PEMBINAAN KELUARGA MUDA KATOLIK SECARA INTEGRAL DI … · Menanggapi persoalan yang terungkap dalam...
Transcript of PEMBINAAN KELUARGA MUDA KATOLIK SECARA INTEGRAL DI … · Menanggapi persoalan yang terungkap dalam...
PEMBINAAN KELUARGA MUDA KATOLIK SECARA INTEGRAL
DI PAROKI SANTO ANTONIUS KOTABARU
YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh :
Santa Viany Cahya Paneri
NIM: 031124005
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
iv
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
Keluarga Muda di Paroki Santo Antonius Kotabaru Yogyakarta
Romo Paroki dan Dewan Paroki Santo Antonius Kotabaru
Bapak dan Ibu serta seluruh keluarga
Tante Lusi dan Oom Gerard Steeman
Para pemerhati pelaksanaan pembinaan bagi keluarga muda
v
MOTTO
Setialah dalam perkara-perkara kecil....
(Mat 25:21)
vii
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah “PEMBINAAN KELUARGA MUDA KATOLIK SECARA INTEGRAL DI PAROKI SANTO ANTONIUS KOTABARU YOGYAKARTA”. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap keluarga muda katolik di Paroki Santo Antonius Kotabaru yang berada dalam situasi jaman modern yang penuh perubahan. Dalam hal ini Gereja perlu melindungi dengan memberikan perhatian khusus terhadap mereka, karena dari merekalah akan lahir penerus-penerus Gereja dan juga masyarakat.
Menanggapi persoalan yang terungkap dalam latar belakang tersebut, ada dua
langkah penting yang dilakukan oleh penulis. Pertama, penulis melakukan studi pustaka dan refleksi tentang kehidupan beriman keluarga-keluarga muda di Paroki Santo Antonius Kotabaru. Kedua, penulis melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keluarga-keluarga muda tersebut telah membangun keluarganya sebagai Gereja Rumah Tangga yang di dalamnya terkandung komponen-komponen formatif hidup beriman keluarga. Adapun hasil penelitian diperoleh melalui penyebaran kuesioner terhadap responden.
Dari pengolahan hasil kuesioner diketahui, bahwa keluarga-keluarga muda di
Paroki Santo Antonius Kotabaru sudah membangun komponen-komponen formatif yang terkandung di dalam keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga. Walaupun demikian masih diperlukan adanya pendampingan dan pembinaan bagi mereka sebagai keluarga muda. Mereka juga mengungkapkan harapan mereka untuk mendapatkan pembinaan dari Gereja dalam semua bidang pembinaan keluarga seperti komunikasi di dalam keluarga, pendidikan anak, ekonomi keluarga dan seks.
Untuk menindaklanjuti hasil penelitian tersebut, penulis mengusulkan sebuah
program katekese yang dikemas dalam bentuk rekoleksi keluarga muda. Melalui program ini, para pasutri muda dibantu untuk mengahayati panggilan sebagai suami istri dan sebagai orangtua bagi anak-anak mereka. Melalui program ini juga mereka diharapkan dapat menumbuhkembangkan komponen-komponen formatif di dalam keluarga terutama bagi pendidikan anak-anak mereka.
viii
ABSTRACT
This study is entitled “INTEGRAL FORMATIONS FOR YOUNG CATHOLIC FAMILIES IN SANTO ANTONIUS PARISH, KOTABARU, YOGYAKARTA”. The background of this study is concern to catholic young married couples in Santo Antonius Parish Kotabaru who staying in modern-day situation which is the full of change. In this case Church require to protecting by giving special attention to them, because from they will bear routers of Church as well as society.
In face of the problems inherent in that background, the author took two important steps: first, she did a study on the pertinent litteratures; secondly, she conducted a survey, in the form of questionnaire distributed among the respondents in the aforementioned parish, to inquiry how far the young married couples had tried to build their family as a domestic church, something which includes many formative elements of the faith-life.
The survey yielded a result which, among other things, shows that the young families in Santo Antonius Parish have, to a certain extent, attempted to build up formative elements in their family life. However, they are still in need of assistance and formation from the part of the church in various aspects of family life such as communication in the family, education of children, economic management of the family and the role of sexual life in the family.
To follow up the survey, the author proposes a catechetical program in the form of a series of recollection weekends for the young married couples. This program is designed to help the couples to live up their vocation as couples and as parents for their children. It is hoped that this program would develop further formative components of family life in view of the faith educaton of their children.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah Bapa Yang Maha Baik, sebab
berkat rahmat dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik,
dari awal sampai terselesaikannya. Meskipun dalam proses banyak kesulitan dan
hambatan yang penulis jumpai, namun kesulitan itu dapat diatasi.
Skripsi berjudul “PEMBINAAN KELUARGA MUDA KATOLIK SECARA
INTEGRAL DI PAROKI SANTO ANTONIUS KOTABARU YOGYAKARTA”
mencoba mengetengahkan persoalan yang berhubungan dengan peran keluarga-
keluarga muda yang membangun keluarganya sebagai Gereja Rumah Tangga.
Melalui skripsi ini, penulis bermaksud untuk memberikan sumbangan
pemikiran bagi keluarga-keluarga muda dan katekis di paroki Santo Antonius Kotabru
Yogyakarta, suapaya dapat mendampingi keluarga-keluarga muda dalam membangun
keluarga yang sesuai dengan harapan Gereja. Alasan penulis memberikan perhatian
khusus kepada keluarga muda, karena keluarga merupakan basis kesejatian hidup
beriman umat dan dari merekalah akan lahir orang-orang yang akan membangun
Gereja menjadi sebuah komunitas cinta kasih.
Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan perhatian dari
berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Drs. F.X. Heryatno W.W., S.J., M.Ed., selaku kaprodi yang telah memberi ijin dan
kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.dan selaku dosen
pembimbing akademik dan penguji II yang telah dengan sabar membimbing penulis
selama masa studi hingga penyusunan skripsi dan pertanggungjawabannya
x
2. Dr. M. Purwatma, Pr., selaku dosen pembimbing utama dan penguji I, yang telah
dengan sabar bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran di tengah-tengah
kesibukannya untuk membimbing penulis mulai dari penyusunan hingga
pertanggungjawaban skripsi ini.
3. Dra. Y. Supriyati, M.Pd., selaku dosen penguji III, yang telah membimbing penulis
dalam penyusunan skripsi ini, khususnya dalam persiapan, pelaksanaan dan
pengolahan hasil penelitian serta dalam pertanggungjawaban skripsi ini.
4. Segenap keluarga besar IPPAK yang telah membekali penulis dengan pengetahuan
dan pengalaman serta menyediakan fasilitas pendukung untuk memperlancar studi
penulis.
5. Bapak-Ibu dan seluruh keluarga yang telah memacu semangat penulis dengan
memberikan dukungan moral, material dan spiritual selama studi penulis di IPPAK
6. Rm. M. Sriyanto, S.J., selaku mantan Romo Paroki Kotabaru, yang telah
memberikan bantuannya bail moril maupun materil selama penulis studi dan
mendukung penulis dengan semangat dan dorongan agar segera menyelesaikan
studi penulis dengan baik.
7. Rm. R. M. Wisnumurti, SJ, selaku Romo Paroki Santo Antonius Kotabaru, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan survey terhadap
keluarga muda di paroki Santo Antonius Kotabaru Yogyakarta.
8. Rm. J. Darminta, S.J., yang telah memberikan fasilitas perpustakaan selama penulis
berada di Pusat Spiritualitas Giri Sonta.
9. Rm. Al. Purwa Hadiwardoyo, M.S.F, yang telah membantu penulis untuk
menemukan buku-buku referensi yang berkaitan dengan skripsi penulis.
xi
10. Para Ketua-ketua lingkungan di paroki Santo Antonius Kotabaru, yang telah
memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam mengumpulkan pasutri-
pasutri muda dalam penyebaran kuesioner di lingkungannya..
11. Keluarga-keluarga muda katolik di Paroki Santo Antonius Kotabaru, atas kesediaan
dan kerelaannya menjadi responden dan mendukung penulis dalam meyelesaikan
skripsi ini.
12. Danang Wibisono,. S.H., yang dengan penuh kesabaran dan kasih telah
memberikan perhatian dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini.
13. Rekan-rekan mahasiswa khususnya angkatan 2003 serta teman-teman kost yang
terkasih: Mother Mila, Usi Yvonne, Usi Tini, Inke, Nina dan Mbak Sylvia yang
telah turut berperan dalam proses pendewasaan pribadi penulis dalam menghidupi
panggilannya sebagai guru agama.
14. Rekan-rekan lektor Santo Antonius Kotabaru: PJ, Flo, Nia, Tata, Ter Gogon, Sahat,
Fero, Anny, atas pengertian dan dukungannya kepada penulis untuk tidak terlibat di
komunitas selama proses penyelesaian skripsi ini.
15. Semua pihak yang tidak dapat penulis tuliskan satu per satu, yang telah berperan
dalam proses studi, khususnya dalam penyelesaiaan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa sebagai karya tangan manusia, skripsi ini tidak lepas
dari keurangan dan kesalahan. Oleh sebab itu, dengan rendah hati dan terbuka, penulis
menerima kritik maupun saran yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini.
Kiranya skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembaca, khususnya
keluarga-keluarga muda di Paroki Santo Antonius Kotabaru dan para pendamping
xii
keluarga agar dapat meningkatkan usaha pembinaan keluarga yang sesuai dengan
harapan Gereja.
Yogyakarta, 29 Mei 2007
Santa Viany Cahya Paneri
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ...........................................................................................................
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................
PENGESAHAN .............................................................................................
PERSEMBAHAN ..........................................................................................
MOTTO .........................................................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................
ABSTRAK .....................................................................................................
ABSTRACT ...................................................................................................
KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
DAFTAR SINGKATAN DAN SEBUTAN ..................................................
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................
A. Latar Belakang ................................................................................
B. Rumusan Masalah ...........................................................................
C. Tujuan Penulisan .............................................................................
D. Manfaat Penulisan ...........................................................................
E. Kajian Pustaka .................................................................................
F. Metode Penulisan ............................................................................
G. Sistematika Penulisan......................................................................
BAB II. PANDANGAN GEREJA TENTANG KELUARGA KELUARGA KATOLIK .................................................................
A. Pengertian Keluarga ........................................................................
1. Pengertian Keluarga Secara Umum ..........................................
2. Pengertian Keluarga Katolik .....................................................
3. Keluarga Muda Katolik .............................................................
B. Keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga ........................................
1. Pengertian Gereja ......................................................................
2. Pengertian Gereja Rumah Tangga ............................................
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
xiii
xvi
xvii
1
1
4
5
5
6
8
9
11 12
12
12
14
15
15
16
xiv
3. Keluarga sebagai Komunitas Cinta Kasih ................................
C. Komponen-komponen Formatif di dalam Keluarga Katolik ......... 1. Komunikasi ...............................................................................
a. Komunikasi di dalam Keluraga ...........................................
b. Komunikasi sebagai Sarana Rekonsiliasi di dalam Keluarga ..............................................................................
c. Keluarga Berkomunikasi dengan Masyarakat .................... 2. Keluarga Merupakan Tempat Pendidikan Anak yang Pertama
dan Utama ................................................................................. a. Keluarga Merupakan Tempat Pendidikan yang Pertama.....
b. Keluarga Merupakan Tempat Pendidikan yang Utama.......
c. Keluarga Merupakan Seminari Dasar bgi Anak-anaknya ...
d. Menyiapkan Anak menjadi Kader Masyarakat ...................
e. Pendidikan Iman Katolik pada Tahap Awal di dalam Keluarga ..............................................................................
3. Keluarga Ikut Ambil Bagian dalam Tugas Perutusan Gereja ...
D. Kesimpulan .....................................................................................
BAB III. KEHIDUPAN KELUARGA MUDA KATOLIK DI PAROKI SANTO ANTONIUS KOTABARU..........................................
A. Gambaran Umum Kehidupan Umat di Paroki Santo Antonius
Kotabaru Yogyakarta ......................................................................
1. Sejarah Paroki Santo Antonius Kotabaru ..................................
2. Letak Geografis .........................................................................
3. Situasi Sosial Ekonomi .............................................................
4. Kegiatan Pengembangan Umat .................................................
B. Gambaran Keluarga Muda Katolik di Paroki Santo Antonius Kotabaru ..........................................................................................
C. Keluarga-Keluarga Muda Membangun Unsur-unsur Pembentuk Gereja Rumah Tangga..................................................................... 1. Tujuan Penelitian ......................................................................
2. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................
3. Instrumen Pengumpulan Data ...................................................
4. Responden Penelitian ................................................................
5. Variabel Penelitian ....................................................................
D. Hasil Penelitian ...............................................................................
1. Analisis Deskriptif ...................................................................
20
21 21
21
22 23 24 25
25
26
27
28 30
31
34
35
35
35
36
37
38 39 40
40
41
42
42
44
44
xv
2. Pembahasan Hasil Penelitian ....................................................
a. Komunikasi di dalam Keluarga ...........................................
b. Pendidikan Anak di dalam Keluarga ..................................
c. Keluarga Turut Serta dalam Tugas Perutusan Gereja .........
d. Harapan-harapan Keluarga Muda terhadap Gereja .............
3. Keterbatasan Penelitian .............................................................
BAB IV. REFLEKSI DAN USULAN PROGRAM ......................................
A. Pokok Refleksi: Keluarga Muda Membangun Unsur-unsur Formatif di dalam Keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga........... 1. Komunikasi di dalam Keluarga .................................................
2. Pendidikan Anak di dalam Keluarga ........................................
3. Keluarga Turut Serta dalam Tugas Perutusan Gereja ...............
4. Harapan-harapan Keluarga Muda terhadap Gereja ...................
B. Usulan Program ...............................................................................
1. Makna dan Tujuan Katekese .....................................................
2. Model Katekese Yang Digunakan ............................................
3. Tujuan Usulan Program ............................................................
4. Peserta .......................................................................................
5. Matriks Usulan Program Rekoleksi Keluarga Muda ................
6. Contoh Satuan Persiapan Rekoleksi Keluarga Muda ...............
BAB V. PENUTUP................................ ........................................................
A. Kesimpulan .....................................................................................
B. Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
LAMPIRAN ...................................................................................................
Lampiran 1: Kuesioner .................................................................................
Lampiran 2: Tabel Jawaban Responden Terhadap Kuesioner.......................
Lampiran 3: Tabel Skor Dari Jawaban Kuesioner ........................................
Lampiran 4: Tabel Rerata .............................................................................
Lampiran 5: Kumpulan Sarana ....................................................................
50
50
51
53
53
55
56
56 57
59
61
63
64
66
69
71
71
73
79
87
88
89
91
93
(1)
(6)
(7)
(8)
(9)
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Bobot Skor ..........................................................................
Tabel 2. Variabel Penelitian .............................................................
Tabel 3. Kisi-kisi Kuesioner .............................................................
Tabel 4. Usia Pernikahan Responden................................................
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Responden (Istri) ................................
Tabel 6. Tingkat Pendidikan Responden (Suami) ............................
Tabel 7. Jenis Pekerjaan Responden (Istri) .......................................
Tabel 8. Jenis Pekerjaan Responden (Suami) ...................................
Tabel 9. Komunikasi di dalam Keluarga ..........................................
Tabel 10. Pendidikan Anak di dalam Keluarga ..................................
Tabel 11. Keluarga Turut serta dalam Tugas Perutusan Gereja .........
Tabel 12. Cara Pendampingan ............................................................
Tabel 13. Bentuk Pembinaan ..............................................................
Tabel 14. Bidang Pembinaan ..............................................................
41
42
42
44
45
45
46
46
47
47
48
49
49
50
xvii
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab suci
Seluruh singkatan Kitab suci dalam skripsi ini diambil dari Alkitab terbitan Lembaga
Alkitab Indonesia (LAI) tahun 1992, yang diterima dan diakui oleh Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI)
B. Singkatan Dokumen Gereja
AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan
Awam, 7 Desember 1965
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II
kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang
katekese masa kini, 16 Oktober 1979
EN : Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik Paus Paulus VI kepada para
uskup, imam-imam dan umat beriman seluruh Gereja Katolik tentang
pewartaan Injil dalam dunia Modern, 1975
FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II
kepada para uskup, imam-imam dan Umat beriman seluruh Gereja
Katolik tentang peranan keluarga Kristen dalam Dunia Modern, 22
November 1981
GE : Gravissimum Educationis, Dokumen Konsili Vatikan II, tentang
Pendidikan Kristen, 1965
GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja
di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.
xviii
KGK : Katekismus Gereja Katolik
LG : Lumen Gentium, Konstitusi dogmatik Konsili Vatikan II tentag Gereja,
21 November 1964
C. Singkatan Lain
KAS : Keuskupan Agung Semarang
KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia
Pasutri : Pasangan Suami-Istri
PIA : Pembinaan Iman Anak
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
PT : Perguruan Tinggi
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gereja adalah perwujudan Kerajaan Allah di dunia, begitupun dengan keluarga
sebagai gereja mini diharapkan bisa mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Ia di
ibaratkan sebuah cermin yang memantulkan cahaya kemuliaan Tuhan di bumi.
Keluarga juga dipakai oleh Allah sebagai mitra kerja-Nya, itulah sebabnya Allah
menciptakan manusia untuk menikah dan membangun keluarga sebagai gambaranNya.
Keluarga yang dibentuk melalui pernikahan adalah kehendak Allah sendiri yang
dimulai sejak penciptaan. Keluarga adalah institusi yang sangat penting dalam
perwujudan Kerajaan Allah karena hubungan suami-istri dalam keluarga juga
melambangkan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya.
Situasi keluarga pada jaman sekarang menampakan aspek-aspek positif dan
negatif, yang pertama menandakan bahwa karya penyelamatan Kristus sedang
berlangsung di dunia, sedangkan yang kedua mencerminkan penolakan manusia
terhadap cinta kasih Allah (FC, 6). Iblis dengan berbagai cara terus berusaha
menghancurkan keharmonisan dalam rumah tangga. Selain itu gempuran jaman budaya
global jaman ini menjadi tantangan tersendiri. Mengikuti perkembangan dunia modern,
keluarga pada jaman modern tentu juga mengalami perubahan yang mendalam dan
pesat. Sekarang ini keluarga-keluarga sedang berada di bawah berbagai ancaman.
Walaupun tidak berupa serangan besar-besaran, tetapi intensitasnya terus meningkat,
karena datang dari berbagai arah. Banyak keluarga, khususnya keluarga muda, yang
2
mengalami kebimbangan dan keraguan akan makna terdalam mengenai kehidupan
suami istri dan juga keluarga.
Dalam rumah tangga, bukan tidak mungkin muncul berbagai masalah. Oleh
sebab itu diperlukan adanya komuniksi antara suami-istri. Komunikasi yang dilakukan
hendaknya tidak hanya mencakup hubungan suami istri itu sendiri, tetapi juga
mencakup tentang seks, keuangan keluarga dan pendidikan anak. Selain kemunikasi
juga diperlukan adanya keterbukaan dalam penerimaan satu sama lain agar dapat saling
mencintai dengan tulus.
Menurut Purwa Hadiwardoyo (1994: 10), sejak kecil, anak-anak dididik oleh
orang tua dan kakak-kakaknya di rumah. Lewat pendidikan itu, mereka menumbuhkan
berbagai keutamaan, yang kelak juga amat bermanfaat untuk hidup sebagai suami/istri,
misalnya: keterbukaan dalam komunikasi, keakraban dan kemampuan mencintai serta
dicintai. Pendidikan iman yang pernah diperoleh oleh pasangan sebelum menikah
sangatlah penting, karena diharapkan dapat menjadi bekal untuk menghadapi segala
macam tantangan yang dihadapi, entah itu yang didapatkan di dalam keluarga, sekolah
maupun di lingkungan. Hal itu dikarenakan bahwa pendidikan khususnya pendidikan
iman tidak hanya bertujuan untuk pendewasaan pribadi manusia melainkan supaya
mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah makin mendalami misteri
keselamatan, semakin menyadari kurnia iman yang telah diterima, sehingga dengan
demikian mereka mendapat kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai
dengan kepenuhan Kristus (GE, 8). Jika demikian apa yang diharapkan dari pendidikan
juga dapat mendukung harapan dalam pembinaan keluarga Kristen.
Pendidikan iman yang diperoleh juga akan memberikan pengaruh bagi mereka
dalam membangun keluarga. Hal tersebut dapat terlihat dari cara mereka membangun
3
rumah tangganya entah dalam hal iman, hidup doa dalam keluarga maupun dalam
pendidikan anak karena “....orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama” (GE,
3) walaupun diperlukan adanya dukungan dari sekolah dan lingkungan. Keluarga
menerima perutusan dari Allah sendiri untuk menjadi sel pertama dan sangat penting
bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakan melalui cinta kasih timbal balik dari
anggotanya dan doa mereka bersama kepada Allah (AA, 11).
Keluarga-keluarga pada saat ini sudah melaksanakan tugasnya sebagai tempat
pendidikan iman yang pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan iman di dalam keluarga
tidak hanya cukup dalam hal sikap iman dan moral saja, tetapi juga menyangkut
persiapan bagi anak tersebut untuk dapat membangun keluarganya sendiri sesuai
dengan imannya. Keadaan ini menuntut Gereja untuk mulai memberikan perhatian
kepada para keluarga-keluarga khususnya para keluarga muda. Karena dari merekalah
akan lahir penerus-penerus Gereja yang akan membangun dan mengembangkan Gereja.
Dengan demikian perlu ada pembinaan bagi para pasutri secara integral dalam hal
penghayatan hidup berkeluarga secara katolik dan yang mengarah kepada kesuburan
formatif bagi anak-anaknya.
Paroki Santo Antonius Kotabaru adalah sebuah paroki yang berada di tengah
kota Yogyakarta, yang umatnya menggambarkan kehidupan perkotaan dengan segala
permasalahannya. Permasalahan yang muncul bagi keluarga muda di Paroki ini adalah
kurangnya, bahkan tidak adanya pendampingan bagi mereka untuk mengembangkan
imannya dalam membangun keluarga kristiani. Pastoral bagi keluarga muda khususnya
dari paroki sama sekali tidak ada, hal itu dikarenakan corak kehidupan pasangan muda
tersebut yang banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di luar rumah dari pagi
hingga petang, sehingga tidak ada waktu lagi untuk melakukan pendampingan bagi
4
mereka. Pola hidup yang semacam ini dapat menjadi ancaman bagi mereka dalam
membina keluarga jika mereka tidak mempunyai keyakinan untuk mengatasi keraguan
akan makna terdalam dari hidup suami istri dan juga keluarga kristiani. Padahal
berdasarkan penilitian yang dilakukan penulis, para keluarga muda tersebut sangat
mengharapkan adanya pembinaan dari pihak Gereja, baik yang dilakukan secara
perorangan maupun berkelompok. Sedangkan hal materi, mereka mengharapkan materi
yang mereka butuhkan pada awal-awal tahun pernikahan yaitu tentang komunikasi
suami istri, seks, ekonomi keluarga dan pendidikan anak.
Suatu keprihatinan bagi keluarga muda karena mereka harus bergulat dengan
keadaan di lingkungan sekitarnya dan juga dengan iman mereka. Untuk mengatasi
keprihatinan ini tentu saja tidak bisa diserahkan kepada mereka sendiri melainkan perlu
adanya pendampingan yang sesuai dengan keadaan mereka. Dalam hal ini peran gereja
mutlak diperlukan. Maka Gereja wajib berusaha memahami berbagai situasi
penghayatan pernikahan dan berkeluarga jaman sekarang, untuk menunaikan tugas
pengabdiannya (FC, 4) sehingga mampu memenuhi harapan-harapan mereka untuk di
dampingi dan dibina. Bertitik tolak dari apa yang dikemukakan di atas, maka penulis
mengambil judul “UPAYA MENGEMBANGKAN KOMPONEN-KOMPONEN
FORMATIF MELALUI PEMBINAAN KELUARGA MUDA KATOLIK SECARA
INTEGRAL DI PAROKI SANTO ANTONIUS KOTABARU YOGYAKARTA”
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja komponen formatif dari kehidupan iman keluarga?
2. Bagaimanakah komponen-komponen itu dapat digambarkan dalam suatu proses
formatif bagi anak-anaknya?
5
3. Bagaimanakah gambaran dalam bentuk proses tersebut dapat dijabarkan secara
praktis dalam sebuah matriks?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui komponen formatif apa saja yang ada di dalam kehidupan iman
keluarga
2. Mengetahui gambaran komponen-komponen formatif itu dalam sebuah proses
formatif bagi anak-anaknya, terutama dalam hal:
a. Komunikasi di dalam Keluarga
b. Pendidikan Anak di dalam Keluarga
c. Turutserta Keluarga dalam Tugas Perutuasn Gereja, sebagai nabi, imam dan raja
3. Tersedianya matriks dari proses formatif tersebut yang disajikan secara praktis
4. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana
Strata Satu pada Program Studi dan Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan
Agama Katolik, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
D. MANFAAT PENULISAN
1. Memberikan masukan bagi para pendamping keluarga supaya semakin membuka
wawasan yang berguna bagi usaha pembinaan iman bagi keluarga muda.
2. Membangun rasa tanggung jawab kepada seluruh umat kristiani akan kewajiban
dan panggilan untuk membina iman keluarga muda serta tanggung jawab dalam
membina dan menyiapkan Keluarga Nazaret masa kini.
3. Memberi wawasan baru bagi gereja akan pentingnya perhatian dan pembinaan yang
sungguh-sungguh terhadap keluarga muda katolik.
6
E. KAJIAN PUSTAKA
1. Kehidupan Iman di dalam Keluarga
Dengan menciptakan pria dan wanita, Allah telah merencanakan bangsa
manusia untuk menjadi umat; basis dari umat ini adalah keluarga yang diberiNya
kaidah dasar. Anggota-anggotanya adalah pribadi-pribadi yang martabatnya sama.
Demi kesejahteraan umum anggota-anggota keluarga dan masyarakat, keluarga
memiliki tanggung jawab, hak dan kewajiban.
Keluarga Kristen adalah persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda dan citra
persekutuan Bapa dan Putra dalam Roh Kudus. Di dalam kelahiran dan pendidikan
anak-anak tercerminlah kembali karya penciptaan Bapa. Keluarga dipanggil, supaya
mengambil bagian dalam doa dan kurban Kristus. Doa harian dan bacaan Kitab Suci
meneguhkan mereka dalam cinta kasih. Keluarga Kristen mempunyai suatu tugas
mewartakan dan memperluaskan Injil (KGK, art. 2205).
2. Pendidikan iman dalam keluarga
Tantangan bagi keluarga-keluarga kristiani dewasa ini adalah bagaimana
dengan kemajuan teknologi dengan berbagai kecanggihannya itu dapat digunakan
sebagai sarana untuk semakin memanusiakan anak-anak menjadi manusia yang utuh
dan mendalam imannya. Dikatakan oleh para musafir MSF (2006) dalam hal inilah
orang tua diingatkan betapa pentingnya menanamkan nilai-nilai iman pada anak sejak
dini melalui kebiasaan dan teladan hidup dari orang tua sehingga dapat menghantar
anak menemukan kebahagiaan dalam keluarga yang harmonis. Anak membutuhkan
kehadiran, pujian, sentuhan, hadiah dan waktu bersama serta pelayanan orang tua sebab
7
masa depan anak dan kematangan iman anak pun tidak bisa dilepaskan dari peran serta
anggota keluarga.
3. Mengajarkan Tentang Allah sejak Dini
Pendidikan Iman anak di dalam keluarga hendaknya dilakukan sedini mungkin,
bahkan ketika anak bayi. Anak-anak hidup di dalam dunianya sendiri yang penuh
misteri, anak juga hidup dalam kebiasaan-kebiasaan serta sikap-sikap yang dia lihat dan
alami di sekitarnya, sehingga untuk menolong anak dan menyelamatkan mereka dari
pengaruh luar, orangtua haruslah mengajarkan mereka tentang Tuhan yang juga
misteri.
Orangtua dapat mengajarkan tentang Tuhan kepada anak-anaknya dari banyak
aspek. Untuk menggambarkannya, orangtua dapat mengambilnya dari dunia mereka
sendiri. Pada awalnya mereka memang tidak mengerti tetapi dalam perjalanan waktu
mereka akan mencari dan terus mencari. Oleh sebab itu, peran orang tua sangatlah
penting, bukan hanya mengajarkan secara langsung, tetapi juga turut memberi teladan.
Pada awal pembelajarannya, anak akan melihat, mendengar dan mengamati sampai
akhirnya dia dapat menirunya. Contohnya ketika anak mendengar orang tuanya
berbicara, pada awalnya dia tidak mengerti, tetapi dia melihat, mendengar dan akhirnya
dia pun berbicara dengan bahasa yang non formal.
Pottebaum (1964: 3), menegaskan, bahwa para orangtua haruslah berpartisispasi
dalam misteri Kristus sampai akhirnya mereka dapat membagikan itu kepada anak-
anaknya. Mereka perlu menjadikan Yesus sebagai “habit”, karena anak memahami
tentang Tuhan dari kebiasaan yang dilakukan oleh orangtuanya.
8
4. Pendidikan Nilai di dalam Keluarga
Menurut Harsono (2007), keluarga adalah tempat awal dimana manusia
dibentuk dalam hal nilai, baik nilai moral maupun spiritual. Pendidikan nilai yang
dilakukan di dalam keluarga hendaknya tidak hanya dilakukan dengan nasihat atau
teguran, karena nasihat dan teguran itu tidak akan berarti apa-apa jika tanpa disertai
dengan teladan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Tidak cukup
hanya keteladanan, tetapi juga orang tua hendaknya senantiasa menciptakan kerukunan
anatar anggota keluarga agar setiap anggotanya dapat merasa nyaman tinggal di
rumahnya. Pendidikan nilai di dalam keluarga juga hendaknya dilakukan sejak dini,
ketika anak berada dalam masa pembentukan agar kelak dapat selalu tertanam di dalam
diri mereka sampai kelak mereka dewasa. Dengan penanaman nilai yang baik di dalam
keluarga, diharapkan akan terbentuk manusia yang berkualitas baik dalam segi moral
maupun spiritual.
F. METODE PENULISAN
Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan deskriptis analitis yaitu
menggambarkan secara faktual keadaan yang terjadi melalui penelitian lapangan,
kemudian atas dasar refleksi pastoral kateketis, mengusulkan suatu Program Pembinaan
Iman dalam usaha meningkatkan kualitas iman para keluarga muda katolik di Paroki
Santo Antonius Kotabaru. Adapun data-data yang diperoleh dilakukan dengan
observasi langsung, menyebarkan kuesioner dan studi pustaka, dan pengolahan data
yang dilakukan dalam penelitian akan dilakukan dengan metode penelitian kualitatif
sederhana.
9
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Uraian dan gagasan skripsi ini dibagi dalam lima bab. Bab I Pendahuluan yang
berisi pemaparan latar belakang penulisan [Di sini tercakup pula hasil penelitian
tentang Pengaruh Pendidikan Iman di dalam Keluarga terhadap Pembangunan Keluarga
Katolik], rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penulisan dan sitematika penulisan.
Bab II dari skripsi ini berisi tentang pemaparan tentang pandangan Gereja
tentang keluarga-keluarga Katolik. Hal tersebut diketengahkan untuk melihat harapan-
harapan Gereja terhadap keluarga-keluarga Katolik, khususnya keluarga-keluarga muda
Katolik. Pembahasan bab II dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, pemahaman tentang
keluarga, baik secara umum dan khusus. Kedua, harapan-harapan Gereja terhadap
keluarga-keluarga Katolik. Ketiga, komponen-komponen formatif yang ditemukan di
dalam keluarga.
Pada bab III, penulis menyajikan hasil penelitian dalam mencari gambaran dan
komponen-komponen formatif yang ditemukan di dalam keluarga-keluarga muda
katolik di Paroki Santo Antonius Kotabaru. Sehubungan dengan penelitian itu hal-hal
yang dibahas dalam bab III adalah: tujuan penelitian, instrumen pengumpul data,
responden penelitian, variabel penelitian, tempat dan waktu penelitian serta laporan dan
pembahasan penelitian.
Sedangkan di dalam bab IV, penulis menyajikan hasil refleksi pastoral dan
usulan program katekese yang dikemas dalam bentuk rekoleksi. Refleksi pastoral
menyangkut keluarga muda yang membangun unsur-unsur formatif di dalam keluarga
sebagai Gereja Rumah Tangga. Usulan program katekese dalam bentuk rekoleksi
keluarga muda menyangkut makna dan tujuan katekese, tujuan usulan program, model
10
katekese, peserta katekese, matriks usulan program, contoh persiapan program dan
petunjuk praktis mengenai usulan program. Dan pada bab V, penulis menyajikan
penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis.
BAB II
PANDANGAN GEREJA TENTANG KELUARGA-KELUARGA
KATOLIK
Keluarga Katolik merupakan bagian dari Gereja universal yang
mengemban tanggung jawab untuk menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-
tengah masyarakat. Keluarga Katolik disebut pengemban tanggung jawab karena
melalui kesaksian merekalah nilai-nilai Kerajaan Allah yang diperjuangkan oleh
Yesus baik hidup dan karya-Nya dapat diwujudnyatakan.
Oleh karena itu Gereja memberikan perhatian kepada keluarga-keluarga.
Perhatian itu secara konkret diwujudkan dengan diterbitkannya dokumen-
dokumen Gereja, yang di dalamnya dimuat tentang pandangan dan harapan Gereja
terhadap keluarga-keluarga Katolik. Dokumen-dokumen tersebut misalnya,
Konstitusi tentang Gereja: Lumen Gentium; Konstitusi pastoral tentang Gereja
dalam dunia modern: Gaudium et Spes; Pernyataan tentang pendidikan Kristen:
Gravisimum Educationis; dan Anjuran Apostolik: Familiaris Concortio. Untuk
memberikan perhatian secara khusus kepada keluarga-keluarga Katolik tersebut,
Keuskupan Agung Semarang juga menetapkan tahun 2007 sebagai tahun
keluarga, secara khusus Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang,
telah mengeluarkan Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang 2007 dengan tema
“Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman” untuk diolah dan didalami bersama
seluruh umat dan keluarga-keluarga yang berada di Keuskupan Agung Semarang,
sehingga mereka dapat menanggapi perhatian dari pihak Gereja terhadap mereka.
12
A. Pengertian Keluarga
1. Pengertian Keluarga Secara Umum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 413), keluarga adalah
“ibu- bapak dan anak-anaknya”. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Heuken
(1992: 269):
keluarga dalam arti sempit (keluarga inti) mencakup suami-istri dan anak-anak mereka; dalam arti luas seluruh sanak saudara ( famili). Keluarga merupakan kesatuan sosial berdasarkan hubungan biologis, ekonomis, emosional dan/ atau rohani, yang bertujuan mendidik dan mendewasakan anak-anak sebagai anggota masyarakat luas dan terbatas. Dasarnya adalah ikatan perkawinan ayah dan ibu.
Dari ungkapan di atas dikatakan bahwa keluarga merupakan kesatuan sosial yang
artinya ikatan yang terjalin antara suami-istri, orangtua dan anak-anak sangat erat.
Begitu eratnya hubungan ini sehingga antara suami-istri tidak dapat dipisahkan.
Mereka tidak dapat hidup sendirian, setiap anggota keluarga membutuhkan orang
lain. Selain itu, dikatakan juga bahwa keluarga sebagai dasar pembentukan
anggota masyarakat. Hal ini dapat diartikan bahwa keluarga merupakan unsur
terkecil dalam masyarakat dan sebagai benteng pertahanan pertama dan utama
untuk kelangsungan hidup suatu masyarakat.
2. Pengertian Keluarga Katolik
Telah diuraikan di atas pengertian tentang keluarga secara umum; yaitu:
suami-istri dan anak-anak mereka, yang hidup bersama dan saling tergantung.
Adapun yang membedakan keluarga secara umum dengan keluarga katolik adalah
iman akan Yesus Kristus yang menyelamatkan manusia melalui Sakramen
Perkawinan. Dikatakan oleh Heuken (1992: 270), bahwa keluarga Katolik
13
berlandaskan ikatan sakramental suami-istri. Sakramen Perkawinan merupakan
sumber rahmat kekuatan yang tetap untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang tak
terhindarkan dalam menjalani hidup berkeluarga.
Dalam amanat apostolisnya, Yohanes Paulus II juga mengungkapkan
bahwa: “Keluarga, yang didasarkan pada cinta kasih serta dihidupkan olehnya
merupakan persekutuan pribadi-pribadi: suami, istri, orang tua dan anak-anak,
sanak saudara…” (FC, 18). Jelas sekali dikatakan oleh Yohanes Paulus II, bahwa
cinta kasihlah yang membentuk keluarga, dan cinta kasih pula yang telah
menghidupi keluarga dimana setiap anggota keluarga bertumbuh bersama di
dalam cinta kasih. Dengan cinta kasih juga mereka akan mendidik anak-anak
mereka.
Perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita, bukan semata-mata
kehendak dari manusia, namun Allah sendiri yang menyatukan mereka untuk
menikah dan membentuk keluarga. Dengan menciptakan pria dan wanita, Allah
telah merencanakan bangsa manusia untuk menjadi umat; basis dari umat ini
adalah keluarga yang diberiNya kaidah dasar. Anggota-anggotanya adalah
pribadi-pribadi yang martabatnya sama. Demi kesejahteraan umum anggota-
anggota keluarga dan masyarakat, keluarga memiliki tanggung jawab, hak dan
kewajiban (GS, 48).
Membangun keluarga Katolik merupakan panggilan hidup yang mulia
karena berasal dari Allah dan dikehendaki oleh Allah sendiri. Oleh sebab itu untuk
memenuhi panggilan tersebut diperlukan persiapan yang panjang dan sungguh-
sungguh, sama ketika para religius mempersiapkan diri untuk memenuhi
14
panggilannya untuk hidup sebagai biarawan dan biarawati dan mengikat janji
sehidup semati dengan Tuhan.
3. Keluarga Muda Katolik
Telah dikatakan bahwa keluarga adalah lembaga yang terkecil di dalam
masyarakat yang terbentuk dari perkawinan yang sah, antara seorang pria dan
seorang wanita. Kata muda di sini mau menunjukan bahwa keluarga tersebut dari
segi usia belumlah lama. Dilihat dari segi pengalaman, para pasutri belum
memiliki pengalaman dalam mengarungi hidup berumah tangga dan biasanya
memerlukan bantuan dan pendampingan. Sedangkan kata katolik menunjukan
bahwa keluarga tersebut telah dibangun atas dasar iman kepercayaan katolik dan
diteguhkan secara gerejani serta kehidupan mereka di dalam keluarga diwarnai
oleh iman katolik.
Munculnya istilah keluarga muda dimaksudkan untuk membedakan dari
keluarga yang sudah berumur lama sekaligus untuk membentuk suatu kelompok
keluarga yang usia pernikahannya relatif masih muda, keluarga yang belum
mempunyai pengalaman dalam hidup berkeluarga sehingga masih memerlukan
bantuan dan pendampingan agar kelak mereka dapat mantap dalam hidup
berumah tangga.
Hart (1988: 12-13) mengatakan, bahwa tahun-tahun pertama perkawinan
merupakan masa yang rawan, namun sangat penting. Perencanaan yang dibuat
oleh pasutri pada periode awal ini, dan cara-cara yang mereka kembangkan dalam
usaha menangani segala hal yang berkaitan dengan hidup perkawinan, akan sangat
menentukan perkawinan mereka pada tahun-tahun selanjutnya. Namun mereka
15
juga tidak lepas dari pendampingan dan pembinaan orang-orang telah
berpengalaman dalam hal membangun keluarga yang kristiani ataupun yang telah
berpengalaman dalam hal pendampingan dan pembinaan keluarga-keluarga.
B. Keluarga Sebagai Gereja Rumah Tangga
Keluarga Katolik tidak hanya merupakan kumpulan beberapa orang yang
se-agama, melainkan juga sebagai paguyuban, yang bersatu berdasarkan iman dan
kasih. Suami-istri sebagai pemimpin keluarga dipanggil untuk membangun
keluarga mereka menjadi sebuah Gereja kecil, sebuah kelompok yang guyub dan
seiman (Dewan Karya Pastoral KAS, 200: 48).
1. Pengertian Gereja
Gereja dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Portugis ‘igreja’ yang
berarti perkumpulan atau pertemuan, sedangkan dalam bahasa Yunani adalah
‘ekklesia’ yang berarti mereka yang dipanggil, kaum, golongan (Heuken, 199:
314). Kata ekklesia ini juga biasa digunakan pada jaman para rasul (1 Kor 1:17-
22), Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus berbicara mengenai jemaat
berkumpul untuk merayakan Ekaristi. Mereka berkumpul karena iman akan Yesus
Kristus. Kata “gereja” digunakan baik untuk gedung-gedung ibadat maupun
untuk umat Kristen.
Konsili Vatikan II mengatakan bahwa Gereja dalam Kristus bagaikan
sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan
seluruh umat manusia. Gereja ingin menyatakan kepada seluruh umatnya yang
16
beriman mengenai hakekat dan dan perutusannya bagi semua orang untuk
memperoleh keselamatan dan bukan hanya kepada orang Kristen saja (LG, 1).
Keselamatan yang diberikan Allah kepada umatNya telah terwujud di
dalam Gereja. Dari pihak lain, Gereja akan mencapai kepenuhannya dalam
kemuliaan di surga yang tergenapi dalam diri Yesus Kristus, dan dengan dipenuhi
oleh Roh Kudus, Kristus berkarya di dalam Gereja secara terus menerus.
2. Pengertian Gereja Rumah Tangga
Keluarga Katolik merupakan unsur pembentuk Gereja. Melalui keluarga,
Gereja memasuki generasi-generasi berikutnya. Keluarga terbentuk dengan
adanya perkawinan. Perkawinan ini disebut Sakramen karena membentuk tanda
dalam Gereja. Tanda ini tampak dalam relasi timbal balik antara suami-istri yang
menunjukan timbal balik antara Kristus dengan GerejaNya. Sakramen juga
merupakan kehadiran Kristus di tengah-tengah pasangan suami-istri yang telah
mengungkapkan janji nikah dihadapan Tuhan.
Keluarga Katolik bukanlah hanya sekedar organisasi, melainkan
persekutuan anggota berdasarkan persaudaraan dan iman. Imanlah yang
menentukan warna Gereja. Maka dalam keluarga Katolik, yang pertama harus ada
adalah iman untuk dapat memberikan semangat kristiani di dalam keluarga
tersebut. Iman disini bukan hanya terletak pada pengetahuan agama, tetapi lebih
kepada sikap atau penghayatan agama yang diwujudkan dalam usaha yang terus-
menerus.
Para Bapa Konsili Vatikan II menulis, “Dalam Gereja-Keluarga itu
hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman
17
pertama bagi anak-anak mereka; orangtua wajib memelihara panggilan mereka
masing-masing secara istimewa panggilan rohani” (LG, 11), kemudian dalam
Dekrit Tentang Kerasulan Awam juga ditegaskan,
Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah untuk menjadi penerima perutusan dari Allah untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya bila melalui cinta kasih timbale balik para anggotanya dan doa mereka bersama kepada Allah, keluarga membawakan diri bagaikan ruang ibadat Gereja di Rumah; bila segenap keluarga ikut serta dalam ibadat liturgis Gereja; akhirnya bila keluarga secara nyata menunjukan kerelaannya untuk menjamu dan memajukan keadilan dan amal-perbuatan baik lainnya untuk melayani semua saudara yang sedang menderita kekurangan (AA, 11).
Dalam suatu lingkup yang lebih kecil, Konsili Vatikan II menyebut Gereja
sebagai Gereja Domestik, kelompok umat beriman atau orang-orang beriman
yang hidup serumah. Sebagai Gereja domestik, kelompok umat seperti itu sudah
mulai bertumbuh sejak abad-abad pertama. Mereka selalau berkumpul di rumah-
rumah dan menyebut dirinya “Jemaat Baru” (Rm 16:5; 1 Kor 16:19)
Kila (2005: 7), mengungkapkan bahwa setiap keluarga Kristiani adalah
Gereja yang hidup, karena Kristus berada di tengah-tengah mereka, ketika mereka
makan bersama, berdoa bersama dan berusaha menyesuaikan hidup mereka sesuai
dengan kehendak-Nya. Gereja Rumah Tangga sebagai persekutuan orang beriman
yang saling mencintai tidak terlepas dari Kitab Suci; di dalamnya terdapat nilai-
nilai yang diwartakan Yesus Kristus dan perlu dicermati dan dikembangkan oleh
setiap keluarga beriman. Untuk menggambarkan Gereja Rumah Tangga sebagai
persekutuan orang beriman yang saling mencintai beliau menemukan perikop
tentang Gereja Rumah Tangga sebagai berikut:
18
• Yoh 2:1-11: Pesta nikah di Kana
Ketika Yesus sedang menghadiri pesta nikah di Kana, Yesus menunjukkan
kemulian-Nya yang merubah air menjadi anggur untuk menyelamatkan pesta
tersebut, dengan didampingi oleh Bunda Maria sebagai Ibu-Nya yang
mempunyai kedekatan dengan-Nya. Kemuliaan Yesus juga nampak di dalam
keluarga ketika keluarga-keluarga mau menyerahkan keluarganya kepada
penyelenggaraan Allah dengan saling mengasihi di dalam keluarganya dan
membiarkan Allah berkarya di dalam keluarganya.
• Flp 3:3-33: Kebenaran sejati
Paulus menggambarkan Yesus sebagai orang Kristen yang sejati, dan hidup
dalam kebenaran sejati. Keluarga katolik hendaknya mencerminkan Yesus
sebagai orang Kristen yang sejati, dimana pembenaran sejati dari Allah,
datang melalui Kristus, dan iman kepada Kristuslah yang menyelamatkan.
Keselamatan yang dimaksud adalah dengan menjadi seperti Yesus yang ikut
ambil bagian dalam kebangkitan dan penderitaan-Nya. Keluarga-keluarga
hendaknya juga yakin bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan dan
selalu menyertai keluarga-keluarga yang menyatukan dirinya dengan Kristus.
• 1 Kor 13:1-13: Kasih
Paulus menggambarkan bahwa kasih lebih dari sekedar karunia pengetahuan,
berkata-kata dan sebagainya. Kasih adalah cara yang paling sempurna, yang
juga paling dasariah, cara bagi semuanya. Kasih menyatukan keluarga, dan
sebaliknya tanpa kasih akan ada perpecahan dan keluarga menjadi hancur.
19
Kasih adalah karunia yang hakiki dan tidak akan pernah hilang. Keluarga akan
tetap utuh, damai dan sejahtera jika selalu ada kasih di dalamnya.
• Ef 5:1-21,33: Hidup dalam terang
Dalam kewajiban rumah tangga diungkapkan bahwa Kristus adalah kepala
Gereja, demikian suami adalah kepala dari istrinya, dan seperti tubuhnya,
Gereja adalah taat kepada Kristus, demikian juga istri hendaknya taat
sepenuhnya kepada suami mereka. Keluarga katolik hendaknya senantiasa
hidup dalam terang, karena yang dihasilkan oleh hidup dalam terang adalah
kebaikan, kebenaran, dan kenyataan, memperhatikan apa yang berkenan
kepada Tuhan.
• Kol 3:5-17: Hidup yang lama dan yang baru
Keluarga-keluarga katolik hendaknya mulai meninggalkan kebiasaan-
kebiasaan hidup yang lama dan menggantinya dengan kebiasaan hidup yang
baru. Dengan demikian diharapkan keluarga-keluarga itu mengenakan pakaian
kebajikan dan dapat menebarkan kebaikan kepada sesama, selain itu keluarga
juga hendaknya selalu mengucap syukur dan membiarkan Kristus di tengah
keluarga mereka.
Beberapa kutipan tersebut di atas, dapat berarti bahwa Yesus sendiri telah
melaksanakan pembangunan Gereja Rumah Tangga di dalam setiap karya-Nya
bersama seluruh murid-murid-Nya. Sebagai Gereja Rumah Tangga, keluarga juga
diharapkan ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja untuk mewartakan Kerajaan
20
Allah di dunia. Dengan demikian menjadi tugas suami-istri untuk mewujudkan
Kerajaan Allah di dalam rumah mereka. Mengajarkan kepada anak-anak mereka
tentang cinta kasih, mengikuti perayaan Ekaristi, mengajarkan kepada mereka
bagaiman Allah berkarya di dalam keluarga, menunjukan kesucian perkawinan
mereka yang tak terceraikan, dan dengan melaksanakan tugas tersebut, keluarga
merupakan Gereja Rumah Tangga.
3. Keluarga sebagai Komunitas Cinta Kasih
Sebagai Gereja, paguyuban orang yang percaya kepada Kristus, keluarga
hendaknya menjadi komunitas cinta. Menurut Bagiyowinadi (2006: 26),
komunitas berarti ada proses menjadi satu, dalam arti mau saling mengerti
sehingga merasa senasib dan sepenanggungan. Untuk mewujudkan hal ini,
komunikasi dan kebersamaan manjadi kuncinya.
Komunitas yang dibentuk dalam keluarga harus dilandasi cinta dan di
warnai kasih (1 Kor 13:4-7). Tanpa kesabaran, kemurahhatian, pengorbanan dan
pengampunan, komunitas dalam keluarga belum bisa disebut sebagai komunitas
Kristiani. Sebab menurut Yesus, “Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa
kamu adalah murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35). Secara
konkret perwujudan cinta tersebut pertama-tama ditujukan kepada sesama anggota
keluarga.
Hal serupa juga dikatakan oleh Eminyan (2001: 23), cinta suami-istri,
yang menunjukkan pemberian diri secara total serta tidak dapat ditarik kembali
antara pria dan wanita dalam ikatan perkawinan, adalah bentuk cinta yang paling
sempurna dari semuanya. Cinta seperti itulah yang menyebabkan munculnya
21
suatu komunitas, yang membuat pria dan wanita menjadi suami-istri, dan pada
umumnya anak yang lahir merupakan buah cinta kasih mereka.
Selain suami-istri, setiap anggota keluarga juga dipanggil dan diutus untuk
mengasihi Allah melebihi segala sesuatu dan mengasihi dirinya sendiri. Selain itu
semua anggota keluarga juga dipanggil untuk saling mengasihi dengan
kemesraan, dan diutus untuk mengasihi dengan ketulusan semua orang lain,
terutama mereka yang lemah, miskin dan tersingkir atau terlantar.
C. Komponen-komponen Formatif di dalam Keluarga Sebagai Gereja
Rumah Tangga
1. Komunikasi
Menurut Gilarso (1996: 44), komunikasi adalah suatu proses timbal balik
antara dua orang. Yang seorang memberi informasi/isyarat dan yang lain
menerima informasi kalau yang lain menangkap dan mengerti informasi tersebut,
sehingga ia mempunyai suatu persamaan pengertian, maka dikatakan sebagai
berkomunkiasi. Sebab, mereka telah menjadi satu dalam pengertian. Sebaliknya,
bila pihak lain tidak menangkap pengertian dari informasi yang disampaikan,
maka belum terjadi komunikasi.
a. Komunikasi di dalam Keluarga
Di dalam hubungan yang akrab, perasaan-perasaan negatif dapat muncul
diantara pasangan. Hal ini tidak terelakkan bila menimbang bahwa kepribadian
manusia begitu kompleks, dan ada tekanan-tekanan di dalam kehidupan yang
dijalani. Banyak pasangan kadang mengatasi perasaan-perasaan negatifnya
22
dengan cara berkelahi walau kemudian berujung pada saling mendiamkan.
Komunikasi verbal atau dialog menembus perasaan-perasaan negatif. Dialog
merupakan jawaban ketika terasa ada tembok yang memisahkan satu sama lain
(Tim Publikasi Pastoral Redemptoris, 2001: 28).
Menurut Hart (1988:33), komunikasi adalah hal yang sangat penting
dalam membangun keluarga, komunikasi juga merupakan landasan utama, syarat
yang harus ada dalam ikatan perkawinan. Komunikasi adalah kunci untuk
menyelesaikan perselisihan. Komunikasi adalah jalan satu-satunya untuk dapat
terus berkembang bersama, atau hidup bersama dalam perkawinan. Hart (1988:
44) juga mengungkapkan,
Komunikasi merupakan keterampilan dasar dan kunci segala macam unsur yang membentuk hidup perkawinan. Komunikasi dapat dipelajari sepanjang waktu. Komunikasi yang dilakukan tidak hanya sekedar basa-basi atau menyelesaikan konflik dan perselisihan saja tetapi juga menyangkut tentang kelangsungan hidup berkeluarga baik itu tentang sex, pendidikan anak ataupun ekonomi keluarga.
Pada tahun-tahun awal perkawinan, komunikasi yang dilakukan lebih
kepada hubungan suami istri, tetapi dalam perjalanan waktu, komunikasi tersebut
berkembang karena kehadiran anak, pendidikan anak, ekonomi keluarga, dan
seterusnya. Komunikasi di dalam keluarga khususnya suami-istri berlangsung
seumur hidup.
b. Komunikasi sebagai Sarana Rekonsiliasi di dalam Keluarga
Sebagai sebuah keluarga yang dimana Yesus ada di tengah-tengah kita,
maka kita dipanggil untuk berdamai ketika menyebabkan penderitaan satu sama
lain dan turut ambil bagian dalam karya pengampunan-Nya. Pengampunan di
23
dalam keluarga bukan merupakan Sakramen Tobat, dan bukan untuk
menggantikan sakramen tersebut. Tetapi keduanya dapat berjalan bersama dengan
indahnya. Di dalam tindakan saling mengampuni di dalam keluarga, kita
mengalami kasih Kristus, penyembuhan oleh tubuh-Nya dan mengalami keluarga
sebagai Gereja (Tim Publikasi Pastoral Redemptoris, 2001:71).
Dalam hal ini Paus Yohanes Paulus II juga menghimbau bahwa, Perayaan
Sakramen Tobat memeperoleh makna yang istimewa bagi kehidupan keluarga.
Dalam iman suami-istri serta anggota-anggota sekeluarga lainnya menemukan,
bahwa dosa melanggar tidak hanya perjanjian dengan Allah, melainkan juga
perjanjian antara suami dan istri serta persekutuan keluarga (FC, 58).
Komunitas keluarga hanya dapat dilindungi dan disempurnakan dengan
semangat pengorbanan yang besar. Ini menuntut keterbukaan satu sama lain dan
saling pengertian, ketekunan, maaf dan pengampunan. Tidak ada keluarga yang
tidak tahu betapa egoisme, perselisihan, ketegangan dan konflik benar-benar
menyerang dan melukai keluarga. Akan tetapi keluarga juga dipanggil Allah
Sumber Damai untuk mengalami rekonsiliasi dan persekutuan kembali. Dengan
berpartisipasi dalam sakramen rekonsiliasi dan dalam perkjamuan Ekaristi,
keluarga Kristen mendapat rahmat untuk mengatasi segala perpecahan dan
berjuang untuk mewujudkan kesatuan keluarga sebagaimana yang dikehendaki
Allah (Bala Pito Duan, 2003: 63-64).
c. Keluarga Berkomunikasi dengan Masyarakat
Telah dikatakan bahwa komunikasi merupakan kunci utama dari unsur
pembentuk keluarga. Komunikasi yang dilakukan juga berlangsung seumur
24
hidup. Namun komunikasi yang dilakukan tidak hanya berhenti di dalam keluarga
saja, tetapi juga di masyarakat. Telah dikatakan juga bahwa keluarga merupakan
sel terkecil dalam masyarakat, dan hidup di tengah masyarakat. oleh sebab itu
hendaknya keluarga juga membangun komunikasi dan relasi yang baik dengan
masyarakat sekitarnya, seperti yang diungkapkan oleh Dewan Karya Pastoral
KAS (2007: 28) bahwa, keluarga katolik tinggal di tengah masyarakat. Oleh
karena itu, keluarga katolik diharapkan tetap hidup terintegrasi dengan masyarakat
sekitar. Hal itu misalnya, dapat diwujudkan dengan memelihara relasi dan
komunikasi yang baik dengan para tetangga, teman-teman kerja dan teman-teman
bergaul. Hal tersebut tidak dapat dihalangi oleh bedanya agama, suku ataupun ras.
Dalam menjalin relasi antara keluarga katolik dengan masyarakat, Paus
Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya menghimbau, bahwa keluarga
sebagai sel pertama dan vital bagi masyarakat serta mempunyai ikatan vital dan
organis dengan masyarakat. Keluarga-keluarga katolik hendaknya tidak
terkungkung dalam dirinya melainkan menurut hakekat serta panggilannya
terbuka bagi keluarga-keluarga lain dan bagi masyarakat, serta menjalankan
peranan sosialnya (FC, 42).
2. Keluarga Menjadi Tempat Pendidikan Anak yang Pertama dan Utama
Dewan Karya Pastoral KAS (2007: 29) mengungkapkan bahwa keluarga
bukanlah semata-mata merupakan lingkungan tempat anak-anak bertumbuh secara
fisik. Keluarga juga merupakan lingkungan tempat mereka bertumbuh secara
psikis, moral, sosial dan spiritual. Baik dalam konsep maupun dalam praktik, hal
25
itu menjadi nyata bila keluarga menjadi tempat pendidikan yang pertama dan
utama.
a Keluarga Merupakan Tempat Pendidikan Anak yang Pertama
Dikatakan oleh Eminyan (2001: 152), bahwa proses ‘menurunkan anak‘
sama sekali tidak selesai pada saat kelahiran, tetapi hendaknya berlangsung terus
melalui kehidupan putra-putrinya, atau bahkan anak telah mencapai
kedewasaannya. Yang berakhir pada saat kelahiran anak adalah penerusan
kehidupan jasmaniah, walaupun seorang anak tetap tergantung pada ayah-ibunya
dalam banyak aspek, akan tetapi pada saat kelahiran mulailah suatu proses yang
lain yaitu penurunan nilai-nilai yang secara bertahap akan memperkembangkan
dan memperkaya kehidupan Roh (jiwa), membimbing anak kepada kematangan
psikologis dan rohani.
Hak dan kewajiban orangtua untuk mendidik anak-anaknya di rumah
merupakan kelanjutan dan konsekuensi dari hak dan kewajiban untuk melahirkan,
mengasuh dan mendidik anak-anak mereka, dan tidak ada seorangpun yang boleh
mengingkari hak dan kewajiban itu (Dewan Karya Pastoral KAS, 2007). Para
orangtua harus selalu mengusahakan pendidikan anak-anaknya baik dalam hal
iman maupun moral.
b Keluarga Merupakan Tempat Pendidikan Anak yang Utama
Sampai pada saatnya anak-anak mendapatkan pendidikan di luar rumah,
namun tetap saja keluarga merupakan tempat pendidikan yang utama. Pendidikan
formal yang dilakukan di luar rumah tidak dapat menggantikan peran orangtua
26
sebagai pendidik pertama dan utama. Pendidikan yang didapatkan di luar rumah
hanya sebagai pelengkap saja (Dewan Karya Pastoral KAS, 2007: 30).
Melalui pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa
sehingga bila mereka sudah dewasa mereka mampu dan penuh tanggungjawab
mengikuti panggilan mereka juga panggilan religius, serta memilih status hidup
mereka. Selain itu jika mereka mengikatkan diri di dalam pernikahan, mereka
mampu membangun keluarga mereka sendiri dalam kondisi yang penuh dengan
permasalahan baik moril, sosial maupun ekonomi. Merupakan kewajiban orangtua
untuk membimbing mereka dalam membentuk keluarga baik dengan nasihat
maupun teladan.
c Keluarga Merupakan Seminari Dasar bagi Anak-anaknya
Purwa Hadiwardoyo (2006: 48-49) mengungkapkan, bahwa setiap
keluarga katolik diharapkan menjadi sebuah seminari dasar. Artinya, menjadi
tempat bertumbuhnya iman sedemikian rupa sehingga anak Katolik yang diasuh
dan dididik dalam keluarga tersebut mampu menyadari panggilan Tuhan atas
dirinya.
Pertama, setiap anak Katolik dipanggil untuk hidup secara manusiawi,
artinya, hidup sesuai dengan martabat dan kemampuannya yang khas sebagai
manusia. Ia diharapkan mau dan mampu hidup dengan menggunakan
perasaannya, pikirannya, hatinuraninya dan kehendak bebasnya.
Kedua, setiap anak Katolik dipanggil untuk hidup secara Kristiani.
Artinya, hidup sesuai martabat dan kemampuannya sebagai orang Kristen. Ia
27
diharapkan mau dan mampu hidup dengan mengimani, mengandalkan dan
mengasihi Kristus.
Ketiga, setiap anak Katolik dipanggil untuk hidup secara Katolik. Artinya,
hidup sesuai dengan martabat dan kemampuannya yang khas sebagai seorang
Katolik. Ia diharapkan mau dan mampu hidup dengan berpegang pada Kitab Suci
dan tradisi Katolik.
Hal serupa juga diserukan oleh Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung
Semarang (2007, 30-31), bahwa sebagai tempat pendidikan yang pertama dan
utama keluarga diharap menjadi tempat pembenihan dan pengembangan
panggilan hidup. Dalam kaitan dengan hal itu, keluarga diharap menjadi tempat
berkembangnya kepribadian semua anak, sehingga kelak mereka menjadi orang-
orang dewasa yang benar-benar manusiawi sekaligus benar-benar katolik. Di sana,
setiap anak dibantu dalam mencari dan menemukan panggilan Allah atas dirinya,
entah untuk menjadi iman, untuk hidup membiara, atau untuk berkeluarga.
d Menyiapkan Anak menjadi Kader Masyarakat
Keluarga menjadi sel utama pembentukan masyarakat. Dengan demikian
diperlukan manusia-manusia yang dibentuk dengan baik di dalam keluarganya.
Anak-anak di dalam keluarga perlu diajarkan untuk saling berbagi dan saling
melayani. Dalam hal ini, Bagiyowinadi (2006: 86) mengatakan bahwa mereka
juga mesti dididik dan dilatih bersikap menghormati, menaruh keadilan dan cinta
pada yang lain, sehingga kelak mereka siap untuk terjun ke masyarakat.
Keluarga untuk pertamakalinya memberikan kesempatan kepada anak
untuk melihat lingkungan masyarakat sekitarnya, hal merupakan salah satu cara
28
bagi anak untuk mengenal lingkungannya. Setelah melihat, memperhatikan dan
mengalami, maka anak akan menemukan sesuatu yang dapat menumbuhkan dia
dan berfikir kritis tentang lingkungannya tersebut, walaupun tentu saja dengan
pendampingan dari orangtua.
e Pendidikan Iman Katolik pada Tahap Awal di dalam Keluarga
Gabriella dan Suban Tukan (1991) mengatakan bahwa Keluarga adalah
wadah pertama dimana anak yang dilahirkan ke dunia hidup dan belajar mengenal
Allah dalam perkembangannya menjadi anak manusia yang utuh. Di dalam
keluarga, begitu anak dilahirkan, seluruh keluarga manjadi pendidik iman, entah
mereka mau atau tidak.
Merekalah orang-orang pertama yang mengajarkan si anak sejumlah pola
tingkah laku supaya bayi itu dapat mulai berkontak dan berelasi dengan mereka
dan dunia sekitar. Merekalah penyaksi iman yang pertama bagi anak. Iman akan
Allah, pengalaman iman akan Allah, menjadi satu dalam seluruh penghayatan
iman dalam keluarga baik dalam hal visi dan pandangan kristiani pun dalam hal
pilihan nilai.
Pendidikan iman dalam keluarga tidak mengikuti suatu program seperti
dalam katekese sekolah, tetapi mulai dengan dasar iman keluarga dan bertumbuh
seterusnya. Pendidikan iman di sini dimengerti lebih sebagai suatu pelaksanaan
yang spontan dan natural dalam pertemuan dalam pribadi-pribadi dalam keluarga
dan dalam umat. Umumnya terjadi dalam hal-hal harian dari satu peristiwa ke
peristiwa berikutnya.
29
Proses pertama pendidikan anak, dimulai dengan mentransfer nilai, dan
menyesuaikan diri anak dengan adaptasi dan kebiasaan hidup keluarga dan
masyarakat sekitar. Sama juga untuk bidang iman . dalam hal ini bukan bukan
soal berbicara tetapi perbuatan iman yang disaksikan itulah yang penting, yang
perlu bukanlah pemasukan iman dari luar, atau mengajarkan iman kita sendiri,
tetapi mendampingi anak dalam mengkaji nilai iman dari cerita Kitab Suci atau
peristiwa gerejani. Kalau anggota keluarga tidak beriman, merekapun tidak
menyaksikan sesuatu dari imannya karena mereka sedang mengajar bagaimana
hidup tanpa iman.
Keluarga dimana ada iman tentang Kristus, tidak hanya hal itu
menimbulkan iman di dalam diri anak, tetapi juga tertanam cara hidup sebagai
pengikut Kristus. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tahap ini merupakan
evangelisasi pertama. Seluruh keluarga memberi kesaksian mengenai kabar
gembira yang membebaskan, yang telah terjadi dalam hidup ini, dan mulai
dialami oleh sang anak.
Menyadari tugas utama orang tua tersebut, yaitu sebagai pendidik yang
pertama dan utama, maka usaha pendidikan dari orangtua harus menjangkau
seluruh kepribadian anak. Pendidikan harus membantu anak dalam kedewasaan
fisik, emosional, afektif, moral dan sosial, juga dalam pembinaan akal budi. Sejak
awal hendaknya anak-anak sudah diterima sebagai bagian integral dari keluarga.
Tiap-tiap anggota keluarga-orangtua dan anak-anak-ikut berperan dalam
pendidikan masing-masing anak, tak terkecuali kerelaan yang hendaknya dimiliki
oleh orang tua sendiri untuk belajar sesuatu dari anaknya.
30
3. Keluarga Ikut Ambil Bagian dalam Tugas Perutusan Gereja
Menurut Eminyan (2001: 176), sebagai Gereja Rumah Tangga, keluarga
dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja mewartakan Injil, baik
ke dalam maupun keluar dirinya sendiri. Dengan keluarga sebagai sakramen,
keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga dan keluarga sebagai penginjil,
diharapkan keluarga juga bisa menjadi komunitas keselamatan.
Dalam anjuran apostolisnya, Paus Yohanes Paulus II juga menyebut salah
satu peran keluarga Kristiani di jaman modern ini adalah turut serta dalam hidup
dan perutusan Gereja. Peran ini diwujudkan dengan ambil bagian dalam Tritugas
Kristus, yakni:
a. Nabi : Keluarga Kristen sebagai persekutuan yang beriman dan mewartakan
Injil (FC, 51-54), dalam hal ini keluarga-keluarga hendaknya ikut mewartakan
sabda Allah di dalam keluarganya. Hal ini juga ditegaskan dalam anjuran
apostolis Paus Paulus VI bahwa pewartaan Injil juga hendaknya dilakukan
oleh kaum awam, terlebih lagi keluarga yang disebut sebagai Gereja keluarga.
Orangtua tidak hanya menjadi penyalur Injil bagi anak-anaknya, melainkan
dari anak-anakpun mereka sendiri dapat menerima Injil sebagaiman mereka
hayati secara mendalam. Selain menjadi pewarta Injil bagi keluarganya,
keluarga juga dapat menjadi pewarta Injil bagi keluarga lainnya (EN, 71).
b. Imam : Keluarga Kristen sebagai persekutuan yang berdialog dengan Allah
(FC, 55-62), keluarga katolik hendaknya bersatu dengan Allah lewat
sakramen-sakramen, ibadat dan doa. Seperti sakramen-sakramen lainnya,
31
sakramen perkawinan juga merupakan tindakan liturgis memuliakan Allah
dalam Kristus dan di dalam Gereja, dengan demikian mereka semakin maju
menuju kesempurnaan hidup iman yang saling menguduskan dan bersama-
sama berperan serta demi kemuliaan Allah.
c. Raja : Keluarga Kristen sebagai persekutuan yang melayani manusia (FC, 63-
64), keluarga katolik hendaknya menemukan makna otentik partisipasinya
dalam martabat raja Tuhannya dengan berbagi semangatnya serta pelaksanaan
pengabdiannya kepada sesama, seperti Kristus, raja yang datang melayani
manusia (Mat 25:40).
Bagaimana secara konkret keluarga Kristen dapat menjadikan dirinya sebagai
persekutuan yang berdialog dengan Allah? Menurut Bagiyowinadi (2006: 29),
melalui Sakramen Perkawinan keluarga Kristen dipanggil menjadi persekutuan
yang berdialog dengan Allah melalui sakramen-sakramen, pengorbanan diri dan
doa (FC, 55). Secara konkret dialog itu bisa dilakukan dengan merayakan
sakramen bersama keluarga, pemberkatan rumah, korban rohani seluruh keluarga
dan doa bersama keluarga.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Gereja memiliki harapan
yang besar terhadap keluarga-keluarga katolik. Gereja berharap keluarga-keluarga
tersebut yang merupakan sel utama pembentukan Gereja dan juga masyarakat
32
dapat menghasilkan anggota Gereja dan masyarakat yang berkualitas, yang tidak
saja berkembang dalam hal intelektual tetapi juga iman dan moral.
Oleh karena itu, Gereja mempunyai tugas untuk melakukan pendampingan
dan pembinaan terhadap mereka, pembinaan yang dilakukan tentu saja bukan
hanya menyangkut hubungan suami-istrinya sendiri, tetapi juga yang mengarah
kepada pendidikan anak yang bercorak formatif, agar kelak anak tersebut dapat
“menurunkan” apa yang dilakukan oleh orang tua dalam keluarganya ketika
membangun keluarganya sendiri. Namun sebelumnya perlu dilihat juga apakah
unsur-unsur yang disebut di atas sudah dibentuk oleh keluarga-keluarga muda di
Paroki Santo Antonius Kotabaru. Oleh karena itu diperlukan sebuah penelitian
untuk melihat sejauh mana para keluarga muda telah membangun unsur-unsur
tersebut. Hasil survey yang dilakukan dapat memberikan arah pada pendampingan
dan pembinaan yang akan dilakukan, yang sesuai dengan keadaan keluarga-
keluarga muda itu sendiri.
Usia perkawinan di bawah lima tahun memang belum mengarah kepada
pendidikan anak karena anak masih sangat kecil, atau mungkin ada keluarga yang
belum mempunyai anak. Terlebih lagi, keluarga usia muda tersebut belum berfikir
untuk mempersiapkan anaknya untuk membina rumah tangga. Tetapi sebenarnya
persiapan tersebut hendaknya dipersiapkan sejauh mungkin, pada awal kehidupan
anak seperti yang diungkapkan oleh Eminyan (2001: 163) bahwa,
Persiapan yang dilakukan pada awal-awal tahun kehidupan anak sampai pada masa remaja, bahkan ketika anak belum mulai berfikir dan masih belum mempunyai rencana untuk berkeluarga, namun toh pada akhirnya, suatu ketika bila tiba waktunya juga dipanggil untuk membentuk keluarga.
33
Oleh sebab itu, para orangtua hendaknya mengetahui bahwa pembekalan dan
persiapan perkawinan bagi anak-anaknya bisa dilakukan sedini mungkin. Melalui
pembinanan dan pendampingan yang dilakukan, diharapkan keluarga-keluarga
tersebut dapat mengetahui apa yang bisa dilakukan untuk menjadikan keluarganya
sebagai basis hidup umat beriman dan membentuk Gereja Rumah Tangga.
BAB III
KEHIDUPAN KELUARGA MUDA KATOLIK
DI PAROKI SANTO ANTONIUS KOTABARU
Paroki Santo Antonius Kotabaru merupakan paroki kota dan berada di
pusat Kota Yogyakarta. Paroki ini digembalakan oleh seorang Iman Jesuit yang
baru mengabdi kurang lebih selama lima bulan menggantikan Romo paroki
sebelumnya yang telah mengabdi selama hampir 4 tahun. Paroki Santo Antonius
Kotabaru ini mendapat sebutan sebagai “Gereja Kaum Muda”, karena umat di
paroki tersebut memang didominasi oleh kaum muda yang datang dari luar
Paroki.
Pelayanan pastoral Paroki Santo Antonius Kotabaru ditata menurut
struktur teritorial (lingkungan) dan kategorial (kelompok-kelompok).
Keanggotaannya terdiri dari komunitas-komunitas atau kelompok-kelompok
pelayanan yang ada di Paroki ini misalnya: komunitas koor, komunitas organis,
komunitas lektor, komunitas gamelan, komunitas putra altar dll. Sedangkan untuk
pelayanan secara teritorial meliputi daerah-daerah yang secara geografis menjadi
cakupan Paroki Santo Antonius Kotabaru.
Mereka yang terlibat di dalam komunitas kategorial tersebut tidak hanya
umat paroki Santo Antonius Kotabaru saja, tetapi juga dari luar paroki. Selain itu,
Paroki Santo Antonius Kotabaru sendiri juga memang terbuka terhadap
keterlibatan komunitas-komunitas tertentu di luar paroki, seperti penjagaan parkir,
Ekaristi Kaum muda dan penggalangan dana sebagainya.
35
A. Gambaran Umum Kehidupan Umat di Paroki Santo Antonius Kotabaru
Yogyakarta
1. Sejarah Paroki Santo Antonius Kotabaru
Pada awalnya Gereja Santo Antonius Kotabaru masih di bawah binaan
Paroki Kidul Loji, karena masih merupakan stasi. Gedung Gereja merupakan
kapel yang dikelola oleh Kolsani, kapel ini sering digunakan oleh para Frater
Jesuit. Seiring perkembangan misi, umat di Kotabaru bertambah banyak, dan
kapelpun dibuka untuk umum. Perkembangan umat dari tahun ketahun semakin
meningkat bersamaan dengan peresmian Gereja pada tanggal 26 September 1926.
Pada tanggal 1 Januari 1934, Gereja Santo Antonius Kotabaru bukan lagi Stasi
dari Paroki Kidul Loji, melainkan menjadi Paroki yang berdiri sendiri (Buku
Ulang Tahun Gereja St. Antonius ke-75)
2. Letak Geografis
Berdasarkan letak geografisnya, Paroki Santo Antonius Kotabaru termasuk
wilayah Keuskupan Agung Semarang. Paroki ini terletak di tengah Kota
Yogyakarta, yang jaraknya berdekatan dengan paroki lain. Sebelah selatan
berbatasan dengan Paroki Bintaran dan Paroki Kidul Loji; sebelah utara
berbatasan dengan Paroki Banteng; sebelah barat berbatasan dengan Paroki
Kumetiran dan Paroki Jetis; sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Paroki
Baciro.
Sedangkan untuk batas-batas wilayah paroki, sebelah barat Paroki Santo
Antonius berbatasan dengan Jalan Malioboro dan Sungai Code; sebelah timur
berbatasan dengan Kali Mambu dan Kali Sagan Wetan; sebelah utara dengan
36
daerah Bulak Sumur, Kampung Sendowo dan Perumahan UGM; sebelah selatan
dengan Kampung Bausasran dan Gayam.
Gedung Gereja berdiri kokoh dengan artistik Belanda.Letak gedung Gereja
sangat strategis karena bisa dijangkau dari mana saja dan dilewati oleh kendaraan
umum dari berbagai jurusan. Oleh sebab itu banyak umat dari paroki-paroki
tetangga lebih memilih melaksanakan Misa di Paroki tersebut karena lebih mudah
dijangkau.
Paroki Santo Antonius Kotabaru memiliki Gedung pertemuan (GKS
Widyamandala) dan gedung pastoral dengan aula pertemuan. Gedung pertemuan
ini digunakan untuk tempat pendampingan dan pertemuan-pertemuan umat. Selain
gedung pertemuan paroki ini juga terdapat biara-biara (Kolsani, ADM, CSA,
MTB dan CB), Pusat Kateketik dan Pusat Pastoral yang letaknya berdekatan
dengan pusat paroki.
Dalam perkembangannya sampai dengan tahun 2006, Paroki Santo
Antonius Kotabaru terdiri dari 23 lingkungan. Diantaranya adalah: Lingkungan
Bernadetta; Thomas Aquino; Matius; Paulus; Yosef Benediktus; Elisabeth;
Veronika; Yosephus; Petrus; Ignasius; Yacobus; Maria Assumpta; Maria
Immaculata; Theresia; Agustinus; Yohanes; Servasius; Yohanes Paulus; Yusup;
Aloysius; Pankrasius; Stefanus; dan lingkungan Gregorius. Pada tahun 2007 telah
direncanakan adanya penambahan satu lingkungan yaitu Theresia Avilla.
3. Situasi Sosial Ekonomi
Umat Paroki Santo Antonius Kotabaru bertempat tinggal di daerah
perkotaan. Tingkat sosial ekonomi umat di paroki ini bisa digolongkan
37
berdasarkan tempat tinggal mereka. Umat yang tinggal di lingkungan Bulak
Sumur dan Kotabaru dapat digolongkan ke dalam kelas ekonomi menengah ke
atas, karena mereka tinggal di kawasan yang cukup elit.
Sedangkan umat yang tinggal di sepanjang Sungai Code digolongkan ke
dalam kelas ekonomi menengah ke bawah, karena umat yang tinggal di
lingkungan tersebut banyak yang tinggal di pemukiman yang kumuh, dan
lingkungan-lingkungan lainnya dalam hal sosial ekonomi adalah campuran dari
menengah atas dan menengah bawah. Namun penggolongan tersebut tidak
mempengaruhi keselarasan antar umat di paroki ini, karena mereka tetap bisa
bekerjasama dan berkoordinasi dengan baik.
4. Kegiatan Pengembangan Umat
Kegiatan-kegiatan pengembangan umat yang dilakukan oleh Paroki Santo
Antonius Kotabaru dilaksanakan dengan koordinasi Dewan Paroki yang
bekerjasama dengan seluruh umat yang dibagi per bidang (Laporan, Ultah Gereja
Santo antonius Kotabaru ke-80, 2006). Bidang-bidang tersebut di antaranya:
Bidang I, atau yang disebut Diakonia, menjalankan kegiatannya dengan
melakukan pembinaan. Pembinaan dan pendampingan yang dilakukan tersebut
mulai dari anak-anak, remaja, kaum muda dan juga orang dewasa. Selain itu,
bidang ini juga mengelolaan perpustakaan, pemeliharaan gedung Gereja dan
termasuk juga mengelola kunjungan Romo paroki ke lingkungan-lingkungan.
Bidang II, atau yang disebut Kerygma, menjalankan kegiatannya dengan
melakukan pendampingan dan kaderisasi bagi para pelayan umat baik itu ketua
lingkungan, katekis dan guru agama. Pendampingan ini juga dilakukan terhadap
38
kaum muda untuk semakin memantapkan iman mereka, salah satunya dengan
mengadakan pembinaan iman dan sharing KItab Suci bagi mereka.
Bidang III, atau yang disebut dengan Liturgi, menjalankan kegiatannya
dengan menyediakan teks Ekaristi dengan dibantu oleh lingkungan-lingkungan
dan komunitas-komunitas kategorial yang ada di paroki tersebut; pembinaan bagi
prodiakon; pembinaan bagi para lektor; mengkoordinir tugas koor dan organis;
serta pembinaan bagi putra altar. Selain itu, bidang ini juga bertanggung jawab
dalam penyediaan subsidi untuk bunga sebagai penghias altar untuk
menyelenggarakan Ekaristi.
Bidang IV, atau yang disebut dengan Koinonia, menjalankan kegiatannya
dengan bergerak bersama seksi sosial paroki. Yang dilakukan oleh seksi sosial ini
adalah mengelola pangrutilaya dengan menyediakan peti jenazah dan santunan
kematia; pemberian beasiswa bagi umat yang kurang mampu (SD, SMP, SMA);
subsidi bantuan untuk perbaikan rumah dan membentuk petugas keamanan gereja.
B. Gambaran Keluarga Muda Katolik di Paroki Santo Antonius Kotabaru
Keluarga muda (usia pernikahan lima tahun ke bawah) di Paroki Santo
Antonius Kotabaru jika dilihat dari jumlah pasangan Katolik yang menikah di
Gereja Kotabaru selama tahun 2001 sampai dengan 2006 (5 tahun terakhir)
mencapai 250 pasang (Buku Nikah Paroki St. Antonius Yogyakarta 2001-2006).
Namun dari kesekian pasangan yang menikah di Gereja Santo Antonius Kotabaru,
hanya sekitar 30 (tiga puluh) pasang yang berasal dari paroki Santo Antonius
Kotabaru. Pasangan yang berasal dari dalam paroki itupun tidak pasti, karena
39
setelah menikah, sebagian besar pasangan tidak tinggal di wilayah paroki Santo
Antonius lagi.
Oleh sebab itu pendataan keluarga muda dilakukan bukan berdasarkan
pernikahan yang dilakukan di Gereja Santo Antonius Kotabaru, melainkan
pasangan katolik yang tinggal di 23 lingkungan yang masuk dalam cakupan
Paroki Santo Antonius Kotabaru. Jumlah keluarga muda di paroki Paroki Santo
Antonius Kotabaru berjumlah sekitar 50 pasutri (2006). Jumlah yang tidak pasti
ini karena ada banyak pasutri yang tidak selalu menetap di lingkungan tersebut.
Pasangan muda ini banyak yang bekerja di luar rumah walaupun tidak
sedikit juga para istri yang menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja.
Kebanyakan dari suami-istri yang bekerja adalah sebagai karyawan, namun tidak
sedikit juga yang bekerja sebagai PNS dan wiraswasta. Pekerjaan yang dilakukan
oleh para pasutri tersebut membuat mereka sibuk dan menghabiskan waktu di luar
rumah untuk bekerja.
Dalam hal pendidikan para pasutri muda inipun rata-rata adalah lulusan
SMA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan ini pula menentukan jenis pekerjaan
mereka yang mempengaruhi tingkat ekonomi keluarga mereka. Namun dalam hal
pengelolaan belum bisa dipastikan apakah mereka dapat mengelola dengan baik
atau tidak, sehingga perlu dilihat lagi.
C. Keluarga-Keluarga Muda Membangun Unsur-unsur Pembentuk Gereja
Rumah Tangga
Untuk melihat sudah sejauhmana keluarga-keluarga muda di Paroki Santo
Antonius Kotabaru membangun unsur-unsur pembentuk keluarga sebagai Gereja
40
Rumah Tangga sebagai arah pembinaan secara formatif bagi anak-anaknya, maka
dilakukan penelitian sederhana. Adapun metode penelitiannya adalah sebagai
berikut:
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui sejauhmana keluarga muda sudah melaksanakan komunikasi yang
baik di dalam keluarganya.
b. Melihat bagaimana para orangtua muda melaksanakan pendidikan bagi anak
di dalam keluarganya
c. Mengetahui apakah keluarga-keluarga muda tersebut sudah turutserta dalam
tugas perutusan Gereja yaitu sebagai nabi, imam dan raja
d. Menggali harapan-harapan keluarga-keluarga muda di Paroki Santo Antonius
Kotabaru terhadap Gereja
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di Paroki Santo Antonius Kotabaru. Hal
ini berdasarkan keprihatinan dari Romo Paroki yang mengatakan bahwa keluarga-
keluarga muda di paroki tersebut kurang diperhatikan dan keterlibatannya dalam
hidup menggereja sangat kurang. Selain itu, pendekatan terhadap merekapun sulit
dilakukan karena selain kesibukan mereka, mereka juga cenderung untuk menutup
diri terhadap “perhatian” yang diberikan oleh pihak Gereja. Adapun penelitian ini
akan dilakukan selama bulan Maret 2007.
Penyebaran kuesioner dilakukan dengan bantuan ketua lingkungan. Para
ketua lingkungan mendata keluarga muda yang ada di lingkungan mereka,
kemudian penyebaran kuesioner dilakukan oleh ketua lingkungan untuk kemudian
41
diteruskan kepada keluarga-keluarga muda yang dijadikan responden. Selain itu
penulis juga mengunjungi para pasutri sendiri untuk diminta mengisi kuesioner
secara langsung.
3. Instrumen Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, instrument pengumpul data yang dipakai adalah
dengan menyebarkan kuesioner, mengingat para responden tersebar secara
geografis (Wasito, 1992: 74). Jenis kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tertutup, sedangkan untuk menggali harapan-harapan dari mereka
digunakan kuesioner yang semi terbuka dimana para responden dimungkinkan
untuk menambah jawab yang telah disediakan. Penyebaran kuesioner dilakukan
pada awal bulan Maret 2007.
Jenis kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah tertutup
sedangkan model kuesioner yang digunakan adalah model skala likert, dengan
tiga dan lima kategori jawaban untuk setiap pilihan dalam suatu item diberi bobot
skor sebagai berikut:
Tabel 1. Bobot Skor
Lima Kategoro Jawaban Tiga Kategori Jawaban
Selalu = 4
Sering = 3
Kadang-kadang = 2
Tidak pernah = 1
Ya = 3
Ragu-ragu = 2
Tidak = 1
Pernyataan yang digunakan adalah pernyataan yang positif yaitu yang mendukung
gagasan dalam item-item yang tertera dalam skala likert.
42
4. Responden Penelitian
Responden penelitian dipilih dengan kriteria tertentu (Purposive Sampling)
hanya sekitar dua puluh tiga (23) pasutri dari populasi sekitar lima puluh (50)
pasutri. Ini dipilih berdasarkan keterlibatan mereka dalam hidup menggereja, dan
mempunyai waktu banyak untuk tinggal di rumah bersama keluarga. Selain itu,
keluarga yang dipilih juga berdasarkan rekomendasi dari Romo paroki dan ketua-
ketua lingkungan setempat.
5. Variabel Penelitian
Variabel yang diteliti melalui instrument kuesioner dalam penelitian
skripsi ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Variabel Penelitian
Variabel No. Item Jml 1 2 3
1. Identitas Responden 1,2,3 3 2. Komunikasi di dalam Keluarga 4,5,6, 7,8 ,9,10,11,31 9 3. Pendidikan Anak di dalam Keluarga 12,13,14,15,16,
17,18,19, 20,21,22,23 12
4. Keluarga ikut ambil bagian dalam tugas perutusan Gereja
24,25,26,27, 28,29,30, 32,33
9
5. Harapan-harapan keluarga muda terhadap Gereja
B1,B2, B3 3
Jumlah total item 36
Untuk mempermudah penyusunan daftar pertanyaan dengan skala Likert pada
kuesioner, disusunlah kisi-kisi final sebagai berikut:
Tabel 3. Kisi-kisi Kuesioner
Variabel Sub Variabel Deskriptor Jml Item
No. Item
1 2 3 4 5 1. Identitas 1) Usia pernikahan 3 1,2,3
43
Responden 2) Pendidikan 3) Pekerjaan
2. Komunikasi di dalam Keluarga
a. Komunikasi di Dalam keluarga
b. Komunikasi sebagai sarana rekonsiliasi
c. Keluarga berkomunikasi dengan masyarakat
1) Membicarakan makna perkawinan yang dijalani
2) Persoalan yang dibicarakan di dalam keluarga
3) Cara membangun komunikasi dengan anggota keluarga
1) Saling mengampuni 2) Cara menyelesaikan
konflik
1) Menjalin relasi dengan masyarakat sekitar
2) Ikut ambil bagian dalam kegiatan kemasyarakatan
1 2 1 2 1 1 1
4 8,11 10 7,31 9 5 6
3. Pendidikan anak di dalam Keluarga.
a. Keluarga sebagai tempat pendidikan anak yang pertama dan utama
b. Menyiapkan anak menjadi kader masyarakat
c. Pendidikan Iman pada tahap awal dalam keluarga
1) Sikap terhadap kelahiran anak
2) Orang tua sadar akan tugas dan kewajibannya
1) Penanaman nilai dan norma masyarakat
2) Memperkenalkan anak dengan lingkungan sekitar
1) memberikan teladan iman
2) mengajarkan anak tentang iman
1 1 1 1 2 6
12 13 14 16 18,23 15,17,19,20,21,22
4. Keluarga Ikut ambil bagian
a. Sebagai Nabi Keluarga mewartakan Injil
3
24,25,33
44
dalam tugas perutusan Gereja
b. Sebagai Imam
c. Sebagai Raja
Keluarga berdialog dengan Allah Keluarga melayani sesama
4 2
26,27,29,30 28,32
5. Harapan-harapan keluarga muda terhadap Gereja
a. Bentuk pendampingan
b. Bentuk Pembinaan
c. Bidang Pendampingan
Pribadi, berkelompok Rekoleksi, retret, konferensi, konsultasi
1 1 1
B1 B2 B3
D. Hasil Penelitian
1. Analisis Deskriptif
Dari 23 kuesioner yang disebarkan kepada keluarga-keluarga muda di
Paroki Santo Antonius Kotabaru, semua berhasil dikumpulkan. Data tersebut
diperoleh melalui kuesioner yang disusun oleh peneliti.
Berikut ini adalah 23 responden (pasutri) berdasarkan usia pernikahan
mereka:
Tabel 4. Usia Pernikahan Responden (N=23)
Usia Perkawinan Jumlah responden Persentase % 1 2 3
1 tahun 5 22 2 tahun 6 26 3 tahun 5 22 4 tahun 3 13 5 tahun 4 17
Jumlah 23 100
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa usia perkawinan pasutri yang
paling banyak mengisi lembar kuesioner adalah usia 2 tahun perkawinan (26%),
sedangkan yang paling sedikit mengisi lembar kuesioner adalah pasutri yang usia
perkawinannya 4 tahun (13%).
45
Responden penlitian yang mengisi lembar kuesioner juga dibedakan
berdasarkan tingkat pendidikan. Untuk mengisi bagian ini, suami dan istri
dibedakan kerena memang suami-istri yang mengisi lembar kuesioner mempunyai
tingkat pendidikan terakhir yang berbeda. Adapun data berdasarkan tingkat
pendidikan adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Responden Istri (N=23)
Pendidikan Jumlah Persentase % 1 2 3
Perguruan Tinggi 13 57 SMA/SMK 9 39 SMP 1 4 SD - -
Jumlah 23 100 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan terakhir
responden (istri) yang terbanyak adalah Perguruan Tinggi (57%). Dari sini dapat
dikatakan bahwa para istri muda di paroki Santo Antonius Kotabaru ini sangat
berpendidikan, sebab tingkat pendidikan yang paling rendah adalah SMP (4%).
Tabel 6. Tingkat Pendidikan Responden Suami (N=23)
Pendidikan Jumlah Persentase % 1 2 3
Perguruan Tinggi 12 53 SMA/SMK 10 43 SMP 1 4 SD - -
Jumlah 23 100 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan terakhir
responden (suami) yang terbanyak adalah Perguruan Tinggi (53%). Dari sini dapat
dikatakan bahwa para suami muda di paroki Santo Antonius Kotabaru ini sangat
46
berpendidikan, sebab tingkat pendidikan yang paling rendah adalah SMP (4%)
saja.
Seperti halnya tingkat pendidikan, untuk jenis pekerjaan juga dibedakan
antara suami dan istri, karena baik suami atau istri mempunyai perbedaan dalam
hal jenis pekerjaan. Informasi mengenai jenis pekerjaan responden dapat diamati
dalam tabel di bawah ini:
Tabel 7. Jenis Pekerjaan Responden (istri) (N=23)
Pekerjaan Jumlah Persentase % 1 2 3
PNS 3 13 Karyawan 7 31 Wiraswasta 3 13 Ibu rumah tangga 10 43
Jumlah 23 100
Dari tabel tersebut dapat diketahui jumlah responden (istri) terbanyak adalah
sebagai ibu rumah tangga ( tidak bekerja) (43%). Dari tabel tersebut juga dapat
diketahui bahwa ternyata sebagian besar para istri (57%) mengahabiskan sebagian
waktunya untuk bekerja di luar rumah dari pagi hingga petang.
Tabel 8. Jenis Pekerjaan Responden (suami) (N=23)
Pekerjaan Jumlah Persentase % 1 2 3
PNS 3 13 Karyawan 9 39 Wiraswasta 7 31 Lainnya….(tidak tetap) 4 17
Jumlah 23 100
Dari tabel tersebut dapat diketahui jumlah responden (suami) terbanyak adalah
bekerja sebagai karyawan (39%). Tabel tersebut juga menunjukan bahwa para
47
suami muda tersebut sudah mempunyai pekerjaan tetap, karena hanya 4 responden
saja yang tidak mempunyai pekerjaan tetap (17 %). Dari tabel tersebut juga dapat
diketahui bahwa ternyata sebagaian besar para suami juga menghabiskan sebagian
waktunya untuk bekerja di luar rumah dari pagi hingga petang.
Selanjutnya akan dipaparkan tentang frekuensi dari variabel-variabel yang
diteliti. Pemaparan selengkapnya disajikan dalam tabel-tabel berikut:
a. Frekuensi Komunikasi di dalam Keluarga
Berdasarkan data yang diperoleh mengenai komunikasi di dalam keluarga,
ditemukan skor tertinggi 29 dan skor terendah sebasar 24. adapun frekuensinya
dapat diamati sebagai berikut:
Tabel 9. Komunikasi di dalam keluarga (N=23)
Kelas interval Frekuensi absolut Frekuensi relatif (%)
1 2 3 27-29 8 35 24-26 11 48 21-23 4 17
Jumlah 23 100
b. Frekuensi Pendidikan Anak
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai
pendidikan anak di dalam keluarga, ditemukan skor tertinggi sebesar 41 dan skor
terendah sebesar 30. adapun frekuensinya dapat diamati dalam tabel berikut :
Tabel 10. Pendidikan Anak di dalam Keluarga (N=23)
Kelas interval Frekuensi absolut Frekuensi relatif (%) 1 2 3
38-41 6 26 34-37 9 39 30-33 8 35
48
1 2 3 Jumlah 23 100
c. Frekuensi Keluarga Turut Serta dalam Tugas Perutusan Gereja
Berdasarkan data yang diperoleh mengenai keluarga turut ambil bagian
dalam tugas perutusan Gereja, ditemukan skor tertinggi sebesar 30 dan skor
terendah sebesar 22. adapun frekuensinya dapat diamati dalam tabel berikut:
Tabel 11. Keluarga Turut Serta dalam Tugas Perutusan Gereja
(N=23)
Kelas interval Frekuensi absolut Frekuensi relatif (%) 1 2 3
28-30 5 22 25-27 12 52 22-24 6 26
Jumlah 23 100
d. Harapan Keluarga Muda terhadap Gereja
Dari jawaban terhadap pertanyaan, responden cukup terbuka dalam
menanggapi dan menjawab pertanyaan. Namun demikian ada beberapa responden
yang mengisi lembar kuesioner itu dengan asal-asalan saja. Hal ini mungkin
karena responden merasa hal tersebut tidak penting dan hanya formalitas saja
(yang penting diisi).
Dalam pertanyaan tambahan ini, ada tiga pertanyaan yang diajukan kepada
responden (lihat lampiran 1 halaman (5)). Ketiga pertanyaan tersebut merupakan
penggalian harapan-harapan dari para pasutri muda terhadap Gereja, diantaranya
adalah tentang cara pendampingan yang diharapkan, bentuk pembinaan yang
dilakukan terhadap mereka dan bidang yang diharapkan mendapatkan perhatian
dalam pembinaan mereka sebagai keluarga muda.
49
• Cara Pendampingan
Tabel 12. Cara Pendampingan
Cara Pendampingan Jumlah Responden
Persentase %
1 2 3 a). Berkelompok/massal 6 26,08 b). Pribadi 15 65,21 c). Keduanya 2 8,69
Dari tabel di datas dapat dilihat, bahwa 15 responden (65,21%) mengharapkan
pendampingan secara pribadi terhadap mereka. Namun 2 orang responden
(8,69%) tidak mempermasalahkan cara pendampingan yang akan dilakukan
terhadap mereka, baik secara pribadi ataupun kelompok.
• Bentuk Pembinaan
Tabel 13. Bentuk pembinaan yang Diharapkan
Bentuk Pembinaan Jumlah Responden
Persentase %
1 2 3 a). Konferensi 3 13,04 b). Rekoleksi 11 47,82 c). Retret 6 26,08 d). Konsultasi 3 13,04
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa 11 dari 23 responden lebih
menyukai pembinaan dengan rekoleksi (47,82%). Sedangkan untuk konferensi
dan konsultasi kurang diminati (13,04%).
50
• Bidang Pembinaan
Tabel 14. Bidang Pembinaan
Bidang Pembinaan Jumlah Responden
Persentase %
1 2 3 a). Komunikasi dalam keluarga 5 21,73 b). Ekonomi Keluarga 1 4,34 c). Pendidikan Anak 7 30,43 d). Seks - - e). Semua Bidang 10 43,47
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa 10 responden menginginkan
pembinaan dalam semua bidang dalam keluarga (43,47%). Dari tabel juga dapat
dilihat, bahwa tidak ada satupun responden yang mengharapkan adanya
pembinaan secara khusus terhadap bidang seks walaupun mereka menganggap
bahwa bidang tersebut penting untuk mendapatkan pembinaan seperti bidang-
bidang yang lainnya di dalam pembangunan keluarga.
2. Pembahasan Hasil Penelitian
a. Komunikasi di dalam Keluarga
Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa keluarga muda di Paroki Santo Antonius
Kotabaru sudah melaksanakan komunikasi dengan baik di dalam keluarganya
(48%). Hal itu terlihat dari komunikasi yang terjalin antara suami-istri dalam
membicarakan persoalan-persoalan rumah tangga, seperti persoalan ekonomi, seks
dan juga pendidikan anak. Tetapi dalam hal membicarakan makna dari
perkawinan itu sendiri, masih jarang dilakukan oleh mereka (lampiran 3) padahal
hal tersebut sangat penting untuk selalu dikomunikasikan oleh suami-istri.
51
Komunikasi yang terjalin tidak hanya terjadi di dalam keluarga saja
melainkan sampai ke masyarakat. Hal itu terlihat dari kebiasaan mereka untuk
berinteraksi dengan masyarakat sekitar setiap harinya. Namun dari data yang
diperoleh oleh penulis, komunikasi yang dilakukan oleh pasutri dengan
lingkungannnya masih rendah dan kurang terlaksana dengan baik (lampiran 3)
Selain itu komunikasi juga dijadikan sebagai sarana rekonsiliasi bagi
suami-istri jika terjadi konflik atau perbedaan pendapat. Mereka membicarakan
permasalahan yang terjadi untuk mendapatkan kesepahaman dan saling
memaafkan. Dari data yang diperoleh, sekitar 74% dari mereka tidak pernah
melibatkan orang ketiga untuk menjadi penengah dalam menyelesaikan konflik
diantara mereka (lampiran 3).
b. Pendidikan Anak di dalam Keluarga
Dari tabel 9 dapat diketahui bahwa pasutri muda ini menyadari
konsekuensi mereka untuk menikah. Mereka harus terbuka terhadap keturunan
dan bertanggung jawab untuk pendidikan anak-anak mereka (39%). Usia
pernikahan di bawah lima tahun memang belum terlalu terfokus kepada
pendidikan anak, karena anak mereka baru berusia 0-4 tahun. Telah dikatakan,
bahwa pendidikan anak hendaknya dilakukan sedini mungkin, bahkan sejak anak
belum mengerti apa-apa. Oleh karena itu orang tua diharapkan dapat memberikan
teladan yang baik kepada anak-anaknya. Diantara para pasutri muda tersebut ada
juga yang belum mempunyai anak, tetapi setidaknya mereka mengetahui apa yang
akan mereka lakukan jika kelak anak mereka lahir.
52
Dari tabel juga dapat dilihat, para pasutri sudah menyadari akan tuganya
mendidik anak dan memberikan perhatian dan kasih kepada anak-anaknya. Hal itu
terlihat dari tingginya perhatian pasutri terhadap kelahiran anak. Sekitar 91% dari
mereka menghadapi kelahiran itu bersama-sama, dengan demikian anak akan
merasakan kasih dari kedua orangtuanya secara langsung bahkan ketika mereka
baru lahir ke dunia (lampiran 3).
Begitu juga dalam hal iman, mereka juga mulai memperkenalkan tentang
iman kepada anak-anak mereka sejak dini dengan mengajak anak untuk berdoa
bersama di rumah, mengajak mereka untuk mengikuti liturgi ekaristi di Gereja,
melihat suasana di dalam Gereja, mendengarkan lagu-lagu rohani dan bertemu
dengan umat lain. Walaupun mereka belum memahami ataupun mengerti apa
artinya mereka berada di tempat tersebut. Pendidikan iman anak sejak dini juga
dilakukan di rumah dengan teladan yang diberikan oleh orangtua dengan bersikap
baik sebagai perwujudan dari iman mereka. Tetapi berdasarkan data yang
diperoleh, para pasutri ini masih belum melaksanakan pendidikan dalam hal iman
dengan baik khususnya dalam hal memperkenalkan Kitab Suci dan
memperkenalkan panggilan hidup religius kepada anak-anak mereka (lampiran 3)
Begitu pula dalam menyiapkan anak-anaknya menjadi bagian dari
masyarakat luas. Sejak dini para pasutri muda ini sudah mulai memperkenalkan
anak-anak mereka dengan lingkungan sekitar dan berinteraksi dengan masyarakat
sekitar. Interaksi itu bisa dimulai dengan mulai membuka pintu rumah bagi orang
lain untuk masuk dan berinteraksi dengan keluarga. Sebaliknya dengan membawa
anak mereka keluar untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar, dengan
53
demikian anak tidak hanya mengetahui bagaimana lingkungan di dalam
keluarganya, tetapi juga masyarakat di sekitarnya.
c. Keluarga Turut Serta dalam Tugas perutusan Gereja
Berdasarkan tabel 10 di atas dapat dilihat, bahwa keluarga muda di Paroki
Santo Antonius Kotabaru ini sudah cukup terlibat dalam tugas perutusan Gereja
walaupun belum maksimal (52%). Keluarga-keluarga ini sudah melaksanakan
tugas kenabiannya dengan mewartakan Injil di dalam keluarganya. Hal tersebut
terlihat bahwa mereka membiasakan keluarganya untuk membaca Kitab Suci dan
mendalami bersama. Tetapi berdasarkan hasil survey, mereka juga terbentur oleh
kesibukan pekerjaan sehingga hal tersebut menjadi sangat jarang dilakukan
bersama-sama.
Dari data yang diperoleh, mereka juga sudah cukup melaksanakan tugas
imamatnya. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana mereka menjalin relasi dan
berdialog dengan Allah. Mereka mempunyai kebiasaan untuk berdoa bersama di
rumah dan mengikuti perayaan Ekaristi bersama di Gereja. Merekapun
menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan di lingkungan. Namun dari data
yang diperoleh, keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan ini
masih sangat rendah (lampiran 3).
d. Harapan-harapan Keluarga muda terhadap Gereja
• Cara pendampingan
Dari tabel 11 di atas dapat dilihat, bahwa terdapat 15 responden (65,21 %)
yang menginginkan pendampingan secara pribadi kepada masing-masing pasutri,
54
karena dengan demikian mereka dapat dengan bebas melakukan sharing tentang
kehidupan berkeluarganya tanpa takut diketahui oleh orang lain. Sedangkan 6
responden (26,08 %) lain lebih menginginkan pendampingan secara berkelompok
karena dapat berbagi pengalaman dengan pasutri yang lain mengenai
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam rumah tangga. Responden
lainnya tidak mempermasalahkan cara pendampingan yang dilakukan, entah itu
secara pribadi atau berkelompok, dan untuk lebih jelasnya dapat di lihat dalam
tabel berikut ini:
• Bentuk Pembinaan
Dari tabel 12 dapat dilihat bahwa para pasutri muda sangat mengharapkan
pembinaan dalam bentuk rekoleksi (47,82%). Mereka menganggap, pembinaan
dengan rekoleksi dirasa lebih santai dibandingkan dengan retret ataupun
konferensi yang mereka anggap serius dan sangat rohani.
Walaupun para pasutri mengharapkan pendampingan secara pribadi, tetapi
dalam bentuk pembinaan mereka mengharapkan pembinaan yang dilakukan
bersama-sama pasutri lainnya. Karena dengan demikian, mereka dapat berbagi
pengalaman dan sharing dari pasutri lainnya khususnya dalam hal pembangunan
keluarga yang katolik. Selain itu dalam proses rekoleksi yang dilaksanakan
dimungkinkan adanya konsultasi pribadi antara peserta dengan pembina.
• Bidang Pembinaan
Dari tabel 13 dapat dilihat, bahwa 10 orang (43,47%) responden
mengharapkan pendampingan dalam semua bidang dalam kehidupan berumah
55
tangga. Di antaranya adalah komunikasi di dalam keluarga, ekonomi keluarga,
pendidikan anak dan seks.
Dari tabel juga dapat dilihat, bahwa para responden memandang bahwa
semua bidang dalam hal hidup berkeluarga memerlukan adanya pembinaan dan
pendampingan. Namun jika dikhususkan, mereka juga memandang penting
bidang pendidikan anak (30,43 %) sehingga perlu adanya pembinaan dan
pendampingan yang serius terhadap bidang tersebut, karena dapat mendukung
adanya pembinaan yang bersifat formatif dan berdampak ganda bagi pasutri dan
anak-anaknya.
Berdasarkan tabel juga dapat dilihat, bahwa mereka tidak menjadikan
pembinaan dan pendampingan dalam bidang seks suami istri sebagai suatu
kekhususan jika dibandingkan dengan bidang ekonomi keluarga (4,34 %).
Harapan-harapan yang telah terungkap ini membuktikan keseriusan responden
untuk menanggapi perhatian yang diberikan Gereja terhadap mereka.
3. Keterbatasan Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap keluarga-keluarga muda
di Paroki Santo Antonius Kotabaru mempunyai beberapa keterbatasan.
Keterbatasan tersebut dikarenakan terbatasnya waktu, tenaga dan juga biaya,
sehingga penulis hanya meneliti kehidupan keluarga-keluarga muda, khususnya
dalam hal unsur-unsur pembentukan keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga serta
manggali harapan-harapan mereka terhadap Gereja. Sedangkan permasalahan dan
kendala-kendala yang dihadapi untuk melaksanakan itu semua tidak penulis teliti
dan memerlukan penelitian lebih lanjut yang dapat dilakukan oleh peneliti lain.
BAB IV
REFLEKSI DAN USULAN PROGRAM
Pada bagian ini, penulis mencoba memaparkan refleksi pastoral atas hasil
penelitian lapangan terhadap keluarga muda dalam membangun unsur-unsur
pembentuk keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga di Paroki Santo Antonius
Kotabaru, Yogyakarta. Berangkat dari refleksi pastoral ini, selanjutnya penulis
akan menyampaikan sebuah usulan program pendampingan yang diharapkan
dapat berguna bagi para pendamping iman umat dalam rangka membantu para
pasutri muda, khususnya di Paroki Santo Antonius Kotabaru dalam membangun
keluarga sebagai unit formatif yang diharapkan oleh Gereja.
A. Pokok Refleksi: Keluarga Muda Membangun Unsur-unsur Formatif di
dalam Keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga
Suami-istri dipanggil oleh Allah untuk membangun sebuah komunitas
yang dapat menjadi sebuah basis kesejatian hidup beriman serta membangun
keluarganya menjadi Gereja Rumah Tangga. Dari hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa secara umum keluarga-keluarga, khususnya keluarga muda di
Paroki Santo Antonius Kotabaru sudah membangun unsur-unsur pembentuk
keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga walaupun perlu adanya peningkatan
dalam beberapa sub bidang pembinaan. Hal tersebut tampak dari cara mereka
membangun unsur-unsur pembangun keluarga sebagai Gereja Rumah tangga
berikut:
1. Komunikasi di dalam Keluarga
57
Berdasarkan hasil penelitian, para pasutri di Paroki Santo Antonius
Kotabaru sudah membangun komunikasi mereka dengan baik di dalam
keluarganya. Para pasutri khususnya, mereka selalu mengkomunikasikan
permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi di dalam keluarga mereka, baik
itu mengenai keluarga mereka, pendidikan anak-anak mereka, ekonomi keluarga
mereka, dan juga dalam hal hubungan seksual suami istri.
Namun dalam komunikasi yang dilakukan antara suami-istri masih harus
ada peningkatan khususnya dalam hal membicarakan makna dari perkawinan itu
sendiri bagi mereka, karena masih sangat jarang mereka lakukan. Padahal
pemahaman dan diskusi antara mereka mengenai makna dari perkawinan tersebut
merupakan dasar bagi mereka dalam membangun keluarga yang sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh gereja dan Allah sendiri.
Hal itu terjadi, mungkin karena mereka sudah merasa memahami dengan
sungguh makna dari perkawinan itu sendiri, karena tidak mungkin mereka
memutuskan untuk menikah tanpa mangetahui makna dari perkawinan yang
dijalaninya tersebut. Tetapi dimungkinkan juga sebaliknya, bahwa mereka
memang tidak begitu memahami makna dari perkawinan tersebut terhadap
pembangunan rumah tangga mereka, sehingga memilih untuk tidak
membicarakannya.
Selain kurangnya frekuensi suami istri dalam mengkomunikasikan makna
dari perkawinan itu di antara mereka, berdasarkan hasil penelitian, frekuensi
komunikasi mereka dengan masyarakat juga dirasa masih kurang dan perlu
peningkatan. Para pasutri muda ini tidak selalu dapat berkomunikasi dengan
masyarakat lingkungan sekitarnya, baik melalui pergaulan dan peran serta mereka
58
dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Hal ini tentu saja menjadi suatu
keprihatinan, karena keluarga mereka adalah sel terkecil dari masyarakat dan
hidup di tengah masyarakat sehingga hendaknya mampu tetap hidup terintegrasi
dengan masyarakat sekitarnya baik melalui pergaulan dan membangun relasi yang
baik dengan masyarakat seperti yang telah diungkapkan dalam Nota Pastoral KAS
2007 dan Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolisnya bagi keluarga-
keluarga Kristiani di dunia modern.
Hal tersebut dimungkinkan karena kesibukan mereka dalam pekerjaan,
karena berdasarkan data yang diperoleh, sebagian besar dari pasutri tersebut
bekerja di luar rumah baik sebagai karyawan, PNS dan yang lainnya, sehingga
bisa diandaikan waktu mereka setelah bekerja lebih cenderung untuk keluarga
daripada masyarakat. Oleh karena itu pembinaan yang dilakukan hendaknya dapat
membantu mereka dalam menyeimbangkan peran mereka sebagai keluarga
sekaligus sebagai masyarakat.
Dalam hidup perkawinan ada saat dimana terjadi kurang kesepahaman
antar suami-istri, anak dan juga anggota keluarga yang lainnya. Hal-hal tersebut
tidak jarang menyebabkan timbulnya konflik. Para pasutri ini juga lebih memilih
mengkomunikasikan konflik yang terjadi antara mereka dengan tidak meminta
bantuan orang ketiga. Hal ini sangat baik karena sebagai orang beriman, ketika
mereka berhasil mengatasi konflik, mereka juga diharapkan mampu untuk saling
mengampuni satu sama lain.
Maka persoalan pastoral dalam bidang ini adalah bagaimana membantu
para pasutri tersebut untuk membina komunikasi dan memanfaatkannya
semaksimal mungkin bukan hanya untuk mengatasi konflik, tetapi terutama untuk
59
mengembangkan setiap warga keluarga sebagai manusia beriman dan warga
Kerajaan Allah yang dewasa.
2. Pendidikan Anak di dalam Keluarga
Dalam tugas dan perutusannya untuk membangun keluarga, para pasutri
terutama dipanggil untuk menjadi orang tua bagi anak-anak mereka, dengan
bersikap terbuka kepada kelanjutan keturunan dan bertanggung jawab untuk
mendidiknya dengan baik. Dalam usia pernikahan yang masih muda, tentu saja
masalah pendidikan anak belumlah serumit usia pernikahan yang lebih tua, di saat
anak-anak sudah bertumbuh besar dan mulai terbentuk kepribadiannya. Namun
dasar-dasar yang di letakkan pada tahap awal ini akan sangat menentukan suasana
pembinaan pada usia selanjutnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dlakukan penulis, pendidikan anak yang
dilakukan oleh keluarga muda di Paroki santo Antonius Kotabaru sudah
terlaksana dengan baik walaupun masih ada beberapa hal yang harus
mendapatkan perhatian untuk ditingkatkan, khususnya dalam hal pendidikan iman
anak-anak mereka. Dalam mendidik iman anak-anak mereka, para orangtua muda
ini sudah melaksanakannya dengan baik, karena mereka memang sudah mulai
memperkenalkan hal-hal iman yang hendaknya diketahui oleh anak-anak mereka
sejak dini, seperti hidup doa di dalam keluarga, liturgi Gereja, teladan iman dsb.
Tetapi mereka kurang memberi perhatikan akan pentingnya
memperkenalan Kitab Suci sejak dini kepada anak-anak mereka. Padahal Kitab
Suci merupakan sebuah kitab iman (Lalu, 2005: 96) dimana Tuhan “berbicara”
kepada manusia lewat pengalaman hidup manusia yang direfleksikan dalam
60
terang iman, sehingga menjadi pengalaman iman, yang kemudian dituliskan dan
dibukukan menjadi Kitab Suci. Pengenalan Kitab Suci kepada anak-anakpun
hendaknya dilakukan sesuai dengan pengalaman dan kemampuan dalam
mencerna apa yang disampaikan.
Untuk memperkenalkan Kitab Suci kepada anak-anaknya, tentu saja para
orangtua juga harus memahami apa itu Kitab Suci, khususnya yang berkaitan
dengan pendidikan iman anak di dalam keluarga. Tidak hanya memahami makna
dari kitab Suci itu sendiri, para orangtua juga hendaknya mengetahui metode
penyampaian yang dipergunakan kepada anak, sebagai salah satu contoh bisa
dengan menggunakan metode bercerita tentang tokoh-tokoh Kitab Suci.
Di saat anak sudah mulai mempunyai kemampuan untuk merangkai satu
peristiwa dengan peristiwa lainnya, maka anak akan terbuka terhadap kisah dan
juga cerita Di sini daya khayal anak mulai dihidupkan dan dikembangkan. Tentu
saja hal ini menuntut waktu dan kesabaran dari pihak orangtua, dan kesediaan
untuk meluangkan waktu bagi pengumpulan bahan cerita serta untuk bercerita itu
sendiri. Dalam hal ini, kiranya para orangtua muda perlu dibantu dan didampingi
untuk mampu bercerita kepada anak-anak mereka yang masih amat kecil.
Selain itu juga keluarga-keluarga muda ini belum begitu menyadari,
bahwa semua keluarga menjadi sebuah seminari dasar. Artinya, menjadi tempat
bertumbuhnya iman sedemikian rupa sehingga anak-anak katolik yang diasuh dan
dididik dalam keluarga tersebut mampu menyadari panggilan Tuhan atas dirinya.
Keluarga diharapkan menjadi tempat berkembangnya kepribadian semua anak,
sehingga kelak mereka menjadi orang-orang dewasa yang benar-benar manusiawi
dan sekaligus benar-benar katolik. Di sana, setiap anak dibantu dalam mencari dan
61
menemukan panggilan Allah atas dirinya, entah untuk menjadi imam, untuk hidup
membiara, atau untuk hidup berkeluarga.
Peran keluarga dan orangtua dalam panggilan hidup anak adalah
mendukung dan mempersiapkan “tanah” jika pada suatu saat Allah akan memakai
mereka untuk ditanami oleh benih panggilan religius atau panggilan hidup
berkeluarga. Untuk mempersiapkan ini, kiranya para orangtua bisa membantu
anak-anaknya dengan memberikan teladan bagaimana menghayati dan
menanggapi panggilan Allah terhadap mereka baik sebagai religius maupun hidup
berkeluarga. Memberi teladan hidup dalam berkeluarga bisa dilakukan oleh
keluarga sendiri dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan memperkenalkan anak
kepada kaum religius merupakan cara bagaimana anak mengetahui siapa itu
imam, suster dan bruder. Sesuai dengan kemampuan anak, ketertarikan mereka
terhadap kaum religiuspun berawal dari sisi luarnya saja seperti penampilan para
imam dengan jubahnya atau suster dengan baju dan kerudungnya. Pengenalan
anak akan kaum religius akan berkembang seiring dengan berkembangnya usia
dan kemampuan mereka untuk memahami segala sesuatu.
3. Keluarga Turut Serta dalam Tugas Perutusan Gereja
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa sebagian besar keluarga-
keluarga muda di Paroki santo Antonius Kotabaru sudah ikut ambil bagian dalam
tugas perutusan Gereja, baik sebagai nabi, imam maupun raja. Namun demikian
masih diperlukan banyak peningkatan, terutama dalam hal keterlibatan mereka di
lingkungan hidup kejemaatan, karena mereka cenderung ambil bagian dalam
tugas perutusan itu hanya di dalam keluarganya sendiri saja.
62
Telah dikatakan bahwa sebagai unit terkecil jemaat, keluarga diharapkan
menjadi basis kesejatian hidup beriman. Dengan kata lain, dalam lingkupnya
sendiri keluarga dipanggil untuk ikut serta dalam misi Gereja secara keseluruhan
dengan turut membangun Kerajaan Allah. Secara lebih kongkrit, keikutsertaan
keluarga dalam perutusan Gereja ini tampak secara eksternal dalam keterlibatan
dalam macam-macam segi hidup jemaat, secara internal dalam ketekunan
membina orang-orang kristiani yang tangguh dan peduli akan sesamanya.
Oleh karena keterbukaan misioner Gereja ini berarti keterbukaan jemaat
akan situasi masyarakatnya, maka keluarga pun perlu membuka diri terhadap
persoalan-persoalan masyarakat sendiri. Pada prakteknya, persoalan-persoalan ini
akan masuk ke dalam hidup keluarga lewat profesi suami maupun istri, dan akan
lebih baik jika hal ini menjadi bahan dialog bagi suami-istri, bukan hanya dalam
perspektif untuk kesejahteraan mereka sendiri, tetapi juga dalam perspektif
kebaikan masyarakat pada umumnya. Maka berlangganan surat kabar dan
majalah, membahas tayangan-tayangan televisi, dan ikut serta dalam kegiatan-
kegiatan kemasyarakatan merupakan bentuk dari partisipasi misioner keluarga-
keluarga muda.
Oleh karena itu, pembinaan dalam bidang ini mutlak diperlukan, karena
hal ini penting untuk dimulai dalam usia pernikahan yang masih muda, di mana
secara internal keluarga masih harus mengkonsolidasikan diri. Bila sejak awal
konsolidasi keluarga sudah menyatu dengan gerak partisipasi kejemaatan, kiranya
untuk tahap-tahap usia selanjutnya keluarga tersebut tidak akan merasa canggung
dan ragu-ragu untuk menggabungkan diri dengan gerak misioner Gereja.
63
4. Harapan-harapan Keluarga Muda terhadap Gereja
Dari hasil penelitian dapat dilihat, bahwa keluarga-keluarga muda sangat
mengharapkan adanya pendampingan dan pembinaan dari pihak Gereja. Mereka
menganggap masih harus banyak belajar tentang hal-hal yang berkaitan dengan
pembangunan keluarga yang Katolik, yang sesuai dengan kehendak Allah.
Menanggapi keprihatinan yang diungkapkan Romo Paroki Santo Antonius
Kotabaru bahwa mereka sangat tertutup dan sangat sukar didekati, ternyata
mereka sangat menginginkan pendekatan yang dilakukan secara pribadi kepada
masing-masing pasutri, karena dengan begitu mereka bisa lebih leluasa dalam
mensharingkan pengalaman-pengalaman dan permasalahan-permasalahan yang
dihadapi tanpa diketahui oleh orang lain.
Namun dalam hal pembinaan, mereka sangat mengharapkan pembinaan
yang dikemas dalam bentuk rekoleksi pasutri. Para pasutri melihat, bahwa
walaupun mereka didampingi secara pribadi, tetapi dalam pembinaan mereka juga
mengharapkan adanya rekan pasutri lain untuk saling berbagi pengalaman dalam
membina hidup berkeluarga. Selain itu dalam proses rekoleksi yang berlangsung
merekapun mempunyai kesempatan untuk berkonsultasi secara pribadi.
Mengenai bidang pendampingan yang mereka harapakan, mereka sangat
mengharapkan pembinaan yang membahas semua bidang pembinaan keluarga,
yaitu mengenai komunikasi di dalam keluarga, pendidikan anak di dalam
keluarga, ekonomi keluarga dan seks dalam relasi mereka sebagai suami istri.
Kiranya hal tersebut memang sangat sesuai bagi mereka yang baru saja menapaki
jalan menuju hidup berkeluarga, sehingga setelah mereka mendalami bidang-
bidang di atas, mereka dapat membangun keluarganya dengan baik sesuai dengan
64
yang diharapkan oleh Gereja sekaligus dapat memberikan contoh yang baik
kepada anak-anaknya kelak
.
B. Usulan Program
Menanggapi usaha keluarga muda untuk membangun unsur-unsur
pembentuk keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga yang de facto telah
dilaksanakan oleh keluarga-keluarga muda di Paroki Santo Antonius Kotabaru
dan juga menanggapi harapan-harapan keluarga-keluarga muda tersebut terhadap
Gereja dalam melakukan pendampingan dan pembinaan bagi mereka, maka
selanjutnya penulis mencoba mengusulkan sebuah program kegiatan pembinaan
keluarga muda. Usulan akan program tersebut berkaitan dengan bidang studi yang
digumuli penulis, yaitu katekese, sesuai dengan harapan para pasutri, bentuk yang
mereka inginkan adalah rekoleksi.
Namun dalam hal ini terjadi suatu ketidak konsistenan antara
pendampingan yang diinginkan oleh para pasutri dan bentuk pembinaan yang
diharapkan oleh mereka. Dalam hal cara pendampingan, mereka lebih
menginginkan pendampingan secara pribadi terhadap mereka masing-masing
pasutri, tetapi dalam bentuk pembinaan, mereka mengharapkan rekoleksi dan
bukan konsultasi keluarga. Untuk menanggapi harapan dari para pasutri tersebut,
penulis akan mengusulkan kegiatan katekese yang dikemas dalam bentuk dan
suasana rekoleksi keluarga serta memungkinkan adanya kesempatan untuk
melakukan konsultasi secara pribadi dengan para pembina.
Kegiatan rekoleksi bukan hal yang asing di kalangan Gereja Katolik
Indonesia, karena kegiatan ini sering dilakukan oleh umat baik itu oleh kaum
65
awam maupun religius dengan berbagai kelompok masing-masing. Melalui
kegiatan rekoleksi ini, para peserta dapat mengolah dan merefleksikan
pengalaman hidupnya sehingga dapat mengambil makna dari pengalaman-
pengalaman itu dari sudut rohani.
Rekoleksi dilakukan dalam waktu yang singkat, sehingga penyesuaian
dilakukan dengan menentukan bahan dan tema. Bahan yang diolah dalam
rekoleksi diambil dari pengalaman hidup yang sudah dijalani ataupun dari
kebutuhan dan minat yang sedang muncul atau dari sebuah peristiwa penting
dalam hidup yang dianggap amat penting.
Alasan penulis mengemasnya dalam bentuk rekoleksi adalah selain untuk
memenuhi harapan para pasutri tetapi juga karena rekoleksi dilaksanakan dalam
waktu yang singkat. Ini sesuai dengn situasi para pasutri muda di paroki Santo
Antonius Kotabaru yang tidak mempunyai banyak waktu untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan pembinaan seperti itu. Dan alasan penulis menggunakan metode
katekese dalam rekoleksi tersebut adalah, karena bahan dari rekoleksi tersebut
dikumpulkan dari pengalaman hidup mereka sebagai orang yang beriman. Maka
penulis pertama-tama akan mengupas tentang makna dan tujuan katekese, model
katekese yang digunakan, kemudian tujuan usulan program, peserta, matriks
usulan program, dan diakhiri dengan contoh persiapan dan petunjuk pelaksanaan
rekoleksi keluarga muda.
1. Makna dan Tujuan Katekese
Seiring perkembangan Gereja, katekese juga mengalami perkembangan.
Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostoliknya menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan katekese adalah : “pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang
66
dewasa dalam iman yang khususnya mencakup penyampaian ajaran kristen, yang
pada umumnya diberikan pada saat organis dan sistematis, dengan maksud
mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen” (CT, 18).
Pembinaan iman, baik anak-anak, kaum muda dan dewasa menjadi tugas
pembinan iman atau katekis. Pembinaan iman yang dilakukan diandaikan ada
suatu perencanaan yang sistematis sesuai dengan keadaan peserta. Orangtua telah
menurunkan kehidupan kepada anak-anaknya, maka pembina iman yang utama di
dalam keluarga adalah orang tua (FC, 36)
Arah penting dari katekese sudah disadari oleh Gereja. Bahkan Pertemuan
Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia (PKKI) juga telah menyadarinya.
Berdasarkan studi terhadap pelaksanaan katekese di Indonesia dan juga terhadap
berbagai usaha yang telah dilakukan guna mengatasi persoalan dan meningkatkan
mutu katekese, maka diadakan pertemuan antar keuskupan untuk mencoba
merumuskan suatu arah katekese yang ideal. Pada PKKI II araj katekese tersebut
lebih dikenal dengan istilah katekese umat. Rumusan katekese pada PKKI II
adalah sebagai berikut:
Katekese umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (pengahayatan iman) antara anggota jemaat/ kelompok. Melalui kesaksian, para peserta dapat saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara makin sempurna. Dalam katekese umat tekanan terutama diletakan pada pengahayatan iman, meskipun pengetahuan tidak dilupakan. Katekese umat mengandaikan ada perencanaan (Setyakarjana, 1997:67).
Dari pengertian tersebut dapat dipahami mengenai kekahasan katekese umat.
Kekahasan itu terletak pada kesederhanaannya yang terletak pada pengalaman
iman umat sendiri yang dijadikan tekanan dan dikemas dalam bentuk komunikasi
iman, sehingga Kabar Gembira dimungkinkan dapat sampai kepada umat melalui
67
siatuasi konkret hidup mereka sehari-hari. Namun dalam pelaksanaannya, proses
ketekese juga tidak bisa mengenyampingkan soal pengetahuan walaupun dibuat
sesederhana mungkin, tidak terlalu rumit dan teologis, karena umat (awam) akan
sulit memahami, dan pesan tidak akan sampai kepada mereka. Perlu disadari
bahwa peran katekis mutlak diperlukan dalam proses katekese.
Setyakarjana (1997: 71) mengungkapkan, bahwa katekis sebagai
pemimpin katekese hendaknya dapat bertindak sebagai pengarah dan pemudah
(fasilitator). Ia adalah pelayan yang menciptakan suasana yang komunikatif. Ia
membangkitkan gairah supaya para peserta berani berbicara secara terbuka.
Manekankan bahwa katekis sebagai pemimpin dalam proses katekese tidak
membawa diri sebagai orang yang paling pintar dan paling tahu tentang iman
sehingga menimbulkan kesan indotrinasi terhadap peserta.
Mengenai tujuan dari katekese itu sendiri, Paus Yohanes Paulus II dalam
Anjuran Apostoliknya mengungkapkan bahwa tujuan khas dari katekese adalah :
“berkat bantuan Allah mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, dan dari
hari ke hari memekarkan menuju kepenuhannya serta semakin memantapkan
perihidup Kristen umat beriman, muda maupun tua” (CT, 20). Tujuan katekese
yang dimaksud dalam dokumen tersebut adalah, bahwa katekese harus dilakukan
secara berkesinambungan. Artinya karya katekese hendaknya dilakukan secara
terus-menerus sampai manusia mencapai kepenuhannya di dalam Kristus, yakni
ketika mereka berjumpa dengan Dia pada kehidupan kekal.
Para pakar katekese menitikberatkan komunikasi iman dalam katekese
dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini PKKI II merangkumnya sebagai berikut:
68
• Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari.
• Dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kehidupan sehari-hari;
• Dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan semakin dikukuhkan hidup Kristiani kita;
• Pula kita semakin bersatu dalam Kristus, semakin menjemaat, makin tegas mewujudkan Gereja setempat, dan mengokohkan Gereja setempat, serta mengokohkan Gereja semesta;
• Hingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat (Setyakarjana, 1997:72)
Dengan demikian umat mampu membuka diri kepada kehadiran Tuhan di tengah-
tengah mereka sehingga akan timbul suatu pengharapan bahwa akan datang
keselamatan dan kehidupan kekal seperti yang sudah dijanjikan oleh Kristus
sendiri. kesadaran akan kepercayaan dan harapan yang sama, akan memapukan
umat untuk saling menguatkan dan menguhkan di dalam iman dan mereka akan
menjadi saksi dari kebaikan dan cinta kasih Tuhan.
Dalam keseluruhan uraian tentang makna dan tujuan katekese, dapat
ditarik sebuah pemahaman tentang pengertian dan tujuan katekese keluarga muda.
Katekese keluarga muda adalah sebuah komunikasi iman atau tukar pengalaman
(penghayatan iman) antara suami-istri dan pasutri-pasutri yang baru saja
mengarungi bahtera rumah tangga. Melalui kesaksian akan sharing pengalaman,
mereka dapat saling membantu sehingga mereka saling menguhkan dalam
panggilannya membangun keluarga yang dikehendaki oleh Allah. Untuk ini tetap
dibutuhkan peranan seorang fasilitator yang membantu dan memperlancar sharing
antar pasutri tersebut.
Adapun katekese bagi keluarga muda ini memiliki tujuan supaya dalam
terang Injil, para pasutri yang baru membangun keluarga semakin meresapi arti
pengalaman hidup sehari-hari bersama keluarga dengan segala permasalahannya,
69
semakin menyadari kehadiran Tuhan di tengah keluargannya, mampu saling
mngampuni, sehingga merekapun semakin sempurna dalam beriman, berharap,
mengamalkan cinta kasih di tengah-tengah keluarga. Katekese bagi keluarga ini
juga mewujudkan unsur gerejani dari hidup berkeluarga, di mana Gereja ikut serta
menumbuhkan unit-unitnya yang terkecil.
2. Model Katekese yang digunakan
Bertitik tolak dari perkembangan katekese dewasa ini, maka dalam usulan
program, penulis mengusulkan sebuah model katekese, yaitu model pengalaman
hidup. Alasan penulis menawarkan model ini adalah karena peserta diberi
kesempatan seluas-luasnya sehingga hal yang mereka gumuli dan temui dalam
hidup mereka sehari-hari dapat ditanggapi bersama dalam terang Kitab Suci dan
tradisi Gereja. Pengembangan langkahpun sangat sederhana sehingga sangat
memungkinkan untuk dilaksanakan dalam bentuk rekoleksi.
Adapun langkah-langkah dalam proses katekese dalam model pengalaman
tersebut terdiri dari tiga langkah besar yang dalam pelaksanaannya dimungkinkan
adanya pengembangan langkah-langkah yang lebih kecil lagi. Langkah-langkah
tersebut dapat penulis rangkum sebagai berikut (Lalu, 2005: 74):
a. Langkah pertama: Proses mengamati dan menyadari suatu fenomena
tertentu di dalam pengalaman hidup yang diangkat sebagai tema
Pada langkah pertama ini peserta diajak untuk mengamati fakta yang
terjadi dengan menggunakan dokumen (fakta, peristiwa) tertentu yang berwujud
cerita bergambar, video, berita, kisah dan sarana-sarana lain. Langkah ini
70
menyadarkan peserta bahwa sabda Allah bukanlah anonim, tetapi selalu bertolak
dari situasi konkret jemaat pada konteks tertentu. Pada langkah ini peserta juga
diajak untuk mendalami pengalaman-pengalaman hidup mereka untuk kemudian
dirangkum berkaitan dengan tema.
b. Langkah kedua: menyadari dan merefleksikan situasi yang telah
dianalisis dalam terang sabda Allah
Kitab Suci merupakan ungkapan tertulis sabda Allah yang mempunyai
peranan sangat pentig di dalam katekese. Melalui Kitab Suci, peserta diajak untuk
mendengar Allah bersabda di tengah-tengah mereka. Perikope Kitab Suci yang
dipilih harus sesuai dengan atau sekurang-kurangnya mendekati tema atau situasi
yang sedang dibahas. Peserta diajak dan diberi kesempatan serta waktu untuk
sungguh-sungguh mendengarkan dan merenungkan sabda Allah tersebut.
Dalam renungan tersebut diharapkan peserta dapat menemukan dan
memahami kepedulian Allah terhadap mereka dan bagaimana Allah bersikap.
Peserta juga didajak untuk membayangkan apa yang dilakukan Allah yang hadir
dan bersabda di tengah-tengah mereka. Sampai akhirnya mereka berfikir apa yang
hendaknya mereka lakukan untuk membawa keselamatan di tengah-tengah
mereka.
c. Langkah ketiga : Memikirkan dan merencanakan aksi untuk bertindak.
Langkah-langkah mengamati situasi dan kemudian merefleksikannya
dalam terang sabda Allah bertujuan supaya kita menjadi lebih sadar akan
panggilan sebagai orang beriman untuk bertindak dan memperbaiki keadaan.
Mungkin sabda Allah tersebut akan menegur kita untuk bermetanoia, mungkin
71
juga memberi inspirasi dan meneguhkan kita untuk berani bertindak. Maka pada
tahap ini, peserta katekese diharapkan membuat rencana-rencana dan
membulatkan tekad untuk bertindak. Tindakan yang dilakukan tentu saja sudah di
luar katekese, namun merupakan implementasi dari katekese. Katekese selalu
berujung pada aksi nyata.
3. Tujuan Usulan Program
Tujuan program yang diusulkan di sini adalah memperkenalkan para
pasutri muda di Paroki Santo Antonius Kotabaru akan unsur-unsur kesejatian
hidup kristiani yang harus terwujud dalam hidup berkeluarga. Kesejatian ini
diharapkan terbentuk dalam macam-macam bidang yang telah disebut di atas,
yakni, komunikasi dalam keluarga, pendidikan anak dan keterlibatan keluarga
dalam tugas dan perutusan Gereja.
4. Peserta
Peserta dari program ini adalah para pasutri dengan usia pernikahan lima
tahun ke bawah, yang menikah secara katolik dan tinggal di wilayah Paroki Santo
Antonius Kotabaru. Jumlah peserta sebaiknya memungkinkan interaksi yang
bermakna antar mereka, maka dari itu jangan terlalu sedikit maupun terlalu
banyak. Misalnya sebuah pertemuan diikuti oleh 20 sampai 25 pasangan.
Dalam hal ini menjadi tugas katekis untuk dapat menyususn program dan
satuan persiapan rekoleksi dengan katekse yang menarik, dengan menggunakan
metode yang dan sarana yang dapat menyentuh pengalaman hidup dan iman
peserta. Berikut ini penulis mengusulkan sebuah program dan contoh satuan
72
persiapan. selebihnya katekis di lapangan dapat menyusun dan
menyempurnakannya sesuai dengan situasi dan kondisi umat yang dilayani.
73
5. Matriks Usulan Program Rekoleksi Pasutri Muda Tema : Membina Komponen-komponen Formatif Hidup Beriman di dalam Keluarga
Tujuan : Meningkatkan kualitas para pasutri muda dalam membangun unsur-unsur kesejatian hidup kristiani yang harus terwujud
dalam hidup berkeluarga.
No Sub
Tema Tujuan
SubTema Judul
Pertemuan Tujuan
pertemuan Materi Metode Sarana Waktu Sumber bahan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1 Komunika
si di dalam
keluarga
Membantu para pasutri muda untuk membangun komunikasi yang sehat di dalam keluarganya baik komunikasi antara suami-istri, komunikasi antar anggota keluarga dan masyarakat
a. Bagaimana seharusnya suami-istri berkomunikasi?
Suami-istri lebih memahami cara berkomunikasi yang baik dan meningkatkan jalinan relasi suami-isrti melalui komunikasi
• Prasyarat Komunikasi
• Empat bahasa komunikasi
• Faktor-faktor komunikasi
• Pengaruh dari kecanggihan alat komunikasi
• Efektifitas Komunikasi Langsung
• Perkenalan • Studi kasus • Komentar dan tanya jawab • Diskusi kelompok • Pemberian
informasi
• Permainan untuk perkenalan “Promosi Pasangan”
• Kasus “Kisah Aryo dan Temi”
• Teks Kitab Suci • Kertas Flep • Spidol
400’
• Mangunhardjana, A. 1986. Pembianaan Arti dan Metodenya. Yogyakarta: Kanisius
• Mat 19:1-12 • Hart, Kathleen Fischer & N,
Thomas. 1988. Dua Tahun Pertama Hidup
Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius • Gilarso, T, SJ. 1995. Membangun
keluarga Kristiani Pembinaan Persiapan
berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius
b. Komunikasi suami istri mengenai penghayatan
Suami-istri mengetahui cara mengkomun
• Kristus hadir di tengah keluarga
• Ungkapan kasih dalam
• Refleksi • Diskusi
kelompok • Pleno
• Hand out • Teks Kitab suci • Alat tulis • OHP
480’ • 1 Kor 13:1-7 • Hadiwardoyo, Purwa. 2007.
Suami-Istri Katolik Memahami Panggilan dan Perutusanya.
74
perkawinan
ikasikan makna perkawinan mereka yang sesuai dengan ajaran Gereja Katolik
kehidupan sehari-hari suami-istri
• pengalaman suami istri dalam berkomunikasi setiap harinya
• perwujudan kasih dalam kehidupan sehari-hari suami istri
• Tanya jawab • Peneguhan
• Pelastik mika Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang.
• Yohanes Paulus II, Paus. 2004. Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (Penerjemah R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Obor
• Bala Pito Duan, Yeremias. 2003. Keluarga Kristiani, Kabar Gembira Bagi Milenium Ketiga. Yogyakarta: Kanisius
• Tim Publikasi Pastoral Redemptorist. 2001. Menjadi Keluarga Katolik Sejati, Buku Pegangan bagi Kaluarga Masa Kini. Yogyakarta: Kanisius
c. Komunikasi
orangtua dengan anak
Agar para orangtua muda menyadari pentingnya komunikasi dengan anak sedini mungkin dan mengetahui cara berkomunikasi yang baik dengan anak-anak mereka
• Tahapan perkembangan anak
• Interaksi orangtua dengan anak
• Bentuk-bentuk komunikasi orangtua-anak
• Mendalami Kisah
• Dinamika Kelompok
• Pleno • Refleksi dan
evaluasi
• Cerita yang berjudul “Membeli waktu”
• Pengalaman menjadi orangtua muda
• Hand Out • Kitab Suci • Alat tulis
480’ • Luk 1:26-38 • Bala Pito Duan, Yeremias.
2003. Keluarga Kristiani, Kabar Gembira Bagi Milenium Ketiga. Yogyakarta: Kanisius
• Soerjanto, Al & Widiastuti.(2007). Pendidikan Anak-anak dalam Keluarga Katolik. Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang
• Wignyasumarta, Ign, MSF, dkk. 1999. Panduan Rekoleksi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius
75
d. Suami-istri berkomunikasi dengan masyarakat
Agar suami-istri dapat menjalin komunikasi yang sehat dengan anggota masyarakat sehingga selalu terjalin relasi yang baik
• Membuka pintu rumah untuk orang lain
• Bersikap ramah secara wajar terhadap lingkungan sekitar
• Kasih terhadap saudara
• Permainan • Sharing • Tanya jawab • Pemberian
informasi
• Permainan “Mencintai tetangga”
• Teks Kitab Suci
• Alat tulis • Kertas
480 ‘ • Kwong Tek, Chong & Wee Hian, Chua. 1983. Kekasihku Setelah Pernikahan. Bandung: Lembaga Literatua Baptis
• 1 Yoh 3:11-18 • Yohanes Paulus II, Paus. 2004.
Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (Penerjemah R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Obor
• Keuskupan Agung Semarang. 2007. Nota Pastoral Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman. Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang
• Rachmiati , Mary Go Setiawati, 1993. 100 Permainan dan 500 Kuis Alkitab. Bandung: Yayasan Kalam Hidup
2 Pendidikan anak di
dalam keluarga
Membantu para pasutri muda dalam menyadari panggilannya sebagai orangtua untuk mendidik anak-anaknya secara dini di dalam keluarga baik dalam segi iman
a. Panggilan Menjadi orangtua
Suami-istri menyadari panggilannya sebagai orangtua bagi anak-anaknya dan mampu menjalankan tugas dan perutusannya dengan baik
• Anak adalah anugerah Allah
• Orangtua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya
• Meningkatkan iman suami istri sendiri
• Pendalaman iman • Penyampaia
n informasi • Diskusi
kelompok • Pleno • Tanya jawab • Peneguhan
• Hand out • Teks Kitab suci • Alat tulis • OHP • Pelastik mika • Spidol
480’ • Mat 18:1-6 • Yohanes Paulus II, Paus. 2004.
Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (Penerjemah R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Obor
• Keuskupan Agung Semarang. 2007. Nota Pastoral Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman. Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang
• Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang.(2007). Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi : Liturgi dalam Keluarga. Yogyakarta: Kanisius
76
maupun moral serta mempersiapkan anak-anaknya menjadi kader masyarakat
b. Mendidik iman
anak melalui cerita
Agar para orang Tua menyadari Tugas mereka untuk mendidik iman anak-anak mereka dan dapat memperkenalkan Allah melalui cerita Kitab Suci sesuai dengan keadaan dan situai anak-anak
• Memasuki dunia anak-anak
• Pendidikan iman melalui Cerita Kitab Suci
• Menjadikan Kristus sebagai Kebiasaan
• Allah yang nampak secara Alami
• Pendalaman Iman
• Dinamika kelompok
• Simulasi dalam kelompok kecil
• Pleno • Refleksi
dan evaluasi
• HandOut • Kitab Suci • Alat tulis • Kertas • Teks lagu
480’ • Mat 18:1-6 • Pottebaum, Gerard. A. 1964.
Teaching Your Child About God. Note Dame, Indiana: Ave Maria Press
• Levebvre, Xavier, SJ & Perin, Louis, SJ. 1967. Bringing Your Child to God. London:Geoffrey Chapman • Yohanes Paulus II, Paus. 2004.
Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (Penerjemah R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Obor
• Thompson, Marjorie. L.(2001). Keluarga sebagai Pusat Pembentukan, Sebuah Visi Tentang Peranan Keluarga dalam Pembentukan Rohani. Jakarta: Gunung Mulia
c. Orangtua
menghantar pada panggilan hidup anak-anaknya
Agar para orang tua menyadari bahwa keluarganya adalah tanah
• Mengenal panggilan hidup religius (Imam, suster, bruder)
• Terbuka
• Mendalami Kisah
• Dinamika Kelompok
• Pleno • Sharing
• Cerita yang berjudl “Kisah Anne”
• Pengalaman Panggilan kaum religius
480’ • 1 Raj 3:1-10 • Yohanes Paulus II, Paus. 2004.
Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (Penerjemah R. Hadiwiryana, SJ). Jakarta: Obor
• Keuskupan Agung Semarang.
77
yang dimungkinkan tumbuhnya benih panggilan religius di atasnya dan mampu menanggapi jika kelak panggilan itu tumbuh
terhadap panggilan Allah
• Menanggapi panggilan Allah
panggilan religius
• Refleksi dan evaluasi
• Hand Out • Kitab Suci • Alat tulis
2007. Nota Pastoral Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman. Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang
3 Keluarga Muda ikut
ambil bagian dalam tugas
perutusan Gereja
Membantu para pasutri muda untuk memahami tugasdan perannya
dalam tugas perutusan
Gereja sebagai
nabi, imam dan raja
a. keluarga menjadi pewarta Kabar Gembira
Agar keluarga-keluarga muda menyadari tugas mereka untuk menjadi pewarta Kabar gembira
• Keluarga Kristiani menjadi penerima sekaligus pewarta Kabar Gembira
• Keluarga Kristen dipanggil untuk mewartakan Injil
• Cerita • Ceramah
dan Sarasehan
• Sharing Pengalaman
• Diskusi kelompok
• Kisah “ Gadis Kecil dan Bunga Mawar”
• Teks Kitab suci
• Handout • Alat Tulis
480’ • Luk 2:6-14 • Bagiyowinadi, Didik, F.X, Pr.
2006. Membangun Keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama
• Bala Pito Duan, Yeremias. 2003. Keluarga Kristiani, Kabar Gembira Bagi Milenium Ketiga. Yogyakarta: Kanisius
• Keuskupan Agung Semarang. 2007. Nota Pastoral Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman. Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang
• Yohanes Paulus II, Paus. 2004. Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (Penerjemah R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Obor
b. Keluarga Supaya • Pelayanan yang • Ceramah • Pengalaman 480’ • Mat 25:34b-40
78
menjadi sebagai pelayan Allah dan sesama
keluarga-keluarga menyadari tugas mereka untuk menjadi pelayan bagi Allah dan sesama
dilakukan Yesus • Peran sosial
keluarga • Pelayanan
keluarga terhadap masyarakat
dan Sarasehan
• Sharing Pengalaman
• Pemberian Informasi
seorang siswa SMU yang bernama Sally
• Teks Kitab Suci
• Handout • Alat tulis
• Bagiyowinadi, Didik, F.X, Pr. 2006. Membangun Keluarga sebagai Gereja RumahTangga. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama
• Bala Pito Duan, Yeremias. 2003. Keluarga Kristiani, Kabar Gembira Bagi Milenium Ketiga. Yogyakarta: Kanisius
• Keuskupan Agung Semarang. 2007. Nota Pastoral Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman. Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang
• Konsili Vatikan II. 1993. Apostolican Actuositatem (Pernyataan tentang Pendidikan Kristen, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Obor
• Yohanes Paulus II, Paus. 2004. Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (Penerjemah R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Obor
79
6. Contoh Persiapan Program Rekoleksi
BAGAIMANAKAH SEHARUSNYA SUAMI ISTRI BERKOMUNIKASI?
Tujuan :
Agar suami- istri lebih memahami cara berkomunikasi yang baik dan
meningkatkan jalinan relasi suami-istri melalui komunikasi
Metode :
• Perkenalan
• Studi kasus
• Menonton video klip
• Komentar dan tanya jawab
• Diskusi kelompok
• Pemberian informasi
Sarana :
• Permainan untuk perkenalan “Promosi Pasangan”
• Kasus yang berjudul “Kisah Aryo dan Temi”
• Kertas Flep
• Spidol
Waktu
400 Menit
80
Materi :
• Prasyarat komunikasi
• Empat bahasa komunikasi
• Faktor-faktor komunikasi
• Pengaruh dari kecanggihan alat komunikasi
• Efektifitas komunikasi langsung
Sumber bahan :
• Mangunhardjana, A. 1986. Pembianaan Arti dan Metodenya. Yogyakarta:
Kanisius
• 1 Kor 7:1-16
• Hart, Kathleen Fischer & N, Thomas. 1988. Dua Tahun Pertama Hidup
Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius
• Gilarso, T, SJ. 1995. Membangun keluarga Kristiani Pembinaan Persiapan
berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius
Pemikiran Dasar
Di abad yang modern seperti sekarang ini, kita mengalami begitu pesatnya
kemajuan yang dicapai dengan alat-alat komunikasi. Kita begitu mudah dan cepat
bisa berkomunikasi dengan orang lain, kapan saja, betapapun jauhnya jarak yang
memisahkan kita satu sama lain. Alat komunikasi yang serba canggih tersedia
bagi kita: ada telepon, walkie talkie, Fax, Handphone, internet dan sebagainya.
Namun sayang, kamajuan tekonologi komunikasi dewasa ini tidak selalu
81
dibarengi dengan kelancaran komunikasi antar manusia sebagai pribadi-pribadi
dalam keluarga. Kecanggihan alat komunikasi terkadang justru mengasingkan kita
dari keakraban berkomunikasi, merenggangkan hubungan antar pribadi,
menggeser pentingnya komunikasi tatap muka yang sangat efektif
Harus diakui bahwa dalam hidup berumah tangga masih sering terjadi
salah paham, percekcokan, pertengkaran, yang kadang berkembang menjadi
konflik berat yang tak teratasi, yaitu datangnya bencana hancurnya keluarga yang
berupa perceraian. Itu semua terjadi karena kurang terjalinnya komunikasi antar
pribadi. Oleh karena itu, di dalam rekoleksi ini akan dipelajari bagaiman cara
memahami, bagaimana suami-istri dapat berkomunikasi dengan baik, bagaiman
suami istri membina komunikasi yang sehat. Karena komunikasi yang baik
merupakan kunci menuju kebahagiaan keluarga.
Sessi I : Proses mengamati dan menyadari suatu fenomena tertentu di dalam
pengalaman hidup yang diangkat sebagai tema
a. Lagu pembukaan
b. Doa pembukaan
c. Pengantar singkat
d. Kepada peserta dibagikan sebuah cerita berjudul “Kisah Aryo dan Temi”
(lihat lampiran 5 halaman (14) ). Salah seorang peserta diberi kesempatan
membacanya, kemudian semua peserta diberi waktu untuk hening sejenak,
membaca kembali dan merenungkan maknanya dalam hati.
82
e. Pendamping mengajak peserta untuk memahami apa yang terjadi di dalam
komunikasi antara Aryo dan Temi.
• Pada Awalnya Aryo dan Temi dapat berkomunikasi dengan baik, mereka
sering malakukan komunikasi langsung dengan tatap muka, dan keberadaan
HP diantara mereka saat itu adalah sebagai pendukung.
• Pada suatu hari Aryo membeli HP baru dengan alasan praktis dan tarif yang
murah, termasuk jika hendak menelepon Temi. Sehingga komunikasi mereka
bisa tetap terjalin tanpa harus khawatir tarif pulsa yang mahal.
• Tetapi mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Dimanakah letak
kesalahannya sehingga HP itu bukan lagi sebagai pendukung tetapi malah
merusak komunikasi yang sudah terjadi antara Aryo dan Temi?
f. Peserta diajak untuk merenungkan pengalaman hidupnya dengan bantuan
pertanyaan berikut: “Apa makna kisah tersebut bagi anda?” dengan berangkat
dari analisa kasus di atas.
g. Peserta dibagi dalam beberapa kelompok kecil, setiap kelompok terdiri dari
beberapa pasangan. Di dalam kelompok kecil tersebut setiap peserta diberi
kesempatan untuk memberikan komentar dan sharing satu sama lain dengan
berdasarkan pada kasus tersebut.
h. Pendamping memberikan informasi untuk meneguhkan dan meluruskan apa
yang hendak disampaikan dengan menyampaikan informasi tentang empat
bahasa komunikasi, faktor-faktor komunikasi dan efektifitas komunikasi
langsung. .
83
Sessi II : Menyadari dan merefleksikan situasi yang telah dianalisis dalam
terang Sabda Allah
a. Salah seorang peserta diberi kesempatan untuk membacakan teks 1Kor 7: 1-16
sedangkan peserta yang lain turut membaca dalam hati. Selanjutnya kepada
seluruh peserta disampaikan beberapa pertanyaan untuk mempermudah
mereka menemukan pesan Kitab Suci. Pertanyaan tersebut adalah sebagai
berikut:
• Apa yang dikehendaki Tuhan melalui teks tersebut?
• Makna apa yang dapat anda petik dari kisah tersebut?
Dengan dipandu pendamping, peserta diberi kesempatan menyampaikan pesan
inti yang mereka temukan menurut tafsiran mereka sendiri dengan cara menjawab
pertanyaan penuntun di atas.
b. Uraian Pendalaman teks
Pendamping menghubungkan pesan inti yang diungkapkan peserta dengan
pesan inti yang sudah dipersiapkan pendamping berdasarkan sumber-sumber
yang telah diolah sebagai berikut:
Dari teks tersebut kita mendapatkan informasi dan nasehat dari Paulus
khususnya mengenai perkawinan Kristen. Dalam suratnya kepada jemaat di
Korintus, Paulus ingin menekankan bahwa sebagai orang Kristen hendaklah
mereka setia kepada komitmen yang sudah dilakukan. Mereka yang memilih
perkawinan sebagai suatu pilihan hidup haruslah saling setia dan saling
menghormati satu sama lain.
84
Para suami-istri memiliki satu sama lain. Persatuan demikian
mencerminkan tata penciptaan. Dalam perspektif positif, perkawinan
menyajikan suatu model untuk suatu ikatan yang dapat dilakukan orang-orang
Kristen. Paulus kerap mendorong orang Kristen untuk saling taat satu sama
lain, saling mengangkat beban, kasih, saling memberi dukungan. Kasih
Kristen menuntut semua ambisi diri hendaknya ditaklukan oleh kasih.
Apa yang telah diungkapkan oleh Paulus kepada jemaat di Korintus
juga berlaku bagi kita semua pada jaman ini. Kita diharapkan mampu
membangun keluarga yang didasarkan pada ikatan perkawinan yang suci
melalui sakramen. Dalam perkawinan tersebut suami-istri tidak hanya
membangun komitmen di antara mereka tetapi juga dengan Allah sendiri.
Oleh karena itu, hendaklah kita setia pada komitmen yang sudah dibangun
sebagai suami-istri dengan berbagai usaha.
Salah satunya dalah dengan membangun komunikasi yang baik antara
suami-istri. Telah berulangkali dikatakan bahwa komunikasi adalah kunci dari
kesejahteraan hidup berkeluarga. Jika komunikasi suami-istri yang terjalin
dengan baik, maka mereka dapat menghadapi berbagai persoalan-persoalan
yang terjadi di dalam keluarga mereka. Dalam komunikasi tersebut juga
diharapkan ada saling keterbukaan satu sama lain dan saling menghormati
pendapat satu sama lain. Dengan demikian baik suami atau istri dapat saling
mengusahakan kesetiaan di antara mereka masing-masing.
Rasa saling memiliki jiwa dan raga antara suami-istri yang telah
diungkapkan Paulus (ayat 4) juga merupakan suatu sarana komunikasi
85
diantara mereka. Seperti yang telah dikatakan oleh Gilarso (1996:51), bahwa
salah satu dari empat bahasa komuniaksi -setelah diskusi, dialog dan bahasa
badan- adalah melalui hubungan seks. Hubungan seks adalah bahasa
komunikasi yang paling intim dan paling menyeluruh dalam relasi suami istri.
Seks bukan pertama-tama suatu “kegiatan yang dilakukan” untuk mencari
kepusan biologis (atau hanya sekedar memenuhi kewajiban sebagai
suami/istri) melainkan suatu bahasa komunikasi yang dimaksudkan untuk
mempersatukan suami-istri dalam kasih mesra.
Sessi III : Memikirkan dan merencanakan aksi untuk bertindak
Peserta diberi kesempatan untuk hening sejenak dengan pasangan masing-masing
untuk merenungkan kembali seluruh proses yang telah diikuti dan kemudian
mengumpulkan buah-buahnya sebagai bekal dalam hidup sehari-hari, khususnya
sebagai suami-istri yang menjalin komunikasi yang baik satu sama lain untuk
meningkatkan keserasian relasi mereka sebagai suami-istri.
Sessi IV : Refleksi dan Evaluasi
Pada session ini, peserta diajak untuk merefleksikan apa yang telah dilalui dari
awal hingga akhir proses pertemuan refleksi dengan panduan pertanyaan sebagai
berikut :
a. Bagaimana kesan anda selama proses pertemuan hari ini?
b. Apa yang anda dapatkan dari pertemuan kita seharian ini?
c. Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan untuk pertemuan yang akan datang?
86
Setelah selesai, pendamping menutupnya dengan beberapa kesimpulan dari hasil
refleksi dan evaluasi peserta dan kemudian ditutup dengan lagu dan doa penutup.
7. Petunjuk Pelaksanaan Rekoleksi
Mengenai program yang penulis usulkan, ada beberapa petunjuk atau catatan
khusus bagi para pendamping di lapangan. Beberapa petunjuk atau catatan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mengenai lamanya waktu pertemuan dapat disesuaikan dengan situasi di
lapangan.
b. Untuk alasan tertentu, misalnya singkatnya waktu yang tersedia untuk
melaksankan rekoleksi, maka pertemuan satu dengan yang lainnya dapat
digabung asalkan tetap memperhatikan kesinambungan atau hubungan yang
harmonis, tidak menimbulkan kesan pertemuan yang sepotong-sepotong.
c. Metode dan sarana dapat diubah sesuai kebutuhan
d. Demi kelengkapan materi, pendamping di lapangan dapat menambah dengan
berbagai sumber yang relevan.
e. Supaya lebih efektif dan efisien, sebaiknya rekoleksi ini dilakukan secara
berkesinambungan, dengan waktu yang tidak berjauhan. Pelaksanaannya juga
hendaknya dilakukan pada hari libur, mengingat banyak pasutri yang sibuk
bekerja pada hari-hari biasa. Romo Paroki atau dewan pendampingan juga
hendaknya datang dalam pertemuan ini sebagai bentuk dukungan dalam
kegiatan ini.
BAB V
PENUTUP
Pada bagian penutup ini penulis menyampaikan kesimpulan dan saran.
Kesimpulan dimaksudkan untuk mempertegas dan memberikan gambaran menyeluruh
mengenai pokok-pokok skripsi yang dibahas dalam empat bab sebelumnya.
Penyampaian saran dimaksudkan untuk membantu para pembaca, khususnya pihak-
pihak terkait dalam penulisan skripsi ini agar dapat memahami dan memberikan
tanggapan berkaitan dengan tindak lanjut dari program yang telah diusulkan oleh
penulis dalam skripsi ini.
A. Kesimpulan
Keluarga terbangun karena adanya perkawinan yang merupakan perjanjian cinta
antara satu orang pria dan satu orang wanita di hadapan Allah. Keluarga-keluarga muda
di Paroki Santo Antonius sudah memahami apa arti mereka menikah dan membangun
sebuah keluarga. Keluarga seperti apa yang hendak mereka bentuk? Tentunya keluarga
yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Gereja.
1. Komponen Formatif dari Kehidupan iman di dalam Keluarga
Melalui kajian teori dan hasil penelitian yang dilakukan penulis, telah ditemukan
beberapa komponen formatif dari kehidupan beriman yang ada di dalam keluarga-
keluarga muda di Paroki Santo Antonius Kotabaru. Walaupun melalui hal-hal yang
biasa dan sederhana; dilakukan secara biasa di dalam kehidupan sehari-hari, namun
88
ternyata hal tersebut berpengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak baik dalam segi
iman maupun moral.
Komponen-komponen yang ditemukan adalah: komunikasi, pendidikan anak
dan peran serta keluarga untuk turut ambil bagian dalam tugas perutusan Gereja. Dari
komponen-komponen yang ditemukan, komunikasi menjadi komponen formatif yang
paling penting dalam keluarga, karena merupakan kunci utama pembangunan keluarga
yang harmonis. Jika komunikasi di dalam keluarga berlangsung dengan baik, maka
komunikasi yang terjalin dengan lingkungan Gereja dan masyarakat juga akan terjalin
dengan baik pula. Dari komponen-komponen formatif yang ditemukan, komunikasi
yang paling dominan, karena dapat memberikan pengaruh terhadap bidang-bidang
pembentuk keluarga yang lainnya seperti pendidikan anak, ekonomi keluarga, seks di
dalam keluarga dan dalam menjalankan peran mereka sebagai Gereja dan masyarakat.
2. Pembinaan Keluarga Muda
Pembinaan bagi keluarga muda sangat perlu dilakukan dan menjadi bagian dari
hidup Gereja khususnya paroki. Bukan hanya karena itu adalah harapan dari keluarga-
keluarga mudanya sendiri, tetapi juga merupakan tanggung jawab Gereja untuk
mendampingi dan membina mereka. Pembinaan yang dilakukan juga hendaknya
memupuk semakin bertumbuhnya unsur-unsur formatif dalam hidup keluarga
khususnya bagi pendidikan anak-anak mereka.
Pembinaan yang dilakukan terhadap keluarga muda tersebut juga hendaknya
dilakukan dengan melihat kondisi para pasutri yang setiap harinya disibukan oleh
pekerjaan mereka masing-masing. Oleh karena itu diperlukan pemilihan waktu yang
89
tepat dan sesuai dengan keadaan mereka, agar keluarga-keluarga muda tersebut bisa ikut
ambil bagian dalam proses pembinaan terhadap mereka.
Untuk bidang pembinaan keluarga muda tersebut juga hendaknya meliputi
bidang-bidang penting dalam keluarga, seperti komunikasi di dalam keluarga,
pendidikan anak di dalam keluarga, ekonomi rumah tangga dan juga seks di dalam
keluarga. Melalui pembinaan ini diharapkan keluarga-keluarga ini mampu mengatasi
barbagai permasalahan yang terjadi di dalam keluarganya khususnya yang berkaitan
dengan bidang-bidang penting di dalam keluarga mereka. Selain itu, pembinaan yang
dilakukan juga memampukan mereka untuk dapat meneruskan apa yang telah mereka
peroleh kepada anak-anak mereka dalam proses tumbuh kembang anak-anak mereka.
B. Saran
Bertitik toal dari keseluruhan pembahasan yang telah penulis uraikan dalam
skripsi ini, akhirnya penulis mencoba menyampaikan menyampaikan beberapa saran
yang mungkin dapat bermanfaat bagi usaha peningkatan kualitas hidup beriman
keluarga-keluarga muda di Paroki Santo Antonius Kotabaru. Alamat utama dari skripsi
ini adalah Paroki Santo Antonius Kotabaru yang meliputi Pastor dan dewan paroki,
khususnya Bidang Pendampingan Keluarga dan Peranan Wanita.
Paroki hendaknya membentuk tim khusus untuk mendampingi dan membina
keluarga khususnya keluarga-keluarga muda yang usia pernikahannya masih di bawah
lima tahun. Dengan demikian keluarga-keluarga muda tersebut akan merasa tersapa dan
merasa menjadi bagian dari Paroki Santo Antonius Kotabaru, sehingga mereka tidak
merasa sungkan atau gamang untuk melibatkan diri di dalamnya. Harus diakui, bahwa
90
perkembangan suatu paroki tergantung dari perkembangan keluarga-keluarga yang ada
di paroki tersebut.
Para katekis, khususnya katekis paroki hendaknya mulai memperhatikan
pembinaan bagi keluarga-keluarga muda tersebut dengan menyusun suatu program
pembinaan yang terarah dan berkesinambungan dengan memperhatikan keadaan
peserta. Ada baiknya, dalam penuyusunan program tersebut, para katekis menjalin
kerjasama dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam hal pembinaan dan
pendampingan keluarga, misalnya dengan mendatangkan seorang ahli dalam bidang
pendampingan keluarga, pakar seks, pakar Hukum Gereja Perkawinan dan yang lainnya
sebagai nara sumber.
91
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2003). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Bagiyowinadi, F.X. Didik, Pr. (2006). Membangun Keluarga sebagai Gereja Rumah
Tangga. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Bala Pito Duan, Yeremias. (2003). Keluarga Kristiani, Kabar Gembira bagi Milenium
Ketiga. Yogyakarta: Kanisius. Bergant, Dianne CSA & Karris, Robert J. OFM. (2002). Tafsir Alkitab Perjanjian Baru.
Yoyakarta: Kanisius. Cooke, Bernard. (1972). Seri Puskat: Iman dan Keluarga-keluarga Kristen.
Yogyakarta: Pusat Kateketik. Dagun. M. Save. (2002). Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. Darminta, J. (2006). Peziarahan Keluarga. Yogyakarta: Kanisius. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang. (2007). Nota Pastoral Menjadikan
Keluarga Basis Hidup Beriman. Dewan Karya Pastoral KAS Eminyan, Maurice. (2001). Teologi keluarga. Yogyakarta: Kanisius. Gabriella, PRR & Suban Tukan, Johan. (1991). Katekese Keluarga: Sebuah Pengantar.
Jakarta: Luceat. Gilarso, T. SJ. (1995). Membangun Keluarga Kristiani Pembinaan Persiapan
Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius. Harsono, Budi. (2007). Teladan bagi Keluarga. Website: www. tokohindonesia.com.
7/2/07. Hart, Kathleen Fischer & N, Thomas. (1988). Dua Tahun Pertama Hidup Berkeluarga.
Yogyakarta: Kanisius. Keuskupan Agung Semarang.(2007). Nota Pastoral Menjadikan Keluarga Basis Hidup
Beriman. Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang. Kila, Pius. (2005). Gereja Rumah Tangga Basis Gereja Universal. Jakarta: Obor Komili Liturgi Keuskupan Agung Semarang. (2007). Renungan Bulan Maria dan Bulan
Katekese Liturgi : Liturgi dalam Keluarga. Yogyakarta: Kanisius. Konfrensi Waligereja Indonesia. (1996). Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius Konsili Vatikan II. (1993). Gravissimum Educationis (Pernyataan tentang Pendidikan
Kristen, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Obor. ______. (1993). Apostolicam Actuositatem (Dekrit Tentang Kerasulan Awam,
diterjemahlan oleh R. Hardawiryana, SJ) Jakarta: Obor ______. (1993). Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang
Gereja, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ ). Jakarta: Obor ______. (1993). Gaudium et Spes ( Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang
Gereja di Dunia Dewasa ini, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Obor
Kwong Tek, Chong & Wee Hian, Chua. (1983). Kekasihku Setelah Pernikahan. Bandung: Lembaga Literatua Baptis.
Lalu, Yosef. (2005). Katekese Umat. Jakarta : Komisi Kateketik KWI Levebvre, Xavier, SJ & Perin, Louis, SJ. (1967). Bringing Your Child to God. London:
Geoffrey Chapman.
92
Musafir MSF. (2006). Menanamkan Iman Anak Sejak Dini dalam Keluarga dan Pendidikan. Website: www.mirifica. com. 7/2/07.
Mangunhardjana, A. (1986). Pembinaan Arti dan Metodenya. Yogyakarta: Kanisius. Pottebaum, Gerard. A. (1964). Teaching Your Child About God. Note Dame, Indiana:
Ave Maria Press. Propinsi Gerejani Ende. (1995). Katekismus Gereja Katolik. Ende: Percetakan
Arnoldus. Purwa Hadiwardoyo, Al.(1994). Persiapan dan Penghayatan Perkawinan Katolik.
Yogyakarta: Kanisius. ______ (2007). Suami-Istri Katolik Memahami Panggilan dan Perutusanya. Komisi
Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang. ______ (2006, 24 September). Panggilan dan Perutusan Keluarga. Majalah Hidup No.
39. h. 48-49. Rachmiati , Mary Go Setiawati. (1993). 100 Permainan dan 500 Kuis Alkitab. Bandung:
Yayasan Kalam Hidup. Setyakarjana. (1997). Arah Katekese di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Kateketik. Soerjanto, Al & Widiastuti. (2007). Pendidikan Anak-anak dalam Keluarga Katolik.
Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang. Team Pembinaan Persiapan Berkeluarga. (1981). Membangun Keluarga Kristiani.
Yogyakarta: Kanisius. Thompson, Marjorie. L. (2001). Keluarga sebagai Pusat Pembentukan, Sebuah Visi
Tentang Peranan Keluarga dalam Pembentukan Rohani. Jakarta: Gunung Mulia.
Tim Publikasi Pastoral Redemptorist. (2001). Menjadi Keluarga Katolik Sejati, Buku Pegangan bagi Keluarga Masa Kini. Yogyakarta: Kanisius.
Yohanes Paulus II, Paus. (2004). Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (Penerjemah R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Obor.
______. (1992). Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (Penerjemah: R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI
Wasito, Hermawan. (1992). Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wignyasumarta, Ign, MSF, dkk. 1999. Panduan Rekoleksi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius.
LAMPIRAN
Lampiran 1: Kuesioner
Pengantar Yogyakarta, 3 Maret 2007 Bapak-Ibu yang terkasih, Pertama-tama, perkenankan saya memperkenalkan diri: Saya, Santa Viany Cahya Paneri, seorang mahasiswa Semester VII, Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (dulu STKat). Saat ini saya sedang melakukan penelitian untuk penyusunan skripsi saya. Secara umum penelitian tersebut bertujuan untuk membahas pengaruh pendidikan iman Katolik di dalam keluarga terhadap pembangunan keluarga Katolik di Paroki Santo Antonius Kotabaru. Pembahasan tersebut kami batasi hanya pada pasangan suami istri (pasutri) yang usia pernikahannya lima tahun ke bawah. Oleh karena bapak-ibu memenuhi kriteria tersebut di atas, maka dengan hormat saya mohon kesediaan bapak-ibu untuk mengisi kuesioner yang saya haturkan ini. Kuesioner ini dibagi menjadi tiga bagian: lembar pertama diisi oleh istri, lembar kedua diisi oleh suami dan lembar ketiga diisi dengan dirundingkan bersama-sama oleh suami dan istri. Setelah kuesioner terisi lengkap, Bapak-Ibu dimohon memasukkannya ke dalam amplop yang sudah disediakan. Sebelum menyerahkan kembali, sudilah Bapak-Ibu memastikan bahwa amplop tersebut sudah tertutup rapat untuk membantu terjaganya kerahasiaan identitas Bapak-Ibu. Kami menantikan jawaban isian dari Bapak-Ibu sebelum 15 Maret 2007. Atas perhatian dan kerjasama dari Bapak-Ibu, sebelumnya saya mengucapkan terimakasih. Hormat Saya, Santa Viany CP
(1)
KUESIONER
MENJADIKAN KELUARGA SEBAGAI GEREJA RUMAH TANGGA DENGAN
MEMBANGUN UNSUR-UNSUR PEMBENTUK KELUARGA SEBAGAI
GEREJA RUMAH TANGGA YANG DIHARAPKAN OLEH GEREJA
Petunjuk
Pernyataan-pernyataan di bawah ini menyangkut unsur-unsur pembentukan keluarga katolik sebagai Gereja Rumah Tangga. Anda berdua dimohon untuk mengaitkan masing-masing pernyataan tersebut dengan suasana sesungguhnya di dalam keluarga Anda. Kerahasiaan dari semua tanggapan Anda akan dijaga. IDENTITAS (suami)
1. Usia pernikahan
a. 1 tahun b. 2 tahun c. 3 tahun d. 4 tahun e. 5 tahun
2. Pendidikan
a. Perguruan Tinggi b. SLTA/SMK c. SLTP d. SD
3. Pekerjaan
a. PNS b. Karyawan c. Wiraswasta d. Lainnya……..
UNSUR-UNSUR PEMBANGUN KELUARGA SEBAGAI GEREJA RUMAH
TANGGA
4. Anda membicarakan tentang makna pernikahan Katolik dalam keluarga
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
5. Anda selalu menyempatkan diri untuk berinteraksi dengan tetangga setiap
harinya
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
6. Anda terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan di lingkungan anda
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
7. Anda berusaha secepatnya saling mengampuni bila mengalami perselisihan
a. Selalu b. Sering c Kadang-kadang d. Tidak pernah
(2)
8. Anda membicarakan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam keluarga
(ekonomi, seks, komunikasi suami-istri, pendidikan anak) secara terbuka
a. Selalu b. Sering c Kadang-kadang d. Tidak pernah
9. Anda melibatkan orang ketiga untuk membantu mengatasi konflik dalam
keluarga
a. Selalu b. Sering c Kadang-kadang d. Tidak pernah
10. Anda menyempatkan untuk berekreasi bersama keluarga
a. Selalu b. Sering c Kadang-kadang d. Tidak pernah
11. Anda menyepakati bersama cara-cara untuk mengelola keuangan keluarga
a. Ya b. Ragu-ragu c. Tidak
12. Anda menghadapi proses kelahiran anak bersama-sama ( ayah menunggui
kelahiran anaknya)
a. Ya b. Ragu-ragu c. Tidak
13. Anda menyadari bahwa anda bertanggung jawab untuk mendidik anak dengan
baik
a. Ya b. Ragu-ragu c. Tidak
14. Sebagai pendidikan awal, anda memberi teladan dengan hidup rukun dan
bersikap baik
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
15. Anda memperkenalkan tentang ajaran kristiani kepada anak anda sejak dini
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
16. Anda membawa anak anda keluar rumah untuk berinteraksi dengan orang lain
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
17. Anda memperkenalkan tokoh-tokoh Kitab Suci kepada anak anda
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
18. Anda memberi teladan dan melatih anak anda bersikap dan berperilaku baik
sebagai perwujudan iman
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
19. Anda memperkenalkan para santo/a dan tokoh-tokoh Gereja kepada anak anda
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
(3)
20. Anda membawa anak anda ke gereja untuk menghadiri liturgi bersama
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
21. Anda memperkenalkan Romo, Suster, Bruder, kepada anak anda
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
22. Anda membawa anak anda untuk mengikuti kegiatan PIA (Pendidikan Iman
Anak) di lingkungan/paroki
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
23. Ketika anak pertama anda lahir, anda langsung mendaftarkannya sebagai calon
baptis bayi
a. Ya b. Tidak
24. Anda sekeluarga selalu menyempatkan utnuk membaca kitab suci dan
mendalami bersama di rumah
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
25. Anda ikut ambil bagian dalam pendalaman Kitab Suci di lingkungan
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
26. Anda berdoa bersama di dalam keluarga
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
27. Anda menyempatkan untuk pergi ke gereja bersama keluarga
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
28. Anda menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan di lingkungan
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
29. Anda menciptakan suasana rumah yang kristiani dengan benda-benda rohani
(lukisan, patung, salib)
a. Ya b. ragu-ragu c. Tidak
30. Apakah anda selalu melibatkan iman anda dalam mengambil keputusan-
keputusan
penting di dalam keluarga anda?
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
(4)
31. Dalam situasi konflik dan sakit hati, apakah anda terdorong untuk mengajak
berbicara dan mengampuni pihak yang anda anggap bersalah?
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
32. Apakah anda menyadari bahwa dengan hidup berkeluarga, anda harus berkorban
baik demi keluarga maupun dengan orang lain?
a. ya b. ragu-ragu c. Tidak
33. Apakah anda mempunyai tempat untuk mewartakan iman kepada orang lain?
a. ya b ragu-ragu c. Tidak
Pertanyaan terbuka: Kalau boleh kami memohon pandangan dari bapak-ibu tentang
pembinaan keluarga yang hendaknya dijalankan oleh paroki/jemaat: silahkan Bapak-Ibu
menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan bebas dalam bentuk pendapat
atau pandangan.
1. Bapak-ibu lebih cenderung untuk ikut serta dalam pembinaan yang dijalankan
secara massal (untuk semua pasutri) atau lebih cenderung pembinaan yang
menempuh pendekatan lebih pribadi (kepada masing-masing pasutri)?
2. Bentuk pembinaan macam apa yang kiranya lebih dapat bapak-ibu terima?
(konferensi? Rekoleksi pasutri? Retret? Konsultasi Pribadi?)
3. Bidang mana yang anda harapkan mendapatkan pembinaan dari paroki?
(komunikasi suami-istri? Ekonomi keluarga? Pendidikan anak? Seks dalam
pernikahan?)
(5)
Lampiran 2: Tabel Jawaban Responden Terhadap Kuesioner
(6)
No Item Komunikasi di alam Keluarga Pendidikan Anak di dalam keluarga Peran serta keluarga dalam tugas perutusan Gereja
No 4 5 6 7 8 9 10 11 31 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 32 33 1 c b c a a d c b b a a a a b b a b a c a a b c c a b a a a b 2 c a c a c c c c c a a a b b c b b a c a a b c c b c b b b c 3 b a c b b c b a b a a a b a b b a a b c a c c d a b a b b b 4 c c c a b d a a b a a a a c c a b c c b a c c b c c b a a a 5 c b c a b d c a b a a b b b c b b b c b a a b c b c a b b c 6 c b c a a c a a b a a b a b a a a a b a a b c b c c a a b b 7 c b c a b d c a b a a a a b b a a a a a a b c b a b a a b b 8 c a c a a d a b a a a a a b a a b a a a b a c a a c a b b c 9 b a c a a d a a a a a a a a a a b a a c a b a b a c a a b b 10 a a b b b d b a b a a b a b b a b a c a a b c c b b a a a a 11 c b c a a d c a a a a a a b c a b a c a a c c c b b a a b c 12 c a b a b d b a b a a a b c b b b c c a a c b c a c a b b b 13 b a c a a c a a b c a a a a a a d a c c a c c a a c a a b b 14 c a b a c d c a b a a a a c d a b b c a a b c d a b a a b b 15 c a b a b d b a a a a a a b b a b a b b a b c b a c a a b b 16 c b c a b d c a a a a b a a b a b b b d a c b b a c a b b a 17 c b c a a d d a a b a a b a c b c c b d a c c c c c a b a b 18 c b b a a d a a a a a a a b c b b b b c a b c c b c a b b b 19 b b c a b d b a b a a a a b c a b b c b a a c a a c a a b b 20 c a c b b c c a b a a a b b c c b b b c a c c c b b a b b b 21 a a b b a d c a b b a a a b c a b a c d a c c b a c a a a b 22 b b c b b d b a b a a a a b c c b a b d a b c b a c a a b b 23 c a c a b c c a a a a a b b b b b b c c a c c b b b b a a a
Lampiran 3: Tabel Skor Dari Jawaban Kuesioner
(7)
Komunikasi di dalam keluarga Pendidikan Anak di dalam keluarga Peran serta Keluarga dalam tugas perutusan Gereja No 4 5 6 7 8 9 10 11 31 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 32 33
1 2 3 2 4 4 1 2 2 3 3 3 4 4 3 3 4 3 4 2 4 1 3 2 2 4 3 3 4 4 3 2 2 4 2 4 2 2 2 1 2 3 3 4 3 3 2 3 3 4 2 4 1 3 2 2 3 2 2 3 3 2 3 3 4 2 3 3 2 3 3 3 3 3 4 3 4 3 3 4 4 3 2 1 2 2 1 4 3 3 3 3 3 4 2 2 2 4 3 1 4 3 3 3 3 4 4 2 2 4 3 2 2 3 1 2 2 3 2 2 2 4 4 4 5 2 3 2 4 3 1 2 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 1 4 3 2 3 2 3 3 3 2 6 2 3 2 4 4 2 4 3 3 3 3 3 4 3 4 4 4 4 3 4 1 3 2 3 2 2 3 4 3 3 7 2 3 2 4 3 1 2 3 3 3 3 4 4 3 3 4 4 4 4 4 1 3 2 3 4 3 3 4 3 3 8 2 4 2 4 4 1 4 2 4 3 3 4 4 3 4 4 3 4 4 4 0 4 2 4 4 2 3 3 3 2 9 3 4 2 4 4 1 4 3 4 3 3 4 4 4 4 4 3 4 4 2 1 3 4 3 4 2 3 4 3 3
10 4 4 3 3 3 1 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4 3 4 2 4 1 3 2 2 3 3 3 4 4 4 11 2 3 2 4 4 1 2 3 4 3 3 4 4 3 2 4 3 4 2 4 1 2 2 2 3 3 3 4 3 2 12 2 4 3 4 3 1 3 3 3 3 3 4 3 2 3 3 3 2 2 4 1 2 3 2 4 2 3 3 3 3 13 3 4 2 4 4 2 4 3 3 1 3 4 4 4 4 4 1 4 2 2 1 2 2 4 4 2 3 4 3 3 14 2 4 3 4 2 1 2 3 3 3 3 4 4 2 1 4 3 3 2 4 1 3 2 1 4 3 3 4 3 3 15 2 4 3 4 3 1 3 3 4 3 3 4 4 3 3 4 3 4 3 3 1 3 2 3 4 2 3 4 3 3 16 2 3 2 4 3 1 2 3 4 3 3 3 4 4 3 4 3 3 3 1 1 2 3 3 4 2 3 3 3 4 17 2 3 2 4 4 1 1 3 4 2 3 4 3 4 2 3 2 2 3 1 1 2 2 2 2 2 3 3 4 3 18 2 3 3 4 4 1 4 3 4 3 3 4 4 3 2 3 3 3 3 2 1 3 2 2 3 2 3 3 3 3 19 3 3 2 4 3 1 3 3 3 3 3 4 4 3 2 4 3 3 2 3 1 4 2 4 4 2 3 4 3 3 20 2 4 2 3 3 2 2 3 3 3 3 4 3 3 2 2 3 3 3 2 1 2 2 2 3 3 3 3 3 3 21 4 4 3 3 4 1 2 3 3 2 3 4 4 3 2 4 3 4 2 1 1 2 2 3 4 2 3 4 4 3 22 3 3 2 3 3 1 3 3 3 3 3 4 4 3 2 2 3 4 3 1 1 3 2 3 4 2 3 4 3 3 23 2 4 2 4 3 2 2 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 3 2 2 1 2 2 3 3 3 2 4 4 4
55 80 52 87 76 29 63 65 76 65 69 88 85 71 61 81 69 79 60 64 22 62 51 59 79 54 66 83 75 69
Lampiran 4: Tabel Rerata
(8)
Komunikasi dalam
Keluarga
Pendidikan Anak
dalam Keluarga
Turut serta dalam
Tugas perutusan Gereja
32 41 30 32 40 29 31 40 29 30 40 28 30 38 28 30 38 28 30 37 28 29 37 28 29 37 28 29 35 27 28 35 27 28 35 27 28 34 26 27 34 26 27 34 25 27 33 25 27 33 25 27 33 25 26 33 25 26 33 24 25 32 24 25 32 24 24 30 22 647 814 608
Lampiran 5: Kumpulan Sarana
Ungkapan Jujur Seorang Anak
Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanyauntuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika: "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggelen "Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya. "Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat. Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan.Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog. Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ.
Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku:...." Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja" Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktuitu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapanwaktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya.
(9)
Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku..." Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu" Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, Seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak..." Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya" Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana.Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya.Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anaksebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak: .." Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa" Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.
Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa. Ketika Psikolog menulis "Aku ingin ibuku berbicara tentang....." Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja". Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan. Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....", Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentangkesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah.
(10)
Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku". Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari...." Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancer "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku" Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.
Secarik kertas berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ...." Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata "tersenyum" Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari Ketika Psikolog memberi kertas bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku...." Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus" Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Kafi PutraAndira. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki. Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku .." Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli". Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekanpentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan"To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan". Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang baik
(Ditulis oleh : Lesminingtyas)
(11)
Kisah Anne
Seorang Bayi Mungil Hanya Mampu Hidup Selama 6 Jam, Tetapi...Sepasang suami istri hidup bahagia. Sejak 10 tahun yang lalu, sang istri terlibat aktif dalam kegiatan untuk menentang ABORSI, karena menurut pandangannya, aborsi berarti membunuh seorang bayi. Setelah bertahun-tahun berumah-tangga, akhirnya sang istri hamil, sehingga pasangan tersebut sangat bahagia. Mereka menyebarkan kabar baik ini kepada famili, teman2 dan sahabat2, dan lingkungan sekitarnya. Semua orang ikut bersukacita dengan mereka Tetapi setelah beberapa bulan, sesuatu yang buruk terjadi. Dokter menemukan bayi kembar dalam perutnya, seorang bayi laki2 dan perempuan. Tetapi bayi perempuan mengalami kelainan, dan ia mungkin tidak bisa hidup sampai masa kelahiran tiba. Dan kondisinya juga dapat mempengaruhi kondisi bayi laki2. Jadi dokter menyarankan untuk dilakukan aborsi, demi untuk sang ibu dan bayi laki2 nya Fakta ini membuat keadaan menjadi terbalik. Baik sang suami maupun sang istri mengalami depressi. Pasangan ini bersikeras untuk tidak menggugurkan bayi perempuannya (membunuh bayi tsb), tetapi juga kuatir terhadap kesehatan bayi laki2nya. "Saya bisa merasakan keberadaannya, dia sedang tidur nyenyak", kata sang ibu di sela tangisannya Lingkungan sekitarnya memberikan dukungan moral kepada pasangan tersebut,dengan mengatakan bahwa ini adalah kehendak Tuhan. Ketika sang istri semakin mendekatkan diri dengan Tuhan, tiba-tiba dia tersadar bahwa Tuhan pasti memiliki rencanaNya dibalik semua ini. Hal ini membuatnya lebih tabah.Pasangan ini berusaha keras untuk menerima fakta ini. Mereka mencari informasi di internet, pergi ke perpustakaan, bertemu dengan banyak dokter, untuk mempelajari lebih banyak tentang masalah bayi mereka. Satu hal yang mereka temukan adalah bahwa mereka tidak sendirian. Banyak pasangan lainnya yang juga mengalami situasi yang sama, dimana bayi mereka tidak dapat hidup lama. Mereka juga menemukan bahwa beberapa bayi akan mampu bertahan hidup, bila mereka mampu memperoleh donor organ dari bayi lainnya. Sebuah peluang yang sangat langka Siapa yang mau mendonorkan organ bayinya ke orang lain ? Jauh sebelum bayi mereka lahir, pasangan ini menamakan bayinya, Jeffrey dan Anne Mereka terus bersujud kepada Tuhan. Pada mulanya,mereka memohon keajaiban supaya bayinya sembuh. Kemudian mereka tahu, bahwa mereka seharusnya memohon agar diberikan kekuatan untuk menghadapi apapun yang terjadi, karena mereka yakin Tuhan punya rencanaNya sendiri Keajaiban terjadi, dokter mengatakan bahwa Anne cukup sehat untuk dilahirkan, tetapi ia tidak akan bertahan hidup lebih dari 2 jam. Sang istri kemudian berdiskusi dengan suaminya, bahwa jika sesuatu yang buruk terjadi pada Anne, mereka akan mendonorkan organnya. Ada dua bayi yang sedang berjuang hidup dan sekarat, yang sedang menunggu donor organ bayi. Sekali lagi, pasangan ini berlinangan air mata. Mereka menangis dalam posisi sebagai orang tua, dimana mereka bahkan tidak mampu menyelamatkan Anne. Pasangan ini bertekad untuk tabah menghadapi kenyataan yg akan terjadi. Hari kelahiran tiba. Sang istri berhasil melahirkan kedua bayinya dengan selamat. Pada momen yang sangat berharga tersebut, sang suami menggendong Anne dengan sangat hati-hati, Anne menatap ayahnya, dan tersenyum dengan manis. Senyuman Anne yang imut tak akan pernah terlupakan dalam hidupnya. Tidak ada kata2 di dunia ini yang mampu menggambarkan perasaan pasangan tersebut pada saat itu. Mereka sangat bangga bahwa mereka sudah melakukan pilihan yang tepat (dengan tidak mengaborsi Anne),mereka sangat bahagia melihat Anne yang begitu mungil tersenyum pada mereka, mereka sangat sedih karena kebahagiaan ini akan berakhir dalam beberapa jam saja.
(12)
Sungguh tidak ada kata2 yang dapat mewakili perasaan pasangan tersebut.Mungkin hanya dengan air mata yang terus jatuh mengalir, air mata yang berasal dari jiwa mereka yang terluka.. Baik sang kakek, nenek, maupun kerabat famili memiliki kesempatan untuk melihat Anne. Keajaiban terjadi lagi, Anne tetap bertahan hidup setelah lewat 2 jam. Memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi keluarga tersebut untuk saling berbagi kebahagiaan. Tetapi Anne tidak mampu bertahan setelah enam jam.....Para dokter bekerja cepat untuk melakukan prosedur pendonoran organ. Setelah beberapa minggu, dokter menghubungi pasangan tsb bahwa donor tsb berhasil. Dua bayi berhasil diselamatkan dari kematian. Pasangan tersebut sekarang sadar akan kehendak Tuhan. Walaupun Anne hanya hidup selama 6 jam, tetapi dia berhasil menyelamatkan dua nyawa. Bagi pasangan tersebut, Anne adalah pahlawan mereka, dan sang Anne yang mungil akan hidup dalam hati mereka selamanya...
(13)
KISAH ARYO DAN TEMI
Aryo dan Temi sudah menikah selama satu tahun dan dikaruniai seorang putra. Mereka bekerja di perusahaan yang sama tetapi di cabang yang berbeda sehingga setiap harinya mereka hanya bertemu di rumah saat sebelum berangkat kerja dan sepulang kerja. Untuk memudahkan komunikasi di antara mereka, mereka menggunakan HP (handphone). Namun dalam perjalanan hidup berkeluarganya, mereka lebih banyak bertemu di rumah dan berkomunikasi secara langsung. Sampai pada suatu saat, Aryo membeli sebuah HP CDMA dengan alasan tarif pulsa yang lebih murah jika dipakai untuk menelepon lokal, jadilah Aryo mempunyai dua buah HP.
Beberapa bulan kemudian, sesuatu yang mencurigakapun dialami oleh Temi, ketika Aryo sangat “menyayangi” HP barunya itu, sehingga kemanapun Aryo pergi HP itu selalu dibawanya, bahkan ke kamar mandi sekalipun. Ketika Temi menanyakan hal tersebut, Aryo hanya menjawab “Takutnya nanti ada telepon pentingyang harus segera diangkat”. Tetapi Temi semakin curiga, sebab jika mereka sedang duduk bersama dan tiba-tiba HP Aryo berbunyi, maka Aryo akan mengangkatnya dan pergi sedikit menjauh dari Temi.
Hal tersebut membuat Temi selalu curiga terhadap Aryo dan selalu menerka-nerka apa yang terjadi dengan Aryo suaminya, apakah dia berbicara dengan seorang wanita? Apakah dia berselingkuh? Apakah dia mempunyai tujuan lain dengan membeli HP satu lagi? Ada apa dengan HP itu sehingga dia harus membawanya sampai ke kamar mandi? Apa yang dia lakukan dengan HP nya itu jika sedang tidak di rumah? Sikap Temi yang seperti itu seringkali membuat sering terjadi salah paham diantar mereka, dan lama-kelamaan komunikasi dianatar merekapun tidak seefektif dulu.
(14)
MEMBELI WAKTU
Seperti biasa, Rudi kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak sepserti biasanya, Eko, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD, yang membukakan pintu. Tampaknya ia sudah menungu cukup lama.
“Kok belum tidur?” sapa rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Eko memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Eko menjawab, “Eko menunggu ayah pulang. Eko mau Tanya, berapa sih gaji ayah?”.
“lho ko tumben Tanya-tanya gaji ayah? Mau minta uang lagi, yah?” “Ah enggak, Cuma pingin tahu aja.” “OK kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari ayah bekerja sekitar 10 jam dan
dibayar Rp. 400.000,00. setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi, gaji ayah dalam satu bulan berapa hayo?” Eko berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televise. Ketika rudi beranjak menuju kamaruntuk berganti pakaian, Eko berlari mengikutinya.
“kalo satu hari ayah dibayar Rp. 400.000,00 untuk sepuluh jam, berarti satu jam ayah digaji Rp. 40.000,00 dong,?” katanya.
“Wah pinter kamu. Sudah sekarang cuci kaki, trus bobok” perinta Rudi. Tetapi Eko tak beranjak. Sambil memandang ayahnya berganti pakaian, Eko kembali bertanya,
“Ayah, boleh nggak Eko pinjam uang Rp. 5.000,00?” “sudah, nggak usah macam-macamlagi. Buat apa minta uang malam-malam
gini? Ayah kan’ capek. Ayah mandi dulu. Tidurlah.” “tapi ayah…..” “Ayah bilang Tidur!” hardiknya mengejutkan Eko. Anak kecil itupun berbalik
menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi menengok anaknya di kamar. Anak kesayangannya itu belum tidur. Ia sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang sejumlah Rp. 15.000,00 di tangannya. Rudi tampak menyesali hardiknya.
“Maafkan ayah nak. Ayah sayang sama Eko,” katanya sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu. “buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan kan bisa besok. Jangankan Rp. 5000,00, lebih dari itupun ayah kasih.”
“ayah, Eko nggak minta uang. Eko Cuma mau pinjam. Nanti Eko kembalikan kalau sudah nabung lagi dari uang jajan selama seminggu ini.”
“Iya, iya, tapi buat apa?” Tanya Rudi lembut. “Eko nunggu Ayah dari jam 8. eko mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh
menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu ayah itu sangat berharga. Jadi, Eko mau beli waktu ayah.”
“lalu,lalu?” Rudi penuh perhatian. “tadi Eko buka tabungan, ada Rp. 15.000,00. tapi, karena Ayah bilang satu jam
ayah dibayar Rp. 40.000,00, maka untuk setengah jam berarti Rp. 20.000,00. uang tabungan Eko kurang Rp. 5.000,00. makanya Eko mau pinjam dari ayah,” kata Eko polos.
Rudi terdiam, ia kehilangan kata-kata. Bocah kecil itu dipelukny erat-erat.
(15)
KISAH SALLY Suatu hari Sally, siswa SMU, masuk ke ruang kelasnyadan segera menyadari bahwa akan ada sesuatu yang menyenangkan hari ut. Di dinding ada satu papan sasarang yang besar, di meja terletak banyak anak panah. Gurunya meminta setiap murid untuk membuat gambar orang yang tidak mereka sukai atau orang yang telah melukai hati mereka, kemudian mereka dipersilahkan melempar anak panah pada gambar tersebut. Seorang gadis teman Sally menggambar wajah gadis lain yang telah merebut pacarnya. Yang lain menggambar adiknya. Sally menggambar wajah teman lamanya dengan sangat terperinci sampai diapun tidak lupa menambahkan jerawatnya. Seluruh isi kelas kemudian berbaris dan mulai melemparkan anak panah, diiringi suara tawa riang. Beberapa di antara mereka melempar anak panah begitu kuatnya sampai merobek sasaran. Sally menunggu gilirannya. Tetapi dia kecewa karena waktu sudah habis. Sang guru meminta semua murid untuk kembali duduk di kursi masing-masing. Sambil duduk, Sally memikirkan rasa kecewanya karena belum memiliki kesmpatan untuk melempar, Pak Guru mulai melepaskan sasaran dari dinding. Dan……di balik sasaran terdapat gambar wajah Yesus. Suasana kelas menjadi hening, semua murid menatap gambar Yesus yang telah hancur.; seluruh wajah-Nya berlubang dan sobek, bahkan matanya tertembus. Kemudian Pak Guru mengutip Mat 25:40, “Apa yang kamu lakukan untuk saudara-Ku yang paling hina, kamu malakukannya untuk-Ku”. Tidak ada lagi kata-kata, semua mata berkaca-kaca menatap wajah Yesus. .
(16)
Komunikasi di dalam keluarga (N=23) Skor tertinggi 32 dan skor terendah 24
Kelas interval Frekuensi absolute Frekuensi relative (%)
1 2 3 30-32 7 30 % 27-29 11 48 % 24-26 5 22 %
Pendidikan anak (N=23) Skor tertinggi 41 dan skor terendah 30
Kelas interval Frekuensi absolute Frekuensi relative (%)
1 2 3 38-41 6 26 % 34-37 9 39 % 30-33 8 35 %
Turut Serta dalam Tugas Perutusan Gereja (N=23) Skor tertinggi 30 dan skor terendah 22
Kelas interval Frekuensi absolute Frekuensi relative (%)
1 2 3 28-30 9 39 % 25-27 10 44 % 22-24 4 17 %
Komunikasi di dalam keluarga (N=23) Skor tertinggi 32 dan skor terendah 24
Komunikasi Pendidikan anak Perutusan Gereja
29 41 29
29 40 29
28 40 28
27 40 28
27 38 28
27 38 27
27 37 27
27 37 27
26 37 27
26 35 27
26 35 27
25 35 27
25 34 26
24 34 25
24 34 25
24 33 25
24 33 25
24 33 24
24 33 24
23 33 24
23 32 24
23 32 23
21 30 22
583 814 598
Kelas interval Frekuensi absolute Frekuensi relative (%)
1 2 3 27-29 8 35% 24-26 11 48% 21-23 4 17%
Pendidikan anak (N=23) Skor tertinggi 41 dan skor terendah 30
Kelas interval Frekuensi absolute Frekuensi relative (%)
1 2 3 38-41 6 26% 34-37 9 39% 30-33 8 35%
Turut Serta dalam Tugas Perutusan Gereja (N=23) Skor tertinggi 30 dan skor terendah 22
Kelas interval Frekuensi absolute Frekuensi relative (%)
1 2 3 28-30 5 22% 25-27 12 52% 22-24 6 26%