Pemikiran Gayatri Spivak Tentang Subaltern Dan Refleksinya Pada Kasus Diskriminasi Terhadap Bangsa...
-
Upload
jacksennainggolan -
Category
Documents
-
view
460 -
download
3
Transcript of Pemikiran Gayatri Spivak Tentang Subaltern Dan Refleksinya Pada Kasus Diskriminasi Terhadap Bangsa...
Pemikiran Gayatri Spivak Tentang Subaltern dan Refleksinya pada
Kasus Diskriminasi terhadap Bangsa Moro di Filipina.
(oleh: Jacksen Partogi / F1D007047)
Gayatri Spivak Chakravorty lahir di Calcutta, India pada 24 Februari
1942. Pada tahun 1983, Spivak membuat artikel yang berjudul “can
subaltern speak?”. Artikel tersebut dilatar belakangi dari peristiwa gantung
diri yang dilakukan oleh adik neneknya yang bernama Bhuvaneswari.
Bhuvaneswari adalah salah satu anggota kelompok yang terlibat dalam
perjuangan bersenjata bagi kemerdekaan India. Keputusan untuk
menggantung diri tersebut diambil karena Bhuvaneswari tidak mampu
melakukan pembunuhan politik yang dipercayakan oleh kelompoknya.
A. Subaltern dalam Pemikiran Gayatri Spivak.
Subaltern merupakan kata yang digunakan oleh Gramsci sebagai
penunjuk terhadap kelompok inferior.1 Subaltern diartikan sebagai
kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni dari kelas-
kelas yang berkuasa. Kelas-kelas yang berkuasa tersebut melakukan
eksploitasi dan penindasan terhadap kelompok inferior.
Menurut Spivak, subaltern merupakan kelompok-kelompok yang
mengalami penindasan oleh kelas penguasa. Gayatri Spivak menjelaskan
mengenai eksploitasi kaum tertindas dengan menggunakan analisis
Marxis. Spivak menekankan bahwa eksploitasi terhadap kaum tertindas
disebabkan adanya dominasi struktural. Dominasi struktural tersebut
muncul dari suatu sistem pembagian kerja internasional. 2
Dalam sistem pembagian kerja internasional, segala bentuk
representasi harus datang dari posisi istimewa atau kekuasaan. Posisi
istimewa atau kekuasaan tersebut muncul karena adanya kesempatan,
pendidikan, kewarganegaraan, kelas, ras, gender dan lokasi. Dalam hal
ini, Spivak menyebutnya sebagai kekerasan epistemis. 1 http//:komitenasionalindonesia.wordpress.com2 http//:postkolonialweb.org/poldiscourse/spivak/spivak2/html
Dalam praktik kolonialisme, suara masyarakat terjajah dalam
menunjukkan eksistensinya sering terbendung oleh jejaring kekuasaan
yang diciptakan rezim penjajah. Posisi subaltern kemudian selalu tersisih
karena proyek penjajahan akan dilanjutkan oleh masyarakat terjajah
lainnya yang mewarisi pola pikir kolonial. Oleh sebab itu, posisi subaltern
akan terus ditekan dengan berbagai praktik penjajahan gaya baru yang
terus direproduksi. 3
Gayatri Spivak mempertanyakan peran intelektual pasca kolonial
yang sering dikaitkan dengan masyarakat yang mengalami penindasan
ataupun ketidakadilan. Spivak mengecam dan memperingatkan kepada
intelektual pasca kolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara-suara
dari kelompok yang tertindas. Menurut Spivak, seorang yang intelek tidak
mungkin dapat mengklaim dan meromantisir kemapuan intelektual mereka
untuk mencari perhatian dari kelompok inferior demi suatu tujuan
pragmatis. Tindakan-tindakan intelektual tersebut bagi Gayatri Spivak
justru bersifat kolonial. Menurut Spivak, hal tersebut menyamaratakan
atau dalam istilah Gramsci menghegemoni keberagaman kelompok-
kelompok yang tertindas. 4
Menurut Spivak, suara dari para kaum tertindas atau subaltern
tidak akan dapat dicari karena para kaum tertindas tidak bisa bicara. Oleh
karena itu, Spivak mengatakan bahwa kaum intelektual harus hadir
sebagai pendamping atau orang yang mewakili kelompo-kelompok yang
tertindas tersebut. Spivak menyarankan kaum intelektual seharusnya lebih
banyak bertindak secara nyata untuk memperjuangkan kelompok-
kelompok subaltern dari pada hanya berfikir atau berbicara saja.5
B. Refleksi Pemikiran Spivak mengenai Subaltern pada Kasus
Diskriminasi terhadap Bangsa Moro di Filipina.
3 http://memecahsenyap.blogspot.com/2008/11/yang-dikalahkan-dan-terhempas.html4 http://weberseventy.blogspot.com/2009/02/resume-pemikiran-gayatri-spivak-dalam.html5 Ibid.
Suku Moro merupakan suku muslim mayoritas yang berada di
Mindanao, salah satu pulau di Filipina. Meskipun menjadi suku mayoritas
di Mindanao, namun Suku Moro merupakan suku minoritas di Filipina. Hal
tersebut menyebabkan Suku Moro sering mendapat perlakuan
diskriminasi dari penduduk bahkan pemerintah Filipina yang mayoritas
beragama Kristen/Katolik. Pertentangan yang keras datang dari
pemerintah Filipina yang terus berusaha menginginkan agar seluruh
Filipina termasuk Pulau Mindanao menjadi beragama Kristen/Katolik. 6
Suku Moro mendapat banyak masalah yang berasal dari tekanan
Pemerintah Filipina. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah
diskriminasi, pengabaian hak-hak minoritas maupun perbedaan akses
untuk menikmati hasil-hasil bumi yang digali di wilayah bangsa Moro.
Integrasi paksa Muslim Moro ke dalam mayoritas Katolik Filipina pada
akhirnya berdampak pada berlangsungnya dominasi, hegemoni dan
kontrol yang represif dari pemerintah Filipina yang mewakili kepentingan
mayoritas. Marginalisasi dan deprivasi secara konstan yang dialami suku
Moro sebagai akibat hegemonisasi di atas berakibat munculnya
pemberontakan terhadap pemerintah Filipina yang terwujud dalam
berbagai gerakan separatisme.7
Menurut Spivak, subaltern adalah kaum minorotas yang akan
dihegemoni oleh kaum mayoritas. Dalam hal ini, suku Moro dihegemoni
oleh pemerintah Filipina agar melebur bersama kelompok mayoritas yang
beragama Kristen/Katholik. Penghegemonian ini membuat bangsa Moro
melakukan perlawanannya yakni dengan adanya pemberontakan-
pemberontakan, dimana hal itu bagian dari politik identitas sebagai alat,
agar apa yang diinginkan dapat terwujud yakni menjadi bangsa yang tetap
mempertahankan budaya dan ajaran Islam mereka.
6 http://warawirijelajah.blogspot.com/2009/06/tidak-seperti-tetangganya-muslim.html7http://www.psdr.lipi.go.id/frm_ind.php?pg=informasi/info_pustaka2.php&act=edit&id=135