Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

20
 PEMIKIRAN TAFSIR KHALED MEDHIAT ABOU EL-FADHL DALAM “ATAS NAMA TUHAN”  MAKALAH Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah Metodolo gi Penelitian Tafsir dan Hadis DOSEN PEMBIMBING; DR. NUR ROFIAH, BIL UZMA DISUSUN OLEH; HASRUL (NIM: 21150340000010) PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSI TAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M/1437 H

Transcript of Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

Page 1: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 1/20

 

PEMIKIRAN TAFSIR

KHALED MEDHIAT ABOU EL-FADHL

DALAM “ATAS NAMA TUHAN” 

MAKALAH

Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah

Metodologi Penelitian Tafsir dan Hadis

DOSEN PEMBIMBING;

DR. NUR ROFIAH, BIL UZMA

DISUSUN OLEH;

HASRUL

(NIM: 21150340000010)

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA2016 M/1437 H

Page 2: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 2/20

A.  Pendahuluan

Pemikiran umat Islam selama beberapa abad terakhir ini berkutat pada persoalan

 pro-Barat atau anti-Barat daripada memfokuskan diri pada pertanyaan yang jauh lebih

 penting; apakah pemikiran umat Islam pada saat ini pro-manusia atau anti-manusia?

Apakah pernyataan doktrinal Islam saat ini manusiawi atau tidak? Demikian komentar

Khaled Abou el-Fadhl ketika menanggapi tuduhan bahwa pemikirannya terlalu ‘bias’ -

 berpihak pada Barat. Pernyataan Khaled tersebut menggambarkan sosoknya yang

memiliki perhatian mendalam terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan moral

termasuk isu-isu terkini mengenai perempuan. Seluruh energi pemikirannya dicurahkan

untuk membangun tatanan moral dan tatanan kemanusiaan yang ada.

Berkaitan dengan masalah otoritas, Khaled Abou el-Fadhl dalam pengakuannya,

sangat mengenal sekaligus gelisah dengan fenomena radikalisme, fundamentalisme, dan

 puritanisme yang berkembang di tengah umat Islam yang muncul akibat interpretasi teks

yang otoriter. Dalam beberapa tahun terakhir beliau terlibat dalam berbagai debat publikmengenai promosi Islam yang moderat dan damai. Dengan integritas dan keberanian

intelektual dia mengkritik semua klaim kebenaran kalangan fundamentalis Islam yang

dinilainya memelintir dan menyederhanakan masalah, dan secara tidak langsung

mempersempit dan menjelekkan citra Islam itu sendiri.1 

Lebih jauh lagi, Khaled mengamati salah satu manifestasi paling nyata dari

kenyataan yang menyedihkan ini adalah maraknya otoritarianisme yang sangat parah

dalam diskursus hukum Islam kontemporer. Atas pengamatan itu, beliau kemudian

menanggapinya dengan sejumlah tulisan termasuk karyanya yang berjudul “Speaking in

God’s   Name; Islamic Law, Authority, and Women”,2  yang dalam edisi Indonesia

 berjudul “Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif”.  3 Melalui karya ini,

Khaled menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk embangun gagasan tentang

otoritas dan mengidentifikasi penyalahguanaan otoritas dalam hukum Islam. Otoritas

dalam buku ini tidak merujuk pada otoritas kelembagaan, tapi lebih pada otoritas

 persuasif dan otoritas moral. Fokus utama buku ini ialah berusaha menggali gagasan

tentang bagaimana seseorang mewakili suara Tuhan tanpa menganggap dirinya sebagai

Tuhan atau setidaknya tanpa ingin dipandang sebagai Tuhan.4 

Dalam tulisan ini, berusaha lebih lanjut melihat pemikiran Khaled di atas

khususnya dalam memahami dalil-dalil yang bersumber dari al-Quran dan Hadis.

Penelitian ini didasarkan atas salah satu karya utamanya yang berjudul, Speaking inGod’s Name; Islamic Law, Authority, and Women. Seperti disebutkan di atas, Khaled

dalam buku tersebut berusahan menyajikan sejumlah konsep termasuk metode dalam

menafsirkan hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran.

1 Tholchatul Choir, Ahwan Fanani (ed.),  Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer , (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009), h. 155-156.

2  Dalam edisi asli berjudul “Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women”, karya

Khaled M. Abou el-Fadl, (Oxford: Oneworld Publications, 2003)3 Dalam edisi Indonesia diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dengan Judul “Atas Nama Tuhan;

 Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif”, Cet. I, (Jakarta: Serambi, 2004)

4  Khaled M. Abou el-Fadl,  Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif terj. R. CecepLukman Y. dari judul asli “Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women  (Jakarta: Serambi,

2004), Cet. I, h. 2. 

Page 3: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 3/20

B.  Biografi Khaled M. Abou el-Fadhl

1.  Latar Belakang dan Pribadi Khaled M. Abou el-Fadhl

Khaled Medhiat Abou el-Fadhl dilahirkan di Kuwait pada tahun 1963 dari

sebuah keluarga muslim berdarah Mesir.5 Dia lahir dalam keluarga yang taat beragama

dan sederhana, meskipun begitu keluarga Khaled Abu Fadl sangatlah terbuka denganhal-hal yang bersifat pemikiran. Pada masa muda, Khaled Abou el-Fadhl dikenal

sebagai anak yang cerdas. Sebagaimana tradisi bangsa Arab yang memegang teguh

tradisi hafalan, Abou El-Fadhlkecil sudah hafal al-Qur’an sejak usia 12 tahun.

Ayahnya yang berprofesi sebagai seorang pengacara, sangat menginginkan Abou

El-Fadhlmenjadi seorang yang menguasai hukum Islam. Ayahnya sering mengujinya

dengan pertanyaan-pertanyaan seputar masalah hukum. 6 

 Negara Kuwait pada masa itu bersifat represif dan otoriter. Mereka menyensor

 bahan-bahan bacaan Masyarakatnya. Pada saat itu paham wahabisme begitu kental

dalam masalah pemikiran dan isu-isu agama. Semua buku-buku yang masuk ke

negaranya disortir sedemikian rupa untuk menjamin paham lainnya tidak masuk.

Sehingga mengakibatan, Abou El-Fadhlyang tumbuh di lingkungan yang bersifat

 puritan-tradisional.7 Namun, orang tua Khaled yang shaleh dan terpelajar menawarkan

 berbagai khazanah keilmuwan Islam dari berbagai aliran kepada Khaled. Sehingga

cakrawala berpikirnya tetap terbuka dengan beragam sumber bacaan yang kaya.

Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai

menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan

 pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan

dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam.

2.  Backround Pendidikan Khaled M. Abou el-Fadhl

Perjalanan akademik Khaled Abou el-Fadhl dimulai di Kuwait, negeri

kelahirannya dengan menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di sana. Dia

kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mesir. Kesadaran akan pentingnya

keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhirnya dia menetap di

Mesir. Di negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di

Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan

 pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya.

Setiap liburan musim panas, Abou El-Fadhl juga menyempatkan menghadirikelas-kelas al-Qur’an dan ilmu-ilmu syariat di Masjid Al-Azhar Kairo, khususnya

kelas yang dipimpin oleh Shaykh Muhammad al-Ghazâlî (w. 1995), seorang tokoh

 pemikir Islam moderat dari barisan revivalis yang dia kagumi.8 

5  Ayahnya bernama Medhiat Abou el-Fadl, sedangkan ibunya bernama Afaf el-Nimr. Khaled Medhiat

Abou el-Fadl dalam beberapa tulisan ia disebut dengan Khaled Abou el-Fadl, atau Abou el-Fadl.6 Teresa Watanabe,  Konsepsi jihad Khaled Medhiat Abou el-Fadl  dalam  Battling Islamic Puritans (Los

Angeles Times: 2 Januari 2002)7  Khaled M. Abou El Fadl,  Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenang-wenang dalam

 Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi, 2003), h. 18.8  Nasrullah,  Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas Penafsiran

oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus 2008, hlm. 139. 

Page 4: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 4/20

Pada tahun 1982, Khaled Abou el-Fadhl meninggalkan Mesir menuju Amerika

dan melanjutkan studinya di Yale University dengan mendalami ilmu hukum

selama empat tahun dan dinyatakan lulus studi bachelor-nya dengan predikat

cumlaude. Tahun 1989, dia menamatkan studi Magister Hukum pada University

of Pennsylvania. Atas prestasinya tersebut, dia diterima mengabdi di Pengadilan

Tinggi (Suppreme Court Justice) wilayah Arizona sebagai pengacara bidang hukum

dagang dan hukum imigrasi. Dari sinilah kemudian Khaled Abou el-Fadhl

mendapatkan kewarganegaraan Amerika sekaligus dipercaya sebagai staf pengajar di

University of Texas di Austin. 9 

Disamping kegiatannya sebagai pengacara dibarengi dengan mengajar di

Universitas Texas, ia juga tidak melewatkan kesempatan untuk melanjutkan studi

doktoralnya di University of Princeton. Pada tahun 1999 Khalid Abou el-Fadhl

 berhasil mendapatkan gelar Ph.D dalam bidang hukum Islam dengan hasil sangat

memuaskan. Disertasinya, berjudul Rebellion and Violence in Islamic Law. Sejak saat

itu hingga sekarang, ia dipercaya menjabat sebagai profesor hukum Islam pada School

of Law, University of California Los Angeles (UCLA).10 

3.  Kegiatan dan Aktivitas Akademik Khaled M. Abou el-Fadhl

Khaled Abou el-Fadhl adalah seorang Guru Besar di Fakultas Hukum,

University of California Los Angeles (UCLA). Pemikir muslim terkemuka ini

kelahiran Kuwait, tahun 1963. Dalam waktu yang lama, ia menekuni studi keislaman

di Kuwait dan Mesir. Ia dikenal sebagai pakar dalam bidang hukum Islam, imigrasi,

HAM, serta hukum keamanan nasional dan internasional. Sebelumnya, ia juga

mengajar di sejumlah universitas ternama di Amerika Serikat, antara lain: YaleUniversity, Princeton University, dan Texas University.11 

Khaled Abou el-Fadhl disebut-sebut sebagai “an  enlightened paragon of

liberal Islam”. Selain penulis prolific dalam  tema universal moralitas dan

kemanusiaan, Abou el-Fadhl juga dikenal sebagai pembicara publik terkemuka. Dia

aktif dalam berbagai organisasi HAM, seperti Human Rights Watch dan Lawyer’s

Committee for Human Rights. Di tengah-tengah kesibukannya, ia juga sering

menjadi pembicara dalam kegiatan seminar, simposium, lokakarya dan talk show, baik

di televise maupun di radio, seperti CNN, NBC, PBS, NPR dan VOA. Belakangan,

ia banyak memberikan komentar tentang isu otoritas, terorisme, toleransi dan hukumIslam. Khaled Abou el-Fadhl dikenal sebagai pakar dalam bidang hukum Islam,

imigrasi, HAM, serta hukum keamanan nasional dan internasional.12 

9  Nasrullah,  Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas Penafsiran

oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus 2008, hlm. 139.10 Ansori, Islam dan Demokrasi; Telaah atas Pemikiran Khaled Abou el-Fadl  dalam Jurnal Mukaddimah,

Vol. 17, No. 2, 2011), h. 183.11 Mohammad Muslih, Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama (Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah

1430), h. 435 

12  Nasrullah,  Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas Penafsiranoritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus 2008, hlm. 139. Lihat juga

Mohammad Muslih,  Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama, h. 436 

Page 5: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 5/20

Pengetahuan yang luas dan kontribusi yang ia sumbangkan ke dunia menjadikan

dirinya mendapatkan banyak pennghargaan dan apresiasi dari masyarakat antara lain :

dianugerahi University of Oslo Human Rights Award, pada tahun 2007 dia

dianugerahi Lisler Eitenger Prize serta tahun 2005 mendapatkan anugerah Carnegei

Scholar in Islamic law. Abou el-Fadel bahkan pernah ditugaskan oleh Presiden George

Washington Bush untuk menjadi pemantau dalam komisi untuk kebebasan beragama

internasional (U.S. Commission for International Religious Freedom), dia juga

 bertindak sebagai anggota Dewan Direktur pemantau hak azasi manusia ( Human

Rights Watch ), anggota dewan penasihat middle east watch ( bagian dari human Right

Watch), serta secara teratur bekerja dengan organisasi Hak Azasi Manusia seperti :

Amnesty Internasional And the Lawres Committe for Human Rights sebagai ahli

dalam pemecahan berbagai kasus tentang HAM, terorisme, politik suaka, hukum

komersial dan internasional. Tahun 2005, dia termasuk sebagai salah satu dari 500

 pengacara terbaik di Amerika Serikat.13 

4.  Buku dan Karya-karya Ilmiah Khaled M. Abou el-Fadhl

Khaled Abou El-Fadhl adalah penulis yang produktif. Di sela-sela

kesibukannya dalam bekerja, mengajar, dan kuliah, ia juga aktif menulis berbagai

artikel dan buku tentang kajian Islam. Di antara karya-karyanya yang sudah

diterbitkan dalam bentuk buku yaitu:14 

a.  Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Woman (Oneworld Press,

Oxford, 2001);

 b.  Rebellion and Violence in Islamic Law (Cambridge University Press, 2001);

c. 

And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in IslamicDiscoursees; (UPA/Rowman and Littlefield, 2001);

d.  The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses: a Contemporary Case

study;

e.  Islam and Challenge of Democracy (Princeton University Press, 2004);

f.  The Place of Tolerance in Islam (Beacon Press, 2002);

g.  Conference of Books: The Search for Beauty in Islam (University Press of

Amerika/Rowman and Littlefield, 2001);

h. 

The Great Theft (New York: Harper San Francisco, 2005).

Sebagian besar karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antaralain: Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, (Penerbit Serambi),

Melawan Tentara Tuhan (Penerbit Serambi, 2003), Musyawarah Buku (Penerbit

Serambi, 2002), Cita dan Fakta Toleransi Islam; Puritanisme versus Pluralisme

(Penerbit ‘Arsy-Mizan, Bandung, Oktober 2003), Islam dan Tantangan Demokrasi

(Jakarta: Ufuk Press, 2004).15 

13  Data ini diambil dari situs terbaru UCLA, dimana Abou el Fadel bekerja sekarang Yaitu:

http://www.law.ucla.edu/home/index.asp?page=386, diakses tanggal 8 Januari 2011.14 Akrimi Matswah, Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou El Fadl terhadap Hadis Nabi dalam Jurnal

Addin (Vol. 7, No. 2, Agustus, 2013), h. 253-254.15 Mohammad Muslih,  Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama  (Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah

1430), h. 437 

Page 6: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 6/20

C.  Pemikiran Khaled M Abou el-Fadhl dalam Penafsiran

Khaled Abou el-Fadhl mengawali kajian penafsirannya khususnya mengenai

hukum Islam dengan merumuskan perbedaan antara Syariat dan Fiqih. Syariat merupakan

kehendak Tuhan yang berbentuk abstrak dan ideal. Sedangkan fiqhi merupakan upaya

manusia dalam memahami kehendak Tuhan. Dalam pengertian ini syariat selaludipandang sebagai yang terbaik, adil dan seimbang dari pada yang lain. Sedangkan fiqhi

hanyalah upaya untuk mencapai tujuan dan cita-cita syariat. Tujuan syariat islam adalah

mewujudkan kemaslahatan manusia, dan tujuan fiqih adalah memahami dan menerapkan

syariat islam. Dalam konteks fiqhi inilah ijtihad tidak pernah selesai dan sempurna.

1.  Metodologi Pemikiran Khaled M. Abou el-Fadhl

Metedologi yang digagas oleh Abou el-Fadhl, pertama-tama berangkat dari

 pandangannya terhadapa al-Quran dan Hadis. Ia percaya pada keilahian Al-Qur’an dan

kenabian Muhammad. Ia juga percaya bahwa metode penafsiran yang otoriter akan

merusak integritas teks Islam dan membungkam suaranya. Secara eksplisit Abou Fadlmenyebut bahwa pendekatananya terhadap kedua sumber hukum islam tersebut

 bersifat normatif. Pilihan pendekatan normatif ini lebih didasarkan pada keniscayaan

dari keahliannya sebagai ahli hukum islam. Pendapatan normatif di sini berarti bahwa

teks-teks keagamaan membuka diri untuk dipahami dan ditafsirkan secara tidak

tunggal. Hal ini ditunjukkan tidak hanya oleh fakta keragaman umat islam yang

 berperilaku berbeda-beda, tetapi juga oleh teks-teks itu sendiri yang menyediakan

ruang framework bagi keragaman dan pluralitas. “Setiap teks” termasuk teks -teks

Islam menyediakan berbagai kemungkinan makna. Akibatnya makna tergantung

menurut moral pembacanya. Jika pembacanya intoleran, penuh kebencian, penindas,maka demikian juga hasil interpretasinya.16 

Salah satu sumbangan ide terbesar Khaled Abou El-Fadhl terhadap diskursus

hukum Islam kontempoter adalah membongkar malpraktik otoritarianisme dalam

hukum Islam. Fenomena ini menurut Khaled menjadi mainstream pemahaman umat

Islam tehadap hukum Islam pada dewasa ini. Sehingga lahir wacana hukum Islam dan

fikih yang otoriter, tertutup dan statis. Trik-trik untuk menghadapinya, yang digunakan

oleh Khaled adalah sebagai berikut:

a.  Pertama, Khaled memandang al-Quran dan Sunnah sebagai sumber otoritatif

hukum Islam sebagai teks yang terbuka. Maka konsekuensi logisnya adalah

meyakini hukum Islam sebagai karya yang terus berubah (Islamic law as a work in

movement). Untuk itu teks-teks otoritatif sebagai sumber dari hukum Islam tidak

 boleh dikunci, ditutup dan dipasung sehingga meniscayakan penafsiran dan

 pemahaman baru akan terus-menerus lahir. Teks yang terbuka akan mampu

menampung gerak dinamis pemahaman manusia dengan keragaman konteksnya.

Memasung makna teks merupakan tindakan kriminal sekaligus kesombongan

intelektual karena telah mengklaim dirinya paling mengetahui maksud Tuhan.

Selain itu sikap tersebut akan menutup rapat-rapat bagi lahirnya pemahaman-

 pemahaman (fikih) baru yang menjadi kebanggaan umat Islam sepanjang sejarah.

16 Khaled M. Abou el-Fadl, The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Perss, 2002)

Page 7: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 7/20

 b.  Kedua, mengembalikan diskursus hukum Islam pada semangat awal, yaitu

meneguhkan kembali jtihad sebagai upaya pengerahan sekuat-kuatnya kemampuan

manusia untuk melakukan pencarian, penyeledikan dan pemahaman terhadap

Kehendak Tuhan. Dalam konteks ini, Khaled membedakan antara syariah dan

fikih. Syari’ah adalah Kehendak Tuhan dalam bentuk yang abstrak dan ideal, tapi

fikih merupakan upaya manusia memahami Kehendak Tuhan. Dalam pengertian

ini syariah selalu dipandang sebagai yang terbaik, adil dan seimbang. Sedangkan

fikih hanyalah upaya untuk mencapai cita-cita dan tujuan syariah (maqâshid al-

Syarî’ah). Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia (tahqîq

mashâlih al-’ibâd) dan tujuan fikih adalah untuk memahami dan menerapkan

syariah. Perbedaan ini lahir dari pengakuan atas kegagalan-upaya-manusia untuk

memahami tujuan dan maksud Tuhan. Dalam konteks ini ijtihad manusia tidak

 pernah final dan sempurna.17 

c.  Ketiga revitalisasi metodologi hukum Islam klasik. Bagi Khaled, hukum Islam

secara kukuh menentang kodifikasi dan penyeragaman(Islamic law has staunchly

resisted codification or uniformity). Metodologi hukum Islam memiliki ciri yang

terbuka dan antiotoritarianisme (tradisional Islamic methodology has been its open-

ended and anti-authoritarian character).

Akhirnya, Khaled menginginkan syariah dipahami dalam diskursus pergulatan

yang terus berubah dan bergerak maju; diskursus fikih yang progresif. Sedangkan

 penguncian makna syariah pada pemahaman (fiqh) tertentu akan melahirkan fikih

yang otoriter; yang tertutup dan sewenang-wenang.

2.  Konsep Otoritas dan Otoritarianisme Khaled M Abou el-Fadhl

Khaled Abou el-Fadhl membangun konsep otoritas dalam Islam dengan doktrin

Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui Kalam-

 Nya yang telah tertulis. Demikian juga Nabi — sebagai pemegang otoritas kedua

setelah Tuhan — setelah wafat meninggalkan tradisinya (Sunnah) yang telah

terkodifikasi. Pada konteks ini telah terjadi proses pengalihan ‘suara’ Tuhan dan Nabi

 pada teks-teks yang tertulis dalam al-Quran (mushaf) dan kitab-kitab sunnah. Di

hadapan kita adalah sekumpulan teks-teks yang dipandang mewakili ‘suara’ Tuhan

dan Nabi. Sejauh mana teks-teks tersebut memiliki otoritas mewakili ‘suara’ Tuhan

dan Nabi? Bagaimana kita memahami kehendak Tuhan dan Nabi melalui perantara

teks-teks tersebut. Apakah aturan-aturan wakil Tuhan agar bisa menyampaikankehendak Tuhan tanpa menganggap pendapatnya sebagai kehendak Tuhan?18 

Merespon pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas, menurut Khaled kita harus

memerhatikan tiga hal berikut. Pertama,berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas).

Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Ketiga, ber kaitan dengan

“perwakilan”.19  Tiga pokok persoalan menjadi tiga kunci bagi Khaled untuk

memisahkan diskursus yang otoritatif dan yang otoriter dalam Islam. Menurut beliau,

otoritatif adalah melakukan pilihan terbaik berdasarkan rasio, sementara yang otoriter

17  Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women   (Oxford:

Oneworld Publications, 2003), h. 32.18 Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, h. 32.19 Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, h. 24-26

Page 8: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 8/20

adalah bentuk taklid buta.20  Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut Khaled

menekankan adanya keseimbangan kekuatan yang harus ada antara maksud teks,

 pengarang dan pembaca (balance of power between the author, reader and text).

Penetapan makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis

antara ketiga unsur di atas (teks, pengarang dan pembaca). Salah satu maksud tiga

unsur di atas adalah tidak ada yang mendominasi. Penafsiran yang tepat adalah

 penafsiran yang menghormati peranan, otonomi dan integritas teks. Menghormati

otonomi teks bertujuan menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca terhadap

teks sehingga teks bisa ditafsirkan sebebar-bebasnya. Maka dari itu, Khaled

menegaskan gagasan tentang teks yang terbuka (the open text). Sedangkan sikap

otoriter adalah proses pemasungan teks sehingga teks tidak bisa leluasa bergerak dan

 berinteraksi dengan keragaman makna.

Sebagian wakil (orang-orang Islam yang beriman dan shaleh, yang di sebut

sebagai wakil umum) menundukkan keinginannya dan menyerahkan sebagian

keputusannya kepada sekelompok orang atau wakil dari golongan tertentu (‘ulama’).

Mereka melakukan hal tersebut “karena, dan hanya karena,” mereka memandang

wakil dari golongan tertentu memiliki otoritas. Kelompok khusus ini menjadi otoritatif

karena dipandang memiliki kompetensi dan pemahaman yang khusus terhadap

 perintah atau kehendak Tuhan. Kelompok khusus (disebut dengan wakil khusus) ini

dipandang otoritatif “bukan karena mereka memangku otoritas”,  jabatan formal tidak

relevan sama sekali –  tetapi karena persepsi wakil umum menyangkut otoritas mereka

 berkaitan dengan seperangkat perintah (petunjuk) yang mengarah pada Jalan Tuhan.

Proses penyerahan keputusan untuk mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan, dari

wakil umum kepada wakil khusus juga memiliki problem hermeneutis tersendirimisalnya, pada proses tindak komunikasi dan dialog di antara keduanya.

Khaled Abou El-Fadhl mengemukakan lima batasan untuk menerima otoritas

wakil khusus tersebut. Sepanjang lima hal ini terpenuhi, seseorang bisa disebut

otoritatif. Kelima batasan itu adalah: 21 

a.  pertama, kejujuran. Masyarakat pada umumnya percaya pada kelompok wakil

khusus ini bahwa mereka akan jujur dan dapat dipercaya dalam memahami perintah

Tuhan. Ia tidak akan menyembunyikan, melebih-lebihkan atau berbohong atas apa

yang ia pahami. Ia akan mejelaskan semua yang ia pahami. Ia juga tidak akan

 berpura-pura mengetahui satu permasalahan dan pura-pura mengetahui perintah

Tuhan, padahal dirinya belum mengetahui yang sesungguhnya.

 b. 

Kedua, kalangan wakil khusus harus sepenuhnya mempunyai kesungguhan. Dia

dituntut untuk sepenuhnya mencurahkan kemampuannya dalam menyelami satu

 persoalan. Batasan ini mungkin kelihatan samar, namun setidaknya ini adalah

sebuah kewajiban para wakil khusus itu untuk serius dan bersungguh-sungguh

dengan segenap kemampunnya untuk menyelami sebuah persoalan. Kata ijtihad

yang berasal dari akar kata jahada sesungguhnya berarti pengerahan seluruh

kemampuan seseorang untuk menyelami sebuah persoalan.

20  Khaled Abou el-Fadl,  Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi,2004), Cet. I, h. 204.

21 Khaled Abou el-Fadl,  Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih, h. 37-40. 

Page 9: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 9/20

c.  Ketiga, adalah prinsip kemenyeluruhan (comprehensiveness). Kalangan wakil

khusus tersebut harus mempertimbangkan semua argumen dan bukti, bahkan

argumen yang bertentangan sekalipun. Prinsip ini juga mengharuskan kaum wakil

khusus bertanggungjawab menyelidiki dengan kesungguhan semua bukti dan

argumen tersebut.

d.  Keempat, para wakil khusus tersebut haruslah melakukan penafsiran dan pencarian

 perintah Tuhan secara rasional. Kaum wakil khusus dilarang melakukan, meminjam

istilah Umberto Eco, “penafsiran secara berlebihan” dengan cara, misalnya,

menafsirkan sedemikian rupa sehingga maknanya sesuai dengan keinginan

seseorang, sementara makna teks sesungguhnya dihiraukan. Penafsiran yang

 berlebihan terhadap teks, baik dengan cara membiarkan teks terbuka dan dibanjiri

segala kemungkinan penafsiran yang tak terbatas sehingga tidak dapat ditampung

sendiri oleh teks, maupun dengan membuat teks tergembok dan didiami hanya oleh

satu macam makna penafsiran saja, telah dianggap mengingkari prinsip rasonalitas

ini. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa kaum wakil khusus haruslah mengambil

 jarak dengan teks dan menghormati integritas teks tersebut.

e. 

Kelima, para wakil khusus haruslah bisa mengendalikan diri. Hal ini sebenarnya

menujukan sikap kerendahan hati. Dia bukanlah orang yang mengetahui segalanya

dan yang mengetahui hakikat segalanya hanyalah Tuhan. Semua yang

dilakukannya adalah usaha untuk mengungkap kehyendak-Nya. Bagi

siapapun yang pernah dididik di lingkungan pesantren pasti tahu bahwa di setiap

akhir pengajian, guru-guru kita selalu megucapkan "Wa Allahu a’lam bi

murodihi" yang kurang lebih berarti: Tuhanlah yang lebih mengetahui segalanya.

Sikap ini lebih jauh sebenarnya bisa dilihat sebagai sikap pengendalian diri dankerendahan hati.22 

Itulah kelima prasyarat yang dikemukakan Abou El-Fadhluntuk membatasi

kemungkinan otoritas yang dipegang oleh para agen khusus agar tidak terjerumus pada

sikap keberagamaan otoriter. Menurut Abou Fadl, prasyarat tersebut muncul sebagai

keharusan yang bersifat rasional (dharuriyyat aqliyyah) bagi hubungan yang logis

antara umat Islam dengan wakil khusus dan teks (baik al-Quran atau hadis). Hal di

atas sebenarnya adalah usaha yang dilakukan Abou Fadl agar pencarian makna teks

yang merupakan usaha untuk mendekati kehendak Tuhan semaksimal mungkin

 berlangsung objektif. Sepanjang seseorang menerapkan kelima prasayarat tersebut di

atas dan meyakini hasilnya adalah kebenaran, maka itulah kebenaran menurut Tuhan.

Pelanggaran terhadap lima hal tersebut jelas adalah pelanggaran otoritas dan

merupakan sebuah sikap kesewenang-wenangan penafsiran, sebuah sikap otoriter.23 

Menurut Abou Fadl, sikap otoriter sendiri terjadi ketika seorang manusia, baik

dari kalangan wakil khusus atau umat Islam pada umumnya, mengunci satu teks pada

satu pemaknaan tunggal dan menyumbat kemungkinan penafsiran yang lain. Sikap itu

menunjukan seolah-olah, dengan menetapkan satu pemaknaan pada satu teks, dialah

yang tahu hakikat makna yang sesungguhnya. Seolah seseorang tersebut mengetahui

22

 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi,2004), Cet. I, h. 204. 

23 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih, h. 93. 

Page 10: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 10/20

10 

kehendak Tuhan dan lantas penafsirannya menjadi mutlak dan absolut. Hal inilah yang

kemudian disebut oleh Khaled sebagai sikap Otoritarianisme, yaitu tindakan

“mengunci” atau mengurung Kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah

 penetapan tertentu, dan kemudian menyajikan penutupan tersebut sebagai sesuatu

yang pasti, absolut dan menentukan.24  Pemegang otoritas biasanya cenderung

mengarah bersifat otoriter kecuali jika ada upaya sadar dan aktif untuk membendung

kecenderungan tersebut dari wakil yang melakukan interpretasi dan wakil yang

menerima interpretasi tersebut.

Ketika seorang pembaca bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari

teks, resiko yang dihadapinya adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau

 penetapan pembaca itu akan menjadi perwujudan eksklusif teks tesebut. Akibatnya

teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini teks itu

akan tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks.25 

Pada posisi ini pembaca hanya akan melahirkan penafsiran yang otoriter. Lebih jauh

lagi melahirkan fanatisme yang mengkultuskan pada penafsiran-penafsiran itu

sehingga menganggap hasil penafsirannya memiliki kompetensi yang sama

dengan teks asal (al-Quran dan Sunnah). Kecenderungan otoriter tersebut dapat

dibendung dengan menerapkan lima prasyarat yang telah disebutkan dalam

 pembahasan sebelumnya yaitu kejujuran, pengendalian diri, kesungguhan,

kemenyeluruhan, dan rasionalitas.

3.  Pendekatan Hermeneutik Khaled M. Abou el-Fadhl

Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks

(text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam

dinamika pergumulan pemikiran Islam. Seharusnya kekuasaan (otoritas) adalah

mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa yang sebenarnya

Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan dirinya sebagai penafsir

atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan demikian yang paling relevan dan

 paling benar hanyalah keinginan pengarang. Namun pada praktiknya, seringkali terjadi

dimana individu dan lembaga keagamaan (reader) mengambil alih otoritas Tuhan

(author) dengan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik

absolut sumber otoritas kebenaran dan menafikan pandangan yang dikemukan oleh

 penafsir lainnya. Di sini terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan

mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalamartireader tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan

institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. Tidak berlebihan jika sikap

otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan despotisme dan penyelewengan

yang nyata dari logika kebenaran Islam.

Walaupun kebenaran hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak

menjadi wakil Tuhan untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash

sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Hal ini sejalan dengan hakikat

24

 Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name; I  slamic Law, Authority, and Women  (Oxford:Oneworld Publications, 2003), h. 93.

25 Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, h. 142 

Page 11: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 11/20

11 

diciptakannya manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan catatan, manusia

tidak melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih posisi Tuhan, bersikap

arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran yang berbeda dan menutup

makna yang sebenarnya terbuka atau sebaliknya membuka makna tanpa batas.

Jika seorang pembaca berusaha menutup rapat-rapat teks dalam pangkuan

makna tertentu atau memaksakan penafsiran tunggal atas teks tertentu, maka tindakan

tersebut berisiko tinggi untuk melanggar integritas pengarang dan bahkan integritas

teks itu sendiri. Menutup rapat yang dimaksud otoritarianisme dalam penafsiran teks

keagamaan dalam buku itu adalah tindakan seseorang, kelompok, atau lembaga

tertentu yang ”menutup rapat-rapat” atau membatasi Kehendak Tuhan (the Will of the

Divine), atau maksud terdalam dari teks tertentu dalam suatu batasan ketentuan atau

 penafsiran tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan-ketentuan atau penafsiran-

 penafsiran tersebut sebagai hukum atau keputusan yang tidak dapat dihindari, final,

dan merupakan hasil akhir yang tidak dapat diganggu-gugat.

Berawal dari pandangan ini, Khaled dalam memahami teks agama termasuk

ayat-ayat al-Quran turut serta menggunakan perangkat Hermeneutika. Tetapi berbeda

dengan tradisi hermeneutika di lingkungan Biblical Studies, hermeneutika dalam studi

keislaman, khususnya yang terurai dalam karyanya “Atas Nama Tuhan”, dipicu oleh

 penafsiran bias gender dalam fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh

CRLO.26  Khaled menggunakan metode berpikir normatif-analitik dan menawarkan

teori hermeneutika negosiasi. Hermeneutika negosiasi bertolak dari prinsip negosiasi

kreatif antara teks-penggagas-pembaca, dengan menjadikan teks sebagai titik pusat

yang bersifat terbuka.27 

Secara umum, dalam studi hermeneutika di Barat berkutat dalam dua hal, yaitu problem pemahaman, seperti pada heremenutika teoritis, dan problem tindakan

memahami itu sendiri, seperti pada hermeneutika filosofis. Sementara tradisi

hermeneutika dalam studi al-Quran hanya berkutat pada problem pemahaman, yaitu

 pemahaman yang bercorak objektif, seperti hermeneutika objektif atau hermeneutika

teoritis Fazlur Rahman; penafsiran yang bercorak subjektif seperti hermeneutika

 pembebasan Farid Esack; dan pemahaman yang bercorak inklusif (teoritis) seperti

hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid. Belum ada penggunaan hermeneutika dalam

studi al-Quran yang mencoba menemukan “kepentingan” di balik tindakan

 pemahaman itu sendiri. Ruang yang belum disentuh para pemikir inilah yang dapat

ditemukan pada hermeneutika negosiatif yang digagas oleh Khaled.28 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemahaman Khaled terhadap teks

termasuk ayat al-Quran dengan menggunakan pendekatan Hermeneutika tidak hanya

 ber tujuan “menemukan makna teks”  sebagaimana hermeneutika pada umumnya.

Tetapi juga bertujuan untuk “mengungkapkan kepentingan penggagas atau pembaca

yang tersimpan di balik teks, dan menawarkan strategi pengendalian tindakan

26  Sebuah “Pengantar” M. Amin Abdullah dalam karya Khaled Abou el -Fadl,  Atas Nama Tuhan; Dari

 Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. ix.27  Nasr Khamid Abu Zaid, al-Quran; Hermeneutika dan Kekuasaan, h. 75-80, Dikutip Aksin Wijaya,

Teori Interpretasi Ibnu Rusyd (Yogyakarta: LKiS, 2009), Cet. I, h. 4128 Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis (Yogyakarta: LKiS, 2009),

Cet. I, h. 37-38

Page 12: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 12/20

12 

sewenang-wenang penggagas dan pembaca terhadap teks , pembaca lain, dan audiens

melalui konsep otoritas dan otoritarianismenya.29  Paling tidak ada empat hal yang

menjadikan hermeneutika Abou Fadl begitu penting,30 yaitu:

a.  Pertama, dalam gelombang globalisasi yang membawa perubahan mendasar bagi

kemanusiaan, buku ini membangkitkan kesadaran perlunya pembaharuan pemikiran

dan hukum Islam yang selama ini diakui keberadaanya sangat strategis dalam

 bangunan agama Islam. Hal ini dilakukan agar agama Islam tetap dapat bertahan

dan menjadi semakin dibutuhkan bagi pengembangan kemanusiaan yang lebih

 beradab.

 b.  Kedua, terkait dengan yang pertama, maka buku ini memberikan panduan yang

sistematis untuk melakukan pembaharuan hukum Islam yang lebih universal,

 berbasis moralitas dan kemanusiaan.

c.  Ketiga, dalam tataran tertentu, buku ini telah berperan mengubah cara pandang

kaum muslimin terhadap posisi ulama yang otoriter (sewenang-wenang memberi

fatwa) dan yang otoritatif (yang berwenang memberi fatwa).

d.  Keempat, buku ini melakukan pembelaan serius bahwa Islam sebagai agama telah

memberikan tanggung jawab dan penghargaan kemanusiaan yang besar. Kesalahan

lebih sering datang dari penganutnya atau orang-orang yang merasa sebagai

 penjaga syariat, padahal malah menghancurkan syari’at.

Pada sisi lain, Khaled menawarkan konsep hermeneutika yang bersifat inter dan

multidisipliner, lantaran melibatkan berbagai pendekatan. Di antaranya linguistik,

interpretive social science, literary criticism, selain ilmu-ilmu keislaman yang baku

mulai dari Mushthalah al-Hadis, Rijal al-Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir, Kalam,

yang kemudian dipadukan dengan humaniora kontemporer. Pemikiran yang diusungoleh Khaled berupaya mengembalikan ilmu yurisprudensi Islam sebagai sebuah

epistemologi dan sekaligus sebagai sebuah metode pilihan (a methodology of inquiry),

 bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan otoriter.31 

29 Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis (Yogyakarta: LKiS, 2009),

Cet. I, h. 3830  http://abuthalib.wordpress.com/2009/12/25/tuhan-milik-laki-laki/, diunduh pada tanggal 6 Februari

2010.31 Sebuah “Pengantar” M. Amin Abdullah dalam karya Khaled Abou el-Fadl,  Atas Nama Tuhan; Dari

 Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. xvii 

Page 13: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 13/20

13 

D.  Penafsiran Khaled M Abou el-Fadhl terhadap al-Quran

1.  Suara Perempuan dan Tepuk Tangan Penyebab Fitnah; Kajian Q.S. al-Ahzab

Ayat 32 dan Q.S. Ayat 35

Salah satu topik yang difatwakan oleh Dewan Riset Ilmu dan Fatwa (Al-Lajnah

al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta/Council for Scientific Research and Legal Opinions)  Kerajaan Saudi Arabia32  ialah mengenai tepuk tangan dan suara

 perempuan. Dewan yang bergerak untuk riset-riset Ilmiyah dan Fatwa tersebut

membangun kaitan antara tepuk tangan dan suara perempuan sebagai aurat. Salah satu

nash yang menjadi dalil dalam fatwa CRLO tersebut ialah surah al-Ahzab ayat 32

yang dikaitkan dengan hadis Nabi tentang tepuk tangan dan surah al-Anfal ayat 35

yang kemudian berkesimpulan bahwa suara perempuan adalah aurat.

a.  Fatwa Dewan Tetap Arab Saudi tentang Suara Wanita dan Tepuk Tangan

1) Suara Wanita menurut Fatwa CRLO 

3 لل

   ل

 لل

 ل

   لل

 ى

 م

 ل

 ى

 لل

 ةلج

 لل

 

 ل

  ى

 لل

  

 

 ة

  ل

  ة

 زللس

 ل

 :   

ل

 ل

   ل

  ؟ل

 لصم

  

 

  ل

  

 زلس

 ل

 ل

  ى

 

 ى

س

  ل

 م

 ل

 ى ا

 ؟ل

 لم

  ة

 ذ         ب   ضا  ز    ع  ؟     ؟ئا   زسا

3   : ل       ل  ل   ل ي صل   ل   ل    ى  ل ىلم ىولف  ل    ى   

ل

 ل

 

 عل

  ل

  ى

 لم

 ي

   ىل

ى

 ك

 

  

 ي

  ى

  

 

  ق

 

 وج

 

 

 

   ل

  

  ى 

ل

 ؟ل

ص

 

  لن

  

 

ل

  ى 

 ل

    ل

  :لى  ل   لة ل   لةى  ل  

 ل

 

  لن

ى 

 م

 ل

 ل

 لصم

  

 

 

 ةل

  

ي

   ل

 

 عن

 نل ق

 ل ن

  ق

ض

 ل

 

 ل

ن

  ق

 ل

 

ل

ى

 جل ةن

 

م نن

 ل

 نعل و  ؟ ى  ن وى ط ى  ي ج  ةى  غ  ق   .33

 

2) Tepuk Tangan menurut Fatwa CRLO 

a) Fatwa Pertama: 

2 عزللب

  ل

 ل؟

 

 هي

ىللى

 ل؟

 م

 ل

 ى

  لل

 ل

 

  ل ى

  

  

 لل

   ل

  ع

 

 ل

 :

  

 ى

 

  

 ي

 

.

 

2 ل

 عةل

 ل

 

 ل

؟لة

  

ي

 بل

  ل

  ى

 ب

  

 

 

 ى

  عز

  

 

 ذى

:

 

  ل

 

  ل

 

 ل

   زلل

 

 ذى

ي

 ل

 ل

 ىةل؟

 ل

ى

 ق

 ل

   ل

 

 ل

  ى

 

 لل

  ل

  ل

  لل

  ل

 ذى

م

 لل

 ى

  ل

 

ي

 ىل

 

   زع

ي

 

 ؟ف

ذي

 

 

 ب

  غ

 

  

 ى

  ة

 ي

 

 غ

 

  ى

 ل

  

   ى

 

 ب

  ى

  ؟

 ق؟

ي

   

  

  

 ل

ل

 لذ

 ل

ةعى.ة    ب    ى   .آ   ب       ى    ي

34 

32  Merupakan lembaga resmi di Arab Saudi yang diberikan tugas untuk mengeluarkan fatwa. Dewan ini

 berdiri sejak tahun 1971 yang saat ini diketuai oleh Mufti Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Alu Syaikh at-Tamimi (1943 M/1362 H) setelah wafatnya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin

Baz (w. 1999 M/1420 H). Situs resmi - http://www.alifta.net/ 33

 Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad AluSyaikh, Juz 2, h. 318. Dalam: http://www.alifta.net/ 

34 Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, No. 1904, Dalam:  http://www.alifta.net/ 

Page 14: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 14/20

14 

 b) Fatwa Kedua: 

 

 

  ى

 ذ

 

   

 

ل

  

 ىللل

 ل

     ى ب لىل  ى:ل   لبذلل  قل ؟ل؟ل

  ىة

 

  ى

 ل

 ل

 آ

 ل

  

 

 ىل

 

 صل

  ل

  ل

 ل

 ل

ي

 ل

  صل

 لذل

  

 ل

 ق

: لل

  دل

 لذ

 ل

  

  ل

  

:لق

 ل

  ى

 عل

 : ل

  

 

  

 

 ؟

ن

    ن

ىنب

 

 د

  

 ق

:     ى

 

ل

 لد

      ى  ق:صى ةى ىةو  ى لدل  ل   ى.  ى  ى  ؟ص   و  ى   ىللل 

 د         ةى  ؟ى.

: ةى   ى  ةؤ   .

 

  

  ى

 ب

  ى

ل

د

 للذ

ى؟ل  قىب

  

 ل

 -  ل

  ل

  ى

 ل

  ل

- ل

 ذ

  عزب

ة

  عزبل

 قل

" : لب

 ل

  ى

"

" ل

  ى

 بل

ذ

ة    .     ى  ى  بة   آ ب  .35 

c) Fatwa Ketiga: 

2:للز

 ل

  ىلل

 للزدى

  ىة

 ل ة 

 لل

 ة

  

 لىلل

  لل

  ىلل

  ى

 

  ب

 ىة

2:لز

 لل

  ى

 ل

  لل

  ذىل

 لل

 ىل

للل

  

 لل

 لللب

  ى

  لل

  لل

  ى

 لل

  لل

  :لل

 لل

  

لللل

  

 لل

 للب

  

  لل

 ى

 لل

 لل

  ى

 

  ى ة    زى ة  ق  ب  

 

 

  

 

 ؟

ن

    لن

ىنب

  ل

لل؟

ن

 للق لل ل لل  عى للةى: لل؟ل  ى: لل  . لل   لل   ى

  ى

  بة

  

 آ

 ب

  

.36 

b. Q.S. al-Ahzab 32 dan Q.S. al-Anfal 35 menurut Khaled Abou el-Fadhl

1) Q.S. al-Ahzab Ayat 32 Menurut Khaled Abou el-Fadhl

ل

ى

 

لج

نة

 م

ن

ن

 ل

 

ن

لع و ن

 

 

 

  ن

ى

 

 

  

  ى

 

  ؟

 

  ن

  

 

  ى

 

 

  

  

 نل

  ق

 ل

 ع 

  ن

 ق

ن

  

ق

ض

 

  

  ﴿ىى:٢

 Artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita

 yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara

 sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan

ucapkanlah per kataan yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32)

35 Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu

Syaikh, No. 15956 Juz 19, h. 123. Dalam: http://www.alifta.net/ 36 Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu

Syaikh, No. 7774, Juz 6, h. 311. Dalam: http://www.alifta.net/ 

Page 15: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 15/20

15 

Menurut Khaled, ayat ini tidak ada kaitannya sedikit pun dengan persoalan

tepuk tangan dan anggapan suara perempuan adalah aurat. Dari rangkaian

kalimatnya, ayat tersebut merujuk pada isteri-isteri nabi dan secraa eksplisit

menyatakan bahwa status mereka tidak sama dengan perempuan muslim

lainnya. Konsekuensinya adalah bahwa apa yang diperbolehkan bagi perempuan

muslim lainnya mungkin saja tidak diperbolehka bagi isteri-isteri Nabi. Lebih

 jauh lagi, dari rangkaian kalimat ayat tersebut membedakan antara dua bentuk

ucapan, yaitu perkataan yang khudhu’ (lembut, menarik, baik, menggoda, dan

 pasrah) dan perkataan yang wajar. Oleh karenanya, menurut Khaled, hal paling

 jauh yang bisa kita kemukakan adalah bahwa ayat tersebut mengecam perkataan

yang bernadah pasrah dan menghargai perkataan yang wajar dan bermoral. 37 

Khaled juga menekankan, sesungguhnya isteri-isteri Nabi agar tidak

 berbicara dengan nada pasrah dan lembut, tetapi harus berbicara dengan nada

tegas dan bermoral. Menurut Khaled, ayat tersebut memiliki konteks kesejarahan

 bahwa suku Badui yang baru memeluk Islam dengan tujuan untuk memenuhi

kepentingan mereka. Akhirnya, mereka mendekati Isteri-isteri Nabi dengan

 berbagai macam tuntutan. Isteri-isteri Nabi adalah perempuan-perempuan yang

 baik dan lembut, dan diriwayatkan bahwa tuntutan tersebut sudah tidak bisa

diterima akal sehat, hingga mencapai titik ketika para pemeluk baru tersebut

cenderung memanfaatkan kebaikan Isteri-isteri Nabi. Ayat tersebut diturunkan

untuk memerintahkan Isteri-isteri Nabi agar berbicara layknya perempuan yang

kuat dan bermoral, bukan perempuan yang hanya menuruti emosi.38 

2) Q.S. al-Ahzab Ayat 32 Menurut Khaled Abou el-Fadhl

Sehubungan dan fatwa-fatwa di atas, Khaled menggambarkan adanyasebuah penggunaan bukti yang janggal yang dilakukan oleh para ahli hokum

CRLO. Persoalan dalam contoh ini bukan saja tentang pemaparan bukti yang

telah diseleksi terlebih dahulu, tetapi tentang pemilihan bukti yang berorientasi

hasil yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan persoalan yang sedang

dibahas. Seperti terlihat dalam persoalan ini bahwa terdapat tiga dalil yang telah

dikemukakan oleh para ahli hokum CRLO, yaitu Q.S. al-Ahzab ayat

sebagaimana yang telah dibahas di atas, serta satu hadis Nabi dan Q.S. al-Anfal

ayat 35. Hadis yang dimaksud ialah:

 

ن

 

 

  

 ن

 

  

  

 ن

  ى

  ة

 ن

 

  ىن

 

 ذى

 

 ن

  ن

  

 

 

 

 .39

 

Dengan mengutip Hadis ini, para ahli hokum CRLO menyimpulkan dua

hal; Pertama, suara perempuan adalah aurat. Jika suara perempuan bukan aurat,

 Nabi tentu tidak akan menyuruh perempuan untuk bertepuk tangan. Kesimpulan

kedua; orang-orang Islam secara umum tidak boleh mengungkapkan dukungan,

kebahagian, atau penghormatannya dengan cara bertepuk tangan. Tepuk tangan

menurut para ahli hukum CRLO diharamkan karena dipandang sebagai praktik

37  Khaled Abou el-Fadhl,  Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi,

2004), Cet. I, h. 275-276.38 Khaled Abou el-Fadl,  Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati, h. 276.39 Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya’ al-turast al-Araby, tt), Juz I, h. 316. 

Page 16: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 16/20

16 

orang-orang kafir dan kebiasaan perempuan, dan orang-orang Islam secara

umum tidak boleh meniru mereka. Lebih lanjut, para ahli hukum CRLO dalam

 persoalan ini mengutip ayat lain, yaitu:

 

 

 

  

 

 ؟

ن

    ن

ىنب

 

؟

ن

 ﴿ ى:٥

 Artinya: “Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” 

(Q.S. Al-Anfal [8]: 35)

Dari ayat ini, dan Hadis yang dikutip sebelumnya, para ahli hokum CRLO

menyimpulkan beberapa hal:

a) 

Suara perempuan adalah aurat, karena itu perempuan diharuskan bertepuk

tangan dalam shalat;

 b) Perempuan diharuskan bertepuk tangan karena jika mereka mengeraskan

suaranya ketika mengucapkan “amin” atau ungkapan lainnya, hal tersebut

akan menimbulkan fitnah.

c) 

Karena perempuan dan orang-orang kafir biasa bertepuk tangan, maka orang-

orang Islam secara umum tidak boleh bertepuk tangan (‘adam al-tasyabuh bi

al-nisa’ wa al-kuffar).

Khaled menanggapi fatwa di atas bahwa para ahli Hukum CRLO tidak

sadar bahwa jawaban mereka sama sekali tidak rasional. Beliau mengungkapkan

 bahwa pesan ayat tersebut adalah tidak dibenarkan menyembah Tuhan dengan

cara bersiul dan bertepuk tangan. Para ahli hokum CRLO mengabaikan

kekhasan historis dan normative dari ayat tersebut. Ayat tersebut secara eksplisit

merujuk pada ketidaksopanan bentuk-bentuk kepribadatan yang biasa dilakukan

masyarakat Makkah di sekitar Ka’bah. Lebih penting lagi menurut Khaled, jikaseorang perempuan muslim diperkenankan untuk bertepuk tangan dalam shalat,

tidak berarti bahwa bertepuk tangan menyerupai orang kafir, kecuali jika kita

menganggap bahwa perempuan muslim adalah orang-orang kafir.40 

Menurut analisi Khaled, para ahli hukum CRLO membangun seluruh

diskursusnya tentang larangan bertepuk tangan pada asusmsi berbasis gender

(tepuk tangan adalah hal yang biasa dilakukan perempuan), dan asumsi ahistoris

(tepuk tangan adalah hal yang biasa dilakukan orang kafir). Yang menarik

adalah bahwa tidak ada ketentuan khusus atau tegas tentang tepuk tangan. Lebih

 jauh lagi, Hadis Nabi tentantang tepuk tangan itu dipandang muncul pada masaakhir kehidupan beliau. Dari sudut pandang kesejarahannya, kenyataan bahwa

orang-orang Islam bertepuk tangan dalam shalat menunjukkan bahwa tepuk

tangan merupakan perbuatan yang diterima masyarakat. Lagi pula, secara

kronologis tidak ditemukan hadis lain yang melarang tepuk tangan dalam

kondisi apapun, dan bahkan Hadis ini hanya merujuk pada tepuk tangan ketika

shalat. Bahkan hadis ini pun tidal melarangnya secara total, tetapi hanya

membatasinya untuk perempuan saja.41 

40  Khaled Abou el-Fadhl,  Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi,2004), Cet. I, h. 274.

41 Khaled Abou el-Fadhl,  Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati, h. 275. 

Page 17: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 17/20

17 

c.  Tafsir Q.S. al-Ahzab 32 dalam Tafsir Klasik dan Modern

1) Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim

 ى

 

 

    

 ل

ن

  

ق

 ل

 

ل

ى

 

لج

ة

ن

 

م

ن

ن

 ل

 

ن

لع

و

ن

 

 

 

  ن

ى

   

    ى

 

  ؟

 

  ن

  

  

 عن

  قن

 ن

  ق

ض

 

 ﴿

ىى

 Artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita

 yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara

 sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan

ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32)

Terkait surah al-Ahzab ayat 32, Ibnu Katsir menfasirkan bahwa ayat ini

merupakan adab yang diperintahkan Allah kepada para isteri Nabi serta isteri

umatnya yang mengikuti mereka. Allah berfirman kepada isteri-isteri Nabi,

 bahwa jika mereka bertakwa kepada Allah sebagaimana yang Allah perintahkan

kepada mereka, maka mereka tidak dama dengan wanita lainnya.Firman Allah (   فنضختو ب )  “maka janganlah kamu tunduk dalam

berbicara”. Al-Suddin dan selainnya berkata: “yang dimaksud adalah

melembutkan kata-kata jika mereka berbicara dengan laki-laki.” Untuk itu Allah

SWT berfirman; (   ذفطع فا مق  )  “sehingga berkeinginanlah orang yang

ada penyakit dalam hatinya, yaitu niat buruk. (   ق ق

 

منف ) “dan ucapkanlah

 perkataan yang baik”, Ibnu Zaid berkata: kata-kata yang baik, bagus, dan

ma’ruf dalam kebaikan. Makna hal ini adalah bahwa wanita berbicara kepada

kaum pria dengan kata-kata yang tidak mengandung kelembutan. Artinya,

 janganlah seorang wanita berbicara dengan kaum pria seperti berbicara dengan

suaminya.42 

2) Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li al-Ahkam al-Quran

ل

 ى

لج

ة

ن

 

م

ن

ن ل 

ن

لع

و

ن

 

 

 

  ن

ى   

    ى 

  ؟

 

  ن

  

 

  ى 

 

    

 لن

  

ل ق

   

 ن

ع

  ن

 ق

ن

  

ق

ض

 

 ﴿ىى:٢

 Artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita

 yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara

 sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan

ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32)

Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li al-Ahkam al-Quran menyebutkan

 bahwa surah al-Ahzab ayat 32 menyeru Isteri-isteri Nabi dengan menekankan

 bahwa mereka menduduki status sosial yang berbeda dengan kebanyakan

 perempuan muslim lainnya. Kemulian dan keutamaan para Isteri-isteri Nabi

tersebut ditentukan dari derajat ketakwaan mereka .43 

42 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim (T.t.: Darr al-Thaibah, 1420 H/9111 M), Juz 6, h. 40843 Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Al- Jami’ li al -Ahkamil Quran (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I,

h. 177

Page 18: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 18/20

18 

3) Yusuf Qardhawi dalam Fatwanya

ل

 ى

لج

ة

ن

 

م

ن

ن ل 

ن

لع

و

ن

 

 

 

  ن

ى   

    ى 

  ؟

 

  ن

  

 

  ى 

 

    

 لن

  

ل ق

   

 ن

ع

  ن

 ق

ن

  

ق

ض

 

 ﴿ىى:٢

 Artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara

 sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan

ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32)

Terkait beberapa pendapat yang menyatakan bahwa suara wanita adalah

Aurat, termasuk pendapat para ahli hukum CRLO yang telah dikemukakan di

atas, maka penting untuk menampilkan pandangan Yusuf Qardhawi dalam

masalah ini. Yusuf Qardhawi menanggapi pendapat yang menganggap suara

wanita adalah aurat bahwa apakah mereka tidak tahu bahwa al-Quran

memperbolehkan laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi Saw dari balik

tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab

yang lebih berat daripada isteri-isteri lain, sehingga ada beberapa perkara yang

diharamkan kepada mereka yang tidak diharamkan kepada selain mereka.44 

Firman Allah SWT:

 

ز

  ى

ن

 

ن

 

     

  

 

ة

  ن

 ى

ذ

 ﴿ىى:٣

 Artinya: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-

isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 53)

Permintaan atau pertanyaan dari para sahabat itu sudah tentu memerlukan

 jawaban dari isteri-isteri Nabi (Ummahatul Mukminin). Mereka biasa memberi

fatwa kepada mereka dan meriwayatkan Hadis-hadis bagi yang ingin mengambil

Hadis mereka. Begitupun pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi Saw

dihadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu dan Nabi

 pun tidak melarangnya. Selanjutnya, al-Quran juga menceritakan percakapan yang

terjadi antara Nabi Sulaiman a.s dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu

dengan kaumnya yang laki-laki.45 

Sejalan dengan Khaled, Yusuf Qardhawi juga menegaskan bahwa yang

dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang

oleh al-Quran disitilahkan dengan al-Khudu’ (tunduk/lunak/memikat dalam

 berbicara), sebagaimana yang disebutkan dalam surah al-Ahzab ayat 32 yang telah

disebutkan di atas. Ini bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan wanita

dengan setiap laki-laki yang di isyartakan pada ujung ayat Q.S. al-Ahzab 32; ن ق

 

و

 

 

ق

 

عروف

 

م

 “dan ucapkanlah perkataan yang baik.”

44  Yusuf Qardhawi dan As’ad Yasin,  Fatwa-fatwa Kontemporer   terj. dari judul asli “Hadyu al -Islam Fatawy Mu’ashirah” (Jakarta: Gema Insani Pers: 1995), h. 352-353

45 Yusuf Qardhawi dan As’ad Yasin,  Fatwa-fatwa Kontemporer, h. 353 

Page 19: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 19/20

19 

E.  Analisis

Menurut Kholid pada umumnya, paradigma hukum islam berhenti pada klaim

“atas nama Tuhan”. Artinya, setiap metedologi yang tersedia dalam hamparan khazanah

hukum islam senantiasa mencari justifikasi dan legitimasi dari klaim tersebut, bukannya

dalam kerangka memecahkan persoalan, melainkan mempertahankan pandangan semata.Otoritas menjadi salah satu konsep penting dalam pemikiran Abou El-Fadl, terutama

terkait dengan diskursus hukum islam. Abou Fal menemukan adanya ketegangan yang

terdapat dalam tradisi penafsiran teks-teks keagamaan. Ketegangan itu terutama

menyangkut relsi antara otoritas teks dan kontruksi teks bersifat otoriter.

Sederhanya, Khaled menekankan pentingnya mengembalikan etos intelektual, etos

keilmuwan yang pernah ada dalam sejarah umat Islam di tengah ramai atau riuhnya

‘klaim’ (pengakuan) banyak orang yang merasa paling tahu dan paling benar mengenai

maksud Allah dan Nabi sampai-sampai mereka merasa sebagai satu-satunya orang yang

 paling ‘mewakili’ Allah dan Rasul, mereka lupa bahwa setiap orang diberikan mandat

‘menjadi wakil Allah’ (khalifah) di muka bumi. 

Tampaknya pemikiran Abou el-Fadhl menganut paham “relativitas”. Bukan tanpa

alasan Abou El-Fadhl menganut pemikiran relativitas, sebaliknya pemikiran seperti ini

inspirasinya justru meminjam teorinya Amin Abdullah tentang perkembangan pemikiran

Islam yang selalu mendasarkan pada termuat dalam “normativitas dan historisitas”. Dan

yang terpenting adalah bahwa tawaran hermeneutika Abou El Fadl, yang digagas dari

 paradigma hukum Islam dalam konstruksinya tentang hermeneutika tidak hanya aplikatif

dalam penafsiran al-Qur’an, tapi juga pada teks-teks Islam yang lain. Dengan kata lain,

Abou El-Fadhltelah mencoba melakukan rancang bangun hermeneutika yang dapat

menjadi prinsip-prinsip umum dalam menafsirkan teks-teks Islam (baik yang sakralmaupun yang profan).

SEKIAN

Page 20: Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

8/16/2019 Pemikiran Tafsir Khalid Medhiat Abou El Fadhl PDF

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-tafsir-khalid-medhiat-abou-el-fadhl-pdf 20/20

DAFTAR PUSTAKA

Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis  (Yogyakarta:

LKiS, 2009)

Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Al- Jami’ li al -Ahkamil Quran  (Jakarta: Pustaka Azzam,

2009)

Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-

Ilmiyyah wa al-Ifta/Council for Scientific Research and Legal Opinions), Dalam: 

http://www.alifta.net/  

Ibnu Katsir  , Tafsir al-Quran al-Azhim (T.t.: Darr al-Thaibah, 1420 H/1999 M)

Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif  terj. R.

Cecep Lukman Y. dari judul asli “Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority,and Women (Jakarta: Serambi, 2004)

Mohammad Muslih,  Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama  (Vol. 5, No. 2,

Dhulqa’dah 1430) 

Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya’ al-turast al-Araby, tt), Juz I, h. 316.

 Nasrullah,  Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas

 Penafsiran oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2,

Agustus 2008

Teresa Watanabe,  Konsepsi jihad Khaled Medhiat Abou el-Fadl dalam Battling Islamic

 Puritans (Los Angeles Times: 2 Januari 2002)

Tholchatul Choir, Ahwan Fanani (ed.),  Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer ,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)

Tuhan Milik Laki-laki, dalam http://abuthalib.wordpress.com/2009/12/25/tuhan-milik-laki-

laki/, diunduh pada tanggal 6 Februari 2010.

Yusuf Qardhawi dan As’ad Yasin,  Fatwa-fatwa Kontemporer  terj. dari judul asli “Hadyu al - Islam Fatawy Mu’ashirah” (Jakarta: Gema Insani Pers: 1995)