PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN...
Transcript of PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN...
i
PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM
PERSAINGAN USAHA INDONESIA
(Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor 01/KPPU-I/2010)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
ALI ALATAS
109048000012
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436H/2015M
PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL MENURUT HUKUM
PERSAINGAN USAHA INDONESIA
(Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor OlIKPPU-I12010)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
AliAlatas~. 109048000012
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Zainuddin All, MA
KONSENTRASI HUKUM BISNISPROGRAM STUDI ILMU HUKUMFAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF H1DAYATULLAH
JAKARTA1436H12015M
ii
(lembmtn ioi digunalian setaJah selesai SidaDg sluipsi dilaksanakan)
PENGESABAN PANITIA UJIAN SKlUPSI
Skripsi yang berjudul "PEMBUKTIAN PERJANJIAN KAJlTEL MENURUTHUK.UM PERSAINGAN USABA INDONESIA (Studi Kasus Putusan KomisiPengawas Persaingan Usaba N«Jmor 01/KPPU-I12010)" telah diajukan dalamsidang nlunaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu HukumUniversitas Islam Negeri .Syarif HidayatuIlah Jakarta pada tanggal 2 Juli 2015.Skrlpsi ini telah diterima sebagai salah satu syaratuntuk memperoleh gelar SarjanaProgram Strata Satu (8-1) pada Program Srow UmuHukum.
Jakarta, 10 Jul4 2015
Mengesabkan
Dekan,
l-~
1. KetuaPANffiA UJIAN:
:Asep SyarifuddinHidayat, 8H.~.NIP. 196911211994031001
2. 8ekretaris : Drs, Abu 'Iamrin, 8H.~M.Hum.NIP. 196509081995031001
(....w-...)
S. Penguji 2 : H.MYasir, SH. MH.
~( )
~W4~'t"".V;-
(.. .........) l(• 1 ~.-<-' ••••~ ,/'
(...d..)III.I!
I
3. Pembiwbing ; Prof: H. ZainuddinAli,MA.
4. Penguji 1 : Dr. Djawahir Hejazziey, SH.,MH., MA.NlP.195510151979031002
iii
LEMBARPERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
iv
v
ABSTRAK
ALI ALATAS.
NIM 109048000012.
PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM
PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010).
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. xiii +
69 halaman + 3 halaman daftar pustaka + halaman lampiran.
Penelitian ini melihat penggunaan teori pembuktian undang-undang negatif
yang dianut di Indonesia khususnya rezim hukum persaingan usaha Indonesia
sebagaimana dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan juga dijabarkan Perkom no 4 tahun
2010 tentang penjelasan pasal 11 tentang kartel yang mana dijalankan oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha dalam membuktikan perjanjian kartel, terutama dalam
kasus kartel semen tahun 2010.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
normatif dengan analisis data kualitatif. Penelitian normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan Konseptual
(Conceptual Aprroach). Selanjutnya sumber data yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain bahan hukum primer yaitu Putusan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010, serta peraturan perundang-undangan, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier.
Hasil penelitian ini, keputusan yang diambil oleh majelis komisi yang
memutuskan para terlapor, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan
kartel. merupakan keputusan yang tepat dilakukan, sebab dengan tidak ditemukan dua
alat bukti yang sah dan meyakinkan telah terjadi tindakan kartel, berdasarkan teori
pembuktian undang-undang secara negatif yang dianut Indonesia, tidak bisa
menetapkan seseorang bersalah..
Kata Kunci : Kartel, KPPU, Bukti Tidak Langsung, Perjanjian, Pasar Oligopoli.
Pembimbing : Prof. Dr. Zainuddin Ali, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1970 s.d Tahun 2014
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta
anugrah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM
PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010)” Sholawat serta salam penulis
sampaikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW, yang membawa rahmat Allah SWT
dan mengenalkan kita kepada jalan kebenaran, jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih
yang tak terhingga kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Jakarta.
2. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH selaku ketua program studi Ilmu Hukum
serta Drs. Abu Thamrin, SH, MH. selaku sekretaris program studi Ilmu
Hukum atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
3. Prof. H. Zainuddin Ali, MA yang telah bersedia menjadi pembimbing
penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan ketelitian memberikan
masukan hingga skripsi ini selesai.
4. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. dan H M. Yasir, SH, MH yang telah
bersedia menjadi penguji dalam ujian skripsi ini serta memberikan banyak
masukan terhadap penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengetahui
kesalahan dalam penulisan skripsi ini.
vii
5. Segenap Dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Alfitra, SH. MH. selaku dosen pembimbing akademik, yang telah
membimbing dan mengarahkan, baik dalam perkuliahan maupun hal
akademik lainnya.
7. Segenap staf Perpustakaan Fakultas syariah dan hukum, staf Perpustakaan
Utama UIN syarif Hidayatullah Jakarta serta staf yang telah memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
8. Sebesar-besarnya tidak pernah terlupa penulis ucapakan kepada Ayahanda
Saifuddin Abubakar dan Ibunda Siti Nurhasanah, yang selalu berusaha dan
berdoa memberikan yang terbaik untuk penulis., semoga Allah SWT
senantiasa memberikan kekuatan Iman, Islam dan mengasihi keduanya.
9. Jid Habib Abdullah Alatas dan Almarhumah Jidah Hababah Khadijah Alkaff
serta Almarhum Baba Sain Nahili dan Jidah Nene yang selalu memberikan
doa dan kasih sayang untuk kesuksesan dan menginspirasi penulis. Semoga
mereka baik yang masih hidup maupun yang tidak selalu dibawah naungan
rahmat Allah SWT
10. Saudara-saudara penulis Muhammad Naquib, Ibrahim, Fikri Syarif atas segala
doa dan bantuannya.
11. Ammati Wirda, ammi Nuh, ammati Mona, ammi Hanif dan ammi Abbas
beserta segenap keluarga Abdullah Alatas lainnya untuk segala doa dan
dukungan untuk penulis.
viii
12. Keluarga Besar Sain Nahili kota bambu yang turut mendukung penulis.
13. Imam Besar FPI Al Habib Dr. Muhammad Rizieq Shihab, Lc. MA. DPMSS.
Dan Al Habib Ir. Ali Zainal Abidin bin Hasan Assegaf yang telah menjadi
pembina dan menasehati penulis dalam menempuh kehidupan dunia dan
akhirat.
14. Seluruh keluarga besar Front Pembela Islam dan Majelis Ta’limul Ansab
untuk memberikan dukungan moril bagi penulis.
15. Sahabat Ilmu Hukum angkatan 2008, 2009, 2010, terutama Syafiq
Shalabiyah, Fachrobi, Jajang Indra Fadilah, Irvan, Anto, Jerry, Rizki, Arfandi,
Arif Prasetyo, serta sahabat–sahabat lain yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta Juni 2015
Ali Alatas
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI.......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................ iv
ABSTRAK....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR.................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xii
BAB I Pendahuluan………………………………………………… 1
A. Latar Belakang…………………………………………… 1
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah……………. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………... 6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu…………………….. 7
E. Kerangka Teori dan Konseptual…………………………. 8
F. Metode Penelitian………………………………………… 14
G. Teknik Penulisan.................................................................. 18
H. Sistematika Penulisan…………………………………….. 18
Bab II Studi Teoritis Pembuktian Perjanjian Kartel.................…… 20
A. Aspek Pembuktian.......................………………………... 20
B. Konsep Kartel dan Pelarangannya...................................... 29
x
C. Perjanjian Kartel………………………………………….. 39
BAB III Posisi Kasus............……………………………………………. 46
BAB IV Analisis Kasus Kartel Semen Indonesia 2010............………. 63
A. Pembuktian Perjanjian Kartel Semen di Indonesia...……... 63
B. Pertimbangan Majelis Komisi Dalam Putusannya……....... 65
C. Metode Pembuktian yang Digunakan KPPU........................ 66
BAB V PENUTUP.................................................................................. 68
A. Kesimpulan..................................................................... 68
B. Saran............................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 70
LAMPIRAN.......................................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN
A. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 10 tahun 2010 tentang
Penjelasan Pasal 11 Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi, industri dan perdagangan dewasa ini di Indonesia
amatlah pesat. Perkembangan ini dapat dilihat munculnya beragam variasi barang
dan/atau jasa yang tidak sepi dari peminatnya. Terlebih lagi, kuatnya arus
industrialisasi dan perdagangan global lewat investasi multinasional, mendorong
terciptanya iklim usaha di Indonesia menjadi lebih semarak. Kondisi ini tentu pada
akhirnya menciptakan suatu persaingan yang ketat antar pelaku usaha.
Persaingan dalam kegiatan usaha adalah suatu hal yang niscaya dan
merupakan “nafas” dari kegiatan usaha itu sendiri.1 Tidak ada kegiatan usaha yang
dilakukan oleh sesama manusia yang tidak memunculkan suatu persaingan karena
tentunya pelaku usaha memerlukan konsumen agar usahanya dapat mendatangkan
keuntungan. Pada akhirnya para pelaku usaha mencoba berbagai cara untuk menarik
hati konsumen.
Dalam salah satu bentuk pasar yaitu pasar oligopoli,2 disana hanya terdapat
sedikit pelaku usaha dalam pasar tersebut yang mana akibat diterapkan barrier to
entry atau hambatan masuk kedalam pasar tersebut. Dalam pasar jenis ini pula
1Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 1.
2 Selain pasar oligopoli terdapat bentuk pasar lain seperti pasar persaingan sempurna, pasar
persaingan monopolistik dan pasar monopoli, selebihnya dapat dibaca di Leonard S Silk, Prindsip-
Prinsip dan Masalah-Masalah Ilmu Ekonomi Modern, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1970), h. 42-43.
2
terdapat saling ketergantungan antara masing-masing pelaku usaha sehingga
keputusan strategis suatu perusahaan tergantung dari keputusan strategis perusahaan
lainnya yang terdapat dalam pasar tersebut.3Kondisi pasar inilah yang kemudian
melahirkan tindakan kartel.4
Kartel sesungguhnya merupakan salah satu strategi yang diterapkan antar
pelaku usaha untuk mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksinya.
Asumsinya apabila produksi mereka didalam pasar dikurangi sedangkan permintaan
dalam pasar tetap, akan berakibat pada naiknya harga produk ketingkat yang lebih
tinggi. Namun apabila jumlah produk di pasar berlimpah maka akan berkaibat pada
penurunan harga.5
Apabila terjadi persaingan yang sehat maka tentunya terjadi perlombaan
antara pelaku usaha untuk memuaskan konsumen dengan menurunkan harga atau
menaikan kualitas produknya. Akan tetapi untuk menghindari kerugian akibat tidak
efisiennya pelaku usaha, justru pelaku usaha terkadang melakukan kerjasama untuk
mengatur harga dengan mengatur jumlah produksi dan/atau wilayah pemasaran untuk
menaikan harga produk yang akan merugikan konsumen.
3 Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , (Jakarta:
GTZ, 2009), h. 36.
4 Ibid, h. 106.
5 Ibid, h. 106.
3
Biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang pada struktur pasar
oligopoli, dimana lebih mudah untuk bersatu dan menguasai pangsa pasar.6 Pelaku
usaha mencoba untuk membentuk suatu kerjasama horizontal atau biasanya
berbentuk asosiasi yang sesungguhnya dapat melakukan tindakan positif seperti
standarisasi kelayakan suatu produk tetapi digunakan untuk melakukan pengaturan
harga yang dapat menghambat persaingan usaha.7
Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, disebutkan bahwa perjanjian kartel dikategorikan
termasuk sebagai perjanjian yang dilarang oleh undang-undang tersebut.8 Perjanjian
disini bukan hanya mengenai perjanjian yang tertulis, tetapi juga perjanjian yang
tidak tertulis.9 Pentingnya mengakui perjanjian yang tidak tertulis tersebut karena
tentunya pelaku usaha tidaklah ceroboh dengan memformalkan perjanjian mereka
dalam bentuk tertulis, sehingga dapat dengan mudah terbuktikan.10
Salah satu kasus kartel terakhir yang telah diputuskan oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) adalah kasus dugaan kartel semen yang dilakukan oleh
Asosiasi Semen Indonesia. Dimana saat itu terdapat fakta bahwa harga semen di
6Ibid, h. 106.
7Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 117.
8Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
9 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
10
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , h. 86.
4
Indonesia cenderung mahal disaat biaya produksi semen yang seharusnya menurun
seiring dengan harga batu bara dan minyak mentah dunia yang cenderung menurun.11
Kondisi ini juga diperkuat dengan pernyataan Menteri Perindustrian saat itu
yaitu Fahmi Idris yang menyatakan bahwa industri semen Indonesia cenderung
mengarah pada praktek oligopoli karena jumlah pemainnya yang sedikit.12
Sehingga
Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga terjadi pelanggaran Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat pasal 5 tentang perjanjian pengaturan harga dan pasal 11 tentang kartel.
Walaupun banyak pihak yang merasakan aroma praktek kartel tersebut,
namun pada tanggal 18 Agustus KPPU memutuskan bahwa tindakan para pelaku
usaha semen yang tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia tidak terbukti
melakukan tindakan perjanjian kartel. Oleh karenanya penulis merasa perlu
menelitinya yang hasilnya dituangkan dalam skripsi yang berjudul, PEMBUKTIAN
PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM PERSAINGAN
USAHA INDONESIA (Studi kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor 01/KPPU-I/2010).
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
11
http://www.tempo.co/read/news/2010/04/22/090242441/KPPU-Duga-Ada-Kartel-Harga-
Semen-Indonesia, diakses pada tanggal 17 april 2013.
12
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/09/04/08/42586-kppu-sinyalir-
praktek-kartel-industri-semen, diakses pada tanggal 17 april 2013.
5
Dari Pemaparan diatas terdapat berbagai permasalahan yang dapat di
indentifikasi, yang pada gilirannya akan diteliti sesuai batasan kemampuan penulis,
masalah yang dapat di identifikasi penulis yaitu;
a. Bagaimanakah menjaga persaingan agar tetap sehat?
b. Bagaimakah melindungi konsumen dalam persaingan usaha yang tidak
sehat?
c. Bagaimanakah penegakan hukum pada hukum persaingan usaha di
Indonesia?
d. Apakah asosiasi pelaku usaha dapat terhindar dari perjanjian kartel?
e. Bagaimanakah membuktikan telah terjadi perjanjian kartel menurut
hukum persaingan usaha Indonesia?
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan dari apa yang telah penulis identifikasi, karena begitu luasnya
cakupan penelitian ini, maka kajian ini hanya akan dibatasi pada perihal pembuktian
perjanjian kartel yang digunakan dalam membuktikan terjadinya tindakan yang
dimaksud oleh pasal 11 Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu mengenai kartel, yang
mana juga dibatasi pada studi kasus putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
nomor 01/KPPU-I/2010.
3. Rumusan Masalah
6
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di
atas, maka permasalahan yang menjadi kajian penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pembuktian perjanjian kartel menurut hukum persaingan
usaha Indonesia?
b. Bagaimana pertimbangan Majelis Komisi dalam memberikan putusannya?
c. Apakah metode pembuktian yang digunakan oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha telah tepat dalam membuktikan telah terjadi tindakan
kartel dalam kasus kartel semen tahun 2010?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pembuktian perjanjian kartel menurut hukum
persaingan usaha Indonesia.
b. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Komisi dalam memberikan
putusannya.
c. Untuk mengetahui metode pendekatan yang digunakan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha telah tepat dalam membuktikan telah terjadi tindakan
kartel dalam kasus kartel semen tahun 2010.
2. Manfaat Penelitian
7
Selain tujuan yang ingin dicapai di atas, penulis juga berharap ada manfaat
yang dapat diambil dari penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dalam
penelitian ini, antara lain :
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan sebisa mungkin memperkaya dan
menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum sehingga
dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan dalam Ilmu
Hukum pada umumnya dan Hukum Persaingan Usaha pada khususnya
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam menjelaskan kepada
masyarakat perihal perilaku kartel sebagai salah satu perilaku yang
dilarang karena dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Setelah penulis melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu terdapat
beberapa kajian yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu, Tesis berjudul Kajian
Pendekatan Hukum Kartel Menurut Hukum Persaingan Usaha, Penulis Felix
Marcel Tambunan, 2006, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Penilitian tersebut
membahas tentang pendekatan hukum kartel menurut hukum persaingan usaha
dengan membandingkan antara hukum persaingan usaha Indonesia dengan hukum
persaingan usaha Amerika Serikat. Bahasan tersebut juga menyentuh permasalahan
penggunaan rule of reason yang digunakan rezim hukum Indonesia dalam
8
permasalahan Kartel dengan membandingkan kepada Amerika Serikat yang
menggunakan pendekatan per se illegal dalam konstruksi norma mengenai kartel.
Setelah itu terdapat skripsi berjudul Pembuktian Praktik Kartel Menurut
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Dalam Kasus-Kasus Kartel Di Indonesia,
Ananta Aji Guna, 2010, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penilitian ini juga
membahas tentang kartel, penelitian ini lebih ditekankan kepada hukum
pembuktiannya sehingga muncul istilah direct evidence dan circumstansial evidence.
Perbedaan mendasar kedua studi tersebut dengan apa yang akan penulis bahas adalah
karena penulis melakukan analisis terhadap suatu kasus kartel dengan menggunakan
pendekatan pembuktian Kartel setelah dikeluarkannya Perkom nomor 4 tahun 2010
tentang Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-undang
nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, yang mana kedua studi sebelumnya belum menyentuhnya.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Beberapa teori yang akan digunakan dalam penilitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Teori Ikatan dalam Hukum persaingan Usaha
9
Dalam perjanjian dalam hukum antimonopoli adalah ikatan.13
Yang
menjadi pertanyaan adalah kapan suatu ikatan berlaku secara hukum. Hal ini
dibagi dua, yaitu;Ikatan Hukum Suatu pihak terkait dengan hukum jika
perjanjian yang dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum.Mengingat
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maka perjanjian yang
menghambat persaingan usaha tidak mengikat menurut hukum karena dapat
dibatalkan.
Selain ikatan hukum, pasal 1 angka 7 UU No. 1999 juga mencakup
ikatan ekonomi. Ikatan ekonomi dihasilkan oleh suatu perjanjian jika ada
standar perilaku tertentu yang harus ditaati bukan karena persyaratan hukum,
tetapi dalam rangka mencegah kerugian ekonomi. Salah satu contoh adalah
menentukan harga dibawah harga pasar.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, pelaku usaha harus “ikut arus”
dengan “permainan” yang telah disepakati jika tidak maka ia akan mengalami
kerugian atau “tergilas.” Yang biasa terjadi adalah saling memahami dengan
melihat pasar sehingga dalam perjanjian hukum persaingan usaha ada yang
disebut dengan “expressagreement” (perjanjian yang tegas dan nyata) dan
“tacit agreement” (perjanjian secara diam-diam). Contoh express agreement
adalah jika terdapat dan pengakuan telah terjadi kesepakatan antarpelaku
usaha, baik secara tertulis maupun tidak. Adapun tacit agreement jika perilaku
13
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
86.
10
seorang atau sekelompok pelaku usaha membuat pelaku usaha lain “ikut”
dengan caranya, sehingga seolah-olah telah terjadi perjanjian.14
b. Teori Pembuktian
1) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Positif
Pembuktian yang hanya melulu menggunakan alat bukti yang disebutkan
oleh undang-undang. Dikatakan secara positif karena didasarkan pada
undang-undang melulu. Artinya, jika suatu perbuatan telah terbukti lewat
alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan
hakim menjadi tidak diperlukan.
2) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Teori ini berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang
secara positif. Ini didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan
terdakwapun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan dari
terdakwa kadang-kadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar
melakukan tindakan yang telah didakwakan. Oleh karen itu diperlukan
keyakinan hakim sendiri. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan
tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.
3) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan Alasan Logis
14
Mustafa Kamal Rokan,Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
87-87.
11
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian
yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori
ini, hakim dapat memutusakn seseorang bersalah berdasarkan
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-
peraturan pembuktian tertentu.
4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Negatif
Dalam sistem atau teori pembuktian undang-undang secara negatif ini,
pemidaan didasarkan kepada pembuktian berganda yaitu pada peraturan
perundang-undangan dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang,
dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan udang-undang. Dalm
KUHAP pasal 183 disebutkan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi
dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada
undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam KUHAP pasal
184, disertai dengan keyakinan hakim yang diperloeh dari keyakinan tersebut.
sehingga artinya KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif.15
15
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 251-256.
12
2. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait
terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Perjanjian
Sebagaimana dalam pasal 1313 Burgerlijk wetboek atau Kitab
Undang-undang Hukum Perdata:
“Suatu Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Dengan kata lain perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa hukum
dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.16
b. Kartel
Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dijelaskan
mengenai kartel yaitu;
“Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang
tidak sehat.”
Dalam pasal di atas dapat dipahami bahwa kartel adalah suatu
tindakan perjanjian antar pelaku usaha yang bertujuan „mempengaruhi harga‟
16
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak (Jakarta; Rajawali Press, 2010), h. 2
13
dengan mengatur jumlah produksi dan/atau wilayah pemasaran suatu barang
dan/atau jasa sehingga „dapat berakibat‟ pada terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut KPPU dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010
mengenai pedoman pelaksanaan pasal 11 tentang kartel, suatu kartel dapat
terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam suatu industri tertentu yang
seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju untuk melakukan
koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian wilayah,
kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan usaha lainnya, sehingga
mereka dapat menaikan harga dan memeperoleh keuntungan di atas harga
yang kompetitif.17
Menurut Richard Postner sebagaimana yang dikutip oleh Mustafa
Kamal Rokan, kartel adalah
“a contract among competing seller to fix the price of product they sell
(or, what is the small thing, to limit their output) is likely any other contract in
the sense that the parties would not sign it unless they expected it to make
them all better of”.18
Terdapat beberapa karakteristik dari kartel yaitu, terdapat konspirasi
antar pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar
17
Lampiran, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
18
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
117.
14
penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi terhadap
konsumen, produksi atau wilayah pemasaran. Keempat, adanya perbedaan
kepentingan misalnya karena perbedaan biaya.19
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam
gejala yang bersangkutan.20
Penulis dalam melakukanproses penelitian ini menggunakan metode
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.21
Sistem norma yang
dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin (ajaran) hukum. Sementara
metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitis yakni mengungkapkan
19
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, h. 107.
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1986), h. 42.
21
Fahmi M. Ahmadi, Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 31.
15
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai
objek penelitian.22
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan
perundang-undangan (statue approach), karena isu hukum yang ada pada skripsi ini
tentang isu hukum dogmatis, sehingga pendekatan perundang-undangan pasti
digunakan dalam skripsi ini. Selain itu, pendekatan perundang-undangan juga
digunakan sebagai arahan untuk menghindari kekeliruan dalam pengambilan
konklusi. Selain pendekatan perundang-undangan, penulis juga menggunakan
pendekatan konsep (conceptual approach), yang digunakan untuk memahami
konsep-konsep penting yang akan dibahas dalam penelitian ini.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang artinya
data yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder antara lain
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan,
buku harian, dan lain-lain.23
Data sekunder ini meliputi bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier :
a. Bahan Hukum Primer
22
Zainuddin Ali, Metode Penelilitian Hukum, Cet.Ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
175.
23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.Ke-3, h. 12.
16
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan.Selain
peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam bahan hukum
primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.24
Peraturan
perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Perkom Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Persaingan Usaha.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa,
memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Yang termasuk
dalam bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi25
, misalnya dapat
berupa hasil karya dari kalangan hukum, penelusuran internet,
majalah, surat kabar, dan sebagainya.
c. Bahan Non-Hukum
24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), h. 141.
25
Ibid, h.141.
17
Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu.Bahan non hukum
dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum
sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.26
Bahan-
bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan
memperluas wawasan peneliti.
4. Pengolahan dan Analisis Data
Data-data yang telah ada disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara
perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Cara pengolahan
sumber data dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi,27
sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai
sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga diperoleh
kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
Selanjutnya sumber data yang telah diolah lalu dianalisis dan dikaji untuk
mengetahui bagaimana pendekatan Pembuktian yang digunakan dalam membuktikan
Perjanjian kartel.
26
Ibid. h. 143.
27
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet.Ke-2, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006), h. 393.
18
G. Teknik Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” dengan sistematika yang
terbagi dalam lima bab.
H. Sistematika Penulisan
Sesuai dengan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab
sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:
BAB I Pada bab ini merupakan Pendahuluan, yang berisi Latar
Belakang, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu,
Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II Pada bab ini merupakan tinjauan umum pembuktian, konsep
kartel, Perjanjian kartel.
BAB III Pada bab ini membahas mengenai tentang posisi kasus kartel
semen tahun 2010.
BAB IV Pada bab ini merupakan analisis terhadap Penerapan
pembuktian perjanjian sesuai pasal 11 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha mengenai Kartel.
19
BAB V Bab ini merupakan bab terakhir atau Penutup, yang berisi
kesimpulan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas
dan beberapa saran-saran yang coba diajukan penulis.
20
BAB II
STUDI TEORITIS PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL
A. Aspek Pembuktian
1. Definisi Pembuktian
Kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang apabila diterjemahkan
kedalam bahasa inggris terdapat dua kata yaitu evidence dan proof. Evidence
memiliki makna informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu
keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu adalah benar.
Sedangkan kata proof mengacu pada hasil suatu proses evaluasi dan menarik
kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas mengacu pada
proses itu sendiri.1
Karenanya evidence lebih dekat maknanya kepada alat bukti sedangkan proof
dapat diartikan pembuktian yang mengarah pada suatu proses.2 Oleh sebab itu, bukti
merujuk pada suatu alat-alat bukti yang mana termasuk barang bukti yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Sementara pembuktian merujuk pada suatu
proses mengenai pengumpulan bukti, memperlihatkan bukti sampai dengan
penyampaian bukti tersebut kepada pengadilan.3
1 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta;Penerbit Erlangga, 2012), h. 2.
2 Ibid, h. 2-3
3 Ibid, h. 4
21
2. Teori Pembuktian
Walaupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha bukanlah merupakan lembaga
peradilan, tetapi dalam Undang-undang diberi kewenangan untuk memutus perkara
(quasi Yudisial) dalam kasus Persaingan Usaha, karenanya dalam membahas tentang
pembuktian suatu perkara perlu juga kiranya dipahami tentang teori-teori pembuktian
dalam menilai alat-alat bukti yang ada, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
a. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Positif
Pembuktian yang hanya melulu menggunakan alat bukti yang
disebutkan oleh undang-undang. Dikatakan secara positif karena didasarkan
pada undang-undang melulu. Artinya, jika suatu perbuatan telah terbukti lewat
alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim
menjadi tidak diperlukan.
b. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Teori ini berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-
undang secara positif. Ini didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan
terdakwapun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan dari terdakwa
kadang-kadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar melakukan
tindakan yang telah didakwakan. Oleh karena itu diperlukan keyakinan hakim
sendiri. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan
kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.
22
c. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan Alasan
Logis
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut
pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu.
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-
peraturan pembuktian tertentu.
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Negatif
Dalam sistem atau teori pembuktian undang-undang secara negatif ini,
pemidaan didasarkan kepada pembuktian berganda yaitu pada peraturan
perundang-undangan dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang,
dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan udang-undang. Dalam KUHAP
pasal 183 disebutkan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada
undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam KUHAP pasal
23
184, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari keyakinan tersebut.
sehingga artinya KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif.4
Dan dalam hal pembuktian terdapat beberapa teori yang dipakai seperti yang
telah dijelaskan di atas. Jika diamati secara seksama karakter yang ada dalam proses
pembuktian di KPPU masuk pada kategori yang terakhir yaitu teori pembuktian
berdasarkan undang-undang yang negatif hal tersebut diperjelas dengan ketentuan
dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 tentang alat bukti.5
3. Alat Bukti
Alat Bukti (bewijsmiddel) yang digunakan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha pada dasarnya hampir sama dengan yang ada dalam KUHAP.6 Alat-alat bukti
yang digunakan dalam persaingan usaha sebagaimana dijelaskan oleh pasal 42
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu;
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat dan atau dokumen
d. Petunjuk
e. Keterangan Pelaku usaha.
4 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta;Sinar Grafika, 2008), h. 251-256.
5 Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha,
Edisi 6, 2011, h. 131.
6 Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika,
2013), h. 37.
24
Alat-alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan perkara persaingan ini
dapat dijabarkan sebagai berikut;
a. Keterangan saksi
Saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya
pelanggaran terhadap Undang-undangnomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat dan memberikan
keterangan guna kepentingan pemeriksaan.7
b. Keterangan/pendapat ahli
Ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang terkait dengan
dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan
memberikan keterangan pendapat guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan
ahli adalah keterangan yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuan.8
Keterangan ahli diperlukan dalam pemeriksaaan perkara yang rumit. Saksi
ahli dapat dihadirkan atas inisiatif pelaku usaha maupun KPPU.9
c. Surat dan/atau dokumen
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam pemeriksaan suatu perkara
menggunakan juga surat/dokumen yang dianggap relevan terhadap
7 Ibid, h. 161.
8 Ibid, h. 161.
9 Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 131.
25
perkaranya, mulai dari surat yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga
pemerintahan RI, kemudian bukti tertulis lainnya seperti berita acara
kesepakatan, memorandum of understanding, dan perjanjian tertulis lain yang
berhubungan dengan penetapan harga.10
Suatu petunjuk yang didapat dalam
bentuk tertulis, kekuatan pembuktiannya dikategorikan sama dengan kekuatan
pembuktian surat atau dokumen.11
d. Petunjuk
Menurut pasal 188 ayat 1 KUHAP, alat bukti petunjuk adalah:
“Perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak dan siapa pelakunya.”
Dalam perkara monopoli dan persaingan usaha, alat bukti petunjuk
merupakan indirect evidence yang dapat diterima, akan tetapi penggunaan
bukti petunjuk tidak dapat disamaratakan, harus dilihat kasus per kasus.12
e. Keterangan Pelaku Usaha
Keterangan pelaku usaha ini termasuk keterangan pelapor dan terlapor.
Pelapor adalah setiap orang yang menyampaikan laporan kepada KPPU
mengenai terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
10
Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha; Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian
Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha, (Malang; Setara Press, 2013), h. 92.
11
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 132.
12
Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha Di Indonesia, h. 164.
26
Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik yang melakukan tuntutan ganti rugi
maupun tidak. Terlapor adalah pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diduga
melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Keterangan terlapor tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alas an
yang kuat dan dapat diterima Majelis Komisi.13
Alat-alat bukti ini kemudian lebih diperinci lagi oleh KPPU dalam Perkom
Nomor 4 tahun 2010 tentang pedoman pasal 11. Beberapa alat bukti untuk
penanganan perkara kartel antara lain:
1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau
pembagian wilayah pemasaran.
2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan oleh
pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir (bisa
tahunan atau per semester).
3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di
beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir
(bulanan atau tahunan).
4. Data kapasitas produksi.
5. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan
yang saling berkoordinasi.
13
Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha; Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian
Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha, h. 161.
27
6. Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang
berlebih/excessive profit.
7. Hasil analisis data concious parallelism terhadap koordinasi harga,
kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran.
8. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota
yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.
9. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta
perubahannya.
10. Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi,
koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel.
11. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya
perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual
yang diduga terlibat kartel.
12. Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang
diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang
diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel.
13. Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya
faktor pendorong kartel sesuai indikator yang telah dijelaskan pada
perkom.14
4. Bukti Langsung dan Tidak Langsung
14
Dalam perkom dijelaskan mengenai indikator-indikator ekonomi yang digunakan oleh
KPPU untuk menentukan dugaan awal telah terjadinya perilaku kartel, lebih lanjut dapat dibaca di
Perkom
28
Dalam hukum persaingan usaha khusunya mengenai kartel biasanya
digunakan dua Metode pembuktian, yaitu pembuktian lewat direct evidence atau
bukti tidak langsung dan pembuktian lewat circumstancial evidence atau bukti
situasional atau lebih dikenal indirect evidence atau bukti tidak langsung.15
Pembuktian langsung adalah pembuktian yang diarahkan pada eksistensi
penjanjian dengan membuktikan semua dokumen, notulen atau tempat pertemuan
dari suatu tindakan kartel. Sedangkan pembuktian berdasarkan keadaan atau
pembuktian tidak langsung adalah pembuktian berdasarkan kesimpulan yang diambil
dari berbagai tindakan atau kondisi sistematis yang dilakukan oleh para kompetitor
komoditas barang atau jasa tertentu yang menunjukkan keyakinan kuat bahwa telah
terjadi koordinasi di antara mereka.16
Terdapat dua macam tipe pembuktian tidak langsung, meliputi bukti
komunikasi dan bukti ekonomi. Dari kedua bukti tersebut, bukti komunikasi atau
fasilitasi lebih penting dibandingkan bukti ekonomi. Bukti komunikasi adalah bukti
dimana pelaku kartel bertemu melakukan komunikasi akan tetapi tidak menjelaskan
substansi komunikasi tersebut.17
Di negara lain, misal Australia, untuk membuktikan eksistensi kesepakatan
(meeting of the minds) yang diharuskan dalam pembuktian adanya perjanjian yang
melanggar hukum persaingan, bukti situasional (circumstancial evidence) bisa
15
A. Junaidi, “Pembuktian Kartel Dalam UU No. 5/1999” Kompetisi, 11 ( 2008), h. 9.
16
Ibid, h. 9.
17
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 141.
29
dipakai seperti: petunjuk perbuatan yang paralel, petunjuk tindakan bersama-sama,
petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga yang serupa (dalam kasus
price fixing) dan lain sebagainya.18
Namun bukti ini tidak bisa diterapkan sama rata, sebagai contoh kadangkala
peningkatan harga secara paralel merupakan petunjuk adanya pasar yang bersaing
secara ketat (highly competitive).19
Karenanya, di Indonesia sendiri masih terdapat
pro kontra dalam menggunakan bukti tidak langsung. Mengingat dalam sistem
hukum beracara baik dalam HIR-RBG atau dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak
dikenal dalam alat bukti yang secara eksplisit berbunyi bukti tidak langsung ataupun
bukti ekonomi.20
Penegakan hukum persaingan selalu berusaha mendapatkan bukti langsung
berupa perjanjian dalam kasus kartel, dimana dalam kenyataannya sangat sulit
didapatkan sebagaimana yang sudah diuraikan di bagian terdahulu. Sehingga bukti
tidak langsung menjadi sangat penting keberadaannya dalam proses pembuktian
kartel.21
B. Konsep Kartel Dan Pelarangannya
1. Definisi Kartel
18
Ibid, h. 132.
19
Anna Maria Tri Anggraini, Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel
Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4, 2010), h. 43.
20
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 142.
21
Ibid, h. 140.
30
Kartel kadangkala diartikan secara sempit, namun disisi lain juga diartikan
secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang
seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk
”menetapkan harga” guna meraih keuntungan monopolistis. Sedangkan dalam
pengertian luas, kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi pasar,
mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga.22
Dalam Black’s Law Dictionary, Kartel adalah:
“an association of two or more legally independent entities that explicitly
agree to coordinate their prices or output for the purpose of increasing their
collective profits”23
Yang diterjemahkan “suatu perkumpulan dari dua atau lebih subjek hukum
yang secara jelas setuju untuk mengatur harga atau jumlah produksinya dengan
maksud untuk meningkatkan keuntungan mereka bersama”
Menurut Sukarmi kartel merupakan “kerjasama sejumlah perusahaan yang
bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah
produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan diatas
tingkat keuntungan yang wajar.”24
Menurut Didik J. Rachbini, Jika para yang bersaing ternyata melakukan
koordinasi bersama untuk mengontrol pasar, maka usaha ini disebut sebagai praktek
22
Anna maria Tri Anggraini, ”Penggunaan Analisis Ekonomi Dalam Mendeteksi Kartel
Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha”,Jurnal Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan
Usaha edisi 4 (Desember 2010), h. 31.
23
Ganner B.A, Black’s Law Dictionar, (St Paul Minn: West Group, 1999), h. 206.
24
Sukarmi, “Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha”, JurnalPersaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha edisi 6 KPPU (Desember 2011), h. 133.
31
kartel, yang sangat merugikan masyarakat. Koordinasi ini biasa diwujudkan dalam
berbagai cara, yaitu perjanjian pengendalian harga, jumlah yang diproduksi, dan
wilayah pemasaran. Praktek ini merupakan usaha pelaku-pelaku ekonomi untuk
mengendalikan pasar secara horizontal (horizontal restraint).25
Richard Postner sebagaimana yang dikutip Mustafa Kamal Rokan, kartel
adalah:
“a contract among competing seller to fix the price of product they sell (or,
what is the small thing, to limit their output) is likely any other contract in the sense
that the parties would not sign it unless they expected it to make them all better of.”26
Artinya: (Sebuah perjanjian diantara pelaku usaha untuk mengatur harga dari
produk yang mereka jual (atau setidaknya membatasi pengeluaran produknya)
selayaknya sebuah perjanjian yang lain dimana para pihak tidak akan setuju kecuali
hal tersebut akan menguntungkannya; pen)
Menurut KPPU suatu kartel terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam
suatu industri tertentu yang seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju
untuk melakukan koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian
wilayah, kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan usaha lainnya, sehingga
mereka dapat menaikan harga dan memperoleh keuntungan diatas harga yang
kompetitif.27
25
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi Pembanguna, (Jakarta: Granit,
2004), h. 124.
26
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia,
(Jakarta: RajawaliPers, 2012), h. 117. 27
Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
32
Kartel merupakan salah satu strategi yang digunakan para pelaku usaha untuk
mempengaruhi harga suatu komoditas tertentu dengan cara mengatur jumlah
produksinya. Asumsinya, jika mereka mengurangi jumlah produksinya sedangkan
permintaan pasar tetap maka akan berakibat pada naiknya harga ketingkat yang lebih
tinggi, tetapi sebaliknya, apabila jumlah produknya berlimpah dipasar maka harga
akan turun.28
Agar harga pasaran produksinya tidak terlalu jatuh dan tetap dapat bisa
memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya, para pelaku usaha biasanya membuat
suatu perjanjian diantaranya untuk mengatur mengenai jumlah produksi yang ada di
pasar sehingga harga dapat dijaga untuk tidak terlalu murah.29
Biasanya perjanjian
kartel tesebut dipraktikan dalam asosiasi dagang, yang mana dalam asosiasi dagang
tersebut para pelaku usaha anggotanya akan mudah untuk menyusun standarisasi dan
juga sekaligus melakukan pengaturan harga yang dapat menghambat persaingan
usaha sehat.30
Kartel memiliki beberapa karakteristik yaitu, pertama, terdapat konspirasi
antar pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar penetapan harga
dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi terhadap konsumen, produksi atau wilayah
28
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: AntaraTeksdanKonteks, (Jakarta:
GTZ, 2009), h. 106.
29
Ibid, h.107.
30
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
117.
33
pemasaran. Keempat, adanya perbedaan kepentingan misalnya karena perbedaan
biaya.31
Karena kartel biasanya berujung pada penetapan harga, struktur pasar dapat
juga mempengaruhi terjadinya penetapan harga harga tersebut. Herbert Hoverkamp
menjelaskan mengenai karakteristik pasar dan faktor-faktor yang mendukung
terjadinya price fixing, yaitu:
a. Market concentration
Tingkat konsentrasi pasar dimana hanya terdapat sejumlah kecil
perusahaan sejenis dan kesamaan kondisi dari masing-masing pelaku
usaha, akan memperbesar kemungkinan terjadinya price fixing
b. Barrier to entry
Hambatan masuk yang besar menyebabkan sulitnya pesaing untuk
masuk sehingga barang subtitusi tidak tersedia di pasar. Dalam kondisi
ini, pemain lama dalam di pasar bersangkutan (incumbent)
berkemungkinan besar melakukan kolusi dengan perusahaan lain
untuk menetapkan harga
c. Sales method
Metode penjualan melalui proses pelelangan, memperbesar
kemungkinan untuk timbulnya price fixing dikalangan pelaku usaha
d. Product Homogenity
31
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , h. 107.
34
Homogenitas produk atau kesamaan produk yang tersedia dipasar akan
memudahkan pelaku usaha untuk melakukan price fixing.
e. Facilitation device
Sarana yang dapat memfasilitasi terjadinya price fixing seperti
standarisasi produk, integrasi vertical, pengaturan harga penjualan oleh
para pengecer dan pengumuman harga (secara eksplisit atau implisit)
serta pengiriman harga pola dasar. Selain itu, sarana dalam asosiasi
dagang yang menaungi kepentingan pelaku usaha juga dapat dijadikan
fasilitas bagi pelaku usaha untuk melakukan perjanjian penetapan
harga.32
Kesuksesan dari kartel tergantung pada jenis industri, caranya beroperasi
dimana faktor utama penentunya tergantung pada kerjasama diantara pesaing itu
sendiri. Semakin banyak jumlah pelaku usaha pesaing yang ikut dalam kerjasama
kartel itu, maka control atau pengawasan yang dilakukan akan semakin sulit.33
2. Akibat Kartel
Kartel dapat memberikan kerugian bagi perekonomian suatu negara sebagai
contoh misalnya dapat mengakibatkan terjadinya inefisinsi alokasi, inefisiensi
produksi, menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru, menghambat masuknya
32
A.M. Tri Anggraini, Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum Persaingan
Usaha Dalam Masalah-Masalah Hukum Kontemporer, Dalam Masalah-Masalah Hukum Ekonomi
Kontemporer,editor Ridwan Khairandy, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), h,
262-264. 33
Marshall Sumantri, Dugaan Praktek Kartel yang dilakukan penyedia jasa telepon selular
dalam penetapan tariff SMS (Short Message Service) ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha (Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009), h. 32.
35
investor baru, serta menyebabkan kondisi perekonomian negara tidak kondusif dan
kurang kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan sistem
persaingan usaha yang sehat.34
Kerugian atas kartel juga dapat dirasakan konsumen, karena konsumen harus
membayar harga atas barang dan atau jasa lebih mahal dari pada harga pasar.
Disamping itu juga terbatasnya barang dan atau jasa yang diproduksi, baik dari sisi
jumlah maupun mutunya, dan yang terakhir adalah terbatasnya pilihan Pelaku
Usaha.35
Akibat lain yang ditimbulkan kartel adalah terciptanya praktek monopoli oleh
pelaku kartel sehingga secara perekonomian makro mengakibatkan inefisiensi
pengalokasian sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss.
Dari sisi konsumen, konsumen akan kehilangan hak atas pilihan harga, kualitas
barang yang bersaing dan layanan purna jual yang baik.36
3. Pelarangan Kartel
Usaha melarang tindakan dari kartel ini mulai dikenal lewat Section 1
Sherman Act yang berbunyi;
Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or
conspiracy in restrain of trade or commerce among the several states, or with
foreign nations, is hereby declared to be illegal. Every person who shall make any
contract or engage in any combination or conspiracy hereby declared to be
illegal shall be deemed guilty of a felony.
34
Jurnal edisi 4 2010, h. 41.
35
Ibid, h. 41. 36
Didik J. Rachbini, Cartel and Merger In Control In Indonesia, Jurnal Hukum
Bisnis,(volume 19 mei-juni 2002), h. 11-12 /4.Khemani R Shyam.
36
(setiap perjanjian, persekutuan dalam bentuk trust atau yang lainnya, atau
konspirasi dalam penguasaan perdagangan diantara beberapa pihak, dengan negara-
negara lain, dengan ini dinyatakan illegal. Setiap orang yang melakukan perjanjian
atau kombinasi atau konspirasi yang telah dinyatakan illegal dianggap bersalah atas
kejahatan serius; Pen)
Di Amerika Serikat kartel, sebagaimana price fixing, dianggap sebagai naked
restraint (penguasaan pasar secara nyata/terang-terangan;pen) yang bertujuan tunggal
untuk mempengaruhi tingkat harga dan output. Oleh karena itu wajar Sherman Act
memperlakukan kartel sebagai Per Se illegal, demikian juga dengan Australia dan
Uni Eropa. Alasannya menurut mereka, kartel tidak menghasilkan efisiensi sama
sekali atau efesiensi yang didapat tidak sebanding dengan dampak negatifnya.37
Sedang Indonesia sejak tahun 1999 menerapkan melakukan pelarangan
terhadap kartel sebagaimana dalampasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dijelaskan
mengenai kartel yaitu;
“Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang
tidak sehat.38
37
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004), h. 56.
38
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
37
Dalam pasal diatas dapat dipahami bahwa pelarangan kartel di Indonesia
sedikit berbeda dengan yang dilakukan dengan sebagaimana yang dianut oleh
sebagian negara-negara Barat, Indonesia merumuskan pelarangan kartel dengan
rumusan rule of reason yang mana dalam membuktikan kartel yang dilarang, harus
diperiksa alasan-alasan para pelaku usaha apakah kartel yang dilakukan mereka dapat
diterima (reasonable restraint) atau tidak.39
Dalam Islam pada prinsipnya apabila kita melakukan mu’amalah selain objek
mu’amalah yaitu barang dan/atau jasa yang harus diperhatikan kehalalannya, aspek
mengenai metode ber-mu’amalah juga merupakan hal penting yang harus
diperhatikan. Ini didasari oleh ayat- ayat Al Qur‟an sebagai berikut;
ى ثى وأتى تعه ل ٱناس بٱل أيى او نتأكهىا فزيقا ي طم وتدنىا بها إنى ٱنحك نكى بيكى بٱنب ١٨٨ول تأكهىا أيى
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui40
”
Selain ayat di atas Allah SWT juga berfirman;
كا ٱلل كى ول تقتهىا أفسكى إ زة ع تزاض ي تج أ تكى طم إل نكى بيكى بٱنب ءايىا ل تأكهىا أيى أيهاٱنذي ي
ا ٢٩بكى رحي
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
39
Pedoman pasal 11, h. 24
40
Q.S. Al Baqarah, 188.
38
sama-suka di antara kamu. Danjanganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu41
”
Makna dari lafazh طم mengisyaratkan kepada kita bahwa penguasaan atauبٱنب
perpindahan kekayaan tidak boleh dilakukan “…Secara zalim melalui dominasi,
pencurian, kecurangan, riba, penimbunan, judi, suap, tindak perugian, penipuan,
pencurangan, segala cara lain yang mengandung kezaliman atau penipuan, jual beli
sesuatu yang tidak diperbolehkan, atau sewa-menyewa sesuatu yang tidak
diperbolehkan.”42
Kartel juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang terlarang atau haram
dilakukan, ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW yang berbunyi;
ع يعز ب عبد هللا رضي هللا عه ع رسىل هللا صهي هللا عهيه وسهى قال ليحتكز
الخاطئ43
“Dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:”Tidaklah seorang menimbun (Ihtikar) kecuali dia berdosa”.
Ihtikar seringkali diterjemahkan sebagai monopoli dan/atau penimbunan,
padahal sesungguhnya ihtikar tidak identik dengan itu. Dalam Islam seseorang boleh
saja menjadi penjual satu-satunya dipasar demikian pula memiliki stock barang untuk
keperluan persediaan. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan
diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikti barang untuk harga yang
41
Q.S. An Nisa, 29.
42
Yusuf Al Qardhawi, Yusuf Al-Qardhawi, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat, Penerjemah
Ferdian Hasmand, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014).h. 85
43
Shahih Muslim Hadits Nomor 1605.
39
lebih tinggi.44
Di zaman Rasullulah SAW, salah satu cara melakukan ihtikar adalah
dengan cara menimbun agar harga naik akibat kelangkaan tersebut.45
Pendapat ini diperkuat lewat hadits Rasulullah SAW yang berbunyi;
ي احتكز حكزة يزيد أ يغاني بها عهى انسهي فهى خاطئ46
Barangsiapa menimbun suatu timbunan supaya menjualnya dengan harga yang
tinggi kepada kaum muslimin, maka dia telah berbuat dosa
Perilaku ihtikar yang dilakukan secara berkelompok itulah yang memiliki
kesamaan dengan perilaku kartel, yang mana keduanya memiliki kesamaan tujuan
yaitu “bermaksud mempengaruhi harga” di pasar agar lebih tinggi dari harga
semestinya. Oleh karena itu, pada dasarnya Islam juga mengharamkan praktek kartel.
C. Perjanjian Kartel
Kartel pada dasarnya merupakan perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan antara keduanya.47
Oleh karena
itu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tindakan kartel dikategorikan sebagai
suatu perjanjian yang dilarang. Maka dari itu, pemahaman tentang konsep perjanjian
sangatlah penting
44
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), h. 185.
45
Ibid, h. 174.
46
Musnad Ahmad Hadits Nomor 8617.
47
Farid Nasution dan RetnoWiranti, Kartel dan Problematikanya, Majalah Kompetisi (
Jakarta, 2008), h. 4.
40
Sebagaimana dalam pasal 1313 Burgerlijkwetboek atau Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata “Suatu Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”Dengan kata lain
perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada
orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.48
Suatu perjanjian atau kontrak terlahir pada saat terjalinnya kesepakatan. Oleh
karena itu, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak maka lahirlah suatu
perjanjian, walaupun perjanjian tersebut belum dilaksanakan.49
Oleh sebab itu
consensus atau kesepakatan menjadi dasar yang sangat penting bagi suatu perjanjian.
Dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, sebagaimana Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, dalam pasal 1 angka 7 dikatakan bahwa;
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
apapun baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Walaupun secara sepintas definisi perjanjian dalam pasal 1313 BW dengan
definisi perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terlihat sama namun
sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya.
48
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h.
2.
49
Ibid, h. 3.
41
Menurut Kamal Rokan, perjanjian dalam teori persaingan usaha adalah upaya
atau lebih pelaku usaha dalam konteks strategi pasar. Oleh karenanya, esensi dari
perjanjian dalam persaingan usaha yaitu kesepakatan antara para pelaku usaha, yang
seharusnya bersaing, tentang tingkah laku pasar mereka baik keseluruhannya maupun
sebagian dari keseluruhan tingkah laku pasar.50
Sehingga persaingan diantara pelaku
usaha, pada akhirnya, menghilang.
Kartel merupakan akibat dari struktur pasar yang oligopolis.51
Oleh karena itu,
“Perjanjian” pada pasar oligopoli lebih mengarah pada perjanjian yang bersifat
horizontal. Pada struktur pasar ini pun biasanya tidak terjadi perjanjian yang bersifat
tertulis atau lisan antar pelaku usaha, namun biasanya di tentukan oleh “saling
keterkaitan reaksi tanpa perjanjian” dan perilaku yang saling disesuaikan.52
Perjanjian dalam persaingan usaha terkadang hanya didasarkan pada “feeling”
ekonomi untuk menyamakan harga dan mengikuti pola pesaing lainnya. Sehingga tak
jarang perjanjian dapat terjalin tanpa memerhatikan apakah pihak yang menjalin
perjanjian melakukannya dengan suka rela atau tidak. Inilah yang membedakan
perjanjian dalam pengertian KUHperdata dengan perjanjian dalam hukum anti
monopoli.53
50
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
86.
51
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , (Jakarta;
GTZ, 2009), h. 106. 52
Mustafa Kamal Rokan,Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
89.
53
Ibid, h. 86.
42
Karenanya, dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha nomor 4
tahun 2010 tentang pedoman pasal 11 Undang-undang nomor 5 tahun 1999, salah
satu syarat terjadinya kartel adalah terjadinya perjanjian atau kolusi antara pelaku
usaha, yang mana terdapat dua bentuk kolusi dalam kartel yaitu kolusi eksplisit dan
kolusi diam-diam.54
Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan
mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian,
data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data
penjualan dan data-data lainnya. 55
Sedangkan kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak
berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia.
Biasanya yang dipakai sebagai media adalah asosiasi industri, sehingga pertemuan-
pertemuan anggota kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-pertemuan yang legal
seperti pertemuan asosiasi. Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit untuk dideteksi
oleh penegak hukum. Namun pengalaman dari berbagai negara membuktikan bahwa
setidaknya 30% kartel adalah melibatkan asosiasi.56
54
KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, h. 4.
55
KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, h.8.
56
Ibid, h. 8-9.
43
Hal terpenting dalam perjanjian dalam hukum antimonopoli adalah
ikatan.57
Yang menjadi pertanyaan adalah kapan suatu ikatan berlaku secara hukum.
Hal ini dibagi dua, yaitu; Ikatan Hukum Suatu pihak terkait dengan hukum jika
perjanjian yang dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum. Mengingat Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maka perjanjian yang menghambat persaingan
usaha tidak mengikat menurut hukum karena dapat dibatalkan.
Selain ikatan hukum, pasal 1 angka 7 UU No. 1999 juga mencakup ikatan
ekonomi. Ikatan ekonomi dihasilkan oleh suatu perjanjian jika ada standar perilaku
tertentu yang harus ditaati bukan karena persyaratan hukum, tetapi dalam rangka
mencegah kerugian ekonomi. Salah satu contoh adalah menentukan harga dibawah
harga pasar.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, pelaku usaha harus “ikut arus” dengan
“permainan” yang telah disepakati jika tidak maka ia akan mengalami kerugian atau
“tergilas.” Yang biasa terjadi adalah saling memahami dengan melihat pasar sehingga
dalam perjanjian hukum persaingan usaha ada yang disebut dengan
“expressagreement” (perjanjian yang tegas dan nyata) dan “tacit agreement”
(perjanjian secara diam-diam). Contoh express agreement adalah jika terdapat dan
pengakuan telah terjadi kesepakatan antarpelaku usaha, baik secara tertulis maupun
tidak. Adapun tacit agreement jika perilaku seorang atau sekelompok pelaku usaha
57
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
86.
44
membuat pelaku usaha lain “ikut” dengan caranya, sehingga seolah-olah telah terjadi
perjanjian.58
Tacit agreement sebagaimana yang dimaksud diatas dapat juga dikatakan
sebagai Implicit Collusion yang dijelaskan David C. Colanderyaitu, “Multiple firms
make the same pricing decisions even though they have not explicitly consulted with
one another. They “just happen” to come to collective decision.59
.”
(Para pelaku usaha menyamakan kebijakan harganya walaupun mereka tidak
pernah secara eksplisit membicarakannya satu sama lain. Para pelaku usaha ini
“hanya kebetulan” memiliki kesamaan kebijakan harga)
Kata “just happen” (kebetulan) yang disebut oleh Colander tadi menyiratkan
bahwa sesungguhnya para pelaku usaha (multiple firms) tadi melakukan berbagai cara
tentang bagaimana menentukan harga pasar suatu komoditi agar seolah-olah
terbentuk secara alamiah dan bukan merupakan hasil dari kesepakatan antar pelaku
usaha.
Lebih lanjut, Colander mengatakan, “Oligopolies often operate close to the
fine edge of the law as they can. For example, many oligopolistic industries allow a
price leader to set the price, and the the others will follow suit. The airline and steel
58
Mustafa Kamal Rokan,Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h.
87-87.
59
David C. Colander, Micro Economics, Sixth Edition, (New York;Mcgraw-Hill/Irwin, 2006)
h. 307.
45
industries take that route. Firms just happen to charge the same price or very close
to the same price.”60
(Para pelaku oligopoli (termasuk kartel) seringkali sebisa mungkin mencari
celah hukum. Sebagai contoh, banyak suatu bidang industri yang telah terjadi
oligopoli, pemimpin di Industri tersebut menetapkan harga dan yang lainnya hanya
tinggal mengikuti. Industri pesawat terbang dan industri baja sebagai contohnya. Di
sana para pelaku usaha hanya kebetulan menetapkan harga yang sama atau
mendekatinya.)
60
Ibid, h. 307.
46
BAB III
POSISI KASUS
Pada tahun 2010, terdapat kasus kartel yang telah diputuskan oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha yaitu tentang kasus dugaan kartel semen yang dilakukan
oleh Asosiasi Semen Indonesia. Dimana saat itu terdapat fakta bahwa harga semen di
Indonesia cenderung mahal disaat biaya produksi semen yang seharusnya menurun
seiring dengan harga batu bara dan minyak mentah dunia yang cenderung menurun.1
Menurunnya harga salah satu komponen penting dalam proses produksi
semen ini seharusnya diiringi juga dengan menurunnya harga jual semen. Akan
tetapi, kenyataan sebaliknya disaat harga bahan bakarnya cenderung turun harga
semen mengalami kenaikan harga, padahal sesungguhnya komponen bahan bakar
memiliki pengaruh 30% sampai 40% terhadap kecenderungan harga semen.2
KPPU menduga, harga semen memiliki kecenderungan lebih mahal apabila
dibandingkan dengan negara produsen lain semisal negara-negara yang tergabung di
ASEAN. Harga semen Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya, 30 hingga 40
persen lebih mahal.3
1 t.t., KPPU Duga Ada Kartel Harga semen:
http://www.tempo.co/read/news/2010/04/22/090242441/KPPU-Duga-Ada-Kartel-Harga-Semen-
Indonesia, diakses pada tanggal 17 april 2013
2 Nurseffi Dwi Wahyuni, KPPU: 8 Perusahaan Semen Diduga Lakukan
Kartel,http://finance.detik.com/read/2010/01/14/165833/1278631/4/3/kppu-8-perusahaan-semen-
diduga-lakukan-kartel, diakses pada tanggal 1 Juni 2014
47
Berdasarkan data harga semen internasional pada tahun 2007, KPPU
membandingkan harga semen Indonesia yang senilai USD 83,8 per ton dengan
negara lain seperti Malaysia (USD 62,6/ton), Filipina (USD 84,5/ton), Vietnam (USD
57,75/ton), dan Thailand (USD 67,87/ton). Harga semen Filipina, lebih tinggi
dibandingkan Indonesia.Sebab, Filipina sebagian besar impor semen dari Indonesia.4
Dugaan ini semakin diperkuat dengan pernyataan Menteri Perindustrian saat
itu yaitu Fahmi Idris yang menyatakan bahwa industri semen Indonesia cenderung
mengarah pada praktek oligopoli karena jumlah pemainnya yang sedikit.5Dalam
Industri semen di Indonesia hanya terdapat delapan perusahaan semen yang
seluruhnya tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia disingkat ASI. Para
perusahaan ini yang kemudian menjadi terlapor pada kasus semen ini antara lain;
1. Terlapor I, PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk, berkedudukan di
Wisma Indocement, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 70 – 71 Jakarta 12910,
Indonesia.
2. Terlapor II, PT Holcim Indonesia, Tbk, berkedudukan di Menara
Jamsostek, North Building 15th
floor, Jalan Gatot Soebroto, No. 38
Jakarta, Indonesia.
3 t.t. Semen Mahal, Indikasi Kartel Menguat,
http://www.surabayapagi.com/index.php?read=Semen-Mahal,-Indikasi-Kartel-
Menguat;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296281b4360d204dc7d8b0fb1ddb1070d89a, diakses pada
tanggal 1 Juni 2014
4 Ibid
5 t.t., KPPU Sinyalir Praktek Kartel Industri Semen
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/09/04/08/42586-kppu-sinyalir-
praktek-kartel-industri-semen, diakses pada tanggal 17 april 2013
48
3. Terlapor III, PT Semen Baturaja (Persero), berkedudukan di Jalan
Abikusno Cokrosuyoso Kertapati, PO BOX 1175 Palembang
30001,Sumatera Selatan, Indonesia;
4. Terlapor IV, PT Semen Gresik (Persero) Tbk, berkedudukan di
Gedung Utama Semen Gresik, Jalan Veteran Gresik Jawa Timur
61122, Indonesia;
5. Terlapor V, PT Semen Andalas Indonesia, berkedudukan di Jalan
Imam Bonjol No. 42A, Medan Sumatera Utara, Indonesia;
6. Terlapor VI, PT Semen Tonasa, berkedudukan di Biringere-Pangkep
Sulawesi Selatan 90651, Indonesia;
7. Terlapor VII, Semen Padang, berkedudukan di Indarung Padang,
Sumatera Barat 25237, Indonesia;
8. Terlapor VIII, PT Semen Bosowa Maros, berkedudukan di Menara
Bosowa, Lantai 19 Jl. Jenderal Sudirman No. 5 Makassar, Sulawesi
Selatan, Indonesia.6
Menurut KPPU, para terlapor tersebut diduga melakukan Pelanggaran
terhadapPasal 5 dan Pasal 11 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.7
6 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010, hal. 1
7 Ibid hal. 3.
49
Terdapat fakta bahwa terjadi kenaikan permintaan sejak tahun 2004 sampai
dengan 2009 yang mana dapat dilihat dari tabel tentang konsumsi semen nasional8
sebagai berikut;
Tabel
Konsumsi Nasional Semen 2004-2009
No
Tahun (ton)
Daerah 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1
D.I.
Aceh
417,427 461,528 916,680 1,027,009 1,057,192 958,480
2
Sumater
a Utara
1,687,724 1,783,554 1,678,390 1,936,536 2,181,697 2,317,067
3
Sumater
a Barat
557,937 560,062 500,733 564,859 800,607 704,837
4 Riau 907,618 786,319 827,793 978,980 899,721 875,694
5
Kepulau
an Riau
587,210 628,411 631,872 680,048 756,390 700,649
6 Jambi 265,658 257,680 345,553 401,011 369,632 383,006
7
Sumater
a Selatan
715,909 781,412 820,949 965,511 1,110,342 1,159,505
8
Bangka-
Belitung
169,441 203,937 229,349 222,061 263,037 262,784
9
Bengkul
u
261,728 282,144 333,494 370,842 428,027 490,488
8 Putusan h. 5-6
50
10
Lampun
g
722,960 751,603 739,983 895,976 1,069,110 1,020,247
Total
Sumater
a
6,293,612 6,496,650 7,024,796 8,042,833 8,935,755 8,872,757
11
DKI
Jakarta
3,541,244 3,666,752 3,294,108 3,392,884 3,627,377 3,528,612
12 Banten 1,768,083 2,107,707 1,877,605 1,977,810 2,044,455 1,837,419
13
Jawa
Barat
4,965,482 5,201,285 5,022,596 4,792,657 5,338,018 5,479,321
14
Jawa
Tengah
3,532,053 3,528,946 3,575,353 3,795,264 4,353,100 4,485,997
15
D.I.
Yogyaka
rta
589,700 600,018 805,174 985,261 719,922 600,840
16
Jawa
Timur
4,386,958 4,511,634 4,696,457 4,712,761 5,163,773 5,193,776
Total
Jawa
18,783,52
1
19,616,34
2
19,271,29
3
19,656,63
7
21,246,64
5
21,125,96
5
17
Kaliman
tan Barat
343,293 366,151 390,165 446,396 560,711 553,584
18
Kaliman
tan
Selatan
296,803 376,307 384,882 466,858 594,760 631,077
19 Kaliman 122,976 149,260 181,413 258,434 358,835 326,516
51
tan
Tengah
20
Kaliman
tan
Timur
694,792 679,637 697,744 804,866 924,216 924,764
Total
Kalima
ntan
1,457,864 1,571,355 1,654,204 1,976,554 2,438,522 2,435,941
21
Sulawesi
Tenggar
a
196,328 174,392 215,178 231,425 258,290 297,061
22
Sulawesi
Selatan
843,683 894,060 963,708 1,006,614 1,374,347 1,668,974
23
Sulawesi
Barat
37,593
24
Sulawesi
Tengah
263,269 254,628 274,600 333,752 363,687 396,126
25
Sulawesi
Utara
378,027 343,923 389,192 401,885 473,932 472,293
26
Gorontal
o
73,670 71,250 85,200 98,960 130,437 130,669
Total
Sulawes
i
1,754,977 1,738,253 1,927,878 2,072,636 2,600,693 3,002,716
27 Bali 716,888 788,887 763,183 851,341 1,082,190 1,105,213
52
28
Nusa
Tenggar
a Barat
381,035 364,592 424,488 491,580 570,657 647,218
29
Nusa
Tenggar
a Timur
346,577 306,732 311,726 309,612 369,715 424,104
TotalNu
sa
Tenggar
a
1,444,500 1,460,211 1,499,397 1,652,533 2,022,562 2,176,535
30 Maluku 211,928 250,964 309,721 345,096 395,530 329,767
31
Maluku
Utara
42,240
32
Papua
Barat
11,521
33 Papua 262,076 299,190 287,976 402,128 453,033 418,783
Total
Indonesi
a Timur
474,004 550,154 597,697 747,224 848,563 802,311
Total
Indonesi
a
30,208,47
8
31,432,96
5
31,975,26
5
34,148,41
7
38,092,74
0
38,416,22
5
Data konsumsi semen nasional dari 2004 sampai dengan 2009 diatas
memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan permintaan dari tahun ke tahun atas produk
53
semen. Terdapat indikasi terjadinya kenaikan harga sebagaimana yang dijelaskan
Direktur Komunikasi KPPU Ahmad Junaidi saat itu yang mengatakan bahwa ketika
demand mengalami kenaikan dan supply stabil maka akan terjadi kenaikan harga.9
Maksudnya apabila jumlah supply tidak berubah baik sengaja maupun tidak, disaat
demand mengalami kenaikan maka yang akan terjadi adalah kenaikan harga,
Lebih lanjut, dugaan telah terjadi kartel diperkuat lewat pertemuan-pertemuan
intens para perusahaan semen yang diwadahi oleh Asosiasi Semen Indonesia
(Selanjutnya disebut ASI).10
ASI yang didirikan pada tanggal 7 Oktober 1960 dan
berkedudukan di Jakarta, merupakan forum yang mewadahi perusahaan produsen
semen dalam hal komunikasi, konsultasi, kerjasama dan koordinasi antara sesama
produsen semen di Indonesia.
Nantinya ASI juga bertindak sebagai jembatan dan saluran komunikasi,
konsultasi dan informasi dengan pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang terkait
baik ditingkat nasional, regional dan internasional.Oleh karena itu, anggota ASI wajib
untuk memberikan saran, data dan segala sesuatu yang dianggap perlu untuk tercapai
tujuan dan usaha ASI.
Dalam struktur keorganisasian ASI terdapat lembaga yang disebut dengan
presidium. Presidium ini merupakan perangkat organisasi ASI yang bertindak sebagai
lembaga perwakilan anggota dan merupakan lembaga kekuasaan tertinggi
9 Nurseffi Dwi Wahyuni, KPPU: 8 Perusahaan Semen Diduga Lakukan Kartel,
DetikFinance, http://finance.detik.com/read/2010/01/14/165833/1278631/4/3/kppu-8-perusahaan-
semen-diduga-lakukan-kartel.
10
Putusan, hal. 51.
54
ASI.11
Singkatnya sebagai organisasi, lembaga presidium tersebut merupakan bagian
terpenting dalam keorganisasian ASI. Dalam rapat Presidium ASI pernah dilakukan
pembahasan tentang:
a. ASI bukan merupakan partner pemerintah, namun ASI harus
melakukan lobby mengatur pemerintah dan menjadi badan yang
diperhitungkan pemerintah.
b. perlu mengecek kebenaran bahwa mengumpulkan data-data tidak
diperbolehkan karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah.
c. perlu mengecek apakah menjaga gejolak harga semen tidak
diperbolehkan karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah.
d. mengganti istilah rapat informasi.
e. ASI supaya melakukan lobby ke pemerintah c.q. Direktrorat Jenderal
Agro dan Kimia untuk usulan pengenaan bea masuk import semen
sebesar 10% (sepuluh persen) dan clinker sebesar 15% (lima belas
persen).
ASI juga mengumpulkan data-data yang terkait dengan produksi dan
pemasaran dikarenakan adanya surat dari Kementerian Perindustrian yang memohon
bantuan kepada ASI untuk secara rutin setiap bulan melaporkan perkembangan
produksi, pemasaran dan stok semen per produsen. menurut pemerintah, peran ASI
dalam penyelenggaraan rapat-rapat teknis dan ekonomi bisnis adalah sebagai
11
Putusan, hal. 51.
55
pelaksanaan dari Pasal 14 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian dimana ayat 1 berbunyi;
“sesuai dengan izin usaha industri yang diperolehnyaberdasarkan
Pasal 13 ayat (1), perusahaan industri wajib menyampaikan informal
industri secara berkala mengenai kegiatan dan hasil produksinya kepada
pemerintah.”
Karenanya, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan (LHPL) yang
disimpulkan oleh Majelis Komisi, yakni;12
a. Bahwa dalam setiap pasar bersangkutan diduga terjadi upaya
memberikan kesempatan kepada pelaku usaha lain yang memiliki
biaya produksi per ton relatif tinggi untuk dapat memasarkan di
produknya di wilayah propinsi lainnya dengan menjaga harga dalam
level yang cukup tinggi;
b. Bahwa dalam setiap pasar bersangkutan, beberapa pelaku usaha
memiliki pasokan yang cukup dan biaya per ton yang cukup rendah
dibandingkan dengan pesaingnya, namun terdapat kecenderungan
pergerakan harga yang sama yang diduga untuk mempertahankan
pangsa pasar;
c. Bahwa berdasarkan analisa tentang tingkat keuntungan untuk masing-
masing Terlapor dan dengan dikaitkan dengan tujuan dari kartel adalah
memaksimalkan keuntungan, maka dengan memperhatikan
perbandingan biaya per ton, sejak tahun 2007 sampai dengan tahun
12
Putusan, h. 380-381
56
2009 diduga terjadi upaya untuk mengatur harga pada level yang
cukup tinggi untuk mempertahankan tingkat keuntungan;
d. Bahwa dugaan terjadinya kartel dan penetapan harga adalah dengan
mempertimbangkan adanya rapat-rapat di Asosiasi Semen Indonesia
(selanjutnya disebut ASI) yang menyajikan laporan realisasi produksi
dan pemasaran dari masing-masing Terlapor serta adanya presentasi
dari pemerintah terkait dengan harga dimasing-masing wilayah
Ibukota Propinsi. Hal ini diduga merupakan fasilitas untuk mengatur
pasokan dan menentukan harga;
e. Bahwa berdasarkan analisa di atas, dapat disimpulkan terjadi
pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-undang Nomor
5Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh: Terlapor I (ITP), Terlapor II
(HI),Terlapor III (SB), Terlapor IV (SG), Terlapor V (Lafarge),
Terlapor VI (ST), Terlapor VII (SP) dan Terlapor VIII (SBM);
Majelis Komisi berpendapat indikasi ada tidaknya kartel dan penetapan harga
sekurang-kurangnya harus memenuhi kriteria: (1) Harga yang paralel dan eksesif, (2)
Pengaturan produksi dan pemasaran, (3) Keuntungan yang eksesif. Berikut hasil
analisis yang dilakukan oleh Majelis Komisi;
a. Harga Paralel
57
Dalam menentukan Harga Paralel (Price Parallelism), Majelis Komisi
menemukan terdapat 14 (empat belas) provinsi yang terjadi harga parallel. Terdapat 3
Terlapor yang paling sering terlibat dalam tindakan harga paralel yaitu Terlapor I di
14 propinsi, Terlapor II di 9 propinsi dan Terlapor IV di 7 propinsi. Karena itu,
Majelis Komisi menilai dan menyimpulkan berdasarkan analisis hasil uji statistik
menunjukkan terjadi harga yang paralel di 14 propinsi.13
b. Harga eksesif
Dalam menentukan harga eksesif atau harga yang berlebih dan tidak wajar,
Majelis Komisi berpendapat bahwa terdapat perbedaan harga yang signifikan antara
harga rata-rata franco pabrik yang lebih rendah daripada harga rata-rata ritel di
Indonesia. Perbedaan harga ini belum temasuk ongkos angkut dan biaya pemasaran
lainnya. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, Majelis Komisi menyimpulkan tidak
cukup alasan untuk menyatakan harga semen para Terlapor adalah eksesif.14
c. Pengaturan Produksi dan Pemasaran
Majelis Komisi berpendapat suatu perusahaan dapat dinilai melakukan
pengaturan pasokan apabila masing-masing Terlapor memproduksi semen di bawah
75% dari kapasitas produksi. Pendapat ini didasarkan pada pertimbangan adanya
pertumbuhan ekonomi dan konsumsi semen dalam negeri yang terus positif selama
lima tahun terakhir.
13
Putusan, hal. 407-410.
14
Putusan, hal. 424-425.
58
Majelis Komisi berpendapat utilisasi kapasitas produksi selalu meningkat
setiap tahunnya dan sejaktahun 2007 utilisasi kapasitas produksi berada padakisaran
73,52% (angka terendah pada tahun 2006) sampai dengan 88,01% (angka tertinggi
pada tahun 2008) dan meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, selama
lima tahun terakhir, utilisasi kapasitas produksi Terlapor I (ITP) selalu berada dalam
posisi terendah bila dibandingkan dengan Terlapor yang lain.
Menurut penilaian Majelis Komisi, angka total produksi para terlapor terus
meningkat sejalan dengan peningkatan volume peningkatan produksi. Ini sejalan
dengan peningkatan permintaan semen sehingga Majelis Komisi menilai tidak ada
upaya untuk mengurangi/membatasi produksi/pasokan dari para Terlapor penjualan
dan konsumsi. Dengan demikian Majelis Komisi menyimpulkan tidak terdapat cukup
alasan untuk mengatakan adanyaupaya pengaturan produksi dan pemasaran.15
d. Keuntungan eksesif
Dalam mencari keuntungan berlebih atau tidak wajar (Excessive Profit)
Majelis Komisi menggunakan rasio keuangan Return On Investment (ROI) para
Terlapor dengan suatu angka pembanding yaitu rata-rata kupon (bunga variabel)
obligasi negara berjangka 10 tahun ditambah dengan insentif bagi perusahaan
investor untuk melakukan investasi atau ekspansi usaha di luar obligasi negara. Rata-
rata bunga obligasi ± 10% (kurang lebih sepuluh persen) dan insentif wajar rata-rata ±
15
Putusan, hal. 412-413.
59
5% (kurang lebih limapersen), maka keuntungan berlebih terjadi apabila ROI para
terlapor melebihi 15 % (lima belas persen).16
Majelis Komisi berpendapat bahwa rata-rata ROI selama 5 tahun terakhir
pada umumnya berada di bawah angka pembanding dimaksud di atas, kecuali
Terlapor IV yang menunjukkan ROI sebesar 20,48% yang menurut Terlapor IV
merupakan akibat dari peningkatan efisiensi. Maka dari itu, Majelis Komisi masih
menilai keuntungan para terlapor sebagai wajar dan oleh karenanya keuntungan para
terlapor tidak termasuk keuntungan yang berlebih atau tidak wajar.17
Terkait dengan rapat-rapat yang diselenggarakan oleh ASI LHPL menyatakan
rapat-rapat ASI merupakan fasilitas untuk mengatur pasokan dan menentukan harga
yang dibuktikan dengan adanya surat undangan rapat, daftar hadir dan notulensi rapat
ASI Bidang Ekonomi dan Bisnis yang dihadiri oleh wakil dari Pemerintah yaitu dari
Kementerian Perindustrian (Sebelumnya Departemen Perindustrian) dan Kementerian
Perdagangan (Sebelumnya Departemen Perdagangan), yang secara rutin
mengagendakan:
a. Evaluasi mengenai distribusi semen disetiap daerah pemasaran
berkaitan dengan masalah kelancaran pasokan dan stok;
b. Konfirmasi realisasi pengadaan semen per pabrik danper daerah;
c. Kinerja masing-masing unit pabrik;
d. Evaluasi pengadaan semen;
16
Putusan, hal. 413.
17
Putusan, hal. 414.
60
e. Proyeksi sementara pengadaan semen nasional.18
Majelis Komisi kemudian menilai bahwa alat bukti dalam hal ini surat
undangan rapat, daftar hadir dan notulensi rapat ASI merupakan alat bukti yang sah
untuk membuktikan adanya perjanjian di antara para Terlapor untuk mengatur harga
dan pasokan. Ini juga diperkuat dalam pendapat atau pembelaan para Terlapor yang
tidak membantah adanya rapat rutin ASI dan penyampaian data realisasi produksi
dalam rapat-rapat tersebut.19
Menurut Majelis Komisi, kewajiban pelaku usaha untuk memberikan
informasi kepada pemerintah terkait dengan kegiatan usahanya sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984
seharusnya disampaikan langsung kepada Pemerintah tanpa melalui ASI.
Majelis Komisi menyatakan tidak menemukan adanya bukti dokumen
mengenai pengaturan produksi maupun harga secara eksplisit yang dilakukan oleh
para Terlapor. Akan tetapi, dengan diketahuinya mengenai informasi data realisasi
produksi masing-masing Terlapor sebagaimana dapat dibuktikan berdasarkan notulen
rapat ASI dan Laporan Tahunan ASI, maka menurut Majelis Komisi secara
individual, masing-masing Terlapor dengan difasilitasi oleh ASI, dapat mengatur
harga, produksi dan pemasaran dengan mempertimbangkan data realisasi produksi
18
Putusan, hal. 414-415.
19
Putusan, hal. 418.
61
dan harga per Propinsi dari Terlapor lain yang merupakan pesaingnya dan
Pemerintah, sehingga berdampak pada terjadinya perilaku yang terkoordinasi.20
Tetapi Majelis Komisi menilai, bahwa berdasarkan pertimbangan terhadap
harga paralel (price parallelism), harga yang eksesif (excessive price), pengaturan
produksi dan pemasaran, dan keuntungan yang eksesif (excessive profit), tidak cukup
alasan untuk menyatakan terdapat petunjuk adanya kartel. Oleh karena itu, unsur
perjanjian untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran
tidak terpenuhi, dan memutuskan para terlapor, tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan telah melakukan kartel.21
Bersamaan dengan itu Majelis Komisi memberikan beberapa rekomendasi
kepada pemerintah yakni;
a. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membubarkan ASI
karena dapat memfasilitasi terjadinya pengaturan harga, produksi dan
pemasaran dalam industri semen dan selanjutnya tugas fungsi ASI
dapat ditangani oleh Pemerintah;
b. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk menetapkan Harga
Eceran Tertinggi (HET) guna melindungi konsumen;
20
Putusan, hal. 419.
21
Putusan, hal. 423-424
62
c. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk menjaga ketersediaan
pasokan semen di seluruh wilayah Indonesia dengan harga yang
terjangkau;22
22
Putusan, hal. 424.
63
BAB IV
ANALISIS KASUS KARTEL SEMEN INDONESIA 2010
A. Pembuktian perjanjian kartel semen di Indonesia
Dalam membuktikan bahwa telah terjadi perjanjian kartel dalam rezim hukum
persaingan usaha di Indonesia, sebagaimana kita ketahui tidak mengharuskan
terdapatnya perjanjian tertulis. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam pasal 1 angka
7 dikatakan bahwa;
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan
nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Dapat dilihat dari kasus diatas, bahwa kecenderungan untuk melakukan
perjanjian kartel besar kemungkinannya dengan media Asosiasi Semen Indonesia.
Karena sebagaimana disebut dalam Peraturan Komisi nomor 4 tahun 2010 Tentang
penjelasan pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Kolusi diam-diam dapat
terjadi dengan media Asosiasi Industri agar pertemuan antara para anggota kartel
dapat dikamuflasekan sebagai pertemuan yang legal.1
Walaupun tidak ditemukan bukti spesifik yang membuktikan telah terjadi
perjanjian kartel, dengan diketahuinya mengenai informasi data realisasi produksi
masing-masing Terlapor sebagaimana dapat dibuktikan berdasarkan notulen rapat
ASI dan Laporan Tahunan ASI, secara individual, para Terlapor dengan difasilitasi
1 KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, hal.8.
64
oleh ASI, dapat mengatur harga, produksi dan pemasaran dengan mempertimbangkan
data realisasi produksi dan harga per propinsi dari Terlapor lain yang merupakan
pesaingnya dan pemerintah, sehingga berdampak pada terjadinya perilaku yang
terkoordinasi.2
Dalam hukum persaingan usaha, perjanjian yang dilakukan para anggota
kartel dapat dilakukan secara diam-diam atau kolusi implisit, yang mana dibuat suatu
kondisi bahwa seolah-olah telah terjadi pergerakan menuju persamaan harga yang
bergerak secara alami, yang disebut Colander sebagai “just happen” atau kebetulan
saja. 3
Namun memang bukti ini belum cukup karena KPPU harus bisa membuktikan
bahwa para Terlapor secara sengaja telah melakukan Perjanjian kartel. Oleh karena
itu, KPPU melakukan analisa ekonomi terhadap harga paralel (price parallelism),
harga yang eksesif (excessive price), pengaturan produksi dan pemasaran, dan
keuntungan yang eksesif (excessive profit).
Ini merupakan bukti tidak langsung atau bukti situasional
(Indirect/Circumtantial Evidence) dalam membuktikan eksistensi kesepakatan
(meeting of the minds),4 yang mana berdasarkan kesimpulan yang diambil dari
berbagai tindakan atau kondisi sistematis yang dilakukan oleh para kompetitor
2 Putusan, hal. 419.
3David C. Colander, Micro Economics, Sixth Edition,(New York;Mcgraw-Hill/Irwin, 2006)
h., h. 307.
4 Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan Usaha,
Edisi 6, 2011), hal. 132
65
komoditas barang atau jasa tertentu yang menunjukkan keyakinan kuat bahwa telah
terjadi koordinasi di antara mereka.5
Menurut Majelis Komisi yang menilai bukti-bukti diatas, masih kurang cukup
dalam membuktikan telah terjadi perjanjian kartel sebagaimana dugaan awal.
Sehingga Majelis Komisi memutuskan bahwa seluruh pelaku usaha semen yang
tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia tidak terbukti dalam melakukan
perjanjian kartel.
B. Pertimbangan Majelis Komisi dalam putusannya
Diputuskannya para terlapor terbukti melakukan perjanjian kartel semen
menurut Majelis Komisi didasarkan pertimbangan penilaian terhadap harga paralel
(price parallelism), harga yang eksesif (excessive price), pengaturan produksi dan
pemasaran, dan keuntungan yang eksesif (excessive profit), tidak cukup alasan untuk
menyatakan terdapat petunjuk adanya kartel.
Itu artinya Majelis Komisi berkesimpulan bahwa terjadinya beberapa
kesamaan pergerakan harga, yang sebelumnya dijadikan dalil dalam mengindikasikan
telah terjadi kartel, selain bukti absensi dan notulen, bisa merupakan hasil dari proses
pasar yang alamiah atau pertanda bahwa telah terjadi persaingan yang ketat antar para
pelaku usaha.6 Karena itu, bukti yang ada belum cukup untuk membuktikan
terjadinya perjanjian kartel
5 Majalah kompetisi edisi 1 2008
6 Anna Maria Tri Anggraini, Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel
Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4, 2010), hal. 43.
66
C. Metode pembuktian yang digunakan KPPU.
Karakter yang ada dalam proses pembuktian di KPPU termasuk kedalam teori
pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif hal tersebut diperjelas dengan
ketentuan dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 tentang alat bukti.7 Dalam pasal 42
tersebut, disebutkan bahwa alat bukti yang digunakan adalah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk dan keterangan pelaku usaha.
Dari uraian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa KPPU menemukan bukti
surat dan atau dokumen absensi pertemuan dari para terlapor yang tergabung dalam
ASI dimana di sana dimungkinan terjadinya perjanjian kartel. Tetapi, bukti tersebut
masih belum cukup dalam membuktikan telah terjadi perjanjian kartel.
KPPU masih perlu membuktikan bahwa apakah telah terjadi perjanjian kartel
dengan melihat petunjuk dengan melihat harga paralel (price parallelism), harga yang
eksesif (excessive price), pengaturan produksi dan pemasaran, dan keuntungan yang
eksesif (excessive profit), yang mana merupakan efek ke pasar komoditas semen
apabila telah terjadi perjanjian kartel.
Ternyata menurut Majelis Komisi setelah menilai bukti yang ada, tidak cukup
membuktikan telah terjadi kartel. Keputusan yang diambil oleh majelis komisi ini
merupakan keputusan yang tepat dilakukan, sebab dengan tidak ditemukan dua alat
bukti yang sah dan meyakinkan telah terjadi tindakan kartel, berdasarkan teori
7 Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha,
Edisi 6, 2011, h. 131.
67
pembuktian undang-undang secara negatif yang dianut Indonesia, tidak bisa
menetapkan seseorang bersalah.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari segala pemaparan diatas penulis menyimpulkan, bahwa keputusan yang
diambil oleh majelis komisi yang memutuskan para terlapor, tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan telah melakukan kartel. merupakan keputusan yang tepat
dilakukan, sebab dengan tidak ditemukan dua alat bukti yang sah dan meyakinkan
telah terjadi tindakan kartel, berdasarkan teori pembuktian undang-undang secara
negatif yang dianut Indonesia, tidak bisa menetapkan seseorang bersalah.
Akan tetapi, keputusan KPPU memiliki kerancuan, karena disaat KPPU
memutuskan bahwa para pelaku usaha industri semen yang tergabung dalam Asosiasi
Semen Indonesia tidak bersalah, dilain pihak KPPU merekomendasikan kepada
Pemerintah untuk membubarkan ASI dengan alasan dapat memfasilitasi terjadinya
kartel. Ini seakan mencerminkan sesungguhnya KPPU masih menduga bahwa telah
terjadi Kartel yang dilakukan oleh ASI akan tetapi KPPU tidak berhasil menemukan
buktinya, sehingga menimbulkan kesan bahwa KPPU kurang kuat atau cenderung
lemah dalam menegakan hukum persaingan usaha khususnya mengenai kartel.
69
B. Saran
1. keputusan KPPU memiliki kerancuan, karena disaat KPPU memutuskan bahwa
para pelaku usaha industri semen yang tergabung dalam Asosiasi Semen
Indonesia tidak bersalah, dilain pihak KPPU merekomendasikan kepada
Pemerintah untuk membubarkan ASI dengan alasan dapat memfasilitasi
terjadinya kartel. Ini seakan mencerminkan sesungguhnya KPPU masih menduga
bahwa telah terjadi Kartel yang dilakukan oleh ASI akan tetapi KPPU tidak
berhasil menemukan buktinya, sehingga menimbulkan kesan bahwa KPPU
kurang kuat atau cenderung lemah dalam menegakan hukum persaingan usaha
khususnya mengenai kartel
2. seharusnya KPPU sebagai lembaga negara yang diberi kewenangan untuk
mengadili dan memutuskan perkara persaingan usaha, haruslah
mengkonstruksikan Putusan dengan jelas tanpa menimbulkan penafsiran
bermacam-macam yang dapat menyulitkan para pihak nantinya dimasa yang akan
datang. Akan tetapi, kalau seandainya benar bahwa sesungguhnya KPPU masih
menduga telah terjadi perjanjian kartel diantara perusahaan semen tersebut tapi
tidak dapat menemukan bukti yang cukup, maka berarti perlu ada penguatan
KPPU dalam penyidikan untuk penggalian bukti-bukti lebih dalam lagi.
70
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Ahmadi, Jaenal Arifin, Fahmi M. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Ali, Zainuddin. Metode Penelilitian Hukum, Cet.Ke-4. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Al-Qardhawi, Yusuf, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat. Penerjemah Ferdian
Hasmand. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014.
Azwar Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
B.A, Ganner. Black’s Law Dictionar. St Paul Minn: West Group, 1999.
C. Colander, David. Micro Economics, Sixth Edition. New York: Mcgraw-Hill/Irwin,
2006.
Fahmi Lubis, Andi. Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks.
Jakarta: GTZ, 2009.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet.Ke-2.
Malang: Bayumedia Publishing, 2006.
J. Rachbini, Didik. Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi Pembanguna. Jakarta:
Granit, 2004.
Kamal Rokan, Mustafa. Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di
Indonesia. Jakarta: RajawaliPers, 2012.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum, cetakan keenam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010.
Meyliana, Devi. Hukum Persaingan Usaha; Studi Konsep Pembuktian Terhadap
Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha. Malang: Setara
Press, 2013.
71
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Rajawali Press,
2010.
O.S. Hiariej, Eddy. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga, 2012.
S Silk, Leonard. Prindsip-Prinsip dan Masalah-Masalah Ilmu Ekonomi Modern.
Jakarta: PT Gunung Agung, 1970.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3. Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1986.
Tri Anggraini, A.M. Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum
Persaingan Usaha Dalam Masalah-Masalah Hukum Kontemporer, Dalam
Masalah-Masalah Hukum Ekonomi Kontemporer,editor Ridwan Khairandy.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.
Usman, Rachmadi. Hukum Acara Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta; Sinar
Grafika, 2013.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN dan AL-QURAN
KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Putusan Nomor: 01/KPPU-I/2010.
Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010
tentang Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Putusan KPPU
Q.S. Al Baqarah ayat 188.
Q.S. An Nisa, ayat 29.
Shahih Muslim Hadits Nomor 1605.
Musnad Ahmad Hadits Nomor 8617.
72
C. SKRIPSI dan JURNAL
J. Rachbini, Didik. Cartel and Merger In Control In Indonesia,Jurnal Hukum
Bisnis,(volume 19 mei-juni 2002), hal. 11-12 /4.Khemani R Shyam.
A. Junaidi. “Pembuktian Kartel Dalam UU No. 5/1999” Kompetisi, 11 Tahun 2008.
Maria Tri Anggraini, Anna. Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel
Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4,
2010.
Nasution dan RetnoWiranti, Farid. Kartel dan Problematikanya, Majalah Kompetisi.
Jakarta, 2008.
Sukarmi, “Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha”, JurnalPersaingan
Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha edisi 6 KPPU (Desember 2011),
hal. 133.
Sumantri, Marshall. DugaanPraktekKartel yang dilakukan penyedia jasa telepon
selular dalam penetapan tariff SMS (Short Message Service) ditinjau dari
Hukum Persaingan Usaha. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 2009.
D. INTERNET
http://www.tempo.co/read/news/2010/04/22/090242441/KPPU-Duga-Ada-Kartel
Harga-Semen-Indonesia, diakses pada tanggal 17 april 2013
http://finance.detik.com/read/2010/01/14/165833/1278631/4/3/kppu-8-perusahaan-
semen-diduga-lakukan-kartel, diakses pada tanggal 1 Juni 2014
http://www.surabayapagi.com/index.php?read=Semen-Mahal,-Indikasi-Kartel-
Menguat;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296281b4360d204dc7d8b0fb1ddb1070d8
9a, diakses pada tanggal 1 Juni 2014
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/09/04/08/42586-kppu-
sinyalir-praktek-kartel-industri-semen, diakses pada tanggal 17 april 2013
LAMPIRAN
SALINAN
PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
NOMOR 4 TAHUN 2010
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 11 TENTANG KARTEL BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN
PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, dipandang perlu menetapkan
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman
Pelaksanaan Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817);
2. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi
Pengawas Persaingan Usaha;
3. Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2006.
Memperhatikan
:
Hasil Rapat Komisi tanggal 7 April 2010.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN KOMISI TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 11 TENTANG
KARTEL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 11 tentang Kartel dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tdak Sehat, yang selanjutnya disebut Pedoman, adalah
dokumen pedoman pelaksanaan Pasal 11.
2. Komisi adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Pasal 2
1. Pedoman merupakan penjabaran prinsip dasar, dan contoh-contoh
pelaksanaan ketentuan Pasal 11.
2. Pedoman merupakan pedoman bagi :
a. Pelaku usaha dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam memahami
aketentuan Pasal 11 tentang Kartel dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999;
b. Komisi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana
bdimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 jo. Pasal 4 dan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 75
Tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Pasal 3
1. Pedoman adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
2. Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan standar minimal
bagi Komisi dalam melaksanakan tugasnya, yang menjadi satu kesatuan dan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini, serta mengikat semua pihak.
Pasal 4
Putusan dan kebijakan berkaitan dengan Pasal 11, yang diputuskan dan ditetapkan
oleh Komisi sebelum dikeluarkannya Peraturan ini, dinyatakan tetap berlaku.
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 9 April
2010
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN
USAHA
KETUA,
Prof. Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E, M.S.
BAB I
LATAR BELAKANG
Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang
sehat, dengan mencegah dan memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang
anti-persaingan. Persaingan merupakan sesuatu yang baik bagi masyarakat maupun
bagi perkembangan perekonomian suatu bangsa karena berbagai alasan. Salah satu di
antaranya adalah dapat mendorong turunnya harga suatu barang atau jasa, sehingga
menguntungkan konsumen. Di samping itu, persaingan juga dapat mendorong
efisiensi produksi dan alokasi serta mendorong para pelaku usaha berlomba
melakukan inovasi baik dalam infrastruktur maupun produknya agar dapat
memenangkan persaingan atau setidak-tidaknya dapat tetap bertahan di pasar.
Sebaliknya di sisi lain, persaingan juga akan memberikan keuntungan yang semakin
berkurang bagi produsen, karena mereka bersaing menurunkan harga untuk
meningkatkan pangsa pasarnya. Hal yang paling mengkhawatirkan bagi pelaku usaha
adalah apabila seluruh pelaku usaha menurunkan harganya, sehingga mereka
mengalami penurunan keuntungan secara keseluruhan. Agar para pelaku usaha tetap
dapat mempertahankan keuntungan, maka mereka berusaha untuk mengadakan
kesepakatan dengan cara membentuk suatu kartel.
Kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk
mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan
harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan diatas tingkat
keuntungan yang wajar. Kartel akan memaksa konsumen membayar lebih mahal
suatu produk, baik itu barang mewah maupun barang-barang yang biasa diperlukan
masyarakat seperti obat-obatan dan vitamin. Kartel akan merugikan perekonomian,
karena para pelaku usaha anggota kartel akan setuju untuk melakukan kegiatan yang
berdampak pada pengendalian harga, seperti pembatasan jumlah produksi, yang akan
menyebabkan inefisiensi alokasi. Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi dalam
produksi ketika mereka melindungi pabrik yang tidak efisien, sehingga menaikkan
biaya rata-rata produksi suatu barang atau jasa dalam suatu industri.
Kartel menggunakan berbagai cara untuk mengkoordinasikan kegiatan
mereka, seperti melalui pengaturan produksi, penetapan harga secara horizontal,
kolusi tender, pembagian wilayah, pembagian konsumen secara non-teritorial, dan
pembagian pangsa pasar. Akan tetapi perlu pula kita sadari bahwa kartel yang efektif
tidaklah mudah untuk dicapai. Bagaimanapun terdapat kecenderungan para pelaku
usaha akan selalu berusaha memaksimalkan keuntungan perusahaannya masing-
masing.
Salah satu syarat terjadinya kartel adalah harus ada perjanjian atau kolusi
antara pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi dalam kartel, yaitu:
a. Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan
mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen
perjanjian, data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-
kebijakan tertulis, data penjualan dan data-data lainnya.
b. Kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi
secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia. Biasanya
yang dipakai sebagai media adalah asosiasi industri, sehingga pertemuan-
pertemuan anggota kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-pertemuan yang
legal seperti pertemuan asosiasi. Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit
untuk dideteksi oleh penegak hukum. Namun pengalaman dari berbagai
negara membuktikan bahwa setidaknya 30% kartel adalah melibatkan
asosiasi.
Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa karakteristik:
1. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha.
2. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat. Para senior
eksekutif inilah biasanya yang menghadiri pertemuan-pertemuan dan
membuat keputusan.
3. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan mereka.
4. Melakukan price fixing atau penetapan harga. Agar penetapan harga berjalan
efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau
alokasi produksi. Biasanya kartel akan menetapkan pengurangan produksi.
5. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian.
Apabila tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan terhadap
penyelewengan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada
anggota kartel lainnya.
6. Adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel. Bahkan jika
memungkinkan dapat menyelenggarakan audit dengan menggunakan data
laporan produksi dan penjualan pada periode tertentu. Auditor akan membuat
laporan produksi dan penjualan setiap anggota kartel dan kemudian
membagikan hasil audit tersebut kepada seluruh anggota kartel
7. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya lebih
besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau
mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan usahanya. Sistem
kompensasi ini tentu saja akan berhasil apabila para pelaku usaha akan
mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan apabila mereka
melakukan persaingan. Hal ini akan membuat kepatuhan anggota kepada
keputusan-keputusan kartel akan lebih terjamin.
Terdapat beberapa persyaratan agar suatu kartel dapat berjalan efektif, diantaranya:
a. Jumlah pelaku usaha. Semakin banyak pelaku usaha di pasar, semakin sulit
untuk terbentuknya suatu kartel. Kartel akan mudah dibentuk dan berjalan
lebih efektif apabila jumlah pelaku usaha sedikit atau pasar terkonsentrasi.
b. Produk di pasar bersifat homogen. Karena produk homogen, maka lebih
mudah untuk mencapai kesepakatan mengenai harga.
c. Elastisitas terhadap permintaan barang. Permintaan akan produk tersebut tidak
berfluktuasi. Apabila permintaan sangat fluktuatif, maka akan sulit untuk
mencapai kesepakatan baik mengenai jumlah produksi maupun harga.
d. Pencegahan masuknya pelaku usaha baru ke pasar.
e. Tindakan-tindakan anggota kartel mudah untuk diamati. Seperti telah
dijelaskan, bahwa dalam suatu kartel terdapat kecenderungan bagi anggotanya
untuk melakukan kecurangan. Apabila jumlah pelaku usaha tidak terlalu
banyak, maka mudah untuk diawasi.
f. Penyesuaian terhadap perubahan pasar dapat segera dilakukan. Kartel
membutuhkan komitmen dari anggota-anggotanya untuk menjalankan
kesepakatan kartel sesuai dengan permintaan dan penawaran di pasar. Kartel
akan semakin efektif jika dapat dengan cepat merespon kondisi pasar dan
membuat kesepakatan kartel baru jika diperlukan.
g. Investasi yang besar. Apabila suatu industri untuk masuk ke pasarnya
membutuhkan investasi yang besar, maka tidak akan banyak pelaku usaha
yang akan masuk ke pasar. Oleh karena itu, kartel diantara pelaku usaha akan
lebih mudah dilakukan.
Selain daripada itu, agar suatu kartel bisa efektif, maka para anggota kartel harus
memenuhi syarat-syarat, diantaranya adalah:
a. Anggota kartel harus setuju untuk mengurangi produksi barang dan kemudian
menaikkan harganya atau membagi wilayah. Perjanjian kartel yang efektif
dapat mengakibatkan kartel itu bertindak sebagai monopolis yang dapat
menaikkan dan atau menurunkan produksi dan atau harga tanpa takut pangsa
pasar dan keuntungannya berkurang.
b. Oleh karena kartel rentan terhadap kecurangan dari anggota kartel untuk
menjual lebih banyak dari yang disepakati atau menjual lebih murah dari
harga yang telah ditetapkan dalam kartel, maka diperlukan monitoring atau
mekanisme hukuman bagi anggota kartel yang melakukan kecurangan.
c. Karena kartel pada prinsipnya melanggar undang-undang, maka perlu
dilakukan langkah-langkah untuk mendorong anggota kartel untuk bekerja
secara rahasia guna menghindari terungkapnya atau diketahuinya kartel oleh
otoritas pengawas persaingan usaha.
d. Agar kelangsungan kartel dapat terjaga, maka para anggota kartel akan
berupaya mencegah masuknya pelaku usaha baru yang tertarik untuk ikut
menikmati harga kartel.
Selanjutnya terdapat juga beberapa kondisi bagi para pelaku usaha melakukan kartel
antara lain:
a. Dengan melakukan kartel, para pelaku usaha mampu menaikkan harga.
Apabila permintaan tidak elastis, maka akan menyebabkan konsumen tidak
mudah pindah ke produk atau jasa lain, hal ini akan menyebabkan harga suatu
produk atau jasa akan lebih tinggi. Begitu pula, apabila terdapat kondisi
dimana sulit bagi barang substitusi masuk ke pasar, karena tidak ada barang
atau jasa lain di pasar, maka harga tetap akan tinggi.
b. Adanya kondisi dimana kecil kemungkinan kartel akan terungkap dan
kalaupun diketahui, maka hukuman yang akan dijatuhkan relatif rendah,
sehingga para anggota kartel masih merasa untung.
c. Biaya yang dikeluarkan untuk terjadinya kartel dan biaya untuk memelihara
kartel lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan yang diharapkan.
Walaupun tidak diketahui berapa besar kerugian konsumen sebagai akibat adanya
kartel, namun kecenderungan yang terjadi memperlihatkan, bahwa kelebihan harga
karena kartel cukup besar. Hal ini karena harga dari kesepakatan perjanjian kartel
merupakan harga yang lebih tinggi dari harga yang tercipta karena persaingan.
Pengalaman di berbagai negara, memperlihatkan bahwa harga kartel bisa mencapai
400% (empat ratus persen diatas harga pasar). Oleh karenanya tidak mengherankan
bahwa kerugian akibat kartel dapat mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah.
Lebih lanjut lagi, sebenarnya kartel bukan hanya merugikan konsumen, tetapi
juga merugikan perkembangan perekonomian suatu bangsa, karena kartel
menyebabkan terjadinya inefisiensi sumber-sumber daya baik itu sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya.
Penanganan kartel oleh lembaga persaingan usaha di berbagai belahan dunia,
berkembang dengan cepat seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan kartel
yang dihadapi. Keberadaan lembaga persaingan telah disiasati oleh berbagai pelaku
usaha untuk menghindarkan diri dari bukti-bukti kartel seperti pertemuan rutin,
perjanjian untuk melakukan pengaturan dan hal-hal yang cenderung menjadi bukti
bagi penegak hukum persaingan.
Dalam hal inilah maka berkembang model pembuktian kartel dengan
menggunakan indirect evidence, yang antara lain dilakukan melalui penggunaan
berbagai hasil analisis ekonomi yang bisa membuktikan adanya korelasi antar satu
fakta ekonomi dengan fakta ekonomi lainnya, sehingga akhirnya menjadi sebuah
bukti kartel yang utuh dengan identifikasi sejumlah kerugian bagi masyarakat di
dalamnya.
Melihat dampak praktek kartel yang dapat menghalangi terciptanya persaingan
usaha yang sehat, maka diperlukan adanya suatu pedoman yang mampu memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang larangan kartel sebagaimana dimaksud dalam
UU Nomor 5 tahun 1999.
BAB II
TUJUAN DAN CAKUPAN PEDOMAN
2.1. Tujuan Pembuatan Pedoman
Pembuatan pedoman ini adalah merupakan salah satu tugas dari Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sebagai suatu upaya untuk memberikan
pengertian dan pemahaman kepada masyarakat. Selain itu, pedoman ini juga
merupakan upaya dari KPPU untuk menyampaikan pandangannya tentang
pengertian kartel sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 11 UU Nomor 5 tahun
1999. Melalui pedoman ini, diharapkan akan lebih menjamin terciptanya
kepastian hukum dalam bidang Hukum Persaingan Usaha.
Dengan demikian, Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Pasal 11 tentang Kartel bertujuan untuk:
1. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang Kartel sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999.
2. Memberikan dasar dan pemahaman yang jelas dalam pelaksanaan pasal 11
UU Nomor 5 Tahun 1999 sehingga tidak ada penafsiran lain selain yang
diuraikan dalam pedoman ini.
3. Digunakan oleh semua pihak sebagai landasan berperilaku untuk
menciptakan kondisi persaingan usaha yang sehat dan tumbuh secara wajar.
4. Metode pendekatan yang digunakan oleh KPPU dalam memeriksa dan
melaksanakan penegakan hukum yang mengatur tentang kartel.
5. Memberikan gambaran tentang dampak-dampak kartel
Istilah kartel sebenarnya merupakan istilah umum yang dipakai untuk setiap
kesepakatan atau kolusi atau konspirasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha.
Pemakaian istilah kartel juga dibagi dalam kartel yang utama dan kartel lainnya.
Kartel yang utama terdiri dari kartel mengenai penetapan harga, kartel
pembagian wilayah, persekongkolan tender dan pembagian konsumen. Suatu
kartel dianggap sangat berbahaya karena para pelakunya sepakat melakukan
konspirasi mengenai hal-hal yang sangat pokok dalam suatu transaksi bisnis yang
meliputi harga, wilayah dan konsumen. Kartel juga sangat berbahaya karena
dapat berperilaku seperti monopolis yang dapat menentukan tingkat harga yang
sangat tinggi atau jumlah produksi, sehingga akan menyebabkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kartel akan menyebabkan
kerugian bagi konsumen karena harga akan mahal dan terbatasnya barang atau
jasa di pasar.
UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat telah mengatur secara spesifik dalam pasal-pasal tersendiri
mengenai penetapan harga, persekongkolan tender, pembagian wilayah atau
konsumen atau pasar. Oleh karena itu yang dimaksud dengan kartel dalam Pasal
11 UU Nomor 5 Tahun 1999 haruslah tidak termasuk yang telah diatur dalam
pasal-pasal lainnya dalam UU tersebut. Pedoman kartel ini akan menekankan
pada pelarangan kartel yang menekankan pada kesepakatan untuk mengatur
produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi harga.
Kartel di berbagai negara dianggap sebagai tindakan yang hanya akan merugikan
konsumen, karenanya penegakan hukumnya dengan menerapkan prinsip per se
illegal. Sedangkan pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999, mengadopsi prinsip rule of
reason. Perumusan kartel sebagai suatu yang diperiksa menurut prinsip rule of
reason sudah sesuai dengan perkembangan penegakan hukum persaingan yang
cenderung untuk melihat dan memeriksa alasan-alasan dari pelaku usaha
melakukan suatu perbuatan yang dianggap melanggar Hukum Persaingan Usaha.
Dengan demikian KPPU harus dapat membuktikan bahwa alasan-alasan dari
pelaku usaha tersebut tidak dapat diterima (unreasonable).
Alasan-alasan dari pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang menghambat
perdagangan dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat diterima (reasonable)
atau tidak dapat diterima (unreasobale restraint) apabila:
1. Kegiatan para pelaku usaha menunjukkan tanda-tanda adanya
pengurangan produksi atau naiknya harga. Apabila terdapat tanda-tanda
tersebut, maka perlu diperiksa lebih lanjut;
2. Apakah kegiatan para pelaku usaha bersifat naked (langsung) atau
ancillary (tambahan). Kalau kegiatan tersebut bersifat naked, maka
merupakan perbuatan yang melawan hukum. Sedangkan kalau ancillary,
maka diperkenankan.
3. Para pelaku usaha mempunyai market power. Apabila para pelaku usaha
mempunyai market power, maka terdapat kemungkinan mereka
menyalahgunakan kekuatan tersebut.
4. Apakah terdapat hambatan masuk ke pasar yang tinggi. Walaupun para
pelaku usaha mempunyai market power, akan tetapi kalau tidak ada
hambatan masuk ke pasar yang berarti, maka akan mudah bagi pelaku
usaha baru untuk masuk ke pasar.
5. Perbuatan para pelaku usaha apakah menciptakan efisiensi yang
substansial dan menciptakan peningkatan kualitas produk atau servis atau
adanya innovasi. Apabila alasan-alasan ini tidak terbukti, maka perbuatan
tersebut adalah ilegal.
6. Perbuatan-perbuatan para pelaku usaha tersebut memang diperlukan
untuk mencapai efisiensi dan inovasi. Artinya harus dibuktikan apakah
perbuatan para pelaku usaha tersebut adalah alternatif terbaik untuk
mencapai tujuan tersebut.
7. Perlu dilakukan adanya ”balancing test” artinya perlu diukur keuntungan-
keuntungan yang diperoleh dari perbuatan para pelaku usaha
dibandingkan dengan akibat-akibat negatifnya. Apabila keuntungan yang
diperoleh lebih besar dari kerugiannya, maka perbuatan tersebut
dibenarkan.
Jadi dalam memeriksa suatu perkara secara rule of reason, maka perlu
ditempuh langkah-langkah tersebut sebelum menyatakan suatu perbuatan
tersebut sebagai sesuatu yang dapat diterima (reasonable restraint) atau tidak
dapat diterima (unreasonable restraint).
2.2. Cakupan Pedoman
Pedoman ini akan menjelaskan prinsip-prinsip umum dan standar-standar dasar
yang akan digunakan oleh KPPU dalam melakukan pemeriksaan dan analisa
terhadap suatu kartel sebagaimana diatur dalam pasal 11 UU Nomor 5 Tahun
1999.
Pedoman ini harus dilihat sebagai penjelasan yang bersifat umum dan lebih
difokuskan pada batasan-batasan ketentuan yang dianggap melanggar prinsip-
prinsip Hukum Persaingan Usaha, sehingga dalam prakteknya, penerapan
pedoman ini akan disesuaikan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan
kasus per kasus. Ketentuan dalam pedoman ini juga harus ditinjau secara kritis
dan konstruktif, terutama penerapannya dalam pemeriksaan suatu kasus dan
bukti-bukti yang ada.
Sistematika pedoman ini mencakup:
BAB I : Latar Belakang
Bab ini menjelaskan mengenai kartel pada umumnya dan hal-hal yang
melatarbelakangi terjadinya kartel, serta akibat kartel bagi perkembangan
ekonomi dan masyarakat.
BAB II : Tujuan dan Cakupan Pedoman
Bab ini menjelaskan tentang tujuan pembuatan pedoman dan hal-hal yang
tercakup dalam pedoman
BAB III : Pasal Terkait dan Larangan Kartel
Bab ini menjelaskan tentang pengertian dan cakupan kartel menurut UU Nomor
5 Tahun 1999, penjabaran unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 11 serta pasal-
pasal lain dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 yang berkaitan dengan Kartel.
BAB IV : Pengaturan Kartel dan Contoh Kasus
Bab ini menjelaskan konsep dari kartel, indikasi, dampak dari kartel dan hal hal
yang perlu diperhatikan dalam menganalisa adanya kartel. Selanjutnya untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas, maka akan dijelaskan pula beberapa
contoh kasus.
BAB V : Aturan Sanksi
Bab ini menjelaskan sanksi-sanksi apa saja yang dapat dijatuhkan oleh KPPU
kepada para pelaku kartel.
BAB VI : Penutup
BAB III
PASAL TERKAIT DAN LARANGAN KARTEL
3.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kartel dan Penjabarannya
Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
Apabila kita teliti perumusan pasal ini, maka yang dilarang adalah perjanjian di
antara para pesaing yang berisi pengaturan terhadap produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa yang ditujukan untuk mempengaruhi harga, yang
dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Perjanjian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 adalah perbuatan satu
atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha
lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kartel merupakan
suatu perbuatan yang melawan hukum, maka adalah wajar apabila para pelaku
kartel akan berusaha agar tidak mudah untuk dideteksi oleh penegak hukum.
Oleh karenanya kesepakatan-kesepakatan atau kolusi antar pelaku usaha ini
jarang berbentuk tertulis agar tidak mudah untuk terdeteksi dan tidak terdapat
bukti-bukti tertulis.
Dilihat dari perumusan pasal 11 yang menganut rule of reason, maka ditafsirkan
bahwa dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian adanya pelanggaran
terhadap ketentuan ini, harus diperiksa alasan-alasan pelaku usaha dan terlebih
dahulu dibuktikan telah terjadi praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat. Dengan kata lain, dalam memeriksa dugaan adanya kartel akan dilihat
alasan-alasan dari para pelaku usaha yang melakukan perbuatan kartel tersebut
dan akibat dari perjanjian tersebut terhadap persaingan usaha. Dengan demikian,
maka sangat diperlukan adanya pengkajian yang mendalam mengenai alasan
kesepakatan para pelaku usaha dimaksud dibandingkan dengan kerugian ataupun
hal-hal negatif kartel baik bagi persaingan usaha.
3.2. Penjabaran Unsur
Pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 berbunyi:
”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya,
yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat. ”
Adapun penjabaran unsur-unsur yang ada dalam pasal 11 UU Nomor 5 tahun
1999 adalah sebagai berikut:
1. Unsur Pelaku Usaha
Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 adalah setiap orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dalam
kartel, pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian ini harus lebih dari dua
pelaku usaha. Agar kartel sukses, kartel membutuhkan keterlibatan sebagian
besar pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan.
2. Unsur Perjanjian
Perjanjian menurut pasal 1 angka 7 adalah suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
3. Unsur Pelaku Usaha Pesaingnya.
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada di dalam satu
pasar bersangkutan. Definisi pasar bersangkutan, dapat dilihat dalam
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 tahun 2009, tanggal
1 Juli 2009 mengenai Pedoman Pasal 1 angka 10 tentang Pasar Bersangkutan.
4. Unsur Bermaksud Mempengaruhi Harga
Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11 bahwa suatu kartel dimaksudkan
untuk mempengaruhi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut anggota kartel
setuju mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
5. Unsur Mengatur Produksi dan atau Pemasaran
Mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi
kartel secara keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini bisa lebih
besar atau lebih kecil dari kapasitas produksi perusahaan atau permintaan
akan barang atau jasa yang bersangkutan. Sedangkan mengatur pemasaran
berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah dimana para
anggota menjual produksinya.
6. Unsur Barang
Barang menurut pasal 1 angka 16 adalah setiap benda baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen
atau pelaku usaha.
7. Unsur Jasa
Jasa menurut pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
8. Unsur Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
Praktek monopoli menurut pasal 1 angka 2 adalah pemusatan kekuatan
ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan kartel, maka produksi
dan pemasaran atas barang dan atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel.
Karena tujuan akhir dari kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan yang
besar bagi anggota kartel, maka hal ini akan menyebabkan kerugian bagi
kepentingan umum.
9. Unsur Dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah
persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur. Kartel
adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para pelaku usaha. Oleh karena itu
segala manfaat kartel hanya ditujukan untuk kepentingan para anggotanya
saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini dilakukan secara tidak sehat dan
tidak jujur. Dalam hal ini misalnya dengan mengurangi produksi atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha, misalnya dengan
penetapan harga atau pembagian wilayah.
3.3. Ketentuan Lain yang Relevan
Ketentuan mengenai larangan kartel dapat juga ditemukan dalam pasal-pasal lain
yang ada dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:
1. Pasal 5 mengenai penetapan harga yang berbunyi:
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha 1.
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan
yang sama.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau.
suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Sekilas pasal ini memiliki kesamaan dengan pasal 11 yang mengatur
mengenai kartel, perbedaan antara pasal 11 dengan pasal 5 adalah dalam pasal
5, pelaku usaha sepakat untuk menetapkan harga. Sedangkan pada kartel yang
disepakati oleh anggota adalah mempengaruhi harga dengan jalan mengatur
produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Jadi pada kartel para pelaku
sepakat mengenai jumlah produksi dan atau pemasaran barang atau jasa, yang
melalui kesepakatan ini akan berpengaruh terhadap harga barang atau jasa
yang mereka produksi.
2. Pasal 7 yang berbunyi :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Perbedaan antara pasal 7 dengan pasal 11 adalah :
Pasal 7 mensyaratkan adanya penetapan harga dibawah harga pasar, 1.
sedangkan pasal 11 terdapat kesepakatan mengenai jumlah produksi dan
pemasaran barang atau jasa.
Ketentuan dalam pasal 7 bertujuan untuk mematikan pesaing atau 2.
mengurangi persaingan.
3. Pasal 9 mengenai pembagian wilayah yang berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap
barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Rumusan pasal 9 ini memiliki persamaan dengan pasal 11. Namun tujuan
perjanjian dalam pasal 9 adalah membagi wilayah pemasaran atau alokasi
pasar terhadap barang atau jasa. Pasal 9 tidak mensyaratkan adanya
kesepakatan produksi barang dan jasa sebagaimana disyaratkan dalam pasal
11.
4. Pasal 10 mengenai Pemboikotan yang berbunyi:
1. “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan
usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar
negeri.”
2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari
pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap
barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
Apabila kita perhatikan pasal 10 ini sekilas sepertinya tidak terdapat
kesamaan dengan pasal 11. Namun, baik pasal 10 maupun pasal 11 dapat
mempengaruhi jumlah barang yang beredar di pasar. Selain itu, keduanya juga
dapat mengakibatkan kerugian bagi konsumen, karena baik melalui kartel
maupun melalui pemboikotan selain akan mengakibatkan berkurangnya
barang atau jasa di pasar juga dapat mengakibatkan naiknya harga. Perbedaan
di antara keduanya adalah sarana yang digunakan, dalam kartel pelaku usaha
sepakat untuk mengatur produksi, sedangkan dalam pemboikotan pelaku
usaha sepakat untuk menghambat pelaku usaha lain, yang pada akhirnya juga
akan mengakibatkan terhambatnya produksi barang atau jasa.
5. Pasal 12 mengenai Trust yang berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya,
yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.”
Perbedaan Trust dengan Kartel adalah bahwa perjanjian dalam Trust adalah
membentuk suatu gabungan perusahaan dengan tetap menjaga kelangsungan
perusahaan yang menjadi anggota Trust. Sedangkan dalam kartel tidak terjadi
gabungan perusahaan, hanya sepakat untuk melakukan koordinasi atau kolusi.
6. Pasal 22 mengenai persekongkolan yang berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan
atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.”
Dalam literatur hukum persaingan di berbagai negara, persekongkolan tender
merupakan salah satu bentuk kartel. Namun jika dibandingkan dengan
rumusan pasal 11, maka pasal 22 ini tidak mempunyai kesamaan.
Persekongkolan dalam pasal 22 adalah untuk menentukan pemenang tender,
sedangkan persekongkolan atau kolusi dalam pasal 11 adalah bertujuan
mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi atau pemasaran
barang atau jasa. Dalam hal ini persamaan esensial antara kedua pasal ini
hanya terletak pada adanya perjanjian atau kesepakatan horizontal diantara
para pelaku usaha pesaing yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha yang tidak sehat.
7. Pasal 24 mengenai Persekongkolan yang berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya
dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di
pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun
ketepatan waktu yang dipersyaratkan.”
Pasal 24 ini juga memiliki kesamaan dengan pasal 11, namun perbedaannya
adalah persekongkolan dalam pasal 24 bertujuan menghambat produksi
barang atau jasa pelaku usaha pesaingnya. Namun perbuatan dalam kedua
pasal ini sama-sama dapat menyebabkan diaturnya jumlah barang atau jasa
yang ada di pasar.
BAB IV
PENGATURAN KARTEL DAN CONTOH KASUS
4.1. Konsep dan Definisi Kartel
Suatu kartel terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam suatu industri
tertentu yang seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju untuk
melakukan koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian
wilayah, kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan lainya, sehingga
mereka dapat menaikkan harga dan memperoleh keuntungan di atas harga
yang kompetitif.
Pada umumnya kartel dilakukan secara diam-diam, Namun demikian tidak
tertutup kemungkinan suatu kartel dilakukan secara terang-terangan seperti
yang dilakukan oleh OPEC.
4.2. Indikasi Kartel
Sebagai lembaga yang diserahi tugas untuk mengawasi jalannya persaingan
usaha, KPPU mempunyai tanggung jawab untuk mencegah dan menindak
perilaku kartel di Indonesia. KPPU sebagaimana dirumuskan dalam pasal 36
UU Nomor 5 tahun 1999, mempunyai kewenangan melakukan penegakan
hukum perkara kartel baik berdasarkan atas inisiatif KPPU sendiri atau atas
dasar laporan dari masyarakat.
4.2.1. Indikator Awal Identifikasi Kartel
Untuk memenuhi persyaratan bukti awal yang cukup, KPPU dapat
memeriksa beberapa indikator awal yang dapat disimpulkan sebagai
faktor pendorong terbentuknya kartel. Secara teori, ada beberapa
faktor yang dapat mendorong atau memfasilitasi terjadinya kartel baik
faktor struktural maupun perilaku. Sebagian atau seluruh faktor ini
dapat digunakan KPPU sebagai indikator awal dalam melakukan
identifikasi eksistensi sebuah kartel pada sektor bisnis tertentu.
Beberapa diantara faktor-faktor tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Faktor struktural:
a.1. Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan
Secara prinsip, kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan tidak
banyak. Dalam hal ini indikator tingkat konsentrasi pasar seperti
misalnya CR4 ( jumlah pangsa pasar empat perusahaan terbesar) dan
HHI (Herfindahl-Hirschman Index) merupakan indikator yang baik
untuk melihat apakah secara struktur, pasar tertentu mendorong
eksistensi kartel.
a.2. Ukuran perusahaan
Kartel akan lebih mudah terbentuk jika pendiri atau pelopornya adalah
beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran setara. Dengan
demikian pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang
disepakati dapat dicapai dengan lebih mudah dikarenakan kapasitas
produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan tersebut tidak
berbeda jauh.
a.3. Homogenitas produk
Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan
preferensi konsumen terhadap seluruh produk tidak berbeda jauh. Hal
ini menjadikan persaingan harga sebagai satu-satunya variabel
persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para pengusaha
untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat untuk
menghindari perang harga yang menghancurkan tingkat laba mereka.
KPPU dapat melakukan survey kepada pelanggan produk tertentu
untuk mengetahui tingkat preferensi pelanggan dan menyimpulkan
tingkat homogenitas produk tersebut.
a.4. Kontak multi-pasar
Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya
kontak multi-pasar dengan pesaingnya yang juga mempunyai sasaran
pasar yang luas. Multi-pasar dapat diartikan persaingan di beberapa
area pasar atau di beberapa segmen pasar. Kontak yang berkali-kali ini
dapat mendorong para pengusaha yang seharusnya bersaing untuk
melakukan kolaborasi, misalnya dengan alokasi wilayah atau harga.
Selain itu, tidak ada insentif bagi para pelaku usaha tersebut untuk
tidak ikut dalam kartel karena adanya kekhawatiran “tindakan
balasan” dari anggota kartel di seluruh area atau segmen pasar sasaran.
a.5. Persediaan dan kapasitas produksi
Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi
kelebihan penawaran (overstock). Begitu pula kapasitas terpasang
yang berada di atas permintaan menunjukkan kemampuan pasokan
berada di atas tingkat permintaan saat ini. Untuk mencegah persaingan
harga yang merugikan, pada kondisi ini para pelaku usaha akan mudah
terperangkap dalam perilaku kartel harga, yaitu menyepakati harga
tertentu atau harga minimum. Selain itu, kelebihan pasokan ini
mencegah anggota kartel untuk menyimpang mengingat pasokan yang
tersedia cukup banyak untuk “menghukum” mereka yang
menyimpang dengan membanjiri pasar sehingga harga akan jatuh dan
pengusaha akan kesulitan memasarkan produknya. Data akan
persediaan dan kapasitas produksi dapat dijadikan indikator awal
untuk mengindentifikasi kartel.
a.6. Keterkaitan kepemilikan
Keterkaitan kepemilikan baik minoritas terlebih lagi mayoritas
mendorong pengusaha untuk mengoptimalkan laba melalui
keselarasan perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan.
Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya bersaing
cenderung memanfaatkan kepemilikan silang ini untuk memperkuat
kartel dalam rangka mengoptimalkan keuntungan. Berbagai
pengaturan kartel akan berlangsung lebih mudah dengan adanya
kepemilikan silang ini.
a.7. Kemudahan masuk pasar:
Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru untuk
masuk pasar akan memperkuat keberadaan suatu kartel. Peluang
pendatang baru untuk mengisi kekosongan pasar akibat harga kartel
yang tinggi agak tertutup. Dengan demikian kartel akan dapat bertahan
dari persaingan pendatang baru.
a.8. Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan
Permintaan yang teratur dan inelastis dengan pertumbuhan yang stabil
akan memfasilitasi berdirinya kartel. Hal ini terjadi karena adanya
kemudahan bagi para peserta kartel untuk memprediksi dan
menghitung tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat
mengoptimalkan keuntungan mereka. Sebaliknya jika permintaan
sangat fluktuatif, elastis dan tidak teratur akan menyulitkan
terbentuknya kartel. Para peserta akan berebut order pada saat
permintaan tinggi dan terpaksa bersaing menurunkan harga mengingat
sifat permintaan yang elastis. KPPU dapat mengukur karakter
permintaan ini baik melalui survey dan penelitian pasar maupun
informasi dari para produsen.
a.9. Kekuatan tawar pembeli (buyer power)
Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan dan
akhirnya membubarkan kartel. Dengan posisi ini, pembeli akan mudah
mencari penjual yang mau memasok dengan harga rendah, yang
berarti mendorong penjual untuk tidak mematuhi harga kesepakatan
kartel. Pada akhirnya kartel tidak akan berjalan secara efektif dan
bubar dengan sendirinya.
4.2.2. Faktor Perilaku
b.1. Transparansi dan Pertukaran Informasi
Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan
pertukaran informasi dan transparansi diantara mereka. Peran asosiasi
yang kuat seringkali terlihat sebagai media pertukaran ini. Data
produksi dan harga jual yang dikirimkan ke asosiasi secara periodik
dapat digunakan sebagai sarana pengendalian kepatuhan terhadap
kesepakatan kartel. Terlebih lagi jika ditemukan terjadinya pertukaran
informasi harga dan data produksi tanpa melalui asosiasi, yang mana
akan terlihat janggal jika sesama pelaku usaha saling memberikan
harga dan data produksi diantara mereka tanpa tujuan tertentu
sehingga kecurigaan akan eksistensi kartel akan menguat.
b.2. Peraturan Harga dan Kontrak
Beberapa perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat
dugaan adanya kartel di suatu industri. Misalnya kebijakan one price
policy dimana kesamaan harga di berbagai daerah akan menjadi alat
monitoring yang efektif antar anggota kartel terhadap kesepakatan
harga kartel. Begitu pula keharusan memperoleh harga yang sama
seperti klausul MFN (Most Favored Nations) atau meet the
competition dalam suatu kontrak akan memudahkan kontrol terhadap
anggota kartel yang menyimpang. Oleh karena itu, walaupun bukan
merupakan syarat perlu maupun cukup dalam mengidentifikasi kartel,
perilaku pengaturan harga dan kontrak patut dicermati oleh KPPU
sebagai bagian upaya identifikasi eksistensi kartel.
4.3. Dampak Kartel
Secara umum para ahli sepakat bahwa kartel mengakibatkan kerugian baik bagi
perekonomian suatu Negara maupun bagi konsumen.
4.3.1. Kerugian bagi Perekonomian Suatu Negara
a. Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi alokasi.
b. Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi produksi.
c. Dapat menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru.
d. Menghambat masuknya investor baru.
e. Dapat menyebabkan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan
tidak kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negara-
negara lain yang menerapkan sistem persaingan usaha yang sehat.
4.3.2. Kerugian bagi konsumen
a. Konsumen membayar harga suatu barang atau jasa lebih mahal
daripada harga pada pasar yang kompetitif.
b. Barang atau jasa yang diproduksi dapat terbatas baik dari sisi jumlah
dan atau mutu daripada kalau terjadi persaingan yang sehat diantara
para pelaku usaha.
c. Terbatasnya pilihan pelaku usaha.
4.4. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Menganalisa adanya Kartel
4.4.1. Alat Bukti
Untuk membuktikan telah terjadi kartel dalam suatu industri, KPPU
harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat bukti sebagaimana dijelaskan
di bawah ini. Dalam memperoleh alat bukti tersebut, KPPU akan
menggunakan kewenangannya sesuai yang tercantum dalam UU Nomor 5
Tahun 1999 berupa permintaan dokumen baik dalam bentuk hard copy
maupun soft copy, menghadirkan saksi dan melakukan investigasi ke
lapangan. Apabila diperlukan akan dilakukan kerjasama dengan pihak
berwajib yaitu kepolisian untuk mengatasi hambatan dalam memperoleh alat
bukti dimaksud. Pada kasus tertentu, KPPU juga dapat memperoleh alat bukti
melalui kerjasama dengan para personel perusahaan yang terlibat dalam suatu
kartel dengan kompensasi tertentu.
Beberapa alat bukti untuk penanganan perkara kartel antara lain:
1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau
pembagian wilayah pemasaran.
2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan oleh
pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir (bisa
tahunan atau per semester).
3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di
beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (bulanan
atau tahunan).
4. Data kapasitas produksi.
5. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan yang
saling berkoordinasi.
6. Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang
berlebih/excessive profit.
7. Hasil analisis data concius paralelism terhadap koordinasi harga, kuota
produksi atau pembagian wilayah pemasaran.
8. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang
diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.
9. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta
perubahannya.
10. Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi,
koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel.
11. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya
perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang
diduga terlibat kartel.
12. Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga
terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan
dengan kesepakatan dalam kartel.
13. Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya faktor
pendorong kartel sesuai indikator yang telah dijelaskan pada bagian 4.2.1.
diatas.
4.4.2. Penerapan Rule of Reason
Setelah diperoleh bukti-bukti yang cukup, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan pembuktian apakah benar-benar telah terjadi kartel yang dapat
dipersalahkan antara para pelaku usaha. Sesuai dengan perumusan pasal 11
UU Nomor 5 tahun 1999 yang bersifat Rule of Reason, maka dalam rangka
membuktikan apakah telah terjadi kartel yang dilarang perlu dilakukan
pemeriksaan secara mendalam mengenai alasan-alasan para pelaku usaha
melakukan kartel. Penegak hukum persaingan usaha harus memeriksa apakah
alasan-alasan para pelaku usaha melakukan kartel ini dapat diterima
(reasonable restraint). Suatu kartel atau kolaborasi dapat diketahui antara lain
dari hal-hal berikut:
a. Apakah terdapat tanda-tanda adanya pengurangan produksi barang
dan atau jasa atau ada tidaknya kenaikan harga? Jika tidak ada,
maka perbuatan para pelaku usaha tidak bertentangan dengan
Hukum Persaingan Usaha.
b. Apakah perbuatan tersebut naked (semata-mata, langsung
bertujuan untuk mengurangi atau mematikan persaingan), atau
bersifat ancillary (bukan tujuan dari kolaborasi melainkan hanya
akibat ikutan). Apabila kolaborasi bersifat naked, maka akan
melawan hukum.
c. Bahwa kartel mempunyai market power. Apabila kartel
mempunyai pangsa pasar (market power) yang cukup, maka
mereka mempunyai kekuatan untuk menyalahgunakan kekuatan
tersebut. Akan tetapi apabila tidak ada market power, maka
kemungkinan kecil kartel akan dapat mempengaruhi pasar.
d. Terdapat bukti yang kuat bahwa kartel menghasilkan efisiensi
yang cukup besar, sehingga melebihi kerugian yang
diakibatkannya. Apabila tidak membawa efisiensi berarti kartel
hanya membawa kerugian.
e. Adanya reasonable necessity. Artinya tindakan para pelaku kartel
tersebut memang secara akal sehat perlu dilakukan. Dengan kata
lain untuk mencapai keuntungan-keuntungan yang pro persaingan
yang ingin dicapai, maka perbuatan kartel tersebut perlu dilakukan,
dan tidak terdapat cara lain atau alternatif lain yang seharusnya
terpikirkan oleh para pelaku usaha.
f. Balancing test. Setelah faktor-faktor lainnya tersebut diatas
diperiksa, maka perlu dilakukan pengukuran terhadap keuntungan
yang diperoleh melalui kartel, dengan kerugian yang
diakibatkannya. Apabila keuntungan yang diperoleh lebih besar
dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya, maka
perbuatan atau tindakan para pelaku usaha tersebut dapat
dibenarkan.
4.5. Contoh Kasus
1. Putusan KPPU Nomor 10/KPPU-L/2005 mengenai kartel garam bahan baku
di Sumatra Utara.
Kasus ini bermula dari adanya laporan masyarakat tentang adanya kesulitan
melakukan pengiriman garam bahan baku ke Sumatera Utara. Selain daripada
itu juga ada kesulitan melakukan pembelian garam bahan baku di Sumatera
Utara. Adapun yang menjadi Terlapor dalam kasus ini adalah PT. G, PT B,
dan PT GA dengan PT GR, PT SP, UD JW, dan UD SS. Dari hasil
pemeriksaan didapat fakta yaitu adanya kesepakatan secara lisan yang
dilakukan PT G, PT B dan PT GA (G3) dengan PT GR, PT SP, UD JW dan
UD SS (G4) untuk menetapkan harga produk PT G lebih tinggi dibandingkan
dengan harga produk PT B dan PT GA. Adanya pemberian harga yang lebih
tinggi untuk garam bahan baku yang dibeli oleh perusahaan di luar G3 dan
G4. Penguasaan pemasaran garam bahan baku oleh G3 dan G4 di Sumatera
Utara mencerminkan struktur pasar yang bersifat oligopolistik dimana terjadi
koordinasi antara PT G, PT B, dan PT GA dengan PT GR, PT SP, UD JW,
dan UD SS untuk bersama-sama melakukan pengontrolan pasokan dan
pemasaran garam bahan baku di Sumatera Utara. Hal ini tercermin dari:
1. Persaingan semu diantara G3 dalam bentuk pengontrolan jumlah pasokan
dan kebijakan penetapan harga jual garam bahan baku.
2. Sistem pemasaran yang menciptakan hambatan bagi pelaku usaha selain
G3.
3. Konsumen harus menanggung harga yang relatif tinggi dan tidak wajar
karena sistem pemasaran dimana jumlah pasokan garam belum tentu sama
dengan permintaan konsumen.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, maka para terlapor dinyatakan secara sah
dan meyakinkan melanggar UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diantaranya terbukti
melanggar Pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 yang dikenakan kepada PT G,
PT B, PT GA. Para terlapor ini seperti dinyatakan oleh KPPU adalah
merupakan pelaku usaha yang menguasai pasokan dan pemasaran garam di
Sumatera Utara dan terbukti telah mengontrol pasokan dan pemasaran garam
bahan baku di Sumatera Utara. Suatu kartel sebagaimana diatur dalam Pasal
11 UU Nomor 5 Tahun 1999 juga dapat terjadi apabila beberapa perusahaan
A, B, C, D, E dan F yang memproduksi suatu barang atau jasa yang sama
mengadakan konspirasi dan membentuk suatu kartel. Para pegawai senior atau
pimpinan perusahaan A, B, C, D dan E secara rutin mengadakan pertemuan
dan menetapkan kuota produksi atau banyaknya produksi dari masing-masing
perusahaan. Kuota produksi ini disepakati dapat berubah-ubah sesuai dengan
kesepakatan diantara mereka. Produksi selalu disesuaikan dengan permintaan
pasar dan produksi oleh pelaku usaha yang bukan anggota dari Kartel. Secara
keseluruhan pangsa pasar dari semua anggota kartel adalah diatas 60%,
sehingga mempunyai kekuatan untuk mengatur jumlah produksi dan harga.
Sebagai akibat dari kartel ini, maka harga barang di pasar bisa diatur oleh
kartel sesuai dengan besarnya keuntungan yang akan mereka peroleh.
BAB V
ATURAN SANKSI
Menurut UU Nomor 5 tahun 1999
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 terdapat beberapa macam sanksi yang dapat
dikenakan terhadap pelanggar Hukum Persaingan Usaha yaitu dapat berupa tindakan
administratif, pidana pokok dan pidana tambahan. Berdasarkan ketentuan, maka
pelanggaran terhadap pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 dapat berupa:
1. Tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU Nomor 5 tahun
1999:
a. Penetapan pembatalan perjanjian.
b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan atau
merugikan masyarakat.
c. Penetapan Pembayaran ganti rugi.
d. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah).
2. Pidana Pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1999 :
a. Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah), atau
b. Pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
3. Pidana Tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun
1999 :
a. Pencabutan izin usaha; atau
b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan
pelanggaran terhadap Undang-Undang ini untuk menduduki jabatan
Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-
lamanya 5 (lima) tahun.
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian pada pihak lain.
BAB VI
PENUTUP
Kartel dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perjanjian yang
dilarang. Suatu kartel dilarang, karena para pelaku usaha yang tergabung dalam suatu
kartel dapat memperoleh keuntungan diatas harga yang kompetitif dengan cara
mengatur jumlah produksi para anggotanya, sehingga akan berpengaruh terhadap
harga barang di pasar. Melalui kartel para pelaku usaha akan mendapatkan
keuntungan seperti layaknya perusahaan yang memonopoli suatu pasar. Namun di
sisi lain, kartel dapat merugikan perekonomian suatu bangsa karena akan
menyebabkan inefisiensi alokasi dan inefisiensi produksi. Kartel juga dapat
merugikan konsumen, karena konsumen dipaksa membayar suatu barang atau jasa
lebih mahal dari seharusnya, bahkan dapat menyebabkan sebagian konsumen tidak
mampu membeli barang atau jasa tersebut, padahal kalau harga sesuai harga pasar
atau harga persaingan mereka mampu untuk membelinya.
Kartel di berbagai negara dianggap sebagai tindakan yang hanya akan merugikan
konsumen, karenanya dalam penegakan hukum terhadap kartel biasanya dengan
menerapkan prinsip per se illegal. Sedangkan pengaturan kartel dalam UU Nomor 5
tahun 1999 pasal 11 mensyaratkan adanya pembuktian telah terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebelum menentukan bersalah atau
tidak para pelaku usaha yang melakukan kartel. Dengan demikian dalam UU Nomor
5 tahun 1999, Penegak Hukum Persaingan Usaha harus memeriksa secara mendalam
alasan-alasan para pelaku usaha melakukan kartel, baru kemudian memutuskan
apakah kartel yang dilakukan para pelaku usaha tersebut adalah tindakan yang
melanggar hukum.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Ali Alatas
NIM 109048000012
Tempat/Tanggal Lahir Jakarta/1 oktober 1991
Program Studi Ilmu Hukum
Kosentrasi Hukum Bisnis
Alamat Rumah
Jl. K.S. Tubun Raya, no. 13, RT/RW, 009/01, Kel
Petamburan, Kec. Tanah Abang, Jakarta Pusat
Alamat Domisili
Jl. Ayub, no. 21, RT/RW, /, Kel. Pejaten Barat, Kec.
Pasar Minggu, Jakarta Selatan
No. Telp 021 79170233
No. Hp 085888908944/02195364418
Nama Ayah Saifuddin Abubakar
Nama Ibu Siti Nurhasanah
Alamat Orang Tua Jl. K.S. Tubun Raya, no. 13, RT/RW, 009/01, Kel
Petamburan, Kec. Tanah Abang, Jakarta Pusat
Nomor Telp/HP Orang Tua O21 92834302