PEMBANGUNAN DESA: DI MANA TEMPAT · PDF filehanya tinggal rencana di atas kertas tanpa...

download PEMBANGUNAN DESA: DI MANA TEMPAT · PDF filehanya tinggal rencana di atas kertas tanpa kelanjutan ... Daerah Kerja Pembangunan ... dari kantor Bappeda Tkt. II dan kantor PMD-Depdagri.

If you can't read please download the document

Transcript of PEMBANGUNAN DESA: DI MANA TEMPAT · PDF filehanya tinggal rencana di atas kertas tanpa...

  • FORUM

    WACANA No. 9 / Juli - Agustus 1997 8

    PEMBANGUNAN DESA: DI MANA TEMPAT RAKYAT ??

    Oleh Daniel & Benny

    Telah lama diyakini bahwa partisipasi adalah kunci keberhasilan masyarakat dalam membangun. Pemerintah

    sendiri berkeinginan agar setiap program pembangunannya dilaksanakan secara partisipatif. Tetapi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa partisipasi adalah sesuatu yang mewah bagi warga desa. Kasus-kasus yang

    ditemukan dalam pelaksanaan program IDT menunjukkan bahwa peran aparat pemerintah ternyata sangat dominan dalam menentukan sebuah rencana kegiatan. Berbagai saran, pengarahan dan anjuran dari aparat desa,

    kecamatan (bahkan kabupaten), pada akhirnya menjadi kata putus yang harus dilaksanakan.

    Partisipasi Setengah Hati Proses perencanaan pembangunan Orde Baru, dalam kenyataannya, belum mengakomodir adanya mekanisme atau prosedur yang benar-benar dapat menjamin berjalannya partisipasi rakyat desa. Pemerintah -sampai saat ini- masih belum lepas dari paradigma pembangunan sentralistiknya. Partisipasi lebih diartikan sebagai keikutsertaan dalam pelaksanaan pembangunan, bukan dalam perencanaan pembangunan. Program pembangunan Orde Baru masih berorientasi pada target (pencapaian hasil). Misalnya: produksi beras sekian juta ton, akseptor KB sekian juta orang, nilai ekspor sekian juta dollar, dan sebagainya. Padahal, pembangunan masyarakat, perlu dil ihat sebagai suatu gerakan; suatu proses yang perlu dijalankan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, yang utama bukanlah pembangunan fisik. Tetapi, apakah masyarakat telah siap dan disiapkan, baik secara mental maupun sosial? Orientasi ini menyebabkan terabaikannya aspek pemberdayaan rakyat desa.

    Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pembangunan yang berjalan di desa-desa di seluruh Indonesia sebagian besar adalah program yang berasal dari pemerintah. Mulai dari program Bangdes, dana IDT, program pembangunan prasarana dan sarana sanitasi dan penyehatan lingkungan, program air bersih, proyek perencanaan perbaikan perumahan dan lingkungan desa terpadu (P2LDT), program kelangsungan hidup pengembangan perlindungan ibu dan anak (KHPPIA) dan lain-lain. Jarang sekali terdengar ada program yang benar-benar lahir dari rakyat desa, dapat terealisasi.

    Adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), yang diharapkan menjadi wahana (wadah) partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Tetapi kenyataannya, lembaga ini tidak berfungsi secara efektif. Selain karena LKMD kekurangan tenaga ahli (expertis) yang berpengalaman serta dana untuk merencanakan dan merealisasikan programnya, sejak awal lembaga yang dibentuk pemerintah ini sudah terkooptasi oleh kepentingan negara (state). Posisi Kepala Desa sebagai Ketua LKMD menyebabkan LKMD tidak lepas dari konflik kepentingan (vested interest) antara aspirasi rakyat dengan kepentingan negara (pemerintah); yang sarat dengan ideologi

    pembangunan yang menggunakan pendekatan program (top-down).

    LKMD pada akhirnya hanya menjadi sekedar pengesah dari keputusan birokrasi di atasnya (Kades, Camat, Bupati/Walikota, atau Gubernur). Sebagai Ketua LKMD, Kepala Desa akhirnya dapat dengan leluasa mengintervensi rapat (musyawarah) LKMD untuk menggolkan program-program top-down yang telah dirancang Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat. Rencana Pembangunan Tahunan Desa (RPTD) yang merupakan hasil perencanaan rakyat desa (melalui musyawarah LKMD), sering hanya tinggal rencana di atas kertas tanpa kelanjutan pelaksanaannya. RPTD lalu hanya berfungsi sekedar untuk memenuhi persyaratan administratif dalam pencairan dana Inpres Bangdes di kecamatan.

    Bottom Up Planning: Adakah? Jika kita mencermati konsep proses perencanaan dari bawah (bottom up planning) yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru, terlihat bahwa aspirasi dan usulan rakyat desa harus melalui proses birokrasi negara yang berliku-liku, panjang serta penuh dengan intervensi dan rekayasa. Dimulai dari tingkat desa melalui musyawarah LKMD, rapat Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) pada tingkat kecamatan, Rakorbang Tingkat II pada tingkat Kabupaten/Kotamadya, Rakorbang Tingkat I pada tingkat propinsi lalu (katanya) berakhir di Konsultasi Nasional Bappenas pada tingkat nasional. Kenyataannya, Bappenas-lah yang menjadi instansi penentu gol tidaknya usulan dari bawah (baca: desa). Bappenas --dengan kewenangan besar yang dimilikinya (terutama menyangkut pendanaan program-program pembangunan)-- dapat dengan leluasa merekayasa program-program yang diusulkan dari bawah. Dengan catatan, rekayasa ini tentu tidak terlepas dari kontrol negara (baca: rejim penguasa).

    Proses yang panjang ini menyebabkan semangat untuk memadukan perencanaan top-down dan bottom-up dalam prakteknya tidak terjadi (berjalan). Rapat UDKP1 misalnya -yang merupakan forum di tingkat kecamatan untuk mensinkronkan program pusat dan program usulan desa- dalam kenyataannya tidak lebih dari forum sandiwara yang penuh dengan rekayasa dan intervensi. Dalam rapat ini seharusnya terjadi tawar menawar program antara Kepala Desa (lewat RPTD-nya) dengan aparat yang mewakili instansi vertikal (dinas/departemen). Tetapi,

  • FORUM

    WACANA No. 9 / Juli - Agustus 1997 9

    yang sering terjadi adalah: instansi vertikal sebagai instansi penyandang dana untuk kegiatan-kegiatan desa, menitipkan proyek yang telah dirancangnya sebelumnya kepada Kepala Desa agar diklaim sebagai rencana/usulan kegiatan desa. Jadi, seolah-olah pada saat rapat UDKP ada sinkronisasi antara program pusat dan daerah (desa). Padahal, sebelum rapat dilaksanakan, sebenarnya sudah ada kesepakatan antara kedua pihak untuk menggolkan program pembangunan tertentu. Rapat UDKP lalu menjadi formalitas belaka. Akibat lebih jauh dari proses di atas adalah munculnya program-program yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

    Karena konsep usulan kegiatan dari desa sudah mengalami penyunatan di tiap tingkat birokrasi pemerintahan maka yang sering terjadi adalah usulan tidak pernah terealisasi. Walaupun usulan itu sudah menjadi kebutuhan mendesak warga desa dan telah diusulkan berkali-kali, tetapi pemerintah biasanya berkelit dengan alasan: dana terbatas. Bahkan, sering terjadi program yang terealisasi tidak sesuai dengan usulan dan kebutuhan setempat. Pernah terjadi di suatu desa di NTT misalnya, LKMD mengusulkan proyek air bersih. Tetapi, yang datang malah program Kukesra, yaitu: pemberian kredit dengan jumlah sangat kecil (Rp 20,000 per KK). Cobalah dibayangkan uang sebesar itu dapat digunakan untuk apa? Rakyat desa akhirnya harus menjalani penantian berkepanjangan sekedar untuk menunggu realisasi dari usulan kegiatannya; yang nilai proyeknya mungkin tidak seberapa.

    Tanpa Dana: Bisakah Membangun? Sumber pendanaan untuk kegiatan pembangunan yang benar-benar-benar diprakarsai (direncanakan) oleh warga desa, sampai saat ini pada dasarnya tidak diatur secara jelas. Pasal 21 ayat 1 UU no. 5/79 hanya menyebutkan: Sumber pendapatan Desa adalah Pendapatan asli Desa dan Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah. Bahkan, bunyi ayat 3 semakin mengaburkan hak-hak desa atas dana pembangunan serta pengelolaannya secara mandiri. Dalam pasal itu disebutkan bahwa: Ketentuan lebih lanjut tentang sumber pendapatan dan kekayaan Desa, pengurusan dan pengawasaannya beserta penyusunan Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Mendagri.

    Dana dari Pemerintah Pusat & Pemda untuk desa sebagian besar hanyalah berupa sumbangan dan bantuan. Selain itu, dana yang lain adalah dana yang berasal dari proyek pemerintah (Daftar Isian Proyek/DIP). Itu pun tidak dikelola secara langsung oleh pemerintah desa (LKMD), tetapi oleh instansi dinas/departemen. Alokasi dana untuk proyek pembangunan ini menganut pendekatan manajemen proyek top-down. Artinya, pendanaan kegiatan telah direncanakan sebelumnya dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan program/proyek tersebut. Dalam kenyataannya, bantuan pemerintah berupa dana (Inpres) Bantuan Desa (Bangdes) senilai 6,5 juta adalah sumber dana utama (pokok)

    bahkan satu-satunya untuk membiayai seluruh kegiatan pembangunan desa yang telah direncanakan oleh LKMD. Padahal, dana Bangdes ini sebenarnya hanya dimaksudkan sebagai dana perangsang (stimulans). Yang sering terjadi adalah: seluruh perencanaan kegiatan desa akan mengacu pada besarnya dana Bangdes yang tersedia itu. Dana swadaya masyarakat lalu dimobilisir lewat berbagai jenis pungutan pajak dan iuran, untuk menutupi kekurangan dana pembangunan desa (dan dana operasional birokrasi desa ?!). Masyarakat desa lalu menjadi korban karena terpaksa harus mengalami berbagai pengutipan pajak dan pungutan beberapa kali. Selain masalah dana Bangdes yang sangat kecil nilainya, pemerintah pun sering tidak memberikan asistensi yang memadai dalam pengelolaan dana tersebut. Akibatnya, program yang dikerjakan menjadi mubazir atau berkualitas rendah.

    Sejauh ini, yang bisa disimpulkan adalah bahwa dana yang diterima desa hanyalah dana yang berasal dari pemberian (baca: kemurahan hati) pemerintah. Lewat bantuan dana-dana Inpres (misalnya Bangdes dan IDT), pemerintah menjalankan politik balas budi kepada rakyat desa. Inilah politik etis jaman kolonial yang diadopsi rejim Orde Baru. Desa hanya diberinya sisa-sisa remah roti dari kue (baca: dana) pembangunan. Kebanyakan alokasi anggaran malah digunakan untuk membiayai proyek-proyek raksasa (akumulasi kapital) segelintir pelaku ekonomi. Pola perencanaan dan pengelolaan pembangunan yang sentralistik dengan pemihakan pada fungsi/kegiatan ekonomi yang menjanjikan nilai tambah tinggi, menyebabkan desa semakin termarjinalkan. Kesenjangan ekonomi dan ketidakberdayaan politik akhirnya merupakan keniscayaan yang