Pemeriksaan Dan Tatalaksana Pasien Penderita Mata Kering Bagi Dokter Non Spesnialis Mata
-
Upload
santri-dwizamzami-nasution -
Category
Documents
-
view
441 -
download
0
description
Transcript of Pemeriksaan Dan Tatalaksana Pasien Penderita Mata Kering Bagi Dokter Non Spesnialis Mata
Pemeriksaan dan Tatalaksana Pasien Penderita Mata Kering Bagi
Dokter Non Spesialis Mata
Louis Tong 1,2,3,4, MBBS, FRCS, PhD, Andrea Petznick3, Dipl-AO, PhD, Sze Yee Lee3, BSc(Hons)Optom, Jeremy Tan 5,6, MBBS1Departmen Kornea dan Penyakit Mata Eksternal, Singapore National Eye Centre2Kantor Sains Klinik, Sekolah Kedokteran Duke-NUS3Institut Penelitian Mata Singapura, Singapore National Eye Centre4Departement Oftalmologi, Sekolah Kedokteran Yong Loo Lin, Universitas Nasional Singapura5Kelompok Medis FAITH6Departmen Kesehatan, Sekolah Kedokteran Yong Loo Lin, Universitas Nasional Singapura
ABSTRAK
Mata kering adalah penyakit yang umum terjadi pada seluruh belahan dunia. Baik dokter
spesialis mata (Sp.M) maupun petugas professional kesehatan lainnya, yakni dokter umum dan
optometris, seringkali menemui pasien dengan sindroma mata kering dan terlibat dalam
tatalaksanya. Penatalaksanaan sindroma mata kering (SMK) atau dry eye syndrome (DES)
seringkali memaksa pasien membeli obat pelumas air mata di apotik (obat tetes mata) tanpa
resep dokter. Sekarang banyak obat pelumas air mata yang bervariasi dalam kekentalan atau
viskositasnya, durasi dan onsetnya, bahan pengawet, osmolaritas, dan pH. Artikel ini bertujuan
untuk memberi edukasi pekerja medis : 1) Bagaimana pemeriksaan dan tatalaksana pasien
dengan DES ringan dan sedang, dan 2) Kapan seorang pasien DES harus dirujuk ke dokter SpM.
Strategi dalam tatalaksana dan keterbatasan pengobatan, dan juga faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan pasien akan dibahas disini.
Kata kunci : Sains Klinik, Sindroma mata kering, Dokter umum, Manusia, Oftalmology
1
PENDAHULUAN
Sindroma Mata Kering (SMK) atau Dry Eye Syndrome (DES) adalah penyakit
multifaktorial yang menyerang lapisan air mata dan lapisan mata sendiri. Penyakit ini seringkali
dihubungkan dengan ketidaknyamanan, gangguan penglihatan, dan kelainan lapisan air mata
yang bias disebabkan defisiensi air mata atau penguapan air mata yang berlebihan(1). Cedera pada
permukaan mata seringkali cukup jelas pada pasien DES(2). DES telah terbukti menurunkan
kualitas hidup pasien dengan menganggu aktivitas sehari-hari, seperti menaiki tangga, mengenali
teman, membaca, mengemudi, dan lainnya (3). DES menyerang jutaan manusia di seluruh dunia
dengan prevelansi 35 % dalam populasi umum (4-6). Prevelansi yang tinggi ini menyebabkan
seringnya penderita mencari pengobatan bukan hanya pada SpM namun juga pada dokter umum
maupun ahli oftalmologi klinik (optometrist). Artikel ini bertujuan untuk memberi edukasi
pekerja medis : 1) Bagaimana pemeriksaan dan tatalaksana pasien dengan DES ringan dan
sedang, dan 2) Kapan seorang pasien DES harus dirujuk ke dokter SpM. Strategi dalam
tatalaksana dan keterbatasan pengobatan, dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
pasien akan dibahas disini.
PEMERIKSAAN PASIEN
Pasien dengan DES mungkin datang ke optometrist atau dokter umum dengan keluhan
rasa tidak nyaman pada matanya. Gejala-gejala yang timbul diantaranya mata kering, mata
merah, bulu mata terasa berat, pandangan kabur, rasa tidak nyaman di ruangan ber-AC, rasa
pegal atau lelah di mata terutama sesudah melakukan aktivitas yang membutuhkan daya lihat
dalam jangka waktu lama (membaca, menonton televisi, bekerja di depan computer, dll). Pada
beberapa kasus pasien juga mengeluhkan matanya berair. Merupakan paradoks, mata berair pada
sindroma mata kering dapat terjadi dan menandakan adanya reflex alamiah mata terhadap
keringnya permukaan mata.
Adalah hal yang penting untuk membedakan antara DES, penyakit alergi pada mata, dan
infeksi mata, dikarenakan ketiga penyakit ini memiliki beberapa gejala yang mirip alias tumpang
tindih. Pasien muda, dengan usia dibawah 20 tahun, dengan keluhan-keluhan seperti sinusitis,
asthma, atau gatal-gatal yang hilang timbul di kulit, mungkin akan lebih tepat menderita
2
konjungtivitis allergi dibandingkan DES. Adanya sekret mukoid dan bengkak pada kelopak mata
daoat menandakan konjungtivitis et causa infeksi. Adalah hal yang esensial untuk dapat memilah
pasien yang harus dirujuk ke SpM. Seperti pasien DES dengan penyebab Sindroma Sjögren,
Atritis reumathoid, dan penyakit kolagen pembuluh darah autoimun (7).
Kemerahan pada konjungtiva dan/atau fotofobia pada Artritis Reumathoid dapat
menandakan adanya gangguan penglihatan yang serius yang mengancam mata seperti skleritis
atau uveitis (9). Pasien dengan penyakit autoimun sistemik, seperti Sindroma Sjögren, akan
memberikan gejala DES berat (10) dan pengobatan untuk men-supresi respon imun mungkin
diperlukan. Pasien dengan penyakit tiroid sering memiliki kelainan pada kelopak mata seperti
lagoptalmos dan kelainan orbita seperti exopthalmos (11).
Alat yang sering digunakan dalam mendiagnosis DES antara lain kertas tes Schirmer
untuk mengetahui jumlah produksi air mata dan pewarnaan Fluoresin untuk melihat adanya
defek epitel kornea dan memeriksa tear film breakup time (durasi rusaknya lapisan air mata) (1).
Tes Schirmer, ketika digunakan sebagai pemeriksaan tunggal, mungkin tidaklah efektif bila
hasilnya tidak berkaitan erat dengan DES (12). Faktanya, pasien dengan DES yang matanya
diperiksa dengan tes Schirmer dapat memberi hasil negatif palsu atau bahkan hasil seperti mata
normal, dikarenakan adanya iritasi mata yang disebabkan iritasi akibat kertas Schirmer dan
reflek air mata susulan.
Pewarnaan Fluoresin (Fluresin test) dapat sangat membantu dan tersedia dalam strip
sekali pakai, serta dapat digunakan dengan air steril. Biomikroskop atau sumber cahaya dengan
filter cobalt blue akan memberikan tampilan warna hijau berupa bercak-bercak pada permukaan
kornea yang terdapat defek (13). Pewarnaan Fluoresin dapat digunakan untuk menghitung tear
film break-up time sebagai indikator stabilitas lapisan air mata. Peradangan pada bulu mata atau
disfungsi kelenjar meibom (Meibomian Gland Dysfunction/MGD) (15) juga dapat diketahui
dengan pemeriksaan ini.
Keadaan lapisan air mata dan kelopak mata yang lebih seksama mungkin memerlukan
pemeriksaan biomikroskop atau slit lamp dimana pada praktik dokter umum tidak selalu ada alat
tersebut. Tidak stabilnya lapisan air mata dan kelainan kelopak mata dapat di terapi dengan
kompres handuk basah yang hangat, tutup mata dengan penghantar panas (microwavable eye
mask), dan menjaga kebersihan mata (16).
3
Melakukan pemeriksaan reflek kornea dengan ujung kapas untuk menyingkirkan adanya
hiporeflek maupun keadaan mati saraf dari kornea juga penting, alasannya adalah pasien dengan
sensitifitas kornea yang berkurang merupakan faktor resiko yang tinggi dalam terjadinya ulkus
kornea dan harus segera dirujuk ke Sp.M (17). Pterigium, jaringan fibrovaskular yang tumbuh
sentripetal dari konjungtiva ke kornea, juga sering dikaitkan dengan ketidakstabilan lapisan air
mata (18). Pasien pterigium sering di operasi Sp.M bila pandangannya telah tertutup oleh jaringan
tersebut (19).
DES adalah penyakit multifaktorial, sehingga gaya hidup pasien dan pengaruh
lingkungan yang menjadi faktor resiko DES harus disingkirkan. Diantaranya pengguanaan lensa
kontak (20), penggunaan obat-obatan pengganti hormone estrogen (21), antidepresan (22), dan
antihistamin (23). Pembedahan pada mata seperti LASIK (Laser Assisted In Situ Keratomileusis),
dapat menyebabkan mata kering (24). Merokok dan konsumsi alkohol (19, 25), Sleep Apnoea (26),
mata yang dipakai membaca dan bermain computer terlalu lama (27, 28), menghabiskan waktu di
ruang ber-AC (29) dapat memperburuk DES.
Untuk mengurangi gejala-gejala, dapat diberikan edukasi yang sederhana seperti
meletakan layar komputer lebih rendah dari mata, mengurangi memicingkan mata (30), minum
suplemen omega-3 (28,31) dan/atau menggunakan pelembab mata pada lingkungan yang kering.
Pasien dapat pula disarankan untuk mengurangi penggunaan lensa kontak dan tidur yang cukup
sedikitnya enam sampai tujuh jam.
OBAT TOPIKAL UNTUK MATA KERING
Terapi lini pertama yang masih digunakan sampai sekarang untuk DES adalah pemberian
obat pelumas air mata topikal (tetes mata atau salep) (32). Tujuan dari obat pelumas air mata
adalah untuk memberikan tambahan volume air mata, membuat lapisan air mata stabil, menjaga
media refraksi agar awet dengan lapisan air mata, memproteksi epitel permukaan dan
mengurangi friksi dari kelopak dan bulu mata saat mata berkedip (33).
Di luar sana banyak obat pelumas air mata dan obat yang dapat ditebus dengan resep,
seperti Cyclosporine dan steroid topikal (34). Namun, penggunaan steroid topikal tidak disarankan
pada petugas medis yang tidak memiliki alat pemeriksaan untuk menilai efek samping dari obat
steroid topikal contohnya adalah peningkatan TIO (35). Obat tetes mata untuk DES memiliki
4
komposisi, viskositas, durasi dan onset, bentuk, dan tipe pengawet, osmolaritas, serta pH yang
berbeda-beda (36).
VISKOSITAS
Hidrogel, zat utama pada obat air mata buatan, adalah polimer yang memiliki
kemampuan untuk menahan air (37). Contoh obat-obat ini antara lain Hidroksiprpilmetilselulosa
(HPMC), karboksi metilselulosa (CMC), polivinil alkohol (PVA), carbopol, polivinil pirolidone,
polietilen glikol, dekstran, asam hialuroat, dan karbomer 940 (asam poliakrilik) (37). Polimer-
polimer ini dapat meningkatkan, dengan batas tertentu, sifat kental dari obat tetes air mata dan
memfasilitasi perlekatan dengan lapisan mukoid dari air mata, tapi tidak ada dari obat-obat
tersebut yang lebih superior dibandingkan yang lain(37). Asam Hialuroat, merupakan
glikosaminoglikan alami yang terkandung dalam obat-obat seperti BLNK® dan Hialid® memiliki
manfaat dalam penyembuhan luka (38). Hidroksipropil Guar, hidrogel unik terdapat dalam
preparat botol sebagai monomer dengan pelarut borate. Ketika terjadi perubahan pH, seperti
ketika obat ini bertemu dengan lapisan air mata, Guar akan membentuk ikatan silang dengan
borate dan membentuk lapisan bioprotektif (Sistane®) (39).
Semakin rendah viskositas obat maka semakin tinggi aliran keluar lakrimal,
berkurangnya waktu retensi air mata (40), dan durasi kerja obat yang pendek sehingga pasien
harus menggunakan tetes mata lebih sering. Sementara itu, obat tetes mata dengan viskositas
tinggi, memiliki kemampuan melindungi lapisan luar mata lebih lama, namun dapat
menimbulkan gangguan penglihatan (40). Tetes mata yang memiliki viskositas tinggi juga dapat
memadat membentuk Kristal pada bulu mata dan kelopak mata (41). Maka dari itu obat mata yang
sangat kental seperti salep mata sebaiknya diberikan saat sebelum tidur untuk menghindari
gangguan penglihatan.
Setiap pasien juga membutuhkan percobaan dalam pemberian obat pelumas air mata ini
dimana obat yang diberikan harus dapat digunakan dengan nyaman oleh pasien, pasien
hendaknya mendiskusikan dengan dokter obat pelumas air mata topikal yang sesuai
viskositasnya dan nyaman sesuai kegiatan pasien. Bila pasien mengeluh pandangannya menjadi
buram sesudah pemberian obat pelumas air mata, maka pemberian obat dengan viskositas lebih
rendah dapat diberikan. Sebagai contoh, Liquigel, solusio dengan konsentrasi 1%
5
karboksimetilselulosa (CMC) yang terdiri dari 0,35% viskositas tinggi dan 0,65% viskositas
menengah. Liquigel memiliki viskositas lebih rendah dibandingkan Celluvisc®, 1% solusio CMC
dengan keseluruhan viskositas tinggi (41).
PENGAWET
Obat pelumas air mata dapat dibagi menjadi diawetkan dan tidak diawetkan (33). Pengawet
ditambahkan pada air mata buatan untuk meningkatkan daya kerja obat. Obat yang tidak
diawetkan biasanya ditempatkan di vial kecil yang berisi kurang dari setengah milliliter cairan,
sedangkan obat yang diawetkan ditempatkan pada botol yang lebih besar.
Obat pelumas air mata dengan pengawet tidak membutuhkan kulkas setelah dibuka dan
selama pemakaian (33). Asalkan pasien tidak secara sengaja menempelkan ujung botol obat tetes
mata pada mata, maka resiko kontaminasi dapat dihindarkan dan obat ini dapat digunakan
selama kurang lebih 1 bulan atau lebih. Namun pengawet pada obat mata ini juga memiliki
kerugian, karena digunakan tetes 6x sehari (33). Pengawet, terutama Benzalkonium Klorida (BAK)
dan chlorobutanol dapat merusak epitel kornea, menyebabkan kemerahan mata, iritasi mata, atau
bahkan gejala DES sendiri (42-44).
Pengawet yang baru-baru ini diperkenalkan, seperti GenAqua TM (Sodium Perborat) (45),
PuriteTM (Sodium Klorida) (43) dan Polyquad TM (Polyquaternium-1) (46), lebih tidak berbahaya
dibandingkan BAK. Purite berdegradasi menjadi ion klorida dan air setelah diteteskan sedangkan
GenAqua diubah menjadi oksigen dan air setelah kontak dengan lapisan air mata (45).
Obat-obatan yang tidak diawetkan menjadi resiko kontaminasi mikroba dan obat tetes ini
harus dibuang dalam 24 jam setelah penggunaan, walaupun vialnya sudah ditutup. Meskipun
begitu, obat pelumas air mata dengan pengawet relatif lebih mahal dibandingkan obat yang tidak
diawetkan, hal ini dikarenakan obat dengan pengawet dapat beberapa kali diteteskan dalam
sehari. Maka dari itu, dianjurkan obat dengan pengawet digunakan pasien yang membutuhkan
obat tetes mata yang sering.
6
OSMOLARITAS
Osmolaritas adalah ukuran jumlah zat terlarut dalam 1 liter larutan, dan ini berbeda di
tiap jenis obat (33). Ukuran zat terlarut dalam air mata disebut osmolaritas air mata. Meningkatnya
osmolaritas air mata menjadi faktor utama dan pencetus DES dan pemicu kerusakan permukaan
epitel (1), dan hal inilah yang menjadi alasan mengapa osmolaritas menjadi alat ideal untuk
mendiagnosis DES (47,48). Lebih lanjut, DES yang diakibatkan pemakaian lensa kontak
menunjukan peningkatan osmolaritas (20).
Berdasarkan teori osmolaritas ini, maka dianggap terapi dengan tetes mata hipo-osmolar
(seperti TheraTears®) dapat menurunkan osmolaritas air mata. Beberapa uji klinis dengan tetes
mata hipo-osmolar ternyata memberikan hasil yang berbeda-beda (49-52) dan ada penelitian yang
menunjukan tetes mata seperti ini hanya mengubah osmolaritas mata sementara.
pH
Obat pelumas air mata adalah larutan elektrolit yang terdiri dari berbagai macam buffer
dan tingkat keasaman (33). Kami melakukan pengukuran level pH dari berbagai macam obat tetes
air mata buatan seperti yang tertera pada Tabel 1.
Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa pH pada beberapa obat tetes mata stabil dalam
waktu sampai 60 hari (54). Pada kajian kami dan laporan sebelumnya dari Lopez-Alemany et al (55), jelas bahwa preparat air mata buatan memiliki variasi pH . pH air mata sendiri normalnya
6.9 ± 0.256 sampai 7.5 ± 0.257 , tapi pH ini tidak berubah pada DES (58). Perbedaan pH air mata
mungkin berhubungan dengan beberapa faktor termasuk saturasi CO2 dan adanya lipid dari
kelenjar meibom (56). Pasien dapat merasakan seperti tersengat saat menggunakan tetes mata, hal
ini dikarenakan adanya perbedaan pH dari obat tetes mata dan lapisan air mata (33). Efek samping
ini menyebabkan pasien kecewa dengan pengobatan yang diberikan dan seringkali tidak patuh.
Percobaan untuk memilih obat pelumas air mata pada pasien tidak dapat dihindari karena pH
setiap pasien berbeda-beda. pH lapisan air mata tidaklah konstan ketika diukur di waktu yang
berbeda dalam 1 hari. Semakin sering mata ditutup maka semakin asam pH nya (59). Lensa kontak
menambah pH namun akan kembali lagi ketika dilepas(56) Ini menandakan pasien butuh
menggunakan tetes mata dengan pH tertentu di setiap kegiatan tertentu. Keasaman obat mata
7
topikal bukan hanya 1 faktor yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien. Resep obat tetes
mata Restasis® dapat menimbulkan rasa nyeri dan seperti terbakar setelah pemakaian, sehingga
seringkali pasien ingin meneruskan pengobatan karena ini.
LEMAK
Lapisan lipid air mata dapat dipertebal dengan emulsi minyak castor (Endura® atau
emulsi Restasis® yang berisi siklosporin 0,05%) (61). Beberapa obat tetes mata berbahan dasar
lipid lainnya juga tersedia.
KELEMAHAN OBAT PELUMAS AIR MATA
Banyak orang kurang puas dengan rasa lega sementara yang diberikan oleh obat pelumas
air mata yang mereka miliki, terlepas dari komposisinya yang berbeda-beda (62). Air mata buatan
tidak dapat sepenuhnya menggantikan komposisi kompleks dari lapisan alamiah air mata, yang
memiliki unsur anti inflaamasi (34). Sebagai contoh, Struktur lapisan air mata yang baik terdiri
dari lipid, aqueous, dan mukus, yang ketiga lapisan ini tidak dapat digantikan obat pelumas air
mata buatan (1). Protein utama air mata seperti lisozim, laktoferin, IgA, dan Lipid binding protein (63) juga tidak terdapat pada obat tetes air mata buatan.
BEBERAPA SARAN DALAM MENGGUNAKAN OBAT PELUMAS AIR MATA
BUATAN
Ada banyak jenis obat tetes air mata buatan yang dijual dipasaran dan pastinya tidak
mudah dalam memilih yang paling baik bagi seseorang yang menderita DES. Prinsip utama
dalam pengobatan adalah, tingkat keparahan DES membutuhkan obat yang viskositasnya lebih
tinggi dan aplikasi yang makin sering. Prinsip coba-coba mungkin dibutuhkan dalam memilih
dan menemukan regimen dan viskositas yang tepat bagi setiap pasien. Obat pengganti air mata
yang berbeda-beda viskositasnya dapat dipilih untuk pasien dan disesuaikan dengan aktivitasnya.
Sebagai contoh, obat tetes mata dengan viskositas rendah digunakan pada pagi sampai siang hari,
sementara obat salep mata dengan viskositas tinggi digunakan pada malam hari saat tidur. Pasien
8
yang masih takut untuk menggunakan obat pelumas air mata harus diberi edukasi. Pasien harus
mengerti fungsi obat yang akan diberikan dan dosisnya. Sebagai contoh, seorang pasien harus
paham untuk menggunakan lebih banyak pelumas air mata saat bekerja di depan komputer atau
menyetir di malam hari.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PASIEN
Penyakit DES merupakan penyakit yang kronik, sehingga obat pelumas air mata yang
dibutuhkan adalah untuk jangka waktu panjang. Pasien DES yang sangat membutuhkan obat
pelumas air mata secara regular biasanya justru putus obat (64). Rendahnya kepatuhan dapat
disebabkan faktor dari obatnya sendiri seperti rumitnya aplikasi, dosis yang terlalu tinggi dan
sering, efek samping, harga yang mahal(65). Faktor dari pasien sendiri diantaranya adalah daya
ingat yang lemah, disabilitas, kurangnya pemahaman mengenai fungsi pengobatan. Pasien yang
merasa obat yang diresepkan tidak membuat dirinya semakin nyaman juga mengurangi
kepatuhan (64).
Seringkali pasien terlalu mengandalkan keluarga untuk melakukan kegiatan sehari-hari
sehingga tanpa pengobatanpun mereka merasa tidak masalah dan akhirnya tidak patuh. Regimen
obat yang tidak dijelaskan secara detail oleh dokter juga dapat menimbulkan ketidakpahaman,
ketidakpuasan dan pututs obat (65). Untuk meningkatkan kepatuhan pada pasien terhadap
penanganan penyakit DES, edukasi yang tepat guna dan dapat dipahami, serta regimen dan dosis
yang tepat pada resep obat merupakan faktor penting untuk memaksimalkan kepatuhan dan
penyembuhan yang baik dari DES (64).
KESIMPULAN
Pemeriksaan dan tatalaksana pasien DES seringkali jauh dari rasa puas pasien bila
“terpaksa” ditangani dokter umum selain Sp.M. Dengan jurnal ini, kami bertujuan untuk
memberikan gambaran terapi yang tersedia dan keterbatasannya. Sangatlah penting bagi seorang
dokter untuk memahami farmakologi dari obat pelumas air mata yang tersedia sehingga akan
dapat memilih terapi yang tepat untuk pasien. Pasien harus mengerti bahwa DES harus dikontrol
bukan disembuhkan, sehingga pasien tidak menaruh harapan yang tinggi pada pengobatan.
9
10
REFERENSI
1. DEWS. The definition and classification of dry eye disease: report of the Definition and Classification Subcommittee of the International Dry Eye WorkShop (2007). Ocul Surf 2007;5(2):75-92.
2. Tseng SC. Staging of conjunctival squamous metaplasia by impression cytology. Ophthalmology 1985;92(6):728-33.
3. Clegg JP, Guest JF, Lehman A ,Smith AF. The annual cost of dry eye syndrome in France, Germany, Italy, Spain, Sweden and the United Kingdom among patients managed by ophthalmologists. Ophthalmic Epidemiol 2006;13(4):263-74.
4. McCarty CA, Bansal AK, Livingston PM, Stanislavsky YL, Taylor HR. The epidemiology of dry eye in Melbourne, Australia. Ophthalmology 1998;105(6):1114-9.
5. Munoz B, West SK, Rubin GS, Schein OD, Quigley HA, Bressler SB, et al. Causes of blindness and visual impairment in a population of older Americans: The Salisbury Eye Evaluation Study. Arch Ophthalmol 2000;118(6):819-25.
6. Schaumberg DA, Sullivan DA, Buring JE ,Dana MR. Prevalence of dry eye syndrome among US women. Am J Ophthalmol 2003;136(2):318-26.
7. Fujita M, Igarashi T, Kurai T, Sakane M, Yoshino S ,Takahashi H. Correlation between dry eye and rheumatoid arthritis activity. Am J Ophthalmol 2005;140(5):808-13.
8. Fox RI, Howell FV, Bone RC, Michelson P. Primary Sjogren syndrome: Clinical and immunopathologic features. Semin Arthritis Rheum 1984;14(2):77-105.
9. Ausayakhun S, Louthrenoo W, Aupapong S. Ocular diseases in patients with rheumatic diseases. J Med Assoc Thai 2002;85(8):855-62.
10. Begley CG, Caffery B, Chalmers RL, Mitchell GL. Use of the dry eye questionnaire to measure symptoms of ocular irritation in patients with aqueous tear deficient dry eye. Cornea 2002;21(7):664-70.
11. Gupta A, Sadeghi PB ,Akpek EK. Occult thyroid eye disease in patients presenting with dry eye symptoms. Am J Ophthalmol 2009;147(5):919-23.
12. Begley CG, Chalmers RL, Abetz L, Venkataraman K, Mertzanis P, Caffery BA, et al. The relationship between habitual patient-reported symptoms and clinical signs among patients with dry eye of varying severity. Invest Ophthalmol Vis Sci 2003;44(11):4753-61.
13. Tsubota K, Goto E, Shimmura S ,Shimazaki J. Treatment of persistent corneal epithelial defect by autologous serum application. Ophthalmology 1999;106(10):1984-9.
14. Jeon JH, Shin MS, Lee MS, Jeong SY, Kang KW, Kim YI, et al. Acupuncture reduces symptoms of dry eye syndrome: A preliminary observational study. J Altern Complement Med 2010;16(12):1291-4.
15. Tomlinson A, Bron AJ, Korb DR, Amano S, Paugh JR, Pearce EI, et al. The international workshop on meibomian gland dysfunction: Report of the diagnosis subcommittee. Invest Ophthalmol Vis Sci 2011;52(4):2006-49.
16. Geerling G, Tauber J, Baudouin C, Goto E, Matsumoto Y, O'Brien T, et al. The international workshop on meibomian gland dysfunction: Report of the subcommittee on management and treatment of meibomian gland dysfunction. Invest Ophthalmol Vis Sci 2011;52(4):2050- 64.
17. Golubovic S, Parunovic A. Cyanoacrylate glue in the treatment of corneal ulcerations. Fortschr Ophthalmol 1990;87(4):378-81.
18. Ishioka M, Shimmura S, Yagi Y ,Tsubota K. Pterygium and dry eye. Ophthalmologica 2001;215(3):209-11.
19. Lee AJ, Lee J, Saw SM, Gazzard G, Koh D, Widjaja D, et al. Prevalence and risk factors associated with dry eye symptoms: A population based study in Indonesia. Br J Ophthalmol 2002;86(12):1347-51.
11
20. Nichols JJ, Sinnott LT. Tear film, contact lens, and patientrelated factors associated with contact lens-related dry eye. Invest Ophthalmol Vis Sci 2006;47(4):1319-28.
21. Mathers WD, Dolney AM, Kraemer D. The effect of hormone replacement therapy on the symptoms and physiologic parameters of dry eye. Adv Exp Med Biol 2002;506(Pt B):1017-22.
22. Schaumberg DA, Dana R, Buring JE, Sullivan DA. Prevalence of dry eye disease among US men: estimates from the Physicians' Health Studies. Arch Ophthalmol 2009;127(6):763-8.
23. Ousler GW, Wilcox KA, Gupta G, Abelson MB. An evaluation of the ocular drying effects of 2 systemic antihistamines: Loratadine and cetirizine hydrochloride. Ann Allergy Asthma Immunol 2004;93(5):460-4.
24. Jabbur NS, Sakatani K,O'Brien TP. Survey of complications and recommendations for management in dissatisfied patients seeking a consultation after refractive surgery. J Cataract Refract Surg 2004;30(9):1867-74.
25. Chia EM, Mitchell P, Rochtchina E, Lee AJ, Maroun R ,Wang JJ. Prevalence and associations of dry eye syndrome in an older population: The Blue Mountains Eye Study. Clin Experiment Ophthalmol 2003;31(3):229-32.
26. Galor A, Feuer W, Lee DJ, Florez H, Carter D, Pouyeh B, et al. Prevalence and Risk Factors of Dry Eye Syndrome in a United States Veterans Affairs Population. Am J Ophthalmol 2011;152(3):377-384.e2.
27. Goto E, Yagi Y, Matsumoto Y, Tsubota K. Impaired functional visual acuity of dry eye patients. AmOphthalmol 2002;133(2):181-6.
28. Lan W, Tong L. Comments: acupuncture for treating dry eye: a randomized placebo-controlled trial. Acta Ophthalmol 2011;89(4):e371-2; author reply e372.
29. Reijula K, Sundman-Digert C. Assessment of indoor air problems at work with a questionnaire. Occup EnvironMed 2004;61(1):33-8.
30. Tsubota K, Nakamori K. Dry eyes and video display terminals. N Engl J Med 1993;328(8):584.31. Rashid S, Jin Y, Ecoiffier T, Barabino S, Schaumberg DA, Dana MR. Topical omega-3 and
omega-6 fatty acids for treatment of dry eye. Arch Ophthalmol 2008;126(2):219-25.32. Hopkins G, Pearson R, Eds. Ophthalmic drugs diagnostic and therapeutic uses. 5th ed. 2007,
Elsevier: Edinburgh, 247-8.33. Asbell PA. Increasing importance of dry eye syndrome and the ideal artificial tear: Consensus
views from a roundtable discussion. Curr Med Res Opin 2006;22(11):2149-57.34. Pflugfelder SC. Antiinflammatory therapy for dry eye. Am J Ophthalmol 2004;137(2):337-42.35. Covell LL. Glaucoma induced by systemic steroid therapy. Am J Ophthalmol 1958;45(1):108-9.36. Murube J, Murube A, Zhuo C. Classification of artificial tears. II: Additives and commercial
formulas. Adv Exp Med Biol 1998;438:705-15.37. Doughty MJ, Glavin S. Efficacy of different dry eye treatments with artificial tears or ocular
lubricants: a systematic review. Ophthalmic Physiol Opt 2009;29(6):573-83.38. Liu L, Tiffany J, Dang Z, Dart JK, Watson SL, Daniels JT, et al. Nourish and nurture:
development of a nutrient ocular lubricant. Invest Ophthalmol Vis Sci 2009;50(6):2932-9.39. Petricek I, Berta A, Higazy MT, Nemeth J, Prost ME. Hydroxypropyl-guar gellable lubricant eye
drops for dry eye treatment. Expert Opin Pharmacother 2008;9(8):1431- 6.40. Berger JS, Head KR, Salmon TO. Comparison of two artificial tear formulations using
aberrometry. Clin Exp Optom 2009;92(3):206-11.41. Ridder WH 3rd, Lamotte JO, Ngo L, Fermin J. Short-term effects of artificial tears on visual
performance in normal subjects. Optom Vis Sci 2005;82(5):370-7.42. Gobbels M, Spitznas M. Influence of artificial tears on corneal epithelium in dry-eye syndrome.
Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 1989;227(2):139-41.43. Noecker RJ, Herrygers LA, Anwaruddin R. Corneal and conjunctival changes caused by
commonly used glaucoma medications. Cornea. 2004; 23(5): 490-6. 44. Pisella PJ, Pouliquen P, Baudouin C. Prevalence of ocular symptoms and signs with preserved
and preservative free glaucoma medication. Br J Ophthalmol 2002;86(4):418-23
12
45. Kaur IP, Lal S, Rana C, Kakkar S, Singh H. Ocular preservatives: associated risks and newer options. Cutan Ocul Toxicol 2009;28(3):93-103.
46. Lopez Bernal D, Ubels JL. Quantitative evaluation of the corneal epithelial barrier: effect of artificial tears and preservatives. Curr Eye Res 1991;10(7):645-56.
47. Suzuki M, Massingale ML, Ye F, Godbold J, Elfassy T, Vallabhajosyula M, et al. Tear osmolarity as a biomarker for dry eye disease severity. Invest Ophthalmol Vis Sci 2010;51(9):4557-61.
48. Lemp MA, Bron AJ, Baudouin C, Benitez Del Castillo JM, Geffen D, Tauber J, et al. Tear osmolarity in the diagnosis and management of dry eye disease. Am J Ophthalmol 2011;151(5):792-798 e1.
49. Gilbard JP, Rossi SR. An electrolyte-based solution that increases corneal glycogen and conjunctival goblet-cell density in a rabbit model for keratoconjunctivitis sicca. Ophthalmology 1992;99(4):600-4.
50. Lenton LM, Albietz JM. Effect of carmellose-based artificial tears on the ocular surface in eyes after laser in situ keratomileusis. J Refract Surg 1999;15(2 Suppl):S227-31.
51. Troiano P, Monaco G. Effect of hypotonic 0.4% hyaluronic acid drops in dry eye patients: a cross-over study. Cornea 2008;27(10):1126-30.
52. Stahl U, Willcox M, Stapleton F. Role of hypo-osmoticSaline drops in ocular comfort during contact lens wear. Cont Lens Anterior Eye 2010;33(2):68-75.
53. Wright P, Cooper M,Gilvarry AM. Effect of osmolarity of artificial tear drops on relief of dry eye symptoms: BJ6 and beyond. Br J Ophthalmol 1987;71(2):161-4.
54. Lopez-Alemany A, Montes-Mico R, Garcia-Valldecabres M. Ocular physiology and artificial tears. J Am Optom Assoc 1999;70(7):455-60.
55. Lopez-Alemany A, Montes-Mico R, Garcia-Valldecabres M. Do artificial tears have an adequate pH? Contactologia 1999;21:51-5.
56. Norn MS. Tear fluid pH in normals, contact lens wearers, and pathological cases. Acta Ophthalmol (Copenh) 1988;66(5):485-9.
57. Yamada M, Mochizuki H, Kawai M, Yoshino M, Mashima Y. Fluorophotometric measurement of pH of human tears in vivo. Curr Eye Res 1997;16(5):482-6.
58. Khurana AK, Chaudhary R, Ahluwalia BK, Gupta S. Tear film profile in dry eye. Acta Ophthalmol (Copenh) 1991;69(1):79-86.
59. Carney LG, Hill RM. Human tear pH. Diurnal variations. Arch Ophthalmol 1976;94(5):821-4.60. Laibovitz RA, Solch S, Andriano K, O'Connell M, Silverman MH. Pilot trial of cyclosporine 1%
ophthalmic ointment in the treatment of keratoconjunctivitis sicca. Cornea 1993;12(4):315-23.61. Maissa C, Guillon M, Simmons P ,Vehige J. Effect of castor oil emulsion eyedrops on tear film
composition and stability. Cont Lens Anterior Eye 2010;33(2):76-82.62. Yu J, Asche CV, Fairchild CJ. The economic burden of dry eye disease in the United States: A
decision tree analysis. Cornea 2011;30(4):379-87.63. Wan-yu Z, Yue-hong L. A survey on treatment of dry eye by traditional chinese medicine and
integrative Chinese and Western medicine. Chinese Journal of Integrative Medicine 2006;12(2):154-9.
64. Swanson M. Compliance with and typical usage of artificial tears in dry eye conditions. J Am Optom Assoc 1998;69(10):649-55.
65. Taylor SA, Galbraith SM, Mills RP. Causes of noncompliance with drug regimens in glaucoma patients: a qualitative study. J Ocul Pharmacol Ther 2002;18(5):401-9.
13
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom mata kering adalah suatu gangguan pada permukaan mata yang ditandai dengan
ketidakstabilan produksi dan fungsi dari lapisan air mata. Angka kejadian Sindroma Mata Kering
ini lebih banyak pada wanita dan cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Banyak
diantara penyebab sindrom mata kering mempengaruhi lebih dari satu komponen film air mata
atau berakibat perubahan permukaan mata yang secara sekunder menyebabkan film air mata
menjadi tidak stabil. Ciri histopatologik termasuk timbulnya bintik-bintik kering pada kornea dan
epitel konjungtiva, pembentukan filamen, hiangnya sel goblet konjungtiva, pembesaran
abnormal sel epitel non-goblet, peningkatan stratifikasi sel, dan penamhaban keratinasi.1
Pasien dengan mata kering paling sering mengeluh tentang sensasi gatal atau berpasir
(benda asing). Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi mukus berlebihan, tidak mampu
menghasilkan air mata, sensasi terbakar, fotosensitivitas, merah, sakit, dan sulit menggerakkan
palpebra.2 Pada kebanyakan pasien, ciri paling luar biasa pada pemeriksaan mata adalah tampilan
yang nyata-nyata normal. Ciri yang paling khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus atau
tiadanya meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang mukus kental kekuning-
kuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix conjungtivae inferior. Pada konjungtiva bulbi
tidak tampak kilauan yang normal dan mungkin menebal, edema dan hiperemik.3
Mata kering merupakan salah satu gangguan yang sering pada mata, persentase
insidenisanya sekitar 10-30% dari populasi, terutama pada orang yang usianya lebih dari 40
tahun dan 90% terjadi pada wanita. Frekuensi insidensia sindrom mata kering lebih banyak
terjadi pada ras Hispanik dan Asia dibandingkan dengan ras kaukasius.4
14
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
I. Anatomi
Kompleks lakrimalis terdiri atas glandula lakrimalis, glandulae lakrimalis aksesori,
kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis.1
Glandula lakrimalis terdiri atas struktur dibawah ini:
1. Bagian orbita
Berbentuk kenari yang teretak didalam foss lakrimalis di segmen temporal atas
anterior dari orbita, dipisahkan dari bagian palpebra oleh kornu lateralis dari
muskulus levator palpebrae. Untuk mencapai bagian ini dari kelenjar secara bedah,
harus diiris kulit, muskulus orbikuaris okuli, dan septum orbitale.1,6
2. Bagian Palpebrae
Bagian palpebrae yang lebih kecil terletak tepat di atas segmen temporal dari
forniks konjungtivae superior. Duktus sekretorius lakrimalis, yang bermuara kira-kira
sepuluh lubang kecil, menghubungkan bagian orbital dan palpebrae glandula
lakrimalis dengan forniks konjungtivae superior. Pembuangan bagian palpebrae dari
kelenjar memutuskan semua saluran penghubung dan dengan demikian mencegah
kelenjar itu bersekresi.1,6
Glandula lakrimalis aksesori (glandula Krause dan Wolfring) terletk di dalam
substansia propia di konjungtiva palpebrae.
Air mata mengalir dari lakuna lakrimalis melalui punktum superior dan inferior
dan kanalikuli ke sakus lakrimalis, yang terletak di dalam fossa lakrimalis. Duktus
nasolakrimalis berlanjut kebawah dari sakus dan bermuara ke dalam meatus inferior
dari rongga nasal, lateral terhadap turbinatum inferior. Air mata diarahkan kedalam
punktum oleh isapan kapiler dan gaya berat dan berkedip. Kekuatan gabungan dari
isapan kapiler dan gaya berat berkedip. Kekuatan gabungan dari isapan kapiler dalam
kanalikuli, gaya berat dan dan kerja memompa dari otot Horner, yang merupan
perluasan muskulus orbikularis okuli ke titik di belakang sakus lakrimalis, semua
15
cenderung meneruskan aliran air mata ke bawah melalui duktus nasolakrimalis ke
dalam hidung. 1,6
3. Pembuluh Darah dan Limfe
Pasokan darah dari glandula lakrimalis bersal dari arteria lakrimalis. Vena yang mengalir
pergi dari kelenjar bergabung dengan vena oftalmika. Drenase lime menyatu dengan pembuluh
limfe konjungtiva untuk mengalir ke dalam limfonodus pra-aurikula.1,6
4. Persarafan
Pasokan saraf ke glandula lakrimalis adalah melalui:
a) Nervus lakrimalis (sensoris), sebuah cabang dari divisi trigeminus.
b) Nervus petrosus superfisialis magna (sekretoris), yang datang dari nukleus
salivarius superior.
c) Nervus simpatis yang menyertai arteria lakrimalis dan nervus lakrimalis.1,6
Gambar 1. Diambil dari AAO section 7 page 262
16
II. Fisiologi
1. Apparatus Lakrimalis
Sistem apparatus lakrimalis mencakup struktur-sruktur yang terlibat dalam produksi dan
drenase air mata. Komponen sekresi terdiri atas kelenjar yang menghasilkan berbagai unsur
pembentuk cairan air mata. Duktulus nasolakrimais merupakan unsur eksresi sistem ini, yang
mecurahkan sekret kedalam hidung. Cairan air mata disebarkan di atas permukaan mata oleh
kedipan mata. 6
2. Sistem Sekresi Air Mata
Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar air mata utama yang teretak di fossa
lakrimalis di kuadran temporal atas orbita. Kelenjar yang berbentuk kenari ini dibagi oleh kornu
lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra yang lebih
kecil, masing-masing degan sistem saluran pembuangannya tersendiri ke dalam fornix temporal
superior. Lobus palpebra kadang-kadang dapat dilihat dengan membalikkan palpebra superior.
Sekresi dari kelenjar lakrimal utama dipicu okeh emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan air
mata mengalir berlimpah melewati tepian palpebra (epiphora). Persarafan kelenjar utama datang
dari nucleus lakrimalis pons melalui nervus intermedius dan menempuh jalur rumit dari cabang
maxillaris nervus trigeminus. Denervasi adalah konsekuensi yang terjadi dari neuroma akustik
dan tumor lain di sudut cerebellopontin.6
Kelenjar lakrimal tambahan, meskipun hanya sepersepuluh dari massa utama,
mempunyai peran penting. Kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama namun
tidak memiliki sistem saluran. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama di
fornix superior. Sel goblet uniseluler, yang juga tersebar di konjungtiva, menghasilkan
glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea meibom dan zeis di tepian
palpebra memberi lipid pada air mata. Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang
juga ikut membentuk film air mata.6
Kelenjar tambahan dikenal sebagai “pensekresi dasar”. Sekretnya cukup untuk
memelihara kornea, tanpa sekresi dari kelenjar lakrimal utama. Tetapi hilangnya sel goblet
berakibat mengeringnya kornea, meskipun banyak air mata dari kelenjar lakrimal.1
3. Sistem Eksresi Air Mata
17
Sistem sekresi air mata terdiri atas puncta, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus
nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip mulai di lateral, menyebarkan air mata
secara merata di atas kornea, dan menyalurkannya ke sistem eksresi pada aspek medial palpebra.
Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan dengan kecepatan yang sesuai dengan jumlah yang
diuapkan, dan itulah sebabnya hanya sedikit yang sampai ke sistem eksresi.6 Bila memenuhi
sakus konjungtivae air mata akan memasuki puncta sebagian karena sedotan kapiler. Dengan
menutupnya mata, bagian khusus orbikularis pra-tarsal yang mengelilingi ampula mengencang
untuk mencegahnya keluar. Bersamaan waktu, palpebra ditarik ke arah krista lakrimalis
posterior, dan traksi fascia mengelilingi sakus lakrimalis berakibat memendeknya kanalikulus
dan menimbulkan tekanan negatif di dalam sakus. Kerja pompa dinamik ini menarik air mata
kedalam sakus yang kemudian berjalan melalui duktus nasolakrimalis karena pengaruh gaya
berat dan elastisitas jaringan, ke dalam meatus inferior hidung. Lipatan-lipatan mirip katup dari
epitel pelapis sakuscenderung menghambat aliran balik air matadan udara. Yang paling
berkembang di antara lipatan ini adalah katup Hasner di ujung distal duktus nasolakrimalis.
Strukrur ini penting karena bila tidak berlubang pada bayi, menjadi penyebab obstruksi
kongenital dan darkosistitis menahun.1
4. Air Mata
Lapisan air mata terdiri dari tiga lapisan:
1. lipid atau lapisan luar. Lipid ini dapat dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar kecil di
pinggir kelopak mata yang bernama kelenjar meibom. Lipid ini berguna untuk
melicinkan permukaan mata dan mengurangi penguapan air mata.
2. akuos. Lapisan ini merupakan lapisan bagian tengah dari apa yang kita sebut sebagai
air mata. Lapisan ini dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar kecil yang tersebar di
konjungtiva. Air mata dihasilkan juga oleh kelenjar air (kelenjar lakrimal). Lapisan
ini berfungsi untuk membersihkan mata dan mengeluarkan benda-benda asing atau
iritan.
3. lapisan yang paling dalam yang terdiri dari lendir yang dihasilkan oleh sel lain di
konjungtiva. Musin ini memungkinkan air mata tersebar rata di permukaan mata dan
membantu agar mata tetap basah. Tanpa lapisan ini, air mata tidak akan menempel ke
mata. Air mata pun terdiri dari dua macam. Air mata yang menjadi pelumas dan air
18
mata yang menjadi pelumas mata dihasilkan terus sepanjang hari. Air mata
diproduksi berlebihan jika mata terangsang oleh benda asing atau jika seseorang
sedang emosi, seperti menangis.
5. Komposisi Air Mata
Volume air mata normal diperkirkan 7+/- 2 mikroliter pada setiap mata. Albumin merupakan
60% dari protein total dalam air mata. Globulin lan lisozim berjumlah sama banyak pada bagian
sisanya. Terdapat immunoglobulin IgA, IgG, dan IgE. Yang paling banyak adalah IgA, yang
berbeda dari IgA serum, yaitu bukan berasal dari transudat serum saja, namun diproduksi sel-sel
plasma yang ada di dalam kelenjar lakrimal. Pada keadaan alergi tertentu, seperti konjungtivitis
vernal, konsentrasi IgE dalam cairan air mata meningkat. Lisozim air mata merupakan 21-25%
dari protein total dan bekerja secara sinergis dengan gamma globulin dan faktor anti bakteri non
lisozim lain merupakan mekanisme pertahanan penting terhadap infeksi. Enzim air mata lain
juga berperan dalam diagnosis keadaan klinik tertentu, misal esei hexoseaminidase untuk
diagnosis penyakit tay-sachs.1
K+, Na +, Cl – terdapat dalam konsentrasi lebih tinggi dalam air mata dari dalam plasma.
Air mata juga mengandung sedikit glukosa (5 mg/dL) dan urea (0.04 mg/dL), dan perubahan
dalam konsentrasi darah diikuti perubahan konsentrasi glukosa dan urea air mata. pH rata-rata air
mata adalah 7.35, meski ad variasi normal yang besar (5.20-8.35). dalam keadaan normal, cairan
air mata adalah isotonik. Osmolalitas film air mata bervariasi dari 295 sampai 309 mosm/L.
BAB III
SINDROMA MATA KERING
1. Definisi
Sindrom mata kering, atau keratoconjunctivitis sicca (KCS) adalah penyakit mata dimana
jumlah atau kualitas produksi air mata berkurang atau penguapan air mata film meningkat.1
Terjemahan dari "keratoconjunctivitis sicca" dari bahasa Latin adalah "kekeringan kornea dan
konjungtiva".6
2. Etiologi
19
Banyak diantara penyebab sindrom mata kering mempengaruhi lebih dari satu komponen
film air mata atau berakibat perubahan permukaan mata yang secara sekunder menyebabkan film
air mata menjadi tidak stabil. Ciri histopatologik termasuk timbulnya bintik-bintik kering pada
kornea dan epitel konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel goblet konjungtiva,
pembesaran abnormal sel epitel non-goblet, peningkatan stratifikasi sel, dan penambahan
keratinasi.1,2,6
A. Kondisi ditandai hipofungsi kelenjar lakrimal
1. Kongenital
a. Dysautonomia familier (sindrom Riley-Day)
b. Aplasia kelenjar lakrimal (alakrima kongenital)
c. Aplasia nervus trigeminus
d. Dysplasia ektodermal
2. Didapat
a. Penyakit sistemik
1) Sindrom sjorgen
2) Sklerosis sistemik progresif
3) Sarkoidosis
4) Leukimia, limfoma
5) Amiloidosis
6) Hemokromatosis
b. Infeksi
1) Trachoma
2) Parotitis epidemica
c. Cedera
1) Pengangkatan kelenjar lakrimal
2) Iradiasi
3) Luka bakar kimiawi
d. Medikasi
1) Antihistamin
2) Antimuskarinik: atropin, skopolamin
3) Anestetika umum: halothane, nitrous oxide
20
4) Beta-adregenik blocker: timolol, practolol
e. Neurogenik-neuroparalitik (fasial nerve palsy)
B. Kondisi ditandai defisiensi musin
1. Avitaminosis A
2. Sindrom steven-johnson
3. Pemfigoid okuler
4. Konjungtivitis menahun
5. Luka bakar kimiawi
6. Medikasi-antihistamin, agen muskarin, agen Beta-adregenic blocker
C. Kondisi ditandai defisiensi lipid:
1. Parut tepian palpebra
2. Blepharitis
D. Penyebaran defektif film air mata disebabkan:
1. Kelainan palpebra
a. Defek, coloboma
b. Ektropion atau entropion
c. Keratinasi tepian palpebra
d. Berkedip berkurang atau tidak ada
1) Gangguan neurologik
2) Hipertiroid
3) Lensa kontak
4) Obat
5) Keratitis herpes simpleks
6) Lepra
e. Lagophthalmus
1) Lagophthalmus nocturna
2) Hipertiroidi
3) Lepra
2. Kelainan konjungtiva
21
a. Pterygium
b. Symblepharon
3. Proptosis1,2,6
3. Epidemiologi
Mata kering merupakan salah satu gangguan yang sering pada mata, persentase
insidenisanya sekitar 10-30% dari populasi, terutama pada orang yang usianya lebih dari 40
tahun dan 90% terjadi pada wanita. Frekuensi insidensia sindrom mata kering lebih banyak
terjadi pada ras Hispanic dan Asia dibandingkan dengan ras kaukasius.4
4. Manifestasi Klinis
Pasien dengan mata kering paling sering mengeluh tentang sensasi gatal atau berpasir
(benda asing). Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi mukus berlebihan, tidak mampu
menghasilkan air mata, sensasi terbakar, fotosensitivitas, merah, sakit, dan sulit menggerakkan
palpebra.2 Pada kebanyakan pasien, ciri paling luar biasa pada pemeriksaan mata adaah tampilan
yang nyata-nyata normal. Ciri yang paling khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus atau
tiadanya meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang mukuskental kekuning-
kuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix conjungtivae inferior. Pada konjungtiva bulbi
tidak tampak kilauan yang normal dan mungkin menebal, beredema dan hiperemik.1
Epitel kornea terlihat bertitik halus pada fissura interpalpebra. Sel-sel epitel konjungtiva
dan kornea yang rusak terpulas dengan bengal rose 1% dan defek pada epitel kornea terpulas
dengan fluorescein. Pada tahap lnjut keratokonjungtivitis sicca tampak filamen-filamen dimana
satu ujung setiap filamen melekat pada epitel kornea dan ujung lain bergerak bebas. Pada pasien
dengan sindrom sjorgen, kerokan dari konjungtiva menunjukkan peningkatan jumlah sel goblet.
Pembesaran kelenjar lakrimal kadang-kadang terjadi pada sindrom sjorgen. Diagnosis dan
penderajatan keadaan mata kering dapat diperoleh dengan teliti memakai cara diagnostik berikut:
A. Tes Schirmer
Tes ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip
Schirmer (kertas saring Whatman No. 41) kedalam cul de sac konjungtiva inferior
pada batas sepertiga tengah dan temporal dari palpebra inferior. Bagian basah yang
22
terpapar diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10
mm tanpa anestesi dianggap abnormal.
Bila dilakukan tanpa anestesi, tes ini mengukur fungsi kelenjar lakrimal utama,
yang aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas saring itu. Tes Schirmer yang
dilakukan setelah anestesi topikal (tetracaine 0.5%) mengukur fungsi kelenjar
lakrimal tambahan (pensekresi basa). Kurang dari 5 mm dalam 5 menit adalah
abnormal.
Tes Schirmer adalah tes saringan bagi penilaian produksi air mata. Dijumpai hasil
false positive dan false negative. Hasil rendah kadang-kadang dijumpai pada orang
normal, dan tes normal dijumpai pada mata kering terutama yang sekunder terhadap
defisiensi musin.1,5
Gambar2. Diambil dari http://webeye.ophth.uiowa.edu
B. Tear film break-up time
pengukuran tear film break-up time kadang-kadang berguna untuk
memperkirakan kandungan musin dalam cairan air mata. Kekurangan musin mungkin
tidak mempengaruhi tes Schirmer namun dapat berakibat tidak stabilnya film air
mata. Ini yang menyebabkan lapisan itu mudah pecah. Bintik-bitik kering terbentuk
dalam film air mata, sehingga memaparkan epitel kornea atau konjungtiva. Proses ini
pada akhirnya merusak sel-sel epitel, yang dapat dipulas dengan bengal rose. Sel-sel
epitel yang rusak dilepaskan kornea, meninggalkan daerah-daerah kecil yang dapat
dipulas, bila permukaan kornea dibasahi flourescein.
23
Tear film break-up time dapat diukur dengan meletakkan secarik keras
berflourescein pada konjungtiva bulbi dan meminta pasien berkedip. Film air mata
kemudian diperiksa dengan bantuan saringan cobalt pada slitlamp, sementara pasien
diminta agartidak berkedip. Waktu sampai munculnya titik-titik kering yang pertama
dalam lapisan flourescein kornea adalah tear film break-up time. Biasanya waktu ini
lebih dari 15 detik, namun akan berkurang nyata oleh anestetika lokal, memanipulasi
mata, atau dengan menahan palpebra agar tetap terbuka. Waktu ini lebih pendek pada
mata dengan defisiensi air pada air mata dan selalu lebih pendek dari normalnya pada
mata dengan defisiensi musin.1,5
Gambar 3. Diambil dari http://www.systane.ca
C. Tes Ferning Mata
Sebuah tes sederhana dan murah untuk meneliti mukus konjungtiva dilakukan
dengan mengeringkan kerokan konjungtiva di atas kaca obyek bersih. Arborisasi
(ferning) mikroskopik terlihat pada mata normal. Pada pasien konjungtivitis yang
meninggakan parut (pemphigoid mata, sindrom stevens johnson, parut konjungtiva
difus), arborisasi berkurang atau hilang.1,5
D. Sitologi Impresi
Sitologi impresi adalah cara menghitung densitas sel goblet pada permukaan
konjungtiva. Pada orang normal, populasi sel goblet paling tinggi di kuadran infra-
24
nasal. Hilangnya sel goblet ditemukan pada ksus keratokonjungtivitis sicc, trachoma,
pemphigoid mata cicatrix, sindrom stevens johnson, dan avitaminosis A.1,5,6
E. Pewarnaan Flourescein
Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering berflourescein adalah
indikator baik untuk derajat basahnya mata, dan meniskus air mata mudah terlihat.
Flourescein akan memulas daerah-daerah tererosi dan terluka selain defek
mikroskopik pada epitel kornea.1,5,6
F. Pewarnaan Bengal Rose
Bengal rose lebih sensitif dari flourescein. Pewarna ini akan memulas semua sel
epitel non-vital yang mengering dari kornea konjungtiva.1,5
Gambar 4. Diambil dari http://www.uptodate.com
G. Penguji Kadar Lisozim Air Mata
Penurunan konsentrasi lisozim air mata umumnya terjadi pad awal perjalanan
sindrom Sjorgen dan berguna untuk mendiagnosis penyakit ini. Air mata ditampung
pada kertas Schirmer dan diuji kadarnya. Cara paling umum adalah pengujian secara
spektrofotometri.1,5
H. Osmolalitas Air Mata
Hiperosmollitas air mata telah dilaporkan pada keratokonjungtivitis sicca dan
pemakaian kontak lens dan diduga sebagai akibat berkurangnya sensitivitas kornea.
Laporan-laporan menyebutkan bahwa hiperosmolalitas adalah tes paling spesifik bagi
25
keratokonjungtivitis sicca. Keadaan ini bahkan dapat ditemukan pada pasien dengan
Schirmer normal dan pemulasan bengal rose normal.1,5
I. Lactoferrin
Lactoferrin dalam cairan air mata akan rendah pada pasien dengan hiposekresi
kelenjar lakrimal. Kotak penguji dapat dibeli dipasaran.1,5
5. Terapi
Pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah keadaan menahun dan pemulihan
pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada kasus ringan, saat perubahan epitel pada kornea dan
konjungtiva masih reversibel.1 Air mata buatan adalah terapi yang kini dianut. Salep berguna
sebagai pelumas jangka panjang, terutama saat tidur. Bantuan tambahan diperoleh dengan
memakai pelembab, kacamata pelembab bilik, atau kacamata berenang.2
Fungsi utama pengobatan ini adalah penggantian cairan. Pemulian musin adalah tugas
yang lebih berat. Tahun-tahun belakangan ini, ditambahkan polimer larut air dengan berat
molekul tinggi pada air mata buatan, sebagai usaha memperbaiki dan memperpanjang lama
pelembaban permukaan.agen mukomimetik lain termasuk Na-hialuronat dan larutan dari serum
pasien sendiri sebagai tetesan mata. Jika mukus itu kental, seperti pada sindrom Sjorgen, agen
mukolitik (mis, acetylcystein 10%) dapat menolong.
Topikal cyclosporine A
Topikal corticosteroids
Topikal/sistemik omega-3 fatty acids: Omega-3 fatty acids menghambat sintesis dari
mediator lemak dan memblok produksi dari IL-1 and TNF-alpha. Pasien dengan
kelebihan lipid dalam air mata memerlukan instruksi spesifik untuk menghilangkan lipid
dari tepian palpebrae. Mungkin diperlukan antibiotika topikal atau sistemik. Vitamin A
topikal mungkin berguna untuk memulihkan metaplasia permukaan mata.
Semua pengawet kimiawi dalam air mata buatan akan menginduksi sejumlah toksisitas
kornea. Benzalkonium chlorida adalah peparat umum yang paling merusak. Pasien yang
memerlukan beberapa kali penetesan sebaiknya memakai larutan tanpa bahan pengawet. Bahan
pengawet dapat pula menimbulkan reaksi idiosinkrasi. Ini paling serius dengan timerosal.1
Pasien dengan mata kering oleh sembarang penyebab lebih besar kemungkinan terkena
infeksi. Blepharitis menahun sering terdapat dan harus diobati dengan memperhatikan higiene
26
dan memakai antibiotika topikal. Acne rosacea sering terdapat bersamaan dengan
keratokonjungtivitis sicca, dan pemgobatan dengan tetrasklin sistemik ada manfaatnya.1,2
Tindakan bedah pada mata kering adalah pemasangan sumbatan pada punktum yang
bersifat temporer (kolagen) atau untuk waktu lebih lama (silikon), untuk menahan sekret air
mata. Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen dapat dilakukan dengn terapi themal
(panas), kauter listrik atau dengan laser.1,2,6
6. Prognosis
Secara umum, prognosis untuk ketajaman visual pada pasien dengan sindrom mata kering
baik.1
7. Komplikasi
Pada awal perjalanan keratokonjungtivitis sicca, penglihata sedikit terganggu. Dengan
memburuknya keadaan, ketidaknyamanan sangat menggangu. Pada kasus lanjut, dapat timbul
ulkus kornea, penipisan kornea, dan perforasi. Kadang-kadang terjadi infeksi bakteri sekunder,
dan berakibat parut dan vaskularisasi pada kornea, yang sangat menurunkan penglihatan. Terapi
dini dapat mencegah komplikasi-komplikasi ini.1,2,3
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Vaughan D.G. Oftalmologi Umum. Jakarta: Widya Medika, 2000: 91-98
2. Ilyas S. Ilmu penyakit mata edisi ketiga. Jakarta: Balai penerbit FK UI, 2009
3. Wijana N. ilmu penyakit mata. Jakarta: Abadi tegal, 1993
4. Moss S, Klein R, Klein B. Prevalence and risk factors for dry eye syndrome. American
medical association, 2000
5. Sastrawan D, dkk. Standar Pelayanan Medis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP
M. Hoesin. Palembang , 2007 dkk
6. http://emedicine.medscape.com/article/1210417-overview diakses tanggal 19 Juli 2010
7. AAO section 7 2007-2008
28