkan pandang ke sekitar, di bawahnya tanah habungkasan yang mereka temui. Oi sebelah kanan, air terjun, dan mengitari itu semua, kaki bukit memanjang lagi tinggi, bukit gundul.

Sejak lahir anak itu sudah disusukannya dan sudah berapa lama itu berlangsung. Tapi, bila saat menyusukan tiba, dan mulut anak itu sudah mengisap-isap muncung buah dadanya, sesuatu perasaan selalu menggeliat dalam dada, rasa keibuan, sumber kasih sayang abadi bagi seorang anak yang lahir dari rahimnya. Tahulah dia, kenapa ada nyanyian alam terpendam pada dedaunan yang berdesir bila disentuh angin lalu, tahulah dia, kenapa pekikan keras lagi sakit waktu melahirkan sang anak bercampur nikmat. Tidak jarang dalam saat begitu, dia memicingkan mata menikmati kesempurnaan rasa bahagia di saat mulut anaknya mengisap muncung buah dadanya. Sedang mulutnya akan mendendangkan lagu seorang ibu, lagu yang menyuarakan perasaan kasih sayang:

Pejamlah mata sayang seorang

kenapa harus kerisik seperti

Page 161: PENAKLUK UJUNG DUNIA

dedaunan berhalau ditiup angin lalu

dunia terhampar di ujung kakimu

Pejamlah mata anakku seorang

menanti bapak kembali pulang

dari tengah hutan belantara

binatang buruan tersandung dibahu

Pejamlah mata intanku sayang

bila malam jatuh, bulan gemintang

kudekap kau pelukanku hangat

Pejamlah mata buah hati bunda

subuh tiba mula hari baru

berjuta utasan cahaya matahari

menyinari padang kembaramu

Tidak jarang Ronggur pergi berburu seharian. Dia sangat giat mengumpulkan daging binatang buruan. Sesekali dijinjingnya ikan yang dipancingnya. Sedang mulutnya akan cepat mengatakan, "kita harus banyak menyediakan daging. Boleh jadi di pundak pegunungan gundul sana, payah dijumpai binatang buruan."

Mereka potong tipis daging binatang buruan itu. Kemudian mereka panggang di atas bara sampai kering. Sedang di siang hari, Tio menjemurnya di bawah sinar matahari, agar cukup kering dan tahan lama.

Bila Ronggur tidak pergi berburu, dia tambah sering mencampak pandang ke air terjun itu dengan berlama-lama. Begitu tekun. Suatu perasaan merangsang dirinya, terbayang di wajahnya. Dia tidak dapat mengucapkan melalui bentuk kata yang cukup tepat. Tapi, dia telah merasakan. Tio selalu

Page 162: PENAKLUK UJUNG DUNIA

memperhatikannya di saat begitu. Dan, Ronggur merasakan, alangkah susahnya dia untuk mengucapkan yang sedang bergolak di dadanya, yang ditimbulkan air terjun itu. Sekali waktu Tio mengganggunya dari menung menatapi air terjun itu, "Bertambah hari, kulihat abang bertambah tekun melihatnya. Tak bosan."

Sambil mengalih pandang pada Tio yaYig berdiri dekatnya, Ronggur menyahut, "memang benar dugaanmu, Tio."

"Tapi, aku merasa takut digertak suaranya yang terus menerus mengguruh itu. Kalau tidak bersama abang, aku tidak kerasan di s ini."

Lama Ronggur menumpu pandang ke mata Tio. Lama bibirnya bergerak-gerak, namun seucap kata belum melepas dari bibirnya.

"Ada apa Bang?" tanya Tio. Membangunkan Ronggur dari kebisuannya.

"Aku tidak tahu Tio," sahutnya. "Ada sesuatu yang kurasakan. Yang timbul dari air terjun ini. Perasaan itu melumpuhkan segala ketakutanku pada air terjun itu. Malah dibuatnya sesuatu rasa bersyukur."

"Kenapa begitu?"

"Perasaan itu seperti membisikkan padaku bahwa air terjun ini mengandung suatu manfaat. Menjanjikan sesuatu kebahagiaan pada manusia."

"Manfaat apa?" tanya Tio terbodoh.

"Manfaat bagi kehidupan manusia."

Seketika mereka bertatapan tanpa mengucapkan kata. Biji mata Tio begitu bening tapi jelas tampak tidak mengandung pengertian akan apa yang diucapkan Ronggur. Sedang Ronggur kemudian mengalih pandang ke air terjun itu, sambil mengatakan, "kurasakan, justru karena adanya air terjun ini,

Page 163: PENAKLUK UJUNG DUNIA

membuat arus sangat deras. Karena tempat jatuhnya begitu tinggi dan curam, binatang air yang menakutkan dan buas itu tidak bisa datang ke Danau Toba."

"Itu boleh jadi," sahut Tio berusaha mengerti. "Di samping itu, masih ada manfaat lain dikandung air terjun ini."

"Apa lagi?" tanya Tio mendesak. Akhirnya dia sendiri ingin mendengarkan yang dirasakan Ronggur.

"Kurasakan air terjun ini mempunyai suatu tenaga yang sangat besar dan kuat. Selalu perasaanku berkata begitu. Dan, bila tenaga yang terkandung di air terjun ini digunakan manusia untuk kehidupannya, maka hidup manusia akan lebih berbahagia. Orang kelak akan dapat menggunakannya untuk kehidupannya. Sekarang memang yang kita lihat, darinya timbul bencana saja. Coba kalau diri diterjunkan bersama air terjun pasti lumat. Darinya timbul anggapan selama ini, Sungai Titian Dewata jatuh ke ujung dunia. Hingga tak seorang pun selama ini berani menyusurinya untuk mencapai tanah habungkasan. Tapi, nanti, entah kapan, bila orang menggunakan tenaga yang terkandung di air terjun ini, maka tenaga yang disimpan air terjun ini bisa memberi arti yang bernilai bagi -kehidupan manusia."

Tidak dapat Tio membumbui cakap Ronggur. Namun dia tidak membantah seperti kebiasaannya yang tidak mau membantah cakap Ronggur, walau dia tidak dapat mengartikannya.

"Karena itu," kata Ronggur selanjutnya, “jangan lagi takut padanya. Jangan lagi kutuk dia. Tapi, haruslah merasa bersukur karena dia ada. Bersukurlah, karena dia menjanjikan sesuatu kebahagiaan bagi kehidupan manusia di masa datang."

Tio mencampak pandang ke tempat air terjun itu jatuh. Air yang jatuh berputar pada lingkaran berbentuk kolam, arusnya gelisah membentuk suatu pusingan yang cepat, yang bisa

Page 164: PENAKLUK UJUNG DUNIA

menenggelamkan lalu menghancurkan sesuatu yang jatuh ke sana. Tio merasa ngeri melihatnya. Tio takut dibuatnya. Tapi, semua perasaan itu ditekannya habis-habis, agar dia tidak membantah yang dikatakan dan dirasakan Ronggur. Malah dia ingin turut merasakan yang dirasakan Ronggur, tapi perasaannya belum juga merasakannya.

Setelah beberapa hari ist irahat dan tenaga mereka sudah pulih kembali, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Jalanan yang harus ditempuh, langsung mendaki bukit. Sesekali menyusur di tebingnya, mencapai sesuatu celah, lalu menembusnya untuk kemudian terus lagi mendaki sampai pundak bukit ditaklukkan. Perjalanan yang memayahkan.

Perjalanan mereka agak lambat. Dalam sehari, terkadang hanya sepundak atau dua pundak bukit saja yang dapat mereka taklukkan. Ronggur selalu memilih celah bukit tempat bermalam, agar terlindung dari serangan angin yang cukup kuat. Tio menggendong anak mereka. Sedang Ronggur memikul peralatan. Si belang mengikut di belakang, atau terkadang berlari di depan. Menggonggong dan menggunakan penciumannya.

Dengan mengenali pundak bukit mencari celah pertemuan bukit, rombongan kecil itu terus mendaki pundak demi pundak bukit yang berlapis-lapis, menuruni lembah batas perbukitan yang berlapis-lapis itu untuk mendaki lagi. Tidak mengenal lelah, tidak mau henti sebelum matahari tenggelam. Dan, akhirnya lapisan bukit itu dapat ditaklukkan. Lalu lembah dataran tinggi, yang dilingkari lapisan bukit demi bukit melingkar dan memanjang, lembah kampung halaman, telah berada kembali di hadapan pandang. Di tengahnya, tenang, bersama kebiruannya yang damai, danau kesayangan, mengitari Pulau Samosir. Di sekitar tepian danau, bertumpuk rimbunan bambu duri, pertanda perkampungan.

Mereka bertatapan untuk kembali mencampak pandang ke lembah perkampungan yang sudah sekian lama ditinggalkan.

Page 165: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Ronggur mengambil anak mereka dari gendongan Tio. Tangan anak itu dituntunnya menunjuk ke arah perkampungan sambil mulut Ronggur berkata, "Itulah kampung nenek moyangmu, ananda."

Mereka menarik napas lega, terutama Tio. Dan, karena udara kembali dingin, mereka telah memakai kulit binatang buruan yang halus bulunya. Terlebih anak mereka. Diselimuti baik-baik sehingga tidak merasakan udara dingin. Dalam hayalnya Tio telah mengatakan pada diri sendiri bahwa dia akan membawa sisa anggota keluarga marganya ke tanah habungkasan, agar bisa bebas dari nasib jelek yang menimpa marga. Dia membayangkan betapa bahagia keluarga marganya, mengecap nikmat udara kemerdekaan, setelah sekian lama harus menjadi budak orang lain.

Tiba-tiba saja Ronggur memecah kesunyian itu, "Tio, satu perjalanan panjang, menembus Sungai Titian Dewata, mengarungi rimba alam abadi, telah kita laksanakan dengan berhasil. Walaupun dengan susah payah. Tapi, di hadapan kita, menanti tugas baru. Kita harus menaklukkan dan menguasai alam pikiran orang di kampung halaman, yang mempercayai bahwa Sungai Titian Dewata berakhir ke ujung dunia. Bila hasil perjalanan ini kita sampaikan pada mereka, maka sendi kepercayaan mereka berarti digoyang. Pekerjaan begitu tidak akan mudah. Merombak keyakinan seseorang, menggantinya dengan kepercayaan baru tidaklah kerja mudah. Akan jauh lebih payah daripada menaklukkan pundak bukit yang cukup tinggi. Karena itu, kau harus tabah nanti menerima segala sikap yang mengejek dan menantang. Yang mungkin menyakitkan hati, atau membahayakan jiwa. Tapi, ketahuilah Tio, aku cinta padamu. Kaulah seorang perempuan yang telah berani menemani aku menempuh satu perjalanan yang menantang keyakinan orang sekitar yang telah turun temurun menguasai alam pikiran mereka. Kau telah mengorbankan alam pikiranmu sendiiri untuk mengikuti jejakku. Aku berhutang budi padamu dan aku cinta padamu."

Page 166: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Lama Tio terdiam. Kemudian dengan tidak dapat dilawannya, dia telah menyandarkan kepala ke bahu Ronggur. Dia mengisak di sana. Tanpa mengatakan sesuatu. Ronggur mengelus rambutnya dengan sebelah tangan, sedang tangan sebelah lagi, menggendong anaknya.

Perlahan Tio mengangkat kepalanya. Bertatapan dengan Ronggur. Kemudian sama-sama mereka mencampak pandang ke lembah di bawah, lembah perkampungan. Tangan kiri Ronggur menggendong anaknya, tangan kanannya memeluk pinggang Tio. Oi ujung kaki duduk si belang menjulurkan lidah, menatap ke arah yang sama.

"Ronggur," kata Tio, “maukah kau membawa sisa warga margamu ke tanah habungkasan?"

"Tentu, sudah tentu," jawab Ronggur, "mereka anak manusia seperti kita. Mendambakan bahagia dalam hidupnya. Dan di samping itu, mereka jaluran paman anakku. Jaluran famili yang harus kuhormati, apalagi anakku."

Orang di kampung halaman sebenarnya telah lama melupakan mereka berdua. Tidak menjadi bahan percakapan lagi. Kenangan terhadap mereka bertambah tipis lalu menghilang bersama bertukarnya penanggalan hari, tenggelam, dan timbulnya kembali purnama. Orang melupakan mereka dengan ucapan yang tumbuh dari kepercayaan mereka:

"Dikutuk dewata dan para arwah. Matinya, mati terkutuk. Arwahnya akan disumpahi Mula jadi Na Bolon."

Sedang ibu Ronggur, karena terus menerus menanggung rindu dan tidak tahan mendengar ejekan yang diarahkan pada anaknya dan padanya sendiri, karena dia seorang ibu yang melahirkan anak durhaka, tidak berapa lama setelah Ronggur dan Tio berangkat dulu, pulang ke tempat asalnya, ke hadapan Mula Jadi Na Bolon.

Page 167: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Pada mulutnya, ibu tua itu masih mengharapkan anaknya cepat kembali. Tapi, setelah beberapa kali purnama tenggelam dan terbit lagi, dan anaknya tidak pulang juga, membuat kemauan hidup melemah. Lalu, berakhirlah hidupnya.

Orang percaya, arwahnya akan tidak diterima Mula Jadi Na Bolon dengan baik. Di saat mati, dia tidak punya apa-apa. Hingga dia dikebumikan tanpa upacara dan gondang. Para dewata tidak akan datang menjemput arwahnya ke tempat yang baik melalui Sungai Titian Dewata. Karena para dewata tidak diberi tahu atas kematiannya, melalui pukulan gondang yang dipalu dan mengorbankan beberapa ekor babi serta ayam putih.

Tapi, bekas Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan, tidak bosannya, setiap hari mencampakkan pandang ke arah matahari terbit. Meneliti pundak bukit dan celah bukit yang ada di sebelah timur. Dia masih tetap percaya, Ronggur dan Tio akan kembali membawa berita ria. Pertanyaan yang sebenarnya berupa ejekan yang diajukan orang padanya, selalu disahutnya dengan baik.

"Sudah pulangkah Ronggur dari tanah habungkasan? Sudah ditemuinya tanah habungkasan yang dijanjikan setan itu? Kapan pulang, si anak durhaka itu?"

"Dia akan pulang membawa berita ria bahwa tanah habungkasan yang dijanjikan para dewata telah ditemuinya. Ronggur anak yang memperoleh petunjuk secara langsung dari dewata. Dia anak yang berbahagia."

"Apa kau katakan? Para dewata mengganti setan? Patutlah ramalan tenungmu tidak ada yang benar."

"Bukan setan yang menggoda. Tapi, dia telah dilahirkan untuk menyampaikan kehendak dan pesan dewata."

Orang lalu tertawa. Kemudian orang itu melanjutkan, "Bukankah kau yang membuat ayah si Ronggur menemui ajal, karena kau ajak dia menyusuri Sungai Titian Dewata?"

Page 168: PENAKLUK UJUNG DUNIA

“Kami mengalami kegagalan yang mengakibatkan kecelakaan itu. Aku akui, tekadku kurang kokoh waktu itu. Aku meloncat dari biduk membuat keseimbangan biduk hilang. Ayah Ronggur menemui ajal karena kecelakaan itu."

Mendengar sahutan begitu, orang menjadi ramai tertawa lalu pergi sambil berkata, "Orang gila. Si tua gila."

Tapi, lama kelamaan orang tidak mau lagi mengganggu, mencakapinya. Orang membiarkan menatap ke arah matahari terbit set iap pagi. Orang tidak mengacuhkannya lagi. Malah orang sudah sependapat, dia seperti tidak ada lagi. Orang tidak memanggilnya ke pertemuan marga dan ke sidang kerajaan marga.

Berita yang datang dari kampung sekitar, baik mengenai perdamaian, begitu pula mengenai peperangan yang terus-menerus meletus, antara satu marga dengan marga lain, antara satu suku dengan suku lain, dan antara satu lunak dengan luhak lain tidak disampaikan orang padanya.

Malah waktu marganya sendiri harus berperang karena memperebutkan hutan di teluk danau itu, yang berakhir atas kemenangan marganya, waktu itu pun, tenaganya tidak diminta orang membantu marga. Marga yang dikalahkan marganya itu, akhirnya harus membayar upeti pada kerajaan marga. Membuat marga mereka menjadi lebih berkuasa, kuat, dan kaya. Persawahan dan perkampungan tambah banyak mereka kuasai. Orang yang kalah, yang dapat dihancurkan kerajaan marganya, bila tertangkap, dijadikan budak belian. Sedang yang sempat melarikan diri, pergi ke kaki bukit terpencil, ke tanah batu yang sama sekali tidak baik dijadikan persawahan, menjadi orang buruan. Sedang kerajaan marga yang tidak sempat dihancurkan, lalu meminta damai setelah melepaskan haknya atas apa yang diperebutkan, harus pula membayar upeti pada kerajaan marga mereka.

Orang tua itu membiarkan rambutnya panjang. Sehingga sudah sampai di pundak. Memutih uban. Pipinya cekung.

Page 169: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Wajahnya bertambah lancip. Tapi, sinar matanya tetap mengandung sinar kepercayaan. Tidak melesu. Dan, pagi itu sinar mata tambah bening dan bersinar. Dijauhan ada tiga benda kecil dilihatnya bergerak-gerak di kaki bukit sebelah timur. Setiap saat benda yang bergerak itu mendekat atau menurun ke lembah perkampungan mereka.

Matahari bersinar terang. Tidak ada awan di langit. Tanpa disadarinya dia bertempik dan berlari ke tengah kampung, sampai orang pada tercengang. Terlebih karena dia meneriakkan, "Mereka telah kembali. Ronggur telah kembali dari tanah habungkasan. Mereka sedang menuruni kaki gunung sebelah timur."

Orang bertemperasan ke luar rumah lalu terus pergi ke gerbang kampung sebelah timur. Menatap dengan patok ke arah yang dimaksud orang tua itu. Mereka juga memang melihat ketiga titik yang bergerak itu. Belum pernah seorang manusia pergi ke sana. Karena gunung itu gunung angker menurut kepercayaan mereka. Apalagi bila orang menurun dari pundaknya, tempat matahari muncul.

Pagi itu juga kerajaan marga mengadakan sidang. Diputuskan untuk mengirim kurir penunggang kuda, menyelidiki keadaan sebenarnya. Kalau memang itu rombongan Ronggur supaya dibawa pulang.

Sebanyak tiga orang penunggang kuda bergerak. Mereka bawa juga dua ekor lagi kuda, yang tidak punya beban. Hati tiap orang tambah gemuruh. Setiap orang melahirkan anggapan dan duga demi duga. Apa yang akan terjadi. Atau apa yang telah terjadi? Warta apa yang akan datang?

Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, masih mengatakan bahwa itu bukan rombongan Ronggur. Tapi, binatang liar lagi buas. Percakapan menjadi simpang siur. Namun setiap orang lebih menginginkan bersikap menanti, apa yang akan disampaikan penyelidik yang sudah dikirim kerajaan.

Page 170: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Sampai sore orang semua tinggal menanti. Tidak ada yang turun ke sawah. Tidak ada yang turun ke danau. Tiap orang seperti terpacak di tempat masing-masing.

Bila senja telah mulai memerah di langit, mencampakkan sinar yang beraneka warna ke permukaan danau, mereka sudah dapat melihat kepulan debu mengepul ke udara. Penyelidik penunggang kuda sudah pulang. Kuda yang dua ekor lagi sudah ada penunggangnya. Tambah lama, bersama dengan bertambah merahnya warna senja, rombongan itu bertambah dekat. Orang terus saja dapat mengenali bahwa penunggang kuda yang keempat, Ronggur. Di belakangnya Tio menggendong bayi. Sedang dipangkuan Ronggur, si belang menjulurkan lidah.

Suasana tambah tertekan. Setiap orang terdiam. Setiap hati tambah bertanya. Anak yang sudah disangka mati dikutuk dewata, telah kembali ke tengah mereka. Anak yang dikenal kecakapan, ketabahan, keberanian, dan kekuatan serta keuletannya, tapi sayangnya pula anak yang telah dicoret dari silsilah marga karena digoda setan, dan berusaha meruntuhkan kepercayaan mereka yang bisa membuat dewata marah, telah kembali di tengah mereka. Tanpa kurang sesuatu.

Ronggur melompat dari punggung kuda. Setelah menuntun Tio turun dari pundak kuda, lalu terus mendekat ke orang banyak. Dia tidak langsung menuju ke tempat raja yang juga hadir di sana. Tapi, mendekat pada orang tua yang berambut panjang putih itu. Mereka memberi sembah. Lalu dari mulut Ronggur keluar kata:

"Bapak, Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan, yang tidak pernah salah tafsir tenungnya. Dengan bantuan doa Bapak, anakmu ini telah menemukan tanah habungkasan yang sangat luas lagi landai, juga menemui sebuah danau yang tidak bertepi tapi airnya asin. Namun sangat banyak ikan. Dataran yang landai, ditumbuhi pohon kelapa berjajar, seperti pagar

Page 171: PENAKLUK UJUNG DUNIA

tepian danau. Di punggungnya, hutan belantara yang sangat hijau lagi luas, memberi imbangan akan luasnya danau yang ada di depannya. Tanah di sana sangat baik dijadikan persawahan. Bukan tanah tipis menyaputi batu alam. Hutan menyimpan binatang buruan yang jinak. Orang yang pergi ke sana, tidak perlu takut kehabisan makanan. Orang yang pergi ke sana, tidak perlu berkelahi karena setitik air parit. Di sana kedamaian akan tercipta, karena setiap orang rajin bisa membuka tanah persawahan sesuka hatinya. Lagi pula, apa yang kita takutkan bahwa penduduk akan sangat padat sedangkan tanah begitu sempitnya karena penemuan tanah habungkasan ini tidak jadi persoalan lagi. Setiap orang bisa punya anak berpuluh-puluh, namun tidak perlu takut kekurangan tanah. Tanah, alangkah gembur dan subur.”

"Di manakah itu, Anakku?" tanya orang tua itu ber-napsu.

"Di seberang ujung dunia. Sebenarnya bukan ujung dunia, Bapak. Sungai Titian Dewata pada salah satu tempat, memang mempunyai arus yang sangat deras. Karena ada air terjun, air harus menuruni sebuah lembah yang sangat curam. Tapi, itulah pula mula tanah landai, tanah habungkasan. jadi, Sungai Titian Dewata tidak pernah putus. Setelah air terjun, Sungai Titian Dewata terus mengalir, membelah dada hutan belantara yang sangat lebat dan rimbun itu."

"Anakku, berapa keluarga yang dapat di tampung tanah habungkasan yang kau temui itu?"

"Berapa keluarga? Ah, cobalah bapak bayangkan, sejauh mata memandang hanya tanah yang landai yang tampak, tanah yang hijau tidak bertepi. Sampai bertemu dengan kaki langit. Jadi aku tidak dapat mengatakan berapa keluarga. Tapi, semua keturunan si Raja Batak dapat di tampungnya sekaligus dan bersama keturunan yang akan datang tanpa menakutkan bahwa tanah garapan akan habis. Tanah di sana tidak akan habis."

Page 172: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Sambil menitikkan air mata bening karena gembira, orang tua itu lalu mengatakan:

"Anakku, kau telah melaksanakan petunjuk dewata, sehingga lahir dalam melaksanakan petunjuk dewata, sehingga lahir dalam kenyataan. Setiap orang seharusnya mengucapkan terima kasih padamu dan pada Mula Jadi Na Bolon yang telah menciptakan tanah habungkasan itu. Pertempuran yang sering terjadi antara satu marga dengan marga lain atau antara satu luhak dengan luhak lain, yang kemudian menimbulkan luka serta duka yang dalam dan lebih kejam lagi yang menimbulkan kemelaratan dan golongan tertindas, akan tidak perlu berulang. Setiap orang akan memperoleh kebebasannya kembali mengerjakan tanah, bukankah begitu, Anakku?"

"Ya, Bapak."

"Terimalah ucapan terima kasihku padamu, Anakku."

Orang banyak, baik penduduk biasa, pun kerajaan, semuanya terdiam mendengarkan percakapan itu. Tapi, dari mata Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, memancar sinar kebencian dan dendam. Tiba-tiba saja dia berkata, suaranya terus lantang:

"Ronggur, kau telah mengatakan segala dusta. Apakah buktinya bahwa kau telah menemukan tanah habungkasan seperti yang kau dustakan?"

Ronggur mengeluarkan pundi yang tiga itu, yang padinya begitu bernas, lalu, "Waktu aku berangkat dulu dari sini, hanya sepundi kubawa. Sekarang aku bawa tiga pundi padi yang bernas. Sebenarnya hendak kubawa lebih banyak. Tapi, karena perjalanan begitu jauh, lagi pula harus melalui pundak bukit dan celah bukit, aku memutuskan membawa tiga pundi saja sebagai bukti. Tapi, di tanah habungkasan, kutinggalkan padi bagi keperluan orang yang mau pindah ke sana dalam taraf pertama. Menjamin keperluan mereka sebelum saat

Page 173: PENAKLUK UJUNG DUNIA

panen tiba. Saat panen lebih pendek di sana daripada di sini. Padi lebih cepat matang. Lihatlah, betapa bernasnya padi ini."

'Ke mana pergi gelang yang dipakai si Tio pertanda dia budak?. Dan, anak siapa yang digendongnya itu? Anakmu? Kau mengawini atau memilih seorang budak menjadi ibu anakmu?"

Datu Bolon Gelar Guru Marlasak tersenyum mengejek. Wajah Ronggur memerah padam. Dengan suara menghentak, "Tio telah menjadi isteriku, perempuan yang paling setia dan tabah. Kami telah dipersatukan Mula Jadi Na Bolon secara langsung, sewaktu kami tiba ke tempat jatuhnya air Titian Dewata untuk pertama kalinya. Demi menghormati kesetiaan dan ketabahannya, aku jadikan dia istriku. Dialah isteri paling setia. Dia telah kubebaskan. Dia tidak akan pernah menjadi budak lagi."

"Aku tidak mempercayai cakapmu. Tiga pundi soal gampang. Bisa saja kau curi dari lumbung orang. Tapi, kau telah mengatakan bahwa Sungai Titian Dewata tidak jatuh ke ujung dunia, jadi persoalan. Kau telah menghancurkan kepercayaan kami. Kau telah mengawini seorang budak belian yang diharamjadahkan orang merdeka. Kau telah membuat segala pekerjaan keji dan mengatakan kata yang keji. Inilah persoalan yang sangat berat. Pada orang yang melakukannya, dapat dijatuhkan hukuman. Dan, itu semua, kutuduhkan padamu dan aku meminta pertimbangan khalayak dan kerajaan, agar memilih bentuk hukuman yang pantas ditimpakan padamu. Kalau tidak, para dewata akan murka. Dan, mengutuk marga ini. Marga yang kuat perkasa lagi kaya ini, marga yang dikurnia oleh dewata."

Kerajaan yang lengkap cepat saja mengadakan sidang. Dalamm rapat kerajaan, suara Datu Bolon memegang peranan yang penting. Karena persoalan, soal kepercayaan.

“Kita akan dikutuk para dewata dan arwah nenek moyang, bila kita mau mendengar cakap dusta ini. Kita dulu

Page 174: PENAKLUK UJUNG DUNIA

memutuskan, akan menangkap si Ronggur, akan menjadikannya budak belian, bila dia kembali ke kampung halaman ini. Tapi, sekarang tuntutanku tidak sampai di situ. Karena dia telah mendustai kita dan dia telah membebaskan seorang budak marga tanpa persetujuan sidang kerajaan, tuntutanku:

Menangkap dan menghukum si Ronggur bersama budak belian itu. Hukum mati. Ini perlu, agar para dewata yang telah melindungi kita, yang telah membuat kita menang dalam peperangan tidak memurkai kita. Bukankah kita sudah harus bersyukur pada para dewata dan arwah nenek moyang, karena sebaik kita mencoret nama Ronggur dari silsilah marga, dan tak mau mendengarkan cakapnya, telah dua kali marga kita mengalahkan marga lain dalam peperangan? Hingga marga kita menjadi marga yang berkuasa, kuat, kaya, dan dihormati set iap marga? Dan, luhak kita, menjadi daerah taklukan kita?"

Segala saran yang dilancarkan Datu Bolon gelar Guru Marlasak, mempengaruhi keputusan kerajaan. Lalu mengeluarkan perintah, menangkap Ronggur dan Tio. Telah diputuskan pula, besok pagi, akan dipalu canang ke tiap kampung yang dikuasai marga itu, untuk mengumpulkan mereka, lalu sama menyaksikan hukuman mati yang harus dijalani Ronggur bersama Tio, karena mereka telah menghina kepercayaan. Agar pengaruh yang dibiuskan Ronggur tidak mempengaruhi orang untuk seterusnya.

Ronggur dan Tio diikat pada batang pohon mangga yang besar. Bayi diletakkan di depan, mereka, langsung di atas tanah. Dekatnya si belang. Apak kecil itu menangis sejadinya. Tapi, tak seorang pun dibolehkan menyentuhnya.

Mendengar tangis bayi kecil itu, t idak saja perasaan Tio dan Ronggur serasa disayat. Turut si belang menitikkan butir air dari matanya. Tambah lama, suara anak menjadi parau. Si belang mendekatkan moncongnya ke mulut anak itu. Lalu

Page 175: PENAKLUK UJUNG DUNIA

lidahnya dijulurkan si belang. Disapukannya ke bibir anak. Sampai basah. Lalu lidah anak itu menjilat bibirnya. Kemudian lidah anak itu secara langsung disapu lidah si belang. Sehingga air dari lidah si belang berpindah ke lidah anak itu. Tangis anak itu mereda. Si belang meringis kecil, merasa gembira dapat mendiamkan tangis anak itu. Bila matanya dicampakkan ke arah Tio dan Ronggur, si belang memperoleh senyum terima kasih dari tuannya.

Segala alat yang dibawa oleh Ronggur dan Tio ditumpukkan depan mereka, juga ketiga pundi padi itu. Semua akan dibakar. Supaya bekas dari kejadian itu tidak tinggal sedikit pun.

Tidak berapa lama setelah senja berganti malam, Raja Panggonggom bersama pengiringnya, masih datang menemui Ronggur, mengusulkan agar Ronggur mencabut kembali semua yang telah diucapkannya.

Hukuman bisa dientengkan, tak perlu hukum mati, asal dia mau. Tapi, Ronggur harus bersedia menjadi budak, begitu pula Tio dan anaknya. Ronggur menolak sarat itu. Malah dikatakannya:

"Aku tidak dapat membenarkan yang salah, begitu pula sebaliknya. Yang benar harus kukatakan benar. Percayalah padaku, Paduka Raja."

Tapi, Raja Panggonggom tidak mendengarkan. Bila fajar pagi terbit hukuman mati itu akan dilangsungkan.

Cepat saja berita yang dibawa Ronggur dan Tio menjalar ke mana-mana. Sampai ke kaki bukit tempat orang melarat, tempat orang yang tidak berpunya, dan tempat persembunyian orang buruan. Mereka menegakkan kepala mendengar berita itu. Terutama setelah mereka memperoleh penjelasan langsung dari bekas Datu Bolon, setelah saran Ronggur ditolak kerajaan marga mereka.

Page 176: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Bekas Datu Bolon itu mengatakan pada mereka bahwa yang mengetahui jalan ke tanah habungkasan itu hanyalah Ronggur. Bila Ronggur mati dibunuh orang yang tidak dapat mendengarkan penemuannya, maka tanah habungkasan itu akan kembali hilang. Mereka semua akan menjadi orang yang sia-sia turun-temurun. Mereka harus membela Ronggur dan Tio, harus melepaskan mereka dari ancaman maut itu.

Orang melarat dan orang buruan yang tinggal di gua kaki bukit itu akan selalu lari ke mana saja berpencar bila tentara kerajaan marga Ronggur datang menangkap mereka, akhirnya memutuskan:

Daripada mati dibunuh dan diburu di dada tanah batu yang gersang, lebih baik mati menempuh jalan menuju ke tanah habungkasan. Malam itu juga, sepuluh orang lelaki yang kuat tubuhnya, menyelusup ke induk kampung marga Ronggur. Lengkap dengan senjata masing-masing. Dari celah bambu duri, mereka dapat melihat di mana Ronggur dan Tio diikat, dijaga tiga orang pengawal. Unggun api sudah mulai mengecil. Keadaan sunyi. Malam sudah jauh. Tiba-tiba saja si belang menggonggong. Karena mencium bau orang yang datang mendekat. Membuat ketiga pengawal itu terjaga. Setelah mengitari kampung dan meneliti, akhirnya mereka kembali tidur sambil menyepak si belang. Seseorang terus mendekat ke tempat Ronggur, lalu membisikkan, "Ronggur, suruh si belang diam."

Ronggur memberi isarat. Sehingga si belang duduk dekat kakinya dan diam. Dan, sekali sergap saja, ketiga pengawal yang sedang mengantuk itu tidak berdaya lagi. Mati terbunuh. Tali temali yang mengikat Ronggur dan Tio, mereka putuskan. Mereka gendong bayi lalu mereka melarikan diri. Orang yang tidak berpunya dan orang buruan telah menantikan mereka, bersama bekas Datu Bolon di kaki bukit. Setelah mengucapkan terima kasih, Ronggur bertanya, "Apa. yang harus kita perbuat?"

Page 177: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan»berkata, "Berita yang diturunkan para dewata padamu, harus kau sampaikan pada setiap orang. Tanpa memandang dari marga mana mereka, dari golongan mana mereka. Kalau sebagian orang tidak mau merasakan arti yang dikandungnya, tidak dapat menerima kebenarannya, maka orang yang mau mendengarlah yang berhak menerima berkat darinya. Mereka inilah orang yang tidak berpunya, orang buruan ini karena kalah perang, yang mau mendengarkan berita penemuanmu. Merekalah yang berhak menerima berkah darinya. Bawalah mereka ke tanah habungkasan. Sehingga mereka dapat kembali mengecap alam kebebasan. Dan, otot mereka yang kencang itu dapat kembali digunakan mengolah tanah."

"Bapak juga harus ikut," kata Ronggur. "Bila mereka menemui Bapak, Bapak juga hendak mereka tangkap dan bunuh."

"Ya, Bapak akan ikut. Bapak juga walau dengan berjingkat, ingin melihat tanah habungkasan dalam kenyataan, karena aku sudah sering melihatnya dalam mimpiku. Aku ingin melihat apa yang dibisikkan para dewata padaku."

Bergeraklah mereka malam itu juga. Memegang obor. Menyuluh jalan jurang dan lembah dalam. Sedang di induk kampung marga Ronggur, dipalu gong. Membangunkan setiap orang. Mereka sudah tahu, Ronggur dan Tio bersama anaknya dan si belang sudah lari. Sidang kerajaan dengan berangsangan, belum pernah marga kita dihina orang begini rupa. Ayo, tangkap mereka, bunuh setiap orang yang memberi bantuan padanya.

Raja Nabegu memerintahkan Hulubalang yang terkemuka, yang dipercayai beserta laskarnya yang terkenal keberanian dan kekuatannya, mengejar dan menangkap Ronggur dan Tio kembali. Membunuh setiap orang yang memberi bantuan pada Ronggur dan Tio.

Page 178: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Sedang Raja Panggonggom, memerintahkan anak lelakinya yang sulung, anak lelaki Raja Nabegu dan Raja Ni Huta, turut serta dalam rombongan yang harus menangkap Ronggur dan Tio serta membunuh setiap orang yang memberi bantuan padanya.

Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, cepat mengusung bangkai laskar marga yang telah mati ke Sopo Bolon. Di sana disembayangkan, agar arwah laskar yang wafat itu mengutuk perbuatan Ronggur dan Tio. Malah dimintanya, agar mencelakakan Ronggur dan Tio bersama rombongannya. Kepada ketiga anak raja itu, Raja Panggonggom memesankan dan mengingatkan bahwa Ronggur punya cukup akal yang licik. Dia harus diimbangi dengan kelicikan pula. Yang diharapkan dipunyai oleh anaknya, yang kelak menggantikan sebagai Raja Panggonggom bila dia wafat.

Di kala fajar pagi pertama menyingsing, bergeraklah orang yang bertugas memburu rombongan Ronggur. Sedang Ronggur, tetap menyuruh agar mengadakan tanda, jalan mana mereka tempuh. Supaya orang yang memburu dapat mengikuti jejak dan jalan mereka tempuh.

Rombongan terus bergerak. Orang yang memburu juga terus bergerak. Tempik dan sorak, kemarahan dan hasutan, dialamatkan pada rombongan Ronggur. Mereka harus membunuh setiap anggota rombongan Ronggur dan menawan Ronggur hidup-hidup, untuk dihadiahkan pada sidang kerajaan. Untuk sama-sama dibunuh oleh tiap warga marga.

Matahari semakin tinggi. Pundak bukit pertama telah ditaklukkan. Di sana mereka istirahat. Malah bermalam. Pada pagi berikutnya, rombongan yang memburu telah tampak di kaki bukit yang mereka taklukkan. Ronggur menyuruh, agar orang menghidupkan api, mengepulkan asap. Menandakan pada yang memburu bahwa mereka ada di sana. Rombongannya merasa aneh juga terhadap tindakan begitu. Maunya mereka menghilangkan jejak. Ini tidak. Malah

Page 179: PENAKLUK UJUNG DUNIA

memberitahukan pada musuh di mana mereka berada. Tapi, karena Ronggur sungguh-sungguh menyuruh, mereka laksanakan juga dengan sebaik mungkin.

Bila rombongan yang memburu mulai mendaki bukit, mereka pun mulai bergerak. Tanpa menjatuhkan batu untuk menghancurkan yang memburu itu. Bila rombongan yang memburu sudah berada di pundak bukit pertama, rombongan Ronggur sudah kembali mendaki ke pundak bukit kedua. Kedua rombongan dapat bertatapan, tapi dipisah lembah yang dalam.

Matahari kembali melemah. Senja memerah. Kemudian malam. Rombongan Ronggur istirahat. Begitu pula rombongan yang memburu. Tidak ada yang berani melanjutkan perjalanan di malam hari. Takut jatuh ke jurang dalam. Rombongan Ronggur menghidupkan api unggun. Begitu pula rombongan yang memburu. Dendam kesumat pada rombongan yang memburu tambah menghebat, karena merasa dipermainkan. Sedang Ronggur hanya tersenyum saja.

Bila fajar kembali terbit, rombongan yang diburu dan memburu kembali bergerak. Begitu terus menerus. Tapi, Ronggur tetap mengusahakan, agar kedua rombongan selalu dipisah lembah. Juga diusahakan, agar rombongannya tidak berada di dasar lembah, bila musuhnya berada di pundak bukit, hingga musuhnya dapat menjatuhkan batu untuk membunuh mereka. Begitu terus-menerus. Terkadang antara kedua rombongan terjadi saling panggil-memanggil. Sambil hasut menghasut.

Pada hari ketujuh, rombongan Ronggur telah melewati celah pertemuan bukit, yang merupakan pintu ke tanah habungkasan. Dari baliknya, dapat dilihat, di bawah melalui pundak bukit yang menurun tanah habungkasan.

Setiba di balik bukit terus jurang dalam. Lapangan datar hanya beberapa depa saja. Bermula terus jurang. Harus memenggok ke kiri, beberapa jauh harus melalui di satu jalan

Page 180: PENAKLUK UJUNG DUNIA

sempit, yang diapit oleh bukit dan dinantikan mulut jurang menganga. Baru tiba kembali ke jalan yang agak luas, mula jalan menurun yang baik menuju tanah habungkasan. Juga dari sana dapat ditatap air terjun yang memutih. Setiap anggota rombongan Ronggur kagum menatap tanah datar yang luas dan hijau di bawah mereka. Setiap orang ternganga melihat putihnya air terjun yang menerobos bukit sebelah timur. Lalu setiap orang mengucapkan rasa terima kasihnya. Dan, setiap orang yang memakai gelang pertanda budak, disuruh Ronggur membuangnya dan menyampakkannya jauh-jauh. Ke jurang dalam.

Ronggur menyuruh tiap orang berondok ke sisi bukit. Mendaki sedikit ke atas. Tiap orang disuruhnya menyiapkan senjata yang ada di tangan masing-masing. Kemudian orang yang tidak bersenjata, disuruhnya memilih batu alam, yang bisa digulingkan. Sedang dua tiga orang, disuruhnya pergi ke mulut celah bukit. Menantikan rombongan yang memburu. Memberi tanda pada mereka, agar rombongan yang memburu itu mendatangi celah bukit.

Semua orang mengerjakan perintah Ronggur. Setiap orang, baik perempuan. Lengkap senjata terhunus di tangan. Rombongan yang memburu terus saja mengejar dengan semangat meluap. Melewati celah bukit. Dan, mereka telah ada di bawah rombongan Ronggur, pada satu tempat yang tidak menguntungkan. Mereka terjebak sudah. Dengan lantang, Ronggur berteriak, "Letakkan senjatamu. Kalau tidak kamu sekalian akan kami bunuh. Di depanmu jurang dalam. Boleh pilih, menyerah atau mati."

Rombongan yang memburu mengutuk pada diri sendiri. Dengan terpaksa harus membuang senjata yang ada di tangannya. Tapi, di saat begitu, anak Raja Ni Huta, mengambil kesempatan. Cepat berpaling dan melayangkan tombaknya ke arah Ronggur. Ronggur cepat berondok ke balik batu alam. Dan, sebuah tombak balasan melayang ke bawah mengenai

Page 181: PENAKLUK UJUNG DUNIA

anak Raja Ni Huta, yang lalu jatuh ke mulut jurang dengan pekikan meninggi. Sekali lagi Ronggur berteriak, "Pilih antara dua, menyerah atau mati. Kalian semua berada di tempat yang tidak menguntungkan."

Anggota rombongan yang memburu itu, dengan terpaksa mencampakkan semua senjatanya ke mulut jurang. Mereka disuruh Ronggur menghadap ke arah jurang. Lalu kedengaran suaranya meninggi:

"Kau para lelaki yang kuat. Tapi, yang tidak punya kekuatan untuk menerima sesuatu warta kebenaran. Justru karena warta itu bertentangan dengan kepercayaan yang kau anut selama ini. Lihatlah sekarang dengan mala kepalamu sendiri, di depanmu jauh di bawah sana, luasnya tanah hijau yang landai, seperti yang kuceritakan padamu. Dan, di sebelah kananmu itulah air terjun yang kukatakan."

“Lihatlah, apakah Sungai Titian Dewata berakhir ke ujung dunia? Dan, benda memutih dikejauhan yang terus menerobos ke timur, membelah kehijauan hutan belantara itu, kelanjutan Sungai Titian Dewata, merambah jalan ke danau yang maha luas, yang airnya asin, tapi banyak ikannya. Pergunakanlah mata kepalamu. Dengarlah dengan kupingmu sendiri, derum air terjun yang jatuh, warta dari mula kehidupan. Apakah kalian masih belum percaya?”

Orang yang memburu pada terdiam dan tercengang. Sekarang mereka dengan mata kepala sendiri, telah menyaksikan kebenaran cerita Ronggur, di saat mereka terjebak pula. Harus tunduk pada Ronggur. Mulut mereka ternganga.

Hulubalang yang memimpin rombongan itu, berpaling ke arah Ronggur. Setelah menundukkan kepala tanda memberi hormat, dia mengatakan:

"Ronggur, kalau kau sekarang mau membunuh kami, kau telah bisa melakukannya tanpa sesuatu halangan. Dan, itu

Page 182: PENAKLUK UJUNG DUNIA

memang hakmu. Tapi matiku telah merasa senang. Justru karena aku telah melihat kebenaran ceritamu. Aku akan tidak menyangsikan hidup anakku lagi. Tanah luas masih tersedia untuk mereka walaupun aku mati. Tanah habungkasanmu, Ronggur."

Ronggur membiarkan Hulubalang itu terus berkata. Yang melanjut dengan, "Kami telah melihat air terjun yang kau ceritakan. Ujung dunia yang kami sangka selama ini, mula tanah datar yang maha luas. Hijaunya telah kutatap, dan bau kesuburan yang mengambang darinya telah kuhirup. Kami telah mengikuti ajaran yang salah, dan kami tidak punya kelapangan hati mendengar warta kebenaran darimu. Untuk itu kami sewajarnya menerima hukuman. Akulah yang pertama harus kau bunuh. Aku pemimpin rombongan yang mengejarmu ini."

Seketika keadaan hening. Lama Ronggur menatap tawanannya yang hendak menangkap pada mulanya. Yang sebenarnya juga anggota keluarganya. Sesuatu perasaan yang bertentangan tumbuh dalam dada, sebagian ingin menuntut balas, tapi sebagian lagi memberi pertimbangan lain. Dalam keadaan begitulah Ronggur memanggil orang tua, bekas Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan ke dekatnya.

"Bapak," katanya, "apa yang harus kuperbuat sekarang?"

Lama orang tua itu terdiam. Baru mulutnya mengatakan, "Nasib mereka berada di tanganmu. Kau bisa menentukan, apakah mereka masih berhak hidup atau mati. Tapi, bagi Bapak, ada sesuatu hal yang menguntungkan dalam saat ini. Kau telah gagal mewartakan berita penemuanmu secara langsung. Tapi, sekarang kau memperoleh jalan lain untuk mewartakannya kepada orang lain di kampung halaman. Dengan sendirinya pula mewartakan kepada kelompok marga lain, marga yang masih merdeka."

"Bagaimana caranya, Bapak?"

Page 183: PENAKLUK UJUNG DUNIA

"Tawanlah anak Raja Panggonggom, anak Raja Nabegu. Kemudian suruh pulang Hulubalang itu dengan pengiring kecil. Tugaskan padanya agar dia mewartakan pada kerajaan marga atas kebenaran ceritamu, kebenaran penemuanmu. Bila mereka tidak juga mempercayainya, maka nasib anak Raja Panggonggom dan anak Raja Nabegu, akan sama dengan nasib Raja Ni Huta."

Tersenyum Ronggur memperoleh saran itu. Lalu disambutnya, "Saran yang baik. Dan akan kutambahkan bahwa tidak marga kita saja yang berhak datang ke tanah habungkasan. Semua marga berhak. Semua orang berhak. Tidak memandang apakah dia seorang budak, raja atau apa saja. Semua orang berhak memperoleh tanah, seluas dan selebar yang sanggup dia kerjakan."

Orang tua itu menundukkan kepala mengiakan.

"Di samping itu," kata Ronggur pula, "aku harus menuntut pada kerajaan marga, agar mengembalikan tanah persawahanku, yang dulu disita kerajaan dariku. Itu sangat penting. Karena bagaimanapun seperti adat kita, sejauh kita merantau, namun bona nipasogit, tidak boleh dilupakan. Sesuatu harta pusaka turun-temurun yang mulanya dirambah nenek moyang, harus dijaga dan dipelihara. Juga segala harta milik Bapak yang disita dulu, harus dikembalikan. Dan, Bapak tahu aku telah mengambil T io menjadi istriku."

"Ya, Bapak tahu," sahut orang tua itu cepat. "Dan, itu sangat baik."

"Karena itu, kesatuan marga Tio sudah menjadi moraku. Mora yang harus kuhormati."

"Ya, memang begitu menurut adat kita."

"Lalu, aku harus menuntut pula bahwa semua keturunan marga Tio, harus dibebaskan dari perbudakan. Siapa saja di antara mereka yang punya hasrat pindah ke tanah habungkasan harus dibolehkan. Tidak boleh dihalangi. Sedang

Page 184: PENAKLUK UJUNG DUNIA

orang yang tidak bisa pindah karena sudah tua atau karena alasan lain, harus dibebaskan dari perbudakan."

Orang tua itu tersenyum. Mengiakan.

Segala hasil pembicaraan disampaikan Ronggur dengan suara lantang pada Hulubalang. Itulah sarat yang harus disampaikan Hulubalang pada kerajaan marga. Yang ditambahnya pula:

"Dalam jangka dua purnama, utusan kerajaan sudah harus ada yang datang menemui mereka ke tanah habungkasan. Mewartakan, apakah saran itu diterima atau tidak. Utusan kerajaan marga, boleh kelak menempuh jalan yang mereka tandai."

Hulubalang itu menyanggupi akan menyampaikan pesan. Malah dengan sadar dia menambahkan, "Karena aku sendiri telah melihat kebenaran ceritamu, kebenaran penemuanmu, tanpa sarat itu pun, aku akan bekerja keras menginsafkan orang. Berilah kesempatan padaku, untuk berbakti."

Lima orang dari anggota yang memburu itu, ditunjuk Ronggur mengiringi Hulubalang menuju kampung halaman. Yang lima orang itu pun telah bersedia menjadi saksi atas kebenaran penemuan Ronggur. Sedang rombongan Ronggur, ditambah pasukan kerajaan marga yang sudah insaf menuju ke timur, ke tanah habungkasan.

Kemudian rombongan lain bertambah banyak menuju tanah habungkasan. Selalu mereka mengadakan upacara di pangkal sungai, mempertebal keyakinan bahwa mereka akan dituntun para dewata dan arwah nenek moyang ke tanah habungkasan. Baik melalui sungai atau jalan darat. Sejak itu, nama tempat itu mereka sebut Porsea.

Jalan tempuhan, tambah lama, tidak hanya yang dirintis Ronggur saja yang mereka kenal. Tapi, telah terbuka tembusan jalan baru. Daerah lain tambah banyak ditemui. Bila mereka sudah sampai di tempat yang mereka namakan

Page 185: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Parhitean, mereka terus pergi ke arah timur, akan tiba ke tanah habungkasan yang ditemui Ronggur, di mana rombongan Ronggur membuka perkampungan.

Bila mereka dari Parhitean menuju ke utara, mereka akan tiba ke Daerah Tangga. Dari sana dapat mereka tatap pundak bukit yang tiga, lalu mereka namakan itu Tiga Dolok. Dari sana terus menembus ke daerah Simalungun. Bila terus menyusur bukit sebelah barat, bisa mereka buka dua persimpangan. Satu menuju Tanah Karo, satu lagi menuju Dairi-Pakpak. Dari Dairi, bisa turun kembali ke Pulau Samosir. Dari T iga Dolok, dapat mereka kenal pundak bukit yang ada di bagian pundak mereka, pundak bukit di lingkungan Danau Parapat. jadi bila mereka menuju ke sana, kembali tiba ke lingkungan Danau Parapat.

Dari Parhitean, bila mereka memenggok ke selatan, mereka akan tiba ke Parsoburan. Terus ke selatan, sampai ke daerah perbatasan Sumatera Barat, yaitu Rao-Rao. Bila mereka meneruskan perjalanan, tiba ke dataran tinggi Bonjol. Sedang bila kembali ke arah utara dari Rao-Rao, berarti turun ke daerah Mandailing Raja. Menembus terus ke daerah Angkola-Sipirok-Pahae dan tembus ke Silindung, Tarutung. Lalu bisa kembali ke Toba.

Dari Mandailing, bila mereka terus menurun, mereka menemui pula sebuah danau yang luas, airnya asin, berteluk indah, pesisir Sibolga. Di sini mereka bertemu dengan rombongan yang sejak Parsoburon terus mengarah Barat. Dan, telah menaklukkan pegunungan Pangaribuan, menurun ke pesisir Barus. Sedang rombongan yang berangkat dari Pangoruran Samosir, bila menuju ke arah barat, akan menaklukkan pegunungan sebelah barat. Mereka tiba ke Pangkat, terus menurun dari sana ke pesisir Barus.

Dari pesisir Sibolga, bila mereka kembali mendaki pegunungan utara, tembus pula ke Rura Silindung, Tarutung. Dari sana, pundak pegunungan Toba telah dapat mereka tatap

Page 186: PENAKLUK UJUNG DUNIA

dan kenal kembali. Dari Angkola, yaitu dari Tor Simago-mago, bila menembus ke selatan teru s, akan tiba ke daerah dataran yang luas. Padang Lawas. Terus ke selatan, mereka bisa bertemu dengan orang yang berangkat menuju tanah habungkasan yang ditemui Ranggur, daerah Asahan-Labuhan Batu.

Kemauan mempertahankan dan melanjutkan kehidupan, sampai bersedia mengorbankan pertarungan demi peperangan, yang tidak sedikit mengorbankan nyawa, telah dialihkan semangatnya untuk menaklukkan pundak demi pundak bukit. Menerobos celah pertemuan bukit memanjang, merambah jalan di bawah naungan dedaunan belantara yang menghijau lebat, untuk menemui dataran luas, dataran lain, berhutan subur, dan punya binatang buruan yang jinak lagi banyak. Untuk menemui danau yang maha luas, yang menyimpan ikan banyak. Airnya asin mengandung garam. Semuanya untuk kelanjutan kehidupan dan mengembangkannya.

ccdw-kzaa

Daftar Istilah

Ambalang= tali pelempar batu

Ama Ni Bolpung= ayah si Bolpung

Ampangngardang= juru perdamaian

Ampataga= nama sejenis tumbuhan biasa dipakai untuk obat (luka)

Berandak= bersembunyi/berlindung

Bernas= berisi/berarti

Bolatan= destar

Page 187: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Bona Ni Pasolgit= kata ganti untuk kampung

halaman

Buhul = ikatan

Bungkas= pindah

Burung Ambaroba= burung pemakan padi, berdada

kuning

Curup= cerutu

Dibuhul= diikat

Dolok= gunung

Gelagah= rumput yg panjang

Habungkasan= tanah baru

Luhak= daerah

Mora= keluarga pihak isteri

Mula Jadi Na Bolon= Tuhang Yg Maha Esa

Parhelaan= pesta adat (hela= menantu pria

Parhitaan= jembatan/perantara

Pargaul=luwes

Pargounci= grup yg memainkan gondang

Patentengan= sombong

.... tidak terbaca sobek...

Pisau Gajah Lompak= pedang sakti

Pohon Hariara= pohon beringin

Purada= jumbai-jumbai warna keemasan pada ulos

Raja Ni Huta= kepala kampung

Sampuran Harimau= air terjun si harimau

Page 188: PENAKLUK UJUNG DUNIA

Sopo Bolon= rumah besar (rumah adat)

Sanduduk = rumput putri malu

Temterasan= lari kucar kacir

Terhempang= terhampar

Terpacak= tertanam/terpaku

Tuhil= pahat

Tongkat Panaluan= tongkat kepala adat (marga)

Ura= makanan khas Batak; terdiri dari bermacam daun mentah, antara lain daun pepaya serta gula merah dan lain-lain.

ccdw-kzaa