PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK.doc
Transcript of PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK.doc
1. PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan
suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Direktur Jenderal Oajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturang perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan dapat dilakukan melalui dua jenis pemeriksaan, yaitu:
a. Pemeriksaan Lapangan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan,
tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal wajib pajak, atau tempat
lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak; atau
b. Pemeriksaan Kantor, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal
Pajak.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya. Pihak yang melakukan penyidikan adalah penyidik dimana penyidik adalah
pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan penyidik ada
tiga, yaitu: 1) Agar masalah tindak pidanan perpajakan menjadi terang dan jelas; 2)
Menemukan tersangka, dan 3) mengetahui besarnya jumlah pajak yang digelapkan.
2. KETETAPAN PAJAK
Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi:
a. Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
b. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang.
d. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan. SKPKBT merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak
sebelumnya. SKPKBT baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat
ketetapan pajak.
Surat ketetapan pajak dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau penelitian data wajib pajak, bahwa pajak yang
terutang dihitung dan dilaporkan dalam SPT tidak benar, sehingga: 1) Pajak tidak atau
Kurang Dibayar, atau 2) Pajak tidak atau kurang dipotong atau dipungut. Surat Ketetapan
Pajak dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila sampai dengan jangka waktu
lima tahun setelah saat terutang nya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahu pajak
atau tahun pajak.
3. PENAGIHAN PAJAK DAN PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
menjual yang telah disita.
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Dasar hukum melakukan tindakan
penagihan pajak adalah Undang-undang no. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa. Undang-undang ini mulai berlaku tanggal 23 Mei 1997. Undang-
undang ini kemudian diubah dengan Undang-undang no. 19 tahun 2000 yang mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Pada intinya Undang-undang tersebut bertujuan
untuk:
a. Membentuk keseimbangan antara kepentingan masyarakat wajib pajak dan
kepentingan Negara
b. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat sehingga termotivasi untuk
membayar pajak
c. Meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Penagihan dengan surat paksa dilakukan apabila jumlah tagihan pajak tidak atau
kurang bayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai dengan jatuh
tempo penundaan pembayaran atau tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak. Apabila
Wajib Pajak lalai melaksanakan kewajiban membayar pajak dalam waktu sebagaimana
ditentukan dalam surat teguran maka penagihan selanjutnya dilakukan oleh juru sita
pajak.
Pejabat adalah orang yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Juru sita
Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat
Perintah Melakukan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, dan surat
lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak.
Jurusita adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan. Tugas Jurusita
Pajak:
a. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
b. Memberitahukan Surat Paksa
c. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah
d. Melaksanakan Penyitaan
e. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.
Langkah-langkah penagihan pajak:
a. Surat Teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang
diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan wajib pajak untuk
melunasi utang pajaknya. Surat tersebut diterbitkan apabila penanggung pajak tidak
melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.
b. Pemberitahuan Surat Paksa dimana memuat surat perintah membayar utang pajak dan
biaya penagihan pajak.
c. Penyitaan adalah tindakan yang dilakukan juru sita untuk menguasai barang milik
penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak.
d. Pelelangan adalah penjualan barang di muka umum yang dipimpin oleh pejabat lelang
dengan cara penawaran harga, secara terbuka/lisan, tertutup/tertulis, yang didahului
dengan pengumuman lelang.
4. SANKSI-SANKSI PAJAK
Sanksi perpajakan dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Sanksi Administrasi
Sanksi Administrasi adalah sanksi yang dikenakan kepada wajib pajak karena
melanggar ketentuan yang sifatnya formal atau administratif, dengan demikian
sanksinya lebih ringan dari sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat berupa:
Denda, dikenakan karena pelanggaran administrasi wajib pajak, jumlah dendda
bersifat tetap, tidak bertambah setiap bulannya dan tidak mengubah pokok pajak.
Bunga, dikenakan pada jumlah tertentu setiap bulannya. Apabila tidak dibayar
maka jumlah bunga yang harus dibayar akan bertambah terus setiap bulannya.
Kenaikan adalah sanksi administrasi yang sifatnyan tidak bertambah tiap
bulannya akan tetapi mengubah jumlah pokok pajak.
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana adalah sanksi yang dikenakan kepada wajib pajak yang karena
kealpaannya sehingga menimbulkan kerugian bagi negara.
5. RESTITUSI
Restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) terjadi apabila jumlah
kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan
catatan wajib pajak tidak punya hutang pajak lain. Proses pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dapat dilakukan pada jenis pajak PPh, PPN, dan PPnBM, yang
diakibatkan adanya produk hukum berupa SKPLB maupun keputusan keberatan atau
banding yang mengakibatkan pajak yang dibayar menjadi mengalami kelebihan
pembayaran. Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan melalui
tahapan:
Pemeriksaan atau penelitian
Hasil pemeriksaan atau penelitian
Penelitian utang pajak
Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP)
Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP)
Surat Perintah Pencairan Dana (SPPD)
6. TATA CARA KEBERATAN
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat
Wajib Pajak terdaftar, dengan syarat:
a. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah
rugi menurut perhitungan wajib pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar
perhitungan.
b. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajak dan disertai alasan-
alasan yang jelas.
c. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun/masa pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat
Keberatan, sehingga tidak diproses.
d. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak
wajib melunasi pajak yang harus dibayar paling sedikit sejumlah yang disetujui Wajib
Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan
disampaikan.
7. TATA CARA BANDING
Upaya hukum yang dilakukan oleh wajib pajak terhadap suatu keputusan yang
dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan. Permohonan:
a. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas
paling lama tiga bulan setelah surat keputusan keberatan diterima.
b. Dilampiri salinan surat keputusan keberatan.
c. Diajukan dengan menyertakan alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal
diterima putusan keberatan yang diajukan banding.
d. Diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang.
e. Satu surat banding hanya berlaku untuk satu putusan keberatan.
Wajib pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang
diajukan banding tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan putusan
banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% per bulan.
8. PENGADILAN PAJAK
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap
Sengketa Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak yaitu:
a. Pengadilan pajak berkedudukan di ibukota Negara.
b. Sidang Pengadilan Pajak dilakuakn di tempat kedudukannya.
c. Apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain yang ditetapkan oleh Ketua.
Kekuasaan Pengadilan Pajak yaitu:
a. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak oleh karenanya putusan Pengadilan Pajak
tidak dapat diajukan Gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau
Badan Peradilan lain, kecuali putusan berupa "tidak dapat diterima" yang menyangkut
kewenangan/kompetensi
b. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa
Pajak
c. Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas
keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
d. Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas
pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau, Keputusan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
e. Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada
pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.
f. Pengadilan Pajak dapat memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan
dengan Sengketa Pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
9. PENINJAUAN KEMBALI PAJAK
Apabila pihak yang bersangkutan tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan
Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali. Alasan-
alasan Peninjauan Kembali yaitu:
a. Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat;
b. Terdapat bukti tertulis baru penting dan bersifat menentukan;
c. Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut;
d. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jangka Waktu Peninjauan Kembali yaitu:
a. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka
1 dan 2 diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahuinya kebohongan atau tipu
muslihat atau ditemukan bukti tertulis baru;
b. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka
3, 4, dan 5 diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh Pengadilan
Pajak.
KASUS
Pemohon Banding : PT ABC Fashion Industries
Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23
Pokok Sengketa : Koreksi positif objek Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa
sebesar Rp62.600.000,00
Menurut Pihak Terbanding Atas Kasus Pengadilan Pajak :
Dalam berkas banding terdapat bukti-bukti yang telah dilegalisir Kantor Pelayanan Pajak
Bandung Karces yaitu:
1. Perjanjian sewa menyewa tertanggal 30 Oktober 1993 yang antara lain menjelaskan bahwa
jumlah uang sewa Rp62.600.000,00 akan dibayarkan pada tanggal 30 Oktober 1993 dan surat
perjanjian tersebut berlaku sebagai bukti pembayaran.
2. Bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 tanggal 2 September 1993 atas
pembayaran :
a. Sewa Rp 25.927.511,00 x 15% = Rp 3.889.127,00
b. Bunga Rp 62.600.000,00 x 15% = Rp 9.390.000,00
Jumlah Rp 13.279.127,00
3. Bukti setoran sebesar Rp13.279.127,00, disetor melalui Bank Bali pada tanggal 3 September
1993.
4. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 tanggal 2 September 1993, diterima
Kantor Pelayanan Pajak Bandung Barat pada tanggal 4 September 1993.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, baik dalam Surat Ketetapan Pajak Pajak
Penghasilan Pasal 23 nomor : 00005.203.92.422.93 tanggal 5 Oktober 1993 maupun surat
keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor : KEP.001/WPJ.07/KP.1109/SKP.PPH.23/94
tanggal 7 Januari 1994 terdapat kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Menurut Pihak Pemohon Atas Kasus Pengadilan Pajak : Perusahaan Pemohon pada tahun 1991
telah membebankan biaya sewa untuk masa 3 tahun dan sewa berakhir pada bulan Oktober 1993
sebesar Rp62.600.000,00, meskipun biaya sewa belum Pemohon lunasi, akan tetapi sesuai
dengan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, Pemohon telah memungut dan
menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar Rp9.390.000,00 pada bulan September 1993
untuk masa sewa 3 tahun.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemohon berpendapat tidak lagi terutang Pajak
Penghasilan Pasal 23 atas sewa gedung. Pendapat Majelis Pengadilan Pajak : Menurut Pemohon
, Pajak Penghasilan Pasal 23 dari pembayaran sewa sebesar Rp62.600.000,00 telah
Pemohon pungut dan setorkan dan dalam surat banding telah dilampirkan bukti
pemotongannya. Dalam surat uraian banding, Terbanding telah menerima bukti yang
dilampirkan Pemohon dan mengakui telah terjadi kesalahan penerapan undang-undang
perpajakan dan mengusulkan untuk menerima permohonan banding pemohon, oleh karenanya
tidak ada lagi sengketa pajak.
KASUS SENGKETA PAJAK
Asian Agri Sambut Penanganan Transparan
Kasus perselisihan pajak yang menimpa Asian Agri akhirnya sampai ke tangan Presiden.
Pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kasus tersebut ditangani secara
transparan, akuntabel, dan tidak ada yang disembunyikan. Asian Agri juga diminta
menyelesaikan masalah tersebut, apabila ada perselisihan dan kewajiban yangbelum dipenuhi.
"Kalau dispute, jangan digantung. Selesaikan," kata Presiden sebagaimana disampaikan Menteri
Sekretaris Negara Hatta Rajasa.
Atas sikap tersebut, pihak Asian Agri menyambut dengan baik. "Kami menyambut baik
arahan Bapak Presiden sebagaimana disampaikan Bapak Hatta Rajasa pada Kamis lalu seusai
berkunjung ke Bandung, Jawa Barat," kata Direktur Utama PT Inti Indosawit Subur (DS), anak
perusahaan Asian Agri Semion Tarigan.
"Arahan Bapak Presiden sangat sejalan dengan filosofi perpajakan yang kita kenal,
bahwa fungsi pajak adalah fungsi bujeter untuk penerimaan negara. Sehingga Pasal 12 ayat (3)
UU KUP menegaskan apabila ditemukan adanya SPT yang tidak benar, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan surat ketetapan pajak sebagai koreksi atas SPT yang tidak benar tersebut." Dia
melanjutkan, keinginan Presiden adalah harapan pihak Asian Agri yang sejak awal telah
meminta agar Direktorat Jenderal Pajak memberikan perhitungan secara transparan apabila
terdapat koreksi pajak.
Mereka yakin, apabila proses ini diikuti akan memberikan kepastian hukum yang
mendorong terciptanya iklim kondusif bagi dunia usaha. "Karena kami dapat mengembangkan
operasi usaha dengan baik," kata Direktur Funadi Wongso, Direktur I1S. Adapun kasus sengketa
pajak yang diduga dilakukan Asian Agri diawali adanya laporan yang dilakukan Vincentius
Amin Sutanto (VAS), mantan Financial Controller Asian Agri, pada akhir 2006. Pada waktu itu
VAS yang tertangkap Polda Metro Jaya setelah membobol dana Asian Agri Rp30 miliar
memberikan informasi dugaan manipulasi pajak yang ddakukan Asian Agri tahun buku 2002-
2005. Dirjen Pajak selanjutnya melakukan pemeriksaan pajak Asian Agri dugaan manipulasi
pajak sejak 19 Januari 2007.
Menurut perhitungan Dirjen Pajak dugaan manipulasi pajak Asian Agri menyebabkan
kerugian Negara mencapai Rp. 1,3 Triliun. "Hingga saat ini klien telah berulang-ulang menyurati
Ditjen Pajak untuk diberikan perhitungan yang dikatakan di koran itu. Namun belum pernah
diberikan. Jadi, bagaimana mau bayar?" tanya kuasa hukum Asian Agri, Yan Apul. Sementara
itu, Kepala Subdirektorat Penyidikan Dirjen Pajak Pantas Pane mengatakan, saat ini pihaknya
sedang meneliti dokumen yang disita.
Referensi
http://dueeg.blogspot.com/2010/11/banding-dan-sengketa-pajak.html
http://memebali.blogspot.com/2013/04/perpajakan-ketentuan-umum-dan-tata-cara.html