pematangan paru

31
BAB I PENDAHULUAN Pematangan paru intrauterine meliputi empat periode, yaitu periode pseudoglandula, periode kanalikuler, periode sakus terminalis, dan periode alveolaris. Periode pseudoglandula dari 5-16 minggu dimana cabang- cabang berlanjut membentuk bronkiolus terminalis. Periode kanalikuler 15-26 minggu dimana setiap bronkiolus terminalis terbagi menjadi dua atau lebih bronkiolus respiratorius yang kemudian terbagi menjadi 3-6 duktus alveolaris. Periode sakus terminalis 26 minggu sampai lahir dimana terbentuk sakus terminalis (alveoli primitif), dan kapiler membentuk hubungan erat. Periode alveolaris 8 bulan sampai masa kanak- kanak dimana alveoli matang dengan hubungan epitel endotel (kapiler) yang sudah berkembang dengan baik. Sebelum lahir, paru-paru berisi cairan yang mengandung kadar klorida tinggi, sedikit protein, sedikit lendir dari kelenjar bronkus, dan surfaktan dari sel epitel alveoli tipe II. Jumlah surfaktan dalam cairan tersebut semakin lama semakin bertambah banyak, terutama selama dua minggu terakhir sebelum lahir, tanpa adanya lapisan surfaktan ini alveoli akan tetap menguncup. 1

description

pematangann paru

Transcript of pematangan paru

Page 1: pematangan paru

BAB IPENDAHULUAN

Pematangan paru intrauterine meliputi empat periode, yaitu periode

pseudoglandula, periode kanalikuler, periode sakus terminalis, dan periode

alveolaris. Periode pseudoglandula dari 5-16 minggu dimana cabang-cabang

berlanjut membentuk bronkiolus terminalis. Periode kanalikuler 15-26 minggu

dimana setiap bronkiolus terminalis terbagi menjadi dua atau lebih bronkiolus

respiratorius yang kemudian terbagi menjadi 3-6 duktus alveolaris. Periode sakus

terminalis 26 minggu sampai lahir dimana terbentuk sakus terminalis (alveoli

primitif), dan kapiler membentuk hubungan erat. Periode alveolaris 8 bulan

sampai masa kanak-kanak dimana alveoli matang dengan hubungan epitel endotel

(kapiler) yang sudah berkembang dengan baik.

Sebelum lahir, paru-paru berisi cairan yang mengandung kadar klorida tinggi,

sedikit protein, sedikit lendir dari kelenjar bronkus, dan surfaktan dari sel epitel

alveoli tipe II. Jumlah surfaktan dalam cairan tersebut semakin lama semakin

bertambah banyak, terutama selama dua minggu terakhir sebelum lahir, tanpa

adanya lapisan surfaktan ini alveoli akan tetap menguncup.

Adanya perkembangan analisis untuk memprediksi maturitas paru banyak

dikembangkan saat ini. Penggunaan analisis terhadap cairan amnion untuk

memprediksi maturitas paru- paru janin telah diterima secara luas. Hasil analisis

ini telah dimanfaatkan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan

terminasi kehamilan secara elektif, misalnya pada kasus seksio sesarea yang

berulang dan merupakan faktor yang penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus

gestosis, diabetes melitus, perdarahan antepartum, inkompabilitas rhesus dan

komplikasi-komplikasi lain kehamilan.

Di Amerika Serikat, berdasarkan hasil pemeriksaan maturitas paru secara luas,

SGN telah diprediksi terjadinya pada 40.000 bayi-bayi yang baru lahir stiap tahun.

Sindroma gawat napas mortalitasnya yang cukup tinggi yaitu sebesar 30% dan

1

Page 2: pematangan paru

dalam jangka panjang dihubungkan dengan risiko yang bermakna untuk

timbulnya gejala sisa, baik neurologis maupun pulmonologis

Apabila karena sesuatu keadaan, kehamilan harus diakhiri atau menunda suatu

persalinan, menjadi suatu persoalan untuk menentukan dengan tepat maturitas

paru-paru janin. Maturitas paru-paru janin ini sangat erat hubungannya dengan

terjadinya sindroma gawat napas (SGN).

Pemeriksaan maturitas paru sangat bermanfaat, untuk memprediksi terjadinya

SGN pada bayi-bayi baru lahir.

2

Page 3: pematangan paru

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. Pematangan Paru Intrauterine

Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap. Selama tahap

awal embrionik paru berkembang diluar dinding ventral dari primitive foregut

endoderm. Sel epithel dari foregut endoderm bergerak di sekitar mesoderm yang

merupakan struktur teratas dari saluran napas.

Tabel 1. Tahap pertumbuhan dan pematangan paru

Waktu (minggu)

Embryonic 3 – 5

Pseudoglandular 5-16

Canalicular 16-26

Saccular 26-36

Alveolar 36 weeks-2 years

Postnatal growth 2 - 18 years

(Dikutip dari : Kotecha.S. Lung growth: implications for the newborn infant. Arch

Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2000)

Selama tahap canalicular yang terjadi antara 16 dan 26 minggu di uterus, terjadi

perkembangan lanjut dari saluran napas bagian bawah dan terjadi pembentukan

acini primer. Struktur acinar terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar,

dan alveoli rudimenter. Perkembangan intracinar capillaries yang berada

disekeliling mesenchyme, bergabung dengan perkembangan acinus. Lamellar

bodies mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumocyte type II

dapat ditemui dalam acinar tubulus pada stadium ini. Perbedaan antara

pneumocyte tipe I terjadi bersama dengan barier alveolar-capillary.

3

Page 4: pematangan paru

Sumber: Human Embriology Universities of Fribourg, Lausanne and Bern (Switzerland) http://www.embryology.ch/indexen.html

Fase saccular dimulai dengan ditandai adanya pelebaran jalan napas perifer yang

merupakan dilatasi tubulus acinar dan penebalan dinding yang menghasilkan

peningkatan pertukaran gas pada area permukaan. Lamellar bodies pada sel type

II meningkat dan maturasi lebih lanjut terjadi dalam sel tipe I. Kapiler-kapiler

sangat berhubungan dengan sel tipe I , sehingga akan terjadi penurunan jarak

antara permukaan darah dan udara

Selama tahap alveolar dibentuk septa alveolar sekunder yang terjadi dari gestasi

36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir. Septa sekunder terdiri dari penonjolan

jaringan penghubung dan double capillary loop. Terjadi perubahan bentuk dan

maturasi alveoli yang ditandai dengan penebalan dinding alveoli dan dengan cara

apoptosis mengubah bentuk dari double capillary loop menjadi single capillary

loop . Selama fase ini terjadi proliferasi pada semua tipe sel . Sel-sel mesenchym

berproliferasi dan menyimpan matrix ekstraseluler yang diperlukan. Sel-sel

epithel khususnya pneumocytes tipe I dan II, jumlahnya meningkat pada dinding

alveoli dan sel-sel endothel tumbuh dengan cepat dalam septa sekunder dengan

cara pembentukan berulang secara berkelanjutan dari double capillary loop

4

Page 5: pematangan paru

menjadi single capillary loop. Perkiraan jumlah alveolus pada saat lahir dengan

menggunakan rentang antara 20 juta – 50 juta sudah mencukupi. Pada dewasa

jumlahnya akan bertambah sampai sekitar 300 juta.

2.2. Surfaktan

Suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat permukaan aktif. Surfaktan pada

paru manusia merupakan senyawa lipoprotein dengan komposisi yang kompleks

dengan variasi berbeda sedikit diantara spesies mamalia. Senyawa ini terdiri dari

fosfolipid (hampir 90% bagian), berupa Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC)

yang juga disebut lesitin, dan protein surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD

(10% bagian). DPPC murni tidak dapat bekerja dengan baik sebagai surfaktan

pada suhu normal badan 37°C, diperlukan fosfolipid lain (mis. fosfatidilgliserol)

dan juga memerlukan protein surfaktan untuk mencapai air liquid-interface dan

untuk penyebarannya keseluruh permukaan.

Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi 22-24

minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26 minggu, yang

mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu.

Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol

yang terdapat pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih

dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh stres,

atau oleh pengobatan betamethasone atau deksamethason yang diberikan pada ibu

yang diduga akan melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan atau kehamilan

preterm 24-34 minggu.

Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid

dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur

kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin dari cairan

amnion. Sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan tubuh lainnya

kecuali paru-paru. Jumlah lesitin meningkat dengan bertambahnya gestasi,

sedangkan sfingomielin jumlahnya menetap.

5

Page 6: pematangan paru

Rasio L/Sbiasanya 1:1 pada gestasi 31-32 minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi

35 minggu. Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah matang

sempurna, rasio 1,5-1,9 sejumlah 50% akan menjadi RDS, dan rasio kurang dari

1,5 sejumlah 73% akan menjadi RDS. Bila radius alveolus mengecil, surfaktan

yang memiliki sifat permukaan alveolus, dengan demikian mencegah kolapsnya

alveolus pada waktu ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah penyebab terjadinya

atelektasis secara progresif dan menyebabkan meningkatnya distres pernafasan

pada 24-48 jam pasca lahir.

2.3. Pemeriksaan Kematangan Paru

Surfaktan merupakan suatu senyawa yang kompleks yang terdiri dari protein dan

fosfolipid. Telah diterima secara luas bahwa kadar fosfolipid dalam cairan amnion

akan meningkat sesuai dengan usia kehamilan dan mempunyai korelasi dengan resiko

terjadinya sindroma gawat napas. Tidak ada pemeriksaan cairan amnion yang betul-

betul reliable, mudah dilakukan, dan secara universal dapat dilakukan untuk

memprediksi maturitas paru-paru janin. Sebagai konsekuensinya. Dikembangkan

banyak macam pemeriksaan meturitas paru janin yang telah dilakukan oleh peneliti.

Beberapa uji yang digunakan untuk memperkirakan surfaktan paru-paru, dan untuk

meramalkan terjadinya sindroma gawat napas, telah ditinjau oleh O’Brien dan Cefalo.

Mereka membagi berbagi metode pemeriksaan maturitas paru-paru tersebut ke dalam

dua kelompok besar :

A. Secara kimiawi :

1. Rasio Lesitin-sfngomielin (L/S Ratio) 2. Komponen-komponen minor surfaktan

3. Fosfatidigliserol

4. Phosphotidate phosphohydrolase

5. P/S Ratio

B. Secara biofisik :

6

Page 7: pematangan paru

1. Foam stability test

2. Test of optical density

3. Microviscosity

a. Rasio Lesitin-sfngomielin (L/S Ratio)

Pemeriksaan untuk menentukan rasio lesitin-sfngomielin ini merupakan

pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk memprediksikan

maturitas paru-paru janin, dan dianggap sebagai “gold standart method” .

Pemeriksaan ini mempunyai beberapa hal yang kurang menguntungkan,

yaitu memerlukan banyak waktu dalam proses pemeriksaannya, disamping

itu pengukuran rasio lesitin-sfngomielin ini memerlukan laboratorium

yang monitornya dengan baik karena variasi kecil dalam teknik dapat

sangat mempengaruhi keakuratan hasilnya. Borer dan dkk, yang pertama

kali memperkenalkan pengukuran rasio lesitin-dfngomielin ini.

Selanjutnya banyak penelitian dilakukan untuk mengevaluasi berbagai

teknik pemeriksaan ini.

Metode Gluck dkk dimulai dengan melakukan sentrifugasi terhadap cairan

amnion yang akan diperiksa dengan 5.400 rpm selama 5 sampai 10 menit,

kemudian dilakukan ekstraksi fosfolipid dengan chloroform, presipitasi

dalam aseton dingin, resuspensi dalam chloform separation dengan thin-

layer chromatography (TLC), dan pengukuran rasio lesitin-sfngomeilin

dengan menggunakan densitometry atau dilakukan pewarnaan dengan

bromothymol blue dilanjutkan dengan planimetry. Apabila analisis

tersebut tidak cepat dilakukan, spesimen hendaknya dimasukan dalam

lemari pendingin. Metode ini juga dipakai oleh Donald dkk dan Aubrey

dkk dalam penelitian-penelitiannya.

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengukur rasio lesitin

sfngomielin dengan menggunakan berbagai modifikasi dalam prosedur

pemeriksaannya. Modifikasi yang paling sering adalah menghilangkan

7

Page 8: pematangan paru

langkah pemeriksaan presitasi dalam aseton dingin. Gluck dkk

menyatakan bahwa prespitasi dengan aseton akan memisahkan fosfolipid

permukaan-aktif dari yang bukan permukaan aktif, tetapi peneliti-peneliti

lain tidak menemukan pemisahan fosfolipid dalam dua fraksi tersebut.

Sebelum kehamilan 34 minggu, lesitin dan sfingomielin terdapat didalam

cairan amnion dengan konsentrasi yang sama. Pada sekitar usia kehamilan

34 minggu, konsentrasi relative lesitin terhadap sfingomielin mulai naik.

Gluck dkk, pada tahun 1971, melaporkan bahwa untuk kehamilan yang

tidak diketahui umurnya tetapi tanpa komplikasi apapun, risiko terjadinya

sindroma gawat napas pada bayi baru lahir sangat kecil kalau konsentrasi

lesitin di dalam cairan amnion sedikitnya dua kali konsentrasi

sfingomielin, sementara itu ada resiko yang semakin tinggi untuk

terjadinya sindroma gawat napas kalau rasio lesitin-sfingomielin di bawah

2.

Hal ini segera dikonfirmasikan oleh peneliti lain. Pada tahun 1975, Harvey

dkk menggabungkan 25 laporan yang rasio lesitin-sfingomielin diukur

dengan teknik yang sama pada cairan amnion yang dikumpulkan dalam 72

jam setelah kelahiran. Bila rasio lesitin-sfingomielin lebih besar dari 2,

resiko terjadi sindroma gawat napas ditemukan kecil sekali, kecuali bila

ibu menderita diabetes. Kalau rasio lesitin-sfingomielin antara 1,5 sampai

2, maka sindroma gawat napas ditemukan pada 40% kasus, dan kalau

dibawah 1,5 ditemukan pada 73% kasus. Meskipun 73 bayi mengalami

sindroma gawat napas kalau rasio lesitin-sfingomielin dibawah 1,5 tetapi

yang terbukti fatal hanya pada 14%.

b. Komponen-komponen minor surfaktan

Pada tahun 1973, Nelson dan Lawson melaporkan hasil evaluasi terhadap

konsentrasi total phospholipid phosphorus dalam cairan amnion dengan

ekstrak lipid total yang dipresipitasi menggunakan aseton dingin. Hasil

8

Page 9: pematangan paru

presipitasi ini dihancurkan dengan sulfuric acid yang menyebabkan

lepasnya inorganic phosphorus, kemudian diukur dengan

spectrophotometry.

Penelitian ini mendapatkan bahwa bila konsentrasi total phospholipid

phosphorus lebih dari 0,140 mg/dl tidak satupun ditemukan terjadi

sindroma gawat napas di antara 150 neonatus. Sementara bila konsentrasi

total phospholipid phosphorus kurang dari 0,140 mg/dl ditemukan

sindroma gawat napas pada 12 antara 37 neonatus.

Pada tahun 1972 dan 1973, Nelson dan Lawson melaporkan pemakaian

konsentrasi lesitin dalam cairan amnion sebagai indeks untuk menilai

maturitas paru-paru janin. Sampel cairan amnion disentrifugasi pada 1.500

rpm selama 10 menit supernatant yang diasilkan diperiksa dengan thin-

layer chromatography (TCL). Bintik lesitin dan sfingomielin kemudian

dianalisis dengan menggunakan Lechitin phosphorus.

Pada penelitian awal dilaporkan bahwa didapatkan hasil dengan

prediktabilitas yang akurat dimana konsentrasi lesitin 0,100 mg tidak

satupun terjadi sindroma gawat napas dari 74 neonatus. Pada penelitian

yang kedua dilaporkan bahwa pemeriksaan ini lebih prediktif untuk

sindroma gawat napas daripada berat badan. Korelasi ini memberikan

bukti bahwa pemeriksaan ini mempunyai korelasi yang lebih baik dengan

tingkat maturitas paru-paru janin daripada dengan usia kehamilan.

Pada tahun 1974 dan 1976, Lindback dkk melaporkan penelitian mengenai

pemeriksaan lesitin cairan amnion. Setelah dilakukan ekstraksi lipid

dengan chloroform, lipid dipisahkan dengan thin-layer chromatography

(TCL). Hasil pengukuran dinyatakan dalam micromole per desi liter. Pada

pasien normal, diambil kadar lesitin sebesar 4,8 mikromole per desi liter

sebagai nilai ambang prediktif. Pada pasien dengan hipertensi atau

diabetes dan pertumbuhan janin terhambat, dari 48 neonatus dengan

9

Page 10: pematangan paru

konsentrasi lesitin diatas nilai ambang sindroma gawat napas pada 6

neonatus.

c. Fosfatidilgliserol

Walaupun lesitin merupakan komponen utama fosfolipid surfaktan paru-

paru, fosfolipid lain mungkin juga menambah aktif total surfaktan.

Komponen minor fosfolipid yang terutama adalah fosfotidilgliserol dan

fosfatidilinositol. Pada tahun 1976, Hallman dkk menemukan adanya

korelasi antara persentase fosfatidilgliserol dan fosfatidilinositol dengan

usia kehamilan dan rasio lesitin-sfingomielin pada 66 spesimen yang

didapatkan dari kehamilan normal. Pada tahun 1977, peneliti lain dari

kelompok ini juga mendapatkan bahwa dalam spesimen yang didapatkan

dari aspirasi tracheal neonatus-neonatus yang mengalami sindroma gawat

napas tidak ditemukan adanya fosfatidilgliserol. Setelah usia kehamilan 30

minggu, fosfatidilgliserol ini selalu teridentifikaasi pada neonatus yang

tidak mengalami sindroma gawat napas.

Pada tahun 1977, Cunningham dkk melaporkan tidak teridentifikasinya

fosfatidilgliserol dan sampel cairan amnion yang didapatkan dari

kehamilan resiko tinggi dengan usia kehamilan 34-37 minggu. Pada tahun

1978, Golde melaporkan hasil pemeriksaan terhadap fosfatidilgliserol pada

sampel cairan amnion dari 215 pasien melahirkan bayi dalam 72 jam dari

saat pemeriksaan. Pada sampel cairan amnion yang mengandung

fosfatidilgliserol tidak teridentifikasi, sindroma gawat napas terjadi pada 4

neonatus.

Whittle dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa kerja surfaktan yang

tidak cukup untuk mencegah sindroma gawat napas, sekaligus rasio

lesitin- sfingomielin adalah 2, dianggap disebabkan sebagaian oleh

kurangnya fosfatidilgliserol dan peninggian permukaan aktif.

Ditemukannya fosfatidilgliserol didalam cairan amnion memberikan

10

Page 11: pematangan paru

jaminan yang cukup besar, tetapi tidak harus merupakan garansi absolut,

bahwa sindroma gawat napas tidak akan timbul. Fosfatidilgliserol belum

ditemukan di dalam darah, mekonium, atau secret vagina, karena itu

kontaminan-kontaminan ini tidak akan mengacaukan interpretasi. Tidak

adanya fosfatidilgliserol tidaklah harus merupakan indikator kuat bahwa

sindroma gawat napas kemungkinan akan timbul setelah lahir, tidak

adanya fosfolipid ini hanya menunjukan bahwa bayi tersebut mungkin

akan mengalami sindroma gawat napas.

Uji aglutinasi imunologi cepat (dalam 15 menit) (Amniostat-FLM) untuk

mendeteksi fosfatidilgliserol dalam sampel cairan amnion, mempunyai

keakuratan yang tinggi, dan dengan demikian dapat dipakai untuk

menemukan ketidakmungkinan neonatus akan mengalami sindroma gawat

napas. Hal ini telah dibuktikan secara memuaskan oleh Garite dkk pada

tahun 1983.

d. Phosphatidate Phosphohydrolase (PAPase)

Herbert dkk melaporkan aktivitas spesifik dari enzim phosphatidate

phosphohydrolase (PAPase) dalam cairan amnion. Enzim ini telah

diketahui terdapat dalam badan-badan lamellar pada pneumosit tipe II

peningkatan aktivitas enzim phosphatidate phosphohydrolase berkaitan

dengan sintesis surfaktan pada kehamilan. Enzim ini diduga merupakan

faktor kritis dalam produksi lesitin dan fosfatidilgliserol.

Penelitian ini meliputi 223 kehamilan, sampel cairan amnion didapatkan

melalui amniosintesis transabdominal dan bebas dari kontaminasi darah

dan mekonium. Aktivitas enzim phosphatidate phosphohydrolase

didapatkan seiring dengan usia kehamilan dan mempunyai korelasi dengan

sindroma gawat napas. Dari 53 neonatus yang lahir beberapa waktu setelah

pemeriksaan dengan level kurang dari 50, sepuluh diantaranya didapat

terjadi sindroma gawat napas, sementara dari 170 neonatus dengan level

50 atau lebih, terjadi sindroma gawat napas pada 1 kasus.

11

Page 12: pematangan paru

e. P/S Ratio

O’Ne’il dkk melaporkan hasil pemeriksaan palmitic acid / stearic acid

ratio (P/S Ratio) pada sampel cairan amnion dari 64 pasien. Pada 31

diantara pasien-pasien ini, kehamilan dengan komplikasi diabetes mellitus.

Setelah dilakukan ekstraksi lipid dan thin-layer chromatography (TLC),

bintik lesitin diekstraksi, hidrolisasi, dan metilasi. Ester yang dihasilkan

diekstraksi, redissolved, dan diperiksa dengan gas-liquid chromatography.

Nilainya dibandingkan dengan metal ester asam lemak murni standar.

f. Foam Stability Test (Tes Busa)

Metode pemeriksaan ini menawarkan hasil lebih yang cepat didapatkan,

mudah dilakukan, reagensia yang mudah didapatkan Foam Stability Test

atau uji stabilitas busa, metode pemeriksaan ini diperkenalkan pertama kali

oleh Clements pada tahun 1972, disebut juga shake test atau uji kocok,

sekarang dipakai secara luas.

Kelemahan utama yang tampak pada pemeriksaan ini adalah tingginya

hasil negatif palsu dan keakuratan-nya masih perlu dipertanyakan pada

kehamilan-kehamilan resiko tinggi. Pemeriksaan ini tergantung pada

kemampuan surfaktan dalam cairan amnion, kalau dicampur dengan etanol

dalam jumlah cukup, untuk menimbulkan busa yang stabil. Teknik ini

memerlukan tidak lebih dari 30 menit untuk mengerjakannya.

Ke dalam tabung kaca 13x100 yang bersih secara kimiawi dengan tutup

sekrup plastic berlapis Teflon, dimasukan cairan amnion 0,5 ml, saline

0,9% sebanyak 0,5ml, dan etanol 95% sebanyak 1 ml dimasukan kedalam

tabung lain. Masing-masing tabung dengan dikocok kuat selama 15 detik

dan ditempatkan tegak di rak selama 15 menit. Bertahannya cincin utuh

gelembung pada interface udara-cairan setelah 15 menit dianggap sebagai

uji positif.

12

Page 13: pematangan paru

Kalau cincin busa bertahan selama 15 menit, resiko terjadinya sindroma

gawat napas sangat rendah. Misalnya, Schlueter dkk (1975) hanya

menemukan satu kasus sindroma gawat napas dari 205 kehamilan dengan

uji positif untuk cairan amnion yang dilarutkan dengan volume salin yang

sama. Tetapi ada 2 masalah pada uji coba ini :

Kontaminasi sedikit saja cairan amnion, reagen, atau alat kaca, atau

kesalahan pengukuran, dapat merubah hasil yang cukup jelas.

Uji negative palsu agak sering terjadi, yaitu kegagalan cincin busa untuk

tetap utuh selama 15 menit di dalam tabung berisi cairan amnion yang

diencerkan

Pemeriksaan dengan shake test ini, penting diperhatikan kemurnian

reagensia dan kontaminasi sampel cairan amnion dengan darah atau

mekonium dapat menyebabkan hasil positif palsu.

G. Test of Optical Density

13

1 ml Alkohol 95%

O,5 ml NaCl 0,9%

0,5 ml cairan amnion

Kocok 15 detik

Diamkan tegak lurus 15 menit

Positif gelembung > 2/3Intermediate gelembung 1/3- 2/3

Negatif gelembung < 2/3

SHAKE TEST

Page 14: pematangan paru

Pada tahun 1977, Sbarra dkk mendapatkan bahwa derajat penyerapan

cahaya dengan panjang gelombang 650 nm telah dilaporkan berkorelasi

baik dengan rasio lesitin-sfingomielin di dalam cairan amnion. Pada tahun

1983, Tsai dkk melaporkan uji ini paling informative pada penyerapan

tinggi; tetapi diantara kedua ekstrim tersebut, nilai positif palsu dan negatif

palsu terbukti mengganggu. Selain itu, Khouzami dkk (1983) melaporkan

bahwa perbedaan sentrifugasi mengubah penyerapan cahaya cukup besar

oleh cairan amnion.

Yang paling sering dipakai adalah pengukuran optical density dari cairan

amnion pada 650 nm. Walaupun pemeriksaan ini mudah dan cepat, hasil

pemeriksaan dipengaruhi oleh variasi volume cairan amnion.

Pada tahun 1977, Sbarra dkk melaporkan adanya korelasi optical density

cairan amnion pada 650 nm (OD 650) setelah disentrifugasi pada 2.000 x

g selama 10 menit dengan rasio lesitin-sfingomielin. Pada penelitian ini,

hasil pengukuran dibandingkan dengan metode modifikasi Borer. Semua

sampel dengan OD650 > 0,15 menunjukan rasio L/S < 2, dan 41 dari 59

pasien dengan 300 sampel, 2 dari 136 sampel dengan hasil > 0,15

mempunyai rasio L/S < 2 dan 13 dari 164 sampel dengan hasil < 0,15

mempunyai rasio L/S > 2,0.

Copeland dkk juga melaporkan hasil penelitian dengan metode

pemeriksaan ini terhadap 87 sampel, dan menunjukan korelasi dengan

rasio L/S. Tidak ditemukan hasil positif palsu, tetapi didapatkan negatif

palsu sebesar 40%.

H. Microviscosity

Metode pemeriksaan ini dapat memberikan hasil yang cepat, dan

tekniknya sederhana dan mudah dilakukan, tetapi kekurangannya adalah

instrument dan reagen-nya mahal. Pemeriksaan ini sering juga disebut

pemeriksaan polarisasi fluoresen atau mikroviskometri.

14

Page 15: pematangan paru

Pada tahun 1976, Shinitzky dkk memperkenalkan pemeriksaan dengan

mengukur microviscosity cairan amnion. Metode pemeriksaan ini

didasarkan pada pengukuran jumlah depolarisasi oleh fluoresen spesifik

yang dilarutkan dalam lipid cairan amnion. Sebagai suatu pengukuran dari

viskositas, pemeriksaan ini merefleksikan aktifitas tegangan permukaan

cairan dan dinyatakan sebagi nilai P.

Pada penelitian awal meliputi 47 sampel, nilai P sampel cairan amnion

kurang lebih 0,400 sampai 0,200 dengan usia kehamilan lanjut. Pada

publik selanjutnya, nilai P ditentukan < 0,366 dipakai sebagai indikator

maturitas, hasil ini dibandingkan dengan rasio L/S. Pada 153 dari 161

pemeriksaan, hasilnya sesuai. Pada 8 kasus, nilai polarisasi yang

mengindikasikan maturitas paru berhubungan dengan rasio L/S kurang

dari 2.

I. Tap test

Pada tahun 1984, Socol dkk melaporkan telah melakukan penelitian untuk

menilai maturitas paru-paru janin dengan metode pemeriksaan baru yang

disebut tap test. Metode pemerksaan ini hasilnya cepat, tidak mahal, dan

hanya memerlukan 1 ml sampel cairan amnion. Cairan amnion didapatkan

melalui amniosentesis atau dari vaginal pool.

Tap test dilakukan denga cara mencampurkan kurang lebih 1 ml sampel

cairan amnion dengan 1 tetes 6N hidrocloric acid (konsentrasi hidrocloric

acid diencerkan 1:1) dan kemudian ditambahkan kurang lebih 1,5 ml

diethyl ether. Campuran ini kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi,

kemudian di-tapped tiga atau empat kali, dimana akan dihasilkan kira-kira

200-300 gelembung busa dilapisan ether. Pada cairan amnion dari janin

yang matur, gelembung busa tersebut dengan cepat timbul dipermukaan

dan pecah; pada cairan amnion dari janin yang immatur, gelembung busa

tersebut stabil atau pecah dan lambat. Pada penelitian ini tap test dibaca

pada 2,5 dan 10 menit. Jika tidak dari gelembung busa yang tinggal di

lapisan ether, hasil tes dinyatakan matur.

15

Page 16: pematangan paru

J. Amniotic Fluid Turbidity

Suatu pemeriksaan yang cepat, dengan teknik pemeriksaan yang sangat

sederhana untuk memprediksikan maturitas paru janin. Verniks kaseosa

merupakan material lemak kompleks yang terdiri dari sebaseus dan

epithelial, didapatkan pada kulit janin pada trimester III kehamilan.

Seiring dengan matangnya epidermis, verniks akan menurun daya lekatnya

pada kulit janin. Lepasnya lapisan verniks dari epidermis menyebabkan

meningkatkan partikel-partikel free floating di dalam cairan amnion dan

akibatnya meningkatkan turbiditas cairan amnion.

Turbiditas cairan amnion meningkat dengan bertambah tuanya kehamilan,

maka turbiditas cairan amnion ini dapat menjadi petunjuk tak langsung

bagi maturitas paru-paru janin. Turbiditas cairan amnion dan maturitas

paru-paru janin mempunyai hubungan yang saling berkait dengan usia

kehamilan. Stong dkk, pada tahun 1992, melakukan pemeriksaan

turbiditas cairan amnion pada 100 sampel yang didapatkan melalui

amniosentesis.

Prosedur pemeriksaan yang dilakukan : 2-5 ml cairan amnion segar

ditempatkan pada sebuah tabung reaksi 7 ml (diameter 13 ml). tabung ini

kemudian ditempatkan di depan sebuah kliping berita yang dipilih dan

digunakan utuk seluruh 100 sampel. Apabila kliping berita tersebut dapat

dibaca melalui sampel cairan amnion tersebut, maka diklasifikasikan

sebagai clear (jernih). Apabila kliping tersebut tidak dapat dibaca, maka

diklasifikasikan sebagai turbid (keruh). Seluruh sampel cairan amnion

dinilai di dalam ruangan yang sama dan dengan lampu penerang yang

sama. Kemudian dilakukan pemeriksaan rasio lesitin-sfingomielin dan

fosfotidilgliserol. Paru-paru dinyatakan matang bila rasio lesitin-

sfingomielin > 2,0 atau fosfotidilgliserol terdeteksi. Strong dkk

mendapatkan bahwa nilai prediksi positif turbiditas cairan amnion untuk

16

Page 17: pematangan paru

janin matur adalah 97%, sensifitas dan spesifitas turbiditas cairan amnion

adalah 59% dan 98%. Sensi prediksi positif dan negative untuk janin

immatur adalah 71% dan 29%. Tidak satupun dari janin yang hasil

pemeriksaan cairan amnion-nya keruh yang menderita sindroma gawat

napas atau pun memerlukan bantuan oksigen setelah lahir.

K. Ultrasonografi

Kemajuan teknologi dalam pemeriksaan ultra-sonografi telah

memungkinkan dilakukan observasi perubahan-perubahan yang terjadi

pada plasenta dalam rahim. Winsberg, Fisher dkk, Hobbins dan Winsberg,

serta Stein dkk telah memperlihatkan gambaran ultra-sonografi pada

plasenta yang matur. Secara logis, dapat diterima bahwa plasenta sebagai

“fetal” organ akan menjadi matur sejalan dengan sistem organ fetal

lainnya. Pada tahun 1979, Hobbins dkk mencoba membuat kategori fase-

fase maturisasi plasenta, untuk itu mereka mengklasifikasikan variasi

gambaran ultra-sonografi plasenta yang terjadi selama kehamilan dan

kemudian mencari korelasinya dengan rasio lesitin/sfingomielin sebagai

salah satu indeks maturitas paru-paru janin.

Klasifikasi plasenta, dibuat mulai dari Derajat 0 sampai dengan Derajat III.

Derajat 0 :

chorionic plate tampak halus, dan dengan jelas tampak sebagai garis rata.

Gambaran ini akan terlihat pada kehamilan kira-kira 12 minggu. Substansi

plasenta tampak homogen dan tidak tampak area ekhogenik. Lapisan basal

juga tampak homogen dan tekstur yang sama seperti substansi plasenta.

Fase ini tampak pada trimester I dan II.

Derajat I :

Plasenta menunjukan perubahan paling awal dari proses maturasi-nya,

yaitu chorionic plate tampak sebagai garis yang rata tetapi dengan

17

Page 18: pematangan paru

beberapa undulasi. Beberapa ekhogenik area tampak pada substansi

plasenta, sehingga tidak lagi tampak homogen. Tidak ada densitas yang

terlihat di lapisan basal. Fase ini biasanya didapatkan mulai dari kehamilan

30-32 minggu dan terus sampai kehamilan aterm.

Derajat II :

Perubahan terjadi pada tiga zona, yaitu chorionic plate lebih banyak tanda-

tanda identitas. Substansi plasenta tampak terpisah dan tidak komplit oleh

gambaran linear echogenic atau comma like echgenic densities. Pada fase

ini linear echogenic densities tidak mencapai lapisan basal. Area

ekhogenik dalam substansi plasenta tampak bertambah jumlahnya dan

ukurannya lebih besar dari Grade I.

Derajat III : merupakan gambaran plasenta yang matur. Chorionic plate

tampak terputus-putus oleh identitas, dimana memanjang kelapisan basal

dan mungkin memperlihatkan septa inter-kotiledon. Substansi plasenta

menjadi terpisah dalam beberapa kompartemen yang mungkin adalah

batas kotiledon. Bagian tengah dari kompertemen ini menunjukan area

kosong, padat, bentuk tidak teratur, area ekhogenik tampak dekat ke

chorionic plate. Area ekhogenik pada lapisan basal menjadi lebih besar,

lebih padat, dan menyatu.

Plasenta 129 pasien dilakukan gradasi plasenta. Delapan puluh enam

pasien termasuk klasifikasi Derajat I atau lebih dan seluruhnya diukur

rasio lesitin/sfingomielin. Didapatkan rasio lesitin/sfingomielin yang

matur (2,0) pada 68% plasenta Derajat I (21/31), 88% plasenta Derajat II

(28/23), dan 100% plasenta Derajat III (23/23). Hasil ini memperlihatkan

korelasi antara perubahan dalam proses maturasi yang terlihat dengan

pemeriksaan ultra-sonografi dan maturasi paru-paru janin yang didasarkan

pada rasio lesitin/sfingomielin.

18

Page 19: pematangan paru

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

19

Page 20: pematangan paru

Pematangan paru intrauterine meliputi empat periode, yaitu periode

pseudoglandula, periode kanalikuler, periode sakus terminalis, dan periode

alveolaris.

Pada suatu keadaan dimana kehamilan harus diakhiri atau harus menunda

persalinan, maka sangat penting untuk menentukan dengan tepat maturitas

paru-paru janin. Maturitas paru-paru janin sangat erat kaitannya dengan

terjadinya sindroma gawat napas.

Penggunaan hasil analisis terhadap cairan amnion telah diterima secara luas.

Pada dasarnya pemeriksaan tersebut untuk memeriksa maturitas surfaktan

yang disekresikan ke dalam cairan amnion. Maturitas surfaktan dinilai

berdasarkan komposisi komponen-komponen aktif surfaktan. Dari sekian

banyak metode pemeriksaan untuk memprediksi maturitas paru-paru janin,

yang dianggap sebagai “gold standard methode” adalah pemeriksaan rasio

lesitin/sfingomielin. Tetapi pemeriksaan ini belum memenuhi kriteria sebagai

metode pemeriksaan yang ideal. Metode pemeriksaan yang ideal menurut

para peneliti adalah cepat, tekniknay mudah dilakukan, tidak mahal, dan

memberikan hasil dengan akurasi yang tinggi. Sampai saat ini masih terus

dikembangkan berbagai metode pemeriksaan yang ideal untuk memprediksi

maturitas paru-paru janin.

20