PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

23
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu usaha untuk mengembangkan potensi manusia adalah melalui pendidikan. Tanggung jawab dalam bidang pendidikan seharusnya didukung bersama antara pemerintah, masyarakat, dan para orang tua peserta didik. Kenyataannya, sampai saat ini yang lebih berperan adalah pemerintah dan para orang tua peserta didik. Peran pemerintah sudah banyak seperti menyelenggarakan sarana dan prasarana, ketenagaan, dan kurikulum. Peranserta orang tua peserta didik selama ini masih terbatas pada pemberian sumbangan dana (iuran BP3/Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan). Sedangkan masyarakat selama ini belum optimal berperanserta. Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi menghendaki peranserta masyarakat untuk membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerah termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini tercantum dalam tujuan otonomi daerah yaitu memberdayakan masyarakat, meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan pendidikan termasuk dalam pendidikan inklusif (Inclusive Education). Masyarakat sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan termasuk pendidikan inklusif dapat berperanserta sebagai: (1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan pelaksanaan kebijakan pendidikan di sekolah; (2) pendukung (supporiting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah; (3) pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di sekolah; dan (4) mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di sekolah. Peran serta masyarakat (community based participation) dalam pendidikan inklusif dapat dilakukan secara perseorangan; kelompok; atau kelembagaan seperti yayasan, organisasi masyarakat, dan pihak swasta. Agar peran serta masyarakat luas terhadap pendidikan inklusif lebih berhasil dan tepat guna maka diperlukan suatu pedoman. Untuk itu perlu disusun Buku Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. B. Tujuan Penulisan Buku

Transcript of PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

Page 1: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

 

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu usaha untuk mengembangkan potensi manusia adalah melalui pendidikan. Tanggung jawab dalam bidang pendidikan seharusnya didukung bersama antara pemerintah, masyarakat, dan para orang tua peserta didik. Kenyataannya, sampai saat ini yang lebih berperan adalah pemerintah dan para orang tua peserta didik.

Peran pemerintah sudah banyak seperti menyelenggarakan sarana dan prasarana, ketenagaan, dan kurikulum. Peranserta orang tua peserta didik selama ini masih terbatas pada pemberian sumbangan dana (iuran BP3/Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan). Sedangkan masyarakat selama ini belum optimal berperanserta.

Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi menghendaki peranserta masyarakat untuk membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerah termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini tercantum dalam tujuan otonomi daerah yaitu memberdayakan masyarakat, meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan pendidikan termasuk dalam pendidikan inklusif (Inclusive Education).

Masyarakat sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan termasuk pendidikan inklusif dapat berperanserta sebagai: (1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan pelaksanaan kebijakan pendidikan di sekolah; (2) pendukung (supporiting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah; (3) pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di sekolah; dan (4) mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di sekolah. Peran serta masyarakat (community based participation) dalam pendidikan inklusif dapat dilakukan secara perseorangan; kelompok; atau kelembagaan seperti yayasan, organisasi masyarakat, dan pihak swasta. Agar peran serta masyarakat luas terhadap pendidikan inklusif lebih berhasil dan tepat guna maka diperlukan suatu pedoman. Untuk itu perlu disusun Buku Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.

 

B. Tujuan Penulisan Buku

Setelah membaca buku Pemberdayaan Masyarakat, pembaca (terutama para Pembina dan Pelaksana pendidikan di lapangan) diharapkan mampu memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.

 

II. DESENTRALISASI PENDIDIKAN

A. Arah Perubahan Paradigma Pendidikan

Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya pergeseran pemerintahan dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata kepada daerah. Maksud

Page 2: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

pemberian otonomi ini adalah untuk lebih memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakatnya sehingga lebih leluasa dalam mengatur dan melaksanakan kewenangan atas prakarsa sendiri.

Pemberian otonomi yang luas dan bertanggung jawab dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan, berkeadilan, dan memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah. Hal yang lebih esensial dari otonomi adalah semakin besarnya tanggung jawab daerah untuk mengurus tuntas segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan masyarakat di daerahnya, termasuk dalam bidang pendidikan.

Salah satu tujuan Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran serta masyarakat dalam pendidikan dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, ataupun lembaga seperti yayasan, organisasi masyarakat atau pihak swasta. Peran serta perseorangan, kelompok, dan swasta dalam pendidikan akan lebih efektif karena hasil peranserta masyarakat dapat secara langsung dinikmati oleh masyarakat itu sendiri.

Berkenaan dengan hal tersebut, arah perubahan paradigma pendidikan dari paradigma lama ke paradigma baru meliputi berbagai aspek mendasar di bawah ini.

PARADIGMA LAMA PARADIGMA BARU

1. Sentralistik 1. Desentralistik

2. Kebijakan yang top down 2. Kebijakan yang bottom up

3. Orientasi pengembangan parsial: pendidikan untuk pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan teknologi perakitan

3. Orientasi pengembangan holistic: pendidikan untuk pengembangan kesadaran ,untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, kesadaran hukum

4. Peran pemerintah sangat dominan 4. Meningkatkan peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif;

5. Lemahnya peran institusi nonsekolah

5. Pemberdayaan institusi masyarakat: keluarga, LSM, pesantren, dan dunia usaha.

 

B. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan atau peranserta seseorang dalam suatu aktivitas tertentu atau obyek tertentu. Dengan demikian partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah ikutsertaan atau peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Partisipasi seseorang atau suatu kelompok masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif tergantung pada pengetahuan tentang pendidikan inklusif sehingga terlihat pada (1) pengambilan keputusan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif, (2) reaksi terhadap pendidikan inklusif, (3) sikap terhadap pendidikan inklusif yaitu perasaan terhadap

Page 3: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

penyelenggaraan pendidikan inklusi; tingkah laku yakni apa yang hendak dilakukannya terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif; dan keyakinan-keyakinan yang ada tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut; dan (4) kebutuhan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Sedangkan tingkat partisipasi baik perseorangan maupun kelompok terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu: (1) derajat keterlibatan, mulai dari yang sekedar mengetahui adanya suatu usaha sampai dengan ikut aktif menyumbangkan pikiran, tenaga, maupun materi; (2) prakarsa keterlibatan, yang dapat dibedakan antara keterlibatan spontan, dengan persuasi, atau melalui paksaan; (3) organisasi keterlibatan, yang dapat dibedakan menjadi keterlibatan secara perseorangan atau secara kelompok; dan (4) sikap dalam keterlibatan, mulai dengan yang mendukung, setuju, sampai yang menentang.

 

C. Pendayagunaan Partisipasi Masyarakat

Sampai saat ini terdapat sejumlah industri telah menaruh perhatian positif terhadap pendidikan. Perhatian itu diwujudkan dalam bentuk seperti pemberian beasiswa dan menjadi orang tua asuh.

Partisipasi masyarakat industri ini dapat didayagunakan lebih optimal dengan memberikan insentif seperti kemudahan perizinan dan pemberian penghargaan kepada dunia usaha/industri yang berperan aktif membantu dalam pendidikan. Bantuan dari dunia industri ini dapat berupa penyediaan jumlah tertentu dari anggaran pengeluarannya untuk bidang pendidikan seperti dana khusus untuk pendidikan dan atau pemberian kesempatan kepada siswa/sekolah untuk menggunakan fasilitas industri untuk kepentingan praktik.

Selain itu pondok-pondok pesantren, tempat-tempat ibadah, keluarga, lembaga adat, bahkan partai politik perlu menyadari potensi peran dan tanggung jawabnya dalam melakukan pendidikan bagi anak-anak bangsa. Apabila lebih banyak masyarakat peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu menjangkau berbagai kelompok sasaran termasuk kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (anak luar biasa).

Strategi pendayagunaan bersama sumber daya pendidikan perlu dikembangkan menjadi hubungan simbiotik antara pemerintah, politisi, penyelenggara pendidikan, pemerhati pendidikan, LSM, dan yayasan-yayasan. Hubungan simbiotik ini diharapkan mampu mendorong perkembangan pendidikan. Sementara itu, di kalangan stakeholders pendidikan hendaknya dikembangkan kesadaran untuk tidak mengambil keuntungan finansial semata dari pendidikan. Penyelenggara pendidikan yang mendapatkan dana dari penyelenggaraan pendidikannya perlu didorong menggunakan semua dana untuk investasi bagi peningkatan mutu pendidikan.

Hubungan simbiotik tersebut perlu difasilitasi melalui strategi sebagai berikut:

Pertama, dikembangkan wadah yang memungkinkan banyak pihak saling bertemu, berdiskusi, dan membangun komitmen bersama. Wadah tersebut berfungsi melembagakan hubungan simbiotik tersebut sehingga hubungan itu tidak hanya terjadi secara insidental, melainkan secara sinambung.

Kedua, dilakukan regulasi yang mempunyai kekuatan hukum, mengatur kewenangan dan kekuasaan pemerintah, masyarakat, dan orang tua siswa yang antara lain mengatur sanksi atas pelanggaran dan penyimpangan dalam penyelenggaran dan pelaksanaan pendidikan. Dalam hal ini, pemerintah tetap memainkan peranan yang strategis dalam penyelenggaraan pendidikan pada era otonomi daerah.

Ketiga, dikembangkan upaya-upaya untuk memotivasi orang tua, masyarakat, dan penyelenggara pendidikan untuk menjalin hubungan sinergis dan saling menguntungkan dengan pemerintah. Bentuk wadah bersama tersebut dapat berupa organisasi formal-

Page 4: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

struktural atau organisasi informal yang lebih bersifat fungsional, misalnya untuk lingkup Propinsi atau Kabupaten/Kota berbentuk Dewan Pendidikan, sedangkan untuk lingkup sekolah berbentuk Komite Sekolah.

 

III. STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. Bentuk Partisipasi Masyarakat

Permasalahan dalam pendidikan tidak mungkin diatasi hanya oleh pemerintah dan atau lembaga persekolahan. Peran serta aktif dari masyarakat (orang tua, keluarga/wali, masyarakat luas) diperlukan dalam mengatasi persoalan pendidikan inklusif dan pelaksanaan program-program pendidikan inklisif. Partisipasi masyarakat hendaknya tidak hanya dalam pendanaan, tetapi juga dalam bentuk sumbangan pemikiran dan ketenagaan.

Bentuk peranserta masyarakat dalam pendidikan nasional tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 39/1992 pasal 4 dan dikaitkan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu:

(1) Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan di jalur pendidikan sekolah.

   mplikasi dari ayat 1 ini adalah diharapkan baik sekolah-sekolah negeri

dan swasta dapat menyelenggarakan pendidikan iklusif.

 (2) Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk

melaksanakan atau membantu pelaksanaan pengajaran, pembimbingan, dan/atau pelatihan peserta didik.

   Dalam ayat ke 2 ini dapat dikatakan bahwa bagi orang tua yang

kebetulan memiliki keahlian (profesi) dan waktu luang sebagai tenaga pengajar, diharapkan dapat membantu sebagai tenaga pengajar di kelas inklusif, baik sebagai Guru Kelas, Guru Bidang Studi, maupun guru Pembimbing Khusus.

 (3) Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu

pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dan/atau penelitian dan pengembangan.

   Dalam ayat ini dapat dikatakan bagi orang tua yang berprofesi sebagai

Dokter, Psikolog, Orthopedagog, Therapis, dan profesi lain yang relevan dengan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, diharapkan dapat membantu untuk mengidentifikasi, melakukan asesmen, dan atau

Page 5: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

memberikan pembelajaran dan atau pelatihan bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.

 (4) Pengadaan dan atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum

diadakan dan/atau diselenggarakan oleh pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional.

   Dalam hal ini, masyarakat diharapkan dapat menyelenggarakan antara

lain Pusat-Pusat Sumber (Resources Centres), Pusat-Pusat Rehabilitasi, dan sejenisnya, yang dapat memberikan pelayanan/bimbingan bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.

 (5) Pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah,

sumbangan, pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain yang sejenis.

   Dalam ayat ini dapat berarti bahwa masyarakat diharapkan dapat

memberikan bantuan baik berupa dana, wakaf, hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain yang sejenis, untuk kepentingan pendidikan inklusif bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus yang memerlukan

 (6) Pengadaan dana dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah

untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.

   Dalam hal ini, masyarakat diharapkan dapat memberikan bantuan, baik

berupa dana dan atau prasarana pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah inklusif

 (7) Pengadaan dana dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan

pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.

   Disini dapat berarti bahwa masyarakat diharapkan dapat memberikan

bantuan, baik berupa dana dan atau bantuan buku-buku pelajaran yang dibutuhkan serta sarana pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar sekolah-sekolah inklusif

 (8) Pemberian kesempatan untuk magang dan/atau latihan kerja.

   Dalam hal ini, para Pengusaha dan atau masyarakat Industri diharapkan

dapat memberikan kesempatan kepada anak-anak yang memiliki

Page 6: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

kebutuhan khusus dapat magang dan atau latihan kerja di instansinya.

 (9) Pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan pendidikan

dan pengembangan pendidikan nasional

   Dapat diartikan bahwa masyarakat dapat melibatkan diri dalam:

membantu (1) merencanakan (planning), (2) mengorganisasikan (organizing), (3) mengarahkan (directing), (4) mengkoordinasikan (coordinating), (5) mengawasi (controlling), dan (6) mengevaluasi (evaluation), penyelenggaraan sekolah-sekolah inklusif

 (10) Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan

kebijaksanaan dan/atau penyelenggaraan pengembangan pendidikan nasional

   Dalam ayat ini dapat diartikan bahwa masyarakat diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran dan atau pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan atau penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif.

 (11) Pemberian bantuan dan kerja sama dalam kegiatan penelitian dan

pengembangan

   Dalam hal ini, masyarakat diharapkan dapat memberikan bantuan

dan/atau kerja sama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan pendidikan inklusif.

 (12) Keikutsertaan dalam program pendidikan dan atau penelitian yang

diselenggarakan oleh pemerintah di dalam dan/atau di luar negeri.

   Kaitannya dengan pendidikan inklusif adalah masyarakat diharapkan

dapat terlibat dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif dan atau penelitian dalam antara lain pengembangan pendidikan inklusif yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun pihak asing di dalam dan atau di luar negeri.

 

B. Menstimulasi Partisipasi Masyarakat

Kualitas sumber daya manusia (SDM) pada suatu daerah, tidak hanya bergantung pada upaya-upaya yang dilakukan sekolah, namun juga tergantung pada tingkat partisipasi

Page 7: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

masyarakat terhadap pendidikan. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan di suatu daerah, semakin maju SDM pada daerah tersebut dan sebaliknya, semakin rendah tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan di suatu daerah, semakin mundur pula SDM pada daerah tersebut.

Oleh karena itu, masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam pembangunan pendidikan di daerahnya. “Rasa ikut memiliki” sekolah inklusif hendaknya ditumbuhkan pada masyarakat di daerah sekitarnya, sehingga kualitas sekolah inklusif juga merupakan tanggungjawab bersama masyarakat setempat, bukan hanya tanggung jawab Pemerintah, Kepala Sekolah, dan Dewan Guru.

Pemberdayakan masyarakat (perseorangan, dan kelompok seperti organisasi, yayasan, dunia usaha, dan dunia industri) dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain:

1. Sosialisasi tentang konsep, penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan inklusif kepada para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan (baik sekolah negeri maupun sekolah swasta), agar mereka memiliki persepsi yang sama. Materi yang disosialisasikan adalah Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusf, yang terdiri atas 8 (delapan) buku, yaitu:a. Mengenal Pendidikan Inklusi;b. Identifikasi Anak Luar Biasa;c. Pengembangan Kurikulum;d. Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan; e. Pengadaan dan Pengelolaan Sarana-Prasarana; f. Kegiatan Belajar Mengajar;g. Manajemen Sekolah; h. Pemberdayaan Peranserta Masyarakat.

2. Pemerintah memfasilitasi berbagai kegiatan sekolah yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi, antara lain:a. Pengidentifikasian siswa yang memiliki kebutuhan khusus;b. Pengembangan kurikulum dan bahan ajar;c. Pengadaan dan pembinaan tenaga kependidikan. Tenaga kependidikan yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan inklusif perlu diberi insentif seperti tambahan penghasilan dan penghargaan lainnya (sertifikat, kemudahan naik pangkat, dan sebagainya);d. Pengadaan dan pengelolaan sarana-prasarana;e. Manajemen sekolah;f. Kegiatan belajar-mengajar; dang. Pemberdayaan masyarakat.

3. Pemerintah bersama Sekolah mensosialisasikan kepada masyarakat (perseorangan, organisasi, yayasan, dunia usaha, dan dunia industri) baik secara lisan maupun dengan bahan tertulis (brosur dan sejenisnya), mengenai:a. Konsep dan perlunya penyelenggaraan pendidikan inklusif, sehingga masyarakat memiliki persepsi yang sama mengenai pendidikan inklusif;b. Program-program Pemerintah/Sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas.

 

C. Wadah Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat perlu diwadahi agar dapat dikelola dan dikoordinasikan dengan baik dan lebih bermakna bagi sekolah, terutama dalam meningkatkan mutu dan efektivitas dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Oleh karena itu sesuai dengan UU nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 untuk lingkup sekolah inklusif wadah yang perlu dibentuk adalah Komite Sekolah, dan untuk lingkup Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota wadah berbentuk Dewan Pendidikan.

Page 8: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

1. Komite Sekolah

Komite sekolah inklusif ditetapkan untuk pertama kali dengan Surat Keputusan kepala satuan pendidikan, dan selanjutnya diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Untuk kekuatan hukum maka Komite Sekolah inklusif dapat dikukuhkan oleh pejabat pemerintah setempat seperti Kepala Dinas Kabupaten, bupati atau walikota.

a. Keanggotaan Komite Sekolah inklusif terdiri atas:

1. Unsur masyarakat, yang dapat meliputi:a) Orang tua/wali siswa;b) Tokoh masyarakat;c) Tokoh pendidikan;d) Dunia usaha/industri;e) Organisasi profesi tenaga kependidikan;f) Wakil alumni;g) Wakil siswa.

2. Unsur dewan guru, dan yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan. Selain itu Badan Pertimbangan Desa dapat dilibatkan pula sebagai anggota Komite Sekolah inklusif.

b. Peran Komite Sekolah inklusif sebagai:

1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan pelaksanaan kebijakan pendidikan di sekolah;

2. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah;

3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di sekolah;

4. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di sekolah.

c. Fungsi Komite Sekolah inklusif adalah:

1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif yang bermutu;

2. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/ organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif yang bermutu;

3. Menampung dan menganalisis asspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan inklusif yang diajukan oleh masyarakat;

4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah mengenai:a) Kebijakan dan program pendidikan inklusif;b) Rencana Angaran Pendidikan inklusif dan Belanja Sekolah (RAPBS);c) Kriteria kinerja sekolah inklusif;d) Kriteria tenaga kependidikan pada sekolah inklusif;e) Kriteria fasilitas pendidikan inklusif, dan;f) Hal lain yang terkait dengan pendidikan inklusif.

5. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan inklusif guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan;

6. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan sekolah inklusif;

7. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan sekolah inklusif.

2. Dewan Pendidikan

Dewan Pendidikan adalah suatu badan yang bersifat mandiri dan otonom yang menganut azas kebersamaan yang diatur oleh AD dan ART.

Page 9: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

a. Keanggotaan Dewan Pendidikan terdiri atas:

1. Unsur masyarakat, yang dapat meliputi:a) Lembaga Swadaya Masyarakat;b) Tokoh masyarakat (ulama, budayawan, pemuka adat, dll.);c) Anggota masyarakat yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu pendidikan termasuk pendidikan inklusif atau yang dijadikan unggulan di daerahnya;d) Tokoh dan pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu pendidikan termasuk pendidikan inklusif;e) Yayasan penyelenggara pendidikan (sekolah, luar sekolah, madrasah, pesantren);f) Dunia usaha/industri/asosiasi profesi (pengusaha industri, jasa, asosiasi, dll);g) Organisasi profesi tenaga kependidikan (PGRI, ISPI, dll);h) Perwakilan dari Komite Sekolah yang disepakati.

2. Unsur birokrasi sebagai unsur tambahan seperti unsur Dinas Pendidikan setempat dan dari unsur Legislatif yang membidangi pendidikan, dapat dilibatkan sebagai anggota Dewan Pendidikan maksimal 4-5 orang.

b. Peran Dewan Pendidikan sebagai:

1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan pelaksanaan kebijakan pendidikan termasuk pelaksanaan kebijakan pendidikan inklusif;

2. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan termasuk pendidikan inklusif;

3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan termasuk keluaran sekolah inklusif; dan

4. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislative) dengan masyarakat.

c. Fungsi Dewan Pendidikan adalah:

1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan termasuk pendidikan inklusif yang bermutu;

2. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/ organisasi/dunia usaha/dunia industri) pemerintah, dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan termasuk pendidikan inklusif yang bermutu;

3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan termasuk kebutuhan pendidikan inklusif yang diajukan oleh masyarakat;

4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada pemerintah daerah/DPRD mengenai:a) Kebijakan dan program pendidikan termasuk program pendidikan inklusif;b) Kriteria kinerja daerah dalam bidang pendidikan termasuk bidang pendidikan inklusif;c) Kriteria tenaga kependidikan termasuk tenaga kependidikan untuk sekolah-sekolah inklusif, khususnya guru/tutor dan kepala satuan pendidikan;d) Kriteria fasilitas pendidikan termasuk fasilitas pendidikan inklusif; dane) Hal lain yang terkait dengan pendidikan termasuk pendidikan inklusif.

5. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan termasuk pendidikan inklusif;

6. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan termasuk keluaran pendidikan inklusif.

http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=58 17/01/2011 10:54:01

Selasa, 02 November 2010

Strategi Pengembangan Perguruan Tinggi Swasta

Page 10: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

Penulis: Dra. Ipong Dekawati, M.Pd. (dosen tetap STKIP Subang di Subang)

Abstrak: Pengembangan organisasi merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan di PTS. Hal ini karena mempunyai pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan pencapaian tujuan perguruan tinggi, khususnya pengembangan organisasi yang menyangkut persepektif keuangan, costumer, proses bisnis/jasa pendidikan, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Balanced Scorcard (BSC) sebagai alternatif pengembangan organisasi. Di dalam rangka pengembangan organisasi, PTS hendaknya mengoptimalkan layanan pendidikan dengan potensi sumber daya yang ada sesuai dengan tuntutan lingkungan internal dan eksternal.

Kata Kunci: Balanced Scorecard, BSC, mutu perguruan tinggi.

A. Pendahuluan

Pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dari pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah. Sedangkan perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yag menyelenggarakan pendidikan tinggi (PP No. 30/1990). Dalam PP tersebut dikemukakan bahwa pendidikan tinggi:

1. menyiapkan peserrta didik menjadi anggora masyarakat yang memiliki akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau kesenian.

2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memerkaya kebudayan nasional.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal (19) menyebutkan bahwa    pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Dan pada pasal 24 ayat (2)   berbunyi bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Berkenaan dengan pendanaan, ayat (3) berbunyi perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.

Pendidikan tinggi, seperti halnya pendidikan dasar dan menengah, menurut UU Sisdiknas, bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua dan masyarakat. Ini artinya, masyarakat memiliki hak untuk mendirikan dan mengelola peguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyelenggaraan perguruan tinggi yang dilakukan masyarakat, dilaksanakan melalui badan yang sifatnya layanan sosial atau yayasan yang telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Kran dan peluang ini dimafaatkan betul oleh masyarakat sehingga perguruan tinggi swasta menjamur di mana-mana. Persoalannya, seiring dengan kebebasan perguruan tinggi negeri membuka berbagai jurusan dan program studi,

Page 11: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

keberadaan perguruan tinggi swasta semakin terancam. Tak sedikit, perguruan tinggi swasta yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing memperebutkan mahasiswa.

Banyak faktor yang memengaruhi ketidakberdayaan perguruan tinggi swasta ini, diantaranya strategi pengembangan organisasi PTS yang kurang baik. Oleh karena itu, upaya mengoptimalkan mutu layanan PTS sesuai dengan tuntutan internal dan eskternal perlu dilakukan. Pengembangan organisasi PTS harus mengalami pergeseran pada mutu layanan, dikelola dengan baik dan transparan, dikembangkan berlandaskan visi dan misi yang jelas, dan diikuti serta dilaksanakan oleh setiap individu yang terlibat dalam pengelolaan PTS tersebut.

Roberts S. Kaplan dan David P. Norton (2000:8) menawarkan sebuah konsep Balanced Scorcard (BSC) sebagai alternatif pengembangan organisasi, yaitu dengan memperluas kinerja eksekutif/personel ke empat persepektif: finansial, customer/pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Konsep ini sangat tepat bila diterapkan dalam pengembangan organisasi PTS yang telah mengalami kemunduran ini.

Sejalan dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam pembahasan ini adalah bagaimana strategi pengembangan organisasi Perguruan Tinggi Swasta. Lebih rinci diuraikan dalam bentuk rumusan pertanyaan berikut ini:

1. Bagaimana merumuskaan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan organisasi PTS dan bagaimana cara mengatasi dan memanfaatkannya?

2. Bagaimana penerapan visi, misi, dan strategi telah dilaksanakan sesuai dengan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki?

B. Konsep Strategi Pengembangan Organisasi

Pengembangan organisasi merupakan upaya meningkatkan kemampuan organisasi berdasarkan persepektif waktu jangka panjang yang terdiri dari serangkaian penahapan dengan penekanan pada hubungan antar individu, kelompok dan organisasi sebagai keseluruhan. Pengembanga organisasi dapat juga dikatakan aplikasi pendekatan kesisteman terhadap hubungan fungsional, struktural, teknikal, dan personal dalam organisasi.

Pengembangan organisasi merupakan suatu perubahan organisasi, oleh karena itu Sondang P Siagian (1995:21) mengatakan bahwa persepsi tentang perlunya perubahan harus dirasakan karena hanya dalam kondisi demikianlah para anggota organisasi dapat diyakinkan bahwa dalam upaya mencapai tujuan dan berbagai sasaran organisasi, diperlukan cara kerja baru, metode kerja baru, dan bahkan mungkin strategi dan visi yang baru.

Salah satu ciri umum pengembangan organisasi adalah bahwa pengembangan organisasi merupakan suatu proses yang terus menerus dan dinamis. Pelaksana harus mampu mengubah strategi selama proses sedang berlangsung sebagai akibat masalah-masalah yang timbul dan kejadian-kejadian organisasi. Moekijat (1993:8) mengutip

Page 12: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

pendapat Gary Dessler mengatakan bahwa ciri umum pengembangan organisasi adalah suatu strategi pendidikan yang dimaksudkan untuk menimbulkan perubahan organisasi yang telah direncanakan.

Ada empat tipe pengembangan organisasi, yakni pengembangan teknologi, pengembangan produk, administratif dan pengembangan sumber daya manusia. Pengembangan teknologi berkenaan dengan proses pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan layanan yang strategis, dan tekologi pendidikan yang dapat menunjang PBM. Sedangkan pengembangan produk adalah berkenaan dengan hasil atau layanan keluaran organisasi dalam proses pendidikan. Lain halnya dengan pengembangan administrasi yakni berkenaan organisasi pendidikan, mencakup struktur, tujuan, kebijakan, insentif, sistem informasi dan anggaran. Dan yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya manusia adalah pengembangan sikap, keterampilan, pengharapan, kepercayaan, perilaku para pegawai termasuk pimpinan.

Dale S. Beach (1975:426) dalam bukunya yang berjudul Personel: The Management of people at Work mengatakan bahwa organization developement is a complex educational strategy designed to increase organizational effectiveness and health through planned intervention by a consultant using theory and techniques of applied behavioral science. Sedangkan Harold Koontz, Cyril O’Donnell, dan Heinz Weichrich (1980:592) mengatakan organizational develompement, typically shortened to “OD”, is a systematic, integrated, and planned approach to improve the effectiveness of an enterprise.

Lain halnya dengan Sondang P. Siagian mengatakan bahwa pengembangan organisasi merupakan upaya peningkatan kemampuan organisasi berdasarkan persefektif waktu jangka panjang yang terdiri dari serangkaian penahapan dengan penekanan pada hubungan antar individu, kelompok, dan organisasi sebagai keseluruhan. Dan Manajemen Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen dalam buku kamus istilahnya (1983:124) mengatakan bahwa pengembangan organisasi adalah peningkatan kemampuan organisasi untuk mencapai tujuannya dengan memanfaatkan potensi manusia secara lebih efektif dan mengevaluasi setiap perubahan dan mengarahkannya secara konstruktif.

Sementara itu, strategi adalah cara untuk mencapai tujuan dengan daya dan sarana yang dapat dihimpun (Soekarton (1993:35). Sedangkan Siagian (1985:21) menyebutkan bahwa strategi merupakan cara-cara yang sifatnya mendasar dan fundamental yang akan dipergunakan oleh suatu organisasi untuk mencapai tujuan dan berbagai sasarannya.

Hakikat strategi adalah cara berpikir manusia secara sistematis. Kenneth Primozic (1991:7) menggolongkan berpikir manusia yakni “secara mekanik, institusi dan strategik”. Ketiga cara berpikir tersebut menurutnya bahwa cara strategik lebih kreatif dan dinamis selaras dengan permasalahan yang ditemukan.

Agustinus SW (1996:4) mengemukakan bahwa karakteristik masalah strategik menyangkut orientasi ke masa depan; berhubungan dengan unit-unit kegiatan yang kompleks; perhatian manajemen puncak; pegaruh jangka panjang; alokasi sumber-sumber daya. Berkenaan dengan banyak pilihan sebagai alternatif pemecahan masalah, semakin kecil tingkat kesalahan yang timbul di masa depan.

Page 13: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

Sedangkan strategi menurut Hax dan Majlur (dalam Salusu, 1996:100):

1. ialah suatu pola keputusan yang konsisten, menyatu dan integral;

2. menentukan dan menampilkan tujuan organisasi dalam artian sasaran jangka panjang, program bertindak dan prioritas alokasi sumber daya;

3. menyeleksi bidang yang akan digeluti organisasi;

4. mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama, dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal organisasi dan kekuatan serta kelemahannya;

5. melibatkan semua tingkat hirarki dari organisasi.

Strategi merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan organisasi, untuk itu Wahyudi (1996:17) mengemukakan sifat-sifat dari suatu strategi adalah sebagai berikut:

1. menyatu (unified), yaitu menyatukan seluruh bagian-bagian dalam organisasi;

2. menyeluruh (comprehensive), yaitu mencakup seluruh aspek dalam organisasi;

3. integral (integrate), yaitu seluruh strategi akan cocok/sesuai dari seluruh tingkatan (corporate business and functional).

Dan kaitan strategi dengan pengembangan organisasi, Steiner dan Meiner (1988:18) menjelaskan bahwa penerapan misi perusahaan, penetapan sasaran organisasi dengan mengingat kekuatan eksternal dan internal, perumusan kebijakan dan strategi tertentu untuk mencapai sasaran dan mematikan implementasinya secara tepat, sehingga tujuan dan sasaran utama organisasi akan tercapai.

Selain strategi yang harus dimiliki lembaga pendidikan, visi dan misi juga harus dimiliki. Visi adalah bagaimana rupa yang seharusnya dari suatu organisasi kalau ia berjalan dengan baik (Lonnie Helgeson dalam Salusu, 1996:12). Lebih lanjut Salusu menjelaskan bahwa visi keberhasilan dapat dijelaskan sebagai suatu deskripsi tentang bagaimana seharusnya rupa dari suatu organisasi pada saat ia berhasil dengan sukses melaksanakan strateginya dan menemukan dirinya yang penuh potensi yang mengagumkan.

Visi suatu organisasi juga merupakan suatu imajinasi/wawasan ke depan dari organisasi tersebut yang menerobos dimensi waktu didasarkan atas argumen rasional. Visi tertulis disebut dengan “Mission Statement” atau pernyataan misi. Suatu pernyataan misi yang baik adalah bagian penting untuk membuat, mengaplikasikan dan mengevaluasi strategi. Mengembangkan dan mengomunikasikan pernyataan misi, merupakan tahapan yang terpenting di dalam manajemen strategik.

Sedangkan misi adalah maksud dan kegiatan utama yang membuat organisasi tersebut mempunyai jati diri yang khas yang membedakannya dari organisasi lain yang bergerak dalam bidang usaha sejenis. Dalam melaksanakan misi tersebut dibutuhkan

Page 14: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

sumber daya manusia yang memadai baik dalam jenis, jumlah dan mutu sumber daya manusia tersebut.

Pernyataan misi dapat bervariasi bentuk, panjang, isi dan spesifikasinya. Menurut Agustinus (1996:40) pernyataan yang dapat menjawab salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut:

1. pelanggan

2. produk atau jasa

3. pasar dan saingan

4. teknologi yang digunakan

5. komitmen terhadap pertumbuhan, stabilitas

6. konsep organisasi

7. komitmen terhadap image masyarakat

8. komitmen terhadap karyawan.

Penyusunan misi organisasi dipengaruhi oleh beberapa elemen yang harus dipertimbangkan oleh pembuat atau perencana strategi agar misi tersebut dapat benar-benar mencerminkan apa yang ingin dilakukan oleh organisasi. Elemen tersebut adalah aspek sejarah organisasi, keinginan pimpinan puncak, perubahan lingkungan, keterbatasan sumber daya, keunggulan yang dimiliki untuk bersaing.

Di dalam manajemen strategik, peran Balanced Scorcard, menurut Mulyadi (2001:59) menempati posisi strategik dalam sistem manajamen strategik. Tahap perencanaan dalam sistem manajemen strategik (dikenal pula dengan sebutan total business planning) terdiri dari empat tahap, yakni:

1. perumusan strategi

2. perencanaan strategi

3. penyusunan program, dan

4. penyusunan anggaran.

Balanced Scorcard (selanjutnya disebut BSC) berdampak siginifkan terhadap perencanaan staregik, penyusunan program, dan penyusunan anggaran. Tahap impelemntasi rencana dalam sistem manajemen strategi terdiri dari dua tahap yakni impelemntasi dan pemantauan.

BSC berperan dalam memperluas ukuran kinerja personel dalam tahap implementasi dan tahap pemantauan. Berikut ini akan dijelaskan hubungan antara BSC dengan

Page 15: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

perumusan strategi, hubungan BSC dengan penyusunan program, peyusunan anggaran, implementasi dan pemantauan.

Peran BSC dalam tahap perumusan strategi dilakukan terhadap trend perubahan lingkungan makro dan lingkungan industri. Hasil pengamatan trend ini digabungkan dengan hasil analisis intern (analisis strenghts, weaknesses, opportunities, dan threats atau SWOT analysis) digunakan sebagai dasar untuk merumuskan misi, visi, keyakinan dasar, dan nilai dasar organisasi.

BSC memperluas persepektif yang dicakup dalam penafsiran akibat dampak trend perubahan lingkungan makro dan lingkungan industri. Disamping itu, BCS juga memperluas persepektif dalam SWOT analysis. Trend perubahan kedua lingkungan tersebut ditafsirkan dampaknya terhadap organisasi melalui empat persepektif, yakni keuangan, customer, proses bisnis/intern, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Dalam SWOT analysis juga mencakup keempat persepektif tersebut.

Peran BSC dalam tahap perencanaan strategik melalui strategi yang telah ditetapkan (misalnya strategi yang dipilih: differentiation strategy dan low cost strategy), tujuan (goals) kemudian diterjemahkan menjadi sasaran-sasaran strategik ke dalam empat persepektif: keuangan, customer, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Pada tahap perencanaan strategik ini, untuk setiap sasaran strategik kemudian ditetapkan berbagai inisiatif strategik untuk mewujudkan sasaran tersebut.

BSC berperan menjadikan komprehensif dan koheren sasaran dan inisiatif strategik yang ditetapkan dalam tahap perencanaan strategik. Kekomprehensivan dan kekoherenan sasaran dan inisiatif strategik ini menjanjikan peliatgandaan kinerja keuangan dalam jangka panjang.

Peran BSC dalam tahap penyusunan program adalah inisiatif strategik yang komprehensif kemudian dijabarkan ke dalam program-program jangka panjang disertai taksiran sumber daya yang diperlukan untuk atau diperoleh dari pelaksanaan program tersebut. Oleh karena merupakan penjabaran inisiatif strategik yang komprehensif, maka program-program yang dihasilkan dalam tahap penyusunan program juga mencakup persepektif yang komprehensif.

Peran BSC dalam tahap penyusunan anggaran (rencana jangka pedek), program-program yang komprehensif tersebut kemudian dijabarkan ke dalam rencana kegiatan jangka pendek, disertai dengan taksiran sumber daya yang diperlukan untuk dan diperoleh dari kegiatan tersebut. Oleh karena merupakan penjabaran program-program yang komprehensif, maka rencana kegiatan jangka pendek dihasilkan dalam tahap penyusunan anggaran juga mencakup persepektif yang komprehensif.

Sedangkan peran BSC dalam tahap implementasi dan tahap pemantauan, rencana kegiatan yang tercantum dalam dokumen anggaran dilaksanakan. Pada tahap implementasi, BSC digunakan untuk mengukur kinerja personel di keempat persepektif. Pada tahap pemantauan, hasil pengukuran kinerja personel di keempat persepektif BSC tersebut dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam anggaran dan target yang ditetapkan dalam perencanaan strategik. Hasil pembandinangan antara hasil pengukuran kinerja dengan target anggaran digunakan untuk mengevaluasi kinerja jangka pendek personel; sedangkan hasil pembandingan antara hasil

Page 16: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

pengukuran kinerja dengan target yang ditetapkan dalam perencanaan strategik digunakan untuk mengevaluasi jangka panjang personel.

Pengembangan organisasi merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan di PTS. Hal ini karena mempunyai pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan pencapaian tujuan perguruan tinggi, khususnya pengembangan organisasi yang menyangkut persepektif keuangan, costumer, proses bisnis/jasa pendidikan, dan pembelajaran dan pertumbuhan.

Di dalam rangka pengembangan organisasi, PTS hendaknya mengoptimalkan layanan pendidikan dengan potensi sumber daya yang ada sesuai dengan tuntutan lingkungan internal dan eksternal. PTS juga harus memperkuat komitmen personil yang dapat mendorong untuk mencapai tujuan organisasi melalui visi organisasi. Dan yang tak kalah pentingnya, meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Semoga dengan adanya perubahan strategi pengembangan organisasi PTS, pada akhirnya PTS tetap eksis dan dapat membantu peningkatan kualitas SDM bangsa ini.

Daftar Pustaka

Agustinus S. Wahyudi, 1996, Manajemen Strategik, Pengantar Proses berpikir strategik, Jakarta: Binarupa Aksara

Dale S. Beach, 1975, Personel: The Management of People at Work, Third Edition, New York: MacMillan Publishing Co. Inc.

Edward Sallis, 2006. Total Quality Management in Education, Jogyakarta:IRCiSoD

Koontz, Harlod, Donnell Cynlo, Weinrich Heinz, 1995, Manajemen, Jakarta: Erlangga

Moekijat, 1993, Pengembangan Organisasi, Bandung: Remaja Rosdakarya

Mulyadi, 2001, Balanced Scorcard; Alat Manajemen Kontemporer untuk Pelipatganda Kinerja Keuangan Perusahaan. Jakarta: PT Salemba Emban Patria

Peraturan Pemerintah No. 30/1990/ tentang perguruan tinggi;

UU Sisdiknas no 20 tahun 2003;

Robert S. Kaplan & David P. Norton, (2000), Balanced Scorcard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Jakarta: Erlangga;

Siagian, P. Sondang, 1995, Manajemen Strategik, Jakarta: Bumi Aksara;

Soekarton, 1992, Dasar-dasar Organisasi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press

Salusu J., 1996, Pengambilan keputusan strategik untuk organisasi publik dan organisasi nonprofit, Jakarta: PT Gramedia

Page 17: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

http://educare.e-fkipunla.net/