PEMBERIAN KRIM EKSTRAK SARANG WALET 10 ...
Transcript of PEMBERIAN KRIM EKSTRAK SARANG WALET 10 ...
1
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK SARANG WALET 10% MENINGKATKAN EPITELISASI PADA
PENYEMBUHAN LUKA KULIT MENCIT (Mus Musculus)
IRMA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
2
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK SARANG WALET 10% MENINGKATKAN EPITELISASI PADA
PENYEMBUHAN LUKA KULIT MENCIT (Mus Musculus)
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
IRMA NIM: 1190761008
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
3
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL JULI 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp. And.,FAACS Dr.dr. Ida Sri Iswari,
Sp.MK., M.Kes
NIP. 194612131971071001 NIP.
196105051990022001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp. And.,FAACS Prof.Dr.dr.A.A.Raka
Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 194612131971071001 NIP.
195902151985102001
4
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal : 8 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
No : 1888/UN14.4/HK/2014
Tanggal : 26 Juni 2014
Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS
Anggota :
1. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes
2. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK
3. Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And
4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD
5
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
perlindunganNya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul
“Pemberian Krim Ekstrak Sarang Walet 10% Meningkatkan Epitelisasi Pada
Penyembuhan Luka Kulit Mencit(Mus Musculus)” .
Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir untuk
memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Ilmu Kedokteran Biomedik,
Kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini, penulis dengan rasa hormat mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And, FAACS selaku ketua Program
Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine Universitas
Udayana sekaligus selaku Pembimbing I yang dengan ketulusannya
memberikan dorongan, semangat serta meluangkan banyak waktu dan
perhatian untuk membimbing, memberi masukan, dan saran yang sangat
berharga kepada penulis selama mengikuti program magister ini,
khususnya dalam penyusunan tesis ini.
2. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp. MK., M.Kes selaku pembimbing II yang dengan
kesabaran terus memberikan semangat, dorongan, perhatian dan selalu
menyempatkan diri untuk memberi bimbingan khususnya dalam
penyusunan tesis ini.
6
3. Prof. Dr. dr. I Gusti Aman, Sp. FK selaku penguji yang dengan sabar telah
meluangkan waktu serta memberikan dorongan, semangat dan masukan
yang sangat bernilai dalam penyusunan tesis ini.
4. Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, M.Sc., Sp And selaku penguji yang telah
banyak memberikan dorongan dan masukan yang membuat penyusunan
tesis ini terselesaikan.
5. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD selaku penguji yang telah banyak
memberikan saran dan masukan selama penyusunan tesis ini.
6. Prof Dr dr Nyoman Adiputra, MOH selaku pembimbing akademik yang
telah memberikan dorongan dan bimbingan selama mengikuti program
magister.
7. Prof.Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, MPhil, Kepala UPT Laboratorium
Kimia Analitik Unud, yang dengan tulus telah sangat membantu penulis
sehingga terlaksananya penelitian ini.
8. Bapak Gede Wiranatha selaku staf Laboratory Animal Unit, bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak
membantu pelaksanaan penelitian ini.
9. Drh. Ida Bagus Oka Winaya M.Kes selaku ahli histopatologi pada
Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada orang tua yang
senantiasa mendorong penulis untuk selalu memperluas pengetahuan.
Terimakasih penulis sampaikan pada suami tercinta, Alan dan anak
7
tersayang, Yohanes yang telah banyak berkorban dan memberikan
motivasi serta mendampingi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada staf administrasi
serta rekan-rekan sejawat di Program Magister, program Studi Ilmu
Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine atas bantuan dan
dukungannya.
Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu penulis memohon maaf atas semua kesalahan yang mungkin ada.
Kritikan serta saran akan penulis terima dengan senang hati untuk
menghasilkan penelitian yang lebih baik.
Penulis
8
ABSTRAK
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK SARANG WALET 10% MENINGKATKAN EPITELISASI PADA PENYEMBUHAN LUKA KULIT MENCIT (Mus Musculus) Sarang burung walet adalah bahan makanan yang sudah dikenal sejak jaman sebagai bahan antiaging. Namun belum banyak bukti penelitian ilmiahnya. Sarang burung walet terbuat dari mucin yang mengandung sialic acid tinggi, kandungan ini diduga bersifat mitogenic. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui krim ekstrak sarang walet meningkatkan proses penyembuhan luka dengan parameter epitelisasi dan neovaskularisasi.
Penelitian eksperimental ini menggunakan Post test only control group design. Penelitian dilakukan di Laboratory Animal Unit bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana menggunakan 32 ekor mencit (mus musculus) sebagai sampel. Mencit dipilih secara random dan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok kontrol 16 mencit dan kelompok perlakuan 16 mencit. Mencit kemudian dilukai dengan punch biopsy 6 mm di punggungnya, kemudian dioleskan krim basis pada kelompok kontrol dan krim ekstrak sarang walet 10% pada kelompok perlakuan setiap hari. Pada hari keempat 8 mencit dari kelompok kontrol dan 8 mencit kelompok perlakuan dibunuh. untuk diperiksa secara histologis. Pada hari ketujuh 8 mencit kelompok kontrol dan 8 mencit kelompok perlakuan dibunuh untuk diperiksa secara histologis.
Berdasarkan hasil analisis celah luka pada hari keempat kelompok krim ekstrak sarang walet 10% (P1) rerata 2,67±0,38 mm dibandingkan kelompok kontrol (P0) dengan rerata 3,50±0,72 mm dengan uji parametrik t independent menunjukkan penurunan yang bermakna (p<0,05). Jumlah neovaskularisasi pada kelompok kontrol (P0) rerata 18,38±1,06 dan perlakuan krim ekstrak sarang walet 10% (P1) rerata 18,12±0,83 dengan uji parametrik t independent tidak didapatkan penurunan neovaskularisasi bermakna (p >0,05). Tebal epitel pada hari ketujuh kelompok krim ekstrak sarang walet 10% (P3) rerata 46,27±6,41 µm dibandingkan kelompok kontrol (P2) dengan rerata 129,62±60,98 µm dengan uji parametrik t independent menunjukkan penurunan yang bermakna (p<0,05). Jumlah neovaskularisasi pada kelompok kontrol (P2) rerata 17,12±0,83 dan perlakuan krim ekstrak sarang walet 10% (P3) rerata 8,37±1,06 dengan uji parametrik t independent didapatkan penurunan neovaskularisasi bermakna (p <0,05).
Kesimpulan penelitian ini krim ekstrak sarang walet dapat meningkatkan epitelisasi tetapi tidak meningkatkan neovaskularisasi pada penyembuhan luka pada hari keempat.
Kata kunci: krim ekstrak sarang walet, penyembuhan jaringan luka, mencit
9
ABSTRACT APPLICATION OF EDIBLE BIRD NEST EXTRACT 10% CREAM
INCREASE EPITHELIALIZATION WOUND HEALING IN SKIN MICE ( MUS MUSCULUS )
Bird's nest is a food that has been known since antiquity as an antiaging ingredient. However, scientific research has not been much in evidence. Bird's nest made of mucin containing sialic acid high, is thought to be mitogenic content. This study was aimed to testing that application of edible bird nest extract 10% cream increase process of wound healing by epithelialization and neovascularization parameters.
This experimental study using post-test only control group design. The study was conducted at the Laboratory Animal Unit of Pharmacology Faculty of Medicine, part of the University of Udayana using 32 mice (mus musculus) as a sample. Mice were randomly selected and divided into two groups. Group of 16 control mice and 16 mice treated groups. Mice were then wounded with a 6 mm punch biopsy on his back, then applied daily the cream base in the control group and edible bird nest extract 10% cream in the treatment group. On the fourth day 8 mice of the control group and the treatment group 8 mice were killed every day. to be examined histologically. On the seventh day 8 mice control group and 8 mice from the treatment group were killed to be examined histologically.
Based on the results of the gap analysis group wound on the fourth day edible bird nest cream extract 10% (P1) averaged 2.67 ± 0.38 mm compared to the control group (P0) with a mean of 3.50 ± 0.72 mm with parametric independent t test showed a decrease significant (p <0.05). Number of neovascularization in the control group (P0) of 18.38 ± 1.06 and the mean treatment edible bird nest extract 10% cream (P1) with a mean of 18.12 ± 0.83 parametric independent t test found no significant reduction in neovascularization (p> 0, 05). Thick epithelium on the seventh day cream group edible bird nest extract 10% (P3) averaged 46.27 ± 6.41 µm compared to the control group (P2) with a mean of 129.62 ± 60.98 µm with parametric independent t test showed a significant decrease (p <0.05). Number of neovascularization in the control group (P2) averaged 17.12 ± 0.83 and treatment cream edible bird nest extract 10% (P3) with a mean of 8.37 ± 1.06 parametric independent t test found a significant decrease in neovascularization (p <0.05 ). Conclusion This study edible bird nest extract cream can improve epithelialization but does not improve neovascularization in wound healing on day four. Keywords: cream edible bird nest extract, tissue wound healing, mice
10
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM.......................................................................................... i
PRASYARAT GELAR.................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................. iv
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................. v
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN ............................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 6 1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................ 6 1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................... 6 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 7 1.4.1 Manfaat Ilmiah....................................................................... 7 1.4.2 Manfaat Khusus ..................................................................... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................... 8
2.1 Penuaan ......................................................................................... 8 2.1.1Definisi ................................................................................... 8 2.1.2 Penyebab Penuaan ................................................................. 8 2.1.3 Teori Proses Penuaan ............................................................. 9
2.2 Anti Penuaan……………………………………………………….13 2.3 Penuaan Kulit ............................................................................... 14 2.4 Definisi Luka ................................................................................ 15 2.5 Proses Penyembuhan Luka ........................................................... 16
2.5.1Growth Factor Dalam Penyembuhan Luka ........................... 21 2.5.2Glucosaminoglycan................................................................. 22
2.6 Ekstrak Sarang Walet ................................................................... 23 2.6.1 Penelitian Ilmiah Khasiat Ekstrak Sarang Burung Walet ..... 26 2.6.2 Kandungan Ekstrak Sarang Burung Walet ........................... 28 2.6.3 Sialic Acid ........................................................................... 28
2.7 Krim ............................................................................................. 31
11
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ......................................................................................................................... 32
3.1 . Kerangka Berpikir ....................................................................... 32 3.2 . Konsep ........................................................................................ 34 3.3 . Hipotesis Penelitian ..................................................................... 35
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 36
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................... 36 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 37 4.3 Sampel ......................................................................................... 37
4.3.1 Perhitungan Besar Sampel ................................................... 37 4.3.2 Kriteria Sampel .................................................................... 38
4.4 Variabel ........................................................................................ 38 4.4.1 Klasifikasi Variabel ............................................................. 38 4.4.2 Definisi Operasional Variabel .............................................. 38
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian .................................................... 41 4.5.1 Bahan Penelitian .................................................................. 41
4.5.1.1 Pembuatan Ekstrak Sarang Walet............................. 41 4.5.1.2 Pembuatan Bahan Dasar Krim ................................. 41 4.5.1.3 Pembuatan Krim Ekstrak Sarang Walet ................... 42
4.5.2 Instrumen ............................................................................ 43 4.5.2.1 Kandang ................................................................... 43 4.5.2.2 Hewan Percobaan ..................................................... 43
4.6 Prosedur Penelitian ....................................................................... 44 4.7 Alur Penelitian .............................................................................. 47 4.8 Analisis Data ................................................................................ 48
BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………………49 5.1 Uji Normalitas Data ……………………………………………… . 49 5.2 Homogenitas Data……………………………………………… .... 51 5.3 Uji Efek Perlakuan Setelah Pemberian Krim Ekstrak sarang wallet
4 hari ............................................................................................. 51 5.3.1 Epitelisasi ............................................................................. 51
5.3.2Neovaskularisasi .................................................................... 52 5.4 Uji Efek Perlakuan Setelah Pemberian Krim Ekstrak sarang walet 7 hari .................................................................................... 53
5.4.1 Epitelisasi .............................................................................. 53 5.4.2Neovaskularisasi .................................................................... 53
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................ 55 6.1 Subyek Penelitian ........................................................................ 55
6.2 Distribusi dan Varian Subyek Penelitian ...................................... 55 6.3 Efek krim ekstrak sarang walet 10% ............................................ 56 6.3.1 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Epitelisasi ............. 57 6.3.2 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Neovaskularisasi ... 58
12
6.4 Mekanisme Dan Efek Krim Ekstrak Sarang Walet 10% Dalam Jaringan Luka .............................................................................. 60 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 63 LAMPIRAN Lampiran1 Konversi perhitungan untuk berbagai jenis(spesies) hewan uji dan
manusia dalam Get dan Barnes (1994) Lampiran 2 Analisis Data Lampiran 3 Foto penelitian dan Jaringan Kulit Mencit Lampiran 4 Hasil Uji Laboratorium krim ekstrak sarang walet Lampiran 5 Hasil Uji Laboratorium sarang burung walet Lampiran 6 Ethical clearance
13
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Perubahan Histologis Dari Aging Skin ............................................... 14 Tabel 2.2 Normal Wound Healing Process ........................................................ 17 Tabel 2.3 Sinyal Growth Factor Pada Daerah Luka .......................................... 21 Tabel 2.4 Distribusi Asam Amino (Mg/G) Pada Ekstrak Sarang Burung Walet29 Tabel 4.1 Formula Basis Krim .......................................................................... 42 Tabel 4.2 Formula Krim Ekstrak Sarang Walet ................................................. 43 Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Epitelisasi dan Neovaskuler...................... 50 Tabel 5.2 Hasil Uji Homogenitas antar Kelompok data epitelisasi dan
neovaskulerisasi ................................................................................ 51 Tabel 5.3 Rerata celah luka antar kelompok sesudah perlakuan 4 hari ............... 52 Tabel 5.4 Rerata jumlah neovaskular antar kelompok sesudah perlakuan 4 hari..52 Tabel 5.5 Rerata tebal epitel antar kelompok sesudah perlakuan 7 hari .............. 53 Tabel 5.6 Rerata jumlah neovaskular antar kelompok sesudah perlakuan 7 hari 53
14
DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN
Gambar 2.1 Skema Fase Penyembuhan Luka Dan Sel/Mediator Dan Kejadian
Yang Terlibat ................................................................................. 20
Gambar2.2 Collocalia Fuchipaga Dan Sarang Burung Di Gedung Budidaya Walet
...................................................................................................... 24
Gambar2.3 Collocalia Maxima Dan Sarangnya ................................................. 25
Gambar 2.4 Collocalia Esculanta Dan Sarangnya .............................................. 25
Gambar 2.5 Sarang Walet Collocalia Fuciphaga ............................................... 26
Gambar 3.1 Kerangka Konsep .......................................................................... 34
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ..................................................................... 36
Gambar 4.2 Skema Alur Penelitian ................................................................... 47
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel konversi perhitungan untuk berbagai jenis(species) hewan uji
dan manusia dalam Get dan Barnes (1994) ..................................... 68
Lampiran 2 Analisis Data ................................................................................. 69
Lampiran 3 Foto Penelitian dan Jaringan Kulit Mencit ..................................... 71
15
Lampiran 4 Hasil Uji Laboratorium krim ekstrak sarang wallet ......................... 75
Lampiran 5 Hasil Uji Laboratorium sarang burung wallet ................................ 76
Lampiran 6 Ethical clearance ............................................................................ 77
16
DAFTAR SINGKATAN
ADP : Adenosin diphosphate CTGF : Connective tissue growth factor ECM : Extracellular matrix EGF : Epidermal Growth Factor
FGF : Fibroblast Growth Factor
GAGs : Glycosaminoglycan HB EGF : Heparin binding Epidermal Growth Factor IGF-1 : Insulin like growth factor-1
IL-1 : Inter Leukin-1
IL-6 : Inter Leukin-6
KGF : Keratinocyte Growth Factor
MMP : Matrix metalloproteinase PDGF : Platelet Derived Growth Factor
TGF α : Transforming Growth Factor α
TGF β : Transforming Growth Factor β
TNF : Tumor necrosis factor VEGF : Vascular endothelial growth factor
17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan adalah suatu hal yang alamiah. Semakin lama kita hidup tentu
umur kita bertambah dan menjadi tua. Umumnya semakin tua kita akan semakin
sering mengalami sakit serta fungsi-fungsi tubuh menjadi berkurang. Hal tersebut
dianggap suatu hal yang wajar saat tua.
Proporsi populasi yang berumur lebih dari 60 tahun lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok umur lainnya, sebagai hasilnya usia harapan
hidup meningkat terutama pada negara-negara maju (Darmojo, 2006).
Meningkatnya usia harapan hidup ini tentunya menggembirakan, sekaligus
merupakan bukti kesuksesan dalam kebijaksanaan kesehatan masyarakat dan
perkembangan sosial ekonomi.
Di Indonesia diperkirakan pada tahun 2020 jumlah lansia mencapai
11,34% (Darmojo, 2006). Ini juga membawa persoalan baru untuk dihadapi yaitu
bagaimana meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional dalam
kehidupan sosial dan keamanan. Penduduk negara maju mempunyai usia harapan
hidup yang lebih panjang dibandingkan dengan negara berkembang, apalagi
terbelakang. Kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan dan menghindari
berbagai faktor penyebab proses penuaan dilengkapi dengan pengobatan,
menyebabkan masyarakat di negara maju mempunyai kesempatan yang lebih
18
besar untuk hidup sehat dan berusia panjang dibandingkan masyarakat di negara
berkembang atau terbelakang (Pangkahila, 2007).
Penuaan terjadi karena berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut
dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa
faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi,
metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal
yang utama adalah gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan
yang salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan. Namun bila faktor-faktor
penyebab itu dapat dihindari, proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat,
bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat dipertahankan (Pangkahila,
2007). Teori yang mendasari terjadinya proses penuaan beragam antara lain
adalah wear and tear theory, dan programmed theory. Wear and tear theory
menyatakan bahwa pada prinsipnya tubuh dan sel menjadi rusak karena terlalu
sering digunakan, dimana kerusakan terjadi secara terus menerus tidak hanya
pada organ namun juga pada tingkat sel. Programmed theory menyatakan bahwa
dalam tubuh manusia terdapat jam biologis, mulai dari proses konsepsi sampai
pada kematian dalam suatu model yang telah terprogram (Pangkahila, 2007).
Semua organ tubuh kita mengalami penuaan, termasuk kulit kita.
Semakin kita tua kulit kita akan makin menipis, karena terjadi atrofi epidermis,
kelenjar keringat, dan folikel rambut. Lemak subkutan juga turut berkurang,
sehingga daya tahan terhadap tekanan dan perubahan suhu berkurang. Penipisan
kulit tersebut menyebabkan mudah terjadi luka dan infeksi (Darmojo, 2006).
19
Luka pada embrio penyembuhannya berlangsung lebih cepat, efesien
dan menghasilkan regenerasi jaringan yang sempurna. Pada orang dewasa
kebanyakan luka sembuh dengan cepat antara satu sampai dua minggu. Namun
hasil akhirnya tidak sempurna baik secara fungsi maupun estetik. Epidermal
appendages yang hilang pada daerah yang rusak tidak diregenerasi, dan ketika
luka menutup terdapat jaringan parut di mana jaringan kolagen dengan buruk
terbentuk (Martin, 1997).
Pada orang tua penyembuhan luka ternyata lebih lambat seperti yang
dilaporkan oleh Carrel dan DuNuoy pada tahun 1921. Halasz pada tahun 1961
juga melaporkan bahwa komplikasi penyembuhan luka lebih sering terjadi pada
orang yang lebih tua (Minimas, 2007). Luka kronis ini menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas jutaan pasien di seluruh dunia (Gunter, 2012).
Luka pada orang tua ternyata menimbulkan masalah sosial dan ekonomi,
seperti yang dicatat oleh Ashcroft pada tahun 2002 Inggris mengeluarkan dana
lebih dari 1 juta poundsterling per tahun untuk merawat luka akut, luka kronis dan
luka yang terhambat penyembuhannya pada orang tua (Minimas, 2007). Menurut
Bikers biaya yang dikeluarkan untuk perawatan luka kronis lebih dari 10 juta
dolar Amerika per tahun, jumlah itu adalah lebih dari separuh biaya perawatan
seluruh penyakit kulit di Amerika Serikat (Martin, 2010). Untuk itu diperlukan
adanya upaya untuk memperbaiki penyembuhan luka dengan lebih efektif,
sehingga lama perawatan luka dapat dipersingkat (Minimas, 2007).
Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks dan dinamis untuk
mengembalikan struktur sel dan lapisan jaringan. Penyembuhan luka pada
20
manusia dewasa dapat dibagi menjadi 3 fase : yaitu fase inflamasi, fase proliferasi
dan fase remodeling. Ketika terjadi luka maka tubuh akan bereaksi dengan cara
melakukan konstriksi pembuluh darah pada daerah sekitar luka, diikuti agregasi
platelet dan pembentukan fibrin (thrombus). Setelah itu terjadi infiltrasi netrofil,
infiltrasi monosit yang kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag, dan infiltrasi
limfosit. Ini disebut fase inflamasi. Fase proliferasi ditandai dengan terjadinya
reepitelisasi, pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), sintesis kolagen
dan pembentukan extra cellular matrix (ECM) yaitu glicosaminoglycan (GAGs) .
Setelah itu perubahan luka berada dalam keadaan konstan yang disebut fase
remodeling yang dapat berlangsung hingga bertahun-tahun, pada fase ini terjadi
remodeling dari kolagen serta maturasi dan regresi dari pembuluh darah. Pada
fase penyembuhan luka tersebut beragam growth factor dilepaskan dan memiliki
peran yang penting dan bervariasi seperti sebagai modulator, kemotaktik dan agen
mitogen (Mercandetti, 2011).
Perawatan luka modern mengarah untuk mendukung kapasitas regenerasi
dari tubuh. Salah satunya upaya menciptakan lingkungan serupa dengan embryo.
Luka pada embryo mengalami lebih sedikit inflamasi, lebih banyak
glycosaminoglycan dan lebih cepat terjadi regenerasi. Ini menjadi fokus
termasuk penggunaan stem cells, growth factor, dan material bioaktif baru serta
kombinasi dari metode-metode tersebut, walaupun masih sedikit penelitian uji
klinis yang dilakukan terhadap metode-metode tersebut (Gunter, 2012).
Growth factor penting dalam proses penyembuhan luka, berbagai macam
growth factor seperti Epidermal growth factor (EGF), Platelet derived growth
21
factor (PDGFs), transforming growth factors (TGF) α dan β, serta insulin-like
growth factor-1 (IGF-1), baik digunakan secara tunggal maupun dikombinasi
telah dicobakan pada proses penyembuhan luka dalam berbagai jaringan (Gope,
2007).
Salah satu bahan dari alam yang ditemukan memiliki efek menyerupai
growth factor adalah sarang burung walet. Dalam penelitian Kong et al (1986)
sarang walet ditemukan memiliki potensi mitogenik, dan tahun 1987 Kong et al
berhasil membuktikan adanya epidermal growth factor pada sarang walet yang
menstimulasi sintesis DNA pada fibroblast. Penelitian Kyung (2012) ekstrak
sarang burung walet dapat meningkatkan proliferasi dari stem cell yang diambil
dari jaringan adiposa manusia. Efek mitogenik dari sarang burung walet diduga
karena adanya sialic acid. Asam sialic mewakili keluarga molekul gula dengan
struktur kimia yang unik dan sangat bervariasi dan sering ditemukan dalam posisi
terminal rantai oligosakarida pada permukaan sel dan molekul yang
memungkinkan mereka untuk berperan dalam beberapa fungsi biologis penting
(Schauer dan Traving, 1998). Sarang burung walet juga kaya akan
glycosaminoglycan yang mirip dengan extracellular matrix (Nakagawa, 2007).
Sarang burung walet sudah lama dikenal dalam pengobatan tradisional
cina dan diklaim merupakan obat antiaging atau awet muda. Walaupun demikian
belum banyak bukti ilmiahnya. Penelitian in vitro mengenai efek mitogenik yang
ditimbulkan oleh ekstrak sarang burung walet telah dilakukan, namun belum
dilakukan penelitian secara in vivo untuk membuktikan adanya efek mitogenik
22
tersebut. Untuk itu diperlukan adanya penelitian yang dapat membuktikan efek
mitogenik dari sarang burung walet untuk aplikasi pada penyembuhan luka.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dibuat rumusan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah pemberian krim ekstrak sarang walet 10 % dapat meningkatkan
epitelisasi pada penyembuhan luka mencit ?
2. Apakah pemberian krim ekstrak sarang walet 10 % dapat meningkatkan
neovaskularisasi pada penyembuhan luka mencit?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efek krim ekstrak sarang walet pada proses
penyembuhan luka.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pemberian krim ekstrak sarang walet 10% dapat
meningkatkan epitelisasi pada luka kulit mencit
2. Untuk mengetahui pemberian krim ekstrak sarang walet 10% dapat
meningkatkan neovaskularisasi pada luka kulit mencit
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Ilmiah
Memberi informasi ilmiah tentang kemampuan ekstrak sarang burung
walet topikal dalam mempercepat dan memperbaiki penyembuhan luka.
23
1.4.2 Manfaat Praktis
Bila penelitian ini terbukti dapat memberi informasi tentang sarang burung
walet dapat digunakan sebagai alternatif untuk pengobatan luka sehingga
penyembuhan lebih efektif dan menghasilkan penutupan luka yang lebih
sempurna pada manusia setelah dibuktikan dengan clinical trial.
24
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
2.1.1 Definisi
Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan
struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki
kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan
kehilangan daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik
dan struktural, yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi,
aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker), yang akan menyebabkan kita
mengakhiri hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark
myokard, koma asidotik, metastasis kanker dan sebagainya (Darmojo, 2006).
2.1.2 Penyebab penuaan
Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses
penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada
kematian. Pada dasarnya faktor itu dikelompokkan menjadi faktor internal dan
eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang,
proses glikosilasi, metilasi, apotosis, sistem kekebalan yang menurun, dan
genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat,
kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2007).
25
2.1.3 Teori proses penuaan
Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses
penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu wear and tear theory dan programmed theory (Goldmann dan
Klatz, 2003).
2.1.3.1 Wear and tear theory
Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah
lalu meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terus menerus.
Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann, seorang ahli
biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan selnya menjadi
rusak karena terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Kerusakan tidak
terbatas pada organ, melainkan juga terjadi di tingkat sel (Goldmann dan Klatz,
2003).
Hal ini berarti walaupun seseorang tidak pernah merokok, minum
alkohol, dan hanya mengonsumsi makanan alami, dengan menggunakan organ
tubuh secara biasa saja, pada akhirnya terjadi kerusakan. Penyalahgunaan organ
tubuh membuat kerusakan lebih cepat. Karena itu, tubuh menjadi tua, sel
merasakan pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Pada masa
muda sistem pemeliharaan dan perbaikan tubuh mampu melakukan kompensasi
terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Goldmann dan
Klatz, 2003).
Dengan menjadi tua, tubuh kehilangan kemampuan memperbaiki
kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal karena penyakit
26
yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini pemberian suplemen
yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan
proses penuaan. Mekanismenya dengan merangsang kemampuan tubuh untuk
melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Goldman dan
Klatz, 2003).
Teori wear and tear meliputi:
1. Teori kerusakan DNA
Tubuh mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA repair).
Proses penuaan sebenarnya berarti proses penyembuhan yang tidak sempurna dan
sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul yang terus menerus (Darmojo,
2006). Kerusakan DNA menumpuk dalam waktu lama, yang mencapai suatu
keadaan dimana basis molekul sebanarnya sudah rusak berat. Kerusakan
molekuler dapat terjadi karena faktor dari luar, seperti radiasi, polutan, asap rokok
dan mutagen kimia (Pangkahila, 2007).
2. Teori penuaan radikal bebas
Teori radikal bebas merupakan salah satu teori tentang penuaan, yang
diperkenalkan oleh Gerschman kemudian dikembangkan oleh Denham
Harman. Teori ini menekankan bahwa radikal bebas dapat merusak sel – sel
tubuh manusia (Goldman dan Klantz, 2003). Radikal bebas adalah suatu molekul
yang mempunyai satu atau lebih elekron yang tidak berpasangan pada orbital
luarnya, bersifat sangat reaktif, dengan cara menarik elektron molekul yang ada
disekitarnya, mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, sehingga akan
terjadi reaksi rantai (Sadikin, 2001).
27
Kerusakan yang ditimbulkan akibat radikal bebas dimulai ketika lahir
dan terus berlanjut hingga meninggal dunia.Ketika masih muda dampak yang
ditimbulkan bersifat minor karena tubuh memiliki mekanisme perbaikan dan
penggantian yang masih berfungsi baik untuk mempertahankan sel dan organ
dalam keadaan sehat.
Dengan bertambahnya usia akumulasi kerusakan akibat radikal bebas
akan mengganggu metabolisme sel, menyebabkan mutasi sel yang dapat
menimbulkan kanker dan kematian (Goldmann dan Klatz, 2003).
3. Glikosilasi
Glikosilasi adalah reaksi non enzimatik antara senyawa glukosa dengan
senyawa protein, menghasilkan glikotoksin atau Advanced Glycation End Product
(AGEs), yang merupakan radikal bebas yang akan merusak jaringan tubuh. Proses
ini semakin sering terjadi saat kita menua, terjadi tanpa bantuan enzim spesifik,
yang menyebabkan glikosilasi menjadi sangat berbahaya (Roizen and Oz, 2009).
2.1.3.2 Programmed theory
Teori ini menganggap di dalam tubuh manusia terdapat jam biologik,
mulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam suatu model terprogram
(Darmojo, 2006). Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai embrio, janin,
masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa, menjadi tua dan akhirnya meninggal
(Pangkahila, 2007).
1. Teori terbatasnya replikasi sel
Pada ujung chromosome strands terdapat struktur khusus yang disebut
telomer. Setiap replikasi sel telomer memendek pada setiap pembelahan sel.
28
Setelah sejumlah sel pembelahan sel, telomer telah dipakai dan pembelahan sel
berhenti.Menurut Hayflick, mekanisme telomere tersebut menentukan rentang
usia sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila,
2007).
2. Proses imun
Rusaknya sistem imun tubuh seperti: mutasi yang berulang atau
perubahan protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan
sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi
somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal
ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami
perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.Perubahan inilah
yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti yang
ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibodi padaorang lanjut usia
(Darmojo, 2006).
3. Teori neuroendrokin
Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, berdasarkan peranan
berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda berbagai hormon
bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh, sehingga fungsi
berbagai organ tubuh sangat optimal. Akan tetapi, ketika manusia menjadi tua,
tubuh hanya mampu memproduksi hormon lebih sedikit sehingga kadarnya
menurun.Akibatnya berbagai fungsi tubuh terganggu (Goldman dan Klatz, 2003).
Terapi sulih hormon membantu untuk mengembalikan fungsi hormon tubuh
sehingga dapat memperlambat proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2003).
29
2.2 Anti Penuaan
Anti Aging Medicine (AAM) pertama kali diperkenalkan dan
dikembangkan oleh American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) pada
tahun 1993. Anti Aging Medicine adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan
pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk
melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan
semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan
penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat
(Pangkahila, 2007).
Perkembangan Anti Aging Medicine telah membawa konsep baru yang
menyebabkan perubahan paradigma di dunia kedokteran.
1. Penuaan dapat dianggap sama dengan suatu penyakit yang dapat dicegah,
diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula.
2. Manusia bukanlah orang hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya.
3. Manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya
menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua
(Pangkahila, 2007).
Bila berbagai faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses
penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan
kualitas hidup dapat dipertahankan, sehingga usia harapan hidup menjadi lebih
panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Jika radikal
bebas dapat diatasi dengan antioksidan, salah satu penyebab proses penuaan
sudah dihambat. Jika gaya hidup tidak sehat ditinggalkan, diet tidak sehat
30
dihindari, dan hormon yang berkurang diatasi dengan pengobatan, maka
proses penuaan yang penting dapat disingkirkan (Pangkahila, 2007).
2.3 Penuaan Kulit
Proses penuaan kulit terdiri dari intrinsic aging (chronologic aging) dan
photoaging. Intrinsic aging berkaitan dengan penuaan yang terjadi karena
berlalunya waktu, sedangkan photoaging dihasilkan dari paparan kronis sinar UV.
Perubahan kulit yang terlihat adalah timbulnya kekeringan, kerutan, kurangnya
elastisitas dan perkembangan tumor jinak. Secara histologis terlihat adanya
dermo-epidermal junction yang merata, epidermis atrofi, dan ketebalan dermis
menurun (Rieger, 2000).
Tabel 2.1 perubahan histologis dari aging skin (Rieger, 2000) Epidermis Dermis Appendages Flattened Dermal-epidermal juntcion
Athrophy depigmented hair
Variable thickness fewer fibroblasts loss of hair Variable cell size and shape Fewer mast cells Conversion of terminal
to vellus hair Occasional nuclear atypia Fewer blood vessels Abnormal nail plates Fewer melanocytes Shortened capillary
loops Fewer glands
Fewer langerhans cells Abnormal nerve endings
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kulit menua memudahkan terjadinya luka
dan proses penyembuhan luka yang lebih lambat (Minimas, 2007).
2.4 Definisi Luka
Luka merupakan gangguan dari kondisi normal pada kulit, luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain.
31
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan
menunjukkan derajat luka (Baroroh, 2011).
1. Berdasarkan tingkat kontaminasi (Taylor, 1997)
a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah yang tidak terinfeksi sehingga
tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan,
pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih akan menghasilkan luka
yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson –
Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka hanya sekitar 1% - 5%.
b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka
pembedahan saat saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam
kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya
infeksi luka adalah 3% - 11%.
c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), jenis ini termasuk luka terbuka,
luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik
atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut,
inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka.
2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a. Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi
pada lapisan epidermis kulit.
32
b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dengan
adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai
bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada
lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara
klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya.
d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon
dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
2.5 Proses penyembuhan luka
Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks dan dinamis untuk
mengembalikan struktur sel dan lapisan jaringan. Penyembuhan luka pada
manusia dewasa dapat dibagi menjadi 3 fase : yaitu fase inflamasi, fase proliferasi
dan fase remodeling. Proses biologis ini akan menggantikan jaringan kulit normal
dengan jaringan parut fibroblastik (Mercandetti, 2011).
Tabel 2.2 Normal wound healing process (Guo dan DiPietro, 2010)
Phase Cellular and bio-physiologic events
Hemostasis 1. Konstriksi pembuluh darah
2. Agregasi platelet, degranulasi, dan pembentukan
fibrin (thrombus)
Inflamasi 1. Infiltrasi netrofil
33
2. Infiltrasi monosit dan diferensiasi menjadi makrofag
3. Infiltrasi limfosit
Proliferasi 1. Re-epitelisasi
2. Angiogenesis
3. Sintesis kolagen
4. Pembentukan Extra cellular matrix
Remodeling 1. Remodeling dari kolagen
2. Maturasi dan regresi dari pembuluh darah
Urutan penyembuhan luka :
Fase homeostasis, setelah terjadi luka dan berdarah, maka tubuh kita merespon
dengan adanya vasokonstriksi di daerah sekitar luka, platelet melekat pada
endotelium rusak dan mengeluarkan adenosin diphospate (ADP), sehingga terjadi
sumbat trombosit yang menyumbat luka. Fase inflamasi dimulai dengan
dilepasnya sejumlah sitokin oleh platelet.
Fase kedua inflamasi, antara 6-8 jam pertama. Transforming growth factor b
(Tgf –b) memfasilitasi migrasi PMN dari pembuluh darah ke daerah luka. PMN
membersihkan luka dari debris. PMN mencapai jumlah maksimalnya pada 24-48
jam setelah luka dan menghilang dari daerah luka kira-kira 72 jam setelah terjadi
luka. Chemotactic agent lainnya juga dilepaskan termasuk fibroblastic growth
factor (FGF), tranforming growth factors (TGF-b dan TGF-a), PDGF dan plasma
activated complements C3a dan C5a (anaphylactic toxins). Mereka kemudian
diserap oleh makrofag atau ditimbun dalam keropeng atau eschar. Selanjutnya
monosit juga keluar dari pembuluh darah. Monosit ini kemudian disebut
makrofag. Makrofag meneruskan proses pembersihan luka dan membentuk
34
beragam growth factor dalam 3-4 hari. Makrofag mengorganisir perbanyakan sel
endotel pada pembuluh baru, duplikasi sel otot polos dan penciptaan lingkungan
yang dibuat oleh fibroblas. Banyak faktor mempengaruhi proses penyembuhan
luka disekresi oleh makrofag. Ini termasuk TGFs, sitokin dan interleukin 1 (IL-1),
tumor necrosis factor (TNF) dan PDGF.
Fase ketiga, Proliferasi. Pada fase ini terdiri dari beberapa subfase. Subfase ini
tidak terjadi dalam patokan waktu, tapi merupakan suatu kesatuan dan proses
yang berlanjut. Subfase ini terdiri dari: fibroplasia, matrix deposition,
angiogenesis dan reepitelisasi. Pada hari ke 5-7 fibroblas akan bermigrasi ke
daerah luka, dan menghasilkan kolagen baru dari subtipe I dan III. Awalnya
kolagen tipe III lebih banyak, namun akhirnya akan digantikan oleh tipe I.
Tropocolagen adalah prekursor dari semua tipe kolagen dan diubah dalam sel
pada retikulum endoplasma kasar, dimana proline dan lysine dihidroksilasi, dan
ikatan disulfida diciptakan. Dari 3 tropocolagen dibentuk menjadi satu triple left
handed triple halix yang disebut procollagen. Dan procollagen dikeluarkan ke
ekstraseluler, peptidase pada cleave dinding sel berperan untuk menghilangkan
ujung rantai peptida sehingga terbentuk kolagen yang sebenarnya. Luka diliputi
oleh Glycosaminoglycan (GAGs) dan fibronectin yang dihasilkan oleh fibroblasts.
Yang termasuk dalam GAGs ini adalah heparan sulfat, hyaluronic acid,
chondroitin sulfate dan keratan sulfat. Proteoglican adalah GAGs yang terikat
pada inti protein dan berkontribusi pada matrix deposition. Angiogenesis adalah
pembentukan cabang pembuluh darah induk. Angiogenesis penting untuk
mempertahankan jaringan yang baru terbentuk. Pembentukannya membutuhkan
35
matrix ekstraseluler, degradasi membrane basal, disertai migrasi, mitosis dan
maturasi dari sel endotel. FGF dan vascular endothelial growth factor (VEGF)
dipercaya memodulasi angiogenesis. Reepitelisasi muncul dengan adanya migrasi
sel dari perifer dan struktur adnexa. Sel epitel bermigrasi dari ujung insisi ke
ujung lainnya. Proses ini dimulai dengan penyebaran sel dalam waktu 24 jam.
Pembelahan sel perifer dimulai dalam 2-3 hari, menghasilkan lapisan epithel tipis,
yang menjembatani luka. Epidermal growth factor (EGF) dipercaya merupakan
kunci pada aspek penyembuhan luka di tahap ini. Subfase ini dapat berlangsung
hingga 4 minggu dalam luka yang bersih dan tidak terkontaminasi.
Fase keempat. Remodeling. Setelah minggu ketiga, luka berada dalam perubahan
yang konstan, yang disebut remodeling, ini dapat berlangsung hingga bertahun-
tahun setelah awal terjadinya luka. Kolagen di degradasi dan di deposisi dalam
model yang seimbang dengan produksinya, menghasilkan tidak adanya perubahan
dalam jumlah kolagen yang ada pada luka. Deposisi kolagen ini pada luka yang
normal mencapai puncaknya pada minggu ketiga setelah terjadi luka. Jumlah
neovaskular menurun kembali. Kontraksi pada luka adalah proses yang terus
berlanjut dihasilkan sebagai bagian dari proliferasi dari fibroblas khusus yang
disebut myofibroblas, yang kontraksinya serupa sel otot polos. Kontraksi luka
muncul dengan lebih jelas pada luka sekunder (secondary healing) dibandingkan
pada luka primer (primary healing). Maksimal kekuatan regangan dari luka
didapat pada minggu ke 12 dan yang merupakan hasil terbaik dari scar hanya
mencapai 80% dari kulit asli yang digantikan (Mercandetti, 2011).
Waktu fase sel/mediator
kejadian utama
6-8 jam
5-7 hari atau lebih
Koagulasi/inflama
si
Platelet Netrofil Growth factor Fibrin clot MMP
Perdarahan
Hipoksia
Koagulasi
Debridement
Provisional matrix
36
Gambar 2.1 Skema fase penyembuhan luka dan sel/mediator dan kejadian yang
terlibat (Falanga, 2007)
2.5.1 Growth Factor dalam penyembuhan luka
Growth factor secara umum dapat didefinisikan sebagai agen yang
meningkatkan proliferasi dan metabolisme sel melalui interaksi dengan reseptor
spesifik pada permukaan membran sel (cell membrane bound reseptor). Sebagai
tambahan protein-protein ini dapat menginduksi sel bermigrasi ke daerah yang
luka, berfungsi sebagai chemoattractant untuk merekrut sel-sel penting seperti
lekosit dan fibroblas ke area luka. Namun aktifitas biologis dari growth factor
37
dapat bervariasi luas, tergantung pada banyak variable, termasuk sel yang terkena,
microenvironment local (seperti densitas sel, tekanan oksigen), konsentrasi dari
growth factor, dan ada tidaknya growth factor lain. Kemungkinan semua growth
factor berdampak pada proses penyembuhan luka dalam beberapa kesempatan
(Kiritsy et al, 1993).
Tabel 2.3 Sinyal growth factor pada daerah luka (adaptasi dari Martin,1997) Growth factor Sumber Target sel primer dan efek
EGF Platelet Motogen dan mitogen keratinosit
TGF α Makrofag;
keratinosit
Motogen dan mitogen keratinosit
HB-EGF Makrofag Mitogen keratinosit dan fibroblast
FGF 1,2 dan 4 makrofag dan sel
endotel yang rusak
Angiogenic dan mitogen fibroblas
FGF 7 (KGF) Dermal fibroblast Motogen dan mitogen keratinosit
PDGF Platelet, makrofag,
keratinosit
Kemotaktik untuk makrofag dan
fibroblast, aktivasi makrofag,
mitogen fibroblast dan produksi
matriks
IGF- 1 Plasma; platelet Mitogen sel endotel dan fibroblast
VEGF Keratinosit,
makrofag
Angiogenesis
TGF-β1 dan β2 Platelet, makrofag Migrasi keratinosit, kemotaktik
untuk makrofag dan fibroblast;
fibroblas sintesis matriks dan
remodeling
TGF-β3 Makrofag Antiscarring
CTGF Fibroblast; endotel Fibroblast; menurunkan TGF-β1
IL-1α dan β Netrofil Early activators of growth factor
expression in macrophages and
38
fibroblasts
TNF Netrofil Mirip dengan IL-1
Penggunaan satu atau kombinasi dari beberapa growth factor eksogen
telah diteliti mempunyai potensi untuk perawatan luka kronis. Sejauh ini hanya
PDGF yang telah dilakukan uji klinisnya, untuk digunakan pada perawatan
diabetes, luka neuropati. Pada percobaan ini didapatkan hasil yang signifikan
memperbaiki penyembuhan luka. Namun pemakaian growth factor belum
menjadi sesuatu yang rutin, ini mungkin disebabkan karena berbagai hal,
termasuk pertimbangan biaya, kurangnya bukti ilmiah sehingga penelitian lebih
lanjut dibutuhkan (Guhter dan Machens, 2012).
2.5.2 Glucosaminoglycan
Extra cellular matrix diketahui memainkan peran penting dalam penyembuhan
luka karena dapat berperan dalam mengatur faktor pertumbuhan dan sitokin dan
mengubah perilaku sel. Pada luka janin, jumlah GAGs 3 kali lebih banyak
dibandingkan luka pada orang dewasa dan bertahan lebih lama, ini mungkin
disebabkan berkurangnya aktivitas hyaluronidase pada janin. Hyaluronic acid
(HA) mengurangi pembentukan jaringan parut pada orang dewasa. Peningkatan
kadar HA seperti pada janin mempermudah proliferasi dan migrasi dari sejumlah
jenis sel. Sehingga mempercepat penyembuhan dan berkurangnya jaringan parut
(Rolfe dan Grobbelaar, 2012).
2.6 Ekstrak sarang walet
Burung Walet (collocaliini) adalah burung pemakan serangga kecil yang
tersebar dari Samudera Hindia, melalui Asia Tenggara dan Australia Utara ke
39
Pasifik. Di antara berbagai jenis burung walet dalam genus Collocalia, hanya
empat spesies burung sarang walet di kawasan Asia Tenggara yang memiliki nilai
komersial karena dikonsumsi manusia. Mereka adalah Collocalia fuciphaga,
Collocalia germanis, Collocalia maxima dan Collocalia esculanta. Tetapi menurut
pendapat Chantler dan Driessens (1995), Collocalia germani termasuk dalam
spesies Collacalia fuciphaga sehingga bukan merupakan spesies tersendiri.
Collocalia germani tidak ditemukan di Indonesia, namun burung tersebut
ditemukan di negara lain di Asia seperti Vietnam. Spesies Collocalia, rata-rata
memiliki berat badan 6,5 gram, dan memiliki bulu yang mengkilap. Sarang
mereka dibangun dengan saliva yang berfungsi seperti lem, dan dapat
menggabungkan bahan-bahan lain seperti bulu. Dibutuhkan sekitar 20 hari untuk
menyelesaikan sarangnya.
Collocalia fuciphaga adalah jenis burung yang banyak dicari karena
burung tersebut bersarang putih. Collocalia fuciphaga ditemukan di Cina selatan
dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Di Sumatra dan Kalimantan burung
tersebut bisa hidup sampai ketinggian 2800 meter di atas permukan laut, tetapi di
Jawa dan Bali burung ini biasanya hidup dekat pantai di dalam gua yang gelap
dan dalam. Collocalia maxima membuat sarang dengan air liur seperti fuciphaga
tetapi sarangnya bercampur dengan bulu burung sehingga harga sarangnya lebih
rendah. Sarang Collocalia esculenta sangat berbeda dari sarang burung walet
karena esculenta membuat sarang dari daun, bulu burung dan hanya sedikit air
liur. Collocalia fuchipaga dan collocalia maxima biasa disebut burung walet.
Namun Collocalia esculanta dikenal sebagai burung seriti (Delaney, 2008).
40
Gambar2.2 Collocalia Fuchipaga Dan Sarang Burung Di Gedung Budidaya Walet
Gambar 2.3 Collocalia Maxima Dan Sarangnya
41
Gambar 2.4 Collocalia Esculanta Dan Sarangnya
Sarang burung walet atau edible bird nest , Yan wo dalam bahasa Cina, Enso
dalam bahasa jepang telah lama dikenal sebagai obat untuk membuat orang sehat
tetapi juga makanan yang enak. Secara tradisional, sarang burung ini diolah
dengan cara direbus ganda (double boiling) dengan gula batu yang dikenal sebagai
"sup sarang burung".
Sarang burung walet dikenal sebagai salah satu obat tradisional cina dan
diyakini memiliki efek meningkatkan kesehatan seperti anti-penuaan,
mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan imunitas. Bahkan, penggunaan obat
sarang burung dapat dimakan dapat ditelusuri kembali ke abad ke-16 (Chan,
2003).
42
Gambar 2.5 Sarang Walet Collocalia Fuciphaga
2.5.1 Penelitian ilmiah khasiat Eskstrak sarang burung walet
Walaupun telah lama dikenal, ternyata sarang burung walet belum diteliti
secara detail. Tahun 1986 Ng dan Kong et al menemukan potensi mitogenik dari
sarang burung walet. Kong et al (1987) membuktikan bahwa ada unsur yang
menyerupai epidermal growth factor dalam kandungan sarang burung walet. Guo
et al (2006) meneliti efek antiviral dari ekstrak sarang burung walet dan terbukti
ekstrak sarang burung walet dapat menghambat infeksi virus influenza. Penelitian
di jepang pada tikus yang telah diovariektomi, dengan suplementasi sarang burung
walet meningkatkan kekuatan tulang dan ketebalan dermal (Matsukawa et al,
2011).
Penelitian di korea menunjukkan bahwa ekstrak sarang burung walet dapat
mengurangi efek oksidatif stress yang disebabkan terpapar oleh H2O2 dan
menghambat ekspresi mmp-1 pada kultur keratinosit (Kim et al, 2012).
43
Penelitian di Malaysia dengan tujuan untuk menilai kapasitas proliferasi
dan perubahan fenotif oleh ekstrak sarang burung walet pada keratosit kornea,
mendapatkan hasil bahwa pada konsentrasi tertentu ekstrak sarang burung walet
secara sinergis mampu meningkatkan proliferasi sel dengan fungsional yang
terjaga. Ini dibutuhkan dalam penyembuhan luka kornea sehingga tidak
menyebabkan gangguan penglihatan. Pada penelitian tersebut digunakan kultur sel
keratosit kornea dari kelinci, dan di dapatkan peningkatan proliferasi sel tertinggi
adalah pada konsentrasi 0,05% dan 0,1 % dari ekstrak sarang burung walet
(Abidin, 2011).
Penelitian di fakultas farmasi Pontianak membuktikan bahwa pemakaian
krim ekstrak sarang walet 10%, 20% dan 30% dapat mencerahkan/memutihkan
kulit tikus putih jantan galur wistar, penelitian ini didukung juga dengan
penelitian serupa dengan formulasi krim yang berbeda (Rohmah, 2013).
2.5.2 Kandungan Ekstrak Sarang Burung Walet
Sarang walet terbuat dari air liur burung walet jantan, karena itu
kandungannya terbanyak adalah mucinous glycoprotein seperti chondroitin
glucosaminoglycans dan sialylglycoconjugates, serta mineral-mineral dan protein
(Noorhayati et al, 2010; Matsukawa et al, 2011).
Bahan-bahan utama sarang burung walet adalah glikoprotein sedangkan
komponen utama karbohidrat di sarang burung walet adalah sialic acid sebesar
9% . Komponen karbohidrat lainnya termasuk N-asetilgalaktosamin (galNac)
(7,2%), N-asetilglukosamin (GlcNAc) (5,3%), galaktosa (16,9%) dan fucose
(0,7%). Asam amino dan garam mineral juga ditemukan di sarang burung walet,
44
terutama natrium dan kalsium, dengan rendahnya tingkat magnesium, seng,
mangan dan besi. Kathan & Weeks pada tahun 1969 telah menemukan tiga asam
amino nonesensial (asam aspartat, asam glutamat dan prolin) dan dua asam amino
esensial (treonin dan valin) di sarang burung walet. Mereka memainkan peran
penting dalam memfasilitasi fungsi tubuh normal, seperti memperbaiki dan
memberikan kekebalan (Abidin, 2011).
Kandungan sarang burung walet yang didapatkan dari bontang,
Kalimantan Timur, berdasarkan analisis di laboratorium kimia analitik Udayana
mengandung 8,25% sialic acid. Dan krim ekstrak sarang walet 10 % mengandung
1,26% sialic acid.
Tabel 2.4 Distribusi asam amino (mg/g) pada ekstrak sarang burung walet
(Kyung et al, 2012) Name Total amino acid (T) Flee amino acid (F) (F/T)x 100
Aspartic acid 40.44 0.08 0.19
Threonine 22.39 1.32 5.89
Serine 29.47 0.84 2.85
Glutamic acid 51.78 0.27 0.52
Proline 21.07 0 0
Glycine 18.34 1.77 9.65
Alanine 18.44 2.79 15.13
Cysteie 41.06 0.06 0.14
Valine 24.35 8.88 36.46
45
Methionine 5.77 5.07 87.86
Isoleucine 16.65 8.36 50.21
Leucine 26.06 14.19 54.45
Tyrosine 17.16 11.83 68.93
Phenylalanine 29.37 16.19 55.12
Histidine 16.54 5.26 31.80
Lysine 15.23 6.08 39.92
Arginine 18.36 4.78 26.03
Tryptophan 0 6.02 100
2.5.3. Sialic Acid
Sialic acid yang terdapat pada ekstrak sarang burung walet adalah dalam
bentuk N-Acetyl-D-neuraminic acid, yang merupakan induk dari bentuk sialic
acid (Ogura, 2011).
Ekspresi sialic acid yang tinggi didapatkan pada sel membrane luar (lebih
dari 10 juta molekul per eritrosit manusia), pada membrane dalam lisosom dan
glycol protein yang tersekresi (seperti protein darah dan mucins), ini menunjukkan
bahwa sialic acid berperan dalam stabilisasi molekul dan membran, juga
meningkatkan interaksi dengan lingkungan. Beberapa fungsi timbul dari muatan
elektronegatif kuat dari sialic acid contohnya mengikat dan transportasi dari ion
dan obat-obatan, stabilisasi protein-protein termasuk enzim dan meningkatkan
viskositas mucins. Sialic acid juga dapat melindungi molekul dan sel dari
serangan protease atau glikosidase, dan memperpanjang life time dan fungsinya.
Lebih lanjut sialic acid dapat meregulasi afinitas dari reseptor dan dilaporkan
46
meningkatkan proses sinyal transmembran, fertilisasi, pertumbuhan, dan
diferensiasi. Pada suatu sistem, sialic acid dilaporkan dapat menghambat
apoptosis. Dan baru-baru ini digambarkan juga bahwa fungsi umum dari sialic
acid adalah antioksidan (free radical scavenging antioxidative effect), yang
penting pada endotel pembuluh darah (Cummings et al, 2009). Diduga kandungan
sialic acid dalam ekstrak sarang burung walet inilah yang menyebabkan efek
mitogenik. Pada penelitian ini kandungan sialic acid sarang burung walet yang
diteliti adalah sebanyak 8,25% (Manuaba, 2013). Sialic acid dalam ekstrak
sarang walet adalah 12,6%. Kandungan sialic acid pada krim ekstrak sarang
walet 10% yang dibuat dalam penelitian ini adalah sebesar 1,26% (Manuaba,
2014) .
2.7 Krim
Definisi krim menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, adalah bentuk
sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau
terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah krim digunakan untuk sediaan
setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair di formulasi sebagai
emulsi air dalam minyak(a/m) atau minyak dalam air (m/a).
Krim merupakan obat yang digunakan sebagai obat luar yang dioleskan ke
bagian kulit badan. Kelebihan sediaan krim dalam pengobatan luka, yaitu: Mudah
menyebar secara rata, pemakaian praktis, mudah dibersihkan atau dicuci, tidak
lengket, memberikan rasa dingin. Kekurangan sediaan krim adalah susah dalam
pembuatannya karena pembuatan krim harus dalam keadaan panas.
47
48
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Pada proses penuaan akan terjadi penurunan fungsi berbagai organ dan
perubahan fisik baik itu di tingkat seluler maupun pada sistem organ. Hal tersebut
disebabkan oleh banyak faktor, yang dapat dikelompokkan menjadi faktor
internal dan eksternal. Faktor internal berupa antara lain adalah faktor genetik,
hormonal, radikal bebas, metilasi, glikosilasi, apoptosis dan sistem imun tubuh.
Faktor eksternal meliputi radiasi sinar ultra violet, paparan asap rokok, polusi
lingkungan, bahan kimia, obat obatan, stress, gaya hidup tak sehat, dan diet tak
sehat.
Demikian pula halnya pada kulit, akan mengalami proses penuaan.
Penuaan kulit akan menyebabkan luka lebih lambat sembuh dan lebih sering
terjadi komplikasi. Pemulihan luka pada mamalia lebih tepat disebut wound
repair, karena jaringan ikat yang menggantikan luka tidak sama kualitasnya
dengan sebelumnya. Berbeda dengan hewan reptil atau pun embryo mamalia yang
masih terjadi penyembuhan luka yang sempurna atau wound healing. Growth
factor berperan penting dalam penyembuhan luka. Dan mengambil peran dalam
berbagai tahap penyembuhan luka. Penggunaan satu atau kombinasi dari pada
luka menunjukkan potensi perbaikan pemulihan luka pada luka kronis.
Sarang burung walet telah lama diketahui memiliki efek mitogenik yang
menyerupai growth factor. Ekstrak sarang walet diduga juga memiliki efek
49
meningkatkan VEGF. Dan terbukti secara in vitro dapat mempercepat proliferasi
sel keratinosit, fibroblas dan stem sel adiposa. Sarang burung walet juga memiliki
banyak kandungan glucosaminoglycan yang membantu menyediakan lingkungan
yang menunjang untuk kesembuhan luka, mempermudah migrasi beberapa sel
termasuk keratosit. Dengan pemberian ekstrak sarang burung walet pada luka
diharapkan dapat mempercepat terjadinya fase remodeling dan maturasi pada
daerah luka yang ditandai dengan peningkatan ketebalan epidermis mendekati
ketebalan normal dan peningkatan neovaskularisasi.
3.2 Konsep
Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka maka disusun suatu
kerangka konsep yang digambarkan sebagai berikut :
50
3.3 Hipotesis Penelitian
Dari uraian dan gambaran kerangka konsep di atas, maka dapat dibuat
hipotesis sebagai berikut:
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Luka mencit (mus musculus)
Krim ekstrak 10%
topikal
epitelisasi dan neovaskularisasi
- alkoholisme
-merokok
-Obat-obatan
-Stress
-nutrisi
-foreign body
-infeksi
Faktor Eksternal
Radikal bebas
GF internal
ischemia
Venous insuficiency
Age and gender
Sex hormones
Diseases
Faktor Internal
51
1. Pemberian krim ekstrak sarang walet 10 % dapat meningkatkan epitelisasi
pada penyembuhan luka mencit
2. Pemberian krim ekstrak sarang walet 10 % dapat meningkatkan
neovaskularisasi pada penyembuhan luka mencit
36
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
penelitian eksperimental Post test Only Control Group Design (Marczyk et
al, 2005) karena populasi dianggap homogen. Skema rancangan penelitian
sebagai berikut:
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
Keterangan :
P = Populasi
S= Sampel
R= Random
O1= Observasi celah luka dan neovaskularisasi hari ke-4 kelompok kontrol
O2= Observasi celah luka dan neovaskularisasi hari ke-4 kelompok perlakuan
P S
R O3
O4P1
P0 O1
O2
37
O3= Observasi tebal epitel dan neovaskularisasi hari ke-7 kelompok kontrol
O4= Observasi tebal epitel dan neovaskularisasi hari ke-7 Kelompok perlakuan
P0= kontrol (krim basis + antibiotik oral)
P1= Perlakuan (ekstrak sarang burung walet 10% + antibiotik oral )
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di bagian laboratory animal unit Farmakologi
Fakultas Kedokteran Unud, waktu penelitian bulan februari 2014. Ekstrak dan
Krim sarang walet dibuat di Laboratorium farmasi UGM, Yogjakarta.
Pemeriksaan Histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar Bali.
4.3 Sampel
4.3.1 Perhitungan besar sampel
Dalam penelitian ini digunakan mencit sampel yang diperlukan dalam penelitian
ini berdasarkan rumus Federer (2011).
Rumus : ( n-1)(k-1) ≥ 15
n = jumlah sampel (mewakili pengulangan perlakuan pada kelompok sampel)
k = jumlah kelompok perlakuan (kelompok perlakuan yang akan diberikan adalah
2 macam)
sehingga didapatkan hasil: (n-1)(2-1) ≥ 15 n= 16
38
jadi jumlah sampel per kelompok minimal 16. Jumlah sampel keseluruhan 32
mencit.
4.3.2 Kriteria sampel
Sampel yang digunakan sebagai obyek penelitian ini adalah mencit (mus
musculus).
a. Kriteria Inklusi
1. Mencit (mus musculus) sehat
2. Jenis kelamin jantan
3. umur 2-3 bulan
4. berat 20-25 gram.
b. Kriteria drop out : mencit mati dalam penelitian
4.4 Variabel
4.4.1 Klasifikasi variabel
1. Variabel bebas : ekstrak sarang walet
2. Variabel tergantung : reepitelisasi, angiogenesis
3. Variabel kendali : ukuran luka, strain mencit, umur mencit, jenis
kelamin mencit, dan berat badan mencit.
4.4.2 Definisi operasional variable
1. Krim ekstrak sarang walet adalah sediaan krim dengan formulasi tertentu
(paraffin liquidum, asam stearate, TEA, adaps lanae, nipagin, nipasol,
39
aquadest) ditambah dengan ekstrak sarang walet dengan konsentrasi 10%,
diaplikasikan sekali sehari setiap hari untuk kelompok P1
2. Krim basis adalah sediaan krim dasar ( paraffin liquidum, asam stearate, TEA,
adaps lanae, nipagin, nipasol, aquadest) tanpa penambahan zat aktif,
diaplikasikan sekali sehari setiap hari untuk kelompok P2
3. Amoxicilin adalah antibiotik yang digunakan dalam penelitian untuk
menghindari infeksi sekunder, diberikan secara oral dengan dosis mencit 20
gram: 0,0026 x 500 mg = 1,3 mg tiga kali sehari dengan interval 8 jam
4. Luka eksisi dibuat dengan diameter 6 mm dengan ketebalan luka full
thickness dengan bantuan disposable punch biopsy di daerah punggung
mencit (Nagaoka, 2000) dan dibiarkan terbuka. Luka full thickness : yaitu
hilangnya lapisan kulit keseluruhan termasuk lapisan epidermis, dermis dan
fasia tetapi tidak mengenai otot.
5. Skor penilaian Mikroskopis dilakukan pada hari ke-4 dan hari ke-7. Pada hari
ke-4 diambil 8 mencit dari kelompok kontrol (P0) dan 8 mencit dari kelompok
perlakuan (P1) untuk dilakukan penilaian kontrol hari ke-4 (O1) dan perlakuan
hari ke-4 (O2) menggunakan hasil biopsi insisi luka dengan mengukur celah
luka dan jumlah pembuluh darah baru dengan bantuan foto. Dan hari ke-7
diambil 8 mencit dari kelompok kontrol (P0) dan 8 mencit dari kelompok
perlakuan (P1) untuk dilakukan penilaian control hari ke-7 (O3) dan perlakuan
40
hari ke-7 (O4) menggunakan hasil biopsi insisi luka dengan menghitung
jumlah epitelisasi dan jumlah pembuluh darah baru dengan bantuan foto.
6. Epitelisasi adalah fase penyembuhan luka, adanya migrasi keratinosit, diikuti
dengan proliferasi keratinosit, diferensiasi neoepitel menjadi epitel berlapis-
lapis. Pada fase penyembuhan awalnya akan terjadi epitelisasi. Epitelisasi
dihitung tingkat kerapatannya dengan menggunakan metoda morfometri,
satuannya mikrometer. Adanya peningkatan tebal epitel pada jaringan luka,
dilihat dari perbedaan ukuran kerapatan epitel yaitu perbedaan ketebalan epitel
secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Ketebalan epitel adalah ukuran
ketebalan lapisan-lapisan epidermis yang terbentuk pada daerah luka. Celah
luka adalah lebar celah yang ada di antara ujung epitel di daerah yang belum
menutup sempurna. Semakin kecil celah luka, maka epitelisasi semakin baik
dikarenakan telah terjadi penutupan di area luka dengan epitel baru sehingga
menyisakan sedikit area yang belum tertutup.
7. Neovaskularisasi adalah pertumbuhan kapiler baru pada daerah luka berupa
tunas-tunas yang terbentuk dari pembuluh darah dan akan berkembang menjadi
percabangan baru pada jaringan luka saat fase proliferasi. Dihitung jumlahnya
dengan menggunakan mikroskop elektrik pembesaran objektif 40x. kemajuan
penyembuhan luka, dilihat dari perbedaan jumlah neovaskularisasi secara
signifikan dibandingkan dengan kontrol.
41
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian
4.5.1 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan neutral
buffer formalin 10% untuk fiksasi, kapas, ketamin dan xylazin untuk anestesi, dan
bahan-bahan untuk sediaan histopatologi yaitu larutan Mayer’s Hematoxylin,
larutan eosin, alkohol dengan konsentrasi yang bertingkat (70%, 80%, 90%, 96%,
100%), xylene makanan ternak, minuman mencit, krim ekstrak sarang burung
walet dan bahan dasar krim.
4.5.1.1 Pembuatan ekstrak sarang walet
Ekstrak Sarang walet, dibuat dengan cara sarang burung walet kering di
tumbuk dengan mortar sampai halus, kemudian serbuk sarang burung walet
disaring menggunakan wire mesh (0,04 mm) untuk memisahkan bulu dan kotoran.
Serbuk sarang burung walet direbus dengan air suhu 80 derajat yang perliternya
dicampur HCl sebanyak 30 ml. Kemudian setelah dipanaskan disaring dan
ditambahkan NaOH sampai PH menjadi 7. Setelah itu diuapkan untuk
mendapatkan ekstrak sarang walet (Azwir dan Wan Nazaimoon,
2011).amoksisilin
4.5.1.2 Pembuatan bahan dasar krim
Bahan dasar krim, dibuat dengan formulasi sebagai berikut:
42
Tabel 4.1 Formula basis krim (Yenti et al, 2011)
Nama Bahan Formula m/a (g)
Paraffin liquidum 25
Asam stearate 14,5
TEA 1,5
Adeps lanae 3
Nipagin 0,1
Nipasol 0,05
Aquadest ad 100
Pembuatan basis krim dilakukan dengan komposisi di atas dengan cara
fase minyak (paraffin liquidum, asam stearat, adeps lanae) dan fase air (nipagin,
nipasol, TEA, dan aquadest) masing-masing dipanaskan di atas waterbath pada
suhu 60-70 derajat Celcius sampai lebur. Fase air dan fase minyak dicampurkan
sekaligus lalu digerus sampai dingin sehingga terbentuk masa basis krim yang
homogen.
4.5.1.3 Pembuatan krim ekstrak sarang walet
Krim ekstrak sarang walet dibuat dengan cara memasukkan ekstrak
sarang walet sebanyak 10 gram ke dalam lumpang dan ditambahkan basis krim
sebanyak 90 gram sehingga total krim menjadi 100 gram. Ekstrak sarang walet
dimasukkan sedikit demi sedikit kemudian digerus hingga homogen. Lalu masing-
masing formula disimpan dalam wadah krim.
43
Tabel 4.2 Formula krim ekstrak sarang walet
Nama Bahan
Formula m/a
F0 F1
Ekstrak Sarang Walet
- 10 %
Basis krim ad 100g 100g
4.5.2 Instrumen
Instrumen yang digunakan adalah kandang mencit individual, alat fiksasi
mencit, alat pencukur, timbangan merk Tanita dan mistar, buku dan alat
pencatatan data, alat-alat untuk pembuatan preparat, mikroskop Olympus CX-21
Japan.
4.5.2.1 Kandang
Kondisi kandang adalah ruangan dengan ukuran panjang 23 cm lebar
17 cm dan tinggi 9,5 cm yang ada lampunya dengan suhu 25±2°C, kelembaban
50±10%, dan diletakkan pada kandang individu.
4.5.2.2 Hewan percobaan
Hewan percobaan yang dipakai adalah mencit (Mus musculus) berkelamin
jantan, berumur 1-2 bulan dengan berat badan 20-25 gram. Umur mencit
ditentukan dengan melihat tanggal kelahiran yang telah dicatat oleh dokter
hewan pada kandang hewan percobaan. Diet standar untuk mencit adalah
makanan yang diberikan menggunakan HPS 511. Berat badan adalah berat
44
mencit yang diukur dengan timbangan khusus merk Tanita yang tersedia di
laboratory animal unit bagian Farmakologi Universitas Udayana.
4.6 Prosedur penelitian
Sebanyak 32 ekor mencit diadaptasi selama 1 minggu. Secara random mencit
dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu sebagai kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan.
Semua mencit dicukur bulu punggungnya. Dan dilakukan biopsi dengan
disposable punch biopsy 6 mm, sehingga didapatkan full thickness wound
pada kelompok krim basis dan krim ekstrak sarang walet.
Setelah dibuat luka, pada kelompok kontrol diberikan bahan dasar krim setiap
hari, sedangkan pada kelompok perlakuan diberikan krim sarang walet 10 %
setiap hari.
Semua mencit diberikan antibiotik amoksisilin secara oral. Dosis pemberian
antibiotik oral amoksilin mengacu pada dosis amoksisilin bagi manusia yaitu
3 x 500 mg / hari, maka perhitungan dosis amoksisilin bagi mencit dengan
berat 30 gram adalah:
Dosis manusia dewasa (rata-rata berat badan 70 kg) = 500 mg
Dosis mencit 20 gram: 0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
Amoksisilin oral sebanyak 1,3 mg diberikan tiga kali sehari dengan interval tiap 8
jam.
45
Pemberian krim dilakukan setiap hari, krim basis untuk kelompok kontrol dan
krim ekstrak saarang walet 10% untuk kelompok perlakuan. Krim dioleskan
langsung pada luka secara rata. Setelah itu luka ditutup dengan kasa steril dan
plester.
Pada hari keempat 8 mencit dari kelompok kontrol 4 dan 8 mencit dari
kelompok sarang walet 4 dibius, untuk diambil sampel dari jaringan luka.
Setelah itu semua mencit dibunuh dan dikuburkan dengan baik karena tidak
dapat dipakai lagi untuk penelitian lainnya
Pada hari ketujuh semua mencit dibius, untuk diambil sampel dari jaringan
luka. Setelah itu semua mencit dibunuh dan dikuburkan dengan baik karena
tidak dapat dipakai lagi untuk penelitian lainnya.
Pembuatan sediaan histologis:
1. Sampel dari jaringan kulit diambil 2 mm dari tepi luka.
2. Jaringan kulit luka yang telah diambil kemudian di belah dua dan di fiksasi
dalam larutan formaldehyde 3,5%.
3. Kemudian dilakukan trimming bagian jaringan yang akan diambil.
4. Jaringan kulit kemudian direndam dengan alkohol bertingkat berturut-turut
30%, 40%, %50%,70%, 90%, 96% masing-masing 3 kali selama 25 menit.
5. Jaringan dimasukkan ke dalam clearing agent (alkohol:toluene=1:1) selama
30 menit dan dicelupkan ke dalam toluol murni sampai transparan.
46
6. Setelah dilakukan proses infiltrasi sebanyak 4 kali dengan parafin murni,
kemudian jaringan ditanam ke dalam parafin cair, dibiarkan membentuk blok
(+/- 1 hari) agar mudah diiris dengan mikrotom.
7. Dibuat slide dengan pewarnaan Hematoxyline dan eosin (H&E) semua
potongan dibuat berasal dari pusat luka.
Pengamatan hasil
Derajat pembentukan epitelisasi, dan pembentukan pembuluh darah baru
dihitung dengan mikroskop elektrik (Olympus CX-21 Japan) dengan pembesaran
obyektif 40x. Setiap sediaan preparat difoto dengan Video Photo, masing-masing
preparat difoto sebanyak 3 kali disimpan dalam format JPEG.
47
4.7 Alur penelitian
Gambar 4.2 Skema Alur Penelitian
Mencit 32 ekor diadaptasi selama 7 hari
Hari 1 percobaan semua mencit dibuat luka yang sama dengan disposable punch biopsy 6mm,
kemudian dibagi 2 kelompok secara acak
Kelompok kontrol 16 mencit
Kelompok perlakuan 16 mencit
Kelompok kontrol -diberikan krim basis 1x/hari -diberi oral amoksisilin 3x/hari
Kelompok krim sarang walet -diberikan krim ekstrak sarang walet 1x/hari -diberi oral amoksisilin 3x/hari
Mencit kelompok kontrol dan kelompok walet masing-masing diambil
8 ekor dibius dan diambil jaringan luka pada hari ke-4
Kelompok kontrol -diberikan krim basis 1x/hari -diberi oral amoksisilin 3x/hari
Kelompok krim sarang walet -diberikan krim ekstrak sarang walet 1x/hari -diberi oral amoksisilin 3x/hari
Sisa Mencit kelompok kontrol dan kelompok walet dibius dan diambil
jaringan luka pada hari ke-7
Dinilai reepitelisasi dan neovaskularisasi
48
4.8 Analisis data
Dalam penelitian ini seluruh hasil data dianalisis dengan menggunakan
Program SPSS versi 17.0, Analisis data meliputi :
1. Analisis deskriptif.
2. Analisis normalitas dengan Uji Shapiro-Wilk karena sampel berjumlah kurang
dari 30 per kelompok.
3. Uji homogenitas varians dengan Uji Levene’s test
4. Analisis komparasi.
Pada penelitian ini data berdistribusi normal sehingga digunakan uji t-
independents.
49
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan 32 ekor mencit sebagai sampel. Semua
mencit dilukai dengan disposable punch biopsy 6 mm dan mencit tersebut dibagi
dalam 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol yang diolesi
krim basis setiap hari dan kelompok ke-2 adalah kelompok perlakuan yang
diolesi krim ekstrak sarang walet 10% setiap hari. Pada hari keempat 8 ekor dari
kelompok kontrol dan 8 ekor dari kelompok perlakuan diambil dan dibunuh untuk
diambil jaringan lukanya dan diperiksa secara histologi. Kemudian pada hari
ketujuh, mencit yang tersisa yaitu 8 ekor kelompok kontrol dan 8 ekor kelompok
perlakuan diambil jaringan lukanya. Semua mencit dipelihara dan diberi
perlakuan sama selama penelitian. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji
normalitas, uji homogenitas, uji komparabilitas dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data
Data neovaskuler dan epitelisasi semua kelompok diuji normalitasnya
dengan uji Shapiro wilk. Hasil uji normalitas dengan uji Shapiro wilk disajikan
pada tabel 5.1.
50
Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Epitelisasi, Dan Neovaskuler
Kelompok Perlakuan N P Keterangan
Epitelisasi Celah luka kontrol hari ke-4 8 0,712 Normal Celah luka Perlakuan hari ke-4 8 0,300 Normal Tebal epitel kontrol hari ke-7 8 0,154 Normal Tebal epitel perlakuan hari ke-7 Neovaskuler
8
0,749
Normal
Neovaskuler kontrol hari ke-4 8 0,366 Normal Neovaskuler perlakuan hari ke-4 8 0,067 Normal Neovaskuler kontrol hari ke-7 8 0,067 Normal Neovaskuler perlakuan hari ke-7 8 0,366 Normal
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa semua data berdistribusi normal,
sehingga uji perbandingan yang dipakai adalah uji t-independent.
51
5.2 Uji Homogenitas Data
Data epitelisasi dan neovaskuler antar kelompok diuji homogenitasnya
dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasil uji homogenitas menggunakan uji
Levene’s test disajikan ditabel 5.2.
Tabel 5.2 Hasil uji homogenitas antar kelompok data epitelisasi dan neovaskularisasi Varians data Levene statistic P Kesimpulan
Celah luka hari ke-4 4,800 0,046 Heterogen
Tebal epitel hari ke-7 19,572 0,001 Heterogen
Neovaskuler hari ke-4 0,843 0,374 Homogen
Neovaskular hari ke-7 0,843 0,374 Homogen
Dari hasil yang tersaji pada tersaji pada tabel diatas, didapatkan data,
neovaskuler hari ke-4 dan neovaskuler hari ke-7 adalah homogen. Sedangkan data
celah luka hari ke-4 dan tebal epitel hari ke-7 adalah heterogen sehingga data akan
diuji perbandingan t-independent dengan asumsi varians tidak homogen.
5.3 Uji Efek Perlakuan Setelah Pemberian Krim Ekstrak Sarang Walet 4
Hari
5.3.1 Epitelisasi
Uji efek perlakuan bertujuan untuk membandingkan rerata celah luka antar
kelompok sesudah diberi krim ekstrak sarang walet 10% ditambah dengan oral
52
amoksisilin selama 4 hari. Celah luka diukur karena pada hari ke-4 epitel belum
menutup luka dengan sempurna sehingga tidak dapat mengukur tebal epitel. Hasil
analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Rerata celah luka antar kelompok sesudah perlakuan 4 hari
Kelompok N Rerata SB T P Kontrol 4 hari 8 3,50 0,72
2,86 0,016 Ekstrak sarang walet 4hari 8 2,67 0,38
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa p =0,016 atau lebih kecil dari 0,05,
sehingga H0 ditolak, kedua populasi berbeda secara signifikan.
5.3.2 Neovaskularisasi
Uji efek perlakuan bertujuan untuk membandingkan rerata jumlah
neovaskuler antar kelompok sesudah diberi krim ekstrak sarang walet 10%
ditambah dengan oral amoksisilin setelah hari keempat. Hasil analisis kemaknaan
Uji t independent disajikan pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Rerata jumlah neovaskular antar kelompok sesudah perlakuan 4 hari
Kelompok N Rerata SB T P Kontrol 8 18,37 0,83
0,524 0,61 Ekstrak sarang walet 8 18,12 0,93
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa p =0,61 atau lebih besar dari 0,05,
sehingga H0 diterima, kedua populasi tidak mempunyai perbedaan signifikan.
53
5.4 Uji Efek Perlakuan Setelah Pemberian Krim Ekstrak Sarang Walet 7
Hari
5.4.1 Epitelisasi
Uji efek perlakuan bertujuan untuk membandingkan rerata tebal epitel antar
kelompok sesudah diberi krim ekstrak sarang walet 10% selama 7 hari ditambah
dengan oral amoksisilin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent
asumsi varians tidak homogen disajikan pada tabel 5.5.
Tabel 5.5 Rerata tebal epitel antar kelompok sesudah perlakuan 7 hari
Kelompok N Rerata SB T P Kontrol 8 129,62 60,98
3,845 0,006 Ekstrak sarang walet 8 46,26 6,40
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa p =0,006 atau lebih kecil dari 0,05,
sehingga H0 ditolak, kedua populasi berbeda secara signifikan.
5.4.2 Neovaskularisasi
Uji efek perlakuan bertujuan untuk membandingkan rerata jumlah
neovaskuler antar kelompok sesudah diberi krim ekstrak sarang walet 10%
ditambah dengan oral amoxicillin selama 7 hari. Hasil analisis kemaknaan Uji t
independent disajikan pada tabel 5.6.
Tabel 5.6 Rerata jumlah neovaskular antar kelompok sesudah perlakuan 7 hari
Kelompok N Rerata SB t P Kontrol 8 17,12 0,83
18,34 0,00 Ekstrak sarang walet 8 8,38 1,06
54
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa p =0,000 atau lebih kecil dari 0,05,
sehingga H0 ditolak. Jumlah neovaskularisasi pada kelompok ekstrak sarang
walet menurun secara signifikan.
55
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Subyek Penelitian
Untuk menguji pemberian ekstrak sarang walet terhadap penyembuhan
luka dengan parameter perbedaan epitelisasi, dan perbedaan neovaskularisasi
dibandingkan kontrol, digunakan mencit (mus musculus), jenis kelamin jantan,
sehat, umur 2-3 bulan dan berat 20-25 gram. Dipergunakan 32 mencit dan dibagi
menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol yang diolesi
krim basis setiap hari dan kelompok kedua adalah kelompok perlakuan yang
diolesi krim ekstrak sarang walet 10% setiap hari. Pada hari keempat 8 ekor dari
kelompok kontrol dan 8 ekor dari kelompok perlakuan diambil dan dibunuh untuk
diambil jaringan lukanya dan diperiksa secara histologi. Kemudian pada hari
ketujuh, mencit yang tersisa yaitu 8 ekor kelompok kontrol dan 8 ekor kelompok
perlakuan diambil jaringan lukanya. Keadaan lingkungan dalam kondisi yang
dibuat semaksimal mungkin sama. Sampel jaringan luka diambil pada hari
keempat dan ketujuh berdasarkan rancangan penelitian Nagaoka (2000) juga
berdasarkan penelitian Ambiyani (2013).
6.2 Distribusi dan Varian Subyek Penelitian
Sebelum dilakukan analisis komparasi, maka terlebih dahulu data diuji
normalitasnya dengan uji Shapiro wilk dan homogenitasnya dengan uji Levene
test. Berdasarkan hasil uji normalitas seperti yang terlihat di tabel 5.1. semua data
berdistribusi normal. Sehingga semua data memenuhi syarat untuk diuji
56
parametrik yaitu uji t independent. Pada pengujian dengan levene’s test
didapatkan data jumlah neovaskuler pada hari ke-4 dan ke-7 merupakan data
homogen sedangkan data celah luka hari ke-4 dan tebal epitel hari ke-7 adalah
data heterogen seperti terlihat pada tabel 5.2. data heterogen pada celah luka hari
ke-4 dan tebal epitel hari ke-7 disebabkan data yang didapat sangat bervariasi.
6.3 Efek Krim Ekstrak Sarang Walet 10%
Efek yang diharapkan dengan pemberian ekstrak sarang walet adalah
dapat mempercepat penyembuhan luka yang dinilai dari kemampuan untuk
meningkatkan epitelisasi dan neovaskularisasi. Pemakaian krim ekstrak sarang
walet 10% selama 4 dan 7 hari dinilai jaringan histologisnya pada hari keempat
dan ketujuh menunjukkan adanya perbedaan signifikan. Penilaian epitelisasi pada
hari keempat yaitu celah luka didapatkan perbedaan yang signifikan antara kontrol
dan perlakuan, sedangkan pada neovaskularisasi kedua kelompok baik kontrol dan
perlakuan sama-sama meningkat dan tidak terdapat perbedaan signifikan.
Penilaian epitelisasi dan neovaskularisasi pada hari ketujuh menunjukkan adanya
penurunan yang signifikan dibandingkan kontrol. Dikarenakan penyembuhan luka
pada kelompok ekstrak sarang walet telah lebih dahulu masuk dalam fase maturasi
dan remodeling.
6.3.1 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Epitelisasi
57
Pada epitelisasi hari keempat luka belum menutup, sehingga dari dinilai
celah luka, celah luka perlahan akan tertutup oleh epitel baru, sehingga luka celah
luka lebih kecil. Pada hari ketujuh luka telah tertutup, dinilai ketebalan epitel
pada hari ketujuh yang terbentuk pada jaringan luka. Sesuai dengan teori satu
sampai dua hari setelah terjadinya luka, sel epidermis (keratinosit) akan mulai
berploriferasi, bermigrasi dan berdiferensiasi dari neoepitelium menjadi sel
epidermis yang berlapis-lapis (Li et al., 2007), untuk menutup jaringan luka,
semakin luka mengarah pada kesembuhan maka ketebalan epidermisnya akan
mendekati ketebalan epidermis normal yaitu 0,04-1,5 mm (Jain, 2012).
Data celah luka hari ke-4 berdistribusi normal dengan varians heterogen
sehingga digunakan uji parametrik t independent dengan asumsi varians tidak
homogen. Rerata celah luka kontrol pada hari ke-4 adalah 3,50±0,72 mm
sedangkan kelompok perlakuan adalah 2,67±0,38 mm. Uji perbandingan rerata
celah luka antar kelompok menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada
kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan celah luka lebih cepat menutup.
Data tebal epitelisasi pada hari ke-7 berdistribusi normal dan varians
heterogen sehingga digunakan uji parametrik t independent dengan asumsi varians
tidak homogen. Rerata tebal epitel kelompok kontrol adalah 129,62±60,98 µm
sedangkan kelompok ekstrak sarang walet adalah 46,26±6,40 µm. Rerata
kelompok kontrol lebih tebal dibandingkan kelompok perlakuan. Uji
58
perbandingan rerata tebal epitelisasi antar kelompok menunjukkan adanya
perbedaan signifikan pada kelompok perlakuan (p<0,05).
Hasil yang serupa juga diperoleh dari penelitian Ambiyani, pada hari
kedelapan epitel kelompok perlakuan mengalami penurunan dibandingkan kontrol
(Ambiyani, 2013).
6.3.2 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Neovaskularisasi
Data jumlah neovaskularisasi hari ke-4 berdistribusi normal dan
homogen sehingga digunakan uji parametrik t independent. Rerata jumlah
neovaskularisasi pada kelompok kontrol adalah 18,37±0,83 sedangkan kelompok
ekstrak sarang walet 18,12±0,93. Uji perbandingan rerata jumlah
neovaskularisasi antar kelompok hari ke-4 menunjukkan tidak adanya perbedaan
signifikan pada kelompok perlakuan (p>0,05). Kedua kelompok sama-sama
mengalami peningkatan jumlah neovaskuler tanpa adanya perbedaan. Ini mungkin
karena timbulnya neovaskularisasi baru dimulai pada hari keempat, sehingga
perbedaan belum tampak.
Data jumlah neovaskularisasi hari ke-7 berdistribusi normal dan
homogen sehingga digunakan uji parametrik t independent. Rerata jumlah
neovaskularisasi pada kelompok kontrol adalah 17,12±0,83 sedangkan kelompok
ekstrak sarang walet 8,38±1,06. Uji perbandingan rerata jumlah neovaskularisasi
antar kelompok hari ke-7 menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada
59
kelompok perlakuan (p<0,05). Kelompok ekstrak sarang walet mengalami
penurunan jumlah neovaskuler dibandingkan kelompok kontrol.
Ini sesuai dengan penelitian oleh Roh et al yang meneliti mekanisme
induksi proliferasi stem sel adipose oleh ekstrak sarang walet ternyata melalui
jalur IL-6 dan VEGF (Kyung, 2012). VEGF berperan dalam penyembuhan luka
untuk membantu angiogenesis (Martin, 1997) pada data didapatkan
neovaskularisasi kelompok perlakuan ditemukan penurunan yang bermakna ini
berarti pada kelompok perlakuan ekstrak sarang walet telah lebih dulu mengalami
penyembuhan. Hal ini sesuai dengan literatur, bila terjadi luka maka akan terjadi
hipoksia jaringan yang akan merangsang fibroblast growth factor (FGF) dan
vascular endothelial cell growth factor (VEGF). Pemberian VEGF sendiri secara
topikal dapat mempercepat penyembuhan luka ( Nauta et al, 2013).
Pembentukan pembuluh darah baru akan terbentuk untuk menopang
jaringan granulasi baru, setelah luka dipenuhi jaringan granulasi baru maka terjadi
penurunan pembuluh darah baru. Luka yang menyembuh akan terjadi penurunan
pembuluh darah baru (Singer and Clarck, 1999). Regenerasi lengkap epidermis
tikus selesai pada hari kelima setelah dilukai. Fase inflamasi akut pada tikus
digambarkan dalam penelitian kami selama tiga hari pertama penyembuhan.
Sebagai perbandingan dengan manusia proses peradangan tikus lebih cepat.
Puncak dari fase proliferasi pada tikus diamati antara kelima dan hari keenam.
Dibandingkan dengan manusia, proses ini lebih cepat, namun sebanding (Kumar
60
et al, 2003). Pada penelitian Vidinsky et al tahun 2006 fase pematangan dan fase
remodeling pada tikus dimulai pada hari keenam. Pada manusia, fase ini dimulai
pada hari ketujuh luka penyembuhan (Kumar et al, 2003). Pada fase maturasi dan
remodeling terjadi remodeling kolagen serta maturasi dan regresi dari pembuluh
darah. Regresi neovaskularisasi menunjukkan jaringan telah pulih (Guo dan
Dipietro, 2010).
Hasil yang serupa juga didapat pada penelitian Ambiyani di universitas
udayana tahun 2013, yang meneliti efek salep ekstrak mengkudu pada jaringan
luka tikus. Pada hari keempat didapatkan peningkatan tebal epitel dan neovaskular
pada kelompok perlakuan bila dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pada hari
kedelapan pada kelompok perlakuan sudah mengalami penipisan epitel dan
penurunan jumlah neovaskular bila dibandingkan dengan kontrol (Ambiyani,
2013).
6.4 Mekanisme Dan Efek Krim Ekstrak Sarang Walet 10% Dalam Jaringan
Luka
Dari hasil analisis data dapat ditarik kesimpulan bahwa ekstrak sarang
walet 10 % dapat meningkatkan epitelisasi (mempercepat penutupan celah luka)
pada hari keempat, namun tidak bermakna untuk neovaskularisasi pada jaringan
luka mencit pada hari keempat. Tebal epitelisasi dan jumlah neovaskularisasi
pada kelompok ekstrak sarang walet 10% pada hari ketujuh mengalami penurunan
yang bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Ini menunjukkan bahwa ekstrak
61
sarang walet memang memiliki mekanisme kerja melalui VEGF. Ini didukung
oleh penelitian sebelumnya oleh Kyung et al yang meneliti cara kerja ekstrak
sarang walet dalam meningkatkan proliferasi stem sel adalah melalui jalur il-6 dan
VEGF (Kyung et al, 2012).
62
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Pemberian krim ekstrak sarang walet 10 % dapat meningkatkan
epitelisasi pada penyembuhan luka mencit pada hari ke-4
2. Pemberian krim ekstrak sarang walet 10 % tidak dapat meningkatkan
jumlah neovaskularisasi pada penyembuhan luka mencit pada hari ke-4
7.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi ekstrak
sarang walet yang paling optimal untuk mempercepat penyembuhan luka.
63
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, F.Z., Hui, C. K., Luan, N. S., Ramli, E. S. M., Hun, L. T. and Ghafar, N.
A. 2011. Efects of edible bird’s nest(EBN) on cultured rabbit corneal keratocytes. Available from://www.biomedcentral.com/1472-6882/11/94
Ambiyani,W. 2013. Pemberian Salep Ekstrak Daun Mengkudu (Morinda Citrifolia L) Meningkatkan Proses Regenerasi Jaringan Luka Pada Tikus Putih Galur Wistar (Rattus Norvegicus) Jantan (Thesis). Denpasar:Universitas udayana
Amirlak B. and Shahabi, L. 2011. Skin anatomy. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1294744-overview#a30. accessed 19
oktober 2012
Azwir, A.R. and Wan Nazaimoon, W. M. 2011. Effect of edible bird’s nest on cell
proliferation and tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) release in vitro.
International food research journal 18(3); 1123-1127
Baroroh, D. 2011. Konsep luka. available from https1-keperawatan.umm.ac.idfilesfilekonsep%20luka.pdf Accessed 4 juni 2014
Baumann, L. 2008. Cosmetic and Skin Care in Dermatology Acute and Chronic in: Wolff, K., Goldsmith, L. A., Katz, S.I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S., Leffell, D. J. , Editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine7th edition.Mc Graw-Hill Book Co. p2357-2363
Chan, W.S. 2003. Review scientific evidence of Edible bird nest. Available from: http://www.hkfsta.com.hk/articles/special/article7.htm accessed Monday, January 16, 2012
Cooper, G.M. 2000. The Cell: A Molecular Approach. 2nd edition. Sunderland (MA): Sinauer Associates. Signaling Molecules and Their Receptors.Available from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK9924/accessed 21 april 2012.
Darmojo, R.B. 2006. Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Geriatri. Edisi ketiga. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal : 3-12.
Delaney D., 2008. Budidaya sarang burung walet di jawa timur. (Skripsi) Malang: Universitas Muhamadyah
Ditjen POM ( 1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.
Federer, W.T. 2011. Statistical Design and Analysis for Intercropping Experiments.Volume 1, Two Crops. Springer Series in Statistics, Springer – Verlag, Berlin
64
Fisher, G.J., Kang, S., Varani, J., Csorgo, Z.B., Wan, Y., Datta, S. and Voorhees, J.J. 2002. Mechanism of Photoaging and Chronological Skin Aging.Arch Dermatol.Department of Dermatology, University of Michigan, Ann Arbor.Vol 138: p. 1462-1470.
Get, P.A. and Barnes, J.M. 1994. Toxicity Test in D.R Laurence and A.I. Bachrach. Evaluation Drug Activities: Farmacometric Vol.1.Academic Pres. P: 161.
Goldman, R. and Klatz. 2003. The New Anti-Aging Revolution. Australasian Edition.Theories of Aging. p. 22-24, 191-194.
Gope, M. L. & Gope R. 2007. Topically applied EGF and PDGFs affect
positively the co-ordinate expression of EGF and PDGF receptor genes
during acute cutaneous wound-healing process. Current Science, vol. 92, no.
5, 10 march 2007
Gunter, C. I. and Machens, H. G. 2012. New strategies in clinical care of skin
wound healing. European Surgical Research 2012;49:16-23.
Guo, C.T., Takahashi, T., Bukawa, W., Takahashi, N., Yagi, H., Kato, K., Hidari, K. I. P. J., Miyamoto, D., Suzuki, T. and Suzuki, Y. 2006. Edible bird’s nest extract inhibits influenza virus infection. Antiviral Research 70: 140-146
Guo, S and DiPietro, L. A. 2010. Factors Affecting Wound Healing. Journal of
Dental Research 89(3):219-229
Jain, S. 2012. Dermatology. Journal of Ilustrated Study Guide and Comprehensive Board Review. USA: Springer Science, Bussiness Media. ILC. p. 2-10.
Kaminer, M.S. 1995. Photodamage: Magnitude of the Problem. in: Gilchrest, B.A., editor. Photodamage. Blackwell Science.p.3-9.
Kim, C., Ryu, H. and Kim, J.C., 2010. Low dose irradiation stimulates matrix metalloproteinase-1 expression via BLT2-linked pathway in HaCaT cells. Experimental and molecular medicine 42 No. 12. P 833-841.
Kim, Hyeon Ho., Shin, C.M., Park, Chi-Hyun., Kim, K.H., Cho, K.H., Eun, H.C. Chung and Jin Ho. 2012.Water extraxt of edible bird’s nest attenuated the oxydative stress-induced matrix metalloproteinase-1 by regulating the mitogen activated protein kinase and activator protein-1 pathway in human keratinocytes. Journal of the korean society for applied biological chemistry, Vol 46: p. 347-354
Kim, Hyeon Ho., Shin, C.M., Park, Chi-Hyun., Kim, K.H., Cho, K.H., Eun, H.C. Chung and Jin Ho. 2005. Eicosapentaenoic Acid Inhibits UV-Induced MMP-1 Expression in Human Dermal Fibroblast. Journal of Lipid Research, Vol 46: p. 1712-1719.
65
Klatz, R. 2003. Acknowledgement in: Klatz, R. 2003 Anti Aging medical Therapeutics Vol 5. The A4M publication. Chicago. p. 3.
Kong, Y.C., Keung, W.M., Yip, T.T., Ko, K.M., Tsao, S.W. and Ng, M.H. 1987.
Evidence that epidermal growth factor is present in swiftlet’s (Collocalia)
nest. Comparative Biochemistry and Physiology 87:221- 226.
Kumar V, Cotran Rz, Robbins Sl. 2003. Basic Pathology 7th Ed. Saunders, Philadelphia, London, Toronto,Montreal, Sydney, Tokyo, 873 p.
Kyung, B. R., Lee, J., Kim, Y. S., Park, J., Kim, J. H., Lee, J. and Park, D. 2012.
Mechanisms of edible Bird’s Nest Extract-induced proliferation of Human
adipose derived stem cells. Available from: www.
Ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22110547 Accessed : 20 juni 2012.
Li, J., Chen, J. and Kirsner, R. 2007. Pathophysiology of acute wound healing. Clinics in Dermatology. Vol: 25. p. 9-18.
Manjas, M., Henky, J. and Salmiah, A. 2010. Penggunaan Krim Amnion pada
Penyembuhan Luka Sayatan Tikus Wistar. Majalah Kedokteran Indonesia,
Volume 60, Nomor: 6, Juni 2010
Marczyk, G.R, Marczyk, G.R, DeMatteo, D., dan Festinger, D, 2005.Essentials of Research Design and Methodology, Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
Martin, J. M., Zenilman, J. M., and Lazarus, G. S. 2010. Molecular Microbiology:
New Dimensions for cutaneus biology and wound healing. Journal of
investigate dermatology (2010) 130, 38-48
Martin, P. 1997. Wound healing-aiming for perfect skin regeneration. Available
from:http://www.sciencemag.org/content/276/5309/75.longAccesed oktober
29, 2012.
Matsukawa, N. 2011. Improvement of bone strength and dermal thickness due to dietary edible bird’s nest extract in ovariectomized rats. Biosci. Biotechnol. Biochem vol 75. p 590-592.
Mehta, R.C. and Fitzpatrick, R.E., 2007. Endogenous growth factor as cosmeceuticals. Dermatologic Therapy. 2007 sep-oct; 20(5) p. 350-359
Mercandetti, M. 2011. Wound Healing and Repair. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1298129-overview accessed 29
oktober 2012
66
Minimas, D. A. 2007. Clinical review: Ageing and its influence on wound
healing. Wounds UK, 2007, vol 3, No 1.
Nagaoka, T., Kaburagi, Y., Hamaguchi Y., Hasegawa M., Takehara K., Steeber D. A., Tedder T. F., and Sato S. 2000. Delayed wound healing in the absence of intercellular adhesion molecule-1 or L-selectin expression. Am J Pathol. 2000 Jul;157(1):237-47
Nakagawa, H., Hama, Y., Sumi, T., Li, S., Maskos, K., Kalayanamitra, K., Mizumoto, S., Sugahara, K. And Li, Y. 2007. Occurrence of a nonsulfated chondroitin proteoglycan in the dried saliva of Collocalia swiftlets (edible bird’s-nest). Glycobiology vol. 17 no. 2 pp. 157–164.
Nauta A., Seidel C., Deveza L., Montoro D., Grova M., Ko S. H., Hyun J., Gurtner G. C., Longaker M. T. and Fan Yang. 2013. Adipose-derived Stromal Cells Overexpressing Vascular Endothelial Growth Factor Accelerate Mouse Excisional Wound Healing. Molecular Therapy (2013); 21 2, 445–455. doi:10.1038/mt.2012.234
Ng M. H., Chan K. H. and Kong Y. C. 1986. Potentiation of mitogenic response by extracts of the swiftlet's (Collocalia) nest. Biochem Int. 1986 Sep;13(3):521-31.
Noorhayati, M.K., Azman, O, and Nazaimoon, W.M. 2010. Preliminary study of the nutritional content of malaysian Edible bird’s nest. Malaysian Journal Nutrition 16 (3). P 389-396.
Ogura, H. 2011. Development of miracle medicines from sialic acids.
Proceedings of the Japan Academy., Series. B 87 (2011)
Pangkahila,W. 2007. Anti Aging Medicine Memperlambat Penuaan Meningkatkan kualitas Hidup. Penerbit Buku Kompas. Jakarta, hal 10-1
Pham-Huy, L.A., He, H. and Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidant in Disease and Health. International Journal of Biomedical Science, Vol 4: p. 89-96.
Poljsak, B. dan Dahmane, R. 2012. Free radicals and extrinsic skin aging. Hindawi Publishing Corporation Dermatology Research and Practice volume 2012
Rabe, J.H., Mamelak, A.J., Mc Elgunn, P., Morison, W.L. and Sauder, D.N. 2006.Photoaging : Mechanism and Repair, Continuing Medical Education, American Academy of Dermatology, Inc. p.1-19.
Rieger, M. M. 2000. Harry’s cosmeticology. New york: Chemical Publishing co inc.
Rohmah,S. D. 2013. Formulasi krim sarang burung walet putih (aerodamus fuciphagus) dengan basis type A/M sebagai pencerah kulit wajah. Pontianak: Universitas Tanjungpura.
67
Rolfe, K. J. and Grobbelaar, A. O. 2012. A Review of Fetal Scarless Healing. International Scholarly Research Network Dermatology. Volume 2012 (2012), Article ID 698034
Schauer, R. and Traving, C. Structure, function and metabolism of sialic acids.
1998. Cellular and mollecular life science. Volume 54, Issue 12, pp 1330-
1349
Schouest J.M., Luu, T.K. and Moy, R.L. 2012. Improved texture and appearance of human facial skin after daily topical aplication of barley produced, synthetic, human-like epidermal growth factor (EGF) serum. The Journal of Drugs in Dermatology 2012 may 11(5) p.613-620.
Varki A, Cummings RD, and Esko JD. 2009. Sialic acids in: Essentials of
Glycobiology. 2nd edition. NY: Cold Spring Harbor laboratory Press.
Wahyuningsih, K. A. 2010. Pemberian astaxanthin topical menghambat penuaan dini kulit akibat pejanan sinar ultra violet B dengan memberikan efek proteksi terhadap kolagen pada mencit (Mus musculus) (Thesis). Denpasar:Universitas udayana
Yenti, R., Afrianti, R. and Afriani L. 2011. Formulasi Krim Ekstrak Etanol Daun
Kirinyuh (Euphatoriumodoratum. L) untuk Penyembuhan Luka. Majalah
Kesehatan Pharma Medika, 2011 Vol,3, No,1
Young, A.R. and Walker, L. S. 2008. Acute and Chronic Effect of Ultraviolet Radiation on the Skin, in: Wolff, K., Goldsmith, L. A., Katz, S.I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S., Leffell, D. J. , Editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine7th edition.Mc Graw-Hill Book Co. p809-815.
Taylor, R.J., 1997, An Aid to Wound Measurement Using a Computer. Journal of
Wound Care, 11(6): 213-16.
68
Lampiran1.Tabel Konversi Perhitungan untuk Berbagai Jenis (Species) Hewan Uji dan Manusia dalam Get dan Barnes (1994)
Mencit 20 gr
Tikus 200 gr
Marmut 400 gr
Kelinci 1,5 kg
Kucing 2 kg
Kera 4 kg
Anjing 12 kg
Manusia 70 kg
Mencit 20 gr
1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,3 124,2 387,9
Tikus 200 gr
0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0
Marmut 400 gr
0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
Kelinci 1,5 kg
0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
Kucing 2 kg
0,05 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 6,1 13,0
Kera 4 kg
0,016 0,11 0,15 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
Anjing 12 kg
0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
Manusia 70 kg
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
69
Spss hari keempat
Descriptives
8 3.4976 .71813 .25390 2.8973 4.0980 2.54 4.55
8 2.6744 .38181 .13499 2.3552 2.9936 2.25 3.26
16 3.0860 .69957 .17489 2.7133 3.4588 2.25 4.55
8 18.3750 1.06066 .37500 17.4883 19.2617 17.00 20.00
8 18.1250 .83452 .29505 17.4273 18.8227 17.00 19.00
16 18.2500 .93095 .23274 17.7539 18.7461 17.00 20.00
kontrol 4 hari
walet 4 hari
Total
kontrol 4 hari
walet 4 hari
Total
celah luka
jumlah neovaskuler
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Tests of Normality
.178 8 .200* .950 8 .712
.221 8 .200* .902 8 .300
.222 8 .200* .912 8 .366
.228 8 .200* .835 8 .067
kelompokkontrol 4 hari
walet 4 hari
kontrol 4 hari
walet 4 hari
celah luka
jumlah neovaskuler
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
This is a lower bound of the true significance.*.
Lilliefors Significance Correctiona.
Test of Homogeneity of Variances
4.800 1 14 .046
.843 1 14 .374
celah luka
jumlah neovaskuler
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
Independent Samples Test
4.800 .046 2.863 14 .013 .82319 .28755 .20645 1.43993
2.863 10.665 .016 .82319 .28755 .18785 1.45852
.843 .374 .524 14 .609 .25000 .47716 -.77340 1.27340
.524 13.266 .609 .25000 .47716 -.77874 1.27874
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
celah luka
jumlah neovaskuler
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
70
Spss hari ketujuh
Descriptives
8 129.6200 60.98534 21.56157 78.6350 180.6050 66.88 243.90
8 46.2688 6.40955 2.26612 40.9102 51.6273 37.64 56.32
16 87.9444 60.06207 15.01552 55.9396 119.9492 37.64 243.90
8 17.1250 .83452 .29505 16.4273 17.8227 16.00 18.00
8 8.3750 1.06066 .37500 7.4883 9.2617 7.00 10.00
16 12.7500 4.61158 1.15289 10.2927 15.2073 7.00 18.00
kontrol 7 hari
walet 7 hari
Total
kontrol 7 hari
walet 7 hari
Total
tebal epitel
jumlah neovaskuler
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Tests of Normality
.298 8 .035 .871 8 .154
.188 8 .200* .954 8 .749
.228 8 .200* .835 8 .067
.222 8 .200* .912 8 .366
kelompokkontrol 7 hari
walet 7 hari
kontrol 7 hari
walet 7 hari
tebal epitel
jumlah neovaskuler
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
This is a lower bound of the true significance.*.
Lilliefors Significance Correctiona.
Test of Homogeneity of Variances
19.572 1 14 .001
.843 1 14 .374
tebal epitel
jumlah neovaskuler
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
Independent Samples Test
.843 .374 18.338 14 .000 8.75000 .47716 7.72660 9.77340
18.338 13.266 .000 8.75000 .47716 7.72126 9.77874
19.572 .001 3.845 14 .002 83.35125 21.68033 36.85157 129.85093
3.845 7.155 .006 83.35125 21.68033 32.30917 134.39333
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
jumlah neovaskuler
tebal epitel
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
71
Mencit dibius
Bulu mencit dicukur
72
Mencit dilukai dengan disposable punch biopsy 6
mm
Mencit yang telah dilukai
Pengambilan sampel hari ke-4
73
Jaringan kulit mencit dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin
Kontrol krim basis hari ketujuh, pembesaran 400x
terbentuknya epitelisasi, gambaran neovaskuler
74
75
Jaringan kulit mencit dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin
krim ekstrak sarang hari ketujuh, pembesaran 400x
gambaran epitelisasi , gambaran neovaskuler
76
Nomor
Hal
: 014/UN14.24/UPTLA/2014
: Hasil Laboratorium
No
Sampel Silaic acid (%)
Metode
1.
Sampel A
1,26
EnzyChromTM Sialic Acid Assay Kit (Cat# ESLA-100) Coloriemetric procedure
2. Sampel B 0,98 EnzyChromTM Sialic Acid Assay Kit (Cat# ESLA-100) Coloriemetric procedure
Bukit Jimbaran, 6 Januari 2014 Kepala UPT Laboratorium Kimia Analitik Unud
(Prof.Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, MPhil)
Kepada Yth Dr. Irma Di tempat
77
Nomor
Hal
: 255/UN14.24/UPTLA/2013
: Hasil Laboratorium
No
Sampel Silaic acid (%)
Metode
1.
Sarang burung walet
8,25
EnzyChromTM Sialic Acid Assay Kit (Cat# ESLA-100) Coloriemetric procedure
Bukit Jimbaran, 4 Nopember 2013 Kepala UPT Laboratorium Kimia Analitik Unud
(Prof.Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, MPhil)
Kepada Yth Dr. Irma Di tempat
78