Pemetaan Ekosistem Mangrove Di Kawasan Pesisir Dalam Upaya Mitigasi Bencana, Kasus Di Pulau Jawa
-
Upload
abdul-haris -
Category
Documents
-
view
106 -
download
22
description
Transcript of Pemetaan Ekosistem Mangrove Di Kawasan Pesisir Dalam Upaya Mitigasi Bencana, Kasus Di Pulau Jawa
-
Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Dalam Upaya Mitigasi Bencana, Kasus
di Pulau Jawa
Yanelis Prasenja
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat dinamis terhadap perubahan, baik
perubahan cuaca maupun perubahan biofisik. Kegiatan yang terjadi di pesisir sangat beragam
seperti pengembangan pelabuhan sebagai prasarana perhubungan laut, pemukiman, industri,
pariwisata, perikanan/pertambakan, pertanian dan lain sebagainya. Beberapa bencana yang
sering terjadi di kawasan pesisir antara lain : banjir; erosi; sedimentasi; penyumbatan muara;
intrusi air asin; rob; sea level rise; kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang dan
padang lamun; tsunami; inundasi dan sebagainya. Bencana tersebut dapat disebabkan oleh
faktor alamiah maupun merupakan dampak dari aktivitas manusia.
Wilayah pesisir Indonesia laksana super mall-nya bencana, masih terngiang dalam
ingatan kita ketika bencana melanda kawasan pesisir seperti gempa yang disusul tsunami di
NAD (2004), dua bulan berselang, tsunami di pangandaran, tsunami di Kabupaten Kepulauan
Mentawai (2010). Selain itu bencana di pesisir lainnya seperti gelombang pasang yang
menghancurkan ribuan rumah di pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, NTB dan
NTT pada tahun 2007 dan juga banjir rob di sepanjang pantura Pulau Jawa hingga saat ini
masih melanda.
Untuk mengurangi dampak negatif bencana di wilayah pesisir perlu dilakukan upaya
mitigasi lingkungan pesisir. Menurut UU 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, mitigasi bencana merupakan upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik secara
struktur atau fisik (pembangunan fisik alami dan/atau buatan) maupun nonstruktur atau non
fisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Mitigasi merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan semua
lapisan masyarakat. Dalam penanganan bencana perlu dilakukan upaya mitigasi yang
komprehensif yaitu kombinasi upaya struktural, seperti pembuatan prasarana dan sarana
pengendali, dan upaya non-struktural, seperti pembuatan kebijakan mitigasi lingkungan
pesisir dan penyadaran masyarakat.
-
Menurut Subandono, upaya mitigasi harus dilaksanakan sejak pada tahap
perencanaan. Hal ini sesuai dengan UU 27/2007, yaitu dalam penyusunan rencana
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu, pemerintah
dan/atau pemerintah daerah wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat
mitigasi bencana sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya. Perencanaan zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian dan
keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan perlindungan,
dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan
keamanan (Pasal 9 Ayat 3 UU No 27/2007). Fungsi perlindungan yang dimaksud adalah
termasuk perlindungan terhadap ancaman bencana di wilayah pesisir.
Gambar 1-1 Sistem Silvofishery
Penanaman vegetasi mangrove dan pemeliharaan ekosistem mangrove yang sudah
ada merupakan sebuah upaya mitigasi bencana. Ekosistem mangrove memiliki sistem
perakaran yang kuat dan istimewa, yang mencengkeram sampai kelapisan tanah terdalam.
Tajuk yang rata dan rapat, serta lebat sepanjang waktu, menjadikan ekosistem mangrove
sebagai pelindung alami yang ideal terhadap ancaman bencana di wilayah pesisir. Selain
berfungsi sebagai tembok penahan pengaruh secara langsung dari bencana di wilayah pesisir,
mangrove pun sangat menguntungkan karena dapat meningkatkan kualitas perairan dan
penahan intrusi air laut sehingga perlunya dilakukan pengelolaan yang tepat.
Untuk mengelola wilayah pesisir dan lautan dengan baik selalu terbuka, sehingga
wilayah pesisir dapat terjaga keberlanjutan fungsi ekosistemnya, namun juga dapat
memberikan manfaat ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat pesisir. Kondisi tersebut
-
dapat dicapai melalui pengeloaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, dengan
penerapan prinsip-prinsip perencanaan pengembangan wilayah yang matang dan terencana.
Sementara itu, untuk mewujudkan pengelolaan yang terpadu hanya dapat dipenuhi apabila
tersedia informasi yang akurat dan lengkap tentang kondisi wilayah pesisir dan lautan,
misalnya tentang potensi, kondisi sumberdaya dan kegiatan sosial ekonomi yang ada di
wilayah pesisir serta aspek kelembagaan dan stakeholders yang berkepentingan dalam
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.
Informasi yang akurat dan lengkap tersebut dapat diwujudkan melalui pemetaan, baik
potensi, kondisi maupun pemanfaatannya, sehingga dapat diketahui wilayah-wilayah pesisir
dan lautan yang potensial untuk dikembangkan atau didayagunakan secara optimal.
Disamping itu karena degradasi wilayah pesisir dan lautan semakin meningkat, menjadi sangat
penting adalah ketersediaan peta daerah-daerah prioritas rehabilitasi, sehingga pelaksanaan
rehabilitasi wilayah pesisir dan lautan menjadi terarah dan efisien. Data dan informasi hasil
pemetaan daerah-daerah prioritas rehabilitasi dan pendayagunaan wilayah pesisir dan lautan
dimaksudkan, pada dasarnya tidak cukup hanya menyajikan data berupa status rehabilitasi
dan pendayagunaan wilayah pesisir dan lautan saja, tetapi perlu dilengkapi dengan sajian
informasi yang menyangkut karakteristik ekosistem yang ada, potensi luasan dan
pertumbuhan sekitar wilayah serta risalah kegiatan rehabiliasi dan pendayagunaan pesisir dan
lautan yang telah dilakukan ,sehingga data-data yang dihasilkan dari kegiatan ini dapat diacu
atau dijadikan referensi oleh berbagai pihak.
Data yang dikumpulkan pada prinsipnya dapat berupa data sekunder, yang
merupakan hasil-hasil kegiatan dari institusi lain yang terkait misalnya KLH, Kemenhut, LIPI,
Bakosurtanal dan institusi lainnya, atau data-data primer dari hasil survey melalui kegiatan ini.
Data dan informasi yang disajikan selain data-data berupa angka-angka, gambar atau grafik,
yang lebih penting adalah hasil analisisnya, yang diwujudkan dalam bentuk peta, sehingga
dapat diketahui daerah-daerah prioritas untuk direhabilitasi dan pendayagunaan. Kemudian
untuk tindaklanjutnya dan memberikan panduan bagi stakeholders, perlu tersedia pula suatu
pedoman untuk mengetahui bagaimana menentukan kriteria rehabilitasi (prioritas, waspada,
aman), sehingga memudahkan stakeholders melakukan upaya rehabilitasi wilayah pesisir dan
lautan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilaksanakan kegiatan
Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Dalam Upaya Mitigasi Bencana, Kasus di
Pulau Jawa.
-
1.2 Rumusan Masalah
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai yang relatif panjang dengan
luasan area pesisir yang luas. Kondisi ini memungkin Indonesia meiliki luasan dan keragaman
jenis ekosistem pesisir yang luas dan beragam. Akan tetapi seiring dengan pesatnya
pembangunan di Indonesia maka tekanan terhadap eksistensi dari ekosistem pesisir ini
menjadi besar.
Paradigma selama ini yang berkembang bahwa pembangunan lebih berorientasi pada
pengembangan pembangunan di lahan darat secara langsung memberikan dampak negatif
terhadap keberadaan ekosistem pesisir. Dampak langsung dari aktivitas pembangunan di
lahan darat ini misalnya konversi fungsi guna lahan yang marak terjadi, terutama untuk
ekosistem mangrove yang banyak dikonversi menjadi lahan budidaya tambak. Selain secara
langsung, dampak dari pembangunan yang tidak ramah bencana yang secara tidak langsung
memberikan tekanan negatif terhadap keberadaan dari ekosistem mangrove misalnya
rusaknya kualitas dan kuantitas dari ekosistem mangrove yang disebabkan oleh abrasi dan
erosi yang sangat tinggi sehingga menyulitkan pertumbuhan vegetasi mangrove.
Mangrove sendiri dengan kualitas dan kerapatan yang bagus, berfungsi untuk
melindungi pantai dari hempasan badai dan angin. Dalam beberapa pengalaman yang terjadi,
pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai penahan erosi dinilai lebih murah dan memberikan
dampak menguntungkan dalam meningkatkan kualitas perairan sekitarnya. Padahal
pertambakan pun jika di tatakelola ulang dengan menggunakan metode silvofishery yaitu
perpaduan antara budidaya perikanan dengan pelestarian mangrove lebih menguntungkan
jika dinilai dari segi ekonomis dan kelestarian lingkungan.
Gambar 1-2 Sistem Silvofishery
Dengan semakin tingginya tingkat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya
ekosistem pesisir, akhir-akhir ini banyak upaya rehabilitasi yang dilakukan oleh pihak
-
pemerintah atau upaya swadaya yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Upaya rehabilitasi ini
selain untuk mengembalikan kelestarian lingkungan di wilayah pesisir, juga sebagai upaya
mengoptimalkan pendayagunaan wilayah pesisir dan lautan yang berkaitan dengan ekosistem
pesisir.
Oleh karena itu dalam upaya menata kembali ruang di wilayah pesisir yang rawan
terhadap bencana, disarankan mengikuti tujuh prinsip dasar rencana zonasi/penataan ruang
guna meminimalisasi resiko bencana (Subandono, 2011). Ke tujuh prinsip itu menurut
Subandono adalah:
1. Kenali kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil rawan bencana sebagai ancaman
bahaya.
2. Kenali dan bentuk dan tipe wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (landai, terjal,
berbatu, berpasir, dan lain-lain).
3. Identifikasi potensi sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perikanan,
pariwisata, permukiman, transportasi, dan lain-lain).
4. Identifikasi kebutuhan kawasan konservasi dan perlindungan bencana (mangrove,
hutan pantai, gumuk pasir, dan lain-lain).
5. Kenali karakter/fungsi sarana dan prasarana wilayah yang ditempatkan (break
water, pelabuhan, bangunan tinggi, dan lain-lain).
6. Kenali karakter sosial-budaya serta sosial-ekonomi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil (menentukan kerentanan dan resiko).
7. Kembangkan konsep rencana zonasi/penataan ruang dengan mempertimbangkan
keindahan, keberaturan, dan keselamatan.
Dilatar belakangi hal tersebut diatas, pelaksanaan penelitian ini dimaksudkan untuk
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan pengembangan lebih lanjut untuk kemudian
dijadikan sebagai pedoman yang dapat diaplikasikan oleh seluruh pihak terkait yang
berkepentingan, khususnya dalam pengelolaan ekosistem mangrove sebagai upaya mitigasi
bencana. Penelitian ini pun diharapkan dapat dilengkapi dan diperkaya lagi, dalam
memberikan gambaran mengenai hal-hal penting apa saja yang terkait dengan upaya
rehabilitasi ekosistem mangrove sehingga permasalahan lingkungan dan bencana yang terjadi
di wilayah pesisir dapat terselesaikan dengan upaya mitigasi bencana lingkungan.
-
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari kegiatan Pemetaan ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Dalam Upaya
Mitigasi Bencana, Kasus di Pulau Jawa adalah :
Menyediakan data dan informasi berupa pemetaan Daerah Prioritas Rehabilitasi
ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Dalam Upaya Mitigasi Bencana secara akurat,
lengkap, dan tepat untuk dijadikan acuan dalam penentuan daerah prioritas rehabilitasi
ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir khususnya, serta penentuan kebijakan
pelaksanaan mitigasi bencana di kawasan pesisir umumnya.
II. Hasil dan Pembahasan
2.1 Identifikasi Sebaran Ekosistem Mangrove
Berbagai data mengenai luas dan penyebaran mangrove di Indonesia telah
dikeluarkan oleh beberapa institusi. Dan apabila kita mencermatinya, terdapat perbedaan
angka yang cukup mencolok antara data yang keluarkan oleh instansi satu dengan yang lain
dalam tahun yang sama. Hal ini dikarenakan oleh adanya perbedaan metode pengukuran
(alat ukur, tenaga ahli) dan adanya perbedaan pemahaman terhadap hutan mangrove, baik
dari segi kewenangan (kawasan konservasi, produksi, lindung) dan dari segi ekologi
(tumbuhan mangrove real dan tumbuhan mangrove ikutan). Berikut adalah peta
persebaran potensi mangrove di Indonesia
Gambar Error! No text of specified style in document.-1 Hasil identifikasi sebaran jenis mangrove di Indonesia (sumber: Bakosurtanal, 2009)
-
dilihat dari gambar 2-1 bahwa di Indonesia sendiri terdapat 91 jenis mangrove yang
tersebar di berbagai pesisir. Persebaran jenis yang terbanyak terdapat di Papua yaitu terdapat
84 jenis vegetasi mangrove. Hal ini dapat dinilai bahwa di Papua, ekosistem mangrove masih
terjaga dengan baik. Sedangkan yang terendah terdapat di Jogjakarta, hal ini dikarenakan
karakteristik pantai di Jogjakarta tidak sesuai untuk vegetasi mangrove. Perkembangan
vegetasi mangrove hanya sebagian kecil dan berada di sekitar delta-delta sungai.
Gambar Error! No text of specified style in document.-2 sebaran jenis mangrove Rhizophora apiculata di Indonesia (sumber: Bakosurtanal, 2009)
-
Gambar Error! No text of specified style in document.-3 sebaran jenis mangrove Sonneratia alba J.Smith di Indonesia (sumber: Bakosurtanal, 2009)
Gambar Error! No text of specified style in document.-4 sebaran jenis mangrove Rhizopora muncronata Lam di Indonesia (sumber: Bakosurtanal, 2009)
Gambar Error! No text of specified style in document.-5 sebaran jenis mangrove Avicennia marina (Forsk) Vierh di Indonesia (sumber: Bakosurtanal, 2009)
Perkembangan jenis mangrove Rhizophora apiculata di Indonesia sebagian besar
berada di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, Sulawesi Tenggara, dan pantai bagian barat Papua. Jenis Sonneratia alba J.Smith
-
sebagian besar tersebar di sepanjang pantai timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, serta sepanjang pantai
Maluku dan Papua. Jenis Rhizopora muncronata Lam sebagian besar tersebar di Nangroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan sebagian besar pantai barat Papua. Jenis
Avicennia marina (Forsk) Vierh sebagian besar tersebar di sepanjang pantai timur Sumatera,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan sebagian
besar pantai barat Papua.
Hasil pengolahan data sekunder seperti dijelaskan diatas, khususnya untuk identifikasi
sebaran mangrove dapat terpetakan dengan baik pada skala pemetaan 1:25.000, terutama
untuk informasi mengenai sebaran serta luasan mangrove di masing-masing wilayah
administrasi. Dari peta identifikasi sebaran ekosistem mangrove di Pulau Jawa Dapat dilihat
bahwa sebagian besar mangrove tumbuh di bagian pesisir utara Pulau Jawa, sedangkan untuk
di pesisir selatan ekosistem mangrove yang teridentifikasi relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan di pesisir utara. Hal ini dikarenakan habitat hidup ekosistem mangrove di utara lebih
baik dibandingkan di bagian selatan Pulau Jawa, dimana sebagian besar tipe pantai dibagian
selatan Pulau Jawa pada umumnya berupa pasir, karang dan berbatu.
Akan tetapi dari hasil identifikasi sebaran ekosistem mangrove ini juga dapat diketahui
bahwa ekosistem mangrove yang tersisa, khususnya di pesisir utara relatif mengalami
degradasi terutama untuk luasan ekosistemnya, hal ini dikarenakan laju konversi lahan di
pesisir Pulau Jawa. Kondisi ini juga berkaitan dengan laju pertumbuhan wilayah dibagian
selatan pesisir Pulau Jawa yang pada umumnya lebih lamban dibandingkan di bagian utara
Pulau Jawa. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil identifikasi sebaran mangrove dapat dilihat
pada gambar dibawah.
Gambar Error! No text of specified style in document.-6 Hasil identifikasi sebaran ekosistem mangrove di Pulau Jawa (sumber: pengolahan peta RBI skala 1:25.000 dan LPI skala 1:50.000, Bakosurtanal)
-
Dari gambar diatas dapat dilihat sebaran ekosistem mangrove disepanjang pantai
Pulau Jawa yang diwakili oleh area berwarna merah. Akan tetapi pada gambar diatas tidak
mewakili luasan dari ekosistem mangrove, tetapi hanya menginformasikan lokasi-lokasi yang
teridentifikasi terdapat ekosistem mangrove. Untuk lebih jelasnya mengenai lokasi dari
mangrove hasil identifikasi tersebut akan diuraikan lebih lanjut untuk masing-masing wilayah
administrasi provinsi pada bagian selanjutnya.
2.2 PEMETAAN EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU JAWA
2.2.1 Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal KP3K, KKP bahwa sebagian besar ekosistem
mangrove di Provinsi Jawa Barat tersebat di bagian utara. Sebaran ekosistem mangrove di
bagian utara terdapat di pesisir Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon.
Berdasarkan kalkulasi geometri perhitungan luas dari luasan ekosistem mangrove yang
teridentifikasi, magrove terluas di pantai utara ada di wilayah Kabupaten Subang yang juga
merupakan 43,59% dari luasan mangrove di Provinsi Jawa Barat. Selain di wilayah Kabupaten
Subang, mangrove terluas lainnya terdapat di wilayah administrasi Kabupaten Indramayu
dengan luasan total dari ekosistem mangrove di Jawa Barat sekitar 42,14%. Sedangkan
kawasan ekosistem mangrove terkecil yang teridentifikasi adalah di wilayah pesisir Kabupaten
Cirebon dengan luasan sekitar 3,05 ha, dengan persentase terhadap luasan total ekosistem
mangrove di Provinsi Jawa Barat sekitar 0,05%. Selain di pesisir utara, ekosistem mangrove di
pesisir selatan yang teridentifikasi terdapat di wilayah Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Garut, dengan luasan masing-masing adalah 408,35 ha dan 31,23 ha.
Secara umum, sebaran mangrove di Provinsi Jawa Barat sebagian besar berada di
pesisir utara, yaitu sekitar 93,3% dari luasan total. Seperti telah disinggung sebelumnya hal ini
dikarenakan karakteristik wilayah pesisir yang berbeda antara utara dan selatan. Sebagai
bahan perbandingan mengenai perubahan guna lahan dari lahan dengan ekosistem mangrove
menjadi lahan tambak yang dapat dijadikan sebagai indikator dari habitat awal ekosistem
mangrove di Provinsi Jawa Barat yang menyajikan luasan lahan tambak diwilayah pesisir
Provinsi Jawa Barat.
Dari Grafik (Gambar 2-7) dapat diketahui bahwa kisaran ekosistem mangrove
berdasarkan asumsi habitat melalui luas tambak yang teridentifikasi sekitar 46,131.31 ha,
dengan wilayah terluas terdapat di kawasan Kabupaten Karawang, dan apabila dibandingkan
-
dengan table sebelumnya yang menyajikan luasan mangrove teridentifikasi dapat diketahui
bahwa laju konversi lahan terbesar terjadi di wilayah Kabupaten Karawang. Untuk lebih jelas
mengenai perbandingan antara luasan mangrove dengan luasan tambak untuk masing-masing
kabupaten dapat dilihat pada grafik dibawah.
Gambar Error! No text of specified style in document.-7 Perbandingan luasan mangrove dengan tambak di Provinsi Jawa Barat
Grafik (Gambar 2-7) memperlihatkan bahwa luasan habitat mangrove terluas terdapat
di Kabupaten Bekasi, dengan asumsi seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Kabupaten Bekasi dapat diartikan bahwa luasan habitat mangrove yang terkonversi menjadi
lahan tambak sangatlah besar. Sedangkan hal menarik lainnya yang ditunjukkan dari grafik
diatas adalah untuk Kabupaten Indramayu, dimana luasan mangrovenya relatif lebih baik
dengan jumlah lahan yang terkonversi menjadi tambak relatif paling sedikit.
Gambar Error! No text of specified style in document.-8 Identifikasi ekosistem mangrove di Provinsi Jawa Barat
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
Bekasi Karawang Subang Indramayu Cirebon Ciamis Garut
mangrove tambak
-
2.2.2 Ekosistem Mangrove di Provinsi Banten Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal KP3K, KKP bahwa sebagian besar luasan
ekosistem mangrove di Provinsi Banten sekitar 927,61 ha yang terdapat di dua kabupaten,
yaitu Kabupaten Serang dan Pandeglang. Ekosistem mangrove di Kabupaten Pandeglang
merupakan yang terluas sekitar 75% dari luasan total di Provinsi Banten, yaitu sekitar 697,72
ha yang tersebar di 4 kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Cibalung, Cikeusik, Cimanggu dan
Sumur. Lokasi lainnya yaitu di Kabupaten Serang dengan luasan teridentifikasi sekitar 229,89
ha yang tersebat di 5 kecamatan pesisir, yaitu: Kecamatan Bojonegara, Kasemen, Kramatwatu,
Pontang dan Tirtayasa.
Dari grafik (gambar 2-9) dapat dilihat bahwa luasan ekosistem mangrove di Provinsi
Banten sebagian besar tumbuh di pesisir Desa Ujung Jaya, Kecamatan Subur, Kabupaten
Pandeglang, dimana lokasi ini juga merupakan area di kawasan lindung Ujung Kulon. Gambar
2-11 menyajikan gambaran yang lebih jelas mengenai lokasi sebaran luas ekosistem mangrove
di Provinsi Banten.
Dari grafik (gambar 2-9) dapat diketahui bahwa lahan tambak sebagai indikator dari
habitat hidup ekosistem mangrove terluas terdapat di Kabupaten Tanggerang, sedangkan
luasan mangrove yang teridentifkasi dengan kondisi sebaliknya, hal ini menunjukkan laju
konversi lahan mangrove di Kabupaten Tanggerang relatif tinggi. Perbandingan angara luasan
mangrove dan tambak di Provinsi Banten dapat dilihat pada grafik dibawah (Gambar 2-9).
Gambar Error! No text of specified style in document.-1 Grafik perbandingan luasan mangrove dan tambak di Provinsi Banten
Untuk luasan mangrove terluas terdapat di Kabupaten Pandeglang dengan
perbandingan yang relatif lebih luas dibandingkan dengan luasan tambak yang terdapat
diwilayah ini. Sedangkan luasan tambak terluas terdapat di Kabupaten Tangerang dengan
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
Pandeglang Serang Tanggerang
mangrove tambak
-
asumsi semua luasan mangrove terkonversi menjadi tambak, karena tidak teridentifkasi
luasan mangrove di wilayah kabupaten Tangerang. Sebaran lokasi ekosistem mangrove di
Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 2-10.
Gambar Error! No text of specified style in document.-10 Identifikasi Ekosistem mangrove di Provinsi Banten
2.2.3 Ekosistem Mangrove DKI Jakarta
Ekosistem mangrove di wilayah pesisir DKI relatif lebih kecil luasannya dibandingkan
dengan wilayah lainnya, hal ini salah satunya dikarenakan secara fisik, DKI memiliki garis
pantai yang relatif pendek. Selain itu posisi strategis DKI sebagai ibu kota negara mempunyai
konsekuensi tingkat laju pembangunan yang tinggi, sehingga laju konversi lahan pun tinggi, hal
ini juga memungkinkan berdampak pada tingginya tingkat konversi lahan mangrove menjadi
lahan budidaya. Seperti halnya dikota besar lainnya dengan laju pembangunan yang tinggi
menjadi persoalan umum terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan lahan untuk aktivitas
budidaya, misalnya permukiman.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal KP3K, KKP bahwa luasan mangrove yang
tersisa di wilayah DKI berada bukan pada daratan utama wilayah DKI, melainkan tersebar di
pesisir pulau kecil disekitarnya, tepatnya di Kepulauan Seribu. Luas mangrove yang
teridentifikasi kurang lebih berkisar sekitar 46,88 ha, terdapat di Kecamatan Pulau Seribu,
yang tersebar di dua pulau, yaitu: Desa Pulau Untung Jawa dan Pulau Tidung. Dari kedua lokasi
tersebut, tempat yang masih relatif memiliki ekosistem mangrove yang lebih luas adalah di
Pulau Untung Jawa. Bahwa hampir sebagian besar area mangrove di wilayah ini telah
dikonversi menjadi lahan budidaya lainnya, misalnya permukiman atau lahan industri.
-
Gambar Error! No text of specified style in document.-11 Grafik perbandingan luasan mangrove dan tambak di DKI Jakarta
Untuk perbandingan luasan mangrove dan tambak diperlihatkan pada Gambar 2-11
diatas, dimana pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa luasan mangrove hanya teridentifikasi
di wilayah Jakarta Utara, begitu pula dengan luasan lahan tambak luasan yang teridentifikasi
terluas terdapat di wilayah ini. Adapun untuk wilayah Jakarta Barat hanya teridentifikasi
luasan tambak dengan luasan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan luasan tambak yang
teridentifikasi di wilayah Jakarta utara seperti dijelaskan tadi. Lokasi penyebaran ekosistem
mangrove di DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 2-12.
Gambar Error! No text of specified style in document.-12 Identifikasi ekosistem mangrove di DKI Jakarta
0
200
400
600
800
1000
Jakarta Utara Jakarta Barat
mangrove tambak
-
2.2.3.1 Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Tengah
Sebagian besar ekosistem mangrove di wilayah Provinsi Jawa Tengah terdapat di
Kabupaten Cilacap, yaitu sekitar 97,15% dari total ekosistem mangrove diwilayah provinsi
Jawa Tengah, dengan luasan sekitar 6.292,29 ha. Mangrove ini secara fisik tumbuh tersebar di
5 kecamatan di kabupaten Cilacap, yang terluas terdapat di kecamatan Cilacap Selatan dan
Kawungganten. Selain itu mangrove di Provinsi Jawa Tengah terdapat di Kecamatan Brebes
(0,55%), Demak (1,46%), Jepara (0,33%), Kota Pekalongan (0,04%), Kota Semarang (0,07%),
Kendal (0,06%) dan Rembang (0,33%). Sebagian besar mangrove ini secara geografis tersebar
di bagian pesisir utara dengan luasan yang relatif kecil, sedangkan di bagian selatan terdapat
di Kabupaten Cilacap dengan luasan yang cukup signifikan. Kondisi ini merupakan hal umum
untuk wilayah pesisir bagian utara, dengan tingkat konversi lahan yang cukup tinggi sehingga
desakan terhadap ekosistem mangrove menjadi besar yang ditandai dengan semakin
menipisnya ketebalan mangrove. Tingginya aktivitas konversi lahan mangrove ditandai dengan
luasnya area tambak yang mengindikasikan habitat dari ekosistem mangrove sebagai hasil dari
konvesi dari mangrove itu sendiri.
Pada gambar grafik perbandingan luasan mangrove dan tambak seperti diperlihatkan
pada Gambar 2-13, tampak bahwa luasan mangrove yang masih tebal terdapat di Kabupaten
Cilacap, sedangkan sebagian besar dipesisir Jawa Tengah ini didominasi oleh luasan tambak.
Dari grafik tersebut dapat ditarik asumsi bahwa sebagian besar luasan mangrove di pesisir
Jawa Tengah sebagian besar dikonversi menjadi lahan tambak. Lokasi penyebaran ekosistem
mangrove di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar 2-14.
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
mangrove tambak
-
Gambar Error! No text of specified style in document.-13 Grafik perbandingan luasan mangrove dengan tambak
Gambar Error! No text of specified style in document.-14 Identifikasi ekosistem mangrove di
Provinsi Jawa Tengah
2.2.4 Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Timur
Ekosistem mangrove di Provinsi Jawa Timur secara umum relatif lebih baik
dibandingkan dengan wilayah lainnya di Pulau Jawa dinilai dari sebaran dan luasan yang
teridentifikasi. Ekosistem mangrove di Provinsi Jawa Timur teridentifikasi kurang lebih di 15
Kabupaten pesisir. Hal ini dapat disebabkan karena garis pantai yang relatif lebih panjang dari
wilayah provinsi lainnya di Pulau Jawa, dengan luasan habitat mangrove yang juga lebih luas,
terutama untuk pesisir utara dan timur.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal KP3K, KKP bahwa luasan mangrove terbesar
di Provinsi Jawa Timur terdapat di Kabupaten Gresik dengan perbandingan luasan sekitar
25,52%, Kota Surabaya sekitar 19,64%, dan terluas ketiga terdapat di Kabupaten Bangkalan
dengan perbandingan terhadap luasan total sekitar 15,95%. Sedangkan perbandingan luasan
ekosistem mangrove dengan luasan wilayah tertinggi secara fisik terdapat di Kota Surabaya.
Sebagai informasi tambahan yang diperlukan dalam melakukan analisis kerusakan ekosistem
mangrove maka harus diketahui tingkat laju degradasi luasan dari area mangrove tersebut.
Asumsi yang dipergunakan seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya yaitu dengan
menselisihkan luasan mangrove teridentifikasi dengan luasan tambak sebagai salah satu
indikator dari luasan habitat hidup mangrove.
diketahui bahwa Kabupaten Gresik relatif memiliki nilai laju konversi lahan mangrove
yang cukup tinggi, Ekosistem mangrove di wilayah Kabupaten Gresik relatif memiliki luasan
yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Gambar 2-15 menunjukkan grafik perbandingan luas antara mangrove dan tambak.
Luasan mangrove yang relatif rendah laju konversi menjadi lahan tambak adalah di Kota
Surabaya dan Bangkalan, karena berdasarkan hasil identifikasi luasan mangrove yang ditemui
-
di Kota Surabaya relatif hampir sama dengan luasan mangrove yang teridentifikasi di
Kabupaten Gresik, disisi lain luasan tambak di Kabupaten Gresik relatif paling luas di Provinsi
Jawa Timur.
Gambar Error! No text of specified style in document.-15 Grafik perbandingan luas mangrove dan
tambak di Provinsi Jawa Timur
Gambar Error! No text of specified style in document.-16 Identifikasi ekosistem mangrove di Provinsi Jawa Timur
2.2.5 Ekosistem Mangrove di DI Jogyakarta
0
5000
10000
15000
20000
25000 B
angk
alan
Ban
yuw
angi
Blit
ar
Gre
sik
Jem
ber
Ko
dya
Pas
uru
an
Ko
dya
Su
rab
aya
Lam
on
gan
Lum
ajan
g
Mal
ang
Pam
ekas
an
Pas
uru
an
Pro
bo
lingg
o
Sam
pan
g
Sid
oar
jo
Situ
bo
nd
o
Sum
enep
Tub
an
Tulu
nga
gun
g
Tren
ggal
ek
mangrove tambak
-
Ekosistem pesisir di wilayah Provinsi D.I Jogyakarta, khususnya mangrove dengan peta
dasar RBI skala 1:25.000 tidak dapat teridentifikasi sebaran dan luasan mangrovenya. Dari
beberapa literatur lainnya pun tidak diperoleh informasi mengenai eksistensi dari ekosistem
mangrove di wilayah Provinsi D.I Jogyakarta, hal ini secara umum dapat disebabkan karena
sebagian besar karakteristik wilayah pesisir di wilayah ini bukan merupakan habitat hidup dari
ekosistem mangrove. Secara umum karakteristik garis pantai di wilayah ini merupakan pantai
berpasir. Oleh karena itu, mengenai kajian kondisi sebaran, luasan dan kondisi ekosistem
mangrove di wilayah ini selanjutnya akan dikonformasi langsung di lapangan melalui
penggalian informasi di pihak berwenang yang terkait.
III. Kesimpulan
1. Vegetasi mangrove dengan kualitas dan kerapatan yang baik berperan sebagai pelindung
dari tsunami, penahan badai, pencegah erosi pantai, penyerap limbah dan penyerap CO2 di
udara.
2. Di Indonesia terdapat 91 jenis mangrove yang tersebar di berbagai pesisir. Persebaran jenis
yang terbanyak terdapat di Papua yaitu terdapat 84 jenis vegetasi mangrove.
3. Mangrove terluas di Provinsi Jawa Barat berada di wilayah Kabupaten Subang yang juga
merupakan 43,59% dari luasan mangrove di Provinsi Jawa Barat.
4. Mangrove di Kabupaten Pandeglang merupakan yang terluas di Provinsi Banten sekitar 75%
dari luasan total mangrove di Provinsi Banten.
5. Di DKI Jakarta tempat yang masih relatif memiliki ekosistem mangrove yang lebih luas
adalah di Pulau Untung Jawa.
6. Di Jawa Tengah tempat yang memiliki ekosistem mangrove yang lebih luas adalah di
Kabupaten Cilacap.
7. Luasan mangrove terbesar di Provinsi Jawa Timur terdapat di Kabupaten Gresik.
8. Sebagian besar karakteristik wilayah pesisir di DI Jogjakarta bukan merupakan habitat hidup
dari ekosistem mangrove sehingga persebarannya tidak dapat terpetakan.
9. Manfaat lanjutan (outcome) yang diharapkan dari kegiatan ini adalah meningkatnya kualitas
pengambilan keputusan dalam upaya rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir,
sehingga dapat mewujudkan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu dan
optimal sebagai upaya mitigasi bencana melalui pemetaan ekosistem mangrove.
-
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, R., Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta.
Diposaptono, Subandono dan Budiman. 2008. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami.
Buku Ilmiah Populer, Bogor.
Diposaptono, Subandono dan Budiman. 2005. Hidup Tsunami. Buku Ilmiah Populer, Bogor.
Diposaptono, Subandono. 2011. Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi
Perubahan Iklim. Direktorat Pesisir dan Lautan, Dirjen KP3K, KKP, Jakarta.
Diposaptono, Subandono DKK. 2009. Modul Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Secara Terpadu. Direktorat Pesisir dan Lautan, Dirjen KP3K,
KKP, Jakarta.
Direktorat Pesisir dan Lautan. 2009. Pemetaan Daerah Prioritas Rehabilitasi dan
Pendayagunaan Pesisir dan Lautan. Direktorat Pesisir dan Lautan, Dirjen KP3K,
KKP, Jakarta.
Prasenja, Yanelis. 2008. Skripsi. Partisipasi Petani Tambak Pada Sistem Silvofishery di Segara
Anakan, Cilacap. Fakultas Geografi UGM. Jogjakarta
UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.