PEMANFAATAN KACANG KACANGAN

22
I. PENDAHULUAN Pemantapan ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam agenda pembangunan nasional karena: (1) akses terhadap pangan dengan gizi yang cukup merupakan hak yang paling azasi bagi manusia; (2) kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi merupakan unsur penentu yang penting bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; (3) ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama yang menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau masyarakat, dan diutamakan berasal dari pangan lokal. Diversifikasi pangan lokal sangat penting untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat. Sebagai negara agraris yang dianugerahi sumber daya alam melimpah, Indonesia memiliki sumber daya kacang-kacangan lokal yang potensial. Beragam jenis kacang-kacangan lokal yang potensial memiliki kandungan nutrisi hampir sama dengan kedelai. Namun, potensi tersebut sampai saat ini belum dikembangkan secara optimal sehingga pemanfaatannya relatif terbatas. Page | 1

Transcript of PEMANFAATAN KACANG KACANGAN

I. PENDAHULUAN

Pemantapan ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam agenda

pembangunan nasional karena: (1) akses terhadap pangan dengan gizi yang

cukup merupakan hak yang paling azasi bagi manusia; (2) kualitas pangan dan

gizi yang dikonsumsi merupakan unsur penentu yang penting bagi

pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; (3) ketahanan pangan

merupakan salah satu pilar

utama yang menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang

berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan ketersediaan pangan yang cukup

setiap waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang

terjangkau masyarakat, dan diutamakan berasal dari pangan lokal.

Diversifikasi pangan lokal sangat penting untuk meningkatkan ketahanan

pangan masyarakat. Sebagai negara agraris yang dianugerahi sumber daya

alam melimpah, Indonesia memiliki sumber daya kacang-kacangan lokal yang

potensial. Beragam jenis kacang-kacangan lokal yang potensial memiliki

kandungan nutrisi hampir sama dengan kedelai. Namun, potensi tersebut

sampai saat ini belum dikembangkan secara optimal sehingga pemanfaatannya

relatif terbatas.

Diversifikasi pangan lokal khususnya kacang-kacangan lokal diperlukan dan

potensial untuk dikembangkan, mengingat produksi kedelai nasional belum

mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Sampai saat ini, pemerintah

masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional.

Namun, krisis kedelai yang terjadi pada akhir tahun 2007 telah mengakibatkan

gangguan terhadap stabilitas ketahanan pangan. Hal tersebut harus dihadapi

sebagai konsekuensi ketergantungan pada kedelai impor.

Page | 1

Diversifikasi ini tidak bertujuan untuk menggantikan kedelai, namun memberikan

ruang dan alternatif kepada masyarakat untuk memilih komoditas pangan local

yang memiliki kualitas gizi, rasa, cita rasa, dan citra yang tidak kalah dengan

kedelai. Disadari, kedelai memiliki citra superior, mengungguli kacang-kacangan

lainnya. Masyarakat Indonesia tidak bisa lepas dari kedelai karena sejak dulu

sampai sekarang

masyarakat telah memanfaatkannya sebagai bahan baku tempe dan tahu.

Sekitar 80% konsumsi kedelai dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan

industri tahu dan tempe, sedangkan sisanya untuk berbagai macam industri

seperti kecap, susu kedelai, dan makanan ringan (Departemen Pertanian 2004).

Kandungan gizi tahu dan tempe mampu bersaing dengan bahan pangan hewani

seperti daging, telur dan ikan, baik kandungan protein, vitamin, mineral maupun

karbohidratnya. Rasa yang enak dan harga yang relatif murah menyebabkan

kedua produk olahan kedelai tersebut disukai dan terjangkau masyarakat.

Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap manfaat kesehatan dari kedelai

juga merupakan faktor pendorong meningkatnya konsumsi produk olahan

berbasis kedelai.

Studi pola konsumsi pangan menunjukkan bahwa tempe dan tahu dikonsumsi

minimal tiga kali dalam satu minggu oleh masyarakat. Konsumsi tempe dan tahu

masing-masing meningkat dari 4,42 kg dan 4,63 kg/kapita/tahun pada tahun

1990 menjadi 7,70 kg dan 8,27 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 (Soejadi et al.

1993). Selanjutnya pada tahun 2006, laju konsumsi kedelai per kapita

meningkat rata-rata 6,3%/ tahun sehingga konsumsi kedelai mencapai 8,31

kg/kapita/tahun. Kondisi konsumsi ini kontradiktif dengan produksi. Pada satu

sisi produksi demikian rendah, pada sisi lain konsumsi meningkat 4,3%/ tahun

(Nuryanti dan Kustiari 2007).

Pemerintah terus berupaya meningkatkan produktivitas dan produksi kedelai

melalui berbagai langkah strategis untuk mengatasi kekurangan pasokan di

Page | 2

dalam negeri. Langkah strategis yang ditempuh antara lain adalah perluasan

areal tanam, penyiapan bibit unggul, pemberian benih gratis kepada petani, dan

insentif lainnya demi terwujudnya swasembada kedelai. Langkah-langkah

strategis tersebut berhasil meningkatkan produksi kedelai pada tahun 2009

mencapai 974.512 ton dengan luas tanam 722.791 ha, dibandingkan 808.353

ton pada tahun 2005 (BPS 2010).

Kebijakan peningkatan produksi kedelai tidak cukup ditempuh hanya melalui

peningkatan produksi, tetapi juga perlu mengoptimalkan potensi kacang-

kacangan lokal selain kedelai. Upaya ini dirasa sangat

rasional mengingat beragam jenis kacang-kacangan lokal yang potensial

tumbuh di Indonesia. Kacang tunggak (Vigna unguiculata), misalnya, dapat

tumbuh pada tanah sulfat masam. Kacang faba (Vicia faba), meskipun berasal

dari wilayah sub-tropik, mampu tumbuh pada lahan kering dataran tinggi

(>1.000 m dpl). Kacang bogor (Vigna subterranea) tumbuh di daerah tropis

dengan ketinggian sampai 1.600 m dpl. Kacang komak (Dolichos lablab) sangat

toleran terhadap kekeringan, beradaptasi baik pada lahan kering dengan

ketinggian 0-2.100 m dpl. Kacang tunggak umumnya ditanam di lahan kering

pada

musim kemarau, namun dapat pula di lahan sawah setelah padi. Hal ini terkait

dengan salah satu sifat unggul kacang tunggak yang lebih toleran terhadap

kekeringan dibanding jenis kacang-kacangan lainnya.

Ditinjau dari ketersediaan bibit, beberapa varietas unggul kacang tunggak telah

tersedia (Kasno et al. 1991; Adisarwanto 2002; Marwoto dan Suhartina 2002;

Trustinah dan Kasno 2002; Kurniawan et al. 2004).

Salah satu kebijakan pembangunan pangan dalam mencapai ketahanan

pangan adalah melalui diversifikasi pangan untuk memberikan alternatif bahan

pangan sehingga mengurangi ketergantungan pada komoditas tertentu.

Page | 3

Penganekaragaman pangan juga diharapkan akan memperbaiki kualitas

konsumsi pangan masyarakat, karena semakin beragam konsumsi pangan

maka suplai zat gizi lebih lengkap daripada mengonsumsi satu jenis bahan

pangan saja.

Undang-undang No.7/1996 tentang Pangan menyebutkan ketahanan pangan

sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin

dari tersedianya pangan yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya, aman,

merata, dan terjangkau. Oleh karena itu, paradigm pembangunan ketahanan

pangan difokuskan pada pengembangan komoditas tertentu menjadi lainnya

yang sesuai dengan potensi dan sumber daya daerah.

Secara tradisional, masyarakat Indonesia telah mengonsumsi beragam jenis

pangan. Kacang-kacangan lokal dapat dimanfaatkan dalam membuat tempe,

bahkan secara komersial sudah dikenal di beberapa

tempat, misalnya tempe benguk (terbuat dari kacang koro benguk) di

Yogyakarta, dan tempe gembus di Jawa Timur. Namun, pemanfaatannya masih

terbatas pada daerah tertentu.

II. PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN KACANG- KACANGAN

LOKAL

II.1. Peluang

Setiap tahun Indonesia mengimpor kedelai dalam jumlah yang cukup besar

untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Produksi

kedelai domestik tidak sepesat pertumbuhan konsumsinya. Pemenuhan

konsumsi kedelai lebih banyak berasal dari impor. Selain harga kedelai impor

lebih murah, keberlanjutan pasokan kedelai impor lebih terjamin dibanding

kedelai nasional. Impor kedelai mencapai 2,3 juta ton setiap tahun (1996-

Page | 4

2005). Separuh dari volume impor tersebut berasal dari negara maju.

Amerika Serikat mendominasi impor kedelai Indonesia, mencapai hampir

50% dari total impor setiap tahun (Sawit et al. 2006). Volume dan nilai impor

kedelai masing-masing tumbuh 8,4% dan 7,9%/tahun (1996-2006). Sampai

dengan September 2006, volume impor kedelai mencapai 3,38 juta ton (BPS

2010). Kondisi ini mengharuskan upaya pemenuhan kebutuhan kedelai tidak

dapat hanya dilakukan melalui peningkatan produksi, tetapi juga diperlukan

kebijakan di bidang pengolahan atau diversifikasi pangan.

Salah satu kebijakan dan strategi yang dapat ditempuh adalah

mengoptimalkan potensi kacang-kacangan lokal sebagai pengganti kedelai.

Kebijakan ini sangat mungkin dilakukan mengingat berbagai penelitian

menunjukkan kacang-kacangan lokal dapat dimanfaatkan sebagai bahan

pensubstitusi dalam pembuatan tempe, seperti tempe dari kacang gude

(Damardjati dan Widowati 1995; Indrasari et al. 1992) atau kacang tunggak

(Richana dan Damardjati 1999). Substitusi kedelai dengan kacang gude

hingga 30% masih dapat menghasilkan tempe yang diterima konsumen

(Indrasari et al. 1992). Kacang tunggak tanpa dicampur kedelai dapat

menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik (Purwani et al. 2006).

Berbeda dengan kedelai, kacang-kacangan lokal pada umumnya belum

mampu berperan sebagai cash crop. Sebagian besar kacang-kacangan

lokal merupakan tanaman sampingan yang ditanam di pekarangan,

pematang sawah atau ditumpangsarikan dengan tanaman pangan lain.

Sampai saat ini, perluasan pertanaman secara optimal belum serius

dilakukan sehingga produksi dan pemanfaatannya relatif terbatas. Oleh

karena itu, diperlukan kebijakan pengembangan tanaman kacang-kacangan

lokal potensial. Pengembangannya sebaiknya diarahkan pada daerah

yang memiliki sumber daya alam dan manusia serta pasar bagi komoditas

tersebut.

Page | 5

II.2. Sifat Fisik Kacang-kacangan

Ketidakmampuan kacang-kacangan lokal

(kacang tunggak, kacang komak, dan sebagainya) bersaing dengan kedelai

tampaknya bukan disebabkan oleh ketidak mampuannya tumbuh, tetapi

karena perbedaan sifat. Sifat fisik maupun kimia kacang-kacangan sangat

menentukan fungsi dan pemanfaatannya lebih lanjut. Ukuran dan bentuk

termasuk salah satu sifat fisik yang memiliki arti penting. Biji kedelai yang

berukuran besar lebih disukai produsen tempe. Namun sifat tersebut tidak

diperlukan pada pengolahan tahu maupun susu kedelai. Oleh karena itu,

ukuran dan bentuk termasuk salah satu sifat yang member nilai tambah pada

kedelai.

Warna dan tingkat kekerasan biji kacang-kacangan lokal bervariasi, begitu

pula warna dan ukurannya. Kendala yang sering ditemui pada pengolahan

kacang- kacangan lokal (misalnya untuk tempe) adalah kulit biji sulit dikupas

atau dipisahkan. Biji gude perlu dimasak (3 jam) dan

direndam (18 jam) lebih lama dibandingkan dengan kedelai untuk membuang

kulit sebelum diolah menjadi tempe (Sambudi dan Buckle 1992) karena biji

gude lebih keras. Masalah biji keras juga ditemui pada biji kecipir dan komak.

Kondisi ini menjadi alasan bagi petani untuk memanen kecipir atau kacang

gude saat masih muda untuk dikonsumsi sebagai sayur.

II.3. Sumber Nutrisi Pangan

Ditinjau dari aspek gizi, kacang-kacangan merupakan sumber protein, lemak,

dan karbohidrat. Kacang-kacangan lokal tidak kalah dalam kandungan

protein, begitu pula kualitas protein yang ditentukan oleh susunan asam

amino. Secara umum, kacang-kacangan lokal memiliki kelebihan

asam amino esensial lisin, tetapi kekurangan asam amino sulfur seperti

metionin dan sistin. Namun, kekurangan ini dapat dikompensasi dengan cara

Page | 6

mengombinasikannya dengan protein serealia yang mengandung metionin

dan sistin.

Berdasarkan analisis kandungan zat gizi, tidak ada satu jenis pangan pun

yang mengandung zat gizi lengkap yang mampu memenuhi semua zat gizi

yang dibutuhkan manusia. Satu bahan pangan mungkin kaya akan zat gizi

tertentu, namun kurang mengandung zat gizi lainnya. Padahal untuk dapat

hidup sehat, seseorang paling tidak memerlukan 40 jenis zat gizi yang

diperoleh dari makanan. Untuk hidup sehat, orang perlu mengonsumsi

pangan yang beragam, termasuk pangan pokoknya.

Pengertian penganekaragaman pangan mencakup peningkatan jenis dan

ragam pangan, baik dalam bentuk komoditas (bahan pangan), pangan

semiolahan dan olahan, maupun pangan siap saji. Pendekatan

penganekaragaman tersebut dalam program pembangunan nasional dikenal

dengan istilah diversifikasi horisontal dan vertikal. Melalui pengembangan

budi daya berbagai komoditas pangan (diversifikasi horisontal) akan

dihasilkan beragam bahan pangan seperti kacang tunggak, gude, koro, dan

komak. Dengan pengembangan aneka produk pangan olahan akan

dihasilkan produk seperti tempe, tahu, susu, dan kecap (diversifikasi vertikal).

Selain zat gizi, hampir semua kacang- kacangan, termasuk kedelai,

mengandung senyawa antigizi seperti trypsin inhibitor, asam fitat, dan tanin.

Trypsin inhibitor dapat menurunkan ketersediaan protein pada sistem

pencernaan, sedangkan asam fitat berikatan dengan mineral penting dan

protein membentuk senyawa kompleks. Akibatnya kemampuan menyerap

mineral menurun. Tanin membentuk senyawa kompleks dengan protein dan

karbohidrat. Kadar zat antigizi pada setiap jenis kacang berbeda. Pada

kacang-kacangan lokal, kandungan zat antinutrisi seperti tannin secara

eksplisit terlihat dari warna kulit biji yang lebih gelap. Senyawa antigizi dapat

dihilangkan atau dikurangi melalui proses pengolahan, antara lain fermentasi,

pengecambahan, perendaman maupun pemasakan. Tanin umumnya

Page | 7

terkonsentrasi pada kulit biji sehingga dapat dihilangkan dengan cara

mengupas kulit biji.

Senyawa fenol termasuk salah satu senyawa fitokimia penting yang memiliki

aktivitas antioksidan atau antimutagen. Senyawa fenol pada kedelai,

terutama isoflavon, telah diteliti secara intensif. Sebaliknya informasi

senyawa fenol pada kacang-kacangan selain kedelai sangat terbatas.

Kacang tunggak mengandung senyawa fenol berupa ester protokatekat

(protocatechuic) yang selanjutnya terhidrolisis menjadi asam protokatekat

bebas. Senyawa ini diduga memiliki fungsi tertentu dalam diet.

Salah satu faktor penyebab petani enggan membudidayakan kacang-

kacangan lokal adalah terbatasnya pengetahuan dan kemampuan dalam

mengolah maupun memanfaatkannya. Oleh karena itu, teknologi pengolahan

dan pemanfaatan kacang-kacangan lokal perlu terus dikembangkan.

III. PENGEMBANGAN KACANG TUNGGAK SEBAGAI PENGGANTI KEDELAI

Salah satu teknologi yang sangat mungkin diterapkan untuk mengembangkan

kacang- kacangan lokal adalah pengolahan menjadi tempe. Proses pembuatan

tempe cukup sederhana dan umumnya masyarakat Indonesia mengenal produk

ini. Berbagai penelitian menunjukkan, kacang-kacangan lokal dapat diolah

menjadi tempe, seperti tempe dengan bahan baku kacang gude (Indrasari et al.

1992; Damardjati dan Widowati 1995) atau kacang tunggak (Richana dan

Damardjati 1999). Substitusi kedelai dengan kacang gude hingga 30%

menghasilkan tempe yang diterima konsumen (Indrasari et al. 1992).

Kacang tunggak tanpa dicampur kedelai dapat menghasilkan tempe dengan

kualitas yang baik. Kacang tunggak, setelah diolah menjadi tempe, mempunyai

kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Setiap 100 g tempe kacang tunggak

mengandung protein 34 g, lemak 3 g, karbohidrat 53 g, serat 3 g, dan abu 1 g.

Kandungan asam amino esensial (asam amino yang tidak dapat disintesis

Page | 8

tubuh) pada kacang tunggak relatif sama dengan kedelai. Asam ferulat yang

terkandung dalam tempe mampu menurunkan tekanan darah dan kandungan

glukosa darah. Senyawa fenilpropanoid lainnya, yaitu asap p-koumarik mampu

melemahkan zat nitrosamin yang menjadi salah satu penyebab penyakit kanker.

Uji preferensi terhadap responden yang berasal dari Bogor dan Mataram

menunjukkan, tempe kacang tunggak dapat diterima dan disukai responden

(Haliza et al. 2007)

Gambar 1 : Mencuci Kacang Tunggak

Ditinjau dari aspek produksi, kacang- kacangan lokal, khususnya kacang

tunggak memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Hasil

kacang tunggak mencapai 1,5-2,0 t/ha, bergantung varietas, lokasi, musim

tanam, dan teknologi budi daya yang diterapkan (Kasno et al. 1991). Benih

unggul kacang tunggak dan galur-galur harapan hasil pemuliaan dalam negeri

telah tersedia cukup banyak.

Gambar 2 : Biji Kacang Tunggak

Page | 9

Budi daya kacang tunggak sudah dikenal petani, meskipun hasilnya masih

terbatas untuk konsumsi sendiri. Harga jualnya pun cukup baik; harga kacang

tunggak di tingkat petani berkisar antara Rp.3.500-Rp.4.000/ kg, hampir sama

dengan harga kedelai local di tingkat petani. Namun, saat panen raya, harga

kacang tunggak lebih murah, sekitar Rp. 2.500/kg. Penanaman secara

monokultur biasanya dilakukan setelah panen Jagung.Tumpang sari kacang

tanah dan kacang tunggak dilaksanakan dengan mengatur waktu dan jarak

tanam, seperti yang dipraktekkan petani di Desa Rejing Kecamatan Tiris,

Kabupaten Probolinggo. Komoditas ini menjadi pilihan petani di wilayah tersebut

karena harga jualnya sangat baik dan dapat meningkatkan pendapatan di luar

usaha tani padi atau kacang tanah.

IV. STRATEGI IMPLEMENTASI

IV.1. Kebijakan Penyediaan Sarana Pengolahan

Pemanfaatan kacang-kacangan lokal sebagai bahan baku tempe memiliki

peluang cukup besar. Substitusi kedelai dengan kacang-kacangan lokal

dapat dilaksanakan pada berbagai tingkatan. Teknologi pengolahannya telah

tersedia dan dikenal masyarakat. Namun, perlu diperhatikan ketersediaan

sarana dan prasarana proses. Pengolahan tempe dari kacang-kacangan

lokal membutuhkan sarana pengupasan kulit.

Gambar 3 : Kacang Kedelai

Page | 10

IV.2. Penguatan Kelembagaan Pengolah Tempe

Pengupasan kulit biji menjadi titik kritis dalam pengembangan industri

pengolahan pangan berbasis kacang-kacangan lokal. Tidak semua petani

dapat melaksanakan pengupasan kulit. Bila hal ini tidak dapat diterapkan di

tingkat petani, perlu memanfaatkan Kopti. Produsen tempe umumnya

bergabung dalam Kopti sehingga lembaga tersebut dapat berperan dalam

penyediaan

kacang tanpa kulit. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menumbuh-

kembangkan lembaga jasa pengupasan kulit kacang- kacangan.

IV.3. Sosialisasi Produk Tempe Nonkedelai

Saat ini masyarakat belum terbiasa mengonsumsi tempe selain dari kedelai.

Produsen juga perlu diinformasikan bahwa substitusi kedelai dengan kacang-

kacangan lokal bukan merupakan pemalsuan. Sosialisasi dapat dilakukan

dengan memberdayakan peran penyuluh.

Gambar 4 : Tempe Kacang Tunggak

IV.4. Dukungan Penelitian

Produk fermentasi seperti tempe kacang- kacangan lokal sebagian sudah

dikenal masyarakat dan secara komersial sudah ada di beberapa tempat,

seperti tempe benguk di Yogyakarta dan tempe gembus di Jawa Timur.

Page | 11

Penelitian sifat dan karakteristik kacang-kacangan lokal untuk menghasilkan

produk khas (tempe) perlu dilakukan terus sebagai pendukung diversifikasi

pangan. Di samping itu, pola dan tingkat penerimaannya oleh masyarakat

terhadap produk tersebut perlu menjadi acuan penelitian.

Penelitian juga perlu dilakukan untuk mempelajari kualitas dan manfaat

kesehatan produk fermentasi berbasis kacang- kacangan lokal. Kesadaran

masyarakat terhadap kesehatan akan membuka peluang peningkatan

penerimaan pangan berbasis kacang-kacangan lokal.

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V.1. Kesimpulan

1. Kacang-kacangan lokal, khususnya kacang tunggak mempunyai potensi

untuk dikembangkan sebagai pengganti kedelai. Salah satu produk

olahan pangan yang berpeluang dikembangkan untuk mengurangi

konsumsi kedelai dan mendukung diversifikasi pangan adalah tempe

nonkedelai.

2. Diversifikasi pangan melalui pemanfaatan kacang-kacangan lokal

membermanfaat bagi kesehatan karena kandungan unsur-unsur gizi,

protein, lemak, dan karbohidrat yang cukup tinggi.

3. Diversifikasi pangan melalui pengolahan tempe nonkedelai membutuhkan

dukungan lembaga jasa pengupas kulit biji serta kebijakan yang

memungkinkan petani/pengolah memperoleh sarana pengupas kulit biji

dengan mudah.

V.2. Implikasi Kebijakan

1. Pada saat ini, areal pertanaman kacang-kacangan lokal masih terbatas

sehingga harganya relatif mahal. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan

pengembangan areal pertanaman kacang-kacangan lokal yang

berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan.

Page | 12

2. Perlunya melengkapi program penyuluhan dengan materi pengetahuan

pengolahan kacang-kacangan local dan manfaatnya.

3. Menyusun skim kredit atau melengkapi kebijakan bantuan peralatan

pasca- panen dengan alat pengupas kulit kacang-kacangan lokal.

Page | 13

DAFTAR PUSTAKA

1. Adisarwanto, T. 2002. Manfaat dan prospek pengembangan kacang faba. hlm.

60-90. Dalam Pengembangan Kacang- kacangan Potensial Mendukung

Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan, Bogor.

2. Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian 2004. Departemen Pertanian,

Jakarta.

3. B P S (Badan Pusat Statistik). 2010. Luas tanam, produktivitas dan produksi

kedelai seluruh provinsi. http://www. bps.go.id/tnmn_pgn. php?eng=0.

4. Damardjati, D. dan S. Widowati. 1995. Prospek pengembangan kacang gude di

Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian IV(3): 53-59.

5. Haliza, W., E.Y. Purwani, I. Agustinisari,Triyantini, H. Setiyanto, dan E.

Savitri.2007. Teknologi pemanfaatan kacang-kacangan untuk produk

tempe. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pasca- panen Pertanian, Bogor.

6. Indrasari, S.D., D.K. Sadra, and D.S. Damardjati. 1992. Evaluation of producer

acceptance on soy-pigeon pea tempe production in Puwakarta District,

Indonesia. p. 604-615. Proc. the 4th Asean Food Conference 1992. IPB

Press, Bogor.

7. Kasno, A., Trustinah, dan T. Adisarwanto. 1991. Kacang tunggak: Tanaman yang

mudah dibudidayakan, toleran terhadap kekeringan dan mempunyai

prospek sebagai alternatif pemenuh kebutuhan akan kacang-kacangan.

Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIII(1): 6-7.

8. Kurniawan, I.H. Somantri, T.S. Silitonga, S.E. Pudiarti, Hadiatmi, Asadi, S.A.

Rais, N. Zuraida, Sutoro, T. Suhartini, N. Dewi, dan M. Setyowati. 2004.

Page | 14

Katalog data paspor plasma nutfah tanaman pangan. Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik

Pertanian, Bogor.

9. Marwoto dan Suhartina. 2002. Kacang bogor: Budidaya, potensi dan

pengembangan. hlm. 83-92. Dalam Pengembangan Kacang-kacangan

Potensial Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

10. Nuryanti, S. dan R. Kustiari. 2007. Meningkatkan kesejahteraan petani kedelai

dengan kebijakan tarif optimal. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian, Bogor. 12 hlm.

11. Purwani, E.Y., W. Haliza, E. Sukasih, I. Agustinisari. H. Herawati, Triyantini, S.

Usmiati, T. Marwati, Haeruddin, H. Setiyanto, dan Widaningrum. 2006.

Teknologi pemanfaatan kacang-kacangan sebagai substitusi kedelai

untuk produk tempe. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.

12. Richana, N. dan D.S. Damardjati. 1999. Karakteristik fisiko-kimia biji kacang

tunggak (Vigna unguiculata L. Walp) dan pemanfaatannya untuk tempe.

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 18(1): 72-77.

13. Sambudi, S.H.E and K.A. Buckle. 1992. Soaking and boiling on microstructure of

winged bean seeds. p. 503-517. In O.B. Liang, A. Buchanan, and D.

Fardiaz (Eds.). Development of Food Science and Technology in South

East Asia. Proc. the 4th Asean Food Conference 1992. IPB Press,

Bogor.

14. Sawit, H.M., S. Bachri, S. Nuryanti, dan F.B.M. Dabukke. 2006. Fleksibilitas

Penerapan Special Safe-guard Mechanism (SSM) dan Kaji Ulang

Kebijakan Domestic Support (DS) untuk Special Product (SP) Indonesia.

Page | 15

Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian, Bogor.

15. Soejadi, E.Y. Purwani, dan D.S. Damardjati. 1993. Studi pola konsumsi dan tata

menu masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Reflektor 6(1-2): 18-

25.

16. Trustinah dan A. Kasno. 2002. Pengembangan dan kegunaan kacang komak.

hlm. 70-82. Dalam Pengembangan Kacang-kacangan Potensial

Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan, Bogor.

Page | 16