PEMETAAN DAN ANALISIS KERUGIAN HAK DAN/ATAU … · kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional...
Transcript of PEMETAAN DAN ANALISIS KERUGIAN HAK DAN/ATAU … · kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional...
PEMETAAN DAN ANALISIS KERUGIAN
HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL
DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
(2003-2017)
PEMETAAN DAN ANALISIS KERUGIAN
HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL
DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
(2003-2017)
Peneliti:
Damianagatayuvens
Liza Farihah
Rangga Sujud Widigda
Agung Sudrajat
Erwin Natosmal Oemar
Asisten Peneliti:
Shanaz Hani Sofi
Muhammad Indra Lesmana
Nabila
Editor:
Anbar Jayadi
Desain Sampul dan Tata Letak:
Annisa Farida Zahra
Cetakan Pertama, Oktober 2018
xxii+ 238 hlm.14,8 x 21 cm
ISBN: 978-602-53227-0-9
Diterbitkan oleh:
Indonesian Legal Roundtable
Jl. Perdatam VI No. 6, Pancoran, Jakarta Selatan
Telp. (021) 799 6069, Faks. (021) 799 5069
Surel: [email protected]
© Indonesian Legal Roundtable
PEMETAAN DAN ANALISIS KERUGIAN
HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL
DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
(2003-2017)
v
Kata Pengantar
Tahir Foundation
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga pelindung
konstitusi (guardian of constitution) dan penafsir akhir konstitusi (final
interpreter of constitution). Dalam menjalankan perannya tersebut, salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perkara
pengujian undang-undang adalah perkara yang paling sering diajukan ke
Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan data rekapitulasi perkara di MKRI per 14
September 2018, total perkara pengujian undang-undang yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi adalah sejumlah 1.211 perkara.
Dalam mengajukan perkara pengujian undang-undang, kedudukan
hukum memegang peranan penting. Jika pemohon tidak memiliki kedudukan
hukum, pemeriksaan terhadap materi pengujian undang-undang tidak akan
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, kedudukan hukum
adalah pintu gerbang dalam proses pengujian undang-undang.
Salah satu elemen penting dari kedudukan hukum adalah kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional. Elemen ini telah diuraikan oleh
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menjadi 5 syarat yang bersifat
kumulatif. Menariknya meskipun peran kedudukan hukum sangat krusial dalam
pengujian undang-undang, jarang sekali ditemukan tulisan yang memberikan
porsi yang cukup dalam membahas kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional ini.
Kurangnya bacaan yang komprehensif mengenai kerugian hak dan/atau
kewenangan mendorong Tahir Foundation untuk memberikan dukungan penuh
kepada Indonesian Legal Roundtable guna melakukan penelitian yang mampu
memberikan gambaran utuh mengenai konsep kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional. Kami percaya bahwa penelitian ini akan sangat
membantu seluruh elemen masyarakat untuk menilai kompetensinya sendiri
ketika akan melakukan pengujian undang-undang. Selain itu, dukungan kami
ini merupakan bentuk nyata partisipasi dan kepedulian Tahir Foundation
terhadap sistem hukum di Indonesia.
vi
Dengan selesainya penelitian ini, diharapkan ruang diskursus baru
mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional menjadi terbuka.
Besar harapan kami agar penelitian ini bisa menjadi pijakan bagi hadirnya era
penerapan konsep hak dan/atau kewenangan konstitusional yang sistematis dan
terukur. Dan hal ini sesuai dengan visi Tahir Foundation dalam menciptakan
Indonesia yang lebih baik, di mana setiap individu memiliki akses untuk
pendidikan dan penelitian yang memadai guna meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
Akhir kata, Tahir Foundation mengucapkan selamat kepada Indonesian
Legal Roundtable yang sudah berani menjadi pionir dalam membedah konsep
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional secara mendalam. Semoga
hasil penelitian dan konsep ini dapat menjadi inspirasi bagi anak bangsa lainnya
untuk melakukan kajian lanjutan demi terwujudnya cita-cita negara hukum
Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada tercapainya keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Dato Sri Prof. Dr Tahir MBA
Katua Yayasan Tahir Foundation
vii
Kata Pengantar
Indonesian Legal Roundtable
Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) diakui telah menjadi penanda
tegaknya prinsip negara hukum dan terselenggaranya pemerintahan yang
demokratis. Pengakuan itu dapat dilihat bahwa MK telah menjadi solusi
alternatif para pencari keadilan, yang mengajukan permohonan penyelesaian
perkara-perkara konstitusi (the guardian of constitution). Sejauh ini MK
setidaknya telah memutus tiga dari lima kewenangan yang dimandatkan UUD
1945, yaitu perkara yang terkait dengan pengujian konstitusionalitas undang-
undang, perselisihan wewenang konstitusional antar lembaga negara dan
perselisihan hasil pemilu.
Perkara pengujian konstitusionalitas undang-undang (PUU),
merupakan perkara yang paling sering dan rutin dijalankan MK. Sejak dibentuk
2003, terdapat hampir 1000 perkara pengujian undang-undang yang telah
diputus MK. Rata-rata 66,66 setiap tahun perkara diterima, diproses dan diputus
MK. Kendati demikian, tidak semua orang boleh mengajukan permohonan
pengujian undang-undang ke MK dan menjadi pihak pemohon. Hukum acara
MK yang tertuang dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi mensyaratkan, pemohon adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang. Syarat ini seperti sebuah tiket masuk yang nantinya membolehkan
seseorang diakui dan dapat bertindak sebagai pemohon.
MK kemudian memformulasikan adanya lima (5) kriteria/syarat
sebagai penafsiran dan penjabaran dari kerugian konstitusional dalam Pasal 51
tersebut yaitu: (a) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon
yang diberikan UUD 1945; (b) hak dan/atau kewenangan tersebut dirugikan
oleh berlakunya undang-undang; (c) kerugian harus bersifat spesifik dan aktual,
atau setidaknya potensi akan terjadi; (d) adanya hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian dan undang-undang yang akan diuji; (e) kerugian
tidak akan atau tidak lagi terjadi bila permohonan dikabulkan.
Formulasi kerugian konstitusional (constitusional loss/constitusional
injury) itu, bisa dikatakan sudah menjadi doktrin atau yurisprudensi yang kerap
viii
kali dijadikan acuan MK untuk membuktikan ada tidaknya kedudukan hukum
(legal standing) dan kepentingan hukum pemohon. Sedangkan bagi pemohon
menjadi acuan pula untuk menjelaskan alasan-alasannya dan menguraikan
kerugian konstitusional yang dialami, serta kaitannya dengan pemberlakuan
undang-undang yang akan diuji. Pertanyaannya, bagaimanakah MK
menerapkan lima (5) kriteria tersebut untuk menentukan atau
mengklasifikasikan kerugian konstitusional? Apakah kriteria tersebut bersifat
kumulatif dan diterapkan secara ajek dan konsisten?
Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dari
total 888 putusan PUU tahun 2003 hingga bulan Juni 2017 yang ditelaah dan
diteliti, ditemukan bahwa terdapat 2 bentuk kerugian konstitusional yaitu
kerugian aktual dan potensial. Namun MK juga kerap kali memberikan
kedudukan hukum kepada pemohon yang tidak mengalami kerugian
konstitusional, namun memiliki kepentingan hukum. Menariknya, 5 kriteria
kerugian konstitusional itu secara praktis hanya diterapkan secara formil, tidak
pernah diterapkan secara materiil oleh MK. Secara formil MK sering
mengulang pernyataan bahwa pemohon secara prima facie memiliki kedudukan
hukum, tanpa memberikan pertimbangan apa pun, termasuk mengenai hak
dan/atau kewenangan konstitusional apa yang dirugikan.
Bisa dikatakan penerapan prinsip kerugian konstitusional ini sangat
dinamis. MK tidak selalu ajek dan menilai secara ketat penerapan kerugian
konstitusional. Seperti yang disimpulkan dalam penelitian, MK tidak memiliki
tolak ukur yang jelas dalam penerapan kriteria kerugian, bahkan bisa dibilang
tidak selalu peduli terhadap kedudukan hukum. Temuan dalam penelitian ini
tentu menjadi penting untuk merumuskan kembali konsep kerugian
konstitusional, baik yang aktual, potensial dan kepentingan hukum, serta
syarat/kriteria penerapannya. Tentu saja, penelitian ini juga bukan sesuatu yang
absolut dan final. Terbuka untuk dibaca secara kritis dan dilanjutkan dalam
penelitian-penelitian yang lebih mendalam.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat untuk
memetakan dan mengklasifikasi bentuk-bentuk kerugian konstitusional.
Sehingga memudahkan dalam pengajuan permohonan PUU ke MK. Juga
bermanfaat bagi hakim konstitusi, akademisi dan praktisi hukum untuk menguji
ix
konsistensi penerapan Pasal 51 UU MK dan syarat-syarat kerugian
konstitusional. Selamat dan terima kasih kepada para peneliti. Terima kasih pula
pada semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu terlaksananya
penelitian ini, terutama kepada Tahir Foundation yang telah mendukung penuh
terlaksananya penelitian ini.
Firmansyah Arifin
Direktur Eksekutif
xi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Tahir Foundation ------------------------------------------------- v
Kata Pengantar Direktur Eksekutif
Indonesian Legal Roundtable ------------------------------------------------------ vii
Daftar Isi ------------------------------------------------------------------------------- vi
Daftar Tabel, Diagram dan Grafik ------------------------------------------------ xiii
Daftar Istilah --------------------------------------------------------------------------- xxi
BAB I
PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------------- 1
A. Latar Belakang ------------------------------------------------------------------- 1
B. Rumusan Permasalahan -------------------------------------------------------- 9
C. Tujuan Penelitian ---------------------------------------------------------------- 9
D. Manfaat Penelitian -------------------------------------------------------------- 10
E. Kerangka Konseptual ----------------------------------------------------------- 10
F. Metode Penelitian --------------------------------------------------------------- 15
BAB II
GAMBARAN UMUM PENELITIAN ------------------------------------------- 27
A. Jimly Asshiddiqie --------------------------------------------------------------- 29
B. M. Mahfud M.D. ---------------------------------------------------------------- 31
C. M. Akil Mochtar ----------------------------------------------------------------- 33
D. Hamdan Zoelva ------------------------------------------------------------------ 36
E. Arief Hidayat --------------------------------------------------------------------- 38
F. Perbandingan dari Masa ke Masa -------------------------------------------- 40
BAB III
KERUGIAN AKTUAL ------------------------------------------------------------- 43
A. Ruang Lingkup dan Batasan Kerugian Aktual ---------------------------- 43
B. Kerugian Aktual dalam Perspektif MKRI ---------------------------------- 47
C. Pergerakan Penafsiran Kerugian Aktual
dari Masa ke Masa -------------------------------------------------------------- 82
xii
D. Konseptualisasi Kerugian Aktual -------------------------------------------- 93
BAB IV
KERUGIAN POTENSIAL --------------------------------------------------------- 99
A. Ruang Lingkup dan Batasan Kerugian Potensial ------------------------- 99
B. Kerugian Potensial dalam Perspektif MKRI ------------------------------- 102
C. Pergerakan Penafsiran Kerugian Potensial
dari Masa ke Masa -------------------------------------------------------------- 134
D. Konseptualisasi Kerugian Potensial ----------------------------------------- 141
BAB V
KEPENTINGAN HUKUM -------------------------------------------------------- 151
A. Ruang Lingkup dan Batasan Kepentingan Hukum ----------------------- 151
B. Kepentingan Hukum dalam Perspektif MKRI ----------------------------- 155
C. Pergerakan Penafsiran Kepentingan Hukum
dari Masa ke Masa -------------------------------------------------------------- 189
D. Konseptualisasi Kepentingan Hukum --------------------------------------- 197
BAB VI
SIMPULAN DAN REKOMENDASI -------------------------------------------- 203
A. Simpulan -------------------------------------------------------------------------- 203
B. Rekomendasi --------------------------------------------------------------------- 206
Daftar Pustaka ------------------------------------------------------------------------- 209
Lampiran I
Petunjuk Pengisian Instrumen ----------------------------------------------------- 213
Lampiran II
Daftar Putusan ------------------------------------------------------------------------- 221
Profil Peneliti dan Asisten Peneliti ------------------------------------------------ 233
Profil Indonesian Legal Roundtable ---------------------------------------------- 235
xiii
DAFTAR TABEL, DIAGRAM DAN GRAFIK
A. DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah input berdasarkan status kedudukan hukum ---------- 27
Tabel 2.2 Jumlah putusan dan input berdasarkan
periode Ketua MKRI pada saat RPH ---------------------------- 28
Tabel 2.3 Jumlah input status kedudukan hukum
pada periode Jimly Asshiddiqie ----------------------------------- 29
Tabel 2.4 Kategori kedudukan hukum pada periode
Jimly Asshiddiqie ---------------------------------------------------- 30
Tabel 2.5 Jumlah input status kedudukan hukum
pada periode M. Mahfud M.D. ------------------------------------ 31
Tabel 2.6 Kategori kedudukan hukum pada periode
M. Mahfud M.D. ----------------------------------------------------- 32
Tabel 2.7 Jumlah input status kedudukan hukum
pada periode M. Akil Mochtar ------------------------------------ 34
Tabel 2.8 Kategori kedudukan hukum pada periode
M. Akil Mochtar ----------------------------------------------------- 35
Tabel 2.9 Jumlah input status kedudukan hukum
pada periode Hamdan Zoelva ------------------------------------- 36
Tabel 2.10 Kategori kedudukan hukum pada periode
Hamdan Zoelva ------------------------------------------------------ 37
Tabel 2.11 Jumlah input status kedudukan hukum
pada periode Arief Hidayat ---------------------------------------- 38
Tabel 2.12 Kategori kedudukan hukum pada periode
Arief Hidayat --------------------------------------------------------- 39
Tabel 3.1 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 021/PUU-III/2005 -------------------------- 50
Tabel 3.2 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 54/PUU-VI/2008 ---------------------------- 52
Tabel 3.3 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 100/PUU-X/2012 --------------------------- 54
xiv
Tabel 3.4 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 75/PUU-XIII/2015 -------------------------- 56
Tabel 3.5 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 020/PUU-I/2003 ----------------------------- 57
Tabel 3.6 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 001/PUU-III/2005 -------------------------- 60
Tabel 3.7 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 002/PUU-III/2005 -------------------------- 61
Tabel 3.8 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 50/PUU-VI/2008 ---------------------------- 63
Tabel 3.9 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 117/PUU-X/2012 --------------------------- 65
Tabel 3.10 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 011-017/PUU-I/2003 ----------------------- 69
Tabel 3.11 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 010/PUU-III/2005 -------------------------- 71
Tabel 3.12 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 28/PUU-X/2012 ----------------------------- 73
Tabel 3.13 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 137/PUU-XIII/2017 ------------------------ 75
Tabel 3.14 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 013/PUU-I/2003 ----------------------------- 76
Tabel 3.15 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 009-014/PUU-III/2005 --------------------- 78
Tabel 3.16 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 8/PUU-XI/2013 ----------------------------- 80
Tabel 3.17 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 013/PUU-I/2003 ----------------------------- 82
Tabel 3.18 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 065/PUU-II/2004 --------------------------- 83
Tabel 3.19 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 16/PUU-IX/2011 ---------------------------- 84
xv
Tabel 3.20 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 65/PUU-IX/2011 ---------------------------- 85
Tabel 3.21 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 84/PUU-X/2012 ----------------------------- 86
Tabel 3.22 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 1/PUU-XI/2013 ----------------------------- 87
Tabel 3.23 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 89/PUU-XI/2013 ---------------------------- 88
Tabel 3.24 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 120/PUU-XII/2014 ------------------------- 89
Tabel 3.25 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 111/PUU-XIV/2016 ------------------------ 90
Tabel 3.26 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 139/PUU-XIII/2015 ------------------------ 90
Tabel 4.1 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 002/PUU-II/2004 --------------------------- 106
Tabel 4.2 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 005/PUU-I/2003 ----------------------------- 110
Tabel 4.3 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 020/PUU-IV/2006 -------------------------- 112
Tabel 4.4 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 12/PUU-V/2007 ----------------------------- 113
Tabel 4.5 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 ---------------------------- 115
Tabel 4.6 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 53/PUU-VIII/2010 -------------------------- 116
Tabel 4.7 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 72/PUU-VIII/2010 -------------------------- 117
Tabel 4.8 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 75/PUU-IX/2011 ---------------------------- 119
Tabel 4.9 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 84/PUU-IX/2011 ---------------------------- 120
xvi
Tabel 4.10 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 112/PUU-X/2012 --------------------------- 122
Tabel 4.11 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 59/PUU-XI/2013 ---------------------------- 123
Tabel 4.12 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 46/PUU-XII/2014 --------------------------- 124
Tabel 4.13 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 71/PUU-XIII/2015 -------------------------- 126
Tabel 4.14 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 55/PUU-XIV/2016 -------------------------- 128
Tabel 4.15 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 56/PUU-XIV/2016 -------------------------- 129
Tabel 4.16 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 002/PUU-II/2004 --------------------------- 134
Tabel 4.17 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008 ------------------------ 135
Tabel 4.18 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009 -------- 136
Tabel 4.19 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 2/PUU-XI/2013 ----------------------------- 137
Tabel 4.20 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 61/PUU-XI/2013 ---------------------------- 137
Tabel 4.21 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 39/PUU-XII/2014 --------------------------- 138
Tabel 4.22 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 137/PUU-XIII/2015 ------------------------ 139
Tabel 4.23 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 56/PUU-XIV/2016 -------------------------- 140
Tabel 4.24 Penggunaan potensi derajat kerugian
terhadap Putusan No. 14-17/PUU-V/2007 ---------------------- 144
Tabel 4.25 Penggunaan potensi derajat kerugian
terhadap Putusan No. 37/PUU-IX/2011 ------------------------- 144
xvii
Tabel 4.26 Penggunaan potensi derajat kerugian
terhadap Putusan No. 55/PUU-XI/2013 ------------------------- 146
Tabel 4.27 Penggunaan potensi derajat kerugian
terhadap Putusan No. 15/PUU-XII/2014 ------------------------ 146
Tabel 4.28 Penggunaan potensi derajat kerugian
terhadap Putusan No. 54/PUU-XIV/2016 ---------------------- 147
Tabel 5.1 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 004/PUU-I/2003 ----------------------------- 158
Tabel 5.2 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 006/PUU-I/2003 ----------------------------- 160
Tabel 5.3 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 008/PUU-II/2004 bagi Pemohon I ------- 162
Tabel 5.4 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 008/PUU-II/2004 bagi Pemohon II ------ 162
Tabel 5.5 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 019/PUU-I/2003 ----------------------------- 165
Tabel 5.6 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 003/PUU-I/2003 ----------------------------- 167
Tabel 5.7 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 128/PUU-VII/2009 ------------------------- 170
Tabel 5.8 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 006/PUU-II/2004 ---------------------------- 172
Tabel 5.9 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 002/PUU-I/2003 ----------------------------- 174
Tabel 5.10 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 072-073/PUU-II/2004 ---------------------- 177
Tabel 5.11 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 026/PUU-III/2005 -------------------------- 178
Tabel 5.12 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 014/PUU-IV/2006 -------------------------- 180
Tabel 5.13 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 21-22/PUU-V/2007 ------------------------- 182
xviii
Tabel 5.14 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 3/PUU-IX/2011 ----------------------------- 183
Tabel 5.15 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 96/PUU-X/2012 ----------------------------- 185
Tabel 5.16 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional
dalam Putusan No. 62/PUU-XII/2014 --------------------------- 187
Tabel 5.17 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 008/PUU-II/2004 --------------------------- 189
Tabel 5.18 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 128/PUU-VII/2009 ------------------------- 191
Tabel 5.19 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 96/PUU-X/2012 ----------------------------- 192
Tabel 5.20 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 62/PUU-XII/2014 --------------------------- 193
Tabel 5.21 Ringkasan pemberian kedudukan hukum
dalam Putusan No. 123/PUU-XIII/2015 ------------------------ 195
Tabel 5.22 Penggunaan tes kepentingan hukum
terhadap Putusan No. 014/PUU-IV/2006 ----------------------- 198
Tabel 5.23 Penggunaan tes kepentingan hukum
terhadap Putusan No. 63/PUU-XII/2014 ------------------------ 199
Tabel 5.24 Penggunaan tes kepentingan hukum
terhadap Putusan No. 152/PUU-VII/2009 ---------------------- 199
Tabel 5.25 Penggunaan tes kepentingan hukum
terhadap Putusan No. 25/PUU-IV/2006 ------------------------- 200
Tabel 5.26 Penggunaan tes kepentingan hukum
terhadap Putusan No. 019-020/PUU-III/2005 ------------------ 201
B. DAFTAR DIAGRAM
Diagram 2.1 Persentase status kedudukan hukum
berdasarkan jumlah input ---------------------------------------- 27
Diagram 2.2 Persentase jumlah putusan yang diputus
dalam tiap periode Ketua MKRI ------------------------------- 28
xix
Diagram 2.3 Persentase status kedudukan hukum
pada periode Jimly Asshiddiqie -------------------------------- 30
Diagram 2.4 Persentase kategori kedudukan hukum
pada periode Jimly Asshiddiqie -------------------------------- 31
Diagram 2.5 Persentase status kedudukan hukum
pada periode M. Mahfud M.D. --------------------------------- 32
Diagram 2.6 Persentase kategori kedudukan hukum
pada periode M. Mahfud M.D. --------------------------------- 33
Diagram 2.7 Persentase status kedudukan hukum
pada periode M. Akil Mochtar --------------------------------- 34
Diagram 2.8 Persentase kategori kedudukan hukum
pada periode M. Akil Mochtar --------------------------------- 35
Diagram 2.9 Persentase status kedudukan hukum
pada periode Hamdan Zoelva ----------------------------------- 36
Diagram 2.10 Persentase kategori kedudukan hukum
pada periode Hamdan Zoelva ----------------------------------- 37
Diagram 2.11 Persentase status kedudukan hukum
pada periode Arief Hidayat ------------------------------------- 39
Diagram 2.12 Persentase kategori kedudukan hukum
pada periode Arief Hidayat ------------------------------------- 40
C. DAFTAR GRAFIK
Grafik 2.1 Perbandingan status kedudukan hukum pemohon
dari masa ke masa ------------------------------------------------- 41
Grafik 2.2 Perbandingan kategori kedudukan hukum
dari masa ke masa ------------------------------------------------- 41
Grafik 3.1 Perbandingan penggunaan bentuk kerugian aktual
dari masa ke masa ------------------------------------------------- 47
Grafik 4.1 Perbandingan penggunaan bentuk kerugian potensial
dari masa ke masa ------------------------------------------------- 103
Grafik 5.1 Perbandingan penggunaan bentuk kepentingan hukum
dari masa ke masa ------------------------------------------------- 156
xxi
DAFTAR ISTILAH
No. Istilah Singkatan
1 Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia APHI
2 Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN
3 Badan Pemeriksa Keuangan BPK
4 Daftar Pemilih Tetap DPT
5 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia DPD
6 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR
7 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD
8 Kartu Tanda Penduduk KTP
9 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas
HAM
10 Komisi Pemberantasan Korupsi KPK
11 Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara KPKPN
12 Komisi Pemilihan Umum KPU
13 Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD
14 Komisi Penyiaran Indonesia KPI
15 Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN
16 Lembaga Swadaya Masyarakat LSM
17 Mahkamah Agung Republik Indonesia MARI
18 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia MKRI
19 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia MPR
20 Masyarakat hukum adat MHA
21 Nusa Tenggara Barat NTB
22 Partai Kebangkitan Bangsa PKB
23 Partai Komunis Indonesia PKI
24 Pemutusan Hubungan Kerja PHK
25 Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP
26 Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU
27 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia PP
28 Rapat Permusyawaratan Hakim RPH
29 Tata Usaha Negara TUN
30 Tenaga Kerja Indonesia TKI
31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
UUD NRI
1945
32 Undang-Undang Republik Indonesia UU
33 Warga negara asing WNA
34 Warga negara Indonesia WNI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
MKRI adalah lembaga negara yang lahir sebagai hasil dari amandemen
ketiga UUD NRI 1945.1 Pembentukan MKRI bertujuan untuk menjamin
tegaknya UUD NRI 1945.2 Guna mewujudkan perannya, MKRI memiliki
dengan 4 kewenangan dan 1 kewajiban. Kewenangan MKRI adalah: (i)
menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945; (ii) memutus sengketa
kewenangan lembaga negara; (iii) memutus pembubaran partai politik; dan
(iv) memutus perselisihan hasil pemilihan umum.3 Kemudian, kewajiban
MKRI adalah memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.4
Ketentuan umum tentang MKRI ada dalam pasal-pasal di UUD NRI
1945. Pasal-pasal tersebut yakni Pasal 7B ayat (1), (3), (4), (5), Pasal 24
ayat (2) dan Pasal 24C UUD NRI 1945. Aturan utama, turunan pasal-pasal
tentang MKRI di UUD NRI 1945, adalah UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011
(UU MK). UU MK mengatur lebih lanjut tentang kewenangan dan
kewajiban MKRI dan hukum acara di MKRI.
Aturan lain tentang MKRI yang relevan, misalnya, UU No. 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
sebagaimana kali terakhir diubah melalui UU No. 10 Tahun 2016. Aturan
1 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (a), “Sejarah Pembentukan Mahkamah
Konstitusi” Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diakses dari
https://mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1&menu=2 pada tanggal 14 September
2018. 2 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: Jakarta, 2006) hlm. 152. 3 Indonesia (a), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945,
Pasal 24C ayat (1). 4 Ibid., Pasal 7B ayat (1).
2
ini mengatur tentang kewenangan MKRI untuk menyelesaikan perkara
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah secara sementara.5 Lebih lanjut,
ada UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah
melalui UU No. 2 Tahun 2011. Undang-undang ini memberikan
pengaturan lanjutan mengenai kewenangan MKRI dalam melakukan
pembubaran partai politik.6
Dalam menjalankan kewenangannya, MKRI memiliki peran positif
khususnya dalam mengembangkan iklim demokrasi7, menjaga hak
konstitusional warga negara dan memberikan penguatan terhadap hak asasi
manusia.8 Contoh pengejawantahan dari peran positif MKRI adalah
Putusan No. 102/PUU-VII/2009 yang menjawab isu mengenai hak pilih
dan Putusan No. 46/PUU-VIII/2010 yang menjawab isu mengenai
hubungan keperdataan antara orang tua dan anak.
Di Putusan No. 102/PUU-VII/2009, Refly Harun dan Maheswara
Prabandono adalah para pemohon di perkara ini. Mereka mengajukan
permohonan pengujian konstitusionalitas terhadap ketentuan yang
memberikan syarat bagi warga negara untuk terdaftar dalam DPT sebelum
bisa menggunakan hak pilihnya. Dengan kata lain, jika nama yang
bersangkutan tidak tercantum di DPT, maka tidak ada kesempatan untuk
memilih bagi pemilik nama itu. Ketentuan ini ada di dalam UU No. 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.9
5 Indonesia (b), Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-
Undang, UU No. 10 Tahun 2016 (LN No. 130 Tahun 2016, TLN No. 5898) Pasal 157 ayat
(3). 6 Indonesia (c), Undang-Undang tentang Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008 (LN No. 2
Tahun 2008, TLN No. 4801) Pasal 41 huruf c dan Pasal 48 ayat (3) dan (7). 7 Ni’matul Huda dan Sri Hastuti Puspitasari, “Peran dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
dalam Pembangunan Politik Hukum Pemerintahan Daerah” Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM, Volume 19, Nomor 3, Juli 2012, hlm. 338. 8 Mutiara Hikmah, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menjamin Hak Konstitusional
Warga Negara pada Proses Demokratisasi di Indonesia” Jurnal Hukum dan Pembangunan,
Volume 39 Nomor 4, Desember 2009, hlm. 451. 9 Indonesia (d), Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
UU No. 42 Tahun 2008 (LN No. 176 Tahun 2008, TLN No. 4924) Pasal 28 dan Pasal 111.
3
Alasan pengujian oleh Refly Harun dan Maheswara Prabandono adalah
kedua pemohon tidak terdaftar dalam DPT sehingga mereka tidak bisa
menggunakan hak pilihnya di pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD.10
Di dalam Putusan ini, MKRI menjelaskan bahwa DPT merupakan syarat
prosedural administratif dan karenanya tidak bisa meniadakan hak untuk
memilih.11 Terlepas dari pandangan ini, MKRI mengamini bahwa
pemutakhiran data pemilih membutuhkan waktu yang panjang.12 Oleh
karena itu, guna mencegah terjadinya kerugian berupa tidak bisa
digunakannya hak untuk memilih, MKRI memutuskan agar KTP—atau
paspor bagi warga negara yang berada di luar negeri—bisa digunakan
sebagai pelengkap DPT.13 Dengan demikian, setiap warga negara yang
sudah memiliki KTP tetap bisa menggunakan hak untuk memilih kendati
tidak terdaftar dalam DPT.
Peran positif MKRI di Putusan No. 102/PUU-VII/2009 adalah MKRI,
pun menyadari tantangan dalam administrasi pemilihan umum, tetap
mengutamakan hak konstitusional dari warga negara yakni hak untuk
menggunakan hak pilih. MKRI juga memberikan solusi nyata yaitu
penggunaan KTP atau paspor sehingga warga negara tetap bisa memilih
wakil-wakilnya dalam pemilihan umum.
Di Putusan No. 46/PUU-VIII/2010, Aisyah Mochtar dan Muhammad
Iqbal adalah para pemohon di perkara ini. Mereka memohon pengujian
konstitusionalitas dari ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang mengatur tentang kewajiban pencatatan perkawinan14 dan
ketiadaan hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah
biologisnya.15 Tentang kewajiban pencatatan perkawinan, MKRI
mengemukakan bahwa pencatatan perkawinan dilakukan guna menjamin
adanya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan berguna
10 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (b), Putusan No. 102/PUU-VII/2009, hlm. 3. 11 Ibid., hlm. 16. 12 Ibid. 13 Ibid., hlm. 17 dan 19-20. 14 Indonesia (e), Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974 (LN No. 1
Tahun 1974, TLN No. 3019) Pasal 2 ayat (2). 15 Ibid., Pasal 43 ayat (1).
4
sebagai bukti yang sempurna mengenai adanya perkawinan.16 Selanjutnya,
mengenai hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah
biologisnya, MKRI menyatakan bahwa setiap anak yang lahir, terlepas dari
status perkawinan orang tuanya, harus mendapatkan perlindungan
hukum.17 Bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh MKRI adalah
adanya hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayahnya
selama ada pembuktian secara keilmuan yang memvalidasi hubungan
biologis antara anak dan ayahnya.18
Peran positif MKRI di Putusan No. 46/PUU-VIII/2010 adalah
memberikan perlindungan hukum terhadap anak luar kawin. Putusan ini
merupakan putusan progresif. MKRI memberikan solusi bagi pemenuhan
hak anak di Indonesia khususnya anak yang lahir di luar perkawinan.
Terlepas dari peran positif MKRI terhadap perkembangan hukum di
Indonesia, masih ada catatan terhadap MKRI. Catatan tersebut di antaranya
anggapan bahwa MKRI belum konsisten dalam melakukan penafsiran
terhadap UUD NRI 194519; kurangnya independensi hakim konstitusi
karena adanya pertimbangan mengenai prospek karier di masa
mendatang20; atau karena MKRI tidak jarang memutus pengujian undang-
undang yang terkait dengan dirinya sendiri—sehingga dianggap terjadi
pelanggaran terhadap asas nemo iudex in causa sua21.
Isu lain tentang kinerja MKRI yakni menyoal penerapan ketentuan
tentang kriteria kedudukan hukum di UU MK dalam perkara pengujian
16 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (c), Putusan No. 46/PUU-VIII/2010, hlm.
33-34. 17 Ibid., hlm. 35. 18 Ibid., hlm. 35 & 37. 19 Dinoroy M. Aritonang, “Peranan dan Problematika Mahkamah Konstitusi (MK) dalam
Menjalankan Fungsi dan Kewenangannya” Jurnal Ilmu Administrasi, Volume X, Nomor 3,
Desember 2013, hlm. 382. 20 Meirina Fajarwati, “Intervensi Politik dalam Putusan Mahkamah Konstitusi” Rechts
Vinding Online, diakses dari
https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/SAMBUTAN%20POLA%20PENELITIAN.
pdf, pada tanggal 15 September 2018, hlm. 3. 21 Tanto Lailam, “Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji
Undang-Undang yang Mengatur Eksistensinya” Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4,
Desember 2015, hlm. 800.
5
undang-undang. Isu ini dibahas dalam Naskah Akademik UU MK yang
disiapkan oleh BPHN.22 Naskah Akademik menjelaskan bahwa undang-
undang mengenai MKRI yang baru harus memperhatikan syarat
kedudukan hukum yang sudah dibangun oleh MKRI.23 Kemudian, mantan
Ketua MKRI, Jimly Asshiddiqie pernah memberikan tanggapan tentang
kedudukan hukum di MKRI. Jimly Asshiddiqie menyatakan:
“Sudah tentu, dalam pelaksanaannya, kelima kriteria tersebut
(kriteria mengenai kedudukan hukum pemohon pengujian
undang-undang - pen) masih bersifat abstrak. Bagaimana
penilaiannya oleh hakim sangat tergantung kepada kasus
konkretnya di lapangan. Untuk dinyatakan memiliki
kedudukan hukum legal standing untuk mengajukan
permohonan, kelima kriteria itu kadang-kadang tidak
diterapkan secara kaku, atau bersifat kumulatif secara
mutlak.”24
Interpretasi dari Tim Peneliti terhadap penjelasan di Naskah Akademik UU
MK oleh BPHN dan tanggapan Jimly Asshiddiqie tentang kedudukan
hukum yakni: pertama, MKRI sudah menetapkan kriteria untuk
menentukan apakah seorang pemohon memiliki kedudukan hukum atau
tidak; kedua, kriteria yang ada seyogyanya diterapkan secara kaku dan
kumulatif; dan ketiga, pada praktiknya kriteria yang ada tidak diterapkan
secara kaku dan kumulatif.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai kriteria kedudukan hukum
yang ditetapkan oleh MKRI, penting untuk mengetahui pengaturan tentang
kedudukan hukum yang ada dalam UU MK. Pasal 51 ayat (1) UU MK
menyatakan:
22 Tim Penyelarasan Naskah Akademik RUU tentang Mahkamah Konstitusi, “Laporan
Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi” Badan Pembinaan Hukum Nasional, diakses dari
https://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_mk.pdf, pada tanggal 18 September 2018,
Pasal 63 ayat (1) dan (2). 23 Ibid., hlm. 73. 24 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006) hlm. 71.
6
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”25
Terhadap Pasal 51 ayat (1) UU MK ini, MKRI memberikan penafsiran
bahwa ada 2 beban pembuktian bagi pemohon pengujian undang-undang
untuk menyatakan bahwa dirinya memiliki kedudukan hukum untuk
berperkara di MK. Kedua beban pembuktian tersebut yaitu: (i) pembuktian
mengenai kapasitas pemohon; dan (ii) pembuktian mengenai kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional (kerugian konstitusional) yang diderita
pemohon dalam kapasitas dimaksud sebagai akibat dari berlakunya suatu
undang-undang.26 Yang dimaksud sebagai “kapasitas pemohon” adalah
apakah pemohon adalah perorangan WNI, kesatuan MHA, badan hukum
publik, badan hukum privat atau lembaga negara.27 Lebih lanjut, yang
dimaksud dengan “kerugian konstitusional yang diderita pemohon dalam
kapasitas dimaksud sebagai akibat dari berlakunya suatu undang-undang”
adalah:
“a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-
undang yang dimohonkan pengujian;
25 Indonesia (f), Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003
(LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316) Pasal 51 ayat (1) dan (2). 26 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (d), Putusan No. 006/PUU-I/2003, hlm. 90. 27 Ibid.
7
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;”28
Sejauh literatur yang sudah ditelaah oleh Tim Peneliti29, kajian
mengenai kedudukan hukum yang ada saat ini sebagian besar membahas
mengenai kapasitas pemohon. Fokus pembahasan yang demikian tidaklah
keliru. Akan tetapi, berdasarkan telaah literatur, Tim Peneliti menemukan
bahwa perihal kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tidak
begitu mendapat perhatian.30 Jika pun ada, pembahasan menitikberatkan
pada diskusi tentang ruang lingkup hak dan/atau kewenangan
konstitusional.
Perihal kedudukan hukum, Jimly Asshiddiqie memberikan analisis
normatif terhadap bukti-bukti untuk menunjukkan adanya kedudukan
hukum. Bukti tersebut yakni bukti yang bisa menunjukkan identitas
pemohon sesuai dengan kualifikasinya, bukti adanya hak konstitusional
dan bukti adanya kerugian.31 Dari sudut pandang praktis, menurut Jimly
28 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (e), Putusan No. 12/PUU-V/2007, h. 85. 29 Literatur yang ditelusuri: (i) Hukum Acara Pengujian Undang-Undang oleh Jimly
Asshiddiqie; (ii) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia oleh Maruarar
Siahaan; (iii) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi oleh Tim Penyusun Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi; (iv) Hukum Acara Pengujian Undang-Undang di Mahkamah
Konstitusi oleh Sriwaty Sakkirang; (v) Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah
Konstitusi oleh Ajie Ramdan; (vi) Membedah Doktrin Kerugian Konstitusional oleh
Bisariyadi; (vii) Kualifikasi Pemohon dalam Perkara Pengujian Undang-Undang di
Mahkamah Konstitusi oleh Radian Salman dan Rosa Ristawati; dan (viii) Tinjauan Hukum
Legal Standing dalam Gugatan UU Pemilu terkait Pasal Pasal yang Dicabut dalam UUPA
oleh Tim Riset Jaringan Survei Inisiatif. 30 Lihat, ibid. 31 Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, hlm. 72-73.
8
Asshiddiqie, keberadaan kedudukan hukum penting untuk membatasi
pihak yang bisa mengajukan permohonan pengujian undang-undang.32
Penjelasan Jimly Asshiddiqie di atas seirama dengan Maruarar
Siahaan, dalam artian keduanya menjelaskan pentingnya ada pembatasan
pihak yang bisa mengajukan permohonan pengujian undang-undang.33
Lebih lanjut, Maruarar Siahaan menekankan satu hal, yaitu pada akhirnya
interpretasi hakimlah yang berperan besar dalam menentukan luas
sempitnya akses pemohon dalam melakukan pengujian undang-undang.34
Kemudian, perihal kerugian konstitusional, Jimly Asshiddiqie
menjelaskan tentang definisi dan lingkup dari kerugian konstitusional.
Kerugian konstitusional adalah keadaan yang mana hak konstitusional
dikurangi, dibatasi atau dibuat tidak dapat diwujudkan pemenuhannya.35
Kerugian ini haruslah bisa dibuktikan oleh pemohon.36
Berdasarkan telaah Tim Peneliti, setidak-tidaknya ada 2 hal yang
belum dibahas secara mendalam oleh Jimly Asshiddiqie khususnya
mengenai kerugian konstitusional. Dua hal tersebut adalah (i) elaborasi
tentang kerugian potensial, dan (ii) penjelasan tentang hubungan kausal
antara kerugian konstitusional yang dialami dengan undang-undang yang
diuji. Sedangkan, menurut Tim Peneliti, Maruarar Siahaan belum
memberikan perhatian lebih terhadap isu penentuan ada atau tidaknya
kerugian konstitusional.
Selain Jimly Asshiddiqie dan Maruarar Siahaan, ahli lain yang
membahas tentang kerugian konstitusional adalah Bisariyadi. Bisariyadi
menggunakan pendekatan teoritis dan praktis. Dalam tulisan ini, Bisariyadi
menguraikan satu per satu syarat kerugian konstitusional dan membaginya
menjadi 2 bagian, yaitu: (i) syarat yang merupakan unsur yang harus
dipenuhi (adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional serta adanya
32 Ibid., hlm. 104. 33 Lihat Maruarar Siahaan (a), Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Ed. Ke-2, Cet. Ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm. 65. 34 Ibid., hlm. 71. 35 Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, hlm. 103. 36 Ibid., hlm. 103-104.
9
kerugian); dan (ii) syarat yang berisi prosedur penilaian kerugian
konstitusional (bentuk kerugian harus bersifat spesifik dan aktual atau
setidaknya potensial, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dan
undang-undang yang diuji dan kerugian tidak akan terjadi bila permohonan
dikabulkan).37 Akan tetapi, menurut Tim Peneliti, Bisariyadi belum
menjelaskan lebih jauh 2 hal. Pertama, tolok ukur kerugian potensial atau
aktual. Kedua, gambaran sejauh mana kausalitas yang diterima oleh MKRI
dalam memberikan kedudukan hukum.
Berdasarkan telaah literatur Tim Peneliti di atas, dapat tergambar
adanya “kekosongan” dalam literatur khususnya tentang kerugian
konstitusional. Oleh karena itu, melalui penelitian ini, Tim Peneliti
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kerugian konstitusional
pemohon perkara pengujian undang-undang pada putusan MKRI dengan
harapan untuk melengkapi literatur yang ada.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana MKRI
menafsirkan 5 syarat kerugian konstitusional guna menentukan kerugian
konstitusional di dalam putusan-putusannya yang memberikan kedudukan
hukum kepada pemohon? Putusan-putusan MKRI yang dikaji dalam
penelitian ini adalah putusan-putusan MKRI dalam kurun waktu 2003
hingga pertengahan 2017. Terhadap telaah terhadap putusan-putusan
MKRI tersebut, diajukan sebuah pertanyaan turunan, yaitu bagaimana
pengategorian bentuk kerugian konstitusional pemohon perkara pengujian
undang-undang pada putusan MKRI?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban mengenai
bagaimana MKRI menafsirkan 5 syarat kerugian konstitusional dalam
menentukan kerugian konstitusional pemohon pengujian undang-undang
37 Bisariyadi, “Membedah Doktrin Kerugian Konstitusional” Jurnal Konstitusi, Volume
14, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 26-27.
10
yang dinyatakan memiliki kedudukan hukum. Dari jawaban ini, diharapkan
akan muncul kategori pelbagai bentuk kerugian konstitusional dalam
putusan pengujian undang-undang di MKRI pada kurun waktu 2003
hingga pertengahan 2017.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi masyarakat, adanya kategori mengenai bentuk-bentuk kerugian
konstitusional akan memudahkan mereka untuk memahami dan
menentukan kerugian dalam mengajukan permohonan pengujian
undang-undang.
2. Bagi akademisi, praktisi hukum dan hakim konstitusi, kategori bentuk
kerugian konstitusional bisa dijadikan acuan untuk menguji konsistensi
penafsiran Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian
konstitusional.
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Konsep yang digunakan oleh Tim Peneliti sebagai dasar dari penelitian
ini adalah konsep kerugian konstitusional yang diturunkan dari Pasal 51
ayat (1) UU MK. Sebagaimana telah dikutip pada sub-bab sebelumnya, ada
5 syarat dari kerugian konstitusional. Berikut adalah uraian singkat
mengenai tiap syarat yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini.
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD NRI 1945
Hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD NRI
1945.38 Kewenangan konstitusional adalah kewenangan yang diatur
38 Indonesia (f), Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Penjelasan Pasal 51 ayat
(1).
11
dalam UUD NRI 1945.39 Hak dan/atau kewenangan ini bisa secara
eksplisit tercantum maupun secara implisit ditafsirkan dari ketentuan
dalam UUD NRI 1945.40
2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian
Syarat ini berarti bahwa pemohon harus memiliki anggapan bahwa
dirinya dalam kualifikasi tertentu (WNI, MHA, badan hukum publik,
badan hukum privat atau lembaga negara) mengalami kerugian
konstitusional akibat berlakunya suatu undang-undang.41 Anggapan
mengenai kerugian ini haruslah didalilkan.42
3. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi
Pada sub-bab sebelumnya telah disebutkan pendapat Bisariyadi
mengenai sifat kerugian konstitusional yang bisa dialami oleh
pemohon—meski terminologi yang digunakan oleh Bisariyadi adalah
bentuk kerugian—yaitu: (i) spesifik dan aktual; atau (ii) potensial.43
Tim Peneliti tidak setuju dengan pembagian ini karena, secara tekstual,
penggunaan kata hubung “atau” memberikan pilihan kondisi, yaitu
“aktual” atau “setidak-tidaknya potensial”, yang tergabung dengan
39 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (f), Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, PMK Nomor:
06/PMK/2005, Pasal 1 angka 2. 40 Ria Indriyani, “Legal Standing Warga Negara Asing dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang (Judicial Review) di Mahkamah Konstitusi Indonesia (Studi Kasus Perkara Nomor
2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Narkotika)” Tesis Universitas Indonesia, Jakarta,
Juli 2009, hlm. 70. 41 Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 67. 42 Lihat, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (g), Putusan No. 20/PUU-V/2007,
hlm. 98. Lihat juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (h), Putusan No. 21/PUU-
XIV/2016, hlm. 103. 43 Bisariyadi, “Membedah Doktrin Kerugian Konstitusional” hlm. 33.
12
kondisi “spesifik”, yang ditandai dengan penggunaan kata hubung
“dan”. Dengan kata lain, sifat kerugian yang bisa dialami oleh
pemohon adalah: (i) spesifik dan aktual; atau (ii) spesifik dan potensial.
Belum ada putusan maupun tulisan yang memberikan definisi atau
batasan eksplisit mengenai sifat spesifik dari suatu kerugian. Namun,
dengan memperhatikan beberapa putusan MKRI, di mana di dalamnya
terdapat uraian bentuk kerugian yang dialami oleh pemohon44, Tim
Peneliti menyimpulkan bahwa kerugian adalah spesifik jika kerugian
yang dialami atau berpotensi dialami bersifat tertentu.
Kerugian aktual bermakna kerugian nyata atau faktual45, sudah
benar-benar telah terjadi dan dialami oleh pemohon.46 Penilaian
mengenai sudah terjadi atau tidaknya kerugian haruslah bisa dinilai
secara objektif empiris.47
Kerugian potensial berarti bahwa kerugian belum secara nyata
dialami oleh pemohon, namun ada kemungkinan kerugian tersebut
terjadi.48 Sifat potensial dari kerugian tidak berarti sebagai probabilitas
dengan kemungkinan sangat kecil, melainkan harus dimaknai sebagai
probabilitas yang bernilai signifikan untuk dialami pemohon.49
44 Lihat, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (i), Putusan No. 021/PUU-III/2005,
hlm. 75-76. Lihat juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (j), Putusan No. 54/PUU-
VI/2008, hlm. 46. Lihat juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (k), Putusan No.
100/PUU-X/2012, hlm. 58. Lihat juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (l),
Putusan No. 75/PUU-XIII/2015, hlm. 71-72. 45 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (m), Putusan No. 004/PUU-I/2003, hlm. 20. 46 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (n), Putusan No. 4/PUU-V/2007, hlm. 98. 47 Ibid. 48 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (o), Putusan No. 002/PUU-II/2004, hlm. 23-
24. 49 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (p), Putusan No. 56/PUU-XIII/2015, hlm.
36.
13
4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian
Kerugian yang dialami oleh pemohon bisa terjadi akibat
berlakunya undang-undang secara langsung50 ataupun secara tidak
langsung.51
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi
Syarat ini dimaknai sebagai berikut:
a. Jika ketentuan yang diujikan tidak ada, pemohon tidak akan pernah
mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional; dan
b. Jika ketentuan yang diujikan dibatalkan, potensi kerugian bagi
pihak lain tidak akan ada lagi.52
Konsep di atas digunakan oleh Asisten Peneliti dan Tim Peneliti untuk
menentukan apakah kedudukan hukum yang diberikan pada sebuah
putusan berbentuk kerugian aktual atau potensial atau keduanya atau bukan
keduanya. Dalam hal kedudukan hukum dalam sebuah putusan tidak
termasuk ke dalam bentuk kerugian aktual dan/atau potensial, maka
Asisten Peneliti dan Tim Peneliti akan memasukkannya ke dalam kategori
sendiri, yang disebut sebagai kepentingan hukum.
Sejauh telaah literatur yang dilakukan oleh Tim Peneliti, Tim Peneliti
menyimpulkan bahwa kepentingan hukum bukan merupakan bentuk
kedudukan hukum yang dibahas dalam diskursus mengenai kedudukan
hukum pengujian undang-undang di Indonesia. Bentuk ini ada guna
melengkapi bentuk kedudukan hukum dengan kategori kerugian aktual dan
50 Lihat, Bisariyadi, “Membedah Doktrin Kerugian Konstitusional” hlm. 36-37. Lihat
juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (q), Putusan No. 53/PUU-VI/2008, hlm. 78. 51 Lihat, Bisariyadi, “Membedah Doktrin Kerugian Konstitusional” hlm. 36-37. Lihat
juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (r), Putusan No. 9/PUU-IX/2011, hlm. 24. 52 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (s), Putusan No. 110-111-112-113/PUU-
VII/2009, hlm. 86.
14
kerugian potensial karena terdapat putusan yang memberikan kedudukan
hukum meski tidak ada kerugian yang dialami oleh pemohon.
Contoh yang bisa diambil adalah Putusan No. 002/PUU-I/2003.
Pemohon dalam perkara ini adalah beberapa perkumpulan.53 Ketentuan
yang diujikan adalah keseluruhan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi.54 Hak konstitusional yang didalilkan mengalami kerugian
adalah hak yang dijamin dalam Pasal 28A ayat (1), Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (4)
dan Pasal 33 UUD NRI 1945.55 Dalam pertimbangannya mengenai
kedudukan hukum pemohon, MKRI menyatakan:
“Menimbang bahwa Pemohon I sampai dengan V, terlepas
dari tidak dapat dibuktikannya apakah Para Pemohon
dimaksud berstatus sebagai badan hukum atau tidak, namun
berdasarkan anggaran dasar masing-masing perkumpulan
yang mengajukan permohonan ini (Pemohon I sampai dengan
V) telah ternyata bahwa tujuan perkumpulan tersebut adalah
untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests
advocacy) yang di dalamnya tercakup substansi dalam
permohonan a quo, sehingga Mahkamah berpendapat
Pemohon I sampai dengan V memiliki kedudukan hukum
(legal standing) sebagai Pemohon dalam permohonan a
quo;”56
Berdasarkan pertimbangan di atas, Tim Peneliti menyimpulkan bahwa
MKRI belum melihat adanya kerugian konstitusional yang dialami oleh
pemohon. Menurut Tim Peneliti, di Putusan ini, dasar pemberian
kedudukan hukum kepada pemohon adalah adanya kepentingan dari
pemohon untuk memperjuangkan kepentingan umum.
Dasar dari bentuk kedudukan hukum ini adalah terminologi di
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yang menyatakan: “Yang
53 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (t), Putusan No. 002/PUU-I/2003, hlm. 1-2. 54 Ibid., hlm 69. 55 Ibid., hlm 9-13. 56 Ibid, hlm. 200.
15
dimaksud dengan ‘perorangan’ termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama.”57 Penggunaan terminologi kepentingan
sama dalam ketentuan ini menunjukkan bahwa pemohon pada dasarnya
harus memiliki kepentingan sebelum mengajukan permohonan pengujian
undang-undang.
Postulat di atas didukung oleh MKRI melalui putusan-putusannya.
Misalnya dalam Putusan No. 004/PUU-I/2003 yang menyatakan adanya
kepentingan bagi hakim karier dalam mengajukan pengujian terhadap
pengaturan sehubungan dengan syarat untuk menjadi hakim agung58,
maupun dalam Putusan No. 006/PUU-I/2003 yang menyatakan adanya
kepentingan bagi anggota lembaga negara yang dibubarkan dalam
melakukan pengujian terhadap undang-undang yang membubarkan
lembaganya tersebut59.
Guna bisa membahas pemberian kedudukan hukum atas dasar
kepentingan, terlepas dari ragam terminologi yang digunakan, Tim Peneliti
akan menggunakan terminologi payung bernama “kepentingan hukum”.
F. METODE PENELITIAN
Guna mendapatkan kategori bentuk kedudukan hukum dalam putusan
pengujian undang-undang di MKRI, tahapan kegiatan yang telah dilalui
adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan Putusan
Tahapan ini dilakukan dengan cara mengakses laman resmi MKRI
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id) dan mengunduh seluruh
putusan pengujian undang-undang dengan mengecualikan ketetapan
terhadap perkara yang ditarik kembali. Pengecualian ini dilakukan
karena di dalam ketetapan terhadap perkara yang ditarik kembali tidak
ada pertimbangan mengenai kedudukan hukum. Seleksi terhadap jenis
57 Indonesia (f), Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Penjelasan Pasal 51 ayat
(1) huruf a. 58 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (m), Putusan No. 004/PUU-I/2003, hlm. 16. 59 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (d), Putusan No. 006/PUU-I/2003, hlm. 91.
16
putusan pengujian undang-undang yang diunduh dilakukan dengan
melihat keterangan yang diberikan oleh MKRI pada tiap putusan.
Putusan yang diunduh dimulai dari putusan pengujian undang-
undang pertama pada tahun 2003 hingga putusan yang dibacakan pada
akhir bulan Juni 2017—karena penelitian dimulai pada pertengahan
tahun 2017. Dari hasil penelusuran, didapatkan 842 putusan pengujian
undang-undang, yang diawali dengan Putusan No. 004/PUU-I/2003
tertanggal 30 Desember 2003 dan diakhiri dengan Putusan No.
27/PUU-XV/2017 tertanggal 14 Juni 2017. Putusan yang sudah
diunduh kemudian diberi kode (0001 s.d. 0842) guna memudahkan
penelusuran dalam melakukan indeksasi putusan.
2. Penyusunan Instrumen Indeksasi Putusan MKRI
Instrumen indeksasi merupakan alat yang digunakan untuk
memilah informasi-informasi penting mengenai kerugian
konstitusional dalam putusan pengujian undang-undang MKRI.
Tahapan ini dibagi ke dalam 3 bagian, yaitu:
a. Pembuatan instrumen indeksasi putusan MKRI
Piranti lunak yang digunakan untuk membuat instrumen
indeksasi terhadap putusan-putusan pengujian undang-undang
adalah Microsoft Excel karena sistem ini sederhana dan mudah
untuk dibaca. Komponen data yang dimuat dalam instrumen
adalah sebagai berikut:
1) Kode Putusan;
2) Nomor Putusan;
3) Peraturan yang Diuji;
a) Jenis;
b) Nomor;
c) Nama;
d) Pasal;
4) Batu Uji;
17
5) Kualifikasi Pemohon;
a) Jenis;
b) Keterangan;
6) Kedudukan Hukum
a) Status;
b) Keterangan;
7) Kedudukan Hukum Diterima;
a) Jenis;
b) Penyebab Timbulnya Kerugian;
- Karena Undang-Undang
- Karena Tindakan
c) Bentuk Kerugian;
- Terhadap Hak Konstitusional
- Terhadap Interpretasi Hak Konstitusional
d) Keterangan;
8) Kedudukan Hukum Tidak Diterima;
a) Jenis;
b) Keterangan;
9) Syarat Kerugian berdasarkan Putusan MKRI.
a) Ada tidaknya pertimbangan mengenai hak dan/atau
kewenangan konstitusional;
b) Ada tidaknya pertimbangan mengenai dirugikannya hak
dan/atau kewenangan konstitusional;
c) Ada tidaknya pertimbangan mengenai bentuk kerugian
yang dialami pemohon;
d) Ada tidaknya pertimbangan mengenai hubungan kausal
antara kerugian yang dialami pemohon dengan berlakunya
undang-undang yang diujikan atau tidak;
e) Ada tidaknya pertimbangan mengenai dampak jika
permohonan dikabulkan.
18
b. Uji instrumen indeksasi putusan MKRI
Setelah instrumen dibuat, Tim Peneliti melakukan pengujian
terhadap instrumen indeksasi dengan dibantu oleh Asisten Peneliti
dan beberapa ahli hukum tata negara yang dikemas dalam bentuk
expert meeting. Di dalam pertemuan ini, Tim Peneliti menguraikan
latar belakang, tujuan serta metode penelitian yang kemudian
disambung dengan simulasi pengisian instrumen. Setelah tahapan
ini selesai, ahli-ahli yang diundang kemudian memberikan
masukan. Selanjutnya diadakan diskusi terkait hal-hal seputar
materi penelitian.
Ahli yang hadir dalam expert meeting adalah Maruaraar
Siahaan, S.H. yang merupakan mantan hakim MKRI pada tahun
2003-2009, Mustafa Fakhri, S.H., M.H., LL.M. yang merupakan
akademisi hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M. yang merupakan
akademisi hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas
Andalas dan Refly Harun, S.H., M.H., LL.M. yang merupakan
praktisi hukum yang kerap beracara di MKRI.
Kesimpulan yang disarikan oleh Tim Peneliti dari expert
meeting tersebut adalah sebagai berikut:
1) Masukan dan diskusi yang ada dengan para ahli lebih tertuju
pada konsep kedudukan hukum secara umum.
2) Sehubungan dengan instrumen, para Ahli menganggap bahwa
instrumen yang ada sudah bisa merangkum data dalam putusan
dengan baik. Hanya saja, banyaknya data akan menyebabkan
proses penelaahan menjadi memakan waktu. Ahli Mustafa
Fakhri secara spesifik menekankan perlunya panduan yang
jelas dan lengkap agar proses pengisian bisa berjalan dengan
lancar dan konsisten.
19
Sehubungan dengan diskusi yang terjadi, sejauh pemahaman
Tim Peneliti, berikut adalah poin-poin yang dipaparkan oleh
masing-masing Ahli:
1) Ahli Maruarar Siahaan menuturkan bahwa konsep kedudukan
hukum dalam pengujian undang-undang saat ini banyak
menyerap ide dari kedudukan hukum dalam pengajuan gugatan
perdata. Ahli Maruarar Siahaan juga menjabarkan bahwa pada
awal pembentukan MKRI, kedudukan hukum digunakan
sebagai alat untuk memilah perkara. Menurut Ahli Maruarar
Siahaan, MKRI pada saat itu berpandangan bahwa kedudukan
hukum yang terlalu ketat akan mematikan MKRI, sehingga
penggunaannya harus fleksibel. Lebih lanjut, pandangan yang
ada adalah materi yang diujikan di MKRI lebih penting dari
kedudukan hukum. Jika materinya berkaitan dengan isu
nasional yang penting, akan ada kelonggaran dalam
pemeriksaan terhadap kedudukan hukum.
2) Ahli Mustafa Fakhri menguraikan bahwa perluasan makna
kerugian konstitusional sudah terjadi sejak awal, terutama
dengan dijadikannya pembayar pajak sebagai dasar dari
kedudukan hukum pengujian undang-undang. Hal ini
menunjukkan inkonsistensi MKRI dalam menerapkan standar
kerugian konstitusional yang dibuatnya sendiri. Namun, ada
pula kasus di mana MKRI sangat ketat dalam menerapkan
standar kerugian konstitusional.
3) Ahli Feri Amsari menyatakan bahwa konsep kedudukan
hukum di MKRI perlu ditinjau kembali. Hal ini mengingat
bahwa putusan MKRI mengikat bagi semua (erga omnes)
sehingga kesempatan untuk mengajukan permohonan
pengujian undang-undang seyogyanya dibuka seluas-luasnya.
Kendatipun demikian, menurut Ahli Feri Amsari pendekatan
yang demikian memang bisa menyebabkan meledaknya
jumlah perkara di MKRI. Guna menyelesaikan masalah ini,
20
diperlukan konsep kedudukan hukum yang tolok ukurnya
sederhana, yaitu kepentingan. Selain itu, Ahli Feri Amsari juga
menegaskan bahwa syarat kedudukan hukum yang ada saat ini
menimbulkan pertanyaan, misalnya mengenai standar
penalaran yang wajar. Yang kemudian menjadi pertanyaan
adalah standar siapa yang digunakan dan apa yang dimaksud
dengan kewajaran.
4) Ahli Refly Harun menyampaikan bahwa MKRI tidak pernah
konsisten dalam menerapkan standar kedudukan hukum.
Kondisi ini tidak terlepas dari bagaimana MKRI memandang
materi permohonan yang diajukan. Ahli Refly Harun juga
menyampaikan bahwa perlu ada pengkajian lebih lanjut
mengenai makna hak dan/atau kewenangan konstitusional,
sebab secara terminologis, tak seharusnya semua pihak
memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional. Hak hanya
dimiliki oleh WNI, sedangkan lembaga negara hanya memiliki
kewenangan. Pada praktiknya, hal ini diabaikan. Ahli Refly
Harun kemudian menyatakan bahwa konsep kedudukan
hukum yang mensyaratkan adanya kerugian individual tidak
sesuai dengan hasil akhir pengujian undang-undang yang erga
omnes.
5) Secara bersama, menurut Tim Peneliti, para Ahli sepakat
bahwa perlu ada pendekatan kedudukan hukum yang berbeda
terhadap uji formil undang-undang maupun pengujian undang-
undang yang tersusupi materi lain, misalnya sengketa
kewenangan lembaga atau constitutional complaint.
Pendekatan yang diambil oleh MKRI selama ini, yang
menyamaratakan syarat kedudukan hukumnya, merugikan
pemohon.
Berdasarkan diskusi dengan para Ahli, Tim Peneliti
menyimpulkan bahwa instrumen yang ada sudah mampu
menyarikan data-data yang dibutuhkan. Dengan demikian, proses
21
dilanjutkan dengan uji coba pengisian data oleh Asisten Peneliti.
Dari kegiatan uji coba, Asisten Peneliti dapat dengan mudah
menggunakan instrumen indeksasi.
c. Finalisasi instrumen indeksasi putusan MKRI
Berdasarkan hasil uji instrumen indeksasi, yang menunjukkan
bahwa instrumen indeksasi dapat digunakan dengan mudah dan
datanya bisa diolah, Tim Peneliti kemudian melakukan finalisasi
instrumen indeksasi. Finalisasi dilakukan dengan membuat
pedoman pengisian data yang komprehensif dan mudah dipahami
oleh Asisten Peneliti.
3. Indeksasi Putusan MKRI
Pada tahap ini, Asisten Peneliti melakukan indeksasi terhadap 842
putusan pengujian undang-undang. Tahapan indeksasi yang dilakukan
adalah: (i) Asisten Peneliti menelusuri dan membaca penjelasan yang
berkaitan dengan kedudukan hukum pemohon dalam putusan
pengujian undang-undang secara tekstual; (ii) Asisten Peneliti
memasukkan data sesuai dengan panduan pengisian ke dalam
Microsoft Excel yang telah disiapkan; (iii) Tim Peneliti memeriksa
hasil masukan data di Microsoft Excel dengan cara menelusuri dan
membaca putusan secara tekstual dan membandingkannya dengan hasil
masukan data yang telah dilakukan; (iv) Tim Peneliti memberikan
tinjauan atas hasil masukan data Asisten Peneliti dalam bentuk catatan
tertulis secara langsung di Microsoft Excel maupun di dokumen
terpisah; dan (v) Asisten Peneliti menyempurnakan hasil masukan data
tersebut dengan merujuk pada hasil tinjauan Tim Peneliti.
Asisten Peneliti yang terdiri dari 3 orang, masing-masing
memasukkan data dengan rincian sebagai berikut: Asisten Peneliti 1
mengindeks data untuk putusan dengan kode 0001 sampai dengan kode
0281, Asisten Peneliti 2 mengindeks data untuk putusan dengan kode
0282 sampai dengan kode 0562, sedangkan Asisten Peneliti 3
22
mengindeks data untuk putusan dengan kode 0563 sampai dengan kode
0842. Tiap Asisten Peneliti memiliki seorang Peneliti untuk menjadi
pendamping dalam melakukan indeksasi.
Indeksasi dilakukan oleh Asisten Peneliti dengan langkah sebagai
berikut: (i) membaca identitas pemohon secara lengkap; (ii) membaca
pertimbangan mengenai kedudukan hukum yang dibuat oleh MKRI
secara tekstual. Jika pertimbangan yang diberikan sudah bisa
memberikan informasi yang lengkap mengenai pemberian kedudukan
hukum—misalnya tidak menyebutkan hak konstitusional yang
dijadikan dasar—Asisten Peneliti akan memasukkan data ke dalam
instrumen. Jika pertimbangan yang diberikan belum memadai dan
MKRI tidak membantah dalil pemohon, Asisten Peneliti akan melihat
uraian pemohon mengenai kedudukan hukum guna melengkapi data
yang dibutuhkan. Setelah indeksasi data selesai, Asisten Peneliti akan
memberikan catatan terhadap tiap putusan. Dengan metode indeks data
seperti ini, bias merupakan hal yang tak terhindarkan. Kendatipun
demikian, tinjauan kolektif dari Tim Peneliti diharapkan bisa
meminimalisir bias ini sehingga data dalam instrumen tetap objektif.
4. Klasifikasi dan Analisis Data
Setelah seluruh putusan pengujian undang-undang selesai
diindeksasi, data yang ada dalam instrumen diklasifikasikan menjadi 5
jenis data, yaitu: (i) data kedudukan hukum dengan kerugian aktual;
(ii) data kedudukan hukum dengan kerugian potensial; (iii) data
kedudukan hukum dengan kepentingan hukum; (iv) data kedudukan
hukum yang tidak diterima; dan (v) data kedudukan hukum yang tidak
dipertimbangkan.
Data (i) sampai (v) kemudian dibagi berdasarkan rezim
kepemimpinan Ketua MKRI. Pembagian berdasarkan rezim dilakukan
dengan memperhatikan siapa yang menjadi Ketua MKRI pada saat
RPH dilakukan. Pembagian ini penting mengingat Ketua MKRI adalah
23
orang yang memimpin RPH60, sehingga diasumsikan bahwa tiap Ketua
MKRI memiliki posisi yang dominan dalam menentukan alur rapat.
Asumsi selanjutnya dari kondisi ini adalah, posisi dominan yang
dipegang oleh Ketua MKRI akan berpengaruh pada alur berpikir dalam
pengambilan sikap mengenai kedudukan hukum.61
Data (i) sampai (iii) merupakan data kedudukan hukum yang
diterima yang kemudian dibagi ke dalam 3 bentuk kerugian
konstitusional menurut pendapat MKRI. Ketiga jenis data ini menjadi
acuan dalam membuat analisis bagaimana MKRI menafsirkan kerugian
aktual, kerugian potensial dan kepentingan hukum. Sebelum analisis
dilakukan, data (i) sampai (iii) dibagikan kepada 3 orang Peneliti. Tiap
Peneliti bertanggung jawab terhadap 1 bentuk kerugian konstitusional.
Tiap Peneliti kemudian membaca tabel hasil indeksasi sesuai dengan
bagiannya masing-masing.
Analisis yang dilakukan oleh tiap Peneliti dibagi ke dalam 3
bagian. Pada bagian pertama, yang hendak digambarkan oleh Peneliti
adalah bagaimana MKRI menafsirkan kerugian aktual, kerugian
potensial atau kepentingan hukum di dalam putusan-putusannya. Pada
bagian kedua, yang hendak digambarkan adalah perkembangan
penafsiran kerugian aktual, kerugian potensial atau kepentingan hukum
dari tiap masa kepemimpinan Ketua MKRI. Pada bagian ketiga, yang
hendak ditampilkan adalah ide perbaikan terhadap kerugian aktual,
kerugian potensial atau kepentingan hukum.
Untuk mendapatkan gambaran pada bagian pertama, Peneliti
memilih beberapa putusan secara acak dalam tiap periode
kepemimpinan Ketua MKRI untuk disajikan dalam bentuk tulisan.
Pemilihan secara acak dilakukan agar ada representasi yang tidak bias
60 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (f), Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 29 ayat (1). 61 Sejauh penelusuran Tim Peneliti, belum ada penelitian serupa yang membahas
mengenai peran dan pengaruh Ketua MKRI. Namun, dengan melihat tugas Ketua MKRI
dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, maka cukup aman untuk
diasumsikan sebagaimana tercantum pada kalimat di atas.
24
untuk tiap periode kepemimpinan MKRI. Setelah mendapatkan
beberapa putusan, peneliti kemudian membaca ulang putusan tersebut
dengan mereplikasi langkah yang dilakukan oleh Asisten Peneliti.
Hasil pembacaan ulang yang dikombinasikan dengan catatan dalam
tabel indeksasi merupakan hal yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Di dalam tulisan, hal yang disajikan adalah ketentuan apa yang
diuji, hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dijadikan dasar,
bagaimana kerugian terjadi, bentuk kerugian, hubungan kausal antara
kerugian dan ketentuan yang diuji, serta analisis futuristik mengenai
dampak keberhasilan permohonan. Selanjutnya, gambaran mengenai 5
syarat kerugian konstitusional tersebut akan dibungkus dalam bentuk
tabel. Dari gambaran ini, akan tampak syarat kerugian konstitusional
mana yang ada dan tidak ada dalam pertimbangan. Selanjutnya,
Peneliti melakukan generalisasi keadaan dan memberikan pendapatnya
mengenai kondisi tersebut.
Guna mendapatkan gambaran pada bagian kedua, Peneliti terlebih
dahulu melihat undang-undang apa yang diuji dalam setiap putusan.
Setelah didapatkan data mengenai putusan mana saja yang menguji
undang-undang dengan judul yang sama berdasarkan tiap
kepemimpinan Ketua MKRI, Peneliti kemudian memilih secara acak
perwakilan dari tiap putusan tersebut sehingga didapatkan 1 putusan
untuk tiap masa kepemimpinan Ketua MKRI yang menguji undang-
undang dengan judul yang sama. Pemilihan atas dasar kesamaan judul
undang-undang dilakukan guna bisa memberikan perbandingan yang
sebanding mengenai cara berpikir dari tiap Ketua MKRI mengenai hal
yang sama.
Penggambaran terhadap perkembangan pemikiran dilakukan
dengan membuat tabel yang berisi nomor putusan, kualifikasi pemohon
yang mengajukan permohonan, hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang disebutkan dalam pertimbangan dan kutipan
langsung yang berisi uraian mengenai pilihan MKRI terhadap bentuk
kerugian konstitusional yang dialami. Dari data yang disajikan, Peneliti
25
kemudian menggambarkan elemen-elemen yang ada dari pertimbangan
dalam putusan tersebut. Hasil penggambaran elemen ini kemudian
dijadikan dasar untuk mengambil kesimpulan umum.
Untuk bagian ketiga, Peneliti akan mengambil sebuah putusan
secara acak untuk kemudian dibenturkan dengan konsep yang disusun
oleh Tim Peneliti mengenai kerugian aktual, kerugian potensial
maupun kepentingan hukum. Selanjutnya, Peneliti akan mengambil
beberapa putusan secara acak untuk dijadikan contoh dalam
menerapkan konsep yang ditawarkan oleh Tim Peneliti.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat besarnya peranan tiap Peneliti
dalam melakukan penilaian dan analisis. Oleh karenanya, bias dari tiap
Peneliti adalah hal yang tak terhindarkan. Kendatipun demikian, Tim
Peneliti berupaya dengan semaksimal mungkin untuk menangani bias
tersebut sehingga diharapkan hasil yang dicapai bisa objektif.
Penanganan terhadap bias dilakukan dengan mengikuti metode yang
telah ditetapkan dan dengan melakukan diskusi rutin antar-Peneliti
terhadap tiap bagian yang sedang dinilai dan dianalisis.
Data (iv) sebagai data putusan yang tidak menerima kedudukan
hukum pemohon. Data ini tidak dianalisis lebih lanjut oleh Tim
Peneliti karena yang hendak dicari oleh Tim Peneliti adalah gambaran
mengenai tafsir syarat kerugian konstitusional sehubungan dengan
pemberian kedudukan hukum kepada pemohon.
Data (v) adalah hasil masukan data dari putusan yang tidak
mempertimbangkan kedudukan hukum pemohon. Data ini tidak
dianalisis lebih lanjut karena tidak memperlihatkan bagaimana MKRI
menafsirkan kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon.
5. Penyusunan Laporan Penelitian
Dengan selesainya klasifikasi dan analisis data, penelitian
dilanjutkan dengan penyusunan laporan penelitian. Laporan penelitian
dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu: (i) pendahuluan; (ii) gambaran
26
umum hasil penelitian; (iii) kerugian aktual; (iv) kerugian potensial; (v)
kepentingan hukum; dan (vi) penutup.
Bab pertama menguraikan mengenai latar belakang munculnya
penelitian, permasalahan yang menjadi isu dalam penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian, kerangka konseptual penelitian yang disarikan dari
beberapa putusan pengujian undang-undang dan metode penelitian.
Bab kedua berisi mengenai gambaran umum terhadap data yang
diperoleh dari hasil indeksasi putusan pengujian undang-undang.
Angka dan persentase digunakan sebagai media untuk menyajikan
perbandingan dan gambaran singkat dari data yang telah dihimpun.
Bab ketiga hingga bab kelima merupakan hasil telaah terhadap
konsep kerugian aktual, kerugian potensial dan kepentingan hukum
berdasarkan klasifikasi data kedudukan hukum yang diterima oleh
MKRI. Dalam tiap bab, pemaparan akan dimulai dengan memberikan
gambaran masing-masing konsep dari perspektif MKRI secara umum,
yang dilanjutkan dengan perkembangan konsep dari masa ke masa dan
diakhiri dengan usulan konsep mengenai masing-masing kerugian
aktual, kerugian potensial, dan kedudukan hukum guna
menyempurnakan konsep yang ada.
Bab terakhir diisi dengan simpulan beserta rekomendasi guna
menyempurnakan kerugian aktual, kerugian potensial dan kepentingan
hukum dengan harapan agar ketiga bentuk ini bisa dipahami dengan
lebih baik di kemudian hari.
27
BAB II
GAMBARAN UMUM
HASIL PENELITIAN
Bab ini memberikan deskripsi mengenai hasil input data putusan
MKRI sehubungan dengan pengujian undang-undang sejak tahun 2003
hingga bulan Juni tahun 2017. Ada 842 putusan pengujian undang-undang
yang dimasukkan ke dalam instrumen. Dari jumlah tersebut, terdapat 888
input pada instrumen yang disebabkan adanya putusan-putusan yang
memiliki beberapa pemohon yang kedudukan hukumnya dipertimbangkan
secara berbeda oleh MKRI. Secara umum, rangkuman hasil input putusan-
putusan pengujian undang-undang adalah sebagai berikut:
Jenis Putusan Jumlah Input
Putusan dengan kedudukan hukum diterima 619
Putusan dengan kedudukan hukum ditolak 191
Putusan dengan kedudukan hukum tidak dipertimbangkan 78
Total 888
Tabel 2.1 Jumlah input berdasarkan status kedudukan hukum
Diagram 2.1 Persentase status kedudukan hukum berdasarkan jumlah input
28
Dari Tabel 2.1 dan Diagram 2.1, terlihat bahwa putusan yang
mempertimbangkan dan kemudian memberikan kedudukan hukum kepada
pemohon untuk menguji undang-undang lebih dari 2 kali lipat dibanding
dengan putusan yang mempertimbangkan kemudian menolak untuk
memberikan kedudukan hukum kepada pemohon dan putusan yang tidak
mempertimbangkan kedudukan hukum pemohon.
Merujuk pada data dalam Tabel 2.1, selanjutnya dilakukan pemisahan
terhadap status kedudukan hukum pemohon dengan didasarkan pada rezim
kepemimpinan Ketua MKRI pada saat melakukan RPH yang secara umum
tercermin dari tabel berikut:
Periode RPH Jumlah Putusan Jumlah Input
Jimly Asshiddiqie 114 127
M. Mahfud M.D. 329 334
M. Akil Mochtar 53 57
Hamdan Zoelva 121 128
Arief Hidayat 225 239
Total 842 888
Tabel 2.2 Jumlah putusan dan input berdasarkan periode Ketua MKRI pada saat RPH
Diagram 2.2 Persentase jumlah putusan yang diputus dalam tiap periode Ketua MKRI
Hanya dengan memperhatikan angka yang tertera pada Tabel 2.2 dan
Diagram 2.2, seolah M. Mahfud M.D. adalah Ketua MKRI yang paling
29
produktif (jika “produktivitas” diukur dengan “jumlah putusan yang
diputus”). Namun, tidaklah demikian perhitungannya.
Dengan membandingkan jumlah putusan yang diputus dalam RPH
oleh tiap Ketua MKRI dengan masa jabatan masing-masing—Jimly
Asshiddiqie selama 60 bulan, M. Mahfud M.D. selama 55 bulan, M. Akil
Mochtar selama 6 bulan, Hamdan Zoelva selama 14 bulan dan Arief
Hidayat per Juni 2017 selama 25 bulan—maka yang paling produktif
dalam memutus dalam RPH adalah Arief Hidayat dengan jumlah 9 putusan
per bulan—meski angka ini mungkin berubah mengingat Arief Hidayat
masih menjabat ketika data ini diambil. Setelah Arief Hidayat, berikutnya
yang produktif adalah M. Akil Mochtar dengan jumlah 8,8 putusan per
bulan, lalu Hamdan Zoelva dengan jumlah 8,6 putusan per bulan. Angka
terendah yakni jumlah 1,9 putusan per bulan di masa Jimly Asshiddiqie,
yang diikuti oleh M. Mahfud M.D. dengan jumlah 6 putusan per bulan.
Berikutnya akan diberikan rincian dari kedudukan hukum pemohon
pengujian undang-undang berdasarkan rezim Ketua MKRI pada saat RPH:
A. JIMLY ASSDHIDDIQIE
Pada saat Jimly Asshidiqie menjabat sebagai Ketua MKRI, terdapat
114 permohonan pengujian undang-undang yang kedudukan hukumnya
diperiksa. Dari 114 putusan tersebut, terdapat 127 input data—yang artinya
terdapat 13 putusan yang memiliki status kedudukan hukum yang berbeda.
Berikut adalah gambaran data status kedudukan hukum pemohon
pengujian selama Jimly Asshiddiqie menjabat sebagai Ketua MKRI:
Jimly Asshiddiqie Jumlah Input
Putusan dengan kedudukan hukum diterima 80
Putusan dengan kedudukan hukum ditolak 44
Putusan dengan kedudukan hukum tidak dipertimbangkan 3
(Putusan dengan kedudukan hukum diterima dan ditolak) (11)
(Putusan dengan kedudukan hukum diterima dan tidak
dipertimbangkan)
(2)
Total 127
Tabel 2.3 Jumlah input status kedudukan hukum pada periode Jimly Asshiddiqie
30
Diagram 2.3 Persentase status kedudukan hukum pada periode Jimly Asshiddiqie
Mengacu pada Tabel 2.3 dan Diagram 2.3, terlihat bahwa pada periode
kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, jumlah pemohon yang kedudukan
hukumnya diterima hampir mencapai 2 kali lipat dibandingkan dengan
kombinasi jumlah pemohon yang kedudukan hukumnya ditolak dan tidak
dipertimbangkan.
Dari jumlah kedudukan hukum yang diterima, berikut adalah kategori
kedudukan hukum dalam putusan pada periode kepemimpinan Jimly
Asshiddiqie:
Kategori Kedudukan Hukum Jumlah Input
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual 36
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian potensial 8
Kedudukan hukum berdasarkan kepentingan hukum 23
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual dan potensial 2
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual dan kepentingan
hukum
7
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian potensial dan
kepentingan hukum
4
Total 80
Tabel 2.4 Kategori kedudukan hukum pada periode Jimly Asshiddiqie
31
Diagram 2.4 Persentase kategori kedudukan hukum pada periode Jimly Asshiddiqie
Berdasarkan Tabel 2.4 dan Diagram 2.4, kerugian potensial
mendapatkan porsi yang paling sedikit pada masa kepemimpinan Jimly
Asshiddiqie. Merujuk pada data yang ada, Jimly Asshiddiqie cenderung
menggunakan kerugian aktual sebagai dasar pemberian kedudukan hukum
kepada pemohon. Di sisi lain, data juga menunjukkan kepentingan hukum
cukup sering digunakan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai dasar dalam
memberikan kedudukan hukum meski pada kepentingan hukum, kerugian
konstitusional tidaklah ada.
B. M. MAHFUD M.D.
Ketika M. Mahfud M.D. memegang jabatan sebagai Ketua MKRI
terdapat 329 permohonan pengujian undang-undang yang diputus dalam
RPH. Dari permohonan ini, didapati 334 input data. Di bawah ini adalah
gambaran data status kedudukan hukum pemohon pengujian selama masa
jabatan M. Mahfud M.D.:
M. Mahfud M.D. Jumlah Input
Putusan dengan kedudukan hukum diterima 259
Putusan dengan kedudukan hukum ditolak 49
32
Putusan dengan kedudukan hukum tidak dipertimbangkan 26
(Putusan dengan kedudukan hukum diterima dan ditolak) (5)
Total 334
Tabel 2.5 Jumlah input status kedudukan hukum pada periode M. Mahfud M.D.
Diagram 2.5 Persentase status kedudukan hukum pada periode M. Mahfud M.D.
Dari Tabel 2.5 dan Diagram 2.5 dan dibandingkan dengan Tabel 2.3
dan Diagram 2.3, pemohon yang kedudukan hukumnya diterima oleh
MKRI pada masa kepemimpinan M. Mahfud M.D. menjadi semakin
bertambah dibanding pada masa kepemimpinan Jimly Asshiddiqie.
Perbandingan antara pemohon yang kedudukan hukumnya dengan
pemohon yang kedudukan hukumnya ditolak dan tidak dipertimbangkan
menjadi 3 banding 1.
Dari jumlah kedudukan hukum yang diterima, berikut adalah kategori
kedudukan hukum dalam putusan pada periode kepemimpinan M. Mahfud
M.D.:
Kategori Kedudukan Hukum Jumlah Input
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual 142
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian potensial 72
Kedudukan hukum berdasarkan kepentingan hukum 15
33
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual dan potensial 25
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual dan kepentingan
hukum
3
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian potensial dan
kepentingan hukum
2
Total 259
Tabel 2.6 Kategori kedudukan hukum pada periode M. Mahfud M.D.
Diagram 2.6 Persentase kategori kedudukan hukum pada periode M. Mahfud M.D.
Merujuk pada Tabel 2.6 dan Diagram 2.6 dengan dibandingkan pada
Tabel 2.4 dan Diagram 2.4, bahwa kerugian aktual masih mendominasi
dasar pemberian kedudukan hukum—jika dibandingkan dengan masa
kepemimpinan Jimly Asshiddiqie. Terjadi peningkatan terhadap
penggunaan kerugian potensial sebagai dasar pemberian kedudukan
hukum. Sebaliknya, terjadi penurunan terhadap penggunaan kepentingan
hukum sebagai dasar pemberian kedudukan hukum.
C. M. AKIL MOCHTAR
Terdapat 53 permohonan pengujian undang-undang yang dibahas dan
diputuskan dalam RPH pada saat M. Akil Mochtar menjabat sebagai Ketua
MKRI. Dari 53 putusan tersebut, terdapat 57 input data. Di bawah ini
34
adalah gambaran data status kedudukan hukum pemohon pengujian selama
masa jabatan M. Akil Mochtar sebagai Ketua MKRI:
M. Akil Mochtar Jumlah Input
Putusan dengan kedudukan hukum diterima 47
Putusan dengan kedudukan hukum ditolak 7
Putusan dengan kedudukan hukum tidak dipertimbangkan 3
(Putusan dengan kedudukan hukum diterima dan ditolak) (4)
Total 57
Tabel 2.7 Jumlah input status kedudukan hukum pada periode M. Akil Mochtar
Diagram 2.7 Persentase status kedudukan hukum pada periode M. Akil Mochtar
Dengan membandingkan antara Tabel 2.7 dan Diagram 2.7 dengan
Tabel 2.5 dan Diagram 2.5, terjadi peningkatan terhadap pemohon yang
kedudukan hukumnya diperiksa dan diterima oleh MKRI—jika
dibandingkan dengan masa kepemimpinan M. Mahfud M.D. Perbandingan
antara pemohon yang kedudukan hukumnya diterima dengan pemohon
yang kedudukan hukumnya ditolak dan tidak dipertimbangkan adalah 4,7
banding 1.
35
Dari jumlah kedudukan hukum yang diterima, berikut adalah kategori
kedudukan hukum dalam putusan pada periode kepemimpinan M. Akil
Mochtar:
Kategori Kedudukan Hukum Jumlah Input
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual 32
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian potensial 10
Kedudukan hukum berdasarkan kepentingan hukum 1
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual dan potensial 3
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual dan kepentingan
hukum
1
Total 47
Tabel 2.8 Kategori kedudukan hukum pada periode M. Akil Mochtar
Diagram 2.8 Persentase kategori kedudukan hukum pada periode M. Akil Mochtar
Dari perbandingan antara Tabel 2.8 dan Diagram 2.8 dengan Tabel 2.6
dan Diagram 2.6, bisa dilihat bahwa pada masa kepemimpinan M. Akil
Mochtar, kerugian aktual semakin sering digunakan sebagai dasar
pemberian kedudukan hukum dibandingkan dengan masa kepemimpinan
M. Mahfud M.D. Sebaliknya, ada penurunan penggunaan kerugian
potensial dan kepentingan hukum sebagai dasar pemberian kedudukan
hukum.
36
D. HAMDAN ZOELVA
Selama kepemimpinan Hamdan Zoelva, MKRI telah memutus 121
permohonan pengujian undang-undang dalam RPH. Dari angka tersebut,
input yang ada adalah sebanyak 128. Berikut adalah gambaran data status
kedudukan hukum pemohon pengujian selama Hamdan Zoelva menjabat
sebagai Ketua MKRI:
Hamdan Zoelva Jumlah Input
Putusan dengan kedudukan hukum diterima 85
Putusan dengan kedudukan hukum ditolak 16
Putusan dengan kedudukan hukum tidak dipertimbangkan 27
(Putusan dengan kedudukan hukum diterima dan ditolak) (6)
(Putusan dengan kedudukan hukum diterima dan tidak
dipertimbangkan)
(1)
Total 127
Tabel 2.9 Jumlah input status kedudukan hukum pada periode Hamdan Zoelva
Diagram 2.9 Persentase status kedudukan hukum pada periode Hamdan Zoelva
Masa kepemimpinan Hamdan Zoelva—mengacu pada Tabel 2.9 dan
Diagram 2.9 dengan dibandingkan terhadap Tabel 2.7 dan Diagram 2.7—
ditandai dengan adanya penurunan persentase pemohon yang kedudukan
37
hukumnya diberikan. Pemohon yang kedudukan hukumnya ditolak berada
pada persentase yang sama, sedangkan pemohon yang kedudukan
hukumnya tidak dipertimbangkan mengalami kenaikan. Perbandingan
antara pemohon yang kedudukan hukumnya diterima dengan pemohon
yang kedudukan hukumnya ditolak dan tidak dipertimbangkan mengalami
penurunan sehingga menjadi 2 banding 1.
Dari jumlah kedudukan hukum yang diterima, berikut adalah kategori
kedudukan hukum dalam putusan pada periode kepemimpinan Hamdan
Zoelva:
Kategori Kedudukan Hukum Jumlah Input
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual 36
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian potensial 24
Kedudukan hukum berdasarkan kepentingan hukum 7
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual dan potensial 16
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual dan kepentingan
hukum
1
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian potensial dan
kepentingan hukum
1
Total 85
Tabel 2.10 Kategori kedudukan hukum pada periode Hamdan Zoelva
Diagram 2.10 Persentase kategori kedudukan hukum pada periode Hamdan Zoelva
38
Tabel 2.10 dan Diagram 2.10—dan dengan menggunakan Tabel 2.8
dan Diagram 2.8 sebagai acuan—menunjukkan tren penurunan dalam
penggunaan kerugian aktual sebagai dasar pemberian kedudukan hukum.
Sebaliknya, ada peningkatan terhadap penggunaan kerugian potensial dan
kedudukan hukum sebagai dasar pemberian kedudukan hukum.
E. ARIEF HIDAYAT
Sejak Arief Hidayat menduduki jabatan sebagai Ketua MKRI hingga
akhir bulan Juni 201760, terdapat sebanyak 225 permohonan pengujian
undang-undang yang diputuskan dalam RPH. Dari jumlah tersebut,
terdapat 239 input data. Berikut adalah gambaran data status kedudukan
hukum pemohon pengujian undang-undang selama masa jabatan Arief
Hidayat sebagai Ketua MKRI:
Arief Hidayat Jumlah Input
Putusan dengan kedudukan hukum diterima 148
Putusan dengan kedudukan hukum ditolak 73
Putusan dengan kedudukan hukum tidak dipertimbangkan 19
(Putusan dengan kedudukan hukum diterima dan ditolak) (11)
(Putusan dengan kedudukan hukum diterima dan tidak
dipertimbangkan)
(1)
(Putusan dengan kedudukan hukum ditolak dan tidak
dipertimbangkan)
(2)
Total 239
Tabel 2.11 Jumlah input status kedudukan hukum pada periode Arief Hidayat
60 Berdasarkan data dalam laman resmi MKRI, Arief Hidayat mengakhiri periode
pertama jabatannya sebagai Ketua MKRI pada tanggal 14 Juli 2017. Pada hari yang sama ia
kembali terpilih sebagai Ketua MKRI. Masa jabatan pada periode kedua diembannya
hingga tanggal 2 April 2018. Ia digantikan oleh Anwar Usman.
39
Diagram 2.11 Persentase status kedudukan hukum pada periode Arief Hidayat
Perbandingan antara Tabel 2.11 dan Diagram 2.11 dengan Tabel 2.9
dan Diagram 2.9 menggambarkan penurunan tingkat kedudukan hukum
yang diberikan oleh MKRI selama sebagian masa kepemimpinan Arief
Hidayat. Di sisi lain, terjadi lonjakan penolakan kedudukan hukum dan
penurunan pada tidak diperiksanya kedudukan hukum. Perbandingan
antara pemohon yang kedudukan hukumnya diterima dengan pemohon
yang kedudukan hukumnya ditolak dan tidak dipertimbangkan adalah 1,6
banding 1.
Dari jumlah kedudukan hukum yang diterima, berikut adalah kategori
kedudukan hukum dalam putusan pada periode kepemimpinan Arief
Hidayat:
Kategori Kedudukan Hukum Jumlah Input
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual 51
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian potensial 60
Kedudukan hukum berdasarkan kepentingan hukum 8
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual dan potensial 26
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian aktual dan kepentingan
hukum
2
40
Kedudukan hukum berdasarkan kerugian potensial dan
kepentingan hukum
1
Total 148
Tabel 2.12 Kategori kedudukan hukum pada periode Arief Hidayat
Diagram 2.12 Persentase kategori kedudukan hukum pada periode Arief Hidayat
Dengan mengambil data dari Tabel 2.12 dan Diagram 2.12 dan
membandingkannya dengan data dari Tabel 2.10 dan Diagram 2.10,
didapati bahwa pada masa kepemimpinan Arief Hidayat, kembali terjadi
penurunan terhadap penggunaan kerugian aktual sebagai dasar pemberian
kedudukan hukum. Sedangkan terhadap kerugian potensial dan
kepentingan hukum, terjadi peningkatan penggunaannya sebagai dasar
pemberian kedudukan hukum.
F. PERBANDINGAN DARI MASA KE MASA
Dengan mengacu pada data dalam tabel-tabel dan diagram-diagram di
atas, berikut ditampilkan grafik yang menunjukkan perbandingan status
kedudukan hukum dan kategori kedudukan hukum yang diberikan kepada
pemohon dari masa ke masa.
41
Grafik 2.1 Perbandingan status kedudukan hukum pemohon dari masa ke sama
Grafik 2.2 Perbandingan kategori kedudukan hukum dari masa ke masa
43
BAB III
KERUGIAN AKTUAL
Bab ini akan memberikan uraian mengenai salah satu bentuk kerugian
konstitusional yang bersumber dari Pasal 51 ayat (1) UU MK dan
kemudian dikembangkan dalam putusan-putusan MKRI, yaitu kerugian
aktual. Uraian akan dimulai dengan memberikan gambaran mengenai
ruang lingkup dan batasan dari kerugian aktual yang akan digambarkan
secara tekstual dan dilanjutkan dengan pemaknaan melalui tafsir yang
diberikan oleh MKRI dalam putusan-putusannya. Pada bagian selanjutnya,
diberikan pergerakan pemikiran mengenai kerugian aktual dari tiap masa
kepemimpinan Ketua MKRI. Pada bagian akhir, yang diuraikan adalah
proposal yang ditawarkan untuk menyempurnakan kerugian aktual.
A. RUANG LINGKUP DAN BATASAN KERUGIAN AKTUAL
Kerugian aktual adalah salah satu bentuk kerugian konstitusional.
Bentuk kerugian ini bisa ditemukan dengan membaca ketentuan Pasal 51
ayat (1) UU MK yang menyatakan: “...pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan...”61 Secara tekstual,
kata “dirugikan” berasal dari kata dasar rugi yang dipasangkan dengan
konfiks di-kan. Konfiks di-kan merupakan bentuk pasif dari konfiks me-
kan. Konfiks ini memiliki makna yang sama dengan konfiks me-kan, yaitu:
(i) melakukan pekerjaan untuk orang lain; (ii) menyebabkan atau membuat
jadi; (iii) melakukan perbuatan; (iv) mengarahkan; atau (v) memasukkan.
Makna konfiks di-kan dalam kata “dirugikan” yang paling tepat adalah
“menyebabkan atau membuat jadi”. Dengan kata lain, “dirugikan” dapat
diartikan sebagai “disebabkan atau dibuat jadi rugi”.
Berdasarkan konstruksi di atas, pemohon “dirugikan” ketika kerugian
sudah terjadi. Sebaliknya, ketika kerugian belum terjadi, maka pemohon
tidak (atau setidak-tidaknya belum) “dirugikan”. MKRI menggunakan
kerugian aktual sebagai standar tunggal untuk menilai ada tidaknya
61 Indonesia (f), Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 51 ayat (1).
44
kerugian konstitusional hanya pada 3 putusan awal pengujian undang-
undang saja, yaitu Putusan No. 004/PUU-I/2003, Putusan No. 011-
017/PUU-I/2003 dan Putusan 009/PUU-I/2003. Selepas ketiga Putusan ini,
mulai muncul perkembangan yang menjadikan kerugian potensial sebagai
bagian dari kerugian konstitusional.
Dalam Putusan No. 004/PUU-I/2003, yang menjadi pokok
permasalahan adalah salah satu syarat untuk menjadi hakim agung yang
diberikan kepada hakim karier, yaitu pengalaman setidak-tidaknya 5 tahun
sebagai ketua pengadilan tingkat banding atau 10 tahun sebagai hakim
tingkat banding, yang tidak diberikan kepada calon hakim agung yang
tidak berasal dari hakim karier.62 Yang menjadi pemohon adalah hakim
karier.63 Dalam pertimbangan hukumnya, MKRI menyatakan:
“Meskipun Pemohon belum pernah mengajukan diri sebagai
calon Hakim Agung, namun dengan adanya ketentuan Pasal 7
ayat (1) huruf g ini secara hukum tertutuplah kemungkinan
Pemohon mengajukan pencalonan sebagai Hakim Agung.
Dengan demikian memang terdapat kerugian pada
Pemohon...”64
Dari kutipan di atas, kondisi yang dikonstruksikan sebagai kerugian aktual
adalah adanya halangan secara normatif bagi pemohon untuk bisa
mencalonkan diri sebagai hakim agung. Kerugian yang telah dialami oleh
pemohon adalah hilangnya kesempatan untuk bisa menjadi hakim agung,
yang terjadi karena persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang
yang dimohonkan pengujiannya.
Dalam Putusan No. 011-017/PUU-I/2003, yang menjadi pokok
masalah adalah larangan bagi mereka yang terlibat organisasi terlarang
untuk menjadi anggota DPR, DPD dan/atau DPRD.65 Pemohon yang
62 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (m), Putusan No. 004/PUU-I/2003, hlm. 2. 63 Ibid., hlm. 1. 64 Ibid., hlm. 16. 65 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (u), Putusan No. 011-017/PUU-I/2003, hlm.
9.
45
kedudukan hukumnya diberikan adalah mereka yang bekas tahanan politik
karena dituduh terlibat dengan organisasi terlarang.66 Sehubungan dengan
kedudukan hukum, MKRI berpendapat:
“Mereka telah ditahan atau dipenjara karena dituduh terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa
G.30.S./PKI, dan menganggap hak konstitusional mereka
dirugikan oleh berlakunya Pasal 60 huruf g Undang-Undang
Nomor 12 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;”67
Berdasarkan pada kutipan di atas, kerugian yang dialami oleh pemohon
adalah cap sebagai anggota organisasi terlarang yang dimiliki oleh
pemohon. Cap ini membuat pemohon kehilangan kesempatan untuk bisa
mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD dan/atau DPRD.
Pada Putusan No. 009/PUU-I/2003, pokok masalahnya adalah
kemungkinan akan adanya hukum tanah yang sifatnya kedaerahan
sehingga akan merugikan PPAT yang diangkat oleh pemerintah pusat.68
Yang menjadi pemohon adalah Asosiasi PPAT.69 Sehubungan dengan
kedudukan hukum, MKRI mempertimbangkan: “Para Pemohon tidak
dirugikan kepentingannya hingga saat ini, dan dengan demikian
kekhawatiran Para Pemohon terlalu dini (premature)...”70 Pertimbangan
ini menunjukkan bahwa kerugian yang belum dialami, bukan merupakan
kerugian.
Dari ketiga Putusan di atas, bisa disimpulkan bahwa: (i) kerugian ada
ketika pemohon sudah mengalami kerugian; (ii) kerugian disebabkan
karena berlakunya undang-undang; (iii) hilangnya kesempatan untuk
melaksanakan hak merupakan pengalaman terjadinya kerugian; dan (iv)
66 Ibid., hlm. 33. 67 Ibid. 68 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (v), Putusan No. 009/PUU-I/2003, hlm. 1. 69 Ibid., hlm. 35. 70 Ibid., hlm. 38.
46
kemungkinan mengenai adanya kerugian bukan merupakan kerugian.
Kondisi ini kemudian berubah sejak putusan pengujian undang-undang
keempat MKRI, yaitu Putusan No. 014/PUU-I/2003.
Dalam Putusan No. 014/PUU-I/2003, yang menjadi pokok
permasalahan adalah kewenangan pemanggilan paksa yang melekat pada
DPR.71 Yang menjadi pemohon adalah masyarakat.72 Sehubungan dengan
kedudukan hukum, MKRI berpendapat: “Bahwa baik kerugian potensial
maupun aktual tidak akan diderita oleh para Pemohon dengan berlakunya
ketentuan UU Susduk a quo...”73 Hal ini menunjukkan bahwa MKRI dalam
Putusan ini telah mengadopsi kerugian potensial sebagai bagian dari
kerugian konstitusional. Pendekatan yang diambil oleh MKRI dalam
Putusan No. 014/PUU-I/2003 tidak berarti bahwa MKRI meninggalkan
bentuk kerugian aktual. MKRI hanya memperluas dasar bagi kedudukan
hukum pemohon pengujian undang-undang. Perluasan ini bahkan dijadikan
standar tetap kerugian konstitusional, melalui Putusan No. 006/PUU-
III/2005.
Kembali pada Putusan No. 004/PUU-I/2003, Putusan No. 011-
017/PUU-I/2003 dan Putusan 009/PUU-I/2003, kerugian aktual adalah
kerugian yang nyata dan sudah benar-benar dialami oleh pemohon.
Kerugian yang dialami memiliki bentuk spesifik, yang salah satunya adalah
hilangnya kesempatan untuk melaksanakan hak. Sedangkan yang menjadi
sumber dari terjadinya kerugian adalah ketentuan dalam undang-undang
yang diuji. Guna mendapatkan gambaran lebih lanjut mengenai ruang
lingkup dan batasan ini, maka pada bagian selanjutnya akan diberikan
uraian mengenai perspektif MKRI dalam menentukan kerugian aktual bagi
pemohon pengujian undang-undang.
71 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (w), Putusan No. 014/PUU-I/2003, hlm. 5. 72 Ibid., hlm. 3. 73 Ibid., hlm. 31.
47
B. KERUGIAN AKTUAL DALAM PERSPEKTIF MKRI
Dari 888 input data yang ada, sebanyak 383 input adalah kerugian
aktual—termasuk 86 input yang bentuk kedudukan hukumnya lebih dari 1.
Bentuk kerugian aktual merupakan bentuk kerugian yang hampir selalu
lebih banyak digunakan sebagai dasar pemberian kedudukan hukum
pemohon pengujian undang-undang—meski ada penurunan
penggunaannya pada 2 periode kepemimpinan Ketua MKRI terakhir,
sebagaimana terlihat dari grafik di bawah ini:
Grafik 3.1 Perbandingan penggunaan bentuk kerugian aktual dari masa ke masa
Berdasarkan penelaahan terhadap 383 input yang ada, dan dengan
merujuk pada uraian di bagian sebelumnya, didapati bahwa ada 2 elemen
penentu bilamana suatu kerugian dikategorikan sebagai kerugian aktual,
yakni: (i) kerugian bersifat spesifik dan nyata; dan (ii) kerugian bersumber
dari undang-undang dan/atau tindakan.
1. Kerugian Bersifat Spesifik dan Aktual
Sebagaimana telah dikutip pada Bab I, MKRI menetapkan 5 syarat
kerugian konstitusional yang kumulatif, yang salah satunya adalah:
“kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual...”74 Hal ini berarti bahwa kerugian yang dialami oleh pemohon
74 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (e), Putusan No. 12/PUU-V/2007, h. 85.
48
tidak hanya harus aktual, namun juga harus spesifik.75 Aktual dimaknai
sebagai nyata atau faktual76, sudah benar-benar telah terjadi dan
dialami oleh pemohon.77 Lebih lanjut, penilaian mengenai sudah terjadi
atau tidaknya kerugian haruslah bisa dinilai secara objektif empiris.78
Kerugian bisa dikatakan sebagai spesifik bilamana kerugian yang
dialami adalah tertentu, atau dengan kata lain, ada uraian bentuk
kerugian yang dialami oleh pemohon79. Dengan demikian, elemen
kerugian bersifat spesifik dan aktual merujuk pada sifat dari kerugian
yang dialami oleh pemohon.
Berikut adalah beberapa putusan MKRI yang memberikan
gambaran mengenai sifat kerugian yang spesifik dan aktual:
Sifat Spesifik Kerugian
a. Putusan No. 021/PUU-III/2005
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 78 ayat (15)
tentang perampasan oleh negara terhadap hasil hutan hasil
kejahatan dan pelanggaran dan alat-alat terkait.80 Di dalam putusan
ini, MKRI tidak membantah dalil Pemohon bahwa hak
konstitusional Pemohon adalah hak akan kepastian hukum yang
adil (Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945); hak atas perlindungan
harta benda yang berada di bawah kekuasaannya (Pasal 28G ayat
(1) UUD NRI 1945), dan hak untuk mempunyai hak milik yang
tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa pun (Pasal
75 Bisariyadi, “Membedah Doktrin Kerugian Konstitusional” hlm. 33. 76 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (m), Putusan No. 004/PUU-I/2003, hlm. 20. 77 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (n), Putusan No. 4/PUU-V/2007, hlm. 98. 78 Ibid. 79 Lihat, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (i), Putusan No. 021/PUU-III/2005,
hlm. 75-76. Lihat juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (j), Putusan No. 54/PUU-
VI/2008, hlm. 46. Lihat juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (k), Putusan No.
100/PUU-X/2012, hlm. 58. Lihat juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (l),
Putusan No. 75/PUU-XIII/2015, hlm. 71-72. 80 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (i), Putusan No. 021/PUU-III/2005, hlm.
18-19.
49
28H ayat (4) UUD NRI 1945). Namun, MKRI tidak menjelaskan
lebih detail lagi mengenai hak konstitusional tersebut.
Selanjutnya, dalam pertimbangannya MKRI menjelaskan hak
konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan
berlakunya ketentuan yang diujikan sebagai berikut:
“…bahwa hak konstitusional Pemohon sebagai
Penerima Fidusia yang berupa hak milik atas barang
yang dijaminkan fidusia telah dianggap dirugikan
oleh berlakunya dan diterapkannya UU Kehutanan,
khususnya Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya
yang berakibat barang-barang dimaksud dirampas
untuk negara, yang berarti telah jelas ada hubungan
kausal antara hak konstitusional Pemohon dan
berlakunya Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan, serta
telah nyata pula bahwa kerugian hak konstitusional
Pemohon bersifat spesifik dan aktual yang apabila
permohonan dikabulkan diyakini kerugian tersebut
tidak akan terjadi;”81
Kerugian Pemohon bersifat spesifik karena hak konstitusional
Pemohon sebagai Penerima Fidusia yang berupa hak milik atas
barang yang dijaminkan fidusia telah dianggap dirugikan oleh
penerapan ketentuan tersebut. Meskipun uraian di atas menyatakan
bahwa terdapat hubungan kausal antara hak konstitusional dengan
ketentuan yang diujikan dan jika permohonan dikabulkan diyakini
kerugian tidak akan terjadi, tetapi MKRI tidak menguraikan
mengenai kedua hal ini dalam pertimbangan.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
81 Ibid., hlm. 75-76.
50
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.1 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 021/PUU-III/2005
b. Putusan No. 54/PUU-VI/2008
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1995 tentang Cukai, khususnya 66A ayat (1) mengenai
persentase pembagian penerimaan negara dari cukai hasil
tembakau kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau.82 Di
dalam Putusan ini, MKRI menyatakan bahwa: “…terjadi
pertentangan pula dengan prinsip demokrasi ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945”. Di
sini MKRI menyatakan hak konstitusional Pemohon yang
dirugikan, yaitu hak konstitusional yang termuat dalam Pasal 33
ayat (4). Namun, MKRI tidak mengelaborasi lebih lanjut mengenai
hak konstitusional tersebut.
Mengenai kerugian konstitusional yang dialami, MKRI dalam
pertimbangannya menguraikan bahwa:
“….secara konstitusional sangat dirugikan dan
berkepentingan untuk mengajukan permohonan ini,
karena Pemerintah Provinsi NTB yang berkontribusi
besar terhadap penerimaan negara dari cukai hasil
82 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (j), Putusan No. 54/PUU-VI/2008, hlm. 4.
51
tembakau justru tidak dapat menikmati hasil
tembakau.”83
Lebih lanjut, MKRI menguraikan mengenai fakta hukum
bahwa “penerimaan negara dari cukai hasil tembakau oleh
Pemerintah hanya dibagikan kepada ‘provinsi yang memiliki
pabrik rokok’ sebagai penafsiran dari ‘provinsi penghasil cukai
tembakau’.”84 Uraian di atas menunjukkan hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon dianggap dirugikan oleh
ketentuan yang diuji, meski tidak ada kejelasan mengenai hak
dan/atau kewenangan konstitusional mana yang dirugikan. Dengan
demikian, syarat pertama dari syarat kerugian konstitusional
tidaklah terpenuhi dan seharusnya seluruh syarat lainnya pun
menjadi tidak mungkin terpenuhi. Sebab, dasar pemenuhan syarat
kerugian konstitusional adalah adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional. Namun demikian, untuk melihat penafsiran MKRI
terhadap syarat-syarat ini, maka penilaian terhadap syarat lain tetap
akan dilakukan.
Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon tersebut pun bersifat
spesifik di mana kerugian yang terjadi adalah kerugian materiil,
yaitu Pemerintah Provinsi NTB tidak mendapatkan persentase
pembagian penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.
Pemerintah Provinsi NTB kehilangan pemasukan daerah dari cukai
hasil tembakau.
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang diuji
tidak tampak karena permasalahan yang ada, sebagaimana diakui
oleh Pemohon, adalah masalah interpretasi ketentuan. Pembagian
penerimaan negara dari cukai hasil tembakau ternyata dibagikan
kepada “provinsi yang memiliki pabrik rokok” sebagai penafsiran
dari “provinsi penghasil cukai tembakau” yang termuat dalam
83 Ibid., hlm. 46. 84 Ibid.
52
ketentuan yang diuji.85 Namun, tidak ada uraian mengenai kondisi
yang akan tercipta jika ketentuan yang diuji dibatalkan oleh MKRI.
Sebaliknya, oleh karena ketentuan yang diujikan menjadi dasar
pembagian cukai hasil tembakau kepada pemerintah daerah, maka
pembatalan terhadap ketentuan ini justru akan menyebabkan
kerugian terus terjadi.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.2 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 54/PUU-VI/2008
c. Putusan No. 100/PUU-X/2012
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 96
mengenai daluwarsa tuntutan pembayaran buruh setelah 2 tahun.86
Di dalam putusan ini, MKRI tidak menjelaskan hak konstitusional
apa yang dimiliki Pemohon. Dalam pertimbangannya MKRI
menjelaskan hak konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan
dengan berlakunya ketentuan yang diuji sebagai berikut:
85 Ibid. 86 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (k), Putusan No. 100/PUU-X/2012, hlm. 4.
53
“…namun dengan adanya ketentuan Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan a quo, mengakibatkan Pemohon
tidak dapat melakukan tuntutan mengenai uang
pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal
156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU
Ketenagakerjaan a quo. Oleh karenanya, Pemohon
sedang maupun akan mengalami/merasakan secara
langsung dampak kerugian yang diakibatkan
ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan a quo;”87
Uraian di atas menjelaskan hak konstitusional Pemohon yang
dianggap dirugikan akibat keberlakuan Pasal a quo, meski tidak
ada kejelasan hak konstitusional mana yang dirugikan. Kerugian
yang terjadi pun spesifik, yaitu dalam bentuk kerugian moril
sekaligus materiil di mana. Kerugian moril adalah Pemohon tidak
dapat melakukan tuntutan mengenai uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian. Hal ini berimbas pada
kerugian materiil yang diterima yaitu karena tuntutan tidak dapat
dilakukan, pelbagai kompensasi dalam bentuk uang tersebut tidak
bisa didapatkan. Hubungan kausal terjadi antara kerugian dengan
keberlakuan Pasal a quo karena ketentuan dalam Pasal a quo yang
langsung membuat Pemohon tidak dapat menuntut hak-haknya
pasca-PHK.
Di sisi lain, MKRI tidak mengelaborasi lebih lanjut mengenai
kondisi yang akan tercipta jika ketentuan yang diuji dibatalkan
oleh MKRI. Pertimbangan MKRI mengenai hal tersebut hanya
menyatakan:
“...terdapat hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian dimaksud dengan berlakunya UU
Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujian,
sehingga terdapat kemungkinan dengan
87 Ibid., hlm. 58.
54
dikabulkannya permohonan maka kerugian hak
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi,”88
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.3 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 100/PUU-X/2012
d. Putusan No. 75/PUU-XIII/2015
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya
Pasal 20 ayat (3) (frasa kurang lengkap dalam penyelidikan kasus
hak asasi manusia (HAM) dan penjelasan Pasal 20 ayat (3)
(definisi kurang lengkap).89 Di dalam Putusan ini, MKRI tidak
membantah dalil Pemohon bahwa hak konstitusional Pemohon
adalah hak atas kebenaran (right to know), hak atas keadilan (right
to justice), dan hak atas pemulihan (right to reparation).90
Mengenai kerugian yang dialami pemohon, MKRI
menguraikan sebagai berikut:
88 Ibid., hlm. 59. 89 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (l), Putusan No. 75/PUU-XIII/2015, hlm. 4. 90 Ibid., hlm. 71.
55
“Namun, sampai 12 (dua belas) tahun, sejak tahun
2002 hingga saat permohonan a quo diajukan ke
Mahkamah, Jaksa Agung belum juga menindaklanjuti
hasil penyelidikan Komnas HAM dimaksud dengan
alasan yang menurut para Pemohon tidak konsisten
dan selalu berubah-ubah sehingga terjadi bolak-balik
berkas dari Jaksa Agung kepada Komnas HAM dan
sebaliknya.”91
“[3.5.5] Bahwa menurut para Pemohon,
ketidakkonsitenan [sic] dan berubah-ubahnya alasan
Jaksa Agung sebagaimana diuraikan…disebabkan
oleh ketidakjelasan Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan
Pasal 20 ayat (3) UU 26 Tahun 2000, khususnya
adanya frasa ‘kurang lengkap dalam ketentuan
dimaksud.”92
Uraian di atas menjelaskan kerugian yang dialami Pemohon
adalah spesifik berupa kerugian moril, yaitu dirugikannya hak atas
kebenaran (right to know), hak atas keadilan (right to justice), dan
hak atas pemulihan (right to reparation). Yang menjadi pertanyaan
adalah, Pasal mana dalam UUD NRI 1945 yang menelurkan ketiga
hak ini? Sayangnya, hubungan kausal tidak terelaborasi karena
tidak dijelaskan dalam pertimbangan apa hubungan antara bolak-
baliknya berkas penyelidikan dengan kerugian konstitusional
Pemohon. MKRI juga tidak menguraikan sama sekali mengenai
kondisi yang akan tercipta jika ketentuan yang diuji dibatalkan
oleh MKRI.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
91 Ibid., hlm. 72. 92 Ibid.
56
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.4 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 75/PUU-XIII/2015
Sifat Aktual Kerugian
e. Putusan No. 020/PUU-I/2003
Dalam Putusan ini, MKRI belum memperkenalkan 5 syarat
kerugian konstitusional. Namun, analisis terhadap kerugian aktual
dalam Putusan ini tetap akan dilakukan berdasarkan kelima syarat
tersebut.
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik, khususnya Pasal 2 ayat (3) sub b (syarat
persentase per daerah untuk kepengurusan partai politik untuk
didaftarkan ke Departemen Kehakiman); Pasal 3 ayat (2)
(pengesahan partai politik); Pasal 23 huruf a, b, c, dan d
(pengawasan pelaksanaan undang-undang partai politik).93 Dalam
pertimbangannya, MKRI tidak menguraikan hak konstitusional
mana yang menjadi dasar kedudukan hukum Pemohon.
Selanjutnya penjelasan mengenai anggapan Pemohon tentang hak
konstitusional yang dirugikan adalah:
“Bahwa Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya
UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik,
karena Partai Politik yang dipimpinnya (PPRI) tidak
diakui keberadaannya oleh Depertemen [sic]
93 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (x), Putusan No. 020/PUU-I/2003, hlm. 3-4.
57
Kehakiman dan HAM Republik Indonesia dan tidak
dapat menjadi peserta Pemilu sehingga menimbulkan
kerugian moril maupun materill [sic].”94
Uraian di atas hanya menjelaskan bahwa kerugian moril dan
materiil dialami Pemohon karena Partai Politik yang dipimpin
Pemohon tidak dapat menjadi peserta pemilihan umum. Tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai kerugian moril dan kerugian
materiil seperti apa yang dialami oleh Pemohon.
Selanjurnya, uraian mengenai hubungan sebab akibat antara
kerugian dengan sumber kerugian menyebutkan bahwa kerugian
tidak dapat menjadi peserta pemilihan umum disebabkan
berlakunya ketentuan yang diujikan dan ditindaklanjuti dengan
penolakan pengesahan partai politik tersebut sebagai badan hukum
oleh Menteri Kehakiman dan HAM Republik Indonesia dengan
Surat Keputusan No.M.02.HT.01.10 Tahun 2003, tanggal 30
Oktober 2003. Namun, sayangnya tidak ada uraian mengenai
kondisi pasca-dikabulkannya permohonan terhadap kerugian.
Berdasarkan gambaran di atas, pemenuhan terhadap syarat
kerugian konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.5 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 020/PUU-I/2003
94 Ibid., hlm. 24.
58
f. Putusan No. 071/PUU-II/2004 dan 001-002/PUU-III/2005
Dalam putusan ini, MKRI belum memperkenalkan 5 syarat
kerugian konstitusional. Namun, analisis terhadap kerugian aktual
dalam Putusan ini akan dilakukan berdasarkan kelima syarat
tersebut.
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, khususnya Pasal 2 ayat (5) (Menteri Keuangan
sebagai pemohon pailit jika debitur adalah lembaga di bidang
kepentingan publik); Pasal 6 ayat (3) (penolakan permohonan pailit
oleh Panitera); Pasal 223 (lembaga yang berwenang memohonkan
PKPU untuk debitur di bidang kepentingan publik); dan Pasal
224(6) (ketentuan yang ada sebagai tata cara pengajuan
permohonan PKPU).95
Putusan ini berdasarkan 3 permohonan sehingga terdapat 3
pemohon yang berbeda, yaitu Pemohon I (perorangan WNI),
Pemohon II (perorangan WNI), dan Pemohon III (Yayasan
Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia/YLKAI). Pembahasan
mengenai pemenuhan kelima syarat kerugian konstitusional akan
dibedakan per Pemohon. Namun, untuk Pemohon ketiga, karena
termasuk dalam kepentingan hukum, tidak akan dibahas dalam
Bab ini.
Pemohon 001/PUU-III/2005
Di dalam putusan ini, MKRI tidak menjelaskan hak
konstitusional apa yang dimiliki Pemohon. Selanjutnya, dalam
pertimbangannya MKRI menjelaskan hak konstitusional Pemohon
yang dianggap dirugikan dengan berlakunya ketentuan yang diuji
sebagai berikut:
95 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (y), Putusan No. 071/PUU-II/2004 dan 001-
002/PUU-III/2005, hlm. 11-12.
59
“Pemohon 001/2005 adalah warga negara Indonesia
yang menganggap telah dirugikan hak
konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 2 ayat (5)
dan Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004,
dengan ditolaknya permohonan pailit yang diajukan
Pemohon terhadap PT. Prudential Life Insurance oleh
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.”96
Uraian di atas juga menunjukkan bahwa sifat aktual dari
kerugian yang dialami Pemohon sangat terlihat dengan adanya
penolakan permohonan pailit yang diajukan Pemohon oleh
pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hubungan
kausal antara keberlakuan ketentuan yang diuji dengan kerugian
aktual yang dialami terlihat dari pertimbangan MKRI sebagai
berikut:
“bahwa andaikatapun tagihan itu sudah sah menurut
hukum, dan Para Pemohon mengajukan kembali
permohonan kepada Pengadilan Niaga untuk
mempailitkan kedua perusahaan asuransi itu,
Pengadilan Niaga niscaya tetap tidak akan menerima
permohonan Pemohon karena tidak diajukan oleh
Menteri Keuangan.”97
Pertimbangan tersebut jelas menunjukkan bahwa terdapat
hubungan kausal di mana ketentuan yang diuji memberikan
kewenangan eksklusif kepada Menteri Keuangan untuk
mengajukan permohonan pailit kepada debitur yang merupakan
lembaga di bidang kepentingan publik menyebabkan Pemohon
mengalami kerugian berupa tidak dapat mengajukan permohonan
96 Ibid., hlm. 152. 97 Ibid., hlm. 153.
60
pailit. Selanjutnya, tidak ada uraian sama sekali mengenai kondisi
yang akan tercipta jika ketentuan yang diuji dibatalkan oleh MKRI.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.6 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 001/PUU-III/2005
Pemohon 002/PUU-III/2005
Di dalam Putusan ini, MKRI tidak menjelaskan hak
konstitusional apa yang dimiliki Pemohon. Selanjutnya, dalam
pertimbangannya MKRI menjelaskan hak konstitusional Pemohon
yang dianggap dirugikan dengan berlakunya ketentuan yang diuji
sama dengan yang dialami Pemohon 001/PUU-III/2005. Hal yang
berbeda adalah pengadilan yang menolak permohonan pailit yang
diajukan Pemohon 002/PUU-III/2005 adalah pengadilan niaga
pada Pengadilan Negeri Semarang.
Penolakan oleh pengadilan tersebut menegaskan sifat aktual
dari kerugian yang dialami Pemohon. Hubungan kausal antara
keberlakuan ketentuan yang diuji dengan kerugian aktual yang
dialami terlihat dari pertimbangan MKRI sebagai berikut:
61
“bahwa andaikatapun tagihan itu sudah sah menurut
hukum, dan Para Pemohon mengajukan kembali
permohonan kepada Pengadilan Niaga untuk
mempailitkan kedua perusahaan asuransi itu,
Pengadilan Niaga niscaya tetap tidak akan menerima
permohonan Pemohon karena tidak diajukan oleh
Menteri Keuangan.”98
Pertimbangan tersebut jelas menunjukkan bahwa terdapat
hubungan kausal di mana ketentuan yang diuji memberikan
kewenangan eksklusif kepada Menteri Keuangan untuk
mengajukan permohonan pailit kepada debitur yang merupakan
lembaga di bidang kepentingan publik menyebabkan Pemohon
mengalami kerugian berupa tidak dapat mengajukan permohonan
pailit. Selanjutnya, tidak ada uraian sama sekali mengenai kondisi
yang akan tercipta jika ketentuan yang diuji dibatalkan oleh MKRI.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.7 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 002/PUU-III/2005
98 Ibid.
62
g. Putusan No. 50/PUU-VI/2008
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
khususnya Pasal 27 ayat (3) (informasi/dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan/pencemaran nama baik) dan Pasal 45
ayat (1) (pidana penjara dan/atau denda terhadap tindakan pada
Pasal 27).99 Di dalam putusan ini, MKRI tidak membantah dalil
Pemohon bahwa hak konstitusional Pemohon adalah hak yang
tercantum dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat
(3), serta Pasal 28F UUD NRI 1945.100 Kendatipun demikian, tidak
ada spesifikasi mengenai hak konstitusional apa yang termuat
dalam Pasal-Pasal tersebut.
Selanjutnya, dalam pertimbangannya MKRI menjelaskan hak
konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan
berlakunya ketentuan yang diuji sebagai berikut:
“….pembatasan yang dilakukan Pasal a quo telah
memasung hak-hak konstitusional warga negara
untuk memperoleh informasi, menyatakan pendapat,
dan mengontrol kekuasaan”.101
Namun, uraian MKRI tersebut sangat luas karena menyatakan
hak konstitusional yang dipasung adalah hak untuk memperoleh
informasi, hak menyatakan pendapat, dan hak mengontrol
kekuasaan. Tidak jelas hak konstitusional mana yang dianggap
oleh Pemohon dirugikan dari ketiga hak tersebut. Sifat kerugian
yang dialami Pemohon dalam hal ini adalah aktual sebab Pemohon
telah benar-benar mengalami kerugian karena tengah berada dalam
proses persidangan pidana dengan sangkaan ketentuan yang diuji.
99 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (z), Putusan No. 50/PUU-VI/2008, hlm. 7. 100 Ibid., hlm. 88. 101 Ibid.
63
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang diuji
hanya dijelaskan oleh MKRI sebatas uraian berikut:
“Rumusan dalam Pasal undang-undang a quo
mengandung materi muatan yang tidak memiliki
kepastian hukum karena adanya pertentangan dengan
asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan khususnya asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan karena menimbulkan rasa tidak aman
dan rasa takut bagi para pengguna internet, sehingga
pengguna internet sewaktu-waktu dapat ditahan polisi
karena ancaman pidananya lebih dari lima tahun.”102
Tidak ada uraian sama sekali mengenai kondisi yang akan
tercipta jika ketentuan yang diuji dibatalkan oleh MKRI.
Selanjutnya, MKRI hanya menyatakan bahwa secara prima facie
Pemohon telah memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum.
Berdasarkan gambaran di atas, pemenuhan terhadap syarat
kerugian konstitusional adalah sebagai berikut.
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.8 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 050/PUU-VI/2008
102 Ibid., hlm. 89.
64
h. Putusan No. 117/PUU-X/2012
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 163 ayat
(1) mengenai pemutusan hubungan kerja dalam kondisi tertentu
dan kompensasi untuk pekerja/buruh.103 Di dalam Putusan ini,
MKRI tidak menjelaskan hak konstitusional apa yang dimiliki
Pemohon tetapi MKRI tidak membantah dalil Pemohon bahwa
Pemohon yang merupakan pekerja/buruh mengalami
kerugian/kehilangan haknya terkait penggabungan kepemilikan
perusahaan.
MKRI menguraikan bahwa kerugian yang dialami Pemohon
adalah tidak didapatkannya haknya sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang diuji. Namun, MKRI tidak menguraikan lebih
lanjut hak apa yang ada dalam Pasal tersebut. Dalam dalil
Pemohon, hak dalam Pasal a quo adalah uang pesangon sebesar 1
kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Selanjutnya, Pemohon
benar-benar mengalami kerugian karena dinyatakan
mengundurkan diri oleh perusahaan sehingga tidak mendapatkan
haknya.
Mengenai hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji, hanya dijelaskan oleh MKRI sebatas uraian berikut:
“Para Pemohon tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja dengan perusahaan tersebut, namun
perusahaan tidak melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) sehingga para Pemohon dinyatakan
mengundurkan diri oleh Perusahaan. Perusahaan
menafsirkan bahwa mengenai hal PHK yang
tercantum dalam Pasal 163 ayat (1) UU
103 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (aa), Putusan No. 117/PUU-X/2012, hlm.
5-6.
65
Ketenagakerjaan mutlak merupakan hak dari
Perusahaan. Berdasarkan pernyataan tersebut, para
Pemohon tidak mendapatkan haknya sebagaimana
diatur dalam Pasal 163 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan.”104
Sayangnya MKRI tidak mengelaborasi lebih jauh mengenai
bagaimana tindakan perusahaan yang tidak mau melakukan PHK
menyebabkan para pekerja/buruh dinyatakan mengundurkan diri
dan kemudian kehilangan pelbagai hak akibat PHK. Selanjutnya,
tidak ada pula uraian mengenai kemungkinan kondisi pasca-
dikabulkannya permohonan terhadap kerugian.
Berdasarkan gambaran di atas, pemenuhan terhadap syarat
kerugian konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.9 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 117/PUU-X/2012
Di awal Bab, dinyatakan bahwa kerugian aktual adalah kerugian
yang bersifat spesifik dan pemohon dianggap benar-benar mengalami
kerugian akibat keberlakuan dari undang-undang dan/atau pasal yang
diuji ke MKRI. Pasca-penelusuran dan analisis terhadap putusan-
104 Ibid., hlm. 65.
66
putusan di atas, berikut adalah gambaran sifat spesifik dan aktual yang
ditafsirkan oleh MKRI.
Sifat spesifik kerugian merujuk pada bentuk dari kerugian yang
dialami. Bahwa kerugian tersebut harus tertentu dan dapat
dikelompokkan menjadi kerugian moril dan/atau kerugian materiil—
meski MKRI tidak menyatakan secara eksplisit bahwa kerugian yang
terjadi adalah kerugian moril dan/atau materiil. Kendatipun demikian,
Tim Peneliti menerjemahkan kerugian materiil sebagai kerugian yang
secara kasat mata dapat dikuantifikasi, sedangkan kerugian moril
sebagai kerugian terhadap hal-hal yang secara kasat mata tidak dapat
dikuantifikasikan.
Kerugian materiil dapat ditemui dalam beberapa putusan. Pertama,
Putusan No. 54/PUU-VI/2008 tentang persentase pembagian
penerimaan negara dari cukai hasil tembakau kepada provinsi
penghasil cukai hasil tembakau. Kerugian materiil berupa hilangnya
penerimaan Provinsi NTB dari pembagian penerimaan negara dari
cukai hasil tembakau akibat berlakunya ketentuan yang diuji. Kedua,
Putusan No. 100/PUU-X/2012 mengenai akibat daluwarsa tuntutan
pembayaran buruh setelah 2 tahun. Daluwarsa tuntutan pembayaran
buruh ini berakibat buruh tidak bisa mendapatkan kompensasi berupa
uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak.
Contoh adanya kerugian moril terdapat pada Putusan No. 75/PUU-
XIII/2015 mengenai frasa kurang lengkap dalam penyelidikan kasus
hak asasi manusia yang menyebabkan bolak balik berkas dari
penyelidik, yaitu Komnas HAM kepada penyidik, yaitu Jaksa Agung.
Pemohon mengalami kerugian moril dalam bentuk waktu menunggu
adanya tindak lanjut penyelidikan Komnas HAM selama 12 tahun
karena hasil penyelidikan “dirasa” kurang lengkap.
Berikutnya kerugian moril dan materiil dianggap dialami oleh
Pemohon dalam Putusan No. 021/PUU-III/2005 mengenai perampasan
67
oleh negara terhadap barang bukti terkait tindak pidana kehutanan.
Dalam Putusan ini, kerugian yang terjadi adalah dirampasnya hak milik
atas barang yang dijaminkan fidusia kepada Pemohon selaku Penerima
Fidusia. Tentunya, ketika perampasan terjadi, perlindungan atas hak
milik Pemohon terugikan—yang artinya terjadi kerugian moril—dan
sebagai akibatnya muncul kerugian materiil bagi Pemohon.
MKRI secara umum melihat bahwa sifat aktual berarti pemohon
benar-benar mengalami kerugian yang ia dalilkan. Dari analisis
terhadap pelbagai putusan, pemohon bisa menjelaskan kondisi yang
dialaminya merupakan akibat berlakunya norma yang diuji. Beberapa
putusan yang dibahas menunjukkan bahwa pemohon dalam kondisi
benar-benar mengalami kerugian, seperti pada Putusan No. 071/PUU-
II/2004 dan Putusan No. 001-002/PUU-III/2005. Dalam Putusan ini,
ketentuan yang diuji memberikan kewenangan eksklusif kepada
Menteri Keuangan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap
debitur yang merupakan lembaga di bidang kepentingan publik,
menyebabkan Pemohon tidak bisa mengajukan permohonan pailit ke
pengadilan niaga. Kondisi ini kemudian termanifestasikan dalam
bentuk penolakan permohonan pailit oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat untuk Pemohon I dan Pengadilan Negeri Semarang untuk
Pemohon II. Selanjutnya, Putusan No. 020/PUU-I/2003
memperlihatkan bahwa partai politik Pemohon benar-benar tidak dapat
menjadi peserta pemilihan umum karena tidak diakui keberadaannya.
2. Kerugian Bersumber dari Undang-Undang dan/atau Tindakan
Elemen ini merujuk pada sumber dari kerugian konstitusional yang
dialami oleh pemohon. Sehubungan dengan sumber, Pasal 51 ayat (1)
UU MK telah menegaskan bahwa sumber penyebab terjadinya
kerugian konstitusional bagi pemohon adalah berlakunya undang-
undang yang diuji. Pada bagian terdahulu telah disampaikan bahwa
sifat kerugian yang dialami oleh pemohon adalah spesifik dan aktual.
Contohnya adalah, kehilangan hak atas perlindungan terhadap hak
milik karena adanya kewenangan untuk melakukan perampasan.
68
Ketika pejabat yang berwenang melakukan perampasan terhadap
barang milik pemohon, maka pemohon baru bisa dikatakan telah
mengalami kerugian. Keberadaan ketentuan semacam ini tanpa
dilaksanakan tidak secara aktual merugikan. Dengan demikian,
berlakunya undang-undang dalam konteks yang demikian ini harus
dimaknai sebagai adanya tindakan dari pejabat yang berwenang yang
melaksanakan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.
Pada contoh yang lain, misalnya daluwarsa untuk melakukan
tuntutan mengenai uang pesangon, uang penghargaan dan uang
penggantian hak, kondisi yang ada tidak sama. Sehubungan daluwarsa,
ketentuan ini berfungsi sebagai saringan formil untuk mengajukan
tuntutan hak. Dengan demikian, lewatnya batas waktu yang dialami
oleh pemohon menyebabkan ketentuan ini berlaku padanya dan
karenanya kerugian menjadi muncul. Dengan kata lain, berlakunya
undang-undang dalam konteks ini tidak membutuhkan pelaksanaan
untuk bisa menyebabkan kerugian.
Berikut adalah beberapa putusan MKRI yang memberikan
gambaran mengenai sumber kerugian dari undang-undang dan/atau
tindakan:
Undang-Undang sebagai Sumber Kerugian
a. Putusan No. 011-017/PUU-I/2003
Dalam putusan ini, MKRI belum memperkenalkan 5 syarat
kerugian konstitusional yang harus dipenuhi oleh pemohon.
Namun, analisis terhadap kerugian aktual dalam Putusan ini akan
dilakukan berdasarkan kelima syarat tersebut.
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
khususnya Pasal 60 huruf (g). Pasal ini mengatur mengenai
persyaratan untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
69
dan DPRD Kabupaten/Kota, yaitu bukan bekas anggota organisasi
terlarang.105
MKRI tidak menjelaskan hak konstitusional apa yang dimiliki
Pemohon. Meskipun Pemohon menganggap bahwa hak
konstitusional mereka dirugikan, uraian mengenai bentuk kerugian
yang dialami oleh Pemohon dan bagaimana Pemohon dirugikan
atas keberlakuan ketentuan yang diuji tidak ada dalam
pertimbangan Putusan. Uraian yang ada dalam pertimbangan
adalah:
“Sebagian Para Pemohon I dan Para Pemohon II
seluruhnya adalah bekas tahanan politik. Mereka
telah ditahan atau dipenjara karena dituduh terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam
peristiwa G.30.S./PKI, dan menganggap hak
konstitusional mereka dirugikan oleh berlakunya
Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.”106
Tidak ada uraian mengenai hubungan antara kerugian dengan
sumber kerugian dan tidak ada pula uraian mengenai kemungkinan
yang kerugian tidak terjadi kembali jika permohonan dikabulkan
oleh MKRI. Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat
kerugian konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
105 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (u), Putusan No. 011-017/PUU-I/2003,
hlm. 9. 106 Ibid., hlm. 33
70
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.10 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 011-017/PUU-I/2003
b. Putusan No. 010/PUU-III/2005
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 59
ayat (2) mengenai persyaratan partai politik yang dapat
mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah. Di dalam Putusan
ini, MKRI tidak menjelaskan hak konstitusional apa yang dimiliki
Pemohon tetapi hanya menyatakan bahwa hak konstitusional
Pemohon dijamin dalam UUD NRI 1945.107 Mengenai kerugian
yang dianggap dialami oleh Pemohon, MKRI menguraikan sebagai
berikut:
“…kerugian hak konstitusional yang didalilkan
Pemohon adalah karena ketentuan tentang
pembatasan persentase perolehan partai politik atau
gabungan partai politik minimal 15% dari jumlah
kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan
suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di
daerah pemilihan yang bersangkutan, telah
menyebabkan Pemohon tidak dapat mengajukan
pasangan calon kepala daerah, antara lain, di daerah
Kabupaten Kutai Kertanegara Kaltim, karena
Pemohon hanya memperoleh 2½ (dua setengah)
persen suara sah pada pemilihan umum tahun
2004.”108
107 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ab), Putusan No. 010/PUU-III/2005, hlm.
25. 108 Ibid.
71
Uraian di atas menjelaskan bahwa kerugian yang dialami
adalah kerugian aktual karena ketentuan yang diuji langsung
menyebabkan Pemohon tidak dapat mengajukan pasangan calon
kepala daerah. Terdapat hubungan kausal antara kerugian yang
dialami Pemohon dengan ketentuan yang diuji di mana kerugian
langsung dirasakan Pemohon karena berlakunya ketentuan yang
diuji. Tanpa perlu ada tindakan dari pejabat yang menjalankan
ketentuan yang diuji, Pemohon terhambat oleh syarat formil untuk
mengajukan pasangan calon kepala daerah dari partai politiknya.
Selanjutnya, tidak ada uraian mengenai kemungkinan kerugian
konstitusional tidak akan terjadi lagi jika permohonan dikabulkan.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.11 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 010/PUU-III/2005
c. Putusan No. 28/PUU-X/2012
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No. 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), khususnya
Pasal 45A ayat (2) huruf c (perkara tata usaha negara yang dibatasi
untuk diajukan kasasi) dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang
72
Kejaksaan (UU Kejaksaan), khususnya Pasal 30 ayat (2)
(wewenang Kejaksaan untuk bidang perdata dan tata usaha
negara).109 Di dalam putusan ini, MKRI tidak membantah dalil
Pemohon bahwa hak konstitusional Pemohon adalah hak yang
tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2), ayat (4),
dan ayat (5), serta Pasal 34 ayat (3) UUD NRI 1945. Namun, tidak
jelas dari sekian banyak Pasal yang disebutkan, apa hak
konstitusional yang dijadikan dasar oleh Pemohon dan mana yang
benar-benar dianggap dirugikan akibat ketentuan yang diujikan.
Mengenai kerugian konstitusional yang dianggap dialami
Pemohon dan hubungan kausal antara kerugian dengan ketentuan
yang diuji, MKRI menguraikan sebagai berikut:
“….Pemohon tidak dapat mengajukan permohonan
kasasi ke Mahkamah Agung terhadap Putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Nomor
104/B/2011/PT.TUN.SBY tanggal 7 November 2011
juncto Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Nomor 22/G/2011/PTUN.BY tanggal 20 Juni 2011.
Selain itu Pemohon juga menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Pasal 30 ayat (2) UU 16/2004 karena
merasa telah mendapatkan perlakuan diskriminatif
dan tidak sama di hadapan hukum dengan adanya
peraturan perundang-undangan yang memungkinkan
negara atau pemerintah menggunakan jasa Jaksa
Pengacara Negara sebagai kuasa hukum dalam
perkara PTUN yang dijalani oleh Pemohon.”110
Mengingat bahwa Pemohon mengajukan uji materiil terhadap
2 undang-undang, uraian di atas menyatakan 2 kondisi kerugian.
Pertama, kerugian yang dianggap dialami akibat Pasal 45A ayat
109 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ac), Putusan No. 28/PUU-X/2012, hlm. 2. 110 Ibid., hlm. 22.
73
(2) huruf c UU MA, yaitu Pemohon tidak dapat mengajukan
permohonan kasasi ke MARI terhadap perkara TUN tertentu yang
diatur dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c. Dalam hal ini, kerugian
yang dialami adalah kerugian aktual karena tanpa perlu ada
tindakan dari pejabat yang menolak kasasi yang diajukan Pemohon
pun, ketentuan dalam Pasal tersebut secara formil menghalangi
Pemohon dalam mengajukan permohonan kasasi.
Kedua, kerugian akibat berlakunya UU Kejaksaan. Konteks
kerugian akibat berlakunya UU Kejaksaan adalah berbeda dengan
UU MA, sebab diskriminasi yang didalilkan oleh Pemohon baru
terjadi ketika pemerintah menggunakan Jaksa Pengacara Negara
sebagai kuasa hukumnya. Artinya, keberadaan ketentuan ini saja
tanpa penerapan tidak kemudian menimbulkan kerugian yang
didalilkan oleh Pemohon.
Selanjutnya, tidak ada uraian mengenai kemungkinan kerugian
konstitusional tidak akan terjadi lagi jika permohonan dikabulkan.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.12 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 028/PUU-X/2012
74
d. Putusan No. 137/PUU-XIII/2017
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya Pasal 65
ayat (2) mengenai kepala daerah dapat dipilih kembali untuk
jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.111 Di dalam
Putusan ini, MKRI tidak membantah dalil Pemohon bahwa hak
konstitusional Pemohon adalah hak yang tercantum dalam Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI
1945. Lebih lanjut, MKRI menguraikan bahwa Pemohon merasa
tidak mendapatkan hak yang sama dengan warga negara Indonesia
lainnya dan tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.112 Mengenai kerugian konstitusional yang dialami
Pemohon, MKRI menyatakan sebagai berikut:
“…dirugikan dengan berlakunya Pasal 65 ayat (2)
UU Pemerintahan Aceh karena Pemohon yang
pernah menjabat sebagai kepala daerah dan saat ini
telah 5 (lima) tahun tidak menjabat sebagai kepala
daerah, tidak dapat lagi mencalonkan diri sebagai
calon bupati atau kepala daerah khususnya di
Kabupaten Simeulue.”113
Uraian di atas menunjukkan kerugian yang dialami adalah
kerugian aktual karena ketentuan yang diuji langsung
menyebabkan Pemohon tidak bisa mencalonkan diri sebagai
kepala daerah di Aceh, khususnya Kabupaten Simeuleu. Kerugian
yang dialami Pemohon bersumber dari ketentuan yang diuji. Tanpa
perlu ada tindakan dari pejabat yang menjalankan ketentuan yang
diuji, Pemohon jelas tidak bisa mencalonkan diri sebagai kepala
daerah.
111 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ad), Putusan No. 137/PUU-XIII/2017,
hlm. 5. 112 Ibid., hlm. 28. 113 Ibid.
75
Hubungan kausal antara kerugian dengan ketentuan yang
dialami telah jelas berdasarkan uraian di atas. Namun, tidak ada
uraian mengenai kemungkinan kerugian konstitusional tidak akan
terjadi lagi jika permohonan dikabulkan. Dari uraian di atas,
pemenuhan terhadap syarat kerugian konstitusional adalah sebagai
berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.13 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 137/PUU-XIII/2017
Tindakan sebagai Sumber Kerugian
e. Putusan No. 013/PUU-I/2003
Dalam Putusan ini, MKRI belum memperkenalkan 5 syarat
kerugian konstitusional yang harus dipenuhi oleh Pemohon.
Namun, analisis terhadap kerugian aktual dalam putusan ini akan
dilakukan berdasarkan kelima syarat tersebut.
Ketentuan yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No. 16
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.114 Di
dalam Putusan ini, MKRI tidak membantah dalil Pemohon bahwa
hak konstitusional Pemohon yang dirugikan adalah hak untuk tidak
114 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ae), Putusan No. 013/PUU-I/2003, h. 7.
76
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yang diatur dalam
Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945.115
Selanjutnya, uraian pertimbangan MKRI menunjukkan bahwa
kerugian konstitusional bersifat aktual karena Pemohon benar telah
mengalami kerugian. Selain itu, kerugian yang dialami oleh
Pemohon adalah kerugian moril yang terjadi akibat dituntutnya
Pemohon dengan dasar hukum yang berlaku surut. Hubungan
kausal terjadi antara kerugian dengan keberlakuan ketentuan yang
diuji di mana penuntut umum telah menuntut Pemohon
berdasarkan ketentuan dalam ketentuan yang belum ada saat tindak
pidana dilakukan.116 Dari sini, terlihat bahwa ada tindakan yang
dilakukan oleh pihak yang berwenang, yaitu penuntut umum, yang
menjalankan ketentuan yang diujikan dengan cara melakukan
penuntutan dalam persidangan. Dalam pertimbangannya, MKRI
tidak menguraikan sama sekali mengenai kondisi yang akan
tercipta jika ketentuan yang diujikan dibatalkan oleh MKRI.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.14 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 013/PUU-I/2003
115 Ibid., hlm. 35. 116 Ibid.
77
f. Putusan No. 009-014/PUU-III/2005
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, khususnya Pasal 1 ayat (5)
(bentuk organisasi notaris); Pasal 67 ayat (3) huruf b (unsur
Majelis Pengawas); Pasal 77 (wewenang Majelis Pengawas Pusat);
78 (wewenang Majelis Pengawas Pusat); dan Pasal 82 ayat (1)
(Notaris dalam satu wadah Organisasi Notaris).117 Di dalam
Putusan ini, MKRI tidak membantah dalil Pemohon bahwa hak
konstitusional Pemohon adalah hak yang tercantum dalam Pasal
28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, dan
menyatakan bahwa hak konstitusional yang dirugikan adalah hak
kebebasan untuk berserikat dan hak untuk mendapat perlakuan
yang sama di hadapan hukum.118 Lengkapnya, menyatakan:
“Pemohon menganggap hak konstitusional tersebut di
atas dirugikan oleh berlakunya UU JN, khususnya
Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) yang
merugikan hak kebebasan untuk berserikat; Pasal 15
ayat (2) huruf f dan g yang merugikan hak atas
jaminan kepastian hukum, dan Pasal 67 ayat (1)
sampai dengan (6) yang merugikan hak untuk
mendapat perlakuan yang sama di hadapan
hukum.”119
Lebih lanjut, MKRI menyimpulkan bahwa kerugian yang
dialami oleh Pemohon adalah: …ditolaknya permohonan para
Pemohon untuk mendaftarkan HNI sebagai badan hukum oleh
Departemen Hukum dan Perundang-undangan…”120
117 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (af), Putusan No. 009-014/PUU-III/2005,
hlm. 22. 118 Ibid., hlm. 112. 119 Ibid. 120 Ibid.
78
Penolakan sebagai badan hukum merupakan tindakan yang
merupakan pelaksanaan dari ketentuan yang diuji. Dengan
demikian, sumber dari kerugian adalah ketentuan yang diuji dan
terjadinya kerugian adalah karena pelaksanaan ketentuan yang
diuji oleh lembaga yang berwenang.
Hubungan kausal pun jelas terlihat dari uraian di atas.
Selanjutnya, MKRI menyatakan: “…seandainya permohonan para
Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah, maka kerugian yang
dialami dan diperkirakan oleh para Pemohon tidak akan atau
tidak lagi terjadi.”121 Permasalahannya, uraian yang demikian ini
tidak cukup untuk menjelaskan kondisi yang terjadi jika
permohonan dikabulkan.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.15 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 009-014/PUU-III/2005
g. Putusan No. 8/PUU-XI/2013
Undang-undang yang diuji dalam Putusan ini adalah UU No.
20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
khususnya Pasal 41 ayat (4) mengenai peran serta masyarakat
121 Ibid., hlm. 112-113.
79
dalam mencegah dan memberantas korupsi. 122 Di dalam Putusan
ini, MKRI tidak membantah dalil Pemohon bahwa hak
konstitusional Pemohon adalah hak yang tercantum dalam Pasal
28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 28H ayat
(1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Hak konstitusional tersebut
dianggap telah dirugikan berdasarkan uraian berikut:
“….mengajukan gugatan praperadilan pengentikan
[sic] perkara korupsi BLBI Syamsul Nursalim. Pada
awalnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mengabulkan praperadilan yang diajukan oleh
Pemohon, namun putusan tersebut oleh Pengadilan
Tinggi Jakarta dinyatakan tidak dapat diterima
dengan alasan Undang-Undang tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi tidak mengatur hak
gugat LSM/ORMAS untuk mengajukan praperadilan
terhadap penghentian penyidikan dan penuntutan
dalam perkara-perkara korupsi.”123
Uraian di atas menunjukkan bahwa kerugian yang terjadi
bersifat aktual karena benar-benar dialami Pemohon, yaitu putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan
praperadilan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima oleh
Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam hal ini, kerugian bersumber dari
ketentuan yang diuji dan tindakan yang ada dilakukan oleh
lembaga yang berwenang, yaitu Pengadilan Tinggi Jakarta.
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang diuji
dijelaskan pada uraian di atas. Namun, tidak ada uraian mengenai
kemungkinan yang akan terjadi ketika permohonan dikabulkan
MKRI. Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
122 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ag), Putusan No. 8/PUU-XI/2013, hlm. 40. 123 Ibid., hlm. 47.
80
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan
yang diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di
masa mendatang ✓
Tabel 3.16 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 8/PUU-XI/2013
Pada bagian sebelumnya, telah diuraikan bahwa penyebab
terjadinya kerugian adalah berlakunya undang-undang, dalam artian
kerugian bisa terjadi semata-mata karena suatu undang-undang
diberlakukan atau kerugian bisa pula terjadi ketika undang-undang
tersebut dilaksanakan. Putusan-putusan yang dianalisis di atas telah
menunjukkan bahwa MKRI cenderung mengabaikan apa yang menjadi
sumber dari kerugian, apakah semata-mata karena undang-undang atau
karena adanya tindakan pelaksanaan undang-undang.
Pada Putusan No. 011-017/PUU-I/2003 yang mengatur persyaratan
untuk menjadi anggota legislatif, yaitu bukan bekas anggota organisasi
terlarang, Pemohon yang merupakan calon anggota legislatif dan
pernah terafiliasi dengan organisasi terlarang langsung merasa
dirugikan. Kondisi serupa juga tergambar dalam Putusan No.
010/PUU-III/2005 mengenai persyaratan partai politik yang dapat
mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah. Berlakunya ketentuan
yang diuji langsung menyebabkan Pemohon tidak dapat mengajukan
pasangan calon kepala daerah. Kedua putusan ini menunjukkan
ketentuan undang-undang yang diberlakukan langsung bisa
memberikan kerugian pada pemohon.
Dalam putusan-putusan lain, kerugian baru dikatakan ada ketika
sudah ada pelaksanaan undang-undang yang diuji. Contohnya dalam
81
Putusan No. 013/PUU/I/2003 di mana Pemohon mengalami kerugian
berupa dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Kerugian
Pemohon benar-benar baru dirasakan ketika Pemohon menjadi
terdakwa dan dituntut oleh penuntut umum menggunakan ketentuan
yang berlaku surut. Contoh lain adalah Putusan No. 009-014/PUU-
III/2005 yang menunjukkan bahwa Pemohon baru benar-benar
mengalami kerugian ketika telah ada tindakan penolakan pendaftaran
organisasinya sebagai badan hukum. Tanpa tindakan penolakan dari
lembaga yang berwenang, Pemohon belum mengalami kerugian.
Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa elemen yang digunakan
oleh MKRI untuk menunjukkan ada tidaknya kerugian aktual adalah: (i)
adanya kerugian yang bersifat spesifik dan aktual; dan (ii) sumber
terjadinya kerugian adalah akibat berlakunya undang-undang dan akibat
adanya tindakan yang melaksanakan ketentuan undang-undang yang diuji.
Sehubungan dengan sifat kerugian yang spesifik, MKRI membaginya ke
dalam 2 jenis, yaitu kerugian moril dan kerugian materiil. Dengan kata
lain, ragam dari kerugian aktual dalam perspektif MKRI adalah: (i)
kerugian moril yang aktual dan disebabkan oleh berlakunya undang-
undang; (ii) kerugian moril yang aktual dan disebabkan oleh tindakan; (iii)
kerugian materiil yang aktual dan disebabkan oleh berlakunya undang-
undang; (iv) kerugian materiil yang aktual dan disebabkan oleh tindakan;
(v) kerugian moril dan materiil yang aktual dan disebabkan oleh
berlakunya undang-undang; dan (vi) kerugian moril dan materiil yang
aktual dan disebabkan oleh tindakan.
Terlepas dari ragam di atas, dengan memperhatikan pemenuhan syarat
kerugian konstitusional yang dibuat oleh MKRI, secara umum bisa
disimpulkan bahwa MKRI tidak terlalu tegas dalam mengikuti syarat-
syarat tersebut. Putusan-putusan di atas telah menunjukkan bahwa bahkan
MKRI tidak pernah menerapkan kelima syarat tersebut secara keseluruhan.
Pada banyak kasus, MKRI sekadar mengulang syarat yang ada dan
82
menyimpulkan bahwa syarat tersebut telah terpenuhi. Artinya, MKRI tidak
mengembangkan penafsiran terhadap kelima syarat tersebut.
Secara lebih detail, tidak dipenuhinya syarat kerugian konstitusional
dalam berbagai putusan dapat dilihat dari fakta bahwa: (i) MKRI jarang
melakukan kualifikasi terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang didalilkan oleh Pemohon; (ii) MKRI tidak terlalu memedulikan
apakah kerugian yang ada spesifik atau tidak; (iii) MKRI tidak
memberikan tolok ukur yang jelas mengenai sifat spesifik dan aktual dalam
melihat kerugian aktual; (iv) MKRI hampir selalu mengabaikan uraian
mengenai hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang diujikan;
dan (v) MKRI tidak pernah memberikan gambaran mengenai kemungkinan
kerugian konstitusional tidak akan terjadi kembali jika permohonan
dikabulkan.
C. PERGERAKAN PENAFSIRAN KERUGIAN AKTUAL DARI MASA KE
MASA
Pada bagian ini, akan dibahas mengenai pergerakan penafsiran
kerugian aktual dengan melakukan analisis terhadap 1 isu khusus yang
dibahas pada setiap masa kepemimpinan Ketua MKRI. Dengan
membandingkan putusan-putusan yang memiliki isu sejenis dari masa ke
masa, diharapkan akan tampak perbedaan pola pikir dari tiap Ketua MKRI
mengenai kerugian aktual. Pola analisis ini digunakan guna melengkapi
penafsiran MKRI mengenai kerugian aktual sebagaimana diuraikan pada
bagian sebelumnya. Putusan yang akan dianalisis adalah putusan terkait
proses peradilan pidana, termasuk penyidikan, penuntutan dan penjatuhan
pidana oleh MARI dan pengadilan di bawahnya.
1. Periode Jimly Asshiddiqie
Nomor Putusan : 013/PUU-I/2003
Kualifikasi Pemohon : WNI124
Hak dan/atau Kewenangan : Hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD
124 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ae), Putusan No. 013/PUU-I/2003, hlm. 1.
83
Konstitusional dalam
Pertimbangan
1945 yang memuat: “hak untuk hidup hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut ada”125
Uraian Kerugian Aktual
dalam Pertimbangan
: “Bahwa Pemohon menganggap hak-hak
konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-Undang
No. 16 Tahun 2003. Padahal, terhadap Pemohon
telah diterapkan hukum yang berlaku surut, karena
terhadap kasus yang terjadi pada tanggal 12
Oktober 2002 (Peristiwa Peledakan Bom di Bali)
telah diterapkan Perpu No. 1 Tahun 2002 yang
diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002.”126
Tabel 3.17 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 013/PUU-I/2003
Nomor Putusan : 065/PUU-II/2004
Kualifikasi Pemohon : WNI127
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD
1945 yang memuat: ”hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun”128
Uraian Kerugian Aktual
dalam Pertimbangan
: “Pemohon…menganggap hak konstitusionalnya
dirugikan oleh Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan
HAM…yang menentukan bahwa pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
125 Ibid., hlm. 35. 126 Ibid. 127 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ah), Putusan No. 065 /PUU-II/2004, hlm.
1. 128 Ibid., hlm. 47.
84
diundangkannya UU Pengadilan HAM diperiksa
dan diputuskan oleh Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc telah diterapkan terhadap
Pemohon.”129
Tabel 3.18 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 065/PUU-II/2004
Dari rangkuman di atas, sifat spesifik dan aktual kerugian terlihat
jelas. Dalam Putusan No. 013/PUU-I/2003, kerugian yang dialami oleh
Pemohon adalah terjadinya penuntutan kepada dirinya menggunakan
hukum yang berlaku surut. Penuntutan ini pun sudah benar-benar
terjadi. Sedangkan dalam Putusan No. 065/PUU-II/2004, kerugian
yang dialami oleh Pemohon adalah diperiksa dan diputusnya kejahatan
yang diduga dilakukan oleh Pemohon berdasarkan hukum yang
berlaku surut. Pemeriksaan dan putusan menggunakan hukum yang
berlaku surut ini sudah ada.
Di sisi lain, sumber terjadinya kerugian pada kedua Putusan adalah
tindakan yang melaksanakan ketentuan yang diujikan. Pada Putusan
No. 013/PUU-I/2003, pejabat yang melakukan tindakan, berupa
penuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah penuntut
umum. Sedangkan pada Putusan No. 065/PUU-II/2004, tindakan
dilakukan oleh pengadilan hak asasi manusia ad hoc.
2. Periode M. Mahfud M.D.
Nomor Putusan : 16/PUU-IX/2011
Kualifikasi Pemohon : WNI130
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan
dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945131
Uraian Kerugian Aktual : “…Pemohon juga tidak dapat melakukan gugatan
129 Ibid. 130 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ai), Putusan No. 16/PUU-IX/2011, hlm. 1. 131 Ibid., hlm. 53.
85
dalam Pertimbangan praperadilan atau tuntutan ganti kerugian terhadap
aparatur negara yang menjalankan
kewenangannya secara eksesif yang melanggar
hak-hak konstitusional Pemohon, karena adanya
Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang tidak
memungkinkan Pemohon mengajukan tuntutan
ganti kerugian atas tindakan penyidik atau
penuntut umum yang melanggar hukum.
Berdasarkan fakta tersebut, Pemohon menganggap
hak konstitusionalnya…terlanggar.”132
Tabel 3.19 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 16/PUU-IX/2011
Nomor Putusan : 65/PUU-IX/2011
Kualifikasi Pemohon : WNI 133
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: -
Uraian Kerugian Aktual
dalam Pertimbangan
: “…dirugikan hak konstitusionalnya oleh
berlakunya Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2)
KUHAP.”134
“…telah merugikan hak konstitusional Pemohon
karena telah menghalangi atau menutup hak
Pemohon untuk mengajukan permintaan banding ke
Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap putusan
praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 27/PID/PRAP/ 2011/PN.JKT.SEL.”135
Tabel 3.20 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 065/PUU-II/2004
Kedua Tabel di atas menunjukkan dengan jelas perbedaan
pendekatan yang digunakan oleh Jimly Asshiddiqie dengan M. Mahfud
132 Ibid. 133 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (aj), Putusan No. 65/PUU-IX/2011, hlm. 1. 134 Ibid., hlm. 25. 135 Ibid.
86
M.D. dalam menilai kerugian aktual. Pertama, M. Mahfud M.D. lebih
tidak tegas mengenai hak konstitusional apa yang menjadi dasar.
Bahkan dalam Putusan No. 65/PUU-IX/2011, M. Mahfud M.D. sama
sekali tidak menyebutkan Pasal mana dalam UUD NRI 1945 yang
melahirkan hak konstitusional yang menjadi dasar adanya kedudukan
hukum. Sedangkan dalam Putusan No. 16/PUU-IX/2011, M. Mahfud
M.D. tidak menentukan secara akurat hak konstitusional mana yang
menjadi dasar. Kedua, sumber kerugian yang digunakan oleh M.
Mahfud M.D. adalah keberlakuan undang-undang. Pada kedua
Putusan, halangan formil yang ada di hadapan Pemohon merupakan
sumber terjadinya kerugian. Terlepas dari perbedaan tersebut, baik
Jimly Asshiddiqie maupun M. Mahfud M.D. sama-sama menguraikan
dengan jelas spesifikasi kerugian yang dialami oleh pemohon.
3. Periode M. Akil Mochtar
Nomor Putusan : 84/PUU-X/2012
Kualifikasi Pemohon : WNI136
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: -
Uraian Kerugian Aktual
dalam Pertimbangan
: “Menimbang bahwa Pemohon I adalah perorangan
warga negara yang pada saat permohonan ini
diajukan telah dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a
KUHP dan telah dijatuhi putusan berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor
69/Pid.B/2012/PN.Spg, dengan pidana penjara
selama 2 (dua) tahun.”137
Tabel 3.21 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 84/PUU-X/2012
136 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ak), Putusan No. 84/PUU-X/2012, hlm. 1. 137 Ibid., hlm. 138.
87
Nomor Putusan : 1/PUU-XI/2013
Kualifikasi Pemohon : WNI138
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak-hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal
28D ayat (1) UUD NRI 1945139
Uraian Kerugian Aktual
dalam Pertimbangan
: “Bahwa Pemohon beranggapan telah dirugikan
hak konstitusionalnya untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum dengan berlakunya Pasal 335 ayat
(1) KUHP…Menurut Pemohon, kedua pasal a quo
telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon
yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945, karena memuat norma hukum
yang tidak jelas, bias, menimbulkan multi tafsir,
menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang
tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan
hukum, dan perlakuan diskriminatif. Dengan
berlakunya pasal a quo, Pemohon sebagai
perseorangan warga negara Indonesia yang telah
ditetapkan menjadi tersangka karena dianggap
telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan
dirugikan hak konstitusionalnya untuk
mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”140
Tabel 3.22 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 1/PUU-XI/2013
Merujuk pada kedua Tabel di atas, terlihat bahwa M. Akil Mochtar
tidak tegas dalam menerapkan syarat kerugian konstitusional,
khususnya sehubungan dengan ada tidaknya hak konstitusional. Pada
Putusan No. 84/PUU-X/2012, M. Akil Mochtar bahkan tidak
menguraikan hak konstitusional mana yang menjadi dasar kedudukan
138 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (al), Putusan No. 1/PUU-XI/2013, hlm. 1. 139 Ibid., hlm. 31. 140 Ibid.
88
hukum Pemohon. Sedangkan dalam Putusan No. 1/PUU-I/2013, M.
Akil Mochtar hanya menyatakan Pasal dalam UUD NRI 1945 tanpa
menyebutkan hak konstitusional mana yang menjadi dasar kedudukan
hukum.
Di sisi lain, dalam Putusan 84/PUU-X/2012, relasi antara uraian
kerugian dengan pemenuhan syarat kerugian konstitusional tidaklah
tergambar jelas. Namun demikian, kedua Putusan sama-sama
menjadikan tindakan sebagai sumber terjadinya kerugian. Selain itu
sifat spesifik dan aktual kerugian sama-sama tergambar jelas dalam
kedua Putusan.
4. Periode Hamdan Zoelva
Nomor Putusan : 89/PUU-XI/2013
Kualifikasi Pemohon : WNI141
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: -
Uraian Kerugian Aktual
dalam Pertimbangan
: “Oleh karena himpitan ekonomi dan pengaruh
buruk dari Narkotika dimaksud maka Pemohon
menerima ajakan temannya yang bernama
Muhammad Yanamar Azzam untuk menjaga 15
(lima belas) karung yang berisikan 215 (dua ratus
lima belas) bungkus ganja dengan berat brutto [sic]
214.600 gram (ditimbang dengan lakban
pembungkus).”142
“…ancaman hukuman Pasal 111 ayat (2), Pasal
112 ayat (1), dan Pasal 114 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
sangatlah menciderai rasa keadilan Pemohon
karena seolah-olah Pemohon sebagai pemilik
narkotika tersebut, yang dapat dihukum dengan
141 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (am), Putusan No. 89/PUU-XI/2013, hlm.
1. 142 Ibid., hlm. 14.
89
sangat berat, padahal peranan Pemohon adalah
sangat kecil/sedikit.”143
“…Pasal 111 ayat (2), Pasal 112 ayat (1), dan
Pasal 114 ayat (2) UU Narkotika merugikan hak
konstitusional Pemohon karena menanggung dosa-
dosa orang lain, dalam hal ini pemilik narkotika
yang sampai saat ini tidak dapat tertangkap oleh
Pihak Kepolisian. Selain itu, pasal-pasal a quo juga
mengakibatkan Pemohon kehilangan keadilan dan
kepastian hukum atas diri Pemohon.”144
Tabel 3.23 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 89/PUU-XI/2013
Nomor Putusan : 120/PUU-XII/2014
Kualifikasi Pemohon : WNI145
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: -
Uraian Kerugian Aktual
dalam Pertimbangan
: ”Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya
telah dirugikan oleh norma Pasal 1 angka 2 dan
Pasal 7 ayat (1) UU 8/1981 karena keberadaan
kedua ketentuan tersebut mengakibatkan para
Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka tanpa
adanya bukti-bukti yang mendukung penetapan
para Pemohon sebagai tersangka.”146
Tabel 3.24 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 120/PUU-XII/2014
Uraian dalam kedua Tabel di atas menunjukkan bahwa Hamdan
Zoelva tidak tegas dalam menerapkan syarat kerugian konstitusional.
Uraian mengenai kerugian yang ada tidak diawali dengan penentuan
143 Ibid. 144 Ibid., hlm. 14-15. 145 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (an), Putusan No. 120/PUU-XII/2014, hlm.
1-2. 146 Ibid., hlm. 52.
90
hak konstitusional yang dirugikan—meski dalam Putusan No.
89/PUU-XI/2013 secara implisit bisa dikatakan bahwa hak
konstitusional yang menjadi dasar adalah hak atas keadilan dan
kepastian hukum. Selain itu, dalam Putusan No. 89/PUU-XI/2013, sifat
aktual dari kerugian yang disampaikan tidak jelas terlihat. Hal ini juga
menyebabkan munculnya pertanyaan mengenai apa yang menjadi
penyebab dari timbulnya kerugian: apakah undang-undang ataukah
tindakan.
Kendatipun demikian, dalam Putusan No. 120/PUU-XII/2014, sifat
aktual kerugian jelas terlihat. Dari kerugian ini terlihat pula bahwa
yang menjadi penyebab timbulnya kerugian adalah tindakan yang
dilakukan oleh pejabat yang melaksanakan ketentuan yang diujikan.
Dalam kedua Putusan, sifat spesifik dari kerugian terlihat.
5. Periode Arief Hidayat
Nomor Putusan : 111/PUU-XIV/2016
Kualifikasi Pemohon : WNI147
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak untuk mendapat kepastian hukum yang adil148
Uraian Kerugian Aktual
dalam Pertimbangan
: “Karena berlakunya Pasal 9 UU 20/2001 Pemohon
telah diadili dan dijatuhi pidana…padahal
Pemohon menganggap dirinya tidak terbukti
melakukan tindak pidana korupsi…”149
Tabel 3.25 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 111/PUU-XIV/2016
Nomor Putusan : 139/PUU-XIII/2015
Kualifikasi Pemohon : WNI150
147 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ao), Putusan No. 111/PUU-XIV/2016,
hlm. 1. 148 Ibid., hlm. 19. 149 Ibid. 150 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ap), Putusan No. 139/PUU-XIII/2015,
hlm. 1-2.
91
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945; hak untuk hidup
serta mempertahankan hidup dan kehidupannya
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28A ayat (1)
UUD NRI 1945; hak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
28C ayat (2) UUD NRI 1945; hak mendapatkan
perlindungan diri atas diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang di
bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak asasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28G
ayat (1) UUD NRI 1945; hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-
wenang oleh siapapun sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 28H ayat (4) UUD NRI 1945; serta hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut, hak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
28I UUD NRI 1945151
Uraian Kerugian Aktual
dalam Pertimbangan
: ”...para Pemohon...menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan...dengan berlakunya
pasal yang diuji...karena adanya SK
Menhut...membuka peluang kepada PT. Sari Hijau
Mutiara (SHM) untuk melaporkan
151 Ibid., hlm. 108-109.
92
masyarakat...dengan tuduhan Pasal yang
diuji...”152
Tabel 3.26 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 120/PUU-XII/2014
Berdasarkan kedua Tabel di atas, terlihat inkonsistensi Arief
Hidayat dalam menerapkan syarat kerugian konstitusional. Dalam
Putusan No. 111/PUU-XIV/2016, Arief Hidayat dengan jelas
menentukan mana hak konstitusional yang menjadi dasar adanya
kedudukan hukum. Sedangkan dalam Putusan No. 120/PUU-XII/2014,
Arief Hidayat hanya mengutip isi beberapa Pasal dalam UUD NRI
1945 tanpa menentukan mana hak konstitusional yang dirugikan. Jika
benar bahwa seluruh hak yang disebutkan dalam Pasal-Pasal UUD NRI
1945 tersebut dirugikan karena berlakunya ketentuan yang diuji,
seyogyanya ada uraian kerugian yang terjadi bagi masing-masing hak.
Tidaklah mungkin uraian tunggal bisa menggambarkan kerugian dari
sekian banyak hak konstitusional yang disebutkan.
Di sisi lain, kedua Putusan menggunakan pendekatan yang berbeda
dalam menentukan penyebab dari timbulnya kerugian. Pada Putusan
No. 111/PUU-XIV/2016, penyebab timbulnya kerugian adalah
dijatuhkannya putusan pemidanaan kepada Pemohon. Sedangkan pada
Putusan No. 120/PUU-XII/2014, keberadaan ketentuan yang diuji yang
dianggap sebagai penyebab timbulnya kerugian. Kendatipun demikian,
kerugian pada kedua Putusan adalah spesifik.
Mengacu pada uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa terdapat corak
ketidaktegasan dalam menerapkan syarat kerugian konstitusional pada
rezim kepemimpinan M. Mahfud M.D., M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva
dan Arief Hidayat. Mereka bahkan cenderung tidak memulai uraian
mengenai kedudukan hukum dari hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang dimiliki oleh pemohon.
152 Ibid., hlm. 106-107.
93
Ketua MKRI yang cenderung konsisten dalam menerapkan syarat
kerugian konstitusional adalah Jimly Asshiddiqie. Kekonsistenan ini
bahkan juga terjadi dalam menguraikan sifat kerugian dan penyebab
terjadinya kerugian. Hal mana tidak ditemukan pada Ketua MKRI yang
lain, kecuali sehubungan dengan sifat spesifik dari kerugian.
D. KONSEPTUALISASI KERUGIAN AKTUAL
Dua bagian terdahulu telah menguraikan bagaimana MKRI—dan tiap
Ketua MKRI—memandang kerugian aktual. Ada 2 elemen kunci untuk
bisa menentukan apakah kerugian yang dialami oleh pemohon adalah
kerugian aktual atau bukan, yaitu: (i) kerugian bersifat spesifik dan nyata;
dan (ii) kerugian bersumber dari undang-undang dan/atau tindakan.
Menurut hemat Tim Penulis, ada 2 permasalahan dari elemen yang ada saat
ini. Pertama, sehubungan dengan sifat kerugian yang spesifik, yang
kemudian diturunkan menjadi kerugian moril dan materiil. Tim Penulis
berpendapat bahwa kerugian materiil tidaklah bisa dikategorikan sebagai
kerugian konstitusional karena hal yang hendak dilindungi melalui
mekanisme pengujian undang-undang adalah hak dan/atau kewenangan
konstitusional saja. Kedua, sehubungan dengan undang-undang sebagai
sumber kerugian. Dengan menerima konstruksi ini, maka sebenarnya
pemisahan antara kerugian aktual dan potensial menjadi sangat kabur, dan
sukar untuk dibedakan.
Merujuk pada kedua permasalahan di atas, Tim Peneliti menawarkan
sebuah gagasan untuk memperbaiki penafsiran mengenai kerugian aktual.
Secara umum, konsep kerugian aktual akan tetap terbagi dalam 2 elemen,
yaitu: (i) kerugian bersifat spesifik dan aktual; dan (ii) kerugian terjadi
karena tindakan.
1. Sifat Spesifik dan Aktual dari Kerugian
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam melihat
kerugian yang dialami oleh pemohon, MKRI menerima kerugian
materiil dan kerugian moril sebagai bagian dari kerugian
94
konstitusional. Kerugian materiil adalah kerugian yang secara kasat
mata dapat dikuantifikasi, sedangkan kerugian moril adalah kerugian
terhadap hal-hal yang secara kasat mata tidak dapat dikuantifikasikan.
Menurut hemat Tim Peneliti, tidak seyogyanya kerugian materiil
menjadi bagian dari kerugian konstitusional, sebab seluruh kerugian
konstitusional adalah kerugian moril.
Contoh: uraian kerugian konstitusional pemohon dalam Putusan
MKRI No. 071/PUU-II/2004 dan No. 001-002/PUU-III/2005, di mana
pemohon menyampaikan bahwa kerugiannya terjadi akibat penolakan
permohonan pailit yang ia ajukan terhadap perusahaan asuransi.153
Dalam perspektif awam bisa dikatakan bahwa pemohon mengalami
kerugian materiil karena tidak jadi mendapatkan pembayaran. Namun,
jika ditelaah lebih hati-hati, hak yang kali pertama dirugikan adalah
hak untuk melakukan upaya hukum—yang muncul karena Indonesia
adalah negara hukum. Dirugikannya hak untuk melakukan upaya
hukum ini—yang jelas merupakan kerugian moril—yang kemudian
menyebabkan timbulnya kerugian materiil. Dengan kata lain, kerugian
materiil adalah turunan dari kerugian moril.
Berdasarkan uraian di atas, bukan berarti bahwa kerugian materiil
sama sekali tidak bisa dijadikan dasar untuk menyatakan adanya
kerugian konstitusional. Kerugian materiil pada dasarnya bisa
digunakan sebagai alat bantu untuk menentukan ada tidaknya kerugian
moril. Contohnya: jika terjadi perampasan benda yang dimiliki oleh
pemohon, maka kerugian materiil ini bisa menjadi dasar untuk
menyatakan bahwa hak atas perlindungan hak milik pemohon telah
dirugikan. Pernyataan bahwa terjadi perampasan terhadap benda milik
pemohon saja tidaklah cukup jika tidak ditambahkan dengan uraian
bahwa perampasan tersebut juga berarti terjadi kerugian terhadap hak
atas perlindungan hak milik. Dengan kata lain, kerugian materiil adalah
pendukung dari uraian mengenai kerugian moril.
153 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (y), Putusan No. 071/PUU-II/2004 dan
001-002/PUU-III/2005, hlm. 153.
95
2. Tindakan sebagai Sumber Kerugian
Faktor pembeda paling sederhana antara kerugian aktual dan
kerugian potensial adalah ada tidaknya tindakan yang dilakukan
sebagai wujud dari pelaksanaan undang-undang yang dimohonkan.
Contoh yang bisa diambil adalah batasan 1 kali untuk mengajukan
permohonan grasi, sebagaimana dipertimbangkan oleh MKRI dalam
Putusan No. 32/PUU-XIV/2016. Dalam perkara ini, Pemohon adalah
WNI yang sudah pernah mengajukan permohonan grasi 1 kali dan
ditolak.154 Ketentuan yang ada secara formil menghalanginya untuk
mengajukan permohonan grasi untuk kali kedua.155 Dalam
pertimbangannya, MKRI menyatakan:
“…telah terang bagi Mahkamah bahwa meskipun
Pemohon I tidak secara tegas menerangkan hak
konstitusionalnya yang dianggap dirugikan oleh
berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan
pengujian, Pemohon secara aktual telah mengalami
kerugian yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 2 ayat
(3) UU 5/2010 yaitu Pemohon I tidak dapat lagi
mengajukan permohonan grasi untuk kali kedua…”156
Dari kutipan di atas, MKRI berpendapat bahwa Pemohon “telah
mengalami kerugian”. Artinya, bentuk kerugian yang dialami oleh
Pemohon adalah kerugian aktual. Kerugian yang dialami oleh
Pemohon adalah ketidakbisaan untuk mengajukan permohonan grasi
untuk kali kedua. Dalam perspektif ini, hambatan formil yang
diciptakan oleh undang-undang dianggap secara langsung merugikan
hak Pemohon atas grasi.
154 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (aq), Putusan No. 32/PUU-XIV/2016, hlm.
4-5. 155 Ibid., hlm. 5. 156 Ibid., hlm. 48.
96
Jika perspektif MKRI di atas digunakan, pertanyaannya adalah:
lantas apa perbedaan antara kerugian aktual dengan kerugian
potensial? Jika Pemohon belum pernah mengalami penolakan karena
mengajukan permohonan grasi untuk kali kedua, sebenarnya Pemohon
masih berpotensi dirugikan, karena masih ada kemungkinan—meski
sangat kecil—bahwa permohonan grasi yang diajukan Pemohon untuk
kali kedua diperiksa. Memang tidak salah untuk mengatakan bahwa
jika Pemohon mengajukan permohonan grasi untuk kali keduanya,
niscaya penolakanlah yang akan ia dapatkan. Namun tetap saja,
penolakan itu belum terjadi.
Dengan kata lain, selama Pemohon belum pernah mengajukan
permohonan grasi untuk kali kedua dan mengalami penolakan atas
dasar ketentuan yang diuji, maka sebenarnya Pemohon belum
mengalami kerugian aktual. Jika Pemohon sudah mengajukan
permohonan grasi untuk kali kedua dan mendapatkan penolakan, pada
saat itulah Pemohon mengalami kerugian aktual.
Ada 3 pengecualian untuk elemen ini, yaitu: (i) dalam konteks
kewenangan konstitusional, kerugian bisa terjadi meski belum ada
pejabat/lembaga yang melaksanakan undang-undang yang diuji; (ii)
tindakan tidak diperlukan jika ada pertentangan nyata antara ketentuan
yang diuji dengan UUD NRI 1945; dan (iii) tidak semua bentuk
tindakan akan menghasilkan kerugian konstitusional. Pertama,
sehubungan dengan kewenangan konstitusional. Ketika undang-
undang diundangkan dan menyebabkan terjadinya pengurangan atau
perubahan kewenangan, maka bisa dikatakan kerugian sudah terjadi.
Contohnya: pemecahan wilayah. Ketika wilayah dibagi—katakan—
menjadi 2, maka daerah yang semula memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus keseluruhan wilayah menjadi terkurangi
kewenangannya untuk mengatur dan mengurus karena wilayahnya
hanya tersisa setengah saja. Contoh lain adalah pembentukan lembaga
baru yang mengambil sebagian kewenangan lembaga lama. Lembaga
lama demi hukum mengalami kerugian karena ada bagian dari
97
kewenangannya yang diambil darinya. Pertanyaan yang perlu dijawab
adalah apakah pengurangan atau perubahan kewenangan itu terkait
dengan kewenangan konstitusional yang dimilikinya. Jika ya, maka
kerugian terhadap kewenangan konstitusional terjadi. Sebaliknya, jika
tidak, maka kerugian terhadap kewenangan konstitusional tidak terjadi.
Kedua, sehubungan dengan pertentangan nyata antara ketentuan
yang diuji dengan UUD NRI 1945. Dalam hal ketentuan suatu undang-
undang secara nyata bertentangan dengan UUD NRI 1945, misalnya
adanya pengalokasian dana pendidikan di bawah 20%, maka tidak
perlu ada tindakan dari pejabat/lembaga untuk bisa menunjukkan
adanya kerugian aktual atas diri pemohon. Pertentangan nyata ini
secara langsung merugikan hak atas pendidikan pemohon.
Ketiga, sehubungan dengan jenis tindakan yang dilakukan. Penting
untuk diingat bahwa tiap ketentuan mengenai jenis kerugiannya
masing-masing. Contohnya, bentuk kerugian dari ketentuan mengenai
hukuman mati adalah dijatuhinya hukuman mati kepada seseorang.
Jika orang dimaksud baru disidik menggunakan ketentuan yang
memiliki ancaman hukuman mati, kerugian belum terjadi, meski
tindakan sudah dilakukan. Artinya, untuk bisa menyatakan bahwa
kerugian konstitusional telah terjadi, tindakan harus dilakukan oleh
pejabat/lembaga yang bisa menyebabkan berlakunya efek dari
ketentuan yang diuji.
99
BAB IV
KERUGIAN POTENSIAL
Bab ini akan menjelaskan mengenai kerugian potensial. Penjelasan
akan dimulai dengan ruang lingkup dan batasan dari kerugian potensial.
Dari situ, penjelasan akan dilanjutkan dengan melihat bagaimana MKRI
menafsirkan kerugian potensial. Selanjutnya, perbandingan dari tafsir
terhadap kerugian potensial dari tiap masa kepemimpinan Ketua MKRI
akan dilakukan. Bab ini akan ditutup dengan proposal yang ditawarkan
guna menyempurnakan kerugian potensial.
A. RUANG LINGKUP DAN BATASAN KERUGIAN POTENSIAL
Kerugian potensial merupakan salah satu bentuk dari kerugian
konstitusional yang kali pertama diperkenalkan oleh MKRI dalam Putusan
No. 002/PUU-II/2004. Di dalam Putusan ini, yang menjadi pemohon
adalah perorangan WNI yang merupakan calon anggota DPR dan
DPRD.157 Ketentuan yang utamanya dipermasalahkan adalah sistem
pemilihan umum yang ada pada saat itu, yaitu sistem proporsional dengan
daftar calon terbuka.158 Sehubungan dengan kedudukan hukum pemohon,
MKRI menyatakan:
“…walaupun Pemohon II dan Pemohon IV belum secara
nyata dirugikan dengan berlakunya UU Pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD, tetapi sebagai calon anggota DPR
dan DPRD mereka mempunyai kepentingan dan kemungkinan
dirugikan hak konstitusionalnya.”159
Dari uraian di atas, MKRI memberikan ruang kepada mereka yang belum
benar-benar mengalami kerugian konstitusional namun memiliki
157 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (o), Putusan No. 002/PUU-II/2004, hlm.
23.
158 Ibid, hlm. 5-8. 159 Ibid, hlm. 23-24.
100
kemungkinan akan mengalami kerugian tersebut untuk menjadi pemohon
pengujian undang-undang.
Pilihan diksi yang digunakan oleh MKRI berubah dalam Putusan No.
005/PUU-I/2003. Di dalam Putusan ini, yang menjadi Pemohon adalah
perkumpulan yang bergerak di bidang penyiaran.160 Ketentuan yang diuji
adalah kewenangan KPI untuk memberikan sanksi administratif kepada
penyelenggara penyiaran.161 Sehubungan dengan kedudukan hukum,
MKRI menyatakan bahwa kualifikasi yang dipenuhi oleh Pemohon adalah
kelompok WNI, dan bukan sebagai perkumpulan berbadan hukum.162
MKRI juga menyatakan bahwa:
“…kerugian hak konstitusional sebagai akibat berlakunya
suatu UU tidak perlu bersifat real/aktual sampai menunggu
jatuhnya korban UU, tetapi cukup bersifat potensial
berdasarkan ‘objective constitutional invalidity’ dan ‘broad
approach in fundamental rights litigation’”163
Merujuk pada paparan di atas, terlihat bahwa MKRI mengubah diksi
“kemungkinan” menjadi “potensial” dan menambahkan kriteria untuk
menilai apakah potensi kerugian tersebut bisa dikategorikan sebagai bagian
dari kerugian konstitusional. Kriteria tersebut adalah objective
constitutional invalidity dan broad approach in fundamental rights
litigation.
Kriteria untuk mengukur potensi kerugian ini dihilangkan dalam
Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 yang menguji konstitusionalitas
undang-undang ketenagalistrikan yang diajukan oleh kelompok WNI.164 Di
dalam Putusan ini, MKRI hanya menyampaikan bahwa: “Kerugian hak
160 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ar), Putusan No. 005/PUU-I/2003, hlm. 1-
2.
161 Ibid., hlm. 4-5.
162 Ibid., hlm. 75 & 77.
163 Ibid., hlm. 76.
164 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (as), Putusan No. 001-002-022/PUU-
I/2003, hlm. 326-327.
101
konstitusional tidak selalu harus bersifat aktual, tetapi bisa bersifat
potensial.”165
Putusan No. 006/PUU-III/2005 memberikan kriteria yang ajek untuk
menilai apakah potensi kerugian yang didalilkan oleh pemohon bisa
dikatakan sebagai kerugian konstitusional atau tidak. Dalam Putusan ini,
yang diuji adalah konstitusionalitas ketentuan yang mengharuskan
pencalonan kepala daerah melalui partai politik.166 Yang menjadi Pemohon
adalah WNI yang berniat untuk menjadi kepala daerah melalui jalur
perorangan.167 Sehubungan dengan kedudukan hukum, dikatakan:
“…bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena
berlakunya satu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1)
UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu masing-
masing:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap
oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang
yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan maka kerugian konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;”168
165 Ibid., hlm. 327.
166 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (at), Putusan No. 006/PUU-III/2005, hlm.
7.
167 Ibid., hlm. 3.
168 Ibid., hlm. 16.
102
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa kriteria yang ditetapkan oleh MKRI
untuk menilai potensi kerugian adalah “menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi”.
Kriteria mengenai potensi kerugian ini kembali dipertajam oleh MKRI
dalam Putusan No. 56/PUU-XIII/2015 dengan menyatakan:
“…pengertian potensi kerugian konstitusional yang dimaksud
oleh Mahkamah bukanlah kerugian yang sekadar ada secara
probabilitas, dengan nilai kemungkinan sangat kecil. Potensi
kerugian konstitusional yang dimaksud oleh Mahkamah
adalah kerugian yang selain ada secara probabilitas, juga
bernilai signifikan untuk dialami oleh para Pemohon.”169
Dari keseluruhan uraian tersebut, bisa dikatakan bahwa kerugian
potensial adalah kerugian yang belum benar-benar terjadi. Artinya, secara
nyata pemohon belum mengalami kerugian. Kerugian yang didalilkan
adalah suatu kemungkinan yang bisa dialami oleh pemohon. Kemungkinan
ini tidak bisa hanya berupa probabilitas yang tidak signifikan, melainkan
harus merupakan probabilitas yang signifikan.
B. KERUGIAN POTENSIAL DALAM PERSPEKTIF MKRI
Dari keseluruhan input data yang ada, sebanyak 257 input memberikan
kedudukan hukum atas dasar kerugian potensial—termasuk 80 input yang
pemohonnya mendapatkan lebih dari 1 bentuk kedudukan hukum. Dari
data yang ada, terlihat adanya tren peningkatan penggunaan kerugian
potensial sebagai dasar pemberian kedudukan hukum. Pengecualian dari
tren ini hanya terjadi pada era kepemimpinan M. Akil Mochtar. Gambaran
pemberian kedudukan hukum atas dasar kerugian potensial dari masa ke
masa kepemimpinan Ketua MKRI dapat dilihat dari grafik di bawah ini:
169 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (p), Putusan No. 56/PUU-XIII/2015, hlm.
36.
103
Grafik 4.1 Perbandingan penggunaan bentuk kerugian potensial dari masa ke masa
Berdasarkan penelaahan terhadap 257 input yang ada, dan dengan
memperhatikan uraian sebelumnya, terlihat bahwa MKRI jarang
memberikan uraian lebih lanjut mengenai kriteria potensi kerugian.
Sehingga, kriteria tersebut menjadi sulit untuk diterjemahkan menjadi lebih
konkret. Skema yang umumnya digunakan oleh MKRI—khususnya pasca-
kepemimpinan Jimly Asshiddiqie—ketika mempertimbangkan kedudukan
hukum pemohon adalah: (i) mengulang inti uraian kedudukan hukum
pemohon dan penyebutan syarat sembari menyebutkan pasal mana dalam
UUD NRI 1945 yang menjadi dasar hak konstitusional pemohon,
kemudian secara serta-merta menyatakan bahwa pemohon mengalami
kerugian secara potensial; (ii) mengulang inti uraian kedudukan hukum
pemohon dan kemudian menyatakan bahwa secara prima facie pemohon
memiliki kedudukan hukum; dan (iii) mengulang inti uraian kedudukan
hukum pemohon dan kemudian menyatakan bahwa pemohon memiliki
kedudukan hukum karena ada kerugian secara potensial.
Berikut akan diberikan pemaparan dari beberapa putusan yang diambil
secara acak guna bisa memvalidasi kesimpulan di atas. Pada uraian tiap
104
putusan, akan diberikan analisis singkat mengenai pemenuhan 5 syarat
kerugian konstitusional sebagaimana diperkenalkan oleh MKRI, yang
dilihat dari perspektif kerugian potensial. Syarat ketiga kerugian
konstitusional, yaitu mengenai sifat kerugian, akan dibagi menjadi 2
menjadi: (i) sifat spesifik kerugian; dan (ii) sifat potensial kerugian yang
menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi.
1. Putusan No. 002/PUU-II/2004
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya:
a. Pasal 107 ayat (2) huruf b (penetapan calon terpilih berdasarkan
urutan dalam daftar);
b. Pasal 93 ayat (1) (syarat keabsahan suara untuk pemilihan);
c. Pasal 46 ayat (1) (mengatur pembagian daerah pemilihan);
d. Pasal 46 ayat (2) (batasan penentuan alokasi kursi pada setiap
daerah pemilihan);
e. Pasal 106 huruf b (formula perhitungan tahap pertama ketika suara
sah lebih kecil dari bilangan pembagi pemilih);
f. Pasal 106 huruf c (formula perhitungan tahap kedua);
g. Pasal 1 angka 7 (mendefinisikan penduduk); dan
h. Pasal 1 angka 8 (mendefinisikan pemilih).170
Di dalam Putusan ini, MKRI tidak membantah dalil Pemohon
bahwa hak konstitusional Pemohon adalah hak yang tercantum dalam
Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat
(2), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 29I ayat (2) UUD NRI 1945.171
Permasalahannya, MKRI tidak memberikan uraian sedikit pun
170 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (o), Putusan No. 002/PUU-II/2004, hlm.
22. 171 Ibid., hlm. 22-23.
105
mengenai hak konstitusional apa saja yang termuat dalam Pasal-Pasal
tersebut.
Uraian mengenai apa yang menjadi hak konstitusional penting
untuk 2 alasan pokok. Pertama, mengacu pada definisi dari hak
konstitusional, yaitu hak-hak yang diatur dalam UUD NRI 1945172,
maka bisa dikatakan bahwa hak konstitusional adalah hak-hak spesifik
yang terkandung dari pasal-pasal yang ada dalam UUD NRI 1945.
Dengan demikian, hak konstitusional perlu untuk dispesifikasi.
Tidaklah cukup untuk sekadar menyatakan bahwa pemohon memiliki
hak yang terkandung dalam pasal tertentu. Yang harus dilakukan
adalah menyebutkan apa hak yang ada dalam pasal tersebut. Kedua,
uraian mengenai apa yang menjadi hak konstitusional dari tiap
ketentuan dalam UUD NRI 1945 akan memperjelas hak apa saja yang
bisa diturunkan dari UUD NRI 1945. Dengan demikian, di kemudian
hari , bank terhadap hak konstitusional akan terbentuk.
Dengan memperhatikan struktur syarat kerugian konstitusional,
yang menjadi dasar dari ada atau tidaknya kerugian konstitusional
adalah ada atau tidaknya hak dan/atau kewenangan konstitusional.
Tanpa adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional, maka kerugian
konstitusional tidak akan terjadi. Dengan mencermati uraian di atas
bahwa Pemohon dan MKRI tidak menguraikan apa yang menjadi hak
konstitusional Pemohon, aman untuk disimpulkan bahwa syarat-syarat
lain dari kerugian konstitusional tidaklah terpenuhi pula. Namun, demi
mendapatkan tafsir utuh mengenai syarat kerugian konstitusional,
maka analisis terhadap syarat lainnya tetap akan dilakukan.
Selanjutnya, MKRI mempertimbangkan identitas Pemohon
berdasarkan hubungannya terkait dengan undang-undang yang
diujikan, dengan mengatakan: “...Pemohon II...merupakan calon
anggota DPR RI...dan Pemohon IV...merupakan calon anggota
172 Indonesia (f), Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Penjelasan Pasal 51
ayat (1).
106
DPRD...”173 MKRI kemudian menyebutkan beberapa ketentuan yang
dianggap merugikan dan menyimpulkan bahwa:
“...Pemohon II dan Pemohon IV belum secara nyata
dirugikan berlakunya UU Pemilu...sebagai calon anggota
DPR dan DPRD mereka mempunyai kepentingan dan
kemungkinan dirugikan hak konstitusionalnya.”174
Dengan memperhatikan kutipan di atas serta uraian lain dalam
pertimbangan, tampak bahwa MKRI tidak menjelaskan bentuk
kerugian yang secara potensial dialami oleh Pemohon; tidak
menjelaskan pula tingkat kemungkinan terjadinya kerugian bagi
pemohon; tidak menjelaskan hubungan antara ketentuan yang diuji
dengan potensi kerugian Pemohon; dan tidak menjelaskan dampak jika
permohonan dikabulkan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian di
masa mendatang.175
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.1 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
173 Ibid., hlm. 23. 174 Ibid., hlm. 23-24. 175 Ibid., hlm. 22-24
107
Putusan No. 002/PUU-II/2004
2. Putusan No. 005/PUU-I/2003
Undang-Undang yang diuji adalah UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, khususnya:
a. Pasal 7 ayat (2) (kewenangan KPI untuk mengatur perihal
penyiaran);
b. Pasal 10 ayat (1) huruf g (syarat tidak adanya kaitan dengan
kepemilikan media masa untuk menjadi anggota KPI);
c. Pasal 14 ayat (1) (status hukum Lembaga Penyiaran Publik);
d. Pasal 15 ayat (1) huruf c (sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran
Publik yang berasal dari sumbangan masyarakat);
e. Pasal 15 ayat (1) huruf d (sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran
Publik yang berasal dari siaran iklan);
f. Pasal 16 ayat (1) (status hukum Lembaga Penyiaran Swasta);
g. Pasal 18 ayat (1) (pembatasan kepemilikan Lembaga Penyiaran
Swasta dalam wilayah siaran tertentu);
h. Pasal 19 huruf a (sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Swasta
dari usaha terkait penyelenggaraan penyiaran);
i. Pasal 20 (batasan bagi Lembaga Penyiaran Swasta untuk bergerak
di bidang penyiaran radio dan televisi);
j. Pasal 21 ayat (1) (status hukum Lembaga Penyiaran Komunitas);
k. Pasal 22 ayat (2) (sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran
Komunitas dari sumbangan);
l. Pasal 26 ayat (2) huruf a (kewajiban melakukan sensor bagi
Lembaga Penyiaran Berlangganan);
m. Pasal 27 ayat (1) huruf a (syarat bagi Lembaga Penyiaran
Berlangganan untuk memiliki jangkauan siaran tertentu);
108
n. Pasal 31 ayat (2) (hak bagi Lembaga Penyiaran Publik untuk
menyelenggarakan siaran yang menjangkau seluruh wilayah
Indonesia);
o. Pasal 31 ayat (3) (hak bagi Lembaga Penyiaran Swasta untuk
menyelenggarakan siaran pada wilayah terbatas);
p. Pasal 31 ayat (4) (delegasi kewenangan untuk membuat aturan
mengenai sistem stasiun jaringan);
q. Pasal 32 ayat (2) (delegasi kewenangan untuk membuat aturan
mengenai rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis
perangkat penyiaran);
r. Pasal 33 ayat (3) (dasar materiil pemberian izin penyelenggaraan
penyiaran);
s. Pasal 33 ayat (8) (delegasi kewenangan untuk membuat aturan
mengenai tata cara dan syarat perizinan penyelenggaraan
penyiaran);
t. Pasal 34 ayat (5) huruf a (alasan pencabutan izin karena tidak lulus
masa uji coba penyiaran);
u. Pasal 34 ayat (5) huruf e (alasan pencabutan izin karena melanggar
rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat
penyiaran);
v. Pasal 34 ayat (5) huruf f (alasan pencabutan izin karena melanggar
standar program siaran);
w. Pasal 36 ayat (2) (kewajiban untuk menyiarkan minimal 60% mata
acara dari dalam negeri bagi jasa penyiaran televisi);
x. Pasal 44 ayat (1) (kewajiban melakukan ralat terhadap kesalahan
bagi lembaga penyiaran);
y. Pasal 47 (kewajiban untuk memperoleh tanda lulus sensor bagi isi
siaran);
z. Pasal 55 ayat (1) (adanya sanksi administratif bagi pelanggaran
ketentuan tertentu);
109
aa. Pasal 55 ayat (2) (jenis sanksi administratif);
bb. Pasal 55 ayat (3) (delegasi kewenangan untuk membuat aturan
mengenai pemberian sanksi administratif);
cc. Pasal 60 ayat (3) (peralihan yang mengatakan bahwa aturan
pelaksana tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan aturan
baru);
dd. Pasal 62 ayat (1) (delegasi kewenangan diformalkan dalam bentuk
peraturan pemerintah); dan
ee. Pasal 62 ayat (2) (batasan waktu untuk menetapkan aturan yang
berdasar dari delegasi kewenangan).176
Sedangkan landasan hak konstitusional yang dianggap dirugikan
adalah hak yang diatur dalam Pasal 28F UUD NRI 1945, yang mana
keseluruhan ketentuan kemudian dikutip, sehingga tidak ada kejelasan
mengenai hak konstitusional mana yang secara spesifik dirugikan.177
Tidak ada uraian mengenai bentuk kerugian yang akan dialami
oleh Pemohon dan bagaimana Pemohon akan dirugikan. Oleh
karenanya, tidak ada pula uraian mengenai hubungan antara kerugian
dengan sumber kerugian dan tidak mungkin pula ada uraian mengenai
kondisi pasca-dikabulkannya permohonan terhadap kerugian. Yang ada
dalam Putusan ini hanyalah pernyataan berikut:
“Bahwa kerugian hak konstitusional sebagai akibat
berlakunya suatu UU tidak perlu bersifat real/aktual
sampai menunggu jatuhnya korban UU, tetapi cukup
bersifat potensial berdasarkan ‘objective constitutional
invalidity’ dan ‘broad approach in fundamental rights
litigation’”178
176 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (as), Putusan No. 005/PUU-I/2003, hlm.
11. 177 Ibid., hlm. 75-76. 178 Ibid., hlm. 76.
110
Uraian ini, selain tidak memberikan penjelasan apa-apa mengenai
apakah Pemohon memiliki kerugian konstitusional secara potensial
atau tidak, juga tidak menjelaskan yang dimaksud dengan objective
constitutional invalidity dan broad approach in fundamental rights
litigation serta cara menerapkannya. Uraian di atas, alih-alih menjawab
pertanyaan mengenai apakah Pemohon mengalami kerugian
konstitusional atau tidak, malah memunculkan pelbagai pertanyaan
baru. Merujuk pada paparan di atas, pemenuhan terhadap syarat
kerugian konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.2 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 005/PUU-I/2003
3. Putusan No. 020/PUU-IV/2006
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, khususnya:
a. Bagian Konsiderans;
b. Pasal 1 angka 1 (definisi kebenaran);
c. Pasal 1 angka 2 (definisi rekonsiliasi); dan
d. Pasal 1 angka 5 (definisi korban).179
179 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (au), Putusan No. 020/PUU-IV/2006, hlm.
16.
111
Di sini, MKRI tidak membantah bahwa pasal yang menjadi dasar dari
hak konstitusional pemohon adalah Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat
(1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 29 ayat (1).180 Di sini, MKRI tidak
memberikan penjelasan mengenai hak konstitusional apa saja yang
termuat dalam Pasal-Pasal tersebut.181
Selanjutnya, MKRI mengutip dalil kerugian konstitusional
Pemohon berupa kekhawatiran bangkitnya komunisme/Marxisme-
Leninisme akibat berlakunya undang-undang yang diuji.182 MKRI
lantas melakukan penilaian dan menyampaikan:
“...tidak menutup kemungkinan para Pemohon adalah
korban atau malah justru dapat pula disangka sebagai
pelakunya. Dengan demikian para Pemohon secara
potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan mengalami kerugian hak konstitusional...”183
Berdasarkan uraian ini, jelas bahwa MKRI mengabaikan dalil
kerugian Pemohon dan menciptakan dalil kerugian baru untuk
Pemohon. Selain itu, meski MKRI mengatakan bahwa secara potensial
(menurut penalaran yang wajar) Pemohon bisa mengalami kerugian
dengan disangka sebagai pelaku, namun MKRI tidak memberikan
uraian mengenai seberapa jauh jarak kemungkinan terjadinya kondisi
tersebut. Hal ini menjadi penting karena bahkan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi sendiri belum mulai melaksanakan tugasnya untuk
menguak perkara pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu; belum
mulai pula mencari informasi; tentunya belum melakukan identifikasi
terhadap pihak yang terkait; dan belum pula melakukan
pengelompokan derajat keterlibatan dari pihak yang terkait. Artinya,
ada jarak yang cukup jauh antara kondisi yang ada dengan kondisi
yang dikhawatirkan terjadi. Pada akhirnya, tentu muncul pertanyaan
180 Ibid., hlm. 54. 181 Ibid., h. 53-55.
182 Ibid. h. 54. 183 Ibid., h. 54-55.
112
mengenai: apakah kondisi yang demikian ini sesuai dengan penalaran
yang wajar?
Di sisi lain, MKRI tidak membahas mengenai dampak jika
permohonan dikabulkan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian di
masa mendatang. Berdasarkan gambaran di atas, pemenuhan terhadap
syarat kerugian konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.3 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 020/PUU-IV/2006
4. Putusan No. 12/PUU-V/2007
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, khususnya:
a. Pasal 3 ayat (1) (asas monogami perkawinan);
b. Pasal 3 ayat (2) (kewenangan bagi pengadilan untuk memberi izin
poligami);
c. Pasal 4 ayat (1) (kewajiban untuk mengajukan permohonan bagi
suami yang hendak poligami);
d. Pasal 4 ayat (2) (dasar materiil bagi pengadilan untuk memberi izin
poligami);
e. Pasal 5 ayat (1) (syarat bagi suami yang hendak poligami);
113
f. Pasal 9 (larangan untuk kawin bagi mereka yang masih terikat
perkawinan);
g. Pasal 15 (hak untuk melakukan pencegahan perkawinan atas dasar
masih terikat ikatan perkawinan); dan
h. Pasal 24 (hak untuk melakukan pembatalan perkawinan atas dasar
masih terikat ikatan perkawinan).184
Hak konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan adalah hak
yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I
ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2)
UUD NRI 1945.185
Selanjutnya, MKRI menguraikan bahwa Pemohon telah
mengajukan permohonan untuk poligami namun “…tidak bisa
diproses lebih lanjut” karena tidak memenuhi syarat.”186 Dari situ,
MKRI beranjak pada dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pemohon
merasa hak konstitusionalnya secara potensial dirugikan, dan
kemudian menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum.187
Tidak ada penjelasan mengenai hubungan kausal antara kerugian dan
ketentuan yang diuji dan tidak ada penjelasan mengenai akibat ketika
permohonan dikabulkan terhadap potensi kerugian di masa mendatang.
Dari sini, pemenuhan terhadap syarat kerugian konstitusional adalah
sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
184 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (av), Putusan No. 12/PUU-V/2007, hlm.
85. 185 Ibid. 186 Ibid., hlm. 85-86. 187 Ibid., hlm. 86.
114
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.4 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 12/PUU-V/2007
5. Putusan No. 19/PUU-VI/2008
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006,
khususnya Pasal 49 ayat (1) dan Penjelasannya (daftar kompetensi
absolut pengadilan agama).188 Hak konstitusional yang menjadi dasar
kerugian konstitusional adalah hak yang ada dalam Pasal 28E ayat (1),
Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945. 189 MKRI
mengutip isi dari seluruh Pasal tersebut dan menyatakan bahwa hak
konstitusional yang dirugikan adalah kebebasan untuk beragama dan
beribadat menurut ajaran agama.190
Selanjutnya MKRI menyatakan bahwa “...secara prima facie
Pemohon telah memenuhi syarat kerugian konstitusional...”191 Alasan
yang dikemukakan oleh MKRI untuk mendukung pernyataan tersebut
adalah pengulangan terhadap 5 syarat kerugian konstitusional. Padahal
ada beberapa pertanyaan yang seharusnya dijawab terlebih dahulu
sebelum bisa sampai pada kesimpulan ini, misalnya apakah hak untuk
diadili berdasarkan hukum agamanya adalah bagian dari hak
konstitusional? Jika ya, maka Pasal mana dalam UUD NRI 1945 yang
menjadi sumbernya? Jika bahkan pertanyaan ini tidak bisa dijawab,
188 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (aw), Putusan No. 19/PUU-VI/2008, hlm.
2. 189 Ibid., hlm. 20. 190 Ibid. 191 Ibid., hlm. 21.
115
seyogyanya pembahasan mengenai syarat selanjutnya tidak perlu
dilanjutkan.
Dalam salah satu pembahasan syarat kerugian konstitusional,
MKRI menyatakan: “...kerugian konstitusional dimaksud meskipun
tidak secara spesifik dan aktual tetapi setidak-tidaknya secara
potensial akan terjadi;”192 Hal mana menunjukkan bahwa unsur
“spesifik” seolah tidak harus dibuktikan jika kerugian yang didalilkan
adalah kerugian potensial. Tidak ada penjelasan mengenai hubungan
kausal antara kerugian dan ketentuan yang diuji dan tidak ada
penjelasan mengenai akibat ketika permohonan dikabulkan terhadap
potensi kerugian di masa mendatang. Berdasarkan uraian ini,
pemenuhan terhadap syarat kerugian konstitusional adalah sebagai
berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.5 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 19/PUU-VI/2008
6. Putusan No. 53/PUU-VIII/2010
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasannya
(pemberhentian sementara kepala daerah karena didakwa melakukan
192 Ibid.
116
tindak pidana tertentu).193 Sedangkan hak konstitusional yang menjadi
dasar kerugian adalah hak yang ada dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945, yang kemudian
disebutkan secara singkat isinya oleh MKRI.194
Pemohon, yang merupakan seorang bupati dan ditetapkan menjadi
tersangka195, menganggap bahwa ketentuan yang diujikan merupakan
penghukuman tanpa proses peradilan.196 MKRI kemudian menyatakan:
“...kerugian hak konstitusional Pemohon tersebut bersifat spesifik dan
potensial...” 197 dan “...Pemohon prima facie mempunyai kedudukan
hukum...”198 Tidak ada penjelasan mengenai hubungan kausal antara
kerugian dan ketentuan yang diuji dan tidak ada penjelasan mengenai
akibat ketika permohonan dikabulkan terhadap potensi kerugian di
masa mendatang. Merujuk pada uraian ini, pemenuhan terhadap syarat
kerugian konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.6 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 53/PUU-VIII/2010
193 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ax), Putusan No. 53/PUU-VIII/2010, hlm.
13. 194 Ibid. 195 Ibid., hlm. 3-4. 196 Ibid., hlm. 40-41. 197 Ibid., hlm. 40. 198 Ibid.
117
7. Putusan No. 72/PUU-VIII/2010
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, khususnya Pasal 38 ayat (3) (izin pinjam pakai sebagai
dasar penggunaan kawasan hutan) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g
(larangan untuk melakukan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa izin).199 Hak
konstitusional yang dianggap dirugikan adalah hak yang ada dalam
Pasal 18 dan Pasal 18A UUD NRI 1945, khususnya hak untuk
mengurus daerahnya berdasarkan asas otonomi.200
Kerugian yang didalilkan Pemohon, dalam kapasitasnya sebagai
kepala daerah201, adalah munculnya hambatan investasi di bidang
pertambangan yang bisa berpengaruh pada pendapatan daerah.202
MKRI kemudian menyampaikan bahwa perizinan adalah pintu bagi
investasi pengelolaan sumber daya sehingga secara prima facie
terdapat potensi kerugian konstitusional.203 Dari situ MKRI kemudian
menguraikan adanya hubungan sebab akibat dengan menyatakan:
“...dengan memperhatikan akibat yang dialami oleh Pemohon
dikaitkan dengan hak konstitusional Pemohon, menurut Mahkamah,
terdapat hubungan sebab akibat...”204 Hal mana sebenarnya tidak bisa
menjelaskan hubungan sebab akibat yang dimaksud. MKRI tidak
menguraikan mengenai akibat ketika permohonan dikabulkan terhadap
potensi kerugian di masa mendatang. Oleh sebab itu, pemenuhan
terhadap syarat kerugian konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
199 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ay), Putusan No. 72/PUU-VIII/2010, hlm.
22. 200 Ibid., hlm. 67. 201 Ibid., hlm. 1. 202 Ibid., hlm. 67. 203 Ibid., hlm. 68. 204 Ibid.
118
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.7 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 72/PUU-VIII/2010
8. Putusan No. 75/PUU-IX/2011
Undang-undang yang diujikan adalah UU No. 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, khususnya
Lampiran D tentang Sarana Prasarana yang Memadai dan Maju, angka
31 halaman 55 dan 56 untuk frasa “penerapan konsep teknologi netral
yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri dengan tetap
menjaga keutuhan sistem yang telah ada”.205 Hak konstitusional yang
dianggap mengalami kerugian adalah hak yang dijamin dalam Pasal
18A ayat (2), Pasal 18B ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 33 ayat (1),
Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.206
Argumen Pemohon dalam menunjukkan kerugian
konstitusionalnya adalah: (i) ketentuan yang diujikan tidak
didefinisikan dan dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam
undang-undang lain; (ii) ada perbedaan penafsiran mengenai ketentuan
yang diujikan antara masyarakat dan pemerintah; (iii) ketidakpastian
akan berpotensi pada adanya kerugian negara di dalam PNBP.207
Terhadap argumen ini, MKRI menyatakan bahwa: “...Pemohon prima
205 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (az), Putusan No. 75/PUU-IX/2011, hlm. 7-
8. 206 Ibid., hlm. 11-12. 207 Ibid., hlm. 12.
119
facie mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo.”208
Tidak ada penjelasan mengenai hubungan kausal antara kerugian
dan ketentuan yang diuji dan tidak ada penjelasan mengenai akibat
ketika permohonan dikabulkan terhadap potensi kerugian di masa
mendatang. Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.8 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 75/PUU-IX/2011
9. Putusan No. 84/PUU-IX/2011
Undang-undang yang diujikan adalah UU No. 5 Tahun 2011
tentang Akuntan Publik, khususnya Pasal 55 (ketentuan pidana bagi
akuntan publik yang melakukan manipulasi data) dan Pasal 56
(ketentuan pidana bagi pihak yang membantu manipulasi data).209
Sedangkan hak konstitusional yang dianggap dirugikan adalah hak
yang diatur dalam 28C ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 28D ayat (1)
208 Ibid. 209 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ba), Putusan No. 84/PUU-IX/2011, hlm.
33.
120
dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945,210 yang mana hak spesifik dari
tiap Pasal kemudian disebutkan dalam uraian selanjutnya211.
Alasan yang dikemukakan oleh Pemohon, sebagai akuntan
publik212, guna menunjukkan adanya kerugian konstitusional adalah:
(i) ketidakjelasan istilah manipulasi sehingga mengakibatkan
ketidakpastian hukum213; (ii) ketidakjelasan istilah manipulasi
membuat rasa tidak aman bagi pemohon untuk menjalankan
profesinya214; dan (iii) ketentuan pidana ini membatasi ruang untuk
mendapat manfaat dari ilmu pengetahuan di bidang akuntansi dan
audit215.
MKRI, dalam pertimbangannya mengenai kedudukan hukum,
tidak membantah dalil-dalil Pemohon tersebut dan kemudian sekadar
mengulang penyebutan seluruh syarat kerugian konstitusional216,
termasuk mengulang mentah-mentah syarat ketiga (sifat kerugian yang
spesifik dan aktual atau potensial) sehingga muncul ketidakjelasan
apakah kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon adalah
kerugian aktual ataukah kerugian potensial. Merujuk pada seluruh
uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian konstitusional
adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
210 Ibid., hlm. 178. 211 Ibid., hlm. 179-181. 212 Ibid., hlm. 1. 213 Ibid., hlm. 179. 214 Ibid., hlm. 180. 215 Ibid., hlm. 180-181. 216 Ibid., hlm. 181.
121
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.9 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 84/PUU-IX/2011
10. Putusan No. 112/PUU-X/2012
Undang-undang yang diujikan adalah UU No. 3 Tahun 2003
tentang Pembentukan Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma dan
Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu, khususnya:
a. Pasal 4 huruf d (wilayah bagi Kabupaten Seluma yang diambil dari
Kabupaten Bengkulu Selatan),
b. Pasal 4 huruf e (wilayah bagi Kabupaten Seluma yang diambil dari
Kabupaten Bengkulu Selatan),
c. Pasal 5 huruf g (wilayah bagi Kabupaten Kaur yang diambil dari
Kabupaten Bengkulu Selatan),
d. Pasal 7 ayat (2) (batas wilayah Kabupaten Seluma),
e. Pasal 7 ayat (3) (batas wilayah Kabupaten Kaur) dan Penjelasan
Umum Alinea Ketiga.217
Dalam pertimbangan mengenai kedudukan hukum, MKRI sama sekali
tidak menyebutkan dasar hak konstitusional Pemohon, termasuk ketika
menyarikan argumen Pemohon.
Pemohon—pemerintah daerah218—menyampaikan bahwa kerugian
yang dialaminya adalah adanya polemik sebagai akibat tidak adanya
kepastian mengenai tapal batas dan luas wilayah dan karena penentuan
batas wilayah daerah pemekaran tidak pernah dibahas dalam rapat
paripurna.219 Di sini, MKRI bahkan tidak mengulang kelima syarat
kerugian konstitusional dalam menjelaskan terpenuhinya syarat
kerugian konstitusional bagi Pemohon dan menyimpulkan bahwa
217 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bb), Putusan No. 112/PUU-X/2012, hlm.
32-33. 218 Ibid., hlm. 1. 219 Ibid., hlm. 74-75.
122
Pemohon secara potensial dirugikan oleh berlakunya ketentuan yang
diuji.220 Mengacu pada kondisi ini, pemenuhan terhadap syarat
kerugian konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.10 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 112/PUU-X/2012
11. Putusan No. 59/PUU-XI/2013
Undang-undang yang diujikan adalah UU No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya
Pasal 51 ayat (1) huruf k (syarat bakal calon anggota legislatif:
kewajiban pengunduran diri yang tidak bisa ditarik lagi bagi pejabat di
badan yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, namun
tidak termasuk menteri).221 Yang dimohonkan oleh Pemohon adalah
agar menteri juga termasuk ke dalam kualifikasi pejabat yang harus
mengundurkan diri jika hendak menjadi bakal calon anggota
legislatif.222 Di dalam Putusan ini, tidak ada uraian mengenai hak
konstitusional apa yang dirugikan oleh Pemohon.
220 Ibid., hlm. 75. 221 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bc), Putusan No. 59/PUU-XI/2013, hlm.
21-22. 222 Ibid.
123
Yang dijelaskan oleh MKRI dalam pertimbangannya adalah
potensi kerugian Pemohon, yaitu tidak optimalnya kinerja menteri
yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan ada potensi
penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pencalonan.
Selanjutnya, MKRI mengulang isi syarat kerugian konstitusional dan
menyatakan bahwa Pemohon mengalami kerugian potensial sebagai
akibat dari berlakunya ketentuan yang diuji.223 Berdasarkan pada
uraian ini, pemenuhan terhadap syarat kerugian konstitusional adalah
sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.11 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 59/PUU-XI/2013
12. Putusan No. 46/PUU-XII/2014
Undang-undang yang diujikan adalah UU No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya Penjelasan
Pasal 124 (besaran maksimal tarif retribusi pengendalian menara
telekomunikasi).224 Pemohon mendalilkan—yang mana diterima oleh
MKRI—bahwa telah ada ketidakpastian hukum yang menghambat
menara telekomunikasi untuk melaksanakan prinsip kepentingan
223 Ibid., hlm. 26. 224 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bd), Putusan No. 46/PUU-XII/2014, hlm.
58.
124
umum dalam menyediakan sarana telekomunikasi sehingga merugikan
hak atas komunikasi yang dijamin dalam Pasal 28F UUD NRI 1945.225
MKRI selanjutnya menyatakan bahwa:
“...mendasarkan pada...dalil Pemohon yang merasa
dirugikan akibat ketidakpastian hukum dalam penentuan
tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang
ditimbulkan oleh Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009,
menurut Mahkamah, prima facie Pemohon mempunyai
hak konstitusional karena dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yang dimohon pengujian.”226
Dari pernyataan ini MKRI beranjak pada pengulangan kelima
syarat kerugian konstitusional dan menyimpulkan bahwa Pemohon
memiliki kedudukan hukum.227 Yang perlu mendapatkan perhatian dari
kutipan di atas adalah adanya urutan kejadian yang tidak tepat.
Dikatakan bahwa “…Pemohon mempunyai hak konstitusional karena
dirugikan…” Hal ini menunjukkan bahwa Pemohon mendapatkan hak
konstitusional justru karena mengalami kerugian karena berlakunya
undang-undang. Artinya, dasar dari hak konstitusional seolah-olah
adalah kerugian—hal mana jelas bertentangan dengan definisi hak
konstitusional dan konstruksi syarat kerugian konstitusional. Terlepas
dari kondisi tersebut, berikut adalah tabel pemenuhan terhadap syarat
kerugian konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
225 Ibid., hlm. 58. 226 Ibid. 227 Ibid.
125
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.12 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 46/PUU-XII/2014
13. Putusan No. 71/PUU-XIII/2015
Undang-undang yang diujikan adalah UU No. 8 Tahun 2015
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi
Undang-Undang, khususnya Pasal 7 huruf s (syarat untuk menjadi
calon kepala daerah: wajib memberitahukan kepada pimpinan lembaga
dalam hal bakal calon adalah anggota DPR, DPD atau DPRD).228
Tidak pernah ada uraian mengenai hak konstitusional Pemohon sebab
di dalam pertimbangan mengenai kedudukan hukum hanya dikatakan
bahwa: “...para Pemohon adalah perseorangan warga negara
Indonesia yang mempunyai hak yang dijamin oleh UUD 1945, sebagai
pemilih...”229
Selanjutnya, MKRI menyarikan argumen Pemohon sehubungan
dengan kedudukan hukum, yaitu:
“Bahwa pemberlakuan Pasal 7 huruf s tersebut telah
mengakibatkan kerugian spesifik dan aktual atau setidak-
tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
akan ditanggung oleh Pemohon karena sebagai rakyat
pemegang kedaulatan yang telah memilih anggota DPR,
DPD dan/atau DPRD tersebut sama sekali tidak memiliki
kewenangan yang menentukan ketika seorang anggota
228 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (be), Putusan No. 71/PUU-XIII/2015, hlm.
22. 229 Ibid., hlm. 26.
126
DPR. DPD dan/atau DPRD yang telah dipilih oleh
Pemohon tersebut bermaksud untuk mencalonkan diri
sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota;”230
Dari uraian di atas, ada 3 hal yang bisa disimpulkan: (i) tidak ada
penjelasan mengenai hak konstitusional apa yang dirugikan; (ii) tidak
ada kejelasan bagaimana kerugian terjadi; dan (iii) tidak ada kejelasan
mengenai apakah kerugian sudah terjadi atau potensial terjadi.
MKRI tidak membantah dalil Pemohon mengenai kedudukan
hukum dan menyimpulkan: “...para Pemohon memiliki hak
konstitusional dan hak konstitusional tersebut prima facie dapat
dirugikan dengan berlakunya Pasal 7 huruf s...”231 Kondisi ini menjadi
cukup rancu karena MKRI tidak pernah menjelaskan mengapa
kerugian aktual yang didalilkan Pemohon tidak terjadi dan kenapa
menurut MKRI pemohon “dapat” mengalami kerugian.
Selain itu, tidak ada penjelasan mengenai hubungan kausal antara
kerugian dan ketentuan yang diuji dan tidak ada penjelasan mengenai
akibat ketika permohonan dikabulkan terhadap potensi kerugian di
masa mendatang. Berdasarkan uraian di atas, pemenuhan terhadap
syarat kerugian konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang ✓
230 Ibid. 231 Ibid., hlm. 27.
127
diuji
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.13 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 71/PUU-XIII/2015
14. Putusan No. 55/PUU-XIV/2016
Undang-undang yang diujikan adalah UU No. 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
menjadi Undang-Undang, khususnya Pasal 7 ayat (2) huruf p (syarat
pencalonan kepala daerah: kewajiban untuk mundur dari jabatan
kepala daerah jika mencalonkan diri di daerah lain) dan Pasal 70 ayat
(3) (syarat bagi kepala daerah petahana untuk tidak menggunakan
fasilitas jabatan, menjalani cuti di luar tanggungan dan pengaturan
jadwal cuti yang memperhatikan tugas penyelenggaraan pemerintahan
daerah).232 Tidak ditemukan adanya uraian mengenai hak
konstitusional yang dirugikan dalam pertimbangan mengenai
kedudukan hukum.
Dalil yang dibawakan oleh Pemohon, dan disimpulkan oleh MKRI,
adalah: petahana yang hendak mencalonkan diri di daerah yang sama
tidak wajib untuk mengundurkan diri padahal petahana yang hendak
mencalonkan diri di daerah lain wajib mengundurkan diri.233
Selanjutnya, MKRI menyatakan bahwa Pemohon mengalami kerugian
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi, ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan peraturan yang
diujikan dan juga menyatakan bahwa ketika permohonan dikabulkan
maka kerugian tidak akan terjadi lagi.234 Mengacu pada keterangan ini,
232 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bf), Putusan No. 55/PUU-XIV/2016, hlm.
25. 233 Ibid., hlm. 62. 234 Ibid.
128
pemenuhan terhadap syarat kerugian konstitusional adalah sebagai
berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.14 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 55/PUU-XIV/2016
15. Putusan No. 56/PUU-XIV/2016
Undang-undang yang diujikan adalah UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 251 ayat (1) (alasan
pembatalan peraturan daerah tingkat provinsi dan peraturan gubernur
oleh menteri), Pasal 251 ayat (2) (alasan pembatalan peraturan daerah
tingkat kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota oleh menteri),
Pasal 251 ayat (7), Pasal 251 ayat (8) (hak mengajukan keberatan
terhadap keputusan pembatalan peraturan daerah tingkat
kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota).235 Dalam pertimbangan
mengenai kedudukan hukum, MKRI menyatakan bahwa pemohon
memiliki hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam Pasal 24A
ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945236, meski tidak
memberikan uraian mengenai hak apa yang terkandung dalam kedua
Pasal tersebut.
235 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bg), Putusan No. 56/PUU-XIV/2016, hlm.
4. 236 Ibid., hlm. 95.
129
MKRI kemudian menyampaikan bahwa kerugian pemohon akan
terjadi ketika pembatalan peraturan daerah dilakukan tanpa melalui
proses judicial review dan kerugian semakin bertambah karena satu-
satunya pihak yang bisa mengajukan keberatan terhadap pembatalan
peraturan daerah hanyalah kepala daerah.237 Kemungkinan terhadap
terjadinya kerugian ini dikatakan ada karena terdapat kemungkinan
terjadinya pembatalan terhadap beberapa peraturan daerah yang akan
berdampak langsung kepada Pemohon.238
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa jarak antara potensi
kerugian dan kondisi yang ada di lapangan cukup jauh. Perlu dicatat
bahwa tidak ada uraian yang bisa menjelaskan mengapa beberapa
peraturan daerah yang dikemukakan akan dibatalkan dan apa indikasi
yang menunjukkan adanya rencana pembatalan tersebut. Namun
demikian, hal ini juga menunjukkan luasnya perspektif MKRI
mengenai konsep “penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi”.
MKRI lantas menyatakan adanya hubungan sebab akibat antara
kerugian dan ketentuan yang diuji, hal mana terlihat dari uraian
argumen sebelumnya, dan menyatakan bahwa kerugian tidak akan
terjadi jika permohonan dikabulkan. Mengacu pada seluruh uraian
tersebut, pemenuhan terhadap syarat kerugian konstitusional adalah
sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang ✓
237 Ibid., hlm. 93-94. 238 Ibid., hlm. 96.
130
diuji
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 4.15 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 56/PUU-XIV/2016
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa kriteria yang
ditetapkan MKRI untuk menilai potensi dari kerugian konstitusional adalah
“menurut penalaran yang wajar akan terjadi”. Putusan-putusan yang
dianalisis di atas telah menunjukkan bahwa MKRI tidak memberikan tolok
ukur yang terukur mengenai potensi kerugian dan tata cara melakukan
penilaian terhadap potensi kerugian.
Pada Putusan MKRI No. 71/PUU-XIII/2015 yang di dalamnya
dilakukan pengujian terhadap syarat untuk menjadi calon kepala daerah
yang mewajibkan memberitahukan kepada pimpinan lembaga dalam hal
bakal calon adalah anggota DPR, DPD atau DPRD, MKRI tidak memberi
penjelasan mengenai hak konstitusional apa yang berpotensi dirugikan oleh
ketentuan yang diajukan dan tidak menjelaskan bagaimana kerugian
konstitusional terjadi. Dalam Putusan No. 59/PUU-XI/2013 yang di
dalamnya dilakukan pengujian terhadap syarat bakal calon anggota
legislatif yang mewajibkan pengunduran diri yang tidak bisa ditarik lagi
bagi pejabat di badan yang anggarannya bersumber dari keuangan negara
kecuali menteri, MKRI sekali lagi tidak menjelaskan hak konstitusional
apa yang berpotensi dirugikan oleh ketentuan yang diajukan. Tidak adanya
kejelasan mengenai hak konstitusional Pemohon yang secara potensial
dirugikan dapat dilihat juga dalam Putusan No. 112/PUU-X/2012 yang di
dalamnya dilakukan pengujian mengenai wilayah. Di dalam Putusan
tersebut Pemohon sebagai pemerintah daerah menyatakan bahwa kerugian
yang dialaminya adalah adanya polemik sebagai akibat tidak adanya
kepastian mengenai tapal batas dan luas wilayah dan karena penentuan
batas wilayah daerah pemekaran tidak pernah dibahas dalam rapat
paripurna. Namun, kerugian yang dialami Pemohon tidak pernah dikaitkan
dengan hak konstitusional dan MKRI juga tidak mengaitkan dengan hak
131
konstitusional apa pun ketika menyatakan bahwa Pemohon secara potensial
dirugikan oleh berlakunya ketentuan yang diuji.
Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa elemen yang digunakan
oleh MKRI untuk menunjukkan ada tidaknya kerugian potensial adalah
hanya berdasarkan penalaran dari MKRI semata. Berbeda dengan kerugian
aktual, tidak ada keharusan bahwa kerugian yang ada bersifat spesifik.
Lebih jauh lagi, tidak ada keharusan bahwa kerugian yang ada adalah
kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional. Sehingga
berdasarkan putusan-putusan di atas, penjabaran mengenai elemen atau
kategori kerugian potensial tidak dapat dilakukan.
Penilaian MKRI terhadap apa yang dimaksud dengan kerugian
potensial juga tidak konsisten. Dalam Putusan No. 12/PUU-V/2007 MKRI
memberikan kedudukan hukum atas dasar kerugian potensial bagi suami
yang hendak poligami. Dengan tidak adanya bantahan dari MKRI terhadap
dalil Pemohon bahwa poligami adalah bagian dari hak untuk beribadah dan
karenanya merupakan hak konstitusional, maka sebenarnya yang dialami
oleh Pemohon adalah kerugian aktual dan bukan potensial. Perlu dicatat,
bahwa MKRI sendiri menyatakan bahwa Pemohon (suami) sudah
mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan izin poligami
namun “tidak bisa diproses lebih lanjut”. Hal ini menunjukkan bahwa
pengadilan melalui perangkatnya sudah memberikan “penolakan” dengan
menggunakan ketentuan yang diuji sebagai dasar. Artinya, hak Pemohon
untuk berpoligami yang dikatakan sebagai bagian dari hak untuk beribadah
telah secara nyata dirugikan. Hal yang sama terjadi pada Putusan No.
72/PUU-VIII/2010 di mana MKRI memberikan kedudukan hukum atas
dasar kerugian potensial kepada Pemohon karena kewenangan pemberian
izin pertambangan ada pada menteri dan bukan pada pemerintah daerah.
Jika dianggap bahwa kewenangan pemberian izin pertambangan adalah
bagian dari kewenangan konstitusional pemerintah daerah untuk mengatur
dan mengurus daerahnya sendiri, seyogyanya kerugian yang dialami
Pemohon sebagai kepala daerah dan DPRD adalah kerugian aktual. Dalam
konteks kewenangan, perubahan perundangan-undangan yang mengurangi
132
kewenangan awal secara otomatis merupakan kerugian bagi pemegang
kewenangan awal. Hal inilah yang terjadi dalam Putusan No. 72/PUU-
VIII/2010.
Kedua Putusan di atas menunjukkan bahwa bahkan terhadap kondisi
yang mana kerugiannya secara nyata sudah terjadi, MKRI masih bisa
mengklasifikasikannya sebagai kerugian potensial. Artinya, terdapat
putusan yang di dalamnya batas antara kerugian aktual dan potensial
menjadi tidak ada.
Di dalam Putusan No. 59/PUU-XI/2013 dan Putusan No. 56/PUU-
XIV/2016, yang terjadi justru sebaliknya: batas antara kerugian aktual dan
potensial sangatlah lebar. Jarak antara kondisi yang ada dan kemungkinan
kerugian terlalu jauh. Dalam Putusan No. 59/PUU-XI/2013, MKRI
memberikan kedudukan hukum atas dasar kerugian potensial kepada
pemohon yang menghendaki agar menteri yang hendak menjadi bakal
calon anggota legislatif harus mundur dari jabatannya karena pemohon
dianggap berhak mempunyai menteri yang bekerja secara optimal. Hal
pertama yang dapat dilihat dari konstruksi tersebut adalah hak warga
negara untuk memiliki menteri yang bekerja secara optimal merupakan
bagian dari hak konstitusional. Dari situ, tampak bahwa kerugian baru akan
terjadi ketika seorang menteri tidak bekerja secara optimal—terlepas apa
definisi dari “optimal”. Berdasarkan kondisi yang digambarkan oleh
Pemohon dalam Putusan ini: (i) belum ada menteri yang tidak bekerja
secara optimal; (ii) belum ada menteri yang menjadi bakal calon anggota
legislatif; dan bahkan (iii) belum ada menteri yang mengungkapkan
niatnya untuk menjadi bakal calon anggota legislatif. Artinya, kondisi yang
menjadi dasar masih terlalu jauh jaraknya sampai kerugian bisa terjadi.
Dalam Putusan No. 56/PUU-XIV/2016, MKRI memberikan
kedudukan hukum atas dasar kerugian potensial kepada Pemohon yang
adalah karyawan yang khawatir terhadap terjadinya pembatalan peraturan
daerah yang menyangkut masalah ketenagakerjaan sebagai akibat adanya
kewenangan pembatalan peraturan daerah oleh menteri. Dalam Putusan ini,
hak konstitusional yang dijadikan dasar adalah hak untuk mempertahankan
133
peraturan daerah. Dengan menerima hak ini sebagai hak konstitusional,
tetap saja jarak antara kerugian—dibatalkannya peraturan daerah—dengan
kondisi yang disampaikan sangatlah jauh, karena: (i) peraturan daerah yang
hendak dipertahankan tidak termasuk ke dalam daftar peraturan yang
hendak dibatalkan oleh menteri; (ii) tidak ada bukti yang menunjukkan
bahwa peraturan daerah tersebut hendak dibatalkan; dan bahkan (ii) tidak
ada informasi yang menunjukkan bahwa menteri hendak menyasar jenis
peraturan daerah tersebut. Dengan kata lain, kekhawatiran terhadap
terjadinya kerugian sangatlah berlebihan.
Mari pula perhatikan Putusan No. 53/PUU-VIII/2010 yang menguji
konstitusionalitas ketentuan yang memberikan kewenangan kepada
Presiden untuk memberhentikan sementara kepala daerah yang didakwa
atas dasar tindak pidana tertentu, termasuk korupsi. Artinya, kerugian akan
terjadi ketika Presiden memberhentikan sementara kepala daerah karena
didakwa atas dasar tindak pidana tertentu. Kondisi yang terjadi pada diri
pemohon adalah ia merupakan kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai
tersangka atas dugaan korupsi. Dari kondisi yang ia alami, jarak kepada
kerugian aktual cukup dekat, karena ia akan bisa segera menjadi terdakwa
ketika berkas sudah dialihkan kepada penuntut umum dan penuntut umum
mendaftarkan dakwaan. Bisa dikatakan bahwa kemungkinan terjadinya
kerugian cukup tinggi.
Selanjutnya Putusan No. 56/PUU-XIII/2015, MKRI berupaya untuk
mempertajam kriteria kerugian potensial dengan memberikan pengertian
frasa “potensi kerugian konstitusional”. Dalam putusan tersebut MKRI
menyatakan bahwa frasa tersebut memiliki makna bahwa bukanlah
kerugian yang sekadar ada secara probabilitas, dengan nilai kemungkinan
sangat kecil. Selain dari perspektif probabilitas, potensi kerugian
konstitusional tersebut juga harus bernilai signifikan untuk dialami oleh
pemohon. Namun putusan tersebut justru memberikan pertanyaan
tambahan, yaitu bagaimana cara untuk mengukur signifikansi kerugian
yang dialami oleh pemohon.
134
Uraian di atas menggambarkan betapa variatifnya pendekatan yang
digunakan oleh MKRI dalam menafsirkan kerugian potensial. Secara
umum dapat dilihat bahwa: (i) MKRI bisa saja memberikan kedudukan
hukum atas kerugian potensial tanpa adanya kejelasan hak konstitusional
yang dirugikan; (ii) MKRI tidak memberikan tolok ukur yang terukur
mengenai potensi kerugian dan cara melakukan penilaian terhadap potensi
kerugian; (iii) MKRI belum tentu mempertimbangkan apakah kerugian
yang ada spesifik atau tidak; (iv) MKRI acap kali mengabaikan uraian
mengenai hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang diujikan;
dan (v) MKRI tidak pernah memberikan gambaran mengenai akibat dari
dikabulkannya permohonan.
C. PERGERAKAN PENAFSIRAN KERUGIAN POTENSIAL DARI MASA KE
MASA
Gambaran yang diberikan pada bagian terdahulu merupakan refleksi
umum terhadap pemikiran MKRI sehubungan dengan penerapan konsep
kerugian konstitusional. Pada bagian ini, yang akan ditampilkan adalah
pergerakan penafsiran terhadap konsep kerugian konstitusional dari masa
ke masa berdasarkan periode kepemimpinan Ketua MKRI. Pergerakan
penafsiran ini akan ditunjukkan dengan melakukan analisis terhadap
beberapa putusan MKRI dari masa ke masa. Putusan yang akan dianalisis
adalah putusan sehubungan dengan materi pengujian tertentu yang selalu
muncul pada tiap periode dan semua periode memberikan kedudukan
hukum atas dasar kerugian potensial, yaitu putusan pengujian undang-
undang tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD.
1. Periode Jimly Asshiddiqie
Nomor Putusan : 002/PUU-II/2004
Kualifikasi Pemohon : Calon anggota DPR dan calon anggota DPRD239
Hak Konstitusional dalam : Hak yang ada dalam Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat
239 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (o), Putusan No. 002/PUU-II/2004, hlm.
23.
135
Pertimbangan (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18
ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal
22E ayat (2), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat
(2) UUD NRI 1945240
Uraian Kerugian Potensial
dalam Pertimbangan
: “...walaupun Pemohon II dan Pemohon IV belum
secara nyata dirugikan dengan berlakunya UU
Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, tetapi
sebagai calon anggota DPR dan DPRD mereka
mempunyai kepentingan dan kemungkinan
dirugikan hak konstitusionalnya.”241
Tabel 4.16 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 002/PUU-II/2004
Dari rangkuman di atas, dapat dilihat bahwa ada 3 elemen kunci
dari kerugian potensial yang ditetapkan pada periode Jimly
Asshiddiqie, yaitu: (i) pemohon belum secara nyata dirugikan; (ii)
pemohon memiliki kemungkinan untuk mengalami kerugian; dan (iii)
pemohon memiliki kepentingan nyata terhadap ketentuan yang
diujikan.
2. Periode M. Mahfud M.D.
Nomor Putusan : 22-24/PUU-VI/2008
Kualifikasi Pemohon : Calon anggota DPRD242
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak yang ada dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945243
Uraian Kerugian Potensial
dalam Pertimbangan
: “...oleh karena Pemohon I (Muhammad Sholeh,
S.H.) berpotensi tidak terpilih menjadi anggota
DPRD, Mahkamah berpendapat, Pemohon I
240 Ibid., hlm. 22. 241 Ibid., hlm. 22-23. 242 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bh), Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008,
hlm. 78. 243 Ibid., hlm. 79.
136
(Muhammad Sholeh, S.H.) mempunyai kedudukan
hukum...”244
Konteks dalam pertimbangan: pemohon merasa
bahwa sistem penentuan calon terpilih anggota DPR
dan DPRD yang memberikan preferensi pada calon
dengan nomor urut lebih kecil bisa menyebabkan
pemohon tidak terpilih.245
Tabel 4.17 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008
Nomor Putusan : 110-111-112-113/PUU-VII/2009
Kualifikasi Pemohon : Partai politik peserta pemilihan umum246 dan calon
anggota DPR247
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: -
Uraian Kerugian Potensial
dalam Pertimbangan
: “...Pemohon I dan Pemohon III dalam perkara ini
adalah Partai Politik peserta pemilihan umum...
serta berpotensi dirugikan atas berbagai
penafsiran Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3),
Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 terhadap perolehan
kursi pada Pemilu 2009, oleh karenanya Mahkamah
berpendapat bahwa para Pemohon memiliki
kedudukan hukum...” 248 dan “...Pemohon II...adalah
perorangan calon anggota DPR...yang berpotensi
dirugikan atas berbagai penafsiran Pasal 205 ayat
(4) UU 10/2008 terhadap perolehan kursi pada
Pemilu 2009.”249
Tabel 4.18 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009
244 Ibid., hlm. 80. 245 Ibid., hlm. 79-80. 246 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (s), Putusan No. 110-111-112-113/PUU-
VII/2009, hlm. 86. 247 Ibid., hlm. 87. 248 Ibid., hlm. 86-87. 249 Ibid., hlm. 87.
137
Dalam rangkuman Putusan 22-24/PUU-VI/2008, M. Mahfud M.D.
membuat penekanan yang berbeda dengan Jimly Asshiddiqie. Yang
menjadi titik tekan dari kedua putusan tersebut adalah penyebab
munculnya potensi kerugian yang dikaitkan dengan kualifikasi
pemohon—hal mana bisa terlihat karena kualifikasi Pemohon masuk
menjadi bagian pertimbangan kedua Putusan. Satu hal yang perlu
diperhatikan dalam Putusan No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009
adalah bahwa MKRI bahkan tidak menyebutkan hak konstitusional apa
yang dianggap oleh Pemohon dirugikan.
3. Periode Akil Mochtar
Nomor Putusan : 2/PUU-XI/2013
Kualifikasi Pemohon : WNI yang berdomisili di luar negeri250
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak yang ada dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C
ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945251
Uraian Kerugian Potensial
dalam Pertimbangan
: “Hak konstitusional para Pemohon dirugikan atau
berpotensi dirugikan oleh ketentuan a quo, karena
tidak adanya daerah pemilihan luar negeri telah
membuat kepentingan para Pemohon sebagai warga
negara Indonesia yang berdomisili di luar negeri,
tidak secara khusus terwakili.”252
Tabel 4.19 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 2/PUU-XI/2013
Nomor Putusan : 61/PUU-XI/2013
Kualifikasi Pemohon : WNI253
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak yang ada dalam Pasal 28I ayat (1), Pasal 28J
ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945254
250 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bi), Putusan No. 2/PUU-XI/2013, hlm. 1 -
6 & 39. 251 Ibid., hlm. 39. 252 Ibid. 253 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bj), Putusan No. 61/PUU-XI/2013, hlm. 1.
138
Uraian Kerugian Potensial
dalam Pertimbangan
: “Kerugian konstitusional Pemohon setidak-
tidaknya dianggap potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi.”255
Konteks dalam pertimbangan: guna mewujudkan
kekuasaan negara, maka hak memilih harus
dijadikan sebuah kewajiban.256
Tabel 4.20 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 61/PUU-XI/2013
Pada periode Akil Mochtar, dalam Putusan No. 2/PUU-XI/2013,
MKRI bahkan tidak tegas dalam menentukan jenis kerugian yang
diderita oleh Pemohon, apakah aktual ataukah potensial. Sedangkan
dalam Putusan No. 61/PUU-XI/2013, MKRI menentukan jenis
kerugian pemohon namun hanya sekadar mengulang bagian dari syarat
kerugian konstitusional.
4. Periode Hamdan Zoelva
Nomor Putusan : 39/PUU-XII/2014
Kualifikasi Pemohon : Warga negara Indonesia257
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak yang ada dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI
1945258
Uraian Kerugian Potensial
dalam Pertimbangan
: “Kerugian konstitusional Pemohon setidak-
tidaknya dianggap potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi.”259
Konteks dalam pertimbangan: upaya pemohon untuk
254 Ibid., hlm. 24. 255 Ibid. 256 Ibid., hlm. 23-24. 257 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bk), Putusan No. 39/PUU-XII/2014, hlm.
1. 258 Ibid., hlm. 29. 259 Ibid.
139
menjadikan hak pilih sebagai sebuah kewajiban
adalah upaya penyelesaian kerugian pemohon yang
berjuang dalam membangun bangsa.260
Tabel 4.21 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 39/PUU-XII/2014
Pada Periode Hamdan Zoelva, di dalam Putusan No. 39/PUU-
XII/2014 dapat dilihat bahwa MKRI sekadar mengulang bagian dari
syarat kerugian konstitusional tanpa adanya kejelasan lebih lanjut
bagaimana Pemohon berpotensi dirugikan oleh ketentuan yang
diajukan.
5. Periode Arief Hidayat
Nomor Putusan : 137/PUU-XIII/2015
Kualifikasi Pemohon : Pemerintah daerah kabupaten/kota261
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak untuk melaksanakan, menjaga, mengawal dan
menerapkan otonomi daerah, hak untuk
mengembangkan daerah dengan keragaman dan
kekhasannya masing-masing, dan hak secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara
serta hak mendapatkan kepastian hukum yang adil262
Uraian Kerugian Potensial
dalam Pertimbangan
: “...telah terang bagi Mahkamah bahwa para
Pemohon tersebut telah menjelaskan secara aktual
atau setidak-tidaknya potensial mengenai kerugian
hak-hak konstitusionalnya...”263
Konteks dalam pertimbangan: para pemohon
menganggap bahwa ada kerugian yang mereka alami
karena adanya kewenangan bagi gubernur untuk
260 Ibid., h. 28. 261 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bl), Putusan No. 137/PUU-XIII/2015, h. 1-
10. 262 Ibid., h. 177. 263 Ibid., h. 185.
140
membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota dan
peraturan bupati/walikota.264
Tabel 4.22 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 137/PUU-XIII/2015
Nomor Putusan : 56/PUU-XIV/2016
Kualifikasi Pemohon : Buruh265
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak yang ada dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27
ayat (1) UUD NRI 1945266
Uraian Kerugian Potensial
dalam Pertimbangan
: “Apabila Perda dibatalkan langsung baik oleh
gubernur maupun oleh menteri tanpa melalui
mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung,
sangat berpotensi merugikan hak konstitusional
para Pemohon.”267
Tabel 4.23 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 56/PUU-XIV/2016
Pada periode Arief Hidayat, sama seperti pada periode M. Akil
Mochtar, MKRI pada Putusan No. 137/PUU-XIII/2015 tidak tegas
dalam menentukan kerugian yang diderita oleh pemohon, apakah
aktual atau potensial. Selain itu dalam Putusan No. 56/PUU-XIV/2016,
tidak ada relasi yang cukup jelas antara hak konstitusional Pemohon
dengan kondisi yang dikhawatirkan terjadi.
Mengacu pada uraian analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak
pernah ada rezim kepemimpinan yang mencoba memberikan tolok ukur
terhadap penentuan ada tidaknya potensi kerugian sehingga cara masing-
masing hakim melihat adanya kerugian potensial berbeda-beda dan sangat
tergantung pada kasus yang diajukan pada setiap periode rezim
kepemimpinan ketua MKRI. Pada periode M. Akil Mochtar dan Arief
264 Ibid., hlm. 180-181 & 184. 265 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bg), Putusan No. 56/PUU-XIV/2016, hlm.
1. 266 Ibid., hlm. 95. 267 Ibid.
141
Hidayat, MKRI bahkan tidak tegas dalam menentukan apakah kerugian
yang dialami pemohon adalah kerugian aktual atau potensial. Kriteria
penentuan ada tidaknya kerugian potensial, atau bahkan adanya kerugian
konstitusional dari pemohon itu sendiri, sempat berkembang dari periode
Jimly Asshidiqie ke M. Mahfud M.D., namun malah mengalami
kemunduran dari periode M. Akil Mochtar ke periode Arief Hidayat.
D. KONSEPTUALISASI KERUGIAN POTENSIAL
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa tolok ukur kerugian
potensial yang ditawarkan oleh MKRI adalah “bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi”. Meskipun
pada praktiknya tolok ukur ini tidak mendapatkan penjelasan yang
memadai, namun bukan berarti bahwa tolok ukur ini tidak bisa digunakan
sama sekali.
Dengan memperhatikan frasa “bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi”, pertanyaan yang harus
dijawab adalah apa yang dimaksud dengan penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi dan bagaimana cara menentukannya. Proposal yang
ditawarkan di sini untuk bisa melihat hal ini adalah dengan melihat
seberapa jauh jarak potensi kerugian yang ada dengan kerugian aktualnya.
Guna bisa menghitung jarak potensi kerugian, yang kali pertama harus
ditentukan adalah apa yang menjadi kerugian aktualnya. Jika sudah
diketahui mana yang menjadi kerugian aktual, maka mana yang menjadi
kerugian potensial bisa terlihat. Selanjutnya, potensi kerugian ini pun bisa
dicacah menjadi 4 derajat. Derajat pertama adalah kondisi di mana
kerugian niscaya terjadi (imminent). Derajat kedua adalah keadaan di mana
kerugian bisa saja terjadi jika ada beberapa kondisi yang terpenuhi. Pada
derajat ketiga, persyaratan agar kerugian bisa terjadi menjadi semakin
bertambah. Sedangkan pada derajat keempat, kerugian menjadi sesuatu
yang hampir tidak mungkin terjadi.
Sebagai contoh, akan digunakan Putusan No. 2/PUU-VII/2009. Di
dalam Putusan ini, yang menjadi pemohon adalah pengelola blog yang
142
mengutarakan ide-idenya di dalam blog tersebut.268 Ketentuan yang diuji
adalah Pasal 27 ayat (3) (ketentuan pidana untuk penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik dalam platform elektronik) UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.269 Hak konstitusional yang
dianggap dirugikan adalah hak dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F
UUD NRI 1945.270
Selanjutnya, pada bagian pertimbangan MKRI menyatakan: “...Pasal
27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945...karena dinilai berpotensi dapat menimbulkan efek jangka
panjang...pengguna internet sewaktu-waktu dapat ditahan polisi...”271 Di
sini, MKRI mengadopsi perspektif pemohon mengenai kedudukan hukum
dan menyatakan bahwa pemohon berhasil mendalilkan kerugian hak
konstitusionalnya.272
Kerugian yang dialami oleh pemohon di sini merupakan kerugian
potensial karena: (i) ketentuan yang diujikan tidak secara langsung berlaku
terhadap pemohon—hanya jika unsur-unsur dalam ketentuan pidana ini
terpenuhi, barulah ketentuan yang diujikan bisa diberlakukan kepada
pemohon; dan (ii) ketentuan yang diujikan tidak sedang atau akan
diterapkan kepada pemohon. Artinya, baik dalam perspektif rumusan
undang-undang maupun tindakan, pemohon tidak mengalami kerugian
secara aktual, melainkan hanya ada potensi kerugian.
Pertanyaannya, seberapa jauh jarak potensi kerugian pemohon ini?
Guna mengukur jarak potensi kerugian pemohon, maka perlu untuk
terlebih dahulu menentukan kondisi mana yang merupakan kerugian
aktual. Oleh karena yang dipermasalahkan adalah tindak pidana, maka
kerugian secara aktual baru terjadi ketika ada putusan pengadilan yang
268 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bm), Putusan No. 2/PUU-VII/2009, hlm.
7-8. 269 Ibid., hlm. 51-52. 270 Ibid., hlm. 114-117. 271 Ibid., hlm. 117. 272 Ibid.
143
dijatuhkan kepada pemohon atas dasar tindak pidana yang dimohonkan.
Dengan menggunakan kondisi ini sebagai standar, maka potensi kerugian
tingkat 1 (terdekat) berada pada tingkatan di mana ketentuan tindak pidana
sudah digunakan, baik untuk melakukan penyidikan, penuntutan atau dasar
dalam persidangan. Sedangkan mereka yang berpotensi untuk dirugikan
pada tingkat 2 adalah mereka yang secara aktif menggunakan internet
untuk mengemukakan pendapatnya. Tingkatan selanjutnya (tingkat 3)
ditujukan bagi mereka yang menggunakan internet secara umum.
Sedangkan potensi yang paling jauh ada pada mereka yang tidak
menggunakan internet. Dengan melihat uraian pada pertimbangan hukum
MKRI, pemohon memiliki potensi kerugian tingkat 3.
Agar model kerugian potensial 4 derajat ini bisa lebih dipahami cara
penerapannya, berikut adalah tabel yang bersumber dari beberapa putusan
MKRI yang dibaca dengan menggunakan model ini:
1 Nomor Putusan : 14-17/PUU-V/2007
Kedudukan Pemohon
dalam Putusan
: Warga negara yang berniat jadi calon kepala daerah
namun pernah dikenai pidana dengan ancaman penjara
5 tahun atau lebih273
Norma yang Diuji : Larangan jadi calon kepala daerah jika pernah dijatuhi
pidana yang tindak pidananya diancam pidana penjara
5 tahun atau lebih274
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional yang
Dianggap Dirugikan
: Hak konstitusional yang ada dalam Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI
1945275
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional yang
Seyogyanya Digunakan
: Hak atas kesamaan di hadapan hukum, hak atas
kepastian hukum yang adil dan hak untuk bebas dari
diskriminasi
273 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bn), Putusan No. 14-17/PUU-V/2007, hlm.
4-5 & 112-113. 274 Ibid., hlm. 5-6 & 113. 275 Ibid., hlm. 112-113.
144
Konstruksi Kerugian
Konstitusional dalam
Putusan
: Pemohon memenuhi persyaratan lain untuk menjadi
calon kepala daerah namun pernah dipidana dengan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
lebih276
Kerugian Aktual : Penolakan terhadap warga negara yang mendaftarkan
diri menjadi calon kepala daerah atas dasar pernah
dijatuhi pidana yang tindak pidananya diancam pidana
penjara 5 tahun atau lebih
Potensi Derajat 1 : Warga negara yang sudah melengkapi semua
persyaratan untuk menjadi kepala daerah dan hendak
mendaftar namun pernah dijatuhi pidana berdasarkan
tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun
atau lebih
Potensi Derajat 2 : Warga negara yang berniat menjadi calon kepala
daerah dan pernah dijatuhi dengan pidana berdasarkan
tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun
atau lebih
Potensi Derajat 3 : Warga negara yang berniat menjadi calon kepala
daerah dan sedang dalam persidangan pidana yang
mana tindak pidana yang didakwakan memiliki
ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih
Potensi Derajat 4 : Warga negara yang berniat menjadi calon kepala
daerah
Tabel 4.24 Penggunaan potensi derajat kerugian terhadap Putusan No. 14-17/PUU-V/2007
2 Nomor Putusan : 37/PUU-IX/2011
Kedudukan Pemohon
dalam Putusan
: Buruh di perusahaan277
276 Ibid., hlm. 113-114. 277 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bo), Putusan No. 37/PUU-IX/2011, hlm.
6-7.
145
Norma yang Diuji : Kewajiban untuk tetap melakukan kewajiban selama
putusan pengadilan hubungan industrial sehubungan
dengan pemutusan hubungan kerja belum ditetapkan.
Frasa belum ditetapkan harus dibaca menjadi sebelum
putusan berkekuatan hukum tetap. 278
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional yang
Dianggap Dirugikan
: Hak konstitusional yang ada dalam Pasal 28D ayat (1)
dan (2) UUD NRI 1945279
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional yang
Seyogyanya Digunakan
: Hak atas kepastian hukum yang adil dan hak untuk
mendapat imbalan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja
Konstruksi Kerugian
Konstitusional dalam
Putusan
: MKRI mengutip dalil Pemohon dan kemudian
menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan
hukum.280 Pemohon sendiri mendalilkan bahwa frasa
belum ditetapkan memunculkan pertanyaan mengenai
apakah belum ditetapkan itu hanya merujuk pada
putusan tingkat pertama ataukah ataukah merujuk
pada level yang lain; dan tidak adil karena buruh bisa
menjadi tidak mendapatkan hak atas upah frasa belum
ditetapkan memiliki kejelasan.281
Kerugian Aktual : Tidak dilaksanakannya kewajiban oleh perusahaan
ketika telah ada putusan tentang pemutusan hubungan
kerja namun belum berkekuatan hukum tetap
Potensi Derajat 1 : Persidangan mengenai pemutusan hubungan kerja
sedang berjalan.
Potensi Derajat 2 : Penyelesaian masalah pemutusan hubungan kerja
sedang dilakukan secara tripartit.
Potensi Derajat 3 : Penyelesaian masalah pemutusan hubungan kerja
sedang dilakukan secara bipartrit.
Potensi Derajat 4 : Warga negara yang berstatus sebagai buruh
Tabel 4.25 Penggunaan potensi derajat kerugian terhadap Putusan No. 37/PUU-IX/2011
278 Ibid., hlm. 33. 279 Ibid., hlm. 33 & 35. 280 Ibid., hlm. 34-35. 281 Ibid., hlm. 34.
146
3 Nomor Putusan : 55/PUU-XI/2013
Kedudukan Pemohon
dalam Putusan
: Jaksa yang pernah menjabat sebagai ketua KPK
(Pemohon I)282
Norma yang Diuji : Pemeriksaan terhadap jaksa harus mendapat izin Jaksa
Agung283
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional yang
Dianggap Dirugikan
: -
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional yang
Seyogyanya Digunakan
: Hak atas kepastian hukum yang adil
Konstruksi Kerugian
Konstitusional dalam
Putusan
: Pemohon ditangkap dan ditahan tanpa ada izin dari
Jaksa Agung284
Kerugian Aktual : Seorang jaksa diperiksa meski tidak ada izin dari
Jaksa Agung
Potensi Derajat 1 : Seorang jaksa diduga melakukan tindak pidana
Potensi Derajat 2 : Seorang jaksa
Potensi Derajat 3 : Calon jaksa
Potensi Derajat 4 : Warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi
jaksa
Tabel 4.26 Penggunaan potensi derajat kerugian terhadap Putusan No. 55/PUU-XI/2013
4 Nomor Putusan : 15/PUU-XII/2014
Kedudukan Pemohon
dalam Putusan
: Direktur sebuah perusahaan yang bersengketa di
forum arbitrase nasional285
Norma yang Diuji : Kewajiban pembuktian permohonan pembatalan
putusan arbitrase dengan menggunakan putusan
pengadilan yang ada dalam Penjelasan Pasal286
282 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bp), Putusan No. 55/PUU-XI/2013, hlm.
5-6 & 68. 283 Ibid. 284 Ibid., hlm. 68-69 285 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bq), Putusan No. 15/PUU-XII/2014, hlm.
4-5 & 69. 286 Ibid., hlm. 5.
147
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional yang
Dianggap Dirugikan
: Hak konstitusional yang ada dalam Pasal 27 ayat (1)
dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 287
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional yang
Seyogyanya Digunakan
Hak atas kesamaan di hadapan hukum dan hak atas
kepastian hukum yang adil
Konstruksi Kerugian
Konstitusional dalam
Putusan
: MKRI mengutip dalil Pemohon dan kemudian
menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan
hukum.288 Pemohon sendiri menyatakan bahwa norma
yang diujikan bertentangan dengan norma dalam Pasal
induk.289
Kerugian Aktual : Permohonan pembatalan ditolak karena tidak ada
putusan pengadilan yang menjadi dasar
Potensi Derajat 1 : Pengajuan permohonan pembatalan ke pengadilan
Potensi Derajat 2 : Mendapatkan putusan arbitrase yang hendak
dibatalkan
Potensi Derajat 3 : Sedang bersengketa di forum arbitrase
Potensi Derajat 4 : Memiliki kontrak dengan klausula arbitrase
Tabel 4.27 Penggunaan potensi derajat kerugian terhadap Putusan No. 15/PUU-XII/2014
5 Nomor Putusan : 54/PUU-XIV/2016
Kedudukan Pemohon
dalam Putusan
: Pemilih pemula yang tidak terdaftar dalam DPT pada
Pemilihan Umum tahun 2014 (Pemohon IV)290
Norma yang Diuji : Kewajiban terdaftarnya pendukung calon perorangan
dalam DPT Pemilihan Umum 2014291
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional yang
Dianggap Dirugikan
: Hak konstitusional yang ada dalam Pasal 1 ayat (3),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat
(3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945292
287 Ibid., hlm. 69. 288 Ibid. 289 Ibid. 290 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (br), Putusan No. 54/PUU-XIV/2016, hlm.
69. 291 Ibid., hlm. 67-68 292 Ibid., hlm. 68.
148
Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional yang
Seyogyanya Digunakan
Hak atas kesamaan di hadapan hukum, hak atas
kepastian hukum yang adil, hak untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan hak
untuk bebas dari diskriminasi
Konstruksi Kerugian
Konstitusional dalam
Putusan
: MKRI mengutip dalil Pemohon dan kemudian
menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan
hukum.293 Pemohon sendiri menyatakan bahwa ia
merupakan pemilih pemula yang mendukung salah
satu calon, dan keberadaan norma yang diujikan jelas
merugikan hak konstitusionalnya.294
Kerugian Aktual : Ditolaknya dukungan kepada calon perorangan karena
tidak terdaftar dalam DPT Pemilu 2014
Potensi Derajat 1 : Calon pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT Pemilu
2014 menyatakan dukungannya kepada calon
perorangan
Potensi Derajat 2 : Tidak terdaftarnya calon pemilih dalam DPT Pemilu
2014
Potensi Derajat 3 : Warga negara yang berhak memilih
Potensi Derajat 4 : Warga negara yang belum berhak memilih
Tabel 4.28 Penggunaan potensi derajat kerugian terhadap Putusan No. 54/PUU-XIV/2016
Seyogyanya, derajat 3 adalah derajat terakhir untuk bisa menentukan
apakah seorang pemohon secara potensial akan dirugikan hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya. Sebab, derajat 4 sudah berada pada jarak
yang terlalu jauh sehingga kemungkinan terjadinya kerugian menjadi
begitu kecil.
Perlu dicatat bahwa model ini bukanlah model tanpa cacat, meskipun
tetap dapat dipakai dalam kondisi saat ini yang mana belum adanya tolak
ukur yang jelas untuk menilai ada tidaknya kerugian potensial. Ada 3
permasalahan utama dari model ini. Pertama, kerugian aktual akibat suatu
norma bisa bervariasi bergantung pada keadaan tiap-tiap pemohon.
Artinya, persepsi akan sangat menentukan konstruksi kerugian aktual,
293 Ibid., hlm. 68-70. 294 Ibid., hlm. 69.
149
sehingga akan pula memunculkan ragam kerugian potensial. Kedua, tidak
semua kerugian bisa memiliki 4 derajat potensi kerugian. Kerugian yang
terlalu spesifik tidak memungkinkan terjadinya 4 derajat ini. Ketiga, bias
terhadap penentuan derajat sangat mungkin terjadi. Perdebatan mengenai
apa yang seyogyanya menjadi derajat pertama dan seterusnya terbuka lebar
karena tidak ada standar perasaan kerugian.
151
BAB V
KEPENTINGAN HUKUM
Bab ini akan menelaah kepentingan hukum sebagai alternatif
pemberian kedudukan hukum kepada pemohon pengujian undang-undang,
selain dari kerugian konstitusional. Telaah yang kali pertama akan
diberikan adalah mengenai ruang lingkup dan batasan dari kepentingan
hukum. Selanjutnya, akan diberikan uraian mengenai bagaimana MKRI
secara implisit membangun dan menafsirkan kepentingan hukum.
Selanjutnya, akan dipaparkan perbandingan dari tafsir terhadap
kepentingan hukum dari tiap masa kepemimpinan Ketua MKRI. Bab ini
akan ditutup dengan proposal yang ditawarkan guna menyempurnakan
kepentingan hukum.
A. RUANG LINGKUP DAN BATASAN KEPENTINGAN HUKUM
Kepentingan hukum bukanlah konsep yang ada secara formal.
Kepentingan hukum adalah nama yang dilekatkan oleh Tim Peneliti
terhadap ragam kedudukan hukum yang diberikan tidak atas dasar kerugian
aktual atau kerugian potensial, namun atas dasar kepentingan. Hasil telaah
Tim Peneliti menunjukkan bahwa ragam kedudukan hukum semacam ini
cukup variatif dan dapat ditemukan dalam pelbagai putusan MKRI.
Sehubungan dengan terminologi kepentingan dan relevansinya dengan
kedudukan hukum pemohon pengujian undang-undang, hal ini bisa
ditemukan dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yang
menyatakan “Yang dimaksud dengan "perorangan" termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama.”295 Penggunaan frasa
“kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama” di dalam Penjelasan
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK secara implisit menyatakan bahwa subjek
“perorangan” dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK juga merupakan
pihak yang memiliki kepentingan. Dikarenakan jika faktor yang
295 Indonesia (f), Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Penjelasan Pasal 51
ayat (1) huruf a.
152
menyatukan sekelompok orang untuk dianggap sebagai perorangan adalah
adanya kepentingan yang sama, berarti seharusnya setiap “subjek hukum”
juga dianggap memiliki kepentingan untuk dapat dikualifikasikan sebagai
pemohon. Implikasi selanjutnya dari penafsiran ini adalah bahwa semua
subjek yang disebutkan di dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK seharusnya
merupakan pihak yang juga memiliki kepentingan untuk dapat menjadi
pemohon. Ketika subjek perorangan dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a
diinterpretasikan harus memiliki kepentingan, maka interpretasi yang sama
seharusnya juga diterapkan terhadap subjek dalam Pasal 51 ayat (1) huruf
b, c, dan d.
Konteks “kepentingan” ini kemudian yang ditelusuri lebih lanjut
keberadaannya di dalam Putusan MKRI. Dalam Putusan MKRI No.
004/PUU-I/2003, dikatakan:
“Pemohon Machri Hendra, S.H., umur 42 tahun, Hakim pada
Pengadilan Negeri Padang, sebagai hakim karir yang
menjadi Hakim dengan melalui tes Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Departemen Kehakiman, pada waktu itu
mempunyai kepentingan langsung terhadap ketentuan yang
mengatur promosi jabatan karirnya di lingkungan peradilan
termasuk di dalamnya adalah promosi jabatan Hakim Agung
di lingkungan Mahkamah Agung, sebagai jenjang peradilan
tertinggi;”296
Jabatan hakim karier yang melekat pada diri Pemohon sebagai subjek yang
mengajukan permohonan pengujian ternyata dijadikan salah satu dasar
diberikannya kedudukan hukum oleh MKRI. Hal ini terlihat dari kutipan
berikut:
“Mahkamah berpendapat bahwa adanya dua dasar, yang
pertama adanya kepentingan pada Pemohon, dan yang kedua
296 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (m), Putusan No. 004/PUU-I/2003, hlm.
15.
153
adanya kerugian pada Pemohon cukup untuk menjadikan
dasar pemberian legal standing kepada Pemohon.”297
Pernyataan “adanya dua dasar” secara implisit menempatkan “adanya
kepentingan pada pemohon” sebagai suatu hal yang sejajar dengan “adanya
kerugian pada pemohon” sebagai dasar pemberian kedudukan hukum
kepada pemohon. Penyetaraan antara kepentingan dan kerugian yang
dilakukan oleh MKRI bisa dikatakan sebagai penciptaan kondisi baru,
karena jika dikembalikan pada pengaturan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU
MK, keberadaan frasa “kepentingan yang sama” digunakan untuk
menunjukkan adanya kesamaan dasar bagi pemohon WNI yang memiliki
kerugian konstitusional. Artinya, kedudukan kepentingan adalah subordinat
dibandingkan dengan kepentingan hukum.
Sikap MKRI ini menimbulkan pertanyaan: “kenapa MKRI
menciptakan suatu dasar pemberian kedudukan hukum dengan terminologi
‘kepentingan’ yang disejajarkan dengan kerugian?” Pertanyaan ini tidak
secara tegas bisa didapatkan jawabannya. Namun, dengan memperhatikan
konstruksi kedudukan hukum dalam Putusan No. 006/PUU-I/2003, maka
bisa didapatkan dugaan jawabannya.
Di dalam Putusan No. 006/PUU-I/2003, yang menjadi pemohon adalah
KPKPN (Pemohon I) beserta anggotanya (Pemohon II)298 yang
mempermasalahkan berlakunya UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menghilangkan kewenangan
KPKPN untuk mencegah KKN299. Sehubungan dengan kedudukan hukum
Pemohon II, MKRI mempertimbangkan:
“Bahwa, berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 di atas, ternyata bahwa
Pemohon II (Ir. H.Muchayat dkk.) sebagai anggota KPKPN
mempunyai kepentingan langsung dengan akibat yang
297 Ibid, hlm. 16. 298 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (d), Putusan No. 006/PUU-I/2003, hlm. 1-
4. 299 Ibid., hlm. 6.
154
ditimbulkan oleh berlakunya Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, dalam kapasitasnya sebagai perorangan warga
negara Indonesia yang pada saat permohonan diajukan,
merupakan anggota KPKPN. Sebagai warga negara, anggota
KPKPN dapat melakukan fungsi dan tugas pencegahan
praktek KKN. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, fungsi dan tugas yang dimiliki oleh anggota
KPKPN tersebut menjadi berkurang bahkan akan hilang
sama sekali. Dengan demikian para Pemohon II mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;”300
Dari uraian di atas, MKRI hanya mempertimbangkan apa yang menjadi
kepentingan Pemohon II dan bukan kerugian konstitusional apa yang
dialami oleh Pemohon II. Bahkan dengan menelusuri keseluruhan isi
Putusan ini, tidak ditemukan adanya pasal dalam UUD NRI 1945 yang
dijadikan dasar pemberian hak konstitusional bagi Pemohon II.
Berdasarkan ketiadaan kerugian konstitusional yang dialami oleh
Pemohon II dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK,
seyogyanya MKRI tidak bisa memberikan kedudukan hukum kepada
Pemohon II. Hal ini dikarenakan Pasal 51 ayat (1) UU MK sudah jelas
mengatur bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang”301
Merujuk pada runutan penjelasan di atas, Tim Peneliti berpandangan
bahwa disejajarkannya kepentingan dengan kerugian konstitusional guna
menjadi dasar diberikannya kedudukan hukum adalah agar kepentingan
bisa menjadi alternatif dari kerugian konstitusional. Asumsi Tim Peneliti
ini didukung dengan pernyataan MKRI dalam Putusan No. 008/PUU-
II/2004, yang di dalam pertimbangannya mengenai kedudukan hukum
menyatakan:
300 Ibid., hlm. 91. 301 Indonesia (f), Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 51 ayat (1)
155
“Akan halnya Pemohon II, Dr. Alwi Abdurrahman Shihab
dalam kapasitas sebagai perorangan warga negara
Indonesia, tidak memiliki legal standing karena dalam
kapasitas tersebut tidak ada hak konstitusional Pemohon II
yang dirugikan oleh berlakunya Undang-undang a quo.
Sedangkan dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Dewan
Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa yang akan mengusulkan
Pemohon I sebagai calon Presiden Partai Kebangkitan
Bangsa, Pemohon II memiliki legal standing;”302
Kutipan di atas secara tegas menunjukkan bahwa ternyata tanpa adanya
kerugian konstitusional pun, pemohon pengujian undang-undang masih
bisa mendapatkan kedudukan hukum—kendati kondisi ini secara nyata
bertentangan dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK—selama pemohon bisa
membuktikan adanya kepentingan terhadap materi undang-undang yang
dimohonkan pengujiannya.
Pada akhirnya terlepas dari terlepas dari adanya pertentangan dengan
Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan No. 008/PUU-II/2004 merupakan
putusan yang menegaskan pentingnya peran dari kepentingan di dalam
hukum acara MKRI dikarenakan kepentingan dapat memberikan
kedudukan hukum untuk pihak yang secara eksplisit telah dinyatakan tidak
memiliki kerugian konstitusional.
B. KEPENTINGAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF MKRI
Saat ini belum terdapat definisi dan pengaturan mengenai kepentingan
di dalam peraturan perundang-undangan. Pemberian kedudukan hukum
atas dasar kepentingan hidup dalam putusan. Dengan demikian, penentuan
adanya kepentingan dari pemohon sebagai kedudukan hukum murni
didasarkan pada penalaran MKRI terhadap ada atau tidaknya kepentingan
tersebut. Penentuan adanya kepentingan bisa dilakukan dengan atau tanpa
adanya kerugian konstitusional pemohon. Lima syarat dalam Putusan No.
006/PUU-III/2005 yang digunakan untuk mengukur kerugian
302 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bs), Putusan No. 008/PUU-II/2004, hlm.
24
156
konstitusional pemohon pengujian undang-undang juga belum tentu
diterapkan oleh MKRI bagi pemohon yang memiliki kepentingan sebagai
kedudukan hukum.
Terlepas dari kurangnya informasi yang ada, dalam penelusuran Tim
Peneliti terhadap 888 input data yang ada, sebanyak 76 input diidentifikasi
menggunakan ragam kepentingan (kepentingan hukum) sebagai dasar
pemberian kedudukan hukum. Angka ini merupakan jumlah total antara
putusan yang hanya menggunakan kepentingan hukum saja sebagai dasar
pemberian kedudukan hukum (sebanyak 54 putusan) dan putusan yang
juga menggunakan kerugian konstitusional sebagai dasar pemberian
kedudukan hukum (sebanyak 22 putusan). Dari data yang ada, terlihat
rendahnya tren penggunaan kepentingan hukum sebagai dasar pemberian
kedudukan hukum. Era kepemimpinan Jimly Asshiddiqie saja yang cukup
sering menggunakan kepentingan hukum sebagai dasar pemberian
kedudukan hukum. Gambaran pemberian kedudukan hukum atas dasar
kepentingan hukum dari masa ke masa kepemimpinan Ketua MKRI dapat
dilihat dari grafik di bawah ini:
Grafik 5.1 Perbandingan penggunaan bentuk kedudukan hukum dari masa ke masa
157
Berikut adalah beberapa putusan yang menggunakan kepentingan
hukum sebagai dasar pemberian kedudukan hukum namun tetap berusaha
mengedepankan kerugian konstitusional sebagai batu uji pemberian
kedudukan hukum. Oleh sebab itu, putusan-putusan ini akan dianalisis
melalui 5 syarat kerugian konstitusional—meski ada beberapa putusan
yang dibacakan sebelum syarat-syarat di atas diperkenalkan.
1. Putusan No. 004/PUU-I/2003
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung pada Pasal 7 ayat (1) huruf g (syarat calon hakim
agung).303 Di dalam Putusan ini, hak konstitusional Pemohon sebagai
perorangan WNI yang dinyatakan ulang oleh MKRI adalah Pasal 27
ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), (2), dan (3),
serta Pasal 28I ayat (2). MKRI hanya menyatakan dalam bagian
kedudukan hukum bahwa ketentuan yang diajukan diskriminatif bagi
pemohon tanpa memberikan uraian mengenai hak konstitusional yang
dirugikan oleh ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf g. Dalam putusan
tersebut, MKRI menyatakan ada 2 dasar pemberian kedudukan hukum
kepada Pemohon, yaitu: (i) adanya kepentingan pada Pemohon; dan
(ii) adanya kerugian pada Pemohon.304
Untuk kepentingan, MKRI menjelaskan bahwa sebagai hakim
karier yang menjadi Pemohon mempunyai kepentingan langsung
terhadap ketentuan yang mengatur promosi jabatan kariernya di
lingkungan peradilan termasuk di dalamnya adalah promosi jabatan
hakim agung di lingkungan MARI. MKRI dalam ini melihat posisi
Pemohon sebagai hakim karier dan menentukan dalam kapasitasnya
tersebut, Pemohon mempunyai kepentingan terhadap ketentuan
mengenai promosi jabatan hakim agung.
303 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (m), Putusan No. 004/PUU-I/2003, hlm. 6. 304 Ibid, hlm. 16.
158
Untuk kerugian, MKRI menyatakan bahwa ketentuan yang
diajukan diskriminatif bagi Pemohon tanpa memberikan uraian lebih
jelas lagi. Dari pertimbangan ini, tampak bahwa MKRI hanya
menjelaskan bentuk kerugian yang dialami oleh Pemohon dan tidak
menjelaskan dampak jika permohonan dikabulkan terhadap
kemungkinan terjadinya kerugian di masa mendatang.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam Putusan ini adalah adanya
2 dasar pemberian kedudukan hukum terhadap Pemohon. Meskipun di
dalam Putusan ini pada akhirnya kedua kedudukan hukum tersebut
seakan dianggap menjadi satu oleh MKRI, namun pemisahan yang
dilakukan oleh MKRI di awal menunjukkan bahwa selain kerugian
konstitusional, ada hal lain yang dapat menjadi dasar diberikannya
kedudukan hukum kepada Pemohon.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.1 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 004/PUU-I/2003
2. Putusan No. 006/PUU-I/2003
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 13
huruf a (kewenangan KPK), Pasal 69 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 26 ayat
159
(3) huruf a (diintegrasikannya KPKPN menjadi bidang pencegahan
dalam KPK), dan Pasal 71 ayat (2) (tidak berlakunya sebagian
ketentuan mengenai KPKPN).305 Di dalam Putusan ini, Pemohon tidak
pernah menyatakan hak konstitusional mana yang dirugikan oleh
ketentuan yang diajukan. Pemohon hanya menyatakan bahwa
ketentuan yang diajukan melanggar Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28D
UUD NRI 1945.306 Pada pertimbangan mengenai kedudukan hukum,
MKRI tidak menyatakan bahwa ada hak konstitusional Pemohon yang
dirugikan dan menyatakan bahwa pemohon sebagai anggota KPKPN
mempunyai kepentingan langsung dengan akibat yang ditimbulkan
oleh berlakunya ketentuan yang diuji.307
Tidak ada uraian mengenai bentuk kerugian konstitusional yang
akan dialami oleh Pemohon dan bagaimana Pemohon mengalami
kerugian konstitusional. Oleh karenanya, tidak ada pula uraian
mengenai hubungan antara kerugian dengan sumber kerugian dan tidak
mungkin pula ada uraian mengenai kondisi pasca-dikabulkannya
permohonan terhadap kerugian. Yang ada dalam Putusan ini hanyalah
pernyataan berikut: “Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, fungsi dan tugas yang dimiliki oleh anggota KPKPN
tersebut menjadi berkurang bahkan akan hilang sama sekali.”308
Dari perspektif kepentingan hukum, hal yang harus diperhatikan
dalam putusan ini adalah baik Pemohon mau pun MKRI tidak pernah
menyatakan dari awal sampai akhir bahwa ada kerugian konstitusional
yang dialami Pemohon, namun permohonan tetap diterima dan
dipertimbangkan oleh MKRI atas dasar adanya kepentingan langsung
dari Pemohon.
305 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (d), Putusan No. 006/PUU-I/2003, hlm. 38-
39. 306 Ibid., hlm. 38. 307 Ibid., hlm. 91. 308 Ibid.
160
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.2 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 006/PUU-I/2003
3. Putusan No. 008/PUU-II/2004
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya Pasal 6
huruf d (calon Presiden harus mampu secara jasmani dan rohani) dan
huruf s (calon Presiden bukan bekas anggota PKI).309 Di dalam putusan
ini, MKRI tidak membantah dalil pemohon bahwa hak konstitusional
pemohon adalah hak yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat
(2) UUD NRI 1945.310 MKRI tidak memberikan uraian mengenai hak
konstitusional apa saja yang termuat dalam Pasal-Pasal tersebut. Di
sini, MKRI memberikan kedudukan hukum yang berbeda untuk
Pemohon I dan Pemohon II. Kepada Pemohon I, MKRI menyatakan
bahwa:
“Pemohon I, K.H. Abdurrahman Wahid, sebagai
perorangan warga negara Indonesia yang diusulkan
sebagai calon Presiden oleh Partai Kebangkitan Bangsa
309 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bs), Putusan No. 008/PUU-II/2004, hlm.
9-10. 310 Ibid, hlm. 8.
161
maupun sebagai Ketua Umum Dewan Syuro Partai
Kebangkitan Bangsa, memiliki kedudukan hukum (legal
standing) guna mengajukan permohonan pengujian
terhadap Pasal 6 huruf d, atau keseluruhan Pasal 6
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;”311
Sedangkan kepada Pemohon II, MKRI menyatakan bahwa:
“Akan halnya Pemohon II, Dr. Alwi Abdurrahman Shihab
dalam kapasitas sebagai perorangan warga negara
Indonesia, tidak memiliki legal standing karena dalam
kapasitas tersebut tidak ada hak konstitusional Pemohon
II yang dirugikan oleh berlakunya Undang-undang a quo.
Sedangkan dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Dewan
Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa yang akan
mengusulkan Pemohon I sebagai calon Presiden Partai
Kebangkitan Bangsa, Pemohon II memiliki legal
standing;”312
Jadi dapat dilihat bahwa yang sebenarnya mengalami kerugian
konstitusional, atau dianggap mengalami kerugian konstitusional
dalam putusan ini sebenarnya hanyalah Pemohon I. Pemohon II sama
sekali tidak memiliki kerugian konstitusional dalam permohonan ini,
meskipun Pemohon II tetap dinyatakan memiliki kedudukan hukum
atas dasar kapasitasnya sebagai “Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai
Kebangkitan Bangsa yang akan mengusulkan Pemohon I sebagai calon
Presiden Partai Kebangkitan Bangsa”. Namun dalam Putusan ini baik
untuk Pemohon I dan Pemohon II, MKRI tidak menjelaskan bentuk
kerugian yang dialami oleh para Pemohon; tidak menjelaskan pula
apakah kerugian tersebut aktual atau potensial; dan tidak menjelaskan
dampak jika permohonan dikabulkan terhadap kemungkinan terjadinya
kerugian di masa mendatang.
311 Ibid, hlm. 24. 312 Ibid.
162
Dari perspektif kepentingan hukum, hal yang harus diperhatikan
dalam Putusan ini adalah bahwa kepentingan hukum bisa menjadi
dasar pemberian kedudukan hukum meskipun para Pemohon tersebut
secara eksplisit telah dinyatakan tidak memiliki kerugian konstitusional
sama sekali.313 Hal ini menjadi indikasi bahwa MKRI sendiri
sebenarnya bisa saja mengabaikan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan
memberikan kedudukan hukum untuk pihak yang tidak dirugikan hak
konstitusionalnya oleh ketentuan yang diajukan dengan justifikasi
bahwa pihak tersebut memiliki kepentingan.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Untuk Pemohon I:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.3 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 008/PUU-II/2004 bagi Pemohon I
Untuk Pemohon II:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
313 Ibid.
163
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.4 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 008/PUU-II/2004 bagi Pemohon II
4. Putusan No. 019/PUU-I/2003
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat, khususnya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) (latar belakang
pendidikan tinggi hukum), Pasal 14 sampai 17 (hak advokat dalam
menjalankan profesinya), Pasal 3 ayat (1) (batasan minimal umur
advokat) dan Pasal 32 ayat (3) (pembatasan organisasi advokat).314 Di
dalam Pertimbangan mengenai Pokok Permohonan MKRI menyatakan
bahwa para Pemohon juga memohonkan mengenai Pasal 32 ayat (2).315
Namun dalam bagian petitum permohonan para Pemohon tidak pernah
menyebutkan mengenai Pasal 32 ayat (2) dan tidak terdapat argumen
mengenai hal tersebut. Di dalam Putusan ini, MKRI tidak membantah
dalil para pemohon bahwa hak konstitusional para pemohon adalah hak
yang tercantum dalam Pasal 24, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1)
UUD NRI 1945.316 Namun, MKRI tidak memberikan uraian mengenai
hak konstitusional apa saja yang termuat dalam Pasal-Pasal tersebut.
Tidak ada uraian MKRI mengenai bentuk kerugian konstitusional
yang dialami oleh para pemohon; MKRI tidak menjelaskan hubungan
antara ketentuan yang diuji dengan kerugian para Pemohon, dan tidak
314 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bt), Putusan No. 019/PUU-I/2003, hlm. 9-
10. 315 Ibid., hlm. 23. 316 Ibid., hlm. 22-23.
164
menjelaskan dampak jika permohonan dikabulkan terhadap
kemungkinan terjadinya kerugian di masa mendatang. Hal terkait
kedudukan hukum para Pemohon yang ada dalam Putusan ini hanyalah
pernyataan berikut:
“Menimbang, bahwa Para Pemohon adalah perorangan
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang
sama dan sebagian tergabung dalam APHI (Asosiasi
Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) oleh
karena itu Mahkamah berpendapat bahwa Para Pemohon
beralasan untuk menganggap bahwa hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan
berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003 sebagaimana akan
diuraikan dalam pokok perkara. Oleh karena itu Para
Pemohon memiliki legal standing untuk bertindak sebagai
Pemohon di dalam perkara ini.”317
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa MKRI hanya
menyatakan bahwa para Pemohon adalah “perorangan atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan yang sama” dan langsung
mengambil sebuah kesimpulan bahwa para Pemohon mempunyai
cukup alasan untuk beralasan untuk menganggap bahwa hak dan/atau
kewenangan konstitusional mereka dirugikan dengan berlakunya
ketentuan yang diuji tanpa adanya penjelasan kenapa dan bagaimana
caranya identitas pemohon sebagai: “perorangan atau kelompok orang
yang mempunyai kepentingan yang sama dan sebagian tergabung
dalam APHI (Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia)” membuat para Pemohon mempunyai cukup alasan untuk
dirugikan hak konstitusionalnya.
Dari perspektif kepentingan hukum, dalam Putusan ini dapat
dilihat bahwa MKRI dapat melakukan penyederhanaan terhadap
penjelasan tentang kerugian dengan menyatakan bahwa Pemohon
adalah perorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan
317 Ibid, hlm. 23.
165
sama yang sebagian tergabung dalam APHI untuk menjadikan dasar
pemberian kedudukan hukum.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.5 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 019/PUU-I/2003
5. Putusan No. 003/PUU-I/2003
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara, khususnya Pasal 20 (keberlakuan surat utang
negara).318 Di dalam Putusan ini, Pemohon tidak pernah menyatakan
hak konstitusional mana yang dirugikan oleh ketentuan yang diajukan.
MKRI juga tidak menyatakan bahwa ada hak konstitusional Pemohon
yang dirugikan dan menyatakan bahwa:
“Menimbang bahwa Para Pemohon a quo adalah warga
masyarakat pembayar pajak (tax payers), sehingga
dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal dimaksud sesuai
dengan adagium no taxation without participation dan
318 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bu), Putusan No. 003/PUU-I/2003, hlm.
30.
166
sebaliknya no participation without tax, sehingga hak dan
kepentingan mereka terpaut pula dengan pinjaman (loan)
yang dibuat negara cq pemerintah dengan pihak lain
yang akan membebani warga negara sebagai pembayar
pajak. Upaya pembayaran dan pelunasan utang negara
antara lain berasal dari pemasukan pajak. Dalam kaitan
dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon a
quo yang menganggap hak konstitusional mereka
dirugikan dengan berlakunya Pasal 20 UU Nomor 24
Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, dapat
dibenarkan sehingga Pemohon a quo memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk berperkara di hadapan
Mahkamah.“319
Tidak ada uraian mengenai bentuk kerugian konstitusional yang
akan dialami oleh Pemohon dan bagaimana Pemohon akan dirugikan.
Oleh karenanya, tidak ada pula uraian mengenai hubungan antara
kerugian dengan sumber kerugian dan tidak mungkin pula ada uraian
mengenai kondisi pasca-dikabulkannya permohonan terhadap
kerugian. Terhadap hal tersebut, 2 orang hakim MKRI—yang tidak
disebutkan namanya—menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap
diberikannya kedudukan hukum kepada Pemohon karena pemohon
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK.320 Kedua hakim MKRI tersebut berpendapat bahwa
suku kata “-nya” dalam anak kalimat “yang menganggap kewenangan
konstitusionalnya” yang tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK,
mengandung arti bahwa kerugian konstitusional itu harus bersifat
spesifik dan merupakan kerugian aktual atau potensial yang
mempunyai kaitan yang cukup jelas dengan berlakunya undang-
undang tersebut. Kedua hakim MKRI tersebut juga secara tegas
319 Ibid., hlm. 49-50. 320 Ibid., hlm. 50.
167
menyatakan bahwa kerugian yang dialami oleh Pemohon bukanlah
kerugian konstitusional.321
Dari perspektif kepentingan hukum, dalam putusan ini hal yang
harus diperhatikan adalah bahwa MKRI tidak pernah menyatakan
bahwa Pemohon mengalami kerugian konstitusional dan bahkan 2 di
antaranya menyatakan dengan tegas bahwa para pemohon tidak
mengalami kerugian konstitusional, namun permohonan tetap diterima
dan dipertimbangkan oleh MKRI atas dasar adanya kepentingan dari
Pemohon sebagai pembayar pajak. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagaimana dalam Putusan No. 008/PUU-II/2004, MKRI bisa saja
memberikan kedudukan hukum terhadap pihak yang tidak mengalami
kerugian konstitusional sama sekali.322
Dari uraian di atas, tidak ada pemenuhan sama sekali terhadap
syarat kerugian konstitusional Pemohon sehingga hasilnya adalah
sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.6 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 008/PUU-II/2004
321 Ibid. 322 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bs), Putusan No. 008/PUU-II/2004, hlm.
15-16.
168
6. Putusan No. 128/PUU-VII/2009
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan, khususnya Pasal 4 ayat (2) (penghasilan yang
terkena pajak final), Pasal 17 ayat (7) (pengaturan tarif pajak di
peraturan pemerintah), Pasal 7 ayat (3) (pengaturan penghasilan tidak
kena pajak), Pasal 14 ayat (1) (norma penghitungan penghasilan netto),
Pasal 14 ayat (7) (besar dari peredaran bruto), Pasal 17 ayat (2) huruf
a, c, dan huruf d (batasan penurunan tarif), Pasal 17 ayat (3) (besar
lapisan penghasilan kena pajak), Pasal 19 ayat (2) (tarif atas selisih
penilaian kembali aktiva), Pasal 21 ayat (5) (tarif pemotongan atas
penghasilan), Pasal 22 ayat (1) huruf c (kewenangan Menteri
Keuangan menetapkan wajib pajak badan memungut pajak), Pasal 22
ayat (2) (ketentuan pungutan pajak di pasal 22 ayat 1), dan Pasal 25
ayat (8) (ketentuan pajak bagi wajib pajak yang tidak punya nomor
pokok wajib pajak dan berusia 21 tahun yang pergi ke luar negeri).323
Hal yang menarik di dalam putusan ini adalah MKRI menyatakan
bahwa dikarenakan Pasal-Pasal tersebut didelegasikan lebih lanjut
kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, hak
konstitusional pemohon adalah yang tercantum dalam Pasal 23A, Pasal
28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI
1945 telah dirugikan.324 Padahal dalam petitum, Pemohon menyatakan
bahwa ketentuan yang diuji hanya bertentangan dengan Pasal 23A dan
Pasal 28D UUD NRI 1945.325
Dalam Pertimbangan mengenai Kedudukan Hukum, MKRI
menyatakan dalam bagian kedudukan hukum bahwa Pemohon merasa
sangat berkepentingan dan dirugikan hak konstitusionalnya oleh
sejumlah materi/muatan dalam ketentuan yang dimohonkan karena:
323 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bv), Putusan No. 128/PUU-VII/2009, hlm.
17-18. 324 Ibid., hlm. 150. 325 Ibid., hlm. 18.
169
a. Pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk deposito yang
diatur dalam PP No. 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia (PP 131/2000);
b. Pemohon merasa berdosa telah mengajarkan sesuatu yang salah
karena ketentuan yang diujikan bertentangan dengan UUD NRI
1945;
c. Pelimpahan pengaturan itu menyebabkan Pemohon tidak dapat
menentukan atau mengatur sendiri (melalui DPR) mengenai pajak;
dan
d. Jika permohonan dikabulkan maka warga negara tidak akan
dirugikan.326
Sedangkan dalam Pertimbangan mengenai Pokok Permohonan,
MKRI menyatakan bahwa ketentuan yang diajukan oleh Pemohon di
dalam permohonan telah menyebabkan kerugian konstitusional
Pemohon dalam bentuk:
a. Penetapan pajak harus dengan undang-undang bukan dengan
peraturan yang lebih rendah (PP, Peraturan Menteri Keuangan,
Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Direktur Jenderal
Pajak);
b. Tidak memenuhi unsur materi pajak, karena peraturan di bawah
undang-undang tidak dapat menetapkan subjek, objek, beban dan
sanksi pajak;
c. Pengenaan pajak tanpa persetujuan DPR adalah perampokan,
karenanya harus diatur dalam undang-undang;
d. PP 131/2000 tidak adil karena tidak membedakan antara yang kaya
dengan yang miskin;
e. Pengaturan tarif pajak dengan PP tidak menjamin kepastian hukum
yang adil;327
326 Ibid., hlm. 150. 327 Ibid., hlm. 153.
170
Meskipun MKRI menyatakan hal-hal di atas menyebabkan
kerugian konstitusional bagi Pemohon, MKRI tidak menguraikan apa
hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan.
Sehingga dalam Putusan ini, MKRI tidak menjelaskan bentuk kerugian
konstitusional yang dialami oleh Pemohon, tidak menjelaskan
hubungan antara ketentuan yang diuji dengan kerugian Pemohon dan
tidak menjelaskan dampak jika permohonan dikabulkan terhadap
kemungkinan terjadinya kerugian di masa mendatang.
Dari perspektif kepentingan hukum, hal yang harus diperhatikan di
sini adalah bahwa selain dikarenakan Pasal-Pasal tersebut
didelegasikan ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah,
tidak ada kerugian konstitusional yang secara pribadi diderita oleh
Pemohon. Alasan seperti “Pemohon merasa berdosa telah mengajarkan
sesuatu yang salah karena UU Pajak Penghasilan bertentangan dengan
UUD NRI 1945” seharusnya bukanlah kerugian konstitusional
meskipun diderita secara langsung oleh Pemohon. Oleh karena itu
frasa “Pemohon sangat berkepentingan” dapat dikatakan merupakan
kunci kenapa MKRI tetap memberikan kedudukan hukum kepada
Pemohon. Meskipun Pemohon secara pribadi tidak dirugikan, tapi
Pemohon sangat berkepentingan terhadap ketentuan yang diajukan.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa ✓
171
mendatang
Tabel 5.7 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 128/PUU-VII/2009
7. Putusan No. 006/PUU-II/2004
Undang-undang yang diuji adalah Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya Pasal 31 (pidana bagi non-
advokat yang menjalankan profesi advokat). Di dalam Putusan ini,
MKRI tidak membantah dalil para Pemohon bahwa hak konstitusional
para Pemohon adalah hak yang tercantum dalam Pasal 28C ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD
NRI 1945.328
Dalam Putusan ini MKRI hanya menyatakan bahwa para Pemohon
telah mengalami kerugian dalam wujud ditolaknya kehadiran para
Pemohon oleh pihak penyidik pada saat melakukan pendampingan
tanpa menjelaskan hak konstitusional mana yang dirugikan. MKRI
hanya menyatakan bahwa “telah ternyata terdapat kepentingan
Pemohon terhadap berlakunya undang-undang a quo yang menurut
Pemohon, dalam kualifikasi sebagaimana diuraikan di atas, telah
merugikan hak-hak konstitusionalnya”.329
Dari perspektif kepentingan hukum, MKRI melakukan simplifikasi
terhadap pemberian kedudukan hukum dengan hanya menyatakan
bahwa para Pemohon memiliki kepentingan yang kemudian hal itu
menimbulkan kerugian. MKRI tidak menjelaskan bentuk kerugian
konstitusional yang dialami oleh para Pemohon, tidak menjelaskan
hubungan antara ketentuan yang diuji dengan kerugian para Pemohon;
dan tidak menjelaskan dampak jika permohonan dikabulkan terhadap
kemungkinan terjadinya kerugian di masa mendatang.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
328 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bw), Putusan No. 006/PUU-II/2004, hlm.
11. 329 Ibid., hlm. 28.
172
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.8 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 006/PUU-II/2004
8. Putusan No. 002/PUU-I/2003
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi secara keseluruhan. Pada bagian permohonan,
para Pemohon menyatakan bahwa hak konstitusional para Pemohon
adalah hak yang tercantum dalam Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 33, Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28A serta Pasal 31 ayat (1) dan
ayat (4) UUD NRI 1945.330 Dalam Putusan ini, ketika
mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon, MKRI tidak
melihat dari perspektif apakah para Pemohon dalam kasus ini
dirugikan hak konstitusionalnya atau tidak oleh ketentuan yang
diajukan. MKRI hanya mempertimbangkan dari perspektif apakah para
Pemohon memiliki kepentingan untuk mengajukan permohonan atau
tidak. Di dalam Putusan ini MKRI menyatakan bahwa:
“Menimbang bahwa Pemohon I sampai dengan V,
terlepas dari tidak dapat dibuktikannya apakah Para
Pemohon dimaksud berstatus sebagai badan hukum atau
330 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (t), Putusan No. 002/PUU-I/2003, hlm. 9-
13.
173
tidak, namun berdasarkan anggaran dasar masing-
masing perkumpulan yang mengajukan permohonan ini
(Pemohon I sampai dengan V) telah ternyata bahwa
tujuan perkumpulan tersebut adalah untuk
memperjuangkan kepentingan umum (public interests
advocacy) yang di dalamnya tercakup substansi dalam
permohonan a quo, sehingga Mahkamah berpendapat
Pemohon I sampai dengan V memiliki kedudukan hukum
(legal standing) sebagai Pemohon dalam permohonan a
quo;”331
Ketika menolak untuk memberikan kedudukan hukum kepada
Pemohon VI dalam Putusan ini, MKRI juga menggunakan perspektif
kepentingan untuk menolak memberikan kedudukan hukum. MKRI
mendalilkan bahwa dikarenakan Pemohon VI tidak menerangkan
dengan jelas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
berkenaan dengan kualifikasinya sebagai Pembantu Rektor II
Universitas Kejuangan 45, maka “tidak tampak adanya hubungan
kepentingan antara substansi permohonan dan kualifikasi Pemohon
yang bertindak atas nama Universitas Kejuangan 45”332 sehingga
kedudukan hukum Pemohon VI tidak diberikan. Jadi dalam Putusan
ini, MKRI murni mempertimbangkan penerimaan dan/atau penolakan
kedudukan hukum para Pemohon dari kepentingan masing-masing
Pemohon, bukan dari apakah masing-masing Pemohon tersebut
mengalami kerugian konstitusional sebagai akibat dari berlakunya
ketentuan yang diuji.
Dari perspektif kepentingan hukum, Putusan ini sangatlah penting
karena dalam Putusan ini penerimaan kedudukan hukum sama sekali
tidak berdasarkan dari perspektif kerugian konstitusional yang dialami
para Pemohonnya. MKRI tidak menyatakan bahwa dikarenakan
pemohon memiliki kepentingan lalu timbul kerugian seperti di
331 Ibid., hlm. 200. 332 Ibid., hlm. 201.
174
putusan-putusan sebelumnya,333 MKRI melangkah lebih jauh lagi
dengan tidak mempertimbangkan kerugian yang dialami sama sekali
ketika menerima dan menolak kedudukan hukum dari para
Pemohon.334
MKRI tidak menjelaskan bentuk kerugian konstitusional yang
dialami oleh para Pemohon, tidak menjelaskan hubungan antara
ketentuan yang diuji dengan kerugian para Pemohon, dan tidak
menjelaskan dampak jika permohonan dikabulkan terhadap
kemungkinan terjadinya kerugian di masa mendatang.
Dari uraian di atas, tidak ada pemenuhan sama sekali terhadap
syarat kerugian konstitusional para Pemohon sehingga hasilnya adalah
sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.9 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 002/PUU-I/2003
333 Lihat, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (m), Putusan No. 004/PUU-I/2003,
hlm. 16. Lihat juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (d), Putusan No. 006/PUU-
II/2004, hlm. 28. Lihat juga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bv), Putusan No.
128/PUU-VII/2009, hlm. 150. 334 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (i),Putusan No. 002/PUU-I/2003, h. 200-
201
175
9. Putusan No. 072-073/PUU-II/2004
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 1 angka 21 (definisi KPUD)
serta Pasal 57 ayat (1), Pasal 65 ayat (4), Pasal 66 ayat (3) huruf e,
Pasal 67 ayat (1) huruf e, Pasal 82 ayat (2), Pasal 89 ayat (3), Pasal 94
ayat (2) dan Pasal 114 ayat (4) (ketentuan pemilihan umum kepala
daerah).335 Di dalam Putusan ini, para Pemohon mendalilkan bahwa
ketentuan yang diajukan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3), Pasal
22E ayat (1), dan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945336 dengan
kerugian hanya di Pasal 28D UUD NRI 1945 ayat (1) yang kemudian
diterima oleh MKRI.337
Dalam Putusan ini MKRI menyatakan bahwa untuk Perkara No.
072/PUU-II/2004, berdasarkan anggaran dasar dari 5 LSM/yayasan
yang mengajukan permohonan: kelima LSM/yayasan tersebut
berkepentingan terhadap upaya pembaharuan pemilu (electoral reform)
termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah langsung yang dapat
terselenggara secara demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil (luber dan jurdil), serta bebas dari KKN.338 Hal tersebut
menjadi dasar bagi MKRI untuk menentukan bahwa para Pemohon
tersebut memiliki kedudukan hukum.339
Untuk Perkara No. 073/PUU-II/2004, MKRI menggunakan
penafsiran yang berbeda. Di awal MKRI menggunakan perspektif
kepentingan dengan mempertimbangkan identitas para Pemohon
sebagai 21 KPU Provinsi yang dinamakan KPUD yang akan bertindak
sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah provinsi (gubernur)
yang tentunya sangat berkepentingan akan adanya peraturan
perundang-undangan yang dapat menjamin bisa diselenggarakannya
335 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bx), Putusan No. 072-073/PUU-II/2004,
hlm. 19. 336 Ibid. 337 Ibid., hlm. 105. 338 Ibid., hlm. 104-105. 339 Ibid.
176
pemilihan kepala daerah langsung secara demokratis, luber dan jurdil.
Namun lalu MKRI menggunakan perspektif kerugian dengan
menyatakan bahwa para Pemohon mengalami kerugian konstitusional
dalam bentuk kerugian terhadap kepastian hukum karena:
“…di satu pihak KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
sebagai bagian dari KPU menurut UU No. 12 Tahun
2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
serta menurut UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden harus bertanggung jawab
kepada KPU, sementara di lain pihak menurut UU Pemda
dalam sebutannya sebagai KPUD harus bertanggung
jawab kepada DPRD Dengan demikian, hak
konstitusional Pemohon yang tercantum dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD NRI 1945 sangat dirugikan dan oleh
karenanya para Pemohon dalam Perkara No. 073/PUU-
II/2004 memiliki legal standing…”340
Dari perspektif kepentingan hukum, konstruksi analisis MKRI
terhadap Putusan ini menarik karena MKRI menggunakan pendekatan
yang berbeda dalam memberikan kedudukan hukum bagi para
pemohon dalam Perkara No. 072/PUU-II/2004 dan Perkara No.
073/PUU-II/2004. Pendekatan yang digunakan dalam menilai
kedudukan hukum para pemohon dalam Perkara No. 072/PUU-II/2004
murni berdasarkan pendekatan kepentingan hukum. MKRI hanya
melakukan analisis terhadap isi dari anggaran dasar masing-masing
tanpa menganalisis kerugian yang dialami oleh para Pemohon tersebut.
Sedangkan dalam Perkara No. 073/PUU-II/2004, perspektif yang
digunakan awalnya adalah perspektif kerugian namun kemudian
beralih menjadi menganalisis kerugian konstitusional yang dialami
oleh para Pemohon.
Dalam putusan ini MKRI menjelaskan bentuk kerugian
konstitusional yang dialami oleh para Pemohon; MKRI menjelaskan
340 Ibid, h. 105
177
juga hubungan antara ketentuan yang diuji dengan kerugian para
Pemohon; namun MKRI tidak menjelaskan dampak jika permohonan
dikabulkan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian di masa
mendatang.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.10 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 072-073/PUU-II/2004
10. Putusan No. 026/PUU-III/2005
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 13 Tahun 2005 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2006. Di dalam
Putusan ini, Pemohon meminta MKRI menyatakan bahwa Undang-
undang tersebut dinyatakan oleh MKRI bertentangan dengan Pasal 31
ayat (4) UUD NRI 1945.341 MKRI mempertimbangkan kedudukan
hukum Pemohon atas dasar kepentingan Pemohon sebagai organisasi
yang berisi guru. MKRI menyatakan bahwa guru memiliki kepentingan
langsung terhadap anggaran pendidikan dalam hubungan dengan
bekerjanya sistem pendidikan nasional sebagaimana dimaksud oleh
341 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (by), Putusan No. 026/PUU-III/2005, hlm.
27.
178
Pasal 31 ayat (3) UUD NRI 1945.342 Selanjutnya MKRI
mempertimbangkan anggaran dasar dari Pemohon dan pada akhirnya
berkesimpulan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan.343
Dari perspektif kepentingan hukum, kedudukan hukum yang
diberikan kepada Pemohon dalam Putusan ini murni didasarkan pada
kepentingan hukum dan bukan karena adanya kerugian konstitusional
yang dialami oleh Pemohon. MKRI tidak pernah menyatakan
keberadaan hak konstitusional dari Pemohon yang akan dirugikan
dengan berlakunya undang-undang yang diajukan. MKRI tidak
menjelaskan bentuk kerugian konstitusional yang dialami oleh
Pemohon, hubungan antara ketentuan yang diuji dengan kerugian
Pemohon, dan dampak jika permohonan dikabulkan terhadap
kemungkinan terjadinya kerugian di masa mendatang.
Dari uraian di atas, tidak ada pemenuhan sama sekali terhadap
syarat kerugian konstitusional Pemohon sehingga hasilnya adalah
sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.11 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 026/PUU-III/2005
342 Ibid., hlm. 77. 343 Ibid.
179
11. Putusan No. 014/PUU-IV/2006
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, khususnya, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 28 ayat (1)
dan ayat (3) dan Pasal 32 ayat (4) (pengaturan dan pembatasan
organisasi advokat). Di dalam Putusan ini, Pemohon meminta MKRI
menyatakan ketentuan yang diujikan bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (3), Pasal 28E ayat (3) serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD
NRI 1945.344
Dalam Putusan ini, MKRI menyatakan secara eksplisit bahwa para
Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik hak-hak konstitusionalnya
yang dirugikan oleh berlakunya ketentuan yang dimohonkan
pengujiannya. Para Pemohon juga tidak menjelaskan kerugian hak
konstitusionalnya baik yang bersifat aktual maupun potensial. Para
Pemohon hanya menyatakan bahwa ketentuan yang dimohonkan
bertentangan dengan UUD NRI 1945 namun tidak disertai alasan atau
argumentasi mengapa dikatakan bertentangan.345 Pada akhirnya MKRI
menerima kedudukan hukum para Pemohon atas dasar bahwa sebagai
advokat, para Pemohon berkepentingan terhadap ketentuan yang diuji
dan berhak mempersoalkan apakah undang-undang tersebut merugikan
diri dan profesinya atau tidak.346
Dari perspektif kepentingan hukum, Putusan ini menjadi satu dari
sekian putusan yang menunjukkan bahwa sebuah permohonan
pengujian undang-undang tetap dapat diajukan tanpa adanya kerugian
konstitusional yang jelas selama pihak yang mengajukan memiliki
kepentingan terhadap ketentuan yang diajukan. Dalam Putusan ini,
MKRI tidak pernah menyatakan keberadaan hak konstitusional dari
344 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bz), Putusan No. 014/PUU-IV/2006, hlm.
8. 345 Ibid., hlm. 46. 346 Ibid.
180
para Pemohon yang akan dilanggar dengan berlakunya undang-undang
yang diajukan. MKRI tidak menjelaskan bentuk kerugian
konstitusional yang dialami oleh para Pemohon; MKRI tidak
menjelaskan juga hubungan antara ketentuan yang diuji dengan
kerugian para Pemohon; dan MKRI juga tidak menjelaskan dampak
jika permohonan dikabulkan terhadap kemungkinan terjadinya
kerugian di masa mendatang.
Dari uraian di atas, tidak ada pemenuhan sama sekali terhadap
syarat kerugian konstitusional para Pemohon sehingga hasilnya adalah
sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.12 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 014/PUU-IV/2006
12. Putusan No. 21-22/PUU-V/2007
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Pemohon I mengajukan pengujian terhadap
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8
ayat (1), Pasal 12 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c yang
menurut Pemohon I bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3),
181
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28C UUD NRI 1945.347 Untuk
Pemohon II, ketentuan yang diujikan adalah Pasal 1 ayat (1), Pasal 4
ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1) dan (3), Pasal 12 ayat (1) dan (3)
Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan (2) tanpa menyebutkan pasal mana
dalam UUD NRI 1945 yang dilanggar oleh ketentuan tersebut.348 Pada
intinya, baik Pemohon I maupun Pemohon II meminta keharusan
adanya keterlibatan atau peran aktif negara dalam ketentuan-ketentuan
tersebut.349
Dari perspektif kepentingan hukum, MKRI menciptakan sebuah
norma yang membuka kemungkinan WNI untuk melakukan pengujian
undang-undang apabila warga negara tersebut menganggap ketentuan
yang diujikan mengakibatkan hilang, berkurang, atau terhalangnya
keterlibatan atau peran aktif negara untuk melakukan tindakan dalam
rangka menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan
memenuhi (to fulfill) hak-hak konstitusional yang dipersoalkan.350 Oleh
karena MKRI tidak menyatakan hal tersebut sebagai kerugian
konstitusional, maka berarti hal ini dapat memberikan kedudukan
hukum bukan dikarenakan adanya kerugian konstitusional bagi WNI,
tapi karena WNI memiliki kepentingan atas hal tersebut. MKRI juga
menyatakan bahwa sepanjang argumentasi yang digunakan untuk
memohonkan pengujian didasarkan pada Pasal 33 UUD NRI 1945,
MKRI telah menerima kedudukan hukum dengan kualifikasi yang
identik dengan para Pemohon dalam putusan ini, dengan
mengkualifikasikannya sebagai kelompok orang WNI yang
mempunyai kepentingan sama. Putusan yang dimaksud oleh MKRI
adalah Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003, Putusan No. 002/PUU-
347 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ca), Putusan No. 21-22/PUU-V/2007, hlm.
40 . 348 Ibid., hlm. 99. 349 Ibid., hlm. 185. 350 Ibid., hlm. 186.
182
I/2003, Putusan No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-
III/2005, serta Putusan No. 013-021/PUU-III/2005.351
Dalam putusan ini, MKRI menjelaskan hak konstitusional para
Pemohon namun tidak menjelaskan bentuk kerugian konstitusional
yang dialami oleh para Pemohon; MKRI tidak menjelaskan juga
hubungan antara ketentuan yang diuji dengan kerugian para Pemohon;
MKRI juga tidak menjelaskan dampak jika permohonan dikabulkan
terhadap kemungkinan terjadinya kerugian di masa mendatang.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.13 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 21-22/PUU-V/2007
13. Putusan No. 3/PUU-IX/2011
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 20 Tahun 2001, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 45 yang menurut pemohon bertentangan
351 Ibid.
183
dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945.352
Dalam Putusan ini, MKRI hanya mempertimbangkan anggaran dasar
dari Pemohon sebagai dasar pemberian kedudukan hukum.353 MKRI
tidak menjelaskan hak konstitusional Pemohon dan juga tidak
menjelaskan bentuk kerugian konstitusional yang dialami oleh
Pemohon; MKRI tidak menjelaskan juga hubungan antara ketentuan
yang diuji dengan kerugian Pemohon; MKRI juga tidak menjelaskan
dampak jika permohonan dikabulkan terhadap kemungkinan terjadinya
kerugian di masa mendatang.
Dari perspektif kepentingan hukum, Putusan ini menjadi salah satu
putusan yang menunjukkan bahwa MKRI bisa tidak
mempertimbangkan kerugian konstitusional sama sekali ketika
memberikan kedudukan hukum. Putusan ini juga menunjukkan bahwa
Putusan Nomor 003/PUU-I/2003 yang memberikan kedudukan hukum
kepada pembayar pajak merupakan salah satu acuan MKRI dalam
memberikan kedudukan hukum.354
Dari uraian di atas, tidak ada pemenuhan sama sekali terhadap
syarat kerugian konstitusional Pemohon sehingga hasilnya adalah
sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang ✓
352 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (cb), Putusan No. 3/PUU-IX/2011, hlm. 15. 353 Ibid., hlm. 18. 354 Ibid.
184
diuji
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.14 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 3/PUU-IX/2011
14. Putusan No. 96/PUU-X/2012
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya
Pasal 22 ayat (4) (penentuan daerah pemilihan anggota DPR).355 Dalam
petitum permohonan, para Pemohon tidak menyatakan hak
konstitusional apa yang dirugikan dan pasal mana dalam UUD NRI
1945 yang digunakan sebagai batu uji. Dalam Pertimbangan mengenai
Kedudukan Hukum, MKRI menyatakan ulang dalil para Pemohon
yang menyatakan bahwa para Pemohon memiliki hak konstitusional
pada Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan
menyatakan bahwa para Pemohon dirugikan karena para Pemohon
mengalami hambatan untuk berperan dalam penyelenggaraan
pemilihan umum yang jujur dan adil serta melakukan pengkajian
mekanisme pengalokasian kursi DPR secara benar akibat
ketidaktepatan pengalokasian kursi DPR.356 MKRI menerima
kedudukan hukum para Pemohon dengan dasar kerugian dari para
Pemohon dengan dicampur pertimbangan bahwa para Pemohon adalah
badan hukum privat yang peduli untuk mewujudkan pemilihan umum
yang demokratis di Indonesia dengan melakukan aktivitas sosial dan
pengkajian yang berkaitan dengan pemilihan umum.357
Dalam Putusan ini MKRI menjelaskan hak konstitusional para
Pemohon dan bentuk kerugian konstitusional yang dialami oleh para
Pemohon, namun MKRI tidak menjelaskan hubungan antara ketentuan
355 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (cc), Putusan 96/PUU-X/2012, hlm. 37. 356 Ibid., hlm. 71. 357 Ibid., hlm. 71-72.
185
yang diuji dengan kerugian para Pemohon; MKRI juga tidak
menjelaskan dampak jika permohonan dikabulkan terhadap
kemungkinan terjadinya kerugian di masa mendatang.
Dari perspektif kepentingan hukum, dalam Putusan ini terdapat
ketidakjelasan dari MKRI soal apakah kedudukan hukum diberikan
karena memang ada kerugian para Pemohon atau kah memang karena
ada kepentingan hukum para Pemohon. Di satu sisi MKRI
menyebutkan dalam pertimbangannya: “…serta dikaitkan dengan
kerugian yang dialami oleh para Pemohon…”358 dan menyatakan
ulang ketentuan yang menurut MKRI berisi hak konstitusional dari
para Pemohon. Di sisi lain, MKRI menerima kedudukan hukum para
Pemohon atas dasar kepedulian para Pemohon untuk mewujudkan
pemilihan umum yang demokratis di Indonesia.359 Dasar pemberian
kedudukan hukum tersebut jelas masuk dalam perspektif kepentingan
hukum.
Dari uraian di atas, pemenuhan terhadap syarat kerugian
konstitusional adalah sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.15 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 96/PUU-X/2012
358 Ibid., hlm. 71. 359 Ibid., hlm. 72.
186
15. Putusan No. 62/PUU-XII/2014
Undang-undang yang diuji adalah UU No. 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum, khususnya Pasal 142 ayat (2) (alat bantu untuk
disabilitas).360 Dalam petitum permohonan, para Pemohon tidak
menyatakan hak konstitusional apa yang dirugikan dan pasal mana
dalam UUD NRI 1945 yang digunakan sebagai batu uji. Dalam
pertimbangan kedudukan hukum, MKRI juga tidak menyebutkan dan
juga tidak menguraikan apa hak konstitusional dari para Pemohon.361
Dalam Putusan ini, MKRI tidak menjelaskan hak konstitusional para
Pemohon dan juga tidak menjelaskan bentuk kerugian konstitusional
yang dialami oleh para Pemohon; MKRI tidak menjelaskan juga
hubungan antara ketentuan yang diuji dengan kerugian para Pemohon;
MKRI juga tidak menjelaskan dampak jika permohonan dikabulkan
terhadap kemungkinan terjadinya kerugian di masa mendatang.
Dari perspektif kepentingan hukum, MKRI memilah pemohon
yang punya dan tidak punya kedudukan hukum murni dari anggaran
dasar masing-masing para Pemohon. MKRI menerima anggaran dasar
Pemohon I karena salah satu tujuan Pemohon I adalah untuk
memberikan bantuan hukum bagi tunanetra. MKRI menyatakan
Pemohon II dan Pemohon III tidak memiliki kedudukan hukum karena
anggaran dasar mereka kabur. Terakhir, MKRI menyatakan Pemohon
IV dan Pemohon V tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak
memberikan anggaran dasar.362 Jadi bisa dilihat dalam Putusan ini
bahwa MKRI menerima dan menolak kedudukan dengan sama sekali
tidak mempertimbangkan soal apakah pemohon memiliki kerugian
konstitusional atau tidak. MKRI menerima dengan alasan adanya
anggaran dasar dan menolak juga dengan alasan tidak adanya atau
kaburnya anggaran dasar. Jadi pertimbangan pemberian dan penolakan
360 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (cd), Putusan 62/PUU-XII/2014, hlm. 15. 361 Ibid., hlm. 18-20. 362 Ibid., hlm. 19-20.
187
kedudukan hukum murni didasarkan pada perspektif kepentingan
hukum, bukan kerugian.
Dari uraian di atas, tidak ada pemenuhan sama sekali terhadap
syarat kerugian konstitusional pemohon sehingga hasilnya adalah
sebagai berikut:
Syarat Terpenuhi Tidak
Terpenuhi
Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon ✓
Anggapan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon ✓
Sifat kerugian yang spesifik (khusus) ✓
Sifat kerugian yang aktual atau potensial yang menurut
penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi ✓
Hubungan kausal antara kerugian dan ketentuan yang
diuji ✓
Kemungkinan tidak akan terjadinya kerugian di masa
mendatang ✓
Tabel 5.16 Pemenuhan syarat kerugian konstitusional dalam
Putusan No. 62/PUU-XII/2014
Berdasarkan uraian pada beberapa Putusan di atas, ada beberapa
kesimpulan yang dapat diambil, yaitu:
1. MKRI dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai kedudukan hukum
dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensinya sendiri
Konsekuensi logis dari tidak dipenuhinya Pasal 51 ayat (1) UU
MK seyogyanya adalah tidak diterimanya permohonan pengujian
undang-undang. Dalam Putusan No. 006/PUU-III/2005 MKRI bahkan
mengenalkan 5 syarat kerugian konstitusional untuk menentukan dapat
diterima atau tidaknya kedudukan hukum pemohon pengujian undang-
undang. Namun sebagaimana dapat dilihat pada putusan No. 008/PUU-
II/2004, MKRI bahkan bisa memberikan kedudukan hukum untuk
pihak yang secara eksplisit telah dinyatakan tidak punya kerugian
188
konstitusional.363 Dalam Putusan 62/PUU-XII/2014 MKRI bahkan
melangkah lebih jauh lagi dengan tidak mempertimbangkan kerugian
konstitusional para pemohon sama sekali.364
2. Syarat kerugian konstitusional yang disusun oleh MKRI tidak sesuai
dengan cara MKRI melihat adanya kedudukan hukum pada pemohon
Meskipun pasca-Putusan No. 006/PUU-III/2005 MKRI, 5 syarat
kerugian konstitusional disebutkan di hampir setiap putusan MKRI,
namun pada faktanya MKRI jarang sekali menilai kerugian
konstitusional berdasarkan pada 5 syarat tersebut. Dari 15 (lima belas)
Putusan yang dijelaskan di atas, tidak ada satu pun putusan yang
memenuhi kelima syarat yang ditentukan sendiri oleh MKRI. Hal ini
menunjukkan bahwa 5 syarat kerugian konstitusional yang ditentukan
oleh MKRI tidak sesuai dengan cara MKRI menilai ada tidaknya
kerugian konstitusional pemohon pengujian undang-undang. Sebab,
jika 5 syarat kerugian konstitusional tersebut benar-benar diterapkan,
maka seharusnya pemohon-pemohon dalam Putusan-Putusan yang
dikutip di atas dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum oleh
MKRI.
3. Kepentingan hukum saat ini berfungsi sebagai metode bagi MKRI
untuk memberikan kedudukan hukum bagi pihak yang tidak memiliki
kerugian konstitusional
Untuk pihak yang kerugian konstitusionalnya tidak jelas seperti di
dalam Putusan No. 014/PUU-IV/2006365 atau memang tidak memiliki
kerugian konstitusional seperti dalam Putusan No. 008/PUU-II/2004366,
363 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bt), Putusan No. 008/PUU-II/2004, hlm.
24. 364 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (cd), Putusan 62/PUU-XII/2014, hlm. 19-
20. 365 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bz), Putusan No. 014/PUU-IV/2006, hlm.
46. 366 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bt), Putusan No. 008/PUU-II/2004, hlm.
24.
189
kepentingan hukum dapat digunakan oleh MKRI untuk memberikan
kedudukan hukum bagi pihak yang tidak memiliki kerugian
konstitusional ketika MKRI. Hal ini penting dalam hal MKRI melihat
adanya manfaat dari dikabulkannya permohonan yang diajukan bagi
bangsa Indonesia.
C. PERGERAKAN PENAFSIRAN KEPENTINGAN HUKUM DARI MASA KE
MASA
Gambaran yang diberikan pada bagian terdahulu merupakan refleksi
umum terhadap pemikiran MKRI sehubungan dengan penerapan konsep
kepentingan hukum. Pada bagian ini, akan ditampilkan adalah pergerakan
penafsiran terhadap konsep kerugian konstitusional dari masa ke masa
berdasarkan periode kepemimpinan Ketua MKRI. Pergerakan penafsiran
ini akan ditunjukkan dengan melakukan analisis terhadap beberapa putusan
MKRI dari masa ke masa. Putusan yang akan dianalisis adalah putusan
yang menggambarkan bagaimana MKRI melihat hubungan antara kerugian
konstitusional dan kepentingan hukum dari masa ke masa.
1. Periode Jimly Asshiddiqie
Nomor Putusan : 008/PUU-II/2004
Kualifikasi Pemohon : Perorangan WNI yang diusulkan sebagai calon
Presiden Calon Presiden dan Ketua Umum Dewan
Tanfidz PKB yang akan mengusulkan Pemohon I
sebagai calon Presiden dari PKB
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak yang ada dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan
Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945.367
Uraian Kerugian
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: “Pemohon I, K.H. Abdurrahman Wahid, sebagai
perorangan warga negara Indonesia yang diusulkan
sebagai calon Presiden oleh Partai Kebangkitan
Bangsa maupun sebagai Ketua Umum Dewan Syuro
367 Ibid., hlm. 8.
190
Partai Kebangkitan Bangsa, memiliki kedudukan
hukum (legal standing) guna mengajukan
permohonan pengujian terhadap Pasal 6 huruf d,
atau keseluruhan Pasal 6 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden;”368
“Akan halnya Pemohon II, Dr. Alwi Abdurrahman
Shihab dalam kapasitas sebagai perorangan warga
negara Indonesia, tidak memiliki legal standing
karena dalam kapasitas tersebut tidak ada hak
konstitusional Pemohon II yang dirugikan oleh
berlakunya Undang-undang a quo.;”369
Uraian Kepentingan dalam
Pertimbangan
: “Sedangkan dalam kapasitas sebagai Ketua Umum
Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa yang
akan mengusulkan Pemohon I sebagai calon
Presiden Partai Kebangkitan Bangsa, Pemohon II
memiliki legal standing;”370
Tabel 5.17 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 008/PUU-II/2004
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa pada masa kepemimpinan
Jimly Asshiddiqie, kepentingan hukum dapat diberikan kepada
pemohon yang secara eksplisit telah dinyatakan tidak memiliki
kedudukan hukum ketika pemohon tersebut dinilai memiliki hubungan
dengan objek dari ketentuan yang diajukan. Dengan kata lain,
kedudukan hukum dijadikan alat tambahan untuk menguji apakah
pemohon bisa diberikan kedudukan hukum atau tidak ketika alat
utama, yaitu kerugian konstitusional, menunjukkan bahwa pemohon
seyogyanya tidak mendapatkan kedudukan hukum.
368 Ibid., hlm. 24. 369 Ibid. 370 Ibid.
191
2. Periode M. Mahfud M.D.
Nomor Putusan : 128/PUU-VII/2009
Kualifikasi Pemohon : Perorangan WNI yang juga adalah seorang
akademikus yang dikenakan beban kewajiban
membayar pajak penghasilan371
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak yang ada dalam Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI
1945372
Uraian Kerugian
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: “Pemohon merasa sangat berkepentingan dan
dirugikan hak konstitusionalnya oleh sejumlah
materi/muatan dalam pasal-pasal yang dimohonkan
pengujian a quo karena:
- Pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk
deposito yang diatur dalam PP Nomor 131 Tahun
2000;
- Pemohon merasa berdosa telah mengajarkan
sesuatu yang salah karena UU Pajak
Penghasilan bertentangan dengan UUD 1945;
- Pelimpahan pengaturan itu menyebabkan
Pemohon tidak dapat menentukan atau mengatur
sendiri (melalui DPR) mengenai pajak;
- Jika ini dikabulkan maka warga negara tidak
akan dirugikan.”373
Uraian Kepentingan dalam
Pertimbangan
: “Pemohon merasa sangat berkepentingan dan
dirugikan hak konstitusionalnya oleh sejumlah
materi/muatan dalam pasal-pasal yang dimohonkan
pengujian a quo karena:
- Pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk
deposito yang diatur dalam PP Nomor 131 Tahun
2000;
- Pemohon merasa berdosa telah mengajarkan
371 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bv), Putusan No. 128/PUU-VII/2009, hlm.
150. 372 Ibid. 373 Ibid.
192
sesuatu yang salah karena UU Pajak
Penghasilan bertentangan dengan UUD 1945;
- Pelimpahan pengaturan itu menyebabkan
Pemohon tidak dapat menentukan atau mengatur
sendiri (melalui DPR) mengenai pajak;
- Jika ini dikabulkan maka warga negara tidak
akan dirugikan.”374
Tabel 5.18 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 128/PUU-VII/2009
Uraian di atas menunjukkan bahwa MKRI pada masa
kepemimpinan M. Mahfud M.D. mencampurkan antara kerugian
konstitusional dengan kepentingan hukum. Kerugian konstitusional
yang dialami pemohon dianggap satu kesatuan dengan kepentingan
hukum dari pemohon. Kondisi ini berbeda dengan masa kepemimpinan
Jimly Asshiddiqie yang secara tegas memisahkan antara kerugian
konstitusional dan kepentingan hukum.
3. Periode M. Akil Mochtar
Nomor Putusan : 96/PUU-X/2012
Kualifikasi Pemohon : Perkumpulan Untuk Pemilu Dan Demokrasi dan
Perkumpulan Indonesian Parliamentary Center375
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak yang ada dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D
ayat (1) UUD NRI 1945376
Uraian Kerugian
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: “Dengan alasan-alasan yang pada pokoknya bahwa
para Pemohon mengalami hambatan untuk berperan
dalam penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu)
yang jujur dan adil serta melakukan pengkajian
mekanisme pengalokasian kursi DPR secara benar
akibat ketidaktepatan pengalokasian kursi DPR”377
374 Ibid. 375 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (cc), Putusan 96/PUU-X/2012, hlm. 1. 376 Ibid., hlm. 71. 377 Ibid.
193
Uraian Kepentingan dalam
Pertimbangan
: “Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah, para Pemohon adalah badan hukum
privat yang peduli untuk mewujudkan Pemilu yang
demokratis di Indonesia dengan melakukan aktivitas
sosial dan pengkajian yang berkaitan dengan
Pemilu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo”378
Tabel 5.19 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 96/PUU-X/2012
Kedudukan MKRI pada periode kepemimpinan M. Akil Mochtar
terhadap kepentingan hukum memiliki kemiripan dengan kedudukan
MKRI pada periode kepemimpinan M. Mahfud M.D. dalam artian
keduanya memberi pertimbangan mengenai kerugian konstitusional
dan kepentingan hukum. Namun, keduanya juga bisa dikatakan
berbeda, karena M. Mahfud M.D. tidak memisahkan antara kerugian
konstitusional dan kepentingan hukum, sementara M. Akil Mochtar
membuat keduanya menjadi seolah berhubungan sebab-akibat.
Awalnya M. Akil Mochtar mempertimbangkan kerugian
konstitusional, namun akhirnya memberikan kedudukan hukum atas
dasar kepentingan hukum.
4. Periode Hamdan Zoelva
Nomor Putusan : 62/PUU-XII/2014
Kualifikasi Pemohon : Organisasi379
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: -
Uraian Kerugian
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: -
378 Ibid., hlm. 72. 379 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (cd), Putusan 62/PUU-XII/2014, hlm. 19.
194
Uraian Kepentingan dalam
Pertimbangan
: “Menimbang, bahwa mengenai Pemohon 1
(Suhendar), berdasarkan AKTA PENDIRIAN
IKATAN ALUMNI WYATA GUNA (IAWG) Nomor
02 tanggal 06-01-2011, Pemohon adalah Ketua
IKATAN ALUMNI WYATA GUNA (IAWG) yang
berwenang mewakili organisasi tersebut di
pengadilan dan berdasarkan Pasal 5 huruf d,
Bidang Advokasi oleh Notaris RIENA SABRINA,
salah satu tujuan organisasi tersebut, antara lain,
untuk mewujudkan bantuan hukum bagi tunanetra,
menurut Mahkamah mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan a
quo;
Menimbang, bahwa mengenai Pemohon 2 (Yayat
Ruhiyat) dan Pemohon 3 (H. Yudi Yuspan) meskipun
mengajukan AKTA PENDIRIAN IKATAN
TUNANETRA MUSLIM INDONESIA yang dibuat
oleh Notaris HILDA SOPHIA WIRADIREDJA, S.H
tertanggal 16 Januari 2006, akan tetapi akta
tersebut tidak dapat dibaca karena fotokopinya
kabur. Dengan demikian Mahkamah menilai kedua
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
Menimbang, bahwa Pemohon 4 (Yadi Sophian) yang
mengaku sebagai Ketua Persatuan Olahraga
Tunaetra Indonesia (PORTI) Jawa Barat; Pemohon
5 (Wahyu Hidayat, S.Pd) yang mengaku sebagai
Ketua DPC Persatuan Tuna Netra Indonesia
(PERTUNI) Kota Bandung, dan Pemohon 6 (Putre
Wiwoho) yang mengaku sebagai Ketua DPD
Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI) Jawa
Barat, namun ketiganya tidak mengajukan akta
pendirian organisasi mereka sehingga menurut
Mahkamah tidak mempunyai kedudukan hukum
195
(legal standing) untuk mengajukan permohonan a
quo;”380
Tabel 5.20 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 008/PUU-II/2004
Pada era kepemimpinan Hamdan Zoelva, MKRI menggunakan
kepentingan hukum sebagai satu-satunya dasar untuk memberikan
kedudukan hukum kepada pemohon pengujian undang-undang. Tes
terhadap apakah pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak
murni didasarkan pada pemeriksaan formal terhadap apa yang termuat
dalam anggaran dasar saja. Tidak ada pembahasan mengenai apakah
pemohon mengalami kerugian atau tidak. Dengan kata lain, terjadi
pemisahan tegas antara kerugian konstitusional dan kepentingan
hukum, dan terjadi pengakuan implisit bahwa kepentingan hukum
memang bisa menggantikan kerugian konstitusional sebagai dasar
untuk memberikan kedudukan hukum.
5. Periode Arief Hidayat
Nomor Putusan : 89/PUU-XIII/2015
Kualifikasi Pemohon : Badan hukum privat (Pemohon III)381
Hak Konstitusional dalam
Pertimbangan
: Hak yang ada dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal
28D ayat (1) UUD NRI 1945382
Uraian Kerugian
Konstitusional dalam
Pertimbangan
: -
Uraian Kepentingan dalam
Pertimbangan
: “…terhadap Pemohon III, Mahkamah menerima
kedudukan hukum (legal standing) yang
bersangkutan dalam kapasitasnya sebagai badan
hukum yang ruang lingkup aktivitasnya berkenaan
dengan kegiatan kemasyarakatan dalam bidang
380 Ibid., hlm. 19-20. 381 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ce), Putusan 89/PUU-XIII/2015, hlm. 11-
12. 382 Ibid., hlm. 169-170.
196
hukum, bukan dalam kedudukan sebagai pengawas
kinerja Kepolisian sebagaimana didalilkan oleh
Pemohon III;”383
Tabel 5.21 Ringkasan pemberian kedudukan hukum dalam
Putusan No. 008/PUU-II/2004
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kedudukan MKRI pada masa
kepemimpinan Arief Hidayat dalam menyikapi kepentingan hukum
adalah sama dengan kedudukan MKRI pada masa kepemimpinan
Hamdan Zoelva. Keduanya menjadikan kepentingan hukum sebagai
satu-satunya dasar guna memberikan kedudukan hukum. Perbedaannya
di antara keduanya terlihat dari cara Arief Hidayat memperlakukan
dalil pemohon. Dari kutipan di atas, terlihat bahwa MKRI tidak
menerima dalil Pemohon mengenai kapasitasnya. Namun, alih-alih
menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum,
MKRI malah menentukan apa kapasitas yang seharusnya digunakan
Pemohon agar Pemohon bisa mendapatkan kedudukan hukum dalam
mengajukan pengujian undang-undang.
Mengacu pada uraian analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat
kerugian konstitusional, meski selalu disebutkan, malah semakin jarang
dipenuhi. Pada periode Hamdan Zoelva dan Arief Hidayat, terdapat
putusan yang di dalamnya bahkan tidak mempertimbangkan kerugian
konstitusional ketika memberikan kedudukan hukum kepada pemohon
pengujian undang-undang. Kondisi ini semakin menunjukkan bahwa pada
perkembangannya, MKRI menjadi longgar dalam menilai ada tidaknya
kerugian konstitusional pemohon pengujian undang-undang. Dengan kata
lain, ruang berkembangnya kepentingan hukum sebagai dasar pemberian
kedudukan hukum semakin melebar.
383 Ibid., hlm. 170-171.
197
D. KONSEPTUALISASI KEPENTINGAN HUKUM
Kepentingan hukum adalah konsep yang berkembang secara sporadis
dalam putusan-putusan MKRI. Tidak ada penamaan tunggal terhadapnya.
Terminologi yang digunakan berbeda-beda, mulai dari kepentingan,
kepentingan langsung, atau public interest advocacy, yang memberikan
pengakuan terhadap adanya kepentingan hukum bagi mereka yang
mengajukan permohonan atas dasar kepentingan umum384. Akibatnya, ada
kegamangan untuk bisa melihat apakah identitas tertentu memiliki
kepentingan yang bisa mendapatkan kedudukan hukum atau tidak.
Andaikan MKRI tetap hendak menggunakan konsep kepentingan
hukum ini, terlepas dari cara penyebutannya, maka seyogyanya perlu
dilakukan standardisasi terhadap konsep ini. Tim Peneliti menawarkan
proposal berupa tes 3 tingkatan guna bisa menentukan apakah seorang
pemohon memiliki kepentingan hukum atau tidak, yaitu: (i) penentuan
objek; (ii) penentuan hubungan antara subjek dan objek; dan (iii)
penentuan derajat hubungan.
Pertama, penentuan objek dari undang-undang. Penentuan dilakukan
dengan cara melihat apa yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Misalnya, jika yang hendak diuji adalah undang-undang mengenai advokat,
maka jelas bahwa objek dari undang-undang tersebut adalah advokat. Jika
undang-undang yang hendak diuji adalah undang-undang mengenai
sumber daya air, maka tentu objek dari undang-undang tersebut adalah
hubungan antara sumber daya air dengan pemerintah dan masyarakat.
Kedua, penentuan hubungan antara subjek dan objek. Penentuan
dilakukan dengan melihat siapa saja yang menjadi subjek dari undang-
undang yang hendak diuji. Dengan mengambil contoh sebelumnya, dalam
undang-undang advokat, yang secara kasat mata terlihat sebagai subjek
utama adalah advokat itu sendiri. Selanjutnya, subjek lain yang juga
terpengaruh tentu ada klien dari advokat. Pada contoh mengenai sumber
daya air, karena yang diatur adalah hubungan antara pemerintah dan
384 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (i), Putusan No. 002/PUU-I/2003, h. 200.
198
masyarakat sehubungan dengan sumber daya air, maka jelas bahwa yang
menjadi subjek adalah pemerintah dan masyarakat.
Ketiga, penentuan derajat hubungan yang dilakukan guna memberikan
batasan pada siapa yang bisa benar-benar dianggap memiliki kepentingan
terhadap suatu undang-undang. Penentuan ini dilakukan dengan melihat
kedekatan hubungan antara subjek dengan objek undang-undang. Pada
contoh mengenai undang-undang advokat, yang memiliki hubungan
langsung dengan keberlakuannya tentu adalah advokat. Sedangkan
hubungan antara klien advokat dengan undang-undang advokat jelas
merupakan hubungan tidak langsung karena hubungan tersebut ada sebagai
akibat dari hubungan antara klien dan advokat. Artinya, ada penghubung
(proxy) yang menghubungkan antara klien advokat dengan undang-undang
advokat. Sedangkan pada contoh mengenai undang-undang sumber daya
air, karena yang diatur adalah hubungan antara pemerintah dan masyarakat
mengenai pemanfaatan sumber daya air, maka keduanya secara langsung
berhubungan dengan undang-undang tersebut.
Agar cara penerapan tes 3 tingkatan ini dapat lebih dipahami, berikut
adalah tabel yang bersumber dari beberapa Putusan MKRI yang dibaca
dengan menggunakan tes ini:
A
1
Nomor Putusan : 014/PUU-IV/2006
Kedudukan Pemohon dalam
Putusan
: Advokat385
Undang-Undang yang Diuji : UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Objek Undang-Undang : Hak, kewajiban, tugas dan wewenang
advokat
Subjek dalam Undang-Undang : Advokat, klien, organisasi advokat, advokat
asing dan menteri
Subjek yang Berhubungan
Langsung dengan Objek Undang-
Undang
: Advokat, organisasi advokat dan advokat
asing
385 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (bz), Putusan No. 014/PUU-IV/2006, hlm.
1 & 46.
199
Subjek yang Berhubungan Tidak
Langsung dengan Objek Undang-
Undang
: Klien dan menteri
Tabel 5.22 Penggunaan tes kepentingan hukum terhadap Putusan No. 014/PUU-IV/2006
2 Nomor Putusan : 63/PUU-XII/2014
Kedudukan Pemohon dalam
Putusan
: Notaris dan persekutuan perdata yang terdiri
dari para notaris386
Undang-Undang yang Diuji : UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris
Objek Undang-Undang : Hak, kewajiban, tugas dan wewenang notaris
Subjek dalam Undang-Undang : Notaris, pejabat sementara notaris, notaris
pengganti, organisasi notaris dan menteri
Subjek yang Berhubungan
Langsung dengan Objek Undang-
Undang
: Notaris, pejabat sementara notaris, notaris
pengganti dan organisasi notaris
Subjek yang Berhubungan Tidak
Langsung dengan Objek Undang-
Undang
: Menteri dan klien
Tabel 5.23 Penggunaan tes kepentingan hukum terhadap Putusan No. 63/PUU-XII/2014
3 Nomor Putusan : 152/PUU-VII/2009
Kedudukan Pemohon dalam
Putusan
: WNI387
Undang-Undang yang Diuji : UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Objek Undang-Undang : Hak, kewajiban, tugas dan wewenang MPR,
DPR, DPD dan DPRD
386 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (cf), Putusan No. 63/PUU-XII/2014, hlm. 1
& 20. 387 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (cg), Putusan No. 152/PUU-VII/2009, hlm.
1 & 47.
200
Subjek dalam Undang-Undang : MPR, DPR, DPD, DPRD, KPU, KPU
provinsi, KPU kabupaten/kota, dan BPK
Subjek yang Berhubungan
Langsung dengan Objek Undang-
Undang
: MPR, DPR, DPD dan DPRD
Subjek yang Berhubungan Tidak
Langsung dengan Objek Undang-
Undang
: KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota,
BPK dan WNI
Tabel 5.24 Penggunaan tes kepentingan hukum terhadap Putusan No. 014/PUU-IV/2006
4 Nomor Putusan : 025/PUU-IV/2006
Kedudukan Pemohon dalam
Putusan
: Kelompok WNI yang berprofesi sebagai guru
atau dosen 388
Undang-Undang yang Diuji : UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen
Objek Undang-Undang : Hak, kewajiban, tugas dan wewenang guru
dan dosen
Subjek dalam Undang-Undang : Guru, dosen, guru besar atau profesor,
penyelenggara pendidikan, organisasi profesi
guru, lembaga pendidikan tenaga
kependidikan, masyarakat, pemerintah,
pemerintah daerah dan menteri
Subjek yang Berhubungan
Langsung dengan Objek Undang-
Undang
: Guru, dosen, guru besar atau profesor,
penyelenggara pendidikan, organisasi profesi
guru dan lembaga pendidikan tenaga
kependidikan
Subjek yang Berhubungan Tidak
Langsung dengan Objek Undang-
Undang
: Masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah
dan menteri
Tabel 5.25 Penggunaan tes kepentingan hukum terhadap Putusan No. 025/PUU-IV/2006
388 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ch), Putusan No. 025/PUU-IV/2006, hlm.
1-2 & 91.
201
5 Nomor Putusan : 019-020/PUU-III/2005
Kedudukan Pemohon dalam
Putusan
: Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja,
Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasifik,
Himpunan Pengusaha Tenaga Kerja
Indonesia, Yayasan Indonesia Manpower
Watch, Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri
dan Perusahaan Jasa Pengiriman Tenaga
Kerja Indonesia389
Undang-Undang yang Diuji : UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri
Objek Undang-Undang : Penempatan dan perlindungan TKI di luar
negeri
Subjek dalam Undang-Undang : TKI, calon TKI, pelaksana penempatan TKI
swasta, mitra usaha, pengguna jasa TKI,
pemerintah dan menteri
Subjek yang Berhubungan
Langsung dengan Objek Undang-
Undang
: TKI, calon TKI dan pelaksana penempatan
TKI swasta
Subjek yang Berhubungan Tidak
Langsung dengan Objek Undang-
Undang
: Mitra usaha, pengguna jasa TKI, pemerintah
dan menteri
Tabel 5.26 Penggunaan tes kepentingan hukum terhadap Putusan No. 019-020/PUU-
III/2005
Seyogyanya, pemohon yang diberikan kedudukan hukum dalam hal
yang digunakan adalah kepentingan hukum adalah pemohon yang
merupakan subjek yang berhubungan langsung dengan objek dari undang-
undang yang diuji. Subjek yang tidak berhubungan langsung dengan objek
dari undang-undang yang diuji tidak bisa dikatakan memiliki kepentingan
hukum terhadap undang-undang tersebut.
Dengan memperhatikan sekilas proposal tes 3 tingkatan ini, akan
ditemukan beberapa permasalahan, yaitu: (i) pemohon akan dengan mudah
389 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (ci), Putusan No. 019-020/PUU-III/2005,
hlm. 1-2, 89 & 91.
202
menunjukkan kepentingan hukumnya terhadap suatu undang-undang,
khususnya untuk undang-undang yang pengaturannya lebih dititikberatkan
pada hubungan antara objek dengan subjek, misalnya undang-undang yang
mengatur sumber daya alam; (ii) penentuan langsung tidaknya hubungan
antara subjek dan objek undang-undang penuh dengan nuansa subjektivitas
yang bisa menyebabkan pemanfaatan secara berlebih terhadap konsep
kepentingan hukum.
Guna bisa memitigasi permasalahan di atas, penting untuk dicatat
bahwa seyogyanya penerapan konsep kepentingan hukum baru bisa
dilakukan jika pemohon memang benar-benar tidak memiliki kerugian
konstitusional, baik secara aktual dan potensial. Jika pemohon memiliki
kerugian konstitusional, maka konsep kepentingan hukum tidaklah bisa
untuk digunakan. Artinya, konsep kepentingan hukum didudukkan sebagai
pelengkap, bukan pengganti.
203
BAB VI
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. SIMPULAN
MKRI melalui putusannya telah menetapkan bahwa terdapat 5 syarat
yang harus dipenuhi oleh pemohon pengujian undang-undang guna bisa
membuktikan apakah dirinya mengalami kerugian konstitusional dalam
kualifikasinya—apakah sebagai WNI, MHA, badan hukum publik, badan
hukum privat atau lembaga negara—sehingga ia memiliki kedudukan
hukum untuk bisa mengajukan permohonan pengujian undang-undang.
Kelima syarat tersebut adalah: (i) adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional; (ii) anggapan adanya kerugian konstitusional; (iii) sifat
kerugian yang spesifik dan aktual atau potensial yang menurut penalaran
wajar dapat dipastikan akan terjadi; (iv) hubungan kausal antara kerugian
dan berlakunya undang-undang yang diuji; dan (v) kemungkinan tidak
akan terjadinya lagi kerugian jika permohonan dikabulkan.
MKRI mencoba untuk memberikan tafsir terhadap masing-masing
syarat tersebut. Syarat pertama dimaknai sebagai hak dan atau kewenangan
yang ada dalam UUD NRI 1945. Syarat kedua mengharuskan adanya dalil
dari pemohon mengenai kerugian. Tafsir mengenai syarat ketiga perlu
dilihat dari 3 sifat yang disebutkan: pertama, mengenai sifat spesifik dilihat
sebagai tertentunya kerugian yang didalilkan; kedua, sifat aktual merujuk
pada keadaan di mana pemohon sudah benar-benar mengalami kerugian;
ketiga, sifat potensial adalah kondisi adanya kemungkinan yang signifikan
bagi pemohon untuk mengalami kerugian. Sehubungan dengan syarat
keempat, tafsir yang ada merujuk pada langsung tidaknya hubungan antara
kerugian dan keberlakuan undang-undang yang dimohonkan
pengujiannya—yang mana keduanya diterima sebagai bagian dari
hubungan kausal. Syarat terakhir merujuk pada kondisi ketika permohonan
sudah dikabulkan dan dikaitkan dengan kemungkinan terulangnya kerugian
serupa.
204
Tafsir yang diberikan MKRI terhadap kelima syarat tersebut tersebar
dalam pelbagai putusan. Penerapan 5 syarat kerugian konstitusional
berbeda-beda pada tiap putusan. Ada putusan yang menerapkan kelima
syarat tersebut secara kumulatif, dan ada pula yang tidak. Kondisi ini
senada dengan pendapat Ketua MKRI pertama, Jimly Asshiddiqie yang
menyatakan bahwa pelaksanaan kriteria kedudukan hukum pemohon
pengujian undang-undang tidak diterapkan secara kaku atau bersifat
kumulatif secara mutlak.
Dalam perkembangannya, Tim Peneliti menemukan adanya corak
ketidaktegasan dalam menerapkan syarat kerugian konstitusional pada
rezim kepemimpinan M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva dan Arief Hidayat.
MKRI di bawah kepemimpinan mereka cenderung tidak memulai uraian
mengenai kedudukan hukum dari hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang dimiliki oleh pemohon. Tak jarang ditemukan pertimbangan
kedudukan hukum yang sekadar mengulang syarat kerugian konstitusional
dan tiba pada kesimpulan bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum.
Tim Peneliti juga menemukan bahwa ada 2 bentuk kerugian
konstitusional yang digunakan oleh MKRI dalam memberikan kedudukan
hukum kepada pemohon pengujian undang-undang, yaitu: (i) menyatakan
pemohon mengalami kerugian konstitusional yang sifatnya aktual; (ii)
menyatakan pemohon mengalami kerugian konstitusional yang sifatnya
potensial. Selain itu, MKRI juga memberikan kedudukan hukum kepada
pemohon pengujian undang-undang atas dasar kepentingan hukum. Skema
pertama dan kedua adalah bagian dari 5 syarat kerugian konstitusional
sebagaimana tertulis di atas. Sedangkan skema ketiga adalah skema yang
jejaknya terlihat dalam pelbagai putusan namun tidak mendapatkan
pengakuan secara formal.
Dari hasil penelaahan yang dilakukan, Tim Peneliti mendapati bahwa
kerugian aktual memiliki 2 elemen utama, yaitu sifatnya yang spesifik dan
nyata dan sumbernya dari undang-undang atau tindakan. Spesifik dan nyata
merujuk pada sifat kerugian yang dialami oleh pemohon, yaitu tertentu dan
sudah benar-benar terjadi dan dialami. Sedangkan sumber kerugian
205
membahas mengenai asal terjadinya kerugian, yaitu bisa langsung karena
berlakunya suatu undang-undang atau tindakan pelaksanaan undang-
undang. Sehubungan dengan kerugian potensial, tidak ditemukan adanya
elemen yang bisa memandu secara konkret. Yang ada adalah rambu-rambu
bahwa kerugian belum dialami oleh pemohon namun ada kemungkinan
besar kerugian tersebut akan dialami oleh pemohon.
Tim Peneliti mendapati ada permasalahan pada putusan-putusan yang
menerapkan kerugian aktual dan potensial. Ada irisan antara sumber
kerugian aktual berupa langsung berlakunya undang-undang dengan
kerugian potensial. Di beberapa kasus yang dikatakan oleh MKRI sebagai
kerugian aktual yang terjadi akibat berlakunya undang-undang ternyata
kerugian belum secara nyata dialami oleh pemohon. Selain itu, ditemukan
adanya putusan pemohon mendapatkan kedudukan hukum atas dasar
kerugian potensial, meski pemohon sudah benar-benar mengalami
kerugian. Oleh sebab itu, Tim Peneliti menyarankan disusunnya pedoman
agar permasalahan penerapan kerugian aktual dan potensial semacam ini
bisa terselesaikan.
Menyangkut kepentingan hukum, Tim Peneliti menyimpulkan bahwa
MKRI tak jarang menggunakan dasar kepentingan dengan pelbagai ragam
terminologinya untuk memberikan kedudukan hukum kepada pemohon
ketika pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional. Yang menjadi
tolok ukur adalah kepentingan pemohon terhadap ketentuan yang diujikan.
Hubungan kepentingan ini biasanya dilekatkan pada identitas pemohon.
Pada perkembangannya, ditemukan bahwa kepentingan hukum menjadi
dasar pemberian kedudukan hukum yang independen yang tidak lagi
terikat pada kerugian konstitusional, dalam artian tidak perlu ada
pembuktian mengenai kerugian konstitusional lebih dahulu sebelum
kepentingan hukum digunakan.
206
B. REKOMENDASI
Sebagaimana Tim Peneliti telah sampaikan sebelumnya, ada kebutuhan
untuk menghadirkan pedoman guna membaca syarat kerugian
konstitusional pemohon pengujian undang-undang, khususnya menyangkut
mengenai sifat kerugian yang aktual dan potensial. Pedoman ini diharapkan
bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan adanya tumpang tindih di
antara kedua sifat kerugian ini.
Sehubungan dengan kerugian aktual, perlu ada perubahan terhadap
elemennya. Pertama, adalah menghilangkan kerugian materiil sebagai
bagian dari elemen sifat kerugian khususnya terkait sifat spesifik kerugian.
Penghilangan ini diperlukan agar tidak terjadi perluasan makna terhadap
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional. Kedua, menghilangkan
salah satu elemen penyebab kerugian, yaitu disebabkan oleh undang-
undang secara langsung. Hak konstitusional baru akan dirugikan secara
nyata jika sudah ada tindakan yang melaksanakan undang-undang yang
diuji. Berbeda halnya dengan kewenangan konstitusional yang bisa
langsung mengalami kerugian ketika undang-undang diberlakukan.
Penghilangan ini akan menjadi pembeda sederhana antara kerugian aktual
dan kerugian potensial.
Terkait dengan kerugian potensial, perlu ada batasan mengenai sejauh
apa potensi kerugian bisa dialami oleh pemohon. Untuk bisa menemukan
batasan ini, yang kali pertama harus dilakukan adalah menentukan bentuk
kerugian aktualnya. Dari situ barulah bisa dibuat derajat kemungkinan
terjadinya kerugian yang dimulai dengan yang potensinya paling besar
sampai ke yang potensinya paling kecil. Di sini, Tim Peneliti menawarkan
adanya 4 derajat potensi, di mana batas untuk bisa dikatakan masih
berpotensi dirugikan berada pada derajat ketiga.
Selain pedoman terhadap kerugian aktual dan potensial, perlu pula
disusun pedoman terkait kepentingan hukum yang bisa memadukan varian
kepentingan yang sudah berkembang selama ini. Tim Peneliti menawarkan
tes 3 tingkat sebagai pedoman. Tes pertama dilakukan dengan menentukan
apa yang menjadi objek dari undang-undang yang dimohonkan
207
pengujiannya. Dilanjutkan dengan tes yang menentukan hubungan antara
identitas subjek yang melakukan pengujian dengan objek yang diuji.
Terakhir, ditentukan derajat hubungan antara subjek dengan objek dalam
bentuk langsung atau tidaknya hubungan tersebut. Tes 3 tingkat ini
didesain untuk bisa memberikan kesempatan sekaligus membatasi pihak-
pihak yang berkepentingan dalam mengajukan pengujian undang-undang.
209
DAFTAR PUSTAKA
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. UUD NRI
1945.
_______. Undang-Undang tentang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974.
LN No. 1 Tahun 1974. TLN No. 3019.
_______. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. UU No. 24
Tahun 2003. LN No. 98 Tahun 2003. TLN No. 4316.
_______. Undang-Undang tentang Partai Politik. UU No. 2 Tahun 2008.
LN No. 2 Tahun 2008. TLN No. 4801.
_______. Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. UU No. 42 Tahun 2008. LN No. 176 Tahun 2008. TLN No.
4924.
_______. Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.
UU No. 10 Tahun 2016. LN No. 130 Tahun 2016. TLN No. 5898.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah
Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang. PMK Nomor: 06/PMK/2005.
B. BUKU, JURNAL DAN TESIS
Aritonang, Dinoroy M. “Peranan dan Problematika Mahkamah Konstitusi
(MK) dalam Menjalankan Fungsi dan Kewenangannya”. Jurnal Ilmu
Administrasi. Volume X, Nomor 3, Desember 2013, hlm. 375-392.
210
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi: Jakarta, 2006.
_______. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi
Press, 2006.
Bisariyadi. “Membedah Doktrin Kerugian Konstitusional”. Jurnal
Konstitusi. Volume 14, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 22-44.
Hastuti, Proborini. “Studi Kritis Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun
2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
terhadap Perlindungan Hak Warga Negara Asing di Indonesia”. Jurnal
Supremasi Hukum. Volume 5, Nomor 2, Desember 2016, hlm. 197-
224.
Hikmah, Mutiara. “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menjamin Hak
Konstitusional Warga Negara pada Proses Demokratisasi di
Indonesia”. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Volume 39, Nomor 4,
Desember 2009, hlm. 437-454.
Huda, Ni’matul, dan Sri Hastuti Puspitasari. “Peran dan Fungsi Mahkamah
Konstitusi dalam Pembangunan Politik Hukum Pemerintahan Daerah”.
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. Volume 19, Nomor 3, Juli 2012,
hlm. 337-362.
Indriyani, Ria. “Legal Standing Warga Negara Asing dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang (Judicial Review) di Mahkamah Konstitusi
Indonesia (Studi Kasus Perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang
Pengujian UU Narkotika)” Tesis Universitas Indonesia. Jakarta, Juli
2009.
211
Lailam, Tanto. “Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
Menguji Undang-Undang yang Mengatur Eksistensinya”. Jurnal
Konstitusi. Volume 12, Nomor 4, Desember 2015, hlm. 795-824.
Rahman, Irfan Nur, dkk. “Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum
(Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses
Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi”. Jurnal
Konstitusi. Volume 8, Nomor 5, Oktober 2011, hlm. 767-802.
Ramdan, Ajie. “Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah
Konstitusi”. Jurnal Konstitusi. Volume 11, Nomor 4, Desember 2014,
hlm. 737-758.
Sakkirang, Sriwaty. “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang di
Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Al-‘Adl. Volume 7, Nomor 2, Juli 2014,
hlm. 84-96.
Salman, Radian dan Rosa Ristawati. “Kualifikasi Pemohon dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Yuridika.
Volume 23, Nomor 1, Januari 2008, hlm. 1-20.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Ed. Ke-2, Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2010.
C. SITUS WEB
Fajarwati, Meirina. “Intervensi Politik dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi”. Rechts Vinding Online. Diakses dari
https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/SAMBUTAN%20POL
A%20PENELITIAN.pdf, pada tanggal 15 September 2018.
212
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. “Sejarah Pembentukan
Mahkamah Konstitusi”. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Diakses dari
https://mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1&menu=2 pada
tanggal 14 September 2018.
Siahaan, Maruarar. “Hak Konstitusional dalam UUD 1945”. Lembaga
Studi & Advokasi Masyarakat. Diakses dari
http://lama.elsam.or.id/downloads/1322798965_HAK_KONSTITUSI
ONAL_DALAM_UUD_1945.pdf, pada tanggal 20 September 2018.
Tim Penyelarasan Naskah Akademik RUU tentang Mahkamah Konstitusi.
“Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang tentang Mahkamah Konstitusi”. Badan Pembinaan Hukum
Nasional. Diakses dari
https://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_mk.pdf, pada tanggal
18 September 2018.
Tim Riset Jaringan Survei Inisiatif. “Tinjauan Hukum Legal Standing
Pemohon dalam Gugatan UU Pemilu terkait Pasal Pasal yang Dicabut
dalam UUPA”. Jaringan Survei Inisiatif. Diakses dari
http://www.jsithopi.org/wp-content/uploads/2017/09/KAJIAN-
TEMATIK-_-Analisis-Legal-Standing-Pemohon-dalam-UU-
Pemilu.pdf pada tanggal 20 September 2018.
213
LAMPIRAN I
PETUNJUK PENGISIAN INSTRUMEN
1. Kode
Ditulis dengan mengikuti kode penamaan putusan yang telah ada. Dalam
hal ditemui 2 atau lebih putusan yang mengadili hal yang sama dan juga
memiliki kode putusan yang berbeda, maka gunakan salah satu saja.
Pastikan untuk menginformasikan kepada Peneliti kode putusan mana saja
yang tumpang tindih.
2. Nomor Putusan
Ditulis dengan mengikuti format yang ada pada putusan MKRI. Jika ada
putusan dengan beberapa nomor perkara namun mengenai hal yang sama
dan memang digabung oleh MKRI, maka buatlah dalam 1 register saja.
3. Tanggal Pembacaan Putusan
Tanggal ini merujuk pada saat pembacaan putusan di persidangan yang
terbuka untuk umum.
4. Tanggal Rapat
Tanggal ini merujuk pada tanggal dilakukannya RPH.
5. Ketua MK
Ditulis dengan menggunakan kode berikut:
a. Jimly Asshiddiqie : JA
b. M. Mahfud MD : MM
c. M. Akil Mochtar : AM
d. Hamdan Zoelva : HZ
e. Arief Hidayat : AH
214
6. Peraturan yang Diuji
Bagian ini dibagi menjadi 4 kolom, yaitu:
a. Jenis
Dibuat dengan kode berikut:
1) Undang-Undang : UU
2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang : Perppu
3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat : TAP MPR
4) Lainnya, sesuaikan dengan singkatan masing-masing peraturan
b. Nomor
Ditulis dengan format sebagai berikut: Tahun/Nomor. Contoh: 2003/01
c. Nama
Hanya tuliskan mengenai apa undang-undang tersebut. Misalnya:
Hukum Acara Pidana; Peradilan Tata Usaha Negara; Administrasi
Pemerintahan dst.
d. Pasal
Tuliskan dengan format sebagai berikut: Pasal(Ayat)HurufAngka.
Misalnya: 12(1)a2. Jika ada lebih dari 1 pasal, maka pisahkan dengan
tanda (;), misal: 1(3); 2(1). Jika pasal yang diuji lebih dari cukup, maka
tuliskan pasal dari yang terkecil sampai yang terbesar.
7. Batu Uji
Tuliskan dengan format sebagai berikut: Pasal(Ayat), misalnya: 28B(1).
Jika ada lebih dari 1 pasal, maka pisahkan dengan tanda (;), misal: 28A;
28I(1). Jika pasal yang diuji lebih dari cukup, maka tuliskan pasal dari
yang terkecil sampai yang terbesar.
215
8. Kualifikasi Pemohon
Dibagi menjadi 2 kolom, yaitu:
a. Jenis
Ditulis dengan menggunakan kode sebagai berikut:
1) WNI : A1
2) MHA : A2
3) Badan hukum publik : A3
4) Badan hukum privat : A4
5) Lembaga Negara : A5
6) Lainnya : A6
Jika ada lebih dari 1 kualifikasi pemohon, maka pisahkan dengan tanda
(;), misalnya: A1; A2. Jika ada lebih dari 1 kualifikasi pemohon, maka
tuliskan yang angkanya paling kecil terlebih dahulu, misal: A2; A5.
b. Keterangan
Poin ini khususnya untuk memberikan informasi terhadap kualifikasi
Lainnya (A6), misalnya: WNA. Namun demikian, tidak berarti bahwa
hal lain tidak bisa dimasukkan ke dalam poin keterangan.
9. Kedudukan Hukum
Dibagi menjadi 2 kolom, yaitu:
a. Status
Ditulis dengan menggunakan kode sebagai berikut:
1) Diterima : B1
2) Tidak diterima : B2
3) Tidak dipertimbangkan : B3
Jika pemohon dalam sebuah putusan mendapatkan 2 status, misal:
diterima dan tidak diterima, maka data diinput 2 kali. Artinya, ulangi
216
seluruh input pada komponen sebelumnya, dan lengkapi komponen
sisanya pada baris selanjutnya.
b. Keterangan
Khususnya untuk memberikan gambaran alasan mengapa kedudukan
hukum tidak dipertimbangkan, apakah karena: (i) perkara gugur; (ii)
perkara ditarik kembali; (iii) ne bis in idem; (iv) bukan kewenangan
MKRI; (v) undang-undang sudah dicabut; (vi) Perppu sudah disahkan
menjadi undang-undang; (vii) atau alasan-alasan lainnya. Tentu hal ini
tidak berarti bahwa keterangan hanya untuk memberi gambaran
mengenai kedudukan hukum yang tidak dipertimbangkan.
10. Kedudukan Hukum Diterima
Dibagi menjadi 4 kolom, yaitu:
a. Jenis
Ditulis dengan menggunakan kode sebagai berikut:
1) Kedudukan diterima karena terdapat kerugian aktual : C1
2) Kedudukan diterima karena terdapat kerugian potensial : C2
3) Kedudukan diterima karena terdapat kepentingan hukum : C3
Jika terdapat kombinasi jenis kedudukan, maka tuliskan dengan dipisah
tanda (;) dan dimulai dari kode terkecil, misal: C1; C3.
b. Penyebab Timbulnya Kerugian
Hanya ada 2 kemungkinan jawaban, yaitu Y atau N. Tulis kode Y, jika
dirasa penyebab timbulnya kerugian adalah karena undang-undang,
dan tuliskan kode N pada bagian penyebab timbulnya kerugian karena
tindakan. Namun, jika dirasa keduanya terpenuhi, maka tuliskan kode
Y pada kedua kolom.
217
c. Bentuk Kerugian
Hanya ada 2 kemungkinan jawaban, yaitu Y atau N. Tulis kode Y, jika
dirasa bentuk kerugian adalah terhadap hak konstitusional, dan tuliskan
kode N pada bagian bentuk kerugian terhadap interpretasi hak
konstitusional. Namun, jika dirasa keduanya terpenuhi, maka tuliskan
kode Y pada kedua kolom.
d. Keterangan
Kolom ini harus diisi. Uraikan alasan terhadap pilihan yang dibuat
pada poin-poin sebelumnya, i.e. alasan mengapa jenis kerugian adalah
aktual, mengapa penyebab timbulnya kerugian adalah undang-
undangan, maupun mengapa bentuk kerugian adalah terhadap hak
konstitusional.
11. Kedudukan Hukum Tidak Diterima
Dibagi menjadi 2 kolom, yaitu:
a. Jenis
Ditulis dengan menggunakan kode berikut:
1) Tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional : D1
2) Tidak ada kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusional : D2
3) Kerugian tidak disebabkan oleh undang-undang yang diuji : D3
4) Tidak ada kepentingan hukum : D4
5) Lainnya : D5
b. Keterangan
Kolom ini harus diisi. Uraikan alasan dari tidak diterimanya kedudukan
hukum.
218
12. Syarat Kerugian Berdasarkan Putusan MK
Dibagi menjadi 5 kolom, yaitu:
a. Kolom 1: kolom ini menjelaskan pertanyaan: apakah MKRI dalam
pertimbangan hukumnya menguraikan hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon. Hanya ada 2 kemungkinan jawaban, yaitu Y
atau N. Jika MKRI menyebutkan secara eksplisit mengenai hal ini,
maka tulis Y, dan jika tidak tulis N.
b. Kolom 2: kolom ini menjelaskan pertanyaan: apakah MKRI dalam
pertimbangan hukumnya menyebutkan/menguraikan mengenai
bagaimana hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang sedang diujikan.
Hanya ada 2 kemungkinan jawaban, yaitu Y atau N. Jika MKRI
menyebutkan secara eksplisit mengenai hal ini, maka tulis Y, dan jika
tidak tulis N.
c. Kolom 3: kolom ini menjelaskan pertanyaan: apakah MKRI dalam
pertimbangan hukumnya menjelaskan kerugian yang dialami oleh
pemohon. Hanya ada 2 kemungkinan jawaban, yaitu Y atau N. Jika
MKRI menyebutkan secara eksplisit mengenai hal ini, maka tulis Y,
dan jika tidak tulis N.
d. Kolom 4: kolom ini menjelaskan pertanyaan: apakah MKRI dalam
pertimbangan hukumnya menguraikan hubungan kausal antara
kerugian yang dialami pemohon dengan berlakunya undang-undang
yang diujikan. Hanya ada 2 kemungkinan jawaban, yaitu Y atau N.
Jika MKRI menyebutkan secara eksplisit mengenai hal ini, maka tulis
Y, dan jika tidak tulis N.
e. Kolom 5: kolom ini menjelaskan pertanyaan: apakah MKRI dalam
pertimbangan hukumnya memberikan gambaran dampak jika
219
permohonan dikabulkan. Hanya ada 2 kemungkinan jawaban, yaitu Y
atau N. Jika MKRI menyebutkan secara eksplisit mengenai hal ini,
maka tulis Y, dan jika tidak tulis N.
* * *
221
LAMPIRAN II
DAFTAR PUTUSAN
1 Putusan No. 004/PUU-I/2003
2 Putusan No. 011-017/PUU-I/2003
3 Putusan No. 009/PUU-I/2003
4 Putusan No. 014/PUU-I/2003
5 Putusan No. 006/PUU-I/2003
6 Putusan No. 002/PUU-II/2004
7 Putusan No. 001/PUU-II/2004
8 Putusan No. 008/PUU-II/2004
9 Putusan No. 024/PUU-I/2003
10 Putusan No. 020/PUU-I/2003
11 Putusan No. 007/PUU-II/2004
12 Putusan No. 013/PUU-I/2003
13 Putusan No. 005/PUU-I/2003
14 Putusan No. 003/PUU-II/2004
15 Putusan No. 010/PUU-I/2003
16 Putusan No. 005/PUU-II/2004
17 Putusan No. 054/PUU-II/2004
18 Putusan No. 057/PUU-II/2004
19 Putusan No. 019/PUU-I/2003
20 Putusan No. 061/PUU-II/2004
21 Putusan No. 055/PUU-II/2004
22 Putusan No. 012/PUU-I/2003
23 Putusan No. 003/PUU-I/2003
24 Putusan No. 018/PUU-I/2003
25 Putusan No. 004/PUU-II/2004
26 Putusan No. 006/PUU-II/2004
27 Putusan No. 001-021-022/PUU-
I/2003
28 Putusan No. 053/PUU-II/2004
29 Putusan No. 002/PUU-I/2003
30 Putusan No. 069/PUU-II/2004
31 Putusan No. 067/PUU-II/2004
32 Putusan No. 065/PUU-II/2004
33 Putusan No. 072-073 /PUU-II/2004
34 Putusan No. 005/PUU-III/2005
35 Putusan No. 066/PUU-II/2004
36 Putusan No. 070/PUU-II/2004
37 Putusan No. 004/PUU-III/2005
38 Putusan No. 071/PUU-II/2004 dan
001-002/PUU-III/2005
39 Putusan No. 006/PUU-III/2005
40 Putusan No. 010/PUU-III/2005
41 Putusan No. 003/PUU-III/2005
42 Putusan No. 058-059-060-
063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-
III/2005
43 Putusan No. 007/PUU-III/2005
44 Putusan No. 009-014/PUU-III/2005
45 Putusan No. 013/PUU-III/2005
46 Putusan No. 016/PUU-III/2005
47 Putusan No. 012/PUU-III/2005
48 Putusan No. 011/PUU-III/2005
49 Putusan No. 015/PUU-III/2005
50 Putusan No. 017/PUU-III/2005
51 Putusan No. 018/PUU-III/2005
52 Putusan No. 001/PUU-IV/2006
53 Putusan No. 021/PUU-III/2005
54 Putusan No. 022/PUU-III/2005
55 Putusan No. 026/PUU-III/2005
56 Putusan No. 019-020/PUU-III/2005
57 Putusan No. 024/PUU-III/2005
58 Putusan No. 007/PUU-IV/2006
59 Putusan No. 009/PUU-IV/2006
60 Putusan No. 010/PUU-IV/2006
61 Putusan No. 003/PUU-IV/2006
62 Putusan No. 005/PUU-IV/2006
63 Putusan No. 008/PUU-IV/2006
64 Putusan No. 011/PUU-IV/2006
65 Putusan No. 015/PUU-IV/2006
66 Putusan No. 014/PUU-IV/2006
67 Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006
68 Putusan No. 006/PUU-IV/2006
69 Putusan No. 020/PUU-IV/2006
222
70 Putusan No. 012-016-019/PUU-
IV/2006
71 Putusan No. 018/PUU-IV/2006
72 Putusan No. 023/PUU-IV/2006
73 Putusan No. 024/PUU-IV/2006
74 Putusan No. 021/PUU-IV/2006
75 Putusan No. 025/PUU-IV/2006
76 Putusan No. 1/PUU-V/2007
77 Putusan No. 028-029/PUU-IV/2006
78 Putusan No. 031/PUU-IV/2006
79 Putusan No. 026/PUU-IV/2006
80 Putusan No. 8/PUU-V/2007
81 Putusan No. 4/PUU-V/2007
82 Putusan No. 6/PUU-V/2007
83 Putusan No. 5/PUU-V/2007
84 Putusan No. 11/PUU-V/2007
85 Putusan No. 12/PUU-V/2007
86 Putusan No. 16/PUU-V/2007
87 Putusan No. 2-3/PUU-V/2007
88 Putusan No. 19/PUU-V/2007
89 Putusan No. 15/PUU-V/2007
90 Putusan No. 14-17/PUU-V/2007
91 Putusan No. 20/PUU-V/2007
92 Putusan No. 23/PUU-V/2007
93 Putusan No. 24/PUU-V/2007
94 Putusan No. 18/PUU-V/2007
95 Putusan No. 27/PUU-V/2007
96 Putusan No. 21-22/PUU-V/2007
97 Putusan No. 28/PUU-V/2007
98 Putusan No. 29/PUU-V/2007
99 Putusan No. 2/PUU-VI/2008
100 Putusan No. 8/PUU-VI/2008
101 Putusan No. 3/PUU-VI/2008
102 Putusan No. 4/PUU-VI/2008
103 Putusan No. 31/PUU-V/2007
104 Putusan No. 6/PUU-VI/2008
105 Putusan No. 10/PUU-VI/2008
106 Putusan No. 15/PUU-VI/2008
107 Putusan No. 12/PUU-VI/2008
108 Putusan No. 17/PUU-VI/2008
109 Putusan No. 11/PUU-VI/2008
110 Putusan No. 19/PUU-VI/2008
111 Putusan No. 13/PUU-VI/2008
112 Putusan No. 16/PUU-VI/2008
113 Putusan No. 14/PUU-VI/2008
114 Putusan No. 20/PUU-VI/2008
115 Putusan No. 21/PUU-VI/2008
116 Putusan No. 18/PUU-VI/2008
117 Putusan No. 26/PUU-VI/2008
118 Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008
119 Putusan No. 46/PUU-VI/2008
120 Putusan No. 47/PUU-VI/2008
121 Putusan No. 42/PUU-VI/2008
122 Putusan No. 58/PUU-VI/2008
123 Putusan No. 3/PUU-VII/2009
124 Putusan No. 56/PUU-VI/2008
125 Putusan No. 51-52-59/PUU-
VI/2008
126 Putusan No. 32/PUU-VI/2008
127 Putusan No. 1/PUU-VII/2009
128 Putusan No. 4/PUU-VII/2009
129 Putusan No. 9/PUU-VII/2009
130 Putusan No. 54/PUU-VI/2008
131 Putusan No. 53/PUU-VI/2008
132 Putusan No. 13/PUU-VII/2009
133 Putusan No. 50/PUU-VI/2008
134 Putusan No. 2/PUU-VII/2009
135 Putusan No. 98/PUU-VII/2009
136 Putusan No. 99/PUU-VII/2009
137 Putusan No. 102/PUU-VII/2009
138 Putusan No. 7/PUU-VII/2009
139 Putusan No. 110-111-112-
113/PUU-VII/2009
140 Putusan No. 16/PUU-VII/2009
141 Putusan No. 6/PUU-VII/2009
142 Putusan No. 26/PUU-VII/2009
223
143 Putusan No. 117/PUU-VII/2009
144 Putusan No. 104/PUU-VII/2009
145 Putusan No. 107/PUU-VII/2009
146 Putusan No. 103/PUU-VII/2009
147 Putusan No. 133/PUU-VII/2009
148 Putusan No. 22/PUU-VII/2009
149 Putusan No. 25/PUU-VII/2009
150 Putusan No. 18/PUU-VII/2009
151 Putusan No. 133/PUU-VII/2009
152 Putusan No. 132/PUU-VII/2009
153 Putusan No. 119/PUU-VII/2009
154 Putusan No. 19/PUU-VII/2009
155 Putusan No. 12/PUU-VII/2009
156 Putusan No. 101/PUU-VII/2009
157 Putusan No. 130/PUU-VII/2009
158 Putusan No. 114/PUU-VII/2009
159 Putusan No. 127/PUU-VII/2009
160 Putusan No. 116/PUU-VII/2009
161 Putusan No. 129/PUU-VII/2009
162 Putusan No. 123/PUU-VII/2009
163 Putusan No. 142-146/PUU-
VII/2009
164 Putusan No. 138/PUU-VII/2009
165 Putusan No. 135/PUU-VII/2009
166 Putusan No. 122/PUU-VII/2009
167 Putusan No. 131/PUU-VII/2009
168 Putusan No. 100/PUU-VII/2009
169 Putusan No. 118/PUU-VII/2009
170 Putusan No. 128/PUU-VII/2009
171 Putusan No. 11/PUU-VIII/2010
172 Putusan No. 10-17-23/PUU-
VII/2009
173 Putusan No. 147/PUU-VII/2009
174 Putusan No. 11-14-21-126 dan
136/PUU-VII/2009
175 Putusan No. 140/PUU-VII/2009
176 Putusan No. 120/PUU-VII/2009
177 Putusan No. 145/PUU-VII/2009
178 Putusan No. 4/PUU-VIII/2010
179 Putusan No. 18/PUU-VIII/2010
180 Putusan No. 15/PUU-VIII/2010
181 Putusan No. 143/PUU-VII/2009
182 Putusan No. 24/PUU-VIII/2010
183 Putusan No. 151/PUU-VII/2009
184 Putusan No. 14/PUU-VIII/2010
185 Putusan No. 27/PUU-VII/2009
186 Putusan No. 40/PUU-VIII/2010
187 Putusan No. 137/PUU-VII/2009
188 Putusan No. 124/PUU-VII/2009
189 Putusan No. 27/PUU-VIII/2010
190 Putusan No. 49/PUU-VIII/2010
191 Putusan No. 33/PUU-VIII/2010
192 Putusan No. 29/PUU-VIII/2010
193 Putusan No. 42/PUU-VIII/2010
194 Putusan No. 6-13-20/PUU-
VIII/2010
195 Putusan No. 37-39/PUU-VIII/2010
196 Putusan No. 152/PUU-VII/2009
197 Putusan No. 52/PUU-VIII/2010
198 Putusan No. 115/PUU-VII/2009
199 Putusan No. 141/PUU-VII/2009
200 Putusan No. 16/PUU-VIII/2010
201 Putusan No. 35/PUU-VIII/2010
202 Putusan No. 149/PUU-VII/2009
203 Putusan No. 23-26/PUU-VIII/2010
204 Putusan No. 60/PUU-VIII/2010
205 Putusan No. 63/PUU-VIII/2010
206 Putusan No. 69/PUU-VIII/2010
207 Putusan No. 7/PUU-VIII/2010
208 Putusan No. 8/PUU-VIII/2010
209 Putusan No. 1/PUU-VIII/2010
210 Putusan No. 5/PUU-VIII/2010
211 Putusan No. 73/PUU-VIII/2010
212 Putusan No. 47/PUU-VIII/2010
213 Putusan No. 57/PUU-VIII/2010
214 Putusan No. 64/PUU-VIII/2010
224
215 Putusan No. 68/PUU-VIII/2010
216 Putusan No. 7/PUU-IX/2011
217 Putusan No. 81/PUU-VIII/2010
218 Putusan No. 76/PUU-VIII/2010
219 Putusan No. 6/PUU-IX/2011
220 Putusan No. 121/PUU-VII/2009
221 Putusan No. 153/PUU-VII/2009
222 Putusan No. 31/PUU-VIII/2010
223 Putusan No. 41/PUU-VIII/2010
224 Putusan No. 22/PUU-VIII/2010
225 Putusan No. 38/PUU-VIII/2010
226 Putusan No. 144/PUU-VII/2009
227 Putusan No. 24/PUU-VII/2009
228 Putusan No. 75/PUU-VIII/2010
229 Putusan No. 21/PUU-VIII/2010
230 Putusan No. 53/PUU-VIII/2010
231 Putusan No. 36/PUU-VIII/2010
232 Putusan No. 56/PUU-VIII/2010
233 Putusan No. 10/PUU-IX/2011
234 Putusan No. 48/PUU-VIII/2010
235 Putusan No. 22/PUU-IX/2011
236 Putusan No. 9/PUU-IX/2011
237 Putusan No. 3/PUU-VII/2010
238 Putusan No. 43/PUU-VII/2010
239 Putusan No. 5/PUU-IX/2011
240 Putusan No. 12/PUU-VIII/2010
241 Putusan No. 71/PUU-VIII/2010
242 Putusan No. 79/PUU-VIII/2010
243 Putusan No. 66/PUU-VIII/2010
244 Putusan No. 30/PUU-IX/2011
245 Putusan No. 18/PUU-IX/2011
246 Putusan No. 15/PUU-IX/2011
247 Putusan No. 11/PUU-IX/2011
248 Putusan No. 17/PUU-VIII/2010
249 Putusan No. 4/PUU-IX/2011
250 Putusan No. 1/PUU-IX/2011
251 Putusan No. 32/PUU-IX/2011
252 Putusan No. 23/PUU-IX/2011
253 Putusan No. 21/PUU-IX/2011
254 Putusan No. 35/PUU-IX/2011
255 Putusan No. 65/PUU-VIII/2010
256 Putusan No. 36/PUU-IX/2011
257 Putusan No. 28/PUU-VIII/2010
258 Putusan No. 36/PUU-IX/2011
259 Putusan No. 37/PUU-IX/2011
260 Putusan No. 26/PUU-IX/2011
261 Putusan No. 55/PUU-VIII/2010
262 Putusan No. 29/PUU-IX/2011
263 Putusan No. 17/PUU-IX/2011
264 Putusan No. 58/PUU-VIII/2010
265 Putusan No. 3/PUU-IX/2011
266 Putusan No. 2/PUU-IX/2011
267 Putusan No. 72/PUU-VIII/2010
268 Putusan No. 25/PUU-IX/2011
269 Putusan No. 41/PUU-IX/2011
270 Putusan No. 48/PUU-IX/2011
271 Putusan No. 49/PUU-IX/2011
272 Putusan No. 19/PUU-VIII/2010
273 Putusan No. 46/PUU-IX/2011
274 Putusan No. 43/PUU-IX/2011
275 Putusan No. 34/PUU-VIII/2010
276 Putusan No. 61/PUU-VIII/2010
277 Putusan No. 54/PUU-IX/2011
278 Putusan No. 50/PUU-VIII/2010
279 Putusan No. 63/PUU-IX/2011
280 Putusan No. 74/PUU-VIII/2010
281 Putusan No. 70/PUU-VIII/2010
282 Putusan No. 69/PUU-IX/2011
283 Putusan No. 8/PUU-IX/2011
284 Putusan No. 60/PUU-IX/2011
285 Putusan No. 80/PUU-IX/2011
286 Putusan No. 81/PUU-IX/2011
287 Putusan No. 27/PUU-IX/2011
288 Putusan No. 55/PUU-IX/2011
289 Putusan No. 77/PUU-VIII/2010
290 Putusan No. 40/PUU-IX/2011
225
291 Putusan No. 39/PUU-IX/2011
292 Putusan No. 67/PUU-VIII/2010
293 Putusan No. 46/PUU-VIII/2010
294 Putusan No. 78/PUU-VIII/2010
295 Putusan No. 45/PUU-IX/2011
296 Putusan No. 47/PUU-IX/2011
297 Putusan No. 67/PUU-IX/2011
298 Putusan No. 66/PUU-IX/2011
299 Putusan No. 83/PUU-IX/2011
300 Putusan No. 56/PUU-IX/2011
301 Putusan No. 38/PUU-IX/2011
302 Putusan No. 85/PUU-IX/2011
303 Putusan No. 16/PUU-IX/2011
304 Putusan No. 57/PUU-IX/2011
305 Putusan No. 75/PUU-IX/2011
306 Putusan No. 6/PUU-X/2012
307 Putusan No. 20/PUU-X/2012
308 Putusan No. 45/PUU-VIII/2010
309 Putusan No. 65/PUU-IX/2011
310 Putusan No. 17/PUU-X/2012
311 Putusan No. 18/PUU-X/2012
312 Putusan No. 11/PUU-X/2012
313 Putusan No. 23/PUU-X/2012
314 Putusan No. 14/PUU-IX/2011
315 Putusan No. 25/PUU-VIII/2010
316 Putusan No. 30/PUU-VIII/2010
317 Putusan No. 32/PUU-VIII/2010
318 Putusan No. 79/PUU-IX/2011
319 Putusan No. 19/PUU-IX/2011
320 Putusan No. 64/PUU-IX/2011
321 Putusan No. 27/PUU-X/2012
322 Putusan No. 38/PUU-X/2012
323 Putusan No. 44/PUU-X/2012
324 Putusan No. 34/PUU-IX/2011
325 Putusan No. 58/PUU-IX/2011
326 Putusan No. 52/PUU-IX/2011
327 Putusan No. 15/PUU-X/2012
328 Putusan No. 19/PUU-X/2012
329 Putusan No. 74/PUU-IX/2011
330 Putusan No. 13/PUU-X/2012
331 Putusan No. 28/PUU-IX/2011
332 Putusan No. 37/PUU-X/2012
333 Putusan No. 59/PUU-IX/2011
334 Putusan No. 70/PUU-IX/2011
335 Putusan No. 57/PUU-X/2012
336 Putusan No. 51/PUU-IX/2011
337 Putusan No. 51/PUU-X/2012
338 Putusan No. 52/PUU-X/2012
339 Putusan No. 54/PUU-X/2012
340 Putusan No. 55/PUU-X/2012
341 Putusan No. 61/PUU-IX/2011
342 Putusan No. 71/PUU-IX/2011
343 Putusan No. 68/PUU-IX/2011
344 Putusan No. 70/PUU-X/2012
345 Putusan No. 77/PUU-X/2012
346 Putusan No. 24/PUU-X/2012
347 Putusan No. 66/PUU-X/2012
348 Putusan No. 28/PUU-X/2012
349 Putusan No. 60/PUU-X/2012
350 Putusan No. 77/PUU-IX/2011
351 Putusan No. 9/PUU-X/2012
352 Putusan No. 34/PUU-X/2012
353 Putusan No. 73/PUU-IX/2011
354 Putusan No. 82/PUU-IX/2011
355 Putusan No. 44/PUU-IX/2011
356 Putusan No. 50/PUU-IX/2011
357 Putusan No. 78/PUU-IX/2011
358 Putusan No. 12/PUU-X/2012
359 Putusan No. 14/PUU-X/2012
360 Putusan No. 7/PUU-X/2012
361 Putusan No. 82/PUU-X/2012
362 Putusan No. 16/PUU-X/2012
363 Putusan No. 31/PUU-X/2012
364 Putusan No. 71/PUU-X/2012
365 Putusan No. 81/PUU-X/2012
366 Putusan No. 36/PUU-X/2012
226
367 Putusan No. 10/PUU-X/2012
368 Putusan No. 69/PUU-X/2012
369 Putusan No. 42/PUU-X/2012
370 Putusan No. 43/PUU-X/2011
371 Putusan No. 45/PUU-X/2012
372 Putusan No. 46/PUU-X/2012
373 Putusan No. 53/PUU-X/2012
374 Putusan No. 58/PUU-X/2012
375 Putusan No. 53/PUU-IX/2011
376 Putusan No. 84/PUU-IX/2012
377 Putusan No. 2/PUU-X/2012
378 Putusan No. 29/PUU-X/2012
379 Putusan No. 1/PUU-X/2012
380 Putusan No. 5/PUU-X/2012
381 Putusan No. 25/PUU-X/2012
382 Putusan No. 76/PUU-X/2012
383 Putusan No. 80/PUU-X/2012
384 Putusan No. 4/PUU-X/2012
385 Putusan No. 26/PUU-X/2012
386 Putusan No. 33/PUU-X/2012
387 Putusan No. 40/PUU-X/2012
388 Putusan No. 56/PUU-X/2012
389 Putusan No. 67/PUU-X/2012
390 Putusan No. 116/PUU-X/2012
391 Putusan No. 8/PUU-X/2012
392 Putusan No. 39/PUU-X/2012
393 Putusan No. 50/PUU-X/2012
394 Putusan No. 68/PUU-X/2012
395 Putusan No. 109/PUU-X/2012
396 Putusan No. 89/PUU-X/2012
397 Putusan No. 97/PUU-X/2012
398 Putusan No. 32/PUU-X/2012
399 Putusan No. 47/PUU-X/2012
400 Putusan No. 48/PUU-X/2012
401 Putusan No. 62/PUU-X/2012
402 Putusan No. 33/PUU-IX/2011
403 Putusan No. 63/PUU-X/2012
404 Putusan No. 64/PUU-X/2012
405 Putusan No. 74/PUU-X/2012
406 Putusan No. 85/PUU-X/2012
407 Putusan No. 87/PUU-X/2012
408 Putusan No. 108/PUU-X/2012
409 Putusan No. 4/PUU-XI/2012
410 Putusan No. 92/PUU-X/2012
411 Putusan No. 104/PUU-X/2012
412 Putusan No. 65/PUU-X/2012
413 Putusan No. 73/PUU-X/2012
414 Putusan No. 95/PUU-X/2012
415 Putusan No. 110/PUU-X/2012
416 Putusan No. 114/PUU-X/2012
417 Putusan No. 115/PUU-X/2012
418 Putusan No. 7/PUU-XI/2013
419 Putusan No. 12/PUU-XI/2013
420 Putusan No. 15/PUU-XI/2013
421 Putusan No. 107/PUU-X/2012
422 Putusan No. 18/PUU-XI/2013
423 Putusan No. 35/PUU-X/2012
424 Putusan No. 79/PUU-X/2012
425 Putusan No. 98/PUU-X/2012
426 Putusan No. 8/PUU-XI/2013
427 Putusan No. 29/PUU-XI/2013
428 Putusan No. 49/PUU-X/2012
429 Putusan No. 78/PUU-X/2012
430 Putusan No. 94/PUU-X/2012
431 Putusan No. 17/PUU-XI/2013
432 Putusan No. 75/PUU-X/2012
433 Putusan No. 113/PUU-X/2012
434 Putusan No. 40/PUU-XI/2013
435 Putusan No. 46/PUU-XI/2013
436 Putusan No. 99/PUU-X/2012
437 Putusan No. 112/PUU-X/2012
438 Putusan No. 19/PUU-XI/2013
439 Putusan No. 39/PUU-XI/2013
440 Putusan No. 45/PUU-XI/2013
441 Putusan No. 5/PUU-XI/2013
442 Putusan No. 41/PUU-X/2012
227
443 Putusan No. 22/PUU-XI/2013
444 Putusan No. 51/PUU-XI/2013
445 Putusan No. 51/PUU-XI/2013
446 Putusan No. 52/PUU-XI/2013
447 Putusan No. 30/PUU-X/2012
448 Putusan No. 93/PUU-X/2012
449 Putusan No. 90/PUU-X/2012
450 Putusan No. 96/PUU-X/2012
451 Putusan No. 6/PUU-XI/2013
452 Putusan No. 41/PUU-XI/2013
453 Putusan No. 13/PUU-XI/2013
454 Putusan No. 24/PUU-XI/2013
455 Putusan No. 42/PUU-XI/2013
456 Putusan No. 44/PUU-XI/2013
457 Putusan No. 84/PUU-X/2012
458 Putusan No. 100/PUU-X/2012
459 Putusan No. 2/PUU-XI/2013
460 Putusan No. 66/PUU-XI/2013
461 Putusan No. 43/PUU-XI/2013
462 Putusan No. 53/PUU-XI/2013
463 Putusan No. 72/PUU-X/2012
464 Putusan No. 58/PUU-XI/2013
465 Putusan No. 86/PUU-X/2012
466 Putusan No. 117/PUU-X/2012
467 Putusan No. 49/PUU-XI/2013
468 Putusan No. 16/PUU-XI/2013
469 Putusan No. 103/PUU-X/2012
470 Putusan No. 111/PUU-X/2012
471 Putusan No. 8/PUU-X/2012
472 Putusan No. 25/PUU-XI/2013
473 Putusan No. 27/PUU-XI/2013
474 Putusan No. 1/PUU-XI/2013
475 Putusan No. 14/PUU-XI/2013
476 Putusan No. 57/PUU-XI/2013
477 Putusan No. 59/PUU-IX/2013
478 Putusan No. 3/PUU-XI/2013
479 Putusan No. 86/PUU-XI/2013
480 Putusan No. 91/PUU-XI/2013
481 Putusan No. 92/PUU-XI/2013
482 Putusan No. 93/PUU-XI/2013
483 Putusan No. 94/PUU-XI/2013
484 Putusan No. 79/PUU-XI/2013
485 Putusan No. 81/PUU-XI/2013
486 Putusan No. 89/PUU-XI/2013
487 Putusan No. 1-2/PUU-XII/2014
488 Putusan No. 78/PUU-XI/2013
489 Putusan No. 102/PUU-XI/2013
490 Putusan No. 54/PUU-XI/2013
491 Putusan No. 105/PUU-XI/2013
492 Putusan No. 4/PUU-XII/2014
493 Putusan No. 21/PUU-XI/2013
494 Putusan No. 30/PUU-XI/2013
495 Putusan No. 34/PUU-XI/2013
496 Putusan No. 36/PUU-XI/2013
497 Putusan No. 20/PUU-XI/2013
498 Putusan No. 74/PUU-XI/2013
499 Putusan No. 61/PUU-XI/2013
500 Putusan No. 72/PUU-XI/2013
501 Putusan No. 99/PUU-XI/2013
502 Putusan No. 108/PUU-XI/2013
503 Putusan No. 9/PUU-XI/2013
504 Putusan No. 83/PUU-XI/2013
505 Putusan No. 63/PUU-XI/2013
506 Putusan No. 73/PUU-XI/2013
507 Putusan No. 31/PUU-XI/2013
508 Putusan No. 32/PUU-XI/2013
509 Putusan No. 100/PUU-XI/2013
510 Putusan No. 24/PUU-XII/2014
511 Putusan No. 80/PUU-XI/2013
512 Putusan No. 55/PUU-XI/2013
513 Putusan No. 104/PUU-XI/2013
514 Putusan No. 109/PUU-XI/2013
515 Putusan No. 33/PUU-XI/2013
516 Putusan No. 56/PUU-XI/2013
517 Putusan No. 69/PUU-XI/2013
518 Putusan No. 96/PUU-XI/2013
228
519 Putusan No. 23/PUU-XII/2014
520 Putusan No. 26/PUU-XII/2014
521 Putusan No. 26/PUU-XI/2013
522 Putusan No. 106/PUU-XI/2013
523 Putusan No. 107/PUU-XI/2013
524 Putusan No. 64/PUU-XI/2013
525 Putusan No. 97/PUU-XI/2013
526 Putusan No. 37/PUU-XII/2014
527 Putusan No. 35/PUU-XI/2013
528 Putusan No. 38/PUU-XI/2013
529 Putusan No. 17/PUU-XII/2014
530 Putusan No. 28/PUU-XI/2013
531 Putusan No. 60/PUU-XI/2013
532 Putusan No. 65/PUU-XI/2013
533 Putusan No. 22/PUU-XII/2014
534 Putusan No. 33/PUU-XII/2014
535 Putusan No. 49/PUU-XII/2014
536 Putusan No. 50/PUU-XII/2014
537 Putusan No. 51/PUU-XII/2014
538 Putusan No. 53/PUU-XII/2014
539 Putusan No. 67/PUU-XI/2013
540 Putusan No. 68/PUU-XI/2013
541 Putusan No. 103/PUU-XI/2013
542 Putusan No. 48/PUU-XI/2013
543 Putusan No. 62/PUU-XI/2013
544 Putusan No. 5/PUU-XII/2014
545 Putusan No. 73/PUU-XII/2014
546 Putusan No. 82/PUU-XII/2014
547 Putusan No. 71/PUU-XI/2013
548 Putusan No. 84/PUU-IX/2013
549 Putusan No. 62/PUU-XII/2014
550 Putusan No. 50/PUU-XI/2013
551 Putusan No. 101/PUU-XI/2013
552 Putusan No. 39/PUU-XII/2014
553 Putusan No. 97/PUU-XII/2014
554 Putusan No. 98/PUU-XII/2014
555 Putusan No. 101/PUU-XII/2014
556 Putusan No. 105/PUU-XII/2014
557 Putusan No. 111/PUU-XII/2014
558 Putusan No. 87/PUU-XI/2013
559 Putusan No. 93/PUU-XII/2014
560 Putusan No. 61/PUU-XII/2014
561 Putusan No. 70/PUU-XII/2014
562 Putusan No. 71/PUU-XII/2014
563 Putusan No. 95/PUU-XII/2013
564 Putusan No. 6/PUU-XII/2013
565 Putusan No. 15/PUU-XII/2014
566 Putusan No. 38/PUU-XII/2014
567 Putusan No. 75/PUU-XII/2014
568 Putusan No. 84/PUU-XII/2014
569 Putusan No. 88/PUU-XII/2014
570 Putusan No. 75/PUU-XI/2013
571 Putusan No. 98/PUU-XI/2013
572 Putusan No. 10/PUU-XII/2014
573 Putusan No. 63/PUU-XII/2014
574 Putusan No. 64/PUU-XII/2014
575 Putusan No. 82/PUU-XI/2013
576 Putusan No. 3/PUU-XII/2014
577 Putusan No. 16/PUU-XII/2014
578 Putusan No. 45/PUU-XII/2014
579 Putusan No. 18/PUU-XII/2014
580 Putusan No. 47/PUU-XII/2014
581 Putusan No. 52/PUU-XII/2014
582 Putusan No. 57/PUU-XII/2014
583 Putusan No. 67/PUU-XII/2014
584 Putusan No. 121/PUU-XII/2014
585 Putusan No. 34/PUU-XII/2014
586 Putusan No. 43/PUU-XII/2014
587 Putusan No. 59/PUU-XII/2014
588 Putusan No. 65/PUU-XII/2014
589 Putusan No. 86/PUU-XII/2014
590 Putusan No. 123/PUU-XII/2014
591 Putusan No. 124/PUU-XII/2014
592 Putusan No. 27/PUU-XII/2014
593 Putusan No. 66/PUU-XII/2014
594 Putusan No. 89/PUU-XII/2014
229
595 Putusan No. 132/PUU-XII/2014
596 Putusan No. 140/PUU-XII/2014
597 Putusan No. 77/PUU-XII/2014
598 Putusan No. 85/PUU-XI/2013
599 Putusan No. 118-119-125-126-127-
129-130-135/PUU-XII/2014
600 Putusan No. 19/PUU-XII/2014
601 Putusan No. 31/PUU-XII/2014
602 Putusan No. 81/PUU-XII/2014
603 Putusan No. 120/PUU-XII/2014
604 Putusan No. 11/PUU-XII/2014
605 Putusan No. 12/PUU-XII/2014
606 Putusan No. 20/PUU-XII/2014
607 Putusan No. 91/PUU-XII/2014
608 Putusan No. 85/PUU-XI/2014
609 Putusan No. 137/PUU-XII/2014
610 Putusan No. 15/PUU-XIII/2015
611 Putusan No. 14/PUU-XII/2014
612 Putusan No. 32/PUU-XII/2014
613 Putusan No. 113/PUU-XII/2014
614 Putusan No. 21/PUU-XII/2014
615 Putusan No. 42/PUU-XII/2014
616 Putusan No. 44/PUU-XII/2014
617 Putusan No. 29/PUU-XII/2014
618 Putusan No. 35/PUU-XII/2014
619 Putusan No. 46/PUU-XII/2014
620 Putusan No. 78/PUU-XII/2014
621 Putusan No. 18/PUU-XIII/2015
622 Putusan No. 30-74/PUU-XII/2014
623 Putusan No. 68/PUU-XII/2014
624 Putusan No. 109/PUU-XII/2014
625 Putusan No. 110/PUU-XII/2014
626 Putusan No. 41/PUU-XII/2014
627 Putusan No. 56/PUU-XII/2014
628 Putusan No. 33/PUU-XIII/2015
629 Putusan No. 34/PUU-XIII/2015
630 Putusan No. 37/PUU-XIII/2015
631 Putusan No. 38/PUU-XIII/2015
632 Putusan No. 71/PUU-XIII/2015
633 Putusan No. 79/PUU-XIII/2015
634 Putusan No. 26/PUU-XIII/2015
635 Putusan No. 42/PUU-XIII/2015
636 Putusan No. 46/PUU-XIII/2015
637 Putusan No. 49/PUU-XIII/2015
638 Putusan No. 51/PUU-XIII/2015
639 Putusan No. 58/PUU-XIII/2015
640 Putusan No. 70/PUU-XIII/2015
641 Putusan No. 73/PUU-XIII/2015
642 Putusan No. 25/PUU-XII/2014
643 Putusan No. 116/PUU-XII/2014
644 Putusan No. 23/PUU-XIII/2015
645 Putusan No. 72/PUU-XII/2014
646 Putusan No. 5/PUU-XII/2015
647 Putusan No. 27/PUU-XIII/2016
648 Putusan No. 54/PUU-XII/2014
649 Putusan No. 58/PUU-XII/2014
650 Putusan No. 76/PUU-XII/2014
651 Putusan No. 79/PUU-XII/2014
652 Putusan No. 60/PUU-XIII/2015
653 Putusan No. 63/PUU-XIII/2015
654 Putusan No. 77/PUU-XIII/2015
655 Putusan No. 80/PUU-XIII/2015
656 Putusan No. 81/PUU-XIII/2015
657 Putusan No. 83/PUU-XIII/2015
658 Putusan No. 112/PUU-XII/2014
dan 36/PUU-XIII/2015
659 Putusan No. 68/PUU-XIII/2015
660 Putusan No. 95/PUU-XIII/2015
661 Putusan No. 96/PUU-XIII/2015
662 Putusan No. 100/PUU-XIII/2015
663 Putusan No. 92/PUU-XII/2014
664 Putusan No. 43/PUU-XIII/2015
665 Putusan No. 69/PUU-XII/2014
666 Putusan No. 12/PUU-XIII/2015
667 Putusan No. 13/PUU-XIII/2015
668 Putusan No. 35/PUU-XIII/2015
230
669 Putusan No. 41/PUU-XIII/2015
670 Putusan No. 61/PUU-XIII/2015
671 Putusan No. 91/PUU-XIII/2015
672 Putusan No. 7/PUU-XII/2014
673 Putusan No. 106/PUU-XII/2014
674 Putusan No. 114/PUU-XII/2014
675 Putusan No. 10/PUU-XIII/2015
676 Putusan No. 28/PUU-XIII/2015
677 Putusan No. 2/PUU-XIII/2015
678 Putusan No. 94/PUU-XIII/2015
679 Putusan No. 105/PUU-XIII/2015
680 Putusan No. 117/PUU-XII/2014
681 Putusan No. 57/PUU-XIII/2015
682 Putusan No. 62/PUU-XIII/2015
683 Putusan No. 89/PUU-XIII/2015
684 Putusan No. 101/PUU-XIII/2015
685 Putusan No. 104/PUU-XIII/2015
686 Putusan No. 8/PUU-XII/2014
687 Putusan No. 80/PUU-XII/2014
688 Putusan No. 20/PUU-XIII/2015
689 Putusan No. 108/PUU-XIII/2015
690 Putusan No. 122/PUU-XII/2014
691 Putusan No. 138/PUU-XII/2014
692 Putusan No. 22/PUU-XIII/2015
693 Putusan No. 24/PUU-XIII/2015
694 Putusan No. 66/PUU-XIII/2015
695 Putusan No. 84/PUU-XIII/2015
696 Putusan No. 93/PUU-XIII/2015
697 Putusan No. 120/PUU-XIII/2015
698 Putusan No. 95/PUU-XII/2014
699 Putusan No. 16/PUU-XIII/2015
700 Putusan No. 19-PUU-XIII/2015
701 Putusan No. 31/PUU-XIII/2015
702 Putusan No. 45/PUU-XIII/2015
703 Putusan No. 56/PUU-XIII/2015
704 Putusan No. 98/PUU-XIII/2015
705 Putusan No. 2/PUU-XIV/2016
706 Putusan No. 39/PUU-XIII/2015
707 Putusan No. 126/PUU-XIII/2015
708 Putusan No. 131/PUU-XIII/2015
709 Putusan No. 4/PUU-XIII/2015
710 Putusan No. 3/PUU-XIII/2015
711 Putusan No. 26/PUU-XIV/2016
712 Putusan No. 4/PUU-XIV/2016
713 Putusan No. 21/PUU-XIII/2015
714 Putusan No. 16/PUU-XIV/2016
715 Putusan No. 33/PUU-XIV/2016
716 Putusan No. 25/PUU-XIII/2015
717 Putusan No. 40/PUU-XIII/2015
718 Putusan No. 30/PUU-XIII/2015
719 Putusan No. 122/PUU-XIII/2015
720 Putusan No. 8/PUU-XIII/2015
721 Putusan No. 9/PUU-XIII/2015
722 Putusan No. 76/PUU-XIII/2015
723 Putusan No. 107/PUU-XIII/2015
724 Putusan No. 18/PUU-XIV/2016
725 Putusan No. 22/PUU-XVI/2016
726 Putusan No. 7/PUU-XIII/2015
727 Putusan No. 11/PUU-XIII/2015
728 Putusan No. 64/PUU-XIII/2015
729 Putusan No. 17/PUU-XIV/2016
730 Putusan No. 32/PUU-XIV/2016
731 Putusan No. 37/PUU-XIV/2016
732 Putusan No. 90/PUU-XIII/2015
733 Putusan No. 112/PUU-XIII/2015
734 Putusan No. 23/PUU-XIV/2016
735 Putusan No. 34/PUU-XIV/2016
736 Putusan No. 32/PUU-XIII/2015
737 Putusan No. 5/PUU-XIV/2016
738 Putusan No. 92/PUU-XIII/2015
739 Putusan No. 106/PUU-XIII/2015
740 Putusan No. 119/PUU-XIII/2015
741 Putusan No. 10/PUU-XIV/2016
742 Putusan No. 24/PUU-XIV/2016
743 Putusan No. 42/PUU-XIV/2016
744 Putusan No. 6/PUU-XIII/2015
231
745 Putusan No. 29/PUU-XIII/2015
746 Putusan No. 65/PUU-XIII/2015
747 Putusan No. 117/PUU-XIII/2015
748 Putusan No. 6/PUU-XIV/2016
749 Putusan No. 48/PUU-XIV/2016
750 Putusan No. 75/PUU-XIII/2015
751 Putusan No. 128/PUU-XIII/2015
752 Putusan No. 7/PUU-XIV/2016
753 Putusan No. 51/PUU-XIV/2016
754 Putusan No. 53/PUU-XIII/2015
755 Putusan No. 59/PUU-XIII/2015
756 Putusan No. 67/PUU-XIII/2015
757 Putusan No. 123/PUU-XIII/2015
758 Putusan No. 8/PUU-XIV/2016
759 Putusan No. 20/PUU-XIV/2016
760 Putusan No. 21/PUU-XIV/2016
761 Putusan No. 50/PUU-XIV/2016
762 Putusan No. 72/PUU-XIII/2015
763 Putusan No. 110/PUU-XIII/2015
764 Putusan No. 113/PUU-XIII/2015
765 Putusan No. 114/PUU-XIII/2015
766 Putusan No. 27/PUU-XIV/2016
767 Putusan No. 38/PUU-XIV/2016
768 Putusan No. 47/PUU-XIII/2015
769 Putusan No. 52/PUU-XIII/2015
770 Putusan No. 87/PUU-XIII/2015
771 Putusan No. 135/PUU-XIII/2015
772 Putusan No. 62/PUU-XIV/2016
773 Putusan No. 69/PUU-XIII/2015
774 Putusan No. 88/PUU-XIII/2015
775 Putusan No. 138/PUU-XIII/2015
776 Putusan No. 50/PUU-XIII/2015
777 Putusan No. 78/PUU-XIII/2015
778 Putusan No. 102/PUU-XIII/2015
779 Putusan No. 109/PUU-XIII/2015
780 Putusan No. 52/PUU-XIV/2016
781 Putusan No. 82/PUU-XIII/2015
782 Putusan No. 85/PUU-XIII/2015
783 Putusan No. 111/PUU-XIII/2015
784 Putusan No. 57/PUU-XIV/2016
785 Putusan No. 58/PUU-XIV/2016
786 Putusan No. 59/PUU-XIV/2016
787 Putusan No. 125/PUU-XIII/2015
788 Putusan No. 63/PUU-XIV/2016
789 Putusan No. 130/PUU-XIII/2015
790 Putusan No. 133/PUU-XIII/2015
791 Putusan No. 136/PUU-XIII/2015
792 Putusan No. 3/PUU-XIV/2016
793 Putusan No. 29/PUU-XIV/2016
794 Putusan No. 40/PUU-XIV/2016
795 Putusan No. 43/PUU-XIV/2016
796 Putusan No. 140/PUU-XIII/2015
797 Putusan No. 25/PUU-XIV/2016
798 Putusan No. 35/PUU-XIV/2016
799 Putusan No. 45/PUU-XIV/2016
800 Putusan No. 76/PUU-XIV/2016
801 Putusan No. 81/PUU-XIV/2016
802 Putusan No. 83/PUU-XIV/2016
803 Putusan No. 89/PUU-XIV/2016
804 Putusan No. 93/PUU-XIV/2016
805 Putusan No. 129/PUU-XIII/2015
806 Putusan No. 139/PUU-XIII/2015
807 Putusan No. 28/PUU-XIV/2016
808 Putusan No. 64/PUU-XIV/2016
809 Putusan No. 65/PUU-XIV/2016
810 Putusan No. 72/PUU-XIV/2016
811 Putusan No. 77/PUU-XIV/2016
812 Putusan No. 78/PUU-XIV/2016
813 Putusan No. 91/PUU-XIV/2016
814 Putusan No. 99/PUU-XIV/2016
815 Putusan No. 13/PUU-XIV/2016
816 Putusan No. 49/PUU-XIV/2016
817 Putusan No. 79/PUU-XIV/2016
818 Putusan No. 90/PUU-XIV/2016
819 Putusan No. 98/PUU-XIV/2016
820 Putusan No. 111/PUU-XIV/2016
232
821 Putusan No. 94/PUU-XIV/2016
822 Putusan No. 39/PUU-XIV/2016
823 Putusan No. 55/PUU-XIV/2016
824 Putusan No. 109/PUU-XIV/2016
825 Putusan No. 2/PUU-XV/2017
826 Putusan No. 132/PUU-XIII/2015
827 Putusan No. 137/PUU-XIII
828 Putusan No. 102/PUU-XIV/2016
829 Putusan No. 9/PUU-XV/2017
830 Putusan No. 95/PUU-XIV/2016
831 Putusan No. 101/PUU-XIV/2016
832 Putusan No. 110/PUU-XIV/2016
833 Putusan No. 12/PUU-XIV/2016
834 Putusan No. 61/PUU-XIV/2016
835 Putusan No. 68/PUU-XIV/2016
836 Putusan No. 82/PUU-XIV/2016
837 Putusan No. 106/PUU-XIV 2016
838 Putusan No. 19/PUU-XV/2017
839 Putusan No. 47/PUU-XIV/2016
840 Putusan No. 54/PUU-XIV/2016
841 Putusan No. 56/PUU-XIV/2016
842 Putusan No. 27/PUU-XV/2017
233
PROFIL PENELITI DAN ASISTEN PENELITI
A. PENELITI
Damianagatayuvens meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia
pada tahun 2012 dan gelar Master of Law and Development dari University of
Melbourne pada tahun 2017. Damian adalah advokat yang masih tetap
menggeluti dunia penelitian. Beberapa tulisannya dapat ditemukan dalam
jurnal-jurnal nasional. Damian dapat dihubungi melalui alamat surel
Liza Farihah meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia pada
tahun 2012. Liza adalah peneliti madya di Lembaga Kajian dan Advokasi
Independensi Peradilan (LeIP) yang fokus pada pembaruan peradilan Indonesia
melalui advokasi berbasis riset. Hasil penelitian yang ia lakukan dapat
ditemukan dalam pelbagai terbitan LeIP dan jurnal nasional. Liza dapat
dihubungi pada alamat surel [email protected].
Rangga Sujud Widigda meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas
Indonesia pada tahun 2013. Rangga pernah bekerja sebagai konsultan hukum
pada firma hukum ternama di Indonesia dan kini bekerja di perusahaan yang
bergerak di bidang ketenagakerjaan. Rangga tetap aktif sebagai pemerhati dunia
hukum Indonesia dan dapat dihubungi pada alamat surel
Agung Sudrajat meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia pada
tahun 2012 dan gelar Master of Law dari Dokuz Eylül University pada tahun
2016. Agung pernah mengabdikan dirinya di Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Ankara, Turki dan kini bekerja sebagai staf di Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Oslo, Norwegia. Agung dapat dihubungi pada alamat
surel [email protected].
234
Erwin Natosmal Oemar meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Gajah
Mada pada tahun 2011 dan mendapatkan Young Policy Leaders Fellowship dari
European University Institute pada tahun 2017. Erwin bergabung dengan
Indonesian Legal Roundtable (ILR) sejak tahun 2012. Pada tahun 2016, Erwin
diangkat sebagai Ketua Bidang Hubungan Masyarakat DPP Ikatan Advokat
Indonesia. Erwin dapat dihubungi pada alamat surel [email protected].
B. ASISTEN PENELITI
Shanaz Hani Sofi mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Universitas Sebelas
Maret pada tahun 2014. Hani pernah menjadi Asisten Pengacara Publik di
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada tahun 2016 dan kemudian bergabung
dengan Indonesian Legal Roundtable (ILR) pada tahun yang sama. Hani saat
ini juga aktif di Bakornas LKB-HMI.
Muhammad Indra Lesmana mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari
Universitas Sebelas Maret pada tahun 2015. Sebagai mahasiswa, Indra aktif di
pelbagai organisasi kemahasiswaan seperti Kelompok Studi Penelitian
“Principium” dan Himpunan Mahasiswa Indonesia. Ia bergabung dengan
Indonesian Legal Roundtable (ILR) sejak tahun 2016.
Nabila Thalib mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia
pada tahun 2015. Sebagai mahasiswa, ia kerap berperan sebagai moderator dan
asisten peneliti. Ia pernah bekerja di Indonesian Legal Roundtable (ILR) pada
tahun 2015 hingga tahun 2017. Selanjutnya Nabila bergabung dengan Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
235
PROFIL INDONESIAN LEGAL ROUNDTABLE (ILR)
A. LATAR BELAKANG
Dunia hukum dan peradilan Indonesia saat ini dipenuhi kontroversi demi
kontroversi. Apabila dirangkum dalam suatu kesimpulan umum, pelbagai
kontroversi tersebut dimulai dari materi perundang-undangan yang tidak jelas
nilai dan ideologinya serta multi-makna dalam penafsirannya, sampai dengan
kinerja lembaga peradilan yang sering melukai rasa keadilan masyarakat.
Sehingga tidak mengherankan bila banyak pihak yang mengatakan bahwa
tujuan hukum untuk memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan akhirnya
hanya berlaku di atas kertas saja.
Beberapa contoh dari kebobrokan dunia hukum dan peradilan juga dapat
dilihat dari pelbagai penelitian yang dilakukan oleh pelbagai lembaga swadaya
masyarakat, di mana diperoleh data bahwa aktor-aktor yang terlibat pun sudah
demikian luas, dimulai dari seluruh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim,
sipir penjara dan advokat), pegawai administrasi dengan pangkat tertinggi,
politisi pembuat peraturan perundang-undangan sampai dengan kalangan
intelektual yang menjadi ahli.
Fakta yang secara selintas disebutkan di atas menyebabkan pelbagai laporan
lembaga di dalam maupun luas negeri yang menyebutkan Indonesia sebagai
salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia menjadi cukup valid
dan tidak dapat disanggah sama sekali. Bahkan Daniel Kauffmann, dalam
laporannya yang secara khusus menyoroti praktik korupsi di lembaga peradilan,
menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang berada pada posisi yang
cukup memprihatinkan berkaitan dengan kinerja aparat pada lembaga
penegakan hukumnya.
Bentuk-bentuk korupsi di lembaga peradilan sendiri menurut Deklarasi
International Bar Association (IBA), secara umum adalah tindakan-tindakan
yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum
(polisi, jaksa, hakim dan advokat). Sedangkan secara khusus dapat dilakukan
dalam bentuk mencari atau menerima pelbagai macam keuntungan atau janji
berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya,
seperti: suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan
236
dengan sengaja berkas pengadilan, memperlambat proses pengadilan,
pemanfaatan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi, pertimbangan yang
keliru, sikap tunduk kepada campur tangan luar/dalam pada saat memutus
perkara karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of interest,
favoritisme, kompromi dengan advokat serta tunduk pada kemauan pemerintah
dan partai politik. Praktik-praktik judicial corruption ini secara kolektif dikenal
dengan sebutan mafia peradilan.
Sebagai suatu sistem, kinerja aparat penegak hukum sekarang ini memang
berada pada titik nadir yang cukup mengkhawatirkan. Pelbagai keluhan baik
dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah-olah sudah tidak dapat lagi
menjadi media kontrol bagi para penegak hukum tersebut untuk kemudian
melakukan pelbagai perbaikan yang signifikan bagi terciptanya suatu kinerja
yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat. Sayangnya lagi
pemerintahan yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat tidak memiliki
sense of crisis terhadap persoalan hukum. Yang terjadi malah political interest
lebih menonjol ketimbang komitmen dan political will yang sungguh-sungguh
untuk memperkuat law enforcement dan rule of law. Tak jarang dari banyak
fakta atau kasus, justru political interest ini yang menjadi penghambat jalannya
penegakan hukum.
Berdasarkan pelbagai permasalahan yang telah dipaparkan di atas, yang
sebenarnya masih sangat singkat dan sederhana apabila dibandingkan dengan
fakta yang terjadi secara terus-menerus dan sistemik di lapangan, kami berpikir
perlu ada suatu lembaga yang secara menyeluruh dan sistemik melakukan
kajian atas pelbagai masalah hukum tersebut dan menawarkan solusi
pemecahannya. Sehingga diharapkan pada akhirnya secara bertahap semua
permasalahan yang seperti benang kusut tersebut sedikit demi sedikit dapat
terurai dan hukum yang bertujuan untuk memberikan kepastian, keadilan dan
kemanfaatan akhirnya berlaku juga di lapangan.
Kondisi demikian bukanlah sesuatu yang datang dalam sekejap, tetapi telah
berlangsung sekian lama, sistematis, dan seperti tak berkesudahan. Hampir satu
dasawarsa seiring dengan euforia reformasi, namun perubahan hukum belum
membuahkan hasil yang memuaskan dan berpengaruh secara signifikan.
Melengkapi upaya yang telah dilakukan sejumlah kalangan, kami hadir untuk
237
mendorong dan memperkuat proses perubahan hukum yang telah berjalan.
Selain mencoba memberikan sesuatu yang lebih bermakna bagi sebuah
pencapaian rule of law dan keadilan yang lebih luas.
B. NAMA LEMBAGA
INDONESIAN LEGAL ROUNDTABLE (ILR), dengan badan hukum
berbentuk Yayasan.
C. SIFAT
INDONESIAN LEGAL ROUNDTABLE (ILR), dengan badan hukum
berbentuk Yayasan.
D. VISI
Tercapainya hukum yang demokratis, responsif dan berkeadilan serta
menghargai hak asasi manusia.
E. MISI
1. Merumuskan ide dan gagasan baru tentang hukum serta perubahan hukum
yang diperlukan bagi penguatan demokrasi, hak asasi dan rule of law yang
berkeadilan.
2. Mendorong dan memfasilitasi peran civil society untuk terlibat secara aktif
dalam proses perubahan dan penegakan hukum.
3. Melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk membangun kesadaran dan
awareness publik terhadap perubahan hukum.
F. PROGRAM KERJA
1. Annual Report tentang Rule of Law Index
2. Interim Report (Policy Papers) tentang pelbagai permasalahan hukum dan
peradilan
G. METODE KERJA
1. Survei
2. Riset
3. Roundtable Discussion
238
H. STRUKTUR ORGANISASI
Direktur Eksekutif : Firmansyah Arifin
Deputi Direktur Internal : Erwin Natosmal Oemar
Deputi Direktur Pengembangan Riset : Andri Gunawan
Peneliti : Agil Oktaryal
: Muh. Indra Lesmana
: Muh. Rizky Yudha
: Shahnaz Hani Sofi
: Yanose Syahni
Staf Keuangan : Kiki Pranasari
: Siti Nurhayati
Staf Umum & Administrasi : Jafar Tasdik