Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
Transcript of Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
1/18
~ Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang
industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.
Kebutuhan tenaga listrik yang makin meningkat ini antara lain diperoleh dari usaha
diversifikasi berbagai macam sumber energi yang dapat diperoleh di Indonesia. Salah
satu diversifikasi energi yang dilakukan adalah pemanfaatan batubara sebagai bahan
bakar untuk memperoleh tenaga listrik.
Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara secara besar-besaran
telah dibangun di Suralaya (Jawa Barat) dan di Paiton (Jawa Timur). Dalam waktu dekat
ini juga akan dibangun PLTU batubara di daerah Ujung Jati (Jawa Tengah) yang
diharapkan akan dapat mencukupi keperluan tenaga listrik bagi kegiatan industri yang
terus meningkat. Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik
memang dapat menghasilkan tenaga listrik dengan biaya yang relatif murah, namun
dampak pencemaran yang ditimbulkan oleh pembakaran batubara perlu kiranya
mendapat perhatian yang seksama, agar pembangunan berwawasan lingkungan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Gagasan \x{201C}clean coal combustion\x{201D}
perlu didukung sepenuhny
Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa pemakaian batubara sebagai bahan
bakar dapat menimbulkan polutan yang mencemari udara berupa CO (karbon
monoksida), NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang), HC (senyawa-
senyawa karbon), fly ash (partikel debu). Polutan-polutan tersebut secara umum dapat
menimbulkan hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian, serta dapat pula
menimbulkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan suhu global di
permukaan bumi dengan segala efek sampingannya.
Sebenarnya selain dari dampak pencemaran lingkungan seperti tersebut di atas, ada juga
dampak pencemaran dari hasil pembakaran batubara bersama-sama dengan polutan
konvensional yang selama ini sudah diketahui lebih dulu. Sebagaimana halnya polutan
konvensional yang ke luar dari batubara, polutan radioaktifpun dapat dengan mudah
masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup oleh paru-paru, maupunmelalui rantai makanan yang telah terkontaminasi oleh polutan radioaktif.
Polutan radioaktif yang terakumulasi di dalam tubuh dalam jumlah yang banyak dapat
menimbulkan gangguan kesehatan, terutama karena sifat polutan radioaktif yang pada
umumnya adalah cocarcinogenik atau perangsang timbulnya kanker. Jadi secara jujur
dapat dikatakan bahwa pemakaian batubara juga dapat menaikkan kontribusi zat
http://www.alpensteel.com/article/51-113-energi-lain-lain/3404--pemanfaatan-batubara-untuk-pltu.htmlhttp://www.alpensteel.com/article/51-113-energi-lain-lain/3404--pemanfaatan-batubara-untuk-pltu.html -
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
2/18
radioaktif di lingkungan, bukan hanya dari kegiatan-kegiatan teknologi nuklir saja.
Meningkatnya Pemakaian Batubara
Pemakaian batubara di seluruh dunia terus meningkat, begitu juga dengan pemakaian batubara di Indonesia. Meningkatnya pemakaian batubara kiranya tidak terlepas dari
meningkatnya kebutuhan tenaga listrik yang sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan
industri. Seperti diketahui bahwa akibat dari pembangunan yang pesat dalam bidang
industri, maka laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia selama PELITA V
telah meningkat menjadi 17,5 er tahun, melebihi yang direncanakan yaitu 14,6 er tahun.
Laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia ternyata di atas angka rata-rata di
Asia yang hanya sekitar 7,9 tahun dan jauh di atas angka rata-rata pertumbuhan konsumsi
listrik dunia yang hanya sekitar 3,6 er tahun.
Untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun,
Indonesia menempuh kebijaksanaan menggalakkan pemakaian batubara sebagai salah
satu diversifikasi energi yang mungkin terdapat di Indonesia. Produksi batubara selama
ini terus meningkat, terutama sekali sesudah ada himbauan dari Presiden RI pada tahun
1976 untuk menggunakan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkitan tenaga
listrik oleh PLTU dan juga sebagai bahan bakar utama untuk industri berat seperti
industri baja dan semen. Peningkatan produksi batubara yang terus meningkat dapat
dilihat dari data yang diperoleh dari Departemen Pertambangan dan Energi (Tabel 1).
Tabel 1
Produksi batubara di Indonesia tahun 1973/1974-1990/1991 (dalam ribu ton) Tahun
1973/1974 Tahun 1983/1984 tahun 1990/1991
145,8 614,7 11.211,6
Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik kiranya akan terus
bertahan, mengingat bahwa perkiraan cadangan sumber daya batubara di Indonesia
adalah sekitar 36,3 miliar ton yang tersebar di Sumatera 24,7 miliar ton dan di
Kalimantan sekitar 11,6 miliar ton. Pemakaian batubara sebagai energi alternatif
penyedia tenaga listrik memang benar telah meningkatkan produksi tenaga listrik di
Indonesia. Hal ini tercermin dari kenaikan produksi maupun daya terpasang tenaga listrik
di Indonesia (data diperoleh dari Perusahaan Listrik Negara (PLN)) seperti pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 tersebut di muka, tampak jelas bahwa
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
3/18
pemakaian batubara sebagai penyedia tenaga listrik di Indonesia memang benar
meningkat dan hal ini sudah barang tentu menjadi pemikiran kita bersama mengenai
kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan, baik yang berasal dari polutan
konvensional akibat pembakaran batubara maupun polutan radioaktif yang juga ke luar
terhambur bersama-sama dengan polutan konvensional.
Polutan Radioaktif
Polutan konvensional dari hasil pembakaran batubara yang selama ini diketahui oleh
masyarakat adalah gas-gas berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksida
nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang) dan juga partikel-partikel yang terhambur ke
udara sebagai bahan pencemar udara. Partikel-partikel tersebut antara lain adalah:
a. Karbon dalam bentuk abu atau fly ash (C)
b. Debu-debu silika (SiO2)c. Debu-debu alumia (Al2O3)
d. Oksida-oksida besi (Fe2O3 atau Fe3O4)
Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, selain
timbulnya hujan asam maupun efek rumah kaca yang disebabkan oleh gas-gas hasil
pembakaran batubara seperti tersebut di atas.
Penelitihan lebih jauh mengenai dampak pemakaian batubara ternyata sangat menarik,
karena selain mengeluarkan gas-gas maupun partikel-partikel seperti telah diuraikan di
atas, ternyata juga dari hasil cracking akibat pembakaran batubara juga dilepaskan
partikel-partikel radioaktif.
Hal ini terjadi karena batubara juga mengandung unsur radioaktivitas alam yang terjebak
dalam batubara, kemudian pada saat pembakaran terjadi cracking (pembelahan) yang
menyebabkan unsur radioaktivitas alam tersebut akan ikut ke luar bersama-sama dengan
gas emisi lainnya. Mengapa unsur radioaktif terjebak di dalam batubara, tidak lain karena
unsur radioaktif lebih dulu terbentuk di bumi ini dibandingkan dengan terbentuknya
batubara. Menurut para ahli radiogeologi, unsur radioaktif seperti batuan Uranium
terbentuk pada zaman geologi yang disebut Pra Kambrium yang terjadi pada 3900 juta
tahun yang lalu, sedangkan batubara terbentuk jauh sesudah zaman Pra Kambrium, yaitu
pada zaman Devon yang terjadi pada 405 juta tahun yang lalu, kemudian diikuti
terbentuknya batubara pada zaman Missisipan yang terjadi pada 345 juta tahun yang lalu,
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
4/18
kemudian dikuti lagi terbentuknya batubara pada zaman Pensilvanian sekitar 320 juta
tahun yang lalu.
Batubara masih terus terbentuk lagi pada zaman Triasik sekitar 230 juta tahun yang lalu,
dan masih terbentuk lagi pada zaman Jurasik sekitar 180 juta tahun yang lalu, juga masih
terbentuk batubara pada zaman Kretasius sekitar 135 juta tahun yang lalu, bahkan
batubara muda juga masih terbentuk pada zaman Tersier sekitar 63 juta tahun yang lalu.
Batubara yang terbentuk jauh sesudah terjadinya unsur radioaktif di bumi ini, akan
menangkap dan menjebak unsur radioaktif yang sudah terbentuk lebih dulu. Unsur
radioaktif yang terjebak di dalam batubara tersebut akan ke luar pada saat terjadi
pembelahan (cracking) akibat pembakaran batubara.
Pada saat batubara dibakar terjadilah pembelahan (cracking) molekul-molekul besar
menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dan pada saat inilah unsur radioaktif yang
terjebak di dalam batubara selama berjuta-juta tahun akan ke luar bersama-sama dengan
hasil emisi batubara lainnya. Unsur radioaktif yang ke luar dari cracking batubara sangat
banyak dan ini tergantung pada jenis dan asal tempat penambangan batubara. Hasil
penelitian terakhir menyebutkan bahwa unsur radioaktif yang ke luar sebagai polutan
pencemar udara lingkungan sekitar 36 macam unsur radioaktif. Dari sekian banyak
polutan radioaktif yang ke luar dari batubara yang paling dominan adalah unsur radioaktif
yang tampak pada Tabel 3.
Polutan radioaktif nomor urut 1 sampai dengan 6 termasuk ke dalam golongan logam
berat yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mengikuti lever route yang
berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Perlu kiranya diketahui bahwa dari segi
paparan radiasi, radiasi Beta yang ke luar dari Timbal-210 merupakan bahaya radiasi
eksterna dan interna terhadap tubuh manusia, sedangkan radiasi Alpha yang ke luar dari
Polonium-210 sampai dengan Uranium-238 merupakan bahaya radiasi interna terhadap
tubuh manusia. Bahaya radiasi eksterna artinya unsur radioaktif tersebut walaupun berada
di luar tubuh manusia tetap dapat merupakan sumber bahaya radiasi, apalagi kalau
sampai masuk ke dalam tubuh manusia.
Sedangkan bahaya radiasi interna artinya unsur radioaktif tersebut tidak berbahaya kalau
hanya berada di luar tubuh manusia karena daya tembusnya (jangkauannya) yang sangat
pendek, akan tetapi menjadi berbahaya bila masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila
dilihat dari segi daya racunnya atau radiotoksisitasnya, maka polutan radioaktif nomor 1
sampai degan nomor 4 pada Tabel 3 tersebut di atas termasuk kelompok radiotoksisitas
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
5/18
sangat tinggi, sedangkan polutan radioaktif Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk
kelompok radiotoksisitas rendah.
Walaupun Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk kelompok radiotoksisitas rendah,
namun kedua unsur radioaktif tersebut adalah induk radioaktivitas alam yang dapat
menurunkan (meluruh/beranak-cucu) sampai banyak. Thorium-232 akan menurunkan 11
unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal-208, sedangkan Uranium-238
akan menurunkan 17 unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal-206.
Sedangkan Karbon-14 yang ke luar dari batubara dapat berupa abu karbon (fly ash) atau
dalam bentuk gas CO2 dan senyawa hidrokarbon lainnya, akan tetapi atom karbonnya
adalah Karbon-14 yang radioaktif. Karbon-14 termasuk kelompok radiotoksisitas sedang.
Mengingat akan hal tersebut di atas, maka pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi alternatif untuk sumber energi pembangkit tenaga listrik, hendaknya
diikuti pula dengan usaha menambah alat penangkap (filter) polutan radioaktif yang ke
luar dari hasil pembakaran batubara. Proyek \x{201C}coal clean combustion\x{201D}
tidaklah hanya untuk mengurangi pencemaran lingkungan berupa gas-gas yang
menyebabkan timbulnya hujan asam dan efek rumah kaca serta partikel-partikel
pencemar udara saja, akan tetapi lebih jauh lagi harus sudah mulai memikirkan masalah
polutan radioaktif yang ke luar dari hasil pembakaran batubara. Pendahuluan
Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang
industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.
Kebutuhan tenaga listrik yang makin meningkat ini antara lain diperoleh dari usaha
diversifikasi berbagai macam sumber energi yang dapat diperoleh di Indonesia. Salah
satu diversifikasi energi yang dilakukan adalah pemanfaatan batubara sebagai bahan
bakar untuk memperoleh tenaga listrik.
Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara secara besar-besaran
telah dibangun di Suralaya (Jawa Barat) dan di Paiton (Jawa Timur). Dalam waktu dekat
ini juga akan dibangun PLTU batubara di daerah Ujung Jati (Jawa Tengah) yang
diharapkan akan dapat mencukupi keperluan tenaga listrik bagi kegiatan industri yang
terus meningkat. Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik
memang dapat menghasilkan tenaga listrik dengan biaya yang relatif murah, namun
dampak pencemaran yang ditimbulkan oleh pembakaran batubara perlu kiranya
mendapat perhatian yang seksama, agar pembangunan berwawasan lingkungan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Gagasan \x{201C}clean coal combustion\x{201D}
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
6/18
perlu didukung sepenuhny
Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa pemakaian batubara sebagai bahan
bakar dapat menimbulkan polutan yang mencemari udara berupa CO (karbon
monoksida), NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang), HC (senyawa-senyawa karbon), fly ash (partikel debu). Polutan-polutan tersebut secara umum dapat
menimbulkan hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian, serta dapat pula
menimbulkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan suhu global di
permukaan bumi dengan segala efek sampingannya. Sebenarnya selain dari dampak
pencemaran lingkungan seperti tersebut di atas, ada juga dampak pencemaran dari hasil
pembakaran batubara bersama-sama dengan polutan konvensional yang selama ini sudah
diketahui lebih dulu. Sebagaimana halnya polutan konvensional yang ke luar dari
batubara, polutan radioaktifpun dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh manusia
melalui udara yang dihirup oleh paru-paru, maupun melalui rantai makanan yang telahterkontaminasi oleh polutan radioaktif. Polutan radioaktif yang terakumulasi di dalam
tubuh dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan gangguan kesehatan, terutama
karena sifat polutan radioaktif yang pada umumnya adalah cocarcinogenik atau
perangsang timbulnya kanker. Jadi secara jujur dapat dikatakan bahwa pemakaian
batubara juga dapat menaikkan kontribusi zat radioaktif di lingkungan, bukan hanya dari
kegiatan-kegiatan teknologi nuklir saja.
Meningkatnya Pemakaian Batubara
Pemakaian batubara di seluruh dunia terus meningkat, begitu juga dengan pemakaian
batubara di Indonesia. Meningkatnya pemakaian batubara kiranya tidak terlepas dari
meningkatnya kebutuhan tenaga listrik yang sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan
industri. Seperti diketahui bahwa akibat dari pembangunan yang pesat dalam bidang
industri, maka laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia selama PELITA V
telah meningkat menjadi 17,5 er tahun, melebihi yang direncanakan yaitu 14,6 er tahun.
Laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia ternyata di atas angka rata-rata di
Asia yang hanya sekitar 7,9 tahun dan jauh di atas angka rata-rata pertumbuhan konsumsi
listrik dunia yang hanya sekitar 3,6 er tahun.
Untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun,
Indonesia menempuh kebijaksanaan menggalakkan pemakaian batubara sebagai salah
satu diversifikasi energi yang mungkin terdapat di Indonesia. Produksi batubara selama
ini terus meningkat, terutama sekali sesudah ada himbauan dari Presiden RI pada tahun
1976 untuk menggunakan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkitan tenaga
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
7/18
listrik oleh PLTU dan juga sebagai bahan bakar utama untuk industri berat seperti
industri baja dan semen. Peningkatan produksi batubara yang terus meningkat dapat
dilihat dari data yang diperoleh dari Departemen Pertambangan dan Energi (Tabel 1).
Tabel 1Produksi batubara di Indonesia tahun 1973/1974-1990/1991 (dalam ribu ton) Tahun
1973/1974 Tahun 1983/1984 tahun 1990/1991
145,8 614,7 11.211,6
Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik kiranya akan terus
bertahan, mengingat bahwa perkiraan cadangan sumber daya batubara di Indonesia
adalah sekitar 36,3 miliar ton yang tersebar di Sumatera 24,7 miliar ton dan di
Kalimantan sekitar 11,6 miliar ton. Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik memang benar telah meningkatkan produksi tenaga listrik di
Indonesia. Hal ini tercermin dari kenaikan produksi maupun daya terpasang tenaga listrik
di Indonesia (data diperoleh dari Perusahaan Listrik Negara (PLN)) seperti pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 tersebut di muka, tampak jelas bahwa
pemakaian batubara sebagai penyedia tenaga listrik di Indonesia memang benar
meningkat dan hal ini sudah barang tentu menjadi pemikiran kita bersama mengenai
kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan, baik yang berasal dari polutan
konvensional akibat pembakaran batubara maupun polutan radioaktif yang juga ke luarterhambur bersama-sama dengan polutan konvensional.
Polutan Radioaktif
Polutan konvensional dari hasil pembakaran batubara yang selama ini diketahui oleh
masyarakat adalah gas-gas berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksida
nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang) dan juga partikel-partikel yang terhambur ke
udara sebagai bahan pencemar udara. Partikel-partikel tersebut antara lain adalah:
a. Karbon dalam bentuk abu atau fly ash (C)
b. Debu-debu silika (SiO2)
c. Debu-debu alumia (Al2O3)
d. Oksida-oksida besi (Fe2O3 atau Fe3O4)
Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, selain
timbulnya hujan asam maupun efek rumah kaca yang disebabkan oleh gas-gas hasil
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
8/18
pembakaran batubara seperti tersebut di atas.
Penelitihan lebih jauh mengenai dampak pemakaian batubara ternyata sangat menarik,karena selain mengeluarkan gas-gas maupun partikel-partikel seperti telah diuraikan di
atas, ternyata juga dari hasil cracking akibat pembakaran batubara juga dilepaskan
partikel-partikel radioaktif. Hal ini terjadi karena batubara juga mengandung unsur
radioaktivitas alam yang terjebak dalam batubara, kemudian pada saat pembakaran
terjadi cracking (pembelahan) yang menyebabkan unsur radioaktivitas alam tersebut akan
ikut ke luar bersama-sama dengan gas emisi lainnya. Mengapa unsur radioaktif terjebak
di dalam batubara, tidak lain karena unsur radioaktif lebih dulu terbentuk di bumi ini
dibandingkan dengan terbentuknya batubara. Menurut para ahli radiogeologi, unsur
radioaktif seperti batuan Uranium terbentuk pada zaman geologi yang disebut PraKambrium yang terjadi pada 3900 juta tahun yang lalu, sedangkan batubara terbentuk
jauh sesudah zaman Pra Kambrium, yaitu pada zaman Devon yang terjadi pada 405 juta
tahun yang lalu, kemudian diikuti terbentuknya batubara pada zaman Missisipan yang
terjadi pada 345 juta tahun yang lalu, kemudian dikuti lagi terbentuknya batubara pada
zaman Pensilvanian sekitar 320 juta tahun yang lalu. Batubara masih terus terbentuk lagi
pada zaman Triasik sekitar 230 juta tahun yang lalu, dan masih terbentuk lagi pada
zaman Jurasik sekitar 180 juta tahun yang lalu, juga masih terbentuk batubara pada
zaman Kretasius sekitar 135 juta tahun yang lalu, bahkan batubara muda juga masih
terbentuk pada zaman Tersier sekitar 63 juta tahun yang lalu. Batubara yang terbentuk jauh sesudah terjadinya unsur radioaktif di bumi ini, akan menangkap dan menjebak
unsur radioaktif yang sudah terbentuk lebih dulu. Unsur radioaktif yang terjebak di dalam
batubara tersebut akan ke luar pada saat terjadi pembelahan (cracking) akibat
pembakaran
Pada saat batubara dibakar terjadilah pembelahan (cracking) molekul-molekul besar
menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dan pada saat inilah unsur radioaktif yang
terjebak di dalam batubara selama berjuta-juta tahun akan ke luar bersama-sama dengan
hasil emisi batubara lainnya. Unsur radioaktif yang ke luar dari cracking batubara sangat
banyak dan ini tergantung pada jenis dan asal tempat penambangan batubara. Hasil
penelitian terakhir menyebutkan bahwa unsur radioaktif yang ke luar sebagai polutan
pencemar udara lingkungan sekitar 36 macam unsur radioaktif. Dari sekian banyak
polutan radioaktif yang ke luar dari batubara yang paling dominan adalah unsur radioaktif
yang tampak pada Tabel 3.
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
9/18
Polutan radioaktif nomor urut 1 sampai dengan 6 termasuk ke dalam golongan logam
berat yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mengikuti lever route yang
berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Perlu kiranya diketahui bahwa dari segipaparan radiasi, radiasi Beta yang ke luar dari Timbal-210 merupakan bahaya radiasi
eksterna dan interna terhadap tubuh manusia, sedangkan radiasi Alpha yang ke luar dari
Polonium-210 sampai dengan Uranium-238 merupakan bahaya radiasi interna terhadap
tubuh manusia. Bahaya radiasi eksterna artinya unsur radioaktif tersebut walaupun berada
di luar tubuh manusia tetap dapat merupakan sumber bahaya radiasi, apalagi kalau
sampai masuk ke dalam tubuh manusia. Sedangkan bahaya radiasi interna artinya unsur
radioaktif tersebut tidak berbahaya kalau hanya berada di luar tubuh manusia karena daya
tembusnya (jangkauannya) yang sangat pendek, akan tetapi menjadi berbahaya bila
masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila dilihat dari segi daya racunnya atauradiotoksisitasnya, maka polutan radioaktif nomor 1 sampai degan nomor 4 pada Tabel 3
tersebut di atas termasuk kelompok radiotoksisitas sangat tinggi, sedangkan polutan
radioaktif Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk kelompok radiotoksisitas rendah.
Walaupun Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk kelompok radiotoksisitas rendah,
namun kedua unsur radioaktif tersebut adalah induk radioaktivitas alam yang dapat
menurunkan (meluruh/beranak-cucu) sampai banyak. Thorium-232 akan menurunkan 11
unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal-208, sedangkan Uranium-238
akan menurunkan 17 unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal-206.
Sedangkan Karbon-14 yang ke luar dari batubara dapat berupa abu karbon (fly ash) ataudalam bentuk gas CO2 dan senyawa hidrokarbon lainnya, akan tetapi atom karbonnya
adalah Karbon-14 yang radioaktif. Karbon-14 termasuk kelompok radiotoksisitas sedang.
Mengingat akan hal tersebut di atas, maka pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi alternatif untuk sumber energi pembangkit tenaga listrik, hendaknya
diikuti pula dengan usaha menambah alat penangkap (filter) polutan radioaktif yang ke
luar dari hasil pembakaran batubara. Proyek \x{201C}coal clean combustion\x{201D}
tidaklah hanya untuk mengurangi pencemaran lingkungan berupa gas-gas yang
menyebabkan timbulnya hujan asam dan efek rumah kaca serta partikel-partikel
pencemar udara saja, akan tetapi lebih jauh lagi harus sudah mulai memikirkan masalah
polutan radioaktif yang ke luar dari hasil pembakaran batubara. Pendahuluan
Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang
industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
10/18
Kebutuhan tenaga listrik yang makin meningkat ini antara lain diperoleh dari usaha
diversifikasi berbagai macam sumber energi yang dapat diperoleh di Indonesia. Salah
satu diversifikasi energi yang dilakukan adalah pemanfaatan batubara sebagai bahan
bakar untuk memperoleh tenaga listrik.
Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara secara besar-besaran
telah dibangun di Suralaya (Jawa Barat) dan di Paiton (Jawa Timur). Dalam waktu dekat
ini juga akan dibangun PLTU batubara di daerah Ujung Jati (Jawa Tengah) yang
diharapkan akan dapat mencukupi keperluan tenaga listrik bagi kegiatan industri yang
terus meningkat. Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik
memang dapat menghasilkan tenaga listrik dengan biaya yang relatif murah, namun
dampak pencemaran yang ditimbulkan oleh pembakaran batubara perlu kiranya
mendapat perhatian yang seksama, agar pembangunan berwawasan lingkungan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Gagasan \x{201C}clean coal combustion\x{201D} perlu didukung sepenuhny
Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa pemakaian batubara sebagai bahan
bakar dapat menimbulkan polutan yang mencemari udara berupa CO (karbon
monoksida), NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang), HC (senyawa-
senyawa karbon), fly ash (partikel debu). Polutan-polutan tersebut secara umum dapat
menimbulkan hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian, serta dapat pula
menimbulkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan suhu global di
permukaan bumi dengan segala efek sampingannya. Sebenarnya selain dari dampakpencemaran lingkungan seperti tersebut di atas, ada juga dampak pencemaran dari hasil
pembakaran batubara bersama-sama dengan polutan konvensional yang selama ini sudah
diketahui lebih dulu. Sebagaimana halnya polutan konvensional yang ke luar dari
batubara, polutan radioaktifpun dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh manusia
melalui udara yang dihirup oleh paru-paru, maupun melalui rantai makanan yang telah
terkontaminasi oleh polutan radioaktif. Polutan radioaktif yang terakumulasi di dalam
tubuh dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan gangguan kesehatan, terutama
karena sifat polutan radioaktif yang pada umumnya adalah cocarcinogenik atau
perangsang timbulnya kanker. Jadi secara jujur dapat dikatakan bahwa pemakaian
batubara juga dapat menaikkan kontribusi zat radioaktif di lingkungan, bukan hanya dari
kegiatan-kegiatan teknologi nuklir saja.
Meningkatnya Pemakaian Batubara
Pemakaian batubara di seluruh dunia terus meningkat, begitu juga dengan pemakaian
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
11/18
batubara di Indonesia. Meningkatnya pemakaian batubara kiranya tidak terlepas dari
meningkatnya kebutuhan tenaga listrik yang sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan
industri. Seperti diketahui bahwa akibat dari pembangunan yang pesat dalam bidang
industri, maka laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia selama PELITA V
telah meningkat menjadi 17,5 er tahun, melebihi yang direncanakan yaitu 14,6 er tahun.Laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia ternyata di atas angka rata-rata di
Asia yang hanya sekitar 7,9 tahun dan jauh di atas angka rata-rata pertumbuhan konsumsi
listrik dunia yang hanya sekitar 3,6 er tahun.
Untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun,
Indonesia menempuh kebijaksanaan menggalakkan pemakaian batubara sebagai salah
satu diversifikasi energi yang mungkin terdapat di Indonesia. Produksi batubara selama
ini terus meningkat, terutama sekali sesudah ada himbauan dari Presiden RI pada tahun
1976 untuk menggunakan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkitan tenagalistrik oleh PLTU dan juga sebagai bahan bakar utama untuk industri berat seperti
industri baja dan semen. Peningkatan produksi batubara yang terus meningkat dapat
dilihat dari data yang diperoleh dari Departemen Pertambangan dan Energi (Tabel 1).
Tabel 1
Produksi batubara di Indonesia tahun 1973/1974-1990/1991 (dalam ribu ton) Tahun
1973/1974 Tahun 1983/1984 tahun 1990/1991
145,8 614,7 11.211,6
Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik kiranya akan terus
bertahan, mengingat bahwa perkiraan cadangan sumber daya batubara di Indonesia
adalah sekitar 36,3 miliar ton yang tersebar di Sumatera 24,7 miliar ton dan di
Kalimantan sekitar 11,6 miliar ton. Pemakaian batubara sebagai energi alternatif
penyedia tenaga listrik memang benar telah meningkatkan produksi tenaga listrik di
Indonesia. Hal ini tercermin dari kenaikan produksi maupun daya terpasang tenaga listrik
di Indonesia (data diperoleh dari Perusahaan Listrik Negara (PLN)) seperti pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 tersebut di muka, tampak jelas bahwa
pemakaian batubara sebagai penyedia tenaga listrik di Indonesia memang benar
meningkat dan hal ini sudah barang tentu menjadi pemikiran kita bersama mengenai
kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan, baik yang berasal dari polutan
konvensional akibat pembakaran batubara maupun polutan radioaktif yang juga ke luar
terhambur bersama-sama dengan polutan konvensional.
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
12/18
Polutan Radioaktif
Polutan konvensional dari hasil pembakaran batubara yang selama ini diketahui oleh
masyarakat adalah gas-gas berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksidanitrogen), SOx (oksida-oksida belerang) dan juga partikel-partikel yang terhambur ke
udara sebagai bahan pencemar udara. Partikel-partikel tersebut antara lain adalah:
a. Karbon dalam bentuk abu atau fly ash (C)
b. Debu-debu silika (SiO2)
c. Debu-debu alumia (Al2O3)
d. Oksida-oksida besi (Fe2O3 atau Fe3O4)
Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, selain
timbulnya hujan asam maupun efek rumah kaca yang disebabkan oleh gas-gas hasil pembakaran batubara seperti tersebut di atas.
Penelitihan lebih jauh mengenai dampak pemakaian batubara ternyata sangat menarik,
karena selain mengeluarkan gas-gas maupun partikel-partikel seperti telah diuraikan di
atas, ternyata juga dari hasil cracking akibat pembakaran batubara juga dilepaskan
partikel-partikel radioaktif. Hal ini terjadi karena batubara juga mengandung unsur
radioaktivitas alam yang terjebak dalam batubara, kemudian pada saat pembakaranterjadi cracking (pembelahan) yang menyebabkan unsur radioaktivitas alam tersebut akan
ikut ke luar bersama-sama dengan gas emisi lainnya. Mengapa unsur radioaktif terjebak
di dalam batubara, tidak lain karena unsur radioaktif lebih dulu terbentuk di bumi ini
dibandingkan dengan terbentuknya batubara.
Menurut para ahli radiogeologi, unsur radioaktif seperti batuan Uranium terbentuk pada
zaman geologi yang disebut Pra Kambrium yang terjadi pada 3900 juta tahun yang lalu,
sedangkan batubara terbentuk jauh sesudah zaman Pra Kambrium, yaitu pada zaman
Devon yang terjadi pada 405 juta tahun yang lalu, kemudian diikuti terbentuknya
batubara pada zaman Missisipan yang terjadi pada 345 juta tahun yang lalu, kemudian
dikuti lagi terbentuknya batubara pada zaman Pensilvanian sekitar 320 juta tahun yang
lalu
Batubara masih terus terbentuk lagi pada zaman Triasik sekitar 230 juta tahun yang lalu,
dan masih terbentuk lagi pada zaman Jurasik sekitar 180 juta tahun yang lalu, juga masih
terbentuk batubara pada zaman Kretasius sekitar 135 juta tahun yang lalu, bahkan
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
13/18
batubara muda juga masih terbentuk pada zaman Tersier sekitar 63 juta tahun yang lalu.
Batubara yang terbentuk jauh sesudah terjadinya unsur radioaktif di bumi ini, akan
menangkap dan menjebak unsur radioaktif yang sudah terbentuk lebih dulu. Unsur
radioaktif yang terjebak di dalam batubara tersebut akan ke luar pada saat terjadi
pembelahan (cracking) akibat pembakaran batubara.
Pada saat batubara dibakar terjadilah pembelahan (cracking) molekul-molekul besar
menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dan pada saat inilah unsur radioaktif yang
terjebak di dalam batubara selama berjuta-juta tahun akan ke luar bersama-sama dengan
hasil emisi batubara lainnya. Unsur radioaktif yang ke luar dari cracking batubara sangat
banyak dan ini tergantung pada jenis dan asal tempat penambangan batubara. Hasil
penelitian terakhir menyebutkan bahwa unsur radioaktif yang ke luar sebagai polutan
pencemar udara lingkungan sekitar 36 macam unsur radioaktif. Dari sekian banyak
polutan radioaktif yang ke luar dari batubara yang paling dominan adalah unsur radioaktifyang tampak pada Tabel 3.
Polutan radioaktif nomor urut 1 sampai dengan 6 termasuk ke dalam golongan logam
berat yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mengikuti lever route yang
berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Perlu kiranya diketahui bahwa dari segi
paparan radiasi, radiasi Beta yang ke luar dari Timbal-210 merupakan bahaya radiasi
eksterna dan interna terhadap tubuh manusia, sedangkan radiasi Alpha yang ke luar dari
Polonium-210 sampai dengan Uranium-238 merupakan bahaya radiasi interna terhadaptubuh manusia. Bahaya radiasi eksterna artinya unsur radioaktif tersebut walaupun berada
di luar tubuh manusia tetap dapat merupakan sumber bahaya radiasi, apalagi kalau
sampai masuk ke dalam tubuh manusia.
Sedangkan bahaya radiasi interna artinya unsur radioaktif tersebut tidak berbahaya kalau
hanya berada di luar tubuh manusia karena daya tembusnya (jangkauannya) yang sangat
pendek, akan tetapi menjadi berbahaya bila masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila
dilihat dari segi daya racunnya atau radiotoksisitasnya, maka polutan radioaktif nomor 1
sampai degan nomor 4 pada Tabel 3 tersebut di atas termasuk kelompok radiotoksisitas
sangat tinggi, sedangkan polutan radioaktif Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk
kelompok radiotoksisitas rendah.
Walaupun Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk kelompok radiotoksisitas rendah,
namun kedua unsur radioaktif tersebut adalah induk radioaktivitas alam yang dapat
menurunkan (meluruh/beranak-cucu) sampai banyak. Thorium-232 akan menurunkan 11
unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal-208, sedangkan Uranium-238
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
14/18
akan menurunkan 17 unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal-206.
Sedangkan Karbon-14 yang ke luar dari batubara dapat berupa abu karbon (fly ash) atau
dalam bentuk gas CO2 dan senyawa hidrokarbon lainnya, akan tetapi atom karbonnya
adalah Karbon-14 yang radioaktif. Karbon-14 termasuk kelompok radiotoksisitas sedang.
Mengingat akan hal tersebut di atas, maka pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi alternatif untuk sumber energi pembangkit tenaga listrik, hendaknya
diikuti pula dengan usaha menambah alat penangkap (filter) polutan radioaktif yang ke
luar dari hasil pembakaran batubara. Proyek \x{201C}coal clean combustion\x{201D}
tidaklah hanya untuk mengurangi pencemaran lingkungan berupa gas-gas yang
menyebabkan timbulnya hujan asam dan efek rumah kaca serta partikel-partikel
pencemar udara saja, akan tetapi lebih jauh lagi harus sudah mulai memikirkan masalah
polutan radioaktif yang ke luar dari hasil pembakaran batubara. Pendahuluan
Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang
industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.
Kebutuhan tenaga listrik yang makin meningkat ini antara lain diperoleh dari usaha
diversifikasi berbagai macam sumber energi yang dapat diperoleh di Indonesia. Salah
satu diversifikasi energi yang dilakukan adalah pemanfaatan batubara sebagai bahan
bakar untuk memperoleh tenaga listrik.
Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara secara besar-besarantelah dibangun di Suralaya (Jawa Barat) dan di Paiton (Jawa Timur). Dalam waktu dekat
ini juga akan dibangun PLTU batubara di daerah Ujung Jati (Jawa Tengah) yang
diharapkan akan dapat mencukupi keperluan tenaga listrik bagi kegiatan industri yang
terus meningkat. Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik
memang dapat menghasilkan tenaga listrik dengan biaya yang relatif murah, namun
dampak pencemaran yang ditimbulkan oleh pembakaran batubara perlu kiranya
mendapat perhatian yang seksama, agar pembangunan berwawasan lingkungan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Gagasan \x{201C}clean coal combustion\x{201D}
perlu didukung sepenuhny
Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa pemakaian batubara sebagai bahan
bakar dapat menimbulkan polutan yang mencemari udara berupa CO (karbon
monoksida), NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang), HC (senyawa-
senyawa karbon), fly ash (partikel debu). Polutan-polutan tersebut secara umum dapat
menimbulkan hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian, serta dapat pula
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
15/18
menimbulkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan suhu global di
permukaan bumi dengan segala efek sampingannya.
Sebenarnya selain dari dampak pencemaran lingkungan seperti tersebut di atas, ada juga
dampak pencemaran dari hasil pembakaran batubara bersama-sama dengan polutan
konvensional yang selama ini sudah diketahui lebih dulu. Sebagaimana halnya polutan
konvensional yang ke luar dari batubara, polutan radioaktifpun dapat dengan mudah
masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup oleh paru-paru, maupun
melalui rantai makanan yang telah terkontaminasi oleh polutan radioaktif. Polutan
radioaktif yang terakumulasi di dalam tubuh dalam jumlah yang banyak dapat
menimbulkan gangguan kesehatan, terutama karena sifat polutan radioaktif yang pada
umumnya adalah cocarcinogenik atau perangsang timbulnya kanker. Jadi secara jujur
dapat dikatakan bahwa pemakaian batubara juga dapat menaikkan kontribusi zat
radioaktif di lingkungan, bukan hanya dari kegiatan-kegiatan teknologi nuklir saja.
Meningkatnya Pemakaian Batubara
Pemakaian batubara di seluruh dunia terus meningkat, begitu juga dengan pemakaian
batubara di Indonesia. Meningkatnya pemakaian batubara kiranya tidak terlepas dari
meningkatnya kebutuhan tenaga listrik yang sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan
industri. Seperti diketahui bahwa akibat dari pembangunan yang pesat dalam bidang
industri, maka laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia selama PELITA V
telah meningkat menjadi 17,5 er tahun, melebihi yang direncanakan yaitu 14,6 er tahun.
Laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia ternyata di atas angka rata-rata di
Asia yang hanya sekitar 7,9 tahun dan jauh di atas angka rata-rata pertumbuhan konsumsi
listrik dunia yang hanya sekitar 3,6 er tahun.
Untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun,
Indonesia menempuh kebijaksanaan menggalakkan pemakaian batubara sebagai salah
satu diversifikasi energi yang mungkin terdapat di Indonesia. Produksi batubara selama
ini terus meningkat, terutama sekali sesudah ada himbauan dari Presiden RI pada tahun
1976 untuk menggunakan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkitan tenaga
listrik oleh PLTU dan juga sebagai bahan bakar utama untuk industri berat seperti
industri baja dan semen. Peningkatan produksi batubara yang terus meningkat dapat
dilihat dari data yang diperoleh dari Departemen Pertambangan dan Energi (Tabel 1).
Tabel 1
Produksi batubara di Indonesia tahun 1973/1974-1990/1991 (dalam ribu ton) Tahun
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
16/18
1973/1974 Tahun 1983/1984 tahun 1990/1991
145,8 614,7 11.211,6
Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik kiranya akan terus bertahan, mengingat bahwa perkiraan cadangan sumber daya batubara di Indonesia
adalah sekitar 36,3 miliar ton yang tersebar di Sumatera 24,7 miliar ton dan di
Kalimantan sekitar 11,6 miliar ton. Pemakaian batubara sebagai energi alternatif
penyedia tenaga listrik memang benar telah meningkatkan produksi tenaga listrik di
Indonesia. Hal ini tercermin dari kenaikan produksi maupun daya terpasang tenaga listrik
di Indonesia (data diperoleh dari Perusahaan Listrik Negara (PLN)) seperti pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 tersebut di muka, tampak jelas bahwa
pemakaian batubara sebagai penyedia tenaga listrik di Indonesia memang benarmeningkat dan hal ini sudah barang tentu menjadi pemikiran kita bersama mengenai
kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan, baik yang berasal dari polutan
konvensional akibat pembakaran batubara maupun polutan radioaktif yang juga ke luar
terhambur bersama-sama dengan polutan konvensional.
Polutan Radioaktif
Polutan konvensional dari hasil pembakaran batubara yang selama ini diketahui oleh
masyarakat adalah gas-gas berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksidanitrogen), SOx (oksida-oksida belerang) dan juga partikel-partikel yang terhambur ke
udara sebagai bahan pencemar udara. Partikel-partikel tersebut antara lain adalah:
a. Karbon dalam bentuk abu atau fly ash (C)
b. Debu-debu silika (SiO2)
c. Debu-debu alumia (Al2O3)
d. Oksida-oksida besi (Fe2O3 atau Fe3O4)
Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, selain
timbulnya hujan asam maupun efek rumah kaca yang disebabkan oleh gas-gas hasil
pembakaran batubara seperti tersebut di atas.
Penelitihan lebih jauh mengenai dampak pemakaian batubara ternyata sangat menarik,
karena selain mengeluarkan gas-gas maupun partikel-partikel seperti telah diuraikan di
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
17/18
atas, ternyata juga dari hasil cracking akibat pembakaran batubara juga dilepaskan
partikel-partikel radioaktif. Hal ini terjadi karena batubara juga mengandung unsur
radioaktivitas alam yang terjebak dalam batubara, kemudian pada saat pembakaran
terjadi cracking (pembelahan) yang menyebabkan unsur radioaktivitas alam tersebut akan
ikut ke luar bersama-sama dengan gas emisi lainnya. Mengapa unsur radioaktif terjebakdi dalam batubara, tidak lain karena unsur radioaktif lebih dulu terbentuk di bumi ini
dibandingkan dengan terbentuknya batubara.
Menurut para ahli radiogeologi, unsur radioaktif seperti batuan Uranium terbentuk pada
zaman geologi yang disebut Pra Kambrium yang terjadi pada 3900 juta tahun yang lalu,
sedangkan batubara terbentuk jauh sesudah zaman Pra Kambrium, yaitu pada zaman
Devon yang terjadi pada 405 juta tahun yang lalu, kemudian diikuti terbentuknya
batubara pada zaman Missisipan yang terjadi pada 345 juta tahun yang lalu, kemudian
dikuti lagi terbentuknya batubara pada zaman Pensilvanian sekitar 320 juta tahun yang
lalu.
Batubara masih terus terbentuk lagi pada zaman Triasik sekitar 230 juta tahun yang lalu,
dan masih terbentuk lagi pada zaman Jurasik sekitar 180 juta tahun yang lalu, juga masih
terbentuk batubara pada zaman Kretasius sekitar 135 juta tahun yang lalu, bahkan
batubara muda juga masih terbentuk pada zaman Tersier sekitar 63 juta tahun yang lalu.
Batubara yang terbentuk jauh sesudah terjadinya unsur radioaktif di bumi ini, akan
menangkap dan menjebak unsur radioaktif yang sudah terbentuk lebih dulu. Unsur
radioaktif yang terjebak di dalam batubara tersebut akan ke luar pada saat terjadi
pembelahan (cracking) akibat pembakaran batubara.
Pada saat batubara dibakar terjadilah pembelahan (cracking) molekul-molekul besar
menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dan pada saat inilah unsur radioaktif yang
terjebak di dalam batubara selama berjuta-juta tahun akan ke luar bersama-sama dengan
hasil emisi batubara lainnya. Unsur radioaktif yang ke luar dari cracking batubara sangat
banyak dan ini tergantung pada jenis dan asal tempat penambangan batubara. Hasil
penelitian terakhir menyebutkan bahwa unsur radioaktif yang ke luar sebagai polutan
pencemar udara lingkungan sekitar 36 macam unsur radioaktif. Dari sekian banyak
polutan radioaktif yang ke luar dari batubara yang paling dominan adalah unsur radioaktifyang tampak pada Tabel 3.
Polutan radioaktif nomor urut 1 sampai dengan 6 termasuk ke dalam golongan logam
berat yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mengikuti lever route yang
berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Perlu kiranya diketahui bahwa dari segi
-
8/3/2019 Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU
18/18
paparan radiasi, radiasi Beta yang ke luar dari Timbal-210 merupakan bahaya radiasi
eksterna dan interna terhadap tubuh manusia, sedangkan radiasi Alpha yang ke luar dari
Polonium-210 sampai dengan Uranium-238 merupakan bahaya radiasi interna terhadap
tubuh manusia. Bahaya radiasi eksterna artinya unsur radioaktif tersebut walaupun berada
di luar tubuh manusia tetap dapat merupakan sumber bahaya radiasi, apalagi kalausampai masuk ke dalam tubuh manusia.
Sedangkan bahaya radiasi interna artinya unsur radioaktif tersebut tidak berbahaya kalau
hanya berada di luar tubuh manusia karena daya tembusnya (jangkauannya) yang sangat
pendek, akan tetapi menjadi berbahaya bila masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila
dilihat dari segi daya racunnya atau radiotoksisitasnya, maka polutan radioaktif nomor 1
sampai degan nomor 4 pada Tabel 3 tersebut di atas termasuk kelompok radiotoksisitas
sangat tinggi, sedangkan polutan radioaktif Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk
kelompok radiotoksisitas rendah. Walaupun Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk
kelompok radiotoksisitas rendah, namun kedua unsur radioaktif tersebut adalah induk
radioaktivitas alam yang dapat menurunkan (meluruh/beranak-cucu) sampai banyak.
Thorium-232 akan menurunkan 11 unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu
Timbal-208, sedangkan Uranium-238 akan menurunkan 17 unsur radioaktif alam dan
satu unsur stabil yaitu Timbal-206. Sedangkan Karbon-14 yang ke luar dari batubara
dapat berupa abu karbon (fly ash) atau dalam bentuk gas CO2 dan senyawa hidrokarbon
lainnya, akan tetapi atom karbonnya adalah Karbon-14 yang radioaktif. Karbon-14
termasuk kelompok radiotoksisitas sedang.
Mengingat akan hal tersebut di atas, maka pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi alternatif untuk sumber energi pembangkit tenaga listrik, hendaknya
diikuti pula dengan usaha menambah alat penangkap (filter) polutan radioaktif yang ke
luar dari hasil pembakaran batubara. Proyek \x{201C}coal clean combustion\x{201D}
tidaklah hanya untuk mengurangi pencemaran lingkungan berupa gas-gas yang
menyebabkan timbulnya hujan asam dan efek rumah kaca serta partikel-partikel
pencemar udara saja, akan tetapi lebih jauh lagi harus sudah mulai memikirkan masalah
polutan radioaktif yang ke luar dari hasil pembakaran batubara.