PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS...

138
i PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B) KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011 TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta) Diajukan Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman SKRIPSI Oleh : NUR LAILA E1A011283 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015

Transcript of PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS...

i

PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS

PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B)

KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN

NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011

TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta)

Diajukan Untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

SKRIPSI

Oleh :

NUR LAILA

E1A011283

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

ii

SKRIPSI

PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS

PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B)

KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN

NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011

TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta)

Oleh:

NUR LAILA

E1A011283

Untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan disahkan

Pada tanggal Februari 2015

Para Penguji/Pembimbing

Penguji I/

Pembimbing I

Weda Kupita, S.H., M.H.

NIP. 19651028199002 1001

Penguji II/

Pembimbing II

Sanyoto, S.H.,M.Hum.

NIP. 19610123198601 1001

Penguji III

H. Kadar Pamuji, S.H., M.H.

NIP. 196411151990021001

Mengetahui,

Dekan

Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.

NIP. 19640923 198901 1 001

iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : NUR LAILA

NIM : E1A011283

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Skripsi : PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA

SUKU DINAS PENGAWASAN DAN

PENERTIBAN BANGUNAN (P2B) KOTA

ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN NOMOR

722/1.795.2/SPB/S/2011 TENTANG

PELAKSANAAN PEMBONGKARAN

BANGUNAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor:

214/G/2011/PTUN-Jakarta)

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil

karya saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain

yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya, kecuali yang tersebut di dalam

daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil

jiplakan, atas perbuatan tersebut maka saya bersedia menerima sanksi sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

Purwokerto, Februari 2015

Yang membuat pernyataan

NUR LAILA

NIM. E1A011283

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin....... Puji syukur penyusun panjatkan kepada allah

SWT atas limpahan karunia-Nya, sehinga peyusun dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU

DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B) KOTA

ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011

TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN (Tinjauan

Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta).” Skripsi ini disusun

sebagai persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Proses penyusunan skripsi ini penyusun banyak menerima bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak Untuk itu penyusun mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang tulus kepada:

1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto.

2. Weda Kupita, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I/Penguji I, yang telah

memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi terselesaikannya skripsi ini.

3. Sanyoto, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II/Penguji II, yang telah

meluangkan waktu beliau sehingga proses penyusunan dan pembimbingan

skripsi ini dapat diselesaikan.

4. H. Kadar Pamuji, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji III yang telah

memberikan revisi guna perbaikan.

v

5. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto.

6. Orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan serta motivasi hingga

studi untuk meraih gelar Sarjana Hukum tercapai.

7. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan motivasi yang mampu

menumbuhkan semangat untuk menyelesaikan studi ini.

Penyusun menyadari bahwa skripsi ini mengandung banyak kelemahan, oleh

sebab itu penyusun dengan terbuka menerima segala bentuk kritik dari pembaca

dengan harapan skripsi ini dapat dijadikan bahan wacana dan kepustakaan bagi

pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara.

Purwokerto, Februari 2015

Penyusun

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DEPAN ..................................................................... i

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ......................................................... iv

KATA PENGANTAR ..................................................................................... v

DAFTAR ISI .................................................................................................... vii

ABSTRAK ....................................................................................................... ix

ABSTRACT ..................................................................................................... x

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................ 1

B. Perumusan Masalah .................................................................. 6

C. Kerangka Teori ........................................................................ 7

D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 11

E. Kegunaan Penelitian ................................................................... 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 13

A. Negara Hukum ........................................................................ 13

B. Peradilan Tata Usaha Negara ................................................... 19

1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara ............................... 19

2. Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ....... 23

3. Asas-asas Khusus Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 27

4. Kompetensi Absolut ................................................................ 29

vii

C. Keputusan Tata Usaha Negara .................................................... 33

1. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara ............................. 33

2. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ............................. 39

D. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ............................ 45

E. Menara Telekomunikasi .............................................................. 52

1. Tata Cara Mendirikan Menara Telekomunikasi ..................... 52

2. Izin Mendirikan Menara Telekomunikasi .............................. 55

3. Tata Cara Membongkar Menara Telekomunikasi ................. 58

BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................... 61

A. Metode Penelitian ..................................................................... 61

B. Pendekatan Penelitian ................................................................. 62

C. Spesifikasi Penelitian ............................................................... 63

D. Lokasi Penelitian ...................................................................... 63

E. Sumber Bahan Hukum................................................................. 63

F. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.......................................... 65

G. Metode Penyajian Bahan Hukum................................................ 66

H. Metode Analisis Bahan Hukum................................................... 66

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 67

A. Hasil Penelitian ....................................................................... 67

B. Pembahasan ............................................................................. 90

BAB V. PENUTUP .................................................................................... 123

A. Kesimpulan .............................................................................. 123

B. Saran ........................................................................................ 124

DAFTAR PUSTAKA

viii

PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS

PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B)

KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN

NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011

TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta)

Oleh:

NUR LAILA

E1A011283

ABSTRAK

Penelitian ini bersumber pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Jakarta Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta, bertujuan untuk mengetahui dan

menganalisis pertimbangan hukum Hakim dalam Pelaksanaan Pembongkaran

Bangunan dan mengetahui serta menganalisis pertimbangan hukum Hakim

apakah telah sesuai atau tidak dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik. Penelitian ini menggunakan metode

penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan

pendekatan kasus.

Penggugat dalam perkara a-quo yakni PT. Konsorsium Komet, Tergugatnya

Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penerbitan Bangunan (P2B) Kota

Administrasi Jakarta Selatan, objek gugatannya Surat Perintah Bongkar (SPB)

Nomor: 722/1.795.2/SPB/S/2011 terhadap Menara Telekomunikasi milik

Penggugat.

Pertimbangan hukum Hakim menyatakan bahwa Surat Keputusan Objek

Sengketa bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dari segi

wewenang, karena Tergugat tidak berwenang menerbitkan Surat Keputusan Objek

Sengketa, seharusnya yang berwenang menerbitkan Surat Keputusan Objek

Sengketa adalah Walikota Jakarta Selatan. Pertimbangan hukum Hakim sudah

sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yakni Keputusan Gubernur Kepala

Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997, dan sudah sesuai

dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yakni khususnya asas

kepastian hukum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas.

Kata Kunci : Pembatalan, Surat Keputusan, Pembongkaran dan Putusan PTUN.

ix

PEMBATALAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA SUKU DINAS

PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN (P2B)

KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN

NOMOR 722/1.795.2/SPB/S/2011

TENTANG PELAKSANAAN PEMBONGKARAN BANGUNAN

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 214/G/2011/PTUN-Jakarta)

Oleh:

NUR LAILA

E1A011283

ABSTRACT

This research source in decision of state Administrative Court Number

214/G/2011/PTUN-Jakarta, purposed to recognize and analyze judge’s law

consideration wheter it is proper with the statute and principles of Good

Governance. The method that used this research is normative juridical with statute

approach and case approach.

Plaintiff in case a-quo that Konsorsium Komet Company, Defendants to

Chief of the Supervision ang Building Publishing Official (P2B) of South Jakarta,

the object lawsuit is Demolition Order Letter (SPB) Nomor

722/1.785.2/SPB/5/2011 against the Telecommunication Tower’s Plaintiff.

The consideration law Judge in this case a-quo council object of dispute that

the decree has ben in contracdition with the statute in term of authority, because

defendants is not authorized issue the object of dispute, authorities should issue

the object of dispute is the Mayor of South Jakarta. Judge law considerations are

in accordance with the statute that decree of the Governor of Jakarta Number 1068

of 1997, and is in conformity with the Principles of Good Governance in

particular the principles of legal security, principles of openness and principles of

accountability.

Key Word : Cancellation, decree, demolition and decision PTUN.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dapat dikatakan sebagai negara hukum karena memenuhi

unsur-unsur konsep negara hukum rechstaat, salah satunya pada unsur yaitu

adanya peradilan administrasi.1 Sedangkan dalam prinsip negara hukum

demokrasi terdapat adanya pembagian kekuasaan dan salah satu kekuasaan

dalam pemerintahan adalah kekuasaan kehakiman (judicative). Peradilan Tata

Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara, yang berada di bawah

Mahkamah Agung. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 24 Undang-Undang

Dasar 1945 hasil amandemen Jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan

bahwa: kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa susunan, kekuasaan serta

hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya diatur dalam undang-undang. Atas dasar ketentuan tersebut, untuk

1 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hlm.

3.

2

badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara telah

diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian mengalami perubahan kedua dengan

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk melindungi kepentingan

rakyat dan memberikan perlindungan hukum sesuai dengan konsep dari

negara hukum. Selain itu Peradilan Tata Usaha Negara juga memiliki tugas

dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata

Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986.2 Pengertian sengketa Tata Usaha Negara ditentukan

dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang

menyatakan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam

bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan

Badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah,

sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk

sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51

Tahun 2009 tersebut di atas, berarti terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara

menjadi sebab terjadinya sengketa Tata Usaha Negara. Orang atau Badan

2 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi Kedua, Jakarta, 2010, hlm.

6.

3

Hukum Perdata yang kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata

Usaha Negara dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan, hal ini sesuai dengan

ketentuan hak gugat sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2004.

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang

menyatakan bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan

oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis

ke Pengadilan yang berwenang dengan tuntutan agar Keputusan Tata Usaha

Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa

disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi. Dasar pengajuan gugatan di

Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia adalah Pasal 53 ayat (2) Undang-

Undang No. 5 Tahun 1986 yang kini direvisi melalui UU Nomor 9 Tahun

2004. Pasal 53 tersebut menurut Philipus M. Hadjon mengandung asas

keabsahan dalam pemerintahan yang memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu sebagai

berikut:

a) Bagi aparat pemerintahan, asas keabsahan berfungsi sebagai norma

pemerintahan (bestuursnormen);

b) bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alasan mengajukan

gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroepsgronden);

c) bagi hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak

pemerintahan (toetsingsgronden).3

Pengadilan yang berwenang, yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagaimana tercantum dalam Pasal

Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan

3 Riawan. Tjandra W. Perbandingan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara dan Conseil d’eat

sebagai Institusi Pengawas Tindakan Hukum Tata Usaha Negara.

law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/...3.../W-Riawan-Tj.pdf. Diakses pada

tanggal 31 Desember 2014

4

bahwa pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya ada pada

tempat kedudukan tergugat.

Alasan pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 kemudian direvisi melalui Pasal 53

ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 sehingga alasan pengajuan

gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari:

a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;

b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Hak gugat yang dimiliki orang atau Badan Hukum Perdata

dimaksudkan untuk menggugat ke Pengadilan yang berwenang, guna

menuntut agar Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikannya dinyatakan

batal atau tidak sah. Salah satu putusan Peradilan Tata Usaha Negara tentang

pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dengan pertimbangan hukum

Hakim bahwa Tergugat tidak berwenang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha

Negara terdapat dalam Putusan PTUN Jakarta dalam Perkara Nomor:

214/G/2011/Ptun-Jakarta. Para pihak dalam gugatan Tata Usaha Negara

tersebut yakni, PT. Konsorsium Komet sebagai Penggugat dan Kepala Suku

Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta

Selatan sebagai Tergugat, sedangkan obyek sengketanya yaitu Surat

Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B)

5

Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor 722/1.795.2/SPB/5/2011, tanggal 12

September 2011.

Sengketa Tata Usaha Negara tersebut di atas dapat digambarkan,

pertama: Penggugat telah membangun atau memiliki Menara Telekomunikasi

dengan ketinggian + 42 M, terletak di JL. Bunga Mayang III, Rt. 04, Rw. 01

Kel. Bintaro Kec. Pesanggrahan Jakarta Selatan sejak tahun 2003, tetapi

Pengggugat mendapat izin membangun berdasarkan Keputusan Kepala Suku

Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Kodya Jakarta Selatan Nomor :

71/KM/S/2005 tanggal 6 Juni 2005, karenanya masa berlaku Menara tersebut

terhitung sejak tahun 2005. Kedua: dengan berakhirnya masa berlaku Menara

Telekomunikasi tersebut pada tahun 2008, maka Penggugat mengajukan

perpanjangan izin kepada Tergugat sesuai dengan persyaratan-persyaratan

yang telah ditentukan. Meskipun telah memenuhi persyaratan untuk

mengajukan perpanjangan Menara Telekomunikasi tersebut, Tergugat tidak

mengeluarkan izin perpanjangan karena salah satu alasan yaitu, penolakan dari

warga sekitar untuk perpanjangan Menara Telekomunikasi beroperasi lagi.

Ketiga: Bukannya menerbitkan izin perpanjangan, Tergugat justru

mengeluarkan Surat Perintah Bongkar (SPB) No. 722/1.785.2/SPB.S/2011,

tanggal 12 September 2011, sehingga dengan diterbitkannya SPB tersebut

Penggugat merasa dirugikan dan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.

Hakim dalam Amar Putusannya mengabulkan seluruh gugatan Penggugat dan

menganggap bahwa Surat Keputusn Obyek Sengketa tidak sesuai dengan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yakni Keputusan Gubernur

6

Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan

Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan tidak sesuai dengan Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Berdasarkan uraian masalah di atas dapat dideskripsikan adanya

persoalan hukum mengenai pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara

ditinjau dari aspek kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara. Dari persoalan

tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap sengketa

tersebut, dan hendak menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul

“Pembatalan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan

Penerbitan Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor

722/1.795.2/SPB/5/2011 tentang Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor : 214/G/2011/Ptun-Jakarta).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis

mengambil pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat

Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan

(P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat

Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan

Pembongkaran Bangunan?

7

2. Apakah pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat

Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan

(P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat

Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan

Pembongkaran Bangunan telah sesuai dengan Peraturan Perundang-

undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik?

C. Kerangka Teori

Negara hukum menurut A. Hamid S. Attamimi, dengan mengutip

Burkens, mengatakan bahwa negara hukum secara sederhana adalah negara

yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan

penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di

bawah kekuasaan hukum.4 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,

menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum. Negara

hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya

hukum yang harus tunduk pada pemerintah. Dalam negara hukum, eksistensi

hukum dijadikan sebagai instrumen dalam menata kehidupan kenegaraan,

pemerintahan dan kemasyarakatan.

Pemikiran manusia mengenai negara hukum lahir dan berkembang

dalam situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum di

anggap sebagai konsep universal, tetapi pada tataran implementasi ternyata

memiliki karakteristik beragam. Hal ini terjadi, karena pengaruh-pengaruh

4 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Cetakan

ke-7, 2011, hlm. 21.

8

situasi kesejarahan dan juga di samping itu baik secara historis dan praktis

konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti negara hukum

menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan Rechstaat, negara hukum

menutup konsep Anglo Saxon Rule of Law), konsep Socialist Legality dan

konsep negara hukum Pancasila.

Berdasarkan uraian di atas, negara hukum bertujuan untuk

mengendalikan negara atau pemerintah dari kemungkinan adanya tindakan

sewenang-wenang atau penyalahgunaan kekuasaan. Untuk menjamin agar

tidak terjadinya hal tersebut, maka diperlukan adanya suatu lembaga yang

dapat mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara. Dalam penegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus

mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Tujuan lain dari hukum adalah

tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan adanya kepastian

hukum dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.

Peradilan merupakan suatu lembaga yang memberi harapan bagi setiap

pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum

yang memuaskan dalam suatu perkara. Di Indonesia terdapat 4 (empat)

lingkungan Peradilan, salah satunya Peradilan Tata Usaha Negara, yang

mengadili sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan

orang atau badan hukum perdata dalam lapangan hukum publik. Sedangkan

menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009,

9

sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata

usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun di daerah sebagai akibat

dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa Tata

Usaha Negara, merupakan peradilan yang mencari kebenaran materiil

disamping kebenaran formilnya. Karena dalam Peradilan Tata Usaha Negara

terdapat hukum acara yang merupakan salah satu cara untuk mencari dan

mempertahankan hukum materiil. Hukum acara menurut Sjachran Basah

merupakan hukum formal, karena ia merupakan salah satu unsur dari

peradilan, demikian pula dengan hukum materialnya. Peradilan tanpa hukum

maka akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya

peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak ada batas-batas yang jelas

dalam melakukan wewenangnya.5

Sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara merupakan akibat

dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang melanggar

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, di samping itu juga melanggar

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Permasalahan dalam sengketa ini

adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Kepala Suku Dinas

Pengawasan dan Penertiban Bangunan Kota Administrasi Jakarta Selatan oleh

Penggugat dianggap tidak memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai

5 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi Revisi 5, PT

RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 21-22

10

Keputusan Tata Usaha Negara yang sah. Dalam hal ini Penggugat

menganggap bahwa Tergugat telah melanggar ketentuan dalam Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri

Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Informasi dan Komunikasi,

dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Jo Peraturan Gubernur

Nomor 89 Tahun 2006 Jo Peraturan gubernur Nomor 138 Tahun 2007 dan

Peraturan Gurbernur Nomor 126 Tahun 2009 serta melanggar Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik ketika mengeluarkan Surat Perintah Bongkar

kepada Penggugat.

Berdasarkan uraian di atas, Keputusan Tata Usaha Negara yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat dikatakan sah

menurut hukum (rechmatig), harus memenuhi syarat materiil dan syarat formil

dalam pembuatannya. Sebagaimana juga telah disebutkan oleh S.F. Marbun,

keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara mencakup syarat materiil dan

syarat formal seperti wewenang, substansi dan prosedur.6 Selain itu keabsahan

suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai dengan tolok ukur Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

Asas-asas Pemerintahan Umum yang Baik adalah meliputi asas: kepastian

hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas,

profesionalitas dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

6 S.F. Marbun, Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di Indonesia, cet 3,

Yogyakarta: FH. UII Press, 2011, hlm. 162

11

Berdasarkan sengketa di atas, dapat dilihat bahwa untuk mendirikan

bangunan Menara Telekomunikasi harus memenuhi syarat-syarat yang

berlaku sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Selain itu,

juga harus memiliki izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh

Walikota masing-masing daerah dimana Menara tersebut di bangun, kecuali

untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus mendapatkan izin dari Gubernur.

Begitu pula mempunyai izin mendirikan bangunan dari masyarakat sekitar.

Berbicara mengenai pembangunan suatu bangunan, juga berbicara persoalan

mengenai pembongkaran bangunan, begitu pula dengan pembangunan Menara

telekomunikasi. Untuk melakukan pembongkaran Menara harus mengikuti

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, sehingga tidak akan

menimbulkan sengketa yang berujung pada pengadilan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat

Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan

(P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat

Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan

Pembongkaran Bangunan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum Hakim dalam

membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan

Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang

12

mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang

pelaksanaan Pembongkaran Bangunan dengan Peraturan Perundang-

undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

E. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

kepustakaan di bidang Hukum Administrasi Negara yang lebih khususnya

mengenai Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi penulis

sekaligus untuk menjadi pedoman dan acuan bagi mereka yang akan

melakukan penelitian serupa, serta para praktisi Hukum Acara Peradilan

Tata Usaha Negara.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Negara Hukum

Negara hukum berasal dari istilah bahasa Jerman “Rechsstaat”,

bahasa Perancis “Etat de Droit”, dalam bahasa Italia “Stato di Diritto” dan

masuk ke dalam kepustakaan Indonesia melalui bahasa Belanda

“Rechtsstaat”. Istilah Rechtsstaat berasal dari Robert von Mohl dan

merupakan ciptaan golongan borjuis yang ketika itu kehidupan ekonominya

sedang meningkat, sekalipun kehidupan politiknya sebagai suatu kelas sedang

menurun.7 Indonesia beberapa kali mengalami perubahan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam perubahan ke-empat Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2002,

konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya

tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam

Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara

Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus

dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum,

bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan

dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah “the

rule of law, not of man.” Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah

7 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum. Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik, PT. Gelora Aksara Pratama, Erlangga, 2010, hlm. 47

14

hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai

“wayang” dari skenario sistem yang mengaturnya.8

Hukum merupakan sebagai suatu sistem, menurut Lon Fuller di dalam suatu

negara hukum terdapat sistem-sistem hukum sebagai berikut:

1) Hukum harus dituruti oleh semua orang, termasuk oleh penguasa negara.

2) Hukum harus dipublikasikan.

3) Hukum harus berlaku kedepan

4) Kaedah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat diketahui dan

diterapkan secara benar.

5) Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi.

6) Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi.

7) Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum. Tetapi

hukum harus juga diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah.

8) Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten

dengan hukum yang berlaku.9

Negara hukum (rechtsstaat) bertujuan untuk menyelenggarakan

ketertiban umum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum

terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya

jangan terganggu dan agar semuanya berjalan menurut hukum. Negara

hukum menurut F.R. Bothlingk adalah “De staat, waarin de wilsvrijheid van

gezagdsdragers is beperkt door grezen van recht” (negara, di mana

kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan hukum).

Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam rangka merealisasi pembatasan

pemegang kekuasaan tersebut, maka diwujudkan dengan cara, “Enerzijds in

een binding van rechter en administratie aan de wet, anderjizds in een

begrenzing van de bevoegdheden van de wetgever”, (di satu sisi keterikatan

8Jimly Asshiddiqie. Konsep Negara Hukum Di Indonesia.

www.jimly.com/makalah/.../135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. Diakses pada

tanggal 29 Oktober 2014. 9 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Bandung PT. Refica Aditama, 2009, hlm. 9.

15

Hakim dan pemerintah terhadap undang-undang, dan di sisi lain pembatasan

kewenangan oleh pembuat undang-undang). A. Hamid S. Attamimi, dengan

mengutip Burkens, mengatakan bahwa negara hukum secara sederhana

adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan

penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di

bawah kekuasaan hukum.10

Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang

diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga

unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu: pertama, pemerintahan

dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan

menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan

hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi

dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang

dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang

dilaksanakan pemerintahan despotik. Dalam kaitannya dengan konstitusi,

Aristoteles mengatakan, konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam

suatu negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan

pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan

aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan

tersebut.11

Philipus M. Hadjon mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara

hukum, yaitu; rechtsstaat, the rule of law, dan negara hukum pancasila.12

10

Loc. Cit., hlm. 21. 11

Ibid., hlm. 2 12

Zairin Harahap, Op. Cit., hlm. 3

16

Negara hukum rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem

hukum kontinental Romawi-Jerman yang disebut civil law system. Salah satu

ciri utama dari sistem hukum ini adalah melakukan pembagian dasar ke

dalam hukum perdata dan hukum publik. Munculnya konsep rechtsstaat dari

Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, unsur-

unsur negara hukum menurut Stahl adalah sebagai berikut:

1) Perlindungan hak-hak asasi manusia;

2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;

3) Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan; dan

4) Peradilan administrasi dalam perselisihan.13

Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara

hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang

berdasarkan pada undang-undang.

Konsep Rechsstaat di Eropa Kontinental sejak semula didasarkan

pada filsafat liberal yang individualistik, maka ciri individualistik itu sangat

menonjol dalam pemikiran negara hukum Eropa Kontinental itu. Dalam

sejarah modern, Perancis dapat disebut sebagai negara yang terdahulu

mengembangkan sistem hukum ini. Sistem hukum Kontinental

mengutamakan hukum tertulis yaitu Peraturan Perundang-undangan sebagai

sendi utama sistem hukum kontinental, selalu berusaha untuk menyusun

hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis. Bahkan dalam satu sistematika yang

diupayakan selengkapnya mungkin dalam sebuah kitab undang-undang,

13

Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 3

17

penyusunan ini disebut kodifikasi. Sistem hukum kontinental sering pula

disebut sistem hukum kodifikasi (codified law).14

Negara hukum Rule of Law dipelopori oleh Dicey yang berasal dari

Inggris yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Konsep ini

menekankan pada tiga tolak ukur atau unsur utama yaitu:

1) Supremasi hukum (supremacy of law), dalam arti tidak boleh ada

kesewenang-wenangan (absence of arbitrary power), sehingga seseorang

hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.

2) Kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law), baik bagi

rakyat biasa maupun bagi pejabat.

3) Terjaminya hak-hak asasi manusia dalam undang-undang atau keputusan

pengadilan.15

Sistem Anglo Saxon tidak menjadikan Peraturan Perundang-undangan

sebagai sendi utama sistemnya. Sendi utamanya adalah yurisprudensi. Sistem

hukum Anglo Saxon berkembang dari kasus-kasus konkret dan dari kasus

konkret tersebut lahir sebagai kaidah dan asas hukum, karena itu sistem

hukum ini disebut sebagai sistem hukum yang berdasar kasus (case law

system).16

Perkembangan unsur-unsur negara hukum di atas, menjadikan

pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibanya harus sesuai dengan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Terdapat korelasi yang jelas

antara negara hukum, yang bertumpu pada konstitusi dan Peraturan

Perundang-undangan, dengan kedaulatan rakyat. Korelasi ini tampak dari

kemunculan istilah demokrasi kontitusional, sebagaimana disebutkan

disebutkan di atas. Dalam sistem demokrasi, penyelenggaraan negara itu

14

Ibid., hlm. 6-8 15

Ibid., hlm. 3 16

Ibid., hlm. 7

18

harus bertumpu pada partisipasi dan kepentingan rakyat. Demokrasi

merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara

hukum. Dengan demikian, negara hukum yang bertopang pada sistem

demokrasi dapat disebut sebagai negara hukum demokratis (democratische

rechtsstaat). Disebut negara hukum demokratis, karena di dalamnya

mengakomodir prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi.

J.B.J.M. ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-

prinsip demokrasi tersebut sebagai berikut:

1. Prinsip-prinsip negara hukum;

a. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah)

harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan

peraturan umum. Undang-undang secara umum harus memberikan

jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan (pemerintah) yang

sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak

benar. Pelaksanaan wewenang oleh pemerintahan harus ditemukan

dasarnya pada undang-undang tertulis (undang-undang formal).

b. Perlindungan hak-hak asasi.

c. Pemerintah terikat pada hukum.

d. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum.

Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum itu dilanggar. Pemerintah

harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrumen yuridis

penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang

melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan

hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah.

e. Pengawasan oleh Hakim yang merdeka. Superioritas hukum tidak dapat

ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ

pemerintahan. Oleh karena itu, dalam setiap negara hukum diperlukan

pengawasan oleh Hakim yang merdeka.

2. Prinsip-prinsip demokrasi;

a. Perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara dan

dalam masyarakat diputuskan oleh badan perwakilan, yang dipilih

melalui pemilihan umum.

b. Pertanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintahan dalam

menjalankan fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik, yaitu

kepada lembaga perwakilan.

c. Pemencaran kewenangan. Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat

pada satu organ pemerintahan adalah kesewenang-wenangan.Oleh

19

karena itu, kewenangan badan-badan publik itu harus dipencarkan pada

organ-organ yang berbeda.

d. Pengawasan dan kontrol. Penyelenggaraan pemerintahan harus dapat

dikontrol.

e. Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum.

f. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.17

Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada

hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah. Negara hukum

dijadikan sebagai instrumen dalam menata kehidupan kenegaraan,

pemerintahan dan kemasyarakatan. Penyelenggaraan tugas-tugas

pemerintahan dan kenegaraan dalam suatu negara hukum itu terdapat aturan-

aturan hukum yang tertulis dalam konstitusi atau peraturan-peraturan yang

terhimpun dalam konstitusi atau peraturan-peraturan yang terhimpun dalam

hukum tata negara serta penyelenggaraan negara itu harus bertumpu pada

partisipasi dan kepentingan rakyat.

B. Peradilan Tata Usaha Negara

1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata

Usaha Negara, yang berada di bawah Mahkamah Agung. Pentingnya

Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mengantisipasi kemungkinan

timbulnya sengketa antara pemerintah dengan warga Negara akibat adanya

kegiatan pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

17

Ibid., hlm. 9-10

20

Mengenai apa yang dimaksud dengan Tata Usaha Negara, Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara menentukan bahwa Tata Usaha Negara adalah Administrasi

Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan

pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Dalam praktik, Tata Usaha

Negara tidak hanya melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan

kegiatan yang bersifat pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan, tetapi

juga melaksanakan fungsi untuk menyelesaikan urusan pemerintahan yang

penting dan mendesak yang belum diatur dalam Peraturan Perundang-

undangan.

Menurut Philipus M. Hadjon dkk, mengemukakan Penjelasan Pasal

1 angka 1 menyatakan apa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan

adalah kegiatan yang bersifat eksekutif. Pada dasarnya pemerintah tidak

hanya melaksanakan undang-undang, tetapi atas dasar “Freis Ermessen”

dapat melakukan perbuatan lainnya meskipun belum diatur secara tegas

oleh undang-undang.18

Menurut Indroharto arti pada urusan pemerintahan dalam Pasal 1

angka 1 yaitu semua kegiatan penguasa dalam negara yang tidak

merupakan kegiatan atau aktivitas pembuatan peraturan perundang-

undangan (legislasi) dan bukan pula kegiatan atau aktivitas mengadili

(yudikatif) yang dilakukan oleh badan-badan pengadilan yang bebas.19

Pemahaman terhadap Peradilan Adminstrasi akan lebih mudah jika

terlebih dahulu dimengerti unsur-unsur yang melengkapinya. Menurut S.F.

Marbun, setidaknya terdapat lima unsur dalam Peradilan Adminstrasi,

yaitu:

1. Adanya suatu instansi atau badan yang netral dan dibentuk berdasarkan

peraturan perundang-undangan, sehingga mempunyai kewenangan

untuk memberikan putusan. Dalam hal ini adalah adanya Pengadilan

18

R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 8 19

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

Buku I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cetakan IV, 1993, hlm. 78

21

Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan

berpuncak pada Mahkamah Agung.

2. Terdapatnya suatu peristiwa hukum konkret yang memerlukan

kepastian hukum. Peristiwa hukum konkret disini adalah adanya

Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara oleh pejabat TUN.

3. Terdapatnya suatu peristiwa hukum yang abstrak dan mengikat umum.

Aturan hukum tersebut terletak di lingkungan Hukum Administrasi

Negara.

4. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak. Sesuai dengan ketentuan

hukum positif, yakni Pasal 1 angka 4 UU PTUN, dua pihak disini

adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang selalu sebagai

Tergugat dan rakyat pencari keadilan (orang perorang atau badan

hukum privat).

5. Adanya hukum formal. Hukum formal disini adalah Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara dan peraturan-peraturan lainnya.20

Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 47 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki tugas dan wewenang untuk

memeriksa , memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

Pengadilan tata usaha negara merupakan pengadilan tingkat pertama untuk

memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara bagi

rakyat pencari keadilan, sedang pengadilan tinggi tata usaha negara

merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah

diputus oleh pengadilan tata usaha negara, kecuali beberapa hal berikut ini:

a. Sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan tata usaha negara di

daerah hukumnya; dalam hal ini pengadilan tinggi tata usaha negara

bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir.

b. Sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administrasi;

dalam hal ini pengadilan tinggi tata usaha negara bertindak sebagai

pengadilan tingkat pertama.21

20

Riki Septiawan. Pengertian-Pengartian dalam Hukum Acara PTUN

.http://rikiseptiawan180991.blogspot.com/2012/12/pengertian-pengartian-dalam-hukum

acara.html. Diakses pada tanggal 05 September 2014 21

Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU

PTUN 2004, Bogor: Ghalia Indonesia Cetakan 1, 2004, hlm. 5.

22

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara disamping memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa

, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, mengatur

mengenai susunan dan kekuasaan dari lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara, juga diatur mengenai tata acara dari pengadilan di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara. Mengenai susunan dari pengadilan di

lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, oleh Pasal 8 ditentukan bahwa

pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari:

1) Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat

Pertama;

2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan

Tingkat Banding.

Adapun kekuasaan dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara adalah sebagai berikut:

a. Pasal 50 menentukan bahwa: Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata

Usaha Negara di tingkat pertama;

b. Pasal 51 menentukan: (1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha

Negara ditingkat banding. (2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat

pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan

Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. (3) Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara

sebagaimana dimaksud dala Pasal 48. (4) Terhadap putusan Pengadilan

tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (3)

dapat diajukan permohonan kasasi.

Hukum Peradilan Tata Usaha Negara dapat disimpulkan sebagai

hukum yang mengatur urusan pemerintahan yang bersifat eksekutif dan

23

memiliki kebebasan bertindak dalam memutus suatu perkara yang menjadi

wewenang dari badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

2. Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum materiil dapat ditegakkan dengan adanya hukum acara atau

sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan

yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan

hukum materiil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil.

Tanpa hukum acara yang jelas dan memadai, maka pihak yang berwenang

menegakkan hukum materiil akan mengalami kesulitan menegakkan

hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum materiil Tata Usaha

Negara, maka digunakan hukum acara Tata Usaha Negara. Secara

sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan

untuk mempertahankan Hukum Materiil.

Hukum acara menurut Sjachran Basah merupakan hukum formal,

karena ia merupakan salah satu unsur dari peradilan, demikian pula dengan

hukum materialnya. Peradilan tanpa hukum maka akan lumpuh, sebab

tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum

formal akan liar, sebab tidak ada batas- batas yang jelas dalam melakukan

wewenangnya.22

Pada umumnya secara teoretis cara pengaturan terhadap

hukum formal dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu:

a. ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum

materiilnya atau dengan susunan, kompetensi dari badan yang

22

Zairin Harahap, Op. Cit., hlm. 21-22

24

melakukan peradilan dalam bentuk undang-undang atau peraturan

lainnya.

b. ketentuan prosedur berperkara diatur tersendiri masing-masing dalam

bentuk undang-undang atau bentuk peraturan lainnya.

Apabila mengikuti penggolongan tersebut di atas, maka Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

mengikuti kelompok yang pertama, karena dalam Undang-Undang

Peradilan Tata Usaha Negara tersebut memuat hukum materiil sekaligus

hukum formilnya. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dimuat

dalam Pasal 53 sampai Pasal 141. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha

Negara terdiri atas 145 Pasal, dengan hukum materiil sebanyak 56 Pasal,

sedangkan hukum materiil sebanyak 89 Pasal.23

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan rangkaian

peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak,

satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata

Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara). Dengan kata lain hukum

yang mengatur tentang cara-cara bersengketa di Peradilan Tata Usaha

Negara serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam

proses penyelesaian sengketa tersebut. Hukum Acara Peradilan Tata

Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang tersebut dapat

dikatakan sebagai suatu hukum acara dalam arti luas, karena undang-

23

Ibid., hlm. 22-23

25

undang ini tidak saja mengatur tentang cara-cara berperkara di Pengadilan

Tata Usaha Negara, tetapi juga sekaligus mengatur tentang kedudukan,

susunan dan kekuasaan dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk hukum

acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat digunakan

Hukum Acara Tata Usaha Negara seperti halnya Hukum Acara Pidana

atau Hukum Acara Perdata, hal ini disebabkan karena Hukum Acara Tata

Usaha Negara mempunyai arti sendiri, yaitu peraturan yang mengatur

tentang tata cara pembuatan suatu ketetapan atau Keputusan Tata Usaha

Negara. Aturan ini biasanya secara inklusif ada dalam Peraturan

Perundang-undangan yang menjadi dasar pembuatan ketetapan atau

Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.

Ada beberapa ciri khusus yang membedakan antara Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara dengan Hukum Acara peradilan lainnya,

yaitu sebagai berikut:

1) Peranan Hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari

kebenaran materiil (Pasal 63 ayat (2) huruf a dan hurf b, pasal 80 ayat

(1), pasal 85, pasal 95 ayat (1), pasal 103 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986).

2) Adanya ketidakseimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat.

Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena

diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat adalah dalam posisi yang

lebih lemah dibandingkanTergugat selaku pemegang kekuasaan publik.

3) Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.

26

4) Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan

Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal 67 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986).

5) Putusan Hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi

dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih

buruk sepanjang hal ini diatur dalam undang-undang.

6) Putusan Hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa,

tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.

7) Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya

sebelum Hakim membuat putusannya.

8) Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang

Penggugat.

9) Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil dengan tujuan

menyelaraskan, menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan

perseorangan dengan kepentingan umum.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat terlepas

dari hukum Peradilan Tata Usaha Negara. Karena hukum acara merupakan

hukum formil yang bertujuan untuk mempertahankan hukum materiilya.

Dalam hal ini hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara akan

mempertahankan hukum Peradilan Tata Usaha Negara. Dimana hukum

Peradilan Tata Usaha Negara mengatur cara bagaimana bersengketa di

Peradilan Tata Usaha Negara serta mengatur hak dan kewajiban pihak-

pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut. Sehingga

27

hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara sangat penting adanya berada

di Peradilan Administrasi.

3. Asas-asas Khusus Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa barangkali tidak berlebihan

apabila dikatakan bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan

hukum. Bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar

kumpulan peraturan-peraturan, oleh karena itu asas mengandung nilai-nilai

dan tuntutan-tuntutan etis. Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh

Bruggink memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar

yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing

dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-

putusan Hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan

keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.24

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, maka

secara garis besarnya dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat

dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Asas hukum dalam

acara peradilan tata usaha negara, bukanlah asas-asas umum yang sering

digunakan dalam hukum-hukum lainnya. Hukum acara peradilan tata

usaha negara memiliki ciri khas pada asas-asas hukum yang melandasinya,

yaitu:

a. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechmatigheid = praesumptio

iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan

24

Zairin Harahap, Loc Cit.

28

penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya.

Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata

Usaha Negara yang digugat (Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1986). Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat hanya

dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum.

b. Asas pembuktian bebas. Dengan asas ini Hakim dalam melakukan

pembuktian, tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para pihak.

Hakim yang menetapkan beban pembuktian dan juga penilaian

pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada Hakim. Hal ini berbeda

dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas ini dianut Pasal 107 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan

Pasal 100.

c. Asas keaktifan Hakim (dominus litis). Keaktifan Hakim dimaksudkan

untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah

pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan

hukum peradata. Dengan asas ini pula Hakim berwenang mengadakan

pemeriksaan persiapan untuk mengetahui kelengkapan gugatan,

sehingga pemeriksaan di persidangan harus dianggap bahwa gugatan

telah sempurna. Ultra petita dalam hal ini tidak di larang, sehingga

terdapat reformatio in peius menjadi dimungkinkan. Dalam hal

melakukan pengujian, Hakim tidak terikat pada alasan mengajukan

gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Penerapan asas ini antara lain

terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63 ayat (1, 2, 80) dan ayat (85).

29

d. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga

omnes”. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik.

Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi

siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka

ini kiranya ketentuan Pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan

asas erga omnes.25

4. Kompetensi Absolut

Pembahasan mengenai kompetensi berkaitan dengan peradilan.

Adapun pengertian peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan

tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum “in concreto” dalam

mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan

menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.26

Unsur-unsur peradilan, berupa: a). Adanya suatu aturan hukum

yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu

persoalan, b). Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit, c). Ada

sekurang-kurangnya dua pihak, d). Adanya suatu aparatur peradilan yang

berwenang memutuskan perselisihan.27

Unsur-unsur tersebut berhubungan terhadap mengajukan gugatan,

karena gugatan tersebut akan ditentukan Pengadilan mana yang berwenang

untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara.

Kewenangan yang dimilki oleh peradilan yang diberikan oleh undang-

25

Philiphus M. Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Jogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2002, hlm. 313 26

Sjachran Basah., Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia,

Alumni Bandung, 1989, hlm. 29 27

Sjachran Basah, Op. Cit., hlm. 28

30

undang, dapat disebut dengan istilah kompetensi. Kompetensi berasal dari

bahasa Latin, yaitu competentia yang berarti hetgeen aan iemand toekomt

(apa yang menjadi wewenang seseorang).28

Selanjutnya kompetensi

diartikan sebagai kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan

(memutuskan sesuatu).29

Kompetensi yang dimiliki oleh badan peradilan diperoleh 2 (dua)

cara. Pertama, kompetensi kehakiman atribusi adalah kewenangan mutlak.

Kompetensi absolut adalah kompetensi badan peradilan dalam memeriksa

jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan

peradilan lain. Kedua, kompetensi kehakiman distribusi atau sering disebut

kompetensi relatif ialah sesuai dengan asas actor seguitur forum rei (yang

berwenang adalah pengadilan tempat kedudukan tergugat).30

Kompetensi absolut berhubungan dengan kompetensi Peradilan

Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu sengketa menurut obyek atau

materi atau pokok sengketa.31

Sejalan dengan pendapat itu, ada yang

mengatakan bahwa berkaitan dengan kompetensi absolut, maka yang

menjadi obyek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara adalah perbuatan

pemerintah yang mengeluarkan keputusan (beschikking).32

Penting

dipahami, kompetensi absolut yaitu sengketa Tata Usaha Negara, menurut

28

Victor Vayed Neno, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut Peradilan Tata usaha

Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 29. Sebagaimana dikutip oleh Sjachran

Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Alumni

Bandung, 1989, hlm. 65 29

Ibid., hlm 29-30 30

Victor Vayed Neno, Op. Cit., hlm. 32-33 31

Loc. Cit., 32 32

S.F. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm. 61

31

Pasal 47 adalah Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus

dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Selanjutnya Pasal 1

angka 10 diatur bahwa, Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang

timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum

Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat

maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara, termasuk sengketa Kepegawaian berdasarkan Peraturan

Perundangan-Undang yang berlaku.

Adapun ciri-ciri kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara yaitu:

1. Pihak-pihak yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata

dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

2. Obyek yang disengketakan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yakni

penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara.

3. Keputusan yang dijadikan obyek sengketa itu berisi tindakan hukum

Tata Usaha Negara.

4. Keputusan yang dijadikan obyek sengketa itu bersifat konkrit,

individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang

atau badan hukum perdata.33

Ciri-ciri tersebut lebih kepada menunjukkan unsur-unsur dari sengketa

Tata Usaha Negara dari subyek dan obyek sengketanya.34

Kedua unsur ini

penting dalam penentuan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha

Negara. Menurut Pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1986, maka yang

menjadi subyek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum Perdata

dan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

33

S.F. Marbun dan Moh. Mahmud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,

Yogyakarta: Liberty, 1987, hlm. 186 34

Victor Vayed Neno, Op. Cit., hlm. 47

32

Subyek adalah orang atau badan hukum Perdata secara absolut

pasti selalu menjadi Penggugat. Hal ini berbeda dengan apa yang

dikatakan oleh Indroharto, bahwa orang atau badan hukum perdata yang

dirugikan oleh keluarnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat

dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh

suatu KTUN. Di sini orang atau badan hukum perdata tersebut secara

langsung terkena kepentingannya oleh keluarnnya Keputusan Tata

Usaha Negara yang di alamatkan kepadanya karena itu jelaslah ia

berhak mengajukan gugatan.

2. Orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai

pihak ketiga yang berkepentingan, meliputi:

a. individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang

berkepentingan. Kelompok ini merasa terkena kepentingannya

secara tidak langsung dengan dikeluarkannya suatu Keputusan Tata

Usaha Negara yang sebenarnya di alamatkan kepada orang lain.

b. Organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pihak ketiga dapat

merasa kepentingannya karena keluarnya suatu Keputusan Tata

Usaha Negara itu dianggapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan

mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya.

3. Badan atau jawatan Tata Usaha Negara yang lain, namun undang-

undang Peradilan Tata Usaha Negara tidak memberi hak kepada Badan

atau jabatan Tata Usaha Negara untuk menggugat. Sebab subyek

sebagaimana Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara secara absolut

hanya akan menjadi Tergugat.35

Selanjutnya yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara

adalah Keputusan Tata Usaha Negara itu sendiri, sebagaimana yang

terdapat pada Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Termasuk ke dalam Kompetensi

Peradilan Tata Usaha Negara adalah ketentuan yang terdapat pada Pasal 3.

35

Ibid., hlm. 49

33

Para sarjana hukum menyebut hal ini dengan Keputusan Tata Usaha

Negara Fiktif-Negatif yaitu sebagai berikut:

1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan

keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut

disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan

keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat,

maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah

menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak

menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka

setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan,

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap

telah mengeluarkan keputusan penolakan.36

C. Keputusan Tata Usaha Negara

1. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Sengketa Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 angka 10 Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah

sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau

badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik

di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku.

Unsur-unsur sengketa Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan

pengertian sengketa Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut:

36

Indroharto, Op. Cit., hlm. 35-35

34

1) sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara

2) sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

3) sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara.37

Sengketa Tata Usaha Negara selalu sebagai akibat dari

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Antara sengketa Tata

Usaha Negara dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara

selalu harus ada hubungan sebab akibat. Tanpa dikeluarkannya Keputusan

Tata Usaha Negara, tidak mungkin sampai terjadi adanya sengketa Tata

Usaha Negara. Mengenai apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata

Usaha Negara tertuang dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51

Tahun 2009, Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis

yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi

tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan

final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata.

Uraian dari maksud Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, akan

ditemukan unsur-unsurnya sebagai berikut:

a. Penetapan tertulis

Penjelasan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun

2009 menyebutkan bahwa, istilah penetapan tertulis terutama menunjuk

37

R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 6.

35

kepada isi bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara

itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis

bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan

sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi

pembuktian. Oleh karena itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi

syarat tertulis tersebut dan akan merupakan Keputusan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini apabila sudah

jelas:

1) Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;

2) maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;

3) kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di

dalamnya.38

Unsur penetapan tertulis ini ada pula pengecualiannya, yaitu

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang dikenal dengan

Keputusan Tata Usaha Negara fiktif atau negatif. Sedangkan dalam

penjelasan Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa: Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara yang menerima permohonan dianggap telah

mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut

apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani

permohonan yang diterimanya.

38

Ibid., hlm. 18-19

36

b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun

2009 yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan

berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Atau dengan

perkataan lain, Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan

atau Pejabat yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

Urusan pemerintahan dalam hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal

1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang dimaksud

urusan pemerintahan ialah kegiatan yang bersifat eksekutif. Indroharto

menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan kegiatan yang bersifat

eksekutif adalah kegiatan yang bukan kegiatan legislatif atau yudikatif.

c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan

Dalam negara hukum, setiap tindakan hukum pemerintah harus

berdasarkan pada asas legalitas, yang berarti bahwa pemerintah tunduk

pada undang-undang. Esensi dari asas legalitas adalah wewenang, yaitu

kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.

Tindakan hukum tata usaha negara dapat diartikan sebagai perbuatan

hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada

ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau

kewajiban pada orang lain. Dapat dilihat bahwa tindakan Badan atau

37

Pejabat Tata Usaha Negara ini dilakukan atas dasar Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku, yang menimbulkan akibat hukum

mengenai urusan pemerintahan terhadap seseorang atau badan hukum

perdata.

d. Bersifat konkret, individual dan final

1) Bersifat konkret, artinya obyek yang diputuskan dalam Keputusan

Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau

dapat ditentukan.

2) Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha negara itu tidak

ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang

dituju.

3) Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat

menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan

persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final,

karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada

pihak yang bersangkutan.

e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

Keputusan merupakan wujud konkret dari tindakan hukum

pemerintahan. Secara teoritis, tindakan hukum berarti, tindakan-tidakan

yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu.

Tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk

menciptakan hak dan kewajiban. Sehingga, tindakan hukum

pemerintahan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh organ

38

pemerintahan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu

khususnya di bidang pemerintahan atau administrasi negara. Yang

dimaksud dengan menimbulkan akibat hukum adalah menimbulkan

akibat hukum Tata Usaha Negara, karena penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha yang menimbulkan

akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hukum Tata Usaha

Negara.

Akibat hukum Tata Usaha Negara tersebut dapat berupa:

1) menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah

ada (declaratoir), misalnya surat keterangan dari Pejabat Pembuat

Akta Tanah yang isinya menyebutkan antara A dan B memang telah

terjadi jual beli tanah atau surat keterangan dari Kepala Desa yang

isinya menyebutkan tentang asal-usul anak yang akan nikah;

2) menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang

baru (constitutief), misalnya Keputusan Jaksa Agung tentang

pengangkatan calon Pegawai Negeri Sipil atau Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan yang isinya menyebutkan suatu

Perseroan Terbatas diberikan izin mengimpor suatu jenis barang.39

Lalu lintas pergaulan hukum khususnya dalam bidang

keperdataan, dikenal istilah subyek hukum, yaitu ”dedrager van de

rechten en plichten” atau pendukung hak-hak dan kewajiban-

kewajiban. Subyek hukum ini terdiri dari manusia (natuurlijke persoon)

39

Ibid., hlm. 18-29

39

dan badan hukum (rechtpersoon). Kualifikasi untuk menentukan

subyek hukum adalah mampu (bekwaam) atau tidak mampu

(ombekwaam) untuk mendukung atau memikul hak dan kewajiban

hukum. Berdasarkan hukum keperdataan, seseorang atau badan hukum

yang dinyatakan tidak mampu seperti orang yang berada dalam

pengampuan dan perusahaan yang dinyatakan pailit tidak dapat

dikualifikasi sebagai subjek hukum.40

Menurut Chidir Ali yang dimaksud dengan badan hukum

perdata adalah badan hukum yang terjadi atau didirikan atas pernyataan

kehendak dari orang perseorangan. Indroharto menyatakan badan

hukum perdata adalah badan atau perkumpulan atau organisasi atau

korporasi dan sebagainya yang didirikan menurut ketentuan hukum

perdata yang merupakan badan hukum (rechtspersoon) murni dan tidak

memiliki dual function seperti misalnya, Provinsi, Kabupaten, Bank

Indonesia, Dewan Pers dan sebagainya, yang di samping merupakan

badan hukum perdata, juga merupakan badan hukum publik.41

2. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara

Kedudukan suatu Keputusan Tata Usaha Negara erat kaitannya

dengan proses pembuatannya. Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara

harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut

menjadi sah menurut hukum (rechmatig). Berbicara mengenai Keputusan

Tata Usaha Negara, terdapat suatu permasalahan dalam Keputusan Tata

40

Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 156 41

R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 30

40

Usaha Negara yang dikeluarkan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan

Penertiban Bangunan Kota Administrasi Jakarta Selatan oleh Penggugat

dianggap tidak memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai Keputusan Tata

Usaha Negara yang sah. Dalam hal ini Penggugat menganggap bahwa

Tergugat telah melanggar ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan

yang berlaku yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri,

Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Informasi dan Komunikasi, dan Badan

Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Jo Peraturan Gubernur Nomor 89

Tahun 2006 Jo Peraturan gubernur Nomor 138 Tahun 2007 dan Peraturan

Gurbernur Nomor 126 Tahun 2009 serta melanggar Asas-asas Umum

Pemerintahan yang Baik dalam mengeluarkan Surat Peritah Bongkar.

Sehingga agar tidak terjadi suatu permasalahan seperti di atas,

Keputusan Tata Usaha Negara dalam pembuatannya harus memperhatikan

syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan

dalam pembuatan beschiking ini mencakup syarat materiil dan syarat

formil.

a. Syarat materiil:

1) Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus pejabat yang

berwenang;

2) Karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak, maka

keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis,

seperti penipuan, paksaan atau suap (omkoping) maupun kesesatan

(dwaling);

3) Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;

4) Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-

peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan

isi dan tujuan peraturan dasarnya.

b. Syarat formil:

1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan

dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya

keputusan harus dipenuhi;

41

2) Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya

keputusan itu;

3) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus

dipenuhi;

4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang

menyebabkan dibuatnya dan diumumkan keputusan itu harus

diperhatikan.42

S.F. Marbun menyatakan, suatu Keputusan Tata Usaha Negara

dianggap sah harus mencakup syarat materiil dan syarat formal yaitu:

1. Wewenang, ditinjau dari segi wewenang terdapat beberapa ketentuan

mengenai keabsahan surat keputusan obyek sengketa, antara lain:

a. Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang

b. Karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak

(wilsverklaring), maka keputusan tidak boleh mengandung

kekurangan-kekurangan yang bersifat yuridis (geen jurisdische

gebreken in de wilsvorming), seperti penipuan (bedrog), paksaan

(dwang), atau suapa (omkoping), kesesatan (dwaling),

c. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu

d. Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-

peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan

isi dan tujuan peraturan dasarnya.

2. Substansi, mengenai isi pokok perkara yang terdapat dalam perkara di

persidangan

3. Prosedur, ditinjau dari segi prosedur terdapat beberapa ketentuan

mengenai keabsahan surat keputusan objek sengketa, antara lain:

a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan

dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya

keputusan harus dipenuhi.

b. Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya

keputusan ini

c. Syarat-syarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu harus

dipenuhi

d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang

menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus

diperhatikan.43

42

SF. Marbun dan Moh.Mahfud MD, Op. Cit., hlm. 49 43

SF. Marbun, Op. Cit., hlm. 162

42

Keputusan sah menurut hukum (rechtsgelding) apabila syarat

materiil dan syarat formil di atas telah terpenuhi, artinya keputusan dapat

diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan

ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural atau formil maupun

materiil. Sebaliknya, bila satu atau beberapa persyaratan tersebut tidak

terpenuhi, maka keputusan itu mengandung kekurangan dan menjadi tidak

sah. F.H. van der Burg dan kawan-kawan menyebutkan bahwa keputusan

dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ yang tidak berwenang

(onbevoegdheid), mengandung cacat bentuk (vormgebreken), cacat isi

(inhoudsgebreken), dan cacat kehendak (wilsgebreken). A.M. donner

mengemukakan akibat-akibat dari keputusan yang tidak sah yaitu sebagai

berikut:

a. Keputusan itu harus dianggap batal sama sekali;

b. Berlakunya keputusan itu dapat digugat:

1) dalam banding (beroep)

2) dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging) karena

bertentangan dengan undang-undang.

3) Dalam penarikan kembali (interkking) oleh kekuasaan yang berhak

(competent) mengeluarkan keputusan itu.

c. Dalam hal keputusan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan

persetujuan (peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi,

maka persetujuan itu tidak diberi.

d. Keputusan itu diberi tujuan lain daripada tujuan permulaannya

(conversie)44

.

W. Riawan Tjandra memberikan penegasan bahwa Keputusan Tata

Usaha Negara yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat

mengenai kewenangan (bevoegdheidsgebreken), yang meliputi:

44

Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 163

43

a. Onbevoegdheid riatione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak

ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila

keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

yang tidak berwenang mengeluarkannya.

b. Onbevoegdheid riatione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal yang berada

di luar batas wilayahnya (geografis).

c. Onbevoegdheid riatione temporis, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya karena jangka

waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu

sudah berlaku peraturan baru.45

Van der Wel menyebutkan enam macam akibat suatu keputusan yang

mengandung kekurangan, yaitu sebagai berikut:

a. Batal karena hukum.

b. Kekurangan itu sebab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan

keputusan itu untuk sebagiannya atau seluruhnya.

c. Kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang lebih tinggi

dan yang berkompeten untuk menyetujui atau meneguhkannya, tidak

sanggup memberi persetujuan atau peneguhan itu.

d. Kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya keputusan.

e. Karena kekurangan itu, keputusan yang bersangkutan dikonversi ke

dalam keputusan lain.

f. Hakim sipil (biasa) menganggap keputusan yang bersangkutan tidak

mengikat.46

Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang tidak memenuhi

persyaratan di atas dapat dinyatakan batal. Batal menurut Muchsan ada 3

(tiga), yaitu:

a. Batal mutlak.

Batal mutlak adalah semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap

belum pernah ada. Aparat yang berhak menyatakan adalah Hakim

melalui putusannya.

b. Batal demi Hukum. Terdapat 2 (dua) alternatif batal demi hukum, yaitu:

1) Semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah

ada.

45

W. Riawan. Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jogyakarta: Universitas

Atma Jaya, 2005, hlm. 73 46

Ibid., hlm. 164

44

2) Sebagian perbuatan dianggap sah, yang batal hanya sebagiannya

saja. Aparat yang berhak menyatakan adalah yudikatif dan eksekutif.

c. Dapat dibatalkan.

Dapat dibatalkan adalah semua perbuatan yang dilakukan dianggap

sah, pembatalan berlaku semenjak dinyatakan batal. Aparat yang berhak

menyatakan adalah umum (eksekutif, legislatif dan lain-lain).47

Menurut teori functionare de faite, suatu Keputusan Tata Usaha

Negara tetap dianggap berlaku walaupun tidak memenuhi syarat di atas,

apabila memenuhi 2 (dua) syarat yang bersifat komulatif, yaitu:

1. Tidak absahnya keputusan itu karena kabur, terutama bagi penerima

keputusan.

2. Akibat dari keputusan itu berguna bagi kepentingan masyarakat.48

Indroharto menyatakan, penilaian mengenai kriteria keabsahan

suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dilakukan dengan cara:

a. Menguji Keputusan Tata Usaha Negara tersebut terhadap peraturan

perundang-undangan yang mendasari dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara tersebut, dan;

b. Pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara terhadap peraturan

dasarnya dilakukan hanya terhadap peraturan perundang-undangan

yang dipergunakan sebagai dasar menetapkan Keputusan Tata Usaha

Negara tersebut walaupun barangkali setelah Keputusan Tata Usaha

Negara itu ditetapkan terjadi perubahan peraturan perundang-

undangan.49

Keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai dengan tolok

ukur Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Penjelasan Pasal 53 ayat

(2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa

47 Ikhwan, Muhamad., 2010., Studi Hukum Keputusan Tata Usaha Negara (Syarat Sah,

Batal, Hapus, Kekuatan Hukum serta Metode Pembentukan).

http://studihukum.blogspot.com/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-2-syarat_20.html.

Diakses pada Senin, 10 November 2014. Pukul 12.05 WIB 48

Menurut Van Der Pot yang dikutip oleh W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan

Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002, hlm. 33 49

W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jogyakarta: Universitas

Atma Jaya, 2002, hlm. 13

45

yang dimaksud dengan Asas-asas Pemerintahan Umum yang Baik adalah

meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas

keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas

akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28

Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

D. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

Asas mengandung beberapa arti. Asas dapat mengandung arti sebagai

dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berikir atau berpendapat), dasar cita-

cita (perkumpulan atau organisasi) dan hukum dasar.50

Jika bertitik tolak

secara harfiah asas yang dikemukakan di atas, Asas-asas Umum

Pemerintahan yang Baik dapat dipahami sebagai dasar umum dalam

penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Berdasarkan hasil penelitiannya,

Jazim Hamidi menemukan pengertian Asas-asas Umum Pemerintahan yang

Baik (AAUPB) sebagai berikut:

1. AAUPB merupakan nilai-nilai etnik yang hidup dan berkembang dalam

lingkungan Hukum Administrasi Negara;

2. AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara

dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi

dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud

penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak

penggugat;

3. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak

tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di

masyarakat;

50

Tim Penulis Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

1991, hlm. 60 dan 221.

46

4. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan

terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari

asas itu berubah menjadi Hakim kaidah hukum tertulis, namun sifatnya

tetap sebagai asas hukum.51

Asas-asas umum pemerintahan yang baik lahir dari praktik

penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehingga bukan produk formal

suatu lembaga negara seperti undang-undang. Asas-asas Umum Pemerintahan

yang Baik lahir sesuai dengan perkembangan zaman untuk meningkatkan

perlindungan terhadap hak-hak individu. Fungsi Asas-asas Umum

Pemerintahan yang Baik dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah

sebagai pedoman atau penuntun bagi pemerintah atau pejabat administrasi

negara dalam rangka pemerintahan yang baik (good governence). Dalam

hubungan ini, Muin Fahmal52

mengemukakan, “Asas umum pemerintahan

yang layak sesungguhnya adalah rambu-rambu bagi penyelenggara negara

dalam menjalankan tugasnya. Rambu-rambu tersebut diperlukan agar

tindakan-tindakannya tetap sesuai dengan tujuan hukum yang sesungguhnya.”

Asas-asas umum pemerintahan yang baik pada awalnya bukan

merupakan sekumpulan norma-norma hukum, tetapi seluruhnya prinsip yang

bertendensi (bermuatan etis). Dengan perkataan lain pada awalnya Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik hanya merupakan etika penyelenggaraan

pemerintahan. Meskipun Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik hanyalah

etika, asas-asas tersebut tetap dapat berfungsi sebagai pedoman yang penting

bagi pemerintah dan para pejabat administrasi negara dalam menetapkan

51

Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 234-235 52

Fahmal Muin, Peran Asas-asas Pemerintahan yang Layak dalam mewujudkan

Pemerintahan yang Bersih, Yogyakarta: UII Press, 2008, hlm. 60

47

suatu kebijakan. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik selanjutnya

dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, di

samping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan.53

Menurut SF. Marbun, asas-asas pemerintahan yang baik memiliki arti penting

dan fungsi sebagai berikut:

1. Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan

penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-

undangan yang bersifat samar atau tidak jelas.

2. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan. AAUPB dapat

dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal

53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

3. Bagi hakim Tata Usaha Negara, dapat dipergunakan sebagai alat menguji

dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat Tata

Usaha Negara.

4. Selain itu, AAUPB tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam

merancang suatu undang-undang.54

Perkembangan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dari

sekedar tendensi etis menjadi hukum tidak tertulis dan dijadikan dasar

penilaian dalam peradilan upaya administrasi dalam dapat disebut sebagai

positivisasi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Perkembangan Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik ke arah yang lebih positif semakin

memperkokoh kehadiran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam

lingkungan tata hukum nasional dan praktik penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam perkembangan yang terakhir, Asas-asas Umum Pemerintahan yang

Baik berkembang menjadi hukum positif tertulis sebab bagian dari Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik kemudian dituangkan secara formal dalam

undang-undang ataupun hukum yang tertulis seperti di Jerman.

53

Ridwan HR, Hukum administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hlm. 251 54

Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010, hlm.

142-143

48

Pada masa sekarang Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

dipandang sebagai bagian dari hukum positif, baik sebagai hukum positif

tidak tertulis. Dalam hubungan dengan perkembangan Asas-asas Umum

Pemerintahan yang Baik dari hukum tidak tertulis menjadi hukum, Indroharto

mengemukakan, “Dasar-dasar umum yang baik ini semula merupakan norma-

norma yang tidak tertulis, beberapa di antara norma-norma tersebut seperti

larangan willekeur dan larangan de tournement de pouvoir.” Indroharto lebih

lanjut mengemukakan, di Jerman misalnya, norma-norma tersebut sebagian

dimuat dalam perundang-undangan umum (Verwaltungsverfahrensgesetz)

dan sebagian tetap tidak tertulis.

Pemerintah sangat sentral tugasnya yakni mensejahterakan kehidupan

masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya pemerintah harus turut campur

tangan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada dasarnya, setiap campur

tangan pemerintah dalam kehidupan sosial harus berpedoman pada Peraturan

Perundang-undangan sesuai dengan asas legalitas sebagai konsekuensi dari

asas negara hukum. Akan tetapi, kelemahan asas legalitas yang

mengutamakan hukum, mengakibatkan pemerintah bertindak lamban. Oleh

karena itu, pemerintah diberi kebebasan dalam menjalankan urusannya baik

yang sudah ada aturannya maupun yang belum ada aturannya.55

Pejabat administrasi negara dalam bertindak tidak terikat sepenuhnya

kepada undang-undang, ini menjadi peluang bagi pemerintah untuk

melakukan penyalahgunaan wewenang. Untuk menilai apakah tindakan

55

Hotma P. Sibue, Op. Cit., hlm. 150-154

49

pemerintah sesuai dengan asas negara hukum atau tidak, dapat menggunakan

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf

(b) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara menyatakan yang dimaksud Asas-asas Umum Pemerintahan yang

Baik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme adalah meliputi asas:

1. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam

setiap kebijakan penyelenggara negara.

2. Tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan

keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian

penyelenggaraan negara.

3. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif

tentang penyelenggaraan negaradengan tetap memperhatikan perlindungan

atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

4. Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara

hak adan kewajiban penyelenggaraan negara.

5. Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

6. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.56

Crince le Roy menyatakan terdapat sebelas asas umum pemerintahan

yang baik dalam lapangan hukum administrasi dan praktik penyelenggaraan

pemerintahan di Belanda. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang

dikemukakan oleh Crince Le Roy tersebut meliputi:

56

Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 34-35

50

1. Asas kepastian hukum (princple of legal security) adalah asas yang

bertujuan untuk menghormati hak-hak yang telah dimiliki seseorang

berdasarkan keputusan badan atau pejabat administrasi negara.

2. Asas keseimbangan (principle of proporsionality), berkenaan dengan

keseimbangan antara hukuman yang dapat dikenakan terhadap seorang

pegawai dengan kelalaian pegawai yang bersangkutan.

3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality)

mengandung arti bahwa pejabat administrasi negara pada hakikatnya harus

mengambil tindakan yang sama atas kasus-kasus yang faktanya sama.

4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness), menghendaki supaya

badan atau pejabat administrasi negara senantiasa bertindak secara hati-

hati agar tidak menimbulkan kerugian warga masyarakat.

5. Asas motivasi dalam setiap keputusan (principle of motivation)

mengandung arti bahwa setiap keputusan badan atau pejabat administrasi

negara harus didasari oleh suatu alasan atau motivasi yang cukup, yakni

adil dan jelas.

6. Asas larangan mencampuradukan kewenangan (principleof non-misuse of

competence), berkaitan dengan larangan bagi badan atau pejabat

administrasi negara untuk menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain

selain daripada tujuan yang telah ditetapkan untuk kewenangan tersebut.

7. Asas permainan yang layak (principle of fair play), berkenaan dengan

prinsip bahwa badan atau pejabat administrasi negara harus memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk

mencari kebenaran dan keadilan.

8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonable or prohibition of

arbitrariness), menghendaki supaya pejabat administrasi negara dalam

mengambil suatu keputusan atau tindakan perlu selalu memperhatikan

keadilan dan kewajaran. Aspek keadilan dalam setiap tindakan atau

keputusan pejabat administrasi negara mengandung arti bahwa setiap

tindakan pejabat administarsi negara hendaklah dilakukan secara

proporsional, sesuai, dan selaras dengan hak setiap orang. Aspek

kewajaran dalam setiap keputusan atau tindakan pejabat adminstrasi

negara menghendaki supaya setiap tindakan pejabat administrasi negara

harus memperhatikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat seperti

nilai-nilai agama, budaya, ekonomi, sosial, dan juga dapat diterima akal

sehat.

9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting raised

expectation), menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh

pemerintah harus menimbulkan harapan bagi warga negara. Sebagai

konsekuensinya, pemerintah atau pejabat administrasi negara tidak boleh

menarik kembali sesuatu harapan yang sudah terlanjur diberikan kepada

seseorang, meskipun bagi pemerintah tindakan pemberian harapan tersebut

merupakan sesuatu hal yang merugikan.

10. Asas meniadakan akibat keputusan yang batal (principle of undoingthe

consequenceof unnulled decision), menghendaki supaya pejabat

51

administrasi negara meniadakan semua akibat yang timbul dari suatu

keputusan yang kemudian dinyatakan batal.

11. Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of

protecting the personal way of life), menghendaki supaya pemerintah atau

pejabat administrasi negara memberikan perlindungan terhadap setiap

warga negara.57

Kuntjoro Purbopranoto, melengkapi Asas-asas Umum Pemerintahan

yang Baik yang dikemukakan di atas dengan menambah asas lain dalam

rangka mengadaptasi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik itu dalam

konteks Indonesia. Kedua asas tambahan itu adalah sebagai berikut:

1. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently) menghendaki supaya

pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya sebaiknya

diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan

tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan sebab peraturan

perundang-undangan selalu mengandung cacat bawaan, yakni tidak selalu

dapat menampung segenap persoalan.

2. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of legal security)

menghendaki supaya pemerintah dalam menyelenggarakan tugasnya selalu

mengedepankan kepentingan umum sebagai kepentingan segenap orang.58

Berdasarkan uraian mengenai asas di atas, dapat diketahui bahwa

keberadaan asas-asas dalam hukum sangat penting. Asas-asas dalam hukum

tidak pernah terlepas dari tindakan administrasi pemerintah dan mengatur

bagaimana cara pemerintah harus bertindak. Begitupula dengan adanya Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik, asas ini mengatur bagaimana cara

bertindak Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang biasanya disebut

dengan pemerintah. Dengan adanya asas-asas ini, maka tindakan Pemerintah

dan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha dapat dikendalikan, sehingga tidak

terjadi tindakan yang sewenang-wenang.

57

Hotma P. Sibuea, Op. Cit., hlm. 158-163 58

Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Malang: Bayumedia Publishing, 2004,

hlm. 84

52

E. Menara Telekomunikasi

1. Tata Cara Membangun Menara Telekomunikasi

Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Nomor 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara

Telekomunikasi Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Menara

Telekomunikasi adalah bangunan yang berfungsi sebagai penunjang

jaringan telekomunikasi yang desain/bentuk konstruksinya disesuaikan

dengan keperluan jaringan telekomunikasi. Menara telekomunikasi

bersama adalah Menara Telekomunikasi yang dapat digunakan oleh lebih

dari satu operator.

Menurut Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 138

Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan

Menara Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,

Menara Telekomunikasi adalah bangunan yang berfungsi sebagai

penunjang jaringan telekomunikasi yang desain/bentuk konstruksinya

disesuaikan dengan keperluan jaringan telekomunikasi. Sedangkan Menara

Telekomunikasi bersama adalah Menara Telekomunikasi yang dapat

digunakan oleh lebih dari satu operator.

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2009

tentang Peta Arahan Persebaran Menara Telekomunikasi Bersama Untuk

Penempatan Makro Seluler (Microcell), Menara Telekomunikasi adalah

bangunan khusus yang berfungsi sebagai sarana penunjang untuk

menempatkan peralatan telekomunikasi yang desain atau bentuk

53

konstruksinya disesuaikan dengan keperluan penyelenggaraan

telekomunikasi. Menara telekomunikasi bersama adalah Menara

Telekomukasi yang pemanfaatannya digunakan oleh lebih dari 2 (dua)

operator. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan

Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan

Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 18 Tahun 2009, Nomor:

07/PRT/M/2009, Nomor: 19/PER/M.KOMINFO/03/2009, Nomor:

3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama

Menara Telekomunikasi, yang disebut Menara Telekomunikasi adalah:

Bangun-bangun untuk kepentingan umum yang didirikan di atas

tanah, atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi dengan

bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang

struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai

simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul, di mana fungsi, desain

dan kontruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang menempatkan

penunjang telekomunikasi.

Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan

yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta

kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Berdasarkan

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum,

Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal menyatakan bahwa pembangunan Menara

Telekomunikasi harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:

Pasal 5

1) Menara disediakan oleh penyedia menara.

2) Penyedia menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:

a. penyelenggara telekomunikasi; atau

b. bukan penyelenggara telekomunikasi.

54

3) Penyediaan menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

pembangunannya dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi.

4) Penyedia menara yang bukan penyelenggara telekomunikasi,

pengelola menara atau penyedia jasa konstruksi untuk membangun

menara merupakan perusahaan nasional.

Pasal 6

1) Lokasi pembangunan menara wajib mengikuti:

a. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan khusus untuk DKI

Jakarta wajib mengikuti rencana tata ruang wilayah provinsi;

b. rencana detail tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan khusus untuk

DKI Jakarta wajib mengikuti rencana detail tata ruang provinsi;

dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan.

2) Pembangunan menara wajib mengacu kepada SNI dan standar

baku tertentu untuk menjamin keselamatan bangunan dan lingkungan

dengan memperhitungkan faktor-faktor yang menentukan kekuatan dan

kestabilan konstruksi menara dengan mempertimbangkan persyaratan

struktur bangunan menara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran

Peraturan Bersama ini.

Pasal 7

1) Menara yang dibangun wajib dilengkapi dengan sarana pendukung

dan identitas hukum yang jelas sesuai ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

2) Sarana pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari

a. pentanahan (grounding);

b. penangkal petir;

c. catu daya;

d. lampu halangan penerbangan (aviation obstruction light);

e. marka halangan penerbangan (aviation obstruction marking); dan

f. pagar pengaman

3) Identitas hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

a. nama pemilik menara;

b. lokasi dan koordinat menara;

c. tinggi menara;

d. tahun pembuatan/pemasangan menara;

e. penyedia jasa konstruksi; dan

f. beban maksimum menara.

Berbeda dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika

Nomor: 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan

dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi, pembangunan Menara

Telekomunikasi harus memenuhi hal-hal sebagai berikut yang termuat

dalam:

55

Pasal 2

Demi efesiensi dan efektivitas penggunaan ruang, maka Menara harus

digunakan secara bersama dengan tetap memperhatikan kesinambungan

pertumbuhan industri telekomunikasi.

Pasal 3

1) Pembangunan Menara dapat dilaksanakan oleh:

a. Penyelenggara telekomunikasi;

b. Penyedia Menara; dan/atau

c. Kontraktor Menara

2) Pembangunan Menara harus memiliki Izin Mendirikan Menara dari

intansi yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.

3) Pemberian Izin Menara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib

memperhatikan ketentuan tentang penataan ruang sesuai ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

4) Penyelenggara telekomunikasi, Penyedia Menara, dan atau Kontraktor

Menara dalam mengajukan Izin Mendirikan Menara wajib

menyampaikan informasi rencana pembangunan Menara Bersama.

5) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilakukan dengan

perjanjian tertulis antara Penyelenggara Telekomunikasi.

2. Izin Mendirikan Menara Telekomunikasi

Izin Mendirikan Bangunan atau biasa dikenal dengan IMB adalah

perizinan yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan

untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan atau

merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan

persyaratan teknis yang berlaku. IMB merupakan salah satu produk hukum

untuk mewujudkan tatanan tertentu sehingga tercipta ketertiban,

keamanan, keselamatan, kenyamanan, sekaligus kepastian hukum.

Kewajiban setiap orang atau badan yang akan mendirikan bangunan untuk

memiliki Izin Mendirikan Bangunan diatur pada Pasal 5 ayat (1) Peraturan

Daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Bangunan. IMB akan melegalkan

suatu bangunan yang direncanakan sesuai dengan Tata Ruang yang telah

ditentukan. Selain itu, adanya IMB menunjukkan bahwa rencana kostruksi

56

bangunan tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan dengan maksud

untuk kepentingan bersama.

Mendirikan Menara Telekomunikasi juga harus memiliki IMB.

Pengaturan mengenai izin mendirikan Menara Telekomunikasi terdapat

dalam Pasal 12 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan

Menara Telekomunikasi Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang

menyatakan bahwa:

1) Setiap pembangunan menara telekomunikasi wajib memiliki:

a) Surat Keterangan Penempatan Titik Lokasi Rencana Pembangunan

Menara Telekomunikasi dari Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI

Jakarta.

b) Surat Keterangan Membangun yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas

Penataan dan Pengawasan Bangunan Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta.

c) Izin Penempatan Jaringan Utilitas dan Bangunan Pelengkap yang

dikeluarkan oleh Kepala Dinas Penerangan Jalan Umum dan Sarana

Jaringan Utilitas Provinsi DKI Jakarta, apabila jaringan instalasi

yang berada pada menara terhubung dengan jaringan utilitas pada

ruang publik,

2) Permohonan awal rencana pembangunan menara telekomunikasi harus

diajukan secara tertulis kepada Kepala Dinas Tata Kota untuk

memperoleh kepastian tentang boleh atau tidaknya penempatan titik

lokasi rencana pembangunan menara telekomunikasi sesuai dengan

peruntukan ruang kota.

3) Untuk memperoleh Surat Keterangan Membangun sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a, terlebih dahulu harus mengajukan

permohonan tertulis kepada Gubernur c.q. Kepala Dinas Penataan dan

Pengawasan Bangunan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

4) Surat Keterangan Membangun Menara Telekomunikasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 3 (tiga) tahun untuk menara

telekomunikasi bersama, maximum 5 (lima) tahun untuk menara

telekomunikasi khusus;

5) Masa berlaku Surat Keterangan Membangun Menara Telekomunikasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terhitung sejak tanggal diterbitkan

dan setelah habis masa berlaku, dapat diperpanjang.

57

6) Untuk memperoleh izin Penempatan Jaringan Utilitas dan Bangunan

Pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus

dilampirkan :

a) Surat Keterangan Membangun dari Kepala Dinas Penataan dan

Pengawasan Bangunan Provinsi DKI Jakarta.

b) Membayar Retribusi Izin Penempatan Jaringan Utilitas dan

Bangunan Pelengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2007

tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan Menara

Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tata cara

memperoleh perizinan Menara Telekomunikasi terdapat dalam Pasal 11

yang menyatakan bahwa:

1) Setiap bangunan menara telekomunikasi eksisting yang

pembangunannya dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Gubernur

Nomor 89 Tahun 2006 wajib memiliki Surat Keterangan Membangun

(SKM).

2) Setiap pembangunan menara telekomunikasi yang dilakukan setelah

berlakunya Peraturan Gubernur Nomor 89 Tahun 2006 wajib memiliki

Izin Mendirikan Membangun (IMB).

3) Untuk memperoleh Surat Keterangan membangun (SKM) sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon mengajukan surat

permohonan kepada Kepala Suku Dinas Penataan dan Pengawasan

Bangunan Kota Administrasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta.

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan

Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan

Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 18 Tahun 2009, Nomor:

07/PRT/M/2009, Nomor: 19/PER/M.KOMINFO/03/2009, Nomor:

3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama

Menara Telekomunikasi tata cara perizinan pembangunan Menara dapat

dilihat dalam Pasal 10 yang menyatakan Permohonan IMB diajukan oleh

58

penyedia Menara kepada Bupati/Walikota, dan khusus untuk provinsi DKI

Jakarta permohonan izin diajukan kepada Gubernur. Begitu pula dalam

Pasal 11 mengatur mengenai permohonan IMB yang berbunyi:

4) Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Menara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 melampirkan persyaratan sebagai berikut:

d. persyaratan administratif; dan

e. persyaratan teknis.

5) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,

terdiri dari:

a. status kepemilikan tanah dan bangunan;

b. surat keterangan rencana kota;

c. rekomendasi dari instansi terkait khusus untuk kawasan yang sifat

dan peruntukannya memiliki karakteristik tertentu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9;

d. akta pendirian perusahaan beserta perubahannya yang telah

disahkan oleh Departemen Hukum dan HAM.

e. surat bukti pencatatan dari Bursa Efek Indonesia (BEJ) bagi

penyedia menara yang berstatus perusahaan terbuka;

f. informasi rencana penggunaan bersama menara;

g. persetujuan dari warga sekitar dalam radius sesuai dengan ketinggian

menara;

h. dalam hal menggunakan genset sebagai catu daya dipersyaratkan

izin gangguan dan izin genset

6) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

mengacu pada SNI atau standar baku yang berlaku secara internasional

serta tertuang dalam bentuk dokumen teknis sebagai berikut:

a. gambar rencana teknis bangunan menara meliputi: situasi, denah,

tampak, potongan dan detail serta perhitungan struktur;

b. spesifikasi teknis pondasi menara meliputi data penyelidikan tanah,

jenis pondasi, jumlah titik pondasi, termasuk geoteknik tanah

sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Bersama ini; dan

c. spesifikasi teknis struktur atas menara,meliputi beban tetap (beban

sendiri dan beban tambahan) beban sementara (angin dan

gempa),beban khusus,beban maksimum menara yang diizinkan,

sistem konstruksi, ketinggian menara, dan proteksi terhadap petir.

3. Tata cara Membongkar Menara Telekomunikasi

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung, pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau

merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan

59

bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya. Keputusan Gubernur Kepala

Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun dan Menggunakan

Bangunan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, mengatur perihal

pembongkaran Menara Telekomunikasi yang menyatakan bahwa:

Pasal 12

Tindakan Penertiban bangunan dikenakan terhadap kegiatan-kegiatan

sebagai berikut :

a. Pembangunan yang dilaksanakan tanpa izin;

b. Pembangunan dengan izin, tetapi tidak dilaksanakan oleh pemborong

dan atau tidak diawasi oleh Direksi Pengawas yang diisyaratkan;

c. Pembangunan yang dilaksanakan dengan izin, tetapi terdapat

penyimpangan dalam pelaksanaan;

d. Bangunan yang digunakan tanpa IPB dan atau IPPB;

e. Bangunan yang penggunaannya tidak sesuai IPB dan atau IPPB;

f. Bangunan/pekarangan yang tidak terpelihara.

Pasal 17

1) Terhadap SP4 yang telah dikeluarkan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 16 apabila tidak dipatuhi akan dilanjutkan dengan tindakan

penyegelan.

2) Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini tidak

dilaksanakan/dapat ditunda apabila :

a. telah mendapat Izin Pendahuluan atau;

b. berkas permohonannya telah memenuhi syarat dan dapat diproses

menjadi PIMB.

3) Surat Penyegelan disiapkan oleh Seksi Penertiban dan ditandatangi

Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.

4) Penyegelan dilaksanakan oleh Suku Dinas Pengawasan Pembangunan

Kota cq. Seksi Penertiban.

5) Cara pelaksanaan penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

Pasal ini sebagai berikut :

a. memasang papan segel pada lokasi kegiatan membangun yang jelas

terlihat;

b. Menempelkan surat segel di pintu masuk lokasi atau bedeng

kerja;Papan segel dapat dipasang kembali apabila papan segel

terdahulu hilang.

6) Batas waktu penyegelan apabila dilanjutkan ke tindakan penertiban

berikutnya (SPB) maksimal 7x24 jam.

Pasal 18

1) Terhadap tindakan penyegelan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17

apabila tidak dipatuhi dapt dilanjutkan dengan SPB.

60

2) SPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilaksanakan

apabila :

a) bangunan tersebut dari segi teknis, planalogis, administratif tidak

mungkin diberi izin atau;

b) bangunan dari segi keamanan bangunan dan lingkungan harus

dibongkar atau;

c) berdasarkan pertimbangan Kepala Suku Dinas Pengawasan

Pembangunan Kota, bangunan atau bagian bangunan yang

melanggar dari segi teknis dan atau planalogis dan atau administratif

serta tertib bangunan perlu dibongkar.

3) Pelaksanaan SPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dapat

ditunda/tidak dilaksanakan apabila:

a) telah mendapat izin pendahuluan atau;

b) berkas permohonan telah memenuhi syarat dan dapat diproses

menjadi PIMB.

4) SPB disiapkan oleh Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota cq.

Seksi Penertiban untuk ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas

Pengawasan Pembangunan Kota/Walikotamadya.

5) SPB yang ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan

Pembangunan Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini

terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak

dalam sengketa, tidak termasuk bangunan Pemerintah dan atau

bangunan sosial ibadah dan atau bangunan pada lingkungan dengan

persyaratan khusus (antara lain lingkungan KDB rendah,cagar budaya,

Kepulauan Seribu, Daerah Militer).

6) SPB yang ditandatangani Walikotamadya (setelah diparaf oleh Kepala

Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) pasal ini adalah terhadap kegiatan:

a) membangun tanpa izin yang belum dihuni dan dalam sengketa dan

atau bangunan Pemerintah dan atau bangunan sosial ibadah dan atau

bangunan pada lingkungan dengan persyaratan khusus (antara lain

lengkungan KDB rendah, cagar budaya, Kepulauan Seribu, Daerah

Militer) atau;

b) membangun tanpa izin dan sudah dihuni atau;

c) berdasarkan pertimbangan Kepala Suku Dinas Pengawasan

Pembangunan Kota atas Pelanggaran tersebut perlu SPB atau SPB

ulang dari Walikotamadya.

7) SPB yang sudah ditandatangani oleh Walikotamadya/Kepala Suku

Dinas Pengawasan Pembangunan Kota disampaikan oleh Seksi PPK

Kecamatan kepada yang bersangkutan sesegera mungkin maksimal

3x24 jam setelah diterima.

8) Pemilik/Pelaksana Bangunan diwajibkan untuk melaksanakan

pembongkaran sendiri selambat-lambatnya 7x24 jam setelah SPB

diterima.

61

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, yaitu

suatu penelitian yang menggunakan konsepsi legis-positivis. Konsepsi legis-

positivis merupakan suatu konsep yang memandang hukum identik dengan

norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat

yang berwenang. Konsep ini memandang hukum sebagai sistem normatif yang

mandiri bersifat tertutup dari kehidupan masyarakat yang nyata. Menurut

Jhonny Ibrahim, tipe penelitian yuridis normatif salah satunya menggunakan

pendekatan perundang-undangan.59

Soerjono Soekanto, dipihak lain mengemukakan pendapatnya mengenai

penelitian hukum normatif sebagai berikut:

Penelitian hukum normatif (di samping adaya penelitian hukum sosiologis atau

empiris yang terutama meneliti bahan hukum primer) adalah penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum

sekunder belaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut

mencakup:

a. Penelitian terhadap asas-asas hokum

b. Penelitian terhadap sistematika hokum

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal

d. Perbandingan hokum

e. Sejarah hukum.60

59

Ronny Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm.

11 60

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 14.

62

2. Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan Perundang-undangan

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua

Peraturan Perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan

isu hukum yang sedang ditangani.61

Metode pendekatan perundang-

undangan digunakan untuk meneliti suatu permasalahan hukum, memiliki

kesesuaian dengan Peraturan Perundang-undangan.

b. Pendekatan Kasus

Kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau

reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan.

Baik keperluan praktik maupun kajian akademis, ratio decidendi atau

reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam

pemecahan isu hukum.62

Pendekatan kasus digunakan mengingat yang menjadi titik utama

dalam penelitian ini yaitu mengenai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha

Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan

Penerbitan Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan tentang

Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan. Kajian pokok dalam penelitian ini

adalah argumentasi Hakim dalam pertimbangan hukumnya sehingga

menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh

Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penerbitan Bangunan (P2B) Kota

Administrasi Jakarta Selatan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara

yang tidak sah menurut hukum.

61

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 93 62

Ibid., hlm. 94

63

3. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi

penelitian deskriptif. Spesifikasi penelitian deskriptif menurut Soerjono

Soekanto dalam bukunya Pengantar penelitian Hukum dijelaskan bahwa

penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-

gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa

bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.63

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta,

Unit Pelaksana teknis Universitas Jenderal Soedirman, Pusat Informasi Ilmiah

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

4. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan penulisan karya ilmiah ini adalah data sekunder, yaitu

bahan hukum yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan

dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang

sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya

disediakan di perpustakaan atau milik pribadi peneliti.64

Dari bahan hukum

kepustakaan tersebut dideskripsikan tentang teori, pandangan pandapat para

ahli dan sebagainya, yang merupakan bahan berfikir dan berprilaku dalam

pengumpulan bahan hukum. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan hasil

63

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 32. 64

Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung

: Mandar Maju, 1998, hlm. 65.

64

yang obyektif dari penelitian ini dari data sekunder tersebut akan dibagi dan

diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang bersumber dari

Peraturan Perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hukum

Administrasi Negara, khususnya hukum Peradilan Tata Usaha Negara yaitu:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara kemudian mengalami perubahan menjadi Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian mengalami

perubahan kembali menjadi Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

5. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:

02/PER/M.KOMINFO/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan

Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi

6. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum,

Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal Nomor: 18 Tahun 2009, Nomor: 07/PRT/M/2009,

Nomor: 19/PER/M.KOMINFO/03/2009, Nomor: 3/P/2009 tentang

Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara

Telekomunikasi

7. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 89

Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi

Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

8. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2007

tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan Menara

Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

9. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2009

tentang Peta Arahan Persebaran Menara Telekomunikasi Bersama Untuk

Penempatan Makro Seluler (Microcell).

10. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

1068 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan

Membangun dan Menggunakan Bangunan di Daerah Khusus Ibukota

Jakarta

65

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari:

1) Pustaka di bidang ilmu hukum,

2) Hasil penelitian di bidang hukum,

a) Artikel-artikel ilmiah, baik dari Koran maupun internet,

b) E-book (buku digital),

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari:

1) Kamus Hukum

2) Ensiklopedia65

5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan

menginventarisasi bahan hukum primer seperti Peraturan Perundang-undangan,

Putusan Hakim di PTUN Jakarta, dan Yurisprudensi yang relevan, serta

Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian.

Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara studi

pustaka terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, hasil-hasil penelitian, literatur-literatur, makalah-

makalah dalam seminar, artikel-artikel, risalah-risalah sidang di PTUN Jakarta

dan Petunjuk Teknis maupun Petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan oleh

Mahkamah Agung, Peraturan Menteri maupun Peraturan Gubernur daerah

Jakarta Selatan yang relevan dengan obyek penelitian.

65

Op. Cit., hlm. 12-13.

66

6. Metode Penyajian Bahan Hukum

Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun

secara sistematis.66

Sistematis di sini maksudnya adalah keseluruhan bahan

hukum sekunder dan bahan hukum primer yang diperoleh sebagai hasil

penelitian akan dihubungkan satu dengan yang lainnya sesuai dengan pokok

permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh

sehingga penyusunan data dapat dipahami dan mudah dipelajari.

7. Metode Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis

menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yaitu dalam bentuk kalimat

yang teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih dan efektif, kemudian

dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan

secara induktif sebagai jawaban terrhadap permasalahan yang diteliti.

Soerjono Soekanto dalam hal ini memberikan pendapatnya bahwa

normatif kualitatif yaitu dilakukan dengan cara menjabarkan bahan hokum-

bahan hukum yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum, teori-teori,

serta doktrin hukum dan kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan.67

Sedangkan Roni Hanitijo Soemitro berpendapat bahwa penelitian

normatif adalah penelitian yang bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada

sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis bahan

hukum bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi -

informasi yang bersifat ungkapan monografis.68

66

M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hlm.

119 67

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Ibid., hlm. 98. 68

Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., hlm. 98.

67

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang berbentuk data sekunder bersumber dari

putusan Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam Perkara Nomor:

214/G/2011/Ptun-Jakarta yang diuraikan secara singkat sistematis sebagai

berikut:

1. Para Pihak yang berperkara

1.1 Identitas Penggugat

Nama : PT. Konsorsium Komet

Alamat : Jalan Kebagusan I, No.8, Pasar Minggu,

Jakarta Selatan

1.2 Identitas Tergugat

Nama Jabatan : Kepala Suku Dinas Pengawasan dan

Penertiban Bangunan Kota Administrasi

Jakarta Selatan.

Tempat Kedudukan : Jalan Prapanca Raya No. 9, Jakarta Selatan

2. Obyek Gugatan

Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penerbitan

Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan No.

722/1.795.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011, Tentang

Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan (selanjutnya disebut Surat

Keputusan Obyek Sengketa).

68

3. Kasus Posisi Menurut Penggugat

3.1 Penggugat adalah pemilik Menara Telekomunikasi dengan

ketinggian + 42 M, terletak di Jl. Bunga Mayang III, Rt. 04, Rw. 01

Kel. Bintaro Kec. Pesanggarahan Jakarta Selatan.

3.2 Bangunan Menara Telekomunikasi milik Penggugat dibangun sejak

Tahun 2003, tetapi Penggugat mendapat izin membangun/keterangan

membangun berdasarkan Keputusan Kepala Suku Dinas Penataan

dan Pengawasan Bangungan Kodya Jakarta Selatan Nomor :

71/KM/S/2005 tanggal 6 Juni 2005, karenanya masa berlaku Menara

tersebut terhitung sejak Tahun 2005 s/d 2008;

3.3 Dengan berakhirnya masa berlaku Menara Telekomunikasi tersebut

pada tahun 2008, maka Penggugat mengajukan izin perpanjangan

kepada Tergugat sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang

ditentukan. Tetapi Tergugat tidak mengeluarkan surat izin

perpanjangan tersebut, Tergugat secara tiba-tiba mengeluarkan Surat

Perintah Bongkar (SPB) No. 722/1.785.2/SPB.S/2011, tgl 12

September 2011, sehingga dengan di terbitkannya SPB tersebut

Penggugat sangat dirugikan;

3.4 Tindakan Tergugat dalam mengeluarkan Surat Perintah Bongkar

tersebut, selain tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam

Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan

Umum, Menteri Informasi Komunikasi dan Badan Penanaman

Modal Dalam ( BKPM) dan Peraturan- Peraturan Gubernur di atas,

69

juga bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang

Baik;

3.5 Tindakan Tergugat yang mengeluarkan Surat Keputusan, selaku

Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban bangunan (P2B)

Kota Administrasi Jakarta Selatan No. 722 / 1 .795.2 / SPB.S / 2011,

tanggal 12 September 2011, Tentang Pelaksanaan Pembongkaran

sebagaimana tersebut di atas, karena bertentangan dengan Pasal 53

ayat 2 huruf a Undang-Undang-Undang No.9 Tahun 2004, dan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Surat Keputusan

Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Mentri

Informasi dan Komunikasi, dan Badan Koordinasi Penanaman

Modal (BKPM) Jo.Peraturan Gubernur No. 89 Tahun 2006 Jo.

Pergub No. 138 Tahun 2007 dan Pergub No. 126 Tahun 2009, oleh

karenanya Surat Perintah Bongkar tersebut harus dinyatakan TIDAK

SAH atau BATAL;

3.6 Sesuai dengan pasal 11 Surat Keputusan Bersama Empat

Kementrian tersebut pada poin 12 di atas, menyebutkan bahwa:

- Ayat (1) “Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Menara

sebagaimana dimasud dalam pasal 10 melampirkan persyaratan

sebagai berikut:

a. Persyaratan administrasi, dan;

b. Persyaratan tehnis;

70

- Ayat (2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a terdiri dari:

a. Status kepemilikan tanah dan bangunan;

b. Surat keterangan rencana kota;

c. Rekomendasi dari instansi terkait khusus untuk kawasan yang

sifat dan peruntukannya memiliki karateristik tertentu

sebagaimana dimaksud dalam pasal 9;

d. Akta Pendirian perusahan beserta perubahan yang telah

disahkan oleh Departemen Hukum dan HAM;

e. Surat bukti pencatatan dari Bursa Efek Indonesia (BEJ) bagi

penyedia menara yang berstatus perusahan terbuka;

f. Informasi rencana penggunaan bersama menara;

g. Persetujuan dari warga sekitar alam radius sesuai dengan

ketinggian menara;

h. Dalam hal menggunakan genset sebagai catu daya

dipersyaratkan izin gangguan dan izin genset;

- Ayat (3) “Persyaratan tehnis sebagaimana dimaksud pada ayat ()

huruf b, mengacu pada SNI atau standard baku yang berlaku

secara internasional serta tertuang dalam bentuk dokumen tehnis

sebagai berikut:

a. Gambar rencana tehnis bangunan menara meliputi: situasi,

denah, tampak, potongan dan serta perhitungan struktur;

71

b. Spesifikasi tehnis pondasi menara meliputi data penyelidikan

tanah, jenis pondasi, jumlah titik pondasi, termasuk geotehnik

tanah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan

Bersama ini dan;

c. Spesifikasi tehnis struktur atas menara, meliputi baban tetap

(beban sendiri dan beban tambahan) beban sementara (angin

dan gempa), beban khusus, beban maksimum menara yang

dizinkan, system konstruksi ketinggian menara, dan proteksi

terhadap petir;

Persyaratan-persyaratan tersebut di atas, telah dirumuskan dan

dijabarkan secara operasional dalam Peraturan Peraturan Gubernur

No. 89 Tahun 2006 Jo. Pergub No. 138 Tahun 2007 dan Pergub No.

126 Tahun 2009;

Dikeluarkannya Surat Perintah Bongkar No.

722/1.795.2/SPB/S/2011 Kepala Suku Dinas Pengawasan dan

Penerbitan Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan

tanggal 12 September 2011, selain telah melanggar Peraturan

Perundangan-undangan yang berlaku, juga telah melanggar Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana tersebut dalam

pasal 53 Ayat 2 huruf b UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun

2009, yaitu:

a. Kepastian Hukum, yaitu asas yang mengutamakan landasan

Peraturan Perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam

72

setiap kebijakan penyelenggara Negara. Sedangkan, kepentingan

Penggugat dalam perkara a quo merasakan suatu ketidak adilan

dan ketidakpatutan;

b. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan

tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan

rahasia Negara;

c. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap

kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara

harus dapat di pertanggungjawabkan kepada masyarakat atau

rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai

ketentuan perundang- undangan yang berlaku;

3.7 Menurut pasal 53 ayat (2) huruf b, dinyatakan, "Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak

mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut

dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan

atau tidak pengambilan keputusan tersebut, karena Penggugat dalam

pengurusan perpanjangan izin penggunaan menara telah dilakukan

dan telah memenuhi persyaratan yang diperlukan sebagaimana

semestinya, sehingga kewenangan yang dimiliki oleh Tergugat, telah

menyimpang dan melanggar prosedural yang ditetapkan juga

73

seharusnya secara substansial tentang pemahaman persepsi

masyarakat yang keliru. Bahkan, Tergugat selaku pelayan publik

dengan telah berbuat sewenang-wenangnya terhadap Penggugat juga

telah menyimpang dari nalar sehat ( Abus de droit );

3.8 Tergugat juga telah melakukan atas Menara milik Penggugat,

karenanya dengan adanya penyegelan atas Menara Telekomunikasi

milik Penggugat, sangat merugikan, baik dari aspek pelayanan

pengguna bersama Menara (TELKOMSEL-SMART-ESIA),

disamping itu sangat menghambat Penggugat untuk melakukan

pekerjaan pemeliharaan Menara secara rutin untuk

mencegah/memperbaiki peralatan yang rusak;

3.9 Penggugat dalam Petitumya memohon agar Ketua Pengadilan Tata

Usaha Negara Jakarta, berkenan memberikan putusan sebagai

berikut:

1. Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya;

2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Kepala Suku

Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota

Adminstrasi Jakarta Selatan No. 722/1.785.2/ SPB.S/2011 tgl 12

September 2011, Tentang Surat Perintah Pelaksanaan

Pembongkaran Bangunan;

3. Mewajibkan Tergugat mencabut Surat Keputusan Kepala Suku

Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota

Adminstrasi Jakarta Selatan No.722/1.785.2/ SPB.S/2011 tgl 12

74

September 2011, Tentang Pelaksanaan Perintah Pembongkaran

Bangunan;

4. Menghukum Tergugat membayar biaya yang timbul dalam

perkara ini.

4. Kasus Posisi Menurut Tergugat

4.1 Dalam Eksepsi

4.1.1 Gugatan Penggugat tidak diajukan dalam dalam jangka waktu

sembilan puluh hari seperti ketentuan Pasal 55 Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009;

4.1.2 Gugatan Penggugat tidak sesuai dengan Fakta Hukum dan

tidak berdasarkan hukum. Penggugat menyatakan bahwa

dalam penerbitan Surat Perintah Bongkar Nomor:

722/1.79.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011,

bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik;

4.1.3 Bahwa gugatan Penggugat kurang pihak (Plurium Litis

Consortium), seharusnya Penggugat juga menggugat Kepala

Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta.

4.2 Dalam Pokok Perkara

4.2.1 Tergugat dalam mengeluarkan Surat Perintah Bogkar tersebut,

karena status perizinan Menara Telekomunikasi milik

Penggugat tidak mempunyai Izin Mendirikan Bangunan

75

sebagaimana dipersyaratkan Pasal 11 ayat (2) Peraturan

Gubernur DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2007 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan Dan Penataan Menara

Telekomunikasi Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

menyatakan ”Setiap Pembangunan Menara Telekomunikasi

yang dilakukan setelah berlakunya Peraturan Gubernur Nomor

89 Tahun 2006 wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan

(IMB);

4.2.2 Oleh karena, Menara Telekomunikasi milik Penggugat tersebut

tanpa IMB, maka sesuai sesuai ketentuan yang diatur dalam

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Nomor 1068 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan

Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Tergugat

melaksanakan tindakan-tindakan proses penegakan aturan

secara bertahap sebagai berikut :

- SP- 4 Nomor 817/1.785.2/SP4/S/2011, tanggal 16 Agustus

2011;

- Surat Segel Nomor 817/1.785.2/SP/S/2011, tanggal 18

Agustus 2011;

- Surat Perintah Bongkar Nomor 722/1.785.2/SPB/S/2011,

tanggal 12 September 2011;

76

- Selanjutnya atas Surat Perintah Bongkar dimaksud, Sesuai

ketentuan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 61

Tahun 2008 Tentang Pembentukan Tim Penertiban Menara

Telekomunikasi Di Provinsi DKI Jakarta Menara

Telekokomunikasi tersebut harus segera dibongkar karena

beroperasi tanpa izin;

4.2.3 Tergugat menyatakan Menara Telekomunikasi yang dibangun

oleh Penggugat tidak mendapat izin dari warga sekitar.

Penggugat diduga melakukan pemalsuan terhadap perizinan

dari warga sekitar. Terdapat Bukti Penerimaan Pemberitahuan

Pernyataan Ijin Warga/ Tetangga atau Persetujuan Warga

memakai Kop Surat Komet Consortium tertulis tahun 2002,

terdapat pemalsuan tandatangan dan terdapat warga yang

bertandatangan yang bukan warga setempat. Terdapat juga

persetujuan warga bertahun 2001 yang diduga palsu yang

ditandatangani oleh Lurah Bintaro bernama ALIF

MUBARAK, namun setelah diteliti di Kelurahan Bintaro nama

Lurah tersebut tidak pernah menjabat dan tidak pernah ada

dalam susunan pejabat pemerintahan di lingkungan

Pemerintahan Kota Administrasi Jakarta Selatan; Warga Rt

02/01, Kelurahan Bintaro, tidak pernah menandatangani

persetujuan terhadap berdirinya Menara Telekomunikasi milik

Penggugat.

77

4.2.4 Perlu dijelaskan kepada Penggugat bahwa, Persetujuan Warga

merupakan persyaratan yang utama yang mutlak harus

dipenuhi oleh seorang pemohon untuk mendirikan bangunan

Menara Telekomunikasi. Sebagaimana dimaksud Peraturan

Gubernur Nomor 89 Tahun 2006 Tentang Pembangunan Dan

Penataan Menara Telekomunikasi Di Provinsi DKI Jakarta,

sehingga bila persetujuan warga tersebut Penggugat tidak

penuhi meskipun segala izin atau rekomendasi apapun yang

sudah dkeluarkan sebagai pelengkap atau izin telah dipenuhi

IMB tidak akan diterbitkan;

4.2.5 Penggugat telah mengada-ada karena tidak pernah Tergugat

menerbitkan Surat Perintah Bongkar tanpa sebab dan tanpa

didahului oleh Surat pendahulunya yakni Surat SP- 4 Nomor :

817/1.785.2/SP4/S/2011, tanggal 16 Agustus 2011, dan Surat

Segel Nomor : 817/1.785.2/SP/S/2011, tanggal 18 Agustus

2011, sehingga dalil gugatan Penggugat ini harus ditolak;

4.2.6 Tergugat mengatakan bahwa Surat Perintah Bongkar a quo

dikeluarkan karena memenuhi persyaratan sehingga sekaligus

melaksanakan perintah dari ketentuan peraturan bersama dan

ketentuan yang lainnya antara lain :

- Bahwa, ketentuan Pasal 30 Peraturan Bersama Menteri

Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri

Komunikasi Dan Informatika Dan Kepala Badan

78

Koordinasi Penanaman Modal Nomor 19 Tahun 2009,

Nomor : 07/PRT/M/2009, Nomor

19/PER/M.KOMINFO/03/2009 dan Nomor : 3/P/2009,

Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama

Menara Telekomunikasi menyatakan “Dengan berlakunya

Peraturan Bersama ini, semua ketentuan perundang-

undangan yang terkait dengan Menara Telekomunikasi

tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan

Peraturan Bersama ini";

- Peraturan Bersama bukanlah hanya satu-satunya peraturan

atau ketentuan yang mengatur tentang Menara

Telekomunikasi, dan memperhatikan Pasal 4 ayat (1)

Peraturan Bersama menyatakan “ Pembangunan Menara

wajib memiliki IMB Menara dari Bupati/Walikota, kecuali

untuk Provinsi DKI Jakarta wajib memiliki IMB Menara

dari Gubernur”. Memperhatikan hal tersebut serta

ketentuan-ketentuan Menara Telekomunikasi yang ada pada

Provinsi DKI Jakarta tetap masih berlaku dan merupakan

dasar bagi Tergugat untuk melakukan suatu penertiban

terhadap Menara Penggugat yang tidak mempunyai izin

antara lain menyatakan;

- Diktum Kedua Keputusan Gubernur Nomor 61 Tahun

2008 Tentang Pembentukan Tim Penertiban Menara

79

Telekomunikasi Di Provinsi DKI Jakarta yang

menyatakan “Melakukan penertiban terhadap Menara

Telekomunikasi yang tidak mempunyai izin sesuai

dengan ketentuan yang berlaku”.

- Pasal 23 Pergub Nomor 138 Tahun 2007 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan

Menara Telekomunkasi Di Provinsi DKI Jakarta yang

menyatakan “Penertiban Menara Telekomunikasi yang

tidak dilengkapi izin dan/atau yang sudah habis masa

berlakunya izin sesuai ketentuan peraturan ini

dilaksanakan dibawah koordinasi Walikota Administrasi,

Dinas Penataaan dan Pengawasan Bangunan, Dinas

Perhubungan, Dinas Penerangan Jalan Umum dan Sarana

Jaringan Utilitas Provinsi DKI Jakarta";

- Pasal 37 Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007

menyatakan “. Setiap orang atau Badan dilarang

membangun Menara/Tower komunikasi kecuali

mendapat izin dari Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk

- Bahwa, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat 1 Peraturan Daerah

No.7 Tahun 1991 Tentang Bangunan Dalam Wilayah

DKI Jakarta menyatakan “Setiap kegiatan membangun

dan atau menggunakan dan atau kelayakan menggunakan

80

bangunan dalam wilayah DKI Jakarta harus memiliki

izin dari Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta’

4.2.7 Berdasarkan uraian ketentuan-ketentuan di atas tidaklah

berdasar hukum bila Penggugat menyatakan adanya

pelanggaran ketentuan yang berlaku yang dilakukan oleh

Tergugat atau Tergugat dinyatakan tidak melaksanakan Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana dimaksud

Pasal 53 ayat 2 UU No.9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. Berdasarkan hal tersebut Tergugat mohon agar

Majelis Hakim memutuskan:

1. Menerima semua Eksepsi yang diajukan Tergugat;

2. Menerima seluruh dalil-dalil Tergugat Dalam Pokok

Perkara;

3. Menolak seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat atau setidak-

tidaknya menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet

Onvanklijke Verklaard);

4. Menyatakan Surat Perintah Bongkar Nomor

722/1.785.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011

diterbitkan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan

tidak melanggar Asas-asas Pemerintahan yang Baik;

5. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini

untuk keseluruhan;

81

5. Pertimbangan Hukum Hakim

5.1 Dalam Eksepsi

5.1.1 Mengenai Eksepsi tenggang waktu, Tergugat menyatakan

bahwa Surat Perintah Bongkar diterima Penggugat pada

tanggal 12 September 2011 dan Penggugat mengajukan

gugatannya pada tanggal 13 Desember 2011 (91 hari). Tetapi

Penggugat baru menerima Surat Perintah Bongkar pada

tanggal 14 September 2011 di Kantor Kecamatan. Menimbang,

bahwa dari Persidangan a-quo, pada Bukti T-5 dan T-6 yaitu,

masing-masing lembar pengantar surat dari Tergugat kepada

Penggugat, meskipun benar terdapat tanda-tangan penerima

surat serta tanda-tangan pengirim surat serta tanggal

dikirimnya surat yaitu, dikirim tanggal 9 September 2011

(Bukti T-5) dan dikirim tanggal 12 September 2011 (Bukti T-

6) namun, ternyata tidak dilengkapi dengan tanggal

diterimanya Surat Keputusan Objek Sengketa, dengan

demikian melalui Alat Bukti T-5 maupun Bukti T-6 tersebut

tidak dapat membuktikan bahwa, Penggugat telah menerima

Surat Keputusan Objek Sengketa sejak tanggal 12 September

2011. Menimbang, bahwa selanjutnya dalam Persidangan a-

quo, tidak terdapat bukti lain yang menunjukkan Penggugat

telah mengetahui Surat Keputusan Objek Sengketa melebihi

tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana

82

ditentukan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,

oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat dalil gugatan

Penggugat yang menyatakan baru mengetahui Surat Keputusan

Objek Sengketa pada tanggal 14 September 2011, dan gugatan

diajukan tanggal 13 Desember 2011, masih dalam tenggang

waktu sebagaimana ditentukan Pasal 55 di atas, maka Eksepsi

Tergugat tentang hal tersebut harus ditolak;

5.1.2 Mengenai Eksepsi gugatan Penggugat tidak berdasarkan fakta

hukum dan tidak berdasarkan hukum. Majelis Hakim

menyatakan bahwa untuk menguji eksepsi Tergugat di atas

berkaitan dengan pengujian apakah Surat Keputusan Objek

Sengketa diterbitkan bertentangan atau tidak bertentangan

dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku maupun

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, dan pengujian

tersebut berkaitan dengan pengujian dalam pokok sengketa

karenanya Eksepsi tersebut bukanlah bersifat Ekseptief ;

Menimbang, bahwa karena Eksepsi Tergugat pada angka 2,

tidak bersifat Ekseptief karena berkaitan dengan pengujian

dalam pokok sengketa maka Eksepsi Tergugat pada angka 2

harus ditolak;

5.1.3 Mengenai Eksepsi gugatan Penggugat kurang pihak. Majelis

Hakim mempertimbangkan bahwa, Menimbang, bahwa dalam

gugatan a-quo, keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi

83

objek sengketa adalah Surat Keputusan Nomor :

722/1.795.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011, Tentang

Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan yang diterbitkan oleh

Kepala Suku Dinas Pengawasan Dan Penertiban Bangunan

Kota Administrasi Jakarta Selatan. Menimbang, bahwa

dengan demikian karena keputusan yang menjadi objek

sengketa gugatan hanyalah keputusan Kepala Suku Dinas

Pengawasan Dan Penertiban Bangunan Kota Administrasi

Jakarta Selatan maka, tidak beralasan hukum untuk

menyertakan instansi lain sebagai subjek Tergugat dalam

gugatan a-quo, karenanya Eksepsi Tergugat pada angka 3 di

atas yang menyatakan gugatan Penggugat kurang pihak harus

ditolak.

5.2 Dalam Pokok Perkara

5.2.1 Menimbang, bahwa dalam Jawabannya, Tergugat mendalilkan

kewenangannya menerbitkan Surat Keputusan objek sengketa

berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan

Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

5.2.2 Menimbang, bahwa untuk membuktikan adanya kewenangan,

Tergugat mengajukan Bukti T-38 yaitu, Keputusan Gubernur

Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun

84

1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan

Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus

Ibukota Jakarta;

5.2.3 Menimbang, bahwa mencermati isi yang dimuat dalam

keputusan Objek Sengketa, terkait dengan kewenangan

Tergugat pada Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997, terdapat pada Pasal

18 ayat (5), bahwa pada pokoknya Surat Perintah Bongkar

yang ditanda tangani Tergugat adalah terhadap kegiatan

membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam

sengketa;

5.2.4 Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim

menyimpulkan dalam pemberian kewenangan kepada Tergugat

digantungkan pada syarat kumulatif, dimana apabila salah satu

syarat tidak terpenuhi maka, Tergugat menjadi tidak

berwenang dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek

Sengketa, karenanya yang perlu diteliti lebih lanjut, apakah

bangunan Penggugat a-quo yang akan dibongkar Tergugat

merupakan bangunan tanpa izin yang belum dihuni dan tidak

dalam sengketa;

5.2.5 Menimbang, bahwa dari Bukti P-30=T-13 yaitu, Surat

keputusan Kepala Suku Dinas Penataan dan Pengawasan

Bangunan Kodya Jakarta Selatan Nomor : 71/KM/S/2005,

85

tanggal 6 Juni 2005, berlaku sampai dengan 3 tahun atau

sampai dengan tanggal 6 Juni 2008, untuk bangunan Menara

Telekomunikasi yang terletak di Jl Bunga Mayang III, RT.

004/01, Kel. Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan;

5.2.6 Menimbang, bahwa dari isi yang dimuat dalam keputusan

objek sengketa pada Bukti P-1=T-4 yaitu, pelaksanaan

pembongkaran terhadap bangunan yang terletak di Jl. Bunga

Mayang III, RT. 004, RW. 01, Kel. Bintaro, Kec.

Pesanggrahan, Jakarta Selatan;

5.2.7 Menimbang, bahwa dari Persidangan a-quo, tidak terdapat alat

bukti lain yang menunjukkan bahwa, bangunan Menara

Penggugat yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT. 004,

RW. 01, Kel. Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan,

telah diterbitkan izin perpanjangannya;

5.2.8 Menimbang, bahwa dengan demikian, Majelis Hakim

menyimpulkan bahwa benar bangunan Menara Penggugat a-

quo yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT. 004, RW. 01,

Kel. Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan adalah tanpa

izin, karena izin yang lalu telah berakhir dan belum diterbitkan

izin perpanjangannya;

5.2.9 Menimbang, bahwa dari keterangan Saksi-Saksi tersebut, yang

menyatakan bahwa, bangunan Menara Penggugat a-quo masih

beroperasi maka, membuktikan adanya kegiatan dalam

86

bangunan Menara tersebut dan karenanya dapat disimpulkan

bangunan Menara Penggugat dalam keadaan dihuni;

5.2.10 Menimbang, bahwa sesuai Keputusan Gubernur Kepala

Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997,

Pasal 18 ayat (5), bahwa pada pokoknya Surat Perintah

Bongkar yang ditandatangani Tergugat adalah, terhadap

kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak

dalam sengketa;

5.2.11 Menimbang, bahwa dengan demikian, karena salah satu syarat

pemberian kewenangan tidak terpenuhi maka Majelis Hakim

berpendapat bahwa, Tergugat tidak berwenang untuk

menerbitkan Surat Perintah Bongkar (SPB) Objek Sengketa a-

quo, karena bangunan yang akan dibongkar masih dalam

keadaan beroperasi atau dihuni;

5.2.12 Menimbang, bahwa seharusnya kewenangan menerbitkan

Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan tanpa izin yang

dihuni merupakan kewenangan Walikota sebagaimana

ditentukan dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997, Pasal 18 ayat (6)

butir b, yaitu “membangun tanpa izin dan sudah dihuni”;

5.2.13 Menimbang, bahwa dengan demikian, terbukti dalam

Persidangan a-quo, Tergugat tidak dapat membuktikan sumber

kewenangannya dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek

87

Sengketa karenanya sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2) a

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 maka, tindakan

Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa

yaitu, surat keputusan Tergugat Nomor :

722/1.795.2/SPB/S/2011 tanggal 12 September 2011, Tentang

Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan harus dinyatakan tidak

sah;

5.2.14 Menimbang bahwa, karena Surat Keputusan Objek Sengketa

telah dinyatakan tidak sah maka diwajibkan kepada Tergugat

untuk mencabutnya;

5.2.15 Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat

dikabulkan dan Objek Sengketa adalah mengenai

pembongkaran bangunan maka, untuk mencegah agar pokok

gugatan Penggugat tidak sia-sia (illusoir) maka tuntutan

Penggugat untuk menunda Pelaksanaan Surat Keputusan

Objek Sengketa harus dikabulkan dan oleh karena itu memiliki

konsekwensi yuridis yaitu, ditundanya pelaksanaan Surat

Keputusan Tergugat Nomor : 722/1.795.2/SPB/S/2011, tanggal

12 September 2011, Tentang Pelaksanaan Pembongkaran

Bangunan yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT. 004,

RW. 01, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Kota

Administrasi Jakarta Selatan, sampai ada Putusan Pengadilan

yang memperoleh Kekuatan Hukum Tetap;

88

5.2.16 Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan di

atas, maka seluruh tuntutan Penggugat telah dipertimbangkan

dan telah dikabulkan seluruhnya;

5.2.17 Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 110 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 berbunyi, “Pihak yang

dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum

membayar biaya perkara”;

5.2.18 Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat telah

dikabulkan seluruhnya, maka, Tergugat harus dinyatakan

sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya

perkara yang jumlahnya akan ditentukan dalam Amar Putusan

ini;

6. Amar Putusan

6.1 Dalam Eksepsi

Menolak Eksepsi Tergugat ;

6.2 Dalam Pokok Sengketa

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

2. Menyatakan tidak sah Surat Keputusan Tergugat Nomor:

722/1.795.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011, Tentang

Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan yang terletak di Jl. Bunga

Mayang III, RT. 004, RW. 01, Kelurahan Bintaro, Kecamatan

Pesanggrahan, Kota Administrasi Jakarta Selatan;

89

3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Nomor:

722/1.795.2/SPB/S/2011, tanggal 12 September 2011, Tentang

Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan yang terletak di Jl. Bunga

Mayang III, RT. 004, RW. 01, Kelurahan Bintaro, Kecamatan

Pesanggrahan, Kota Administrasi Jakarta Selatan;

4. Menghukum Tergugat untuk Membayar Biaya Perkara sejumlah

Rp.354.000.- (Tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah);

90

B. Pembahasan

1. Pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan

Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B)

Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat

Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan

Pembongkaran Bangunan.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa

negara Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum menentukan

bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus

tunduk pada pemerintah. Dalam negara hukum, eksistensi hukum

dijadikan sebagai instrumen dalam menata kehidupan kenegaraan,

pemerintahan dan kemasyarakatan. Dianutnya negara hukum mengandung

makna bahwa hukum ditempatkan sebagai panglima dalam menyelesaikan

suatu permasalahan dalam pemerintahan. Perwujudan negara hukum salah

satunya dengan dibentuknya Kekuasaan Kehakiman. Hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan

bahwa: Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Begitupula dengan Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa: Kekuasaan

Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pasal

91

tersebut, Hakim memiliki kebebasan dan mandiri dalam memutus dan

menyelesaikan suatu perkara yang bertujuan untuk memperkuat

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mewujudkan

sistem peradilan terpadu (Integrated Justice System).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga menentukan bahwa susunan,

kekuasaan serta hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya diatur dalam undang-undang. Atas dasar ketentuan

tersebut, untuk badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata

Usaha Negara telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian

mengalami perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan Tata Usaha Negara bertujuan untuk melindungi

kepentingan rakyat dan memberikan perlindungan hukum sesuai dengan

konsep dari negara hukum. Dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara

diharapkan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah

(Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) harus berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku dan Asas-asas Umum Pemerintahan

yang Baik, sehingga setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah

92

itu tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Wewenang peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 47

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa

wewenang peradilan tata usaha negara adalah memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sedangkan pengertian sengketa

tata usaha negara itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang berbunyi:

”Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam

bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata

dengan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun

di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan

perundang-undangan.”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang

menjadi obyek sengketa tata usaha negara adalah orang (individu) atau

badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara.

Sengketa Tata Usaha Negara selalu sebagai akibat dari

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Antara sengketa Tata

Usaha Negara dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara

selalu harus ada hubungan sebab akibat. Tanpa dikeluarkannya Keputusan

Tata Usaha Negara, tidak mungkin sampai terjadi adanya sengketa Tata

Usaha Negara. Mengenai apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata

Usaha Negara tertuang dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51

Tahun 2009 yang berbunyi Keputusan Tata Usaha Negara adalah:

93

“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang

bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara, pada dasarnya badan atau pejabat tata usaha

negara tersebut dalam mengambil keputusan mengemban kepentingan

umum atau kepentingan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu

kemungkinan keputusan itu dapat menimbulkan kerugian bagi seseorang

atau badan hukum perdata, sehingga pihak yang dirugikan itu diberi

kesempatan untuk mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara.

Hak gugat diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004, yang menyatakan:

“Orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan oleh suatu

Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis ke

pengadilan yang berwenang dengan tuntutan agar Keputusan Tata

Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah

dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.”

Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2004, seseorang yang mengajukan gugatan di peradilan

tata usaha negara, harus gugatan itu mempunyai suatu kepentingan yang

dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan

atau pejabat tata usaha negara. S.F. Marbun, mengemukakan bahwa

kepentingan penggugat yang dirugikan harus bersifat “langsung terkena”,

artinya kepentingan tersebut tidak boleh terselubung dibalik kepentingan

orang lain (rechtstreeks belang) sesuai dengan adagium yang menyatakan

94

Point d’interest, Point d’action. Th. Ketut Suraputra, mengemukakan

bahwa pengertian “merasa” pada perumusan dari ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 53 ayat (1) dapat diartikan sebagai: kepentingan tersebut

belum perlu sudah nyata-nyata terjadi, sebagaimana umpamanya apabila

seseorang mendapat izin bangunan, maka tetangganya sudah dapat

mengajukan gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara tersebut

bilamana ia merasa kepentingannya dirugikan. Berbeda dengan Indroharto

yang dapat menggugat ke Pengadilan tidak terbatas hanya pada Penggugat

yang langsung kepentingannya telah dirugikan, tetapi juga individu-

individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan. Kelompok ini

Keputusan Tata Usaha Negara merasa terkena kepentingannya secara tidak

langsung dengan dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara

yang sebenarnya di alamatkan kepada orang lain dan juga organisasi-

organisasi kemasyarakatan sebagai pihak ketiga dapat merasa

kepentingannya karena keluarnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu

dianggapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan mereka perjuangkan

sesuai dengan anggaran dasarnya.

Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan

Tata Usaha Negara mengatur Keputusan Tata Usaha Negara yang

berpotensi untuk diajukan ke pengadilan tata usaha negara yakni apabila

tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku

dan bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

95

Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,

keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat ditinjau dari 3 (tiga)

aspek, yaitu: Kewenangan, Substansi dan Prosedur. Apabila Keputusan

Tata Usaha Negara itu dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang tidak

berwenang, dan substansi serta prosedur tidak berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik, maka Keputusan Tata Usaha Negara

tersebut dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang

bertentangan dengan hukum. Begitupula Philipus M. Hadjon dalam

menyimpulkan penjelasan pasal 53 ayat (2), yang berkaitan dengan alasan

dasar menggugat yakni:

1. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan yang bersifat prosedural/formal;

2. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan yang bersifat materiel/substansial;

3. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak

berwenang.69

Tiga hal tersebut diukur dengan peraturan tertulis dan atau Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik. Dengan demikian sebetulnya alasan

menggugat cukup dua, secara alternative dan komulatif, yaitu:

a. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan.

b. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik.

69

Philiphus M. Hadjon, Op. Cit., hlm. 326-327

96

Berdasarkan hasil penelitian mengenai para pihak dalam

hubungannya dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor

9 Tahun 2004, Penggugat telah memenuhi persyaratan sebagai subyek

hukum. Penggugat berupa “badan hukum perdata” berkaitan dengan

kepentingannya sebagai pihak yang dirugikan karena terbitnya Surat

Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan

(P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat

Perintah Bongkar terhadap bangunan Menara milik penggugat.

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 terdapat

makna bahwa peradilan tata usaha negara hanya terbatas pada 1 (satu)

macam tuntutan pokok yakni tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara

yang menjadi obyek sengketa untuk dinyatakan batal atau tidak sah. Isi

petitum atau tuntutan yang diajukan penggugat juga menghendaki bahwa

Majelis Hakim menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha

Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan

Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan. Isi petitum

atau gugatan yang diajukan penggugat dikategorikan sebagai tuntutan yang

diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.

Mengenai petitum atau tuntutan penggugat yang menghendaki bahwa

Majelis Hakim agar mencabut surat keputusan obyek sengketa, ini

merupakan salah satu konsekuensi yuridis mengenai kewajiban tergugat

sebagai badan atau pejabat tata usaha negara apabila nantinya tergugat

dinyatakan kalah dalam amar putusan Majelis Hakim, hal ini sesuai

97

dengan Pasal 97 ayat (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Kasus

posisi secara singkat dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Bangunan Menara Telekomunikasi milik Penggugat dibangun sejak

Tahun 2003, tetapi Penggugat mendapat izin membangun/keterangan

membangun berdasarkan Keputusan Kepala Suku Dinas Penataan dan

Pengawasan Bangungan Kodya Jakarta Selatan Nomor : 71/KM/S/2005

tanggal 6 Juni 2005, karenanya masa berlaku Menara tersebut terhitung

sejak Tahun 2005 s/d 2008;

2. Dengan berakhirnya masa berlaku Menara Telekomunikasi tersebut

pada tahun 2008, maka Penggugat mengajukan izin perpanjangan

kepada Tergugat sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang

ditentukan.

3. Penggugat tidak mengetahui mengapa tergugat mengeluarkan Surat

Perintah Bongkar, bukannya surat perpanjangan izin Menara yang

diajukan oleh penggugat.

4. Ternyata Tergugat dalam mengeluarkan Surat Perintah Bongkar ini

mendasarkan pada alasan bahwa para warga sekitar tidak menghendaki

adanya perpanjangan Menara tersebut unuk beroperasi lagi, karena

merugikan masyarakat.

5. Hal ini disangkal penggugat, karena selama ini warga tidak keberatan

dengan berdirinya Menara tersebut dari tahun 2005 hingga tahun 2008,

tetapi warga malah medapatkan manfaat.

98

6. Menurut Penggugat, Tergugat dalam mengeluarkan Surat Perintah

Bongkar menyalahi aturan yang ada yaitu bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan tidak sesuai dengan

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

7. Tergugat dalam hal ini melanggar kewenangan yang ada padanya,

sehingga Penggugat mohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan

batal atau tidak sah terhadap obyek sengketa tersebut.

Pertimbangan hukum dalam sengketa a-quo adalah sebagai berikut:

1. Pokok permasalahan dalam Gugatan yang diajukan oleh Penggugat

adalah apakah obyek sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat tidak

sesuai dengan kewenangan Tergugat yakni bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta bertentangan dengan

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ataukah tidak.

2. Kewenangan Tergugat menerbitkan Surat Perintah Bongkar hanyalah

pada ketentuan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan

Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang intinya terhadap

kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam

sengketa.

3. Kewenangan Walikota Jakarta Selatan dalam menerbitkan Surat

Perintah Bongkar ditentukan pada Pasal 18 ayat (6) butir b Keputusan

Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun

99

1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun

Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang

intinya membangun tanpa izin dan sudah dihuni.

4. Menurut keterangan saksi Drs. Achmad Hilman, Poerwono Arifin, S.H.

dan Arie Kusumastuti M, S.H., Mkn, Majelis Hakim menyimpulkan

bahwa bangunan Menara Telekomunikasi itu berpenghuni, oleh

karenanya ketentuan yang lebih tepat diterapkan dalam sengketa a-quo

adalah Pasal 18 ayat (6) huruf b Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan

Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

5. Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) huruf b, yang berwenang menerbitkan

Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan Menara Telekomunikasi

yang berpenghuni adalah Walikota Jakarta Selatan, dengan demikian

Tegugat (Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan

(P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan) tidak berwenang

mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa.

6. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan

Tergugat menerbitkan Surat Keputusan Obyek Sengketa tidak

berdasarkan kewenangannya dan di luar batas kewajaran, sehingga

Surat Keputusan Obyek Sengketa yang dikeluarkan Tergugat harus

dibatalkan.

100

Sesuai dengan kronologi kasus posisi dan pertimbangan hukum

Majelis Hakim di atas, dapat dikemukakan adanya Penerapan Peraturan

Perundang-undangan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam

membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Peraturan perundang-

undangan yang dimaksud adalah Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan

Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Keputusan Tata Usaha Negara dianggap sah menurut hukum

(rechtsgelding) apabila syarat materiil dan syarat formil dari pembuatan

Keputusan Tata Usaha Negara terpenuhi, artinya keputusan dapat diterima

sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan

hukum yang ada. Sebaliknya Suatu Keputusan Tata Usaha Negara apabila

dalam pembuatannya tidak memenuhi syarat materiil dan formil,

Keputusan Tata Usaha Negara tersebut mengandung cacat hukum yang

berakibat Keputusan Tata Usaha Negara dapat dibatalkan. Dalam Pasal 53

ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, mengatur juga mengenai

keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang menjelaskan

Keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan batal atau tidak sah, jika:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

b. Keputusan Tata Usah Negara yang digugat bertentangan dengan Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik.

101

Adapun pengertian Peraturan Perundang-undangan terdapat dalam

beberapa ketentuan yaitu:

1. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundang-

undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang

mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga

negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan

dalam Peraturan Perundang-undangan.

2. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah

Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank

Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat

yang dibentuk dengan Undang-Undnag atau Pemerintah atas

perintah Undang-Undnag, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yag setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

3. Pasal 100 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa:

“Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan

Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat

lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya

mengatur, yang suda ada sebelum Undang-Undang ini berlaku,

harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan

dengan Undang-Undang ini.”

102

4. Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa yang

dimaksud peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang

bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan

Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di

tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga

bersifat mengikat secara umum.

Berdasarkan pengertian Peraturan Perundang-undangan yang

dijelaskan di atas, suatu produk hukum yang dikatakan sebagai Peraturan

Perundang-undangan, apabila di keluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara yang berwenang, mengatur hal-hal yang umum dan abstrak

(bersifat umum) dan dibuat berdasarkan prosedur yang berlaku. Dengan

demikian pengertian Peraturan Perundang-undangan tidak mengacu

kepada nama produknya hukum itu, tetapi siapa yang mengeluarkannya

dan mengatur hal apa yang diatur.

Berikutnya adalah berdasarkan doktrin tindakan hukum

pemerintahan, yang dimaksud Peraturan Perundang-undangan adalah

merupakan contoh dari besluit atau regeling, menurut tindakan hukum

pemerintahan regeling adalah suatu tindakan hukum pemerintah dalam

hukum publik yang ditujukan untuk umum dan bersifat sepihak.

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan doktrin di atas, maka

Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) termasuk pengertian Peraturan Perundang-

undangan. Adapun Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkannya

103

oleh Keputusan Tata Usaha Negara tersebut berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan dan dokrinal dikategorikan sebagai Peraturan

Perundang-undangan, begitupula Juklak mengenai Keputusan Gubernur

Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan

Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta termasuk

dalam kategori Peraturan Perundang-undangan, sehingga digunakan

sebagai dasar pertimbangan hukum dalam membatalkan Surat Keputusan

Obyek Sengketa.

Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004, suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan apabila dalam pembuatannya Keputusan Tata Usaha

Negara tersebut melanggar aspek kewenangan, substansi dan prosedur.

Keputusan Tata Usaha Negara yang mengesampingkan aspek

kewenangan, substansi dan prosedur dinilai bertentangan dengan hukum

(onrehmatig). Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, apabila keputusan yang

bersangkutan:

a. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

yang bersifat prosedural/formil, keputusan tersebut dikeluarkan

berdasarkan peraturan dasarnya dan dalam pembuatannya juga harus

memperhatikan cara membuat keputusan yang dimaksud.

b. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

yang bersifat materiil/substansial, meliputi pelaksanaan dan

penggunaan kewenangan apakah secara materiil telah memenuhi

peraturan perundang-undangan.70

70

Philipus M. Hadjon dkk., Op. Cit., hlm. 330

104

Berdasarkan uraian di atas Keputusan Tata Usaha Negara dalam

perkara ini tidak memenuhi persyaratan untuk dikatakan sebagai

Keputusan Tata Usaha Negara yang sah, karena bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan yaitu ditinjau dari aspek kewenangan.

Lebih lanjut mengenai keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ditinjau

dari aspek kewenangan, W. Riawan Tjandra memberikan penegasan

bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut

keputusan yang cacat mengenai kewenangan (bevoegdheidsgebreken),

yang meliputi:

b. Onbevoegdheid riatione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak

ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila

keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

yang tidak berwenang mengeluarkannya.

c. Onbevoegdheid riatione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal yang berada

di luar batas wilayahnya (geografis).

d. Onbevoegdheid riatione temporis, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya karena jangka

waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu

sudah berlaku peraturan baru.71

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Surat

Keputusan Obyek Sengketa cacat hukum ditinjau dari aspek kewenangan

yang biasa disebut Onbevoegdheid riatione materiae. Dikarenakan Surat

Keputusan Obyek Sengketa dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara yang tidak berwenang. Hal ini dapat dilihat ketika Kepala

Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota

71

Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 73

105

Administrasi Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Perintah Bongkar yang

bukan kewenangannya, melainkan kewenangan Walikota Jakarta Selatan.

Terkait dengan kewenangan, S.F. MARBUN72

mengemukakan

pengertian “kewenangan” (authority, gezag) adalah kekuasaan yang

diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang

berasal dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan pemerintah,

sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegdheid), hanyalah

mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Begitupula Bagir

Manan mengatakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama

dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk

berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak

dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi

daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri

(zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban

secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan

sebagaimana mestinya. Sedangkan secara vertikal berarti kekuasaan untuk

menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara

secara keseluruhan.73

Pertimbangan hukum Hakim dalam perkara a-quo pada intinya

mempersoalkan kewenangan Tergugat dalam mengeluarkan Surat

Keputusan Obyek Sengketa. Sesuai dengan Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku, tata cara dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

72

R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 64 73

Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah,

Bandung: Fakultas Hukum Unpad, 2000, hlm. 100

106

Negara memiliki beberapa tahapan, yang apabila salah satu syarat dalam

tahapan tersebut tidak terpenuhi maka Keputusan Tata Usaha Negara itu

dapat dibatalkan. Dalam perkara ini Tergugat telah melakukan kesalahan

yaitu mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa yang bukan

kewenangannya melainkan kewenangan Walikota Jakarta Selatan,

sehingga Surat Keputusan Obyek Sengketa harus dinyatakan batal.

2. Kesesuaian antara pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan

Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban

Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang

mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011

tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan, dengan Peraturan

Perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan bagi pencari

keadilan untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Pengertian sengketa Tata Usaha Negara ditentukan dalam Pasal 1 angka 10

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang menyatakan sengketa Tata

Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha

Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

107

Adanya kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang

memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara,

serta diaturnya hak gugat yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2004, sehingga apabila ada orang atau Badan

Hukum Perdata yang merasa dirugikan dengan terbitnya Keputusan Tata

Usaha Negara yang merugikan dirinya, maka ia dapat mempunyai hak

gugat untuk mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara.

Gugatan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diajukan

secara tertulis dengan permintaan agar Majelis Hakim memutus Keputusan

Tata Usaha Negara itu dinyatakan batal atau tidak sah. Putusan dalam

Peradilan Tata Usaha Negara harus mencerminkan 4 (empat) kriteria

pokok dari asas-asas peradilan yang baik sebagaimana diutarakan oleh de

Waard sebagai berikut:

a. Decisie bentrisel (right to a decision), asas bahwa seorang hakim harus

menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang waktu yang pantas.

Termasuk disini hak setiap orang untuk mengajukan gugatan (perkara),

dan larangan bagi hakim untuk menolak mengadili/memeriksa perkara,

kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

b. Verdidigings beginsel (a fair hearing), asas bahwa setiap pihak

yang berperkara berhak atas kesempatan membela diri dan bahwa

kedua belah pihak juga.harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang

sama dalam mengetahui, mengajukan berkas-berkas pembuktian dan

memperoleh informasi.

c. Onpgrtijdigheids beginsel (tidak bias), asas bahwa putusan dijatuhkan

secara obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan

pribadi atau anggota-anggota instansi peradilan, ataupun didasarkan

atas motif-motif yang tidak bersifat zakeiijk, ataupun adanya kontak

(hubungan) secara tersembunyi dari salah satu pihak atau di luar

perkara dengan hakim, sehingga menyimpang dari prosedur semestinya.

d. Motiverings beginsel (reasons and argumentations of decision), .asas

bahwa putusan hakim harus memuat.alasan-alasan hukum yang jelas

dan dapat dimengerti, serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum

yang runtut. Sekalipun bagi hakim ada kebebasan dan diskresi untuk

108

menentukan dan menjatuhkan putusannya, namun kesemuanya itu

harus didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan

diikuti (controleerbaarheid).74

Metode yang dipergunakan dalam musyawarah Majelis Hakim

untuk menghasilkan putusan tersebut terdapat dalam Pasal 97 ayat (3), (4),

dan (5) yang pada intinya menyatakan:

a. Prinsipnya adalah bahwa putusan yang dalam musyawarah majelis yang

dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan

bulat, dengan perkecualian, jika setelah diusahakan dengan sungguh-

sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat putusan diambil

dengan suara terbanyak.

b. Apabila musyawarah majelis tersebut tidak dapat menghasilkan

putusan, maka permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis

berikutnya.

c. Apabila musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara

terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.

Putusan yang harus dihasilkan melalui musyawarah dengan prinsip

permufakatan bulat berkaitan dengan segi objektivitas putusan. Sudikno

berpendapat bahwa apabila putusan dilihat sebagai penetapan kaidah

hukum, maka yang secara langsung mengikat adalah pertimbangan atau

alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum

yang merupakan dasar putusan (ratio decidendi).75

74

W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 119 75

Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.

45

109

Mengenai pertimbangan hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara

terdapat dalam Pasal 109 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 yang menyatakan sebagai berikut:

a. Kepala putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA.

b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat

kedudukan para pihak yang bersengketa.

c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat harus jelas.

d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dalam hal yang

terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa.

e. Alasan hukum yang menjadi dasar Putusan.

f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.

g. Hari, tanggal putusan, nama Majelis Hakim yang memutus, nama

Panitera serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa suatu putusan

harus memuat alasan hukum yang menjadi dasar putusan atau sering

dikenal dengan pertimbangan hukum Hakim. Pertimbangan hukum adalah

suatu tahapan dimana Majelis Hakim mempertimbangkan fakta yang

terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban,

eksepsi dari tergugat yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi

syarat formil dan syarat materil, yang mencapai batas minimal

pembuktian. Adapun pengertian pertimbangan hukum Hakim yakni

alasan-alasan yang bersifat yuridis dan menjadi dasar putusan.

Berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,

maka dalam putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar

putusan, juga memuat pasal tertentu dari Peraturan Perundang-undangan

yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar

110

untuk mengadili. Bilamana sebaliknya, maka dapat menyebabkan putusan

batal.76

Pada putusan Perkara Nomor: 214/G/2011/Ptun-Jakarta terdapat

pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek

Sengketa. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah

pertimbangan hukum dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek

Sengketa telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Pertimbangan hukum Hakim dalam perkara a-quo yaitu bahwa

Tergugat melanggar peraturan Peraturan Perundang-undangan ditinjau dari

aspek kewenangan. Tergugat mengeluarkan Surat Keputusan Obyek

Sengketa yang bukan kewenangannya, melainkan kewenangan Walikota

Jakarta Selatan. Untuk mengetahui apakah benar pertimbangan hukum

Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa berdasarkan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, maka Majelis Hakim

melakukan pengujian terhadap Surat Keputusan Obyek Sengketa tersebut.

Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar terbitnya Surat

Keputusan Obyek Sengketa oleh Tergugat adalah Pasal 18 ayat (5)

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068

Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan

Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota

Jakarta.

76

Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hlm. 356

111

Pasal 18 ayat (5), menyatakan bahwa:

“SPB yang ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan

Pembangunan Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini

terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak

dalam sengketa, tidak termasuk bangunan Pemerintah dan atau

bangunan sosial ibadah dan atau bangunan pada lingkungan dengan

persyaratan khusus (antara lain lingkungan KDB rendah,cagar budaya,

Kepulauan Seribu, Daerah Militer).”

Ketentuan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan

Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta tersebut dipergunakan untuk

menguji keabsahan Surat Keputusan Obyek Sengketa ditinjau dari aspek

kewenangan, seperti telah dijelaskan di atas apabila Tergugat menerbitkan

Surat Keputusan Obyek Sengketa tidak sesuai dengan kewenangannya

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) tersebut, maka Surat

Keputusan Obyek Sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat harus

dinyatakan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dalam hal

tidak memenuhi kewenangan yang berlaku. Suatu Keputusan Tata Usaha

Negara yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yaitu

tidak sesuai dengan kewenangannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara

tersebut dinyatakan tidak sah yang akibat hukumnya bahwa Keputusan

Tata Usaha Negara harus dibatalkan.

Berdasarkan bukti Tergugat, Majelis Hakim menyatakan bahwa

tindakan Tergugat dalam mengeluarkan keputusan obyek sengketa tidak

berdasarkan kewenangannya. Dalam Bukti T-38 mengenai Keputusan

112

Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 tahun 1997

Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan Membangun Dan

Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, terdapat

Pasal 18 ayat (5), bahwa pada pokoknya Surat Perintah Bongkar yang

ditandatangani Tergugat adalah terhadap kegiatan membangun tanpa izin

yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa.

Untuk membuktikan apakah benar kewenangan Tergugat dalam

mengeluarkan surat keputusan obyek sengketa sesuai dengan Pasal 18 ayat

(5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan

Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota

Jakarta, maka penulis akan melakukan pembuktian dengan mendasarkan

hasil penelitian di atas. Berdasarkan hasil penelitian Majelis Hakim

selanjutnya yakni P-30=T-13 yang merupakan Surat Keputusan Kepala

Suku Dinas Penataan Dan Pengawasan Bangunan Kodya Jakarta Selatan

Nomor: 71/KM/S/2005, tanggal 6-6-2005, Tentang Keterangan

Membangun Menara, yang berlaku selama 3 tahun dari tanggal 6 Juni

2005 hingga tanggal 6 Juni 2008 yang terletak di Jl Bunga Mayang III, RT

004/01, Kel Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Setelah

dicermati oleh Majelis Hakim tidak terdapat alat bukti lain yang

menunjukkan bahwa bangunan Menara milik Penggugat yang terletak di

Jl. Bunga Mayang III, RT 004, RW 01, Kel Bintaro, Kec. Pesanggrahan,

Jakarta Selatan telah diterbitkan izin perpanjangannya. Sehingga, Majelis

113

Hakim menyimpulkan bahwa bangunan Menara milik Penggugat tidak

memiliki izin, karena izin yang lalu telah berakhir dan belum diterbitkan

izin perpanjangannya. Padahal untuk mendirikan suatu bangunan harus

memiliki IMB, begitupula dengan mendirikan bangunan Menara

Telekomunikasi harus memiliki IMB.

Izin Mendirikan Bangunan diatur pada Pasal 5 ayat 1 Peraturan

Daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Bangunan. IMB akan melegalkan

suatu bangunan yang direncanakan sesuai dengan Tata Ruang yang telah

ditentukan. Selain itu, adanya IMB menunjukkan bahwa rencana kostruksi

bangunan tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan dengan maksud

untuk kepentingan bersama. Mendirikan Menara Telekomunikasi juga

harus memiliki IMB. Pengaturan mengenai izin mendirikan Menara

Telekomunikasi terdapat dalam Pasal 12 Peraturan Gubernur Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang

Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Di Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta.

Selanjutnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa, apakah bangunan

tanpa izin merupakan bangunan yang tidak berpenghuni. Setelah

mendengarkan keterangan para saksi Tergugat yaitu Drs. Achmad Hilman,

Poerwono Arifin, S.H. dan Arie Kusumastuti M, S.H., Mkn yang pada

pokoknya menyatakan keberatan dengan masih beroperasinya bangunan

Menara Penggugat. Dari keterangan saksi-saksi tersebut, yang menyatakan

bahwa bangunan Menara Penggugat masih beroperasi maka, membuktikan

114

adanya kegiatan dalam bangunan Menara tersebut dan karenanya dapat

disimpulkan bangunan Menara milik Penggugat dalam keadaan dihuni.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan

Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah

Khusus Ibukota Jakarta yang dipergunakan untuk menguji obyek sengketa

ini, menyatakan bahwa Surat Perintah Bongkar yang ditandatangani oleh

Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota

Administrasi Jakarta Selatan terhadap kegiatan membangun tanpa izin

belum dihuni dan tidak dalam sengketa.

Majelis Hakim menyimpulkan bahwa pemberian kewenangan

Tergugat digantungkan pada syarat kumulatif, dimana apabila salah satu

syarat tidak terpenuhi maka, Tergugat menjadi tidak berwenang dalam

menerbitkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Dapat diketahui bahwa,

bangunan Menara Penggugat merupakan bangunan yang sudah dihuni.

Sehingga, Menara milik Penggugat tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18

ayat (5) yang menyebutkan bahwa Surat Perintah Bongkar ditandatangani

oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B)

Kota Administrasi Jakarta Selatan, terhadap bangunan Menara yang tanpa

izin belum dihuni dan tidak dalam sengketa. Disimpulkan bahwa, Tergugat

tidak memenuhi salah satu syarat untuk melakukan penerbitan Surat

Perintah Bongkar, karena bangunan menara milik Penggugat dalam

keadaan sudah dihuni.

115

Bangunan Menara yang tanpa izin dan sudah dihuni, untuk

melakukan penerbitan Surat Perintah Bongkar kewenangannya berada

pada Walikota Jakarta Selatan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal

18 ayat (6) huruf b yakni:

“SPB yang ditandatangani Walikotamadya (setelah diparaf oleh

Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) pasal ini adalah terhadap kegiatan:

a) membangun tanpa izin yang belum dihuni dan dalam sengketa dan

atau bangunan Pemerintah dan atau bangunan sosial ibadah dan

atau bangunan pada lingkungan dengan persyaratan khusus (antara

lain lengkungan KDB rendah, cagar budaya, Kepulauan Seribu,

Daerah Militer) atau;

b) membangun tanpa izin dan sudah dihuni atau;

c) berdasarkan pertimbangan Kepala Suku Dinas Pengawasan

Pembangunan Kota atas Pelanggaran tersebut perlu SPB atau SPB

ulang dari Walikotamadya.”

Berdasarkan materi isi ketentuan yang terdapat dalam pasal 18 ayat

(5) dan Pasal 18 ayat (6) huruf b, terdapat perbedaan yang mendasar yang

menyangkut kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Suku Dinas

Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta

Selatan dan kewenangan yang dimiliki Walikota Jakarta Selatan.

Kewenangan yang dimiliki oleh kedua Pejabat Tata Usaha Negara tersebut

dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Kewenangan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan

(P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan dalam menerbitkan Surat

Perintah Bongkar yaitu:

a. Pada dasarnya mempunyai kewenangan menerbitkan Surat Perintah

Bongkar (Pasal 18 ayat (4)).

116

b. Kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar hanya terhadap

kegiatan membangun tanpa izin, yang beum dihuni dan tidak dalam

sengketa.

c. Tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap

bangunan yang sudah dihuni.

2. Kewenangan Walikota Jakarta Selatan dalam menerbitkan Surat

Perintah Bongkar yaitu:

a. Pada dasarnya mempunyai kewenangan menerbitkan Surat Perintah

Bongkar (Pasal 18 ayat (4)).

b. Kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar termasuk

terhadap kegiatan bangunan yang tanpa izin dan sudah dihuni.

c. Kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap

bangunan yang belum dihuni didelegasikan kepada Kepala Suku

Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota

Administrasi Jakarta Selatan.

Berdasarkan deskripsi kewenangan menerbitkan Surat Perintah

Bongkar yang dimiliki Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban

Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan dan Walikota Jakarta

Selatan, dapat dideskripsikan bahwa oleh karena dalam sengketa a-quo

bangunan Menara Telekomunikasi milik Penggugat sudah dalam keadaan

dihuni, maka ketentuan pasal yang tepat diterapkan terhadap Surat

Keputusan Obyek Sengketa adalah Pasal 18 ayat (6) huruf b, dengan

demikian a contrario Pasal 18 ayat (5) tidak tepat diterapkan terhadap

Surat Keputusan Obyek Sengketa.

117

Berdasarkan penjelasan di atas, Majelis Hakim menyatakan bahwa

Tergugat telah melakukan kesalahan, yaitu menerbitkan Surat Keputusan

Obyek Sengketa yang bukan kewenangannya melainkan kewenangan

Walikota Jakarta Selatan. Karena tindakan administratif Tergugat dalam

menerbitkan Surat Keputusan Obyek sengketa telah dinyatakan tidak sah

akibat tidak didasarkan kewenangannya yang sah maka, mengenai

prosedur dan substansi tidak perlu dibuktikan. Karena Surat Keputusan

Obyek Sengketa telah dinyatakan tidak sah maka diwajibkan Tergugat

untuk mencabutnya.

Salah satu tolok ukur keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara

berdasarkan Pasal 53 ayat (2) huruf a adalah bertentangan atau tidaknya

suatu Keputusan Tata Usaha Negara dengan Peraturan Perundang-

undangan, Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar

diterbitkannya Surat Keputusan Obyek Sengketa yaitu Pasal 18 ayat (6)

huruf b. Ketentuan mengenai Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan

yang sudah dihuni secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 18 ayat (6)

huruf b sehingga, apabila Majelis Hakim sudah menerapkan ketentuan

Pasal 18 ayat (6) huruf b, maka dapat disimpulkan bahwa pertimbangan

hukum Hakim sudah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-

undangan yang menjadi dasar terbitnya Surat Keputusan Obyek Sengketa.

Majelis Hakim dalam sengketa ini sudah menerapkan ketentuan Pasal 18

ayat (6) huruf b, sehingga pertimbangan hukum Hakim sudah sesuai

dengan Peraturan Perundang-undangan.

118

Mengenai pertimbangan hukum Hakim dalam pembatalan Surat

Keputusan Obyek Sengketa terhadap pelanggaran Asas-asas Umum

Pemerintahan yang Baik, sekalipun Penggugat mempermasalahkan bahwa

Tergugat telah melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

khususnya asas kepastian hukum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas,

namun dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim tidak

mempertimbangkan adanya pelanggaran terhadap Asas-asas Umum

Pemerintahan yang Baik. Mengingat bahwa berbicara Keputusan Tata

Usaha Negara merupakan sesuatu yang sangat komprehensif, maka

seharusnya mengenai pelanggaran terhadap Asas-asas Umum

Pemerintahan yang Baik perlu untuk dibahas dalam pertimbangan hukum

Majelis Hakim.

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik juga merupakan salah

satu tolak ukur yang digunakan untuk menguji Keabsahan suatu

Keputusan Tata Usaha Negara. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik adalah

meliputi:

- Asas Kepastian hukum;

- Asas Tertib penyelenggaraan negara;

- Asas Keterbukaan;

- Asas Proporsionalitas;

- Asas Profesionalitas;

- Asas Akuntabilitas

119

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme.

Adapun penjelasan mengenai Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

sebagai berikut:

1. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan

keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.

2. Tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan

keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian

penyelenggaraan negara.

3. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif

tentang penyelenggaraan negaradengan tetap memperhatikan

perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

4. Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara

hak adan kewajiban penyelenggaraan negara.

5. Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

6. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.77

Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa Tergugat dalam

mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa bertentangan dengan

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, khususnya asas kepastian

hukum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas.

Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan Peraturan Perundang-undangan, kepatutan, dan

keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Perlu diketahui

77

Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 34-35

120

bahwa asas ini menghendaki agar pemerintah atau badan atau pejabat tata

usaha negara lebih mengutamakan landasan Peraturan Perundang-

undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan pengambilan

keputusan. Maksudnya asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah

diperoleh seseorang atau badan hukum perdata berdasarkan suatu

keputusan badan atau pejabat administrasi negara. Sehingga, dalam hal ini

Penggugat merasa adanya ketidakadilan dengan dikeluarkannya obyek

sengketa yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Tergugat terlihat jelas telah melanggar asas kepastian hukum yaitu

telah mengabaikan landasan Peraturan Perundang-undangan yang

mendasari untuk dikeluarkannya Surat Keputusan Obyek Sengketa.

Tergugat dalam perkara ini tidak berdasarkan kewenangannya dalam

mengeluarkan Surat Perintah Bongkar sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Nomor 1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana

Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah

Khusus Ibukota Jakarta, bahwa pada pokoknya Surat Perintah Bongkar

yang ditandatangani Tergugat adalah terhadap kegiatan membangun tanpa

izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa. Tetapi Tergugat

mengeluarkan Surat Perintah Bongkar yang merupakan kewenangan

Walikota Jakarta Selatan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18 ayat (6)

huruf b Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Nomor 1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan

121

Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota

Jakarta, bahwa terhadap kegiatan membangun tanpa izin sudah dihuni dan

tidak dalam sengketa.

Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak

diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan

perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Maksud

dari asas keterbukaan ini yaitu lebih mengutamakan bahwa kegiatan

pemerintah dalam penyelenggaraan negara harus bertindak lebih terbuka

dan tidak membeda-bedakan. Mengenai pelanggaran terhadap asas

keterbukaan berdasarkan fakta yang terjadi Tergugat tidak terlebih dahulu

memberikan Surat Pemberitahuan kepada Penggugat saat melakukan

penyegelan Menara Telekomunikasi. Tergugat dalam hal ini diwakilkan

oleh Petugas Kecamatan baru menyerahkan Surat Pelaksanaan Penyegelan

Menara/Tower, dan Surat Perintah Bongkar kepada Penggugat, pada saat

Pengggugat datang ke Kantor Kecamatan. Terlihat jelas bahwa Tergugat

telah melanggar asas keterbukaan, karena Tergugat dalam melakukan

penyegelan Menara milik Penggugat dilakukan secara diam-diam dan

tidak terbuka.

Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap

kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku. Mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh

122

Tergugat dalam asas akuntabilitas adalah Tergugat melakukan penyegelan

Menara dan menerbitkan Surat Perintah Bongkar kepada Penggugat.

Menara Penggugat masih beroperasi dan memberi manfaat bagi

masyarakat, apabila Menara tersebut harus di bongkar akan menimbulkan

kerugian bagi Penggugat dan masyarakat. Perlu diketahui oleh Tergugat

bahwa dengan berdirinya Menara Telekomunikasi tersebut banyak

memberikan keuntungan dan manfaaat bagi masyarakat. Sehingga apabila

Menara Telekomunikasi tersebut dibongkar, Tergugat harus dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan masyarakat.

123

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala

Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota

Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor:

722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan

yaitu bahwa Tergugat tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah

Bongkar terhadap bangunan yang sudah berpenghuni, dengan demikian

Surat Keputusan Obyek Sengketa dinyatakan bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan ditinjau dari aspek kewenangan.

2. Pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala

Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota

Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor:

722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan

telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-

asas Umum Pemerintahan yang Baik. Kesesuaian ini dapat dilihat dari:

a. Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (6) huruf b, yang pada intinya

menyatakan yang berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar

terhadap bangunan Menara Telekomunikasi yang sudah berpenghuni

adalah Walikota Jakarta Selatan.

b. Sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, khususnya

asas kepastian hukum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas.

124

B. Saran

Berdasarkan uraian kesimpulan tersebut, dapat dikemukakan saran sebagai

berikut:

1. Dengan dibatalkannya Surat Keputusan Obyek Sengketa, maka disarankan

agar Walikota Jakarta Selatan untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang

Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan terhadap bangunan Menara

Telekomunikasi milik Penggugat.

2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan suatu

keputusan untuk lebih memperhatikan batas-batas kewenangannya

sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

3. Hakim di Peradilan Tata Usaha Negara dalam memutus suatu perkara

seharusnya tidak hanya mendasarkan pada Peraturan Perundang-undangan

saja, tetapi juga harus menggunakan dasar Asas-asas Umum Pemerintahan

yang Baik.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Basah, Sjachran. 1989. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi

Di Indonesia. Alumni Bandung.

Effendi, Lutfi. 2004. Pokok-Pokok Hukum Administrasi. Bandung: Bayumedia

Publishing.

Hadikusuma, Hilman. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu

Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Hadjon, Philiphus M. dkk. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hanitijo Soemitro, Ronny. 1990. Metodologi Penelitian dan Jurimetri. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

Harahap, Zairin. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi Revisi

5. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

H.R., Ridwan. 2008. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada.

H.R., Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. Buku I. Cetakan IV. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Indroharto. 1996. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. Buku II. Cetakan Keenam. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Marbun S.F. 1988. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty.

Marbun S.F. dan Moh. Mahmud MD. 1987. Pokok-Pokok Hukum Administrasi

Negara. Yogyakarta: Liberty.

Marbun S. F. 2011. Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di Indonesia.

cet. 3. Yogyakarta: FH. UII Press.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media

Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:

Liberty

Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern. Bandung: PT. Refica

Aditama.

Muin Fahmal. 2008. Peran Asas-asas Pemerintahan yang Layak dalam

mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: UII Press

Neno, Victor Vayed. 2006. Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut Peradilan

Tata usaha Negara. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Prodjohamidjojo, Mr. Martiman , 2005. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha

Negara dan UU PTUN 2004. Cetakan I. Bogor: Ghalia Indonesia.

Sibuea, Hotma P. 2010. Asas Negara Hukum. Peraturan Kebijakan, Asas-Asas

Umum Pemerintahan yang Baik. PT. Gelora Aksara Pratama: Erlangga.

Sinamo, Nomensen. 2010. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Jala

Permata Aksara.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2011. Penelitian Hukum Normatif. Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers.

Syamsudin M. 2007. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada

Tjandra, W. Riawan. 2002. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jogja:

Universitas Atma Jaya

Tjandra, W. Riawan. 2005. Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara,

Yogyakarta: Universitas Atma Jaya

Wiyono, R. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi Revisi, Cet

I. Jakarta: Sinar Grafika.

Wiyono, R. 2010. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi.

Kedua. Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:

02/PER/M.KOMINFO/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan

Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri

Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman

Modal Nomor: 18 Tahun 2009, Nomor: 07/PRT/M/2009, Nomor:

19/PER/M.KOMINFO/03/2009, Nomor: 3/P/2009 tentang Pedoman

Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi

Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 89 Tahun

2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Di

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2007 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan Menara

Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2009 tentang Peta

Arahan Persebaran Menara Telekomunikasi Bersama Untuk Penempatan

Makro Seluler (Microcell)

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun

1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun dan

Menggunakan Bangunan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Keputusan Gubernur Nomor 61 Tahun 2008 tentang Pembentukan Tim

Penertiban Menara Telekomunikasi Di Provinsi DKI Jakarta

Jurnal

Riawan. Tjandra W. Perbandingan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara dan

Conseil d’eat sebagai Institusi Pengawas Tindakan Hukum Tata Usaha

Negara. law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/...3.../W-Riawan-

Tj.pdf. Diakses pada tanggal 31 Desember 2014.

Sumber Lain

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 214/G/2011/PTUN-

Jakarta

Asshiddiqie, Jimly. Konsep Negara Hukum Di Indonesia.

www.jimly.com/makalah/.../135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf.

Diakses pada tanggal 29 Oktober 2014.

Ikhwan, Muhamad. 2010. Studi Hukum Keputusan Tata Usaha Negara (Syarat

Sah, Batal, Hapus, Kekuatan Hukum serta Metode Pembentukan).

http://studihukum.blogspot.com/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-2

syarat_20.html. Diakses pada Senin, 10 November 2014. Pukul 12.05 WIB

Riki Septiawan. 2012. Pengertian-Pengartian dalam Hukum Acara PTUN

.http://rikiseptiawan180991.blogspot.com/2012/12/pengertian-pengartian-

dalam-hukum-acara.html. Diakses pada tanggal 05 September 2014