Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

36
1 Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri oleh Yenny Kasim (92209 0050) 1. PENDAHULUAN Ubi-ubian, serealia, dan biji polong-polongan merupakan sumber pati yang paling penting. Ubi-ubian yang sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan singkong (Liu, 2005 dalam Cui, 2005). Pati singkong sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan industri yang berbasis pati karena kandungan patinya yang cukup tinggi (Niba, 2006 dalam Hui, 2006). Kandungan pati pada beberapa bahan pangan disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan Bahan Pangan Pati (% dalam basis kering) Sumber: Liu (2005) dalam Cui (2005) Menurut Biro Pusat Statistik (2009), produksi tanaman ubi kayu di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 20.834.241 ton. Melihat kandungan pati pada singkong sebesar 90%, maka pada tahun tersebut dapat menghasilkan 18.750.816,9 ton pati singkong. Singkong merupakan tanaman perdu yang berasal dari Amerika Selatan dengan lembah sungai Amazon sebagai tempat penyebarannya (Odigboh, 1983 dalam Chan 1983). Ubi ini merupakan tanaman dikotil berumah satu yang ditanam untuk diambil patinya yang sangat layak cerna. Pohon singkong dapat tumbuh hingga 1-4 meter dengan daun besar yang menjari dengan 5 hingga 9 belahan lembar daun. Batangnya memiliki pola percabangan yang khas, yang keragamannya tergantung pada kultivar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1995). Gambar pohon singkong dapat dilihat pada Gambar 1.1.

description

Semoga bermanfaat

Transcript of Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

Page 1: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

1

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

1. PENDAHULUAN

Ubi-ubian, serealia, dan biji polong-polongan merupakan sumber pati yang paling

penting. Ubi-ubian yang sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan singkong

(Liu, 2005 dalam Cui, 2005). Pati singkong sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam

industri makanan dan industri yang berbasis pati karena kandungan patinya yang

cukup tinggi (Niba, 2006 dalam Hui, 2006).

Kandungan pati pada beberapa bahan pangan disajikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan

Bahan Pangan Pati (% dalam basis kering)

Sumber: Liu (2005) dalam Cui (2005)

Menurut Biro Pusat Statistik (2009), produksi tanaman ubi kayu di Indonesia pada tahun

2008 sebesar 20.834.241 ton. Melihat kandungan pati pada singkong sebesar 90%, maka pada

tahun tersebut dapat menghasilkan 18.750.816,9 ton pati singkong.

Singkong merupakan tanaman perdu yang berasal dari Amerika Selatan dengan lembah

sungai Amazon sebagai tempat penyebarannya (Odigboh, 1983 dalam Chan 1983). Ubi ini

merupakan tanaman dikotil berumah satu yang ditanam untuk diambil patinya yang sangat

layak cerna. Pohon singkong dapat tumbuh hingga 1-4 meter dengan daun besar yang menjari

dengan 5 hingga 9 belahan lembar daun. Batangnya memiliki pola percabangan yang khas, yang

keragamannya tergantung pada kultivar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1995). Gambar pohon

singkong dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Pohon Singkong(Sumber: Grahito, 2007)

Page 2: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

2

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Singkong (manihot utilissima) disebut juga ubi kayu atau ketela pohon. Singkong

merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri makanan, farmasi, tekstil dan

lain-lain.

Gambar 1.2. Singkong

Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/terapan/images

Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu bahan makanan sumber karbohidrat (sumber

energi).

Tabel 1.1. Komposisi Ubi Kayu (per 100 gram bahan)

Ubi kayu dalam keadaan segar tidak tahan lama. Untuk pemasaran yang memerlukan waktu

lama, ubi kayu harus diolah dulu menjadi bentuk lain yang lebih awet, seperti gaplek, tapioka

(tepung singkong), tapai, peuyeum, keripik singkong dan lain-lain.

POTENSI UBI KAYU DI SULAWESI SELATAN

Page 3: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

3

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Berdasarkan sumber data Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008, produksi ubi

kayu/singkong di Sulawesi selatan pada tahun 2006 adalah 567.749 ton.

Gambar 1.2 Peta Sulawesi Selatan

Nama lain untuk tanaman ubi kayu sangat beragam diseluruh Indonesia. Diantaranya,

ketila, keutila ubi kayee (Aceh), ubi parancih (minangkabau), ubi singkung (Jakarta), batata kayu

(Manado), bistungkel (Ambon), huwi dangdeur, huwi jendral, Kasapen, sampeu, ubi kayu

(Sunda), bolet, kasawe, kaspa, kaspe, katela budin, katela jendral, katela kaspe, kaspa, kaspe,

katela budin, katela jendral, katela kaspe, katela mantri, katela marikan, katela menyog, katela

poung, katela prasman, katela sabekong, katela sarmunah, katela tapah, katela cengkol, ubi

73 196

INFO

t_map_propinsi t_map_kabupaten

Page 4: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

4

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

kayu, tela pohung (Jawa), Blandong, manggala menyok, puhung, pohung, sabhrang balandha,

sawe, sawi, tela balandha, tengsag (Madura), kesawi, ketela kayu, sabrang sawi (Bali), kasubi

(Gorontalo, Baree, Padu), Lame kayu (Makasar), lame aju (Bugis Majene), kasibi (Ternate,

Tidore).

Page 5: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

5

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

2. PENGOLAHAN SINGKONG DALAM MENGHASILKAN PRODUK

Pati di Indonesia dihasilkan oleh Pabrik dalam skala kecil, sedang dan besar. Bagan

proses yang umumnya terlihat dalam gambar 2.1., tetapi ada sedikit modifikasi tempat jika pati

diproses pada pabrik skala kecil. Pada pabrik ini pati kering biasanya kasar, lebih kesat, pati

yang selanjutnya menghasilkan pati yang halus. Pengolah dalam skala kecil seringkali menjual

tepung kasarnya ke pabrik yang lebih besar.

Gambar 2.1. Pengolahan ubi kayu basah yang umum di Indonesia

2.1. TEPUNG TAPIOKA

Industri makanan dari singkong cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti

getuk, timus, keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih

lanjut. Dalam industri makanan, pengolahan singkong, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu

hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan tepung

singkong atau tepung tapioka.

Pada industri tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi

tiga yaitu:

Page 6: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

6

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

a) Metoda tradisional

Industri pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya

sangat tergantung pada musim.

b) Metoda semi modern

Industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin pengering (oven) dalam

melakukan proses pengeringan.

c) Metoda full otomate yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari

proses awal sampai produk jadi. Industri tapioka yang menggunakan peralatan full

otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan tenaga kerja

yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas.

Selain menghasilkan tepung, pengolahan tapioka juga menghasilkan limbah, baik limbah

padat maupun limbah cair. Limbah padat seperti kulit singkong dapat dimanfaatkan untuk pakan

ternak dan pupuk, sedangkan onggok (ampas) dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku

pada industri pembuatan saus, campuran kerupuk, obat nyamuk bakar dan pakan ternak.

Limbah cair dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan ladang, selain itu limbah cair

pengolahan tapioka dapat diolah menjadi minuman nata de cassava.

Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi. Tingkatan teknologi tersebut

adalah tradisional atau mekanik sederhana, semi modern, dan full otomate. Perbedaan teknologi

pengolahan tapioka dapat dilihat pada tabel 2.1.1 berikut ini.

Tabel 2.1.1. Perbedaan Teknologi Pengolahan Tapioka

Proses Tradisional Semi Modern Full Otomate

Pengupasan Manual Manual Mesin

Pencucian Manual Manual Mesin

Pemarutan Mesin Mesin Mesin

Pemerasan Mesin Mesin Mesin

Pengendapan Manual Manual Mesin

Pengeringan Sinar Matahari Oven Mesin

Sumber: Data Primer

Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan teknologi mekanik sederhana. Pada

teknologi ini, sebagian proses produksi menggunakan mesin penggerak untuk melakukan

pemarutan dan pengepresan, sedangkan pengeringan masih mengandalkan bantuan sinar

matahari.

Page 7: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

7

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

PROSES PRODUKSI TEPUNG TAPIOKA

1. Pengupasan

Pengupasan dilakukan dengan cara manual yang bertujuan untuk memisahkan daging

singkong dari kulitnya. Selama pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih

singkong berkualitas tinggi dari singkong lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah

tidak diproses menjadi tapioka dan dijadikan pakan ternak.

Gambar 2.1.1 Pengupasan Singkong

2. Pencucian

Pencucian dilakukan dengan cara manual yaitu dengan meremas-remas singkong di

dalam bak yang berisi air, yang bertujuan memisahkan kotoran pada singkong.

Gambar 2.1.2. Pencucian Singkong

Page 8: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

8

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

3. Pemarutan

Parut yang digunakan ada 2 macam yaitu :

a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga manusia

sepenuhnya.

Gambar 2.1.3. Pemarutan secara manual

b. Parut semi mekanis, digerakkan dengan generator

4. Pemerasan/Ekstraksi

Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:

a. Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual menggunakan kain

saring, kemudian diremas dengan menambahkan air di mana cairan yang diperoleh

adalah pati yang ditampung di dalam ember.

b. Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang (sintrik). Bubur singkong

diletakkan di atas saringan yang digerakkan dengan mesin. Pada saat saringan

tersebut bergoyang, kemudian ditambahkan air melalui pipa berlubang. Pati yang

dihasilkan ditampung dalam bak pengendapan.

Page 9: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

9

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Gambar 2.1.4. Pemerasan/Pengepresan

5. Pengendapan

Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam. Air di bagian atas

endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan endapan diambil dan dikeringkan.

Gambar 2.1.5. Tepung hasil endapan yang siap dikeringkan

6. Pengeringan

Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara menjemur

tapioka dalam nampan atau widig atau tambir yang diletakkan di atas rak-rak bambu

selama 1-2 hari (tergantung dari cuaca). Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya

mengandung kadar air 15-19%.

Page 10: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

10

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Gambar 2.1.6. Pengeringan tapioka dengan sinar matahari

Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas, dibutuhkan singkong yang memiliki kadar

tepung tinggi yaitu singkong yang dipanen setelah berusia lebih dari 7 bulan.

Gambar 2.1.7. Tepung Tapioka

Proses pembuatan dalam bentuk diagram alir dapat dilihat pada gambar 2.1.8.

Page 11: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

11

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Page 12: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

12

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

2.2. MIE DARI PATI UBI KAYU (TEPUNG TAPIOKA)

Mie merupakan produk makanan yang sangat populer di Indonesia dan digemari hampir

semua kalangan mulai dari anak-anak hingga dewasa. Secara umum, bahan baku utama mie

adalah terigu yang merupakan komoditas impor. Menurut Antarlina (1992), tepung terigu

merupakan bahan baku yang sangat dominan digunakan pada pengolahan pangan dengan

penggunaan mencapai 79,3%. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap terigu, salah satu

bahan alternatif yang dapat dikembangkan sebagai bahan baku mie adalah pati ubi kayu.

Mie ubi kayu adalah produk makanan berbentuk untaian mie yang terbuat dari pati ubi

kayu Berbeda dengan produk mie pada umumnya yang dibuat dengan bahan baku terigu, bahan

baku yang digunakan untuk membuat mie pati ubi kayu adalah pati singkong (tapioka). Agar

terbentuk adonan yang dapat dicetak menjadi untaian mie, pati ubi kayu terlebih dahulu

dicampur dengan air panas (90-100ºC). Fennema (1985) mengemukakan bahwa pati tidak larut

dalam air dingin, tetapi secara reversible dapat mengembang dalam air hangat.

Pati ubi kayu diperoleh melalui proses ekstraksi ubi kayu yang merupakan komoditas

tanaman pangan terpenting ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Selain menunjang

program pemberdayaan sumber daya lokal, harga yang lebih murah dan tidak dipeerlukannya

tambahan bahan pengembang dan pengenyal merupakan keuntungan penggunaan pati ubi kayu

sebagai bahan baku produk mie.

Meskipun memiliki berbagai keunggulan, penggunaan pati ubi kayu sebagai bahan baku

mie memiliki kelemahan terutama berkaitan dengan tekstur produk mie yang relatif lebih kenyal

dibandingkan mie terigu. Menurut Kearsley and Dziedzic (1995), dibandingkan pati lainnya, pati

ubi kayu mengandung amilopektin yang tinggi (87%). Dibandingkan amilosa, amilopektin

memiliki kekentalan yang lebih tinggi (Kearsley and Dziedzic, 1995), sehingga adonan pati ubi

kayu secara umum bersifat lengket dan memiliki tingkat kekentalan yang tinggi.

Alat utama yang digunakan adalah alat pencetak mie sistem rol, alat pencetak mie

sistem press (Gambar 2.2.1) dan alat-alat perebus. Spesifikasi alat pencetak mie sistem press

yang digunakan, disajikan pada Tabel 2.2.1.

Tabel 2.2.1. Spesifikasi alat pencetak mie sistem press

Parameter Spesifikasi

Dimensi panjang x lebar x tinggi 35 cm x 35 cm x 80 cm

Diameter silinder ruang press 3 inch

Diameter silinder piston press 2,5 inch dilengkapi dengan

penampang pres

Diameter lubang cetakan 3 mm dan dapat diganti ukuranya sesuai

Page 13: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

13

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

kebutuhan yang diinginkan

Kapasitas Hidrolik Hidrolik kapasitas 2- 5 ton

Kapasitas Produksi 250 gram/menit atau 15 kg/jam

Gambar 2.2.1. Alat pencetak Mie Singkong

Keterangan :

A = Pengepres hidrolik

B = Piston press

C = Ruang press/ruang tempat meletakkan bahan

Perbandingan pembuatan mie dengan menggunakan tepung terigu dan tepung

tapioka

Formulasi pembuatan mie, dari tepung terigu disajikan pada Tabel 2.2.2. Pembuatan produk

mie dilakukan melalui tahapan pencampuran terigu dengan air, CMC, soda kue, dan pewarna;

pengulenan hingga terbentuk adonan yang kalis; pencetakan untaian mie menggunakan alat

pencetak mie sistem rol; perebusan untaian mie dalam air panas yang telah ditambahkan

minyak makan dan garam; dan penirisan untuk memperoleh produk mie.

Tabel 2.2.2. Formulasi pembuatan mie menggunakan bahan baku tepung terigu

No Nama Bahan Prosentase (%)

1 Tepung terigu 100

2 Air 45

Page 14: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

14

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

3 CMC 1

4 Soda Kue 1

5 Pewarna makanan 0,1

Pengembangan formulasi produk mie pati ubi kayu dilakukan melalui modifikasi

formulasi standar (Tabel 2.2.3.). Modifikasi yang dilakukan berupa penggunaan tepung terigu

(konsentrasi 10-50%). Pembuatan produk mie dilakukan melalui tahapan pencampuran pati ubi

kayu dengan terigu (sesuai perlakuan), penambahan air panas dan pewarna makanan,

pengulenan hingga terbentuk adonan yang kompak, pencetakan untaian mie menggunakan alat

pencetak mie sistem press, perebusan untaian mie dalam air panas yang telah ditambahkan

minyak makan dan garam, dan penirisan sehingga diperoleh produk mie.

Tabel 2.2.3. Formulasi standar pembuatan mie menggunakan bahan baku pati ubi

kayu

No Nama Bahan Prosentase (%)

1 Pati Ubi Kayu 100

2 Air panas 15

3 CMC 0

4 Soda Kue 0

5 Pewarna makanan 0,1

Hasil pengujian karakteristik organoleptik, menunjukkan bahwa produk mie yang diformulasi

dengan bahan baku pati ubi kayu memiliki warna, bau, rasa, dan kekenyalan yang tidak berbeda

nyata dibandingkan mie yang diformulasi dengan bahan baku terigu.

Tabel 2.2.4. Rekapitulasi hasil pengujian organoleptik perbedaan antara produk mie

pati formulasi pengembangan dengan produk mie terigu

ParameterJumlah panelis yang

menyatakan sama

Jumlah panelis yang

menyatakan berbeda

Warna 18 2

Bau 17 3

Rasa 16 4

Kekenyalan 18 2

Page 15: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

15

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Tidak berbedanya karakteristik organoleptik produk mie pati ubi kayu dibandingkan

produk mie yang diformulasi dengan bahan baku terigu, menunjukkan bahwa perbaikan

karakteristik organoleptik produk mie pati ubi kayu dapat melalui pengurangan kandungan

amilopektin pati ubi kayu.

Kandungan amilopektin ubi kayu akan memberikan sumbangan yang sangat nyata

terhadap karakteristik kekenyalan produk mie pati ubi kayu. Hasil pengujian juga menunjukkan

bahwa penggunaan pati ubi kayu sebagai bahan baku produk mie pati ubi kayu memerlukan

penambahan bahan lain agar dihasilkan produk dengan karakteristik kekenyalan yang lebih

disukai konsumen.

Pengembangan Formulasi Produk Mie Pati Ubi Kayu

Pengembangan formulasi produk mie pati ubi kayu dilakukan dalam bentuk penggunaan

tepung terigu hingga konsentrasi 50%. Adapun pengujian karakteristik dilakukan dalam bentuk

pengujian karakteristik organoleptik (warna, bau, rasa, dan kekenyalan) dan karakteristik fisik

(tekstur dan rasio pengembangan). Pengujian tekstur dengan alat penetrometer menunjukkan

besarnya gaya (kg) yang dibutuhkan untuk mematahkan bahan. Semakin kenyal bahan, maka

akan semakin besar gaya yang dibutuhkan dan sebaliknya. Pengujian rasio pengembangan

menunjukkan besarnya rasio peningkatan diameter produk sebelum dan setelah mengalami

proses perebusan.

Hasil pengujian karakteristik produk mie pati ubi kayu pada berbagai konsentrasi penambahan

terigu (10%, 20%, 30%, 40% dan 50%), disajikan pada Tabel 2.2.5. Hasil pengujian karakteristik

organoleptik pada Tabel 2.2.5., menunjukkan bahwa penambahan terigu hingga konsentrasi 40%

akan meningkatkan nilai kesukaan panelis terhadap parameter kekenyalan produk mie pati ubi

kayu, tetapi tidak berpengaruh terhadap parameter warna, bau, dan rasa produk.

Tabel 2.2.5. Pengaruh konsentrasi penambahan terigu terhadap karakteristik produk

mie berbahan baku pati ubi kayu

Konsentra

si terigu

(%)

Karakteristik organoleptik Karakteristik fisik

warna bau rasakekenyala

n

tekstur

(kg)

rasio

pengembangan

10 3,10a 4,20a 3,35a 3,25 a 4,93a 3,12 a

20 3,20a 4,10 a 3,40a 3,60b 4,70b 2,72b

30 3,20a 4,15a 3,45a 3,85 c 3,77c 2,40c

40 3,30a 4,20 a 3,35a 4,15d 2,73d 2,20cd

50 3,10a 4,20 a 3,45a 4,20d 2,70d 2,20cd

Page 16: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

16

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Penurunan nilai tekstur diduga erat berkaitan dengan penurunan konsentrasi

amilopektin. Menurut Kearsley and Dzieddzic (1995), pati ubi kayu memiliki kandungan

amilopektin tinggi (86%). Dibandingkan amilosa, amilopektin memiliki kekentalan yang lebih

tinggi (Kearsley and Dziedzic, 1995), sehingga adonan pati ubi kayu secara umum bersifat

lengket dan memiliki tingkat kekentalan yang tinggi.

Adapun penurunan skor rasio pengembangan diduga erat berkaitan dengan penurunan

konsentrasi pati secara keseluruhan. Dibandingkan protein, pati memiliki kemampuan mengikat

air yang lebih besar. Menurut (Winarno, 1992), pati tergelatinisasi mampu menyerap air kembali

dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat.

Berdasarkan hasil penelitian Hidayat B., 2008 (Tabel 2.2.6), menunjukkan bahwa produk

mie pati ubi kayu yang dihasilkan memiliki kandungan protein yang rendah (2,26%). Untuk

mengimbangi kandungan protein yang rendah tersebut, dianjurkan penggunaan produk mie pati

ubi kayu saat dikonsumsi dikombinasikan dengan penambahan lauk pauk yang memiliki

kandungan protein tinggi seperti telur dan udang.

Tabel 2.2.6. Komposisi kimia produk mie pati ubi kayu hasil pengembangan

Komponen Kandungan (dalam 100 gram

bahan)

Air

Abu

Serat

Lemak

Protein

Karbohidrat

53,81

0,23

0,91

1,62

2,26

41,17

2.3. GAPLEK

Gaplek adalah bentuk yang paling umum dari pengawetan ubi kayu di Indonesia. Ubi

dikupas, dicuci dan dikeringkan dalam bentuk potongan-potongan, dibelah atau utuh tergantung

pada umbi dan kebiasaannya. Ubi dikeringkan langsung di atas tanah, tikar bambu, pinggir-

pinggir jalan, digantung dip agar-pagar atau tali-tali atau di beranda. Pengeringan biasanya 5-7

hari tergantung pada cuaca, sesudahnya disimpan untuk dikonsumsi atau dijual.

Pembuatan gaplek merupakan proses yang sederhana, meliputi : pencucian,

pengupasan, dan pengeringan.

CARA PEMBUATAN

1. Pisahkan ubi kayu dari batangnya, kupas kemudian cuci hingga bersih;

2. Potong ubi yang terlalu panjang;

Page 17: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

17

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

3. Jemur ubi jalar yang telah bersih di bawah sinar matahari selama 1~2 hari. Setelah itu tutup

dengan tikar bersih selama 1 hari. Diharapkan jamur dapat memperkecil tingkat

keracunannya;

4. Jemur lagi sampai kering, setelah kering disebut gaplek, lalu masukkan ke dalam karung;

5. Simpan di tempat yang kering, jangan di tempat yang basah atau lembab.

Diagram Alir pembuatan gaplek dapat dilihat pada gambar 2.3.1.

Gambar 2.3.1. Diagram Alir Pembuatan Gaplek

Gaplek dapat dimasak (dikukus) dengan diberi gula merah dan kelapa parut.

Catatan:

1. Syarat-syarat gaplek yang baik adalah sebagai berikut :

a. Dapat dibentuk gelondongan atau belahan memanjang (3 cm), tepung, atau pellet

(panjang 2 cm dan diameter max. 1 cm);

b. Dalam keadaan kering, berwarna putih, tidak berjamur, dan tidak ada kulit yang

tertinggal;

2. Pengemasan harus menggunakan karung goni yang baik, bersih dan jahitannya kuat.

Page 18: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

18

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

2.4. EDIBLE FILM DENGAN BAHAN BAKU PATI SINGKONG

Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami penurunan

kualitas. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena tersebut adalah

dengan pengemasan yang tepat. Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan

pertimbangan ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan.

Penggunaan material sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan, sehingga

dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang dapat diuraikan. Alternatif penggunaan

kemasan yang dapat diuraikan adalah dengan menggunakan edible film. Edible Film

didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara

komponen makanan, dapat memberikan alternatif bahan pengemas yang tidak berdampak pada

pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan yang dapat diperbaharui dan harganya

murah. Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film

menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan

karakteristik fisik yang baik. Pembuatan edible film sering menggunakan metode casting dan

pada pembuatannya menggunakan prinsip gelatinisasi. Penambahan hidrokoloid dan plasticizer

agar didapatkan karakteristik film yang baik. Penelitian yang mengenai pembuatan edible film

memberikan kesimpulan tidak ada metode standar dalam pembuatannya sehingga dapat

menghasilkan film dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda.

Edible film berbasis pati singkong dapat diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga

dapat mempertahan kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan dodol

durian hingga 25-44 hari.

Pengemasan makanan yaitu suatu proses pembungkusan makanan dengan bahan

pengemas yang sesuai. Pengemasan dapat dibuat dari satu atau lebih bahan yang memiliki

kegunaan dan karakteristik yang sesuai untuk mempertahankan dan melindungi makanan

hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan keamanannya dapat dipertahankan

(Komolprasert, 2006 dalam Hui, 2006). Menurut Robertson (1993), bahan pengemas yang dapat

digunakan antara lain plastik, kertas, logam, dan kaca. Bahan pengemas dari plastik banyak

digunakan dengan pertimbangan ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam

pengawetan. Sekitar 60% dari poliethilen dan 27% dari polyester diproduksi untuk membuat

bahan pengemas yang digunakan dalam produk makanan. Akan tetapi penggunaan material

sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan (Alvin dan Gil, 1994 dikutip Henrique,

Teofilo, Sabino, Ferreira, Cereda, 2007). Oleh karena itu pada saat ini dibutuhkan penelitian

mengenai bahan pengemas yang dapat diuraikan (biodegradable) (Henrique et. al., 2007).

Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film.

Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film untuk menggantikan

Page 19: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

19

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang

baik (Bourtoom, 2007).

2.5. Biofuel

Ubi kayu dapat sebagai komoditas utama sebagai komoditas utama penghasil BBN atau

lebih tepat sebagai penghasil FGE. Pengembangan BBN di Indonesia berprinsip pro-poor, pro –

job, pro – growth, dan pro – planet. Dengan triple track plus tersebut, sejumlah pertimbangan

positif pemilihan ubi kayu sebagai penghasil FGE diuraikan sebgai berikut. Ubi kayu merupakan

tanaman sumber karbohidrat ketiga setelah padi dan jagung. Dengan menggeser kegunaan ubi

kayu menjadi BBN (dari sumber daya karbohidrat ke sumber daya hidrokarbon), diharapkan

harga ubi kayu akan meningkat sehingga pendapatan petani akan meningkat pula.

Ubi kayu akan menguatkan security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan.

Memperbesar basis sumber daya bahan bakar nabati, karena ubi kayu adalah tanaman yang

toleran terhadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah, mampu berproduksi baik pada

lingkungan sub – optimal, dan mempunyai pertumbuhan yang relative lebih baik pada lingkungan

sub optimal dibandingkan dengan tanaman lain.

Secara umum, proses pengolahan bahan berpati seperti ubi kayu, jagung dan sagu

dilakukan dengan proses urutan. Pertama adalah proses hidrolisis, yakni proses konversi pati

menjadi glukosa. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri dari

dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak

terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glikosidik

sedangkan amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan -(1,6)-D-glikosidik

sebanyak 4-5% dari berat total.

Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi

unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan

berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis

secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik

dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan

memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai

polimer secara spesifik pada percabangan tertentu.

Enzim yang digunakan adalah alfa-amilase pada tahap likuifikasi, sedangkan tahap

sakarifikasi digunakan enzim glukoamilase. Berdasarkan penelitian, penggunaan -amilase pada

tahap likuifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 50.83 pada konsentrasi -amilase 1.75 U/g pati

dan waktu likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi menghasilkan DE

tertinggi yaitu 98.99 pada konsentrasi enzim 0.3 U/g pati dengan waktu sakarifikasi 48 jam.

Tahap kedua adalah proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi

etanol dan CO2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol

CO2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa

Page 20: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

20

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas,

sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang

kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol.

Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah Saccharomyces

cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi

(12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada

suhu 4-32oC.

Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk memisahkan etanol. Distilasi

merupakan pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah

78oC sedangkan air adalah 100oC (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu

rentang 78 – 100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit

kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.

Terdapat dua tipe proses destilasi yang banyak diaplikasikan, yaitu continuous-feed

distillation column system dan pot-type distillation system. Selain tipe tersebut, dikenal juga tipe

destilasi vakum yang menggunakan tekanan rendah dan suhu yang lebih rendah untuk

menghasilkan konsentrasi alkohol yang lebih tinggi. Tekanan yang digunakan untuk destilasi

adalah 42 mmHg atau 0.88 psi. Dengan tekanan tersebut, suhu yang digunakan pada bagian

bawah kolom adalah 35oC dan 20oC di bagian atas. Proses produksi FGE dari bahan berpati

disajikan pada Gambar 2.5.1, sedangkan Gambar 2.5.2 menunjukkan proses produksi FGE dari

ubi kayu.

Gambar 2.5.1. Proses Produksi FGE dari bahan berpati

Dari proses distilasi akan dihasilkan etanol dengan kadar etanol maksimal 95%. Untuk

aplikasi bahan bakar, etanol hasil destilasi harus dimurnikan yaitu dengan cara dikeringkan.

Page 21: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

21

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Pengeringan etanol dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara-cara pengeringan etanol yang

ada adalah antara lain pengeringan menggunakan kapur (CaO), garam, benzene dan

penggunaan ”molecular sieve”.

”Molecular sieve” merupakan suatu metode purifikasi yang banyak digunakan di industri

minyak serta laboratorium untuk memisahkan komponen dan untuk pengeringan. ”Molecular

sieve” adalah suatu bahan yang memiliki pori-pori kecil dengan ukuran yang tepat dan seragam

yang digunakan sebagai absorben cairan dan gas. Bahan ini dapat menyerap air hingga 20% dari

berat bahan itu sendiri. Bahan-bahan yang termasuk ”molecular sieve” antara lain zeolit,

lempung, karbon aktif, microporous charcoal dan porous glasses.

Page 22: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

22

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Gambar 2.5.2.. Diagram alir proses pembuatan FGE dari ubi kayu

Proses Pembuatan Bioetanol ubi kayu skala kerakyatan atau skala rumahan

Pembuatan bioetanol juga dapat dilakukan pada skala rumahan. Dengan memanfaatkan

ubi kayu segar berkadar pati 28%, ditargetkan akan diperoleh 7 liter bioetanol. Langkah-langkah

pembuatan bioetanol skala rumahan adalah sebagai berikut.

- Kupas Kasar ubi kayu segar sebanyak 50 Kg. Cuci dan giling dengan mesin penggiling

listrik, mesin bensin, ataupun diesel.

- Saring hasil penggilingan untuk memperoleh bubur ubi kayu.

- Masukkan bubur ubi kayu ke dalam drum yang terbuka penuh bagian atasnya.

- Tambahkan air 40 – 50 liter dan aduk sambil dipanasi menggunakan kompor minyak

tanah, gas, ataupun tungku batu bara dan limbah pertanian, baik yang dibakar langsung,

seperti batok kelapa, cangkang, sabut, ranting – ranting kayu, maupun limbah pertanian

dan peternakan yang diubah menjadi biogas.

- Tambahkan 1,5 ml enzim alfa – amylase (dapat dibeli di toko kimia khusus). Panaskan

selama 30 – 60 menit pada suhu sekitar 900 C.

- Dinginkan hingga suhu menjadi 55 - 600 C. Gunakan alat penukar panas untuk

mempercepat proses pendinginan (heat exchanger).

- Tambahkan 0,9 ml enzim gluko-amilase.

- Jaga temperatur pada kisaran 55 – 600 C selama 3 jam, lalu dinginkan hingga suhu di

bawah 350 C. Gunakan alat penukar panas untuk mempercepat proses pendinginan.

Page 23: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

23

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

- Tanbahkan 1 g ragi roti (dapat dibeli di toko bahan – bahan kue), urea 65 g, dan NPK 14

g. Biarkan selama 72 jam dalam keadaan tertutup, tetapi tidak rapat agar gas karbon

dioksida yang terbentuk bisa keluar. Fermentasi yang berhasil ditandai dari aroma sepeti

tape, suara gelembung gas yang naik ke atas, dan keasaman (pH) di atas 4.

- Pindahkan cairan yang mengandung 7 -9 % bioetanol itu ke dalam drum lain yang

didesain sebagai penguap (evaporator).

- Masak menggunakan kompor minyak tanah, gas, tungku, briket batu bara, arang tau

bahan bakar lain, hingga keluar uapnya menuju alat distilasi. Hal ini terindikasi melalui

rambatan panas dalam pipa menuju alat distilasi dan kenaikan temperatur pada

termometer. Nyalakan aliran air kondensor pengembun uap bioetanol.

- Tahan temperatur bagian atas kolom distilasi pada suhu 790C ketika cairan bioetanol

mulai keluar. Kontrol temperatur dapat dilakukan dengan dua cara, yakni mengatur

aliran air refluks dalam alat distilasi dan /atau mengatur api kompor.

- Keluarkan limbah melalui kran bawah drum, melewati saringan yang akan menahan

limbah padat dan meloloskan limbah cair.

Hasil destilasi dengan cara destilasi di atas adalah etanol dengan kadar 95%. Untuk

meningkatkan konsentrasinya hingga diperoleh FGE dapat dilakukan juga dalam skala

kerakyatan dengan menggunakan peralatan dan bahan yang sederhana. Prosedurnya yaitu

dengan mencampurkan etanol 95% dengan kapur gamping (CaO) yang ditepungkan dengan

komposisi 1 : 4 atau 1 : 2 (1 bagian kapur dan 4 atau 2 bagian etanol 95%). Aduk secara periodik

dan biarkan selama 24 jam. Selanjutnya diuapkan (gunakan pemanas tidak langsung) dan

disuling dengan penyuling sederhana (alat distilasi satu tingkat) dan disuling dengan penyuling

sederhana (alat distilasi satu tingkat).

Mutu dan Metode Uji Bioetanol

Mutu bioetanol sebagai bahan bakar cukup ketat yang mensyaratkan kadar etanol lebih

dari 99% serta beberapa parameter lainnya. Hal ini berhubungan manfaatnya sebagai pengganti

bahan bakar. Spesifikasi standar bioetanol terdenaturasi untuk gasohol disajikan pada Tabel

2.5.1.

Tabel 2.5.1. Spesifikasi standar bioetanol terdenaturasi untuk gasohol

No. Sifat Unit, Min/Maks Spesifikasi

1 Kadar etanol %-v, min 99.5 (sebelum denaturasi)

94.0 (setelah denaturasi)

2 Kadar metanol Mg/l, maks 300

3 Kadar air %-v, maks 1

4 Kadar denaturan %-v, min 2

%-v, maks 5

Page 24: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

24

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

5 Kadar tembaga (cu) Mg/kg, maks 0.1

6 Keasamaan sebagai

CH3COOH

Mg/l, maks 30

7 Tampakan Jernih dan terang, tidak

ada endapan dan kotoran

8 Kadar ion klorida (Cl) Mg/l, maks 40

9 Kandungan belerang (S) Mg/l, maks 50

10 Kadar getah (gum), dicuci Mg/100 ml, maks 5.0

11 pH 6.5-9.0

FGE atau etanol kering biasanya memiliki berat jenis dalam rentang 0.7936-0.7961

(pada kondisi 15,56/15,56oC), atau berat jenis dalam rentang 0.7871-0.7896 (pada kondisi

25/25oC).

3. ASPEK PEMASARAN

Kebutuhan pasar singkong yang selama ini didominasi oleh pabrikan tapioka sehingga

menurunkan bargaining power petani singkong sudah berakhir dengan meluncurnya trend

pengolahan biofuel berbahan dasar singkong yaitu ethanol. Perebutan bahan baku telah memicu

kenaikan harga bahan baku di pasar singkong yang ditandai dengan kolapsnya beberapa pabrik

pengolahan tapioka yang masih mempertahankan sistem purchasing gaya lama

( mempermainkan harga di tingkat petani) karena tidak mendapatkan suplai bahan baku.

Kenaikan harga hingga 50 % dan minimnya pasokan singkong telah membuat komoditas ini

mengalami apresiasi dan kestabilan harga.

PERMINTAAN DALAM NEGERI

Konsumsi Dalam Negeri ubi kayu dalam bentuk gapiek ataupun tapioka di Indonesia,

terutama diperlukan untuk kebutuhan pakan ternak, tekstil, kerupuk dan berbagai bahan

campuran bagi produk makanan lainnya yang dibuat dari tepung. Bisa dibayangkan bahwa

kebutuhan tepung ubi kayu ataupun tapioka akan terus meningkat di Indonesia, sesuai dengan

peningkatan populasi konsumen.

Pemasaran Hasil Produksi Petani

Banyak masalah yang selama ini sering dihadapi para petani ubi kayu dalam memasarkan

produksinya, terutama sekali menyangkut harga, peran dan tingkah para pengumpul, dan

kebijakan yang dilakukan sendiri oleh para Pengusaha Pabrik Pengolahan Ubi Kayu dan Eksportir.

Harga Jual Ubi Kayu

Page 25: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

25

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Harga jual ubi kayu ditingkat petani p@ Ubi Kayu/Eksportir yang mungkin juga dipengaruhi oleh

adanya kebijakan Pemerintah tentang kuota ekspor, serta naik turunnya nilai dolar terhadap

rupiah. Disamping itu bisa dipahami pula bahwa bagi daerah-daerah penghasil ubi kayu untuk

industri, para petani di dalam mengadakan penanaman tidak mampu mengantisipasi daya serap

pihak pabrik pengolahan.

Melalui kemitraan antara Petani Ubi Kayu dengan Pengusaha Pabrik Pengolahan dan Eksportir,

para Pengusaha akan bisa menentukan kepastian jumlah produksi yang mungkin ditampung dan

luas tanam ubi kayu yang akan dilaksanakan bersama mitra petaninya. Keadaan ini akan dapat

mencegah terjadinya produksi yang melimpah, dan apabila harga pasar yang terjadi lebih tinggi

dari tingkat harga itu disepakati untuk penentuan harga dasar bisa dibuatkan kesepakatan yang

tidak merugikan petani, dan apabila harga pasar lebih tinggi dari kesepakatan harga itu akan

dipergunakan sama dengan harga pasar setempat.

PERMINTAAN LUAR NEGERI

Ubi kayu kering diperlukan untuk bahan pakan ternak dan banyak lainnya, yang jumlah

kebutuhan selama ini makin meningkat sejalan dengan peningkatan populasi konsumen akhir

dari ubi kayu tersebut. Untuk mempertahankan pasar luar negeri yang telah dikuasai Indonesia

dengan jumlah yang semakin besar, maka kebutuhan terhadap ubi kayu untuk masa-masa

mendatang diperkirakan masih akan terus meningkat.

Perkembangan Ekspor

Ekspor ubi kayu Indonesia dilakukan dalam bentuk ubi kayu kering (gapiek atau lainnya)

dan tepung tapioka. Perkembangan ekspor ubi kayu dalam bentuk kering (gapiek, chips atau

tepung) selama tahun 1990 sampai tahun 1998 terlihat pada Tabel 3.1. dan Tabel 3.2. Dalam

periode tersebut ekspor terbesar terjadi pada Tahun 1993, selanjutnya perkembangan ekspor ubi

kayu ada kecenderungan makin turun. Berbagai hal menyangkut masalah tata niaga yang

berkaitan dengan peraturan ekspor (diterapkannya pembagian quota) dan pola penyerapan

produksi ubi kayu petani, dirasakan telah mempengaruhi laju ekspor yang selanjutnya adalah

juga produktivitas ubi kayu petani.

Tabel 3.1.

Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998

Tahun>Total Ekspor (Kg)

Gaplek Pelet Bentuk Lain

1990

1991

1992

1993

1994

597.329.412

492.507.502

368.868.865

516.585.171

386.024.532

570.456.989

364.264.420

501.304.110

408.446.685

298.829.708

3.315.094

1.850.820

3.235.648

10.852.244

1.184.831

Page 26: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

26

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

1995

1996

1997

1998

426.894.318

290.039.080

184.154.743

194.616.294

53.281.008

93.610.152

59.315.873

24.770.000

1.307.822

4.941.434

3.530.003

2.017.583Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. BPS. Dikumpulkan dari Buku

Tahun 1990 - 1998

Tabel 3.2.

Nilai Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998

TahunTotal Ekspor (Kg)

Gaplek Tepung Tapioka Bentuk Lain

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

70.725.233

53.728.693

40.625.621

47.906.448

33.228.911

59.763.831

35.766.853

16.172.507

18.262.201

70.050.724

50.476.797

67.027.162

42.625.199

28.838.302

6.123.001

10.743.422

5.564.969

1.718.000

998.850

755.643

1.069.976

1.084.136

1.010.002

633.576

1.103.416

991.832

421.401

Berbeda dengan gapiek dan genusnya, total ekspor dalam bentuk tapioka terlihat pernah

mencapai titik tertinggi sebesar 82.191 ton dengan nilai sebesar US 13,98 juta pada tahun 1993

(Tabel 3.3). Untuk tahun selanjutnya jumlah ekspor kembali tidak menentu. Penurunan total

ekspor yang drastis pada tahun 1994 diimbangi dengan ekspor yang tinggi pada tahun 1995. Ini

terjadi mungkin karena adanya pergeseran masa panen akibat pengaruh iklim dan adanya

masalah penampungan ubi kayu petani dan pengolahannya yang dikaitkan dengan kebijakan

niaga pihak Pengusaha.

Tabel 3.3

Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1990-1997

TahunTotal Ekspor

Gaplek Pelet

1990 6.702.500 1.426.072

1991 4.506.500 1.320.175

1992 21.598.013 5.217.332

1993 82.191.450 13.982.712

Page 27: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

27

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

1994 30.870.431 10.548.950

1995 17.923.865 5.575.430

1996 7.336.226 2.668.590

Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negari Indonesia. Ekspor. BPS.

Dikumpulkan dari Buku Tahun 1990 - 1998

Jangkauan ekspor ubi kayu Indonesia telah mencapai berbagai Negara di Asia dan Eropa,

dengan ekspor terbesar ke Korea dan China (Tabel 3.4). Luasnya negara tujuan ekspor di

beberapa Negara Asia dan Eropa, menunjukkan bahwa ekspor komoditi ini sebenarnya cukup

potensial dan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekspor produksi ubi kayu pada masa

yang akan datang.

Tabel 3.4.

Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1997

Negara Tujuan

Total Ekspor

(Dari Berbagai Bentuk)

(kg)

Nilai Ekspor (FOB)

(US$)

Korea 120.797.083 12.125.792

China 67.502.292 5.473.891

Philppine 558.000 107.884

Malaysia 2.342.962 436.884

Vietnam 697.920 41.875

Netherlands 20.400.000 1.371.550

Switzerlands 3.000.000 165.000

Taiwan 570.000 85.500

Germany 4.500.000 328.000

Japan 762.000 154.570

Singapore 247.000 53.106

United Kingdom 26.600 57.399

Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. BPS 1997

Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun luar

negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau Jawa seperti Bogor,

Page 28: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

28

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar negeri berasal dari beberapa negara

ASEAN dan Eropa.

Di Indonesia, industri tepung tapioka memiliki asosiasi yaitu Assosiasi Tepung Tapioka

Indonesia (ATTI) yang berpusat di Jakarta. Keberadaan asosiasi ini belum begitu dirasakan oleh

pihak-pihak terkait terutama petani yang tidak dapat menikmati harga singkong sesuai dengan

kesepakatan antara pemda, petani dan pengusaha. Sementara pengusaha tidak dapat

memperoleh bahan baku secara langsung dari petani. Asosiasi ini diharapkan dapat berperan

dalam pengendalian harga pasar tepung tapioka, harga bahan baku serta akses permodalan bagi

pengusaha, sehingga industri tapioka dapat berkembang dalam rangka memenuhi permintaan

pasar dalam negeri dan pasar luar negeri.

Permintaan tepung tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena peningkatan

jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka. Selama ini, sebagian besar

hasil produksi tapioka hanya mampu memenuhi kebutuhan beberapa wilayah di Indonesia,

antara lain Surabaya, Bogor, Indramayu dan Tasikmalaya.

Pada tahun 1996 sampai 2001 Indonesia menghasilkan rata-rata 15 sampai 16 juta ton

tapioka dari industri tapioka yang berlokasi di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Jumlah produksi

tapioka yang terserap pasar dalam negeri sebanyak 13 juta ton dan permintaan dalam negeri

mengalami peningkatan 10% per tahun. Saat ini, produksi tapioka Indonesia belum dapat

memenuhi pasar dengan maksimal karena setiap tahun meningkat 10% atau 1,3 juta ton

pertahun. Sementara 70% produksi dihasilkan dari Pulau Sumatra, sedangkan 30% merupakan

produksi Pulau Jawa dan Sulawesi. (foodmarketexchange.com). Hal tersebut mengindikasikan

masih luasnya potensi usaha dan permintaan tapioka di Indonesia.

Tepung tapioka Indonesia sangat berpeluang untuk meraih pasar Asia dan Eropa.

Ketersediaan lahan dan bahan baku serta tenaga yang murah menyebabkan produk Indonesia

mampu bersaing dalam harga.

Indonesia adalah produsen nomor dua di Asia setelah Thailand. Produksi rata-rata

tapioka Indonesia mencapai 15-16 ton, sedangkan Thailand 30 juta ton tapioka pertahun dan

Vietnam berada pada urutan ketiga yaitu 2-3 juta ton tapioka per tahun.

Perdagangan bebas yang akan dilaksanakan di masa mendatang akan memberikan

dampak positif terhadap produk pertanian Indonesia, termasuk industri tapioka. Ditinjau dari segi

harga dan kualitas, tapioka Indonesia dapat bersaing dengan Thailand. Sebagaimana

diungkapkan foodmarketexchange.com, bahwa tapioka Indonesia merupakan salah satu

ancaman bagi pasar tapioka Thailand.

Peluang pasar tapioka Indonesia masih sangat terbuka terutama pasar Eropa seperti

Spanyol, Belanda, Jerman, Prancis dan Portugal. Disamping itu pasar dalam negeri yang sampai

saat ini belum dapat terpenuhi.

Page 29: Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam berbagai Industri

29

Paper SDA “ Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri ” oleh Yenny Kasim (92209 0050)

PUSTAKA

Anonim, 2006, “Pembuatan Tepung Tapioka”, Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Antarlina, 1992, “Evaluasi Sifat-Sifat Sensoris, Fisik, dan Kimia Beberapa Klon Ubi Kayu Plasma Nuftah”, Malang : Balitkabi Malang.

Barret, D.M., dkk., 1999, “Peningkatan Mutu HAsil Ubi KAyu di Indonesia” , Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman Pangan.

Bourtoom, T. 2007, ”Effect of Some Process Parameters on The Properties of Edible Film Prepared From Starch”. Songkhala :Department of Material Product Technology.

Fennema, O.R., 1985, ”Food Chemistry”, New York : Departement of Food Science. University of Wisconsin-Madison.

Henrique, C. M., et all, 2007. “Classification of Cassava Starch Film by Physicochemical Properties and Water Vapor Permeability Quantification by FTIR and PLS”. Journal of Food Science. 74: E184-E189

Hidayat, B., 2008, “Pengembangan Formulasi Produk Mie Berbahan Baku Pati Ubi Kayu”, Lampung : Politeknik Negeri Lampung.

Hidayat B, dkk. 2007, “Kajian Pengembangan Mie Pati Ubi Kayu”, Lampung: Politeknik Negeri Lampung.

Hidayat, B., dkk., 2006, “Kajian Pengembangan Makanan Tradisional sebagai Produk Pangan Unggulan (Berbasis Jagung dan Ubi Kayu)”, Lampung: Politeknik Negeri Lampung.

Hui, Y. H. 2006, “Handbook of Food Science, Technology, and, Engineering” Volume I. CRC Press, USA

Kearsley, M.W. and Dziedzic., 1995, “Handbook of Starch Hydrolysis Product and Their Derivatives”, Blackie Academic & Professional, Glasgow.

Margono, T., dkk., 1993., “Buku Panduan Teknologi Pangan”, Jakarta: Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation.

Radiyati, T., dan Agusto, A.W., 1990, “Pedayagunaan Ubi Kayu”, Subang: BPTTG Puslitbang Fisika Terapan – LIPI.

Wahyu, M.K., 2009, “Pemanfaatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku Edible Film”, Bandung: Universitas Padjajaran.

Winarno, F.G., 1992, “Kimia Pangan dan Gizi”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.