Pembelajaran Pengaruh Nasionalisme Amerika Serikat terhadap Asitektur Keuangan Internasional -...

28
1 PEMBELAJARAN PENGARUH NASIONALISME AMERIKA SERIKAT TERHADAP ARSITEKTUR KEUANGAN INTERNASIONAL: RENUNGAN TERHADAP SISTEM KEUANGAN BRETTON WOODS, SMITHSONIAN INSTITUTE, DAN KONSENSUS WASHINGTON Disusun sebagai makalah akhir mata kuliah Hubungan Luar Negeri dan Keamanan AS Disusun oleh: Teguh Prayogo Sudarmanto (0706291432) Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2009

description

banyak yang aku pelajari dalam membuat makalah ini. ayo belajar lebih banyak lagi untuk memahami dunia!!!

Transcript of Pembelajaran Pengaruh Nasionalisme Amerika Serikat terhadap Asitektur Keuangan Internasional -...

1

PEMBELAJARAN PENGARUH NASIONALISME AMERIKA SERIKAT

TERHADAP ARSITEKTUR KEUANGAN INTERNASIONAL:

RENUNGAN TERHADAP SISTEM KEUANGAN BRETTON WOODS,

SMITHSONIAN INSTITUTE, DAN KONSENSUS WASHINGTON

Disusun sebagai makalah akhir mata kuliah Hubungan Luar Negeri dan Keamanan AS

Disusun oleh:

Teguh Prayogo Sudarmanto (0706291432)

Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

2009

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan internasional memang sudah harus terjadi dan tidak dapat dihindari. Salah satu

elemen penting dari hubungan internasional adalah konsep untuk merumuskan bagaimana

hubungan internasional ini dikelola. Salah satu elemen penting dalam penentuan konsep itu

adalah faktor identitas kebangsaan. Akibat adanya nasionalisme misalnya, ketika menunjuk

seseorang yang dilahirkan di Amerika Serikat (AS), mempunyai kedua orang tua yang juga

sama-sama orang AS, dibesarkan di AS, yang kemudian secara legal dilekatkan identitas

kebangsaan kepadanya semenjak dia menjadi seorang yang dianggap telah cukup umur, orang

tersebut kemudian tanpa adanya pertentangan identitas yang ada di kemudian hari, anugerah

sebagai seorang berkebangsaan AS diberikan kepadanya.

Namun, sudah menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan ketika di masa globalisasi ini,

ketika semua akses informasi dapat diperoleh dengan mudah dan cepat, setidaknya, terpikirkan

sebuah kalimat: pentingkah identitas kebangsaan itu? Terutama ketika mengingat bahwa

setidaknya pertanyaan itu ditujukan untuk mencari relevansi muara kepentingan yang secara

terbaik adalah cocok untuknya. Misalnya saja, ketika dia diberikan identitas kewarganegaraan

AS, namun kemudian identitas tersebut menjadi dipertanyakan karena kebijakan AS sebagai

sebuah negara yang mana suara dia diwakilkan dalam pemerintahan ternyata tidak sesuai

dengan keinginannya. Masih patutkan identitas yang diberikan ini diterima begitu saja tanpa ada

penjelasan mengapa dia harus tetap memakai identitas tersebut ketika kepentingan dia justru

tidak dapat disalurkan melalui identitas tersebut.

Adalah pertanyaan yang masih sangat besar dan semakin besar untuk ditanyakan di masa

globalisasi ini tentang pembentukan negara bangsa. Khususnya dalam hubungan internasional.

Karena ketika manusia yang berlainan identitas kebangsaan kemudian berhubungan dan

membangun relasi yang kemudian dari relasi tersebut mengacaukan batas-batas imajiner yang

dibuat oleh negara. Lihat saja, ketika kini dunia sedang untuk mencapai kata „sudah‟ terkoneksi,

berbagai tanda itu kemudian muncul. Ketika setiap negara kini saling tergantung satu sama lain,

ketika hasrat manusia untuk mengembangkan kehidupannya tidak lagi terkotak-kotak di dalam

3

batas negara, terutama dalam melihat aliran modal yang bahkan tidak dapat dikontrol lagi oleh

negara, ketika juga melihat kekuatan perasaan manusia untuk saling membantu melalui kegiatan

sosial yang juga sudah tidak dapat dikontrol lagi oleh manusia, masihkah pertanyaan tersebut

tidak boleh dan semakin tidak boleh untuk dikemukakan?

B. Permasalahan

Makalah ini akan membahas pertanyaan “apa yang dapat dipetik dari pembelajaran akan

pembentukan identitas kebangsaan Amerika Serikat (AS) dalam menentukan kebijakan luar

negerinya mengelola arsitektur keuangan global: pada era Bretton Woods, pada era Smithsonian

Institution, dan pada era Konsensus Washington”. Pembelajaran-pembelajaran ini kemudian di

akhir akan disimpulkan dalam bentuk renungan.

C. Kerangka Konsep

Zygmunt Bauman berusaha menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam salah satu

artikel yang dibuatnya.1 Identitas digunakan manusia adalah tidak terlepas dari usaha-usaha

manusia untuk misalnya: keadilan dan persamaan dibuat untuk menghadirkan adanya

pengenalan terhadap diri seseorang, kebudayaan juga ada karena manusia mempunyai

perbedaan-perbedaan baik secara individu maupun kelompok dan mengenai bagaimana

perbedaan itu dikelola, dan untuk mencapainya diperlukan semacam proses politik yang

bertujuan untuk memisahkan identitas dengan cara mengkonstruksi identitas melalui negosiasi

dan penilaian. Jika ini dimengerti maka identitas bukanlah hanya sesuatu yang diberikan, namun

juga merupakan sesuatu yang dapat diperjuangkan. Ini bukanlah merupakan perjuangan

terhadap keindividuan, namun terlebih daripada itu, ini merupakan penggambaran bagaimana

manusia dapat hidup secara sosial. Ketika bertemu dengan orang lain, penghargaan terhadap

identitas tentunya adalah tersingkap dalam penelusuran seseorang yang belum dikenal dengan

menanyakan, kamu siapa yang terlontar tentunya setelah penanya memahami dirinya, dan

kemudian akibat adanya kepercayaan di antara keduanya bahwa kemudian mereka membangun

ulang penafsiran identitas terhadap diantara diri mereka dan diri mereka sendiri berdasarkan

pengalaman itu. Namun sayangnya, semenjak jaman pencerahan di Barat hingga sekarang, tidak

semua orang mengerti proses ini.

1 Zygmunt Bauman, “Identity in the Globalizing World”, dalam Social Anthropology (2001), European Association

of Social Anthropologies, hlm. 121-129.

4

Identitas adalah dibentuk, dan setiap manusia dapat membentuk identitas yang bersifat

pribadi ini secara bersama-sama dengan manusia lain. Identitas kebangsaan dapat didefinisikan

ulang mengenai bagaimana seharusnya identitas itu memberikan manfaat dengan mengajukan

satu pertanyaan: apa untungnya bagi saya untuk memilih identitas kebangsaan yang diberikan

ini? Benedict Anderson dalam bukunya Komunitas-Komunitas Terbayang mengatakan bahwa

bahasa-bahasa sakral yang diciptakan membentuk komunitas-komunitas terbayang akan lambat

laun memudar kesakralannya seiring dengan ketidakmampuan bahasa tersebut yang merupakan

akar-akar budaya untuk menjawab permasalahan yang misalnya hanya dibahas di naskah suci

saja.2 Apa yang dibahas oleh Anderson ternyata juga menjadi pertanyaan bagi Bauman

mengenai the problem of identity.3 Dilanjutkan, bahwa kemudian untuk membuat setiap orang

sadar akan keadaan dimana identitas kebangsaan yang dilekatkan kepadanya adalah tidak murni

given, tetapi juga ada proses pembentukan yang mana mereka sebagai bagian dari pemilik

identitas tersebut juga harus membangun identitas tersebut agar sesuai dengan apa yang

diinginkan adalah masih sulit. Dunia penuh diisi dengan ketidakadilan. Jaonna Depledge juga

mengatakan kesulitan ini pada proses di dalam negosiasi dimana bisa saja manusia yang terlibat

dalam negosiasi tidak mudah untuk melupakan kompleksitas hubungan di antara mereka dan

ketidaksamaan kekuasaan yang dimiliki yang cenderung kemudian membuat proses negosiasi

tersebut terhambat untuk dapat mencapai hasil optimumnya.4

Sebelum memperjelas konsep ini dengan rangkaian pertanyaan dan jawaban akan identitas

kebangsaan, penulis akan memaparkan beberapa definisi dan pembahasan singkat tentang apa

itu negara, apa itu bangsa, dan apa itu nasionalisme yang dibahas oleh Anthony D. Smith,

Stephen Ryan, dan Benjamin D. Muller dalam salah satu artikel yang mereka buat.5 (1)

Terminologi bangsa (nation) tidak dapat dilepaskan dari identitas bangsa (national identity).

Nation dan national identity juga tentunya harus dipisahkan secara analitis dari istilah negara

(state) meskipun banyak terdapat istilah yang membuyarkan seperti state-nations dengan contoh

2 Benedict Anderson, “Akar-Akar Budaya”, dalam Benedict Anderson, Komunitas-Komunitas Terbayang,

(Yogyakarta: INSIST, 2008), hlm. 21. 3 Zygmunt Bauman, “Identity in the Globalizing World”, op. cit., hlm. 125.

4 Joanna Depledge, the Organization of Global Negotiations: Constructing the Climate Change Regime, (London:

Earthscan, 2005), hlm. 6. 5 Anthony D. Smith, “Nations in Decline? The Erosion and Persistence of Modern National Identities”, dalam

Mitchel Young dan, Eric Zuelol, dan Andreas Sturm (ed.), Nationalism in A Global Era: The Persistence of

Nations, (New York: Routledge, 2007), hlm. 17-18.

5

Britania Raya. Pembedaan ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas penggunaan istilah seperti

pada kasus menghilangnya konsensi negara bukan mengindikasikan bahwa di lain sisi bangsa

yang mendiami negara tersebut juga ikut tergerus. Begitu juga dengan adanya pertanyaan

apakah negara turut terlibat dalam menggerus keberadaan bangsa (?). (2) Terminologi nation

dan national identity juga harus dibedakan dari nationalism karena istilah nationalism sangat

dekat dengan ideologi dan pergerakan atau pergerakan ideologis. Juga harus dibedakan dari

national sentiments yang tidak berkaitan dengan ideologi maupun politically organised. Kedua

istilah ini tidak saling mempengaruhi layaknya pada contoh penjelasan pertama. Namun yang

patut ditekankan, nasionalisme dapat mengakibatkan penggerusan keberadaan nations. (3)

Istilah nation dan national identity juga walaupun hampir sama, patut dibedakan

penggunaannya. Nation digunakan sebagai bentuk kumpulan dari manusia yang memiliki dan

membagi sistem yang dimiliki dan dibagi bersama seperti mitos, simbol, nilai dan kenangan,

peraturan, hukum bersama, adat, dsb. Sedangkan national identity adalah sesuatu (perasaan)

yang muncul akibat adanya kepemilikkan bersama termasuk karena adanya proses reproduksi,

reinterpretasi, dan transmisi bersama pada simbol, nilai, kenangan, mitos, tradisi, warisan, dsb.,

yang kemudian menjadi identitas yang melekat pada pemiliknya. Baik nation maupun national

identity dalam level yang lebih konkrit dapat diartikan sebagai sesuatu yang intersubjektif

terhadap kesadaran komunal yang bersifat objektif. Definisi ini berkembang secara

berkelanjutan setiap saat dalam dua level yaitu sebagai sesuatu yang diresapi, dan komunitas

yang powerful bagi anggota sehingga memberikan dampak.

(4) Nasionalisme dalam tatanan ideal merupakan pergerakan ideologis untuk memperoleh

dan mempertahankan otoritas atau kekuasaan yang kemudian di suatu saat dapat berpotensi

menjadi nation. Namun dalam keadaan riilnya, nasionalisme juga merupakan fenomena historis

yang dihasilkan dari proses kultural dan pembedaan sosial yang bisa diambil dari banyak bentuk

baik antara maupun sepanjang komunitas dan kebudayaan. (5) Pembentukkan dari nations

berasal dari perkembangan dari beberapa proses sosial dan dari beberapa sumber kejadian serta

dari kombinasi keduanya yang dapat digunakan untuk mempelajari secara ideal bagaimana

nations terbentuk. Tentunya, ketika kembali dituangkan dalam praktik, akan banyak ditemukan

faktor-faktor baru yang mempengaruhi bagaimana proses sosial dan kejadian sumber ini dapat

terjadi untuk kembali merumuskan proses pembentukan itu.

6

Stephen Ryan sendiri mengemukakan perbedaan tersebut ketika membahas tentang

nasionalisme dan konflik etnis.6 Bangsa atau etnis muncul karena adanya perasaan yang sama

dimana bagi perasanya akan merasakan sesuatu yang dapat dibagi bersama seperti kepercayaan,

pemikiran, solidaritas, yang berada dalam suatu wilayah. Sedangkan nasionalisme adalah ide

modern yang mengubah isu ethnisitas atau kebangsaan menjadi kekuatan politik yang mana

suatu nasionalisme dapat menjadi dominan dalam kegiatan politik di suatu negara. Ketika suatu

bangsa memilih untuk membangun negara, diperlukan semacam gerakan pembangkitan yang

dilakukan secara politik dalam artian kegiatan ini bertujuan untuk mempengaruhi semua pihak

untuk sadar mengenai keberadaan bangsa tersebut. Sadar akan bangsa yang dapat mengelola

dirinya sendiri melalui pembentukan negara. Kegiatan politik tersebut mungkin dapat dipandang

sebagai kegiatan pemanfaatan identitas kebangsaan atau juga mungkin identitas kebangsaan ini

berevolusi dengan cepat untuk membentuk entitas politik identitas ini ketika dipertemukan

dengan identitas lain mendapatkan pengakuan sebagaimana yang dibahas oleh Bauman

mengenai kebutuhan manusia akan identitas—untuk membedakan siapa kamu, siapa saya, dan

bagaimana kita berinteraksi. Disadari atau tidak, penciptaan entitas politik negara ini pada

akhirnya akan mengatur bagaimana manusia-manusia yang ada di dalamnya menafsirkan

identitas kebangsaan yang melekat pada entitas politik tersebut yang tidak lain adalah untuk

mendukung keterusberlanjutannya entitas tersebut untuk ada. Oleh karenanya kemudian dikenal

terutama oleh kalangan pemikir Barat ketika melihat fenomena bangkitnya negara-negara dunia

ketiga adalah tidak lain karena mereka hendak memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi

mereka untuk bebas dari penjajahan dan mengelola diri mereka sendiri, walaupun kemudian

pada akhirnya negara-negara dunia ketiga haruslah lebih belajar dengan giat bagaimana

mewujudkan apa yang mereka ingin dapatkan dari negara yang sebelumnya menjajah mereka

yang kini menjadi negara yang lebih maju. Adalah kemudian Benjamin J. Muller yang

kemudian menekankan pentingnya untuk memanajemen identitas kebangsaan yang baik dalam

pendirian negara.7 Penulis merumuskan alur konsep tentang penjelasan manajemen identitas di

grafik dalam lampiran.

6 Stephen Ryan, “Nationalism and Ethnic Conflict”, dalam Brian White et.al (eds.), hlm. 134.

7 Benjamin J. Muller, “(Dis)Qualified Bodies: Securitization, Citizenship, and ‘Identity Management’”, dalam

“Citizenship Studies” Vol. 8 No. 3, September 2004, (Diunduh oleh Monash University, Carfax Publishing), hlm.

280.

7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Keuangan Bretton Woods dan Nasionalisme Amerika Serikat (AS)

Arsitektur keuangan global dirumuskan secara bersama dalam sebuah konferensi yang

diselenggarakan oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II yang diinisasi oleh Amerika

Serikat (AS) di Bretton Woods tahun 1944. Setiap negara tidak dapat lagi melakukan isolasi diri

karena pada kenyataannya hubungan internasional akan semakin terjalin secara terbuka.8

Selama masih berada di titik awal untuk memulai kehidupan baru yang lebih baik, perundingan

permasalahan yang diasumsikan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya dua perang besar

dunia adalah sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan. Dunia tidak dapat lagi melihat

ketidakadilan dapat memicu agresivitas dari negara-negara seperti Jerman, Italia, dan Jepang.9

Perundingan itu menghasilkan tiga institusi besar kerjasama keuangan dunia yang kesemuanya

dipimpin AS, the International Monetary Fund (IMF), the International Bank for

Reconstruction and Development (IBRD), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).10

AS memimpin karena banyak hal yang mana secara rasional dapat dilihat bahwa AS

menjadi satu-satunya negara besar yang „tersisa‟ dalam keadaan baik setelah perang. Cadangan

emas yang dimilikinya sekitar 80% dari cadangan emas yang dimiliki dunia.11

AS bahkan masih

mampu mengembangkan teknologi bom atom yang membuat Jepang menyerah kalah di tengah

keadaan yang berbanding terbalik yang dialami oleh sekutu dan musuhnya ketika perang.

Dengan kemampuan inilah kemudian AS merasa yakin untuk memimpin pengelolaan keuangan

dunia secara bersama-sama yang amat riskan secara nasionalisme sempit. Riskan karena

kemudian Pemerintah AS harus berani menjamin keberlangsungan kehidupan ekonominya di

tengah-tengah kontrol yang semakin dibebaskan kepada institusi kerjasama internasional. AS

8 Ben Thirkell-White, The IMF and the Politics of Financial Globalization, (Hamsphire: MacMillan Distribution

Ltd., 2005), hlm. 20. 9 Dikatakan dalam perundingan oleh Menteri Keuangan AS, Henry Morgenthau Jr.; dan Menteri Luar Negeri AS,

Cordell Hull; dalam Christopher Herrick dan Patricia B. McRae, “the IMF and International Monetary

Management”, dalam Christopher Herrick dan Patricia B. McRae, Issues in America Foreign Policy, (New York:

Longman, 2002), hlm. 446. 10

Gerald M. Meier, “The Bretton Woods Agreement – Twenty Five Years After”, (Stanford Law Review, Vol. 23,

No. 2, 1971), diakses dari http://www.jstor.org/stable/1227663, hlm. 236. 11

Addison Wiggin, “Bretton Woods”, diakses dari http://www.gold-eagle.com/gold_digest_05/wiggin120106.html,

diakses pada Minggu, 20 Desember 2009, pukul 10.02.

8

dikhawatirkan akan gagal mengamankan keadaan ekonominya bila dibandingkan ketika jaman

isolasi dulu di pertengahan abad ke-19.

Jawaban yang memukau dari keriskanan ini terletak pada kepemimpinannya di

perundingan Bretton Woods. Pada saat itu dengan tegas wakil AS, Henry Dexter White menolak

usul dari wakil Inggris, John Maynard Keynes, untuk menciptakan sistem keuangan bersama

termasuk penggunaan mata uang tunggal bersama yang disebut sebagai bancor jika memang

stabilitas tujuan dari perundingan itu.12

Jika dianalisis, penolakan White amat berdasar pada

kerangka keinginan AS untuk tetap mengkiblatkan pengambilan keputusan utama sistem

keuangan dunia pada AS. Dua alasan penopang bagi AS adalah: (a) dunia belum siap

meninggalkan kedaulatan terhadap kegiatan ekonominya masing-masing, dan (b) dunia sendiri

masih harus tetap memfokuskan pengelolaan pada sistem emas.13

Ini akan lebih terlihat dalam

argumen dari White yang menyatakan bahwa yang diperjuangkan bukanlah perkembangan

ekonomi dunia, melainkan bagaimana menciptakan kestabilan harga (sistem kurs) untuk

menghindarkan diri dari perang—menunjukkan keinginan untuk mempertahankan superioritas

negara melalui pengelolaan kebijakan moneter dan fiskal (bukan karena bancor buruk, bahkan

dianggap ide yang baik14

).15

Hasil keputusan selanjutnya adalah menggunakan mata uang Dollar

AS sebagai mata uang dunia karena emas dimiliki oleh AS dalam jumlah yang besar. Transfer

emas ke mata uang selain ke mata uang pemilik emas terbesar dikhawatirkan akan menggangu

stabilitas keuangan dunia. Jika dianalisis, sebenarnya negara lain mengemis uang kepada AS

untuk membangun negaranya kembali, dan AS tentunya dengan senang hati membantu namun

harus sesuai dengan prasyarat yang diinginkan.

Mekanismenya adalah melalui sirkulas pendanaan global melalui dua institusi, IMF

digunakan dalam jangka pendek dan IBRD dalam jangka panjang. Masalah perdagangan

menjadi isu penting karena perdagangan menjadi bangunan dari sistem keuangan global itu

sendiri. Perdagangan amat terkait dengan kegiatan ekspor dan impor yang terjadi di antara

negara-negara dunia. Inilah prasyarat politis AS yang dirumuskan bersama dengan dunia bahwa

kemudian menurut penulis, keberadaan IMF dan IBRD bukanlah diciptakan karena kondisi

12

Addison Wiggins, “Bretton Woods”, ibid. 13

John H. Williams, “International Monetary Plans: After Bretton Woods”, (Foreign Affairs, Vol. 23, No. 1, 1944),

diakses dari http://www.jstor.org/stable/20029871, hlm. 43. 14

Ibid., hlm. 41-42. 15

Addison Wiggins, “Bretton Woods”, op. cit.

9

ekonomi, namun lebih disebabkan pada kondisi politik. AS yang memiliki dana besar membantu

negara lain dengan menyuntikan dana ke dua badan ini. Dengan demikian, AS selain membantu

negara lain juga semakin menambah kuasa kepada kedua badan ini karena bekerjanya kedua

badan ini akan ditentukan oleh negara yang memiliki sumbangan terbesar. Patut diingat, IMF

dan IBRD bukanlah bank sentral yang pengelolaannya bergantung untuk menciptakan stabilitas,

namun dilandasi kemauan politik negara penyumbang dana ke badan tersebut. Padahal,

sebelumnya, Poundsterling Inggris-lah yang digunakan sebagai mata uang global, yang

kemudian dikarenakan kesepakatan yang muncul, harus diganti dengan Dollar AS.16

Proses

penggantiannya sendiri bahkan merugikan Inggris karena Inggris yang sebelumnya merupakan

negara superpower harus rela menjadi pasien IMF untuk beberapa kali.17

AS semakin gencar memberikan bantuan secara politik ke negara-negara sekutunya untuk

menghindarkan negara-negara tersebut dari komunisme Uni Soviet (US) yang membahayakan

falsafah hidup yang dianut AS, hak kepemilikan dan pasar. Eropa Barat dan Jepang terus

diberikan bantuan melalui Kerangka Marshall yang disalurkan melalui IMF. Kebijakan yang

berbau politik ini mengakibat tiga hal; (a) dengan mengalirnya Dollar AS ke Eropa Barat dan

Jepang, jumlah emas yang dimiliki AS menurut drastis, (b) akibatnya, negara di Eropa Barat dan

Jepang berkembang menjadi negara industri baru yang menjadi saingan bagi industri AS, (c)

pasar AS menjadi serbuan produk dari Eropa Barat dan Jepang yang kemudian menyebabkan

neraca perdagangan AS menjadi defisit, dan (d) defisit lebih menyebabkan Dollar AS semakin

lari kencang keluar dari AS. Utang AS menjadi dengan cepat menumpuk. Industri dalam

negerinya juga menjadi semakin babak belur. Namun, Eropa Barat dan Jepang menjadi terhindar

dari komunisme. Diperparah, AS harus kembali berutang untuk membiayai perang proxy-nya

dengan US di semenanjung Korea dan Vietnam.18

Dengan semakin parahnya defisit yang

dimiliki oleh AS, yang meningkat dari sesaat setelah Perang Dunia II sekitar 43 milyar Dollar

AS menjadi di tahun 1970 sekitar 200 milyar Dollar AS19

—terutama diakibatkan oleh Perang

Vietnam yang jika dikalkulasikan dengan nilai Dollar AS kini yang menghabiskan hingga 500

16

Cyrillus Harinowo, “Membaca Tanda-Tanda Zaman: Dollar AS vs Euro”, Majalah Tempo, diakses dari

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/06/09/KL/mbm.20030609.KL88240.id.html. 17

Ibid. 18

Charles Michael Aho, "National Debt", dalam Microsoft® Encarta® 2009 [DVD], (Redmond, WA: Microsoft

Corporation, 2008). 19

Bill Bonner dan Addison Wiggin, Empire of Debt: The Rise of an Epic Financial Crises, (New Jersey: John

Wiley and Sons, Inc., 2006), hlm. 181-187.

10

milyar Dollar AS20

—ekonomi AS mendapatkan tekanan luar biasa. Ini diperparah dengan

diperdagangkannya emas dengan harga yang lebih murah daripada standar emas yang

diciptakan sebesar satu troy ons emas = 35 Dollar AS di pasar gelap yang jika dilakukan dalam

jumlah masif tentunya akan semakin sangat membahayakan perekonomian AS.21

Akhirnya pada

tanggal 15 Agustus 1971, di bawah Presiden Nixon, AS mengguncangkan dunia.22

AS harus rela

melepas patokan tetap pada mata uangnya pada emas.23

Setidaknya, apa yang terjadi di AS di

tahun 1960-an adalah seperti apa yang terjadi di Eropa Barat dan Jepang di tahun 1950-an

namun dalam skala yang terlampau besar dan dalam keadaan AS belum dibantu oleh siapapun

karena ekonomi negara-negara yang menjadi sekutunya masih dalam keadaan bangkit.24

Analisis Pertama. Untuk memperjelas penjelasan pada bagian ini, dapat melihat grafik

pada lampiran. Pada masa ini dunia dipenuhi oleh keadaan bahwa pembangunan terhadap

negara-negara yang terkena dampak perang haruslah dilakukan. Dunia juga mulai pada tahap

awal mengenai pertarungan dua ideologi besar antara Barat dan Timur. Pertanyaan identitas

pada saat itu adalah AS sebagai sebuah negara yang besar mampu menunjukan

kepemimpinannya dalam menangani dua permasalahan tersebut. AS dengan kebanggaannya

merumuskan strategi agar superioritasnya tetap dijaga dengan membuat tiga institusi keuangan

dunia di bawah kepemimpinannya. Keadaan ini mampu memaksa setiap elemen banga untuk

ikut terlibat dalam keadaan ini. Pada akibatnya, banyak sekali emas AS yang terdapat dalam

bentuk Dollar AS disalurkan ke luar AS yang berakibat kepada semakin defisitnya neraca

pembayaran pemerintah. Walaupun pada akhirnya hal ini merupakan kesepakatan bersama di

antara setiap elemen bangsa di AS untuk menggunakan cadangan devisanya membantu

perkembangan pembangunan di Eropa Barat dan Jepang serta dalam usahanya untuk

menanggulangi komunisme, lambat laun, setiap elemen bangsa di AS merasa bahwa perjuangan

untuk membawakan identitas seperti ini tidaklah lagi sesuai. Eropa Barat dan Jepang yang

enggan untuk terus mengikuti perkembangan seperti ini pada akhirnya juga tidak mau

membantu AS terlebih karena terjadi pergolakan dan pembangunan di kedua wilayah yang

belum sempurna. Bagi Pemerintah AS sendiri, tentunya keadaan ini akan mempersulit mereka

20

Ibid., hlm. 180. 21

Cyrillus Harinowo, “Membaca Tanda-Tanda Zaman: Dollar AS vs Euro”, op. cit. 22

Bill Bonner dan Addison Wiggin, Empire of Debt: The Rise of an Epic Financial Crises, hlm. 177. 23

Ibid. 24

Ben Thirkell-White, The IMF and the Politics of Financial Globalization, op. cit., hlm. 51.

11

untuk mempolitisasi identitas yang telah mereka bangun yang dapat mengancam stabilitas

kegiatan ekonomi di AS.

Oleh karenanya, kemudian Pemerintah AS memaksa semua bagian yang dipolitisasi

identitasnya untuk mendukung apa yang diinginkan oleh pemerintah AS tunduk adalah dengan

melepaskan kontrol mereka terhadap Dollar AS. Mereka merasa bahwa ini bagian dari

kedaulatan mereka yang terganggu dan baik seluruh elemen yang kemudian setuju untuk

mewujudkan keadaan perekonomian dunia yang sesuai dengan apa yang dibuat di awal haruslah

bertanggungjawab terhadap keadaan ini. Keadaan ini tidak dapat ditanggung sendirian oleh AS

terutama pemerintah yang diwarisi tanggung jawab ini pada saat itu. Pada akhirnya, hal ini

memang mampu memaksa setiap elemen untuk kembali merumuskan yang terbaik kemudian.

B. Era Smithsonian Institution dan Nasionalisme Amerika Serikat (AS)

Inflasi yang ditimbulkan dalam mata uang Dollar AS yang sejak tahun 1971—dimana

patokan terhadap standar emas gagal untuk diterapkan—sudah menjadi terkenal sebagai

pegangan pengganti emas sesuai dengan keinginan dalam Perundingan Bretton Woods

dikhawatirkan akan merembet ke seluruh negara yang memegang Dollar AS. Kegiatan ekonomi

AS sendiri masih banyak mendapatkan permintaan dari Pemerintah AS terutama dalam usaha-

usaha untuk terus membendung penyebaran komunisme. Namun dari sisi penawaran,

Pemerintah AS tidak memiliki dana untuk mencukupi sisi permintaannya tersebut. Seharusnya

secara rasional Pemerintah AS tidak dapat terus mengikuti hasrat nafsunya untuk membiayai

kegiatan politiknya sementara di lain sisi Pemerintah AS tidak memiliki dana untuk

merealisasikannya. Untuk itulah kemudian AS menggunakan strategi memanfaatkan Dollar AS

yang telah digunakan di seluruh dunia dengan melepas Dollar AS ke arah float system. Dengan

demikian keberadaan utang AS akan dibantu negara lain yang menggunakan mata uangnya

sebagai simpanan cadangan devisanya dengan menularkan inflasi ke seluruh dunia dan menarik

banyak pinjaman melalui mekanisme kebijakan moneter bank sentral dengan perbandingan

tingkat suku bunga AS yang lebih menjanjikan dibandingkan tingkat suku bunga negara lain.

Negara-negara Eropa Barat dan Jepang yang memiliki banyak cadangan devisa dalam bentuk

Dollar AS pun terkena imbasnya.25

25

Mengenai imbas ini dapat dilihat dapal Michael Hudson, ibid., hlm. 336.

12

Sebelumnya, apa yang terjadi di dalam pembatalan terhadap kesepakatan Bretton Woods

mengenai patokan Dollar AS terhadap emas sudah diramalkan oleh AS dan sekutunya.26

AS pun

mengusulkan menggunakan Special Drawing Rights (SDR) yang diusung bersama oleh Dollar

AS, Poundsterling Inggris, Yen Jepang, dan Mark Jerman dengan mematok stabil terhadap nilai

kisaran tertentu terhadap emas.27

Strategi ini pada awalnya ditolak oleh Eropa Barat karena

Eropa Barat merasa sudah tidak tergantung lagi dengan bantuan AS sehingga tidak memiliki

kewajiban apapun untuk membantu urusan AS karena perang baik di Semenanjung Korea

maupun di wilayah Indocina, apalagi semenjak kesepakatan bersama GATT mengenai

penentuan bersama kegiatan ekspor dan impor di antara AS, Eropa Barat, dan Jepang yang

diadakan baru-baru saja pada saat itu telah merugikan Eropa Barat sendiri karena terpaksa

menekan produksi dalam negeri, yang bahkan pengangguran di Inggris meningkat menjadi lebih

dari sejuta orang.28

Perancis yang ingin membela AS pun disergap dari dalam negeri dengan

adanya demonstrasi mahasiswa yang melarang Perancis untuk terlibat lebih jauh dalam Perang

Vietnam. AS pun juga telah mencoba alternatif lainnya seperti membatasi jumlah impor tekstil

dari Jepang dan Cina namun gagal karena mendapat tentangan karena menghambat insentif

produksi industri dalam negeri mereka.29

Selain itu, dalam mekanisme SDR Akhirnya di tahun

1971, badai krisis datang menghantam dengan jatuhnya nilai mata uang Dollar AS yang

menyebabkan nilai riil mata uang yang berkontak dengan Dollar AS juga ikut tergerus. SDR pun

akhirnya disetujui oleh Eropa Barat dan Jepang untuk digunakan sebagai mekanisme

penggantian stabilitas nilai tukar Dollar AS terhadap emas sesuai yang dicitakan dalam Bretton

Woods.

Kemudian di Desember 1971 dicapailah kesepakatan the Smithsonian Institution (SI) yang

mengarahkan tingkah laku yang terjadi dalam neraca pembayaran sebagai salah satu keadaan

normal yang harus dijalani (willful policy) karena sudah semestinya dalam neraca pembayaran

26

Tanda-tanda mengenai kegagalan ini sudah terlihat ketika AS mengancam negara-negara yang memberikan

sumbangan bagi defisit dalam neraca pembayarannya untuk membantu AS mengurangi defisit ini karena sangat

berat bagi AS, dalam Michael Hudson, ibid., hlm. 328. 27

Menurut informasi dari IMF, nilai SDR dipatok dalam harga satu SDR sama dengan 0,888671 gram emas,

diakses dari http://www.imf.org/external/np/exr/facts/sdr.htm. 28

Michael Hudson, Super Imperialism: the Origins and Fundamentals of U.S. World Dominance, op. cit., hlm.

345-346. 29

Michael Hudson, Super Imperialism: the Origins and Fundamentals of U.S. World Dominance, op. cit., hlm. 329.

13

terdapat negara yang mengalami surplus dan negara yang mengalami defisit.30

Perhatian AS

sangat tertuju kepada mekanisme bagaimana mengarahkan defisit yang dimilikinya sebagai

tindak lanjut dari SDR sebagai tindak lanjut dari perubahan sistem Bretton Woods tidak

menghancurkan Dollar AS sendiri dan mata uang lainnya yang tergabung dalam SDR akibat

adanya defisit tersebut.31

Oleh karenanya, AS memilih untuk tetap menggunakan float system

untuk terus dapat menghidupkan strategi SI ini.

Setidaknya Haberler mengemukakan tiga prasyarat untuk mempertahankan strategi SI ini;

(a) keberadaan inflasi, (b) keberadaan float system, dan (c) adanya akumulasi stok Dollar AS.32

Artinya adalah, strategi ini akan menghasilkan suatu kondisi defisit tanpa henti dimana ada

bagian dunia yang terus berproduksi (surplus) dan ada bagian dunia yang berkonsumsi (defisit)

dimana negara surplus mendapatkan cadangan devisa dan negara defisit mendapatkan utang

yang tentunya defisit berlebih ini diarahkan untuk dibiayai dari surplusnya negara lain. Salah

satu mekanismenya adalah melalui penerbitan surat utang dari negara defisit yang dibeli oleh

negara surplus dengan margin kentungan berasal dari inflasi dan bunga.

Sistem ini akan bergerak tanpa henti, apalagi jika mengingat negara defisit dalam hal ini

adalah AS sebagai sumber asal dari Dollar AS yang sudah menjadi mata uang dominan yang

dipegang hampir di seluruh negara di dunia, yang kemudian jika disinggung untuk dilakukan

perubahan akan menghancurkan seluruh sistem yang telah di buat.33

Apalagi, defisit neraca

pembayaran AS bukan disebabkan karena inkapabilitas industri AS yang tidak mampu

mencukup kebutuhan dalam negeri AS yang juga bukan disebabkan karena ketidakberdayaan

ekonomi AS, melainkan dikarenakan berasal dari program militer dalam rangka membendung

komunisme di seluruh dunia yang oleh karenanya menurut Daniel segala bentuk defisit yang

disebabkan karenanya harus ditanggung bersama oleh negara-negara di lingkaran AS seperti

Eropa Barat dan Jepang.34

Melalui strategi baru inilah ditemuinya titik temu diantara

kepentingan politik yang bermain di antara negara-negara besar di dunia dalam mengontrol

kegiatan moneter dunia. AS yang dahulu berstatus sebagai negara pemberi utang atau negara

kreditor kini harus berganti status menjadi negara penerima utang atau negara debitor dalam

30

Ibid., hlm. 348. 31

Ibid., hlm. 350-351. 32

Ibid., hlm. 350. 33

Ibid., hlm. 377. 34

Ibid., hlm. 355.

14

artian tidak mengindikasikan bahwa rakyat AS tidak bekerja karena industri dalam negeri AS

lumpuh. Namun ini lebih disebabkan karena adanya keinginan untuk mengarahkan proses

produksi dan konsumsi, proses surplus dan defisit ke arah perlindungan dari sistem tersebut

yang mendapatkan ancaman dari komunisme melalui pemanfaatan dana bagi militer.

Analisis Kedua. Dapat melihat penggambaran pada grafik di lampiran. Pemerintah AS

semakin gencar untuk memaksakan keadaan yang memang dianggap harus ditanggung bersama.

Inilah bagian kepentingan dunia yang harus diselamatkan. Setiap elemen bangsa di AS

menginginkan adanya keterbukaan pasar dan hak kepemilikan mereka dapat terjamin. Begitu

pula dengan yang ada di Eropa Barat dan Jepang. Kemakmuran memang tujuan mereka. Oleh

karenanya, kemudian melalui SI setiap negara setuju untuk menggunakan SDR dengan

menggunakan mata uang Dollar AS, Poundsterling Inggris, Deutchs Mark Jerman, dan Yen

Jepang. Dengan mekanisme seperti ini mereka dapat menopang keadaan surplus dan defisit

untuk mengarahkan keadaan kepada penciptaan tujuan bersama itu. Jika ada negara yang

surplus, pasti ada negara yang defisit. Surplus identik dengan Eropa Barat dan Jepang,

sedangkan AS mengalami defisit. Keadaan memang seimbang seperti itu. Tetapi, adalah

kemudian mengarahkan pencapaian pembangunan untuk kepentingan bersama yaitu melawan

komunisme. Melalui SDR, mereka mampu menciptakan keseimbangan sendiri yang walaupun

mereka dalam keadaan defisit maupun surplus, setidaknya karena kesepakatan, hal ini bukanlah

menjadi masalah karena ditujukan untuk mewujudkan hasil kesepakatan tersebut.

C. Konsensus Washington dan Nasionalisme Amerika Serikat (AS)

Istilah Konsensus Washington diciptakan oleh John Williamson untuk mengindikasikan

keberadaan negara-negara ekonomi baru di luar negara-negara yang selama ini mendominasi

seperti AS, Eropa Barat, dan Jepang. Pengeluaran istilah ini adalah untuk menunjukkan adanya

program (yang ditulis ke dalam sepuluh poin utama oleh Williamson) yang dilakukan oleh IMF

sebagai institusi dari Washington di tahun 1989 kepada negara-negara di Amerika Latin sebagai

persiapan untuk menjadi negara industri baru namun melahirkan perdebatan dalam

penerapannya.35

Namun, istilah dan poin ini sendiri tidak hanya digunakan untuk negara-negara

Amerika Latin, tetapi juga di seluruh wilayah „baru‟ yang selama ini belum banyak disentuh

35

John Williamson, “The Washington Consensus and Beyond”, (Economic and Political Weekly, Vol 38, No. 15),

diakses dari http://www.jstor.org/stable/4413431 hlm. 1475.

15

akibat Perang Dingin.36

Konsep yang kebanyakan berisikan nilai neoliberal ini mulai banyak

disebarkan di wilayah seperti Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia terutama ketika Uni Soviet

tidak lagi menjadi penghalang semenjak keruntuhan di tahun 1989.

Ada sepuluh poin penting dalam Konsensus Washington;37

(1) mendisiplinkan fiskal

terkait dengan keberadaan status negara-negara yang mengalami defisit neraca pembayaran

dimana negara-negara tersebut harus mendisiplinkan fiskal mereka agar terhindar dari defisit

karena memberikan efek inflasi dan kerentanan terhadap krisis, (2) memprioritaskan

pengeluaran publik ke arah pemerataan pendapatan (di lain sisi pro-pertumbuhan dan di

sisi yang satunya adalah pro-terhadap kaum miskin) seperti untuk pembiayaan kesehatan,

pendidikan, dan infrastruktur, (3) reformasi pajak yang terkait dengan mengkonstruksi sistem

pajak ke arah yang lebih luas dan pajak yang lebih bersahabat, (4) liberalisasi suku bunga

terkait dengan liberalisasi struktur keuangan dalam keadaan yang lebih luas, (5) sistem kurs

yang kompetitif dimana Washington sendiri sudah mulai melupakan batas-batas sistem kurs

yang ditetapkan secara tegas dan dibiarkan secara bebas yang berarti sistem kurs tidak harus lagi

terpaku pada salah satu dari dua sisi pengelolaan sistem kurs yang sangat berlawanan itu, (6)

liberalisasi perdagangan yang segera harus ditentukan arahnya karena perdagangan haruslah

terjadi walaupun pada kenyataannya terjadi banyak perdebatan panjang di dalam perumusannya,

(7) liberalisasi foreign direct investment yang tidak memasukkan liberalisasi kapital secara

menyeluruh, (8) privatisasi terkait dengan pelaku dalam kegiatan ekonomi seperti kegiatan

produksi hingga distribusi dimana kepemilikkan pemerintah terhadap aset kegiatan ekonomi

dipandang sebagai salah satu penyebab terjadinya inakuntabilitas sebuah sistem karena amat

terkait dengan politik dan kekuasaan walaupun di lain sisi privatisasi benar-benar dapat

memberikan keuntungan apabila dilakukan dengan baik, (9) deregulasi yang terkait dengan

mempermudah hambatan untuk melakukan kegiatan perdagangan seperti hambatan saat masuk

dan keluar ke dan dari sebuah negara, (10) melindungi hak kepemilikkan dimana difokuskan

36

Dalam menerangkan penerapan Konsensus Washington, Williamson banyak memberikan contoh di wilayah-

wilayah ini seperti Amerika Latin, Asia, dan Eropa Timur, lihat ibid., hlm. 1476-1481. 37

John Williamson, "What Should the World Bank Think about the Washington Consensus”, (Oxford University

Press, 2000), diakses dari http://www.jstor.org/stable/3986418, dimana keterangan mengenai sepuluh poin penting

dalam the Washington Consesus yang dirumuskan oleh Williamson diperoleh dari John Williamson, “The

Washington Consensus and Beyond”, dalam Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 15, diakses dari

http://www.jstor.org/stable/4413431, hlm. 1476.

16

pada sektor informal yang masih belum banyak disentuh dalam hal perlindungan terhadap hak

kepemilikkan.

Mengapa Konsensus Washington ini menjadi perdebatan? Dalam beberapa kasus di

beberapa negara, Konsensus Washington dipandang sebagai salah satu penyebab terjadinya

krisis keuangan yang seharusnya diatasi oleh keberadaan konsensus ini. Setelah AS, Eropa

Barat, dan Jepang mantap dengan strateginya untuk memanfaatkan proses surplus dan defisit, di

penghujung tahun 1980an Uni Soviet runtuh yang menyebabkan isu liberal dan demokrasi

menyebar dengan cepat yang membawa manusia ke era kosmopolitanis.38

Selain itu, dengan

tidak adanya persaingan di antara dua kutub yang berbeda, dan menyebarnya paham demokrasi

dan liberalisme, peran negara akan semakin tergerus di dalam hubungan internasional untuk

kemudian diimbangi oleh aktor lain seperti individu dan kumpulan individu seperti dalam

komunitas global ataupun perusahaan transnasional. Konsensus Washington kemudian

dipersiapkan sebagai proses transisi bagi negara-negara yang beranjak ke arah keterbukaan

tersebut, yang dapat terlihat di dalam poin-poin utama dalam Konsensus Washington. Proses

transisi ini sebenarnya baik, namun tidak memandang keadaan timpang di negara-negara yang

mengalami proses transisi bahwa negara-negara ini masih tertinggal jauh bila dibandingkan

dengan negara maju seperti masih rendahnya tingkat pendidikan.39

Beberapa kasus yang menjadi sumber dari perdebatan mencuat semenjak terjadinya krisis

keuangan di Asia yang kemudian menyebar ke seluruh dunia terutama di kalangan negara-

negara berkembang. Konsensus Washington dipandang melupakan beberapa kondisi yang

sedang berlaku di negara-negara yang sedang berjalan dalam proses transisi. Konsensus ini lupa

untuk memandang sebagai contoh bahwa masih banyak negara-negara ini yang masih di bawah

belenggu kekuasaan otoriter yang dekat dengan kesewenang-wenangan yang padahal peran

aktor di luar negara semakin meningkat.40

Dalam beberapa kasus, ketika dalam keadaan seperti

ini negara tidak cepat merespon adanya hak kepemilikkan, maka percuma saja menarik modal

38

Francis Fukuyama, “The Former Question Answered”, dalam Francis Fukuyama, The End of History and the

Last Man, (New York: Macmillan, Inc., 1992), hlm. 126-130. 39

(Tidak diketahui Penulisnya), “Gambaran Global Sangat Rumit”, dalam Kompas, diakses dari

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0301/20/EKONOMI/89279.htm, diakses pada Minggu, 20 Desember

2009, pukul 12.54. 40

Doni Rodrik, “Good Bye Washington Consensus, Hello Washington Confusion?: A Review of the World Bank’s

Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade of Reform”, (Journal of Economic Literature, Vol. 44,

No. 4, 2006), diakses dari http://www.jstor.org/stable/30032391, hlm. 976-977.

17

dari investasi ke dalam sebuah negara, yang mana para investor enggan untuk menanamkan

investasinya dalam bentuk investasi langsung yang lebih memberikan guna kepada

perkembangan industri karena hak kepemilikkan di negara tersebut masih belum diatur.41

Inilah

yang kemudian dialami oleh Argentina yang masih saja belum bangkit semenjak bantuan IMF

di tahun 1990an hingga mengalami krisis di tahun 2002 karena Konsensus Washington

melupakan perbaikan di manajemen pengelolaan utang yang didapatkan Argentina dari IMF

sehingga menyebabkan utang salah dikelola dan semakin menghimpit Argentina dengan utang

yang semakin membengkak.42

Hal ini juga dapat terlihat dalam perbedaan proses pemulihan

akibat krisis yang dialami Korea Selatan dan Indonesia dimana Korea Selatan lebih cepat pulih

karena Korea Selatan secara politik mampu merespon dengan cepat kebutuhan di luar

Konsensus Washington seperti manajemen pengelolaan utang yang baik sehingga menimbulkan

kepercayaan yang cepat baik dari warganegaranya sendiri maupun investor; sedangkan apa yang

terjadi di Indonesia, liberalisasi yang dicanangkan sebelumnya (sekitar tahun 1994) cenderung

tidak diikuti oleh pengelolaan manajemen keuangan yang baik yang memang tidak terdapat

dalam Pemerintahan Soeharto (seperti terlalu sentralistik, makro, dan berpatronasi) sehingga

ketika krisis menghantam hal-hal inilah yang kemudian menyebabkan warganegara cenderung

kurang memiliki aset-aset ekonomi akibat terlalu sentralistis, kurang menyentuh mikro, dan

dikuasai oleh orang-orang di lingkar Soeharto yang cenderung korup yang kemudian

melemahkan kepercayaan baik dari warganegaranya sendiri maupun investor hingga berujung

kepada kejatuhan Soeharto dan reformasi.43

Oleh karenanya, dalam beberapa perdebatan

mengenai Konsensus Washington, ditemui beberapa kritik tajam seperti mengenai perlunya

menambah beberapa poin di dalam Konsensus Washington seperti yang disuarakan oleh Doni

Rodrik;44

(1) corporate governance, (2) anti-corruption, (3) flexible labor market, (4) WTO

(World Trade Organization) Agreement, (5) Financial Codes and Standard, (6) Prudent

41

Ibid., hlm. 977. 42

Joseph E. Stiglitz, “The Burden of Debt”, dalam Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, (New York:

W.W. Norton & Company, Inc., 2006), hlm. 224-225. 43

Ben Thirkell-White, The IMF and the Politics of Financial Globalization, op. cit., hlm 128-129. Namun untuk

melihat secara keseluruhan proses-proses yang terjadi di Korea Selatan dapat dilihat di hlm. 98-127, Indonesia hlm.

128-157. 44

Doni Rodrik, “Good Bye Washington Consensus, Hello Washington Confusion?: A Review of the World Bank’s

Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade of Reform”, op. cit., hlm. 978.

18

Capital-Account Opening, (7) Non-Intermediate Exchange Rate Regimes, (8) Independent

Central Banks for Inflation Targeting, (9) Social Safety Nets, (10) Targeted Poverty Reduction.

Satu hal yang sejak tadi telah disinggung penulis bahwa semenjak kejatuhannya Uni

Soviet, dunia kini tidak didominasi lagi oleh negara. Aktor lain seperti individu dan kelompok

individu (perusahaan multinasional, organisasi sipil, dsb.) telah meramaikan hubungan

internasional seiring menyebarnya paham demokrasi dan liberalisme termasuk satu hal penting,

perkembangan yang demikian pesat di bidang teknologi informasi dan transportasi seperti yang

dikatakan oleh Robert O. Koohare dan Joseph S. Nye, Jr. mengenai akibatnya sebagai global

village.45

Jika dibandingkan dengan keadaan sebelum penghujung tahun 1980-an, negara masih

dapat mengontrol melalui strategi dalam SI. Segala bentuk surplus dan defisit yang dilakukan di

dalam neraca pembayaran dan penumpukkan defisit tanpa henti masih dapat dikontrol. Dengan

bermainnya individu, terutama dalam kaitan mencari keuntungan sesaat melalui pasar keuangan

dan pergerakan likuiditas dari apa yang dilakukan oleh individu-individu ini kemudian menjadi

permasalahan besar bagi strategi SI yang belum siap untuk dihadapi.

Analisis Ketiga. Masih dapat menggunakan gambar grafik di lampiran yang membahas

bagian ini untuk lebih dapat memahami analisis ini. Pada bagian ini, ada empat hal yang harus

diperhatikan: (a) negara sudah tidak lagi menjadi aktor dominan dalam hubungan internasional.

Hal ini akan berpengaruh kepada setidaknya kapabilitas pemerintah yang selalu mendominasi

kebijakan negara untuk membangun identitas kebangsaannya ini. Lihat gambar grafik mengenai

pemahaman konsep dasar identitas kebangsaan. Ketika negara yang diwakili oleh elit bangsa

yang mampu menyalurkan aspirasinya tidak lagi diikuti oleh elemen bangsa yang merasakan

bahwa kebijakan identitas kebangsaan mereka sesuai dengan aspirasi elemen bangsa tersebut,

maka kemudian identitas kebangsaan yang dibangun ini lambat laun akan hancur. Inilah yang

terjadi di tubuh AS sendiri karena melalui demokrasi saja dirasakan tidak cukup untuk

memuaskan kepentingan elemen bangsa yang semakin terbuka matanya akan pentingnya

mengelola identitas dengan lebih baik. (b) Semakin terbukanya mata elemen bangsa AS tidak

mudah untuk dilupakan juga dikarenakan bahwa penutupan aspirasi ini untuk difokuskan

kepada perlawanan terhadap komunisme hancur. Ini menyebabkan kemudian pemerintah AS

45

Robert O. Koohare dan Joseph S. Nye, Jr., “Power and Interdependence in the Information Age”, dalam Charles

W. Kegley, Jr. dan Eugene R. Wittkopf, The Global Agenda: Issues and Perspectives, 6th

ed., (New York: Mc.

Graw-Hill, 2005), hlm. 27-28.

19

tidak lagi memiliki kemampuan untuk membuat suatu isu yang dapat kembali membantu elemen

bangsa yang ada memotivasi mereka tunduk pada isu yang mereka suarakan. Semenjak Perang

Dingin berakhir, fokus isu cepat sekali berubah dan barulah sampai pada penghancuran terhadap

gedung World Trade Center dan Pentagon yang menyebabkan mereka sama-sama kembali

kepada fokus isu—terlepas dari berbagai konspirasi pemerintah untuk mengembalikan dominasi

isu. (c) Keterbukaan akses informasi menyebabkan elemen bangsa semakin mudah untuk tidak

tunduk kepada kebijakan identitas kebangsaan AS. Dan (d) munculnya negara baru dunia ketiga

yang bangkit yang menjadi tempat bagi elemen bangsa untuk melampiaskan realisasi

pelaksanaan tujuan-tujuan ideal pada identitas kebangsaan untuk memakmurkan dirinya dengan

menanamkan investasi ke dalamnya. Keempat faktor ini kemudian yang menjadi landasan kuat

untuk dilaksanakannya Konsensus Washington yang disuarakan oleh kepentingan identitas

kebangsaan AS melalui IMF, Bank Dunia (IBRD), dan the World Trade Organization (WTO

yang merupakan perubahan dari GATT).

Negara dunia ketiga diajak untuk semakin membuka akses transparansi dan akuntabilitas

keadaan semenjak Konsensus Washington ini. Namun sayangnya, kemudian penyuruhan ini

tidak diikuti oleh AS dan beberapa negara Eropa Barat lainnya yang kemudian menyebabkan

runtuhnya pasar keuangan di tahun 2008. Ternyata di lain sisi, apa yang terjadi di Krisis Asia

tidak segera dijadikan pelajaran bagi sistem moneter yang berjalan di negara-negara di AS,

Eropa Barat, dan Jepang.46

Dalam kasus Krisis Keuangan 2008, ketiadaan regulasi yang

mengatur pergerakkan individu inilah (dan termasuk Perusahaan Fannie Mae dan Freddie Mac.

sebagai perusahaan yang menyalurkan kredit perumahan ke pasar keuangan) yang dituding

menjadi penyebab yang menyebabkan inflasi besar yang menyebar dari harga rumah di AS ke

seluruh dunia.47

Kredit perumahan yang dijualkan di pasar keuangan tanpa regulasi ini

kemudian selalu berpindah tangan secara cepat dari individu ke individu lainnya dengan komisi

yang makin lama makin membengkak yang ketika sumber individu yang seharusnya membayar

kredit itu tidak mampu membayar dan menjadi isu di kalangan investor, maka kepanikkan dan

46

(Tidak diketahui Penulisnya), “Menghidupkan Kembali Bretton Woods”, dalam Koran Kompas, diakses dari

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01524395/menghidupkan.kembali.bretton.woods, diakses pada

Minggu, 20 Desember 2009, diakses pukul 12.45. 47

Eswar Prasad, “Belajar dari Krisis Keuangan saat ini”, dalam Tempo, Rabu 15 Oktober 2008, diakses dari

http://www.tempo.co.id/hg/kolom/2008/10/15/kol,20081015-34,id.html, diakses pada Minggu, 20 Desember 2009,

pukul 14.43.

20

ketidakpercayaan menyebar di pasar keuangan hingga merembet ke bangkrutnya beberapa

perusahaan asuransi besar yang menjadi agen perlindungan kredit tersebut. Perilaku individu

yang mencari keuntungan dengan seenaknya yang menyebabkan terjadinya krisis ini48

penulis

lihat sebagai keadaan yang berbalik penyerangannya terhadap negara maju yang berusaha

menginisasi Konsensus Washington tanpa bercermin terlebih dahulu. Akibatnya, utang AS

membengkak hingga 10 trilyun Dollar AS49

dengan sedikit manfaat yang dapat dinikmati oleh

warga negara AS sendiri. Pertanyaan akan pentingnya mengikuti kebijakan politik identitas

kebangsaan yang dihasilkan oleh pemerintah pada akhirnya kembali menyeruak dengan dalam.

Dalam era Konsensus Washington ini sebenarnya pelaksanaan SI juga masih berjalan, namun

lebih diarahkan untuk memperhatikan keempat faktor alasan yang disebutkan. Sebagai contoh,

pembentukan kerjasama bank sentral untuk mengatasi krisis keuangan global.50

Dalam grafik di lampiran, dijelaskan mengenai tantangan bahwa tidaklah mudah untuk

menjelaskan pernyataan dalam keempat faktor alasan yang menyebabkan pengelolaan kebijakan

identitas kebangsaan AS semakin dipertanyakan saat ini. Entah mengapa, inilah titik akhir yang

hendak penulis jelaskan dalam bagian kesimpulan sebagai sebuah renungan pembelajaran dari

nasionalisme AS untuk membentuk semacam kerangka kebijakan politik identitas yang lebih

baik ke depannya bagi dunia.

48

MON, “Sistem Bonus Picu Kebangkrutan dan Krisis Global”, dalam Kompas, 16 Oktober 2008, diakses dari

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/16/08061898/sistem.bonus.picu.kebangkrutan.dan.krisis.global, diakses

pada Minggu, 20 Desember 2009, pukul 14.46. 49

Diakses dari http://www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2006/pdf/hist.pdf, diakses pada Minggu, 20 Desember

2008, pukul 22.10. 50

Beberapa cara yang ditempuh beberapa negara ini antara lain Bank Sentral Eropa yang menyuntikkan dana

sebesar 95 milyar Euro ke pasar pada tanggal 9 Agustus 2008 yang juga diikuti oleh AS dan Jepang. Pada 10

Agustus 2008 Bank Sentral Eropa kembali menyuntikkan dana segar sebesar 61 milyar Euro ke pasar. Dilanjutkan

tanggal 13 Agustus 2008 dengan menyuntikkan dana sebesar 47,7 milyar Euro. Informasi diperoleh dari George

Soros, The New Paradigms for Financial Market, (New York: PublicAffairs, 2008), hlm. xv.

21

BAB III

KESIMPULAN: RENUNGAN PEMBELAJARAN

Amerika Serikat (AS) adalah negara besar, negara adikuasa. Dia menguasai keseluruhan

optimasi dari setiap bidang yang dipelajari manusia. Apakah itu hukum, ekonomi, politik,

hingga teknologi dan kegiatan sosial budaya. Kemudian adalah menjadi sangat penting untuk

mempelajari bagaimana AS mengelola identitas kebangsaannya ini agar terus dapat

menyesuaikan dengan keinginan masyarakatnya dan kegiatan di luar negara AS. Untuk menjadi

pembelajaran juga bahwa realisasi suatu konsep kebangsaan tidak dapat dilepaskan juga dari

pentingnya untuk memperhatikan kejadian di luar negara yang kemudian dalam hal ini

direalisasikan dengan melakukan hubungan internasional yang benar-benar sesuai dengan

kehendak yang diinginkan oleh konsep kebangsaan tersebut.

Pada analisis pertama didapatkan poin bahwa AS adalah negara biasa seperti negara

lainnya di penghujung Perang Dunia II. Yang membuatnya tidak biasa adalah keadaan

ekonominya yang tertolong akibat keadaan yang memaksa dia untuk lebih maju dibandingkan

negara-negara yang terkena dampak dari Perang Dunia II. Beruntung, perang tidak terjadi di

wilayahnya. Keadaan inilah yang kemudian didasari juga dengan niat baik seluruh negara-

negara di dunia terutama para pemenang perang untuk membuat dunia berikutnya lebih baik.

Definisi lebih baik tentunya adalah didefinisikan oleh masing-masing negara. Namun, keadaan

pada saat itu adalah keberhasilan AS untuk memperjuangkan kepentingannya mengelola

kehidupan ekonomi dunia yang menguntungkan bagi kegiatan ekonomi dalam negerinya.

Pembuatan tiga institusi keuangan dunia yang diharuskan oleh keadaan dipimpin olehnya adalah

bentuk kesuksesan terbesar. Dengan adanya ketiga institusi tersebut, AS dapat menjalankan

dominasi terhadap kegiatan keuangan dunia termasuk memberikan bantuan kepada negara-

negara yang hancur lebur akibat perang di Eropa dan Asia yang kemudian lebih difokuskan

kepada Eropa Barat dan Jepang untuk mencegah kedua wilayah penting tersebut jatuh ke

komunisme. Akibatnya, tentunya Eropa Barat dan Jepang jauh dari komunisme karena kegiatan

ekonomi di kedua wilayah tersebut bangkit. Di luar dugaan, Perang Korea dan Perang Vietnam

terjadi yang justru semakin banyak mengeluarkan uang pemerintah. Selain itu, serbuan produk

dari kedua wilayah juga menyebabkan keadaan ekonomi AS semakin melemah. Dilema ini pada

22

kahirnya diakhiri dengan pelepasan sistem keuangan terkontrol yang dilandasi semangat bahwa

AS bukanlah negara yang harus dikorbankan, namun semua harus berkorban untuk menjalankan

keinginan untuk menghindari komunisme.

Kemudian Smithsonian Institute (SI) berkembang menggantikan Bretton Woods. Pada

tahap ini, AS kembali berhasil untuk memperjuangkan kebangsaan mereka, memperjuangkan

kehendak rakyat untuk memakmurkan mereka dengan jalan mereka yaitu pasar dan adanya hak

kepemilikan. Melalui hubungan internasional, AS mampu memaksa negara-negara mitra mereka

di Eropa Barat dan Jepang untuk mendukung usaha ini karena pada dasarnya keinginan mereka

sama di bidang pengelolaan keuangan dunia. Inilah poin utama dari analisis kedua dimana mulai

disadari secara nyata bahwa AS mampu untuk lebih merealisasikan keinginannya untuk

mengatur kegiatan keuangan dunia berdasarkan kepentingan identitas kebangsaan mereka.

Nilai-nilai yang terdapat dalam kebangsaan mereka berhasil dihidupkan kembali atau

dihidupkan di kedua wilayah ini. AS berhasil memaksa negara-negara ini untuk mengelola

kegiatan keuangan dunia bersama-sama. Titik ini sangat penting untuk mempelajari bagian

analisis berikutnya. Hal yang selama ini diselesaikan secara sendiri dan memicu perang pada

akhirnya benar-benar dihidupkan dalam sebuah imajinasi keadaan bahwa mereka harus bersatu

melawan komunisme karena komunisme adalah musuh bersama. Hingga pada akhirnya

komunisme runtuh seiring dengan runtuhnya penopang utama, Uni Soviet.

Pada bagian ketiga, dibahas mengenai Konsensus Washington yang berisikan rangkaian

strategi untuk siap menerima keadaan dunia baru yang benar-benar baru. Ada empat faktor yang

harus diperhatikan: (a) aktor hubungan internasional lebih luas daripada hanya pemerintah saja,

(b) Perang Dingin sudah usai, (c) keterbukaan akses informasi, dan (d) kebangkitan negara

dunia ketiga. Strategi yang dikembangkan masih sama dengan SI, untuk mengarahkan kegiatan

keuangan dunia secara bersama-sama. AS pada dasarnya di dunia yang baru ini ingin

membentuk tatanan dunia baru yang juga masih memberikan tempat bagi superioritasnya.

Namun hal inilah yang sangat sulit untuk dilakukan ketika kemudian misalnya AS menyuarakan

isu pengganti komunisme sebagai bagian dari strategi penggunaan keuangan dunia, tidak banyak

yang menolak ini dan mencemooh. Keempat alasan ini benar-benar sangat kompleks untuk

mampu menjelaskan keinginan dunia untuk masih mengikuti kepentingan kebangsaan AS.

Untuk kemudian bahkan, AS sendiri menguji dirinya sendiri dengan keadaan yang sama sekali

23

berbeda ini AS tetap memaksakan keadaan untuk berperilaku sama seperti dunia sebelumnya.

Jelas, ini justru menjadi bumerang bagi AS karena AS justru bersikap layaknya negara otoriter

yang kemudian gagal untuk membawakan identitas kebangsaannya diperjuangkan oleh setiap

elemen bangsanya. AS semakin lemah untuk membuat kebijakan yang menjadi dasar bagi setiap

perilaku masyarakatnya karena kegagalan memasukan aspirasi rakyat terhadap pembentukan

kebijakan yang ada. Bangkrutnya industri keuangan AS akibat kegagalan pemerintah menerima

aspirasi masyarakat untuk merevisi bagaimana membuat sistem ini akuntabel dan transparan

sebagaimana Konsensus Washington sendiri menyarankan pada akhirnya juga turut

menyebabkan terbukanya aspirasi ini di bagian masyarakat yang menginginkan kegiatan

keuangan yang aman yang tertutup oleh kesenangan sesaat melalui tingkah lakunya yang rakus.

Bukankah dalam renungan ini jelas terlihat bahwa: (a) keempat faktor itulah ciri dunia

baru, (b) keempat faktor menunjukan bahwa setiap negara bergerak ke arah yang sama untuk

melakukan apa yang telah dilakukan oleh AS sebelumnya mengenai bagaimana mereka

memperjuangkan identitas kebangsaan mereka dominan di percaturan politik ekonomi

internasional seperti yang terjadi di dalam setiap periode pembahasan, (c) ini berarti dunia juga

masih terdiri dari ketimpangan-ketimpangan yang masih belum dapat dijelaskan arahnya mau

kemana: ada negara surplus dan defisit namun dengan memperhatikan keempat faktor yang

disebutkan dan ketiadaan rencana strategi untuk mengelola arah ini bersama yang dapat

dijadikan titik alasan penting dunia memperlakukan keadaan ini. AS tentu misalnya, tidak ingin

selamanya mengalami defisit dan utang dalam jumlah yang sangat besar. Namun untuk

menjawab ketidakinginan ini tidak semudah dengan mengatakan bahwa AS-lah yang harus

bertanggungjawab terhadap utang yang dilakukannya karena ternyata utang-utang itu hadir juga

diakibatkan surplus negara lain, pelaku pembuat utang yang juga tidak dilakukan oleh

pemerintah AS saja, namun juga warga negaranya, dan bahkan mungkin keberadaan utang

tersebut dalam akumulasinya juga menggambarkan selisih total juga terhadap utang warga

negara lain terhadap warga negara AS, dsb. Dunia yang baru ini sungguh sangat menarik untuk

dibayangkan bagaimana ke depannya. Pembayangan ini sangat penting agar setidaknya manusia

memiliki asumsi yang sangat berguna bagi melangkahkan kaki di masa depan. Inilah

pembelajaran sebenarnya dari apa yang dilakukan AS sebagai sebuah negara bangsa yang selalu

mengembangkan identitas kebangsaannya dengan lebih baik dalam hubungan internasional bila

24

dibandingkan negara lain. Tujuan, dan motivasinya sangat berharga untuk dijadikan

pembelajaran terutama dalam mengelola kegiatan keuangan bagi dirinya dan dunia.

Lagi-lagi, jawaban dari segala pertanyaan adalah terletak dari bagaimana manusia

mengelola identitas mereka secara bersama-sama. Mengelola agar ditanyakan kemudian: siapa

kamu, siapa aku, dan kita mau melakukan apa. Tampaknya AS hendak menyerahkan jawaban

itu khususnya pada dunia daripada hanya pada dirinya secara umum. Kebijakan keseimbangan

ekonomi dunia yang dikemukakan oleh Presiden Barrack Obama jika dianalisis adalah ingin

mengajak dunia kepada keadaan yang lebih stabil. Dia sadar benar bahwa jawaban tidaklah

dapat dirumuskan sendiri oleh AS. Masa depan dunia adalah milik manusia seutuhnya secara

bersama-sama walaupun di dalamnya juga terdapa kepentingan AS sebagai sebuah negara dan

juganya negara bangsa. Beberapa langkah yang dapat penulis ajukan untuk membantu

menjawab pertanyaan ini didasarkan pada pembelajaran; (a) aktivtias keuangan dunia haruslah

benar-benar ditransparan dan diakuntabilitaskan. Dengan berangkat dari data yang valid dan

benar akan lebih dapat membantu untuk memulai proses perencanaan bersama tingkat global

atau regional (sesuai dengan keinginan bersama) yang lebih baik. (b) Libatkan semua aktor yang

berkontribusi terhadap kegiatan keuangan dunia. Ini tidak dilakukan secara serempak

(tergantung juga kesepakatan yang ada) namun dengan misalnya belajar dari permainan catur

bahwa setiap tingkat (yang diwakili misalnya oleh pion, raja, ratu, dsb.) memiliki fungsinya

masing-masing. Fokus pelaksanaan pada tingkat lokal untuk memperoleh data dan informasi

unik untuk diselesaikan dan disampaikan pada tingkat lebih tinggi adalah salah satu cara yang

cukup baik dalam menyelesaikan masalah secara kompleks dan dinamis. Dan (c) lakukanlah

konsep pemerintahan dunia dalam bentuk perundingan dalam merumuskan strategi pengelolaan

keuangan dunia dengan niat baik. Khusus niat baik ini adalah dengan mencari alasan di balik

suatu perjuangan identitas (substansi dan esensinya). Penulis kemudian menyarankan agar

politisasi suatu identitas memperhatikan hal ini yaitu dengan berani meninggalkan imajinasi

identitas kebangsaan pada saat perundingan dengan membuka pikiran bahwa ada esensi dan

substansi dibaliknya yang harus lebih diperjuangkan. Untuk memulai niat baik seperti ini adalah

sulit. Oleh karenanya, kemudian penulis menekankan untuk dilibatkannya juga aktor-aktor yang

bergerak di lintas batas negara yang bergerak untuk mencari esensi dan substansi tersebut dalam

membantu aktor konvensional memahami dan memulai perubahan pada dinamika.

25

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anderson, Benedict. 2008. “Akar-Akar Budaya”. Dalam Anderson, Benedict. Komunitas-

Komunitas Terbayang. (Yogyakarta: INSIST).

Bonner, Bill, dan Addison Wiggin. 2006. Empire of Debt: The Rise of an Epic Financial Crises.

(New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.).

Depledge, Joanna. 2005. The Organization of Global Negotiations: Constructing the Climate

Change Regime. (London: Earthscan).

Fukuyama, Francis. 1992. “The Former Question Answered”. Dalam Fukuyama, Francis. The

End of History and the Last Man. (New York: Macmillan, Inc.).

Herrick, Christopher, dan Patricia B. McRae. 2002. “The IMF and International Monetary

Management”. Dalam Herrick, Christopher, dan Patricia B. McRae. Issues in America

Foreign Policy. (New York: Longman).

Hudson, Michael. 2003. Super Imperialism: the Origins and Fundamentals of U.S. World

Dominance. (London: Pluto Press).

Koohare, Robert O., dan Joseph S. Nye, Jr. 2005. “Power and Interdependence in the

Information Age”. Dalam Kegley, Jr., Charles W., dan Eugene R. Wittkopf. The Global

Agenda: Issues and Perspectives, 6th

ed. (New York: Mc. Graw-Hill).

Ryan, Stephen. “Nationalism and Ethnic Conflict”. Dalam Brian White et.al (eds.).

Soros, George. 2008. The New Paradigms for Financial Market. (New York: PublicAffairs).

Smith, Anthony D. 2007. “Nations in Decline? The Erosion and Persistence of Modern

National Identities”. Dalam Young, Mitchel, Eric Zuelol, dan Andreas Sturm (ed.).

Nationalism in A Global Era: The Persistence of Nations. (New York: Routledge).

Stiglitz, Joseph E. 2006. “The Burden of Debt”, dalam Joseph E. Stiglitz, Making Globalization

Works. (New York: W.W. Norton & Company, Inc.).

Thirkell-White, Ben. 2005. The IMF and the Politics of Financial Globalization. (Hamsphire:

MacMillan Distribution Ltd.).

26

Artikel dan Internet

Bauman, Zygmunt. 2001. “Identity in the Globalizing World”. Dalam Social Anthropology.

(European Association of Social Anthropologies).

Harinowo, Cyrillus. “Membaca Tanda-Tanda Zaman: Dollar AS vs Euro”. Dalam Majalah

Tempo. Diakses dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/06/09/KL/mbm.

20030609.KL88240.id.html.

IMF, nilai SDR dipatok dalam harga satu SDR sama dengan 0,888671 gram emas. Diakses dari

http://www.imf.org/external/np/exr/facts/sdr.htm.

Meier, Gerald M. 1971. “The Bretton Woods Agreement – Twenty Five Years After”. (Stanford

Law Review, Vol. 23, No. 2, 1971). Diakses dari http://www.jstor.org/stable/1227663.

MON. “Sistem Bonus Picu Kebangkrutan dan Krisis Global”. Dalam Kompas, 16 Oktober

2008, diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/16/08061898/sistem.bonus.

picu.kebangkrutan.dan.krisis.global. Diakses pada Minggu, 20 Desember 2008, pukul

14.46.

Muller, Benjamin J. 2004. “(Dis)Qualified Bodies: Securitization, Citizenship, and ‘Identity

Management’”. Dalam “Citizenship Studies” Vol. 8 No. 3, September 2004. (Diunduh

oleh Monash University, Carfax Publishing).

Prasad, Eswar. “Belajar dari Krisis Keuangan saat ini”. Dalam Tempo, Rabu 15 Oktober 2008.

Diakses dari http://www.tempo.co.id/hg/kolom/2008/10/15/kol,20081015-34,id.html.

Diakses pada Minggu, 20 Desember 2009, pukul 14.43.

Rodrik, Doni. 2006. “Good Bye Washington Consensus, Hello Washington Confusion?: A

Review of the World Bank’s Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade of

Reform”. (Journal of Economic Literature, Vol. 44, No. 4, 2006). Diakses dari

http://www.jstor.org/stable/30032391.

Wiggin, Addison. “Bretton Woods”. Diakses dari http://www.gold-eagle.com/gold_digest_05

/wiggin120106.html. Diakses pada Minggu, 20 Desember 2009, pukul 10.02.

Williams, John H. 1994. “International Monetary Plans: After Bretton Woods”. (Foreign

Affairs, Vol. 23, No. 1, 1944). Diakses dari http://www.jstor.org/stable/20029871.

Williamson, John. “The Washington Consensus and Beyond”. (Economic and Political Weekly,

Vol 38, No. 15). Diakses dari http://www.jstor.org/stable/4413431.

27

Williamson, John. "What Should the World Bank Think about the Washington Consensus”.

(Oxford University Press, 2000). Diakses dari http://www.jstor.org/stable/3986418.

(Tidak diketahui Penulisnya). “Gambaran Global Sangat Rumit”. Dalam Kompas. Diakses dari

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0301/20/EKONOMI/89279.htm. Diakses pada

Sabtu, 20 Desember 2009, pukul 12.54.

(Tidak diketahui Penulisnya). “Menghidupkan Kembali Bretton Woods”. Dalam Koran

Kompas. Diakses dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01524395/meng

hidupkan.kembali.bretton.woods. Diakses pada Minggu, 20 Desember 2009, pukul 12.45.

http://www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2006/pdf/hist.pdf. Diakses pada Minggu, 20

Desember 2009, pukul 22.10.

Sumber Lain

Aho, Charles Michael. 2008. "National Debt". Dalam Microsoft® Encarta® 2009 [DVD].

(Redmond, WA: Microsoft Corporation).

28

LAMPIRAN