Pembangunan Kelautan dan Perikanan untuk Kesejahteraan ... file1 Pembangunan Kelautan dan Perikanan...

23
Pembangunan Kelautan dan Perikanan untuk Kesejahteraan Rakyat dan Pembangunan Nasional PIDATO ILMIAH Oleh Dr. Sudirman Saad, SH., MHum Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia RAPAT TERBUKA SENAT DALAM RANGKA DIES NATALIS 28 UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG 9 MARET 2013

Transcript of Pembangunan Kelautan dan Perikanan untuk Kesejahteraan ... file1 Pembangunan Kelautan dan Perikanan...

1

Pembangunan Kelautan dan Perikanan untuk Kesejahteraan Rakyat dan

Pembangunan Nasional

PIDATO ILMIAH

Oleh

Dr. Sudirman Saad, SH., MHum

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan

Republik Indonesia

RAPAT TERBUKA SENAT DALAM RANGKA DIES NATALIS 28

UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG 9 MARET 2013

1

PIDATO ILMIAH DIREKTUR JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

pada acara RAPAT TERBUKA SENAT

DALAM RANGKA DIES NATALIS 28 UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG

MALANG, 9 MARET 2013

Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Yang saya hormati: 1. Rektor Universitas Widyagama, Prof. Dr. Ir. Iwan

Nugroho, M.S; 2. Para Pembantu Rektor; 3. Para Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas lingkup

Universitas Widyagama; 4. Para akademisi; 5. Hadirin dan undangan yang berbahagia.

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang atas ijin dan kehendak-Nya kita dapat bertemu dalam Rapat Terbuka Senat Dies Natalis Universitas Widyagama. Saya memberikan penghargaan setinggi-tinggingya kepada Universitas Widyagama atas kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan pidato ilmiah dengan tema

2

“Pembangunan Kelautan dan Perikanan untuk Kesejahteraan Rakyat dan Pembangunan Nasional” Bapak/Ibu, hadirin yang saya mulyakan, Wilayah pesisir di Indonesia memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang, hutan mangrove, estuaria, padang lamun dan sebagainya. Selain itu wilayah pesisir juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang cukup tinggi nilai ekonomisnya. Dalam satu dekade belakangan ini, laju pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir mulai intensif untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan kebutuhan lahan untuk pemukiman mereka. Salah satu potensi wilayah pesisir yang telah dimanfaatkan manusia sejak dahulu adalah sebagai tempat tinggal dengan alasan yang bervariasi seperti transportasi, tingginya aktivitas perdagangan dan lain sebagainya. Hampir semua kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir, yang berfungsi menjadi lokasi permukiman, perdagangan, perhubungan, pengembangan industri dan berbagai sektor lainnya. Diperkirakan 60% dari populasi penduduk Indonesia, dan 80% dari lokasi industri berada di wilayah pesisir. Berkembangnya berbagai kepentingan tersebut membuat wilayah pesisir menyangga beban lingkungan yang berat akibat pemanfaatan yang tidak terkendali, tidak teratur, serta tidak mempertimbangkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan. Agar penanganan permasalahan pesisir dapat dilakukan

3

secara lebih lestari dan tidak merusak ekosistem, maka diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan cara pandang yang lebih holistik. Untuk hal tersebut, maka perlu ada suatu pendekatan pelaksanaan pembangunan di kawasan pesisir yang lebih terpadu dan menyeimbangkan antara kepentingan pembangunan di kawasan darat dan pembangunan di kawasan pesisir, dan memperkuat kerjasama dan kemitraan antar stakeholder. Guna mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, memberikan arah pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan maka diperlukan konsep pengelolaan pesisir dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat sebagaimana yang diemban dalam UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Bapak/Ibu, hadirin yang berbahagia, Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang menurut data Dinas Hidrologi dan Oseanografi tahun 2012 luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2 dari 7,8 juta km2 total luas wilayah NKRI yang dihiasi oleh 17,499 pulau. Indonesia juga dianugerahi letak geografis yang berdampak pada kelimpahan jumlah dan keanekaragaman sumberdaya hayati dan non-hayati. Dunia internasional telah mengakui bahwa pusat segitiga karang dunia terletak di Indonesia yang diindikasikan oleh tingginya angka keanekaragaman hayati di wilayah Indonesia, hal ini belum termasuk sumberdaya minyak dan gas bumi serta mineral laut, tercatat 70% dari 60 cekungan migas Indonesia terletak di laut.

4

Menurut para ahli, apabila semua aktivitas yang terkait dengan pengelolaan kelautan dan perikanan yang diperkirakan oleh pakar ekonomi kelautan mampu menghasilkan Rp 7.000,- triliun atau tujuh kali lipat total APBN tahun 2013, apabila dikelola secara efektif. Melihat potensi tersebut, sudah seharusnya Indonesia menjadi sebuah negara yang makmur dengan prime mover perekonomiannya adalah kelautan dan perikanan. Namun, pada kenyataannya dari ± 60 juta jiwa masyarakat pesisir ± 50% diantaranya masih hidup dalam keterbatasan aksesibilitas untuk peningkatan kesejahteraan, seperti: permodalan, teknologi dan pengetahuan, serta infrastruktur dasar. Keterbatasan-keterbatasan tersebut umumnya mengakibatkan aktivitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh masyarakat menjadi boros dan tidak kompetitif. Oleh karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rencana pembangunan 2010-2014 mengusung visi “pembangunan kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat”, dengan misi: (1) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan; (2) meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan; dan (3) memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan sumberdaya kelautan dan perikanan. Dalam upaya mewujudkan visi dan misi tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan menempuh tiga langkah prioritas, yaitu:

5

1. Industrialisasi kelautan dan perikanan dengan

pendekatan ekonomi biru (blue economy). 2. Pengembangan kawasan Minapolitan, yaitu

sebuah pendekatan pembangunan kelautan dan perikanan yang berbasis kawasan dengan sentra-sentra produksi yang didukung oleh infrastruktur terintegrasi.

3. PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan dan program Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN).

Industrialisasi kelautan dan perikanan merupakan salah satu langkah yang diambil oleh KKP dalam upaya peningkatan produktivitas, nilai tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan, namun disisi lain dengan adanya trend penurunan kualitas sumberdaya, maka diperlukan sebuah pendekatan industrialisasi yang tidak hanya mampu menjamin keberlanjutan tetapi juga mampu mendorong investasi, penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan maka prinsip-prinsip blue economy sangat penting untuk diintegrasikan dengan industrialisasi kelautan dan perikanan. Hadirin yang berbahagia, Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdiri dari nelayan, pembudidaya, pemasar ikan dan pengolah hasil laut, serta masyarakat pesisir lainnya yang kehidupannya bersumber dari sumberdaya kelautan dan perikanan, berjumlah sekitar 16,4 juta Rumah Tangga dan hidup di 23.867 desa pesisir, dengan 6,7 Rumah Tangga yang hidup dalam garis

6

kemiskinan (PODES, 2011). Sementara itu, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang secara hayati sangat produktif. Keadaan paradoks ini terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM, terbatasnya akses terhadap sumber modal, teknologi, informasi dan pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan alokasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Para nelayan kecil sangat rentan terhadap eksternalitas sektor ekonomi seperti penurunan produktivitas sumberdaya ikan akibat eksploitasi berlebihan atau kerusakan ekosistem. Perilaku konsumtif dari sebagian nelayan juga mempersulit upaya pengentasan kemiskinan. Di lain pihak, kebutuhan permodalan masyarakat pesisir masih belum bisa dipenuhi secara maksimal oleh lembaga perbankan. Akibatnya kebutuhan permodalan dipenuhi oleh para tengkulak, toke, atau ponggawa, yang kenyataannya tidak banyak menolong untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, malah cenderung menjeratnya dalam lilitan utang yang tidak pernah bisa dilunasi. Demikian pula kultur kewirausahaan mereka masih bercorak manajemen keluarga dengan orientasi sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsistence). Selain itu, ketertinggalan masyarakat pesisir juga dipicu lemahnya infrastruktur kelembagaan sosial ekonomi masyarakat di tingkat desa.

Terkait dengan permodalan, keengganan lembaga perbankan untuk melayani kebutuhan kredit masyarakat pesisir dikarenakan resiko usaha yang tinggi. Lembaga perbankan nasional lebih cenderung

7

untuk memberikan kredit kepada pengusaha-pengusaha besar dengan tingkat resiko yang lebih kecil, sehingga masyarakat pesisir yang masih tergolong dalam skala usaha mikro bahkan beberapa lebih kecil dari itu tidak mendapatkan prioritas pelayanan kredit. Bahkan sekarang, lembaga perbankan lebih cenderung untuk menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang tidak mempunyai resiko sama sekali, bahkan menguntungkan. Suku bunga SBI terakhir tercatat sebesar 5,75% per tahun. Hal seperti ini akan berdampak pada rendahnya tingkat akselerasi pembangunan, yang notabene mayoritas masyarakat Indonesia berada pada skala menengah ke bawah. Karena dana pembangunan yang seharusnya digunakan kegiatan usaha sektor riil pada kenyataannya menumpuk di Bank Indonesia dalam bentuk SBI. Bapak/Ibu yang berbahagia, Pada umumnya, kategorisasi kemiskinan masyarakat pesisir dilakukan berdasarkan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Ada tiga aliran besar yang melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan.

Pertama, aliran modernisme yang selalu menganggap persoalan kemiskinan disebabkan faktor internal masyarakat. Aliran ini berpandangan bahwa kemiskinan nelayan—sebagai kalangan mayoritas masyarakat pesisir—terjadi sebagai akibat faktor budaya subsistence (kemalasan), keterbatasan modal dan teknologi, kapasitas manajemen yang rendah, serta kondisi sumberdaya alam. Oleh karena itu, solusi yang tepat menurut aliran ini ialah mengubah budaya

8

tersebut, meningkatkan kapasitas teknologinya, dan memperbaiki sistem usahanya.

Kedua, aliran struktural yang menganggap faktor eksternal yang menyebabkan kemiskinan nelayan. Kemiskinan, menurut aliran ini, bukan karena budaya atau terbatasnya modal, melainkan karena faktor eksternal yang menghambat proses mobilitas vertikal mereka. Faktor eksternal itu berjenjang, pada tingkat mikro desa dan makro struktural. Pada tingkat mikro desa, masih ditemukan sejumlah pola hubungan patron-klien yang bersifat asimetris yaitu suatu pola hubungan transfer surplus dari nelayan ke patron. Sementara itu, pada tingkat makro struktural, belum ada dukungan politik terhadap pembangunan kelautan dan perikanan sehingga sektor ini tidak mampu berkembang seperti sektor-sektor lainnya.

Ketiga, bahwa kemiskinan lebih disebabkan oleh faktor ketersediaan sumberdaya alam (natural) yang sangat terbatas, dalam konteks ini masyarakat tidak mempunyai pilihan dikarenakan kondisi alam yang tidak menguntungkan.

Ketiga kategori kemiskinan tersebut memerlukan strategi pemecahan yang tidak seragam. Pilihan strateginya menjadi tidak mudah dikarenakan kategori kemiskinan tidak selalu tunggal pada suatu wilayah dan wilayahnya pun tidak persis sama dengan wilayah administrasi pemerintahan. Di Pantai Utara Pulau Jawa, misalnya, hampir semua faktor kemiskinan tersebut terjadi secara simultan serta melintasi batas-batas wilayah propinsi dan kabupaten/kota, sehingga strateginya tentu harus berbeda dengan wilayah Pantai Selatan Pulau Jawa yang potensi sumberdaya alam perikanannya masih under utilize.

9

Hadirin yang berbahagia, Isu pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil akhir dasawarsa ini pada umumnya berkaitan dengan potensi sumberdaya yang secara umum belum dimanfaatkan secara optimal, sedangkan di lain pihak Pemerintah mempunyai keterbatasan untuk sumberdaya tersebut, baik disebabkan oleh kurang SDM yang berkompeten maupun anggaran yang kurang memadai.

Pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat didayagunakan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Keberadaan pulau-pulau kecil merupakan satu kesatuan sumber daya laut beserta ekosistemnya yang tidak dapat dipisahkan. Pengembangan sumber daya laut tidak dapat dipisahkan dengan pengembangan pulau-pulau kecil yang sekaligus masuk dalam kawasan pembangunan nasional, yaitu kawasan pengembangan laut yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Skema pengembangan pulau-pulau kecil dipengaruhi oleh dua fungsi utama, yaitu: (1) Hierarki pengembangan kawasan dan (2) Potensi ekologis.

Kedaulatan negara Republik Indonesia dapat ditunjukkan dengan jelasnya batas-batas negara baik di darat maupun di laut. Indonesia berbatasan dengan 3 (tiga) negara lain di darat, dan 10 negara di wilayah laut. Wilayah perbatasan merupakan daerah terdepan yang secara langsung berinteraksi dengan negara lain, sehingga sedikit banyak berpengaruh terhadap

10

perkembangan wilayah tersebut. Pulau-pulau kecil terluar yang memiliki titik dasar/titik referensi (TD/TR) sebanyak 93 pulau, maka dibutuhkan suatu kebijakan khusus dalam pemanfaatan, pengelolaan pulau-pulau tersebut melalui kegiatan perlindungan, pengawasan dan pemantauan secara terus menerus agar keberadaannya dapat dipertahankan untuk menghindari konflik kepentingan (Hardin, 1968). Mengingat masih ada beberapa bagian wilayah Indonesia yang belum disepakati batasnya dengan negara tetangga, maka pulau-pulau terluar yang bertitik dasar ini penting artinya dalam penentuan garis pangkal yang digunakan sebagai dasar penarikan garis batas dengan negara tetangga. Dengan penetapan batas negara yang jelas, maka akan memudahkan kita dalam menjaga keutuhan NKRI.

Pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya merupakan upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan yang berkelanjutan, yang dilakukan dengan cara menetapkan dan mengelola kawasan perairan yang memiliki ciri khas kelangkaan, keunikan potensi keanekaragaman jenis biota perairan, ekosistem, gejala alam dan budaya masyarakat lokal. Pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya juga meliputi upaya perlindungan keanekaragaman jenis dan genetik biota perairan langka.

Hadirin yang berbahagia,

Sejauh ini perhatian terhadap sumberdaya kelautan baru, seperti energi kelautan, jasa-jasa lingkungan seperti pariwisata bahari atau ekowisata, industri

11

bioteknologi masih sangat kurang. Padahal masa depan perkembangan bangsa ini akan lebih banyak bergantung kepada sumberdaya kelautan akibat menurunnya daya dukung sumberdaya daratan. Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan meliputi 70% dari luas negara, namun industri maritim dan jasa-jasa kelautannya belum memberikan kontribusi yang memadai. Pengelolaan pesisir secara terpadu merupakan langkah yang sangat efisien secara ekonomis dalam mengelola wilayah pesisir (Klein, R.J.T, et al., 1996). Pengelolaan Pesisir Terpadu dipandang sebagai mekanisme institusional yang diperlukan dalam membangun ekonomi wilayah pesisir melalui strategi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Oleh karena itu kunci keberhasilannya sebenarnya adalah adanya keharmonisan antara manusia/masyarakat dengan lingkungannya. Sedangkan pengelolaan pesisir terpadu dapat dilakukan melalui perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PPWPT) yang merupakan suatu proses pengelolaan sumberdaya alam laut dan jasa lingkungan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat; perencanaan horizontal dan vertikal; ekosistem darat dan laut; sains dan manajemen sehingga pengelolaan sumberdayanya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berkelanjutan (GESAMP 1996 dan Cincin-Sain and Knecht, 1998). Kegiatan yang bersifat parsial dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil telah memicu konflik antar berbagai kepentingan. Penyebab

12

utamanya adalah: (i) adanya ambiguitas kepemilikan dan penguasaan sumberdaya; dan (ii) banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara parsial pemanfaatan wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil. Hadirin yang berbahagia, Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini mendasarkan pada prinsip ekonomi biru (blue economy) yang merupakan varian ekonomi hijau (green economy) untuk pengelolaan laut. Ekonomi biru dirasa sangat penting mengingat pengelolaan sumberdaya alam secara modern harus memberikan dampak yang konkrit bagi keberlanjutan sumberdaya itu sendiri maupun bagi manusia pengelolanya.

Ekonomi biru merupakan pendekatan ekonomi yang dipromosikan oleh Prof. Gunter Pauli, seorang financial engineer, pengusaha dan environmentalist. Ekonomi biru tidak hanya mengarahkan upaya peningkatan nilai tambah melalui proses rantai produksi yang linear dan diversifikasi produk, namun juga pemanfaatan limbah proses produksi sebagai bahan baku produk turunan lain yang bernilai ekonomis, sehingga aktivitas industri akan semakin produktif, efisien dan zero waste. Ekonomi biru, bukanlah ekonomi kelautan tetapi sebuah sistem ekonomi yang diterapkan dalam upaya pembangunan kelautan dan perikanan, secara umum prinsip-prinsip ekonomi biru mencakup: 1. Efisiensi pemanfaatan sumberdaya 2. Zero waste (tanpa limbah). 3. Social inclusiveness dan penciptaan lapangan

kerja;

13

4. Sistem produksi siklus, siklus generasi-regenerasi tanpa henti, serta keseimbangan antara produksi dan konsumsi.

5. Pemanfaatan teknologi yang berasaskan hukum-hukum fisika sebagai upaya adaptasi dengan kondisi alam dan sumberdaya lokal yang tersedia

Oleh sebab itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong kebijakan ekonomi biru yang disinergikan dengan industrialisasi kelautan dan perikanan, dengan mengacu pada prinsip-prinsip: 1. Keseimbangan Pertumbuhan dan Pemerataan

yang Berkeadilan: Prinsip ini melandasi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang mampu mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi melalui investasi publik berupa sarana dan prasarana produksi dan manajemen untuk membuka kesempatan bisnis dan investasi inovatif dan kreatif.

2. Efisiensi Sumberdaya Alam: Efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam melalui peningkatan nilai tambah komoditas dan diversifikasi produk untuk dapat menghasilkan manfaat ekonomi lebih besar namun dengan menggunakan sumberdaya alam lebih hemat. Efisiensi sumberdaya alam dapat ditingkatkan karena seluruh unsur yang terkandung di dalam material/bahan baku dimanfaatkan sehingga tidak menyisakan limbah (zero waste). Efisiensi sumberdaya juga dapat dicapai melalui pemanfataan sumberdaya yang tersedia secara lokal, sehingga mampu mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya dari luar

14

sebagai upaya peningkatan daya saing produk. Prinsip tersebut dapat mendorong peningkatan keragaman kegiatan ekonomi sehingga dapat menghasilkan multiple revenue, peningkatan pendapatan, dan perluasan lapangan kerja.

3. Tanpa Limbah dan Emisi: Prinsip tanpa limbah dan emisi berkaitan erat dengan upaya efisiensi sumberdaya alam karena dapat mendorong peningkatan efisiensi sumberdaya alam dengan penjelasan bahwa seluruh unsur yang terkandung pada material/bahan baku diolah dan dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai ekonomi lebih tinggi sehingga dapat menekan jumlah pemanfaatan sumberdaya alam dengan prinsip leave nothing to waste.

4. Interdependensi dan Konektivitas: Seperti ekosistem, setiap unsur pembangunan saling terkait dan secara fungsional saling bergantung atau interdependen. Saling ketergantungan dan keterkaitan antar semua unsur pembangunan menjadi suatu kebutuhan untuk menjamin bahwa sistem pengelolaan sumberdaya alam dapat berlangsung seimbang dan harmonis baik secara ekonomi maupun ekologi. Prinsip ini juga menjadi landasan pengembangan kebijakan pengembangan jejaring bisnis dan infrastruktur yang menghubungkan seluruh komponen sistem ekonomi di dalam kawasan maupun antar kawasan.

5. Kepedulian Sosial: Peningkatan kapasitas dan peran masyarakat dalam pembangunan akan mendorong perubahan sosial dan kesiapan masyarakat mengembangkan inovasi dan

15

kreativitas yang dapat menuntunnya untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang diinginkan. Dengan kepedulian sosial kebijakan pembangunan ekonomi dapat mengarah sesuai dengan hakekat tujuan pembangunan.

6. Keberlanjutan: Keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan, melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang tersediaa secara inovatif dan kreatif untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih besar namun dengan menggunakan sumberdaya yang lebih efisien dan zero waste.

7. Pendekatan Blue Economy Business Model dan Kawasan: Implementasi kebijakan pembangunan berbasis Blue Economy dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: (1) Blue Economy Business Model dan (2) Blue Economy berbasis Kawasan.

Blue Economy Business Model: Pengembangan model usaha berbasis komoditas unggulan dan produk dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi sumberdaya dengan cara meningkatkan diversifikasi produk bernilai tambah dengan memanfaatkan setiap unsur yang terkandung di dalam bahan baku sehingga tanpa menyisakan limbah.

Pengembangan Kawasan Blue Economy: Pengembangan kawasan blue economy mempunyai ruang lingkup pembangunan ekonomi dalam suatu kawasan sesuai dengan potensi setiap bagian dari suatu kawasan dengan prinsip keseimbangan pertumbuhan dan pemerataan yang berkeadilan, efisiensi,

16

interdependensi dan konektivitas, kepedulian sosial, dan keberlanjutan.

Hadirin yang berbahagia, Sebagai upaya pengembangan ekonomi biru berbasis kawasan, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mempersiapkan dua lokasi, yaitu: Kabupaten Lombok Timur dan Pulau Nusa Penida, Bali. Kedua lokasi tersebut layak dikembangkan mengingat potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki cukup tinggi, seperti garam dan rumput laut serta perikanan. Investasi pada komoditas-komoditas tersebut kemudian diintegrasikan dengan kegiatan lainnya, seperti pariwisata bahari berbasis kawasan konservasi, serta investasi terhadap sumber energi terbaharukan, seperti; matahari, angin dan arus laut. Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyusun Detail Engineering Design (DED) untuk kedua lokasi tersebut, sehingga kedua lokasi tersebut secara terintegrasi akan disentuh intervensi pemerintah bersama-sama swasta dan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Hadirin yang saya banggakan, Kita tidak bisa memungkiri bahwa salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas dan konflik sumberdaya adalah ketiadaan penataan ruang yang harmonis dan efektif terimplementasi. Komunitas internasional, dalam hal ini United Nations Environment Programme (UNEP) menyepakati bahwa salah satu upaya penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan dan perikanan adalah penataan ruang,

17

mengingat tren pergeseran aktivitas sosial-ekonomi yang bergerak ke wilayah perairan laut yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan sumberdaya. Kehadiran UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, bersamaan dengan UU No 26 /2007 tentang Penataan Ruang, sengaja dimaksudkan agar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di darat harus terintegrasi dengan Rencana Zonasi laut, sehingga idealnya bagi provinsi, kabupaten dan kota berpesisir, seyogyanya Peraturan Daerah (PERDA) tentang Penataan Ruang mecakup RTRW darat dan zonasi laut. Namun, dalam kurun lima tahun semenjak UU 27/2007 disahkan, dari 33 Provinsi, hanya dua provinsi yang telah memiliki PERDA Rencana Zonasi, yaitu Jawa Timur dan DI Yogyakarta, dan dari 318 Kabupaten/ Kota berpesisir baru lima kab/kota yang memiliki PERDA terkait, yaitu: Kota dan Kabupaten Pekalolangan (Jawa Tengah), Kab Gresik (Jawa Timur), Kab Serang (Banten) dan Kota Ternate (Maluku Utara). Menyikapi hal tersebut, kami akan mengintesifkan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk mendorong percepatan implementasi UU No 27/2007. Hadirin sekalian, Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2011 diberikan mandat untuk turut serta mengelola salah satu komoditas laut berupa garam yang selama ini hanya dikelola oleh Kementerian Perindustrian. Pengelolaan garam dilakukan melalui pendekatan

18

industrialisasi kelautan dan perikanan. Sebagai negara dengan panjang pantai mencapai 95,000 km sangat ironis bagi Indonesia untuk memenuhi permintaan 3,2 juta ton garam per tahun, masih mengandalkan garam impor. Benar bahwasanya sebagian besar negara eksportir garam memperoleh mineral tersebut melalui tambang bukan melalui proses desalinasi air laut, dan dengan penggunaan teknologi yang relatif mutakhir tidak heran apabila harga produk garam mereka jauh lebih kompetitif. Namun, dengan kebijakan importasi garam yang tidak terkontrol, maka akan mengebiri sumber pendapatan lebih dari 29.000 petambak garam yang tersebar di wilayah pesisir Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) yang diinisiasi pada tahun 2011, yang saat ini telah berhasil mencapai target swasembada garam konsumsi, dengan produksi mencapai 2,02 juta ton dari target awal 1,32 juta ton. Hal tersebut berarti pada tahun 2013 Indonesia masih memiliki surplus garam yang mencapai angka 1,53 juta ton. Keberhasilan peningkatan produksi ini sebaiknya didukung oleh kebijakan afirmatif dengan menghentikan importasi garam pada tahun 2013. Kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki harga garam rakyat yang pada akhirnya dapat mensejahterahkan petambak garam dan pelaku usaha terkait lainnya. Pada kesempatan ini juga, saya mengapresiasi langkah tegas yang diambil oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur yang melarang garam impor memasuki wilayah Jawa Timur, sebuah langkah yang patut dicontoh oleh daerah-daerah sentra garam

19

lainnya. Prestasi swasembada garam konsumsi tahun 2012 memunculkan optimisme baru di Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mencapai swasembada garam industri pada tahun 2014. Langkah-langkah yang diambil oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan ekstensifikasi tambak garam, intensifikasi melalui diseminasi teknologi ulir filter, penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia serta mendorong regulasi tata niaga garam yang lebih memihak industri garam rakyat dalam negeri. Hadirin sekalian yang saya muliakan, Terkait dengan upaya konservasi sumberdaya pesisir, maka idealnya pada tahun 2020 luas kawasan konservasi mencakup 10% total luas perairan laut dan pesisir sebuah wilayah. Hal ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan dukungannya terhadap aktivitas sosial ekonomi. Merujuk hal tersebut, dengan luas laut termasuk zona ekonomi eksklusif sekitar 5,8 juta km2 atau 580 juta hektar, maka idealnya total luas kawasan konservasi Indonesia sekitar 58 juta hektar, saat ini Indonesia berkomitmen mewujudkan 20 juta hektar pada tahun 2020, dan 6 juta hektar diantaranya dikelola efektif. Ini berarti untuk mencapai tahap ideal sesuai target CBD dibutuhkan tambahan 38 juta hektar kawasan konservasi laut. Paradigma konservasi laut atau perairan yang digunakan pemerintah adalah keharmonisan antara pemanfaatan yang berkelanjutan dan perlindungan lingkungan hidup melalui zonasi kawasan konservasi.

20

Sebuah keunikan yang membedakan kawasan konservasi laut di Indonesia dan negara-negara pesisir lainnya. Kawasan konservasi seyogyanya dikelola melalui mekanisme pembiayaan yang berkelanjutan, oleh sebab itu dalam jangka panjang Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mendorong pengelolaan kawasan konservasi perairan nasional melalui mekanisme Badan Layanan Umum (BLU) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU). Melalui pendekatan ini, kawasan konservasi akan efektif dikelola karena tidak hanya bergantung pada pembiayaan melalui APBN tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya, salah satu aktivitas ekonomi yang sesuai adalah pariwisata bahari. Hadirin yang berbahagia, Saya mengutip sebuah pepatah Inggris klasik “siapa yang menguasai laut, menguasai perdagangan, siapa yang menguasai perdagangan menguasai dunia”. Kutipan tersebut seharusnya mampu menginspirasi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia untuk berperan global serta mampu mandiri dengan mengandalkan kekuatan kelautan dan perikanan. Pendidikan tinggi yang sangat erat dengan dunia penelitian dan inovasi teknologi terapan memiliki peran yang sangat penting salah satu garda terdepan dalam mendukung (1) swasembada garam rakyat melalui

21

inovasi teknologi tepat guna dan pengembangan sumber daya manusia, (2) rencana zonasi laut melalui dukungan studi bekerjasama dengan pemerintah daerah, dan (3) konservasi laut melalui penelitian-penelitian yang mendukung perlindungan sumberdaya hayati perairan yang sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hadirin yang saya hormati, Demikian pidato ilmiah saya, harapan saya dengan bertambahnya usia Universitas Widayagama yang ke-23, lembaga ini mampu mengambil peran sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk mendukung pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan sektor kelautan dan perikanan secara khusus dan pembangunan nasional secara umum. Dirgahayu Universitas Widyagama. Sekian, terima kasih. Billahitaufiqwalhidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Direktur Jenderal KP3K Sudirman Saad

22

PUSTAKA

Cincin-Sain, B. and Knecht, R.W. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: concepts and practices. Island Press, Washington, D.C.

Gesamp 1996. The Contribution of Science to Coastal Zone

Management. Rep. Stud. Gesamp, (61):66 p.

Hardin, G. 1968. The tragedy of commons. Science (Vol.

166), p. 1243-1248