Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut untuk Lahan Sawah: Studi Pendekatan Sistem Pengelolaan Tanaman...

21
TUGAS MAKALAH MATA KULIAH PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN (TSL60B) Disusun Oleh: GILANG SUKMA PUTRA A151140041 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut untuk Lahan Sawah: Studi Pendekatan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

description

Usaha pemanfaatan lahan harus menerapkan konsep keberlanjutan dalam arti pengelolaan lahan yang dilakukan mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional saat ini tanpa mengorbankan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan sistem budidaya pertanian yang menyeluruh, tidak hanya menitikberatkan pada aspek produksi saja, tetapi juga bersifat partisipatif, mampu diterima dan dijangkau oleh masyarakat, dan tidak merusak atau menurunkan kualitas lingkungan lahan tersebut, salah satunya melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). PTT bukan merupakan paket teknologi, melainkan merupakan pendekatan dalam peningkatan produksi melalui pengelolaan tanaman, tanah, air, hara, dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dalam penerapannya, PTT bersifat (1) partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik lokasi, (4) terpadu, dan (5) sinergis antar komponen teknologi yang diterapkan (Balittra, 2012).

Transcript of Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut untuk Lahan Sawah: Studi Pendekatan Sistem Pengelolaan Tanaman...

  • TUGAS MAKALAH MATA KULIAH PERENCANAAN

    PENGGUNAAN LAHAN (TSL60B)

    Disusun Oleh:

    GILANG SUKMA PUTRA

    A151140041

    SEKOLAH PASCASARJANA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2014

    Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut untuk Lahan Sawah:

    Studi Pendekatan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

  • 2

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di

    dunia. Tercatat antara sensus tahun 2000 ke 2010 jumlah penduduk Indonesia

    bertambah dari 205.1 juta jiwa menjadi 259.9 juta jiwa dengan pertumbuhan

    rata-rata sekitar 1.48% (BPS 2010). Dari jumlah tersebut, sekitar 85% penduduk

    Indonesia bergantung pada beras sebagai makanan pokok. Kondisi ini menuntut

    ketersediaan beras yang berkesinambungan. Di sisi lain, lahan sawah yang

    banyak diusahakan di Jawa dan Bali semakin terbatas dan bahkan berkurang dari

    tahun ke tahun. Sebagai gambaran berdasarkan BPS (1998) luas lahan di jawa

    pada 1987 adalah 3.43 juta ha dan pada 1997 adalah 3.32 juta ha yang berarti

    selama 10 tahun terjadi penyusutan luas lahan sebesar 0.11 juta ha dengan

    kisaran penyusutan tiap tahun lebih kurang 11 ribu ha. Maka perlu adanya upaya

    melalui perluasan lahan (ekstensifikasi) di luar Jawa agar dapat mempertahankan

    produksi pangan secara nasional.

    Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk lahan pertanian dapat menjadi

    alternatif ekstensifikasi yang prospektif karena ketersediannya yang cukup luas.

    Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia diperkirakan 20.11 juta hektar terdiri

    dari 2.07 juta hektar lahan pasang surut potensial, 6.71 juta hektar lahan sulfat

    masam, 10.89 hektar lahan gambut, dan 0.44 juta hektar lahan salin

    (Alihamsyah, 2002).

    Dalam implementasinya, usaha pemanfaatan lahan harus menerapkan

    konsep keberlanjutan dalam arti pengelolaan lahan yang dilakukan mampu

    memenuhi kebutuhan pangan nasional saat ini tanpa mengorbankan generasi

    mendatang untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Oleh karena itu,

    diperlukan suatu pendekatan sistem budidaya pertanian yang menyeluruh, tidak

    hanya menitikberatkan pada aspek produksi saja, tetapi juga bersifat partisipatif,

    mampu diterima dan dijangkau oleh masyarakat, dan tidak merusak atau

    menurunkan kualitas lingkungan lahan tersebut, salah satunya melalui

    pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). PTT bukan

    merupakan paket teknologi, melainkan merupakan pendekatan dalam

    peningkatan produksi melalui pengelolaan tanaman, tanah, air, hara, dan

    Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara menyeluruh dan berkelanjutan.

    Dalam penerapannya, PTT bersifat (1) partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik

    lokasi, (4) terpadu, dan (5) sinergis antar komponen teknologi yang diterapkan

    (Balittra, 2012).

    Selama ini peningkatan hasil padi melalui pendekatan PTT sudah

    berkembang di lahan irigasi. Berbagai perpaduan komponen teknologi yang

    sifatnya saling sinergis, kompatibel, dan saling melengkapi telah dianjurkan

    sebagia usaha untuk meningkatkan produksi padi yang lebih efisien,

    menguntungkan dan berkesinambungan. Dengan pendekatan PTT maka dari 28

    kabupaten sejak tahun 2002-2003 produksi padi irigasi mengalami peningkatan

    hasil rata-rata 19% dan pendapatan petani 15% (Balitbang Pertanian, 2007).

    Oleh karena itu di lahan rawa pasang surut, pendekatan PTT untuk

  • 3

    meningkatkan hasil panen padi sudah dirasa perlu untuk diterapkan sehingga

    produksi padi dan kesejahteraan petani semakin membaik.

    Tujuan

    Penulisan makalah ini bertujuan untuk mempelajari, mengkaji, dan

    memahami sistem budidaya lahan sawah pasang surut menggunakan

    pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Tahapan Pelaksanaan PTT Padi di Lahan Pasang Surut

    Pengembangan PTT di lahan pasang surut didasarkan kepada masalah dan

    kendala yang ada di lokasi setempat yang diketahui melalui penelaahan

    pemahaman pedesaaan dalam waktu singkat (Partisipatory Rural Appraisal,

    PRA) sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.

    Langkah pertama pengembangan PTT ialah dengan pelaksanaan PRA di

    daerah pengembangan guna menggali permasalahan utama yang dihadapi petani.

    Melalui PRA, keinginan dan harapan petani dapat diidentifikasi, seperti

    lingkungan biofisik, kondisi sosial-ekonomi, budaya petani setempat dan

    masyarakat sekitarnya.

    Langkah kedua adalah penyusunan komponen teknologi yang sesuai

    dengan karakteristik dan masalah di daerah pengembangan. Komponen

    teknologi tersebut bersifat dinamis karena akan mengalami perbaikan dan

    perubahan menyesuaikan dengan perkembangan inovasi dan masukan-masuka

    dari petani dan masyarakat setempat.

    Langkah ketiga adalah penerapan teknologi utama PTT dalam bentuk

    pembuatan demonstrasi plot (demplot) seluas 4.0 ha sebagai percontohan bagi hamparan sawah yang luasnya 100 ha. Sejalan dengan itu diperagakan

    Gambar 1. Strategi pengembangan model PTT padi lahan pasang surut

    Sumber: Pedoman Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut, Badan

    Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007

  • 4

    komponen teknologi alternatif pada luasan 1 ha dalam bentuk superimpose

    trial, sebagai sarana untuk mencari teknologi alternatif yang nanti berguna untuk

    mensubstitusi komponen teknologi yang kurang sesuai (Balitbang Pertanian,

    2007).

    Identifikasi Karakteristik dan Kendala dalam Pengelolaan Lahan Rawa

    Pasang Surut untuk lahan sawah

    Berdasarkan pengaruh luapan pasang, khususnya pada musim hujan,

    wilayah rawa pasang surut dibagi dalam 4 (empat) wilayah tipe luapan, yaitu

    tipe luapan A, B, C dan D (Gambar 2). Dalam satuan kawasan rawa pasang surut

    terdapat sekitar 10-20% wilayah tipe luapan A, 20-30% wilayah tipe luapan B

    dan D, dan 60-70% wilayah tipe luapan C. Berdasarkan sifat tanah dan

    kendalanya dalam pengembangan pertanian, lahan rawa pasang surut dibagi

    dalam 4 (empat) tipologi lahan, yaitu (1) lahan potensial, (2) lahan sulfat masam,

    (3) lahan gambut, dan (4) lahan salin.

    Disebut lahan potensial karena mempunyai kendala lebih ringan

    dibandingkan dengan lahan sulfat masam atau lahan gambut, antara lain

    kemasaman tanah sedang (pH tanah > 4,0-4,5), lapisan pirit ada pada kedalaman

    > 100 cm, kadar aluminium, dan besi rendah. Disebut lahan sulfat masam karena

    mempunyai kendala lebih berat karena pirit berada pada kedalaman antara 50-

    100 cm dan sebagian pada kedalaman > 100 cm, pH tanah 4.0-4.5 yang apabila

    teroksidasi menurunkan pH menjadi < 3.5. Selain itu, tipologi lahan sulfat

    masam ini juga mempunyai kadar Al dan Fe yang cukup tinggi. Berdasarkan

    kedalaman pirit dan tingkat intensitas oksidasi yang terjadi, lahan sulfat masam

    dibagi dalam 2 (dua) tipologi yaitu (1) lahan sulfat masam potensial dan (2)

    lahan sulfat masam aktual.

    Disebut lahan gambut karena adanya lapisan gambut pada lapisan atas

    setebal > 50 cm dengan kadar bahan organik > 20%. Berdasarkan ketebalannya,

    lahan gambut dibagi dalam 4 (empat) tipologi lahan, yaitu gambut dangkal

    Gambar 2. Tipologi lahan rawa pasang surut berdasarkan pengaruh luapan pasang

  • 5

    (apabila tebal gambut > 50 - 100 cm), gambut sedang (tebal gambut 101 - 200

    cm), gambut dalam (tebal gambut 201 - 300 cm), dan gambut sangat dalam

    (tebal gambut > 300 cm). Lahan gambut mempunyai sifat tersendiri berbeda

    dengan tipologi lainnya antara lain adanya lapisan gambut dengan kerapatan

    lindak (bulk density) < 0.1 g/cm3 sehingga daya dukung lahan terhadap beban

    sangat rendah. Selain itu, sifat khas lainnya yaitu kahat (defisiensi) hara mikro,

    terutama Cu dan Zn. Adapun disebut lahan salin karena mempunyai kendala

    berupa salinitas akibat pengaruh intrusi air laut dan umumnya tekstur kasar

    (berpasir) karena berada pada dataran pantai (coastal plain).

    Berdasarkan jenis tanahnya menurut USDA Soil Taxonomy, tanah-tanah

    di lahan rawa dapat dimasukan ke dalam kelompok besar (Great group) (1)

    tanah alluvial marin (Sulfaquent, Sulfaquept Hydraquent, Fluvaquent), (2) tanah

    alluvial sungai (Endoaquent, Endoaquept), (3) tanah gambut

    (Haplofibrist/Haplohemist, Sulfohemist/Sulfosaprist, Sulfohemist/Sulfosaprist).

    Dari ketiga kelompok besar tanah tersebut, kelompok tanah alluvial marin

    banyak ditemukan pada tipologi rawa pasang surut dan rawa pantai, kelompok

    tanah alluvial sungai banyak ditemukan di rawa lebak, sedang kelompok tanah

    gambut banyak ditemukan baik di rawa pasang surut maupun rawa lebak, dan

    sedikit di tipologi rawa pantai (Nursyamsi dan Noor, 2012).

    Berdasarkan sifat dan karakteristik tipe lahan yang ada pada lahan rawa

    pasang surut, Maka dapat diketahui kendala dan masalah yang umum dihadapi

    petani di dalam usahatani padi lahan rawa pasang surut adalah sebagai berikut;

    a. Lahan potensial Masalah kesuburan tanah yang rendah

    b. Lahan sulfat masam

    pH tanah sangat rendah (sangat masam)

    Jumlah ion Fe (besi) dan Al (alumunium) yang cukup tinggi pada tanah menyebabkan keracunan Fe dan Al pada tanaman

    Kahat hara P dan K c. Lahan gambut

    Konsentrasi asam-asam organik tinggi

    pH rendah

    Kahat hara N, P, K, dan Si

    Kahat hara mikro (Cu dan Zn) d. Lahan salin

    Konsentrasi garam (NaCl) pada tanah tinggi, terutama pada musim kemarau

    Pemecahan Masalah

    Pemecahan masalah spesifik lokasi untuk pertanaman padi di lahan rawa

    pasang surut merupakan kunci keberhasilan pertama dalam tahapan penerapan

    PTT selanjutnya. Sebagai petunjuk awal dalam pemecahan permasalahan tanah,

    air, dan hara di lahan rawa pasang surut menurut tipe lahan, usaha-usaha

    perbaikan (secara teknis) yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

    a. Lahan Potensial Tidak memerlukan penambahan amelioran, praktek budidaya dengan

    teknolgi PTT dapat dilakukan dengan kendala yang minimal

  • 6

    b. Lahan sulfat masam

    Pengaturan tata air mikro, dengan memasang pintu air (flapgate) searah, yaitu membiarkan air dari sungai (pH netral) masuk ke lahan

    (mendorong pintu air), menggenangi lahan, lalu tidak keluar sewaktu

    air surut. Dengan demikian, lambat laun pH tanah naik mendekati netral

    Pintu air perlu diatur untuk dapat ditutup pada saat kemarau sehingga terhindar dari drainase berlebihan

    Parit-parit drainase dibuat untuk menampung dan membuang besi di dalam petakan

    Ameliorasi lahan dengan mengaplikasi kapur pertanian (kaptan) sebanyak 1-2 ton/ha, disebar ke seluruh permukaan tanah, lalu

    dibenamkan dengan alat bajak sedalam 10 cm untuk menetralkan Al

    tanah.

    Pemberian pupuk P (sebaiknya batuan fosfat) dan K (KCl) diberikan berlebih (1.25 kali dosis normal) untuk mengimbangi pirit.

    c. Lahan gambut

    Kapur pertanian sebanyak 0.5 1.0 ton/ha disebarkan di permukaan lahan lalu dibenamkan 10 cm untuk menetralkan asam-asam organik

    dan memperbaiki ketersediaan hara

    Pemberian pupuk N (Urea), P (SP36), dan K (KCl)

    Perlu juga diberikan hara mikro CuSO4 (terusi besi ) dan ZnSO4 dengan cara disemprot lewat daun

    Parit drainase dan pintu air harus dangkal, untuk mencegah gambut tidak mengering dan menjadi pseuodosand

    Pintu air perlu diatur dan ditutup pada saat musim kemarau sehingga terhindar dari drainase berlebih (over drain).

    d. Lahan salin

    Penanaman padi dilakukan pada musim penghujan dengan varietas toleran salinitas

    Perlu dibuat tanggul-tanggul yang mengelilingi petakan sawah untuk menahan intrusi air laut masuk langsung ke lahan

    Pembasuhan (flushing) perlu dilakukan dengan memasukan air ke lahan pada saat musim hujan.

    Penyiapan Lahan Tanam

    Berbeda dengan lahan sawah irigasi, kendala usahatani padi pada lahan

    pasang surut lebih beragam, sehingga penyiapan lahan untuk budidaya

    memerlukan teknologi yang relatif berbeda. Menurut Simatupang dan Nurita

    (2013) sistem pengelolaan tanah konservasi dapat diaplikasikan pada lahan

    pasang surut dengan tiga cara yaitu, (1) penyiapan lahan dengan tajak (cara tradisional), (2) tanpa pengolahan (zero tillage), dan (3) full tillage with

    regulations (FTR). Cara pertama dan kedua merupakan inovasi teknologi yang

    dapat dikembangkan di lahan rawa pasang surut dimana mampu meningkatkan

    produksi tanaman.

    Pada cara pengolahan tanah secara tradisional dengan tajak, petani menebas dan membenamkan gulma pada kedalaman 3 -5 cm saja agar pirit tidak

  • 7

    terpapar. Biasanya dilakukan pada saat tanah digenangi air sedalam 5 10 cm. Namun demikian, cara ini menjadi kurang efisien karena untuk mempersiapkan

    lahan sampai siap tanam membutuhkan kira-kira 45 50 orang/hari/ha. Ditambah lagi, biaya ongkos tenaga kerja dan alat menjadi sangat mahal dan

    tidak cocok untuk petani daerah pasang surut yang rata-rata memiliki

    pendapatan rendah dan terbatas (Ramli et al. 1992).

    Penyiapan lahan dengan teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) atau zero

    tillage dapat diaplikasikan untuk penyiapan lahan sawah pada lahan pasang

    surut. Penyiapan lahan dapat dilakukan dengan cara tebas atau penyemprotan

    herbisida;

    Tebas

    Gulma atau rumput ditebas dengan tajak besar di saat lahan berair

    Rumput dibiarkan terhampar membusuk selama dua minggu, setelah itu digumpal dan dibiarkan dua minggu kemudian gumpalan dibalik lagi.

    Setelah gumpalan rumput membusuk sepenuhnya, lalu gumpalan tersebut

    dihamparkan secara merata pada seluruh permukaan petakan sebagai

    sumber bahan organik bagi tanaman.

    Herbisida

    Sewaktu penyemprotan herbisida, petakan diusahakan tidak digenangi/tergenang oleh air untuk mencegah kontaminasi bahan beracun

    dari herbisida ke dalam air dan dapat menyebabkan polusi

    Gulma dapat disemprot dengan herbisida nonselektif seperti Glyphosate atau Paraquat

    Penyemprotan dilakukan lebih awal agar waktu tanam padi tidak tertunda karena menunggu gulma membusuk.

    Menurut Simatupang (2007) dengan pengaplikasian teknologi zero tillage

    menggunakan herbisida dapat menekan penggunaan jumlah tenaga kerja sebesar

    25% dibandingkan sistem tebas, dan juga mampu mencegah terjadinya

    keracunan Fe pada tanaman.

    Inovasi teknologi penyiapan lahan lainnya pada lahan pasang surut yaitu

    teknologi olah tanah sempurna bersyarat (FTR). Cara ini merupakan sistem

    pengolahan tanah secara penuh dengan beberapa syarat antara lain; (1)

    kedalaman lapisan pengolahan tidak lebih dari 20 cm atau dilakukan pada

    kedalaman 12 15 cm, (2) ketika menyiapkan lahan, lahan harus dalam keadaan tergenang, dan (3) menjaga kondisi drainase lahan agar tetap tergenang oleh air.

    Sistem tata air baik makro maupun mikro menjadi sangat penting dan

    merupakan kunci keberhasilan pengelolaan lahan rawa pasang surut.

    Salah satu penemuan petani Banjar adalah ilmu pengetahuan teknologi

    kearifan lokal dalam pembukaan (reklamasi), pengelolaan, dan pengembangan

    pertanian lahan rawa. Lahan rawa pasang surut telah dimanfaatkan selama

    berabad-abad oleh penduduk lokal dan pendatang secara cukup berkelanjutan.

    Pada sistem kearifan lokal petani Banjar dan Bugis, persiapan lahan dilakukan

    cukup dengan sistem bajak atau olah minimum. Tanah tidak diganggu,

    sedangkan rumpun dibusukkan lalu ditebarkan atau dihamparkan pada

    permukaan petak sebagai sumber hara bagi tanaman. Cara petani tradisional ini

    dapat meningkatkan produktifitas padi sekaligus menjaga kelestarian lahan

    pasang surut. Menurut Conway (1985) dalam (Haris, 2001) , pemanfaatan secara

    tradisional/kearifan lokal itu dicirikan oleh:

  • 8

    Pemanfaatan berganda (multiple use) lahan, vegetasi, dan hewan. Di lahan rawa, masyarakat tidak hanya menanam dan memanen padi, sayuran, dan

    kelapa, tetapi juga menangkap ikan, memungut hasil hutan, dan berburu

    hewan liar

    Penerapan teknik budidaya dan varietas tanaman yang secara khusus disesuaikan dengan kondisi lingkungan lahan rawa tersebut.

    Sistem orang Banjar merupakan sistem pertanian tradisional lahan rawa

    yang akrab dan selaras dengan alam, yang disesuaikan dengan situasi ekologis

    lokal seperti tipologi lahan dan keadaan musim yang erat kaitannya dengan

    keadaan topografi, kedalaman genangan, dan ketersediaan air. MacKinnon et al.

    (1996) menilai sistem ini sebagai sistem multicropping berkelanjutan yang

    berhasil pada suatu lahan marjinal, sistem pertanian yang produktif dan self

    sustaining dalam jangka waktu lama. Hal ini terlihat dari penerapan sistem

    surjan Banjar dan pola suksesi dari pertanaman padi menjadi kelapapohon, buah-buahanikan yang diterapkan petani Banjar (Haris, 2001).

    Komponen Teknologi PTT

    Komponen teknologi yang dapat diintroduksikan dalam pengembangan

    usahatani padi melalui pendekatan PTT pada lahan pasang surut adalah sebagai

    berikut;

    1. Penggunaan varietas unggul yang toleran terhadap karakteristik lahan, lingkungan, bentuk gabah maupun rasa nasi yang diinginkan masyarakat

    setempat

    2. Benih yang berkualitas (kemurnian dan daya kecambah tinggi) 3. Jumlah bibit 2 - 3 batang per lubang dan ditanam dengan sistem jajar

    legowo 2:1, 4:1, dan lainnya dengan pupulasi minimum 250 ribu rumpun

    /ha, atau ditanam dengan sistem tanam benih langsung (tabela)

    4. Pengelolaan tata air mikro dengan sistem tata air satu arah dengan saluran keliling dan kemalir, pntu-pintu air (flapgate) masuk dan keluar serta

    sloplog. Saluran kemalir dibuat dengan interval 6 - 8 m yang disertai

    caren-caren

    5. Mengaplikasikan pupuk urea tablet/granul dengan dosis 200 kg/ha. Perlu diperhatikan bahwa pemberian pupuk N berdasarkan pembacaan Bagan

    Gambar 3. Sistem Surjan yang merupakan produk kearifan lokal masyarakat Banjar

    sampai saat ini masih terus diterapkan dalam usaha budidaya tanaman terpadu di lahan

    pasang surut

    Sumber: http://image.google.com

  • 9

    Warna Daun (BWD) bisa rancu karena gejala keracunan besi dan

    defisiensi hara N sukar dibedakan

    6. Pemberian pupuk P dan K didasarkan pada status hara tanah. Pemakaian Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) atau menggunakan petak omisi di

    lahan pasang surut masih perlu penelitian yang lebih mendalam.

    7. Ameliorasi lahan dengan mengaplikasi 1 - 2 ton/ha kapur pertanian 8. Pengendalian gulma secara terpadu 9. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu (PHT) 10. Panen beregu dan pemrosesan pascapanen menggunakan alat perontok.

    Berdasarkan sifatnya, komponen-komponen teknologi ini dapat dipilah

    menjadi dua bagian. Pertama, teknologi untuk pemecahan masalah setempat

    atau spesifik lokasi. Kedua, teknologi untuk perbaikan cara budidaya yang lebih

    efisien dan efektif. Dalam pelaksanaanya, tidak semua komponen teknologi

    diterapkan sekaligus, terutama di lokasi yang memiliki masalah spesifik. Namun

    ada enam komponen teknologi yang dapat diterapkan bersamaan (compulsory

    technology) sebagai penciri pendekatan melalui PTT, yaitu:

    1. Varietas unggul baru yang sesuai di lokasi setempat Varietas unggul merupakan teknologi yang lebih nyata kontribusinya

    terhadap peningkatan produktifitas tanaman dan dapat dengan mudah diadopsi

    petani karena murah dan penggunaanya lebih praktis. Dengan dilepaskannya

    berbagai varietas padi lahan rawa pasang surut (Tabel 1), petani pada

    agroekosistem ini dapat memilih varietas yang sesuai dengan kondisi setempat.

    Tabel 1. Varietas unggul padi lahan pasang surut

    Varietas Umur

    (Hari)

    Tinggi

    Tanaman

    (cm)

    Tekstur

    nasi Tahan/Toleran

    Banyuasin 120 105 pulen Wereng coklat 3, blas, hawar daun,

    bakteri III, keracunan Fe, Keracunan Al

    Batanghari 125 110 Pera Wereng coklat 1&2, blas, hawar daun,

    bakteri III, keracunann Fe

    Dendang 125 100 Pulen Wereng coklat 1 & 2, blas, bercak

    coklat, keracunan Fe, Keracunan Al

    Indragiri 117 105 Sedang Wereng coklat 1 & 2, blas, hawar daun,

    bakteri III, keracunan Fe, Keracuna Al

    Punggur 117 100 Sedang Wereng coklat 1 & 2, blas, keracunan

    Fe, Keracunan Al Martapura 125 120 Pera Keracunan Fe, blas

    Margasari 125 120 Pera Keracunan Fe, blas

    Siak Raya 120 120 Pera Hawar daun bakteri III & IV, blas,

    keracunan Fe, Keracunan Al

    Air

    Tenggulang 125 120 Pera

    Wereng coklat 2, blas, hawar daun

    bakteri III & IV, bercak coklat,

    keracunan Fe, Keracunan Al

    Lambur 115 100 Pulen Blas, keracunan Fe, Keracunan Al,

    salinitas

    Mendawak 115 100 pulen Blas, bercak coklat, keracunan Fe,

    salinitas

    Sei Lahan 125 100 Pera Wereng coklat 2 & 3, blas, bercak coklat,

    salinitas

    IR42 140 110 Pera Wereng coklat 1 & 2, hawar daun

    bakteri, blas, kemasaman tanah

    Sumber: Pedoman Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut, Badan

    Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007

  • 10

    Sebagai contoh pada lahan rawa pasang surut tipe A dan B yang

    didominasi sebagian besar oleh tanah salin dan sulfat masam, maka petani dapat

    menggunakan varietas padi toleran terhadapat salinitas tinggi seperti Mendawak

    dan sei Lahan pada petakan yang lebih dekat dari sumber air pasang surut,

    sedangkan pada lahan sulfat masam petani dapat menanam padi dengan varietas

    yang toleran terhadap keracunan Fe dan Al seperti Banyuasin, Indragiri, atau

    Siak Raya. Pada daerah peralihan dimana lahan sawah sulfat masam yang

    dipengaruhi oleh pasang surut intensif sehingga memiliki salinitas tinggi, maka

    dipilih padi varietas Lambur yang tahan/toleran terhadap kondisi cekaman

    keracunan Fe dan Al serta salinitas tinggi.

    2. Benih bermutu (bersertifkat dan vigor tinggi) Penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan vigor tinggi sangat

    dianjurkan, karena (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat

    dengan perakaran yang baik dan padat, (2) akan menghasilkan perkecambahan

    dan pertumbuhan yang seragam, (3) pada saat ditanam pindah dari persemaian,

    bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan tegar, dan (4) benih

    yang baik akan memperoleh hasil yang tinggi.

    Benih yang baik adalah benih yang memiliki kerapatan isi/densitas gabah

    yang tinggi, memiliki densitas spesifik gravitasi minimal 1.20. pada benih

    dengan gabah densitas tinggi, lebar dan berat daun serta jumlah penggunaan

    karbohidrat oleh bibit akan lebih baik dari bibit yang berasal dari gabah dengan

    densitas rendah. Gabah dengan densitas tinggi memiliki abnormalitas bibit yang

    rendah.

    3. Bibit, Persemaiaan Bibit, dan Sistem Tanam Hasil penelitian sebenarnya menunjukkan bahwa bibit muda akan

    menghasilkan anakan yang lebih baik dibandingkan dengan bibit tua. Namun

    pada sawah pasang surut yang sukar dikendalikan airnya dan endemik hama

    keong mas yang dapat merusak pertumbuhan bibit muda oleh sebab itu

    dianjurkan menggunakan bibit yang lebih tua. Jumlah bibit yang ditanam 1-3 per

    Gambar 4. Berbagai jenis varietas padi sawah pasang surut

    Sumber: http://cybex.deptan.go.id/

    Batanghari

    Dendang Siak Raya

    Banyuasin

    Air Tenggulang

    Tapus Lambur

  • 11

    lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan dengan sistem tanam tegel 20 cm x

    20 cm (25 rumpun/m2), 25 cm x 25 cm (16 rumpun/m

    2) atau dengan sistem

    legowo 2:1, 4:1, atau tanam dengan sistem tabela (untuk efisiensi tenaga kerja).

    Rumpun yang hilang karena tanaman mati, terlewati ditanam, atau rusak karena

    hama segera ditanami ulang tidak lebih dari 14 hari setelah tanam. Bibit yang

    ditanam berasal dari persemaian yang sama.

    Keuntungan Cara Tanam Jajar Legowo (Bobihoe, 2011)

    Pada cara tanam Jajar Legowo 2:1, semua tanaman seolah-olah berada pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar Legowo

    4:1, separuh tanaman berada pada bagian pinggir (mendapat manfaat

    border effect).

    Jumlah rumpun padi meningkat sampai 33%/ha

    Meningkatkan produktivitas padi 12-22%

    Memudahkan pemeliharaan tanaman

    Masa pemeliharaan ikan dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari dibanding cara tandur jajar biasa yang hanya 45 hari. Hasil ikan yang diperoleh dapat

    menutupi sebagian biaya usaha tani (Sistem Pertanian Terpadu Minapadi)

    Dapat meningkatkan pendapatan usahatani antara 30-50%.

    Sistem tanam Tabela

    Pada lahan sawah pasang surut yang sudah memilki pintu air, berarti

    jumlah debit air yang keluar masuk lahan dapat dikendalikan, maka cara tanam

    dengan sistem tabela dapat diterapkan oleh petani. Dalam sistem tabela petani

    membutuhkan jenis benih yang bermutu agar pertumbuhan tanaman merata.

    Sebelum disebar ke lahan benih terlebih dahulu direndam selama 24 jam untuk

    menginisiasi tumbuhnya kecambah, lalu diangin-anginkan atau diperam selama

    24 jam, kemudian baru siap ditanam. Waktu penaburan benih padi tabela

    biasanya dilakukan petani pada saat air surut atau pasang kecil agar benih tidak

    hanyut terbawa air pasang.

    Pada sistem tabela, masalah pengelolaan tanah dan sistem drainase lahan

    merupakan kunci pokok untuk mendapatkan pertumbuhan benih yang merata.

    Tanah harus diolah sempurna sampai melumpur, dan permukaan tanah pada

    petakan harus rata. Kemudian masalah tata air mikro perlu diperhatikan agar

    benih tidak mati akibat genangan air berlebih. Kondisi petakan yang didrainase

    perlu dikontrol sampai umur 7 10 hari setelah tanam. Setelah masa ini, maka petakan dapat digenangi air kembali.

    Gambar 5. Sistem tanam legowo 4:1 (kiri) dan 2:1 (kanan)

    Sumber: http://image.google.com

  • 12

    Menurut Ananto et al (1997) Sistem tabela yang diterapkan pada usahatani

    padi dapat mengurangi tenaga kerja. Namun, sistem ini pun menghadapi

    kendala, antara lain:

    Benih tidak tumbuh bila jatuh di permukaan tanah yang tergenang air

    Tanam sebar langsung membutuhkan kondisi tanah yang rata dan sempurna, sehingga membutuhkan biaya pengolahan tanah lebih banyak

    Kebutuhan benih lebih banyak

    Benih mudah terserang burung atau tikus

    Tanaman mudah rebah

    Pada kondisi tergenang benih akan hanyut terbawa air, sehingga memerlukan tenaga kerja untuk penyulaman

    Tenaga untuk penyiangan lebih banyak dibanding tanam pindah

    Untuk itu, pada sistem tabela ini dapat digunakan alat tanam larik tipe

    drum (drum seeder) yang dirancang untuk mengatasi kelemahan cara tanam

    tabela konvensional dengan prinsip kerja yang sangat sederhana (Gambar 6).

    Benih dimasukkan ke tabung-tabung (tempat benih berbentuk drum) yang dapat

    memuat 2 kg benih. Pada saat alat ditarik, benih akan keluar melalui lubang

    yang ada dibagian kanan dan kiri drum. Tiap drum mempunyai dua macam

    ukuran lubang, yaitu rapat dan renggang. Kapasitas kerja alat 8 jam/ha dengan

    seorang operator dan satu pembantu dengan kebutuhan benih 35-40 kg/ha.

    Dengan menggunakan alat tanam ini, benih dikecambahkan terlebih dulu

    sebelum disebarkan di lahan yang telah diolah dan diratakan secara baik. Sistem

    tabela sangat cocok di daerah yang tenaga kerjanya kurang dan mahal, selain itu

    juga dapat menghemat penggunaan air. Kelebihan alat tanam ini bukan hanya

    dari segi waktu untuk mempercepat kegiatan tanam dan mengurangi kebutuhan

    benih, tetapi juga menguntungkan secara ekonomi. Bila bekerja efektif selama

    30 hari per musim dengan kapasitas kerja 8 jam/ha/hari, biaya operasi alat ini

    hanya sekitar Rp.150.000,- sampai 200.000/ha. Biaya ini sangat murah bila

    dibandingkan dengan biaya tanam pindah yang berkisar Rp.500.000 -

    Rp.700.000 (BPTP Sumsel/ Badan Litbang Pertanian, 2013)

    Namun Secara umum, produktifitas padi tabela masih lebih rendah

    dibanding padi yang ditanam dengan cara konvensional (tanam pindah).

    Menurut Jumakir dan Endrizal (2009) dilihat dari R/C ratio menunjukkan baik

    sistem tanam pindah maupun tabela layak secara ekonomi, walaupun dengan

    Gambar 6. Aplikasi sistem tabela dengan alat drum seeder

    Sumber: http://bbp2tp.litbang.pertanian.go.id/, www.knowledgebank.irri.org

  • 13

    input yang lebih rendah dari sistem tanam pindah namun sistem tabela masih

    lebih kurang menguntungkan dibanding sistem tanam pindah. Hal Ini

    dikarenakan menurut Pane (2003) hingga kini Indonesia belum mempunyai

    varietas padi yang sesuai khusus untuk tabela. Karakterisiik benih yang cocok

    untuk tabela adalah mampu berkecambah dalam kondisi aerobik, perakaran

    dalam dan tidak terlalu tinggi sehingga tidak mudah rebah, jumlah anakan

    sedikit tetapi mempunyai malai yang panjang dengan jumlah gabah bernas

    tinggi, kemampuan bertunas kurang, umur lebih panjang, daun bendera lebih

    luas, malai besar dengan kapasitas sink lebih tinggi, gabah tidak mudah rontok

    sehingga kehilangan hasil rendah.

    4. Pemberian urea granul/tablet dan Pemupukkan P dan K berdasarkan status hara tanah

    Lahan rawa pasang surut tipe A yang selalu tergenang, pemupukkan harus

    dilakukan dengan hati-hati. Bila mungkin diusahakan mengaplikasikan

    penyemprotan pupuk cair langsung melalui daun. Pada prinsipnya, penggunaan

    pupuk perlu mengutamakan efektifitas dan efisiensi. Karena itu pemberian

    pupuk N berdasarkan BWD kurang efektif karena tidak menggambarkan kondisi

    status N tanah aktual. Selain itu, aplikasi pupuk urea prill pada lahan pasang

    surut menjadi tidak efisien karena dapat larut dan hanyut terbawa oleh genangan

    dan pasang surut air. Di lahan rawa pasang surut, pemberian pupuk N sebaiknya

    dalam bentuk urea tablet/granul yang lebih berat dan lambat dalam melepas N,

    sehingga N tidak cepat larut ke dalam air dan butiran pupuk tidak mudah hanyut

    oleh arus air. Dosis pupuk N yang diberikan harus berdasarkan status hara tanah,

    namun rata-rata pemberian pupuk N tablet/granul 200 kg/ha urea atau 20 g/m2

    disesuaikan dengan kerapatan jarak tanam. Pemberian pupuk P dan K dosisnya

    disesuaikan berdasarkan status hara tanah yang besaranya tersaji pada Tabel 2.

    Pemberian pupuk hara mikro seperti CuSO4 dan ZnSO4 sangat diperlukan

    terutama pada lahan rawa pasang surut yang memiliki tipe lahan gambut maupun

    bergambut. Defisiensi unsur Cu dan Zn ini berhubungan dengan kadar bahan

    organik yang tinggi yang mampu mengkelat sebagian besar hara-hara mikro dan

    kation-kation polivalen lainnya menjadi kompleks yang stabil dan tidak tersedia

    bagi tanaman. aplikasinya bisa disemprotkan ke daun langsung atau dilarutkan

    terlebih dahulu dengan dosis yang berbeda-beda berdasarkan nilai pH tanah

    seperti tertera pada Tabel 3 dan Tabel 4.

    Tabel 2. Acuan umum pemupukan Fosfor dan Kalium pada tanaman padi lahan rawa pasang surut

    Kelas status hara

    P dan K tanah

    Kadar hara terekstrak HCL 25% Dosis acuan pemupukam

    (mg P2O5/100g) (mg K2O/100g) P(kg SP-36/ha) K (kg KCl/ha)

    Rendah < 20 20 100 100

    Sedang 20 40 10 - 20 75 50

    Tinggi > 40 > 20 50 0

    Sumber: Pedoman Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut, Badan

    Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007

  • 14

    Bahan Organik

    Lahan rawa pasang surut tipologi potensial dan sulfat masam mempunyai

    prospek yang baik untuk diaplikasikan dengan bahan organik. Lapisan pirit

    cukup dalam, sehingga pengolahan tanah dapat dilakukan dengan mesin seperti

    traktor, sehingga dapat menghemat tenaga dan waktu. Apabila ditanami secara

    intensif, maka pemberian pupuk organik sangat dianjurkan.

    Tabel 4. Kebutuhan pupuk Zn tanaman padi pada lahan gambut/bergambut, dan salin

    pH Tanah Nilai uji Zn Tanah (ekstraksi 1 N HCl)

    < 1 ppm > 1 ppm

    > 6.5

    5.0 kg ZnSO4 diberikan sebagai pupuk

    dasar, dilarutkan dalam 250 liter air/ha

    lalu disemprotkan ke tanah sewaktu

    perataan tanah atau dicampur rata

    dengan pupuk SP 36 yang juga

    diberikan sebagai pupuk dasar

    Pemberian Zn melalui daun (foliar

    application), yaitu 2.5 kg ZnSO4

    dilarutkan dalam 250 liter air/ha lalu

    disemprotkan ke tanaman padi pada

    fase vegetatif akhir

    6.0 6.5

    2.5 kg ZnSO4 diberikan sebagai pupuk

    dasar, dilarutkan dalam 250 liter air/ha

    lalu disemprotkan ke tanah sewaktu

    perataan tanah atau dicampur rata

    dengan pupuk SP 36 yang juga

    diberikan sebagai pupuk dasar

    Bibit padi dicelupkan sebelum

    ditanam pada larutan 1% ZnSO4

    selama 2 menit

    < 6.0 Bibit padi dicelupkan sebelum ditanam

    pada larutan 1% ZnSO4 selama 2 menit

    Tidak perlu diberikan Zn

    Sumber: Pedoman Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut, Badan

    Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007

    Tabel 3. Kebutuhan pupuk Cu tanaman padi pada lahan gambut/bergambut, dan salin

    pH Tanah Nilai uji Cu Tanah (ekstraksi 1 N HCl)

    < 1 ppm > 1 ppm

    > 6.5

    2.0 kg CuSO4 diberikan sebagai pupuk

    dasar, dilarutkan dalam 250 liter air/ha

    lalu disemprotkan ke tanah sewaktu

    perataan tanah atau dicampur rata

    dengan pupuk SP 36 yang juga

    diberikan sebagai pupuk dasar

    Pemberian Zn melalui daun (foliar

    application), yaitu 2.0 kg ZnSO4

    dilarutkan dalam 250 liter air/ha lalu

    disemprotkan ke tanaman padi pada

    fase vegetatif akhir

    6.0 6.5

    1.0 kg CuSO4 diberikan sebagai pupuk

    dasar, dilarutkan dalam 250 liter air/ha

    lalu disemprotkan ke tanah sewaktu

    perataan tanah atau dicampur rata

    dengan pupuk SP 36 yang juga

    diberikan sebagai pupuk dasar

    Bibit padi dicelupkan sebelum

    ditanam pada larutan 5% CuSO4

    selama 2 menit

    < 6.0

    Bibit padi dicelupkan sebelum ditanam

    pada larutan 5% CuSO4 selama 2

    menit, biasanya disatukan dengan

    ZnSO4 bila tanah kahat Zn

    Tidak perlu diberikan Cu

    Sumber: Pedoman Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut, Badan

    Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007

  • 15

    Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan ataupun segar

    berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, juga

    sebagai sumber nutrisi tanaman walaupun jumlahnya sedikit dan lambat tersedia.

    Sumber bahan organik dapat berasal dari sisa-sisa tanaman seperti jerami padi,

    bagian batang dan daun tanaman yang tidak dipanen, limbah rumah tangga,

    kotoran ternak, dan sekam padi.

    5. Tata air mikro yang intensif Di lahan rawa pasang surut, pengelolaan air secara makro maupun mikro

    sangat penting. Terutama untuk mencuci senyawa beracun seperti pirit/besi atau

    untuk mengurangi kemasaman tanah. Penataan dan pengelolaan air secara makro

    telah dilakukan pemerintah di bawah Departemen Pekerjaan Umum dengan

    membangun saluran-saluran navigasi, primer, dan sekunder dengan sarana pintu-

    pintu air di muara saluran tersier. Jaringan tata air di tingkat makro ini sangat

    berpengaruh terhadap keberhasilan di tingkat mikro. Berikut beberapa jenis

    sistem tata air (irigasi dan drainase) yang dapat diterapkan di lahan rawa pasang

    surut (Lindung, 2014);

    Sistem parit/handil

    a. Ketentuan umum

    Parit dibuat dari pinggir sungai yang mengarah tegak lurus ke arah daratan (Gambar 7)

    Di kiri dan kanan parit dibuat pematang-pematang, yang biasanya digunakan juga sebagai jalan sekaligus sebagai tanda batas kepemilikan

    lahan

    Parit dapat dipandang sebagai saluran sekunder, bila sungai dipandang sebagai saluran primer

    Parit dibuat secara bertahap dan diselaraskan dengan kondisi perubahan lahan, pengaruh pasang surut (kedalaman permukaan air) dan, ketebalan

    gambut

    Penerapan sistem parit, diawali dengan pembukaan lahan dengan merintis dan menebang pohon-pohon besar

    Pekerjaan ini dimulai dari tepi sungai tegak lurus ke arah pedalaman. b. Ciri sistem parit

    Lahan usahatani umumnya berjarak 0.5 5 km dari tepi sungai ke arah pedalaman, atau sampai ke ketebalan gambut maksimum 1 meter.

    Di bagian tepi sungai dibuat pematang, karena sudah ada tanggul sungai yang terbentuk secara alami, sehingga bila sungai pasang atau banjir,

    luapan air akan tertahan dan genangan pada lahan usaha yang ditimbulkan

    terbatas.

    Parit dibuat dengan fungsi ganda, yaitu sebagai saluran drainase (pembuangan) apabila air surut, dan sebagai saluran irigasi (memasukkan;

    mengairi) apabila air pasang. Aliran air dalam parit adalah bolak balik atau

    dua arah.

    Untuk mempertahankan keberadaan air di petakan lahan, maka pada parit dipasang tabat untuk mencegah keluarnya air sewaktu surut, tetapi sewaktu

    pasang, air dapat leluasa masuk dalam petakan.

    Untuk mencegah agar parit tidak tersumbat oleh endapan lumpur, maka diperlukan pekerjaan pembuangan/pengangkatan lumpur sebulan sekali.

  • 16

    Lebar parit berukuran 5 meter dan semakin menyempit ke arah hulu parit.

    Pada kanan dan kiri parit dibuat pematang/tanggul untuk ditanami tanaman penguat (pohon buah-buahan) agar tanggul tidak longsor. Di atas

    pematang ini juga dapat dibuat ponsok.

    Pada setiap 500 meter dibuat parit cacing yang berfungsi untuk memasukkan dan mengeluarkan air pada petakan pertanaman. Parit ini

    berukuran lebar dan dalam 1 meter.

    Sistem saluran garpu (Fork System)

    Pengatuan tata air dengan sistem garpu (Gambar 8) dikembangkan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) pada lahan pasang surut, yaitu lahan-

    lahan yang terletak di dataran pantai atau dataran dekat sungai; baik

    terpengaruh langsung maupun tidak langsung oleh pasang surut

    Untuk mengatur air pasang surut, maka dibuat pintu-pintu air yang dikenal dengan flapgate yaitu pintu otomatis yang ketika air pasang, air akan

    mendorong pintu sehingga air dapat masuk ke dalam parit-parit petakan

    lahan. Sewaktu air surut, air akan tertahan di dalam parit-parit petakan

    lahan

    Struktur tinggi/operasional pintu-pintu air tersebut disesuaikan dengan penggunaan lahannya, apakah untuk sawah, surjan, atau lahan kering

    Kelemahan sistem garpu:

    Biaya pembuatannya mahal karena dirancang untuk areal pertanian yang

    luas dan menggunakan alat-alat berat. Lumpur yang mengendap dalam ruas-

    ruas saluran harus sering-sering diangkat agar tidak terjadi pendangkalan, ini

    akan mempersulit proses pergantian air segar. Jika pada saluran terdapat pirit

    yang telah teroksidasi dan tidak tercuci keluar, maka senyawa kuat yang

    terbentuk akan membahayakan tanaman di atasnya.

    Gambar 7. Pengelolaan air sistem parit/handil

    Sumber: Balai Pelatihan Pertanian Jambi

  • 17

    Mengatasi kelemahan sistem garpu adalah dengan adanya pembuatan

    saluran yang terpisah antara saluran irigasi (pemasukan air/inlet) dan saluran

    drainase (pengeluaran air/outlet), atau dikenal sebagai Sistem Aliran Satu Arah.

    Pada sistem ini (Gambar 9), setidaknya memerlukan 2 buah saluran tersier, yang

    satu berfungsi sebagai saluran irigasi (inlet) dan yang satu lagi sebagai saluran

    Gambar 8. Pengelolaan air sistem garpu Sumber: Balai Pelatihan Pertanian Jambi

    Gambar 9. Pengelolaan air pada tingkat petakan sawah

    Sumber: Balai Pelatihan Pertanian Jambi

  • 18

    drainase (outlet). Kedua saluran tersier ini harus dilengkapi dengan pintu air

    otomatis (flapgate) yang dapat membuka dan menutup dengan tenaga arus air.

    Saluran irigasi akan membuka ketika air pasang, dan akan menutup ketika air

    surut. Kondisi demikian diciptakan dengan meletakkan posisi pintu yang

    berlawanan arah (Gambar 10). Tinggi rendahnya permukaan air dalam saluran

    diatur dengan mengatur pintu outlet (drainase). Keuntungan sistem ini adalah

    terjadinya pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar, potensi

    endapan lumpur di dalam saluran kuarter lebih kecil karena tercuci lebih mudah,

    serta penumpukan senyawa beracun dan air masam akan dapat dihindari.

    6. Pengendalian Gulma dan Hama Terpadu Pengendalian gulma

    Penumpukkan gulma dapat dikendalikan dengan cara pengolahan tanah

    sempurna. Mengatur air di petakan sawah, menggunakan benih padi

    bersertifikat, penggunaan kompos sisa tanaman dan kompos pupuk kandang, dan

    menggunakan herbisida, apabila tenaga kerja langka dan mahal. Pengendalian

    gulma secara mekanis seperti dengan gasrok sangat dianjurkan, dikarenakan cara

    ini sinergis dengan pengelolaan lainnya. Namun cara ini hanya efektif dilakukan

    apabila kondisi air di petakan sawah macak-macak atau tanah jenuh air, serta

    tenaga kerja murah.

    Gambar 10. Sistem pintu air otomatis (flapgate)

    Sumber: Balai Pelatihan Pertanian Jambi

    Gambar 11. Aplikasi Pengendalian gulma secara mekanis dengan teknologi

    ekonomis Gasrok Sumber: http://image.google.com

  • 19

    Keuntungan penyiangan dengan alat gasrok atau landak (Badan Litbang

    Pertanian, 2007);

    Ramah lingkungan (tidak menngunakan bahan kimia)

    Lebih ekonomis, hemat tenaga kerja dibandingkan dengan penyiangan biasa dengan tangan

    Meningkatkan porositas dan memperbaiki aerasi tanah

    Jika dilakukan bersamaan atau sesaat setelah pemupukkan akan membenamkan pupuk ke dalam tanah sehingga efisiensi pemberian pupuk

    lebih besar.

    Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT)

    Konsep PHT adalah suatu pendekatan pengelolaan secara ekologik yang

    multidisiplin dan memanfaatkan berbagai taktik pengendalian secara kompatibel

    dalam satu kesatuan koordinasi sistem pengelolaan, sehingga tidak mengganggu

    keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. PHT merupakan

    paduan dari beberapa cara pengendalian, diantaranya monitoring populasi dan

    kerusakan tanaman.

    Menurut Badan Litbang Pertanian (2012) strategi pengendalian hama

    penyakit terpadu adalah sebagai berikut;

    Menggunakan varietas tahan hama dan penyakit

    Memilih tanaman yang sehat untuk ditanam

    Melakukan pengendalian secara kultur teknis, Seperti: Pola tanam tepat, Pergiliran tanaman, Waktu tanam yang tepat, Pemupukan yang tepat,

    Pengelolaan tanah dan irigasi, Penggunaan tanaman perangkap, dan

    Kebersihan lapangan

    Pengamatan berkala di lapangan

    Pemanfaatan musuh alami (predator)

    Pengendalian secara mekanik

    Pengendalian secara fisik

    Penggunaan pestisida.

    SIMPULAN DAN SARAN

    Simpulan

    Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpada (PTT) merupakan

    pendekatan sistem budidaya yang mengutamakan partisipasi masyarakat

    lokal/setempat dalam mengidentifikasi dan mengumpulkan masalah-masalah

    spesifik lahan. PTT merupakan suatu sistem yang bersifat komprehensif dan

    terpadu dimana setiap komponen teknologi yang diterapkan bersifat sinergis satu

    sama lain. PTT juga bersifat dinamis dalam prakteknya dimana input teknologi

    yang diaplikasikan dalam PTT menyesuaikan dengan perkembangan

    pengetahuan dan tradisi/kearifan lokal serta mengedepankan pemberdayaan

    masyarakat.

  • 20

    Saran

    Penerapan konsep PTT pada lahan sawah pasang surut perlu dukungan

    penuh dari berbagai pihak terutama pemerintah. Input teknologi PTT menjadi

    lebih kompleks jika diterapkan pada lahan sawah pasang surut. Perlu sosialisasi,

    praktek, dan tenaga kerja yang membutuhkan investasi. Oleh karena itu

    pemerintah sebagai pemilik kewenangan harus berperan aktif dalam memberikan

    dukungan modal baik dana maupun penyediaan lahan. Selain itu, perlu adanya

    sosialisasi yang intensif kepada masyarakat petani akan keutamaan dan

    keuntungan sistem PTT padi pasang surut. Terakhir adalah dalam keseluruhan

    proses implementasi sistem PTT perlu adanya pemantauan bersama dari

    berbagai pihak dan evaluasi berkala agar sistem ini dapat terus berlanjut,

    meningkatkan hasil produksi, meningkatkan kesejahteraan petani, dan tidak

    menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alihamsyah, T. 2002. Optimalisasi Pendayagunaan Lahan Rawa Pasang Surut.

    Makalah disajikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pendayagunaan

    Sumberdaya Lahan di Cisarua, tanggal 6 - 7 Agustus 2002. Puslitbang Tanah

    dan Agroklimat.

    Ananto EE, Handaka dan A Setyono. 2004. Mekanisasi dalam perspektif

    modernisasi pertanian: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Jakarta: Badan

    Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

    Balittra. 2012. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut: PTT

    Genjot Produksi Padi Rawa. Diakses tanggal 23 November 2014, jam 20:55.

    http://balittra.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_content&view=a

    rticle&id=186:pengelolaan-tanaman-terpadu-ptt-padi-pasang-

    surut&catid=70:penelitian-2011&Itemid=67

    Bobihoe, Juliastia. 2011. Leaflet Agroinovasi: Keuntungan Sistem Jajar

    Legowo. Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.

    BPTP Sumsel. 2013. Atabela DRUM SEEDER : Biaya tanam padi jadi murah.

    http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/atabela-drum-seeder. Diakses tanggal

    23 November 2014 jam 22:44 WIB.

    Haris, Abdul. 2001. Manajemen Lahan Orang Banjar. Banjarbaru: Fakultas

    Pertanian Universitas Lambung Mangkurat

    Jumakir dan Endrizal. 2009. Produktivitas padi sistem tapin dan tabela dengan

    pendekatan PTT di lahan sawah semiintensif provinsi Jambi. Jambi: Balai

    Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Badan Litbang Pertanian, Departemen

    Pertanian.

    Lindung. 2014. Teknologi Tata Air di Lahan Gambut untuk Budidaya Pertanian.

    Balai Pelatihan Pertanian Jambi. http://www.bppjambi.info/?v=news&id=604

    Diakses Tanggal 24 November 2014 jam 1:29 WIB.

    Nursyamsi, D dan M. Noor. 2012. Lahan Rawa sebagai Lumbung Pangan Masa

    Depan. Banjarbaru: Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Badan Litbang

    Pertanian, Departemen Pertanian. 28 pp.

  • 21

    Pane H. 2003. Kendala dan peluang pengembangan teknologi padi tanam benih

    langsung dalam Jurnal penelitian dan Pengembangan pertanian Vol 22 No 44.

    Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman Padi. Hlm. 172 178. Ramli, R., I. Ar-Riza., dan R. S. Simatupang. 1992.Teknologi sistem usahatani

    lahan sulfat masam di Kalimantan Selatan. Dalam Pengembangan Terpadu

    pertanian Lahan Pasang surut dan Lebak. Risalah Pertemuan Nasional

    Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak,

    Puslitbangtan, Badan Litbang, Deptan, Cisarua. Hlm. 185-194.

    Simatupang, R. S. 2007. Teknologi olah tanah konservasi mengendalikan

    keracunan besi pada padi sawah pasang surut di lahan sulfat masam. Dalam

    prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian.

    BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: Badan Litbang Pertanian,

    Departemen Pertanian. Hlm.53-64.

    Simatupang, R. Smith dan Nurita. 2013. Conservation soil tillage at rice culture

    in acid sulphat soil in Proceedings of International Workshop on Sustainable

    Management of Lowland for Rice Production. 2012. Husen et al (ed). Jakarta:

    Indonesia Agency for Agriculture Research and Development, Ministry of

    Agriculture. Page 287 298. Tim Penyusun Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Petunjuk

    Teknis Lapang: Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Lahan Rawa

    Pasang Surut. Jakarta: Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 37

    pp.

    Tim Penyusun Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kep. Riau. 2012. Petunjuk

    Teknis Lapang: Pengelolaan Tanam dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah.

    Misbah et al (Ed). Tanjung Pinang: Loka Pengkajian Teknologi Pertanian,

    Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 36 pp.