Pemba Has An
-
Upload
ilham-clinkers -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
description
Transcript of Pemba Has An
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Perkembangan Planktonologi
Sebenarnya sejak zaman dahulu orang telah memanfaatkan dan melihat
gejala perubahan laut yang disebabkan oleh plankton. Namun mereka tak dapat
memahaminya dan menerangkannya, apalagi kenal dengan istilah plankton yang
baru diperkenalkan di akhir abad 19.
Sejak lama misalnya, masyarakat di Asia mengkonsumsi berbagai jenis
zooplankton sebagai sumber protein. Sekitar 1700 tahun lalu penduduk Cina
sudah memanen plankton ubur-ubur sebagai bahan makanan yang mempunyai cita
rasa yang khas. Selain di Cina, di Jepang pun sudah sejak lama orang
mengkonsumsi plankton ubur-ubur Rhopilema esculenta yang tergolong makanan
yang banyak penggemarnya, yang disana disebut “kurage”. Ubur-ubur yang
sebagian besar tubuhnya terdiri dari air ini ukurannya bisa sampai sekitar 50 cm.
Jenis plankton yang sudah lama dikenal dan menjadi makanan sehari-hari bagi
masyarakat pesisir di Indonesia antara lain adalah rebon. Rebon atau jambret
sebagaimana yang dikenal masyarakat, sebenarnya adalah campuran berbagai
jenis hewan seperti udang kecil, sebagian besar terdiri dari zooplankton sergestid,
misid dan larva udang paneid. Rebon sangat popular sebagai bahan dasar untuk
pembuatan terasi dan petis.
Indonesia juga sudah sejak dulu mengenal budidaya bandeng dalam tambak.
Ratusan tahun lalu, pada zaman Hindu abad 13-14, telah ditulis dalam kitab
Kutaranemawa undang-undang tentang siwakan atau pengaturan air yang diduga
merupakan awal pemeliharaan bandeng dalam tambak di Indonesia. Untuk itu
diperlukan nener atau benih ikan bandeng yang masih sangat muda, yang tak lain
adalah plankton berukuran beberapa mm, yang dikumpulkan dari perairan pesisir
pantai. Pengetahuan nelayan untuk mengenali dan tidak salah memilih nener yang
sangat muda ini telah berkembang dan diturunkan dari generasi. Hinga sekarang
budidaya bandeng masih banyak mengandalkan pasokan nener dari alam.
Di pantai selatan Jawa, pada musim-musim tertentu, banyak nelayan menangkap
ikan impugn, terutama di muara-muara sungai. Ikan impugn ini merupakan
kumpulan dari berbagai plankton berupa larva ikan, termasuk larva ikan sidat (eel)
yang secara naluri mencari dan akan memudiki sungai tempat induknya berasal,
setelah menempuh perjalanan panjang, dari tempat mereka lahir jauh di tengah
samudra. Pada musimnya, ikan impugn jumlahnya sangat melimpah di pantai.
Orang pun kadang-kadang menyaksikan laut tiba-tiba berubah warna tetapi orang
belum tahu gejala apa itu, dan apa penyebabnya. Nama Laut Merah (Read Sea) di
depan Saudi Arabia, telah lama digunakan para pelaut, dan baru kemudian hari
diketahui bahwa warna kemerah-merahan yang sering muncul di perairan tersebut
disebabkan oleh ledakan populasi fitoplankton Trichodesmium erythraeum, yang
mengandung pigmen berwarna coklat kemerahan.
Para pelaut zaman dahulu pun tahu apabila warna air laut berubah dari biru jernih
menjadi biru kehijauan berarti daratan sudah dekat, meskipun daratan belum lagi
terlihat. Tetapi mereka tak dapat menerangkan bahwa sebenarnya perubahan ini
disebabkan karena pigmen kuning fitoplankton yang sangat banyak di perairan
pantai bercampur dengan warna biru air laut dan ber nuansa biru kehijauan.
Orang juga sering melihat air laut berubah warna yang kadang-kadang diikuti
dengan kematian ikan secara massal. Namun orang tak mengerti bahwa perubahan
warna itu disebabkan oleh ledakan populasi fitoplankton jenis tertentu yang
beracun atau menggangu lingkungan, yang bagi orang sekarang lebih dikenal
dengan istilah HAB (Harmful Algal Bloom).
Pada malam hari orang sering dapat melihat cahaya kelap-kelip bagai
kunang - kunang di laut tanpa mengerti bahwa itu disebabkan oleh plankton.
Banyak jenis zooplankton yang dapat menimbulkan bioluminesensi
(bioluminescence) atau cahaya hayati. Bioluminesensi sebenarnya adalah hasil
reaksi enzimatis lusiferin - lusiferase yang menghasilkan cahaya dingin kebiru-
biruan. Ostrakod mislanya adalah krustasea yang banyak ditemukan dapat
bercahaya. Di perairan pantai juga orang sering dapat melihat Noctiluca
scintillans yang bersinar terang pada malam hari apabila laut tersibak ombak yang
dilalui kapal.
Sejak lama orang juga sering mengalami gangguan karena plankton ketika
sedang berenang di laut. Bagi mereka yang sering mandi di laut mungkin pernah
merasakan sengatan perih yang disebabkan oleh plankton ubur-ubur. Semua ubur-
ubur mempunyai sel-sel penyengat (nematosis) pada tubuh dan tentakelnya, yang
mirip ratusan atau ribuan anak panah mikroskopis dan beracun yang siap
ditembakkan. Bila ada mangsanya, misalnya ikan kecil, atau kebetulan ada
manusia yang sedang berenang dan menyentuhnya, serangkaian panah beracun itu
ditembakan serentak. Serangan ini pada manusia akan menimbulkan rasa gatal
hingga perih. Ada ubur-ubur api (Physalia physalis) yang sengatannya seperti
membakar dan menyebabkan kulit korban bisa melepuh bagai disundut api. Ada
pula ubur-ubur kotak (Chironex fleckeri), yang sengatannya bagai tawon, maka
dijuluki tawon laut (Sea wasp). Dalam kasus tertentu sengatan tawon laut ini,
yang terdapat antara lain dari Australia hingga Filipina yang bisa menyebabkan
kematian.
Meskipun plankton terdapat di seluruh permukaan laut dunia, namun
orang mulanya tidak menyadari kehadirannya. Ukurannya yang umumnya
mikroskopis membuatnya luput dari perhatian orang banyak. Oleh sebab itu
ketika Antony van Leeuwenhoek pertama kali menciptakan mikroskop yang
sangat sederhana pada tahun 1676, ia sebenarnya membuka babak baru untuk
melihat alam ini, dalam skala mikro. Ia membuktikan bahwa dalam air, baik air
tawar maupun air laut, terkandung kehidupan yang begitu kaya akan
keanekaragaman hayati, termasuk berbagai tumbuhan renik, yang tak pernah
diketahui orang sebelumnya. Ini merupakan temuan dasar yang terpenting yang
memungkinkan berkembangnya planktonologi di kemudian hari, yakni ilmu yang
mempelajari segala aspek kehidupan plankton (ada juga yang menyebutnya
planktonologi).
Tetapi perhatian untuk mengkaji lebih serius plankton laut baru dimulai
sekitar paruh kedua abad 19 adalah G.V.Thompson yang pertama kali mengoleksi
plankton dengan menggunakan jaring halus, dan melakukan pengamatan berkala
di Irlandia tahun 1828. Kemudian disusul oleh Johannes Muller di Jerman yang
mulai mengadakan kajian taksonomi, sekitar tahun1845. Istilah plankton sendiri
baru diintroduksi oleh Victor Hensen tahun 1887, yang berakar dari bahasa
Yunani (Planktos) yang berarti menghanyut atau mengembara. Ia pulalah yang
memulai penelitian plankton secara kuantitatif hingga ia dijuluki juga sebagai
Bapak Planktonologi Kuantitatif. Dari situ diletakanlah fondamen yang lebih
kokoh untuk pengembangan planktonologi lebih lanjut.
Victor Hensen (1835-1924), perintis dalam penelitian kuantitatif plankton. Tahun
1887 ia mengenalkan istilah “plankton”.[Kanan] Gambar jaring plankton untuk
penarikan vertical yang didesain oleh Hansen (Sumber : Lenz,2004)
Sumbangan yang sangat bermakna bagi perkembangan planktonologi adalah dari
ekspedisi kapal HMS Challenger yang dilaksanakan keliling dunia selama tiga
setengah tahun (1872-1876). Ekspedisi dari Inggris ini dipandang pula sebagai
peletak fondasi pengetahuan oseanografi modern yang meliputi aspek fisika,
kimia, biologi dan geologi. Alat penangkap plankton yang disebut Plankton trawl
net sudah digunakan di kapal itu, ditujang dengan penggunaan mikroskop yang
sederhana yang tersedia dalam laboratoriumnya. Laporan akhir ekspedisi berjudul
“The Challenger Report” diterbitkan dari tahun 1880 hingga 1895 terdiri dari 50
volum besar mencakup seluruh aspek ilmu kelautan. Para penelitiannya
mendeskripsikan penemuan 4417 jenis yang baru dikenal di dunia pengetahuan.
Laporan tersebut juga meliputi banyak hal mengenai plankton seperti diatom,
copepod, radiolarian, dan sebagainya. Ekspedisi historis Challenger ini juga
memasuki dan mengoleksi plankton di perairan Indonesia di Laut Banda, Laut
Seram dan Laut Sulawesi.
Studi-studi awal tentang fisiologi dan ekologi plankton dilakukan oleh W.B.
Carpenter (1856) yang menunjukan bahwa fitoplankton membutuhkan sinar
matahari, air, asam karbonat, dan ammonia untuk melaksanakan fotosintesis.
Selanjutnya oleh Paul Regnard (1891) dibuktikan bahwa fotosintesis oleh
fitoplankton itu hanya terjadi pada lapisan yang teratas saja, sampai kedalam
sekitar 30 m. Karl brandt (1899) selanjutnya menunjukan bahwa kelimpahan
fitoplankton tidak hanya merupakan respon terhadap cahaya matahari dan suhu
tetapi tak kalah pentingnya adalah hara nitrat.
Pada pertengahan dekade 1930-an mikrobiologi laut (termasuk bakterioplankton)
mulai dirintis oleh Claude Zobell, dari Scripps Institution of Oceanography,
California. Namun perkembangan bakterioplankton laut ini baru berkembang
pesat setelah usai Perang Dunia II yang lalu.
Pengembangan pengetahuan mengenai produktivitas primer fitoplanktoon di laut
mendapat dorongan kuat dengan rintisan Steemann-Nielsen yang mengintroduksi
aplikasi perunut (tracer) radioisotop14C untuk mengukur laju proses fotosintesis.
Pekerjaannya dalam ekspedisi “Galathea”(1950-1952) keliling dunia telah
membuka cakrawala baru dalam melihat produktivitas perairan dalam skala
global.
Sampai akhir dekade 1950-an ekspedisi-ekspedisi oseanografi masih banyak
dilakukan sendiri-sendiri oleh lembaga dan Negara tertentu saja. Dilaksanakannya
IGY (International Geophysical Year). Timbul kesadaran yang meningkat di
berbagai penjuru dunia bahwa masalah kelautan yang begitu luas tidak mungkin
di hadapi sendiri - sendiri, namun memerlukan kerjasama banyak Negara di dunia.
Muncullah berbagai program -program internasional dimana-mana, salah satu
yang sangat terkenal adalah IIOE ( International Indian Ocean Expedition) pada
pertengahan dekade 1960-an yang disponsori oleh IOC (International
Oceanographic Commission) UNESCO, yang diikuti oleh banyak Negara,
termasuk Indonesia. Plankton dan produktivitas primer merupakan salah satu
komponen penting dalam ekspedisi terkordinasi ini, dan adanya pemilahan
zooplankton (zooplankton sorting centre). Keberhasilan kordinasi dan
pelaksanaan IIOE menjadi acuan berkembangnya berbagai program kerjasama
regional lainnya, seperti CSK (Coorperative Study of the Kuroshio) dan banyak
lainnya lagi diberbagai penjuru dunia.
Seiring dengan itu, di dunia telah berkembang pula teknologi modern yang
semakin canggih, terutama yang didukung oleh perkembangan dalam bidang
elektronika, computer, komunikasi dan informatika. Pengamatan struktur detail
sel plankton misalnya, kini dapat dilaksanakan dengan SEM (Scanning Electron
Microscope). Analisis dengan teknik fluoresensi dan kromatografi HPLC (High
Performance Liquid Chromatography) digunakan sebagai acuan umum untuk
mengukur kandungan klorofil dan berbagai pigmen yang mencirikan komposisi
fitoplankton. Perkembangan biokimia telah dimanfaatkan dalam kajian-kajian
fisiologi plankton yang kini mengarah ke fisiologi lingkungan, sedangkan
penelitian genetika dilakukan dengan analisis DNA.
Pemanfaatan inderaja (remote sensing) dengan memanfaatkan teknologi satelit
kini sudah meluas pula penggunaannya untuk memantau klorofil fitoplankton
dalam skala global dari waktu ke waktu. Demikian pula untuk penetapan posisi
pengambilan sampel plankton di lapangan sudah dapat dilakukan dengan sangat
mudah,cepat dan akurat dengan penggunaan GPS (Geographic Positioning
System) yang portable, berkat kemajuan teknologi satelit.
Teknologi modern yang telah membuka pula pemahaman baru akan pentingnya
fitoplankton yakni plankton yang berukuran lebih kecil dari bakteri, terutama
virus laut (virioplankton), dan perannya dalam ekologi laut. Perkembangan
berbagai teknologi modern kini telah mendorong pula berkembangnya
pendekatan-pendekatan baru dalma kajian tentang peran plankton dalam
perspektif global, misalnya dalam pengendalian iklim global (global climate)
yang mempengaruhi kehidupan di seantreo planet bumi ini,tidak saja yang ada di
dalam laut. Demikian pula tentang peranan plankton dalam daur karbon (carbon
cycle) di bumi ini. Kemajuan teknologi dalam lima dekade terakhir ini tampaknya
telah mengantarkan dimensi penelitian plankton makin melebar sekaligus juga
makin mendalam, dari dunia mikro yang menukik hingga tingkat molekular
sampai dimensi dengan skala global.