Pembahasan Tb

49
PEMBAHASAN SKENARIO Os. Seorang laki-laki berusia 37 tahun batuk selama 3 minggu ini, batuk berdahak, kadang-kadang disertai sesak. Keringat dingin malam hari, nafsu makan menurun, berat badan menurun 2 kg dalam 3 minggu ini, terkadang os merasakan demam, sudah berobat belum ada perubahan. KATA KUNCI - Laki-laki 37 tahun - Batuk berdahak sudah 3 minggu - Subfebris - Disertai sesak - Keringat dingin malam hari - Anorexia - BB menurun 2 kg selama 3 minggu PERTANYAAN 1. Bagaimana patomekanisme terjadinya batuk berdahak pada skenario? 2. Jelaskan patomekanisme demam dan tipe demam! 3. Jelaskan patomekanisme terjadinya sesak ! 4. Mengapa bisa terjadi keringat malam? 5. Mengapa pada scenario terjadi nafsu makan menurun dan Berat badan menurun selama sakit? 1

description

tb paru

Transcript of Pembahasan Tb

PEMBAHASAN

SKENARIO

Os. Seorang laki-laki berusia 37 tahun batuk selama 3 minggu ini, batuk berdahak, kadang-kadang

disertai sesak. Keringat dingin malam hari, nafsu makan menurun, berat badan menurun 2 kg

dalam 3 minggu ini, terkadang os merasakan demam, sudah berobat belum ada perubahan.

KATA KUNCI

- Laki-laki 37 tahun

- Batuk berdahak sudah 3 minggu

- Subfebris

- Disertai sesak

- Keringat dingin malam hari

- Anorexia

- BB menurun 2 kg selama 3 minggu

PERTANYAAN

1. Bagaimana patomekanisme terjadinya batuk berdahak pada skenario?

2. Jelaskan patomekanisme demam dan tipe demam!

3. Jelaskan patomekanisme terjadinya sesak !

4. Mengapa bisa terjadi keringat malam?

5. Mengapa pada scenario terjadi nafsu makan menurun dan Berat badan menurun selama

sakit?

6. Apakah hubungannya antara setiap gejala pada skenario?

7. Jelaskan Alur diagnosis pada skenario!

8. Jelaskan differential diagnosis pada skenario !

9. Komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada kasus tersebut?

KLARIFIKASI ISTILAH

1. Batuk Berdahak : eksposisi udara yang tiba-tiba dari paru-paru sambil mengeluarkan suara

disertai sputum.

1

2. Demam / subfebris : peningkatan suhu tubuh diatas normal (37,2 – 37,5 oC)

3. Sesak : keluhan subyektif (keluan yang dirasakan oleh pasien) berupa rasa tidak nyaman,

nyeri atau sensasi berat, selama proses pernapasan.

Dyspnea adalah sesak nafas yaitu perasaan sulit bernapas yang biasanya terjadi ketika kita

melakukan aktivitas fisik

4. Anorexia : Penurunan atau hilangnya nafsu makan (dorland, 96)

JAWABAN PERTANYAAN

1. Patomekanisme Batuk

BATUK

• Merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan pernafasan saluran bawah

• Iritasi percabangan trakeobronkial

• Gejala dari suatu penyakit pernafasan (bronkitis kronik, asma, tbc, dan pneumonia

Udara yang bercampur dengan benda asing atau partikel-partikel kecil masuk melewati

rongga hidung(epitel bertingkat silindris bersilia dan bersel goblet) kemudian benda asing atau

partikel-partikel kecil akan melekat di lendir atau mukus yang di produksi oleh sel goblet.

Selanjutnya epitel bertingkat silindris bersilia akan mendorong lendir ke arah belkang

nasofaring, untuk selanjutnya akan dikeluarkan. Nasofaring di sarafi oleh n. glosofaringus

sementara rongga hidung disarafi oleh n. trigeminus, keduanya akan mengirimkan resptor ke

batang otak yang selanjutnya akan memberi persarafan motorik ke otot-otot.

Batuk produktif: batuk yang disertai dengan dahak

Batuk tidak produktif atau kering: batuk yang tidak disertai produksi dahak yang

berlebihan

BATUK BERDAHAK

Infeksi ataupun iritasi pada saluran napas akan menyebabkan hipersekresi mucus pada

saluran napas besar, hipertropi kelenjar submukosa pada trakea dan bronki. Ditndai juga

dengan peningkatan sekresi sel goblet di saluran napas kecil, bronki dan bronkiole,

menyebabkan produksi mucus berlebihan, sehingga akan memproduksi sputum yang

berlebihan. Kondisi ini kemudian mengaktifkan rangsang batuk dengan tujuan untuk

2

mengeluarkan benda asing yang telah mengiritasi saluran nafas. Jadi batuk berdahak terjadi

reaksi pertahanan tubuh.

2. DEMAM

Substansi penyebab demam disebut pirogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh, baik

dari produk proses infeksi maupun non infeksi. Lipopolysaccharydae (LPS) pada dinding

bakteri gram negative atau peptidoglikan dan teichoic acid pada bakteri gram positif,

merupakan pirogen eksogen. Substansi ini merangsang mekrofag, monosit, limfosit, dan

endotel untuk melepaskan IL 1, IL 6, TNF-α, dan IFN- α, yang bertindak sebagai pirogen

endogen. Sitokin proinflamasi ni akan akan berikatan dengan reseptornya di hypothalamus dan

fosfolipase- A2. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan asam arakidonat dari merman

fosfolipid atas pengaruh enzim sklooksigenase-2 (COX-2). Asam arakidonat selanjutnya

diubah mejadi prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 baik secara langsung maupun melalui

adenosine monofosfat siklik (c-AMP), akan mengubah setting thermostat (pengatur suhu

tubuh) di hipotalamus pada nilai yang lebih tinggi. Selanjtnya terjadi peningkatan produksi dan

konservasi panas sesuai setting suhu tubuh yang baru tersebut. Hal ini dapat dicapai melalui

reflex vasokonstriksi pembuluh darah kulit dan pelepasan epinefrin dari saraf simpatis, ang

menyebabkan peningkatan metabolism tubuh dan tonus otot. Suhu inti tubuh dipertahankan

pada kisaran suhu normal, sehingga penderita akan merasakan dingin lalu menggigil dan

menghasilkan panas.

suhu oral 35,5 oC - 37,5 oC

suhu aksila 34,7 oC - 37,3 oC

suhu rektal 36,6 oC - 37,9 oC

• Normal suhu badan : 36-37 oC

• Demam / febris : > 38 oC

• Subfebril : 37,2-37,5 oC

• Febris continue : > 37,5 oC dan fluktuasi kurang 1 oC

• Febris remitten : > 37,5 oC dan fluktuasi lebih 1 oC

• Febris intermittent : > 37,5 oC dan fluktuasi lebih 1 oC dan suhu < 38 oC

3

• Penurunan suhu badan ke normal, dapat secara LYSIS (turun secara bertahap) dan

CRISIS (turun secara cepat)

Pola demam Penyakit

Continue Penyakit virus

Remiten penyakit bakteri

Intermiten Malaria, endokarditis

Demam continue: ditandai oleh peningkatan suhu tubuh yang menetap dengan fluktuansi

maksimal 0,4 oC selama periode 24 jam

Demam remitten: ditandai oleh penurunan suhu tubuh tiap hari tetapi tidak mencapai

normal dengan fluktuansi melebihi 0,5 oC/24 jam. Biasanya karna infeksi.

Intermitten: ditandai dengan suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari,

dan puncaknya siang hari.

3. Patomekanisme Sesak

Patomekanisme sesak :

M. tuberculosis → inhalasi droplet → bakteri mencapai alveolus (ukuran partikel < 5

mikrometer) → muncul reaksi radang → terjadi pengeluaran secret/mucus → akumulasi

secret di jalan napas → menghalangi proses difus oksigenasi → kompensasi tubuh

meningkatkan gerakan pernapasan → sesak

4. Mekanisme Keringat Malam

Pada malam hari mekanisme basal cenderung meningkat → ditambah pasien demam →

suhu tubuh meningkat → set point (secara fisiologi memang dalam keadaan panas) →

sedangkan tubuh suhunya lebih rendah dari set point → memaksa tubuh untuk

menyamakan panas dengan set point → sedangkan aka nada pengaturan homeostasis

tubuh→ Keringat keluar untuk melembabkan kulit agar suhu tidak terlalu panas.

5. Mekanisme Nafu Makan Berukang

Proses infeksi mengakibatkan makrofag mengeluarkan berbagai macam pro inflamasi,

salah satuya TNF (Tumor Necrosis Factor), yang kemudian menekan nafsu makan di

pusatnya (lateral hipotalamus) sehingga nafsu makan menurun.

4

6. Hubungan demam, sesak, keringat malam dan nafsu makan menurun

Os terpapar bakteri Mycobacterium tuberculosa yang kemudian masuk ke dalam saluran

pernafasan sehingga menyebabkan inflamasi dan meradang sehingga ia merasa demam,

demam cenderung terjadi pada malam hari, untuk menurunkan demam akibatnya tubuh

berkompensasi dengan mengeluarkan keringat guna untuk menurunkan suhu tubuh.

Kompensasi tubuh ini juga menghasilkan TNF yang efeknya menekan rasa lapar di

hipotalamus akibatnya nafsu makan berkurang dan menyebabkan berat badan yang cepat

menurun. Selain itu bakteri ini juga mengakibatkan batuk berdahak (berwarna putih

kekuningan), di saluran nafas bakteri ini memproduksi secret secara berlebihan yang

menyebabkan sesak.

7. Alur Diagnosis pada Skenario

5

8. Differential diagnosis

1) TUBERKULOSIS PARU

a) Definisi

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit yang menyerang jaringan paru disebabkan infeksi

basil Mycobacterium tuberculosa (M. tuberculosa).(Price, Sylvia A & M Wilson, 2005)

b) Epidemiologi

Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah Cina

dan India Perkiraan kejadian BTA positif di Indonesia adalah 266.000 kasus tahun 1998.

TB menempati peringkat nomor 3 sebagai penyebab kematian teringgi di Indonesia setelah

penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia. (Program

Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2006)

6

Insidens tertinggi biasanya mengenai usia dewasa muda. Informasi dari Afrika dan

India menunjukkan pola yang berbeda, dimana prevalensi meningkat seiring dengan

peningkatan usia.6 Di Indonesia, dengan angka risk of infection 2%, maka sebagian besar

masyarakat pada usia produktif telah tertular.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita TB Paru.

Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak melakukan mobilisasi dan mengkonsumsi

alkohol dan rokok. (Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di

RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa laki-laki 0,5 kali lebih sulit untuk sembuh

dari pada wanita pada penderita TB Paru).

c) Etiologi

Mikobakterium tipe humanus dan tipe bovinus adalah mikobakterium yang paling

banyak menyebabkan penyakit tuberkulosis. Kuman ini berbentuk batang, bersifat aerob,

dinding sel mengandung; lipid, fosfatida polisakarida, tuberkulo protein, mudah mati pada

air mendidih (5 menit pada suhu 800C, dan 20 menit pada suhu 600C), dan 5 menit apabila

terkena sinar ultraviolet (matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada

suhu kamar dan ruangan yang lembab. Ia mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap

asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA)

(widoyono,2008).

d) Cara Penularan

Penularan penyakit ini melalui inhalasi droplet khususnya yang didapat dari pasien

TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA positif. Pada waktu

batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan

Dahak). Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.

Dalam 1 tahun, 1 penderita TB BTA positif menularkan 10-15 orang. Selama kuman TB

masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar

dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,

salura napas,atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya (widoyono, 2008)

Risiko mendapat infeksi Mycobacterium tuberculosis ditentukan terutama oleh

faktor-faktor eksogen:

7

a. Kontakdenganpenderita BTA positif (seberapadekatdanseberapa lama)

b. Lingkungantempatkontak (lingkungan yang padatdanventilasiruang yang buruk)

Sedangkan faktor-faktor endogen :

a. Daya tahan tubuh

b. Usia

c. Penyakit penyerta (infeksi HIV, silikosis, limfoma, leukemia, malnutrisi, gagal ginjal

kronis, diabetes melitus, orang dengan terapi imunosupresif dan hemophilia).

e) Patogenesis

o Tuberkulosis Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman

TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem

pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan ke alveolus dan menetap di sana.

Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma

makrofag. Di sini kuman dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman

yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia

kecil dan disebut kompleks primer atau fokus Ghon. Kompleks primer ini dapat

terjadi di setiap bagian jaringan paru. Waktu antara terjadinya infeksi sampai

pembentukan kompleks primer adalah 3-8 minggu.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi

tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung

kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada

umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan

kuman TB. Meskipu n demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai

kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak

mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan,

yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis.Kompleks primer tersebut

selanjutnya dapat menjadi:

1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering terjadi.

8

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis

fibrotik, kalsifikasi di hilus dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi

karena kuman yang dormant.

3. Berkomplikasi dan menyebar secara :

a.Per kontinuitatum, yakni menyebar kesekitarnya

b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya.

Kuman ini juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.

c.Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya

d. Secara limfogen.

o Tuberkulosis Post Primer (Sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer

= TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis

sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna,

diabetes, AIDS dan gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dari sarang dini

yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior).

Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini

ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini

menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-

Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.

Sarang dini pada tuberkulosis sekunder ini akan mngikuti salah satu jalan sebagai

berikut:

1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan serbukan

jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk

perkapuran. Sarang tersubut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan

keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang tersebut meluas, membentuk jaringan keju. Kavitas akan muncul dengan

dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian

dindinganya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik).

9

Kavitas tersebut akan menjadi:

a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang baru.

b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma

dapat mengapur dan sembuh, dan mungkin aktif kembali, mencair lagi dan terus

menjadi kavitas lagi.

c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kavitas menyembuh

dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kavitas

yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang.

f). Klasifikasi

TB paru diklasifkasikan atas:

a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)

1. TB paru BTA(+)

2. TB paru BTA (-)

b. Berdasarkan lokasi

1. TB paru

2. TB extra paru

c. Berdasarkan tipe pasien

1. Kasus baru, bila pasien belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah

pernah menelan obat kurang dari satu bulan.

2. Kasus relaps (kambuh), bila pasien sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan

telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat

dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (+).

3. Kasus defaulted atau drop out , bila pasien telah menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan

tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatan

selesai.

4. Kasus gagal, bila pasien BTA positif yang masif tetap positif atau kembali positif pada

akhir bulan ke 5 atau akhir pengobatan.

5. Kasus kronik, bila pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai

pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

10

6. Kasus bekas TB, bila hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru

menunjukkan lesi TB yang tidak aktif.

g). Gejala Klinis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala lokal

(repiratorik) dan gejala sistemik sesuai PDPI 2011

o Gejala Respiratorik

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang

cukup berat tergantung dari luas lesi.

1. Batuk

Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus. Batuk ≥ 2

minggu dan mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat adanya

peradangan pada bronkus batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna

untuk membuang produk-produk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid

atau purulen.

2. Batuk darah

Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan ringannya batuk

darah yang timbul tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk

darah tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga

dapat terjadi karena ulserasi pada mukosa bronkus. Batuk darah inilah yang paling

sering membawa penderita berobat ke dokter.

3. Nyeri dada

Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai

ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu

pasien menarik/melepaskan nafasnya.

4. Ronchi

Terjadi karena penumpukan ciran atau lendir di dalam paru, terutama erdengar di

daerah apical paru.

5. Dispneu

Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang cukup

luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah didapatkan.

11

Gejala sistemik

1. Demam

Demam merupakan gejala pertama dari TB paru, biasanya subfebril, mirip demam

influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya tahan tubuh dan virulensi

kuman, serangan demam yang berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan

(multiplikasi 3 bulan). Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40-41°C.

2. Keringat malam

Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit tuberkulosis

paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada

orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini.

3. Malaise dan nafsu makan berkurang

Tuberkulosis bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa tidak enak badan,

pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin kurus, sakit kepala dan mudah

lelah.

.

h). Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis paru dibuat atas dasar menurut Depkes tahun 2004

a. Anamnesa

Dari anamnesa didapatkan keluhan pasien berupa keluhan respiratorik dan keluhan

sistemik.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva

dan kulit yang pucat karena anemia, suhu demam subfebris, badan kurus atau berat

badan menurun.

Dasar kelainan anatomis tuberkulosis paru terletak pada lobuli, jadi meliputi alveoli

dan beberapa bronkiolus terminalis. Tanda-tanda dini berupa konsolidasi serta

didapatkan sekret dibronkus kecil. Karena proses menjalar pelan-pelan dan menahun,

maka biasanya penderita datang dengan keadaan yang sudah lanjut sehingga kelainan

fisik mudah diketahui, berupa:

12

- Kelainan parenkim yaitu konsolidasi, fibrosis, atelektasis, dan/atau kerusakan parenkim

dengan sisa suatu kavitas.

- Kelainan saluran pernafasan : berupa radang dari mukosa disertai dengan penyempitan

maupun penimbunan sekret.

- Kelainan pleura : oleh karena proses terletak dekat pleura, maka hampir selalu terjadi

reaksi pleura berupa penebalan atau nyeri pleura.

Konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru dengan saluran pernafasan yang masih

terbuka akan meningkatkan penghantaran getaran suara sehingga fremitus suara

meningkat. Suara nafas menjadi bronko-vesikuler atau bronkial, didapatkan bronkofoni

atau suara bisik yang disebut whispered pectoraliloque.

Sekret yang berada didalam bronkus akan menyebabkan suara tambahan berupa ronki

basah. Suara ronki kasar atau halus tergantung dari tempat sekret berada. Penyempitan

saluran pernafasan menimbulkan ronki kering, dan penyempitan ini disertai kavitas

dapat terdengar suara yang disebut hallow sound sampai amforik.

c. Pemeriksaan laboratorium

Sputum

Sputum dijadikan tanda yang patognomonis, dengan ditemukannya kuman

BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan

sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.

BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan bronkus, jaringan paru, pleura,

cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin dan tinja.

Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya.

Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman

baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar.

Cara pengambilan sputum yaitu 3 kali (sewaktu-pagi-sewaktu). Pembacaan hasil

pemeriksaan sediaaan sputum dilakukan dengan menggunakan skala International

Union Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUATLD), sebagai berikut:

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

a. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan.

13

Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+)

a. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (2+), minimal dibaca 50

lapang pandang.

b. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+), minimal dibaca

20 lapang pandang.

Hasil pemeriksaan dikatakan positif bila apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS

hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih

lanjut yaitu pemeriksaan rontgen dada atau pemeriksaan sputum SPS diulang.

Darah

Pemeriksaan darah tidak dapat digunakan sebagai pegangan untuk menyokong

diagnosis TB paru, karena hasil pemeriksaan darah tidak menunjukkan gambaran yang

khas. Tapi gambaran darah kadang-kadang dapat membantu menentukan aktivitas

penyakit.

- Laju endap darah

Laju endap darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap

darah yang normal tidak dapat mengesampingkan proses tuberkulosis

aktif.

- Leukosit

Jumlah leukosit dapat normal atau sedikit meningkat pada proses yang

aktif.

- Hemoglobin

Pada penyakit tuberkulosis berat sering disertai dengan anemi derajat sedang.

Bersifat normositik dan sering disebabkan defisiensi besi.

Tes tuberkulin

Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah

mengalami infeksi M. Tuberculosa, M. Bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria

patogen lainnya.

d.. Pemeriksaan Radiologis

14

Pemeriksaan standar ialah foto thoraks PA. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis

dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi

yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

- Bayangan berawan / nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah paru.

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau

nodular.

- Bayangan bercak milier

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif :

- Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat

dinyatakan sebagai berikut:

- Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas

tidak lebih dari sela iga 2 depan, serta tidak dijumpai kavitas

- Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

i). Diagnosis Banding

Pada proses paru minimal sebagai diagnosis banding adalah simple bronchopneumonia, kanker

paru stadium dini, dan pneumonia lobaris. Pada proses tuberkulosis menahun perlu diingat bahwa

ada penyakit paru non tuberkulosis yang bersifat menahun, seperti bronkiektasis, bronkitis,

emfisema dan kanker paru.

j). Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi, yang dibagi atas:

- Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, dan laringitis tuberkulosis

15

- Komplikasi lanjut: obstruksi jalan nafas (SOPT : Sindrom Obstruksi Paska Tuberkulosis),

kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor pulmonal, sindrom gagal nafas, yang sering

terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

k). Penatalaksanaan

Pengobatan tuberkulosis ditujukan untuk menyembuhkan penderita, mencegah

kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Pengobatan dibagi menjadi 2 fase yaitu fase

intensif dan fase lanjutan:

a. Tahap intensif

Penderita mendapat obat setiap hari, awasi langsung. Bila pengobatan tahap intensif

diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam 2 minggu.

Sebagian besar penderita BTA positif akan menjadi negatif pada akhir pengobatan

b. Tahap lanjutan

Paduan obat yang digunakanterdiridaripanduanobatutama dan obat tambahan.

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

a. Isoniazid (INH), bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam

beberapa hari pertama pengobatan.

b. Rifampisin, bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dorman yang tidak dapat

dibunuh INH.

c. Prazinamid, bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan

suasana asam.

d. Streptomisin, bersifat bakterisid.

e. Ethambutol, bersifat bakteriostatik.

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) :

- Kanamisin

- Amikasin

- Kuinolon

- Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat

Obat-obatan tersebut tersedia dalam kemasan obat tunggal dan obat kombinasi (Fixed Dose

Combination/FDC). FDC direkomendasikan bila tidak dilakukan pengawasan menelan obat.

16

Program Nasional Penanggulangan TB paru di Indonesia menggunakan paduan OAT:

1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)

Diberikan untuk penderita baru TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif rontgen positif

yang sakit berat, dan penderita TB paru ekstra paru.

2. Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E)

Diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure) dan penderita dengan

pengobatan lalai (drop out).

Dosis panduan OAT KDT kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Beratbadan Tahapintensiftiaphariselama

56 hari RHZE

Tahaplanjutan 3 kali

semingguselama 16

minggu RH

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Dosis panduan OAT kombipak kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Tahap

pengobata

n

Lama

pengobata

n

Tablet

isoniazi

d

@ 300

mg

Kapletrifampisi

n

@ 450 mg

Tablet

pirazinami

d @ 500

mg

Tablet

etambuto

l @ 250

mg

Jmlhhr/x

menelanoba

t

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Dosis panduan OAT KDT kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Beratbadan Tahapintensiftiaphari RHZE + S Tahaplanjutan 3 kali

seminggu RH + E

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT + 2 tab

17

Streptomisin inj. etambutol

38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg

S inj.

3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab E

55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000

mg S inj.

4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab E

≥ 71 kg 5 tab 4KDT + 1000

mg S inj.

5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab E

Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Tahap Lama Tab H

@300

mg

Kaplet

R @450

mg

Tab Z

@500

mg

Etambutol S inj. Jmlhhr/x

Tab

@250

mg

Tab

@400

mg

Intensif 2 bulan

1 bulan

1

1

1

1

3

3

3

3

-

-

0,75 mg 56

28

Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60

Dosis KDT sisipan : (HRZE)

Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Selama 28 Hari

RHZE

30-37 kg 2 tab 4KDT

38-54 kg 3 tab 4 KDT

55-70 kg 4 tab 4KDT

≥ 71 kg 5 tab 4KDT

Dosis OAT FDC sisipan : HRZE

18

Tahap Lama Tab H

@ 300 mg

Kaplet R

@ 450 mg

Tab Z

@ 500 mg

Tab E

@ 250 mg

Jumlah

hari/kali

menelan

obat

Tahap

intensif

(dosis

harian)

1 bulan 1 1 3 3 28

Dosis OAT KDT Anak

Berat Badan 2 bulan tiap hari RHZ 4 bulan tiap hari RH

5-9 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-23 4 tablet 4 tablet

Dosis OAT KDT Kombipak Anak : 2RHZ/4RH

Jenis obat BB < 10 kg BB 10-19 kg BB 20-23 kg

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg

Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

k. Pencegahan

Terhadap Infeksi tuberkulosis

Pencegahan terhadap sputum yang infeksius

- bila batuk, mulut ditutup

- Isolasi penderita dan mengobati penderita

- Ventilasi harus baik

- Jangan sembarangan membuang dahak bila batuk

19

Meningkatkan daya tahan tubuh

Memperbaiki standar hidup

Usahakan peningkatan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG

Imunisasi BCG diberikan dibawah usia 2 bulan, jika baru diberikan setelah usia 2 bulan,

disarankan tes Mantoux dahulu. Vaksinasi dilakukan bila hasil tes tersebut negatif.

2). PNEUMONIA

a. Definisi

Peradangan yang mengenai parenkim paru (distal dari bronkiolus terminalis yang

mencakup bronkiolus respiratorius dan alveolus) serta menimbulkan konsolidasi jaringan

paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Secara klinis pneumonia disefinisikan

sebagaimsuatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus,

jamur, parasit), bahan kimia, radiasi, aspirasi, obat-obatan dan lain-lain. PK adalah

pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar RS, sedangkan PN adalah pneumonia yang

terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawat di RS, baik di ruang rawat umum ataupun ICU

tetapi tidak sedang memakai ventilator. PBV adalah pneumonia yang terjadi setelah 48-72

jam atau lebih setelah intubasi tracheal. Pada PPK termasuk pasien yang dirawat oleh

perawatan akut di RS selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi,

tinggal di rumah perawatan, mendapat AB intravena, kemoterapi atau perawatan luka

dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun datang ke klinik RS atau klinik hemodialisa.

b. Epidemiologi Pneumonia

Pneumonia semakin sering diderita pada orang yang lanjut usia (lansia) dan sering

terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada pasien dengan

penyakit lain seperti diabetes melitus (DM), payah jantung, penyakit arteri koroner,

keganasan, insufisiensi renal, dan penyakit hati kronik. Faktor prediposisi yang lain berupa

kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, keadaan imunodefisiensi, dan penurunan

kesadaran.

20

c. Patomekanisme :

Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) adaah penyebab yang paling sering dari

pneumonia bakteri, baik yang di dapat dari masyarakat maupun dari rumah sakit.

Pneumokokus umunya mencapai alveoli lewat percikan mokus atau saliva. Lobus bagian

bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Setelah mencapai alveolus maka

pneumokokus menimbulkan respon khas yang terdiri dari 4 tahap berurutan.

1. Zona luar : alveoli yang terisi dengan kuman dan cairan edema

2. Zoan permulaan konsolidasi terdiri dari sel-sel PMN dan beberapa eksudasi sel darah

merah

3. Zoan konsolidasi yang luas : daerah dimana terjadi fagositosis yang aktif dengan

jumlah sel PMN yang banyak.

4. Zona resolusi : daerah dimana terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,

leukosit dan alveolar makrofag.

d. Gejala :

Onset biasanya mendadak

Demam tinggi

Menggigil

Sesak napas

Nyeri dada pleuritik

Batuk mukopurulen produktif

Kadang terjadi hemoptisis

e. Pemeriksaan Penunjang

Gambaran Radiologis

Foto thoraks (PA/Lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk

menegakkan diagnosis. Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab

pneumonia, hanya merupakan petunjuk arah diagnosis etiologi. Bagian paru yang

terkena menunjukkan adanya peningkatan densitas dengan eksudat dan cairan inflamasi

yang menempati ruang alveolus. Udara yang tetap mengisi bronkus yang terlibat

21

tampak sebagai lusensi berbentuk garis (konsolidasi dengan “air bronchogram”).

Konsolidasi dapat menetap, seringkali setelah gejala-gejala pasien membaik.

(referensi : Lecture Notes Radiologi, Pradip R. Patel, page 37)

f. Pemeriksaan Laboratorium

Pada penderita pneumonia kita memerlukan pemeriksaan laboratorium dengan

pemeriksaan :

Leukosit : - Normal = 4000-10.000 ul.

- Penderita pneumonia = Terjadi peningkatan leukosit >1 0.000 – 30.000 ul.

Laju Endap Darah :

- Normal :

a. Pria : (Westergren) : < 10 mm/jam, (Wintrobe) : < 10 mm/jam

b. Wanita : (Westergren) : < 20 mm/jam, (Wintrobe) : < 15 mm/jam

- Pneumonia : Terjadi peningkatan yang drastis.

Kultur Darah : Positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. (referensi : Buku

ajar ilmu penyakit paru 2010, halaman 161)

22

g. Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik

pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji

kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :

1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.

Pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum

pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai

berikut :

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

Golongan Penisilin

TMP-SMZ

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi

Pseudomonas aeruginosa

Aminoglikosid

Seftazidim, Sefoperason, Sefepim

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

Vankomisin

Teikoplanin

Hemophilus influenzae

TMP-SMZ

Azitromisin

h. Komplikasi

Komplikasi pneumonia ekstrapulmoner infeksius, misalnya pada pneumonia

pneumokokkus dengan bakteriemi dijumpai pada 10% kasus berupa meningitis,

arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema.

Komplikasi ekstrapulmoner non infeksius yang memperlambat resolusi gambaran

radiologi paru, antara lain gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru atau infark paru,

23

dan infark miokard akut. Dapat terjadi komplikasi lain berupa acute respiratory

distress syndrome (ARDS), gagal organ jamak, dan komplikasi lanjut berupa

pneumonia nosokomial.

i. Prognosis

b) Pneumonia Komunitas

Kejadian PK di USA adalah 3,4-4 juta kasus pertahun, dan 20% diantaranya perlu

dirawat di RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokus adalah

sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang tua dengan kondisi yang buruk.

Pneumonia dengan influenza di USA merupakan penyebab kematian no. 6 dengan

kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada usia lanjut usia yaitu sebesar 89%.

Mortalitas pasien CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%.Mortalitas yang

tinggi ini berikatan dengan “factor perubahan” yang ada pada pasien.

c) Pneumonia Nosokomial

Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50%, yang bias mencapai 70% bila termasuk

yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya. Penyebab kematian biasanya

adalah akibat bakteriemi terutama oleh Ps. Aeruginosa atau Acinobacter spp.

3). BRONKIEKTASIS

a. Definisi dan Penyebab :

Suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) dan distorsi bronkus

lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten atau ireversibel. Kelainan

bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa

destruksi elemen-elemen elastis, otot-otot polos bronkus, tulang rawan dan pembuluh-

pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus kecil sedangkan

bronkus besar umumnya jarang.

Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan merupakan

akibat proses berikut :

Infeksi. Bronkiektasis sering terjadi sesudah seseorang berlangsung lama.

Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang

diderita semasa anak, tuberkulosis paru dan sebagainya.

24

Obstruksi bronkus. Disebabkan oleh berbagai macam sebab : korpus alienum,

karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus.

b. Epidemiologi Bronkiektaksis

Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat sangat penting pada

negara-negara berkembang. Di negara-negara maju seperti AS,bronkiektasis mengalami

penurunan sering dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi bronkiektasis lebih tinggi

pada penduduk dengan golongan sosio ekonomi yang rendah. 1,5 data terakhir yang

diperoleh dari RSUD DR. Soetomo tahun 1990 menempatkan bronkiektasis pada urutan

ke-7 terbanyak. Dengan kata lain didapatkan 221 penderita dari 11.018 (1.01%) pasien

rawat inap.

Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai

penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinik-klinik dan

diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai sejak anak-anak,

bahkan dapat merupakan kelainan kongenital.

c. Faktor Risiko

a) Faktor pendukung :

- Merokok

- Hidup atau bekerja di daerah dengan polusi udara yang parah

- Ada sejarah asma di masa kecil

b) Faktor pemicu :

- Aktivitas fisik yang berlebih

- Polusi udara

- Infeksi saluran pernapasan

d. Patomekanisme :

o Dimulai dari infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur

pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat

bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat,

infeksi melebar sampai ke peribronkial, sehingga dalam kasus bronkiektasis

selular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang

25

eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiketasis biasanya setempat,

menyerang lobus segmen paru. Lobus yang paling bawah sering terkena.

o Retensi sekresi dan onstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan

alveoli disebelah distal onstruksi mengalami kolaps (atelektasis). Jaringan parut

ataua fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi.

Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan

kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual

terhadao kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang di inspirasi

(ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksimia.

e. Gejala :

Batuk. Batuk pada bronkikektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif

berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah

sputum bervariasi namun umumnya berjumlah banyak terutama pada pagi hari

sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak ada infeksi

sekunder sputumnya mukoid, sedangkan apabila terjadi infeksi sekunder

sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap.

Hemoptisis. Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus

bronkiektasis. Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus

mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul pendarahan.

Sesak napas (Dispnea). Pada sebagian besar pasien ditemuakn keluhan sesak

napas. Timbul dan beratnya sesak napas tergantung seberapa luasnya bronkitis

kronik yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan destruksi

jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang (ISPA), yang biasanya

meimbulkan fibrosis paru dan emfisema yang menimbulkan sesak napas tadi.

Demam berulang. Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik,

sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga

sering tumbul demam.

26

f. Pemeriksaan Penunjang

Gambaran radiologis

Foto polos thoraks

Bronkiektasis paling sering terdapat terdapat pada bagian basal paru dan sinar-

X dada dapat menampakkan gambaran :

o Bronkiektasis silindris : Dilatasi bronkus dapat terlihat sebagai garis

paralel ( menggambarkan dinding bronkus ) yang menyebar dari hilus

menuju diafragma.

o Bronkiektasis kistik : Dilatasi terminal dapat divisualisasi sebagai

bayangan kistisk atau cincin, kadang disertai batas cairan.

o Konsolidasi pneumonik

o Perubahan fibrotik

CT-Scan thoraks

Berbagai gambaran tambahan yang didapatkan :

o Bronkus yang terlihat dibagian tepi.

o Bronkus yang memiliki diameter lebih besar dari pada cabang arteri

pulmonalis.

Bronkograf

Merupakan pemeriksaan yang paling dapat menegakkan diagnostik.

Contohnya : Dapat menunjukkan bronkiektasis silindris yang disertai dilatasi

bronkus lobus bawah. (referensi : Lecture Notes Radiologi, Pradip R. Patel,

page 41)

g. Pemeriksaan Laboratorium

Sputum

Apabila sputum ditampung dalam gelas akan terbentuk 3 lapisan yaitu:

a. Buih

b. Jernih -> lendir

c. Keruh -> nanah dan darah

Leukosit : - Normal : 4000-10.000 ul

- Bronkiektasis : Terjadi peningkatan leukosit > 10.000 ul

(referensi : Panduan praktis Ilmu penyakit dalam edisi 2 halaman 221)

27

h. Penatalaksanaan

Pemberian antibiotik dengan spekrum luas ( Ampisillin,Kotrimoksasol, atau amoksisilin )

selama 5- 7 hari pemberian

- Non Farmakologi

Drainage postural dan latihan fisioterapi untuk pernafasan serta batuk yang efektif

untuk mengeluarkan sekret secara maksimal

Alat pelembab dan nebulizer dapat dipakai untuk melembabkan sekret .

Bronkoskopi untuk pengangkatan benda asing atau sumbatan mukus.

Tindakan opratif

i. Komplikasi Bronkiektasis

Ada beberapa komplikasi yang dapat dijumpai pada pasien antara lain :

Bronkitis kronik.

Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering mengalami infeksi

berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran napas bagian atas. Hal ini

sering terjadi pada mereka yang dranage sputumnya kurang baik

Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia.

Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang terkena.

Efusi pleura atau empiema (jarang)

Abses metastasis di otak. Mungkin akibat septikemia oleh kuman penyebab infeksi

supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian.

Hemoptisis. Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri

pulmonalis), cabang arteri (atreri bronkialis) atau anastomosis pembuluh darah. Jika

terjadi komplikasi hemoptisis yang hebat dan tidak terkendali maka diperlukan

indikasi pembedahan. Hemoptisis masif yang sulit diatasi sering menjadi penyebab

kematian utama pasien bronkiektasis.

Sinusitis. Merupakan bagian dari komplikasi bronkiektasis pada saluran napas yang

sering ditemukan.

Kor Pulponal Kronik (KPK). Komplikasi ini sering terjadi pada pasien bronkiektasis

yang berat dan lanjut atau mengenai beberapa bagian paru, pada kasus ini bila terjadi

28

anastomosis cabang-cabang arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus

(bronkiektasis), akan terjadi anterio-venous shunt, lalu terjadi gangguan oksigenasi

darah, timbul sianosis sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut

akan terjadi hipertensi pulmonal, lalu kor pulmonal kronik. Selanjutnya dapat terjadi

gagal jantung kanan.

Kegagalan pernapasan. Merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada pasien

bronkiektasis yang berat dan luas.

Amiloidosis. Merupakan keadaan perubahan degeneratif. Pada pasien yang

mengalami komplikasi ini sering ditemukan pembesaran hati dan limpa serta

proteinuria.

j. Prognosis

Prognosis Pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya serta luasnya

penyakit waktu pasien tersebut berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat

(konservatif atau pun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit.

Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya

tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia,

empyema, payah jantung kanan, hemoptysis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa

komplikasi bronchitis kronik berat dan difus biasanya disabilitinya yang ringan.

4). PPOK

a. Defenisi

Defenisi PPOK menurut American Thoracic Society (ATS) adalah suatu gangguan

dengan karakteristik adanya obstruksi dari jalan napas karena bronkitis kronis atau

emfisema; obstruksi jalan napas umumnya progresive dan dapat disertai hiper-reaksi dan

mungkin kembali normal sebagian.

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di

saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri

dari bronkitis kronik dan emfisema paru. Walaupun kadang asma bronchial juga dapat

menyertai kedua ganggaun tersebut, namun dalam hal ini asma dibedakan karena asma

29

bronchial dapat timbul sendiri meski tidak terpapar oleh bahan-bahan inhalasi bersifat

toksik.

b. Klasifikasi

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran

napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. (PDPI:2003)

1. Bronkitis Kronis

Bronkitis kronis sering terjadi pada perokok dan penduduk di kota-kota yang

dipenuhi oleh kabut-asap; beberapa penelitian menunjukkan bahwa 20% hingga 25%

laki-laki berusia antara 40 hingga 65 tahun mengidap penyakit ini. Diagnosis bronkitis

kronis ditegakkan berdasarkan data klinis; penyakit ini didefenisikan sebagai batuk

produktif persisten selama paling sedikit 3 bulan berturut-turut pada paling sedikit 2

tahun berturut-turut.

2. Emfisema

Emfisema ditandai dengan adanya pembesaran permanen rongga udara yang

terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut.

Terdapat beberapa penyakit dengan pembesaran rongga udara yang tidak disertai

desktruksi; hal ini lebih tepat disebut “overinflation”. Contohnya adalah peregangan

rongga udara di paru kontralateral setelah pneumonektomi unilateral.

5. KANKER PARU

a. Definisi

Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup

keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis

tumor di paru). Namun dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kanker paru adalah

kanker paru primer, yaitu tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma

bronkus (bronchogenic carcinoma).

b. Manifestasi Klinis

30

- Manifestasi Lokal Kanker Paru (Intrapulmonal Intratorakal)

Gejala yang paling sering adalah batuk kronis dengan/tanpa

produksi sputum. Produksi sputum yang berlebih merupakan suatu gejala

karsinoma sel bronkoalveolar (bronchoalveolar cell carcinoma). Hemoptisis (batuk

darah) merupakan gejala pada hampir 50% kasus. Nyeri dada juga umum terjadi

dan bervariasi mulai dari nyeri pada lokasi tumor atau nyeri yang lebih berat oleh

karena adanya invasi ke dinding dada atau mediastinum. Susah bernafas (dyspnea)

dan penurunan berat badan juga sering dikeluhkan oleh pasien kanker paru.

Pneumonia fokal rekuren dan pneumonia segmental mungkin terjadi karena lesi

obstruktif dalam saluran nafas. Mengi unilateral dan monofonik jarang terjadi

karena adanya tumor bronkial obstruksi. Stridor dapat ditemukan bila trakea sudah

terlibat.

- Manifestasi Ekstrapulmonal Intratorakal

Manifestasi ini disebabkan oleh adanya invasi/ekstensi kanker paru ke

struktur/organ sekitarnya. Sesak nafas dan nyeri dada bisa disebabkan oleh

keterlibatan pleura atau perikardial. Efusi pleura dapat menyebabkan sesak nafas,

dan efusi perikardial dapat menimbulkan gangguan kardiovaskuler. Tumor lobus

atas kanan atau kelenjar mediastinum dapat menginvasi atau menyebabkan

kompresi vena kava superior dari eksternal. Dengan demikian pasien tersebut akan

menunjukkan suatu sindroma vena kava superior, yaitu nyeri kepala, wajah

sembab/plethora, lehar edema dan kongesti, pelebaran vena-vena dada. Tumor

apeks dapat meluas dan melibatkan cabang simpatis superior dan menyebabkan

sindroma Horner, melibatkan pleksus brakialis dan menyebabkan nyeri pada leher

dan bahu dengan atrofi dari otot-otot kecil tangan. Tumor di sebelah kiri dapat

mengkompresi nervus laringeus rekurens yang berjalan di atas arcus aorta dan

menyebabkan suara serak dan paralisis pita suara kiri. Invasi tumor langsung atau

kelenjar mediastinum yang membesar dapat menyebabkan kompresi esophagus dan

akhirnya disfagia.

31

- Manifestasi Ekstratorakal Non Metastasis

Kira-kira 10-20% pasien kanker paru mengalami sindroma paraneoplastik.

Biasanya hal ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor, melainkan karena zat

hormon/peptida yang dihasilkan oleh tumor itu sendiri. Pasien dapat menunjukkan

gejala-gejala seperti mudah lelah, mual, nyeri abdomen, confusion, atau gejala

yang lebih spesifik seperti galaktorea (galactorrhea). Produksi hormon lebih

sering terjadi pada karsinoma sel kecil dan beberapa sel menunjukkan

karakteristik neuro-endokrin. Peptida yang disekresi berupa adrenocorticotrophic

hormone (ACTH), antidiuretic hormone (ADH), kalsitonin, oksitosin dan hormon

paratiroid. Walaupun kadar peptide-peptida ini tinggi pada pasien-pasien kanker

paru, namun hanya sekitar 5% pasien yang menunjukkan sindroma klinisnya. Jari

tabuh (clubbing finger) dan hypertrophic pulmonary osteo-arthropathy (HPOA)

juga termasuk manifestasi non metastasis dari kanker paru. Neuropati perifer dan

sindroma neurologi seperti sindroma miastenia Lambert-Eaton juga dihubungkan

dengan kanker paru.

32

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z. Bahar,A. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta : Interna

Publishing

Guyton A. C & Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.

Kamus Kedokteran Dorland, A-S, 2010

Price, A. Sylvia & Lorraine M. Wilson.2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit Edisi 6.

Ryan KJ & Ray CG (editor) (2004)). Sherris Medical Microbiology 4. McGraw Hill.

Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.

Sudoyo A. W. dkk, 2007. Buku Ajar – Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV . Jakarta : EGC

Raviglion MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Harrison’s Principles of internal medicine. 15th

Edition. USA: McGraw-Hill, 2001.

Bahar A, Amin Z. Tuberkulosisparu. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2.

Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009. 988-993

Aditama TY, et al. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.

Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006

Alsagaff H, Mukty A. Tuberkulosis paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:

Airlangga, 2002. 73-108

Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA, Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Mikrobiologi

Kedokteran, Buku II Edisi I Jakarta: Salemba Medika, 2005.

Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Program Penanggulangan Tuberkulosis.

http://www.tbcindonesia.or.id [Diakses 01 april 2014]

WHO. Standar Internasional Penanganan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI,

2006.

33