pembahasan borang

27
PEMBAHASAN A. Kolesistitis 1. Definisi Kolesistitis adalah peradangan kandung empedu baik secara akut ataupun kronis (Barbara C. Long,1996). Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009). 2. Fisiologi Produksi dan Aliran Empedu Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus komunis 17

description

pembahasan kolesistitis

Transcript of pembahasan borang

Page 1: pembahasan borang

PEMBAHASAN

A. Kolesistitis

1. Definisi

Kolesistitis adalah peradangan kandung empedu baik secara akut

ataupun kronis (Barbara C. Long,1996). Kolesistitis akut (radang kandung

empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang

disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Hingga

kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum

jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2. Fisiologi Produksi dan Aliran Empedu

Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam

jaringan kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus

biliaris yang lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena

porta dan arteri hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus

hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris

septum yang lebih besar yang bergabung untuk membentuk duktus

hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut sebagai duktus hepatikus komunis.

Bersama dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus

komunis bergabung membentuk duktus koledokus yang kemudian

bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasuki duodenum

melalui ampulla Vater (Price SA, et al, 2006). Anatomi duktus biliaris

secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.

Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan

komposisi elektrolit yang menyerupai plasma darah. Komponen utama

cairan empedu terdiri dari 82% air, 12% asam empedu, 4% lesitin dan

fosfolipid lainnya serta 0,7% kolesterol yang tidak diesterifikasi. Unsur

lain termasuk bilirubin terkonjugasi, protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat

pula obat atau hasil metabolisme lainnya.. Cairan empedu ditampung

dalam kandung empedu yang memiliki kapasitas ± 50 ml. Selama empedu

berada di dalam kandung empedu, maka akan terjadi peningkatan

17

Page 2: pembahasan borang

konsentrasi empedu oleh karena terjadinya proses reabsorpsi sebagian

besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air

sehingga terjadi penurunan pH intrasistik (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Gambar 1 : Anatomi duktus biliaris.

(Sumber: Netter Atlas of Human Anatomy)

Asam – asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat)

dibentuk dari kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur

cincin hidroksilasi dan bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan

glisin atau taurin dan diekskresi ke dalam empedu. Sekresi empedu

membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan kolangiosit

yang terletak sepanjang duktulus empedu. Produksi empedu perhari

berkisar 500 – 600 mL (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Asam empedu mempunyai kegunaan seperti deterjen dalam

mengemulsi lemak, membantu kerja enzim pankreas dan penyerapan

lemak intraluminal. Asam empedu primer dapat dialirkan ke duodenum

akibat stimulus fisiologis oleh hormon kolesistokinin (CCK) (meskipun

terdapat juga peranan persarafan parasimpatis), dimana kadar hormon ini

18

Page 3: pembahasan borang

dapat meningkat sebagai tanggapan terhadap diet asam amino rantai

panjang dan karbohidrat. Adapun efek kolesistokinin diantaranya (1)

kontraksi kandung empedu (2) penurunan resistensi sfingster Oddi (3)

peningkatan sekresi empedu hati (4) meningkatkan aliran cairan empedu

ke duodenum (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akan

direabsorpsi kembali di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah

portal dan diambil cepat oleh hepatosit, dikonjugasi ulang dan disekresi

ulang ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar ± 20% empedu

intestinal tidak direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh

bakteri kolon menjadi asam empedu sekunder yakni deoksikolat dan

litokolat dan ± 50% akan direabsorpsi kembali (Isselbacher, K.J, et al,

2009).

3. Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut

adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung

empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu

(90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu

empedu (kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan

stasis cairan empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi

kandung empedu menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu

sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu (Gambar

2). Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus

dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas.

Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan respon peradangan

pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin

dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu

yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009).

19

Page 4: pembahasan borang

Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada

50 sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering

dibiak dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies

Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies

Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme

tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan,

perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya

nekrosis dinding kandung empedu (Cullen JJ, et al, 2009)

Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut

(Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg)

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan

resiko terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama

berhubungan dengan trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode

pascapersalinan yang menyertai persalinan yang memanjang dan dengan

operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif.

Faktor lain yang mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma

20

Page 5: pembahasan borang

kandung empedu yang mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung

empedu, infeksi bakteri kandung empedu (misalnya Leptospira,

Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit

kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama

dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit

kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises) (Isselbacher, K.J, et al,

2009).

Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama

yang mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena

kandung empedu tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK)

yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi

statis dari cairan empedu. (Sitzmann JV, et al, 2008).

4. Tanda dan Gejala Klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah

kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia

serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara

progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula

kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya

keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang

ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60

– 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan

(Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan

penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien

mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan

dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan

ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir

selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat

diraba kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau

batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah

21

Page 6: pembahasan borang

nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy) (Sudoyo W.

Aru, et al, 2009).

Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan

peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan

atas sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus

akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan

rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi.

Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0

mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu

di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan

dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik

dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat

dibedakan dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus

terjadi pada pasien dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang

sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik

kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis

tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya

(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

5. Diagnosis Banding

Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat

menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada

pasien – pasien yang dirawat di ICU, kecurigaan terhadap timbulnya

kolestitis akut akalkulus harus dipertimbangkan bila telah terdapat tanda

dan gejala, hal ini untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien.

(Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba,

perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di

bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus,

perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark

22

Page 7: pembahasan borang

miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia,

appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan

harus dilakukan segera karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi

(Yates MR, et al, 2009).

6. Diagnosis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat

yang khas dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran

kanan atas, demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi

leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per

mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum

sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien,

sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum

(biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase

biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan

enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan

pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis

diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila

keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta

leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung

empedu dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA)

dapat memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya

tampak duktus kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu

(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran

kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu

tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup

banyak (Gambar 3). Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan

gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini

tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya kalsifikasi

23

Page 8: pembahasan borang

diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya

keganasan pada kandung empedu (Towfigh S, et al, 2010)

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan

secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk,

penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra

hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun

gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan

perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan

tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu penegakkan

diagnosis (Roe J, 2009).

Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu – batu empedu

berukuran kecil

(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan

MRI dilaporkan lebih besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut

24

Page 9: pembahasan borang

dapat ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu

lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan

lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat

memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang

mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG (Kim YK, et al, 2009).

Gambar 4 : CT – scan abdomen, tampak batu – batu empedu dan penebalan

dinding kandung empedu.

(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA

atau 96n Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari

USG tapi teknik ini tidak mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran

kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam

30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus

koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan

kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut

(Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

25

Page 10: pembahasan borang

Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah

45 menit. Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30

menit

(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat

digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan

terdapat batu empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko

tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV, et al, 2009).

Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda

kongesti pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan

gambaran kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa

dan sel – sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari

lapisan mukosa yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada

kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et

al, 2009).

26

Page 11: pembahasan borang

7. Tatalaksana

a) Terapi konservatif

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk

kolestasis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode

stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum

termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian

nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa

nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase

awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis,

kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan

metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang

umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan

Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang

memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian

antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan

ampisilin/sulbactam dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin

generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu

diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut

dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan

muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube.

Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang

pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu

lebih lanjut. Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi

yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda

– tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada

hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai

(seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien

diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO

dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang

sesuai (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

27

Page 12: pembahasan borang

b) Terapi bedah

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih

diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau

ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaaan umum

pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan

bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren

dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan

lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat

ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan

menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik

operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan

mengaburkan anatomi (Wilson E, et al, 2010).

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin

perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami

komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis

emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut

nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi

medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi

menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72

jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien

yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang

tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan

untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko

besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis

kolesistitis akutnya masih meragukan (Wilson E, et al, 2010).

Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi

sebagian besar pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra

kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi darurat mendekati 3

%, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini

28

Page 13: pembahasan borang

mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja,

resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ

lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau

jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis

yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan

kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu.

Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu

(Mutignani M, et al, 2009)

Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi

laparoskopik di Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering

dilakukan di pusat – pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini

hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke

tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar

1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus

sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan

keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada

tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran

empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi

laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti

mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian,

secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah

sakit dan mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T, et al, 2008). Pada

wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada

semua trimester (Cox MR, et al, 2008)

Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi

kolesistektomi diantaranya adalah:

Resiko tinggi terhadap anastesi umum

Tanda – tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan

peritonitis

Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan

29

Page 14: pembahasan borang

Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan

sistem pembekuan darah (Wilson E, et al, 2010).

8. Komplikasi Kolesistitis

a) Empiema dan hidrops

Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat

perkembangan kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus

persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat tersebut

disertai kuman – kuman pembentuk pus. Biasanya terjadi pada pasien

laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita

diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam

tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan

sering keadaan umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki

resiko tinggi menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi.

Diperlukan intervensi bedah darurat disertai perlindungan antibiotik

yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber PJ, et al,

2009).

Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat

sumbatan berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah

kalkulus besar. Dalam keadaan ini, lumen kandung empedu yang

tersumbat secara progresif mengalami peregangan oleh mukus

(mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh

sel – sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering teraba massa

tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari kuadran

kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu

sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik

juga dapat terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul

komplikasi empiema, perforasi atau gangren (Gruber PJ, et al, 2009).

b) Gangren dan perforasi

Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan

nekrosis jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara

30

Page 15: pembahasan borang

lain adalah distensi berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes

mellitus, empiema atau torsi yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren

biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu, tetapi

perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau

peringatan sebelumnya abses (Chiu HH, et al, 2009).

Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh

adhesi yang ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu.

Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu yang terlokalisasi

tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi

dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin

memerlukan kolesistektomi dan drainase abses (Chiu HH, et al, 2009).

Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka

kematian sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya

secara transien nyeri kuadran kanan atas karena kandung empedu yang

teregang mengalami dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda

peritonitis generalisata (Chiu HH, et al, 2009).

c) Pembentukan fistula dan ileus batu empedu

Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding

kandung empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan

pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum sering disertai oleh

fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung atau

duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris

“bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi kolesistitis

kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani

kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis

dengan temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos

abdomen. Pemeriksaan kontras barium atau endoskopi saluran

makanan bagian atas atau kolon mungkin memperlihatkan fistula,

tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah menyebabkan

opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada

31

Page 16: pembahasan borang

pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi

duktus koledokus dan penutupan saluran fistula (Isselbacher, K.J, et al,

2009).

Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik

yang diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam

lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki duodenum melalui

fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh

batu empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus

kecil yang lebih proksimal berkaliber normal. Sebagian besar pasien

tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris sebelumnya

maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi

(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan

memberi kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap

melalui fundus kandung empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya

mungkin ditemukan foto polos abdomen (misalnya obstruksi usus-

kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu ektopik

berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula

kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal).

Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus

kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk

menyingkirkan batu lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

d) Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.

Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung

empedu dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan

pengendapan kalsium dan opasifikasi empedu yang difus dan tidak

jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen. Apa yang

disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak

berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau

sering timbul pada kandung empedu yang hidropik. Sedangkan

kandung empedu porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam

32

Page 17: pembahasan borang

dinding kandung empedu yang mengalami radang secara kronik,

mungkin dideteksi pada foto polos abdomen. Kolesistektomi

dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu porselin

karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan

perkembangan karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al,

2009).

9. Prognosis

Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala

dapat terlihat dalam 1 – 4 hari bila dalam penanganan yang tepat.

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang

kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak

berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang –

kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren,

empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis

umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat

mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik

yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut

akalkulus memiliki angka mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah

pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping

kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah. (McPhee SJ, et al,

2009).

33