pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

111
TESIS PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS II DENPASAR SELATAN NI KADEK ETHI YUDIASTUTI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Transcript of pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

Page 1: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

TESIS

PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK

RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA

PADA BALITA DI PUSKESMAS II

DENPASAR SELATAN

NI KADEK ETHI YUDIASTUTI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

i

TESIS

PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK

RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA

PADA BALITA DI PUSKESMAS

II DENPASAR SELATAN

NI KADEK ETHI YUDIASTUTI

NIM 1392161005

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 3: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

ii

PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK

RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA

PADA BALITA DI PUSKESMAS II

DENPASAR SELATAN

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI KADEK ETHI YUDIASTUTI

NIM 1392161005

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 4: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 22 JULI 2015

Pembimbing I,

Prof. dr.Dewa Nyoman Wirawan, MPH

NIP. 194810101977021001

Pembimbing II,

dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH

NIP. 196809141999032001

Mengetahui

Ketua Program Studi

Ilmu Kesehatan Masyarakat

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. dr.Dewa Nyoman Wirawan, MPH NIP. 194810101977021001

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 195902151985102001

Page 5: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 22 Juli 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No. : 2106/UN14.4/HK/2015, Tanggal 13 Juli 2015

Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

Anggota :

1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH

2. Dr. dr. Gusti Ayu Trisna Windiani, SpA (K)

3. dr. Pande Putu Januraga, M.Kes, DrPH

4. dr. I Made Ady Wirawan, MPH, PhD

Page 6: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : Ni Kadek Ethi Yudiastuti

NIM : 1392161005

Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Judul Tesis : Pemberian ASI dan Lingkungan Fisik Rumah sebagai

Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di Puskesmas II

Denpasar Selatan

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI Nomor 17,

tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Denpasar, 22 Juli 2015

Ni Kadek Ethi Yudiastuti

Page 7: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa karena

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyeselesaikan hasil penelitian yang

berjudul “Pemberian ASI dan Lingkungan Fisik Rumah sebagai Faktor Risiko

Pneumonia pada Balita di Puskesmas II Denpasar Selatan” ini tepat pada

waktunya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof.dr.Dewa

Nyoman Wirawan, MPH selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah

memberikan dorongan, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program

magister dan khususnya dalam penyelesaian tesis ini.Terima kasih sebesar-

besarnya pula penulis sampaikan kepada Ibu dr.Anak Agung Sagung Sawitri,

MPH selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah

memberikan bimbingan, semangat, dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana

Bapak Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD(KEMD) atas kesempatan dan

fasilitasyang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana.

Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pasca Sarjana

Universitas Udayana, Ibu Prof.Dr.dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S (K) atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program

magister pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis

ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

selaku ketua PS MIKM UNUD. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan

terima kasih kepada sekretariat PS MIKM UNUD, Koordinator Peminatan

Epidemiologi Lapangan PS MIKM UNUD, dan semua para dosen dan staf PS

MIKM UNUD. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji

tesis ini, yaitu Ibu Dr. dr. Gusti Ayu Trisna Windiani, SpA (K), Bapak dr. Pande

Putu Januraga, M.Kes, DrPH, dan Bapak dr. I Made Ady Wirawan, MPH,PhD

yang telah memberikan masukan dan koreksi.

Page 8: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

vii

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Luh Putu Sri

Armini, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar, Ibu dr. A.A.A.A

Candrawati selaku Kepala Puskesmas II Denpasar Selatan yang telah memberikan

ijin penelitian, Ibu Ayu Nilawati selaku pemegang Program P2 ISPA dan seluruh

staf Puskesmas II Denpasar Selatan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu

yang memberikan informasi dan bantuan dalam pengumpulan data. Tidak lupa

penulis mengucapkan terima kasih kepada surveyor dalam membantu

pengambilan data dan semua responden yang telah memberikan ijin mengambil

data sehingga penelitian ini dapat selesai. Terima kasih penulis ucapkan kepada

civitas akademika Akademi Kebidanan Kartini Bali atas kesempatan yang

diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan serta dukungan moral dan

material. Akhirnya penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk suami,

anak, orang tua, mertua, keluarga, para sahabat serta teman-teman seperjuangan

MIKM angkatan Vuntuk dukungannya.

Denpasar, 22 Juli 2015

Ni Kadek Ethi Yudiastuti

Page 9: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

viii

ABSTRAK

PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH SEBAGAI

FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS

II DENPASAR SELATAN

Kematian balita akibat pneumonia masih tinggi karena faktor risikonya

masih ada dan belum teratasi dengan baik.Puskesmas II Denpasar Selatan

memiliki cakupan pneumonia sebesar 15,93% termasuk cakupan tertinggi nomor

dua pada tahun 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan

risiko faktor riwayat pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah terhadap

kejadian pneumonia pada balita.

Desain penelitian kasus kontrol dengan 60 kasus dan 60 kontrol. Kasus

adalah balita yang terdiagnosis pneumonia oleh dokter puskesmas, berumur 0-59

bulan dan tercatat di register balita sakit pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret

2015 sedangkan kontrol adalah balita sehat yang diajak ke puskesmas saat

penelitiaan. Data dikumpulkan dengan wawancara, observasidan pengukuran

dengan menggunakan kuisioner, hygrometer, luxmeter dan rollmeter.Analisis

univariat, bivariat, multivariat dengan Stata SE 12.1.

Analisis bivariat menunjukkan frekuensi ISPA berulang, pemberian ASI

(ASI eksklusif, durasi ASI, inisiasi menyusu dini) dan lingkungan fisik rumah

(ventilasi, kelembaban, pencahayaan, kepadatan hunian) sebagai faktor risiko

kejadian pneumonia pada balita. Analisis multivariat didapatkan faktor risiko

yang terbukti signifikan dan meningkatkan kejadian pneumonia pada balita adalah

durasi pemberian ASI kurang dari dua bulan OR=5,24 (95% CI: 1,96–14,01),

pencahayaan alami OR=2,72 (95% CI: 1,05–7,00), tingkat kepadatan hunian

OR=3,11 (95% CI: 1,18 – 8,19), tidak mendapatkan imunisasi Hib dan

pneumokokus sesuai anjuran IDAI OR=3,68 (95% CI: 1,11-12,17), frekuensi

ISPA >1 kali OR=10,14 (95% CI: 3,6 – 28,02).

Variabel durasi ASI, pencahayaan alami dan kepadatan hunian rumah

yang tidak memenuhi syarat,tidak mendapatkan imunisasi Hib dan pneumokokus

sesuai anjuran IDAI, serta mengalami ISPA >1 kali sebagai faktor risiko

pneumonia balita.

Kata kunci : Pneumonia, Balita, Pemberian ASI, Lingkungan Fisik Rumah,

Denpasar

Page 10: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

ix

ABSTRACT

BREASTFEEDING AND HOUSE PHYSICAL ENVIRONMENT AS RISK

FACTORS OF PNEUMONIA AMONG UNDER – FIVE CHILDREN AT

PUBLIC HEALTH CENTER II OF SOUTH DENPASAR

Under-five mortality due to pneumonia remains high because the presence

of risk factors has not been controlled properly. PHC II of South Denpasar had

pneumonia coverage of 15.93% which was the second highest coverage in 2012.

This study aims to determine the role of breast-feeding history and house physical

environment risk factors for pneumonia in under-five children.

A case-control study was conducted involving 60 cases and 60 controls.

Cases were under-five children who were diagnosed with pneumonia by PHC

doctors, aged between 0-59 months and recorded in the register between1

January, 2014 and31 March 31 2015, while controls were a healthy children aged

under 5 years old who visited the PHC during the study. Data were collected

through interviews, observation and measurement using questionnaires,

hygrometer, luxmeter and rollmeter. Univariate, bivariate, and multivariate

analyses were performed by Stata SE 12.1.

Bivariate analysis showed that the frequency of recurrent respiratory

infection, breastfeeding (exclusive breastfeeding, duration of breastfeeding, early

initiation of breastfeeding) and physical environment of the house (ventilation,

humidity, lighting, crowding in houses) significantly associated with the incidence

of pneumonia in under-five children. Futhermore, multivariate analysis found that

statistically significant risk factors for pneumonia in under-five children are the

duration of breastfeeding less than two months OR = 5.24 (95% CI: 1.96 - 14.01),

natural lighting OR = 2.72 (95 % CI: 1.05 - 7.00), crowded housing OR = 3.11

(95% CI: 1.18 - 8.19), no Hib and pneumococcal immunizations as recommended

by IDAI OR = 3.68 (95 % CI: 1.11 - 12.17), frequency of ARI>1 times OR =

10.14 (95% CI: 3.6 - 28.02).

Duration of breastfeeding, natural lighting and overcrowded housing, not

Hib and pneumococcal immunizations, as well as experiencing ARI> 1 times are

risk factors for pneumonia among under-five children.

Keywords : Pneumonia, Under-Five Children, Breastfeeding, House Physical

Environment, Denpasar

Page 11: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

x

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM……………………………………………………….. i

LEMBAR PERSYARATAN GELAR……………………………………. ii

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….. iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………….. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………. v

UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………… vi

ABSTRAK……………………………………………………………........ viii

ABSTRACT………………………………………………………………. ix

DAFTAR ISI…………………………………………………………........ x

DAFTAR TABEL……………………………………………………........ xii

DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………........ xv

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………........ 1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………........ 5

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………. 6

1.3.1 Tujuan Umum………………………………………….. 6

1.3.2 Tujuan Khusus…………………………………………. 6

1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….. 8

2.1 Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita.......................... 8

2.1.1 Faktor Sosial Ekonomi dan Demografi ........................... 8

2.1.2 Riwayat Penyakit.... …………………………………… 11

2.1.3 Pemberian ASI yang Kurang Memadai……………....... 12

2.1.4 Defisiensi Vitamin A....................................................... 17

2.1.5 Pemberian Imunisasi yang Tidak Lengkap…………….. 18

2.1.6 Paparan Asap Rokok…………………………............... 19

2.1.7 Lingkungan Fisik Rumah…………………………........ 21

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN……………………………………………………………...

30

3.1 Kerangka Berpikir…………………………………………........ 30

3.2 Konsep Penelitian ……………………………………………... 33

3.3 Hipotesis………………………………………………………... 34

BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………... 35

4.1 Rancangan Penelitian…………………………………………... 35

Page 12: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

xi

4.2 Definisi Kasus dan Kontrol……………………………………..

4.2.1 Subyek Kasus………………………………...................

4.2.2 Subyek Kontrol………………………………................

36

36

36

4.3 Sumber Kasus dan Kontrol……………………………………. 37

4.3.1 Populasi Kasus……………………………………......... 37

4.3.2 Populasi Kontrol………………………………………... 37

4.4 Besar Sampel Kasus dan Kontrol………………………………. 37

4.4.1 Jumlah dan Besar Sampel…………………………........ 37

4.4.2 Teknik Pemilihan Sampel dan Matching......................... 39

4.5 Metode dan Instrumen untuk Mengukur Variabel

Independent……………………………………………………..

4.5.1 Metode Pengumpulan Data……………………………..

4.5.2 Instrumen Penelitian…………………………………….

39

39

40

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………… 40

4.7 Identifikasi Variabel Penelitian……………………………........ 40

4.7.1 Variabel Dependent…………………………………......

4.7.2 Variabel Independent.......................................................

40

40

4.7.3 Definisi Operasional…………………………………… 42

4.8 Prosedur dan Etika Penelitian………………………………….. 48

4.9 Pengolahan dan Analisis Data……………………………. 49

4.9.1 Pengolahan Data……………………………………….. 49

4.9.2 Analisis Data………………………………………........ 54

BAB V HASIL PENELITIAN……………………………………………. 55

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian…………………………… 55

5.2 Karakteristik Sampel…………………………………………… 56

5.3 Analisis Bivariat Faktor Risiko dengan Pneumonia pada Balita. 57

5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko yang Berhubungan dengan

Kejadian Pneumonia pada Balita………………………………

65

BAB VI PEMBAHASAN………………………………………………… 68

6.1 Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di Wilayah

Puskesmas II Denpasar Selatan…………………………………

68

6.2 Keterbatasan Penelitian ………………………………………... 74

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………… 75

7.1 Simpulan ………………………………………………………. 75

7.2 Saran …………………………………………………………… 75

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 76

LAMPIRAN-LAMPIRAN …………….…………………………………. 82

Page 13: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

4.1 Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian…………………………... 37

4.2 Definisi Operasional…………………………………………….... 41

5.1 Komparabilitas Karakteristik Ibu dan Balita di Wilayah

Puskesmas II Denpasar Selatan Tahun 2015……………..............

56

5.4 Crude OR Pemberian ASI pada Kasus dan Kontrol …………… 57

5.5 CrudeOR Lingkungan Fisik Rumah dengan pada Kasus dan

Kontrol………………………………………………....................

59

5.4 Crude OR Riwayat ISPA, Riwayat BBLR, Status Gizi, Paparan

Asap Rokok, Status Imunisasi dan Vitamin A pada Kasus dan

Kontrol……………………………………………………………

61

5.5 Kelengkapan Imunisasi berdasarkan Umur pada Kasus dan

Kontrol……………........................................................................

63

5.6 Adjusted OR Faktor Risiko Pneumonia pada Kasus dan

Kontrol……………………………………………………………

65

Page 14: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

xiii

DAFTAR SINGKATAN

APHA : American Public Health Association

ASI : Air Susu Ibu

Balita : Bawah lima tahun

BB/U : Berat badan / Umur

BBLR : Berat badan lahir rendah

CI : Confidence Interval

CO2 : Karbondioksida

Depkes : Departemen Kesehatan

Ditjen PP & PL : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan

DPT : Dipterri, Pertussis, dan Tetanus

GATS : Global Adult Tobacco Survey

Hib : Haemophilus influenza type b

IgA : Imunoglobulin A

IMCI : Integrated Management of Childhood Illness

IMD : Inisiasi Menyusu Dini

ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut

IPD : Invasive Pneumococcal Disease

Kemenkes : Kementerian Kesehatan

KIA-KB : Kesehatan ibu dan anak

MDG’s : Millennium Development Goals

O2 : Oksigen

Page 15: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

xiv

OR : Odds ratio

P2 : Pemegang program

PCV : Pneumococcal Conjugate Vaccine

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

RI : Republik Indonesia

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RS : Rumah Sakit

SDKI : Survei Dasar Kesehatan Indonesia

TBC : Tuberkulosis

UNICEF : United Nations International Children’s Emergency Fund

WHO

: World Health Organization

Page 16: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pedoman Wawancara dan Observasi

2 Hasil Analisis Bivariat dan Multivariat dengan STATA

3 Surat Ijin Penelitian

Page 17: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumonia adalah penyebab kematian utama pada balita di dunia termasuk

Indonesia.United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF)

menyatakan bahwa pada tahun 2011 terjadi 1,3 juta kematian dimana 14% dari

keseluruhan kematian anak bawah lima tahun (Balita) disebabkan oleh pneumonia

(Subanada, 2014). Prediksi kasus baru dan insiden pneumonia balita paling tinggi

terjadi pada 15 negara, mencakup 115,3 juta (74%) dari 156 juta kasus di seluruh

dunia. Lebih dari setengahnya terkonsentrasi di enam negara, mencakup 44%

populasi balita di dunia. Keenam negara tersebut adalah India 43 juta, China 21

juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia dan Nigeria masing-masing enam

juta kasus per tahun (Rudan dkk, 2008).

Strategi untuk penatalaksanaan kasus (case-management) dalam rangka

menurunkan kematian yang disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan

pneumonia telah dilakukan oleh WHO sejak 1980-an. Pedoman kemudian

dikembangkan dan diintegrasikan ke program Integrasi Tatalaksana Balita Sakit

(Integrated Management of Childhood Illness/IMCI), yang juga memasukkan

pedoman untuk pelayanan kesehatan primer dan tatalaksana kasus di rumah sakit.

Program ini telah terlaksana lebih dari 25 tahun tetapi angka kematian anak

karena pneumonia masih tinggi. Hal ini merupakan tantangan untuk semua

pihak,terutama dalam usaha mencapai tujuan Millennium Development Goals

Page 18: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

2

(MDG’s) nomor empat, yaitu menurunkan kematian anak (balita) sebesar dua

pertiga diantara tahun 1990 dan 2015 (Kemenkes, 2010).

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) menyatakan pada tahun 2007 sebesar 15,5%

penderita pneumonia meninggal dunia atau 83 balita meninggal setiap hari dan

menjadi penyebab nomor dua dari keseluruhan kematian balita di Indonesia.

Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) menyatakan terjadi peningkatan

kejadian pneumonia balita dari tahun 2002 – 2007 yaitu 7,6% menjadi 11,2%

(Kemenkes RI, 2010).

Bali merupakan propinsi nomor dua dengan kejadian pneumonia tertinggi di

Indonesia pada tahun 2007 sebesar 11,1% (Kemenkes RI, 2010). Denpasar

merupakan kabupaten/kota dengan cakupan pneumonia tertinggi nomor empat di

Bali sebesar 18,73%, sedangkan Puskesmas II Denpasar Selatan merupakan

puskesmas nomor dua dengan cakupan pneumonia tertinggi sebesar 15,93% pada

tahun 2012 (Dinkes Kota Denpasar, 2013).

Tingginya pneumonia pada balita oleh karena faktor risikonya masih ada.

Departemen Republik Indonesia (Depkes RI) dan beberapa penelitian tentang

pneumonia menyatakan faktor risiko pneumonia pada balita antara lain: umur,

jenis kelamin, pendidikan ibu, tingkat sosial ekonomi rendah, status gizi, berat

badan lahir rendah (BBLR), pemberian air susu ibu (ASI) yang kurang memadai,

status imunisasi, defisiensi vitamin A, faktor lingkungan fisik rumah (lantai,

dinding, ventilasi, kelembaban, suhu, pencahayaan), kepadatan hunian kamar

tidur, polusi udara (Depkes RI, 2004).

Page 19: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

3

Beberapa penelitian berkaitan dengan riwayat pemberian ASI sebagai

faktor risiko pneumonia pada balita. Pemberian ASI yang memadai dapat

mengurangi morbiditas serta mortalitas akibat pneumonia karena dapat

mengurangi kejadian infeksi terhadap saluran pernapasan serta menurunkan

tingkat keparahan infeksi selama masa bayi dan balita, pemberian ASI yang tidak

memadai sebagai salah satu faktor risiko pneumonia pada balita (Lamberti, dkk.,

2013; Victora, dkk, 1994; Fonseca, dkk., 1996; Sugihartono dan Nurjazuli, 2012;

Mokoginta, dkk., 2013; Naim, 2000; Pradhana, 2010; Regina, dkk., 2013; Annah,

dkk., 2012;Kramer, 1988; Ogundele, 1999; Arifeen, dkk., 2001; Franks, dkk.,

1982; WHO, 2014; Horta, dkk., 2007).

Studi kasus kontrol pada bayi dan balita tentang ASI eksklusif dengan

pneumonia dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna (Farmani, 2011;

Sulistyowati, 2010; Yushananta, 2008). Banyak penelitian tentang pemberian ASI

dikaitkan dengan pneumonia pada balita yang telah dilakukan di Indonesia,

namun belum ada yang secara mendalam menggali pemberian ASI sebagai faktor

risiko pneumonia. Penelitian di Puskesmas II Denpasar Selatan, pada instrumen

bagian pertanyaan ASI hanya ada di karakteristik untuk menanyakan apakah ASI

eksklusif atau tidak (Farmani, 2011).Pemberian ASI eksklusif tidak hanya

ditanyakan apakah memberikan ASI saja selama enam bulan atau tidak, tetapi ada

beberapa hal yang perlu ditanyakan terkait pola pemberiannya.Hal tersebut seperti

pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) pada saat lahir, pemberian kolostrum,

kebijakan/peraturan tentang pemberian ASI eksklusif. Sejalan dengan hal ini,

maka sudah ada beberapa program atau kebijakan yang telah diambil/ditetapkan

Page 20: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

4

oleh pemerintah untuk mencapai keberhasilan cakupan ASI eksklusif

ini.Kenyataannya tetap saja dari tahun ke tahun cakupan ASI eksklusif di

Indonesia masih di bawah target.

Balita yang tinggal dalam rumah yang padat penghuninya (Victora dkk.,

1994;Yuwono,2008; Pramudiyani dan Prameswari, 2011; Farmani, 2011;

Pamungkas, 2012) tidak ada jendela serta tidak membuka jendela kamar dan

ventilasi kamar (Anwar dan Dharmayanti, 2014;Yuwono, 2008; Pramudiyani dan

Prameswari, 2011), jenis lantai yang membuat lembab (Yuwono, 2008;

Sugihartono dan Nurjazuli, 2012), kondisi dinding dan rumah yang lembab

(Yuwono, 2008), dan kurangnya pencahayaan alami ke dalam ruang tidur

(Farmani, 2011) sebagai faktor risiko pneumonia pada balita.

Peran faktor lingkungan sebagai faktor risiko juga disampaikan oleh

petugas surveilans dan pemegang program P2 ISPA di Puskesmas II Denpasar

Selatan yang mengatakan bahwa wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan

merupakan daerah yang cukup padat baik dari segi bangunan maupun penduduk.

Penderita pneumonia sebagian besar adalah penduduk pendatang dimana mereka

tinggal di kos-kosan yang huniannya padat dan sempit (Footnotes, 2014).Faktor

yang berkaitan dengan lingkungan fisik rumah ini masih ada yang

inkonsisten.Luas ventilasi (Farmani, 2011; Sunyataningkamto,dkk., 2004),

kelembaban rumah (Farmani, 2011; Sinaga, 2008) jenis lantai yang tidak

memenuhi syarat (Farmani, 2011), tingkat kepadatan penghuni di dalam rumah

(Zuraidah, 2002) tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian pneumonia

pada bayi dan anak balita.

Page 21: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

5

Faktor lain sebagai faktor risiko pneumonia pada balita adalah status

imunisasi, status gizi, defisiensi vitamin A, riwayat BBLR, dimana Kota Denpasar

faktor-faktor tersebut relatif cukup baik. Data dari Profil Dinas Kesehatan Kota

Denpasar cakupan imunisasi di Kota Denpasar untuk tahun 2012 dan 2013 semua

telah melebihi target yang ditentukan, cakupan status gizi balita berdasarkan berat

badan/umur (BB/U) masih terdapat dua balita (0,15%) gizi buruk, sedangkan

sebesar 3,43% mengalami gizi kurang walaupun tidak melebihi target Kota

Denpasar yaitu 15%. Cakupan pemberian vitamin A di Kota Denpasar tahun 2013

yaitu 100% yang berarti sudah memenuhi target. Berdasarkan data dari pemegang

program Kesehatan Ibu dan Anak – Keluarga Berencana (KIA-KB) Dinas

Kesehatan Kota Denpasar jumlah kasus BBLR yang terjadi pada tahun 2013

sebanyak 181 kasus. Berdasarkan data dari pemegang program Penanggulangan

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (P2 ISPA) Dinas Kesehatan Kota

Denpasar bahwa orang tua perokok merupakan faktor risiko utama terjadinya

pneumonia di Kota Denpasar pada tahun 2011 dan 352 orang yang telah

dilakukan care seeking. Data yang didapat ini hanya berdasarkan pertanyaan yang

diberikan kepada orang tua yang anaknya menderita pneumonia saja.

1.2 Rumusan Masalah

Kejadian pneumonia masih tinggi begitu juga kematiannya. Penelitian

tentang hubungan ASI, lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko pneumonia

pada balita telah banyak dilakukan, namun ada beberapa hal yang masih tidak

konsisten. Berdasarkan latar belakang yang telah disusun maka rumusan

Page 22: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

6

masalahnya adalah apakah pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah

meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Umum

Mengetahui pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor

risiko kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas II Denpasar Selatan.

1.3.2 Khusus

1. Mengidentifikasi pemberian ASI (status ASIeksklusif, durasi pemberian

ASI, pemberian ASI dua tahun, status inisiasi menyusu dini, pemberian

kolostrum), dan lingkungan fisik rumah (jenis lantai, keadaan dinding, luas

ventilasi, kelembaban, pencahayaan alamidan dan kepadatan hunian).

2. Mengetahui pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor

risiko kejadian pneumonia pada balita.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi pemegang kebijakan

Hasil studi ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam menyusun

tata laksana pencegahan dan penanggulangan pneumonia pada balitadi wilayah

Puskesmas II Denpasar Selatan.

1.4.2 Manfaat bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada

masyarakat tentang faktor risiko pneumonia sehingga kejadian pneumonia

pada balita bisa dicegah dan ditanggulangi.

Page 23: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

7

1.4.3 Manfaat akademik

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang

faktor riwayat pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah dengan kejadian

pneumonia pada balita

2. Dapat menjadi acuan dan data dasar bagi penelitian berikutnya, terutama

yang berkaitan dengan pneumonia pada balita.

Page 24: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

(alveoli) pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut

pada bronkus yang disebut bronkopneumonia (Depkes RI, 2002). Faktor risiko

sangat besar pengaruhnya terhadap morbiditas maupun mortalitas pneumonia

pada balita.

2.1 Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita

Faktor risiko adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap

munculnya kondisi sehat atau sakit (Stanhope dan Lancester, 2002).Faktor risiko

pneumonia sudah diketahui, namun untuk menekan kematian oleh karena

pneumonia masih belum bisa dilaksanakan secara maksimal untuk memberantas

faktor risiko tersebut.

2.1.1 Faktor sosial ekonomi dan demografi

Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu yang yang berkontribusi

utama dalam penyakit pernapasan.Hubungan korelasi negatif antara status sosial

ekonomi dengan morbiditas saluran pernapasan.Status ekonomi secara umum

yang berhubungan dengan insiden pneumonia diukur dari besarnya rumah tangga,

banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar (Machmud,

2006).Masyarakat miskin juga identik dengan ketidakmampuannya dalam

pemenuhan kebutuhan dasar.Balita yang hidup dalam keluarga dengan sosial

ekonomi rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup

Page 25: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

9

sehingga lebih rentan terkena penyakit. Sosial ekonomi yang rendah dapat

memengaruhi upaya pencarian pengobatan. Upah Minimum Kabupaten/Kota

(UMK) untuk Kota Denpasar tahun 2014 adalah Rp 1.656.900,- (Depnaker,

2013). Kejadian pneumonia 1,81 kali lebih tinggi pada daerah kabupaten/kota

yang penduduknya miskin (Trihono dan Gitawati, 2009). Status ekonomi

berhubungan dengan pneumonia balita dimana anak yang berasal dari status sosial

ekonomi rendah mempunyai risiko terkena pneumonia sebesar 2,39 kali (95% CI :

1,39 – 4,09) dibandingkan anak yang berasal dari status sosial ekonomi tinggi.

Anak dari status sosial ekonomi sedang mempunyai risiko terkena pneumonia

2,15 kali (95% CI : 1,25 – 3,70) dibandingkan dari anak dari status sosial ekonomi

tinggi (Hananto, 2004).

Negara-negara berkembang memiliki gambaran tentang adanya perbedaan

tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu

(Machmud, 2006). Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh

melalui jenjang pendidikan. Peran seorang ibu penting dalam pemeliharaan

kesehatan balita selalu berusaha agar anaknya tetap sehat. Ibu yang berpendidikan

baik akan mempunyai wawasan yang cukup dalam pemeliharaan balita (Depkes

RI, 2003). Pendidikan ibu berhubungan bermakna dengan kejadian pneumonia

pada balita (OR : 5,31; 95% CI : 2,18 – 12,98) ini berarti balita yang ibunya

memiliki pendidikan rendah mempunyai risiko 5,31 kali untuk terkena pneumonia

dibandingkan balita yang ibunya memiliki pendidikan tinggi (Fanada, dkk., 2012).

Faktor umur ikut berperan dalam penyakit yang diderita oleh anak.Risiko

untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur di bawah dua tahun.Anak

Page 26: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

10

umur di bawah dua tahun lebih besar risikonya terkena pneumonia dibandingkan

yang lebih tua karena status imun/kekebalan anak di bawah dua tahun belum

sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Depkes RI dalam Tantry,

2008). Menurut Depkes risiko untuk terkena pneumonia adalah umur kurang dari

dua tahun. Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan (Ditjen PP&PL) dan Profil Kesehatan Indonesia proporsi kasus

pneumonia pada kelompok umur kurang dari satu tahun dari tahun 2007 sampai

2009 sekitar 35% dari semua kasus pneumonia pada balita (Kemenkes RI, 2010).

Hasil penelitian yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa kasus pneumonia

lebih dominan pada anak kurang dari satu tahun. Umur memiliki hubungan

dengan kejadian pneumonia pada balita (Regina dkk., 2013). Umur balita ≤ 12

bulan berpeluang 4,18 kali terkena pneumonia dibandingkan balita umur > 12

bulan sampai dengan < 60 bulan (Hartati (2011), begitu juga dinyatakan anak ≤12

bulan mempunyai risiko untuk terjadi pneumonia 2,27 kali lebih besar

dibandingkan dengan anak usia >12 bulan (Hananto (2004).

Pedoman P2 ISPA menyebutkan jenis kelamin laki-laki adalah faktor

risiko yang memengaruhi kejadian pneumonia (Depkes RI, 2004). Hal ini

disebabkan diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan

dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara

anak laki-laki dan perempuan (Sunyataningkamto, 2004). Secara umum hampir

semua penelitian menyatakan secara konsisten bahwa jenis kelamin laki-laki lebih

berisiko terkena pneumonia, walaupun ada beberapa yang dinyatakan tidak ada

hubungan yang bermakna.

Page 27: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

11

Jenis kelamin laki-laki lebih besar risiko untuk terkena pneumonia

daripada perempuan (Anwar & Dharmayanti, 2014; Sugihartono & Nurjazuli,

2012; Annah, dkk., 2012). Sebesar 56% penderita pneumonia yang dirawat di RS

adalah laki-laki berdasarkan penelitian di Uruguay tahun 1997-1998 (Machmud,

2006). Jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian

pneumonia pada balita dimana laki-laki memiliki peluang 1,24 kali lebih besar

terkena pneumonia daripada balita perempuan (Hartati, 2011). Hasil yang sama

juga terdapat pada penelitian yang lain bahwa balita laki-laki mempunyai risiko

1,11 kali dibandingkan perempuan untuk terkena pneumonia namun secara

statistik tidak ada hubungan yang bermakna (Herman 2002).

2.1.2 Riwayat penyakit (ISPA)

Infeksi saluran pernapasan atas akut biasa disebut ISPA ringan atau bukan

pneumonia. Infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPA) lebih banyak menyerang

anak karena mekanisme pertahanan tubuhnya masih sangat lemah. Seorang balita

rata-rata mengalami batuk pilek tiga sampai enam kali dalam setahun (Depkes RI,

2002). Penelitian di Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam Semarang,

mendapatkan hubungan yang tidak signifikan antara infeksi saluran pernapasan

dengan kejadian pneumonia (OR : 2,13; 95% CI : 0,78-5,64) (Sugihartono dan

Nurjazuli, 2012).

Keadaan anak saat lahir ikut berperan dalam pertumbuhan dan

perkembangan anak selanjutnya selain riwayat ISPA yang berulang, salah satunya

adalah BBLR. Berat badan lahir rendah ialah keadaan dimana bayi berat badan

kurang dari 2.500 gram (sampai dengan 2.499 gram). Bayi dan balita dengan

Page 28: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

12

BBLR lebih berisiko terhadap kematian bahkan sejak masa awal kehidupannya.

Hal ini disebabkan zat anti kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna

(Molyneux dalam Tantry, 2008). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa bayi 0-4

bulan dengan riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita

pneumonia (Abdullah dalam Tantry, 2008). Penelitian di Sumatera Selatan

mendapatkan hasil bahwa balita yang memiliki riwayat BBLR memiliki risiko

1,90 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan riwayat balita yang lahir

dengan berat badan normal namun secara statistik tidak bermakna (OR : 1,90 ;

95% CI :0,72-4,90) (Herman, 2002).

2.1.3 Pemberian ASI yang kurang memadai

Efektivitas ASI dalam mengendalikan infeksi dapat dibuktikan dengan

berkurangnya kejadian beberapa penyakit spesifik pada bayi yang mendapat ASI

dibanding bayi yang mendapat susu formula. Penelitian oleh WHO membuktikan

bahwa pemberian ASI sampai usia dua tahun dapat menurunkan angka kematian

anak akibat penyakit diare dan infeksi saluran napas akut (Tumbelaka dan

Karyanti, 2008). Air susu ibu sangat besar peranannya dalam pembentukan daya

tahan tubuh bayi dan sebagai imunisasi aktif. Air susu ibu dapat memberi

perlindungan kepada tubuh bayi melalui berbagai zat kekebalan yang ada di

dalamnya serta asupan nutrisi untuk beraktivitas (Roesli, 2005).

Air susu ibu terbukti sebagai minuman sekaligus makanan yang luar biasa

manfaatnya karena seorang ibu yang dalam keadaan kekurangan gizi, maka ASI

tetap mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi dan mampu mengatasi

infeksi melalui komponen sel fagosit dan immunoglobulin (Munasir dan Kurniati,

Page 29: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

13

2008). Imunoglobulin ASI tidak diabsorpsi bayi tetapi berperan memperkuat

sistem imun lokal usus. Air susu ibu juga meningkatkan immunoglobulin A

(sIgA) pada mukosa traktus respiratorius dan kelenjar saliva bayi. Ini disebabkan

faktor pertumbuhan dan hormon sehingga dapat merangsang perkembangan

sistem imun lokal bayi. Hal ini terlihat dari lebih rendahnya penyakit otitis media,

pneumonia, bakteriemia, meningitis dan infeksi traktus urinarius pada bayi yang

mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula (Matondang, dkk,.

2008).

Pemberian ASI yang dianjurkan adalah bayi diberikan ASI saja tanpa

makanan atau minuman tambahan termasuk air putih selama enam bulan, ini

disebut dengan pemberian ASI eksklusif (Matondang, dkk., 2008). Hal ini

disebabkan kandungan dalam ASI yang sudah sebagian besar terdiri dari air

(87,5%) dan walaupun berada di tempat yang mempunyai suhu udara panas bayi

tidak akan dehidrasi karena sudah minum ASI (Hendarto dan Pringgadini, 2008).

Satu bulan pertama ASI mencukupi seluruh kebutuhan nutrisi dan energi bayi,

setelah enam bulan memberikan separuh atau lebih, dan selama tahun kedua

mencukupi 1/3 atau lebih kebutuhan nutrisi bayi (Proverawati dan Rahmawati,

2010).

Kolostrum adalah cairan susu kental yang berwarna kekuning-kuningan

yang dihasilkan oleh sel alveoli payudara ibu dengan jumlah yang tidak terlalu

banyak tetapi kaya zat gizi (Proverawati dan Rahmawati, 2010). Kolostrum

merupakan ASI yang keluar pada saat kelahiran sampai hari ke-4 atau ke-7

(Roesli, 2005). Kolostrum kaya akan zat antibodi terutama sIgA. Kolostrum

Page 30: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

14

memiliki lebih dari 50 proses pendukung perkembangan imunitas termasuk faktor

pertumbuhan dan perbaikan jaringan (Munasir dan Kurniati, 2008). Kolostrum

dapat membunuh kuman dalam jumlah besar karena mengandung sel darah putih

dan protein imunoglobulin.Kolostrum dihasilkan pada saat sistem pertahanan

tubuh bayi paling rendah sehingga dapat dikatakan bayi menerima imunisasi yang

pertama dalam kehidupannya (Roesli, 2005).Banyak zat antibodi dan faktor

imunosupresif terkandung dalam kolostrum yang mencegah terjadinya stimulasi

berlebih akibat masuknya antigen dalam jumlah yang besar (Sumadiono,

2008).Beberapa daerah di Indonesia sengaja membuang kolostrum karena

dianggap dapat berpengaruh tidak baik terhadap kesehatan anak.

Inisiasi menyusu dini adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah

lahir dengan membiarkan kontak kulit bayi ke kulit ibunya, paling tidak selama

satu jam segera setelah lahir (Roesli, 2008). Manfaat IMD bagi bayi adalah

mengkoordinasikan reflek hisap, telan dan napas bayi; meningkatkan kecerdasan;

memenuhi kebutuhan nutrisi bayi karena ASI merupakan makanan dengan

kualitas dan kuantitas yang optimal; memberi kekebalan pasif kepada bayi melalui

kolostrum; meningkatkan bounding attachment antara ibu dan bayi; merangsang

kolostrum segera keluar serta mencegah hipotermi. Manfaat bagi ibu adalah

meningkatkan keberhasilan produksi ASI; merangsang produksi oksitosin dan

prolaktin; dan meningkatkan ikatan batin ibu dan bayi (Sidi, dkk., 2004).

Pemberian ASI saja selama enam bulan tanpa diselingi makanan atau

cairan apapun, misal pisang, bubur susu, biskuit, susu formula (Wiji 2013).

Laporan Expert Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breast

Page 31: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

15

Feeding dalam (Wiji 2013) menyatakan bahwa bayi yang diberikan ASI eksklusif

selama enam bulan memiliki daya perlindungan yang lebih tinggi terhadap

penyakit infeksi dibandingkan bayi yang diberikan ASI eksklusif hanya empat

bulan. World Health Organization (WHO) dan UNICEF merekomendasikan

menyusui setiap kali bayi mau, ASI secara eksklusif selama enam bulan dan

apabila ASI diperah jangan memberikan dengan botol atau dot, menyusui dalam

satu jam pertama setelah bayi dilahirkan(Proverawati dan Rahmawati, 2010).

Hasil penelitian mendapatkan hubungan yang signifikan antara riwayat

pemberian ASI dengan kejadian pneumonia (OR : 8,96; 95% CI: 2,84 – 23,23).

Balita berisiko 8,96 kali lebih besar terkena pneumonia bila mengkonsumsi ASI

tidak eksklusif dibanding dengan balita yang mengkonsumsi ASI

eksklusif(Sugihartono dan Nurjazuli, 2012). Bayi di bawah enam bulan yang tidak

diberi ASI eksklusif berisiko lima kali untuk mengalami kematian akibat

pneumonia dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (UNICEF-WHO,

2006). Bayi yang diberi ASI tidak eksklusif mempunyai risiko terjadinya

pneumonia pada umur 4-24 bulan sebesar 4,89 kali (95% CI : 2,86 - 8,36)

dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (Naim, 2000).

Sebaliknya penelitiandi Puskesmas II Denpasar Selatan menunjukkan hasil tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian

pneumonia pada bayi dan anak balita, tidak memberikan ASI eksklusif bukan

merupakan faktor risiko kejadian pneumonia (OR : 3,51; 95% CI : 0,73 – 16,79)

(Farmani, 2011).

Page 32: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

16

Setelah bayi berumur enam bulan diberikan makanan tambahan dan ASI

diteruskan pemberiannya sampai usia anak dua tahun atau lebih(Wiji 2013).

Menurut penelitian (Heriyana, dkk, 2005) lamanya pemberian ASI berhubungan

dengan kejadian pneumonia (OR : 7,95; 95% CI : 1,78 - 35,48).

Frekuensi menyusui yang semakin sering dapat meningkatkan produksi

ASI, mencegah payudara nyeri serta sakit karena penumpukan dan penggumpalan

ASI, dan meminimalkan kemungkinan bayi menjadi kuning karena proses

pembentukan hati yang belum matur. Bayi yang baru lahir disusui sampai merasa

puas atau bila diperhitungkan dengan waktu sebaiknya setiap dua sampai tiga jam

sekali. Menyusui minimal lima menit pada masing-masing payudara pada hari

pertama setelah melahirkan dan frekuensinya semakin ditingkatkan setiap hari

sehingga dapat meningkatkan produksi ASI yang berkualitas. Frekuensi menyusui

bayi tidak perlu dibatasi dan durasi menyusui kurang lebih 20 menit untuk

masing-masing payudara mencukupi untuk memenuhi kebutuhan bayi

(Proverawati dan Rahmawati, 2010).

Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan belum mampu menerima

makanan karena saluran pencernaan yang belum sempurna dan kekebalan tubuh

pada bayi juga belum sepenuhnya terbentuk. Pemberian makanan tambahan

diberikan ketika bayi sudah mencapai usia enam bulan. Makanan sangat rentan

tercemar kuman, pemberian makanan yang terlalu dini kepada bayi akan

berpotensi menimbulkan infeksi karena bayi belum mampu mencernanya dengan

baik sehingga jika ada kuman yang masuk melalui makanan bayi akan mudah

terinfeksi penyakit (Depkes RI, 2004).

Page 33: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

17

Volume ASI setelah minggu-minggu pertama kurang lebih 450-650 ml,

berkurang sedikit dari sejak minggu pertama kelahiran bayi. Setiap hari sebanyak

600 ml susu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bayi. Jumlah tersebut dapat

dicapai dengan menyusui bayi selama empat sampai enam bulan pertama, oleh

karena itu selama kurun waktu tersebut ASI mampu memenuhi kebutuhan

gizinya. Setelah berumur enam bulan bayi perlu mendapatkan makanan tambahan

karena volume pengeluaran ASI mulai menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi

tidak lagi dapat dipenuhi oleh ASI (Proverawati dan Rahmawati, 2010).

2.1.4 Defisiensi vitamin A

Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi

saluran pernapasan dari infeksi kuman.Vitamin A dapat melindungi tubuh dari

infeksi organisme asing, seperti bakteri patogen. Mekanisme pertahanan ini

termasuk ke dalam sistem imun eksternal, karena sistem imun ini berasal dari luar

tubuh. Vitamin ini akan meningkatkan aktivitas kerja dari sel darah putih dan

antibodi di dalam tubuh sehingga tubuh menjadi lebih resisten terhadap senyawa

toksin maupun terhadap serangan mikroorganisme parasit, seperti bakteri patogen

dan virus (Umardani dalam Setiarsih, 2014).

Program pemberian vitamin A setiap enam bulan untuk balita telah

dilaksanakan di Indonesia. Hasil penelitian di Indramayu menunjukkan

peningkatan risiko kematian pneumonia pada anak yang tidak mendapatkan

vitamin A(Sutrisna B.,1993). Tidak ada perbedaan bermakna insiden dan beratnya

pneumonia antara balita yang mendapatkan vitamin A dengan yang tidak, hanya

Page 34: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

18

waktu untuk sakit lebih lama pada yang tidak mendapatkan vitamin A

(Kartasasmita, 1993).

2.1.5 Pemberian imunisasi yang tidak lengkap

Cara untuk menumbuhkan kekebalan terhadap berbagai macam penyakit

adalah melalui pemberian imunisasi.Pemberian imunisasi dapat menurunkan

risiko untuk terkena pneumonia.Anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi

campak mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami kematian akibat

pneumonia, terutama pada anak yang sedang menderita pneumonia.Cara pertama

vaksinasi membantu mencegah anak-anak dari infeksi yang berkembang langsung

yang menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenzae type b (Hib)

dan cara kedua imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan

pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya campak dan pertussis).

Pemberian imunisasi diupayakan lengkap untuk menghindari faktor yang dapat

meningkatkan mortalitas akibat pneumonia (Djaya, 1999).

Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia

adalah vaksin pertussis (ada dalam DPT), campak, Hib (Haemophilus influenzae

type b) dan Pneumococcus (PCV).Pertussis dan campak telah masuk ke dalam

program vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia.Haemophilus

influenzae type b(Hib) dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO namun

belum semua negara memasukkannya ke dalam program nasional karena

harganya yang mahal.Vaksin Hib dan pneumokokus dapat mencegah kematian

1.075.000 anak setahun(Kemenkes RI, 2010).

Page 35: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

19

Menteri kesehatan Republik Indonesia menyatakan telah memasukkan

vaksin Hib ke dalam program imunisasi dasar yaitu pentavalen mulai tahun 2014,

namun untuk wilayah Bali mulai tahun 2013.Vaksin pentavalen kedudukannya

menggantikan vaksin kombo yang sekarang tidak ada lagi. Pemberian vaksin

pentavalen sama dengan vaksin kombo yaitu pada umur bayi dua bulan, tiga

bulan, empat bulan untuk imunisasi dasar. Untuk imunisasi lanjutan vaksin

pentavalen diberikan pada umur anak paling cepat 18 bulan sampai tiga tahun.

Hasil penelitian mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

anak yang status imunisasi DPT dan campak tidak lengkap dengan yang status

DPT dan campak lengkap. Balita yang status campak dan DPT tidak lengkap

berpeluang sebesar 1,16 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan yang

statusnya lengkap (95% CI: 0,73 – 1,84) (Hananto, 2004).

2.1.6 Paparan asap rokok

Prevalensi masyarakat dengan kelompok umur ≥ 15 tahun yang sudah

melakukan aktivitas merokok setiap hari di Indonesia adalah 28,2%, dimana 1,7%

kelompok umur 5 – 9 tahun sudah pernah merasakan merokok untuk pertama kali

(Riskesdas, 2010). Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011 juga menyatakan

bahwa jumlah orang dewasa yang terpapar asap rokok di dalam rumah sebesar

78,4%, hal ini sangat berdampak pada anak-anak yang tinggal satu rumah dengan

perokok karena anak menjadi perokok pasif sehingga mengalami peningkatan

risiko terkena radang saluran pernapasan, pneumonia, infeksi telinga tengah, asma

serta kelambatan pertumbuhan paru-paru.

Page 36: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

20

Sumber pencemaran udara dapat dikategorikan menjadi alamiah dan

kegiatan manusia (antropogenic).Sumber antropogenic utamanya adalah

kendaraan bermotor, rumah tangga, serta kegiatan lainnya seperti merokok

(Achmadi, 2011). Adanya anggota keluarga yang merokok di dalam ruangan dan

di dekat balita tidak baik untuk kesehatan terutama kesehatan saluran pernapasan.

Merokok pasif yang didapat balita dari kebiasaan orang tuanya dapat mengganggu

pernapasan anak.

Variabel merokok sebagai variabel independent dalam suatu penelitian

mempunyai variasi yang cukup luas dalam kaitannya dengan dampak merokok.

Paparan rokok perlu diidentifikasi selengkapnya dari berbagai segi, antara lain

dari jenis perokok (perokok aktif atau perokok pasif), jumlah rokok yang dihisap

(dalam satu batang, bungkus, atau pak perhari), jenis rokok yang dihisap (keretek,

cerutu atau rokok putih, pakai filter atau tidak), cara menghisap rokok (menghisap

dangkal, di mulut saja atau isap dalam), alasan mulai merokok (sekedar ingin

hebat, ikut-ikutan, kesepian, pelarian, sebagai gaya, meniru orang tua), umur

mulai merokok (sejak umur 10 tahun atau lebih). Berdasarkan hal tersebut jenis

perokok juga dapat dibagi atas perokok ringan jika merokok kurang dari 10

batang per hari, perokok sedang jika menghisap rokok antara 10-20 batang per

hari, perokok berat jika merokok lebih dari 20 batang per hari (Buston, 2007).

Terdapat hubungan antara anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan

merokok dengan pneumonia pada balita dengan OR sebesar 2,70 (Yuwono, 2008),

begitu juga penelitian oleh Sugihartono dan Nurjazuli (2012) dengan OR sebesar

5,74 (95% CI : 1,78 – 18,49).

Page 37: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

21

2.1.7 Faktor lingkungan fisik rumah

Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau

hunian dan sarana pembinaan keluarga. Kontruksi rumah dan lingkungan yang

tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan

berbagai jenis penyakit khususnya penyakit yang berbasis lingkungan. Kondisi

fisik rumah sangat memengaruhi terhadap kejadian pneumonia.

Kelembaban kandungan uap air dipengaruhi oleh sirkulasi udara dan

pencahayaan yang masuk dalam rumah. Kelembaban udara dalam rumah yang

meningkat berpotensi sebagai tempat hidup bakteri-bakteri penyebab penyakit.

Keterkaitan antara kelembaban dan penyakit pneumonia saling berpengaruh

terhadap kejadian pneumonia. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan

pertumbuhan etiologi pneumonia berupa virus, bakteri dan jamur. Faktor etiologi

tersebut dapat tumbuh dengan baik jika kondisi optimal. Penghuni ruangan

biasanya akan mudah menderita sakit infeksi saluran napas karena situasi tersebut

(Notoatmodjo, 2007).

Faktor-faktor kelembaban udara meliputi keadaan bangunan yaitu dinding,

iklim dan cuaca. Air hujan masuk dan meresap melalui pori-pori dinding

sehingga akan mengakibatkan kelembaban udara dalam ruangan. Kelembaban

udara secara menyeluruh dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Kelembaban di dalam

rumah menurut Departemen Pekerjaan Umum dapat disebabkan oleh tiga faktor

yaitu kelembaban yang naik dari tanah (rising damp), merembes melalui dinding

(percolating damp) dan bocor melalui atap (roof leaks) (Dinas Pekerjaan Umum,

2006).

Page 38: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

22

Keputusan Menteri Kesehatan No.829 Tahun 1999 menyatakan syarat-

syarat kelembaban yang memenuhi standar kesehatan adalah tingkat kelembaban

udara dalam rumah yang dianggap baik adalah sebesar 40-70% serta lantai dan

dinding harus kering. Alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban adalah

higrometer, digantung pada papan yang terbuat dari kayu kemudian dapat dilihat

berapa angka kelembaban yang tertera pada alat tersebut kemudian melakukan

pencataan hasil. Higrometer adalah perangkat untuk menentukan kelembaban

atmosfer yang dapat menunjukkan kelembaban relatif (persentase kelembaban di

udara), kelembaban mutlak (jumlah kelembaban) atau keduanya. Beberapa

higrometer standar hanya mampu menginformasikan dua keadaan seperti pada

kondisi udara kering atau basah. Jenis higrometer lainnya merupakan bagian dari

perangkat yang disebut humidistats, yang digunakan untuk mengontrol pelembab

udara atau pengering untuk mengatur kelembaban udara (Keman, 2005).

Tingkat kelembaban berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita

dengan OR sebesar 2,90 dimana balita yang menempati rumah dengan

kelembaban tinggi berisiko 2,90 kali terkena pneumonia dibandingkan balita yang

menempati kondisi rumah dengan kelembaban normal (Yulianti,dkk., 2002).

Tingkat kelembaban berhubungan bermakna dengan kejadian pneumonia.Balita

memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,80 kali lebih besar apabila tinggal

pada rumah yang kelembabannya kurang atau lebih dari syarat yang ditetapkan

dibandingkan yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban memenuhi syarat

(Yuwono, 2008). Sebaliknya dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna

Page 39: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

23

antara kelembaban rumah dengan kejadian pneumonia pada balita (Pramudiyani

dan Prameswari, 2011).

Kurangnya ventilasi berpengaruh terhadap peningkatan kelembaban dalam

ruangan yang merupakan media yang baik untuk tempat hidup bakteri dan

patogen. Fungsi lain ventilasi adalah untuk menjaga ruangan dalam kelembaban

optimum dan membuat ruangan di dalam rumah terhindar dari kontaminasi

bakteri yang dapat membahayakan (Notoatmodjo, 2007). Ventilasi memiliki

fungsi yang penting terutama untuk mengatur O2 yang masuk ke ruangan

sehingga aliran udara dalam rumah tetap segar dan terjaga dengan baik yang

dibutuhkan oleh penghuni. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan meningkatnya

kadar CO2 dan menipisnya kadar O2 yang berarti bahwa kadar racun yang dibawa

oleh O2 meningkat dan berbahaya bagi para penghuninya (Notoatmodjo, 2007).

Ventilasi dapat dibagi menjadi dua, yakni ventilasi alamiah dan ventilasi

buatan.Prinsip kerja ventilasi alamiah adalah terjadinya pertukaran udara secara

alamiah melalui pintu, jendela, lubang angin, maupun lubang-lubang pada dinding

ruangan rumah. Ventilasi buatan berupa pertukaran udara dengan bantuan alat

elektronik seperti kipas angin atau mesin penghisap udara. Kelemahan ventilasi

alamiah yaitu peluang masuknya vektor seperti lalat, nyamuk, dan lainnya lebih

tinggi dibandingkan ventilasi buatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan

No.829 Tahun 1999, luas lubang ventilasi alamiah yang permanen adalah minimal

10% luas lantai (Keman, 2005). Ventilasi diukur dengan menggunakan rollmeter,

dengan kategori dikatakan tidak memenuhi standar yaitu ukuran ventilasi tidak

Page 40: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

24

sesuai dengan standar bangunan nasional, dikatakan standar bila ukuran ventilasi

sesuai dengan dua atau lebih standar bangunan nasional.

Hasil penelitian yang dilakukan di Cilacap menunjukkan terdapat

hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan kejadian pneumonia pada

anak balita (OR : 6,30). Anak balita dengan kondisi ventilasi yang tidak

memenuhi syarat memiliki risiko 6,30 kali terkena pneumonia dibandingkan anak

balita dengan ventilasi yang memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Hasil penelitian

yang sama juga didapatkan adanya hubungan bermakna antara ventilasi dengan

kejadian pneumonia pada balita (OR : 2,91). Hal ini menunjukkan kondisi rumah

balita yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,91 kali

terkena pneumonia dibandingkan balita dengan ventilasi rumah yang memenuhi

syarat (Sinaga, dkk., 2008). Penelitian yang dilakukan di Kota Salatiga

mendapatkan kondisi ventilasi yang buruk memiliki hubungan yang signifikan

terhadap kejadian pneumonia pada balita dengan OR sebesar 21,21 (Siti Zuraidah,

2002) dan penelitian lain juga didapatkan hal yang sama dengan OR sebesar 33,00

(Nurjazali dan Retno Widyaningtyas, 2006).

Kondisi lantai yang lembab menyebabkan pertumbuhan yang cepat dari

bakteri patogen, virus maupun jamur sehingga dapat menimbulkan penyakit pada

penghuninya. Jenis lantai yang baik menurut Kepmenkes Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan adalah yang

kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai dari bahan tanah pada saat musim hujan

akan menjadi lembab oleh karena itu sebaiknya tidak digunakan lagi. Penyebab

pneumonia pada balita sangat bervariasi, mulai dari bakteri Streptococcus

Page 41: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

25

pneumoniae dan Haemophyilus influenza, virus maupun fungi (jamur) (Depkes

RI, 2000). Lantai perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air seperti disemen,

dipasang tegel, keramik, teraso dan lain-lain. Lantai sebaiknya dinaikkan kira-kira

20 cm dari permukaan tanah untuk mencegah air masuk ke dalam rumah.

Beberapa penelitian yang terkait dengan jenis lantai dengan kejadian

pneumonia pada balita. Jenis lantai berhubungan dengan kejadian pneumonia

(Pramudiyani dan Prameswari, 2011). Jenis lantai mempunyai asosiasi yang

signifikan dengan kejadian pneumonia pada balita (Nurjazuli dan Widyaningtyas,

2006). Balita mempunyai risiko menderita pneumonia sebesar 3,90 kali lebih

besar saat tinggal di rumah dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat

dibandingkan dengan yang tinggal di rumah dengan jenis lantai memenuhi syarat

(Yuwono, 2008). Begitu juga penelitian lain dengan OR sebesar 10,53 dan 95%

CI : 2,61– 42,44 (Sugihartono dan Nurjazuli, 2012).

Faktor kelembaban rumah juga dipengaruhi oleh dinding rumah.Fungsi

dari dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap juga untuk

melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan angin dari luar dan juga

sebagai pembatas antara dalam dan luar rumah. Dinding berguna untuk

mempertahankan suhu dalam ruangan, merupakan media bagi proses rising damp

(kelembaban yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu faktor penyebab

kelembaban dalam rumah. Bahan dinding yang baik adalah dinding yang terbuat

dari bahan yang tahan api seperti batu bata atau yang sering disebut tembok.

Dinding dari tembok akan dapat mencegah naiknya kelembaban dari tanah (rising

damp) (Depkes RI, 1994). Dinding dari anyaman bambu yang tahan terhadap

Page 42: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

26

segala cuaca sebenarnya cocok untuk daerah pedesaan, tetapi mudah terbakar dan

tidak dapat menahan lembab, sehingga kelembabannya tinggi.

Salah satu hasil penelitian menyatakan kondisi dinding rumah mempunyai

hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia. Besarnya risiko menderita

pneumonia dapat dilihat dari nilai OR sebesar 2,90 artinya anak balita yang

tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah tidak memenuhi syarat memiliki

risiko terkena pneumonia sebesar 2,90 kali lebih besar dibandingkan anak balita

yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah memenuhi syarat (Yuwono,

2008).

Rumah yang sehat adalah rumah dengan pencahayaan yang cukup.

Pencahayaan yang kurang terutama dari sinar matahari dapat menimbulkan

ketidaknyamanan serta merupakan media yang baik untuk bibit penyakit

berkembang biak. Sebaliknya pencahayaan alami yang berlebihan dapat

menyilaukan mata.Sebagian energi pancaran sinar matahari terdiri atas cahaya

ultraviolet yang pendek tersaring di atmosfer bumi (lapisan ozon) dan polutan

atmosfer, dengan demikian radiasi ultraviolet menjadi terbatas kisarannya yaitu

280-390 nm. Sinar matahari pada keadaan tertentu memiliki kapasitas membunuh

bakteri (Radji, M, 2010).

Cahaya alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam

ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang

terbuka.Cahaya matahari berguna selain untuk penerangan dapat juga untuk

mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk dan membunuh kuman

penyebab penyakit.Pencahayaan alami sangat penting untuk membunuh bakteri-

Page 43: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

27

bakteri patogen yang hidup dalam rumah seperti bakteri TBC. Bakteri

streptococcus pneumoniae memiliki sifat mampu bertahan selama beberapa hari

dalam pembenihan biasa dan mati oleh sinar matahari langsung (Radji, M, 2010).

Keputusan Menteri Republik Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/ 1999

menyatakan pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung

menerangi seluruh ruangan dengan intensitas cahaya minimal 60 lux serta tidak

menyilaukan mata (Keman, 2005). Pencahayaan alami yang memenuhi syarat

yaitu bila cahaya matahari dapat memasuki ruangan sedangkan yang tidak

memenuhi syarat jika matahari tidak mampu memasuki ruangan. Jendela kamar

tidur sebaiknya menghadap ke timur sehingga mendapatkan cahaya matahari yang

optimal ketika pagi hari. Idealnya proporsi jalan masuknya cahaya alami ke dalam

rumah adalah 15-20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan

(Notoatmodjo,2007). Sebaiknya memakai genteng kaca agar dapat mengatur jarak

masuknya cahaya.

Alat yang dipakai untuk mengukur pencahayaan adalah luxmeter. Cara

penggunaannya adalah alat langsung diletakkan pada ruangan yang akan

diperiksa, lihat dan dicatat hasilnya. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah

Indonesia melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPU) telah menetapkan bahwa untuk

kesehatan ruangan, sinar matahari pagi harus masuk ke dalam ruangan minimal

satu jam sehari atau bila penerangan matahari tidak langsung minimal delapan

jam.

Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Sentosa Baru

Kota Medan menunjukkan adanya hubungan antara pencahayaan alami dengan

Page 44: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

28

kejadian pneumonia pada balita (OR : 2,90) dimana balita dengan tingkat

pencahayaan alami yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,90 kali terkena

pneumonia dibandingkan balita dengan tingkat pencahayaan alami yang

memenuhi syarat (Sinaga, dkk., 2008). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada

penelitian lain dengan nilai OR sebesar 22,00 (Wijo Basuki, 2004).

Selain keadaan rumah yang tidak lembab, proporsi antara luas bangunan

dan jumlah penghuni merupakan salah satu syarat rumah sehat. Jumlah penghuni

yang terlalu banyak dalam rumah tentu membuat tidak nyaman yaitu

menimbulkan rasa sesak. Kondisi tersebut dapat mengganggu kesehatan sebagai

akibat kurangnya konsumsi O2 dalam ruangan dan meningkatkan risiko penularan

penyakit bila ada salah satu penghuni yang menderita penyakit infeksi.

Syarat bangunan yang nyaman dan tidak membuat sesak kalau memenuhi

luas 2,5-3 m2/orang (Notoatmodjo, 2007). Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No.829 Tahun 1999 tentang kriteria rumah sehat bahwa

kepadatan hunian yang dianggap baik yaitu luas tempat tidur minimal 8 m2 untuk

dua orang (Keman, 2005). Winslow dan American Public Health Association

(APHA) menyatakan aturan untuk kamar tidur dari segi jumlah yang akan

dibangun dan pengaturan di dalamnya disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin

anak. Ukuran tempat tidur anak usia kurang dari lima tahun minimal 4,5 m2 dan 9

m2

untuk anak yang berumur lebih dari lima tahun. Sleeping density dapat dipakai

untuk menentukan kepadatan hunian, yang dihitung berdasarkan jumlah kamar

tidur yang ada dibagi dengan jumlah penghuni dalam rumah. Hasil yang didapat

dari perhitungan tersebut dikategorikan menjadi tiga, yaitu kategori baik apabila

Page 45: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

29

hasilnya ≥ 0,7, kategori cukup bila kepadatan 0,5 – 0,7, dan kurang apabila

kepadatan < 0,5 (Dinas Pekerjaan Umum, 2006).

Penelitian yang dilakukan di Kota Banjarmasin menunjukkan adanya

hubungan antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita

(OR : 3,06) dimana anak balita dengan tingkat kepadatan tinggi berisiko 3,06 kali

terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita dengan tingkat kepadatan

yang ideal (Yulianti,dkk., 2002). Hasil yang sama mengenai hubungan antara

tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita dengan OR :

6,90 dan OR : 2,70 (Sinaga, dkk., 2008; Yuwono, 2008). Sebaliknya penelitian

yang lain didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan

hunian dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 0,92) yang berarti balita

yang tinggal dalam rumah dengan kondisi tidak padat penghuni mempunyai efek

perlindungan sebesar 0,92 kali terhadap pneumonia (Sudirman, 2003).

Page 46: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

30

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Berdasarkan tinjauan pustaka ada beberapa faktor yang berhubungan

dengan kejadian pneumonia pada balita. Pneumonia sangat berbahaya karena

merupakan salah satu penyebab kematian utama pada balita. Pneumonia pada

balita perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus yaitu dengan

pengobatan dan pencegahan pneumonia. Hal yang dapat dilakukan untuk

mencegah timbulnya pneumonia balita adalah dengan memperkecil faktor risiko

pneumonia pada balita.

Penyebab utama pneumonia pada balita yaitu infeksi oleh mikroorganisme

seperti virus dan bakteri serta dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor tersebut secara

umum dapat dikelompokkan menjadi faktor anak, faktor ibu, faktor lingkungan

dan faktor sosial ekonomi.Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, faktor-faktor

penyebab pneumonia pada balita sebagai berikut.

Daya tahan tubuh yang rendah dapat menyebabkan seorang balita terkena

pneumonia, dimana daya tahan tubuh dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin,

pemberian ASI, status imunisasi, status gizi, riwayat penyakit sebelumnya dan

adanya paparan dengan asap rokok. Anak dengan umur di bawah dua tahun lebih

besar risiko terkena pneumonia karena status kerentanan anak di bawah dua tahun

belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Depkes RI dalam

Tantry, 2008). Jenis kelamin laki-laki lebih rentan terkena pneumonia karena

Page 47: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

31

diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak

perempuan atau adanya perbedaan daya tahan tubuh antara anak laki-laki dan

perempuan (Sunyataningkamto, dkk., 2004).

Air susu ibu mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi dan

mampu mengatasi infeksi melalui komponen sel fagosit dan imunoglobulin

(Munasir dan Kurniati, 2008). Kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas

kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi

granulosit, penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan

mikronutrien (Sunyataningkamto, dkk., 2004). Vitamin A bermanfaat untuk

meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi

kuman.Pemberian imunisasi pneumokokus, Hib, DPT dan campak dapat

menurunkan risiko untuk terkena pneumonia.

Kelembaban udara dalam rumah yang meningkat berpotensi sebagai

tempat hidup bakteri-bakteri penyebab penyakit (Notoatmodjo, 2007).Tingkat

kelembaban rumah berpengaruh terhadap kejadian pneumonia karena dapat

meningkatkan mikroorganisme (Streptococcuspnemoniae &

Hemophylusinfluenzae) di lingkungan rumah. Tingkat kelembaban ini dipengaruhi

oleh luas ventilasi rumah, jenis lantai rumah, kondisi dinding rumah, suhu, tingkat

kepadatan hunian, dan kondisi pencahayaan di dalam rumah. Luas lubang

ventilasi alamiah yang permanen adalah minimal 10% luas lantai (Keman, 2005).

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang

persyaratan kesehatan perumahan menyatakan lantai yang baik adalah kedap air

dan mudah dibersihkan, lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi karena

Page 48: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

32

saat musim hujan akan lembab. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan

jumlah penghuni akan menimbulkan rasa sesak karena kurangnya konsumsi O2

dalam ruangan dan meningkatkan risiko penularan penyakit bila ada salah satu

penghuni yang menderita penyakit infeksi.

Pencahayaan alami sangat penting untuk membunuh bakteri-bakteri

patogen dalam rumah, selain itu bakteri streptococcus pneumoniae memiliki sifat

mampu bertahan selama beberapa hari dalam pembenihan biasa dan mati oleh

sinar matahari langsung (Radji, M, 2010). Tingkat sosial ekonomi turut serta

memengaruhi pencahayaan di dalam rumah. Mikroorganisme tersebut ada pada

lingkungan rumah yang tingkat kelembabannya tidak memenuhi syarat maka

terjadi infeksi (mikroorganisme ini masuk ke dalam tubuh manusia) dan

menyebabkan kejadian pneumonia. Namun tidak semua pasti akan

terjadipneumonia tetapi juga dipengaruhi oleh kuman penyebab (keadaan

keganasan dan jumlah kuman) dan juga oleh daya tahan tubuh seperti yang

dijelaskan di atas.

Page 49: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

33

3.2 Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka konsep penelitian ini sebagai

berikut.

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

Pada penelitian ini yang diteliti sebagai variabel independent adalah

pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah. Variabel lain tetap diambil datanya

namun tidak dimasukkan ke dalam hipotesis dan tidak menutup kemungkinan

variabel tersebut bisa menjadi signifikan karena ikut dianalisis.

Pneumonia pada

balita

1. Faktor Anak :

- Jenis kelamin

- Umur

- Riwayat BBLR

- Riwayat sakit ISPA

- Status gizi

- Status imunisasi

- Status vitamin A

2. Faktor Perilaku :

- Pemberian ASI (Status pemberian

kolostrum, Status ASI eksklusif,

Durasi ASI, Pemberian ASI dua

tahun, Inisiasi menyusu dini)

3. Faktor Lingkungan

- Lingkungan fisik rumah (Lantai,

Dinding, Luas ventilasi,

Pencahayaan alami, Kelembaban,

Kepadatan hunian)

- Paparan asap rokok di dalam rumah 4. Faktor sosio-ekonomi

- Pendidikan ibu

- Penghasilan keluarga

Page 50: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

34

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang dibuat berdasarkan konsep penelitian di atas

sebagai berikut.

3.3.1 Pemberian ASI meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita.

3.3.2 Lingkungan fisik rumah meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada

balita.

Page 51: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

35

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case

control, untuk mempelajari faktor pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah

terhadap kejadian pneumonia pada balita di puskesmas II Denpasar Selatan.

Skema penelitian yang dilakukan sebagai berikut.

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Case Control

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa penelitian ini meneliti dan melihat

hubungan faktor risiko dan penyakit pneumonia pada balita dengan cara

membandingkan kelompok kasus balita yang menderita pneumonia dengan

kelompok kontrol balita yang tidak pneumonia di masa lalu dan saat penelitian.

Terpapar faktor risiko

Penderita

pneumonia Tidak terpapar faktor risiko

Terpapar faktor risiko

Bukan penderita

pneumonia

Tidak terpapar faktor risiko

Page 52: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

36

4.2 Definisi Kasus dan Kontrol

4.2.1 Subyek kasus

Subyek kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah balita yang

terdiagnosis pneumonia oleh dokter puskesmas, berumur 0 - 59 bulan dan tercatat

di register balita sakit pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 di wilayah

kerja puskesmas II Denpasar Selatan.

1. Kriteria inklusi :

a. Balita (0 – 59 bulan) yang mengalami pneumonia pada 01 Januari 2014

sampai 31 Maret 2015 di wilayah kerja puskesmas II Denpasar Selatan

b. Bersedia menjadi responden

2. Kriteria eksklusi

a. Pernah memperbaiki rumah (mengecat tembok, mengganti lantai,

menambahkan ventilasi dll) dari sebelum anak terkena pneumonia sampai

saat penelitian

b. Balita yang sakit berat/kronis atau mengalami kelainan kongenital mayor

c. Data tidak lengkap

4.2.2 Subyek kontrol

Subyek kontrol yang dipakai dalam penelitian ini adalah balita sehat yang

diajak ke puskesmas saat penelitiaan baik untuk imunisasi atau diajak oleh orang

tua tetapi tidak terkena pneumonia di wilayah kerja puskesmas II Denpasar

Selatan.

Page 53: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

37

4.3 Sumber Kasus dan Kontrol

4.3.1 Populasi kasus

Populasi target untuk kasus dalam penelitian ini adalah semua penderita

pneumonia pada balita yang berada di Kota Denpasar.Populasi terjangkaunya

adalah balita yang menderita pneumonia di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar

Selatan pada tanggal 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015.

4.3.2 Populasi kontrol

Populasi target untuk kontrol dalam penelitian ini adalah semua balita

yang tidak menderita pneumonia di Kota Denpasar.Populasi terjangkaunya adalah

balita yang tidak menderita pneumonia serta berdomisili di wilayah kerja

Puskesmas II Denpasar Selatan pada saat penelitian.

4.4 Besar Sampel Kasus dan Kontrol

1.6.1 Jumlah dan besar sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah balita yang mengalami pneumonia

pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 di wilayah kerja Puskesmas II

Denpasar Selatandengan jumlah yang dipakai dihitung berdasarkan rumus pada

buku Sudigdo (2011) sebagai berikut.

Keterangan :

n = ukuran masing-masing sampel dari kedua kelompok sampel

P1 = perkiraan proporsi efek pada kelompok kasus

P2 = perkiraan proporsi efek pada kontrol (dari pustaka)

Page 54: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

38

P2 yang dipergunakan didapatkan dari Riskesdas (2010), dimana untuk proporsi

ibu yang memberikan ASI eksklusif adalah 15,3% dan proporsi penduduk

Indonesia yang memiliki rumah sehat hanya 24,9%.

P = ½ (P1+P2)

Zα = tingkat kemaknaan (1,96 ; dengan menggunakan α = 0,05)

Zβ = power (0,84 ; dengan menggunakan β = 0,20)

Berdasarkan rumus dan data yang telah ditentukan di atas maka sampel

yang diperoleh berdasarkan OR penelitian terdahulu.

Tabel 4.1 Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian

Nama peneliti dan

variabel

Outcome OR P2 P1 n1=n2 2n

Naim, 2000

Pemberian ASI tidak

eksklusif

Kejadian

pneumonia pada

balita

4,89 0,15 0,47 23 46

Mokoginta dkk.,2013

Pemberian ASI tidak

eksklusif

Kejadian

pneumonia pada

balita

4,47 0,15 0,44 27 54

Yuwono, 2008

Kepadatan hunian

Kejadian

pneumonia pada

balita

2,7 0,25 0,48 60 120

Yuwono, 2008

Jenis lantai

Kejadian

pneumonia pada

balita

3,9 0,25 0,57 30 60

Sinaga, dkk., 2008

Ventilasi

Kejadian

pneumonia pada

balita

2,9 0,25 0,50 50 100

Sinaga, dkk., 2008

Pencahayaan alami

rumah

Kejadian

pneumonia pada

balita

2,9 0,25 0,50 50 100

Yulianti, dkk., 2002

Kelembaban rumah

Kejadian

pneumonia pada

balita

2,9 0,25 0,50 50 100

Berdasarkan perhitungan di atas jumlah sampel terbesar yang didapatkan

adalah 120 yang terdiri dari 60 kasus dan 60 kontrol.

Page 55: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

39

4.4.1 Teknik pemilihan sampel dan prosesmatching

1. Pemilihan sampel kasus dan kontrol

Peneliti merekap data kasus pneumonia balita di Puskesmas II Denpasar

Selatan pada periode 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 serta melakukan

pengelompokkan berdasarkan umur dan jenis kelamin. Pemilihan kasus dilakukan

secara total sampling, dengan pertimbangan untuk menghindari kehilangan

sampel karena ada yang pindah atau tidak ditemukannya kasus.

Pemilihan kontrol memakai puskesmas based. Cara memilih kelompok

kontrol adalah balita sehat yang diajak ke puskesmas saat penelitiaan baik untuk

imunisasi atau diajak oleh orang tua tetapi tidak terkena pneumonia di wilayah

kerja puskesmas II Denpasar Selatan.

2. Memiripkan kasus dan kontrol (matching)

Matching yang digunakan adalah jenis frequency matching, dimana hanya

memiripkan dengan variabel umur dan jenis kelamin antara kasus dengan kontrol.

4.5 Metode dan Instrumen untuk Mengukur Variabel Independent (faktor

risiko)

4.5.1 Metode pengumpulan data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer tentang faktor risiko

yang diperoleh dengan wawancara kepada ibu balita dan observasi serta

pengukuran untuk data lingkungan fisik rumah dimana pengukuran menggunakan

digital thermo-hygrometer, rollmeter/meteran digital, luxmeter, alat hitung, dan

alat tulis. Data sekunder yang dipergunakan adalah register balita sakit di wilayah

kerja Puskesmas II Denpasar Selatan periode 01 Januari 2014 sampai 31 Maret

2015.

Page 56: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

40

4.5.2 Instrumen penelitian

Peneliti mempergunakan kuesioner terstruktur untuk mendapatkan data

pola pemberian ASI dan memakai lembar observasi untuk mendapatkan data

tentang lingkungan fisik rumah. Sebelum kuesioner dipakai untuk penelitian telah

dilakukan uji coba terlebih dahulu kepada sebanyak sepuluh ibu balita dengan

tujuan kuesioner yang dipakai dapat dipahami setiap item pertanyaannya.

Pertanyaan yang tidak dimengerti oleh responden saat uji coba dan perlu

ditambahkan sudah dilakukan perbaikan, sehingga kuisioner dikatakan sudah

dapat meminimalkan kesalahan dalam pengumpulan data. Selain itu dengan uji

coba yang dilakukan diharapkan persepsi antara peneliti dengan responden sama

sehingga didapatkan data yang valid.

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar

Selatan, pada bulan Maret sampai Mei 2015. Puskesmas II Denpasar Selatan

dipilih menjadi tempat penelitian karena cakupan pneumonia di puskesmas ini

paling tinggi nomor dua untuk Denpasar pada tahun 2013 dan melanjutkan

penelitian yang pernah ada sebelumnya tentang pneumonia pada balita.

4.7 Identifikasi Variabel Penelitian

4.7.1 Variabel dependent

Variabel dependent pada penelitian ini adalah pneumonia pada balita.

4.7.2 Variabel independent

Variabel independent pada penelitian ini adalah pemberian ASI

(pemberian kolostrum, status ASI eksklusif, durasi pemberian ASI, pemberian

Page 57: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

41

ASI dua tahun, dan status IMD), lingkungan fisik rumah (lantai rumah, dinding,

luas ventilasi, kelembaban, pencahayaan alamidan kepadatan hunian).

Page 58: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

42

4.7.3 Definisi Operasional

Tabel 4.2 Definisi Operasional Penelitian

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara

Pengumpulan

Data

Skala Skala Analisis

1 2 3 4 5 6 7

1 Umur balita Umur balita yang ditanyakan kepada ibu

melalui wawancara berdasarkan tanggal

lahir

Pedoman

wawancara

Wawancara Interval Interval (bulan):

4= 0 – 11

3= 12 – 23

2= 24 – 35

1= 36 – 47

0= 48 – 59

2 Jenis kelamin Jenis kelamin yang dilihat pada sampel saat

penelitian

Pedoman

wawancara

Observasi Nominal Kategori

0= Perempuan

1= Laki-laki

3 Pendidikan

ibu

Pendidikan formal terakhir yang pernah

diikuti oleh ibu balita yang ditanyakan

melalui wawancara

Pedoman

wawancara

Wawancara Ordinal Kategori :

2= Rendah (≤SD)

1= Menengah (SMP,SMA)

0= Tinggi (Diploma/

Sarjana)

4 Penghasilan

keluarga

Penghasilan kotor rata-rata dalam satu bulan

dari orang tua yang ditanyakan melalui

wawancara, berdasarkan UMR Kota

Denpasar tahun 2014.

Pedoman

wawancara

Wawancara Numerik

(dalam rupiah)

Kategori :

0= Tinggi (≥Rp 1.656.900)

1= Rendah (<Rp 1.656.900)

Page 59: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

43

1 2 3 4 5 6 7

5 Berat Badan

Lahir

Berat badan anak waktu lahir yang

ditanyakan melalui wawancara.

Pedoman

wawancara

Wawancara Numerik Kategori :

0= Normal (≥2500)

1= BBLR (<2500)

6 Riwayat sakit

ISPA

berulang

Riwayat panas, batuk, pilek dalam enam

bulan terakhir yang dialami oleh balita,

berapa kali terkena dan kapan terakhir kali

terkenayang ditanyakan melalui wawancara.

Balita yang tidak terkena ISPA dalam enam

bulan terakhir, pada sub variabel baru

frekuensi ISPA berulang dengan 120 sampel

masuk ke dalam kategori 0-1 kali.

Pedoman

wawancara

Wawancara Nominal dan

numerik

Kategori :

ISPA berulang

0= Tidak

1= Ya

Frekuensi ISPA (n=108)

0= 1x

1= >1x

Frekuensi ISPA berulang

(n=120)

0= 0-1x

1= >1x

7 Status gizi Berat badan balita sebelum terkena

pneumonia yang dilihat pada KMS atau

berat badan balita terakhir yang ditanyakan

melalui wawancara bagi yang tidak punya

KMS. Status gizi berdasarkan BB/U dan

pengelompokkan sesuai WHO-2005.

Pedoman

wawancara/

KMS

Wawancara Numerik Kategori :

0= Gizi baik (-2SD s/d 2 SD)

dan gizi lebih (>2SD)

1= Gizi kurang (< -2SD) dan

gizi buruk (< -3SD)

8 Status

imunisasi

Kelengkapan imunisasi DPT Hb

combo/pentavalen, campak, Hib,

pneumokokus yang didapat balita

berdasarkan rekomendasi Kemenkes/IDAI

yang dilihat pada KMS atau ditanyakan

kepada ibu melalui wawancara.

Pedoman

wawancara/

KMS

Wawancara Nominal Kategori :

Status imunisasi dasar

(Kemenkes)

0= Lengkap sesuai umur

1= Tidak lengkap

Status imunisasi Hib dan

Pneumokokus (IDAI)

0= Ya

1= Tidak

Page 60: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

44

1 2 3 4 5 6 7

9 Status

pemberian

vitamin A

Vitamin A yang didapatkan balita setiap

bulan Februari dan Agustus berdasarkan

KMS atau ditanyakan kepada ibu melalui

wawancara.

Pedoman

wawancara/

KMS

Wawancara Nominal Kategori :

0= Dapat

1= Tidakdapat

10 Paparan asap

rokok di

dalam rumah

Paparan asap rokok terhadap balita di dalam

rumah yang ditanyakan kepada ibu melalui

wawancara meliputi adanya anggota

keluarga yang merokok dan dilakukan saat

mengajak atau berdekatan dengan anak,

berapa batang merokok saat mengajak anak,

tempat merokok, berapa batang merokok

setiap hari. Kategori “tidak” pada ada

anggota keluarga yang merokok di rumah

masuk ke dalam kategori “ya” pada sub

variabel baru “tidak terpapar asap rokok”.

Pedoman

wawancara

Wawancara Nominal dan

interval

Kategori :

Ada yang merokok di rumah

0= Tidak

1= Ada

Tempat merokok

0= Luar rumah

1= Dalam rumah

Merokok dekat anak

0= Tidak

1= Ya

Lama merokok (bulan)

0= ≤ 6

1= > 6

Tidak terpapar asap rokok

0= Ya

1= Tidak

Interval :

Rata-rata merokok sehari dan

saat mengajak anak

11 Pemberian

ASI

Pemberian ASI yang dilakukan oleh ibu

kepada balitanya melalui wawancara yang

meliputi a) berapa lama memberikan ASI

saja, ASI + susu formula, atau susu formula

saja, b) apakah saat balita lahir dilakukan

inisiasi menyusu dini, c) apakah

memberikan kolostrum, d) apakah

memberikan ASI sampai umur balita dua

Pedoman

wawancara

Wawancara Interval dan

nominal

Kategori :

Kolostrum

0= Ya

1= Tidak

Pemberian ASI dua tahun

0= Ya, 1= Tidak

Durasi pemberian ASI enam

bulan pertama

0= ≥2 bulan

Page 61: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

45

1 2 3 4 5 6 7

tahun, e) durasi pemberian ASI enam bulan

pertama

1= < 2 bulan

Jenis pemberian

0= ASI

1= ASI + susu formula

2= Formula saja

Status ASI eksklusif

0= Ya

1= Tidak

IMD

0= Ya

1= Tidak

12 Lantai Keadaan lantai

rumah berdasarkan hasil observasi serta

wawancara tentang kebersihan lantai,

dengan asumsi lantai rumah tetap seperti

awal sebelum terkena pneumonia.

Lembar

Observasi

Observasi,

pengukuran dan

wawancara

Interval dan

Nominal

Kategori :

Jenis lantai

0= Bukan tanah

1= Tanah

Ketinggian lantai (cm)

0= ≥20

1= <20

Menyapu dalam sehari (kali)

0= ≥3

1= <3

Mengepel dalam seminggu

(kali)

0= ≥4

1= <4

13 Dinding Keadaan dinding rumah berdasarkan hasil

observasi, dengan asumsi dinding rumah

tidak pernah diperbaiki (jenis dindingnya

tetap, tidak pernah dicat atau dibersihkan)

tetap seperti awal sebelum terkena

pneumonia.

Lembar

observasi

Observasi Nominal Kategori :

Jenis dinding

0= Memenuhi syarat (tidak

mudah terbakar

1= Tidak memenuhi syarat

Page 62: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

46

1 2 3 4 5 6 7

(mudah terbakar)

Keadaan dinding

0= Bersih

1= Berjamur

14 Ventilasi Lubang keluar masuknya udara baik yang

bersifat tetap

maupun sementara (lubang udara kecuali

pintu) dengan

membandingkan luas bidang ventilasi dan

luas lantai, menurutKeputusan Menkes RI

No829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu ≥ 10 %

dari luas lantai. Dengan asumsi keadaan

ventilasi sebelum terkena pneumonia

dengan sekarang sama (tidak pernah

diperbaiki, yang semula tidak ada sekarang

ada, dll)

Rollmeter/

digital meteran

Observasi dan

pengukuran

Rasio (dalam

%)

Kategori :

0= Memenuhi syarat (≥10%

luas lantai)

1= Tidak memenuhi syarat

(<10% luas lantai)

15 Kelembaban Pengukuran menggunakan alat hygrometer

terhadapbanyaknya uap air yangterkandung

dalamrumah pada tempat di

mana penghunimenghabiskan sebagian

waktunya pada sianghari (Notoadmojo,

2007). Dengan asumsi kelembaban rumah

sama dengan dulu sebelum terkena

pneumonia. Menanyakan kepada ibu dimana

anak biasanya beraktivitas pada siang hari,

lalu melakukan pengukuran di ruangan

tersebut dengan mengukur di lima titik yaitu

di setiap sudut ruangan dan di bagian

tengah, lalu hasil masing-masing titik

dijumlahkan dan dibagi lima. Hasil rata-rata

lima titik tersebut yang menjadi hasil akhir

kelembaban.

mini digital

thermo-

hygrometer

Pengukuran Rasio (dalam

%)

Kategori :

0= Memenuhi syarat(40% -

70%)

1= Tidak memenuhi syarat

(<40% atau > 70%)

Page 63: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

47

1 2 3 4 5 6 7

16 Pencahayaan

alami Pengukuran pencahayaan pada ruangan

yang sebagian besar aktivitas balita

dilakukan disana pukul 09.00- 12.00

wita. Pengukuran dilakukan di lima titik

yaitu setiap sudut ruangan dan bagian

tengah lalu hasil tiap titik dijumlahkan

dan dibagi lima. Hasil rata-rata dari lima

titik adalah hasil akhir dari pencahayaan.

Menurut Keputusan Menteri Republik

Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/ 1999

pencahayaan alami dan atau buatan

langsung maupun tidak langsung

menerangi seluruh ruangan dengan

intensitas cahaya minimal 60 lux serta

tidak menyilaukan mata (Keman, 2005).

Luxmeter Pengukuran Rasio (dalam

lux)

Kategori :

0= Memenuhi syarat (60 – 120

lux)

1= Tidak memenuhi syarat

(<60 atau >120 lux)

17 Kepadatan

hunian

Membandingkan antara jumlah penghuni

dengan luas bangunan. Menurut Kepmenkes

RI No:

829/Menkes/VII/1999 bahwa rumah sehat

apabila setiap orang menempati 9 m2 luas

rumah, diukur berdasarkan jumlah orang per

luas rumah. Dengan asumsi jumlah

penghuni masih sama dengan dulu dan

rumah tidak ada diperluas bangunannya.

Lembar

observasi,

rollmeter/

digital 8eteran

Observasi,

wawancara dan

pengukuran

Ordinal Kategori :

0= Memenuhi syarat (≥ 9 m2

/orang dari luas rumah)

1= Tidak memenuhi syarat (<

9 m2/orang dari luas rumah)

18 Kejadian

pneumonia

Balita yang terdiagnosis pneumonia oleh

dokter puskesmas pada periode 01 Januari

2014 sampai 31 Maret 2015

Register

Puskesmas II

Denpasar

Selatan

Dokumentasi Nominal Kategori :

0= Kontrol

1= Kasus

Page 64: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

48

4.8 Prosedur dan Etika Penelitian

Sebelum pelaksanaan penelitian dilakukan, peneliti telah mengajukan

permohonan surat ijin penelitian dari Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Pertama kali surat tersebut dibawa ke Dinas Perijinan Propinsi Bali, ditunggu

sampai ada surat balasan. Surat balasan dari Dinas Perijinan lalu dibawa ke badan

Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Kota

Denpasar. Mendapat balasan dari Kesbangpolinmas Kota Denpasar lalu ke Dinas

Kesehatan Kota Denpasar. Dinas Kesehatan Kota Denpasar melakukan disposisi

ke Puskesmas II Denpasar Selatan sebagai tempat penelitian. Peneliti mengurus

ethical clearance dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

karena penelitian ini melibatkan masyarakat sebagai partisipan.

Langkah-langkah yang peneliti lakukan dalam pengumpulan data sebagai

berikut.

1. Peneliti memastikan alamat rumah sampel kasus di lapangan berdasarkan data

yang telah diberikan oleh pemegang program P2 ISPA Puskesmas II

Denpasar Selatan.

2. Setelah memastikan beberapa alamat sampel kasus, peneliti memulai

pengambilan data dengan kunjungan rumah untuk melakukan wawancara dan

observasi lapangan.

3. Sampel kontrol didapatkan langsung di Puskesmas, dimana kebetulan pada

saat penelitian ada balita sehat yang datang ke Puskesmas. Ibu balita

Page 65: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

49

ditanyakan oleh pewawancara apakah bersedia untuk dijadikan responden

dalam penelitian ini. Apabila setuju baru dilanjutkan ke langkah selanjutnya.

4. Peneliti menjelaskan atau memberikan partisipan untuk membaca lembar

informasi yang mencantumkan tujuan dan cara pengambilan data yang

dilaksanakan.

5. Partisipan yang sudah memahami tentang penjelasan yang diberikan maka

diminta untuk membaca atau dijelaskan tentang isi dari inform consent.

6. Responden yang bersedia untuk berpastisipasi dalam penelitian ini, dimohon

untuk menandatangani inform consent sebagai bukti bahwa telah menyetujui

untuk dijadikan partisipan dalam penelitian ini.

7. Peneliti memulai bertanya dan melakukan observasi saat partisipan telah siap

diwawancara.

8. Saat pelaksanaan wawancara dan observasi rumah dilakukan

pendokumentasian.

9. Bagi responden yang rumahnya belum dilakukan observasi dan pengukuran,

dilakukan perjanjian bahwa akan ada yang melakukan kunjungan rumah

untuk melakukan observasi dan pengukuran lingkungan fisik rumah.

4.9 Pengolahan dan Analisis Data

4.9.1 Pengolahan data

Setelah pengumpulan data selesai, pengolahan data dilakukan dalam

beberapa tahap yaitu meliputi editing, coding, entry, dan tabulating data.

Page 66: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

50

1. Editing

Editing dilakukan untuk melihat kelengkapan, kejelasan, kesalahan, dan

konsistensi data identitas responden dan lingkungan fisik rumah. Mendatangi

kembali rumah responden kalau ada data yang kurang. Kelompok kasus dan

kontrol yang belum dilakukan observasi dan pengukuran terhadap lingkungan

fisik rumah pewawancara melakukan perjanjian untuk melakukan kunjungan

rumah. Hal ini dilakukan karena alat hygrometer dan luxmeter yang dipakai

peneliti hanya ada satu.

2. Coding

Memberikan kode pada masing-masing data untuk memudahkan proses

pengolahan selanjutnya. Semua kode untuk setiap kategori variabel sudah ada

pada skala analisis definisi operasional. Umur balita 0 – 59 bulan dibuat dalam

skala numerik dengan rentang 12 bulan masing-masing kelompok umur.

Pendidikan ibu dibuat tiga kategori yaitu rendah (≤SD), menengah (SMP, SMA),

dan tinggi (diploma/sarjana). Riwayat sakit ISPA berulang menjadi dua yaitu

ISPA berulang (tidak/ya) dan dari jawaban ya pada riwayat ISPA ada sub variabel

frekuensi ISPA dalam enam bulan terakhir dengan 108 sampel.Frekuensi ISPA

dalam enam bulan terakhir memakai median karena data tidak berdistribusi

normal (dengan dua kategori 1 kali dan >1 kali). Setelah dilakukan analisis

bivariat ternyata frekuensi ISPA lebih sensitif bila dipakai untuk mengukur

riwayat ISPA sehingga dibuatkan sub variabel baru untuk dimasukkan kedalam

model, yaitu frekuensi ISPA berulang dimana yang tidak mengalami ISPA

berulang dimasukkan dalam kategori frekuensi 0-1 kali sehingga sampel yang

Page 67: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

51

dianalisis tetap 120. Status imunisasi dibuat berdasarkan rekomendasi Kemenkes

dan IDAI.Berdasarkan Kemenkes dibuat kategori status imunisasi lengkap/tidak

lengkap sesuai umur, sedangkan status imunisasi Hib dan Pneumokokus

berdasarkan IDAI kategori ya/tidak. Balita yang belum mendapatkan imunisasi

karena umurnya belum memenuhi syarat dimasukkan kedalam status imunisasi

lengkap sesuai umur.

Status gizi balita menurut BB/U sesuai kriteria WHO-Anthro 2005 adalah

sebagai berikut. Status gizi baik= -2SD s/d 2 SD, gizi lebih = >2SD, gizi kurang =

< -2SD, dan gizi buruk = < -3SD, namun untuk kebutuhan analisis dibuat dalam

dua kategori yaitu gizi baik dan lebih serta gizi kurang dan buruk. Berdasarkan

beberapa penelitian bahwa balita yang pneumonia lebih besar peluangnya

memiliki faktor risiko status gizi kurang dan buruk, oleh karena itu status gizi

lebih digabungkan ke status gizi baik bukan ke malnutrisi.Sebelumnya telah

dicoba memakai tiga kategori yaitu gizi baik dan lebih menjadi satu kategori

kemudian gizi kurang dipisahkan dengan gizi buruk. Namun dengan tiga kategori

ini ada kolom yang kosong yaitu pada kasus tidak ada yang gizi buruk sehingga

tidak memungkinkan untuk dipakai. Paparan asap rokok yaitu a) ada yang

merokok di rumah (tidak/ada), b) tempat merokok (luar/dalam rumah), c)

merokok dekat anak (tidak/ya), d) lamanya merokok (≤6/>6 bulan). Setelah

dilakukan analisis bivariat ternyata merokok dekat anak lebih sensitif bila dipakai

untuk mengukur paparan asap rokok terhadap pneumonia sehingga dibuatkan sub

variabel baru untuk dimasukkan ke dalam model, yaitu tidak terpapar asap rokok

dengan kategori ya/tidak. Kategori tidak pada sub variabel ada yang merokok di

Page 68: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

52

rumah dimasukkan dalam kategori ya pada sub variabel tidak terpapar asap rokok

sehingga sampel yang dianalisis tetap 120.

Pemberian ASI menjadi enam sub variabel yaitu a) memberikan kolostrum

(ya/tidak), b) jenis pemberian (ASI saja, ASI + susu formula, formula saja), c)

status ASI eksklusif (ya/tidak), d) durasi ASI enam bulan pertama (≥2/<2 bulan),

e) pemberian ASI dua tahun ((≥2/<2 tahun), f) inisiasi menyusu dini (ya/tidak).

Status ASI eksklusif saat analisis bivariat didapatkan hasil yang signifikan tetapi

saat dimasukkan ke dalam model menjadi tidak signifikan, kemudian dicoba

mencari cut off point dari variabel pemberian ASI yang lain yaitu durasi ASI

dicari rata-rata pemberian ASI enam bulan pertama, dan didapatkan rata-rata

pemberian sebanyak dua bulan. Sub variabel durasi akhirnya dibuatkan kategori

pemberian ≥2 /< 2 bulan dan saat dianalisis bivariat dan multivariat didapatkan

hasil signifikan. Awalnya durasi dicoba dengan memakai numerik tetapi tidak

signifikan. Balita yang berumur di bawah enam bulan dan saat penelitian masih

diberikan ASI saja termasuk kedalam status ASI eksklusif, tetapi umur di bawah

enam bulan dan sudah diberikan susu formula atau makanan pendamping lainnya

dikategorikan tidak ASI eksklusif. Sub variabel jenis pemberian ASI untuk

kategori pemberian ASI saja, bisa menjadi status tidak ASI eksklusif karena ada

ibu yang memberikan ASI saja tetapi tidak sampai umur balita enam bulan.

Variabel lantai menjadi empat sub variabel yaitu a) jenis lantai (bukan

tanah/tanah), b) ketinggian lantai (≥20/< 20 cm) pengkategorian berdasarkan

syarat ketinggian minimal lantai dari halaman rumah oleh Dinas Pekerjaan

Umum, c) menyapu dalam sehari (≥3/< 3 kali), d) mengepel dalam seminggu (≥4 /

Page 69: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

53

<4 kali). Sub variabel menyapu dan mengepel dibuat berdasarkan median karena

data tidak berdistribusi normal. Sub variabel ketinggian lantai, menyapu dan

mengepel muncul karena untuk sub variabel jenis lantai tidak memenuhi syarat

untuk dimasukkan dalam model, namun ketinggian lantai, menyapu, dan

mengepel juga tidak signifikan saat analisis bivariat. Dinding rumah dibuat

menjadi dua sub variabel yaitu jenis dinding (tidak mudah terbakar/mudah

terbakar) dan kondisi dinding (bersih/berjamur). Variabel kelembaban dan

pencahayaan alami memakai lima titik saat pengukuran yang bertujuan untuk

mengukur setiap sudut rumah. Lima titik yang dimaksud adalah kedua

sudut/bagian pojok rumah bagian kanan dan kiri serta bagian tengah diukur,

kemudian dicatat hasil dari masing-masing titik pengukuran. Hasil dari masing-

masing titik pengukuran dijumlahkan lalu dibagi lima. Hasil rata-rata tersebutlah

yang menjadi hasil akhir dari pengukuran yang dilakukan.

3. Entry

Seluruh data yang telah diberikan kode kemudian dilanjutkan dengan

memasukkan data-data ke komputer. Peneliti memasukan semua data yang

didapat ke program Microsoft Excel terlebih dahulu sebelum menganalisis data ke

STATA.

4. Tabulating

Proses tabulasi dilakukan dengan mengelompokkan data hasil penelitian

yang serupa dan menjumlahkannya dengan cara teliti dan teratur ke dalam tabel

yang telah disediakan.

Page 70: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

54

4.9.2 Analisis data

Analisis data dilakukan dengan program STATA, meliputi analisis

univariat, bivariat, dan multivariat.

1. Analisis univariat

Analisis univariat ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan

proporsi dari berbagai variabel bebas maupun variabel terikat.

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan regresi logistik untuk menghitung nilai

crude Odds Ratio (OR) dan nilai confidence interval (CI). Hipotesis statistik yang

digunakan yaitu :

a. Ho : OR = 1, jika variabel independent bukan merupakan faktor risiko.

b. Ha : OR > 1, jika variabel independent merupakan faktor risiko dan

OR < 1 sebagai faktor protektif.

Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square dengan menggunakan power

sebesar 80%, dan tingkat kemaknaan (α = 0,05).

3. Analisis multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui peran variabel

pengganggu terhadap hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan

menggunakan uji regresi logistik, dengan melihat hasil analisis bivariat yang

mempunyai kemaknaan statistik (P < 0,25). Untuk uji kemaknaan kaitan antara

variabel yang diteliti terhadap variabel terpengaruh dilihat dari p–value< 0,05.

Selanjutnya untuk memperkirakan besarnya risiko variabel bebas terhadap

variabel terikat dilaksanakan penghitungan adjusted odds ratio (OR).

Page 71: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

55

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas II Denpasar Selatan merupakan salah satu dari 11 puskesmas di

Kota Denpasar yang terletak di Jalan Danau Buyan III Kelurahan Sanur.Wilayah

kerja Puskesmas II Denpasar Selatan terdiri dari dua kelurahan dan dua desa yaitu

Kelurahan Sanur, Kelurahan Renon, Desa Sanur Kauh, dan Desa Sanur Kaja yang

terdiri dari 34 banjar. Kondisi wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan

secara umum merupakan pemukiman penduduk yang cukup padat serta banyak

terdapat tempat-tempat umum yang dipergunakan untuk sekolah, sarana

kesehatan, pertokoan/perdagangan, tempat industri, dan lainnya. Mobilitas

penduduk di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan cukup tinggi. Banyak

penduduk pendatang yang tinggal di rumah kos dan saat suami/keluarga sudah

selesai bekerja atau harus pindah lagi ke tempat lain maka penduduk tersebut

tidak berdomisili lagi di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan. Hal ini

menyulitkan juga bagi petugas puskesmas apabila ada penyakit yang perlu

dilakukan kunjungan rumah.

Wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan cukup tinggi ini mempunyai

jumlah penduduk 53.699 jiwa pada tahun 2014. Jumlah balita di wilayah kerja

Puskesmas II Denpasar Selatan pada tahun 2014 adalah 5.370 orang. Target

penderita pneumonia balita yang dipakai oleh pemegang program adalah 10% dari

populasi balita, sehingga target penderita pneumonia balita di wilayah kerja

Puskesmas II Denpasar Selatan tahun 2014 adalah 537 orang. Jumlah balita di

Page 72: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

56

Kelurahan Sanur 1.678 orang, Desa Sanur Kaja 927 orang, Desa Sanur Kauh

1.465 orang dan Kelurahan Renon 1.300 orang. Pemegang program P2 ISPA

melakukan kunjungan rumah penderita pneumonia balita dalam rangka care

seeking program P2 ISPA apabila ada balita yang mengalami pneumonia. Balita

yang mengalami pneumonia tidak semua melakukan pengobatan ke puskesmas

karena masih ada beberapa fasilitas kesehatan yang ada di Kota Denpasar baik

yang berada di wilayah Puskesmas II Denpasar atau di luar wilayah sehingga

cakupan pneumonia balita tidak 100%.

5.2 Karakteristik Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah 60 balita yang mengalami pneumonia

pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 dan 60 balita sehat yang saat

penelitian datang ke Puskesmas II Denpasar Selatan. Sampel kasus didapatkan

dari 100 total balita yang mengalami pneumonia, sedangkan sampel kontrol dari

balita yang datang ke puskesmas saat penelitian. Rata-rata umur balita adalah 28

bulan dengan standar deviasi (SD) =13,29, rentang 2 – 59 bulan. Median umur

balita 26 bulan dengan Interval Quartil Range (IQR) = 17,5 – 38. Kelompok umur

balita paling banyak pada kelompok kasus yaitu 12 – 23 bulan sebesar 36,7%

sedangkan kelompok kontrol umur 24 – 35 bulan sebesar 31,7%. Berdasarkan

Tabel 5.1 karakteristik ibu dan balita semua sudah komparabel (p>0,05).

Page 73: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

57

Tabel 5.1 Komparabilitas Karakteristik Ibu dan Balita pada Kasus dan Kontrol

Variabel Kasus (N=60)

n (%)

Kontrol (N=60)

n (%)

Nilai p

Umur ibu (tahun)

<20 1 (1,7) 1(1,7) 0,785

20 – 24 7 (11,7) 7(11,7)

25 – 29 17 (28,3) 18 (30)

30 – 34 21 (35) 18 (30)

35 – 39 12 (20) 10 (16,7)

≥40 2(3,3) 6 (10)

Pendidikan ibu

Tinggi (Diploma/sarjana) 13 (21,7) 11 (18,3) 0,834

Menengah (SMP/SMA) 41 (68,3) 44 (73,3)

Rendah (≤SD) 6 (10) 5 (8,3)

Penghasilan (Rupiah)

≥ 1.656.900 50 (83,3) 51 (85) 0,803

<1.656.900 10 (16,7) 9 (15)

Umur balita (bulan)

0 – 11 4 (6,7) 7 (11,7) 0,382

12 – 23 22 (36,7) 14 (23,3)

24 – 35 21 (35) 19 (31,7)

36 – 47 9 (15) 14 (23,3)

48 – 59 4 (6,7) 6 (10)

Jenis kelamin balita

Laki-laki 32 (53,3) 30 (50) 0,715

Perempuan 28 (46,7) 30 (50)

5.3 Analisis Bivariat Faktor Risiko dengan Pneumonia pada Balita

Faktor risiko ditentukan berdasarkan nilai p, nilai OR, dan 95% CI dengan

menggunakan analisis regresi logistik.Karakteristik sosio demografi karena semua

sudah komparabel maka tidak dilakukan analisis bivariat.

Crude OR pemberian ASI diperlihatkan pada Tabel 5.2dimana dapat

diinformasikan bahwa variabel status ASI eksklusif, durasi pemberian ASI, dan

IMD secara statistik memiliki hubungan signifikan dengan batas bawah 95% CI

>1. Variabel yang dimasukkan ke dalam model tidak hanya yang signifikan tetapi

juga yang nilai p<0,25. Semua variabel pemberian ASI masuk ke model kecuali

jenis pemberian karena kalau dikelompokkan kembali menjadi dua kategori akan

menjadi status ASI eksklusif.

Page 74: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

58

Tabel 5.2Crude OR Pemberian ASI pada Kasus dan Kontrol

Variabel Kasus

(n=60)

n (%)

Kontrol

(n=60)

n(%)

Crude

OR

95% CI Nilai p

Kolostrum

Ya 36 (60) 44 (73,3)

Tidak 24 (40) 16 (26,7) 1,83 0,85 – 3,96 0,123

Jenis pemberian

ASI 18 (30) 32 (53,3)

ASI + Susu formula 33 (55) 23 (38,3) 2,55 1,16 – 5,59 0,019

Formula saja 9 (15) 5 (8,3) 3,20 0,93 – 11,02 0,065

p group

0,035

Status ASI Eksklusif

Ya 12 (20) 23 (38,3)

Tidak 48 (80) 37 (61,7) 2,49 1,10 – 5,64 0,029

Durasi ASI (bulan)

≥ 2 17 (28,3) 33 (55)

< 2 43 (71,7) 27 (45) 3,09 1,45 – 6,59 0,004

Pemberian ASI 2 tahun

(tahun)

≥ 2 11 (18,3) 17 (28,3)

< 2 49 (81,7) 43 (71,7) 1,76 0,74 – 4,17 0,198

IMD

Ya 17 (28,3) 32 (53,3)

Tidak 43 (71,7) 28 (46,7) 2,89 1,36 – 6,16 0,006

Informasi yang didapatkan juga dari Tabel 5.2 bahwa sebesar 40%

kelompok kasus dan 26,7% kelompok kontrol tidak memberikan kolostrum pada

balita. Balita yang diberikan susu formula saja semenjak kelahirannya sampai saat

pengumpulan data dilakukan pada kelompok kasus sebesar 15% sedangkan pada

kelompok kontrol 8,3%. Alasan yang dikemukakan oleh ibu kenapa memberikan

susu formula semenjak kelahiran balita adalah semuanya (100%) ibu menjawab

air susu tidak mau keluar. Masih banyak ibu yang tidak memberikan ASI

eksklusif kepada balita yaitu sebesar 80% pada kelompok kasus dan 61,7%

kelompok kontrol. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang

tidak diberikan ASI eksklusif dibandingkan balita yang diberikan ASI eksklusif

dengan OR sebesar 2,49 (95% CI : 1,10 – 5,64) Ibu yang memberikan ASI

Page 75: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

59

eksklusif kurang dari dua bulan pada kelompok kasus adalah 71,7% sedangkan

kelompok kontrol 45%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang

diberikan ASI saja kurang atau sama dengan dua bulan dibandingkan balita yang

diberikan ASI lebih dari dua bulan dengan OR sebesar 3,09 (95% CI : 1,45 –

6,59). Pada kelompok kasus 71,7% ibu tidak melakukan IMD pada balitanya saat

lahir, sedangkan pada kelompok kontrol 46,7%. Risiko terjadinya pneumonia

lebih tinggi pada balita yang tidak dilakukan IMD dibandingkan balita yang

dilakukan IMD dengan OR sebesar 2,89 (95% CI : 1,36 – 6,16). Data yang

didapatkan pada kelompok kasus sebesar 83,3% dan kelompok kontrol 76,7%

tidak memberikan ASI sampai umur anak dua tahun. Secara statistik pemberian

ASI sampai umur dua tahun tidak didapatkan hasil signifikan.

Crude OR lingkungan fisik rumah diperlihatkan pada Tabel 5.3.Informasi

yang dapat disampaikan dari Tabel 5.3 bahwa jenis lantai dan dinding di wilayah

kerja Puskesmas II Denpasar Selatan 100% sudah memenuhi syarat. Untuk

ketinggian lantai yang seharusnya ≥20 cm dari halaman rumah menurut Dinas

Pekerjaan Umum, masih ada 3,3% pada kelompok kasus dan 1,7% pada kontrol

memiliki ketinggian lantai <20 cm dari halaman rumah (seluruhnya yang

memiliki ketinggian <20 cm ini adalah yang tinggal di rumah kos). Pada

penelitian didapatkan 26,7% kelompok kasus dan 20% kelompok kontrol

memiliki dinding dalam kondisi berjamur dan tidak ada yang berlumut. Pada

penelitian juga didapatkan hasil median menyapu tiga kali dalam sehari (IQR : 2 –

3) interval 1 – 14 kali, sedangkan median mengepel empat kali dalam seminggu

(IQR : 3 – 7) interval 1 – 14 kali. Pada kelompok kasus sebesar 43,3% menyapu

Page 76: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

60

<3 kali sehari sedangkan pada kelompok kontrol 41,7%. Untuk frekuensi

mengepel <4 kali dalam seminggu pada kelompok kasus sebesar 46,7%,

sedangkan kelompok kontrol 48,3%.

Tabel 5.3Crude OR Lingkungan Fisik Rumah pada Kasus dan Kontrol

Variabel Kasus

(n=60)

n(%)

Kontrol

(n=60)

n(%)

Crude

OR

95% CI Nilai

p

Jenis lantai

Bukan tanah 60 (100) 60 (100)

Ketinggian lantai

≥ 20 cm 58 (96,7) 59 (98,3)

< 20 cm 2 (3,3) 1 (1,7) 2,03 0,18 – 23,06 0,556

Menyapu lantai dalam sehari (kali)

≥ 3 34 (56,7) 35 (58,3)

< 3 26 (43,3) 25 (41,7) 1,07 0,52 – 2,21 0,854

Mengepel lantai dalam seminggu

(kali)

≥ 4 32 (53,3) 31 (51,7)

< 4 28 (46,7) 29 (48,3) 0,94 0,46 – 1,92 0,855

Jenis dinding

Memenuhi syarat (tidak mudah

terbakar)

60 (100) 60 (100)

Kondisi dinding

Bersih 44 (73,3) 48 (80)

Berjamur 16 (26,7) 12(20) 1,45 0,62 – 3,41 0,389

Luas ventilasi rumah

Memenuhi syarat (≥ 10% dari

luas lantai)

16 (26,7) 28 (46,7)

Tidak memenuhi syarat 44 (73,3) 32 (53,3) 2,41 1,12 – 5,17 0,024

Kelembaban

Memenuhi syarat (40 – 70%) 33 (55) 48 (80)

Tidak memenuhi syarat 27(45) 12 (20) 3,27 1,45 – 7,37 0,004

Pencahayaan alami

Memenuhi syarat (60 – 120 lux) 33 (55) 44 (73,3)

Tidak memenuhi syarat 27(45) 16 (26,7) 2,25 1,05 – 4,84 0,038

Kepadatan hunian

Memenuhi syarat (≥9 m2/orang) 14 (23,3) 28 (46,7)

Tidak memenuhi syarat 46 (76,7) 32 (53,3) 2,88 1,31 – 6,30 0,008

Variabel luas ventilasi, kelembaban rumah, pencahayaan alami dan

kepadatan hunian memiliki hubungan yang signifikan dengan batas bawah 95%

CI >1. Variabel lingkungan fisik rumah yang dimasukkan ke dalam model hanya

Page 77: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

61

empat variabel yang signifikan tersebut, karena variabel yang lain tidak ada

memenuhi syarat untuk p<0,25.

Hasil penelitian didapatkan pada kelompok kasus sebesar 73,3% luas

ventilasi tidak memenuhi syarat sedangkan pada kelompok kontrol 53,3%. Risiko

terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah dengan luas

ventilasi tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 2,41 (95% CI : 1,12 – 5,17).

Kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus ditemukan

45% sedangkan kelompok kontrol 20%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi

pada balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat

dengan OR sebesar 3,27 (95% CI : 1,45 – 7,37). Pencahayaan alami yang tidak

memenuhi syarat pada kelompok kasus sebesar 45%, sedangkan kelompok

kontrol 26,7%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal

di rumah dengan pencahayaan alami tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar

2,25 (95% CI : 1,05-4,84). Kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat

pada kelompok kasus sebesar 76,7%, sedangkan kelompok kontrol 53,3%. Risiko

terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah dengan

kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 2,88 (95% CI : 1,31

– 6,30).

Crude OR riwayat ISPA, riwayat BBLR, status gizi, paparan asap rokok,

status imunisasi dan vitamin A diperlihatkan pada Tabel 5.4.

Page 78: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

62

Tabel 5.4Crude OR Riwayat ISPA, Riwayat BBLR, Status Gizi, Paparan

Asap Rokok, Status Imunisasi dan Vitamin A

pada Kasus dan Kontrol

Variabel Kasus

n (%)

Kontrol

n(%)

Crude

OR

95% CI Nilai p

ISPA berulang

Riwayat ISPA (n=120)

Tidak 4 (6,7) 8 (13,3)

Ya 56 (93,3) 52 (86,7) 2,15 0,61 – 7,58 0,232

Frekuensi (n=108)

1x 8 (14,3) 30 (57,7)

>1x 48 (85,7) 22 (42,3) 8,18 3,23 – 20,71 0,001

Frekuensi ISPA berulang

(n=120)

0 - 1x 12 (20) 38 (63,3)

>1x 48 (80) 22 (36,7) 6,91 3,04 – 15,72 0,001

Riwayat BBLR (n=120)

Normal (≥ 2500 gram) 58 (96,7) 57 (95)

BBLR 2 (3,3) 3 (5) 0,66 0,11 – 4,07 0,650

Status Gizi (n=120)

Baik & lebih 57 (95) 52 (86,7)

Kurang& buruk 3 (5) 8(13,3) 0,34 0,09 – 1,36 0,127

Paparan asap rokok

Ada yang merokok (n=120)

Tidak 26 (43,3) 26 (43,3)

Ada 34 (56,7) 34 (56,7) 1,00 0,49 – 2,06 1,000

Tempat (n=68)

Luar rumah 27 (79,4) 31 (91,2)

Dalam rumah 7 (20,6) 3 (8,8) 2,68 0,63 – 11,39 0,182

Dekat anak (n=68)

Tidak 29 (85,3) 24 (70,6)

Ya 5 (14,7) 10 (29,4) 0,41 0,12 – 1,38 0,150

Lamanya (bulan) (n=68)

≤6 1 (2,9) 0 (0) omitted

>6 33 (97,1) 34 (100)

Tidak terpapar asap rokok

(n=120)

Ya 55 (91,7) 50 (83,3)

Tidak 5 (8,3) 10 (16,7) 0,45 0,15 – 1,42 0,175

Status imunisasi (Kemenkes)

(n=120)

Lengkap 58 (96,7) 60 (100)

Tidak lengkap 2 (3,3) 0 (0) empty 0,154

Status imunisasi pneumokokus

dan Hib(IDAI) (n=120)

Ya 8 (13,3) 15 (25)

Tidak 52 (86,7) 45 (75) 2,17 0,84 – 5,58 0,109

Status Vitamin A (n=120)

Dapat 56 (93,3) 54 (90)

Tidak dapat 4 (6,7) 6 (10) 0,64 0,17 – 2,40 0,512

Page 79: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

63

Kelompok kasus yang pernah mengalami ISPA dalam enam bulan terakhir

sebesar 93,3% dan kelompok kontrol 86,7%. Frekuensi ISPA >1 kali pada jumlah

sampel 108 di kelompok kasus sebesar 85,7% dan 42,3% pada kelompok kontrol.

Frekuensi ISPA berulang >1 kali pada jumlah sampel 120 di kelompok kasus

sebesar 20% dan kontrol 63,3%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada

balita yang mengalami ISPA berulang >1 kali dalam enam bulan dengan OR

sebesar 6,91 (95% CI : 3,04 – 15,72). Riwayat BBLR 3,3% pada kelompok kasus

dan 5% pada kelompok kontrol. Status gizi kelompok kasus masih terdapat 5%

balita yang mengalami gizi kurang dan buruk, sedangkan kelompok kontrol

13,3%. Kelompok kasus yang tidak mendapatkan vitamin A sebesar 6,7% dan

kelompok kontrol 10%.

Kelompok kasus maupun kontrol masing-masing sebesar 56,7% memiliki

anggota keluarga yang merokok. Dari 68 balita yang terpapar asap rokok di

rumah, sebesar 20,6% pada kelompok kasus dan 8,8% kelompok kontrol anggota

keluarga merokok di dalam rumah. Riwayat merokok saat mengajak anak pada

kelompok kasus 14,7% dan kelompok kontrol 29,4%. Anggota keluarga yang

memulai merokok > 6 bulan yang lalu pada kelompok kasus sebesar 97,1% dan

100% pada kontrol. Bapak dari balita adalah anggota keluarga yang paling banyak

merokok pada kedua kelompok, dimana pada kelompok kasus sebesar 46,7% dan

kontrol 53,3%. Rata-rata rokok yang dihisap dua batang per hari pada saat

merokok dekat anak.Rata-rata jumlah rokok yang dihisap oleh anggota keluarga

yang merokok adalah 10 batang per hari.

Page 80: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

64

Status imunisasi balita berdasarkan Kemenkes didapatkan status imunisasi

yang tidak lengkap sesuai umur pada kelompok kasus 3,3% sedangkan pada

kelompok kontrol semuanya lengkap. Imunisasi yang tidak lengkap pada

kelompok kasus ini karena balita yang umur dua bulan sedang sakit sehingga

belum diberikan imunisasi DPT combo/pentabio I oleh pihak puskesmas.Satu

balita umur 11 bulan tidak mendapatkan imunisasi campak karena pada saat umur

sembilan bulan sakit dan sampai saat pengambilan data balita tidak dicarikan

imunisasi karena takut anaknya sakit lagi setelah diimunisasi. Balita yang tidak

mendapatkan imunisasi pneumokokus dan Hib sesuai anjuran Ikatan Dokter Anak

Indonesia (IDAI) sebesar 86,7% pada kelompok kasus dan 75% kelompok

kontrol. Untuk data kelengkapan imunisasi balita ditampilkan pada Tabel 5.5 di

bawah.

Tabel 5.5Kelengkapan Imunisasi berdasarkan Umur pada Kasus dan Kontrol

Vaksin Umur (tahun) Kasus n(%) Kontroln(%)

DPT combo ≤ 1 3 (75) 9 (100)

>1 56 (100) 51 (100)

Hib ≤ 1 2 (50) 8 (88,9)

>1 50 (89,3) 36 (70,6)

Pneumokokus ≤ 1 0 (0) 2 (22,2)

>1 8 (13,3) 13 (25,5)

Campak ≤ 1 1 (25) 5 (55,6)

>1 55 (98,2) 51 (100)

Berdasarkan Tabel 5.5 di atas dapat diinformasikan bahwa satu orang

(25%) balita umur ≤1 tahunyang tidak mendapatkan imunisasi DPT

Combo/pentabio karena sedang sakit. Dari 24 balita yang tidak mendapatkan

imunisasi Hib 4,2% tidak mendapatkan karena sakit dan sisanya 95,8% karena

memang tidak dicarikan pada program pentabio yang ada dan tidak tahu ada

Page 81: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

65

imunisasi pentabio lanjutan. Dari 97 balita yang tidak mendapatkan imunisasi

Pneumokokus.semuanya (100%) mengatakan bahwa tidak tahu tentang imunisasi

tersebut dan tidak mencarikan karena biayanya yang mahal (belum termasuk ke

dalam imunisasi dasar). Dari tujuh balita yang tidak mendapatkan imunisasi

Campak bahwa satu balita (14,3%) umur ≥1 tahun pada kasus yang tidak dapat

imunisasi campak karena waktu umur sembilan bulan sakit dan tidak dicarikan

sampai sekarang, sisanya 85,7% karena belum umur.

5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko yang Berhubungan dengan

Kejadian Pneumonia pada Balita

Analisis multivariat dilakukan secara bersama-sama pada variabel dengan

nilai p < 0,25 pada analisis bivariat yang bertujuan untuk mengetahui variabel

yang paling berpengaruh terhadapkejadian pneumonia pada balita. Variabel yang

dilakukan analisis multivariat tidak hanya variabel independent saja tetapi juga

faktor risiko lain yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita seperti

kerangka berpikir yang telah dibuat. Variabel yang dilakukan analisis multivariat

yaitu pemberian ASI (kolostrum, status ASI eksklusif, durasi ASI, pemberian ASI

dua tahun, IMD), lingkungan fisik rumah (luas ventilasi, pencahayaan alami,

kelembaban, dan kepadatan hunian dalam rumah), frekuensi ISPA berulang, status

gizi, tidak terpapar asap rokok dan status imunisasi pneumokokus dan Hib (IDAI).

Analisis multivariat dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut.

Page 82: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

66

Tabel 5.6Adjusted ORFaktor Risiko Pneumonia

Variabel Adjusted

OR

95% CI Nilai p

Durasi ASI < 2 bulan 5,24 1,96 – 14,01 0,001

Pencahayaan alami tidak memenuhi syarat

(<60atau >120 lux)

2,72 1,05 – 7,00 0,038

Kepadatan hunian tidak memenuhi syarat

(< 9 m2/orang)

3,11 1,18 – 8,19 0,022

Status imunisasi pneumokokus dan Hib (IDAI) 3,68 1,11 – 12,17 0,033

Frekuensi ISPA berulang >1 kali 10,14 3,67 – 28,02 0,0001

Analisis multivariat dilakukan dengan metode backward dengan cara

mengeluarkan variabel secara bertahap yaitu langkah 1; ASI eksklusif, langkah 2;

pemberian ASI dua tahun, langkah 3; kolostrum, langkah 4; tidak terpapar asap

rokok, langkah 5; kelembaban, langkah 6; luas ventilasi rumahdan langkah

7;status gizi, langkah 8; IMD.

Berdasarkan analisis multivariat yang telah dilakukan faktor risiko luas

ventilasi dan kelembaban rumah terbukti signifikan pada analisis bivariat, tetapi

setelah dimasukkan ke dalam model tidak signifikan lagi. Faktor risiko yang

terbukti signifikan serta meningkatkan kejadian pneumonia pada balita yaitu

durasi ASI kurang dari dua bulan, pencahayaan alami, kepadatan hunian, status

imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI serta frekuensi total ISPA

berulang. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang diberikan

ASI kurang dari dua bulan dengan OR sebesar 5,24 (95% CI : 1,96 – 14,01).

Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah

dengan pencahayaan alami tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 2,72 (95%

CI : 1,05 – 7,00). Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang

tinggal di rumah dengan tingkat hunian tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar

3,11 (95% CI : 1,18 – 8,19). Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita

Page 83: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

67

yang tidak mendapatkan imunisasi pneumokokus dan Hib sesuai anjuran IDAI

dengan OR sebesar 3,68 (95% CI : 1,11-12,17). Risiko terjadinya pneumonia

lebih tinggi pada balita yang mengalami ISPA >1 kali dalam enam bulan dengan

OR sebesar 10,14 (95% CI : 3,67-28,02).

Page 84: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

68

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas II Denpasar Selatan Tahun 2015

Variabel independent yang terbukti signifikan dan meningkatkan kejadian

pneumonia pada balita di Puskesmas II Denpasar Selatan yaitu durasi pemberian

ASI kurang dari dua bulan, lingkungan fisik rumah (pencahayaan alami dan

kepadatan hunian). Faktor risiko lainnya yang juga terbukti signifikan dan

meningkatkan kejadian pneumonia adalah status imunisasi Hib dan pneumokokus

sesuai anjuran IDAI serta frekuensi ISPA berulang.

Variabel pemberian ASI yang didapatkan hasil signifikan serta

meningkatkan risiko kejadian pneumonia balita pada analisis multivariat hanya

durasi pemberian ASI kurang dari dua bulan. Tidak memberikan ASI eksklusif

pada penelitian ini tidak sebagai faktor risiko pneumonia balita. Hasil penelitian

terkait durasi ASI yaitu yang dilakukan di Brazil dimana mendapatkan pemberian

ASI tanpa susu formula dapat memberikan proteksi pada balita, khususnya pada

bulan pertama kehidupan (Cesar, dkk.,1999). Demikian juga systematic review

yang dilakukan di USA dinyatakan bahwa balita yang pneumonia lebih besar

peluangnya memiliki faktor risiko pemberian ASI eksklusif kurang dari lima

bulan pertama dibandingkan balita yang tidak pneumonia (Lamberti, dkk., 2013).

Hal ini juga sejalan dengan cakupan pemberian ASI berdasarkan umur, semakin

bertambah umur bayi cakupan pemberian ASI semakin rendah. Umur nol bulan

cakupan pemberian ASI 39,8%, umur satu bulan 32,5%, umur dua bulan 30,7%,

Page 85: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

69

umur tiga bulan 25,2%, umur empat bulan 26,3% dan umur lima bulan 15,3%

(Riskesdas, 2010). Hal ini menunjukkan ASI eksklusif enam bulan masih sangat

sulit dijalankan oleh ibu-ibu yang memiliki bayi. Dalam kaitannya dengan

pneumonia, studi ini mendapatkan pentingnya pemberian ASI setidaknya dalam

dua bulan pertama kehidupan tetapi sangat penting untuk memberikan ASI penuh

dalam enam bulan pertama sesuai dengan kebijakan yang telah diambil oleh

pemerintah terkait hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Hasil penelitian ini juga

sejalan bila dilihat dari cakupan ASI eksklusif. Cakupan ASI eksklusif di Bali

tahun 2013 adalah 69,3% lebih tinggi dari cakupan nasional (54,3%), Kota

Denpasar cakupannya tahun 2012 adalah 68,6% dan Puskesmas II Denpasar

Selatan tahun 2013 sebesar 73,6% dimana sama-sama belum mencapai target

yang ditentukan sebesar 75%. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian yang

dilakukan didapatkan sebagian besar responden yaitu 62,5%, tidak memberikan

ASI eksklusif pada balita.

Pencahayaan alami pada penelitian ini secara statistik terbukti signifikan

serta meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita. Penelitian ini

sependapat dengan penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sentosa

Baru Kota Medan dan wilayah kerja Puskesmas I Banjarnegara dimana balita

dengan kondisi pencahayaan alami yang tidak baik berpeluang menderita

pneumonia dibandingkan balita dengan kondisi pencahayan yang baik (Sinaga,

dkk.,2008;Wijo Basuki, 2004). Pencahayaan alami selain dipengaruhi oleh tata

letak rumah juga dipengaruhi oleh kebiasaan penghuni rumah untuk membuka

jalan masuknya cahaya. Padatnya bangunan dalam suatu lahan juga dapat

Page 86: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

70

mempengaruhi intensitas pencahayaan matahari yang masuk ke dalam ruangan.

Kondisi inilah yang sebagian besar dimiliki oleh sampel sehingga saat peneliti

melakukan observasi dan pengukuran dalam ruangan pencahayaan alami yang

diperoleh kurang atau minim. Cahaya matahari selain untuk penerangan dapat

juga untukmembunuh bakteri-bakteri patogen yang hidup dalam rumah, seperti

bakteri streptococcus pneumoniae dimanamemiliki sifat mampu bertahan selama

beberapa hari dalam pembenihan biasa dan mati oleh sinar matahari langsung

(Radji, M, 2010). Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah Indonesia melalui

dinas pekerjaan umum telah menetapkan bahwa untuk kesehatan ruangan, sinar

matahari pagi harus masuk ke dalam ruangan minimal satu jam sehari atau bila

penerangan matahari tidak langsung minimal delapan jam (Dinas Pekerjaan

Umum, 2006).

Variabel lingkungan fisik rumah yang didapatkan hasil signifikan dan

meningkatkan risiko kejadian pneumonia balita pada penelitian ini selain

pencahayaan alami adalah kepadatan hunian rumah. Penelitian ini sependapat

dengan penelitian yang dilakukan oleh (Yulianti, dkk.,2000; Yuwono, 2008;

Sinaga, dkk., 2008) dinyatakan balita yang berada dalam tingkat kepadatan hunian

yang tidak memenuhi syaratberisiko lebih tinggi menderita pneumonia

dibandingkan dengan balita yang tinggal pada kepadatan hunian yang memenuhi

syarat. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Depkes RI bahwa semakin banyak

penghuni dalam ruangan maka risiko untuk terjadinya penularan penyakit akan

lebih cepat (Depkes RI, 2000). Saat penelitian ditemukan sebagian besar dalam

satu kamar tidur ditempati oleh tiga sampai empat orang yaitu oleh kedua orang

Page 87: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

71

tua dengan satu dan atau dua anaknya tetapi dalam kamar tersebut ditambahkan

satu tempat tidur lagi. Hal ini bertentangan dengan Kepmenkes RI nomor

829/Menkes/SK/VII/1999 bahwa satu kamar tidur sebaiknya tidak lebih dari dua

orang kecuali anak dibawah lima tahun. Kepadatan hunian dalam rumah yang

tinggi dapat meningkatkan paparan dan risiko penularan antar anggota keluarga

terutama penyakit dengan media penularan udara. Perbandingan antara jumlah

penghuni dengan luas lantai yang tidak ideal terutama pada tempat tinggal

kontrakan atau kos yang pada umumnya kurang memiliki halaman akan

memperpanjang paparan balita dengan kondisi fisik maupun daya tahan tubuh

yang tidak baik.

Imunisasi yang dapat mencegah untuk terjadinya pneumonia adalah

Pertussis yang terdapat dalam imunisasi DPT Combo 1-3 (sekarang telah diganti

menjadi Pentabio 1-3), Hib (sekarang sudah termasuk ke dalam imunisasi dasar

yaitu di Pentabio), campak, dan pneumokokus.Status imunisasi yang dipakai

dalam penelitian ini selain imunisasi dasar (DPT dan campak) adalah pemberian

imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI.Berdasarkan hasil analisis

multivariat didapatkan imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI

terbukti signifikan serta meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada

balita.Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Annah, dkk. (2012) di

RSUD Salewangan, Maros, Makassar, Yafanita (2012) di RSUD Dr. Soetomo

Surabaya dan Fanada (2012) di Puskesmas Kenten Palembang yang menyatakan

anak dengan status imunisasi tidak lengkap berpeluang menderita pneumonia

lebih besar daripada anak dengan status imunisasi lengkap. Namun penelitian lain

Page 88: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

72

menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara anak yang status imunisasi DPT

dan campak tidak lengkap dengan yang status imunisasinya lengkap (Hananto,

2004),.Namun penelitian-penelitian tersebutbelum memakai pemberian imunisasi

Hib dan Pneumokokus,yang dipakai adalah kelengkapan imunisasi DPT dan

campak atau imunisasi dasar. Hal ini dikarenakan untuk kedua vaksin tersebut

belum masuk ke program imunisasi dasar di Indonesia, tetapi untuk imunisasi Hib

semenjak tahun 2013 mulai dimasukkan kedalam imunisasi dasar pada Pentabio

(gabungan antara DPT-Hb dan Hib) untuk empat daerah di Indonesia yaitu Jawa

Barat, Yogyakarta, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Untuk seluruh wilayah

Indonesia baru diberlakukan mulai tahun 2014.Hasil penelitian di Gambia

(Afrika), dengan pemberian imunisasi pneumokokus terjadi penurunan kasus

pneumonia sebesar 37%, pengurangan penderita yang harus dirawat di rumah

sakit sebesar 15%, dan pengurangan kematian pada anak sebesar 16%. Hal ini

membuktikan bahwa vaksin tersebut sangat efektif untuk menurunkan kematian

pada anak karena pneumonia (Kemenkes, 2010).

Faktor risiko frekuensi ISPA >1 kali dalam enam bulan dalam penelitian

ini terbukti signifikan dan meningkatkan kejadian pneumonia pada balita. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Depkes RI bahwa seorang balita rata-rata mengalami

batuk pilek tiga sampai enam kali dalam setahun (Depkes RI, 2002). Hal ini juga

didukung dari cakupan penderita ISPA pada balita di kota Denpasar pada tahun

2013 adalah 26,8%, dan sebesar 7,05% yang pneumonia. Proporsi balita yang

mengalami ISPA di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan tahun 2013 sebesar

63,7% dan 13,54% yang pneumonia (Dinkes Kota Denpasar, 2013). Pada

Page 89: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

73

penelitian ini ditemukan 58,3% balita mengalami ISPA >1 kali dalam enam bulan,

hampir mirip dengan penelitian di Jawa Tengah yang menemukan 42,8%

mengalami satu kali ISPA dalam tiga bulan (Ellyana dan Candra, 2009). Kejadian

ISPA berulang masih tinggi, mengakibatkan sebagian besar menjadi pneumonia

apabila tidak ditanggulangi dengan cepat.

Faktor risiko yang tidak memiliki hubungan signifikan pada penelitian

yaitu riwayat BBLR, status gizi, status vitamin A, paparan asap rokok, pemberian

ASI (kolostrum, status ASI eksklusif, pemberian ASI dua tahun dan IMD),

lingkungan fisik rumah (jenis lantai, kondisi dinding, luas ventilasi dan

kelembaban). Penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian antara lain di

RSUD Salewangan Maros Makassar menyatakan bahwa suplemen vitamin A

tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan pneumonia pada balita (Annah,

dkk., 2012). Penelitian di Denpasar menyatakan tidak ada hubungan yang

bermakna antara status gizi dengan pneumonia pada balita (Farmani,

2013).Penelitian di Sumatera Selatan menyatakan riwayat BBLR secara statistik

tidak signifikan dengan kejadian pneumonia pada balita (Herman, 2002).

Penelitian di Denpasar, Trenggalek, dan Lampung menyatakan tidak ada

hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan pneumonia

pada balita(Farmani, 2011; Sulistyowati, 2010; Yushananta, 2008).

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Yuwono, 2008; Sugihartono

dan Nurjazuli, 2012) yang menyatakan ada hubungan bermakna antara paparan

asap rokok dengan kejadian pneumonia pada balita. Penelitian (Mokoginta, dkk.,

2013; Naim, 2000; Pradhana, 2010; Regina, dkk., 2013; Annah, dkk., 2012) yang

Page 90: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

74

menyatakan balita yang tidak diberikan ASI eksklusif dapat meningkatkan risiko

kejadian pneumonia pada balita. Jenis lantai (Nurjazali dan Retno Widyaningtyas,

2006; Sugihartono dan Nurjazali, 2012), jenis dinding (Yuwono, 2008), ventilasi

(Yuwono, 2008; Sinaga,dkk, 2008), kelembaban (Yuwono, 2008; Yulianti, dkk,

2002; Siti Zuraidah, 2002) mendapatkan hubungan yang bermakna dengan

kejadian pneumonia pada balita.

6.2 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan yang dapat dikemukakan oleh peneliti dalam penelitian ini

sebagai berikut.Secara umum adanya recall bias data karena mengandalkan

ingatan, tetapi hal ini berusaha diminimalkan dengan melihat data di KMS dan

mengulang kembali pertanyaan yang susah diingat responden dan sebisa mungkin

memberi contoh atau penjelasan yang bisa dimengerti. Kemungkinan adanya

measurement error tetapi hal ini sudah berusaha diminimalkan dengan melakukan

uji coba kuesioner sebelum dipakai untuk sampel penelitian dan memberikan

persamaan persepsi/menjelaskan tentang kuesioner yang dipakai kepada surveyor

serta sudah dilakukan kalibrasi terhadap alat-alat yang dipakai pengukuran

lingkungan fisik rumah. Jumlah sampel yang dipakai masih sedikit dan penelitian

ini hanya dilakukan di satu puskesmas sehingga hasil penelitian belum bisa

digeneralisasi ke populasi yang lebih luas terutama untuk penderita pneumonia

balita di rumah sakit yang memiliki karakteristik atau kondisi program yang

berbeda, tetapi sudah bisa menggambarkan seluruh balita yang ada di wilayah

Puskesmas II Denpasar Selatan.

Page 91: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

75

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Dalam penelitian ini variabel yang terbukti sebagai faktor risiko

pneumonia pada balita yaitu balita yang telah diberikan ASI kurang dari dua

bulan, yang telah tinggal di rumah dengan pencahayaan alami dan kepadatan

hunian yang tidak memenuhi syarat, tidak mendapatkan imunisasi Hib serta

pneumokokus sesuai anjuran IDAI dan telah mengalami ISPA lebih atau sama

dengan satu kali dalam enam bulan. Variabel pemberian ASI (kolostrum, status

ASI eksklusif, pemberian ASI dua tahun, IMD), lingkungan fisik rumah (jenis

lantai, dinding, luas ventilasi dan kelembaban), status BBLR, status gizi, status

vitamin A, dan paparan asap rokok tidak terbukti sebagai faktor risiko pneumonia

pada balita di Puskesmas II Denpasar Selatan.

7.2 Saran

Untuk pemegang kebijakan maupun petugas kesehatan di Puskesmas II

Denpasar Selatan agar memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk

meningkatkan pemberian ASI eksklusif, meningkatkan sanitasi lingkungan,

menjaga daya tahan tubuh balita agar tidak mudah terserang ISPA dan

meningkatkan cakupan imunisasi.

Page 92: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

76

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan.Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.

Annah, I., Nawi, N. & Ansar, J., 2012. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Anak

Umur 6-59 Bulan di RSUD Salewangan Maros Tahun 2012, hal.1-14.

Anwar, A. & Dharmayanti, I., 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.

Kesehatan Masyarakat Nasional, 8.

Arifeen, Black & Antelman, 2001. Exclusive Breastfeeding Reduce Acute

Respiratory Infection and Diarrhea Death Among Infants in Dhaka Slums.

Pediatrics.

Basuki, W. 2004. Faktor Ekstrinsik Lingkungan Rumah yang Berhubungan

dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Puskesmas I

Banjarnegara Tahun 2004. Diunduh:

http://eprints.undip.ac.id/20832/1/2150.pdf(Accessed: 2014, Desember 15)

Buston, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Cesar, J.A.,dkk,. 1999. Impact Of Breast Feeding On Admission For Pneumonia

During Postneonatal Period in Brazil: Nested Case­ControlStudy. Papers.

BMJ : Volume 318. Brazil : Departamento Materno Infantil, Fundaça.o

Universidade do Rio Grande, RioGrande do Sol

Depkes RI. 1994. Bina Lingkungan Sehat. Jakarta : Kecakapan Khusus Saka

Bhakti Husada.

Depkes RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1537.A/Menkes/SK/XII/2002 TentangPedoman Pemberantasan Penyakit

Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada

Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan RI .

Depkes RI. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem

Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular.

Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Dinas Pekerjaan Umum. 2006. Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat. Jakarta

: Departemen Pekerjaan Umum RI.

Page 93: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

77

Dinkes. 2013. Profil Kesehatan Kota Denpasar Tahun 2012. Denpasar : Dinas

Kesehatan Kota Denpasar.

Djaja, S. 1999. Prevalensi Pneumonia dan Demam pada Bayi dan Anak Balita.

Buletin Penelitian Kesehatan. Vol.26, No.4

Direktorat Jenderal PP dan PL, Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman

Pemberantasan Penyakit ISPA Untuk Penanggulangan Pneumonia.

Jakarta : Depkes RI.

Ellyana dan Candra. 2013. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi Balita.

Journal of Nutritional and Health. Vol.1, No.1

Fanada, M., Muda, W. & Selatan, B.D.P.S., 2012. Pneumonia pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang Tahun 2012.

Farmani, P.I., 2011. Hubungan Pencahayaan Alami terhadap Kejadian

Pneumonia pada Bayi dan Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas II

Denpasar Selatan Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Udayana

Fonseca, W. et al., 1996. Risk factors for childhood pneumonia among the urban

poor in Fortaleza , Brazil : a case-control study. , 74(2), hal.199–208.

Franks, Taber & Glezen, 1982. Breastfeeding and Respiratory Virus Infection.

Pediatrics.

Hananto M, 2004. "Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian

Pneumonia pada Balita di 4 Propinsi di Indonesia" (tesis). Jakarta :

Universitas Indonesia.

Hartati, S., 2011. "Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian

Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo Jakarta". (tesis).

Jakarta : Universitas Indonesia.

Heriyana, Amiruddin, R. & Ansar, J., 2005. Analisis Faktor Risiko Kejadian

Pneumonia Pada Anak Kurang Dari 1 Tahun di RSD Labuang Baji Kota

Makasar 2005. J Med Nus, 26, hal.149–155.

Herman, 2002. "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia

pada Anak Balita di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan".

Jakarta : Universitas Indonesia.

IDAI, 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia. edisi ke-4. Satgas Imunisasi IDAI

Indah, E. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Aditya Bakti. Bandung. 1991

Page 94: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

78

Indrawani, Y.M. 2008. Penyakit Kurang Gizi. In: Departemen Gizi dan Kesehatan

Masyarakat FKM UI. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Raja

Grafindo Persada.

Kartasasmita, C., 1993. "Morbidity and risk factors for acute respiratory infections

(ARI) in Underfive children, in Cikutra, an urban area in the municipality

of Bandung, Indonesia" (dissertation). PhD disertation Catholic University

of Leuven, Faculty of Medicine.

Keman, S. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal

Kesehatan Kesling, 2 (1): 29-42, Diunduh dari:

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-1-04.pdf (Accessed: 2014,

Desember 15)

Kemenkes RI, 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Buletin

Jendela Epidemiologi, Vol. 3.Jakarta : Kemenkes RI

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI

Kramer, 1988. Infant Feeding Infection and Public Health. Pediatrics.

Kristina, R.H, 2000. Analisis Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia pada Anak Balita

di Kabupaten Dati II Boyolali. Tesis. Yogyakarta : UGM.

Kusharisupeni, 2008. Gizi Dalam Daur Kehidupan (Prinsip-prinsip Dasar). In:

Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI. Gizi dan Kesehatan

Masyarakat. Jakarta :RajaGrafindo Persada.

Lamberti, L.M. dkk., 2013. Breastfeeding for reducing the risk of pneumonia

morbidity and mortality in children under two: a systematic literature

review and meta-analysis. BMC public health, 13 Suppl 3(Suppl 3), p.S18.

Diunduh dari:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3847465&tool

=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed December 12, 2014].

Machmud, R. 2006. Pneumonia Balita di Indonesia dan Peranan Kabupaten

dalam Menanggulanginya. Jakarta : Andalas University Press.

Matondang C.S., Munatsir Z., Sumadiono. 2008. Aspek Imunologi Air Susu Ibu.

In : Akib A.A.P., Munasir Z., Kurniati N (eds). Buku Ajar Alergi-

Imunologi Anak, Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, hal.189-202.

Page 95: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

79

Mokoginta, D., Arsin, A. & Sidik, D., 2013. Faktor Risiko Kejadian Pnemonia

Pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Kota Makassar.

Munasir Z. dan Kurniati N. 2008. Air Susu Ibu dan Kekebalan Tubuh. In : IDAI.

Bedah ASI : Kajian dari Berbagai Sudut Pandang Ilmiah. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI, hal.69-79.

Naim, K., 2000. Hubungan Pemberian ASI Ekslusif terhadap Kejadian pneumonia

pada anak umur 4-24 bulan di Kabupaten Indramayu. Jakarta : Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka

Cipta

Nurjazuli & Widyaningtyas, R., 2006. Faktor Risiko Dominan Kejadian

Pneumonia Balita. (Online). http://eprints.undip. ac.id/16162/1/1290.pdf.

Ogundele, 1999. Complement-Mediated Bactericidal activity of Human Milk to a

Serum-Susceptible Strain of E.Coli 0111. J of App Microb.

Pamungkas, D.R., 2012. Analisis Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di 4

Propinsi di Wilayah Indonesia Timur (Analisis Data Riset Kesehatan

Dasar Tahun 2007). Jakarta : Universitas Indonesia.

Pradhana, A., 2010. Hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian

Pneumonia pada Anak Usia 6 Bulan - 5 Tahundi RSUD DR. Muwardi

Surakarta.

Pramudiyani, N.A. & Prameswari, G.N., 2011. Hubungan Antara Sanitasi Rumah

dan Perilaku dengan Kejadian Pneumonia Balita. Kesehatan Masyarakat,

6(2), hal.1–78.

Proverawati, A. & Rahmawati, E., 2010. Kapita Selekta ASI & Menyusui.

Yogyakarta : Nuha Medika

Radji, M. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan

Kedokteran. Jakarta : EGC

Regina, R., Kun S, K. & Suharyo, 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Miroto

Semarang Tahun 2013.

Roesli, Utami. (2005). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta : Trubus Agriwidya

Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, C.H., 2008. Epidemiology

and Etiology of Childhood Pneumonia. Bull World Health Organ,

hal.408–416.

Page 96: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

80

Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.

Edisi Ke-4. Jakarta: CV. Sagung Seto. hal.146.

Setiarsih, D., 2014. Paper Penyakit Infeksi dan Nutrisi.

Sinaga, L. A., Suhartono., & Yusniar, H. D. (2009). Analisis Kondisi Rumah

Sebagai Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan Tahun 2008. Jurnal Kesehatan

Lingkungan Indonesia, 8 (1): 26-34. Diunduh dari :

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/81092634.pdf

Stanhope, M. dan Lancaster, J. 2002. Community & Public Health Nursing.

Philadelpia : Mosby

Subanada, I.B. 2014. Pneumonia : Dari Pendekatan MTBS hingga Diagnosis

Klinis. Denpasar : Su-Bagian Respirologi , Bagian /SMF Ilmu Kesehatan

Anak, FK Unud /RSUP Sanglah, UKK Respirologi IDAI. Bahan

symposium yang diadakan Dinkes Propinsi Bali (Sabtu, 8 Nopember

2014).

Sudirman, M. 2003. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dan Faktor

Risiko Lainnya dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Kota Bekasi.

Jakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Sugihartono & Nurjazuli, 2012. Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada

Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Kesehatan

Lingkungan Indonesia, 11(1), hal.82–86.

Sulistyowati, R. (2010). Hubungan Antara Rumah Tangga Sehat Dengan

Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Kabupaten Trenggalek. Diunduh dari

: http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=17189

Sumadiono. 2008. Imunologi Mukosa. In : Akib A.A.P., Munasir Z., Kurniati N.

(eds). Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak, Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit

IDAI, hal.94-102.

Sunyataningkamto, 2004. The Role of Indoor Air Pollution and Other Factors in

the Incidence of Pneumonia in Under Five Children. Paediatrica

Indonesiana, 44, hal.1–2.

Sutrisna B., 1993. Risk factors for Pneumonia in children under 5-years of age

and a model for its control. Summary of dissertation University of

Indonesia.

Syam, T.F. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kesakitan Pneumonia

pada Balita Usia 0-59 Bulan di Propinsi NTB (Analisis Data Sekunder

Page 97: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

81

Survei Data Dasar HSS GTZ 2007). (skripsi). Depok : Program Sarjana

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Trihono & Gitawati, R., 2009. Hubungan antara Penyakit Menular dengan

Kemiskinan di Indonesia. Penyakit Menular Indonesia, 1.1, hal.38–42.

Tumbelaka A.R. dan Karyanti M.R. 2008. Air Susu Ibu dan Pengendalian Infeksi.

In : IDAI. Bedah ASI : Kajian dari Berbagai Sudut Pandang Ilmiah.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal.83-97.

UNICEF. 2006. Pneumonia The Forgotten Killer of Children. New York : WHO

Victora, C.G. et al., 1994. Risk Factors for Pneumonia Among Children in a

Brazilian Metropolitan Area. Pediatrics, 93, hal.977–985.

WHO, 2014. Short-term effects of breastfeeding : a systematic review on the

benefits of breastfeeding on diarrhoea and pneumonia mortality.

Wiji, R.N., 2013. ASI dan Panduan Ibu Menyusui. Yogyakarta : Nuha Medika

Yafanita, I.N. 2012. Faktor Risiko Status Gizi dan Status Imunisasi terhadap

Kejadian Pneumonia pada Balita di RSUD DR. Soetomo

Surabaya.http://alumni.unair.ac.id/detail.php?id=44657&faktas=Kedokter

an. Diakses tanggal 5 Maret 2015

Yulianti, I., Djauhar, I. & Suharyanto, S., 2002. Faktor Risiko Kejadian

Pneumonia pada Anak Balita di Kota Banjarmasin. Berita Kedokteran

Masyarakat, XVIII, hal.99–104.

Yushananta, P. (2008).Analisis Pneumonia pada Balita Di Kota Bandar Lampung

Tahun 2007. Diunduh

dari:http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/22084856.pdf

Yuwono, T.A., 2008. Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan

dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di wilayah Kerja

Puskesmas Kawungan Kabupaten Cilacap.

Zuraidah, S. 2002. Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita Kaitannya Dengan

Tipe Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Lord dan Cebongan

Kota Salatiga. Diunduh dari :

http://eprints.undip.ac.id/14108/1/2002MIKM1404.pdf

Page 98: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

82

Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA DAN OBSERVASI

PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH SEBAGAI

FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS

II DENPASAR SELATAN

A. IDENTIFIKASI RESPONDEN

1. Nomor urut responden

2. Nama responden

3. No Hp

4. Nama suami/KK

5. Alamat

B. KETERANGAN PEWAWANCARA

6. Nama pewawancara

7. Tgl/bln/thn wawancara

8. Hasil kunjungan

a. Wawancara selesai

b. Nama responden tidak dikenal

c. Tempat tinggal kosong

d. Wawancara ditolak

e. Responden tidak ada di rumah

f. Nama KK tidak dikenal

g. LAINNYA, Jelaskan__________________

9. Lama wawancara

Jam ____ s/d Jam_____ (___menit)

10. Tanda tangan pewawancara

C. PEMERIKSA

11. Nama pemeriksa

12. Tgl/bln/thn diperiksa

13. Tanda tangan pemeriksa

CATATAN :

LEMBAR PENJELASAN

PASTIKAN TIDAK ADA ORANG LAIN YANG MENDENGARKAN PERCAKAPAN

SELAMA PROSES WAWANCARA BERLANGSUNG

Page 99: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

83

LEMBAR PENJELASAN

Selamat pagi/siang/malam, kami adalah tim peneliti terkait pneumonia

pada balita mahasiswa S2 IKM Universitas Udayana. Kami bermaksud untuk

melaksanakan kegiatan terkait pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah sebagai

faktor risiko pneumonia pada balita. Tujuan kegiatan ini adalah untuk

mengidentifikasi status pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah, mengetahui

hubungan pemberian ASI dengan kejadian pneumonia pada balita dan mengetahui

hubungan riwayat lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia pada

balita.

Saudara terpilih sebagai orang yang akan diwawancarai dalam kegiatan

ini. Oleh karena itu, kami mohon keikutsertaan Saudara dalam kegiatan ini.

Keikutsertaan dalam kegiatan ini bersifat sukarela, dijamin kerahasiaannya dan

Saudara berhak untuk keluar atau mundur kapan pun bila menginginkannya. Kami

akan menghormati keputusan tersebut.Jika Saudara bersedia untuk ikutserta dalam

kegiatan ini, maka kami akan melakukan wawancara singkat dengan

menggunakan kuesioner tentang pola pemberian ASI kepada anak. Wawancara

kurang-lebih 15-20 menit. Saudara berhak untuk tidak menjawab pada pertanyaan

manapun.Observasi dan pengukuran dengan lembar observasi, alat hygrometer,

luxmeter dan meteran tentang lingkungan fisik rumah. Observasi kurang-lebih 10

menit. Saudara berhak untuk menolak bila tidak ingin dilakukan observasi

terhadap lingkungan rumah Saudara.

Jika Saudara bersedia, maka Saudara/pewawancara akan menandatangani

formulir persetujuan yang telah disiapkan. Jika ada masalah, baik terkait

ketidaknyamanan selama proses pelaksanaan kegiatan dalam penelitian ini,

Saudara dapat menghubungi kami yaitu Ni Kadek Ethi Yudiastuti di No HP

085737368914, Komisi Etik (0361) 244534.Apakah Saudara bersedia untuk ikut

serta sebagai responden dalam kegiatan ini?

1. Ya Minta responden untuk membaca pernyataan ikut serta dalam kegiatan

dan pewawancara menandatangai formulir tersebut

2. Tidak Catat pada formulir harian dan lanjut ke responden berikutnya

Alasan: ___________________________________________________

Page 100: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

84

LEMBAR/FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Kode Responden:_________ Nama Petugas Lapangan: __________________

Persetujuan untuk berpartisipasi pada penelitian mengenai faktor risiko

pneumonia pada balita.

Bahwa saya telah membaca lembaran informasi yang diberikan kepada saya (atau

telah dibacakan untuk saya), dan saya telah memahami tujuan penelitian ini dan

sifat pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan pada saya.

Saya menyadari bahwa:

1. Saya akan berpartisipasi dalam studi faktor risiko pneumonia pada balita

2. Saya akan diwawancarai oleh petugas lapangan selama 15-20 menit dan

dilakukan observasi dan pengukuran pada rumah kurang lebih 10 menit

3. Identitas saya akan dilindungi dengan cara menggunakan kode. Kode ini akan

muncul pada kuesioner yang menyimpan semua informasi yang saya berikan,

tetapi nama saya tidak akan disebutkan di sana.

4. Jawaban-jawaban saya akan dijaga kerahasiaannya dengan upaya maksimal

sepanjang waktu.

5. Keikutsertaan dalam studi ini bersifat sukarela dan saya bisa mengundurkan

diri kapanpun saya mau.

6. Saya boleh tidak menjawab suatu pertanyaan, oleh karena alasan apapun.

7. Saya memahami para peneliti adalah orang yang berpengalaman dalam bidang

ini, dan akan melakukan setiap langkah yang bisa dilakukan untuk melindungi

kerahasiaan saya.

Nama [kode]: ____________________________________________

Tanda tangan[kode]:_______________________Tanggal:______/______/______

Pernyataan oleh Petugas Lapangan

Saya________________________________ menyatakan bahwa, sepanjang

pengetahuan saya, responden sepenuhnya mengerti tujuan dan sifat dari

keterlibatan mereka dalam penelitian ini dan secara sukarela menyetujui untuk

berpartisipasi untuk diwawancarai dan dilakukan observasi pada rumahnya.

Tanda tangan: ______________ Tanggal: _____/_______/_______

Page 101: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

85

I. KARAKTERISTIK IBU DAN BALITA

1.

Berapa umur Ibu?

____________ tahun

2.

Apa pendidikan terakhir yang pernah ibu

tempuh?

1. Tidak sekolah

2. Tamat SD/sederajat

3. Tamat SMP/sederajat

4. Tamat SMA/SMK/sederajat

5. Tamat Diploma/Sarjana

3. Siapa nama anak terakhirIbu? (cek dengan

nama yang dipegang yang telah diambil dari

register)

4.

Tanggal/bulan/tahun berapa anak Ibu lahir?

________/________/________

5.

Dimana tempat ibu melahirkan?

1. Di RS pemerintah

2. Di RS swasta

3. Di klinik bersalin

4. Di Bidan

5. Di rumah

6. Lainnya (sebutkan)

__________

6.

Jenis kelaminanak

1. Laki-laki

2. Perempuan

7. Berapa penghasilan secara rata-rata Ibu dan

Bapak dalam satu bulan?

Rp_________________

8. Riwayat sakit ISPA :

a. Apa anak Ibu pernah menderita sakit

panas, batuk, dan pilek dalam 6 bulan

terakhir?

1. Pernah, terakhir kali kena

saat usia_____

2. Tidak

3. Tidak tahu/lupa

b. Berapa kali semenjak 6 bulan yang lalu

sampai saat ini anak Ibu pernah terserang

panas, batuk dan pilek?

________kali

9.

Berapa berat badan anak Ibu sewaktu lahir?

________gram

10.

Berapa berat badan anak pada waktu timbang

terakhir?(cross check dengan KMS)

_________kg

11. Apakah anak Ibu pernah mendapatkan

imunisasi? (cross check dengan KMS)

a. DPT Combo (kandungannya DPT dan

Hb)

1. Ya (DPT combo 1, 2, 3) usia

_______

2. Tidak

3. Lupa

Page 102: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

86

4. Lainnya, jelaskan_________

b. Pentabio (kandungannya DPT, Hb, dan

Hib)

1. Ya (1,2,3, lanjutan)

usia____

2. Tidak

3. Lupa

4. Lainnya,jelaskan_________

c. Hib

1. Ya, usia ____

2. Tidak

3. Lupa

4. Lainnya,jelaskan_________

d. Campak

1. Ya, usia ____

2. Tidak

3. Lupa

4. Lainnya,jelaskan_________

e. Pneumococcus 1. Ya, usia ____

2. Tidak

3. Lupa

4. Lainnya,jelaskan_________

_

12. Apakah anak Ibu sudah mendapatkan vitamin

A dalam satu tahun terakhir?(cross check

dengan KMS)

1. Sudah (lanjut ke pertanyaan

12 a)

2. Tidak

3. Lupa

a. Apakah anak Ibu sudah mendapatkan

vitamin A untuk bulan Februari?

1. Sudah

2. Tidak

3. Lupa

4. Lainnya,

Jelaskan_______________

b. Apakah anak Ibu sudah mendapatkan

vitamin A untuk bulan Agustus?

1. Sudah

2. Tidak

3. Lupa

4. Lainnya,

jelaskan________________

13. Riwayat paparan asap rokok:

a. Apakah ada yang merokok di rumah ini

Bu?

1. Ada, sebutkan

siapa:_________

2. Tidak (lanjutkan ke

pertanyaan14)

b. Sejak kapan ayah/ibu/kakak/paman/dll

merokok?

1. <6 bulan yang lalu

2. ±6 bulan yang lalu

Page 103: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

87

3. >6 bulan

4. Lupa

c. Kalau ada yang merokok, dimana

biasanya merokok?

1. Dalam rumah/ruangan

2. Luar rumah/ruangan

3. Lainnya,Jelaskan________

___

d. Apakah saat merokok di dekat anak? 1. Ya

2. Tidak

3. Kadang –kadang

e. Berapa batang merokok saat mengajak

anak?

______ batang

II. PEMBERIAN ASI

14. Apakah saat melahirkan anak ibu dilakukan

inisiasi menyusu dini atau anak langsung

diberikan menetek pada ibu semasih ibu dalam

proses persalinan atau dalam periode 1 jam

setelah melahirkan?

1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17

a)

2. Tidak(lanjut ke pertanyaan

15)

3. Lupa/tidak tahu(lanjut ke

pertanyaan 15)

15. Kapan ibu meneteki pertama kali anaknya

setelah melahirkan?

________jam setelah

persalinan

16. Apakah Ibu memberikan susu formula

sebelum memberikan ASI pertama kali kepada

anak saat itu?

1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17

c)

2. Tidak (lanjut ke pertanyaan

17 a)

3. Lupa/tidak tahu (lanjut ke

pertanyaan 17 e)

17. Status pemberian ASI :

a. Apakah Ibu memberikan ASI saja

semenjak anak lahir sampai bulan-bulan

pertama kelahirannya?

1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17

b)

2. Tidak (lanjut ke pertanyaan

17 c)

b. Berapa lama Ibu memberikan ASI saja

kepada anak?

_____bulan (lanjut ke

pertanyaan 18)

c. Apakah Ibu memberikan susu formula saja

semenjakanak lahir?

1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17

d)

2. Tidak (lanjut ke pertanyaan

17 e)

Page 104: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

88

d. Sampai saat ini apakah masih memberikan

susu formula? (lanjut ke pertanyaan 18)

1. Masih

2. Tidak

e. Apakah Ibu memberikan ASI plus susu

formula semenjak anak lahir?

1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17

f)

2. Tidak (lanjut ke pertanyaan

17 g)

f. Dari kapan memberikan ASI plus susu

formula pada anak?

_______jam/hari/bulan* (coret

yang tidak dipakai)

g. Kalau begitu apa yang Ibu berikan pada

anak dari semenjak kelahirannya?

1. Air putih

2. Air tajin (air rendaman

beras)

3. Bubur

4. Pisang

5. Lainnya,

Jelaskan_______________

___

18. Apakah ibu memberikan ASI yang pertama

kali keluar yang masih berwarna kuning

(dalam waktu 3 hari pertama melahirkan?)

1. Ya

2. Tidak

3. Lupa

4. Lainnya,

jelaskan_______________

19. Apakah saat ini Ibu masih memberikan ASI

pada anak? (pertanyaan untuk ibu yang

memiliki balita umur kurang dari 2 tahun)

1. Ya

2. Tidak (lanjut ke

pertanyaan 20)

20.

Sampai umur berapa anak diberikan ASI?

(pertanyaan untuk semua responden)

____________hari/bulan/tahun

* (coret yang tidak dipakai)

III. LINGKUNGAN FISIK RUMAH

1. Keadaan Lantai

a. Bahan lantai rumah

1. Tanah

2. Bata merah

3. Semen

4. Tegel PC

5. Tegel teraso/keramik

6. Lainnya, JELASKAN

______________________

Page 105: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

89

b. Ketinggian lantai dari halaman

_________cm

c. Luas lantai kamar tidur

___________ m2

d. Luas lantai ruang keluarga

___________ m2

e. Berapa kali mengepel lantai dalam satu

minggu?

___________kali

f. Berapa kali menyapu lantai dalam sehari?

____________kali

2. Keadaan dinding

a. Bahan dinding rumah

1. Bambu (gedeg)

2. Tembok tanah

3. Papan / triplek

4. Tembok bata merah/batako

tanpa plester

5. Tembok plester

6. Semi permanen

7. Bahan lainnya, JELASKAN

_______________________

b. Kondisi dinding 1. Lumutan

2. Berjamur

3. Bersih

4. Lainnya (JELASKAN)

______________________

3. Ventilasi

a. Terdapat ventilasi yang terbuka

1. Ada

2. Tidak

b. Tempat ventilasi ada yang saling

berhadapan/kedua ventilasi arahnya 1800

1. Ada

2. Tidak

c. Luas ventilasi di kamar tidur

___________ m2

d. Luas ventilasi di ruang keluarga

___________ m2

Page 106: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

90

4. Kelembaban

a. Kamar Tidur

Titik 1, hasilnya ______%

Titik 2, hasilnya ______%

Titik 3, hasilnya ______%

Titik 4, hasilnya ______%

Titik 5, hasilnya ______%

b. Ruang Keluarga

Titik 1, hasilnya ______%

Titik 2, hasilnya ______%

Titik 3, hasilnya ______%

Titik 4, hasilnya ______%

Titik 5, hasilnya ______%

5. Pencahayaan Alami

a. Kamar Tidur

Titik 1, hasilnya _____lux

Titik 2, hasilnya _____lux

Titik 3, hasilnya _____lux

Titik 4, hasilnya _____lux

Titik 5, hasilnya _____lux

b. Ruang Keluarga

Titik 1, hasilnya _____lux

Titik 2, hasilnya _____lux

Titik 3, hasilnya _____lux

Titik 4, hasilnya _____lux

Titik 5, hasilnya _____lux

6. Tingkat Kepadatan Hunian

a. Luas bangunan

___________ m2

b. Jumlah penghuni

____________orang

c. Jumlah kamar tidur

____________kamar

TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI IBU

SEMUA INFORMASI DIPASTIKAN KERAHASIAANNYA DAN HANYA

DIGUNAKAN UNTUK PENINGKATAN KESEHATAN PADA BALITA

TERUTAMA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT PNEUMONIA

Page 107: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

92

Lampiran 2

1. Analisis Bivariat

a. logistic cc i.kel_riwayat_ispa Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 1.51

Prob > chi2 = 0.2195

Log likelihood = -82.423975 Pseudo R2 = 0.0091

----------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-----------------+----------------------------------------------------------------

2.kel_riwayat_~a | 2.153846 1.382642 1.20 0.232 .6120596 7.579414

_cons | .5 .3061862 -1.13 0.258 .1505628 1.660437

----------------------------------------------------------------------------------

b. logistic cc i.riwayat_bblr Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 0.21

Prob > chi2 = 0.6467

Log likelihood = -83.072636 Pseudo R2 = 0.0013

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.riwayat_~r | .6551724 .610443 -0.45 0.650 .1055034 4.068596

_cons | 1.017544 .1897801 0.09 0.926 .7059879 1.466591

------------------------------------------------------------------------------

c. logistic cc i.gizi_new

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 2.59

Prob > chi2 = 0.1077

Log likelihood = -81.883802 Pseudo R2 = 0.0156

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.gizi_new | .3421053 .2407186 -1.52 0.127 .0861432 1.358621

_cons | 1.096154 .2102063 0.48 0.632 .7527297 1.596261

------------------------------------------------------------------------------

d. logistic cc i.kel_status_imunisasi Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 2.67

Prob > chi2 = 0.1022

Log likelihood = -81.842561 Pseudo R2 = 0.0161

--------------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

---------------------+----------------------------------------------------------------

1.kel_status_imuni~i | 2.166667 1.04612 1.60 0.109 .8410291 5.581786

_cons | .5333333 .233492 -1.44 0.151 .226123 1.257919

--------------------------------------------------------------------------------------

e. logistic cc i.vit_a_2klp Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 0.21

Prob > chi2 = 0.6479

Log likelihood = -83.073397 Pseudo R2 = 0.0013

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.vit_a_2klp | 1.232108 .5639732 0.46 0.648 .5023753 3.021827

_cons | .9591837 .1958351 -0.20 0.838 .6428554 1.431167

Page 108: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

93

f. logistic cc i.kel_rokok

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = -0.00

Prob > chi2 = 1.0000

Log likelihood = -83.177662 Pseudo R2 = -0.0000

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.kel_rokok | 1 .3684381 0.00 1.000 .4857188 2.058804

_cons | 1 .2773501 0.00 1.000 .5806563 1.722189

------------------------------------------------------------------------------

g. logistic cc i.asi_eks

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 6.01

Prob > chi2 = 0.0142

Log likelihood = -80.173753 Pseudo R2 = 0.0361

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.asi_eks | 2.769042 1.180738 2.39 0.017 1.200526 6.38686

_cons | .4782609 .1753251 -2.01 0.044 .2331438 .9810831

------------------------------------------------------------------------------

h. logistic cc i.kel_asi_2bln

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 8.90

Prob > chi2 = 0.0029

Log likelihood = -78.72724 Pseudo R2 = 0.0535

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.kel_asi_~n | 3.091503 1.195015 2.92 0.004 1.449237 6.594776

_cons | .5151515 .1537937 -2.22 0.026 .2869569 .9248117

------------------------------------------------------------------------------ i. logistic cc i.kel_asi_2bln

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 8.90

Prob > chi2 = 0.0029

Log likelihood = -78.72724 Pseudo R2 = 0.0535

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.kel_asi_~n | 3.091503 1.195015 2.92 0.004 1.449237 6.594776

_cons | .5151515 .1537937 -2.22 0.026 .2869569 .9248117

------------------------------------------------------------------------------ j. logistic cc i. kategori_ASI_2th

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 1.69

Prob > chi2 = 0.1940

Log likelihood = -82.334001 Pseudo R2 = 0.0101

----------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-----------------+----------------------------------------------------------------

1.kategori_ASI~h | 1.761099 .7744766 1.29 0.198 .7437928 4.169805

_cons | .6470588 .2503813 -1.12 0.261 .303088 1.381398

----------------------------------------------------------------------------------

Page 109: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

94

k. logistic cc i.asi_14 (IMD)

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 7.86

Prob > chi2 = 0.0051

Log likelihood = -79.247959 Pseudo R2 = 0.0472

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

2.asi_14 | 2.890756 1.11601 2.75 0.006 1.356423 6.160668

_cons | .53125 .1594401 -2.11 0.035 .2950083 .9566734

------------------------------------------------------------------------------

l. logistic cc i.vent_pake

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 5.22

Prob > chi2 = 0.0224

Log likelihood = -80.569039 Pseudo R2 = 0.0314

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.vent_pake | 2.40625 .9387199 2.25 0.024 1.12014 5.169032

_cons | .5714286 .1790809 -1.79 0.074 .3091737 1.05614

------------------------------------------------------------------------------

m. logistic cc i.lembab_pake

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 8.71

Prob > chi2 = 0.0032

Log likelihood = -78.820412 Pseudo R2 = 0.0524

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.lembab_p~e | 3.272727 1.355347 2.86 0.004 1.453445 7.369212

_cons | .6875 .1554668 -1.66 0.098 .4413545 1.070922

------------------------------------------------------------------------------

n. logistic cc i.pencahayaanKT

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 4.42

Prob > chi2 = 0.0355

Log likelihood = -80.966514 Pseudo R2 = 0.0266

-------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

--------------+----------------------------------------------------------------

1.pencahaya~T | 2.25 .8788471 2.08 0.038 1.046416 4.837943

_cons | .75 .1727123 -1.25 0.212 .4775776 1.177819

-------------------------------------------------------------------------------

o. logistic cc i.padat_pake

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(1) = 7.28

Prob > chi2 = 0.0070

Log likelihood = -79.53583 Pseudo R2 = 0.0438

------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.padat_pake | 2.875 1.150474 2.64 0.008 1.312251 6.298815

_cons | .5 .1636634 -2.12 0.034 .2632382 .9497102

------------------------------------------------------------------------------

Page 110: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

95

2. Analisis Multivariat

Logistic cc i.analisis_ispa i.kel_status_imunisasi i. kel_asi_2bln

i.pencahayaanKT i.padat_pake

Logistic regression Number of obs = 120

LR chi2(5) = 49.46

Prob > chi2 = 0.0000

Log likelihood = -58.448095 Pseudo R2 = 0.2973

--------------------------------------------------------------------------------------

cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

---------------------+----------------------------------------------------------------

1.analisis_ispa | 10.1441 5.258404 4.47 0.000 3.672617 28.01892

1.kel_status_imuni | 3.678891 2.245697 2.13 0.033 1.112039 12.17066

1.kel_asi_2bln | 5.236493 2.628366 3.30 0.001 1.957919 14.0051

1.pencahayaanKT | 2.718137 1.312729 2.07 0.038 1.054829 7.004232

1.padat_pake | 3.109179 1.535941 2.30 0.022 1.180729 8.187305

_cons | .0106984 .0104818 -4.63 0.000 .001568 .0729936

--------------------------------------------------------------------------------------

Page 111: pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko ...

96

Lampiran 3

SURAT IJIN PENELITIAN