PEMIKIRAN KH. M. SYAFI’I HADZAMI MENGENAI FIKIH MAWARIS...
Click here to load reader
Transcript of PEMIKIRAN KH. M. SYAFI’I HADZAMI MENGENAI FIKIH MAWARIS...
PEMIKIRAN KH. M. SYAFI’I HADZAMI MENGENAI FIKIH MAWARIS
(Studi Naskah Kitab Taudlihul adillah)
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
OLEH :
SYAMSUL BAHRI
NIM. 1111044100068
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H / 2018 M
ii
PEMIKIRAN KH. M. SYAFI’I HADZAMI MENGENAI FIKIH MAWARIS
(Studi Naskah Kitab Taudhihul Adillah)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SYAMSUL BAHRI
NIM 1111044100068
Pembimbing
Sri Hidayati, M.Ag
NIP : 197102151997032002
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PEMIKIRAN KH. M. SYAFI’I HADZAMI MENGENAI FIKIH
MAWARIS (Studi Naskah Kitab Taudlihul Adillah), telah diujikan dalam sidang Munaqasah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 2 Juli 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah).
Jakarta, 2 Juli 2018
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Asep Saepudin Jahar, MA.
NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
1. Ketua : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. (……………………….....)
NIP. 196706081994031005
2. Sekretaris : Indra Rahmatullah, MH. (……………………….…)
NIP.
3. Pembimbing : Sri Hidayati, M.Ag. (……………………….....)
NIP. 197102151997032002
4. Penguji I : Afwan Faizin, M.A. (……………………….…)
NIP. 1972102620031210001
5. Penguji II : Mara Sutan Rambe, S.H.I., M.H. (……………………….…)
NIP.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Juni 2018
Syamsul Bahri
ABSTRAK
Syamsul Bahri. NIM 1111044100068. PEMIKIRAN KH. MUHAMMAD SYAFI'I
HADZAMI MENGENAI FIKIH MAWARIS (Studi Naskah Kitab Taudhihul Adillah).
Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. xi +78
halaman.
Pada penelitian ini penulis melakukan penelitian yang menjadikan sumber pustaka
sebagai tumpuan utamanya, ini digunakan agar dapat melakukan efisiensi dalam penelitian
dan memudahkan penulis untuk mendapatkan data yang diperlukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pandangan serta landasan dan hujjah
yang digunakan oleh seorang Mu’allim KH. Syafi’i Hadzami dalam menjawab sebuah
persoalan yang timbul, terkhusus persoalan ataupun pertanyaan yang berkaitan dengan waris.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, beliau dalam menjawab sebuah pertanyaan
yang berkaitan dengan waris, selalu berpedoman kepada al qur’an dan al hadits. Sumbangsih
pemikiran beliau dalam keilmuaan agama sangatlah luar biasa. Corak pemikiran beliau dalam
menjawab pertanyaan seputar warisan tidak pernah jauh dari pemikiran ulama mazhab
syafi’iyyah.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pemikiran beliau yang tak
pernah lepas dari al qur’an dan as sunnah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
masuk kepada beliau, terkhusus yang berkaitan dengan hukum waris, beliau juga terkenal
sangat hati-hati (ikhtiyath) apabila menjawab sebuah persoalan-persoalan baru yang muncul
(persoalan kontemporer).
Kata Kunci : Waris, Risalah, Mu’allim, Majelis, AsySyirotus-Syafi’iyyah
Pembimbing : Sri Hidayati, M.Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1972 s.d Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufik, nikmat, hidayah dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
selalu tercurahkan kepadasuri tauladan umat manusia, Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda tercinta Almh Rutiyah binti Garut
dan Ayahanda tercinta Alm. Djamhari bin H Djahari yang selalu memberikan kasih sayang,
bimbingan, dan doa tanpa kenal lelah. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat
dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
Dalam persiapan dan pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan skripsi ini,
tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Karena itu
penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr Abdul Halim, M.Ag. dan Indra Rahmatullah, SH.I, MH. selaku Ketua dan
sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah.
3. Sri Hidayati, M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang tak pernah lelah membimbing,
mengarahkan, dan memberikan kritikan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi
ini.
4. Afwan Faizin, MA. selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dan saran-saran bagi penulis
hingga terselesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan memberikan
arahan kepada kami selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terkhusus
untuk Bapak Arip Purkon, M.A. yang senantiasa mendongkrak semangat penulis
dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
6. Kepada seluruh staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membantu
dalam segala hal terutama Pak Faza dan Bu Yanti.
7. Kepada seluruh Abang-abang dan kakak-kakak penulis: Wiyalkah, Nunung
Rusmaidah, Esih Sumarsih, Alm Ujud Nazaruddin, Ruhiyat, Hairuddin, S.Ag, Neneng
Hawaliyah, S.Pd.SD, Idham Cholid, Marwati, Saubis yang semuanya selalu
membantu penulis dalam segala hal tanpa rasa lelah semenjak penulis ditinggal oleh
kedua orang tua yang sangat penulis cintai.
8. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas beserta staf yang telah
memberikan fasilitas kepada kami dalam menelusuri literatur yang berkaitan dengan
skripsi ini.
9. Kepada Keluarga Besar Yayasan Al-Asyirotusy Syafi'iyyah Khususnya kepada Ust.
Hariri Syafi'I Hadzami yang banyak memberikan bantuan, dukungan, pengetahuan
mengenai sedikit banyaknya sosok KH. Muhammad Syafi'I Hadzami.
10. Keluarga besar Peradilan Agama Angkatan 2011 kelas A dan B terutama Muhammad
Fathinnuddin, S.Sy, MH, Rahmatullah Tiflain, S.H., S.Sy Muhammad Hira Hidayat,
S.Sy, Hendrawan, S.Sy, Ahmad Firdaus, S.Sy, Moch Shandika Rizkiyandi,
Muhammad Fahry, S.Sy, Muhammad Fakhru, S.Sy, Nabilla Alhalabi, S.Sy,
Muhammad Nazir, S.Sy, Chaidar Alif, S.Sy, Fauzan Hakim, S.Sy, Hatoli Salman,
S.Sy, MH serta seluruh rekan-rekan lainnya yang telah mendoakan penulis.
11. Kepada seluruh pengurus Ikatan Remaja Masjid Nurul Ikhwan (IRMANI) Kampung
Tajur, Ciledug, Kota Tangerang atas doa dan dukungannya.
12. Keluarga Besar Majelis Sirojul Munir Tangerang yang tak pernah lelah mendoakan
penulis.
13. Keluarga besar K.U.A SQUAD yakni Muhammad Rizki Romdhon dan Nurul
Khomsah serta seluruh rekan-rekan lainnya yang telah memeberikan motivasi,
dukungan dan doa yang tiada henti kepada penulis.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam proses membuka
wawasan pengetahuan, menambah khazanah keilmuan, dan dapat menjadi salah satu
cahaya penerang diantara ribuan cahaya pengetahuan lainnya.
Jakarta, 24 Juni 2018
Penulis
1
Daftar Isi
Pemikiran KH. M. Syafi’i Hadzami mengenai Fikih Mawaris
(Studi Naskah Kitab Taudlihul Adillah)
BAB I ........................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................... 3
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian .............................................................................................................. 9
D. Metodologi Penelitian ...................................................................................................... 9
E. Teknik Pengolahan data ................................................................................................. 11
F. Review Studi Terdahulu ................................................................................................. 12
G. Sistematika Penulisan .................................................................................................... 13
BAB II ..................................................................................................................................... 15
KETENTUAN HUKUM WARIS ISLAM ............................................................................. 15
A. Pengertian Waris ........................................................................................................... 15
B. Dasar Hukum Waris ..................................................................................................... 17
C. Rukun dan Syarat Waris ............................................................................................... 22
D. Sebab-Sebab Kewarisan ................................................................................................ 25
E. Penghalang Kewarisan.................................................................................................. 27
F. Hikmah Kewarisan ....................................................................................................... 29
G. Ahli Waris dan Bagiannya ............................................................................................ 30
H. Metode Pembagian Waris ............................................................................................. 33
I. Hukum Pembagian Waris Berdasarkan Musyawarah .................................................. 35
2
BAB III ................................................................................................................................... 40
BIOGRAFI SINGKAT K.H.M. SYAFI‟I HADZAMI ........................................................... 40
A. Kelahiran, Silsilah Keluarga dan Masa Kecil ................................................................ 40
B. Perjalanan Pendidikan .................................................................................................... 42
C. Perkawinan dan Keluarga ............................................................................................... 47
D. Karir dan Profesi ............................................................................................................ 47
E. Kontribusi KH M Syafi‟i Hadzami dalam Pendidikan Islam ......................................... 52
BAB IV ................................................................................................................................... 61
IJTIHAD KH. M. SYAFI‟I HADZAMI DALAM PERSOALAN WARIS DAN ANALISIS
PENULIS ................................................................................................................................ 61
A. Perkara Waris dalam Kitab Taudhiul Adillah ............................................................... 61
B. Analisis Penulis ............................................................................................................ 70
BAB V .................................................................................................................................... 77
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................... 77
A. KESIMPULAN ............................................................................................................ 77
B. SARAN-SARAN .......................................................................................................... 78
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehadiran Islam di Jakarta dan semakin banyaknya masjid yang didirikan
pada abad ke -18, terutama setelah membludaknya orang Batavia yang menuntut ilmu
di Mekah, membawa daya jelajah intelektual yang luar biasa pada abad-abad
berikutnya. Banyaknya ulama yang bermunculan di abad ke-20 di berbagai penjuru
kota Jakarta, dengan masjid dan lembaga pengajian sebagai locus intelektual,
membawa dampak pada kecenderungan masyarakat Betawi (sebagai suku asli) yang
dikenal sebagai masyarakat yang taat beragama (religius). Bahkan, Rafless sampai
mengakui kemajuan perkembangan Islam di kalangan penduduk kota Batavia bentuk
asimilasi antara penduduk pribumi dengan pendatang selalu disebut islamisasi orang
selam.1
Muhammad Syafi‟i,. itulah nama yang diberikan Bapak Muhammad Saleh
Raidi dan Ibu Mini untuk anak tertua mereka yang lahir pada tanggal 31 Januari 1931
M bertepatan dengan 12 Ramadhan 1349 H. dikemudian hari ia lebih dikenal dengan
nama Syafi‟i Hadzami atau lengkapnya K.H.M. Syafi‟i Hadzami. Oleh anak-anak dan
cucu-cucunya, ia kini biasa dipanggil jid (dari kata bahasa arab yang berarti kakek).
Adapula yang memanggilnya buya. Sedangkan murid-muridnya biasa menyebutnya
1 Mastuki HS dan M Ishom El-saha (ed.), Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka,
2003), cet ke-1, hlm 113
4
dengan sebutan Muallim. Ada cerita menarik dibalik nama Hadzami yang akan
dijelaskan nanti. Di kemudian diberi nama Hadzami menjadi sangat melekat pada
dirinya dan banyak orang mengira bahwa Syafi‟i Hadzami adalah nama beliau sejak
lahir. Sehingga, jika disebut nama Muhammad Syafi‟i, mungkin tidak tahu bahwa itu
nama beliau.2
Silsilah dari garis ayah hanya diketahui sampai generasi ketiga, meskipun
hanya dari orang tua laki-lakinya saja. Lengkapnya : Muhammad Saleh Raidi Bin
Raidi Bin Sholihin. Nama yang terakhir ini berasal dari Sumedang, Jawa Barat.
Dengan demikian, nenek moyang KH. M. Syafi‟i Hadzami baik dari garis ibu
ataupun garis ayah, berasal dari Jawa Barat. Sedangkan silsilah garis ibu ; ibu Mini,
tidak diketahui secara jelas bahkan untuk nama ayah dan ibunya saja tidak diketahui.
Yang jelas, KH. Syafi‟i Hadzami hanya mengetahui bahwa ibunya tersebut
mempunyai empat orang saudara3.
Sejak kecil Muallim Syafi‟i dikenal sangat gigih dalam menuntut ilmu.
Kegigihan ini terus berlanjut dan tak pernah hilang dalam perjalanan hidupnya. Tak
ada satu masapun dalam masa hidupnya yang kosong dari kegiatan menimba ilmu.
Dalam perkara yang satu ini ia benar-benar tak merasa puas. Selalu saja ia merasa
kekurangan. Pada usia sekitar 4 tahun ia telah mulai belajar al-Qur‟an beserta
2 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, (Jakarta:Yayasan Al- „Asyirotusy-Syafi‟iyah,
2012), hlm. 11 3 Muhlis, laporan penelitian dan penulisan biografi KH. M. Syafi‟i Hadzami di Provinsi DKI
Jakarta, (Badan Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) Agama, Departemen Agama RI, Jakarta,
1989/1990), hlm. 32
5
tajwidnya dan dasar-dasar ilmu agama pada kakenya sendiri. Tahun demi tahun
dijalaninya hal itu dengan tekun. Kegiatan ini terus berlanjut sampai kakeknya itu
wafat yaitu tidak lama setelah Muallim Syafi‟i lulus sekolah dasar.4
Kitab-kitab adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Muallim
Syafi‟i Hadzami. Karena pergumulan yang demikian intens sejak muda dengan
sumber ilmu itu, ia semakin haus untuk terus memburu ilmu. Semangatnya yang
menggebu-gebu untuk mendapatkan hal-hal yang baru memberikan dorongan yang
sangat besar pada dirinya untuk memiliki banyak kitab. Karenanya, sejak muda ia
mengumpulkan kitab sedikit demi sedikit. Obsesinya adalah memiliki referensi yang
lengkap dalam berbagai disiplin ilmu.5
Dalam hal kitab, boleh dikatakan Muallim benar-benar seorang pecintanya.
Satu demi satu kitab ia kumpulkan. Kalau ada uang lebih, penggunaannya hampir
selalu untuk beli kitab. Bahkan, pernah ia menjual sepeda sekedar untuk membeli
kitab. Kejadian ini diceritakan oleh seorang kawan mengaji Muallim dulu, K.H.
Fathullah Harun yang kemudian bermukim di Malaysia dan menjabat sebagai Imam
Negara. Dengan kecintaannya yang luar biasa pada kitab-kitab, koleksi kitab Muallim
dari tahun ke tahun makin bertambah dan terus bertambah. Bahkan dalam tahun-
4Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm 31
5Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm 54
6
tahun terakhir ini, ia masih sering memesan kitab dari Timur Tengah dalam jumlah
yang tidak sedikit dengan biaya pengiriman yang mencapai jutaan rupiah.6
Selain mengajar kitab-kitab pada majelis-majelis taklim, Muallim juga pernah
mengasuh pengajian di Radio Cendrawasih, Jakarta. Pengajian udara ini dimulai
sejak tahun 1970 dan terus mengudara selama beberapa tahun. Acara ini sangat
diminati oleh para pendengar, sehingga menjadi sangat terkenal. Dakwah Islamiyah
melalui Radio Cendrawasih mencerminkan gairah dan kepedulian Muallim terhadap
syiar Islam. Sebenarnya isi dan sifat pengajian tersebut tidak berbeda dengan
pengajian-pengajian lain yang diberikannya di berbagai pelosok Jakarta, hanya saja
tidak langsung bertatap muka. Pengajian udara memiliki kelebihan karena mampu
menjangkau sasaran yang lebih luas dan lebih beragam.7
Pengajian udara yang diasuh Muallim juga membuahkan hasil yang dapat
memberikan manfaat secara lebih luas. Pada tahun 1971, yaitu setahun setelah acara
itu berjalan, jawaban-jawaban yang beliau sampaikan berikut dengan pertanyaan-
pertanyannya diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Taudhihul-Adillah yang
artinya menjelaskan dalil-dalil, disertai judul dalam bahasa Indonesia Seratus
Masalah Agama. Dalam buku itu, permasalahan-permasalahan yang ditanyakan
diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, misalnya aqidah, akhlak,
6 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 54
7 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 97
7
adzan/khutbah, puasa/zakat, qurban/aqiqah, doa, zikir, sedekah, muamalah,
munakahah, khitan, dan sebagainya.8
K.H. M. Syafi‟i Hadzami memiliki keahlian yang tidak biasa dimiliki oleh
banyak pengajar agama, yaitu keahliannya dalam hal tulis menulis. Banyak karya
yang telah beliau tulis. Berikut ini adalah penjelasan singkat dari karya-karya beliau
diluar kitab Taudhihul Adillah yang merupakan masterpiece dari karya-karya beliau
dan sudah dijadikan bahan studi di Negara Malaysia.
Hukum kewarisan islam merupakan hukum waris yang wajib di pelajari dan
di terapkan dalam setiap pristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat terutama
mereka yang beragama Islam. Namun hukum waris yang berlaku di Indonesia bukan
hanya hukum waris Islam tetapi ada pula hukum waris adat, dan hukum waris
perdata. Seiring berkembangnya jaman hukum waris adat pun sudah jarang di
gunakan pada masyarakat urban yang pada umumnya mereka lebih suka memakai
hukum waris islam karna agamanya dan hukum waris perdata. Di sini pemerintah
sangat sulit untuk mengatur unifikasi hukum waris di Indonesia9. Adapun dalam
istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal
dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono
Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak
8 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 99
9 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995),
hlm. 6
8
dan kewajiban kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup10
.
Pada kesempatan ini penulis berusaha untuk memaparkan mengenai
pemikiran KH. A. Syafi‟i Hadzami dalam hal mawarits berdasarkan dari salah satu
kitab yang beliau karang, dari berbagai macam kitab yang dikarang oleh beliau. Kitab
yang akan dijadikan landasan penulis adalah kitab Taudhihul-Adillah, menurut
penulis kitab tersebut mencerminkan pemikiran beliau dalam berbagai aspek,
khususnya fikih mawarits. Karena penyusunan kitab tersebut pun berdasarkan
jawaban-jawaban beliau ketika menjadi pembicara di radio Cenderawasih, sehingga
dapat disimpulkan bahwa jawaban tersebut merupakan hujjah hasil pemikiran beliau.
Penulis tertarik meneliti hal ini sehingga judul penelitian dari skripsi ini adalah
Pemikiran KH. M. Syafi’i Hadzami mengenai Fikih Mawarits (Studi Naskah
Kitab Taudlihul Adillah)
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Pembatasan masalah pada skripsi ini dibatasi pada persoalan Pemikiran K.H.
M. Syafi‟i Hadzami yang berkaitan dengan persoalan-persoalan seputar Fikih
Mawarits yang terdapat pada salah satu karya yaitu kitab Taudhihul Adilah.
Adapun rumusan masalahnya adalah:
1. Apa pendapat K.H. Muhammad Syafi‟i Hadzami terhadap ayat-ayat waris ?
10
Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1983), hlm. 13
9
2. Bagaimana pengaruh hukum positif terhadap pendapat K.H. Muhammad
Syafi‟i Hadzami mengenai waris?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui lebih mendalam pemikiran K.H. Muhammad Syafi‟i
Hadzami dalam konsep mawarits.
2. Untuk mengetahui konsep ijtihad yang digunakan K.H. Muhammad Syafi‟i
Hadzami dalam menentukan suatu hukum.
3. Mengetahui landasan hukum yang digunakan K.H. Muhammad Syafi‟i
Hadzami dalam mengistinbatkan suatu persoalan yang ditanyakan kepada
beliau.
4. Sebagai sumbangsih bagi khazanah pengetahuan fikih mawarits khususnya di
Indonesia.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian skripsi ini penulis melakukan satu jenis penelitian, yaitu dengan
penelitian pustaka (Library Research)
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat penelitian kualitatif, penelitian bermaksud memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku,
10
persepsi, motivasi, tindakan dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.11
2. Sumber Data
Pada penelitian kualitatif, sumber data primernya adalah kata-kata dan
tindakan. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati dalam hal ini K.H.
Muhammad Syafi‟i Hadzami (berupa hasil karya beliau, yaitu dalam kitab Taudlihul
Adillah). Penulis menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan
analisis isi (content analysis). Analisis isi merupakan teknik untuk mempelajari
dokumen. Dari dokumen yang tersedia, penelitian ini dilakukan untuk mengungkap
informasi-informasi yang berguna di bidang masing-masing12
.
Sedangkan sumber sekunder dari penelitian kualitatif, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Lexy J. Moloeng13
, adalah berasal dari sumber tertulis, seperti buku,
dan majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. dicatat melalui
catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio tapes, pengambilan foto atau
film.
11
Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006), Cet. Ke-22, hlm. 3, 12
M. Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung : CV. Pustaka Setia,
2001), hlm. 37 13
Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 159
11
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah:
a) Penggunaan Dokumen
Dokumen yang akan penulis jadikan rujukkan adalah berupa karya-karya tulis
yang dibuat oleh Mu‟allim Syafi‟i Hadzami baik berupa artikel, buku, dan dokumen
resmi lainnya.
Penekanan penelitian ini adalah ingin menemukan berbagai teori, hukum,
dalil, prinsip, pendapat, gagasan dan lain-lain yang dipakai untuk menganalisis dan
memecahkan masalah yang diteliti. Jadi, penelitian ini mengacu pada buku-buku,
artikel, dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang penulis
teliti14
.
E. Teknik Pengolahan data
Sebagai proses kerja penulisan skripsi ini lazimnya penulisan karya sejarah
ada empat tahapan yaitu:
1. Kritik, yaitu meneliti atau menganalisis kevalidan informasi dari sekian
banyak sumber tertulis. Terhadap sumber data, dilakukan kritik internal dan
kritik eksternal. Kritik internal berkenaan dengan ontensitas sumber yang
sangat tergantung kepada motivasi, tingkat kemencengan (bias) dan
14
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),
hlm. 1
12
keterbatsan dalam pengamatan. Sedangkan kritik eksternal berkenaan dengan
relevansi dan akurasi sumber berkenaan dengan struktur dan pola budaya
yang melingkupi peristiwa tersebut.
2. Interpretasi, yaitu menafsirkan fakta-fakta yang saling berhubungan.
3. Penulisan sebagai langkah terakhir dari prosedur penulisan sejarah ini
diusahakan agar selalu memperhatikan aspek kronologis.
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis isi (content analysis) yang
merupakan proses memilih, membandingkan, menggabungkan, memilih berbagai
pengertian hingga ditemukan pengertian yang relevan dengan fokus penelitian15
.
F. Review Studi Terdahulu
Dari beberapa skripsi yang terdapat di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hdayatullah Jakarta, penulis menemukan data yang
berhubungan dengan penelitian yang sedang ditulis:
Penulis yang bernama Suryanih dengan judul “ KH Muhammad Syafi‟i
Hadzami, Riwayat Hidup dan Perjuangannya di Kalangan Masyarakat Betawi” Tahun
2007 dibawah bimbingan Drs. H. E. Hasan Saleh dan Dra. Hj. Tati Hartimah, MA.
Hanya membahas mengenai peran muallim Syafi‟i Hadzami di kalangan masyarakat
Betawi. Skripsi ini belum sama sekali membahas mengenai dasar Ijtihad yang beliau
gunakan dalam menentukan suatu persoalan dalam agama.
15
Amin Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Multi Disipliner, (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semester, 2006), hlm. 226
13
Penulis yang bernama Ahmad Fauzie dengan judul “Studi Metodologi dan
Hasil Ijtihad K.H.M. Syafi‟i Hadzami Yang Terkait Dengan Persoalan-Persoalan
Kekinian” Tahun 2006 dibawah bimbingan Dr. H. A. Mukri adji, MA. Membahas
mengenai pemikiran mualim dalam konteks kontemporer (kekinian) belum
membahas mengnai waris dalam perspektif KH Muhammad Syafi‟I Hadzami baik
secara umum maupun secara khusus.
Setelah melakukan analisa terhadap berbagai literatur di atas, penulis rasa
bahwa pembahasannya tidak ada yang menitik beratkan kepada ” Pemikiran KH. M.
Syafi’i Hadzami mengenai Fikih Mawarits (Studi Naskah Kitab Taudlihul
Adillah) ”. Berdasarkan pertimbangan penulis, penelitian ini perlu dikembangkan
lebih jauh dan dikembangkan lebih luas agar bagaimana masyarakat dan penulis
khususnya dapat lebih memahami dan mengerti tentang apa faktor-faktor yang
melatar belakangi pemikiran K.H. M. Syafi‟i Hadzami dan metodologi ijtihad yang
digunakan khususnya dalam bidang kewarisan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atsa lima bab dengan penjelasan sebagai
berikut:
Bab I : PENDAHULUAN, yang menjelaskan latar belakang masalah, tujuan
penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian, yang
14
dipergunakan sebagai kerangka menuju uraian yang sistematis dan berakhir
sistematika penulisan
Bab II : FIKIH MAWARIS, menguraikan tentang: Pengertian fikih mawaris,
memahami pembagian mawaris dalam Islam dan bagaimana pendapat ulama
mengenai pembagian waris.
Bab III : BIOGRAFI KH MUHAMMAD SYAFI‟I HADZAMI, membahas
tentang: masa hidup beliau, latar belakang pendidikan beliau, karya-karya beliau dan
latar belakang pemikiran beliau.
Bab IV : METODOLOGI DAN HASIL IJTIHAD KH MUHAMMAD
SYAFI‟I HADZAMI DALAM PERSOALAN FIKIH MAWARIS, membahas
tentang: metodologi Ijtihad KH Muhammad Syafi‟i Hadzami dalam mengeluarkan
pendapat mengenai waris.
Bab V : KESIMPULAN, membahsa tentang beberapa kesimpulan yang bisa
disarikan dari skripsi ini, juga disertai dengan saran-saran yang akan sangat berguna
kelanjutan dari skripsi ini ke depan.
15
BAB II
KETENTUAN HUKUM WARIS ISLAM
A. Pengertian Waris
Kata waris atau mawaris secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa Arab,
yaitu “waritsa, yuritsu, waritsan atau wirtsan, yang berarti mempusakai”.16
Dalam
literatur Indonesia sering digunakan kata “Waris” atau “Warisan”, tetapi sebaiknya
kata “kewarisan” saja yang harus digunakan. Alasannya dengan adanya awalan “ke‟
dan akhiran “an” jelas menunjukkan kata benda dan mempunyai makna yang
berhubungan dengan mewarisi, diwarisi, dan mewariskan.17
Hukum waris dalam
ajaran Islam disebut dengan istilah “Faraidh”. Kata faraid adalah bentuk jamak dari
faridah yang berasal dari kata fardu yang berarti ketetapan, pemberian sedekah.18
Ilmu faraid adalah ilmu yang membahas tentang peralihan hak milik terhadap
harta kekayaan dalam hal ini penentuan siapa-siapa saja yang berhak menjadi ahli
waris, berapa bagian masing-masing ahli waris, kapan harta peninggalan (tirkah) itu
bisa dibagi dan bagaimana cara pembagian/membagikannya.19
16 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, cet VII (Jakarta : PT. Hidakarya Agung), hlm.
496.
17 Achmad Kuzari, Sistem Asabah, cet I (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 1.
18 Amien Husein Nasution, Hukum Kewarisan, cet I (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
2012), hlm. 49.
19 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, cet I (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm. 11.
16
Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal kepada yang masih hidup, aturan tentang peralihan harta ini disebut
dengan berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk
menamakan Hukum Kewarisan Islam seperti : Faraid, Fikih Mawaris dan Hukm al-
Waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah yang
dijadikan titik utama dalam pembahasan. Kata yang lazim dipakai adalah Faraid.20
Hukum kewarisan mengatur hubungan antara seseorang dengan benda
dikarenakan ada orang (lain) meninggal dunia, artinya satu sisi mungkin sekali orang
memperhatikan Hukum Kewarisan karena mengatur benda dihubungkan dengan
subyek (orang), atau pada sisi lain karena mengatur subyek (orang) yang mempunyai
hubungan dengan benda tersebut.21
Di dalam al-Qur`an dan hadits Nabi SAW tidak dijumpai ayat tertentu
maupun hadis nabi yang memberikan penjelasan tentang pengertian hukum kewarisan
Islam. Untuk itu dikalangan para ulama juga terjadi perbedaan pendapat dalam
memberikan deifnisi kewarisan Islam sebagai perpindahan pemilik dari si mati
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkannya itu berapa harta
maupun hak.22
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
20 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, cet I (Jakarta : Kencana 2004), hlm. 1.
21 Achmad Kuzari, Sistem Asabah, hlm. 5.
22 Muhammad Ali as-Syabuni, al-Mawaris fi asy-Syariiah al-Islamiyah, (Beirut : Daar al-
Qalam 1409H/1989M), hlm. 32.
17
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.23
Dari pengertian ini dapatlah diketahui bahwa substansi
dari hukum kewarisan termasuk kewarisan Islam ialah pengaturan tentang peralihan
hak milik dari si mayit (pewaris) kepada ahli warisnya.
B. Dasar Hukum Waris
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat al-
Qur`an sebagai Firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW
dan Hadits Rasul yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang didiamkan
Rasul. Baik dalam al-Qur`an maupun Hadits-hadits Rasul dasar hukum kewarisan itu
ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang secara sirat, bahan kadang-kadang
hanya berisi pokok-pokoknya saja yang paling banyak ditemui dasar atau sumber
hukum kewarisan itu dalam surat an-Nisaa` di samping surah-surah lainnya sebagai
pembantu.24
Dasar hukum waris Islam diantaranya ialah :
1. Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah wahyu Allah SWT, yang merupakan mu`jizat yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dan pedoman
hidup bagi pemeluk agama Islam. Di dalam al-Qur`an hal-hal yang berkaitan dengan
23 Kompilasi Hukum Islam, Bab I, Buku II, Pasal 171, huruf a, hlm. 56.
24 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, cet I (Jakarta : Pedoman Ilmu
Jaya 1992), hlm. 46.
18
warisan sebagian besar nya diatur dalam QS. an-Nisa ayat 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
dan 176, beberapa dalam surat lain seperti QS. al-Anfaal ayat 75.
ل ان وٱ ل و
م ا ترك ٱ م ساء هطيب م كربون ونلن ل
ان وٱ ل مو
ا ترك ٱ م لرجال هطيب م فروضا كربون ن ا كل منه ٱو كث هطيبا م مم
( 7: 4 /)سورة امنساء
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”.
Pada intinya ayat tersebut berbicara tentang pengalihan harta pusaka dari
pewaris kepada ahli warisnya yang terdekat. Oleh karena itu, al-Raghib mengatakan
bahwa kewarisan adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada
seseorang yang masih hidup tanpa terjadi aqad terlebih dahulu. Ini berarti unsur yang
sangat penting dalam proses pelaksanaan kewarisan adalah terdiri dari pewaris, ahli
waris, dan harta pusaka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa esensi kewarisan
dalam al-Qur`an adalah proses pelaksanaan hak-hak pewaris kepada ahli warisnya
dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara yang telah ditetapkan oleh nash.
Atau lebih khusus dapat dicatat bahwa apabila seseorang telah wafat, maka siapa ahli
warisnya yang terdekat dan berapa saham yang diterima setiap ahli waris.25
ثنتي فل ن كن وساء فوق ٱ
لهثيي فا
كر مثل حظ ٱ دك نذل ف ٱوم لل
حدة فلها هن ثلثا ما ترك وضيك ٱ ن كهت و
وا
م يكن ل ن مۥ ول فا ن كن ل
ا ترك ا دس مم مس
نما ٱ حد م منطف ولبوه مك و
ن كن ٱ
فا ل مث
ه ٱ م ف ۥ ول وورثهۥ ٱبوا
ه ٱ م خوة ف
ۥ ا م ٱكرب ل دس من بؼد وضية وص با ٱو دين ءابؤك وٱبناؤك ل ثدرون ٱي ن مس
ا لل
ن ٱ مك هفؼا فرضة م
كن ػلميا حكميا )سورة امنساء لل ( ١١: 4 /ٱ
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi
25
Ali Parman, Kewarisan Dalam al-Qur`an : Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 1995), hlm. 27.
19
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Al-Raghib al-Ashfahaniy menjelaskan secara khusus bahwa pengalihan harta
pusaka yang dikehendaki oleh ayat 11 di atas terdiri dari dua kemungkinan. Pertama,
pewaris mempunyai keturunan. Kedua, pewaris tidak mempunyai keturunan.
Konsekuensi kedua hal tersebut adalah bahwa pengalihan harta pusaka tetap
dilaksanakan, meskipun pewaris tidak mempunyai keturunan.26
2. Hadits
Hadits adalah perkataan nabi Muhammad SAW, perbuatannya dan
keterangannya. Di dalam hadits yang menerangkan mengenai pentingnya
mempelajari ilmu faraid dan cara pembagiannya terdapat dalam Hadits Ibnu Majah
dan Hadits Ibnu Abbas.
26
Ali Parman, Kewarisan Dalam al-Qur`an : Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, hlm. 26.
20
و فاهه هطف امؼل اامفرائظ وػلموه مواثؼل اي ٱب هريرة كال رسول هللا ضىل هللا وسل هللا غنه كال:هريرة ريض غن ايب
)روا ابن ماجه( ع من ٱميتاهه نىس وهو ٱول ن 27
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasullah saw bersabda : Waha Abu
Hurairah, pelajarilah ilmu Faraid dan lalu ajarkanlah. Karena dia separuh dari
ilmu dan akan (mudah) dilupakan orang. Dan dia adalah ilmu yang akan pertqama
kali dicabut dari umatku. (HR. Ibnu Maajah).
Pengertian hadits di atas menunjukan bahwa dalam mempelajari ilmu faraid
amat sangat penting, dikarenakan pembelajaran ilmu ini terkait dengan pemindahan
harta yang sudah meninggal kepada ahli waris nya yang masih hidup.
احللواامفرائظ بهلها مفا بلى لوىل رجل ذكر. )متفق رسول هللا ضيل هللا وسل غن ابن غباس ريض اهللا غنه كال:كال
ػليه(28
Dari Abbas r.a. berkata,Rasullah saw bersabda : Berikanlah bagian-bagian
kepada ahli-ahlinya, maka apa yang lebih, adalah bagi laki-laki yang lebih hampir.
(Muttafaq `Alaih).
Pengertian dari hadits tersebut menyatakan bahwa harta peninggalan
seseorang, hendaklah dibagikan kepada ahli warisnya menurut al-Qur`an dan Sunnah,
dan yang lebih dari pembagian itu hendaklah diberikan kepada `ashabah laki-laki
yang paling hampir dari yang ada.
Jumlah bagian yang telah ditentukan al-Qur`an ada enam macam, yaitu
setengah (1/2), seperempat (1/4 ), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga
(1/3), dan seperenam (1/6).
27
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, hlm 49 28
An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (Beirut: Dar al Fikr, 1972) hlm 52
21
3. Ijtihad
Ijtihad artinya sepakat, setuju atau sependapat. Ijtihad adalah menggunakan
seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara` dengan jalan menyimpulkan
dari al-Qur`an dan hadits.29
Meskipun al-Qur`an dan hadits sudah memberikan ketentuan terperinci
mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya
ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam al-Qur`an maupun hadits.
Misalnya mengenai bagian warisan banci (waria), diberikan kepada siapa harta
warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan
ayah dan suami atau istri atau sebagainya.
Contoh lain: Status saudara-saudara yang mewarisi bersama-sama dengan
kakek. Di dalam al-Qur`an hal ini tidak dijelaskan, yang dijelaskan hanyalah status
saudara-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki
yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapatkan apa-apa lantaran terhijab,
kecuali dalam masalah kalalah maka mereka mendapatkan bagian.
Menurut pendapat kebanyakan sahabat dan imam-imam mazhab yang
mengutip pendapat Zaid bin Tsabit, saudara-saudara tersebut mendapatkan pusaka
secara muqasamah dengan kakek. Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal
daripada kakek yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-
29
Saifuddin Arief, Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta :
Darunnajah Production House 2007), hlm. 6.
22
saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka tidak mendapat apa-apa lantaran dihijab
oleh saudara ayahnya.30
C. Rukun dan Syarat Waris
Rukun waris ada tiga, yaitu:
a) Tirkah, harta peninggalan si-mati setelah diambil biaya-biaya perawatan,
melunasi hutang-hutanitu orang yang, dan melaksanakan wasiat.
b) Muwarits (pewaris), yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta
peninggalan.
c) Warits (ahli waris), yaitu orang yang akan mewarisi atau menerima harta
peninggalan lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi, seperti
adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan hubungan
hak perwalian dengan muwarits.31
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa ahli waris adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris.32
30
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika Offset 2009), hlm. 22.
31 Otje Salman dan Musthofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung : PT Refika Aditama),
hlm 4 32
Tim Redaksi Citra Umbara, hlm 375
23
Menurut jumhur ulama ahli waris dari kalangan laki-laki ada sepuluh yaitu: 33
a. Anak laki-laki
b. Bapak
c. Suami
d. Kakek shohih (bapaknya bapak)
e. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
f. Saudara laki-laki
g. Anak laki-laki saudara laki-laki, kecuali dari saudara seibu
h. Paman
i. Anak laki-laki paman
j. Orang laki-laki yang memerdekakan budak (mu‟tiq)
Sedangkan ahli waris dari kalangan perempuan ada tujuh:34
a. Anak perempuan
b. Ibu
c. Isteri
d. Nenek
e. Cucu permpuan dari anak laki-laki, dan terus kebawah
f. Saudara perempuan
33
Muhammad bin Abdurrahman ad-DImasyqi, Fiqih Empat Madzhab, terjemah Abdullah
Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, cet. Ke-13, 2010, hlm 321 34
Muhammad bin Abdurrahman ad-DImasyqi, Fiqih Empat Madzhab, hlm 322
24
g. Orang perempuan yang memerdekakan budak (mu‟tiqah)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pewarisan adalah sebagai berikut:
a. Matinya muwarits35
Kematian muwarits, menurut ulama dibedakan menjadi tiga macam:
1) Mati haqiqy, adalah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa
itu sudah berujud kepadanya. Kematian itu dapat disaksikan oleh
panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Sebagai
akibat dari kematian seseorang ialah bahwa seluruh harta yang
ditinggalkannya setelah dikurangi untuk memenuhi hak-hak yang
bersangkutan dengan harta peninggalanny, beralih dengan sendirinya
kepada ahli waris yang masih hidup di saat kematian muwaris, dengan
syarat tidak terdapat salah satu dari halangan-halangan mewarisi.
2) Mati hukmy adalah seseorang yang secara yuridis melalui keputusan
hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam
kasus seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa diketahui di
mana dan bagaimana keadaannya, melalui keputusan hakim, sebagai
keputusan hakim mempunyai kekutan hukum yang mengikat.
3) Mati taqdiry adalah anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
Misalnya karena ia ikut ke medan perang, atau tujuan lain secara
lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak diketahui
35
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Ma‟arif), cet. Ke-2 1981, hlm 79
25
kabar beritanya, dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah
meninggal, maka dapat dinyatakan bahwa ia telah meninggal.36
b. Hidupnya warits (orang yang mempusakai) di saat kematian muwarits.
Para ahli waris yang benar-benar hidup disaat kematian muwarits, baik
mati hakiki, mati hukmy maupun mati taqdiry berhak mewarisi harta
peninggalannya.
c. Tidak ada penghalang untuk mewarisi.
Walaupun ada syarat waris dan mewarisi itu telah ada pada muwarits
dan warits, namun salah seorang dari mereka tidak dapat mewariskan harta
peninggalannya kepada yang lain atau mewarisi harta peninggalan dari yang
lain, selama masih terdapat salah satu dari empat macam penghalang
mempusakai, yakni: perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama, dan
perbedaan negara.37
D. Sebab-Sebab Kewarisan
Pewarisan merupakan pengalihan hak dan kewajiban, dari orang yang meninggal
dunia kepada ahli warisnya dalam memiliki dan memanfaatkan harta peninggalan.
Pewarisan tersebut harus terjadi manakala ada sebab-sebab yang mengikat pewaris
dengan ahli warisnya. Adapun sebab-sebab tersebut adalah:
36
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawarits, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm 22 37
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm 81
26
a. Perkawinan
Salah seorang suami atau isteri secara hukum mendapatkan bagian yang telah
ditentukan kadarnya (furudh al muqaddarah) dari isteri atau suaminya, yaitu
setengah, seperempat atau seperdelapan. Suami isteri tersebut disebut ahli waris
(ashab al furudh) sababiayah. Perkawinan yang menjadi sebab pewarisan tersebut di
isyaratkan harus menjadi akad yang sah menurut syari‟at walaupun dalam
perkawinan tersebut masih utuh atau dianggap masih utuh.
b. Kekerabatan
Kekerabatan yaitu hubungan nasabiyah antara pewaris dengan ahli waris.
Kekerabatan ini terdiri atas al furu‟ (keturunan kebawah), al ushul (keturunan keatas),
dan al hawaasy (keturunan menyamping). Kekerabatan merupakan sebab pewarisan
karena kelahiran, suatu hubungan kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat
dihilangkan, baik untuk anak turun (cabang) dari orang yang meninggal (furu‟al
mayyit), leluhur yang menyebabkan adanya orang yang meninggal, atau keluarga
yang dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui garis menyamping. Mereka
yang memiliki ikatan kekerabatan dengan orang yang meninggal, sebagai sebab
dalam menerima harta peninggalan, adalah bapak dan ibu, anak-nak dan orang yang
bernasab kepada mereka.38
38
Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris hukum kewarisan Islam,
(Jakarta:Gaya Media Pratama, 1997), hlm 28-30
27
c. Wala‟
Wala‟ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan
seorang hamba. Jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang
memerdekakannya berhak mendpatkan warisan. Wala‟ yang dikategorikan sebagai
kerabat secara hukum, disebut juga dengan istilah wala‟ al itqi, dan/atau wala‟ al
nikmah. Hal ini karena pemberian kenikmatan kepada seorang yang telah dibebaskan
dari statusnya sebagai hamba sahaya. Jika seseorang membebaskan hamba sahaya
dengan seluruh barang-barang yang dimilikinya itu, berarti telah terjadi hubungan
antara hamba sahaya yang dibebaskan dengan orang yang membebaskannya dalam
sutau ikatan yang disebut wala‟ al itqi.39
E. Penghalang Kewarisan
Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani‟ al irs adalah
tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mempusakai
beserta adanya sebab-sebab dan syarat-syarat mempuskai.
Adapun hal-hal yang dapat menghalangi tersebut, yang disepakati ulama ada tiga,
yang tidak disepakati ulama adalah berlainan negara, yaitu:
a) Pembunuhan
Jumhur ulama telah sepakat untuk menetapkan bahwa pembunuhan itu, pada
dasarnya menjadi penghalang mempusakai bagi pembunuh terhadap harta
peninggalan orang yang telah dibunuhnya. Hanya ulama fikih dari golongan khawarij
39
Dian Khoirul Umam , Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm 13
28
saja yang membolehkannya. Golongan ini mensinyalir periwayatan dari Ibn al
Musayyab dan Ibn al Jubair yang membolehkan kepada pembunuh untuk
mempusakai harta orang yang terbunuh. Mereka juga beralasan bahwa ayat-ayat
waris memberikan faedah yang umum, tidak dikecualikan pembunuh. Oleh karena itu
keumuman ayat tersebut harus diamalkan.
b) Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukan Karen ststus
kemanusiaannya, tetapi karena semata-mata karena status formalnya sebagai hamba
sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk
menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.40
c) Berlainan Agama
Berlainan agama yang menjadi penghalang mewarisi apabila antara ahli waris
dan muwarrisnya salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam. Misalnya
muwarrisnya Bergama Kristen atau sebaliknya. Demikian kesepakatan mayoritas
ulama. Jadi, apabila ada orang meninggal beragama Budha, ahli warisnya Bergama
Hindu diantara mereka tidak ada halangan untuk mewarisi.41
Orang kafir tidak
mewarisi terhadap pewarisnya yang beragam Islam. Menurut Imam Syafi‟I tidak
boleh dibunuh orang Islam yang membunuh orang kafir, Karen Allah tidak member
suatu jalan kepada orang kafir berhadapan dengan orang mukminin.42
40
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawarits, hlm 31 41
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawarits, hlm 28 42
Abdul Halim Hasan, Tafsir al Ahkam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm
319-320
29
F. Hikmah Kewarisan
Kewarisan telah diatur sedemikian rupa dalam al-Qur‟an. Tentu ada hikmah
yang ingin dicapai oleh al-Qur‟an tentang ketegasan hukum dalam kewarisan.
Berikut ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris menurut Islam:
a) Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (hifdz al maal ). Hal
ini sesuai dengan salah satu tujuan syariah (maqasid al syari‟ah) itu sendiri
yaitu memelihara harta.
b) Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.
c) Menjalin tali silaturahmi antar anggota keluarga dan memeliharanya agar
tetap utuh.
d) Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari
seseorang kepada orang lain, karena hakikatnya harta adalah amanah Allah
SWT yang harus dipelihara dan dipertanggung jawabkan kelak.
e) Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta
kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun
kecemburuan sosial.
f) Selain itu harta warisan bisa juga menjadi fasilitator untuk seseorang
membersihkan dirinya maupun hartanya dari terpuruknya harta tersebut.
g) Dilihat dari berbagai sudut, warisan atau pusaka adalah kebenaran, leadilan,
dan lemaslahatan bagi umat manusia.
30
h) Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak
merintangi kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam
bermasyarakat.43
G. Ahli Waris dan Bagiannya
Ahli waris ialah orang-orang yang berhak atas harta warisan orang yang
meninggal dunia. Tetapi tidak seluruh ahli waris yang ada pasti menerima harta
warisan, sebab para ahli waris ada yang lebih dekat kepada pewaris, dan ada yang
lebih jauh berdasarkan urutan atau nasabnya. Jika dikelompokkan dalam
golongannya, maka ada ahli waris laki-laki yang berjumlah 15 orang dengan urutan :
anak laki-laki; bapak; suami; cucu laki-laki dari garis anak laki laki; kakek, yaitu
ayahnya bapak; saudara lai-laki sebapak; saudara laki-laki seibu; anak laki-laki dari
saudara (keponakan) sekandung; anak laki-laki dari saudara (keponakan) sebapak;
saudara laki-laki bapak (paman) yang sekandung; saudara laki-laki bapak (paman)
yang sebapak; sepupu (misan) laki-laki sekandung; sepupu (misan) laki-laki sebapak;
yaitu anak laki-laki dari paman sebapak; orang laki-laki yang memerdekakan budak.
Jika semua ahli waris diatas ada, maka yang hanya mendapatkan warisan anak laki-
laki, bapak, dan suami. Ahli waris perempuan yang berjumlah 10 orang dengan
urutan : Ibu, nenek (ibunya ibu) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan; nenek
(ibunya ayah) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan; atau berturut-turut dari
43
Jaenal Aripin, Filsafat Hukum Islam, Tasyri dan Syar‟i, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), hlm 130
31
garis laki-laki kemudian sampai kepada nenek; atau berturut-turut dari garis laki-laki
lalu bersambung dengan berturut-turut dari garis perempuan; anak perempuan; cucu
perempuan (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki;
saudara perempuan sekandung; saudara perempuan sebapak; saudara perempuan
seibu; istri; perempuan yang memerdekakan budak.44
Jika dikelompokkan dalam macam-macamnya, maka ada 3 macam ahli waris
diantaranya :
1. Ahli Waris Dzawil Furudh
Bagian masing-masing ahli waris yang mendapat bagian tertentu sebanyak 12
orang.
2. Ahli Waris `Ashabah
Ahli waris `Ashabah ialah ahli waris yang menerima bagian sisa dari harta
peninggalan yang telah dikurangi dengan ahli waris dzawil furudh (bagian-
bagian tertentu.
3. Ahli Waris Dzawil Arham
Dzawil arham ialah : keluarga jauh dari si pewaris dan tidak disebut dalam
urutan ahli waris yang diuraikan di atas. Dzawil arham ini memiliki hubungan
dengan pewaris, tetapi tidak termasuk ahli waris dzawil furudh dan ahli waris
44
Saifuddin Arief, Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan, hlm. 9.
32
`ashabah. Ahli waris ini baru berhak atas harta peninggalan bila ahli waris
dzawil furudh dan `ashabah tidak ada.45
Ahli waris dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam pasal 172 yang
menjelaskan bahwa ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari
Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang
sudah lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.46
Orang-orang yang berhak mendapatkan setengah dari harta waris
peninggalan pewaris ada lima, satu golongan dari golongan laki-laki dan empat
lainnya perempuan. Kelima ashabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan,
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara
perempuan seayah. Rinciannya sebagai berikut, seorang suami berhak untuk
mendapatkan setengah harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai
keturunan, baik anak laki-laki maupun perempuan, baik anak keturunan itu dari suami
tersebut ataupun bukan.47
Dalilnya dalam firman Allah SWT:
“..dan bagi kalian (para suami) mendapat setengah dari harta yang
ditinggalkan istri-istri kalian,bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak…” (An-
Nisa (4): 12)
Adapun kerabat pewaris yang mendapat bagian seperempat dari harta peninggalan
istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki
45
Saifuddin Arief, Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan, hlm. 10.
46 Kompilasi Hukum Islam, Bab I, Buku II, Pasal 172, hlm. 57.
47 A. Hassan, Al-Fara`id, (Surabaya : Penerbit Pustaka Progressif 1992), hlm. 45.
33
dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya
ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :
ن كن مهن ول ف ا تركن )سورة امنساءفا بع مم مر
(١2: 4 /لك ٱ
“…jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya” .
Selain itu kerabat pewaris yang berhak memperoleh bagian seperdelapan
yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta
peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut
lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Berdasarkan firman Allah SWT :
ن كن مك ن بؼد وضية ثوضون با ٱو دين )سورة امنساءفا ا تركت م مثمن مم
(١2: 4 /ول فلهن ٱ
“…jika kamu mempunyai anak,maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh,wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu…” .
H. Metode Pembagian Waris
Contoh pertama, seseorang meninggal dunia, meninggalkan ayah dan anak
laki-laki, maka ayah mendapatkan bagian seperenam, sedangkan sisanya dibagikan
kepada anak laki-laki sebagai bagian lunak. Contoh kedua, seseorang meninggal
dunia, meninggalkan istri dan ayah. Dalam contoh ini, mendapatkan bagian
seperempat (1/4), sedangkan ayah mendapatkan sisa sebagai bagian lunak. Contoh
terakhir, seseorang meninggal dunia, meninggalkan anak perempuan, ibu dan ayah,
maka anak perempuan mendapatkan bagian separuh, ibu mendapatkan bagian
seperenam, dan ayah mendapatkan bagian seperenam secara fardh (menerima bagian
34
tetap) serta sisa nya secara ta`shib (harta sisa dari golongan fardh). Berikut ini adalah
tabel dari kasus atau contoh di atas.
Asal masalah : 6
Ahli waris Bagian Hasil pembagian
Anak perempuan
Ibu
Ayah
½
1/6
1/6 + Sisa
3
1
1 secara fardh + 1 secara
ta`shib = 2
Setelah warisan dibagikan kepada ash-habul furudh dan sisanya hanya
seperenam, maka bagian untuk ayah hanyalah yang seperenam itu. Contoh kasusnya,
seseorang meninggal dunia, meninggalkan dua orang anak perempuan, ibu dan ayah.
Asal masalah dari kasus ini adalah 6. Dengan demikian, dua orang anak perempuan
mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), ibu mendapatkan bagian seperenam (1/6), dan
ayah hanya mendapatkan bagian seperenam (1/6) karena memang tidak ada harta
yang tersisa, kecuali sebesar itu. Di bawah ini adalah tabel dari kasus tersebut.
Asal masalah : 6
Ahli waris Bagian Hasil pembagian
2 orang anak perempuan
Ibu
Ayah
2/3
1/6
1/6
4
1
1
Jika setelah dibagikan kepada ash-habul furudh, ternyata sisa bagian lebih
kecil dari seperenam (1/6), maka asal masalah harus di-`aul-kan „dinaikkan‟ untuk
menyempurnakan bagian seperenam. Misalnya, seseorang meninggal dunia,
35
meninggalkan suami, dua orang anak perempuan, dan ayah, maka bagian untuk suami
adalah seperempat (1/4) dengan hasil pembagian 3, dua orang anak perempuan
tersebut mendapat bagian dua per tiga (2/3) dengan hasil pembagian 8, dan ayah
mendapatkan seprenam (1/6) dengan hasil pembagian 2. Dengan demikian, asal
masalah pada kasus ini adalah 12, lalu di-`aul-kan (dinaikkan) menjadi 13. Berikut ini
tabel kasus tersebut.48
Asal masalah : 12/13
Ahli waris Bagian Hasil pembagian
Suami
2 orang anak perempuan
Ayah
1/4
2/3
1/6
3
8
2
I. Hukum Pembagian Waris Berdasarkan Musyawarah
Pembagian waris berdasarkan musyawarah antara para ahli waris dapat
disamakan dengan hal nya التخازد. Takaharuj ialah suatu perjanjian yang diadakan
oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris
dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi
tersebut berasal dari harta milik orang yang pada mengundurkannya, maupun berasal
dari harta peninggalan yang bakal dibagi-bagikan.49
48
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, hlm. 101.
49 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : Al-Ma`arif 1975), hlm. 468.
36
Takharuj dapat terjadi, misalnya salah seorang ahli waris mengadakan
persetujuan damai dengan ahli waris lain, bahwa bagiannya diserahkan kepada ahli
waris lain itu dengan ketentuan dia cukup menerima uang dalam jumlah tertentu saja
dari waris bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan setelah para ahli waris mengetahui
dan menyadari bagian yang sebenarnya. Dalam hal ini, harta warisan dibagi kepada
semua ahli waris yang ada; kemudian bagian waris yang mengadakan takharuj
menjadi hak ahli waris yang menyerahkan uang seratus ribu kepadanya sebab ahli
waris tersebut berarti telah menjual bagiannya kepada salah seorang ahli waris lain
dengan harga tersebut.50
1. Al-Qur`an
Dasar hukum mengenai takharuj dalam al-Qur`an tertera dalam surat an-Nisa ayat
29:
رة غن تر ٱن تكون ت لطل ا مب
مك بينك بأ ين ءامنوا ل ثأكوا ٱمو ل
ا ٱ أي كن بك لل
ن ٱ
نك ول ثلتلوا ٱهفسك ا رحميا اض م
( 29: 4 /)سورة امنساء
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Kaitannya ayat diatas dengan pembagian waris secara musyawarah atau
berdamai yaitu pada potongan ayat ض هنن استعي yang menekankan adanya
kerelaan kedua belah pihak. Walaupun kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di
50
Saifuddin Arief, Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan, hlm. 36.
37
lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan Kabul, atau apa
saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk
yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.51
2. Hadits
Pembagian harta warisan dalam bentuk takharuj tidak dijumpai dasar
hukumnya dalam hadits Nabi SAW. Dasar hukumnya merupakan hasil ijtihad (atsar
sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin
Affan. Atsar tersebut sebagai berikut : telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
Abdurrahman bin `Auf menceraikan Istrinya bernama Tumadhir binti Ashba` al-
Kalbiyah saat dia sakit keras. Ketika Abdurrahman wafat, ahli waris Abdurrahman
yang lain mengajukan permohonan kepada Tamadhir, agar ia memberikan satu per
tiga puluh dua (1/32) harta waris yang menjadi haknya. Sebagai gantinya, ahli waris
Abdurrahman itu bersedia memberikan 80 atau 83 ribu dirham atau dinar
kepadanya.52
Atsar Shahabi tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan dalil untuk
menyimpang dari ketentuan umum yang berlaku. Tetapi nyatanya di kalangan ulama
Hanafi yang biasa berfikir praktis menggunakannya atas dasar kerelaan dan
51
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, cet II
(Jakarta : Lentera Hati 2002), hlm. 413.
52 Abdul Qodir al-Bakaar, Ahkamul Mawarits, cet III (Kairo : Daarussalaam 2001), hlm. 606.
38
penerimaan bersama dari pihak yang berhak. Cara ini juga diikuti oleh Hukum
Kewarisan yang berlaku di Mesir.53
3. Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pembagian waris secara musyawarah atau
secara damai tertera dalam pasal 183 yang menjelaskan bahwa para ahli waris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-
masing menyadari bagiannya.54
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 183 tentang usaha perdamaian yang
menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan
bersama, memang dalam kitab-kitab fiqih pada umumnya tidak dijelaskan dalam
waktu membahas kewarisan. Meskipun secara formal menyalahi ketentuan fiqih,
namun dapat diterima dengan menggunakan pendekatan pemahaman at-Takharuj
yang dibenarkan dalam mazhab Hanafi.
Latar belakang munculnya pasal 183 Kompilasi Hukum Islam tentang
pembagian waris secara perdamaian adalah pendekatan kompromi dengan hukum
Adat terutama untuk mengantisipasi perumusan nilai-nilai hukum yang tidak
dijumpai nashnya dalam al-Qur`an. Pada segi lain, nilai-nilai itu sendiri telah tumbuh
53
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus 2005), hlm. 329.
54 Kompilasi Hukum Islam, Bab I, Buku II, Pasal 183, hlm. 59.
39
subur berkembang sebagai norma adat dan kebiasaan itu nyata-nyata membawa
kemaslahatan, ketertiban, serta kerukunan dalam kehidupan masyarakat.55
Kemungkinan untuk melakukan pendekatan kompromi dengan hukum Adat
bukan terbatas pada pengambilan nilai-nilai hukum Adat untuk diangkut dan
dijadikan ketentuan hukum Islam yang telah ada nashnya dengan nilai-nilai hukum
Adat. Tujuannya agar ketentuan hukum Islam lebih dekat dengan kesadaran hidup
masyarakat. Sikap dan langkah yang demikian dapat dinyatakan dalam suatu
ungkapan : mengislamisasi hukum Adat sekaligus bebarengan dengan upaya
mendekatkan hukum Adat ke dalam Islam.56
55
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, hlm. 47.
56 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, hlm. 47.
40
BAB III
BIOGRAFI SINGKAT K.H.M. SYAFI’I HADZAMI
A. Kelahiran, Silsilah Keluarga dan Masa Kecil
Kehadiran Islam di Jakarta dan semakin banyaknya masjid yang didirikan
pada abad ke -18, terutama setelah membludaknya orang Batavia yang menuntut ilmu
di Mekah, membawa daya jelajah intelektual yang luar biasa pada abad-abad
berikutnya. Banyaknya ulama yang bermunculan di abad ke-20 di berbagai penjuru
kota Jakarta, dengan masjid dan lembaga pengajian sebagai locus intelektual,
membawa dampak pada kecenderungan masyarakat Betawi (sebagai suku asli) yang
dikenal sebagai masyarakat yang taat beragama (religius). Bahkan, Rafless sampai
mengakui kemajuan perkembangan Islam di kalangan penduduk kota Batavia bentuk
asimilasi antara penduduk pribumi dengan pendatang selalu disebut islamisasi orang
selam.57
Bersamaan dengan perkembangan Islam di Jakarta dan semakin banyaknya
kelompok ulama, lahirlah sosok ulama Betawi yang menjadi generasi kedua dalam
jaringan intelektual Islam Betawi pada abad ke-20, yakni K.H.M. Syafi‟i
Hadzami.58
Nama Hadzami diberikan oleh jamaah pengajiannya, sehingga orang lebih
57
Mastuki HS dan M Ishom El-saha (ed.), Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka,
2003), cet ke-1, hlm 113 58
Mastuki HS dan M Ishom El-saha (ed.), Intelektualisme Pesantren, hlm 113
41
mengenalnya dengan nama KH. Syafi‟i Hadzami daripada nama aslinya, Muhammad
Syafi‟i.59
Ayahnya bernama Muhammad Saleh Raidi dilahirkan pada tanggal 31
Desember 1911, Sedangkan ibunya bernama Mini yang berasal dari Citeureup,
Bogor, Jawa Barat.
Silsilah dari garis ayah hanya diketahui sampai generasi ketiga, meskipun
hanya dari orang tua laki-lakinya saja. Lengkapnya : Muhammad Saleh Raidi Bin
Raidi Bin Sholihin. Nama yang terakhir ini berasal dari Sumedang, Jawa Barat.
Dengan demikian, nenek moyang KH. M. Syafi‟i Hadzami baik dari garis ibu
ataupun garis ayah, berasal dari Jawa Barat. Sedangkan silsilah garis ibu ; ibu Mini,
tidak diketahui secara jelas bahkan untuk nama ayah dan ibunya saja tidak diketahui.
Yang jelas, KH. Syafi‟i Hadzami hanya mengetahui bahwa ibunya tersebut
mempunyai empat orang saudara60
.
Berbeda dengan saudara-saudaranya, Syafi‟i “kecil” menghabiskan masa
kanak-kanaknya bersama paman ayahnya yang bernama Husin di Batu Tulis XIII
(dulu disebut Gang Lebar), Pecenongan, Jakarta Pusat. Syafi‟i “kecil” biasa
memanggilnya dengan sebutan jid (kakek, dalam bahasa Arab). Di masa kanak-
kanaknya ini, Syafi‟i “kecil” termasuk anak yang pendiam. Walaupun suka bermain,
tetapi ia tidak seperti anak-anak lain. Beberapa permainan yang ia sukai adalah ketok
59
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, (Jakarta:Yayasan Al- „Asyirotusy-Syafi‟iyah,
2012), hlm. 11 60
Muhlis, laporan penelitian dan penulisan biografi KH. M. Syafi‟i Hadzami di Provinsi DKI
Jakarta, (Badan Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) Agama, Departemen Agama RI, Jakarta,
1989/1990), hlm. 32
42
kadal dan ketok keladi. Sedangkan tempat main favoritnya adalah di Pacenongan, ia
juga suka bermain di daerah Djuanda yang bersebelahan dengan Pacenongan. Di
Djuanda ini melintas sungai Ciliwung, karenanya yang paling ia sukai adalah
berenang di sungai tersebut atau dalam bahasa betawinya: ngebak. Kebiasaan ini
terus berlanjut sampai ia remaja.61
B. Perjalanan Pendidikan
1. Pendidikan Membaca Al-Qur’an Dari Kakek
Pendidikan pertamanya diperoleh dari Kakek Husin, dari orang yang terdekat
inilah mental disiplin dan kecintaannya pada ilmu-ilmu ke-Islaman mulai dibangun.
Dalam mengajar, Kakek Husin sangat keras. Misalnya: shalat harus dikerjakan tepat
waktu. Bila waktu shubuh telah tiba tetapi ia bangun, maka kakek Husin Kan
mengguyurnya dengan air. Bahkan pukulan rotanpun sering mendarat ke Syafi‟i, jika
ia terlambat mengerjakan sholat zuhur. Kepadanya Syafi‟i “kecil” belajar membaca
al-Qur‟an dan untuk pertama kalinya khatam pada usia 9 tahun. Dalam mengajarkan
al-Qur‟an, kakek Husin sangat memperhatikan kefasihan lafal dan juga tajwidnya.
Selain itu, dari kakeknya ini, Syafi‟i “kecil” juga memperoleh pengajaran ilmu dasar-
dasar nahwu dan ilmu shorof. 62
61
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, (Jakarta:Yayasan Al- „Asyirotusy-Syafi‟iyah,
2012), hlm. 20-21 62
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, (Jakarta:Yayasan Al- „Asyirotusy-Syafi‟iyah,
2012), hlm. 12
43
2. Pendidikan Zikir dari Kiai Abdul Fattah
Syafi‟i “kecil” sering sekali diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca
zikir dikediamannya Kyai Abdul Fattah (1884-1947), seorang ulama kelahiran
Cidahu, Tasikmalaya, kabarnya, beliaulah yang membawa Tarekat Idrisiah di
Tasikmalaya ia diberi panggilan kehormatan: Syekh Al-Akbar (guru
agung).63
Pembacaan zikir dan tarekat ini dilakukan pada malam hari. Dari gurunya,
Kyai Abdul Fattah, Syafi‟i yang menginjak remaja diberi sebuah do‟a khusus.
Pemberian do‟a ini memiliki cerita tersendiri: pada melakukan zikir disuatu waktu,
Syafi‟i mengalami tahap fana‟ (lupa dan hilang kesadaran karena dibimbing agar
ingat kepada Allah semata). Ketika ia mengalami hal ini, ia tidak ingat apa-apa walau
telah dipanggil oleh Kyai Abdul Fattah, setelah sadar , ia dipanggil sendirian oleh
Kyai Abdul Fattah dan diberikan do‟a khusus. Kyai pun mendo‟akan agar Syafi‟i
menjadi orang baik.64
3. Mengaji Al-Qur’an, Dasar-Dasar Nahwu, dan Shorof dari Pak Sholihin
Syafi‟i “belia” juga mengaji kepada Pak Sholihin yang masih dibilang
kerabat. Istri Pak Sholihin ini merupakan keponakan dari nenek yang mengasuh
Syafi‟i. selama dua tahun, ia mengaji al-Qur‟an, Nahwu dan Shorof dari Pak
Sholihin.
63
Abdul Aziz Dahlan (ed) et.al., “Idrisiah”, dalam Enslikopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2002), Cet ke-8, hlm. 176 64
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, (Jakarta:Yayasan Al- „Asyirotusy-Syafi‟iyah,
2012), hlm. 20-21
44
4. Pendidikan dari KH. Sa’idan
Dari tahun 1948 sampai dengan tahun 1953 atau selama 5 tahun, Syafi‟i
belajar kepada KH. Sa‟idan di Kemayoran, Syafi‟i belajar ilmu tajwid, ilmu nahwu
(dengan kitab pegangan Mulbatul-I‟rab) dan ilmu fikih (dengan pegangan kitab
berjudul Ats-Tsimar Al-Yani‟ah yang merupakan sarah dari kitab Ar-Riyadh Al-
Badhi‟ah). Selain belajar ilmu ilmu agama, Syafi‟i juga belajar ilmu silat kepadanya.
KH. Sa‟idan juga menyuruhnya belajar kepada guru-guru yang lain, misalnya kepada
guru Ya‟kub Sa‟idi (Kebon Sirih), Guru Khalid (Gondangdia), Guru Abdul Majid
(Pekojan), dan lain-lain.65
5. Pendidikan dari Habib bin Husein Al-Attas, Bungur
Kepada Habib yang biasa dipanggil Habib Ali Bungur ini, Syafi‟i “dewasa”
mengaji sejak sekitar 1958 sampai dengan gurunya ini diwafatkan pada tahun 1976.
Banyak kitab-kitab yang dipelajari Syafi‟i “dewasa” dari Habib Ali Bungur yang lahir
di Huraidhah, Hadramaut, Yaman. Pada tanggal 1 Muharram 1309 dan selama 5
tahun menuntut ilmu di Mekkah kemudian sampai ke Jakarta sampai ia diwafatkan.
Syafi‟i merupakan murid kesayangannya yang mendapatkan ijazah langsung darinya
seminggu sebelum wafat. 66
65
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 41 66
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 44
45
6. Pendidikan dari Habib Abdurrahman Al-Habsyi
Syafi‟i “dewasa” juga rajin mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh
Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Habib kelahiran Kwitang, Jakarta pada tanggal 20
Jumadil Akhir 1286 H (1876 M) ini memberikan pengajian kepadanya dengan
berbagai disiplin ilmu ke-Islaman.
7. Pendidikan dari K.H. Mahmud Romli
Dari K.H. Mahmud Romli yang tinggal di daerah Menteng, Jakarta Pusat ini,
Syafi‟i menimba ilmu fikih dan ilmu tasawuf. Kitab fikih yang digunakan dalam
belajar adalah Bujairimi, sedangkan kitab tasawufnya adalah Ihya‟ U‟lumuddin.
Biasanya, yang membaca kitab-kitab tersebut adalah guru Mahmud sendiri.67
Lebih
dari 6 tahun (1950-1956) Syafi‟i menimba ilmu darinya.
8. Pendidikan dari K.H. Ya’kub Saidi
K.H. Ya‟kub Saidi yang bermukim di Kebon Sirih Jakarta Pusat merupakan
lulusan dari Mekkah. Kepada gurunya ini Syafi‟i menguji banyak kitab yang
dibacanya dihadapan Guru Ya‟kub sampai khatam, terutama kitab-kitab dalam ilmu
ushuluddin dan mantiq. Diantara kitab-kitab yang dikhatamkan padanya adalah
Idhahul Muhbab, Darwis Quwaysini, dan lain-lain.68
67
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 46 68
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 47
46
9. Pendidikan dari K.H. Muhammad Ali Hanafiyyah
KH. Muhammad Ali Hanafiyah masih tergholong kakeknya Syafi‟i. kitab-
kitab yang dipelajari Syafi‟i dari beliau adalah Kafrawi, Mulbatul I‟rab,dan Asymawi.
10. Pendidikan dari K.H. Mukhtar Muhammad
Lebih kurang 5 tahun, yaitu sejak 1953 sampai tahu 1958, Syafi‟i belajar
kepada K.H. Mukhtar Muhammad di Kebon Sirih. Beliau ini masih terhitung
mertuanya sendiri dan juga murid dari Guru Ya‟kub. Diantara kitab yang dibaca oleh
Syafi‟i kepada beliau adalah kitab Kafrawi (dalam ilmu nahwu).69
11. Pendidikan dari Guru-guru Yang Lain
Guru-guru lain yang berjasa dalam mendidiknya adalah: K.H. Muhammad
Sholeh Mushonnif (darinya, Syafi‟i belajar ilmu ushuluddin), K.H. Zahruddin
Utsman (darinya Syafi‟i mendapatkan ijazah kitab Al Hikam), Syekh Yasin bin Isa
Al Fadani (darinya Syafi‟i banyak belajar ilmu hadist, imu ushul fikih, dan lain lain),
dan K.H. Muhammad Thoha. 70
69
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 48 70
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 48-51
47
C. Perkawinan dan Keluarga
K.H. M. Syafi‟i Hadzami menikahi isterinya, Nonon, pada usia yang masih
tergolong remaja, yaitu 17 Tahun.71
Pernikahan ini terjadi pada tahun 1948, Setelah
menikah, ia dan isterinya tetap tinggal bersama neneknya di Kemayoran, Jakarta
Pusat. Tak lama pasangan ini pindah ke daerah Kebin Sirih, Jakarta Pusat dan tinggal
di rumah milik keluarga sang isteri. Dari istrinya ini, yang kemudian dengan nama
Hajjah Siti Khiyar, ia mendapatkan delapan orang anak dan dari isteri lainnya, ia
memiliki 6 orang anak.
Sejak tahun 1982, beliau bersam isterinya, Hajjah Siti Khiyar, dan anak-anak
mereka pindah dari Kepu, kemayoran, Jakarta Pusat ke Kampung Dukuh, Kebayoran
Lama, Jakarta Selatan sampai sekarang. Rumah yang ditempatinya berada diatas
tanah seluas kira-kira delapan ratus meter persegi dan terletak dalam satu komplek
dengan perguruan Al-„Asyirotusy Syafi‟iyyah.
D. Karir dan Profesi
Sejak belia K.H.M. Syafi‟i telah giat mencari uang, berjualan barang-barang
kelontong pun ia jalani. Pekerjaan formalnya atau karir yang ditempuhnya pertama
kali adalah di Balai Pustaka, kemudian di awal tahun 50-an, ia bekerja di RRI pada
bagian Trancription service, yaitu pada bagian rekaman musik-musik. Setelah
71
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, (Jakarta:Yayasan Al- „Asyirotusy-Syafi‟iyah,
2012), hlm. 26
48
bertugas cukup lama di RRI, ia memutuskan berhenti pada tahun 1969. Statusnya
sebgai pegawai negeri ia tinggalkan.72
Setelah berhenti bekerja, ia kembali berdagang dan mendirikan sebuah CV
yang bergerak di bidang penyediaan dan pelayan alat-alat tulis untuk perkantoran,
terutama untuk perguruan tinggi.73
Ia menyalurkan barang dagangannya sampai ke
Yogyakarta, Solo, Semarang, dan Surabaya. Dari penghasilan dagang ini kemudian ia
menunaikan ibadah haji yang pertama pada tahun 1966. Setelah pulang dari ibadah
haji, ia berhenti berdagang dan kegiatannya hanya mengajar saja. Ia yakin bahwa
bekerja untuk Allah SWT tidak akan membuatnya susah secara ekonomi.
Profesinya sebagai guru agama dan da‟i sudah dijalaninya sebelum pergi haji
pada tahun 1963, K.H. M. Syafi‟i Hadzami telah memiliki 14 majelis taklim.
Kemudian pada tahun yang sama, ia membentuk sebuah lembaga yang bernama
BMMT (Badan Musyawarah Majelis Taklim) yang mengkoordinasikan majelis-
majelis taklimnya. Baru pada musyawarah yang diadakan pada tanggal 17 April
1963, bersama rekan-rekannya disahkanlah susunan pengurus BMMT yang diberi
nama Al-„Asyirotusy-Syafi‟iyah dengan memposisikan beliau sebagai ketua kehormatan.
Namun, baru pada sejak tahun 1970 masyarakat luas mengenal sosok kyai
muda ini dari pengajian yang diberikannya melalui Radio Cendrawasi, Jakarta.
72
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 29 73
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm. 29
49
Terlebih ketika isi-isi pengajian di Radio tersebut dibukukannya dan diberi judul
Taudhihul Adillah yang menjadi kitab pegangan para murid yang mengaji kepadanya
sampai hari ini. Pada tanggal 30 Juni 197, BMMT Al-„Asyirotusy-Syafi‟iyah
didaftarkan ke Notaris M.S. Tadjoedin sebagai badan hukim dengan nomor 288
dengan ketua umumnya K.H. M. Syafi‟i Hadzami. Yayasan ini bergerak di bidang
sosial kemasyarakatan dan pendidikan Islam sampai sekarang.
Pada tahun 1980, K.H. M. Syafi‟i Hadzami diangkat sebagai salah satu ketua
MUI DKI Jakarta periode 1980-1985 dan juga pada tahun 1985 terpilih lagi di posisi
yang sama untuk periode 1985-1990, beliau terpilih sebagai ketua umum MUI DKI
Jakarta untuk periode 1995-2000. Pada muktamar NU ke-29 pada bulan Desember
1994 di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, ia terpilih sebagai salah satu Rois Syuriah.
Namun di usianya yang sudah lanjut ini sang muallim, panggilan yang biasa
digunakan oleh murid-muridnya, tetap mengajar tanpa ada kata pensiun atau tidak
diangkat lagi, sampai Allah SWT sendiri yang mengangkatnya.
Semasa hidupnya, KH Syafi‟i Hadzami dikenal sebagai ulama yang produktif
menuliskan pemikirannya dalam bentuk buku. Pada umumnya, karya-karyanya ditulis
dalam bentuk risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia bertuliskan Arab. Karya-
karyanya hampir semuanya ditulis di era 80-an sebagai puncak intelektual sang kyai.
Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, produktifitas menulisnya sudah mulai
berkurang. Meskipun karya-karya KH Syafi‟i Hadzami terkesan sangat sederhana,
baik dari penampilan fisik buku-bukunya maupun dari bahasanya, namun materi-
50
materi yang ditulis adalah tema-tema penting yang sangat dibutuhkan masyarakat
luas, karya karyanya adalah:74
1. Tawdhih al-adhillah, Seratus Masalah Agama.
Buku ini merupakan Tanya jawab yang diasuhnya di Radio Cendrawasih.
Hingga kini sudah terbit dalam 7 jilid dan telah berkali-kali dicetak ulang,
yang peredarannya bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri jiran
Malaysia.
2. Sullamul „Arsy fi Qira‟at Warsy.
KH Syafi‟i Hadzami menyusunnya di usia muda, yaitu pada usia 25 tahun.
Risalah yang setebal 40 halaman ini berisi kaidah-kaidah khusus dalam
pembacaan al-Qur‟an menurut Syekh Warasy dan terdiri dari mukadimah,
sepuluh mathlab (pokok pembicaraan) dan satu khatimah (penutup).
3. Qiyas dan Hujjah Syar‟iyyah.
Risalah ini merupakan karya dalam bidang ushul fiqih. Dalam risalah ini
dikemukakan dalil-dalil al-Qur‟an, Hadits, dan Ijma‟ ulama, yang
menunjukan bahwa qiyas merupakan salah satu argumentasi syariah.
4. Qabliyyah Jum‟at.
Risalah ini membahas kesunatan shalat sebelum jum‟at dan hal-hal yang
berkaitan dengannya. Dalam risalah ini dikemukakan nash-nash al-Qur‟an,
Hadist, dan para ahli fikih.
74
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, hlm 107-127
51
5. Shalat Tarawih.
Untuk memenuhi kaum muslimin akan penjelasan tentang shalat Tarawih di
dalamnya dikemukakan dan dijelaskan dali-dalil dari hadist dan keterangan
para ulama yang berkaitan dengan shalat tarawih. Mulai dari pengetiannya,
ikhtilaf tentag jumlah rakaatnya, cara pelaksanaannya, dan lain-lain dibahas
dalam risalah ini.
6. „Ujalah Fidyah Shalat.
Risalah ini membahas perbedaan pendapat tentang pembayaran fidyah
(mengeluarkan bahan makanan pokok) untuk seorang muslim yang telah
meninggal dunia yang dimas hidupnya pernah meninggalkan beberapa shalat
fardhu. Risalah ini disusun karena adanya pertanyaan tentang masalah
tersebut yang diajukan oleh seroang jamaah pengajiannya.
7. Mathmah al-Rubafi Ma‟rifah al-Riba.
Dalam risalah ini dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan riba, bank
simpan pinjam, deposito, dan sebagainya.
Keunikan yang KH Muhammad Syafi‟i Hadzami dari ulama betawi yang lain
adalah beliau termasuk orang alim yang tidak mondok atau mengalami pendidikan
pesantren, namun beliau mengaji rapih dari satu fan ilmu ke fan ilmu yang lain
dengan mendatangi guru demi guru. Selain itu, beliau menjadi ulama Betawi
pilihan dari Habib Ali Bungur untuk salah seorang dari kalangan sa‟adah yaitu
Habib Ahmad al-„Attas untuk mulazamah (selalu menyertai) KH. M. Syafi‟i
52
Hadzami. Hal ini belum pernah ditemui ulama di Jakarta pada waktu iu bahwa
ada seorang habib terkemuka yang merupakan seorang alim „alamah meminta
kepada kalangan saadah ‟Alawiyyin sendiri untuk menjadi pendamping seorang
kiai yang bukan dari golongan „alawiyyin.
Pada hari ahad, 07 Mei 2006 pukul 08.30 WIB KH Syafi‟i Hadzami
berpulang ke rahmatullah. Ratusan ribu umat Islam dari berbagai penjuru kota
jabotabek berta‟ziyah dikediamannya, Pondok Pesantren al Asyiratu as Syafi‟iyah
di Jl KH Syafi‟i Hadzami dimakamkan dipemakaman keluarga di samping
mushalanya.
E. Kontribusi KH M Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam
Keistiqomahan KH. M. Syafi‟i Hadzami dalam dunia pendidikan Islam
amatlah luar biasa, bahkan bisa dikatakan Beliau mendedikasikan hidupnya untuk
dunia pendidikan yaitu belajar, mengkaji dan mengajar. Bahkan saat sakit pun hal
yang paling Beliau khawatirkan adalah majelis-majelis yang diasuhnya, karena begitu
cintanya pada dunia pendidikan.
53
Daftar Majelis-majelis Taklim
KH. M. Syafi’i Hadzami
No Majelis Taklim Alamat Kitab Yang Dibaca
1. Al-Himmatul „Aliyyah Cempaka Putih XI 1. Bidayatul
Mujtahid (fiqih)
2.Syarh al-Hikam
(tsf)
2. Baitul Muta‟ali Kreo, Cipadu, Ciledug,
Tangerang
1. Kifayatul Atqiya‟
(tsf)
3. Al-Barokah Kepu Dalam IV
Kemayoran, Jakpus
1. Sab‟ah Kutub
Mufidah (fiqih)
2. Tanbihul
Mughtarrin (tsf)
4. At-Taqwa Jl. Ketapang,
Kemayoran, Jakpus
1. Fathul Mu‟in
(fiqih)
5. Al-Awwabin Jl. Spoor II Dalam 1. Anwarul Masalik
(fiqih)
54
2. Riyadhus
Sholihin (hadist)
6. Ni‟matul Ittihad Pondok Pinang 1. Tafsin Ibn Katsir
(tafsir)
2. Shohih Muslim (
Hadits)
3. Mughnil Muhtaj
(fiqih)
4. Syarh Hidayatul
Atqiya‟ (tsf)
7. Al-Istiqomah Jl. Raya Cempaka Baru 1. Minhajut
Tholibin (fiqih)
8. Yayasan At-Taqwa Johar Baru III/22 Jakpus 1. Al-Mahalli (fiqih)
9. Sholatiah Kebon Kosong,
Kemayoran, Jakpus
1. Fathul Qorib
(fiqih)
10. As-Sa‟adah Simprug Golf, Grogol
Selatan, Kebayoran
1. Tafsir an-Nasafi
(tafsir)
55
Lama, Jaksel 2. Shohih al-
BUkhori (hadits)
3. Kifayatul Akhyar
(fiqih)
4. Tarikh
Muhammad (siroh)
11. Riyadhul Jannah Pangkalan Pati, Pondok
Bambu, Jaktim
1. Fathul Wahhab
(fiqih)
2. Tanbihul
Mughtarrin (tsf)
12. Al-Mabruk Condet, Jaktim 1. Tafsir Munir
(fiqih)
2. Tuhfath Thullab
(fiqih)
3. Minhajul „Abidin
(tsf)
13. Al-Hidayah Kemanggisan Raya, 1. Kifayatul Akhyar
56
Jakbar (fiqih)
2. Tanbihul
Mughtarrin (tsf)
14. At-Ta‟ibin Senen Raya IV, Jakpus 1. Iqhozul Himam
(tsf)
2. Fathul Mu‟in
(fiqih)
15. Az-Zawiyah Rumah KH Syafi‟i
Hadzami
1. Al-Itqon (u.q)
2. Al-Muhadzdzab
(fiqih)
16. Al-Mabrur Tanah Tinggi, Gg. XII,
Jakpus
1. Sirojul Wahhaj
(fiqih)
2. Tanbihul
Mughtarrin (tsf)
17. Al-„Asyirotus Syafi‟iyah Kp. Dukuh, Kby Lama,
Jaksel
1. Tafsir Khozin
(tafsir)
2. Qolyubi wa
57
„Umairoh (fiqih)
3. Nailul Awthar
(hadits)
4. Syarh al-Hikam
(tsf)
18. As-Surur JL. Raya Kb Jeruk No.
27 Jakbar
1. Tausyih (fiqih)
2. Riyadhus
Sholihin (hadits)
19. Ad-Dirosatul „Ulya Lit-
Tafaqquh fid-Din
Kp. Dukuh, Kby Lama,
Jaksel
1. Irsyadul Fuluh
(u.f)
2. Al-Muhadzdzab
(fiqih)
3. Iqhozul Himam
(tsf)
20. Himmatul Masakin Jl. Bacang I/B, Kby.
Baru, Jaksel
1. Ihya „Ulumuddin
(tsf)
21. An-Nizhomiyyah Jl. Kebon Mangga, 1. Tafsir Ibn Katsir
58
Cipulir, Jaksel (tafsir)
2. Tuhfatuth
Thullab (fiqih)
3. Tuhfatul Murid
(tauhid)
22. Khoirul Biqo‟ Jl. Pembangunan
Dalam, Jakpus
1. Tafsir Jalalain
(tafsir)
2. Tanwirul
Hawalik (Hadits)
23. Al-„Asyirotus Syafi‟iyah Kp. Dukuh, Kby Lama,
Jaksel
1. Jam‟ul Jawami‟
(u.f)
2. Syarh Ibn „Aqil
(nahwu)
24. Al-Manshuriyyah Jembatan Lima 1. Tafsir Munir
(tafsir)
2. NIhayatu Zain
(fiqih)
59
3. Maroqil
„Ubudiyah (tsf)
4. Nuruz Zholam
(tauhid)
25. Al-Muhsinin Kp. Kepu, Kemayoran,
Jakpus
Tafsir Munir (tafsir)
2.Muhawibush
Shomad (fiqih)
26. Al-Ma‟mur Tanah Abang, Jakpus 1. Fathul Mu‟in
(fiqih)
2. Asymuni (nahwu)
3. Mukhtasar Abi
Jamrah (fiqih)
4. Al-Majalisus
Saniyyah (Hadits)
27. At-Taqwa Jl. Sriwijaya Raya, Kby.
Baru, Jaksel
1. Fathul Qorib
(fiqih)
2. kifayatul Awwam
60
(tauhid)
3. Kifayatul „Atqiya
(tsf)
28. Al-Ma‟ruf Jl. Simprug III/Grogol 1. Fathul Mu‟in
(fiqih)
2. Tanbihul
Mughtarrin (tsf)
29. Al-Falah JL. Kediman Buntu,
Kemayoran, Jakpus
1. Tafsir Munir
(tafsir)
2. Tajul „Arus (tsf)
30. „Isyarotur Rodiyah Johar Baru, Jakpus 1. Mathla‟ul
Badrain (fiqih)
2. Minhajul „Abidin
(tsf)
Keterangan: u.q = Ulumul Qur‟an
tsf = Tasawuf
u.f = Ushul Fiqih
61
BAB IV
IJTIHAD KH. M. SYAFI’I HADZAMI DALAM PERSOALAN WARIS DAN
ANALISIS PENULIS
A. Perkara Waris dalam Kitab Taudlihul Adillah
Dalam kitab ini terdapat persoalan waris yang dijawab langsung oleh Mu‟allim
Syafi‟i Hadzami, berikut penulis akan merincikan 3 buah pertanyaan dari jama‟ah
sekaligus jawaban mu‟allim berkaitan dengan pertanyaan tersebut.
Ny. MARDIYAH MARZUKI, Jln Johar Baru Utara I No. 6 Jakarta Pusat
1. Bagaimana cara pembagian ahli waris, kalau saya ini anak wanita dari saudara
semua ada 8 (delapan) orang, 1 sampai 5 putra dan ke 6 saya serta 7 dan 8
anak putra, Mohon penjelasan Pak Ustadz?
2. Bagaimana kalau hal tersebut pembagiannya disamaratakan dengan anak laki-
laki?
Jawaban Mu‟allim KH. Syafi‟i Hadzami:
Kalau almarhum mempunyai 7 orang anak laki-laki, dan seorang anak
perempuan, masih mempunyai isteri dan kedua orang tua, maka isteri almarhum
mendapat bahagian 1/8 dari harta warisan, sedang ayah dan ibu almarhum, masing-
masing 1/6, maka pembagian terhadap ashabul furudh adalah :
1/8 untuk isteri sama dengan 3/24
62
1/6 untuk ayah sama dengan 4/24
1/6 untuk ibu sama dengan 4/24
Jumlahnya menjadi 11/24
Maka sisanya 13/24 adalah untuk ashabah, dalam masalah ini adalah anak
laki-laki dan anak perempuan, dibagi menurut ketentuan yang laki-laki dua kali lipat
dari bahagian perempuan. Akan tetapi jika almarhum, sudah tidak mempunyai isteri,
dan tidak mempunyai ayah dan ibu, maka yang memperoleh warisan adalah anak-
anak kandung beliau yang 8 orang itu, yaitu yang perempuan 1 bahagian sedang 7
orang anak laki-laki sama dengan 14 bahagian, menjadi masalah lima belas. Dengan
ketentuan bahwa yang laki-laki masing masing mendapat 2 bahagian dari lima belas
bahagian, dan yang perempuan mendapat 1 bahagian dari lima belas bagian. Artinya
kalau warisannya seharga Rp. 15.000.000,- maka setiap anak laki-laki mendapat
Rp.2.000.000,- dan anak perempuan mendapat Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).
Sebagaimana firman Allah SWT, di dalam kitab suci Al Qur‟an pada surat
Annisa ayat 11 berikut:
كر دك نذل ـ ف ٱوم لل لهثيي وضيك ٱ
(١١: 4 /)سورة امنساء مثل حظ ٱ
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan.
63
Adapun minta disamaratakan pembagian yang laki-laki dengan anak
perempuan, adalah tergantung kepada anak-anak yang laki-laki. Kalau mereka semua
ridha dengan pembagian seperti itu, tentu boleh. Tanya saja kepada saudara anda
yang laki-laki karena itu hak mereka. Kalau mereka mau menggugurkan haknya itu
boleh.75
Ny. E. KUSMINI, Kramat Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat
1. Saya adalah anak kandung perempuan tunggal dari ayah kandung saya
almarhum Bapak Imong Satiman, ayah saya meninggal dunia, meninggalkan
seorang isteri (yaitu Ibu tiri saya) dan saya sendiri sebagai anak kandung
tunggal, ayah saya meninggal dunia dengan meninggalkan sebuah rumah yang
didiami oleh ibu tiri saya tersebut. saya sebenarnya tidak mempersoalkan
rumah tersebut, karena saya seolah olah sudah seperti anak sendiri bagi ibu tiri
saya tersebut. Namun karena ibu tiri saya tersebut memberitahukan kepada
saya, bahwa rumah tersebut ada yang mau beli, maka yang menjadi
pertanyaan saya ialah : “Berapa persenkah hak waris saya atas rumah
tinggalan ayah saya tersebut, dan berapa pula hak ibu tiri saya. Hal itu saya
tanyakan untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan. Makanya kami
kembalikan kepada ketentuan-ketentuan agama Islam yang saya anut agar
75
M. Syafi‟i Hadzami, Taudlihul Adillah Jilid VI, (Kudus: Menara Kudus, 1986), hlm 229-
230
64
semua pihak mematuhinya. Saya ucapkan terima kasih atas kesediaan bapak
kyai untuk menjawab pertanyaan kami diatas.
Jawaban Mu‟allim KH. Syafi‟i Hadzami :
Kalau rumah peninggalan mendiang ayahanda ada yang mau membeli dan semua ahli
waris setuju untuk menjualnya, sudah barang tentu si pembeli menginginkan supaya
jual beli itu dengan nota-riel-akte, dan Notaris tidak dapat melaksanakannya jika anda
tidak mempunyai fatwa waris, yang dapat anda peroleh dari Kantor Pengadilan
Agama. Surat fatwa waris yang dimaksud, adalah surat penetapan tentang siapa-siapa
yang menjadi ahli waris almarhum ayahanda.
Menurut penjelasan anda, bahwa ahli waris, hanya anda dan seorang isteri
almarhum, yaitulah ibu tiri anda. Berarti almarhum ayahanda, tidak meninggalkan
ayah kandung dan ibu kandung, atau saudara kandung baik laki-laki atau perempuan,
yang seibu sebapak, atau sebapak. Tegasnya: ahli waris almarhum hanyalah anda
seorang anak perempuan, dan seorang ibu tiri anda yang menjadi isteri almarhum
seketika beliau berpulang ke rahmatulaah. Perlu anda ketahui, bahwa jawaban yang
akan saya berikan ini tidak laku untuk Notaris, karena saya bukan Pejabat Kantor
Pengadilan Agama, tetapi hanya menjadi konsultan hukum Islam amatir dan bukan
professional. Jadi, transaksi penjualan rumah pusaka tidak bisa berlaku hanya dengan
fatwa hukum yang saya berikan, tanpa Surat Fatwa Waris yang resmi. Hak waris ibu
tiri anda, menurut hukum Islam adalah 1/8 (satu perdelapan) dari seluruh peninggalan
65
almarhum. Sedangkan hak anda, sebagai seorang anak perempuan, adalah terdiri dari
dua jalan.
1. Sebagai ash-habul furudh anda mendapat ½ (satu perdua), atau separuh dari
seluruh peninggalan almarhum).
2. Sebagai penerima Radd (membagi sisa pusaka) 3/8 (tiga perdelapan) dari seluruh
peninggalan almarhum.
Jadi jumlah seluruh bagian anda adalah ½ = 4/8
Ditambah 3/8
_____________________ +
7/8
Singkatnya :
Ibu tiri anda beroleh 1/8
Sedang anda beroleh 7/8, disebut sebagai Fardhan wa Roddan.
Perhatikan firman Allah SWT. Dalam Surat An-Nisa ayat 12, yang menerangkan
pembagian isteri.
ا بع مم مر ا تركت ومهن ٱ مثمن مم
ن كن مك ول فلهن ٱ
ك ول فا م يكن م ن م
(١2: 4 /)سورة امنساء تركت ا
Artinya;
66
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
Perhatikan pula firman Allah SWT, pada surat An-Nisa ayat 11, yang menerangkan
pembagian seorang anak perempuan.
منطف حدة فلها ٱ ن كهت و
(١١: 4 /)سورة امنساء وا
…jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta…
Bagian anda 1/2, dan bagian ibu tiri anda 1/8, menurut istilah hitungan, nisbah
antara 2 dan 8 adalah tadakhul. Karena makhraj bagian anda 2, dan makhraj bagian
ibu tiri anda 8. Dalam masalah faraidh kalau terdapat angka tadakhul, maka angka
yang kecil dianggap tidak ada maka diambil angka besar.
Dalam masalah ini angka 2 dihilangkan diambil angka 8, jadi disebut masalah
delapan.
Anda dapat separuh dari 8=4
Ibu tiri anda mendapat 1/8=1
_______+
Jumlahnya =5
Sedang makhrajnya yang mesti dibagi ada delapan, berarti masih bersisa 3.
Menurut ilmu faraidh, sisa pembagian pusaka itu dibagi kepada ahli waris yang
67
bukan istri atau suami, yang disebu Radd, maka dalam hak ini andalah sebagai anak
perempuan yang berhak menerimanya. Secara praktisnya dapatlah saya katakan, ibu
tiri anda mendapat 1/8. Anda mendapat 4/8 sebagai fardh + 3/8 sebagai Radd jadi
anda mendapat 7/8. Fadlan Wa Raddan tersebut dalam kitab Alfa
Waidusyansyuriyyah, pada Hamisi Atthufatul Khairiyyah halaman 217, sebagai
berikut:
ٱهه اذا مل نتظم ٱمر بيت املال مكون المام غري املفىت به من مذهبنا الي ٱفيت به املتأخرون من امشافؼية وهو املذهب
فضل غن فروضهم الي منا فرض ٱحد امزوجي بمنس بةػادل املول بمرد ػىل ٱهل امفروض غري امزوجي ما
Dan menurut apa yang difatwakan dalam Madzhab kita, yang telah difatwakan oleh
Ulama Mutaakhiriin Syafi‟iyyah, dan yaitulah yang menjadi haluan, bahwasanya jika
tidak teratur urusan Baitul Maal, karena keadaan pemimpinnya tidak adil, ditetapkan
qaul mengembalikan sisa pusaka kepada orang-orang yang mempunyai bahagian
tertentu selain suami isteri, apa yang lebih dari bahagian-bahagian mereka, yang
setengah daripadanya adalah bahagian dari salah seorang suami isteri dengan
perbandingan.
Dan menurut kitab yang sama, pada halaman 220, sebagai berikut:
كول كزوجة و بنت( فأضل مسأةل امرد مثاهية خمرج فرض امزوجية لن من يرد اميه خشص واحد فللزوجة واحد ونلبنت (
س بؼة فرضا وردا
Artinya:
Katanya: seperti isteri dan anak perempuan, maka asal masalah Radd adalah
8, yaitu tempat keluar bagian isteri, karena orang yang yang akan dikembalikan
68
kepadanya hanya seorang, maka untuk isteri satu bahagian, dan untuk seorang anak
perempuan 7 bagian, sebagai bagian tertentu ditambah pengambalian sisa.76
MAHMUDAH, Jl. Sukamulya Gg.7 Kamp. Sukasari Rt.02, Rw. 04, Kelurahan
Harapan Mulya, Jakarta Pusat
a. Ada seorang wanita sudah berumah tangga dan sudah dikaruniai seorang
anak, waktu suaminya masih bujangan dia sudah merabot, pokoknya komplit
segala alat rumah tangga. Kira-kira perkawinan berjalan dua tahun suaminya
meninggal dunia, dan isterinya itu pulang kerumah orang tuanya, sebab rumah
yang didiaminya adalah warisan dari kedua orang tuanya. Yang saya ingin
tanyakan: bagaimana jika seketika isteri itu pindah ke rumah orang tuanya,
tidak boleh membawa satupun barang-barang peninggalan suaminya, semua
dikuasai oleh kakaknya. Sedangkan almarhum meninggalkan seorang anak.
Bagaimana hukumnya?
Jawaban Mu‟allim KH. Syafi‟i Hadzami:
Menurut hukum syara‟, seorang isteri yang suaminya meningalkan anak, berhak
menerima warisan sebesar tsumun yaitu seperdelapan dari harta yang ditinggalkan
suami. Apabila anaknya itu laki-laki, maka sisa dari semuanya itu untuk anak laki-
laki tersebut. dan jika anak itu seorang perempuan, ia mendapat separuh dari harta
tersebut, dan jika rumah yang didiami itu warisan dari orang tua almarhum, maka
76
M. Syafi‟i Hadzami, Taudlihul Adillah Jilid VII, (Kudus: Menara Kudus, 1986), hlm 239-
242
69
almarhum pun mempunyai bagian dari rumah itu, dimana karerna almarhum telah
meninggal maka isteri dan anaknya lah yang menjadi ahli waris dari bagian
almarhum, dalam hal rumah warisan itu. Mengenai harta benda almarhum, jika
anaknya laki-laki, yang menjadi ahli waris hanyalah isteri dan anaknya itu, sedang
saudara-saudara al-marhum adalah mahjub, terdinding dan tidak beroleh warisan.
Akan tetapi jika anak almarhum itu perempuan, maka saudara-saudara almarhum
memang beroleh pula warisan, yaitu memiliki sisa pembagian isteri dan anak
perempuan, jadi isteri 1/8, anak perempuan ½ dan saudara adalah 3/8, sisa dari 1/8 +
1/2. Itulah faroidh menurut Islam.
Perhatikan firman Allah SWT. pada Surat An-Nisa ayat 12, sebagai berikut :
ا تركت مثمن مم ن كن مك ول فلهن ٱ
(١2: 4 /)سورة امنساء فا
Artinya :
Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan.
Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aljama‟ah kecuali Muslim dan
Attirmidzi. Berkata Abdullah bin Mas‟ud ra.
ت البن امسدس تمكةل امثلثي وما بلي نطف ومب ت امن نالل ضىل الل غليه وسل نلب كىض رسول غن غبد هللا ابن مسؼود
خت فل
70
Artinya :
Pernah menghukum oleh Rasulullah SAW untuk seorang anak perempuan
separuh dan untuk cucu perempuan seperenam, buat mencukupkan dua pertiga, dan
selebihnya itu buat saudara perempuan.
Jika pada saat isteri almarhum itu akan pindah, maka saudaranya menahan
untuk tidak dibawa barang-barang atau perabot rumah, mungkin sekali keseluruhan
harta itu belum diperhitungkan, karena sulit memecah bagian perabotan sebelum
dinilai dengan harga, untuk dibagi kepada 1/8 untuk isteri, ½ untuk anak perempuan
dan 3/8 yaitu sisa untuk saudara almarhum. Akan tetapi bila anak almarhum laki-laki,
maka isterinya mendapat seperdelapan, dan 7/8 sisanya itu seluruhnya untuk anak
laki-laki, dan saudaranya tidak beroleh bahagian. Kalau anak masih kecil, maka
paman saudara ayahnyalah yang menjadi waliyyul maal, pengurus harta jika datuknya
telah tiada, untuk diberikan jika anak tersebut sudah dewasa.77
B. Analisis Penulis
Penulis akan coba menganalisis 3 pertanyaan di atas yang diajukan oleh jama‟ah
untuk melihat pertimbangan hukum yang digunakan oleh Mu‟allim. Pada pertanyaan
pertama, beliau mengutip ayat suci Al Qur‟an surat An Nisa ayat 11. Begitupun
dengan pembagian jatah para ahli waris, beliau berpegang teguh dengan rincian
pembagian yang telah ditentukan oleh Syari‟at Islam, yaitu:
77
M. Syafi‟i Hadzami, Taudlihul Adillah Jilid VI, (Kudus: Menara Kudus, 1986), hlm 247-
249
71
أصحاب الفسض
1. Suami a. 1/2
b. 1/4
Apabila pewaris tidak meningalkan
keturunan (Annisa:12)
ف ل نن ا ص ك ه جنن ت س ي ي ني لن إى أ ش ل
ل د Apabila pewaris ada meninggalkan
keturunan (Annisa:12)
اى ف إى... ي م ل د ل بع ف ل نن ا ٱلس ي هو م ...ت س 2. Istri a. 1/4
b. 1/8
Apabila pewaris tidak meninggalkan
keturunan (Annisa:12)
ي ... ل بع ا ٱلس تن هو م ل د لنن ي ني لن إى ت س
... Apabila pewaris ada meninggalkan
keturunan (Annisa:12)
اى ف إى... ل د ل نن م ي ا ٱلخوي ف ل تن هو م ...ت س
3. Bapak a. 1/6
b. 1/6 + Sisa
c. Ashabah
Apabila pewaris ada meninggalkan
keturunan laki-laki (Annisa:11)
... ي ل ب حد لنل ا و دس ه ا ٱلس هو
ك اى إى ت س ۥ م ل د ل ... Apabila pewaris ada meninggalkan
keturunan perempuan (Annisa:11)
... ي ل ب حد لنل ا و دس ه ا ٱلس هو
ك اى إى ت س ۥ م ل د ل ...
Apabila pewaris tidak meninggalkan
keturunan (Annisa:11)
ۥ ي ني لن ف إى ... ل د ل ۥ زح ا أ ب ف له
...ٱلخلج 4. Ibu a. 1/3
b. 1/6
Apabila pewaris tidak meninggalkan
keturunan (Annisa:11)
ۥ ي ني لن ف إى ... ل د ل ۥ زح ا أ ب ف له
...ٱلخلج
Apabila pewaris hanya mempunyai 1
orang saudara/saudari
Apabila pewaris ada meninggalkan
keturunan (Annisa:11)
72
... ي ل ب حد لنل ا و دس ه ا ٱلس هو
ك اى إى ت س ۥ م ل ل ... د 5. Anak
perempuan
a. ½
b. 2/3
c. Ashabah
Apabila tunggal (Annisa:11)
إى ... ا ت ة م حد ف ف ل ا ...ٱلص
2 orang atau lebih (Annisa:11)
ا ء مي ف إى ى ... ق س ي ٱح ت ي ي ف ا حلخ ا ف ل ه
ك ...ت س Apabila bersama anak laki-laki
(Annisa:11) يصينن دمن فى ٱلل
ل س أ ظ هخ ل للرم ح
خ ي ي ٱل 6. Cucu
Pr/ ت ب
االبي
a. Terhijab oleh
b. ½
c. 2/3
d. 1/6
1. Anak laki-laki pewaris
2. 2 orang atau lebih anak
perempuan pewaris
Apabila tunggal (Annisa:11)
2 orang atau lebih
Apabila bersama 1 orang anak
perempuan pewaris (hadist Nabi)
7. Saudari
Sebapak
Seibu/
أخت شقيقة
a. Terhijab oleh
b. ½
c. 2/3
d. Ashabah/ABG
e. Ashabah/AMG
1. Keturunan pewaris laki-laki
2. Bapak pewaris
Apabila tunggal
2 orang atau lebih
Apabila bersama dengan saudara
(sekandung) sebapak seibu / شقيكأخ
Apabila bersama dengan keturunan
pewaris perempuan (anak perempuan
73
atau cucu perempuan)
8. Saudari
Sebapak/
a. Terhijab oleh
b. ½
c. 2/3
d. 1/6
e. Ashabah/ABG
f. Ashabah/AMG
1. Keturunan pewaris laki-laki
2. Bapak pewaris
3. Saudara sebapak seibu/ أخ
شقيقة
4. Saudari sebapak seibu/ أخت
yang kedudukannya شقيقة
sebagai “Ashabah (AMG)”
bersama keturunan pewaris
perempuan
5. 2 orang atau lebih saudari
sebapak seibu/
Apabila tunggal (Annisa: 176)
ا إى ... سؤ ۥ ل ي س ل ل ٱه ل د ل ۥ ل ت ف ل ا أخ
ف ا ص ك ه ...ت س
2 orang atau lebih (Annisa: 176)
ا ت ا إى ... ا ٱح ت ي ي م و ا ٱلخلخ اى ف ل ك هو ...ت س Apabila bersama 1 orang saudari
sebapak seibu / أخت شقيقة Apabila bersama dengan saudara
sebapak/اخ الب Apabila bersama dengan keturunan
pewaris perempuan (anak perempuan
atau cucu perempuan)
9. Saudara a. Terhijab oleh 1. Keturunan pewaris
74
Saudari
Seibu/ أح
أخت لم
b. 1/6
c. 1/3
2. Bapak atau kakek pewaris
Apabila tunggal laki-laki atau
perempuan (Annisa:12)
إى ... اى جل م ث ز ل ة يز ل م أ ة أ س ۥ ٱه ل
أ خ ت أ حد ف لنل أخ ا و دس ه ...ٱلس Lebih dari 1 orang (laki-laki dan
perempuan dibagi sama rata)
(Annisa:12)
ا ف إى ... ا خ س م لل هي أ م ن ذ ا ء ف م فى شس
...ٱلخلج
10. Kakek/ اب
االب
1. Terhijab oleh
2. 1/6
3. 1/6 + Sisa
4. Ashabah
1. Bapak 2. Apabila pewaris ada
meninggalkan anak keturunan
laki-laki
Apabila pewaris ada meninggalkan
anak keturunan perempuan
Apabila pewaris tidak meninggalkan
keturunan
11. Nenek
Dari bapak
a. Terhijab oleh Bapak dan ibu
12. Nenek
Dari Ibu
a. Terhijab oleh
b. 1/6
Ibu
Sendiri atau lebih (dibagi sama)
Pada pertanyaan kedua, beliau menentukan pembagian waris dengan dua ahli
waris yaitu seorang ibu tiri dengan anak tirinya, dalam hal ini beliau mengutip kitab
75
Alfa Waidusyansyuriyyah, pada Hamisi Atthufatul Khairiyyah. Serta membahas
mengenai Aul dan Rad yang menjelaskan bahwa Aul menurut bahasa (etimologi)
berarti irtifa‟: mengangkat. Dikatakan „alal miizan bila timbangan itu naik,
terangkat. Kata aul ini terkadang berarti cenderung kepada perbuatan aniaya
(curang). Secara terminologi (istilah) Aul adalah bertambahnya saham dzawil furudh
dan berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka, atau bertambahnya jumlah
bagian yang ditentukan dan berkurangnya bagian masing-masing ahli waris.78
Sedangkan Radd secara bahasa (etimologi) berarti i‟aadah: mengembalikan.
Dikatakan radda „alaihi haqqah artinya a‟aadahu ilaih: dia mengembalikan haknya
kepada yang berhak. Kata radd juga berarti sharf: memulangkan kembali. Dikatakan
radda „anhu kaida „aduwwih: dia memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya.
Secara terminologi radd adalah mengembalikan apa yang tersisa dari bagian dzawul
furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila
tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya.79
Pada pembahasan yang
ketiga beliau menekankan bahwa pembagian hukum Islam harus disesuaikan dengan
syari‟at Islam, yang sudah ditentukan dalam beberapa ayat dan surat di dalam Al
Qur‟an. Selain itu, beliau juga menjelaskan mengenai ahli waris pengganti, yang
mana atura hukum di Indonesia memperbolehkan “Penggantian” ahli waris atas
sebuah harta warisan. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu masih memiliki
78
Muhubbin dan M Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), cet ke-2, hlm 122 79
Muhubbin dan M Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, hlm 128
76
hubungan darah dengan ahli waris yang akan digantikannya tersebut. Seseorang
menggantikan keududukan ahli waris akan mempunyai kedudukan yang sama dengan
ahli waris yang diganti. Hal ini diatur dalam pasal 841 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa penggantian memberikan hak kepada orang yang mengganti untuk bertindak
sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya.80
ىل جؼلنا ومك ا مو ان ترك مم ل مو لكربون ٱ
ين وٱ ل
نك غلدت وٱ ن هطيبم فـاثوه ٱم
ا لل
ء ك ػىل كن ٱ شهيدا. ش
(33: 4سورة امنساء/)
"Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan
para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib
kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,
maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan
segala sesuatu."
80
NM. Wahyu Kuncoro, Waris Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2015), cet ke-1, hal 50
77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Hukum waris yang diterapkan oleh KH M Syafi‟i Hadzami adalah hukum
waris yang sesuai dengan syariat Islam. Beliau juga banyak mengutip beberapa
pendapat ulama madzhab terkhusus pendapat imam Syafi‟i dan para ulama
dikalangan Syafi‟iyah (pengikut madzhab Syafi‟i/ahlu sunnah wal jama‟ah).
Kitab-kitab yang dijadikan rujukannya pun merupakan kitab-kitab yang dikarang
oleh para ulama Syafiiyah, sebagai contoh yaitu kitab Alfa Waidusyansyuriyyah.
KH M. Syafi‟i Hadzami juga termasuk ulama yang sangat hati hati (ikhtiyat)
dalam memberikan jawaban terhadap para jamaah yang memiliki pertanyaan
kepada beliau, sebagai contoh perihal waris ini beliau menjawab penuh dengan
kehati-hatian dan merujuk beberapa sumber dalil (al-qur‟an, hadits, dan perkataan
ulama).
Sebagai ulama kontemporer beliau juga beberapa kali mengutip Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dalam setiap jawaban-jawaban pada pertanyaan yang
diberikan oleh para jamaah. Beliau juga mengdepankan kemaslahatan pada setiap
persoalan yang timbul sehingga jawaban-jawaban beliau menjadikan jamaah
memiliki kepuasan tersendiri setelah pertanyaannya dijawab.
78
B. SARAN-SARAN
Bagi para akademisi, ilmuwan muslim, dan para peneliti hendaknya
lebih banyak lagi untuk mau belajar kepada karya-karya ataupun risalah-
risalah beliau, terlebih dalam kaitannya dengan hukum waris.
Pemikiran dalam karya-karya KH. M. Syafi‟‟i Hadzami perlu untuk
ditumbuh kembangkan, mengingat betapa banyak karya dan/atau risalah yang
telah beliau hasilkan, sehingga akan berdaya guna bagi kelangsungan
pembelajaran di masa yang akan datang.
Lembaga-lembaga pendidikan yang telah KH. M. Syafi‟‟i Hadzami
rintis semasa hidupnya hendaknya mendapat perhatian serius dari pemerintah,
khususnya oleh para pengurus dan yayasan agar metode pembelajaran yang
diterapkan akan mempunyai mutu yang tidak kalah saing dengan lembaga
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hassan, Al-Fara`id, Surabaya : Penerbit Pustaka Progressif 1992
Achmad Kuzari, Sistem Asabah, cet I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996
Abdul Aziz Dahlan (ed) et.al., “Idrisiah”, dalam Enslikopedi Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
Abdul Halim Hasan, Tafsir al Ahkam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006
Abdul Qodir al-Bakaar, Ahkamul Mawarits, cet III, Kairo : Daarussalaam 2001
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawarits, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1993
Ali Parman, Kewarisan Dalam al-Qur`an : Suatu Kajian Hukum dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 1995
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, Jakarta:Yayasan Al- „Asyirotusy
Syafi‟iyah, 2012.
Amin Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Multi Disipliner,
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semester, 2006.
Amien Husein Nasution, Hukum Kewarisan, cet I, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada 2012
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, cet I, Jakarta : Kencana 2004
An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Beirut: Dar al Fikr, 1972
Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta : Bumi
Pustaka, 1997.
Dian Khoirul Umam , Fiqih Mawaris, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1981
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 1995.
Jaenal Aripin, Filsafat Hukum Islam, Tasyri dan Syar’I, Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2006
Kompilasi Hukum Islam, Bab I, Buku II, Pasal 171, huruf a
Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006, Cet. Ke-22.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, cet VII, Jakarta : PT. Hidakarya Agung
M. Syafi‟i Hadzami, Taudlihul Adillah Jilid VI, Kudus: Menara Kudus, 1986
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an,
cet II Jakarta : Lentera Hati 2002
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008.
Mastuki HS dan M Ishom El-saha (ed.), Intelektualisme Pesantren, Jakarta: Diva
Pustaka, 2003, cet ke-1.
Muhlis, laporan penelitian dan penulisan biografi KH. M. Syafi’i Hadzami di
Provinsi DKI Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan (LITBANG)
Agama, Departemen Agama RI, Jakarta, 1989/1990.
Muhibbin dan M Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, cet ke-2
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, cet I (Jakarta :
Pedoman Ilmu Jaya 1992
M. Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2001.
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika Offset 2009
Muhammad Ali as-Syabuni, al-Mawaris fi asy-Syariiah al-Islamiyah, Beirut :
Daar al-Qalam 1409H/1989M
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks
dan Konteks, cet I, Jakarta : Rajawali Pers, 2013
Muhammad bin Abdurrahman ad-DImasyqi, Fiqih Empat Madzhab, terjemah
Abdullah Zaki Alkaf, Bandung: Hasyimi, 2010
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab
Muhlis, laporan penelitian dan penulisan biografi KH. M. Syafi’i Hadzami di
Provinsi DKI Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan (LITBANG)
Agama, Departemen Agama RI, Jakarta, 1989/1990
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus 2005
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Cet. Ke-9, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2013.
NM. Wahyu Kuncoro, Waris Permasalahan dan Solusinya, Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2015
Otje Salman dan Musthofa Haffas, Hukum Waris Islam, Bandung : PT Refika
Aditama
Saifuddin Arief, Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan,
Jakarta : Darunnajah Production House 2007
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia
Press, 1986.
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2004
Sunan ibn Majah, Riyadh : Saudi Arabia t.t.
Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris hukum kewarisan Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997
Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983.