PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM ADAT...

85
i i PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM ADAT MINANGKABAU (Tela’ah Penafsiran Buya HAMKA Pada Surah An-Nisa’ Ayat 11-12) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) dalam Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Oleh : Prayetno NIM : UT.150220 PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2019

Transcript of PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM ADAT...

  • i

    i

    PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM ADAT MINANGKABAU (Tela’ah Penafsiran Buya HAMKA Pada Surah An-Nisa’ Ayat 11-12)

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) dalam Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

    Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama

    Oleh : Prayetno

    NIM : UT.150220

    PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

    2019

  • v

    v

    MOTTO

    “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, dan

    bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya,

    baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-NIsa’ : 7)

  • vi

    vi

    ABSTRAK

    Penelitian ini dilatarbelakangi oleh realitas yang terjadi di kehidupan sehari-

    hari banyak masyarakat yang berpendapat bahwa jika seseorang yang berdarah

    Minang meninggal dunia maka yang berhak mewarisi hartanya adalah keponakan

    orang yang meninggal tersebut. Pendekatan penelitian yang penulis gunakan

    merupakan penelitian pustaka (Library Research), yaitu suatu penelitian yang

    menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk

    menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli

    terdahulu dengan mengikuti perkembangan penelitian.

    Hasilnya penulis menemukan lima cara pembagian harta warisan dalam adat

    Minangkabau. Pertama, pembagian harta pusaka. Kedua, pewarisan harta bawaan

    suami ke rumah istri yang didapat sebelum menikah. Ketiga, pewarisan harta tepatan.

    Keempat, pewarisan harta pencarian. Kelima, pembagian harta hibah. Ahli waris

    menurut Buya Hamka adalah anak kandung, ayah kandung, ibu kandung, dan saudara

    kandung pewaris (jika pewaris meninggal dunia dalam keadaan tidak meninggalkan

    anak, ayah dan ibu). Saudara perempuan (se-ibu se-bapak) yang kalalah mendapat

    separuh, kalau dia berdua mendapat sepertiga. Kalau mereka banyak ada yang laki-

    laki dan perempuan maka juga mendapat dua pertiga. Kalau yang tinggal itu hanya

    saudara se-ibu, mereka mendapat seperenam kalau seorang dan mendapat sepertiga

    kalau lebih dari seorang.

  • vii

    vii

    PERSEMBAHAN

    Ku persembahkan skripsi sederhana ini kepada: Ayahanda dan Ibunda Tercinta...

    Dua orang yang sangat berjasa dalam hidup saya dan yang sangat saya cintai yaitu Ayahanda Sutam Haryono dan Ibunda Eliya yang telah mendidik dan mengasuhku dari kecil hingga dewasa dengan penuh kasih sayang dan ketulusan yang tak kenal lelah dan batas waktu, agar kelak diriku menjadi anak yang berbakti kepada kedua

    orang tua dan berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa seterusnya dapat meraih cita-cita.

    Serta adikku (Duwi Mulya Ningsih) yang sangat aku sayangi.

  • viii

    viii

    KATA PENGANTAR

    ِبْسِم اّللِه الرَّْْحَِن الرهِحْيِم Puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

    yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga Skripsi yang berjudul

    “PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM ADAT MINANGKABAU

    (Tela’ah Penafsiran Buya HAMKA Pada Surah An-Nisa’ Ayat 11-12)” ini dapat diselesaikan penyusunannya. Shalawat dan salam penulis limpahkan kepada

    junjungan Nabi Muhammad SAW.

    Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan

    dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, dan sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana

    Strata Satu (S1) pada Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha

    Saifuddin Jambi.

    Selesainya penyusunan Skripsi ini ditulis dengan banyak mendapat masukan,

    arahan, serta bimbingan dari berbagai pihak, terutama dari dosen pembimbing dan

    rekan-rekan penulis. Untuk itu, Penulis merasa sangat bersyukur kehadirat Allah

    SWT dan mengucapkan terima kasih kepada :

    1. Bapak Dr. H. Hasbullah dan Ibu Sajida Putri, S.Ud., M.Hum selaku

    pembimbing I dan pembimbing II yang telah banyak memberikan sumbangan

    pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini.

    2. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, M.A selaku Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin

    Jambi.

    3. Bapak Prof. Su’aidi Asyari, M.A.,Ph.D, Bapak Dr. H. Hidayat, M.Pd, dan Ibu

    Dr. Hj. Fadlilah, M.Pd, masing-masing sebagai Wakil Rektor I, II, dan III

    UIN Sulthan Thaha Saifuddin jambi.

    4. Bapak Dr. Abdul Ghaffar, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi

    Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    5. Bapak Dr. Masiyan, M.Ag, Bapak H. Abdullah Firdaus, Lc.,M.A.,Ph.D, dan

    Bapak Dr. Pirhat Abbas, M.Ag, masing-masing selaku Wakil Dekan I, II, dan

  • x

    x

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    A. Alfabet

    Arab Indonesia Arab Indonesia

    t ط ` ا ẓ ظ B ب ` ع T ت gh غ Ts ث f ف J ج q ق ḥ ح k ك Kh خ l ل d د m م dz ذ n ن r ر w و z ز h ه s س ؍ ء sy ش y ى ṣ ص ḍ ض

    B. Vokal dan Harkat

    Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia

    ī ِاى Ā اَ A اَ

    aw ا و Á ا ى U اَ

    ay ا ى Ū ا و I اَِ

  • xi

    xi

    C. Ta’ Marbutah

    Transliterasi untuk ta’ marbutah ini ada dua macam:

    1. Ta’ Marbutah yang mati atau mendapat harakat sukun, maka transliterasinya

    adalah/h/.

    contoh:

    Arab Indonesia Salãh صالة Mir’ãh مراة

    2. Ta’Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah,

    maka transliterasinya adalah/t/.

    Contoh:

    Arab Indonesia Wizãrat al-Tarbiyah وزارةَالتبية

    الزمنَمراة Mir’ãt al-zaman

    3. Ta’ Marbutah yang berharakat tanwin maka transliterasinya adalah /tan/tin/tun.

    Contoh:

    Arab Indonesia

    Fajannatan فجئة

  • xii

    xii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i NOTA DINAS ................................................................................................... ii SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .................................. iii PENGESAHAN ................................................................................................ iv MOTTO ............................................................................................................ v ABSTRAK ........................................................................................................ vi PERSEMBAHAN ............................................................................................. vii KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... x DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................. 7 C. Batasan Masalah................................................................................ 7 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................................... 7 E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 8 F. Metodologi Penelitian ....................................................................... 9 G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12

    BAB II PEMBAGIAN HARTA WARISAN

    A. Pembagian Harta Warisan Adat Minangkabau ................................. 14 B. Hukum Waris Islam .......................................................................... 17 C. Hukum Waris di Indonesia................................................................ 30

    BAB III BIOGRAFI BUYA HAMKA

    A. Riwayat Hidup Buya Hamka ............................................................ 34 B. Riwayat Pendidikan Buya Hamka .................................................... 35 C. Sosial dan Politik Buya Hamka ........................................................ 35 D. Karya-Karya Buya Hamka ................................................................ 36 E. Karakteristik Tafsir Al-Azhar ........................................................... 40

    1. Bentuk Tafsir Al-Azhar................................................................. 40 2. Metode Tafsir Al-Azhar ................................................................ 41 3. Corak Tafsir Al-Azhar .................................................................. 42

    BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN BUYA HAMKA TENTANG HARTA WARISAN ADAT MINANGKABAU TERHADAP SURAH AN-NISA’ AYAT 11

    A. Bagian Untuk Anak ........................................................................... 44 B. Bagian Untuk Ibu dan Bapak ............................................................ 47

  • xiii

    xiii

    C. Bagian Untuk Suami atau Istri .......................................................... 50 D. Bagian Untuk Kalalah ...................................................................... 52

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ....................................................................................... 67 B. Saran-saran ........................................................................................ 68 C. Kata Penutup ..................................................................................... 69

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 70 CURRICULUM VITAE ............................................................................. 71

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Al-Qur’an adalah kitab agung dan suci yang dikirimkan Allah kepada

    umat manusia untuk memenuhi segala kebutuhan, baik jasmani maupun rohani.1

    Bagi umat Islam Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi dasar dan

    pedoman dalam menjalani kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari umat Islam

    umumnya telah melakukan praktik resepsi terhadap Al-Qur’an, baik dalam

    bentuk membaca, memahami dan mengamalkan, maupun dalam bentuk sosio-

    kultural. Itu semua karena umat Islam mempunyai belief (keyakinan) bahwa

    berinteraksi dengan Al-Qur’an secara maksimal akan memperoleh kebahagian

    dunia akhirat.2

    Adat diartikan sebagai kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah

    terbentuk baik sebelum maupun sesudah adanya masyarakat.3 Istilah adat berasal

    dari bahasa Arab “Adah” yang merujuk pada ragam perbuatan yang dilakukan

    secara berulang-ulang. Istilah adat biasanya digabungkan dengan istilah lain,

    yaitu istilah hukum, sehingga terjemahan istilah barunya adalah hukum adat.

    Hukum adat adalah aturan-aturan hidup yang berupa aturan-aturan tidak tertulis

    yang hidup di dalam kesadaran hukum dari rakyat yang memakainya.

    Hukum adat yang sifatnya tidak tertulis menjadikan hukum adat itu

    sifatnya dinamis sehingga mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan yang

    dibutuhkan zaman. Hukum waris Minangkabau yang merupakan bahagian dari

    hukum adat yang banyak seluk beluknya karena pada satu pihak hukum waris

    Minangkabau merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib susunan menurut

    1 Zubeyr Tekin, Kemuliaan Kitab Suci Al-Qur’an, (Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2007),

    1. 2 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, cet. II, (Yogjakarta : Idea Press

    Yogyakarta, 2015), 103. 3 I Gede A.B. Wranata, Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), 3.

  • 2

    hukum ibu, akan tetapi pada pihak lain ia mempunyai sangkut paut dan

    dipengaruhi oleh hukum syarak (agama), sesuai dengan tertib susunan menurut

    hukum ibu, maka ahli waris menurut hukum adat Minangkabau dihitung dari

    garis ibu. Pengertian Ahli waris ini akan muncul apabila telah ada harta

    peninggalan yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal dunia.4

    Minangkabau adalah suatu tempat di Indonesia, dimana orang dapat

    menjumpai masyarakat yang diatur menurut tertib hukum ibu, mulai dari

    lingkungan hidup yang kecil, dari keluarga sampai kepada lingkungan hidup yang

    paling atas yaitu sebuah nagari sehingga dapat dilihat bahwa faktor turunan darah

    menurut garis ibu merupakan faktor yang mengatur organisasi masyarakatnya,

    walaupun dalam lingkungan yang terakhir disebutkan yaitu dalam nagari kita

    masih menjumpai adanya faktor pengikat lain. Kehidupan yang diatur menurut

    tertib hukum ibu itulah yang disebut dalam istilah sehari-hari sebagai kehidupan

    menurut adat.5

    Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Hamka

    adalah seorang ulama tafsir Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat. Hamka

    merupakan akronim dari namanya sendiri dan sebutan buya di depan namanya

    merupakan panggilan buat orang Minangkabau yang diambil dari bahasa Arab

    “Abi atau Abuya” yang berarti ayah kami atau seseorang yang sangat dihormati.

    Buya hamka dilahirkan di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada

    tahun 1908 dan beliau adalah putra dari Abdul Karim bin Amrullah yang dikenal

    sebagai Haji Rasul dan pelopor Gerakan Islah di Minangkabau.6

    Berbekal ilmu pengetahuan tentang tulis-menulis, Hamka mampu

    menghasilkan banyak karya, terutama dalam bidang sastra (novel dan cerpen),

    4Ria Agustar, Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan atas Harta Pencarian dalam

    Lingkungan Adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, Tesis, (Semarang : Universitas Diponegoro Semarang, 2008), 2.

    5Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1997), 1-2.

    6Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2013), 164-165.

  • 3

    misalnya Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah,

    Merantau ke Deli dan agama (tafsir) yaitu Tafsir Al-Azhar. Bahkan ditegaskan

    oleh Hamka sendiri, bahwa Tafsir Al-Azhar ditulis di penjara.7

    Tafsir Al-Azhar telah diakui banyak kalangan sebagai karya monumental

    Hamka. Ia mencoba menghubungkan sejarah Islam modern dengan studi Al-

    Qur’an dan berusaha melangkah keluar dari penafsiran-penafsiran tradisional.8

    Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara

    keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum

    waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Sebab

    semua manusia akan menglami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

    Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum

    seseorang di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-

    hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.9

    Salah satu sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Qur’an sebagai

    pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil-hasil ijtihad

    atau upaya para ahli hukum Islam terkemuka berkaitan dengan hal tersebut, di

    bawah ini beberapa ayat suci Al-Qur’an yang merupakan sendi utama pengaturan

    warisan dalam Islam. Ayat-Ayat tersebut secara langsung menegaskan perihal

    pembagian harta warisan di dalam Al-Qur’an.10

    Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur

    dan adil, kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki- laki maupun

    perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak

    pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli

    warisnya dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki

    dan perempuan, besar atau kecil. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara

    7 Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer., 167. 8 Ibid. 9 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung : Refika Aditama ,2007), 27. 10Andreas Pangoloan, Analisis Hukum tentang Pembagian Harta Warisan orang Hilang

    (mafqud) menurut Hukum Islam, Skripsi, (Fakultas Hukum Unpas, 2016), 3.

  • 4

    detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan

    hak seseorang pun. Bagian yang harus di terima semuanya di jelaskan sesuai

    dengan kedudukan nasab terhadap pewaris. Sebagaimana termaktub dalam surah

    An-Nisa ayat 11 :

    “Allah mensyari’atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara,maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (tentang) orangtua dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana.”11(QS: An-Nisa ayat 11).

    11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : Diponegoro, 2013), 78.

  • 5

    Asbabun nuzul ayat di atas adalah ketika Umrah binti Hazm istri Sa’ad

    ibn al-Rabi menghadap kepada Rasulullah SAW lalu berkata seraya menunjuk

    kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai Rasulullah, kedua orang ini adalah

    putri Sa’ad ibn Al-Rabi, Ayah mereka gugur di medan perang Uhud sehingga

    mereka kini yatim, paman mereka mengambil harta mereka tanpa menyisakan

    sedikit pun. Kedua putriku ini tentu sukar mendapat jodoh jika tidak memiliki

    harta. Rasulullah SAW bersabda “Allah SWT akan memutuskan permasalahan

    itu”. Maka turunlah ayat tersebut (An-Nisa ayat 11) yang menjelaskan tentang

    hukum warisan.12

    Ayat ini sudah ditegaskan bagian-bagian tertentu, baik bagi laki-laki

    maupun perempuan sesuai dengan kedudukan masing-masing terhadap orang

    yang meninggalkan harta. Ini adalah ayat qath’i tsubut artinya sudah jelas

    sumbernya yaitu Al-Quran dan hadis mutawwatir. Sedangkan Qath’i dilalah

    adalah ayat yang secara jelas menunjukkan makna tertentu tidak membutuhkan

    penafsiran lain dalam memahami ayat tersebut.

    Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk berlaku adil terhadap

    mereka, karena dahulu orang-orang jahiliyah memberikan harta pusaka hanya

    untuk ahli waris laki-laki saja. Sedangkan ahli waris perempuan tidak

    mendapatkan sesuatupun darinya. Maka Allah memerintahkan berlaku adil di

    antara sesama mereka (para ahli waris) dalam pembagian pokok-pokok harta

    pusaka. Tetapi bagian jenis ini dibedakan oleh Allah SWT, Ia menjadikan bagian

    anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan dikarenakan seorang

    lelaki dituntut kewajiban memberi nafkah dan beban biaya lainnya. Jerih payah

    dalam berniaga dan berusaha serta menanggung semua hal yang berat. Maka

    sangatlah sesuai bila ia diberi dua kali lipat dari apa yang diterima perempuan.

    Ayat itu juga mengingatkan jangan coba-coba melaksanakan pembagian

    harta berdasarkan pertimbangan manfaat atau peranan yang dimainkan oleh

    12 Imam Suyuthi, Asbabun Nuzul, terj. Miftahul Huda, (Solo : Insan Kamil, 2018), 148.

  • 6

    masing-masing ahli waris berdasarkan pertimbangan manusia, tetapi hendaknya

    sesuai dengan ketetapan Allah.

    Berkaitan dengan ayat tersebut Rasullullah juga memerintahkan untuk

    membagikan harta menurut kitab Al-Qur’an :

    عَ َاَّللََّ اِلَب ْْي َع ِنَْبِنَع بَّاِسَر ِضي َِاْسم َاْلم ع ل ْيِهَو س لَّم َق ال َ َأ لنَِّب َص لَّىَاَّللَّ ْنه َق ال َع ْنَو ج لََّ َع ل ىَِكت اِبَاَّللَِّ َرواهَمسلما ْهِلَاْلف ر اِئض

    “Dari Ibn Abbas r.a berkata, Rasullullah SAW bersabda : Bagikanlah hartamu antara pewaris zawil furudh (pemilih bagian tertentu) menurut kitabullah ( Al-Qur’an)”. (H.R.Muslim) Hadis di atas menjelaskan betapa pentingnya Al-Qur’an sebagai sumber

    dari hukum waris, namun demikian masih terdapat masalah masalah mengenai

    hukum waris yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an sehingga menimbulkan

    perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum Fiqh.

    Dalam surah An-Nisa ayat 11 di atas mengatakan bahwa bagian satu

    orang anak laki-laki sama dengan 2 kali bagian anak perempuan atau sama

    dengan bagian dua orang anak perempuan. Orang-orang yang tidak menyenangi

    Islam mengemukakan bantahannya “mengapa laki-laki mendapat dua kali bagian

    perempuan, mengapa tidak disamakan saja ?”.13

    Dalam kehidupan sehari-hari sering didengar dari masyarakat bahwa jika

    seseorang masyarakat Minangkabau meninggal dunia, maka yang lebih berhak

    untuk mendapatkan harta warisan adalah para ponakannya. Lalu bagaimana

    tela’ah Buya Hamka tentang pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau

    tersebut? Karena Buya Hamka sendiri berasal dari tanah kelahiran Minang.

    Apakah Buya Hamka menyepakati dengan hukum adat yang sudah melekat pada

    13 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, (Singapura : Kerjaya Printing

    Industries Pte Ltd, 2013), 1115.

  • 7

    masyarakat Minangkabau ataukah memliki pendapat penafsiran yang berlawanan

    dengan adat tersebut.

    Dari pemaparan latar belakang di atas, penulis bermaksud mengkaji lebih

    jauh persoalan harta warisan dalam skripsi yang berjudul “PEMBAGIAN

    HARTA WARISAN DALAM ADAT MINANGKABAU (Tela’ah

    Penafsiran Buya HAMKA Pada Surah An-Nisa’ Ayat 11-12)”.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau?

    2. Bagaimana penafsiran buya Hamka dalam surah An-Nisa ayat 11-12?

    3. Bagaimana pembagian harta warisan adat Minangkabau menurut Buya

    Hamka?

    C. Batasan Masalah

    Penelitian ini hanya membahas tentang pembagian harta warisan

    dalam adat Minangkabau menurut penafsiran buya Hamka dalam surah An-

    Nisa’ ayat 11-12.

    D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan penelitian

    a. Untuk mengetahui bagaimana pembagian harta warisan dalam adat

    Minangkabau.

    b. Untuk mengetahui penafsiran buya Hamka tentang ayat 11 surah An-

    Nisa.

    c. Untuk mengetahui tela’ah Buya Hamka tentang pembagian harta

    warisan dalam adat Minangkabau.

    2. Kegunaan Penelitian

  • 8

    a. Memberikan wawasan yang lebih luas dalam memperkaya khazanah

    keilmuaan kajian Al-Quran tentang kajian pustaka terkait pembagian

    harta warisan dalam adat Minangkabau.

    b. Memberikan kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN STS Jambi

    dalam khazanah studi Al-Quran dan kajian tafsir dengan mengunakan

    metode (library research).

    c. Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Starata Satu

    (S.I) pada jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan

    Study Agama.

    E. Tinjauan Pustaka

    Berdasarkan penelusuran terhadap karya penelitian sebelumnya, ada

    beberapa literatur yang membahas tentang harta warisan:

    Andreas Pangoloan, dalam skripsinya “Analisis hukum tentang

    pembagian harta warisan orang hilang (mafqud) menurut hukum islam”. Skripsi

    ini menjelaskan konteks kewarisan seseorang yang hilang (mafqud) dapat

    berperan sebagai pewaris bila dalam kepergiannya meninggalkan harta, sementara

    ahli lain bermaksud memanfaatkannya dan dapat juga bertindak sebagi ahli waris,

    apabila di antara saudaranya meninggal dunia, dalam hal ini para ulama sepakat

    menetapkan bahwa harta dari pewaris yang hilang ditahan dahulu sampai ada

    berita yang jelas.14 Dalam skripsi tersebut membahas tentang penafsiran ulama

    secara umum, tidak adanya tela’ah atas penafsiran Buya Hamka.

    Adapun karya lain, Komari “Eksistensi hukum waris di Indonesia : antara

    adat dan syari’at”. Skripsi tersebut menjelaskan tentang pelaksanaan hukum

    waris di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh tiga sistem hukum, yaitu hukum

    Islam, hukum Adat, dan hukum Barat. Pada masa awal kedatangan Islam di

    Indonesia, hukum Islam sangat mendominasi pelaksanaan hukum waris yang

    14 Andreas Pangoloan, Analisis Hukum tentang Pembagian Harta Warisan orang Hilang (mafqud) menurut Hukum Islam, Skripsi, (Fakultas Hukum Unpad, 2016), 57.

  • 9

    berkaitan dengan Adat-istiadat dan budaya masyarakat muslim. Memasuki masa

    penjajahan, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai menerapkan kebijakan

    hukum Barat bagi bangsa Eropa dan Timur Asing. Sedangkan bagi pribumi

    diberlakukan kombinasi hukum Islam dan hukum Adat. Memasuki fase

    kemerdekaan, politik hukum berubah seiring dengan kebijakan kodifikasi dan

    unifikasi hukum dengan cara memasukkan hukum Islam ke dalam sistem hukum

    positif di Indonesia, termasuk dalam hal pemberlakuan hukum waris. Namun

    yang tampak saat ini adalah pelaksanaan hukum waris di Indonesia lebih

    bercirikan kombinasi antara Adat dan syariat.15 Dalam penelitian tersebut lebih

    memfokuskan kepada pembagian harta warisan secara hukum Islam dan Adat,

    bukan dengan ilmu tafsir.

    Sementara dalam Tesis Irlia Rozalin “pembagian harta warisan dalam

    masyarakat Minangkabau di kecamatan medan area kelurahan tegal sari III Kota

    Medan Indonesia”. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa hukum waris

    mengenal 3 (tiga) sistem kekerabatan yaitu sistem kekerabatan matrilineal,

    patrilineal dan parental. Masyarakat Minangkabau di Medan dalam pembagian

    warisan pada masyarakat Minangkabau tidak lagi menggunakan sistem pewarisan

    kolektif tetapi tanpa sadar menggunakan sistem pewarisan mayorat. Pengaruh

    hukum Islam sangat kental dalam bidang pewarisan masyarakat Minangkabau,

    walaupun cara pewarisan antara hukum adat Minangkabau yang berdasarkan

    garis keturunan ibu sangat bertolak belakang dengan sistem kewarisan secara

    hukum Islam yang pembagian warisannya berdasarkan garis kebapakan atau

    patrilineal.16

    Beberapa karya yang telah disebutkan di atas, pada karya yang berkenaan

    dengan hukum waris di Indonesia secara umum, belum ada di antara kajian

    15Komari, Eksistensi Hukum Waris di Indonesia : antara Adat dan Syari’at, Asy-Syari’ah

    Vol.17, No.2. Agustus 2015, 157-160. 16 Irlia Rozalin, Pembagian Harta Warisan dalam Masyarakat Minangkabau di Kecamatan

    Medan area Kelurahan Tegal sari III Kota Medan, Tesis, (Medan : Fakultas Hukum USU, 2016), 53-55.

  • 10

    tersebut yang membahas tentang pembagain harta warisan dalam adat

    Minangkabau (tela’ah penafsiran Buya Hamka surah An-Nisa ayat 11-12).

    F. Metode Penelitian

    Metode penelitian ini adalah metode tahlili (analisis). Penelitian ini

    memiliki metode penulisan penelitian sebagai berikut :

    1. Pendekatan Penelitian

    Studi ini merupakan penelitian pustaka (Library Research), yaitu

    suatu penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama

    yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah

    ditentukan oleh para ahli terdahulu dengan mengikuti perkembangan

    penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas

    mengenai topik yang dipilih memanfaatkan data sekunder serta menghindari

    duplikasi penelitian.

    2. Sumber dan Jenis data

    Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, oleh karena itu sumber

    data dalam penelitian ini adalah data-data literature, dokumentasi, atau

    berbagai sumber tulis lainnya seperti buku ilmiah, majalah ilmiah, sumber

    arsip, dokumentasi pribadi, atau berbagai artikel.17

    Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dapat penulis

    klasifikasikan dalam dua jenis, yaitu :

    a. Data primer

    Data primer merupakan data literature yang secara langsung

    memiliki keterkaitan dan hubungan langsung dengan topik bahasan

    penelitian.

    17Moh. Arifullah, et. Al. , Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin

    UIN STS Jambi, (Jambi : UIN STS Jambi, 2016), 58.

  • 11

    Sumber data primer dalam penelitian ini adalah tafsir Al-Azhar

    karya Hamka.

    b. Data Sekunder

    Adapun Sumber data sekunder adalah data yang materinya secara

    ilmiah tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.

    Data sekunder merupakan buku penunjang pada dasarnya sama dengan

    buku utama akan tetapi dalam buku penunjang ini bukan merupakan

    faktor utama. Sumber data sekunder pada penelitian ini berupa, karya

    ilmiah, ensiklopedia, artikel-artikel dan buku-buku yang mempunyai

    keterkaitan dengan penelitian ini.Dalam penelitian dan penulisan skripsi

    ini meliputi bahan-bahan bacaan yang ada hubungannya dengan masalah

    kewarisan islam, dan literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan

    masalah yang akan diteliti.

    3. Tekhnik Pengumpulan Data

    Penelitian ini mengunakan pengumpulan data atau dokumentasi yang

    dimaksud adalah berbagai karya literatul studi/agama dan studi

    keislaman18dan juga studi tokoh yang memiliki keterkaitan dengan bahasan

    penelitian. Melihat penafsiran Hamka tentang ayat yang mengisyaratkan

    tentang pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau di dalam tafsir

    Al-Azhar.

    Menela’ah isi penafsirannya tentang ayat tersebut untuk kemudian

    menerapkannya sebagai konsep yang ditawarkan Hamka dalam masalah ini.

    Meninjau penafsiran Hamka tentang ayat-ayat yang terkait dengan konsep

    tersebut.

    Pengumpulan data documenter dilakukan melalui penghimpunan data

    tentang pokok persoalan yang akan diteliti. Data yang dikumpul di tela’ah

    18Moh .Arifullah, et. Al, Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin

    UIN STS Jambi., 58.

  • 12

    secara literal,kemudian dideskripsikan untuk seterusnya dianalisis yang tidak

    menutup adanya kemungkinan proses kritik di dalamnya.

    4. Metode analisis data

    Metode analisis data adalah kegiatan untuk memanfaatkan data

    sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ke-tidak benaran.19 Karena

    obyek studi ini adalah ayat-ayat Al-Qur'an, maka pendekatan yang dipilih di

    dalamnya adalah pendekatan ilmu tafsir.

    Penelitian ini mencakup pemikiran tokoh dalam karya-karyanya,

    sehingga membutuhkan kejelian dalam menganalisa karya yang mereka tulis

    khususnya tafsir yang penulis gunakan dalam penelitian ini. Sebuah karya

    yang ditulis seseorang pasti mempunyai hubungan erat dengan latar belakang

    pendidikan, lingkungan, dan kondisi sosial yang melingkupinya saat itu.

    Untuk itu penulis menggunakan metode deskripsi dimana peneliti

    menguraikan secara teratur konsepsi pemikiran dari tokoh, termasuk di

    dalamnya adalah biografi dari tokoh tersebut.

    Dalam skripsi ini, yang digunakan adalah metode tahlili, yang

    menjelaskan ayat, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara memaparkan

    segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta

    menerangkan makna-makna yang terkandung di dalamnya.

    G. Sistematika penulisan

    Untuk mensistematisasi penulisan dan menjawab pertanyan dalam

    penelitian ini,maka penelitian merujuk pada tekhnik penulisan yang disepakati

    pada fakultas Ushuluddin UIN STS Jambi.20 Peneletian ini akan dibagi dalam

    beberapa bab, yaitu :

    19 Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991),

    106. 20Moh. Arifullah, et, Al. Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin

    UIN STS Jambi., 58.

  • 13

    Bab I, Membahas tentang latar belakang masalah, permasalahan, batasan

    masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan

    sistematika penulisan.

    Bab II, Menjelaskan tentang pembagian harta warisan dalam adat

    Minangkabau dan hukum waris Islam.

    Bab III, Berisi tentang biografi Hamka; riwayat hidup, riwayat

    pendidikan, sosial dan politiknya serta karya-karyanya. Karakteristik Tafsir Al-

    Azhar ; bentuk tafsir, metodologi tafsir dan corak tafsir.

    Bab IV, Merupakan bahasan inti,yang diuraikan untuk menjelaskan

    penafsiran buya hamka dalam tafsir Al-Azhar tentang harta warisan dalam adat

    Minangkabau terhadap surah An-Nisa’ ayat 11-12 dan ayat-ayat harta warisan

    dalam tafsir Al-Azhar.

    Bab V, Merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang

    kesimpulan akhir penelitian,saran-saran penulis berkaitan dengan pembagian

    harta warisan dalam adat minangkabau. Ini adalah langkah akhir penulis dalam

    melakukan penelitian, di mana dalam bab ini penulis berharap mampu

    memberikan kontribusi yang berarti berupa kesimpulan terhadap penelitian serta

    saran-saran yang memberikan dorongan dan inspirasi bagi peneliti berikutnya.

  • 14

    BAB II

    PEMBAGIAN HARTA WARISAN

    D. Pembagian Harta Warisan Adat Minangkabau

    Minangkabau dengan kebudayaannya telah ada sebelum datangnya

    Islam, bahkan sebelum Hindu-Budha memasuki wilayah Nusantara.21

    Sebelum datang pengaruh dari luar, kebudayaan Minangkabau telah mencapai

    puncaknya yang terintegrasi dengan kepribadian yang kokoh.

    Pewarisan harta di Minangkabau terbagi atas :22

    1. Pewarisan Harta Pusaka

    Pewarisan harta pusaka adalah harta yang dikuasai oleh kaum

    secara kolektif, sedangkan ahli waris adalah anggota kaum secara kolektif

    pula, maka kematian seseorang dalam kaum tidak menimbulkan masalah.

    Harta tetap tinggal pada rumah yang ditempati oleh kaum untuk

    dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota kaum itu.

    Pewarisan harta atau peranan pengurusan atas harta pusaka hanya

    menyangkut harta pusaka tinggi yang murni, dengan arti belum dimasuki

    unsur harta pencarian yang kemudian menjadi harta pusaka rendah.

    Timbulnya kesukaran ini adalah karena adanya pemikiran bahwa harta

    pencarian suatu kaum atau rumah, hanya berhak dilanjutkan oleh

    keturunan dalam rumah itu dan tidak dapat beralih ke rumah lain

    walaupun antara kedua rumah itu terlingkup dalam pengertian satu kaum

    dalam artian yang lebih luas.

    Harta pusaka ada dua, Yaitu : pusaka rendah dan tinggi

    a. Pusaka rendah yaitu termasuk harta warisan dalam kompilasi hukum

    Islam karena ia dimiliki secara Milk al-Raqabah.

    21 Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, (Padang : Sri Darma,

    1971), 11. 22 Irlia Rozalin, Pembagian Harta Warisan Dalam Adat Minangkabau di Kecamatan

    Medan Arean Kelurahan Tegal Sari III Kota Medan, Tesis, (Medan : Fakultas Hukum USU, 2016), 33-40.

  • 15

    b. Pusaka tinggi yaitu harta pusaka yang tidak bisa digolongkan ke dalam

    harta warisan.23

    2. Pewarisan Harta Bawaan

    Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh suami ke rumah

    istrinya pada waktu perkawinan. Harta bawaan dapat berbentuk hasil

    pencarian sendiri yang didapat menjelang berlangsungnya perkawinan

    atau hibah yang diterimanya dalam massa perkawinan dan harta kaum

    dalam bentuk hak pakai genngam beruntuk yang telah berada di tangan

    suami menjelang kawin atau didapatnya hak tersebut dalam masa

    perkawinan.

    Kedua macam harta bawaan tersebut yang timbul di luar usaha

    suami istri adalah hak penuh si suami, maka tidak ada hak istri di

    dalamnya. Bila suami meninggal, maka yang menyangkut harta bawaan

    berlakulah ucapan adat “bawaan kembali, tepatan tinggal”.

    Harta bawaan kembali adalah pulangnya harta itu kembali ke

    asalnya yaitu kaum dari suami. Kembalinya harta yang berasal dari harta

    pusaka adalah jelas karena hubungan suami dengan harta pusaka itu hanya

    dalam bentuk hak pakai atau pinjaman dari kaum.

    3. Pewarisan Harta Tepatan

    Maksud harta tepatan atau harta dapatan adalah harta yang telah

    ada pada istri pada waktu suami kawin dengan istri itu. Harta yang

    didapati oleh suami di rumah istrinya dari segi asal-usulnya ada dua

    kemungkinan yaitu : harta pusaka yang ada di rumah itu dan harta hasil

    usahanya sendiri.

    Kedua bentuk harta itu adalah untuk anak-anaknya kalau ia

    meninggal dunia. Perbedaannya adalah harta hasil usahanya untuk anak-

    anaknya saja, sedangkan harta pusaka di samping hak anak-anaknya juga

    merupakan hak bagi saudara-saudaranya karena harta itu diterimanya

    bersama dengan saudara-saudaranya.

    23

    http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/view/8094. diakses pada hari Rabu tgl 26 Juni 2019, Pukul 20.30.

    http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/view/8094

  • 16

    Bila si suami meninggal dunia, maka harta tersebut tidak akan

    beralih keluar dari rumah istrinya. Kaum si suami tidak berhaka sama

    sekali atass kedua bentuk harta itu. Apa yang dilakukan selama hidup

    hanyalah mengusahakan harta itu yang hasilnya telah dimanfaatkan

    bersama dengan keluarga itu. Suami sebagai pendatang, karena

    kematiannya itu tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap harta yang

    sudah ada di rumah si istri waktu ia datang ke sana.

    4. Pewarisan Harta Pencarian

    Harta pencarian yang didapat seseorang dipergunakan untuk

    menambah harta pusaka yang sudah ada, dengan demikian, harta

    pencarian bergabung dengan harta pusaka bbila yang mendapatkannya

    sudah tidak ada. Meenggabungkannya dengan harta pusaka dengan

    sendirinya diwarisi oleh generasi ponakan.

    Perubahan berlaku setelah kuatnya pengaruh hukum Islam yang

    menuntut tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya. Dengan adanya

    perubahan ini, maka harta pencarian ayah turun kepada anaknya. Proses

    penentuan harta pencarian yang akan diturunkan kepada sang anak

    diperlakukan pemikiran, terutama tentang kemurnian harta pencarian itu.

    Adakalanya harta pencarian itu milik kaum, namum adakalanya pula harta

    pencarian itu merupakan hasil usaha yang modalnya dari harta kaum, jadi

    tidak dapat dikatakan bahwa semuanya adalah harta pencarian secara

    murni.

    Dalam keadaan demikian tidak mungkin seluruh harta pencarian

    itu diwarisi oleh anak. Dalam bentuk yang seperti ini maka berlaku cara

    pembagian menurut alur dan yang pantas dilakukan. Tidak adil bila semua

    harta diambil oleh anak.

    Bila harta bercampur langsung dengan harta pusaka, maka

    masalahnya lebih rumit dibandingkan dengan harta pencarian yang di

    dalamnya hanya terdapat unsur harta kaum. Kerumitan itu disebabkan oleh

    hak ponakan pasti terdapat di dalamnya, hanya kurang jelas dalam

    pemisahan harta pencarian dari harta kaum. Oleh karena tidak adanya

  • 17

    kepastian tentang kepemilikan harta tersebut sering memunculkan

    sengketa yang berakhir di pengadilan antara anak yang ditinggalkan dan

    ponakan, karena ponakan menganggap harta itu adalah harta pusaka kaum,

    sedangkan si anak menganggap harta itu adalah harta pencarian ayahnya.

    Penyelesaian dilakukan dengan cara pembuktian asal-usul harta tersebut.

    Pembagian harta waris ini ditentukan dengan memabagikan harta

    pewaris kepada ahli waris menurut hukum faraidh yang berlaku dalam

    agama Islam.

    5. Hibah

    Hibah adalah istilah hukum Islam yang terpakai secara luas dan

    menjadi istilah hukum dalam hukum adat Minangkabau. Dalam istilah

    hukum Islam, hibah berarti penyerahan/pengalihan hak milik kepada

    orang lain selagi hidup yang mempunyai hak tanpa ada suatu imbalan.24

    Hibah yang berlaku di Minangkabau adalah hibah yang terdapat dalam

    hukum Islam. Hal ini berarti bahwa hibah yang telah melembaga dalam

    lingkungan adat Minangkabau adalah pengaruh Islam, yang dalam

    pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan yang berlaku di

    Minangkabau. Harta ini bisa diwariskan kepada anak cucu dari pewaris.

    Hibah dalam adat Minangkabau mengandung beberapa prinsip,

    yaitu :

    a. seorang laki-laki hanya bertanggung jawab terhadap lingkungan

    ponakannya yang sewaktu-waktu akan menggantikan peranannya

    dalam suatu kerabat matrilineal.

    b. harta warisan itu adalah kepunyaan kaum dan hanya dapat digunakan

    untuk kepentingan anggota kaum dan tidak dapat beralih keluar

    lingkungan kaum.

    E. Hukum Waris Islam

    1. Pengertian Hukum Waris Islam

    24 Said Sabiq, Fiqh As-Sunnah III, (Beirut : Daru Al-Kitabi Al-Arabi, 1971), 535.

  • 18

    Secara bahasa, kata waratsa adalah asal kata kewarisan yang

    digunakan dalam Al-Qur’an. Kata waratsa memiliki beberapa arti25 :

    Pertama, mengganti, sebagaimana dalam QS Al-Naml ayat 16 :

    “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia (Sulaiman) berkata “wahai manusia! Kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sungguh, (semua) ini benar-benar karunia yang nyata”. 26

    Maksud kata mewarisi dalam ayat tersebut adalah Nabi Sulaiman

    menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud, serta mewarisi ilmu

    pengetahuannya.

    Kedua, makna waratsa adalah memberi. Sebagaimana dalam QS.

    Al-Zumar ayat 74 :

    “Dan mereka berkata segala puji bagi Allah telah memenuhi janjinya kepada kami dan telah memberikan tempat ini kepada kami sedang kami (diperkenankan) menempati surga di mana saja yang kami kehendaki. Maka (surga itulah) sebaik-baik alasan bagi orang yang beramal”.27

    Ketiga, makna waratsa adalah mewarisi. Sebagaimana yang

    termaktub di dalam QS. Maryam ayat 6 :

    “Yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari kelurga Ya’qub dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridhoi”.28

    25 Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), 281. 2626 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : Diponegoro, 2013),

    378. 27 Ibid., 466. 28 Ibid., 305.

  • 19

    Secara terminologis, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang

    mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris,

    menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian

    masing-masing.

    Menurut Prof. Muhammad Amin Suma, hukum kewarisan Islam

    yaitu hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan

    pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris,

    menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan

    pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan.29 Sedangkan menurut M.

    Idris Ramulyo, warisah atau hukum waris adalah hukum yang mengatur

    segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta

    peninggalan, serta pembagian yang lazim disebut sebagai hukum faraidh.30

    Ilmu waris juga disebut sebagai ilmu faraidh31, diambil dari kata

    mafrudha yang terdapat dalam QS An-Nisa ayat 7 :

    “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibi, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.32

    Mafrudha pada ayat di atas diartikan sebagai bagian yang telah

    ditetapkan (bagian yang sudah dipastikan kadarnya). Menurut Iman

    Takiyuddin Abi Bakar bin Muhammad Al-Husain, faraidh adalah bagian

    yang telah ditentukan oleh syariat kepada yang berhak menerimanya.33

    29 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta :

    Rajagrafindo Persada, 2004), 108. 30 M. Idris Ramulyo, Bebrapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan

    Agama, (Jakarta : In Hill Co, 1991), 42. 31 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,

    2015), 2. 32 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 78. 33 Imam Takiyuddin Abi Bakar bin Muhamad Al-Husain, Kifayah Al-Akhyar, Juz 2,

    (Surabaya : Maktabah Iqbal Haji Ibrahim), 3.

  • 20

    Sedangkan menurut Al-Qalyubi dan Al-‘Umairah, faraidh adalah ilmu

    tentang masalah bagian kewarisan.34

    Dari beberapa defenisi di atas, maka secara singkat ilmu faraidh

    adalah atau ilmu waris adalah ilmu yang mengatur peralihan harta orang

    yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berdasarkan

    ketentuan syariat Islam (Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ ulama, dan ijtihad

    ulama).35

    2. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

    Asas-asas hukum kewarisan Islam yaitu :

    a. Asas Ijbari

    Yaitu peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal

    kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak

    Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan

    dari ahli warisnya.

    b. Asas Bilateral

    Yaitu harta warisan beralih melalui dua arah. Hal ini berarti

    bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak

    garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak

    kerabat garis keturunan perempuan.

    c. Asas Individual

    Yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi yag dimiliki secraa

    perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara

    tersendiri, tanpa terika dengan ahli waris yang lain.

    d. Asas Keadilan Berimbang

    yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan

    antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

    Besarnya bagian laki-laki didasarkan pada kewajiban yang

    dibebankan kepada laki-laki (suami/ayah) yang harus membayar mahar

    34 Al-Qalyubi dan Al-‘Umarairah, Hasyiatani ‘ala Minhajit Thalibin, Juz 3, (Beirut : Dar Al-Fikr), 134.

    35 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia., 3.

  • 21

    (mas kawin) dalam perkawinan, membiayai nafkah kehidupan rumah

    tangga dan biaya pendidikan anak-aak seperti yang diamanatkan Al-

    Qur’an dalam surah Al-Baqarah ayat 233:

    “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi “Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.36 (QS. Al-Baqarah 233)

    Sedangkan kaum perempuan (istri/ibu), secara yuridis formal

    tidak dibebani kewajiban untuk membiayai kehidupan rumah tangga

    apalagi pembayaran mas kawin. Yang ada hanyalah menerima hak

    suami/ayah.

    e. Asas Semata Akibat Kematian

    yaitu harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain

    dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup.

    f. Asas Ketulusan (Integrity)

    36 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 37.

  • 22

    yaitu dalam melaksanakan hukum kewarisan dalam Islam,

    diperlukan ketulusan hati untuk menaatinya karena terikat dengan aturan

    yang diyakini kebenarannya.

    g. Asas Penghambaan Diri (Ta’abbudi)

    maksud asas ini adalah melaksanakan pembagian waris secara

    hukum Islam merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.

    h. Asas Hak-hak Kebendaan (Huququl Maliyah)

    Maksudnya adalah hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan

    yang dapat diwariskan kepada ahli waris. Sedangkan hak dan kewajiban

    dalam lapangan hukum hukum kekeluargaan atau hak-hak dan

    kewajiban yang bersifat pribadi, seperti suami atau istri, jabatan,

    keahlian dalam suatu ilmu dan semacamnya tidak dapat diwariskan.

    i. Asas Hak-hak Dasar

    Maksudnya adalah hak-hak dari ahli waris sebagai manusia.

    Artinya, meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau

    seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian, sedangkan ia masih

    hidup ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang

    belum bercerai, walaupun telah berpisah tempat tinggalnya, maka

    dipandang cakap mewarisi harta tersebut.

    j. Asas Membagi Habis Harta Warisan

    Yaitu membagi semua harta peninggalan hingga tak tersisa.37

    3. Sumber Hukum Kewarisan Islam

    Sumber hukum kewarisan Islam terdiri dari sebagai beriku :

    a. Sumber Al-Qur’an

    1. QS An-Nisa ayat 7

    37 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia., 5-7.

  • 23

    “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.38

    Sebelum turun ayat ini, laki-laki dewasa memonopoli dalam

    pengambilan harta warisan. Wanita ddan anak-anak tidak mendapat

    pembagian sedikitpun dari harta yang ditinggalkan oleh ibu, bapak

    atau kerabat. Maka Al-Qur’an mengubah sistem yang cenderung

    menindas kaum lemah. Ayat 7 surah An-Nisa di atas menetapkan

    bahwa semua karib-kerabat mendapatkan bagian dari harta warisan,

    baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak, walaupun pembagiannya

    tidak sama banyaknya antara satu dengan yang lain, sesuai fungsi

    dan tanggung jawab massing-masing.39

    2. Qs An-Nisa ayat 8

    “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.40

    Yang dimaksud dengan ulul qurba dalam ayat di atas adalah

    kaum kerabat yang mempunyai hak pembagian harta warisan yang

    telah ditetapkan oleh syara’. Apabila mereka tersebut ada pada waktu

    membagi warisan, maka seharusnya mereka diberi sekadarnya,

    demikian pula anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Hal ini

    perlu, guna menjaga agar jangan terjadi rasa iri di hati mereka.

    Selanjutnya ayat ini juga memerintahkan agar ucapkanlah kepada

    38 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 78. 39 Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta : Amzah, 2011), 279. 40 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 78.

  • 24

    mereka perkataan yang baik-baik ketika akan member, artinya

    jangan memberi sambil mengomelinya.41

    3. QS An-Nisa ayat 9

    “dan hendaklah taku kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang merek khawatir terahadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”42

    Ayat ini memberikan peringatan kepada orang tua mengenai

    anak-anak yang akan ditinggalkan, hendaklah para orang tua merasa

    khawatir terhadap kesejahteraan anak-anak mereka setelah mereka

    maninggal dunia.

    4. QS An-Nisa ayat 10

    “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta nak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.43

    5. QS An-Nisa ayat 11

    41 Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam., 279.. 42 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 78. 43 Ibid.

  • 25

    “Allah mensyari’atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara,maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (tentang) orangtua dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana.”44

    6. QS An-Nisa ayat 12

    44 Ibid.

  • 26

    “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dienuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi, jika saudar-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sspertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak member mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.45

    Ayat 11 dan 12 surah An-Nisa di atas sebab turunnya

    masing-masing jelas mendongkrak tradisi hukum Yahudi, hukum

    Romawi, hukum adat bangsa Arab Pra Islam bahkan hukum adat

    manapun yang mengabaikan bagian waris kaum perempuan. Jika

    ayat 7 surah An-Nisa menjamin kepastian hak waris perempuan,

    maka ayat ke 11 menentukan bagian konkret yang harus diterima

    oleh kaum perempuan. Misalnya, istri mendapat seperempat (1/4)

    dari harta yang ditinggalkan suaminya bila suami tidak

    meninggalkan anak atau mendapatkan seperdelapan (1/8) bila suami

    meninggalkan anak di samping istri.46

    45 Ibid., 79. 46 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : Raja

    Grafindo Persada, 2004), 121.

  • 27

    7. QS An-Nisa ayat 13

    “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”47

    8. QS An-Nisa ayat 14

    “Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar aturan-aturan-Nya, maka akan dimasukkan-Nya ke dalam api neraka, kekal ia di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan”.48

    9. QS An-Nisa ayat 33

    “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewaris. Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”49

    10. QS An-Nisa ayat 176

    47 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 79. 48 Ibid. 49 Ibid.

  • 28

    “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah (yaitu); Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan sau-daranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara pe-rempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian supaya kalian tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”50

    Sahabat Jabir adalah orang yang menanyakan perihal

    kewarisan kalalah. Kalalah adalah jika seseorang meninggal dunia

    tanpa meninggalkan anak laki-laki atau ayah, dia hanya

    meninggalkan saudara kandung atau saudara seayah. Jika yang

    ditinggalkannya adalah saudara perempuan, saudaranya itu mendapat

    seperdua harta. Jika yang ditinggalkannya adalah dua orang saudara

    perempuan, masing-masing mendapat sepertiga warisan. Sedangkan

    jika yang ditinggalkan itu adalah tiga orang atau lebih saudara

    perempuan, menurut jumhur ulama, mereka mendapatkan seluruh

    harta.

    Apabila di antara saudara-saudara kandung atau saudara

    seayah itu ada yang laki-laki, otomatis mereka mewarisi seluruh

    50 Ibid., 106.

  • 29

    harta sebagaimana jika yang ditinggalkan adalah seorang saudara

    laki-laki. Bagian setiap saudara laki-laki adalah dua kali bagian seiap

    saudara perempuan. Jika misalnya seseorang meninggalkan tiga

    orang saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki, maka

    bagian masing-masing perempuan adalah seperlima, sedangkan

    bagian laki-laki dua perlima.

    Kasus kalalah ini berlaku untuk seseorang yang

    meninggalkan saudara kandung atau saudara seayah. Jika yang

    ditinggalkan saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan bagiannya

    adalah seperenam.51

    11. QS An-Anfal ayat 75

    “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terpada sesamanya di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.52

    b. Sumber Hadis Nabi Muhammad SAW

    Hadis yang Nabi yang menjadi sumber hukum waris Islam, di

    antaranya :53

    1. “Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda “berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”. (HR Bukhari-Muslim)

    2. “Dari Usamah bin Zaid r.a berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda “orang muslim tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim”. (HR Bukhari-Muslim)

    3. “Dari Jabir bin Abdullah berkata “janda Sa’ad datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya” lalu ia

    51 Imtihan Asy-Syafi’i, Tafsir Ayat-ayat Wanita, (Solo : Aqwam, 2009), 53-54. 52 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 186. 53 Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia., 300.

  • 30

    berkata “wahai Rasulullah, ini dua orang anak Sa’ad yang telah gugur secara syahid bersamamu di Perang Uhud. Paman mereka mengambil mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawan tanpa harta”. Nabi bersabda “Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ni” kemudian turun aya-ayat tentang kewarisan. Nabi memanggil si paman dan berkata “berikanlah dua pertiga untuk dua orang anak Sa’ad, seperdelapan untuk istrinya dan selebihnya ambil olehmu”. (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

    4. “Dari Umar bin Husein bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata ‘bahwa anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari harta warisannya” Nabi menjawab “kamu mendapat seperenam”. (HR Ahmad)

    5. “Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rassulullah SAW bersabda “tidak bisa mewarisi yang berlainan agama”. HR Ahmad, Al-Arba’ah dan Tirmidzi)

    c. Ijma’ (Kesepakatan Ulama)

    Ijma’ yaitu kesepakatan para ulama atau sahabat sepeninggalan

    Rassulullah SAW tentang ketentuan warisan yang terdapat dalam Al-

    Qur’an maupun Sunnah. Karena telah disepakatan oleh para sahabat dan

    ulama, ia dapat dijadikan sebagai referensi hukum.54

    d. Itjihad

    Ijitihad yaitu pemikiran sahabat atau ulama dalam

    menyelesaikan kasus-kasus pembagian warisan, yang belum disepakati.

    Misalnya masalah radd dan ‘aul. Di dalamnya terdapat perbedaan

    pendapat, sejalan dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabi’in

    dan ulama.55

    F. Hukum Waris di Indonesia

    Perkembangan hukum waris di Indonesia tidak terlepas dari

    sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam samalah artinya

    dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Benarlah apa yang

    pernah dikatakan oleh Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam

    54 Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia., 300. 55 Ibid.

  • 31

    tanpa mempelajari hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa hukum

    sebagai sebuah institusi agama memiliki kedudukan yang sangat

    signifikan.56

    Hukum waris Islam pada awalnya pada era kerajaan-kerajaan

    Islam, pada massa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa (termasuk

    sengketa kewarisan) di antara anggota masyarakat, diselesaikan dengan

    cara tahkim kepada guru atau mubaligh yang dianggap mampu dan

    berilmu agama. Orang yang bertindak sebagai hakim disebut muhakam.57

    Selanjutnya pada masa pemerintahan VOC, pemerintahan tersebut

    memerintahkan D.W Freijer untuk menyusun Compendium yang memuat

    hukum perkawinan Islam dan kewarisan Islam dengan diperbaiki dan

    disempurnakan oleh tokoh yuris Islam pada masa itu. Hukum waris Islam

    di Indonesia dilegalkan pada msa pemerintahan VOC pada tanggal 25 Mei

    1760.

    Selanjutnya pada masa Hindia-Belanda tahun 1882, melalui Stbl.

    No.152 Tahun 1882, tentang pendirian Radd Agama (yang menjadi cikal

    bakal Peradilan agama) untuk Jawa dan Madura. Dalam Stbl iniditetapkan

    bahwa salah satu wewenang absolutnya adalah kewarisan. Hal ini berarti

    bahwa sengketa urusan kewarisan bagi umat Isslam diselesaikan dalam

    Radd Agama. Dimasukkannya kewarisan dalam Radd Agama waktu itu

    agaknya mengikuti pakar hukum Belanda yang bernama W. Van den Berg

    dengan teorinya yang popular dengan sebutan “receptive in complexu”

    yang berarti menerima ajaran agama secara menyeluruh. Maksudnya bila

    seseorang telah menganut agama Islam, maka ia akan menjalankan semua

    ajarannya termasuk kewarisan.

    Selanjutnya pada masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak

    terjadi perubahan yang mendasar tentang posisi peradilan agama. Karena

    berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Pemerintahan Bala Tentara

    melalui dekritnya No.1 tahun 1942 menyatakan bahwa semua badan

    56 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2014), 2.

    57 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia., 139.

  • 32

    pemerintahan beserta wewenangnya, semua undang-undang, tata hukum,

    dan semua peratuan dari pemerintahan yang lama dianggap massih tetap

    berlaku dalam waktu yang tidak diketahui selama tidak bertentangan

    dengan peranturan pemerintahan Bala Tentara Jepang. Kemudian dekrit

    No.14 Tahun 1942 tanggal 29 April menetapkan bahwa susunan peradilan

    sipil di Jawa dan Madura massih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya,

    hanya saja nama-namanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam

    bahasa Jepang.58

    Pada masa kemerdekaan Indonesia sampai sekarang belum

    terdapat suatu kesatuan hukum tentang hukum kewarisan yang diterapkan

    untuk seluruh warga Negara Indonesia. Karena itu, hukum kewarisan yang

    diterapkan kepada seluruh warga Negara Indonesia masih berbeda-beda59,

    mengingat adanya pluralism hukum kewarisan tersebut. Sehingga sistem

    hukum kewarisan di Indonesia terdiri dari tiga sistem hukum, yaitu :

    1. Hukum Keawarisan Menurut Islam

    Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang bersumber dari Al-

    Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas.

    2. Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    (KUH Perdata)

    Kewarisan menurut KUH Per diatur dalam buku II title 12

    sampai dengan 18, Pasal 830 sampai dengan Pasal 1130.

    3. Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat

    Dalam masyarakat adat, selain hukum waris Islam, dikenal pula

    pembagian warisan dengan menggunakan hukum adat sebagai berikut:

    a. Sistem kewarisan individual, bercirikan adanya pembagian harta

    kepada orang-orang yang berhak baik dalam system pembagian

    patrinial, misalnya masyarakat di tanah Batak, matrinial ataupun

    bilateral pada masyarakat Jawa umumnya.

    58 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia., 142-143. 59 Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : Al-Ma’arif), 27.

  • 33

    b. Sistem kewarisan kolektif yang bercirikan harta yang dibagi-bagi di

    antara sekumpulan ahli waris kecuali untuk dimanfaatkan secara

    produktif terutama terhadap mereka yang lebih memerlukan seperti

    masayarakat matrinial di Minangkabau.

    c. Sistem kewarisan mayorat yang bercirikan anak tertua lah yang

    menguasai seluruh atau pokok harta peewaris setelah meninggalnya,

    seperti masyarakat patrinial beralih-alih diBali.60

    60 A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi

    Hukum Islam dan Fiqh Sunni), (Yogyakarta : Aswaja Presindo, 2013), 16.

  • 34

    BAB III

    BIOGRAFI HAMKA DAN GAMBARAN UMUM TAFSIR AL-AZHAR

    F. Riwayat Hidup Buya Hamka

    Nama lengkap Buya Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim

    Amrullah. Namun ia lebih dikenal dengan Hamka yang merupakan akronim

    namanya sendiri. Sebutan buya di depan namanya tak lain merupakan

    panggilan buat orang Minangkabau yang disadur dari bahasa Arab, abi atau

    abuya, yang berarti ayah kami atau seseorang yang sangat dihormati. Ia lahir

    di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908

    dan meninggal pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta.

    Putra Abdul Karim bin Amrullah yang juga dikenal sebagai Haji Rasul

    dan pelopor Gerakan Islah di Minangkabau sekembalinya dari Mekkah pada

    tahun 1906 mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau hingga Darjah

    dua. Ketika ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang,

    Hamka yang baru berusia 10 tahun segera pindah ke sana.61

    G. Riwayat Pendidikan Buya Hamka

    Pada usia 10 tahun, buya Hamka memulai mempelajari bahasa Arab di

    Sumatera Thawalib yang didirikan oleh ayahnya di Padang Panjang. Ia juga

    belajar ilmu-ilmu agama di surau dan masjid yang diasuh sejumlah ulama

    terkenal seperti Sutan Mansur, RM. Surjoparonto, Ki Bagus Hadikusumo,

    Syaikh Ahmad Rasyid dan Syaikh Ibrahim Musa.

    Hamka memulai pengabdian terhadap ilmu pengetahuan dengan

    menjadi guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan.

    Selang dua tahun kemudian pada tahun 1929, ia juga menekuni profesi serupa

    di Padang Panjang. Karena karir cemerlang, pada tahun 1957-1958 ia dilantik

    sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah

    61 Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer,

    (Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2013), 164-165.

  • 35

    Padang Panjang. Jabatan prestisius sebagai rektor juga pernah dijalaninya

    pada Perguruan Tinggi Islam Jakarta.

    Kesuksesan Hamka dalam menuntut ilmu tak hanya diperoleh melalui

    pendidikan formal. Ia malah sering belajar berbagai bidang ilmu pengetahuan

    seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat

    secara otodidak.

    Dengan kemampuan bahasa Arab, Hamka menelaah karya ulama dan

    pujangga besar Timur Tengah. Misalnya, Mustafa Al-Manfaluti, Abbas Al-

    Aqqad, hussai Haikal, Jurji Zaidan dan Zaki Mubarok. Karya sarjana Prancis,

    Inggris,dan Jerman semisal Albert Camus, William James, Sigmund Freud,

    Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre loti juga tak luput

    dari perhatiannya.

    Langkah penafsiran Hamka adalah dengan menuliskan teks Al-Qur’an

    lengkap, diterjemahkan, kemudian memberi catatan penjelasan. Biasanya, ia

    menyajikan bagian-bagian pendek yang terdiri dari beberapa ayat, satu sampai

    lima ayat dengan terjemahan bahasa Indonesia, kemudian dijelaskan panjang

    lebar, bisa sampai lima belas halaman. Kerana itulah Tafsir Al-Azhar lumayan

    tebal, terdiri atas beberapa jilid.

    Atas jasa pengabdiannya dalam dunia keilmuan, Hamka dianugerahi

    gelar kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas Al-Azhar pada tahun

    1958, Doctor Honoris Causa Universitas Malaisya pada tahun 1974, dan

    gelaran Datuk Indo dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.62

    H. Sosial dan Politik Buya Hamka

    Buya Hamka aktif di organisasi sosil kemasyarakatan, yaitu

    Muhammadiyah. Bahkan ia turut mengikuti deklarasi berdirinya

    Muhammadiyah pada tahun 1925. Karirnya pun cemerlang, mulai tahun 1928

    ia menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang. Lalu, dua tahun

    kemudian pada tahun 1930 ia menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.

    Pada tahun 1946 ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah

    62 Ibid., 165-167.

  • 36

    di Sumatera Barat, dan jabatan Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah

    juga pernah disandangnya pada tahun 1953.

    Sedangkan di jalur politik, ia terdaftar sebagai anggota Sarekat Islam

    pada tahun 1925. Pada tahun 1947, ia dilantik sebagai ketua Barisan

    Pertahanan Nasional Indonesia dan juga dilantik menjadi anggota

    Konstituante Masyumi. Namun ketika Masyumi diharamkan oleh

    pemerintahan Soekarno pada tahun 1960, empat tahun kemudian pada tahun

    1964 hingga 1966 ia dipenjara kerena dituduh Pro Malaysia.63

    I. Karya-Karya Buya Hamka

    Hamka memang tokoh yang kaya ilmu pengetahuan. Kiprahnya di

    dunia politik ternyata juga berbanding lurus dengan aksi pengembagan ilmu

    pengetahuan. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, ia juga seorang

    wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi

    wartawan beberapa akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang

    Islam dan Seruan Muhammadiyah.

    Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan

    Masyarakat. Selang empat tahun kemudian pada tahun 1932, ia menjadi editor

    dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Ia pernah juga menjadi editor

    majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

    Berbekal pengetahuan tentang tulis-menulis, Hamka mampu

    menghasilkan banyak karya, terutama dalam bidang sastra (novel dan cerpen),

    misalnya Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah

    dan Merantau ke Deli, dan agama (tafsir), yaitu tafsir Al-Azhar. Bahkan

    ditegaskan olehnya sendiri, bahwa Tafsir Al-Azhar ditulis di penjara.

    Tafsir Al-Azhar telah diakui banyak kalangan sebagai karya

    monumental Hamka. Ia mencoba menghubungkan sejarah Islam modern

    dengan studi Al-Qur’an dan berusaha melangkah keluar dari penafsiran-

    penafsiran tradisional. Ia menekankan ajaran Al-Qur’an dan konteksnya dalam

    bidang keislaman.

    63 Ibid., 168.

  • 37

    Menurut Prof. Andries Teeuw (seorang pengamat sejarah sastra

    Indonesia) bependapat bahwa Hamka adalah pengarang yang paling banyak

    tulisannya tentang agama Islam. Hamka memang termasuk penulis yang

    produktif. Jumlah karyanya memang banyak dan bernafaskan Islam.64

    Berikut adalah karya-karya Buya Hamka65 :

    1. Khatibul Ummah Jilid I, II, dan III (1925).

    2. Si Sabariah cerita Roman dalam bahasa Minangkabau (1928).

    3. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abu Bakar Siddiq) (1929).

    4. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).

    5. Ringkasan Tarikh Umat Islam, Ringkasan Sejarah sejak Nabi Muhammad

    SAW sampai Kahlifah ke empat, Bani Umayyah dan Bani Abbas (1929).

    6. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929).

    7. Hikmah Isra’ dan Mikraj (1930).

    8. Arkanul Islam, di Makasar (1932).

    9. Laila Majnun, Jakarta (1932).

    10. Majalah “Tentara”, di Makasar (1932).

    11. Majalah Al-Mahdi, di Makasar (1932).

    12. Mati Mengandung Malu (Salinan Al-Manfaluthi) (1934).

    13. Di Bawah Lindungan Kaabah, Jakarta (1936).

    14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Jakarta (1937).

    15. Di Dalam Lembah Kehidupan, Jakarta (1939).

    16. Tuan Direktur (1939).

    17. Dijemput Mamaknya (1939).

    18. Keadilan Ilahi (1939).

    19. Tasawuf Modern (1939).

    20. Filsafah hidup (1939).

    21. Merantau ke Deli (1940).

    22. Margaretta Gauthier (Terjemahan) (1940).

    23. Lembaga Hidup (1940).

    64 Nasir Tamara, et. Al, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta : Sinar Harapan, 1983), 139. 65 Solihin Salam, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (Jakarta : Yayasan Nurul

    Islam, 1978), 286-288.

  • 38

    24. Lembaga Budi (1940).

    25. Majalah “Semangat Islam” (1943).

    26. Majalah “Menara”, Padang Panjang (1946).

    27. Negara Islam (1946).

    28. Islam dan Demokrasi (1946).

    29. Revolusi Pikiran (1946).

    30. Revolusi Agama (1946).

    31. Adat Minangkabau menghadapi revolusi (1946).

    32. Dibantingkan Ombak Masyarakat (1946).

    33. Di Dalam Lembah Cita-Cita (1946).

    34. Sesudah Naskah Renville (1947).

    35. Pidato Pembelaan Peristiwa Sesudah Tiga Mac (1947).

    36. Menunggu Beduk Berbunyi, Bukit Tinggi (1949).

    37. Ayahku, Jakarta (1950).

    38. Mandi cahaya di tanah Suci (1950).

    39. Mengembara di Lembah Nil (1950).

    40. Di Tepi Sungai Dajlah. Ditulis sekembali dari ibadah Haji (1950).

    41. Kenang-Kengan hidup I, II, dan III (1950).

    42. Kenanga-Kenangan hidup IV (Autobiografi sejak lahir 1908-1950) (1950).

    43. Sejarah Umat Islam I, II, dan III (1950).

    44. Sejarah Umat Islam Jilid IV (1955).

    45. Pedoman Mubaligh Islam (1955).

    46. PRIBADI (1950).

    47. Agama dan Perempuan (1939).

    48. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang (1946).

    49. 1001 Soal Hidup (Kumpulan Karangan dari Pedoman Masyarakat) (1950).

    50. Pelajaran Agama Islam (1956).

    51. Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad (1952).

    52. Empat Bulan di Amerika Jilid I dan II (1953).

    53. Pengaruh Ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kaherah,

    Mesir) (1958).

  • 39

    54. Soal Jawab (1960).

    55. Dari Perbendaharaan Lama, Medan (1963).

    56. Lembaga Bintang Hikmat, Jakarta (1963).

    57. Islam dan Kebatinan (1972).

    58. Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1970).

    59. Sayyid Jamaluddin Al-Afgani (1965).

    60. Ekspansi Ideologi (1963).

    61. Hak-Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam (1968).

    62. Falsafah Ideologi Islam (1950).

    63. Keadilan Sosial dalam Islam (1950).

    64. Cita-Cita Kenegaraan dalam Ajaran islam (1970).

    65. Studi Islam (1973).

    66. Himpunan Khutbah-Khutbah.

    67. Urat Tunggang Pancasila.

    68. Do’a-Do’a Rasulullah SAW (1974).

    69. Sejarah Islam di Sumatera.

    70. Bohong di Dunia.

    71. Muhammadiyah di Minangkabau (1975).

    72. Pandangan hidup islam (1960).

    73. Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, dari tahun 1936 sampai 1942

    (1936-1942).

    74. Memimpin Majalah Panji Masyarakat (1959-1981).

    75. Memimpin Majalah Mimbar Agama (1950-1953).

    76. Kedudukan Wanita dalam Islam (1973).

    77. Tafsir Al-Azhar Juz I-XXX.

    Total keseluruhan karangan Buya Hamka sejak tahun 1925 adalah

    sebanyak 113 (seratus tiga belas) jilid kitab-kitab yang telah dibukukan

    dan masih ada dalam majalah panji masyarakat, karangan-karangan

    panjang yang patut dibukukan, seumpama “Pandangan Hidup Muslim” di

  • 40

    Panjimas yang dilarang terbit oleh Presiden Soekarno, dan juga “Dari Hati

    ke Hati” yang terdapat dalam Panji masyarakat.66

    J. Karakteristik Tafsir Al-Azhar

    Karakteristik Hamka dalam melakukan tekhnik penafsirannya adalah

    mencontoh tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridho. Hamka menyatakan

    ketertarikan hati terhadap tafsir Al-Manar karya Sayyid Rasyid Ridho. Ia

    menilai bahwa tafsir Al-manar adalah sebuah sosok tafsir yang mampu

    menguraikan ilmu-ilmu keagamaan sebangsa hadis, fiqih, sejarah dan lainnya

    lalu menyesuaikannya dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan

    yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu ditulis. Terakhir Hamka lebih

    banyak menekankan pada pemahaman ayat secara menyeluruh. Oleh karena

    itu dalam tafsirnya, Hamka lebih banyak mengutip pendapat para ulama

    terdahulu. Sikap tersebut diambil oleh Hamka karena menurutnya

    menafsirkan Al-Qur’an tanpa melihat terlebih dahulu pada pendapat para

    mufassir dikatakan tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan serampangan.67

    1. Bentuk Tafsir Al-Azhar

    Dalam pengantarnya, Hamka menyebutkan bahwa ia memelihara

    sebaik-baiknya hubungan antara aql dan naql (riwayah dan dirayah).

    Buya Hamka tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat

    orang yang terdahulu, tetapi ia juga mempergunakan tinjauan pribadinya

    sendiri, dan tidak pula semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri.

    Suatu tafsir yang hanya menuruti dari riwayat orang terdahulu berarti

    hanya suatu textbox thinking. Sebaliknya, jika hanya memperturutkan akal

    sendiri, besar bahayanya akan keluar dari garis tertentu yang digariskan

    oleh agama, sehingga tidak disadari akan menjauh dri maksud agama.68

    66 Solihin Salam, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (Jakarta : Yayasan Nurul

    Islam, 1978), 288. 67 Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad Ke-20, (Jurnal ilmu

    dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol III, No.4, 1992), 57. 68https://andiuripurup.wordpress.com/2013/06/06/tafsir-al-azhar-karya-prof-dr-hamka/

    diakses pada 01 Januari 2019, 19.30.

    https://andiuripurup.wordpress.com/2013/06/06/tafsir-al-azhar-karya-prof-dr-hamka/

  • 41

    Melihat dari pendapat di atas dan dari karya Buya Hamka secara

    langsung, maka kitab tafsir Al-Azhar lebih cenderung berbentuk bir ra’yi.

    Dikatakan demikian karena Buya Hamka lebih cenderung menggunakan

    pandangan pribadinya dan pandangan orang-orang terdahulu ketimbang

    menggunakan Hadis Nabi SAW.

    2. Metode Tafsir Al-Azhar

    Metode yang dilakukan oleh Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar

    adalah tahlili, yaitu menafsirkan ayat demi ayat sesuai urutannya dalam

    mushaf serta menganalisis begitu rupa hal-hal penting yang terkait

    langsung dengan ayat, baik dari segi makna atau aspek-aspek lain yang

    dapat memperkaya wawasan pembaca tafsirnya, terbukti ketika

    menafsirkan surah Al-Fatihah, ia membutuhkan sekitar 24 halaman untuk

    mengungkapkan maksud dan kandungan dari surat tersebut. Berbagai

    macam kaidah-kaidah penafsiran dari mulai penjelasan kosa kata, asbab

    an-nuzul ayat, munasabah ayat, barbagai macam riwayat hadis dan yang

    lainnya, semua itu disajikan oleh Hamka dengan cukup baik, lengkap dan

    mendetail.69

    Ketajaman analisis Hamka juga teruji ketika misalnya dengan jeli

    menunjukkan korelasi antara makna yang terdapat pada akhir surat Al-

    Fatihah dengan makna yang ada pada awal surat Al-Baqarah ayat 2 :

    “Inilah kitab itu, tidak ada sebarang keraguan padanya, satu petunjuk bagi orang-orang yang hendak bertqwa”.70 (QS. Al-Baqarah : 2)

    Buya Hamka mengatakan “kita baru saja selesai membaca surah

    Al-Fatihah, di sana kita telah memohon kepada Tuhan agar ditunjuki jalan

    yang lurus, jalan yang diberi nikmat, bukan jalan yang dimurkai atau

    sesat”. Baru saja menarik nafas selesai membaca surat itu, kita langsung

    69 Lihat Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid I, (Singapura : Kerjaya

    Printing Industries Pte Ltd, 2013), 50-58. 70 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : Diponegoro, 2013),

    3.

  • 42

    kepada surat Al-Baqarah dan kita langsung kepada ayat ini. Permohonan

    kita di surat Al-Baqarah sekarang diperkenankan. Kamu bisa mendapat

    jalan yang lurus yang diberi nikmat, bukan yang dimurkai dan sesat, asal

    saja kamu suka memakai pedoman kitab ini. Tidak diragukan lagi, dia

    adalah petunjuk bagi orang yang suka bertaqwa.71

    Melihat metode penafsiran yang digunakan, Hamka mencontoh

    kepada Tafsir Al-Manar, menjadikan corak yang dikandung oleh Tafsir

    Al-Azhar memiliki kesamaan.72 Ia juga berusaha memelihara sebaik

    mungkin antara naqal dan ‘aql, antara dirayah dan riwayah. Maksudnya

    adalah Hamka menjanjikan bahwa ia tidak hanya semata-mata mengutip

    atau menukil pendapat yang terdahulu, tetapi juga menggunakan tinjauan

    dan pengalaman pribadi.

    3. Corak Tafsir Al-Azhar

    Tafsir Buya Hamka cenderung bersifat netral dan tidak memihak.

    Sementara dalam menjelaskan ayat, beliau menggunakan contoh-contoh

    yang hidup di masyarakat, baik masyarakat kelas atas, bawah maupun

    secara individu.

    Berdasarkan fakta di atas, tafsir Hamka dalam menjelaskan ayat

    adalah bercorak Fiqhi (Hukum-hukum fiqih). Pemikiran Hamka dalam

    tafsir Al-Azhar berusaha memahami nash-nash Al-Qur’an dengan cara

    mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an secara teliti, selanjutnya

    menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh Al-Qur’an tersebut

    dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian menghubungkan

    nash-nash yang dikaji dengan kenyataan sosial dan system budaya yang

    ada.73

    71 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid I., 122. 72 Karel Steenbrink, Qur’an Interpretation of Hamzah Fansuri and Hamka : A

    Comparison, Jurnal Studi Islamika, Vol II, No.2, 1995, 83. 73 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia, Terj. Tajul Arifin

    https://andiuripurup.wordpress.com/2013/06/06/tafsir-al-azhar-karya-prof-dr-hamka/ diakses pada 2 Januari 2019, 10.00.

    https://andiuripurup.wordpress.com/2013/06/06/tafsir-al-azhar-karya-prof-dr-hamka/

  • 43