Pemba Has An
-
Upload
kusumagama28 -
Category
Documents
-
view
227 -
download
6
description
Transcript of Pemba Has An
PEMBAHASAN
1. Analisis Kasus
Pasien wanita 37 tahun datang ke Poli Bedah RS Lanud Supadio pada hari
Rabu, 18 Maret 2015 untuk kontrol bekas luka operasi dan ditemukan luka
belum tertutup sempurna serta mengeluarkan cairan berwarna merah yang
merembes ke perban. Pasien kemudian disarankan untuk mengganti perban 3
kali sehari. Namun, dikarenakan rumah pasien jauh, pasien memilih untuk
dirawat. Perban diganti setiap hari sebanyak 3 kali sehari sampai hari Jumat,
20 Maret 2015. Selanjutnya perban diganti 2 kali sehari.
Pada hari Jumat, ditemukan cairan berwarna merah bercampur kekuningan
merembes pada perban. Pasien merasakan nyeri di bagian jahitan luka di dekat
ketiak dan sempat merasakan demam 38,4oC dan kepala pusing pada hari
Jumat sore.
Pasien memiliki riwayat benjolan dan kulit berwarna kecoklatan di
payudara kiri sejak tahun 2012. Pada tahun 2014 pasien merasakan benjolan
semakin besar. Kemudian pada Februari 2015, dilakukan pemeriksaan biopsi
terhadap benjolan dan didapatkan hasil tumor mammae suspek maligna pada
payudara kiri.
Pada tanggal 12 Maret 2015, dilakukan mastektomi pada mammae
sinistra. Pasien dirawat hingga hari Minggu, 15 Maret 2015, kemudian
diperbolehkan pulang. Kemudian pasien datang lagi untuk kontrol luka
operasi pada tanggal 18 Maret 2015 ke Poli Bedah RS Lanud Supadio.
Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat diabetes melitus disangkal.
Riwayat alergi disangkal. Ibu pasien memiliki riwayat benjolan di payudara.
Pasien tidak pernah mengonsumsi alkohol dan tidak merokok.
Hasil pemeriksaan fisik region toraks sinistra terdapat bekas luka operasi.
Tampak luka terbuka post operasi dengan diameter ±5cm, eritema (+), eksudat
berupa serosanguinus (+) dan jaringan nekrotik (+) berwarna kehitaman.
Dasar luka berupa otot. Pus minimal (+), Pada perabaan terdapat nyeri tekan
(+) di bagian lateral luka dan daerah luka teraba hangat (+).
10
11
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin=11,5 gr%,
Hematokrit = 33 %, Leukosit= 8000/mm3, Eritrosit=43,87/juta, Trombosit=
301.000/mm3, BT= 3’00” menit dan CT= 4’30” menit. Pemeriksaan foto
toraks AP tidak didapatkan kelainan. USG abdomen juga tidak ditemukan
kelainan. Hasil biopsi PA pada bulan Februari (sebelum dilakukan mastektomi
radikal) menunjukkan invasive ductal carcinoma mammae sinistra grade III
yang telah menginvasi pembuluh limfovaskular.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa terdapat
keterlambatan penutupan luka operasi pada pasien ini. Hal ini ditandai dengan
masih terdapat rembesan cairan serosanguinus dari luka post operasi. Setelah
dilakukan ganti perban selama 4 hari di rumah sakit, didapatkan bahwa
produksi cairan rembesan dari luka belum berkurang volumenya dan terdapat
tanda-tanda radang seperti cairan berwarna sedikit kuning dari luka bekas
operasi. Serta terdapat nyeri dari bagian bekas luka tersebut. Selain itu, kulit di
sekitar jahitan luka tampak memerah dan teraba hangat, menunjukkan bahwa
telah terjadi proses inflamasi dari luka post operasi tersebut.
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis wound dehiscence plus seroma
formation dan skin nekrosis, kemudian dilakukan tindakan repair defect dan
debridement. Pengobatan yang diberikan adalah analgetik, antibiotik, dan H2
bloker untuk mencegah nyeri pada lambung yang muncul sebagai efek dari
terapi antibiotic dan analgetik yang diberikan. Tindakan repair defect dan
debridement dilakukan di kamar operasi pada tanggal 23 Maret 2015,
dilakukan selama 60 menit dengan perdarahan ±200 cc. posisi pasien supine,
diberikan anestesi umum dengan face mask. Dilakukan desinfeksi dengan
betadin lalu dipasanag duk steril untuk mempersempit lapangan operasi.
Kemudian luka operasi yang lama dibuka kembali. Selanjutnya dilakukan
identifikasi untuk mendapatkan temuan operasi. Kemudian dilakukan
refreshing luka dengan membuat perdarahan baru menggunakan soring.
Jaringan soft tissue yang mengalami nekrotik atau gangrene dibuang.
Kemudian dilakukan approksimasi kulit (kulit dirapatkan sehingga posisinya
tepat) kembali. Luka operasi dijahit dengan meninggalkan dua buah drain (di
12
bagian lateral sisnistra) dan medial (processus xipoideus). Kemudian luka
operasi dirawat dan dilakukan dressing pada luka operasi.
2. Anatomi Payudara
Payudara merupakan kelenjar aksesoris kulit yang terletak pada iga dua
sampai iga enam, dari pinggir lateral sternum sampai linea aksilaris media.
Kelenjar ini dimiliki oleh pria dan wanita. Namun, pada masa pubertas, payudara
wanita lambat laun akan membesar hingga membentuk setengah lingkaran,
sedangkan pada pria tidak. Pembesaran ini terutama terjadi akibat penimbunan
lemak dan dipengaruhi oleh hormon-hormon ovarium. 1
Secara umum, payudara terdiri atas dua jenis jaringan, yaitu jaringan
glandular (kelenjar) dan jaringan stromal (penopang). Jaringan kelenjar meliputi
kelenjar susu (lobus) dan salurannya (ductus). Sedangkan jaringan penopang
meliputi jaringan lemak dan jaringan ikat. Selain itu, payudara juga
memiliki aliran limfe. Aliran limfe payudara sering dikaitkan dengan
timbulnya kanker maupun penyebaran (metastase) kanker payudara.
Setiap payudara terdiri atas 15-20 lobus yang tersusun radier dan
berpusat pada papilla mamma. Saluran utama tiap lobus memiliki ampulla
yang membesar tepat sebelum ujungnya yang bermuara ke papilla. Tiap
papilla dikelilingi oleh daerah kulit yang berwarna lebih gelap yang disebut
areola mamma. Pada areola mamma, terdapat tonjolan-tonjolan halus yang
merupakan tonjolan dari kelenjar areola di bawahnya.
1 Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Ed. 6. Jakarta: EGC; 2006
13
Gambar 1. Anatomi Payudara
3. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki
kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka
adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung
jawab untuk sintesis kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan
mengalami fase-fase seperti dibawah ini : 2
a. Hemostasis
Vascular response : beberapa detik setelah terjadinya luka pada tipe apapun,
respon tubuh dengan penyempitan pembuluh darah (konstriksi) untuk
menghambat perdarahan dan mengurangi pajanan terhadap bakteri. Pada saat
yang sama, protein membentuk jaringan fibrosa untuk menutup luka. Ketika
trombosit bersama protein menutup luka, luka menjadi lengket dan lemb
membentuk fibrin. Setelah 10-30 menit setelah terjadinya luka, pembuluh darah
melebar karena serotonin yang dihasilkan trombosit. Plasma darah mengaliri luka
2 David S Perdanakusuma, Anatomi Fisiologi Kulit Dan Penyembuhan Luka, Plastic Surgery DepartementAirlangga University School of Medicine – Dr. Soetomo General Hospital Surabaya, 2007
14
dan melawan toxin yang dihasilkan microorganisme, membawa oksigen dan
nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka dan membawa agen fagosit
untuk melawan bakteri maupun jaringagan yang rusak.
b. Fase inflamasi
Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera
setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi
dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor
(EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF)
dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk
terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas.
Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi
dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF β1)
yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi
fibroblas untuk mensintesis kolagen.
c. Fase proliferasi atau fibroplasi
Fase ini disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat menonjol
perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat
kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnyatepi luka.
Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi.
d. Fase remodeling atau maturasi
Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses
penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodellingkolagen,
kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen
berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2
tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang
15
mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal. Tiga fase tersebut diatas berjalan
normal selama tidak ada gangguan baik faktor luar maupun dalam.
4. Dehiscence
Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Sejumlah faktor
meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk
yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami
dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum
kollagen meluas di daerah luka. Ketika dehiscence terjadi luka harus segera
ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Pasien
juga disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka dan
debridement luka dan penutupan luka kembali. Hal ini seperti yang terjadi pada
kasus Ny.N, luka post operasi belum menutup pada hari ke empat.
5. Seroma Formation Post Mastectomy
Keganasan payudara merupakan penyebab kematian terbanyak kedua pada
wanita setelah keganasan paru. Pembedahan merupakan terapi pilihan utama pada
keganasan payudara, dan Modified Radical Mastectomy (MRM) adalah pilihan
terapi keganasan payudara yang masih operable. Beberapa komplikasi pasca-
operasi yang dapat ditemukan di antaranya hematoma, terbentuknya seroma,
infeksi luka operasi, hingga terbentuknya flap nekrosis. 3
Seroma sering didefinisikan sebagai cairan serous yang terbentuk setelah
pembedahan, yang berkumpul di bawah flap kulit mengisi dead space.4
Setelah mastektomi, seroma akan terkumpul di daerah bawah kulit dan dead
space daerah aksila. Biasanya seroma akan diserap sendiri dalam beberapa
minggu. Jika cairan seroma sangat banyak, kulit bekas operasi akan tegang yang
menyebabkan ketidaknyamanan. Pada beberapa pasien penumpukan cairan ini
akan memberi masalah, seperti memperlama masa rawat dan akan menambah
3 Forbees JF, Williams C, Bramwell V, Bonfi ll X, Cuzick J, Grant R, et al. Treating breast cancer in evidence based oncology. London: BMJ Publishing Book; 2003. p.429-65.4 Newman L, Sondak VK. Complication of breast surgery. In: Surgical Complication: Diagnosis and treatment. London: Imperial College Press; 2007. p.169-78
16
biaya rawat. Selain itu, penyedotan berulang kali akan menyebabkan pasien
merasa tidak nyaman.5 Hal ini seperti yang terjadi pada Ny.N dimana seroma
belum berhenti diproduksi sampai hari ke 6 setelah operasi sehingga
menimbulkan ruang dead space pada kulit post operasi.
Berdasarkan metaanalisis yang dilakukan oleh Kuroi dkk., banyak faktor yang
memengaruhi kejadian seroma pascaoperasi kanker payudara. Faktor-faktor yang
cukup signifikan yaitu berat badan yang berlebih, mastektomi radikal (bila
dibandingkan mastektomi simpel), dan jumlah drainase yang banyak dalam 3 hari
pertama.6
Trauma pada tindakan operasi menimbulkan suatu trauma yang akan
merangsang mediator inflamasi untuk menimbulkan proses inflamasi yang
merupakan bagian dari proses penyembuhan luka. Berdasarkan faktor risiko
tersebut, besarnya trauma dan radikalitas akan merangsang proses inflamasi yang
lebih besar. Pada penelitian yang dilakukan oleh Soomro dkk., risiko seroma lebih
besar pada operasi mastektomi modifikasi radikal yaitu sebesar 17,5%, sedangkan
pada operasi breast conserving surgery (BCT) tidak dijumpai kasus seroma.7
Keadaan ini juga didukung dengan hasil penelitian retrospektif oleh Setiawan dan
Abdurahman di divisi Bedah Onkologi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung,
yaitu operasi mastektomi radikal dapat meningkatkan insidensi seroma. Mediator
inflamasi yang dilepaskan akan diikuti dengan peningkatan permeabilitas kapiler
di daerah sekitar luka operasi. Kondisi ini akan menyebabkan ekstravasasi cairan
yang kemudian akan membentuk seroma.8
Kadar imunoglobin G (IgG), sel leukosit, dan granulosit lebih tinggi pada
pasien seroma. Mediator inflamasi seperti proteinase, proteinase inhibitor, dan
juga sitokin ditemukan dalam cairan seroma. Penelitian oleh Szecsi dkk.,
menunjukkan bahwa cairan seroma adalah suatu eksudat, yang dibuktikan dengan
5 Rashid Q, Scott. M, Feederick. ML. Complication in breast surgery. In: Complication in Surgery and Trauma. London, New York:Informa Health Care; 2007. p.169-98.6 Kuroi K, Sjimozuma K, Taguchi T, Imai H, Yamashiro H, Ohsumi S, et al. Evidence based risk factors for seroma in breast surgery. Japan J Chin Oncol. 2006; 36:197-2067 Soomro SA, Husain N, Shaikh BA, Maher M. Predicting factors of seroma formation after breast cancer surgery. Pak J Surg. 2006;22(4):201–4.8 Setiawan J, Abdurahman M. Seroma dan radikalitas operasi mastektomi. PIT IKABI 2013. The 19th Annual Scientific Meeting of IKABI; 23 Agustus 2013; Semarang, Indonesia; 2013.
17
ditemukan komponen IL-6 dan IL-8 yang tinggi dalam cairan seroma. Hal ini
memperlihatkan bahwa pembentukan seroma terjadi akibat reaksi akut proses
inflamasi selama fase pertama proses penyembuhan luka.9 Penjelasan ini serupa
dengan yang dialami Ny.N di mana cairan yang diproduksi adalah berupa eksudat
serosanguinus.
6. Patogenesis Pembentukan Seroma
Patogenesis pembentukan seroma masih belum sepenuhnya dijelaskan.
Seroma dibentuk dari eksudat proses inflamasi akut sebagai respon dari trauma
pembedahan dan fase akut penyembuhan luka. Aktivitas dari fibrinolitik berperan
dalam pembentukan seroma. Pembedahan yang ekstensif pada mastektomi dan
pemotongan dari pembuluh limfa aksila menyebabkan kerusakan beberapa
pembuluh darah serta pembuluh limfatik menyebabkan darah dan cairan limfa
banyak keluar sehingga memicu terbentuknya seroma. 10
Penimbunan seroma akan meningkatkan bagian yang harus ditutup
daridinding dada dan aksila sehingga menghambat perlekatan ke dasar jaringan
ikat. Hal ini memicu morbiditas seperti hematoma, penyembuhan yang lambat,
infeksi pada luka, wound dehiscence, masa rawat yang lebih panjang, serta
keterlambatan dalam pemberian terapi adjuvant. Kadar fibrinogen yang rendah
dibandingkan dengan plasma selama masa post operasi mendukung hipotesis
bahwa seroma pada dasarnya berasal dari pembuluh limfatik.11
Secara komponene kimiawi, hasil pemeriksaan seluler cairan yang terbentuk
dari drainase aksila post operatif mastektomi radikal menunjukkan bahwa pada
hari pertama post operatif didapatkan mengandung komponene darah, tetapi satu
hari berikutnya berubah menjadi cairan yang menyerupai cairan limfe yang
mengandung protein lebih banyak dan tidak ada fibrinogen. Jadi tidak terbentuk
koagulasi.
9 Szecsi PB, Larsen J, Hørby J, Axelsson CK. Seroma production after breast cancer surgery has a pro-inflammatory component. Open Breast Cancer J. 2012;4:11–7.10 Sampathraju S, Rodrigues R. Seroma Formation after Mastectomy: Pathogenesis and Prevention. Indian J Surg Oncol. (October–December 2010) 1(4):328–33311 Srivastava V, Basu S, Shukl VK. Seroma Formation after Breast Cancer Surgery: What We Have Learned in the Last Two Decades. J Breast Cancer December 2012; 15(4): 373-380
18
Pembentukan seroma dipengaruhi oleh gabungan dari beberapa hal dalam
proses pembedahan, meliputi tekhnik pembedahan maupun alat yang digunakan.
Teknik mastektomi radikal meningkatkan risiko pembentukan seroma
dibandingakan dengan mastektomi simpel. Modified Radical Mastectomy adalah
suatu tindakan pembedahan onkologis pada keganasan payudara yaitu dengan
mengangkat seluruh jaringan payudara yang terdiri dari seluruh stroma dan
parenkhim payudara, areola dan puting susu serta kulit diatas tumornya disertai
diseksi kelenjar getah bening aksila ipsilateral level I, II/III secara en bloc tanpa
mengangkat m.pektoralis major dan minor. Hal ini sesuai dengan riwayat
pembedahan yang dialami Ny.N bahwa pembedahan yang dilakukan pada Ny.N
sebelumnya adalah mastektomi radikal.
7. Soft Tissue Necrotic Post Mastectomy
Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan sel
akut atau trauma (misalnya: kekurangan oksigen, perubahan suhu yang ekstrem,
dan cedera mekanis), dimana kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol
yang dapat menyebabkan rusaknya sel, adanya respon peradangan dan sangat
berpotensi menyebabkan masalah kesehatan yang serius.
Perubahan pada sel yang nekrotik terjadi pada sitoplasma dan organel-organel
sel lainnya. Inti sel yang mati akan menyusut (piknotik), menjadi padat, batasnya
tidak teratur dan berwarna gelap. Selanjutnya inti sel hancur dan meninggalkan
pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel. Perubahan morfologis
sel yang mati tergantung dari aktivitas enzim lisis pada jaringan yang nekrotik.
Jika aktivitas enzim lisis terhambat maka jaringan nekrotik akan mempertahankan
bentuknya dan jaringannya akan mempertahankan ciri arsitekturnya selama
beberapa waktu. Nekrosis ini disebut nekrosis koagulatif, seringkali berhubungan
dengan gangguan suplai darah. Contohnya gangren.
Jaringan nekrotik akan menyebabkan peradangan sehingga jaringan nekrotik
tersebut dihancurkan dan dihilangkan dengan tujuan membuka jalan bagi proses
perbaikan untuk mengganti jaringan nekrotik. Jaringan nekrotik dapat digantikan
oleh sel-sel regenerasi (terjadi resolusi) atau malah digantikan jaringan parut. Jika
19
daerah nekrotik tidak dihancurkan atau dibuang maka akan ditutup oleh jaringan
fibrosa dan akhirnya diisi garam-garam kalsium yang diendapkan dari darah di
sekitar sirkulasi jaringan nekrotik.
Perubahan-perubahan pada jaringan nekrotik akan menyebabkan hilangnya
fungsi daerah yang mati, dapat menjadi fokus infeksi dan merupakan media
pertumbuhan yang baik untuk bakteri tertentu, misalnya bakteri saprofit pada
gangren, menimbulkan perubahan sistemik seperti demam dan peningkatan
leukosit, peningkatan kadar enzim-enzim tertentu dalam darah akibat kebocoran
sel-sel yang mati.
Penyebab nekrosis dapat berupa iskhemi dapat terjadi karena perbekalan
(supply) oksigen dan makanan untuk suatu alat tubuh terputus. Iskhemi terjadi
pada infak, yaitu kematian jaringan akibat penyumbatan pembuluh darah.
Penyumbatan dapat terjadi akibat pembentukan trombus. Penyumbatan
mengakibatkan anoxia. Nekrosis terutama terjadi apabila daerah yang terkena
tidak mendapat pertolongan sirkulasi kolateral. Nekrosis lebih mudah terjadi
pada jaringan-jaringan yang bersifat rentan terhadap anoxia.
Nekrosis memiliki ciri khas yaitu kulit yang tidak menyatu dengan lapisan
otot di bawahnya dan biasanya diakibatkan dari trauma, pembedahan, injeksi obat
dan berhubungan dengan usia, penyakit gagal ginjal kronik, obesitas, penyakit
pembuluh darah perifer atau diabetes. Kasus nekrosis kulit post mastektomi
membutuhkan debridement yang ekstensif. Nekrosis kulit ditandai dengan edema,
eritema dan discharge yang berubah dari serosa menjadi pus. Terapi pada keadaan
ini berupa surgical debridement dan antibiotic. Debridement sangat dibutuhkan
pada keadaan ini untuk membuat perdarahan jaringan yang lebih sehat pada
seluruh bagian yang diangkat pada mastektomi. Pada kasus ini, beberapa faktor
mungkin berkontribusi terhadap perkembangan jaringan nekrotik ini. Salah
satunya yaitu tingkat kegananasan merupakan faktor risiko terhadap munculnya
invasi pembuluh limfovaskular.
20
8. Drainase pasca operasi
Secara umum, pengertian drain pada pembedahan adalah saluran untuk
mengeluarkan nanah, darah atau cairan lain dari sebuah luka operasi. Drain yang
diletakkan setelah operasi bermanfaat untuk mengeluarkan cairan yang terbentuk
yang dapat menjadi fokus infeksi.
Drain dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu: 12
1. Drain aktif
Dimana cairan yang terbentuk akan dialirkan melalui saluran yang
dihubungkan dengan alat penghisap. Dengan memberikan tekanan isap
rendah yang menyebabkan cairan akan terhisap terus menerus.
Keuntungan penggunaan drain aktif ini antara lain:
- Meminimlakan trauma jaringan
- Akurat dalam jumlah drainase
- Karena system tertutup, risiko infeksi menurun
Beberapa hal yang mempengaruhi keefektifak drain aktif ini antara lain
adalah konsistensi dari cairan yang dihasilkan, panjang dan diameter dari
pipa drain dan seberapa besar tekanan isap yang diberikan.
2. Drain pasif
Cairan yang terbentuk akan dialirkan melalui sebuah saluran dengan
tempat penampung hanya denngan bantuan gaya grafitasi dan sifat cairan
yang mencari tempat terendah.
Tujuan pemasangan drain pada pembedahan:
- Untuk menutup ruang mati di bidang jaringan yang berlebih
- Memberikan aliran pada focus abses atau bagian tubuh yang terinfeksi
- Sebagai penanda pertama adanya kebocoran pasca pembedahan seperti
kebocoran usus, urin atau paru-paru
- Mengontrol kebocoran fistula
12 Rixendo, PErbandingan Efektifitas Lama PEmakaian Drain Pasif Terhadap Pencegahan Terbentuknya Seroma Pasca Modified Radical Mastectomy, Bagian Ilmu Bedah, FK Universitas Andalas, 2010
21
Mekanisme yang diharapkan dengan pemasanagan drain adalah drain akan
menyebabkan perlengketan skin flap ke dinding dada dan aksila sehingga
mengurangi insiden terjadinya seroma, hematoma dan flap nekrosis pasca operasi
modified radikal mastektomi. Tanpa pemakaian drain insiden terjadinya seroma
akan menjadi sangat tinggi. Sedangkan pemakaian dari drain yang terlalu lama
akan menyebabkan terjadinya ascending infeksi lewat drainase yang dipasang.
Drain pasca pembedahan memberikan pengaruh terhadap pasien dalam beberapa
cara. Diantaranya mempercepat lama rawatan dan mengurangi angka kejadian
seroma. Tetapi drain dapat sering mengganggu dan mengurangi mobilitas pasca
operasi. Juga belum ada ketentuan standar yang dapat diterima mengenai berapa
lama drain tersebut dipasang. Jika drain dilepas terlalu cepat, kemungkinan akan
terbentuk seroma yang akan meningkatkan morbiditas dan menyebabkan
penundaan terapi adjuvanpasca bedah.
Pemasangan drain yang dilepas lambat yaitu sekitar 8 hari lebih mengurangi
angka kejadian seroma, dapat dijelaskan bahwa dengan memperlama pemasangan
drain pasca pembedahan, maka semakin sedikit jumlah seroma yang terbentuk
sebagai akibat telah terjadinya perlengketan kulit dengan dinding dada dan
dinding dasar aksila. Sedangkan pada drain yang dilepas cepat yaitu sekitar 4 hari
terdapat peningkatan terjadinya seroma pasca pembedahan, ini dimungkinkan
oleh karena masih belum sempurna penyembuhan luka. Pada beberapa literature
menganjurkan pelepasan drain dengan jumlah seroma terakhir kurang dari
30cc/hari. 13
Pada pasien Ny.N, setelah dilakukan repair defect dan debridement serta
hecting ulang pada luka, maka diperoleh hasil bahwa luka sudah tidak lagi
mengeluarkan rembesan cairan dan jahitan luka sudah tertutup. Prognosis
kesembuhan luka dapat menjadi dubia ad bonam jika dalam masa penyembuhan
luka tidak ada lagi keluar rembesan. Pasien kemudian pulang dengan dibekalkan
obat antibiotik untuk mengurangi risiko terjadi infeksi serta analgetik untuk
mengurangi nyeri pada luka jahitan operasi tersebut.
13 Lamptpey-Gleg, JN, Dakybo JB et al. Comparison Four Days and ten post mastectomy Passive Drainage in Acra Ghana. East African Med Jour. 2007, 12;561-565