Pembakuan Peran Gender
Transcript of Pembakuan Peran Gender
-
8/9/2019 Pembakuan Peran Gender
1/1Edisi: 006/Oktober 2007 | 11
I n f o b u k u
Judul : Dampak Pembakuan Peran Gender
terhadap Perempuan Kelas Bawah di
Jakarta
Penulis : Henny Wilujeng, Attashendartini Habsjah,
Devy Setya Wibawa
Penerbit : LBH APIK Jakarta
Tebal : XXII + 169
Tahun : 2005
DAMPAK PEMBAKUAN
PERAN GENDERTERHADAP PEREMPUAN
APA yang terjadi di kalangan perempuan kelas
bawah tatkala perempuan, khususnya istri,
secara resmi (melalui produk legal) diposisikan
sebagai pihak yang hanya berkewajiban
mengurus rumah tangga, sedangkan suami
sebagai pencari nafkah?
Di Jakarta, pembakuan peran gender
tersebut justru telah menempatkan para
perempuan (istri) dari kalangan bawah dalam
himpitan beban keseharian yang jauh lebih berat
dari para lelaki (suami).
Fakta menunjukkan para perempuan ini tak
hanya dituntut menjalankan peran domestik
sebagaimana dimaui negara melalui undang-
undang. Mereka pun dituntut olehkehidupan untuk sekaligus
menjalankan tugas sebagai
pencari nafkah, sementara posisi
sosial mereka tetap sebagai pihak
yang dinomorduakan..
Bangun pagi subuh nyuci
baju dulu...habis nyuci terus cuci
piring, terus beberesan deh
semua....segalanya....terus baru
jalan...berangkat kerja jam tujuh. Pulang jam setengah enam
sore...kadang beli makanan di warung aja. Kalau di rumah udah
nggak ada kerjaan lagi....ya kita balik lagi ke konveksi.
Ngelembur. Kerja di konveksi dibayarnya per minggu, jadi
bagaimana pendapatan kita, dari hasil jahitnya. Kita nguber
waktu. Kalau misalnya kita lama, ya...pendapatannya sedikit,
ujar X, perempuan pekerja konveksi di Jakarta.
Cuplikan pengalaman X tersebut hanya bagian kecil dari
fakta perempuan kelas bawah di Jakarta.
Penelitian yang dilakukan LBH APIK Jakarta bekerjasama
dengan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Unika
Atmajaya Jakarta 2000-2001 menunjukkan bahwa perempuan
kelas bawah di Jakarta hidup dalam himpitan beban ganda
akibat pembakuan peran gender yang antara lain disahkan dalamUU RI No 1/1974 tentang Perkawinan. UU tersebut
menetapkan, peran suami adalah kepala keluarga yang
berkewajiban memberi segala sesuatu keperluan hidup
berumahtangga sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga yang
berkewajiban mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya.
Beban ganda akan makin menjadi-jadi
manakala suami tak mampu menjalankan
fungsinya karena berbagai sebab, misal karena
latarbelakang pendidikan rendah maka ia hanya
bisa bekerja dengan upah minim bahkan tak
menentu. Akibatnya, mau tak mau demi
mempertahankan perekonomian rumah tangga
istripun harus bekerja. Sementara itu, ia pun
dibebani kewajiban (oleh negara melalui UU)
untuk mengurus rumah tangga.
Hasil penelitian yang kemudian dibukukan
dengan tajukDampak Pembakuan Peran Gen-
der terhadap Perempuan Kelas Bawah di Jakarta in i
menunjukkan para perempuan
kelas bawah yang bekerja untuk
mencari nafkah, karena
penghasilan dari suami tak
mencukupi, harus bekerja jauh
melebihi porsi pasangannya.
Sebelum bekerja yang
menghasilkan uang mereka
terlebih dahulu harus memasak, menyiapkan makanan/minuman
untuk suami dan anak, belanja, mencuci, mengantar anak ke
sekolah. Selesai bekerja, masih harus menyeterika,
membersihkan rumah, mengasuh anak, masih harus memikirkan
kerja sosial seperti arisan, pengajian dan sebagainya.
Melalui buku setebal 169 hal dengan 35 tabel yang
menyesaki ruang ini, kita juga temukan hal ironis: meski pada
kenyataannya para perempuan ini juga mencari nafkah, para
perempuan ini tetap tidak diakui sebagai pihak pencari nafkah.
Pencari nafkah tetap privilege para pria/suami. Kedua, para
perempuan kelas bawah ini (terutama yang bekerja di sektor
formal) rentan pula terhadap berbagai kekerasan di tempat kerja.
Sayang, buku yang kaya data ini ditampilkan tak ubahnya
sebuah laporan penelitian. Selain struktur, bahasanya puncenderung kaku-formal. Buku ini tak lebih dari sekadar laporan
penelitian yang dikemas seukuran buku. Padahal, dengan
mengubah gaya, buku ini akan jauh lebih menarik untuk dibaca
mengingat informasinya yang penting untuk diketahui. (ded)