pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

148
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Kei (Nuhu Evav / Tanat Evav) adalah salah satu kepulauan yang ada di Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku dengan jumlah pulau 66 buah pulau kecil. Tiga belas pulau telah berpenghuni, sedangkan 53 buah pulau lainnya tidak berpenghuni. Kepulauan Kei terletak di bagian selatan Laut Arafura, di bagian barat Laut Banda dan Kepulauan Tanimbar, Papua bagian selatan dan wilayah Kota Tual di bagian utara Laut Banda dan bagian utara Kepulauan Tanimbar di bagian barat daya, serta Kepulauan Aru di bagian timur. Ada tiga bahasa rumpun Austronesia yang dituturkan di Kepulauan Kei, yaitu bahasa Kei, bahasa Kur, dan bahasa Banda. Bahasa Kei (veveu Evav) adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan bahasa Kur (veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, sedangkan bahasa Kei digunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (veveu Wadan) digunakan di Desa Banda Eli (Wadan El) dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan timur laut Pulau Kei Besar (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (DPK), 2007:25). Bahasa Kei merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Kei di Kabupaten MalukuTenggara karena bahasa Kei digunakan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara-upacara adat. Bahasa merupakan alat komunikasi sehingga seseorang dapat menyampaikan maksud

Transcript of pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

Page 1: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepulauan Kei (Nuhu Evav / Tanat Evav) adalah salah satu kepulauan yang

ada di Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku dengan jumlah pulau 66

buah pulau kecil. Tiga belas pulau telah berpenghuni, sedangkan 53 buah pulau

lainnya tidak berpenghuni. Kepulauan Kei terletak di bagian selatan Laut

Arafura, di bagian barat Laut Banda dan Kepulauan Tanimbar, Papua bagian

selatan dan wilayah Kota Tual di bagian utara Laut Banda dan bagian utara

Kepulauan Tanimbar di bagian barat daya, serta Kepulauan Aru di bagian timur.

Ada tiga bahasa rumpun Austronesia yang dituturkan di Kepulauan Kei,

yaitu bahasa Kei, bahasa Kur, dan bahasa Banda. Bahasa Kei (veveu Evav) adalah

bahasa yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar,

dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan

bahasa Kur (veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, sedangkan bahasa Kei

digunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (veveu Wadan) digunakan di Desa

Banda Eli (Wadan El) dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan timur laut

Pulau Kei Besar (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (DPK), 2007:25).

Bahasa Kei merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

masyarakat Kei di Kabupaten MalukuTenggara karena bahasa Kei digunakan,

baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara-upacara adat. Bahasa

merupakan alat komunikasi sehingga seseorang dapat menyampaikan maksud

Page 2: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

2

dan keinginan kepada orang lain. Lebih dari itu, bahasa mengandung visi budaya,

yaitu merekam, memelihara, dan mewariskan konsep-konsep kolektif, nilai-nilai

historis, religius, filosofi, sosiobudaya, dan ekologis masyarakat setempat. Seperti

halnya makhluk hidup, bahasa juga hidup, berkembang, dan memungkinkan untuk

mati. Berdasarkan hal itu, bahasa berkaitan sangat erat dengan lingkungannya.

Bahasa tersebut dapat hilang atau musnah apabila ekologi yang menunjangnya

musnah. Sebaliknya, apabila lingkungan (ekosistem) terjaga dengan baik, maka

leksikon yang berhubungan dengan lingkungan tersebut akan terekam, terlihat,

dan tergambar dengan jelas dalam bahasa. Artinya, harus ada keseimbangan

antara lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Penggunaan bahasa juga tergantung pada kekayaan leksikon yang sesuai

dengan lingkungan. Jika lingkungan tersebut punah, penggunaan leksikon yang

berhubungan dengan lingkungan itu akan turut punah. Oleh sebab itu, melalui

kajian ekolinguistik, dapat dipahami secara mendalam hubungan antara bahasa

dan lingkungan. Ekolinguistik merupakan ilmu bahasa interdisipliner,

menyanding ekologi dan linguistik (Mbete, 2008:1).

Dalam lingkup kajian ekolinguistik dinyatakan bahwa bahasa merekam

kondisi lingkungan ragawi dan sosial. Hal ini berhubungan dengan perangkat

leksikon yang menunjukkan adanya hubungan simbolik verbal antara guyub tutur

dan lingkungannya, flora dan fauna, termasuk anasir-anasir alamiah lainnya (Fill

dan Muhlhauster, 2001:14). Keberagaman leksikon kekhasan daerah menandakan

lingkungan ragawi yang terjaga kelestariannya. Seperti halnya bahasa daerah lain,

Page 3: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

3

bahasa Kei memegang peranan penting dalam pergaulan sehari-hari sebagai alat

komunikasi bagi masyarakat pemakainya. Selain itu, berdasarkan survei pustaka

dan keterangan lain, penelitian tentang ekologi bahasa Kei yang berhubungan

dengan kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan di

Kepulauan Kei belum pernah dilakukan. Padahal, unsur leksikon merupakan salah

satu aspek atau subsistem kebahasaan yang sangat penting untuk pembinaan dan

pengembangan bahasa itu di samping aspek-aspek yang lain. Banyaknya jumlah

penutur bahasa Kei tidak menjamin bahwa bahasa ini dapat bertahan dari ancaman

kepunahan. Alasannya, untuk tetap bertahan hidup, sebagaimana dinyatakan oleh

Saussure dan Barker dalam Mbete (2009:4,6) bahwa bahasa itu harus kokoh

berada dalam kognisi penuturnya dan harus digunakan secara lebih sering dan

mendalam dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Dengan demikian,

perlu diadakan penelitian yang mendasar secara sungguh-sungguh supaya dapat

menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian ekolinguistik.

Kecilnya perhatian terhadap lingkungan merupakan salah satu penyebab

ekosistem itu bertambah krisis dan pada akhirnya leksikon pada ekosistem itu pun

menjadi punah. Lebih dari itu, ekosistem akan bertambah kritis sebagai akibat

keserakahan pembangunan. Akibatnya, keanekaragaman hayati banyak yang

hilang, pelbagai kerusakan terjadi, baik fisik, biologis, maupun sosiologis

terhadap kelangsungan hidup manusia dan kebertahanan lingkungan (Al Gayoni,

2010:1). Hal ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem. Oleh sebab

itu, kajian multidisipliner seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu alam sangat

besar berperan dan diperlukan untuk mengupas persoalan-persoalan yang ada.

Page 4: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

4

Dalam hal ini, kajian ekolinguistik mencoba untuk menyertakan diri dalam

pengkajian lingkungan dalam perspektif linguistik karena perubahan

sosioekologis sangat besar memengaruhi penggunaan bahasa serta perubahan nilai

budaya dalam sebuah masyarakat (Al Gayoni, 2010:1).

Pada kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari guyub tutur Kei tergambar

bahwa penggunaan bahasa Kei oleh generasi muda agak berkurang. Hal ini

terlihat jelas dengan jarang digunakannya leksikon bahasa Kei dibandingkan

dengan bahasa Melayu Ambon. Hal ini dikhawatirkan akan mengikis, bahkan

memunahkan leksikon-leksikon bahasa Kei, khususnya leksikon kelautan. Selain

itu, dengan adanya perubahan budaya dari budaya tradisional ke budaya modern

atau perubahan suatu kawasan dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan

menyebabkan hilangnya ikon leksikal. Demikian juga ada beberapa jenis ikan laut

yang jarang ditemukan karena banyaknya pengeringan, pendangkalan laut,

penggunaan bom ikan yang menyebabkan karang laut menjadi rusak dan tidak

digunakannya alat-alat tangkap tradisional karena pengaruh alat tangkap modern.

Sejalan dengan perubahan alat-alat tangkap dan biota-biota laut yang berada

pada suatu ekosisitem menyebabkan lahirnya kata-kata/istilah baru yang

menggantikan, bahkan menggeser posisi kata/istilah lama sehingga

keberlangsungan ini secara terus-menerus akan mengakibatkan kepunahan

leksikon, khususnya leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan. Misalnya,

jenis ikan yang dulunya hidup pada suatu ekosistem sulit ditemukan karena sudah

berpindah ke ekosistem lain, bahkan menjadi punah, alat tangkap dan umpan yang

digunakan juga tidak akan digunakan oleh generasi sekarang. Hal ini akan

Page 5: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

5

menyebabkan hilangnya beberapa ikon leksikal (Adisaputra, 2010:11).

Penyusutan atau kepunahan unsur alam dan unsur budaya akan berdampak

pada hilangnya konsepsi penutur terhadap entitas itu. Sejalan dengan pendapat

Adisaputra, Lauder (2006:6) menyebutkan bahwa punahnya sebuah bahasa daerah

berarti turut terkuburnya semua nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu,

termasuk di dalamnya berbagai kearifan mengenai lingkungan.

Bahasa Kei merupakan salah satu bahasa daerah yang masih hidup dan

masih dipakai oleh etnik Kei /Evav di Provinsi Maluku, terutama di Kabupaten

Maluku Tenggara, yakni di Kei Kecil dan Kei Besar. Bahasa Kei perlu dipelihara

dan dibina sehingga akan berfungsi sesuai dengan kedudukannya selaku bahasa

daerah. Fungsi umum bahasa Kei ialah sebagai alat komunikasi dalam upacara

adat, keluarga, dan masyarakat Kei untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan

kehendak. Selain itu, tentu juga berfungsi sebagai lambang identitas dan

kebanggaan daerahnya.

Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya

dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan

bersama organisme-organisme lainnya (Mbete, 2009:2). Selanjutnya, Rahardjo

(2004:159) mengatakan bahwa waktu dan usaha manusialah yang menentukan

kelestarian sebuah bahasa daerah. Apa pun yang digunakan oleh generasi tua

hanya semata-semata untuk mempertahankan bahasa daerahnya agar tetap

lestari dari ancaman kepunahan. Dengan merujuk pada beberapa kerangka

pandang yang diulas di atas sebagai latar pikir, bahasa yang diteliti dalam

penelitian ini adalah bahasa Kei terkait dengan kebertahanan leksikon bahasa Kei

Page 6: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

6

dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei untuk memeroleh data dan deskripsi

terhadap bahasa Kei.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah dan batas-batas lingkup kajian setiap penelitian yang akan dikaji

harus dinyatakan secara jelas agar dapat lebih mudah dipahami. Berdasarkan latar

belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1) Bagaimanakah satuan-satuan lingual ekoleksikal kelautan bahasa Kei?

2) Bagaimanakah pemahaman dan kebertahanan leksikon penutur bahasa Kei

dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei?

3) Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi kebertahanan leksikon kelautan

bahasa Kei?

1.3 Tujuan Penelitian

Menurut rumusan masalah di atas, penelitian ini dilakukan dengan dua

tujuan utama, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan penelitian itu

diuraikan sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasikan

leksikon-leksikon dalam lingkungan kelautan pada komunitas tutur bahasa Kei di

Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara sebagai

dokumentasi kebahasaan dan pelestarian terhadap bahasa Kei. Temuan penting

yang diupayakan untuk dicapai adalah pengadaan kamus kecil leksikon kelautan

Page 7: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

7

agar generasi muda komunitas tutur bahasa Kei mengakrabi kembali bahasa,

budaya, dan lingkungan tempat mereka hidup.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang

dikemukakan dalam rumusan masalah. Tujuan khusus tersebut diuraikan sebagai

berikut.

1) Mendeskripsikan satuan-satuan lingual ekoleksikal kelautan bahasa Kei.

2) Mendeskripsikan tingkat pemahaman dan kebertahanan bahasa dan budaya

Kei serta kelestarian lingkungan kelautan di Kepulauan Kei.

3) Menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kebertahanan leksikon kelautan

bahasa Kei.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini ada dua macam, yaitu manfaat

akademis dan manfaat praktis. Kedua manfaat itu diuraikan sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan bagi khazanah pengetahuan ilmu bahasa, khususnya dalam kajian

ekolinguistik. Selanjutnya, temuan-temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat untuk mengembangkan dan memperkaya ilmu pengetahuan bahasa

lokal serta mampu membedah fungsi ideologis, sosiologis, dan biologis tentang

bahasa lokal, khususnya bahasa Kei.

Page 8: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

8

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mendeskripsikan,

mengidentifikasikan, dan mendokumentasikan leksikon-leksikon kelautan yang

merekam dan menggambarkan hubungan penutur bahasa Kei dengan

lingkungannya. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan yang

merupakan kekayaan alam, sosial, dan budaya sebagai ciri kekhasan yang

terealisasikan melalui bahasa. Selain itu, dapat digunakan sebagai sumber

informasi bagi para peneliti lain ataupun pengguna bahasa Kei khususnya tentang

hubungan bahasa dengan ekologi.

Page 9: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

Pada bab ini berturut-turut disajikan kajian pustaka, konsep, landasan teori,

dan model penelitian. Keempat hal itu diuraikan satu per satu berikut ini.

2.1 Kajian Pustaka

Kajian ekolinguistik sebagai bidang kajian linguistik boleh dikatakan

merupakan bidang kajian linguistik yang usianya relatif muda. Disiplin ini lahir

sekitar tahun 1990-an kendatipun konsep dan benih teoretisnya sudah berkembang

sejak 1921 dengan rintisan Edward Sapir (1884--1939). Kemudian, Haugen

(1972) dan dikembangkan oleh Fill dan Muhlhausler (2001). Seperti telah

disinggung sebelumnya bahwa berdasarkan survei pustaka dan keterangan lain-

lain, ternyata penelitian tentang ekologi bahasa Kei yang berkaitan dengan kajian

ekolinguistik, khususnya kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan

kelautan di Kepulauan Kei belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, dianggap

perlu untuk meninjau beberapa karya tulis yang membahas kajian ekolinguistik.

Berikut ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang membantu dalam penelitian

ini, antara lain dapat menjadi bahan acuan dan membuka wawasan penulis tentang

topik yang diteliti.

Mbete dan Adisaputra (2009) dalam tulisan yang berjudul “Penyusutan Fungsi

Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di Stabat,

Langkat” menunjukkan bahwa dari hasil tes penguasaan leksikon responden

terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu

Page 10: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

10

Langkat (BML) tergolong rendah. Rendahnya pemahaman itu dipicu oleh (1)

kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi

Melayu, (2) langka bahkan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam alam

pikiran penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan

dalam piranti BML,melainkan dalam bahasa lain. Yang dijadikan acuan penelitian

ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon sebagaimana disebutkan di

atas. Pemerolehan data dilakukan dengan mendokumentasi leksikon BML terkait

dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Ada 150 leksikon yang

diujikan kepada responden. Tujuan pengujian adalah melihat peringkat

keterpahaman responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan

alamiah yang sebenarnya dalam bahasa mereka. Hasil pengujian dapat dijelaskan

dengan memparafrasakan situasi penggunaan leksikon tersebut yang dikaitkan

dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap leksikon dideskripsikan

sesuai dengan hasil survei lapangan tentang sosioekologis Melayu di Stabat.

Penelitian Mbete dan Adisaputera bermanfaat bagi penulis dalam

memahami penyebab perubahan pemahaman leksikon penutur Kei serta sebagai

wawasan penulis dalam membahas masalah nomor dua. Persamaan penelitian

Mbete dan Adisaputera dengan penelitian ini adalah menelusuri pemahaman dan

penggunaan leksikon. Perbedaannya adalah objek penelitiannya adalah bahasa

Melayu Langkat, khususnya pada komunitas remaja, sedangkan penulis meneliti

kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei

yang berlokasi di Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil Barat, Maluku Tenggara.

Page 11: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

11

Selain itu, pengujian leksikon yang dilakukan Mbete dan Adisaputera hanya pada

komunitas remaja, sedangkan komunitas pemuda dan orang tua belum dikaji

dalam penelitian ini. Dalam hal ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap

komunitas pemuda dan orang tua sehingga hasil penelitian tentang leksikon itu

dapat terangkum lebih komprehensif. Selanjutnya, dalam pengujian leksikon

kepada remaja secara nyata dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Mbete (2002:174--186) dalam tulisan yang berjudul “Ungkapan-Ungkapan

dalam Bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan”. Penelitian ini

menguak warisan budaya leluhur masyarakat etnik Lio, Flores berupa ungkapan-

ungkapan verbal yang memiliki fungsi untuk melestarikan lingkungan hidup.

Ungkapan-ungkapan budaya verbal tersebut diperinci sebagai berikut. Pertama,

ungkapan yang berfungsi memelihara keserasian hubungan dengan alam semesta,

terutama dengan Sang Khalik dan dengan leluhur pewaris lahan. Kedua, ungkapan

yang berfungsi untuk melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional

yang mendukung lingkungan. Ketiga, ungkapan yang mengamanatkan

pemeliharaan hutan lindung dan sumber air. Keempat, ungkapan yang berfungsi

untuk melestarikan pantai dan laut. Kelima, ungkapan yang berfungsi untuk

melestarikan dan menjaga kebersamaan dan kesatuan sosial. Hasil penelitian

Mbete (2002:174--186) menginspirasi peneliti untuk mengungkap kandungan

makna ungkapan-ungkapan terkait dengan pelestarian lingkungan kelautan di

kalangan penutur bahasa Kei. Selain itu, dalam penelitian ditemukan bahwa

merosotnya pemahaman nilai dan norma pelestarian lingkungan yang disebabkan

Page 12: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

12

oleh kesenjangan kebahasaan antargenerasi menjadi bahan pembanding bagi

peneliti dalam merumuskan simpulan.

Suparwa (2009) mengadakan penelitian berjudul “Ekologi Bahasa dan

Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali”. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kehidupan dan perkembangan bahasa Melayu

Loloan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu hubungan penutur bahasa dengan

lingkungan alamnya, hubungan sosial penutur dengan penutur lainnya, dan

hubungan penutur dengan Sang Penciptanya. Berdasarkan faktor pertama, yaitu

hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, diketahui bahwa

lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan penutur memengaruhi perkembangan

BM Loloan. Lingkungan alam pesisir dan pinggir sungai serta profesi nelayan

menyebabkan banyak penutur BM Loloan sangat akrab dengan kata-kata tentang

laut, nelayan, dan rumah panggung. Namun, pengaruh faktor alam, seperti

penggundulan hutan, berkurangnya curah hujan, dan pendangkalan sungai

memengaruhi cara hidup dan menimbulkan pola pikir ekonomis generasi penutur

bahasa Loloan berikutnya dalam menjalani kehidupan. Profesi nelayan

ditinggalkan dan diganti dengan profesi pedagang, buruh, dan tukang. Di pihak

lain rumah panggung digantikan dengan rumah biasa yang sedikit menggunakan

kayu. Sejalan dengan perubahan profesi dan bentuk rumah, istilah-istilah baru

bermunculan yang mengakibatkan istilah lama hampir tidak dikenal lagi. Dalam

kaitannya dengan penelitian kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan

kelautan di Kepulauan Kei, faktor pertama pada penelitian Suparwa, yaitu

Page 13: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

13

hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya dapat menjadi acuan bagi

peneliti dalam menganalisis hubungan bahasa dan lingkungannya.

Sinar (2010:70--83) menulis makalah berjudul “Ungkapan Verbal Etnis

Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan”. Makalah ini membahas dampak

degradasi lingkungan pada bahasa Melayu Serdang di wilayah komunitas pantai

masyarakat Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Dampak degradasi itu ditandai

dengan semakin langka dan kurang dikenalnya sejumlah leksikon tumbuhan yang

terdapat dalam sastra lisan Melayu, yaitu pantun, pepatah, dan jargon. Latar

belakang penulisan makalah ini, yaitu perlunya upaya penyelamatan bahasa

daerah di Indonesia karena ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa

internasional, regional, dan nasional. Tulisan ini memperkuat penulis dalam

menulis subbab Teori Ekolinguistik dalam Bab Kajian Pustaka penelitian ini. Di

samping itu, pengungkapan kearifan lokal mengenai pelestarian lingkungan

dalam sastra lisan pantun dan pepatah menginspirasi peneliti untuk lebih kritis

dalam menganalisis makna ungkapan atau peribahasa yang dimiliki penutur

bahasa Kei terkait dengan upaya pelestarian lingkungan alam kelautan di perairan

Kei.

Rasna (2010) menulis artikel berjudul “Pengetahuan dan Sikap Remaja

terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka

Pelestarian Lingkungan, Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Data menunjukkan

sebagai berikut. Pertama, pengetahuan leksikal para remaja tentang tumbuhan dan

tanaman obat untuk (a) remaja desa: 28 orang (37,33%) tergolong cukup, 47

orang (82,66%) tergolong kurang, sedangkan (b) remaja kota : 9 orang (18%)

Page 14: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

14

tergolong cukup, 38 orang (76%) tergolong kurang, dan 3 orang (6%) tergolong

rendah. Secara ekolinguistik, hal ini dibuktikan dengan adanya penyusutan bentuk

leksikal tumbuhan/tanaman obat pada para remaja sehingga para remaja tidak lagi

mengenal bentuk leksikal buu, sekapa (gadung), kusambi, nagasari, kundal,

antasari, bahkan tidak semua remaja tahu beluntas. Hal ini terjadi akibat adanya

perubahan sosiokultural, perubahan sosiokologis secara fisik, dan faktor

sosioekonomis. Perubahan ini membawa dampak penyusutan leksikal yang

dogolongkan ke dalam ekolinguistik. Kedua, sikap remaja terhadap

tanaman/tumbuhan obat meliputi sikap bangga, sikap sadar, dan sikap setia.

Hal ini terlihat dari 40% remaja tidak setuju dengan anggapan kampungan,

terbelakang, dan rendah pada pengguna tanaman dan tumbuhan sebagai

obat.

Rasna dan Binawati (2012) menulis artikel berjudul “Pemertahanan

Leksikal Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak pada Komunitas

Remaja di Bali: Kajian Semantik Ekolinguistik”. Data menunjukkan bahwa

bentuk leksikal tanaman obat untuk mengobati penyakit anak menurut usada rare

„Ilmu Penyakit Anak‟ berjumlah 119 jenis tanaman obat tradisional. Artinya,

terdapat sebanyak 119 bentuk leksikal jenis tanaman obat untuk penyakit anak,

yang terbagi atas dua kategori, yaitu (1) kategori material khusus, seperti padang

gulung, daun pipis, urang-aring dan (2) kategori umum, seperti bawang, kesuna

„bawang putih‟, inan kunyit „induk kunir‟. Jenis-jenis tanaman obat ini

mempunyai arti penting, baik dari segi sosiokultural, ekologi, linguistik, maupun

ekolinguistik.

Page 15: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

15

Persamaan penelitian ini dengan dua penelitian di atas, yaitu Rasna (2010)

serta Rasna dan Binawati (2012) sama-sama meneliti lingkungan dari aspek

linguistik tentang tanaman obat tradisional, sedangkan penelitian ini meneliti

lingkungan, khususnya lingkungan kelautan di Kepulauan Kei. Data utama dalam

penelitian ini yang dijadikan pedoman adalah data lontar Usada Rare (lontar ilmu

penyakit anak) sehingga semua leksikon tanaman obat tradisonal belum terungkap

secara jelas.

Sumarsono (1990:27) dalam disertasinya yang berjudul “Pemertahanan

Bahasa Melayu Loloan di Bali” menguraikan bahwa konsentrasi wilayah

permukiman adalah salah satu faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah

bahasa. Konsentrasi wilayah permukiman merupakan faktor penting dibandingkan

dengan jumlah penduduk yang besar. Kelompok yang kecil jumlahnya pun dapat

lebih kuat mempertahankan bahasanya jika konsentrasi wilayah permukiman

dapat dipertahankan sehingga terdapat keterpisahan secara fisik, ekonomi, dan

sosial budaya. Secara umum, penelitian ini cukup menarik, terutama tentang

faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa, tetapi penjelasan

mengenai bagaimana upaya-upaya pemertahanan kelestarian sebuah bahasa

masih sangat kurang. Namun, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang

bagaimana pemertahanan sebuah bahasa serta penggunaan dan penguasaan

leksikon dengan menggunakan teori ekolinguistik sehingga dapat dijadikan

sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini. Relevansinya dengan penelitian ini

adalah menggunakan pendekatan ekolinguistik dalam mengkaji pemertahanan

bahasa. Perbedaan penelitian ini adalah bahan kajiannya, yaitu bahasa Melayu

Page 16: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

16

Loloan, sedangkan penulis mengkaji bahasa Kei. Selain itu, uraian tentang

konsentrasi wilayah permukiman memberikan inspirasi bagi penulis untuk

membahas dan menggambarkan kebertahanan leksikon kelautan bahasa Kei.

Kajian yang terakhir adalah sebuah tesis yang ditulis oleh Sukhrani (2010)

dengan judul “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut

Tawar: Kajian Ekolinguistik”. Data menunjukkan bahwa terjadi perbedaan tingkat

pemahaman nomina kedanauan pada tiap kecamatan dan kelompok usia. Pada

kelompok usia di atas 46 tahun pemahamannya masih tinggi, lalu menurun pada

kelompok usia 21--45 tahun, hingga tergolong rendah pada kelompok usia 15--20

tahun. Perbedaan pemahaman tersebut berkaitan dengan (1) perbedaan kontur

alam danau, (2) perluasan kota, (3) pola hidup praktis dan instan dengan

munculnya alat-alat modern, dan (4) introdusi biota dari luar. Namun, leksikon

nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan lut tawar masih dikenal dan

digunakan oleh 80,6% penutur Gayo dalam berkomunikasi. Beberapa faktor

penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (1) biodiversitas

lingkungan sekitar danau; (2) penutur dari tiap-tiap kelompok usia masih

berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (3) penutur dari setiap

kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.

Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina dan pengujian pemahaman

leksikon pada penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penulis dalam membahas

masalah nomor dua dan tiga yang tersaji pada rumusan masalah. Selain itu,

penelitian ekolinguistik yang dilakukan Sukhrani hanya mencakup jenis kata

nomina, jenis-jenis kata yang lain, yaitu verba dan adjektiva belum dikaji dalam

Page 17: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

17

penelitian ini. Dalam hal ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai verba

dan adjektiva sehingga hasil penelitian tentang leksikon itu dapat terangkum lebih

komprehensif.

Walaupun bahasa yang digunakan sebagai objek dalam penelitian-penelitian

di atas tidak sama dengan bahasa yang menjadi objek penelitian penulis,

penelitian-penelitian tersebut dapat dijadikan kajian pustaka yang memberikan

banyak sumbangan dalam penelitian penulis. Hal itu mengingat pembahasan

pengetahuan dan pemertahanan leksikon dengan menggunakan teori Ekolinguistik

dapat memberikan kontribusi dalam penelitian ini yang juga akan membedah

pengaruh antara lingkungan dan bahasa.

2.2 Konsep

Sebelum mengacu pada uraian teori yang digunakan dalam penelitian ini,

perlu dijelaskan konsep dasar yang dianggap relevan sebagai pendukung untuk

dapat lebih memahami topik dan bermanfaat untuk menyamakan persepsi

terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep

tersebut diuraikan berikut ini.

2.2.1 Kebertahanan Bahasa dan Pemertahanan Bahasa

Konsep kebertahanan bahasa berawal dari pemahaman tentang kata tersebut.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1375) dikemukakan bahwa

makna kata kebertahanan adalah „ihwal bertahan‟, sedangkan makna kata

bertahan adalah „tetap pada tempatnya (kedudukannya dan sebagainya); tidak

beranjak. Konsep kebertahanan diartikan sebagai „proses, cara, perbuatan

Page 18: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

18

mempertahankan‟. Di dalam konsep „pemertahanan‟ ada proses yang dilakukan

dengan sengaja, sedangkan pada konsep „kebertahanan‟ tercakup proses-proses

disengaja atau tidak disengaja karena keduanya tercakup dalam „ihwal bertahan‟.

Dengan demikian, penelitian ini mengacu pada konsep kebertahanan karena

mencermati kebertahanan leksikon bahasa Kei secara alami atau apa adanya yang

masih digunakan di Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku

Tenggara hingga saat ini.

Kebertahanan bahasa berkenaan dengan persoalan apakah sebuah bahasa

masih bertahan atau tidak. Masih bertahan berarti masih digunakan dalam

interaksi komunikasi sehari-hari oleh penuturnya. Kebertahanan bahasa terjadi

secara alamiah karena terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa.

Dalam pengembangan bahasa yang berlangsung secara alami tersebut ada dua

proses yang disebabkan oleh perilaku penuturnya, yaitu proses pemertahanan

bahasa (maintenance) dan proses pergeseran bahasa (language shift). Menurut

Garvin dan Martinet (dalam Adisaputra, 2010:43), proses tersebut terjadi karena

adanya fungsi bahasa sebagai alat menyatukan (unifying) atau memisahkan

(separatist) diri dari kelompok lain. Sementara itu, Fasold (1986:181) menyatakan

bahwa orang mempertahankan bahasanya secara tidak sadar. Menurut Fasold,

bahasa memiliki fungsi sebagai contrastive self identification „identifikasi diri

yang konstratif‟, yaitu bahasa berfungsi sebagai alat menyatukan atau

memisahkan diri dari kelompok lain.

Kebertahanan bahasa terkait dengan faktor-faktor sosial dan psikologis,

seperti kekuatan ikatan etnis, sistem nilai, pola permukiman, agama, sistem

Page 19: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

19

kekeluargaan, jenis kelamin, dan ekonomi (Suhardi, 1990:195). Faktor lain yang

berpengaruh terhadap kebertahanan bahasa adalah jabatan, status sosial,

kedudukan sosial, usia, dan etnisitas. Selain faktor sosial, faktor situasional,

seperti interlocutor (mitra wicara), topik, dan situasi komunikasi juga turut

menentukan (Fishman, 1968:244--267; Holmes, 1996:20--31). Berdasarkan

konsep tersebut, dapat dikatakan penelitian ini hanya mengkaji faktor-faktor sosial

yang diungkapkan di atas dengan melihat dari segi jenis kelamin dan usia.

Selanjutnya, pembahasan pemertahanan erat kaitannya dengan kepunahan bahasa,

artinya jika upaya pemertahanan tersebut gagal, maka bahasa itu perlahan-lahan

akan menjadi punah (Sumarsono dalam Damanik, 2009:9). Kemampuan bahasa

untuk bertahan hidup menurut Holmes (2001:65) dalam Gunarwan (2006:101--

102) dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu (1) status bahasa yang bersangkutan

seperti yang tercermin pada sikap masyarakat bahasa itu terhadapnya, (2)

besarnya kelompok penutur bahasa itu serta persebarannya; dan (3) seberapa jauh

bahasa itu mendapat dukungan institusional.

2.2.2 Leksikon

Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat informasi tentang

makna. Sejalan dengan itu, leksikon didefinisikan sebagai kosakata; komponen

bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam

bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa (KBBI, 2008: 805). Di pihak

lain Sibarani (1997:4) sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata.

Meurut Sibarani, “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala

informasi tentang kata dalam suatu bahasa, seperti perilaku semantis, sintaksis,

Page 20: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

20

morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan

pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa.”

Selanjutnya, menurut Booij (2007:16) „the lexicon specifies the properties

of each word, its phonological form, its morphological and syntactic properties,

and its meaning.‟ Ia memberikan contoh leksikon swim dan swimmer

a. /swιm/ /swιmər/

b. [x]V [[x]V er]N

c. SWIMACTIVITY PERSON PERFORMING SWIMACTIVITY

Contoh a merupakan bentuk fonologi leksem swim.

Contoh b merupakan struktur morfologi internal.

Contoh c merupakan makna yang dinyatakan dengan huruf kapital kecil.

Dalam bahasa Indonesia diberikan contoh leksikon „takut‟ dan „penakut‟.

a. /takut/ /penakut/

b. [x]A [[x]A peN-]N [[x]A peN-]A

c. tidak berani orang yang takut mudah takut

Contoh a merupakan bentuk fonologi leksem „takut‟.

Contoh b merupakan struktur morfologi internal.

Contoh c merupakan makna.

Untuk mencatat leksikon suatu bahasa disusunlah kamus. Kegiatan

penyusunan kamus disebut leksikografi. Biasanya sebuah kamus tersusun dengan

leksem atau gabungan leksem sebagai judul yang diterangkan dengan berbagai

cara. Judul itu disebut lema. Ada lema yang berupa leksem atau kata tunggal, ada

yang berupa gabungan leksem atau gabungan kata. Bila keterangannya berupa

Page 21: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

21

bahasa yang sama dengan lemanya, kamus ini disebut kamus ekabahasa atau

kamus monolingual. Bila keterangan itu dalam bahasa lain, kamus itu merupakan

kamus dwibahasa atau kamus bilingual.

Dari paparan di atas, dapat diartikan bahwa leksikon merupakan komponen

bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam

bahasa, seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya atau

perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang

atau suatu bahasa.

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan asas atau hukum-hukum umum yang menjadi dasar

(pijakan, pedoman, tuntutan) suatu ilmu pengetahuan. Menurut Snelbecker (dalam

Moleong, 2008: 57), teori berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan

menjelaskan fenomena yang diamati. Dengan kata lain, teori merupakan landasan

fundamental ilmiah sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau

memberikan jawaban rasional terhadap masalah yang digarap (Atmadilaga dalam

Gurning, 2004:9). Teori yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah

dalam penelitian ini secara umum berpijak pada perspektif ekolinguistik yang

merupakan paduan antara teori linguistik dan ekologi. Menurut Mbete (2009:2),

“dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang

sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama

organisme-organisme lainnya.

Page 22: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

22

2.3.1 Teori Ekolinguistik

Ekolinguistik merupakan bidang linguistik yang mengkaji interaksi bahasa

dengan ekologinya. Mackey dalam Fill dan Muhlhausler (2001:67) dalam

bukunya yang berjudul “The Ecology of Language Shift” menjelaskan bahwa

pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu

sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi memadukan lingkungan,

konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (Fill, 2001:43). Ekolinguistik

adalah ilmu pengetahuan antardisiplin yang merupakan sebuah payung bagi

semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian

rupa dengan ekologi. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Fill (1993:126) dalam

Lindo dan Simonsen (2000: 40) bahwa ekolinguistik merupakan sebuah payung

bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi, yaitu

“Ecolinguistics is an umbrella term for „[…] all approaches in which the study of

language (and languages) is in any way combined with ecology”. Demikian

pula, Mühlhäusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in

the University menyebutkan seperti di bawah ini.

Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we

wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending

on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or

language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics.

Ecology of language studies the support systems languages require for their

continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of

many languages in recent times (P.2).

Selanjutnya, dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th

Edition,

dijelaskan bahwa ecolinguistics (n.) adalah sebagai berikut.

In linguistics, an emphasis-reflecting the notion of ecology in biological

studies-in which the interaction between language and the cultural

Page 23: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

23

environment is seen as central; also called the ecology of language,

ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic

approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the

importance of individual and community linguistic rights, and the role of

language attitudes, language awareness, language variety, and language

change in fostering a culture of communicative peace (Crystal , 2008: 161-

162).

Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan

sosial (Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Kajian ekolinguistik melihat

tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia

(ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia untuk mengkodekan secara verbal

dan berkomunikasi dengan lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut

adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam

sebuah masyarakat. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial

memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya

(Al-Gayoni, 2010:31). Terkait dengan adanya hubungan antara perubahan

ragawi lingkungan terhadap bahasa dan sebaliknya, Mühlhäusler (hal.3) dalam

tulisannya Language and Environment, menyebut ada empat hal yang

memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Keempat hal

yang dimaksud adalah

(1) language is independent and self-contained (Chomsky, Cognitive

Linguistics); (2) language is constructed by the world (Marr); (3) the world is

constructed by language (structuralism and post structuralism); dan (4)

language is interconnected with the world – it both constructs and is constructed

by it but rarely independent (ecolinguistics).

Menurut Haugen dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1), kajian ekolinguistik

memiliki parameter, yaitu interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan),

environment (lingkungan ragawi dan sosial budaya), and diversity (keberagaman

Page 24: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

24

bahasa dan lingkungan). Haugen (1970) dalam Mbete (2009:11--12) menyatakan

bahwa ada sepuluh ruang kajian ekolinguistik, yaitu (1) linguistik historis

komparatif, (2) linguistik demografi, (3) sosiolinguistik, (4) dialinguistik, (5)

dialektologi, (6) filologi, (7) linguistik preskriptif, (8) glotopolitik, (9)

etnolinguistik, linguistik antropologi atau linguistik kultural (cultural linguistics),

dan (10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan.

Berdasarkan pembagian Haugen di atas, penelitian ini berhubungan dengan

ruang kaji ekolinguistik berdasarkan pada pembagian Haugen di atas, Dalam

lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan menggambarkan,

mewakili, melukiskan (merepresentasikan secara simbolik verbal) realitas di

lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia

(lingkungan sosialbudaya). Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami

perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya,

sebagaimana dinyatakan Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) bahwa “perubahan

bahasa merepresentaikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa

tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari

oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari. Perubahan pada bahasa itu tampak

jelas teramati pada tataran leksikon. Alasannya, kelengkapan leksikon suatu

bahasa mencerminkan sebagian besar karakter lingkungan ragawi dan

karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya.

Fill dan Muhlhausler (2001:2) juga menambahkan bahwa lingkup

ekolinguistik adalah hubungan antara bahasa dan lingkungan pada ranah leksikon

saja, bukan pada tataran fonologi atau morfologi „this interrelation exists merely

Page 25: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

25

on the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or

morphology.‟

Selanjutnya, menurut Lindø dan Bundegaard (2000: 10--11), dinamika dan

perubahan bahasa pada tataran leksikon dipengaruhi oleh tiga dimensi. Pertama,

dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat, misalnya

ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu

dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan

wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi, ada upaya

untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan

atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat. Kedua,

dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial

untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud

praktis sosial yang bermakna. Ketiga, dimensi biologis, yaitu berkaitan dengan

adanya diversivitas (keanekaragaman) biota danau (atau laut, ataupun darat)

secara berimbang dalam ekosistem. Di samping itu, dengan tingkat vitalitas

spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dan yang lain, yaitu ada yang

besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil,

ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis

itu secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa

sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami.

Leksikon yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam pikiran

penutur menjadi leksikon yang fungsional untuk digunakan (Mbete dan

Abdurahman, 2009). Sehubungan dengan itu, penutur bahasa akan menggunakan

Page 26: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

26

leksikon yang ada dalam konseptual mereka jika didukung dengan lingkungan

ragawi yang ada. Sebaliknya, konsepsi leksikal dalam alam pikiran penutur ini

akan berubah jika adanya perubahan lingkungan ragawi. Perubahan itu terjadi

dalam waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan menghilang atau

menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan, pada komunitas yang dwibahasawan,

tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa

yang lain.

2.3.2 Teori Semantik Leksikal

Dalam studi semantik, konsep makna telah dikembangkan oleh pakar

filsafat dan linguistik yang pada dasarnya mempersoalkan makna dalam bentuk

hubungan antara bahasa (ujaran, pikiran, dan realitas di alam). Pateda (2001:74)

mengatakan bahwa pembahasan makna dalam kata merupakan kajian semantik

leksikal. Makna kata dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam

kalimat. Dengan demikian, untuk menggambarkan hubungan antarkata dalam

suatu bidang tertentu dapat diungkapkan melalui komponen makna yang tercakup

dalam kata-kata pada suatu bidang tertentu. Komponen makna menunjukkan

bahwa makna setiap kata terbentuk dari beberapa unsur atau komponen. Misalnya,

kata-kata yang menggambarkan kekerabatan, seperti „ayah‟, “ibu‟, „adik‟, dan

„kakak‟.

Dalam semantik leksikal diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem

bahasa tersebut. Makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal.

Dalam studi semantik, leksem adalah istilah yang lazim digunakan untuk

menyebutkan satuan bahasa bermakna. Istilah leksem ini kurang lebih dapat

Page 27: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

27

dipadankan dengan istilah kata yang lazim digunakan dalam studi morfologi dan

sintaksis yang lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal bebas terkecil. Hal

ini senada dengan Djajasudarma (1993: 13) menyatakan bahwa semantik leksikal

adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain.

Makna leksikal memiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks.

Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat

leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Makna leksikal juga dapat diartikan

makna yang sesuai dengan acuannya, makna yang sesuai dengan hasil observasi

panca indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.

Lebih lanjut, Lyons (1995:47) menyatakan bahwa “The noun „lexeme‟ is of

course related to the words „lexical‟ and „lexicon‟, (we can think of „lexicon‟ as

having the same meaning as vocabulary or dictionary”

Hubungan antara kata dan konsep atau makna kata tersebut serta benda atau

hal yang dirujuk oleh makna itu berada di luar bahasa. Hubungan antara ketiganya

disebut dengan hubungan referensial, yang biasanya digambarkan dalam bentuk

segi tiga makna yang diperkenalkan oleh Ogden dan Richard (1972), yang lebih

dikenal dengan istilah kata (symbol), konsep/pikiran (reference), dan acuan

(referent) seperti tampak pada segi tiga di bawah ini.

(b) Konsep (reference)

(a) Kata (symbol) (c) Acuan (referent)

Page 28: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

28

Simbol adalah kata-kata yang merujuk kepada benda, orang, kejadian,

peristiwa melalui pikiran. Simbol harus bebas atau bersifat impersonal dan harus

diverifikasi dengan fakta atau bahasa yang sesuai dengan fakta atau bahasa

kefaktaan (Parera, 2004:29). Reference adalah sesuatu yang ada dalam pikiran

penutur tentang objek yang ditunjuk oleh lambang atau simbol. Referent atau

acuan adalah objek, peristiwa, atau fakta yang ada di dalam pengalaman manusia.

Reference berhubungan dengan konteks psikologi, sedangkan referent

berhubungan dengan konteks sosial.

Berdasarkan beberapa pandangan yang telah dipaparkan di atas, dapat

dikatakan bahwa penelitian ini mengkaji semantik leksikal berdasarkan makna

dan referensial (acuan) atau korespondensi, yaitu teori yang melihat hubungan

antara kata dan acuan yang dinyatakan lewat simbol bunyi bahasa, baik berupa

kata, frasa maupun kalimat. Dengan demikian, kajian makna dan referensial lebih

ditekankan pada hubungan langsung antara kata dan acuannya yang ada di alam

nyata (Parera, 2004:45).

Page 29: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

29

2.4 Model Penelitian

Model pada penelitian ini tampak pada skema berikut.

Bagan I Model Penelitian

Keterangan:

hubungan langsung

yang digunakan

saling berhubungan

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebertahanan LKBK

Pemahaman dan Kebertahanan Leksikon Kelautan

Satuan-satuan Lingual Ekoleksikal Kelautan BK

Teori Ekolinguistik

Bahasa Kei

HASIL PENELITIAN

Leksikon Lingkungan

Kelautan

Metode

Teori Semantik leksikal

Kualitatif

Kuantitatif

Page 30: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

30

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan utama yang diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data

deskriptif berupa data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa (Djajasudarma,

2006: 11). Pendekatan kualitatif yang dilakukan di dalam penelitian ini

berdasarkan pertimbangan bahwa pendekatan kualitatif mengutamakan teknik

analisis data dengan kekuatan deskripsi yang mendalam. Dalam penelitian ini juga

diterapkan dengan pendekatan kuantitatif untuk melihat kuantitas pengetahuan

dan pemahaman leksikon-leksikon kelautan bahasa Kei oleh kelompok pria dan

wanita usia di atas 46 tahun, kelompok pria dan wanita usia 25--45 tahun, dan

kelompok pria dan wanita usia 15--24 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif yang didukung analisis

kuantitatif.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif

adalah kekayaan bahasa Kei yang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat Ohoi

Warbal pada berbagai situasi dan kondisi penggunaan bahasa dengan pelbagai

indikator. Selain itu, data kualitatif berupa informasi lisan dari informan utama

tentang kebertahanan dan faktor-faktor yang memengaruhi dinamika

perkembangan leksikon kelautan bahasa Kei. Data kuantitatif adalah data yang

berupa angka-angka yang ditabulasikan secara statistik sederhana. Data kuantitatif

Page 31: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

31

bersumber dari hasil TKL informan, berupa rata-rata kompetensi informan

terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan alamiah komunitas tutur

(speech community) di Ohoi Warbal, ditinjau dari kelompok umur dan jenis

kelamin. Secara fungsional, data kuantitatif digunakan untuk mendukung dan

menjelaskan konsisitensi gejala pengetahuan yang dimiliki oleh informan,

sedangkan, data kualitatif berfungsi untuk menjelaskan secara deskriptif sebagai

dasar untuk mengetahui kebertahanan dan faktor-faktor yang memengaruhi

dinamika perkembangan leksikon kelautan bahasa Kei.

Di samping itu, berdasarkan cara memerolehnya, penelitian ini

menggunakan data primer dan data sekunder. Secara keseluruhan, baik data

kualitatif maupun kuantitatif merupakan data primer. Menurut Bungin (2005:122),

data primer adalah data yang langsung diperoleh dari lokasi penelitian atau objek

penelitian, sedangkan data sekunder adalah data data yang diperoleh dari sumber

kedua atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan. Dengan demikian, untuk

mendukung data primer diperlukan data sekunder. Data sekunder dalam penelitian

ini adalah data yang bersumber dari keterangan masyarakat dan sumber-sumber

tertulis. Pemilihan desa Warbal sebagai sumber data didasarkan atas pertimbangan

bahwa masyarakat desa Warbal pada umumnya adalah penutur asli bahasa Kei. Di

samping itu, penggunaan bahasa Kei masih sangat aktif dalam komunikasi sehari-

hari dan letak geografisnya di pesisir pantai sehingga pada umumnya

masyarakatnya adalah nelayan.

Page 32: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

32

Untuk mendapatkan sumber data lisan dan respons dari informan maka

digunakan teknik purposive sampling, yaitu penentuan informan berdasarkan

pertimbangan peneliti sendiri. Adapun kriteria informan adalah sebagai berikut.

1) Berjenis kelamin pria dan wanita.

2) Berusia 15--65 tahun.

3) Orang tua, istri atau suami informan lahir dan dibesarkan di Ohoi Warbal.

4) Menetap di Ohoi Warbal minimal selama sepuluh tahun.

5) Menguasai pertanyaan dalam bahasa Kei.

6) Dapat berbahasa Indonesia.

7) Untuk informan tua, pendengarannya baik dan tidak pikun.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen utama dalam penelitian adalah peneliti sehingga instrumennya

adalah orang atau manusia (human instrument) (Sugiyono, 2009:2). Dalam

penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat adalah peneliti itu sendiri

karena sebagai human instrument atau instrumen manusia bertugas untuk

menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan

pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsirkan data, dan membuat

simpulan atas temuannya (Sugiyono, 2009:59). Oleh karena itu,dalam penelitian

ini peneliti adalah instrumen utama karena peneliti sendiri adalah penutur bahasa

Kei sehingga peneliti bersikap independen untuk menghindari subjektivitas dalam

penelitian ini. Selanjutnya, instrumen yang digunakan untuk memeroleh data

kuantitatif adalah kuesioner (angket) yang diwujudkan dalam daftar tanyaan yang

jawabannya disimbolkan dalam angka-angka. Angka-angka yang digunakan

Page 33: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

33

merupakan indikator-indikator pengetahuan leksikon informan. Data yang dijaring

melalui kuesioner merupakan data utama (primer).

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman leksikon bahasa

Kei tentang lingkungan kelautan oleh responden digunakan tes kompetensi

leksikon. Tes ini berupa sebaran leksikon (kuesioner) lingkungan kelautan sesuai

dengan lingkungan alamiah masyarakat dari kelompok pria dan wanita usia di atas

46 tahun, kelompok pria dan wanita usia 25--45 tahun, dan kelompok pria dan

wanita usia 15--24 tahun kumunitas Kei di Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil

Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Kompetensi leksikon ini

dapat dipakai sebagai tolok ukur bagaimana hubungan antara partisipan dan

lingkungannya serta untuk menentukan masih adanya referen leksikon itu. Oleh

karena itu, pada tiap kelompok leksikon diajukan empat pilihan jawaban. Contoh:

1. Ikan tuna (jawab/isi dalam leksikon bahasa Kei)

(a) Tahu, kenal, dan referennya masih banyak.

(b) Tahu,kenal, dan referennya sedikit/langka.

(c) Tahu,kenal, dan referennya sudah hilang/ punah.

(d) sama sekali tidak kenal.

Model pertanyaan di atas ada 131 pertanyaan setiap jawaban “A” (Tahu, kenal,

dan referennya masih banyak) dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah informan

per kelompok jenis kelamin dan usia, yang kemudian mendapatkan hasil

presentasi dengan rumus di bawah ini.

x 100 =KL

x 100 =83,3

Page 34: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

34

Keterangan :

JJA = jawaban “A” (Tahu, kenal, dan referennya masih banyak)

JI = jumlah informan per kelompok jenis kelamin dan usia

KL = kompetensi leksikon per kelompok jenis kelamin dan usia

Untuk setiap jawaban “D” (sama sekali tidak kenal) dijumlahkan dan dibagi

dengan jumlah informan per kelompok jenis kelamin dan usia, yang kemudian

mendapatkan hasil persentasi dengan rumus berikut:

Keterangan :

JJD = jawaban “D” (sama sekali tidak kenal)

JI = jumlah informan per kelompok jenis kelamin dan usia

KL = kompetensi leksikon per kelompok jenis kelamin dan usia

Untuk mendapatkan perhitungan rata-rata pengetahuan leksikon informan tentang

kelautan, maka jumlah jawaban “A” dan “D” dijumlahkan dan dibagikan dengan

jumlah informan sehingga didapatkan skor rata-rata dengan rumus berikut.

x 100 = KL

x 100 =83,3

x 100 =Hasil “A”

x 100 =77,8

x 100 =Hasil “D”

x 100 =22,2

Page 35: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

35

Selain itu, untuk menentukan pengetahuan leksikon kelautan informan itu

sangat baik, baik, cukup baik, kurang dan sangat kurang, digunakan kriteria nilai

kompetensi leksikon pada tabel berikut berikut.

Tabel 3.1 Kriteria Nilai Pengetahuan Leksikon Kelautan

NO SKOR PREDIKAT

1

2

3

4

5

85--100

70--84

55--69

45--55

-44

Sangat baik

Baik

Cukup baik

Kurang

Sangat kurang

(Renjaan, 2014)

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian merupakan suatu cara kerja untuk memahami objek yang

menjadi sasaran yang bersangkutan. Dengan menggunakan metode yang tepat

akan diperoleh hasil yang sesuai dengan yang diharapkan sebab metode penelitian

merupakan petunjuk yang memberikan arah, corak, dan tahapan kerja suatu

penelitian.

Dalam penelitian ini pengumpulan data dititikberatkan pada natural setting

atau kondisi yang alamiah. Dalam pengumpulan data ada beberapa tahapan yang

dilakukaan, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi pribadi dan resmi, foto,

gambar, dan percakapan informal. Data yang terkumpul merupakan data kualitatif

(Emzir, 2010:37). Dalam penelitian ini, diambil teknik yang umum dan ditambah

dengan kebutuhan khusus kajian penelitian, yaitu sebagai berikut.

1. Tes kompetensi leksikon,yaitu tes untuk menguji tingkat pengetahuan leksikon-

leksikon dalam lingkungan kelautan berdasarkan angket yang diberikan.

Page 36: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

36

2. Observasi ( pengamatan ), yaitu pengumpulan data dengan mengadakan

pengamatan terhadap situasi alam sekitar laut, misalnya mengamati tumbuhan,

hewan, benda-benda mati yang terdapat di sekitar laut. Di samping itu, juga

berbagai kegiatan, perilaku, dan tindakan penutur bahasa Kei di kawasan laut

secara intensif, sebagaimana dijelaskan Basrowi dan Suwandi (2008:94) bahwa

“...observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek alam yang lain.”

3. Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab antara peneliti dan objek penelitian

untuk mendapatkan data serta pandangan yang relevan dengan tujuan

penelitian. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara terstruktur sehingga dalam melakukan wawancara, peneliti telah

menyiapkan pertanyaan-pertanyaan tertulis dan pilihan jawaban yang sama

kepada setiap informan. Menurut Sugiyono (2009:73), wawancara terstruktur

digunakan apabila telah diketahui dengan pasti tentang informasi apa yang

akan diperoleh. Metode ini digunakan untuk memeroleh penggunaan dan

pengalaman informan tentang bentuk leksikon kelautan dengan bantuan

kuesioner terstruktur. Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan

yang terdiri atas :

(1) leksikon biota-biota kelautan.

(2) istilah-istilah tradisional alat penangkapan, alat dan bahan pengolahan hasil

kelautan.

(3) kondisi lingkungan ekologis kelautan.

4. Dokumentasi, yaitu dengan penerapan teknik rekam yang berfungsi untuk

mendapatkan data dalam bentuk leksikon-leksikon kelautan bahasa Kei. Di

Page 37: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

37

pihak lain teknik pencatatan dilakukan untuk mencatat hal-hal yang dianggap

penting pada saat proses perekaman atau untuk mencatat apabila ada hal-hal

yang muncul di luar data-data yang diperlukan, tetapi masih ada kaitannya

dengan topik penelitian. Hasil catatan ini dipakai sebagai pedoman dan

keterangan tambahan ketika analisis data dilakukan.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data sebagai “proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema ....”

(Moleong, 2002:103). Data yang diperoleh dari hasil wawancara, tes kompetensi

leksikon, observasi, dan dokumentasi (dengan penerapan teknik rekam dan teknik

pencatatan) dipisahkan per kelompok leksikon dan dijabarkan ke dalam unit-unit,

dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami. Selanjutnya, data akan

dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan penerapan analisis

kualitatif, diharapkan dapat memaparkan pengetahuan dan pemahaman leksikon-

leksikon kelautan di Kepulauan Kei sesuai dengan realitasnya.

Aanalisis data juga menggunakan metode kuantitatif, yaitu jawaban setiap

informan disimbolkan dalam bentuk angka dalam tabel untuk setiap kelompok

jenis kelamin dan usia. Angka-angka tersebut kemudian dijumlahkan dan diubah

ke dalam bentuk persen lalu ditabulasikan untuk setiap kelompok jenis kelamin

dan usia sehingga akan terlihat kecenderungan-kecenderungan tertentu.

Page 38: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

38

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan informal.

Metode informal adalah metode yang menyajikan hasil analisis data dengan

menggunakan kata-kata biasa, sedangkan metode formal adalah metode yang

menyajikan hasil analisis data dengan menggunakan tanda dan lambang-lambang

(Sudaryanto, 1993:145). Penyajian hasil analisis data juga menggunakan teknik

deduktif dan induktif dengan tujuan pemaparannya tidak monoton. Teknik

deduktif adalah cara penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat

umum kemudian dikemukakan hal-hal yang bersifat khusus sebagai penjelas.

Teknik induktif adalah cara penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang

bersifat khusus kemudian dikemukakan hal-hal yang bersifat umum (Hadi, 2004:

47).

Page 39: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

39

BAB IV

GAMBARAN UMUM KEPULAUAN KEI

4.1 Kabupaten Maluku Tenggara

Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2007 tanggal 10 Juli 2007 tentang

Pemekaran Kota Tual, maka Kabupaten Maluku Tenggara dimekarkan menjadi

Kota Tual dengan pemerintahan tersendiri. Sebagai konsekwensi dari pemekaran

Kota Tual tersebut, maka pada tangal 14 Juli 2009 ditetapkan Rancangan

Peraturan Daerah (RANPERDA) tentang penetapan Kota Langgur sebagai

ibukota Kabupaten Maluku Tenggara yang ditindaklanjuti dengan PERDA

penetapan ibukota Kabupaten Maluku Tenggara, maka telah ditetapkan dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011 tentang

pemindahan ibukota Maluku Tenggara dari wilayah Kota Tual ke wilayah

Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara yang selanjutnya disebut Kota

Langgur. yang mencakup wilayah dari delapan Ohoi ( Desa / Dusun ) dan satu

Kelurahan Yakni : Ohoingur, Ohoi Wearlilir, Ohoi Faan, Ohoi Ohoiluk, Ohoi

Ngayub, Ohoi Loon, Ohoi Gelanit, Ohoi Kolser dan Kelurahan Ohoijang

Watdek. Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara teridiri dari enam Kecamatan

yakni : Kecamatan Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Timur, Kecamatan Kei Kecil

Barat, Kecamatan Kei Besar, Kecamatan Kei Besar Selatan, dan Kecamatan Kei

Besar Utara Timur. Kecamatan Kei Kecil Barat terdiri dari delapan Ohoi yaitu

Ohoi Warbal, Ohoi Madwaer, Ohoi Somlain, Ohoi Ohoiren, Ohoi Ohoira, Ohoi

Ur Pulau, Ohoi Tanimbar Kei, dan Ohoi Ohoidertutu. Ibu kota kecamatan Kei

Kecil Barat terletak di Ohoi Ohoira.

Page 40: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

40

Kabupaten Maluku Tenggara terdiri atas 66 buah pulau kecil dengan ibu

kota Langgur. Penduduk asli kabupaten ini adalah suku Kei di samping orang-

orang asal daerah lain yang menetap di kabupaten ini, misalnya orang asal Jawa,

Bugis, Makasar, dan Buton yang menetap sebagai pedagang. Beberapa tahun lalu

Kabupaten Maluku Tenggara terdiri atas 119 buah pulau, namun kini hanya

terdapat 66 buah pulau setelah dimekarkan menjadi lima kabupaten/kota, yaitu

Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, Kepulauan Aru, Maluku

Barat Daya, dan Kota Tual. Menurut peta Geologi Indonesia (1965), Kepulauan

di Maluku Tenggara terbentuk / tersusun dari tanah dan batuan yang tercatat

sebanyak tiga jenis tanah dan lima jenis batuan. Berdasarkan klasifikasi

agroklimate menurut Oldeman, Irsal, dan Muladi (1981), di Maluku Tenggara

terdapat zone agroklimat, zone C2 bulan basah 5 -- 6 bulan dan kering 4 -- 5 bulan

(Diperkomin Malra, 2010)

Jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara sekitar 192.953 jiwa. Secara

astronomi Kabupaten Maluku Tenggara terletak antara 5º sampai dengan 6,5º

Lintang Selatan dan 131º sampai dengan 133,5º Bujur Timur. Secara goeografis,

Kabupaten Maluku Tenggara terletak di Laut Arafura di bagian selatan, Laut

Banda dan Kepulauan Tanimbar di bagian barat, Papua bagian selatan dan

wilayah Kota Tual di bagian utara, Laut Banda dan bagian utara Kepulauan

Tanimbar di bagian barat daya, dan kepulauan Aru di bagian timur. Luas wilayah

Kabupaten Maluku Tenggara ± 7.856,70 km², dengan luas daratan ± 4.676,00 km²

dan luas perairannya ± 3.180,70 km². Kepulauan Kei terdiri atas sejumlah pulau,

di antaranya adalah Kei Besar atau Nuhu Yuut atau Nusteen, Kei Kecil atau Nuhu

Page 41: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

41

Roa atau Nusyanat, Tanimbar Kei atau Tnebar Evav, Kei Dulah atau Du, Dulah

Laut atau Du Roa, Kuur, Taam, dan Tayandu atau Tahayad

4.2 Kepulauan Kei

Kepulauan Kei (atau Kai) di Indonesia berada di bagian tenggara Kepulauan

Maluku, termasuk dalam Provinsi Maluku. Kepulauan Kei merupakan bagian dari

daerah Wallacea, kumpulan pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam,

baik dari lempeng Benua Asia maupun Australia. Gugusan Kepulauan Kei yang

terdiri atas Kepulauan Kei Kecil dengan luas seluruhnya 722,62 km² dan Pulau

Kei Besar dengan luas 550,05 km². Jumlah pulau adalah sebanyak 66 buah.

Secara topografi Pulau Kei Kecil berketinggian ± 100 m di atas permukaan laut.

Beberapa bukit rendah di tengah dan utara mencapai 115 m. Pulau Kei Besar

berbukit dan bergunung yang membujur sepanjang pulau dengan ketinggian rata-

rata 500 -- 800 m dengan Gunung Dab sebagai puncak tertinggi. Di pihak lain

dataran rendah merupakan jalur sempit sepanjang pantai.

Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav") adalah

sebutan untuk Kepulauan Kei. Ada beberapa pendapat tentang asal usul nama

Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"). Pertama,

Aivav (dari kata Ai yang artinya pohon kayu dan kata Vav yang artinya babi

hutan), artinya bahwa gugusan pulau dengan pohon-pohon kayu yang besar dan

rindang serta terdapat banyak hewan babi hutan. Kedua, Havav (artinya sebelah

utara), artinya bahwa gugusan pulau yang terletak di bagian utara. "Kai" atau

“Kai” sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih

digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama.

Page 42: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

42

Menurut penduduk setempat, nama “Kei” atau “Kai” muncul setelah kedatangan

bangsa Portugis di Kepulauan Maluku, yaitu kira-kira pada abad 16. Disebutkan

bahwa nama Kai atau Kei berasal dari perkataan kayos (bahasa Portugis) yang

artinya keras atau kuat.

Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah

serta dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata

pencaharian masyarakat Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok

tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Sebagian besar

masyarakat Kei hidup dari bertani dan nelayan. Permukaaan tanah di Kepulauan

Kei agak kering dengan tingkat ketebalan humus sekitar 10 cm dan cepat

kehilangan kesuburan. Para petani sering berpindah-pindah lahan pertanian.

Ladang dibersihkan dan ditanami selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian lahan

itu ditinggalkan hingga memakan waktu kurang lebih sepuluh tahun untuk

mengembalikan kesuburannya dan bisa dipakai lagi. Hasil pertanian bervariasi

seperti singkong, enbal, jagung, ubi, pisang, kelapa, dan mangga. Akan tetapi,

Kepulauan Kei kaya dengan hasil laut. Kepulauan Kei tidak menghasilkan

rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, ikan,

lola, teripang, dan hasil laut lainnya yang bernilai ekonomis. Warga desa

menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala,

atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang, ceruk-

ceruk pantai pada saat air laut surut, dan menggunakan bagan. Sejak tahun 1980-

an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa

warga desa memperdagangkan sebagian hasil panen atau tangkapannya kepada

Page 43: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

43

para tengkulak atau di pasar-pasar Kota Langgur dan Kota Tual. Sumber

pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan cangkang kerang lola

(trochus niloticux) dan usaha dagang eceran.

Ada beberapa metode penangkapan ikan yang masih dipakai oleh

masyarakat Kei sampai saat ini, tetapi ada pula yang telah ditinggalkan dengan

alasan kurang praktis. Beberapa metode penangkapan ikan yang diterapkan oleh

masyarakat Kei adalah sebagai berikut.

1. Swarut : memancing dengan menggunakan tali senar dan kail.

2. Fahu : menangkap ikan dengan menggunakan kalawai (sejenis tombak),

biasanya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan lampu

petromaks.

3. Bore : menangkap ikan dengan menggunakan akar tuba.

4. Strom : menangkap ikan dengan menggunakan jaring (biasanya dilepas

selama 1--2 jam).

5. Kular : menangkap ikan dengan menggunakan daun kelapa yang di anyam

berbentuk “U”.

6. Ail : memancing dengan menggunakan tali dari akar kayu.

Selain potensi perikanan, ada beberapa objek wisata yang dapat dijadikan

tempat untuk berlibur dan menikmati keindahan pantai dan alam yang sangat

indah. Objek wisata di Kepulauan Kei adalah Pantai Ngurtavur di desa Warbal,

Pantai Ngurbloat di Desa Ngilngof, Pantai Daftel di Desa Ohoilim, Pantai Difur di

Desa Dullah, Goa Hawang di Desa Letvuan, Mata Air Evu dan Pemandian Alam

Page 44: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

44

di Desa Evu, Taman Ziarah Uskup M.G.R. Johanis Aerts, M.Sc. di Desa Langgur,

Desa Budaya Tanimbar Kei, dan Pulau Kapal di sebelah Desa Sathean.

4.3 Sejarah Lisan

Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis.

Sebaliknya, mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai

dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keautentikan hikayat itu.

Sebagian besar hikayat itu dibumbui dongeng-dongeng atau lambang-lambang.

Akan tetapi, dianggap sepenuhnya benar secara harfiah oleh pribumi kepulauan

ini pada umumnya. Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bali,

wilayah kerajaan Majapahit di kawasan barat Nusantara. Konon dua perahu utama

berlayar dari Pulau Bali, masing-masing dinakhodai oleh Hala‟ai Deu dan Hala‟ai

Jangra. Setibanya di Kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan

Hala‟ai Jangra menepi di Desa Ler-Ohoilim Pulau Kei Besar, sedangkan perahu

rombongan Hala‟ai Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan Pulau

Kei Kecil. Letvuan dijadikan pusat pemerintahan dan tempat dikembangkannya

hukum adat Larvul Ngabal (darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit

Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei Kecil mencakup beberapa benda

warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Balsorbay (Bali-Surabaya),

yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu berlabuh. Hala‟ai Jangra dan Hala‟ai

Deu adalah gelar bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui.

Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala‟ai Deu adalah

Esdeu. Ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama

sebenarnya adalah Sadeu atau Sadewa atau Dewa. Selain Bali, orang Kei yakin

Page 45: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

45

bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa),

Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta

Dalo Temat (Jailolo dan Ternate).

Ada 22 ratschaap di seluruh kepulauan ini. Kepala wilayah adat (ratschaap)

di Kepulauan Kei adalah rat (raja). Ada 3 ratschaap yang berkedudukan dalam

wilayah administratif Kota Tual dan 19 ratschaap berkedudukan dalam wilayah

administratif Kabupaten Maluku Tenggara. Secara struktural, rat

membawahi orang kai atau Kepala desa. Orang Kai membawahi kapala soa

(kepala dusun) atau kapala saniri (marga). Selain itu, rat juga memiliki perangkat

kerja lain, seperti kapitan yang berfungsi menjaga keamanan desa (ohoi). Secara

genealogis, 10 ratschaap adalah dalam „Rumpun Lima‟ (Loor Lim), sementara

10 Ratschaap lainnya adalah dalam „Rumpun Sembilan‟ (Ur Siuw), dan

2 Ratschaap lebihnya masuk dalam „Rumpun Netral‟ (Lor Lebai) yang secara

tradisional berfungsi sebagai penengah konflik sosial (jika terjadi) dari dua

rumpun besar utama tadi (Selengkapnya, lihat: Rahail, J.P. 1994).

4.4 Sistem Kepercayaan Masyarakat Kei

Agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur animisme, magi,

dan totemisme (Ohoitimur, 1996). Animisme berasal dari bahasa Latin, anima

artinya “nyawa”. Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi,

animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang

memasuki benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air,

dan sebagainya. Istilah animism peratama kali dikemukakan oleh Edward Tylor,

melalui bukunya Primitive Culture (1871) (dalam Ohoitimur, 1996). Baginya

Page 46: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

46

bentuk agama yang paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi

Tylor mengenai evolusi agama, di samping arwah-arwah dan makhluk-makhluk

halus itu, muncul dewata; kemudian di antara para dewata itu salah satu di

antaranya muncul sebagai dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata

yang lain tidak diakui lagi.

Sistem kepercayaan masyarakat Kei mengakui bahwa semua benda di alam

semesta memiliki roh. Roh tersebut dianggap menetap dalam segala benda. Roh

dalam bahasa Kei disebut duan. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama

Kristen, duan kemudian mengalami sedikit perubahan dalam penyebutannya

menjadi duad, yang lebih bermakna Tuhan Allah – yang

mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud animisme dalam masyarakat

Kei sampai sekarang masih dapat diamati dalam bentuk pemberian persembahan

(buk mam) berupa daun sirih, buah pinang, tembakau, dan uang logam yang diisi

dalam piring dan diletakkan di bawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap

keramat. “Magi” dalam agama lokal adalah suatu cara berpikir atau cara hidup,

yang mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli

sihir sebagai perseorangan. Kata magi juga digunakan untuk mengartikan usaha-

usaha manusia menguasai benda-benda dan orang lain dengan cara gaib. Menurut

keyakinan orang, kemampuan bekerja secara gaib pertama-tama terletak dalam

suatu pertalian yang erat antara pelaku magi itu dan roh-roh halus (duan, setan

atau dewa-dewa). Orang Kei percaya bahwa baik manusia maupun makhluk lain

memiliki keahlian (dalam makna duan). Roh itu selalu berusaha mengambil

bagian dalam kehidupan manusia dan sebaliknya. Oleh karena itu, orang Kei

Page 47: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

47

percaya bahwa ia mampu memiliki keahlian untuk memengaruhi roh manusia /

makhluk lain. Pengaruh manusia terhadap roh lain terjadi pada dunia gaib, tidak

kelihatan, tetapi menggunakan benda-benda duniawi. Misalnya seseorang

menggunakan sebuah batu (atau suatu benda tertentu), yang memengaruhi orang

lain sampai sakit, bahkan sampai meninggal dunia.

Selanjutnya, dalam sistem kepercayaan orang Kei terdapat juga model

”totemisme”. Totemisme adalah sejenis roh pelindung manusia yang berwujud

binatang. Dalam realitas hidup masyarakat Kei, sebagai contoh masyarakat

Ohoifau meyakini ikan puring sebagai totemnya, orang Ohoidertutu menerima

penyu sebagai totemnya, bahkan fam atau marga tertentu juga memiliki totem

sendiri, dan sebagainya. Orang Kei percaya bahwa ada hubungan khusus antara

objek-objek tertentu, seperti ikan, burung, tumbuhan, dan sebagainya dengan

dunia Ilahi. Berdasarkan keyakinan seperti ini, orang Kei menyebut ikan suci,

rumput suci, burung suci, dan sebagainya. Obyek suci itu harus dihormati.

Dengan demikian, jelas bahwa masuknya agama-agama dunia di Kepulauan Kei

tidak serta merta menghilangkan kepercayaan atau agama suku masyarakat Kei.

Namun, praktek hubungan antara dunia nyata dan dunia Ilahi dalam kehidupan

orang Kei masih terpelihara dengan baik sampai sekarang.

4.5 Hukum Adat Masyarakat Kei ”LARVUL NGABAL”

Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan

lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakan masyarakat Kei yang secara struktural

tetap mempertahankan hukum adat tertingginya, yaitu hukum ”Larvul Ngabal”.

Hukum ”Larvul Ngabal” adalah hukum adat yang merupakan hukum yang

Page 48: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

48

dijunjung tinggi dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat Kei. “Larvul

Ngabal” berasal dari kata Larvul “ Lar ” artinya darah dan “ Vul “ artinya merah.

Ngabal : “ Nganga “ artinya tombak dan “ Bal “ artinya dari Bali. Jadi "Larvul

Ngabal" berarti darah merah tombak dari Pulau Bali. Menurut hikayat setempat,

leluhur orang Kei berasal dari Bali, yaitu wilayah kerajaan Majapahit di kawasan

barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari Pulau Bali, masing-

masing dinakhodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di Kepulauan

Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-

Ohoilim, Pulau Kei Besar, sedangkan perahu rombongan Deu berlabuh untuk

pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.

Hukum adat Evav yang disebut Larvul Ngabal itu terdiri atas tujuh pasal,

yaitu (1) Ud entauk atvunad (kepala kita bertumpu pada leher kita) maknanya

bahwa atasan (yang tertinggi, pemimpin, orang tua) melindungi bawahan

(manusia, rakyat, anak) menjunjung atasan, (2) Lelad ain fo mahiling (leher kita

diluhurkan) bermakna, hidup manusia diluhurkan, (3) Ul nit envil atumud (kulit

membungkus tubuh kita) maknanya adalah harkat martabat manusia dihormati,

(4) Lar nakmot ivud (darah berdiam di perut kita) bermakna, keselamatan manusia

dilindungi, (5) Rek fo mahiling (ambang batas kamar diluhurkan) makna, yaitu

batas-batas kesusilaan (kehormatan wanita) diluhurkan, (6) Moryain fo kelmutun

(tempat tidur keluarga dimurnikan) maknanya bahwa perkawinan (kehormatan

rumah tangga) dimurnikan, dan (7) Hira ni tub fo ni, it did tub fo it did (miliknya

tetap menjadi miliknya, milik kita tetap menjadi milik kita) maknanya, yaitu hak

milik seseorang (kaum) diakui dan dihormati.

Page 49: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

49

Pasal 1, 2, 3, dan 4 disebut juga hukum adat Navnev (hukum kehidupan),

pasal 5 dan 6 disebut juga hukum adat Hanilit (hukum kesusilaan), dan pasal 7

disebut hukum adat Hawear Balwirin (hukum keadilan sosial). Ketiga tema

hukum itu (Navnev, Hanilit dan Hawear Balwirin) masing-masing dilengkapi

dengan tujuh pasal larangan hukum adat, yang disebut Sa Sor Fit (tujuh lapis

kesalahan/pelanggaran).

Cerita Larvul Ngabal memiliki karakteristik sebagai bentuk cerita human

endogeonik, cerita kosmogonik, dan cerita transformasi. Cerita itu merupakan

produk budaya yang menyampaikan sejumlah pesan budaya berkaitan dengan

filosofi, sistem kepercayaan, dan norma–norma hukum komunitas Kei. Secara

substantif, cerita Larvul Ngabal merupakan suatu genre sastra lisan, yakni cerita

rakyat yang dianggap sakral oleh orang Kei dan diyakini benar-benar terjadi pada

waktu lampau. Cerita tersebut memiliki bentuk, makna, fungsi, dan pemertahanan

yang dituturkan secara unik dan spesifik. Makna cerita Larvul Ngabal

mencerminkan pandangan hidup orang Kei yang mengandung konsepsi mendalam

dan gagasan mengenai wujud kehidupan mengenai hubungan manusia dengan

alam, baik secara vertikal antara manusia dan Tuhan, hubungan horizontal antar

manusia, dan hubungan sirkular harmonis antara manusia dan alam sebagai suatu

totalitas dari sikap hidup orang Kei yang tercermin dalam makna filosofis, makna

religius, makna kosmologis, dan makna mistis.

Fungsi cerita Larvul Ngabal mengarah pada fungsi sosiologis, fungsi

pedagogis, dan fungsi yuridis. Fungsi sosiologis diimplementasikan sebagai

sarana pengungkap asal usul, pengungkap struktur sosial masyarakat Kei, dan

Page 50: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

50

sarana untuk memperkenalkan sistem pemerintahan baru. Fungsi pedagogis

mengukuhkan cerita Larvul Ngabal sebagai model pendidikan etis moral, ajaran

tentang pembaruan, mengajarkan bahasa simbolik. Di pihak lain fungsi yuridis,

cerita Larvul Ngabal merupakan hukum yang mengatur ketentuan, baik tentang

masalah pidana maupun perdata. Pemertahanan hukum Larvul Ngabal sampai

sekarang masih dijaga dan dipertahankan melalui jalur keluarga, jalur

masyarakat, dan jalur pemerintah lokal. Selanjutnya, peran pemertahanan yang

terakumulasi dalam kehidupan orang Kei, yaitu (a) pemertahanan jati diri orang

Kei yang dilakukan melalui bahasa yang sama dan hukum adat yang sama,

struktur pemerintahan yang akomodatif, ikatan persaudaraan, dan politik

masyarakat Kei, (b) menghadapi tantangan perubahan zaman akibat pengaruh

agama, pendidikan, pengaruh ekonomi, perubahan di bidang sosial budaya, dan

pengaruh politik. Dengan demikian, cerita Larvul Ngabal sebagai representasi

budaya masyarakat Kei karena merupakan intisari pengalaman orang Kei yang

transsendental, reflektif, dan relevan dengan kebudayaan manusia pada umumnya.

Cerita Larvul Ngabal mampu merangkum, memproyeksikan, dan mengukuhkan

pandangan hidup dan norma-norma tradisi orang Kei.

Page 51: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

51

BAB V

SATUAN-SATUAN LINGUAL EKOLEKSIKAL KELAUTAN

BAHASA KEI

5.1 Klasifikasi Bunyi Leksikon Kelautan Bahasa Kei

Leksikon kelautan bahasa Kei mempunyai sejumlah bunyi yang dapat

dikelompokan menjadi tiga, yaitu (1) vokoid, (2) kontoid, dan (3) diftong. Uraian

yang lebih rinci dapat dilihat pada sub bab berikut ini.

5.1.1 Vokoid

Ada sembilan buah vokoid leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu [i], [I], [u],

[U], [e], [ɛ], [o], [ɔ], dan [a]. Bunyi-bunyi leksikon kelautan bahasa Kei dapat

dilihat pada contoh distribusi berikut ini. Ada enam buah bunyi berdistribusi

lengkap, yaitu [i], [u], [e], [o], [ɔ], [a] dan tiga buah bunyi berdistribusi tak

lengkap, yaitu [I], [U], [ɛ].

Tabel 5.1 Vokoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei

Cara Artikulasi Depan Tengah Belakang

Tinggi Atas i u

Tinggi Bawah

I

U

Tengah Atas e

ɛ

o

ɔ

Rendah a

Page 52: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

52

(1) Vokoid [i]

Vokoid [i] ditemukan di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Oleh karena itu,

vokoid [i] berdistribusi lengkap. Keberadaan vokoid ini dibuktikan dengan data

berikut.

Awal : [iwar] „ikan mata bulan‟

Tengah : [ŋilŋilan] „lola‟

Akhir : [riʔiʔ] „alang-alang‟

(2) Vokoid [I]

Vokoid [I] hanya dapat menempati satu posisi, yaitu di tengah kata dasar. Hal ini

berarti bahwa vokoid [I] berdistribusi tak lengkap. Keberadaan vokoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Tengah : [kasIl] „cicak‟

[sIt] „kucing‟

(3) Vokoid [u]

Vokoid [u] berdistribusi lengkap karena vokoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan vokoid ini dibuktikan

dengan data berikut.

Awal : [ubUn] „lamu-lamu‟ Tengah : [vur] „padang lamun‟

Akhir : [yahau] „anjing‟

(4) Vokoid [U]

Vokoid [U] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya ditemukan di

tengah kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan data berikut.

Tengah : [kaʔbUr] „lalat‟

[sIlbUkʔ] „cicak tanah

Page 53: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

53

(5) Vokoid [e]

Vokoid [e] berdistribusi lengkap karena vokoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan

data berikut.

Awal : [ekʔ] „ikat‟

Tengah : [yew] „ikan hiu‟

Akhir : [falbe] „bagaimana‟

(6) Vokoid [ɛ]

Vokoid [ɛ] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya ditemukan di tengah

kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan data berikut.

Tengah : [yɛr watʔ] „karang‟

[wɛw] „ketapang‟

(7) Vokoid [a]

Vokoid [a] berdistribusi lengkap karena vokoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan vokoid ini dibuktikan

dengan data berikut.

Awal : [arat] „ikan lumba-lumba‟

Tengah : [haʔrun] „udang batu‟ Akhir : [harara] „ubur-ubur‟

(8) Vokoid [o]

Vokoid [o] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya menempati dua

posisi, yaitu di tengah dan di akhir kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan data

berikut.

Awal : [ohoy] ‟kampung‟

Tengah : [tom] „kunyit‟

Akhir : [hɔho] „kalawai‟

Page 54: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

54

(9) Vokoid [ɔ]

Vokoid [ɔ] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya ditemukan di tengah

dan di akhir kata dasar. Keberadaan vokoid ini dibuktikan dengan data berikut.

Tengah : [hɔho] „kalawai‟

Tabel 5.1.1 Distribusi Vokoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei

VOKOID POSISI AWAL POSISI

TENGAH

POSISI AKHIR

[i] + + +

[I] - + -

[u] + + +

[U] - + -

[e] + + +

[ɛ] - + -

[a] + + +

[o] + + +

[ɔ] - + +

5.1.2 Kontoid

Ada tujuh belas buah kontoid leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu [p], [b],

[t], [d], [k], [f], [s], [m], [n], [l], [r], [v], [ŋ], [?], [h], [w], dan [y]. Dua belas buah

bunyi di antaranya berdistribusi lengkap, sedangkan lima buah bunyi lainnya

berdistribusi tak lengkap.

Tabel 5.1.2 Kontoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei

Cara Artikulasi Tempat Artikulasi

Bilabial Labio-

dental

Dental-

alveolar

Palatal-

Alveolar

Velar Glotal

Hambat /

Plosive

TBs p t k ʔ

Bs b d

Frikatif /

Fricative

TBs f s h

Bs v

Nasal Bs m n ŋ

Lateral Bs l

Getar/trill Bs r

Semivokoid Bs w y

Page 55: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

55

(1) Kontoid [p]

Kontoid [p] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di

tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.

Tengah : [watʔ apuŋ] „batu apung‟

(2) Kontoid [b]

Kontoid [b] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [bib] „kepiting kecil‟

Tengah : [sIlbUkʔ] „cicak tanah‟ Akhir : [tabo

wb] „penyu belimbing‟

(3) Kontoid [t]

Kontoid [t] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [taʔnir] „ikan tuna‟

Tengah : [sadutil] „sejenis bia laut‟ Akhir : [arat] „ikan lumba-lumba‟

(4) Kontoid [d]

Kontoid [d] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [dan sawɛl] „bia jala‟

Tengah : [widan] „udang batu‟

Akhir : [vɛd] „menjual‟

(5) Kontoid [k]

Kontoid [k] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Page 56: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

56

Awal : [kUstəl] „pepaya‟

Tengah : [faʔkikIk] „semut‟

Akhir : [suk] „cumi-cumi‟

(6) Kontoid [f]

Kontoid [f] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di awal

dan di tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [faʔn] „cacing‟ Tengah : [lafetar] „bunga lafetar‟

(7) Kontoid [s]

Kontoid [s] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [sIlbUkʔ] „cicak tanah‟ Tengah : [sirsir] ‟sejenis karang‟

Akhir : [kUs] „kus-kus‟

(8) Kontoid [m]

Kontoid [m] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [mu:uʔ] „pisang‟

Tengah : [kamaʔtIl] „tomat‟ Akhir : [tom] „kunyit‟

(9) Kontoid [n]

Kontoid [n] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [nadan] „ikan sembilan‟

Tengah : [inahaʔ] „ikan bulana‟

Akhir : [rwin] „ikan duyung‟

Page 57: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

57

(10) Kontoid [l]

Kontoid [l] berdistribusi lengkap karena kontoid ini ditemukan di awal, di tengah,

dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [lor] „ikan paus‟ Tengah : [ŋilŋilan] „lola‟

Akhir : [kasIl] „cicak‟

(11) Kontoid [r]

Kontoid [r] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [rubay] „ular‟

Tengah : [taʔrut] „burung Akhir : [vur] „padang lamun‟

(12) Kontoid [v]

Kontoid [v] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [ven] „penyu‟

Tengah : [iva:n] „rumput laut‟ Akhir : [vuv] „bubu‟

(13) Kontoid [ŋ]

Kontoid [ŋ] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [ŋarun] „bia mata tujuh‟ Tengah : [taŋaŋnan] ‟bintang laut‟

Akhir : [ŋɛŋ] „akar bahar‟

Page 58: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

58

(14) Kontoid [ʔ] Kontoid [?] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Tengah : [taʔrut] „burung pombo‟

Akhir : [kahuʔ] „ikan morea‟

(15) Kontoid [h]

Kontoid [h] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di awal

dan di tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [harara] „ubur-ubur‟

Tengah : [yahau] „anjing‟

(16) Kontoid [w]

Kontoid [w] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi,

yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini

dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [widan] „udang batu‟

Tengah : [rwin] „ikan duyung‟

Akhir : [wɛw] „ketapang‟

(17) Kontoid [y]

Kontoid [y] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di

tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.

Awal : [yew] „ikan hiu‟

[yahau] „anjing‟

Tabel 5.1.3 Distribusi Kontoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei

KONTOID POSISI AWAL POSISI TENGAH POSISI AKHIR

[p] - + -

[b] + + +

[t] + + +

[d] + + +

[k] + + +

[f] + + -

[s] + + +

Page 59: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

59

[m] + + +

[n] + + +

[l] + + +

[r] + + +

[v] + + +

[ŋ] + + +

[ʔ] - + +

[h] + + -

[w] + + +

[y] + - -

5.1.3 Diftong

Diftong termasuk dalam pengklasifikasian bunyi rangkap. Marsono

(2008:19) mengatakan bahwa bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua

bunyi dan terdapat dalam satu suku kata (silabel). Diftong itu sendiri merupakan

bunyi rangkap vokal. Dengan kata lain, diftong adalah pelafalan dua vokal secara

serentak yang pada waktu dibunyikan satu sama lain berbeda, tetapi masih dalam

kesatuan waktu sehingga terjadi proses luncuran. Dua vokal yang digabungkan itu

mempunyai puncak kenyaringan yang berbeda. Dalam sistem penulisan diftong

biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat

dipisahkan. Pada umumnya diftong dibedakan atas dua, yaitu (1) diftong naik,

yaitu jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi daripada

pertama. Karena lidah semakin naik, strukturnya semakin menutup sehingga

diftong menutup atau pembunyian pada vokal yang kedua lebih tinggi daripada

pembunyian vokal yang pertama dan (2) diftong turun, yaitu jika posisi lidah yang

kedua diucapkan lebih rendah daripada yang pertama.

Dalam leksikon kelautan bahasa Kei ditemukan tiga buah diftong, yaitu [ai],

[ou], dan [au]. Ketiga diftong ini merupakan diftong naik karena vokal yang

Page 60: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

60

kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi daripada yang pertama. Posisi

lidah semakin naik sehingga strukturnya semakin tertutup. Sehubungan dengan

itu, disebut juga sebagai diftong tertutup. Diftong [ai], [ou], dan [au] hanya

ditemukan satu kategori, yaitu kategori dalam bentuk nomina (kata benda).

Distribusi bunyi diftong adalah adanya kemungkinan kedudukan bunyi diftong

pada suatu kata dalam posisi tertentu. Posisi itu bisa di awal kata, di tengah kata,

dan di akhir kata. Dalam bahasa Kei, diftong /ai/ berdistribusi lengkap karena

vokal ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata

dasar, diftong /au/ berdistribusi tidak lengkap karena vokal ini hanya menempati

posisi di akhir kata dasar, dan diftong /ou/ berdistribusi tidak lengkap karena

vokal ini hanya menempati posisi di tengah kata dasar. Hal ini dibuktikan dengan

data di bawah ini.

(1) Diftong [ai]

Diftong [ai] merupakan diftong naik atau diftong menutup dengan puncak

kenyaringan pada [a].

Contoh:

[ayl] „tali dari akar kayu untuk menangkap ikan‟

[rubay] ‟ular‟

[mahayn] „bia garu‟

(2) Diftong [au]

Diftong [au] merupakan diftong naik atau diftong menutup dengan puncak

kenyaringan pada [a].

Contoh:

[yew] „ikan hiu‟

[faw] „mangga‟

[yahaw] „anjing‟

Page 61: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

61

(3) Diftong [ou]

Diftong [ou] merupakan diftong naik atau diftong menutup dengan puncak

kenyaringan pada [o].

Contoh:

[tabowb] „penyu belimbing‟

[amowr] „tongke‟

[towb] „alat tangkap tradisional‟

Tabel 5.1.4 Distribusi Diftong Leksikon Kelautan Bahasa Kei

DIFTONG POSISI AWAL POSISI TENGAH POSISI AKHIR

[ai] + + +

[au] - - +

[ou] - + -

5.2 Pola Persukuan Leksikon Kelautan Bahasa Kei

Pada umumya setiap kata yang diucapkan oleh manusia dibangun oleh

bunyi-bunyi bahasa, baik berupa bunyi vokal, konsonan, maupun berupa bunyi

semi konsonan. Kata yang dibangun tadi dapat terdiri atas satu segmen atau lebih.

Di dalam kajian fonologi segmen tersebut disebut suku. Suku kata merupakan

bagian atau unsur pembentuk suku kata. Setiap suku paling tidak harus terdiri atas

sebuah vokal atau merupakan gabungan antara vokal dan konsonan. Bunyi vokal

di dalam sebuah suku kata merupakan puncak penyaringan atau sonority,

sedangkan bunyi konsonan bertindak sebagai lembah suku. Sebuah suku hanya

memiliki sebuah puncak suku dan puncak ini ditandai dengan bunyi vokal.

Lembah suku yang ditandai dengan bunyi konsonan bisa berjumlah lebih dari

satu. Bunyi konsonan yang berada di depan bunyi vokal disebut tumpu suku,

sedangkan bunyi konsonan yang berada di belakang bunyi vokal disebut koda

suku. Jumlah suku di dalam sebuah kata dapat dihitung dengan melihat jumlah

bunyi vokal yang ada dalam kata itu.

Page 62: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

62

Selanjutnya, jika ada kata yang mempunyai dua buah bunyi vokal, maka

dapat ditentukan bahwa kata itu terdiri atas dua suku kata saja. Misalnya, kata

yabar „kelelawar‟, [ya?bar] adalah kata yang terdiri atas dua suku, yaitu [yA] dan

[bAr]. Tiap-tiap suku mengandung sebuah bunyi vokal, yaitu bunyi [ A ]. Dari

uraian kata atas suku-sukunya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,

jika sebuah konsonan diapit dua vokal, maka konsonan tersebut ikut vokal di

belakangnya. Misalnya: uwe menjadi U – we. Kedua, jika dua konsonan diapit

dua vokal, maka kedua vokal tersebut harus diceraikan. Misalnya: silbuk,

menjadi sil – buk, dan manwer, menjadi man – wer. Dari uraian di atas, maka ada

lima pola suku kata leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu suku kata berpola V, VK,

KV, KVK, dan KKV.

(1) Suku kata berpola V, suku kata ini dibangun oleh sebuah bunyi vokal saja

sebagai puncak.

Contoh :

ahot a.hot [a.hɔt]

amor a.mor [a.mɔr]

arat a.rat [a.rat]

aat a.at [a.at]

ail a.il [a.il]

uva u.va [u.vaʔ]

uwe u.we [u.wə]

ubun u.bun [u.bUn]

ivan i.van [i.van]

iwar i.war [i.war]

(2) Suku kata berpola VK, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi vokal sebagai

puncak dan sebuah bunyi konsonan sebagai koda.

Contoh :

inaha in.aha [in.ahaʔ] alihin al.ihin [al.ihIn]

Page 63: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

63

(3) Suku kata berpola KV, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi konsonan sebagai

tumpu suku dan sebuah bunyi vokal sebagai puncak.

Contoh :

kiker ki.ker [ki.kər]

tabob ta.bob [taʔ.boub]

kahu ka.hu [ka.hU]

bisuk bi.suk [bi.sUk]

niru ni.ru [ni.rUʔ] nadan na.dan [na.dan]

mahain ma.hain [ma.hayn]

siru si.ru [si.ʔrU]

harun ha.run [ha.rUn]

kari ka.ri [ka.ri]

tanir ta.nir [ta.nir]

karit ka.rit [ka.rIt]

sadutil sa.du.til [sa.dU.til]

lain la.in [la.yn]

widan wi.dan [wI.dan]

harara ha.ra.ra [ha.ra.ra]

kasil ka.sil [ka.sIl]

ya.ha ya.ha [ya.haʔ] rubai ru.bai [ru.bai]

karu ka.ru [ka.ʔru]

kabur ka.bur [kaʔ.bUr]

yabar ya.bar [yaʔ.ba:r]

wakat wa.kat [wa.kaʔt]

lalahar la.la.har [la.la.har]

karin ka.rin [ka.rIn]

waren wa.ren [wa.rən]

tananan ta.na.nan [ta.na.nan]

lafetar la.fe.tar [la.fe.tar]

kamatil ka.ma.til [ka.maʔ.tIl]

silar si.lar [sI.lar]

ramunil ra.mu.nil [ra.mU.nIl]

tarut ta.rut [taʔ.rut]

bunan bu.nan [buʔ.nan]

kular ku.lar [ku.lar]

Page 64: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

64

(4) Suku kata yang berpola KVK, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi konsonan

sebagai tumpu suku, sebuah bunyi vokal sebagai puncak, dan sebuah bunyi

konsonan sebagai koda suku.

Contoh :

kotbubun kot.bu.bun [kɔt.bu.bUn]

kalbuban kal.bu.ban [kalʔ.bU.ban]

kamdii kam.dii [kam.diʔiʔ]

dansawel dan.sa.wel [dan.sa.wɛl]

sikngol sik.ngol [sik.ŋɔl]

karluk kar.luk [kar.luʔ]

yerwat yer.wat [yɛr.watʔ] silbuk sil.buk [sil.bUk]

mantirun man.ti.run [man.ti.rUn]

kustel kus.tel [kUs.təl]

manwer man.wer [man.wər]

mankaba man.ka.ba [man.ka.baʔ] kilwar kil.war [kIl.war]

mansiwak man.si.wak [man.si.wakʔ]

(5) Suku kata yang berpola KKV, suku ini dibangun oleh dua buah bunyi

konsonan sebagai tumpu suku dan sebuah bunyi vokal sebagai puncak suku.

Contoh:

blalang bla.lang [blaʔ.laŋ]

brisan bri.san [bri.san]

5.3 Morfologi Bahasa Kei

Morfologi ialah bagian ilmu bahasa yang membicarakan atau yang

mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk

kata terhadap golongan kata dan arti kata. Dengan kata lain dapat dikatakan

bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-

Page 65: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

65

perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik

(Ramlan, 1985:19).

Menurut Halle (1973:3), penutur asli suatu bahasa mempunyai kemampuan

yang dinamakan intuisi untuk tidak hanya mengenal kata-kata dalam bahasanya,

tetapi juga mengetahui bagaimana kata dalam bahasa itu dibentuk. Morfologi

terdiri atas tiga komponen yang saling terpisah. Ketiga komponen itu adalah

(1) list of morphemes (daftar morfem/DM), (2) word formation rules (kaidah

/aturan pembentukan kata/APK atau KPK), dan (3) filter (saringan, penapis, tapis)

(Halle, 1973:3--8). Bentuk dasar dalam teori Morfologi Generatif termasuk dalam

DM (daftar morfem) yang membedakan morfem dasar dan morfem terikat

(Dardjowidjojo, 1998 :65). Morfem bebas adalah kata yang mampu berdiri sendiri

dalam tataran lebih tinggi dan telah memiliki kategori tertentu, seperti kategori

nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia. Sebaliknya, morfem terikat

adalah bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum

memiliki makna tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini

tidak dapat muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain,

dalam hal ini semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat.

Pembentukan kata baru menurut Bauer (1983: 201) dapat dibagi menjadi

sepuluh, yaitu (1) compounding, (2) prefixation, (3) suffixation, (4) conversion,

(5) back formation, (6) clipping, (7) blends, (8) acronyms, (9) word manufacture,

dan (10) mixed formation. Sesuai dengan pembagian pembentukan kata di atas,

maka pembentukan kata dalam bahasa Kei berupa pengimbuhan, pengulangan,

dan pemajemukan. Menurut Ramlan (1985:45), bentuk dasar adalah satuan, baik

Page 66: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

66

tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih

besar. Pendapat lain menyatakan bahwa bentuk dasar atau dasar (base) biasanya

digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar suatu proses

morfologis, artinya bisa diberikan afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa

diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain

dalam suatu proses pemajemukan. Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal,

tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (Chaer, 2003:159).

5.3.1 Pengimbuhan

Pengimbuhan yang ditemukan dalam bahasa Kei meliputi prefiks (awalan)

yang berpola prefiks pronominal pemarkah subjek, yaitu {u-}, {mu-},{na-},{ma-},

{mi-} dan {ra-} yang mengawali bentuk dasar verba. Dengan kata lain verba

dalam bahasa Kei selalu berubah bentuk sesuai dengan pronominal persona

pengisi fungsi subjek yang mendahuluinya. Hal itu dapat diperhatikan pada

contoh di bawah ini.

(1) u +bah u-bah „saya pergi‟

u + wurik u-wurik „saya mencuci‟

Pemarkah u- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang pertama tunggal

(Yaa „saya‟ ) dalam bahasa Kei.

(2) mu +bah mu-bah „kamu pergi‟

mu + wurik mu-wurik „kamu mencuci‟

Pemarkah mu- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang kedua tunggal

(O „kamu‟) dalam bahasa Kei.

(3) na +bah na-bah „dia pergi‟

na + wurik na-wurik „dia mencuci‟

Pemarkah na- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang ketiga tunggal

(I „dia‟) dalam bahasa Kei.

Page 67: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

67

(4) ma +bah ma-bah „kami pergi‟

ma + wurik ma-wurik „kami mencuci‟

Pemarkah ma- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang pertama jamak

(Am „kami‟) dalam bahasa Kei.

(5) mi +bah mi-bah „kalian pergi‟

mi + wurik mi-wurik „kalian mencuci‟

Pemarkah mi- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang kedua jamak (Im

„kalian‟) dalam bahasa Kei.

(6) ra +bah ra-bah „mereka pergi‟

ra + wurik ra-wurik „mereka mencuci‟

Pemarkah ra- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang ketiga jamak (Hir

„mereka‟) dalam bahasa Kei.

Pada prinsipnya, jika diperhatikan contoh di atas, tampak dengan jelas

adanya konsistensi pola prefiks pronominal pemarkah subjek {u-}, {mu-}, {na-},

{ma-}, {mi-}, dan {ra-} yang mengawali bentuk dasar verba /bah/ „pergi„ dan

/wurik/ „mencuci„. Pemunculan prefiks pronominal tersebut dapat dikatakan

berlaku mutlak (bukan opsional) atau dengan kata lain tidak dapat digantikan

dengan pronomina persona secara leksikal. Misalnya, bentuk-bentuk (leksikal)

pronomina persona /Yaa/ „saya„, /O/ „kamu„, /I/ „dia„, /Am/ „kami„, /Im/ „kalian„,

/Hir/ „mereka„ tidak dapat berdiri sendiri di depan verba sebagai konstituen

pronominal persona. Itulah sebabnya dalam bahasa Kei untuk menyatakan /kamu

pergi/ tidak dapat dinyatakan dengan /O bah/, tetapi harus mengambil bentuk /O

mu-bah/ „kamu pergi„. Begitu eratnya hubungan persesuaian tersebut sehingga

sebagian penutur beranggapan bahwa verba bahasa Kei tidak dapat dilafalkan

sebelum dilekati prefiks pronominal persona sebagai pemarkah subjek.

Page 68: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

68

5.3.2 Pengulangan

Pengulangan adalah proses pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya

atau sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak, serta hasil

pengulangannya disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan

bentuk dasarnya (Ramlan, 2001). Dalam bahasa Kei ditemukan kata ulang utuh

atau murni dan kata ulang sebagian dari bentuk dasar.

1) Kata Ulang Utuh atau Murni

Kata ulang utuh atau murni merupakan kata ulang yang bagian perulangannya

sama dengan bentuk dasar yang diulangnya. Dengan kata lain, kata ulang utuh

atau murni terjadi apabila sebuah bentuk dasar mengalami pengulangan

seutuhnya.

Contoh :

rahan-rahan „rumah-rumah‟

bok-bok „baik-baik‟

kot-kot „kecil-kecil‟

2) Kata Ulang Sebagian

Kata ulang sebagian adalah kata ulangi yang pengulangannya terjadi hanya

sebagian dari bentuk dasar atau leksem yang diulang. Sebagian dari bentuk dasar

tersebut bisa pengulangan hanya pada bagian depan ataupun bagian belakang.

Contoh :

fik-fikir „pikir-pikir‟

balo-lot „(yang) panjang-panjang‟

sim-simer „pagi-pagi‟

5.3.3 Pemajemukan

Pemajemukan termasuk dalam proses morfologis yang juga terdapat dalam

bahasa Kei. Verhaar (2004:154) mengemukakan bahwa pemajemukan adalah

Page 69: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

69

proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar (pradasar) menjadi satu

kata yang disebut “kata majemuk” atau “kompaun”.

Dalam bahasa Kei juga ditemukan proses pemajemukan yang terjadi karena

adanya penggabungan dua kata dasar yang berbeda. Pemajemukan dalam bahasa

Kei berasal dari jenis kata yang sama dan juga dari jenis kata yang berbeda.

Berdasarkan jenis kata pembentuknya, struktur kata majemuk bahasa Kei

terbentuk dari formasi KB-KB, KB-KS, KK-KK, KK-KS, dan KS-KS. Berikut

dipaparkan tiap-tiap formasi tersebut.

1) KB-KB

sab ihin sab + ihin „daging sapi‟

kusteil ron kusteil + ron „daun pepaya‟

vuut beb vuut + beb „tulang ikan‟

2) KB-KS

rahan laai rahan+ laai „rumah besar‟

nger balot nger + balot „parang panjang‟

sapat wihian sapat + wihian „sepatu using‟

3) KK-KK

maba masnang ma-ba + masnang „kami-pergi berenang‟

leik batar leik + batar „jatuh bangun‟

mufla do mu-fla + do „kamu-lari datang‟

4) KK-KS

mubah fana‟ai mu-bah + fana‟ai „kamu-jalan pelan-pelan‟

mutaha karatat mu-taha + karatat „kamu-pegang tinggi‟

5) KS-KS

ballot ngalawar ballot + ngalawar „panjang lebar‟

kub keit kub + keit „gemuk pendek‟

rumun kot rumun + kot „badan kecil‟

5.4 Klasifikasi Bentuk-Bentuk Leksikon Kelautan secara Morfologi

Kridalaksana (1996:126) membedakan istilah kata dan leksem. Di dalam

tulisannya, ia menggunakan leksem sebagai satuan dasar dalam leksikon dan

Page 70: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

70

dibedakan dari kata sebagai satuan gramatikal. Dengan perkataan lain, leksemlah

yang merupakan “bahan dasar” yang telah mengalami “pengolahan

gramatikal” menjadi kata dalam subsistem gramatika.

Lyons (1995:23) menyatakan “lexemes are the words that a dictionary

would list under a separate entry” yang berarti bahwa leksem merupakan kata

yang menjadi entri dalam kamus. Dalam kamus, leksem WALK „berjalan‟ akan

dengan mudah ditemukan sebagai entri (leksem), sedangkan bentuk walked,

walks, dan walking tidak akan ditemukan dalam entri yang terpisah karena kata-

kata tersebut merupakan bentuk lain dari leksem WALK. Huruf kapital digunakan

untuk menunjukkan leksem yang membedakannya dengan kata (Boiij, 2007:3).

Dengan demikian, menurut Matthews (1974:22), leksem dan kata dapat

dibedakan, yaitu leksem sebagai unit yang abstrak, sedangkan kata merupakan

unit konkret yang digunakan dalam kalimat dan sebagai satuan yang memiliki

makna dan terdiri atas satu morfem atau lebih. Dengan demikian, secara

morfologi diketahui bahwa satuan lingual leksikon kelautan bahasa Kei di Ohoi

Warbal berupa kata, yang terbagi menjadi kata monomorfemis, bentuk ulang, dan

kata majemuk. Berikut dijelaskan leksikon-leksikon tersebut.

5.4.1 Leksikon Kelautan yang Berwujud Kata Monomorfemis

Ada 81 leksikon yang berwujud kata monomorfemis atau kata dasar.

Adapun leksikon kelautan yang berwujud kata monomorfemis adalah sebagai

berikut.

Page 71: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

71

Tabel 5.4.1

Leksikon Kelautan Bahasa Kei Berwujud Monomorfemis

No

Leksikon

Gloss

Kategori

Lingkungan

Kategori Kata

Biotik Abiotik N V Adj

1 uva ikan kulit pasir + - + - -

2 iwar ikan mata bulan + - + - -

3 kiker ikan garopa + - + - -

4 mon ikan kakatua + - + - -

5 kahu ikan morea + - + - -

6 tabob penyu belimbing + - + - -

7 rwin ikan duyung + - + - -

8 ahot ikan layar + - + - -

9 ye‟e ikan hiu + - + - -

10 lor ikan paus + - + - -

11 arat lumba-lumba + - + - -

12 bisuk ikan balobo + - + - -

13 aat ikan lema + - + - -

14 niru ikan tembang + - + - -

15 nadan ikan sembilan + - + - -

16 kon kapas-kapas + - + - -

17 inaha ikan bulana + - + - -

18 ngam ikan kepala batu + - + - -

19 tanir ikan tuna + - + - -

20 harun udang batu + - + - -

21 siru ikan serui + - + - -

22 kari ikan samandar + - + - -

23 mahain bia garu + - + - -

24 kamdii bia jalar + - + - -

25 bib keraka kecil + - + - -

26 suk cumi-cumi + - + - -

27 sadutil sejenis bia laut + - + - -

28 karit gurita + - + - -

29 far ikan pari + - + - -

30 hangar karang cincin + - + - -

31 ven penyu + - + - -

32 widan udang batu + - + - -

33 lain ikan suanggi + - + - -

34 uwe buaya + - + - -

35 kasil cicak + - + - -

36 yaha anjing + - + - -

37 vav babi + - + - -

38 kus kus-kus + - + - -

39 rubai ular + - + - -

40 sit kucing + - + - -

Page 72: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

72

41 karu tikus + - + - -

42 fan cacing + - + - -

43 kabur lalat + - + - -

44 yabar kelelawar + - + - -

45 ngeng akar bahar + - + - -

46 ivan rumput laut + - + - -

47 vur padang lamun + - + - -

48 ubun lamu-lamu + - + - -

49 wakat bakau + - + - -

50 amor tongke + - + - -

51 talumur bunga jamur + - + - -

52 kawuka buah kawuka + - + - -

53 nur kelapa + - + - -

54 karin daun tikar + - + - -

55 waren sejenis rumput + - + - -

56 rii alang-alang + - + - -

57 lafetar bunga lafetar + - + - -

58 dab bunga lidi + - + - -

59 muu pisang + - + - -

60 kustel pepaya + - + - -

61 barisan cabai + - + - -

62 kamatil tomat + - + - -

63 silar jagung + - + - -

64 tom kunyit + - + - -

65 fa‟a mangga + - + - -

66 wew ketapang + - + - -

67 kat burung camar + - + - -

68 sum burung pombo + - + - -

69 tarut burung bangau + - + - -

70 ngur pasir - + + - -

71 bunan lumpur - + + - -

72 wat batu - + + - -

73 snar tasi - + + - -

74 alihin kail - + + - -

75 tob tombe - + + - -

76 vuv bubu - + + - -

77 ven sero - + + - -

78 Ail tali dari akar kayu

untuk menangkap ikan

- + + - -

79 lot kail dan senar yang

dipasang besi

- + + - -

80 sawilat jala - + + - -

81 kular daun kelapa yang

disusun berbentuk U

untuk menjebak ikan

- + + - -

Page 73: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

73

Semua leksikon di atas berwujud kata monomorfemis karena leksikon

tersebut hanya dibentuk oleh satu morfem. Sebagai contoh, leksikon tanir, ven,

ramunil, yer wat, dan kat tidak bisa diuraikan lagi menjadi bentuk morfologis

yang lebih kecil karena keenam leksikon tersebut memang hanya memuat satu

morfem. Dalam tuturan lisan guyub tutur bahasa Kei, keenam leksikon tersebut

dapat berdistribusi secara bebas dalam kalimat. Adapun contoh tuturannya sebagai

berikut.

(1) Mu-na tanir i do vo u-livan

pp2T-ambil ikan tuna itu datang untuk 1T-goreng

„Ambillah ikan tuna itu untuk saya goreng‟

(2) Hir ravur ven vel naa tahait

3J memotong penyu sana di pantai

„Mereka memotong penyu di pantai‟

(3) Yance ni rinan na-waik mahain hof ramunil

Yance punya mama pp3T-masak bia garu dengan serei

„Ibu Yance memasak bia garu dengan serei‟

(4) Yer wat naa tahait vel tang bi-tai haid

karang di pantai sana jangan pp2J-injak jangan

„Janganlah menginjak karang di laut‟

(5) Iden yaa yoot kat ain

Kemarin 1T dapat burung camar satu

„Saya mendapat seekor burung camar‟

Pada leksikon yang berwujud kata monomorfemis (kata dasar) di atas,

hanya ditemukan satu kategori, yaitu kategori dalam bentuk nomina (kata benda).

Adanya keseragaman kategori sebagai nomina dapat dipahami karena seluruh

leksikon tersebut mengacu pada nama-nama ikan, tumbuhan, dan burung di laut

dan di sekitarnya.

5.4.2 Leksikon Kelautan yang Berwujud Bentuk Ulang

Bentuk ulang sebenarnya bukan bentuk dari proses pengulangan, tetapi

menyerupai kata ulang karena bentuk dasarnya mirip dengan kata ulang karena

Page 74: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

74

bentuk ini tidak mempunyai bentuk dasar (Kridalaksana, 1996). Dengan perkataan

lain, kata yang menurut bentuknya tergolong kata ulang, tetapi sebenarnya bukan

kata ulang sebab tidak ada bentuk dasar yang diulang. Misalnya, kupu-kupu, kura-

kura, ubur-ubur, laba-laba, dan paru-paru. Dengan demikian, bentuk ulang

merupakan kata dasar, bukan hasil dari proses pengulangan.

Dalam leksikon kelautan bahasa Kei ditemukan lima leksikon kelautaan

yang berwujud bentuk ulang utuh pada kata dasar yang maknanya hanya dalam

tataran leksikon. Adapun leksikon kelautan yang berwujud bentuk ulang adalah

sebagai berikut.

Tabel 5.4.2

Leksikon Kelautan Bahasa Kei yang Berwujud Bentuk Ulang

No Leksikon Gloss

1 bin-bin ikan biji nangka

2 saf-saf sejenis bia yang berbentuk kapak

3 kan-kan nyamuk

4 fan-fan panahan ikan

5 tuk-tuk alat tangkap teripang

Dalam tuturan lisan guyub tutur bahasa Kei leksikon bin-bin, saf-saf, kan-

kan, fan-fan, dan tuk-tuk dapat berdistribusi secara bebas dalam kalimat. Adapun

contoh tuturannya adalah sebagai berikut.

(1) Mu-war fan-fan vel do vo ta-ba ta-van vuut

pp2T-bawa panahan ikan sana datang untuk pp1J-pergi pp1J-panah ikan

„Bawalah panahan itu kemari untuk kita pergi memanah ikan‟

(2) Kan-kan naa rahan i kasar li

Nyamuk di rumah ini banyak sekali

„Nyamuk di rumah ini banyak sekali‟

(3) I naot tub yaa nung tuk-tuk naa danbe?

3T buat taruh 1T punya alat tangkap teripang di mana?

„Di mana dia meletakkan alat tangkap teripang saya?‟

Page 75: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

75

5.4.3 Leksikon Kelautan yang Berwujud Kata Majemuk

. Kata majemuk berasal dari penggabungan unsur-unsur yang menjadi satu

dan membentuk makna baru, yang merupakan hasil dari proses pemajemukan

(Verhaar, 2004). Misalnya, lalu lintas, rumah sakit, dan meja hijau dalam bahasa

Indonesia; bluebird, greenhouse, dan blackboard dalam bahasa Inggris. Tata

bahasa struktural menyatakan bahwa pemajemukan disebut sebagai kata majemuk

apabila di antara unsur-unsur pembentuknya tidak dapat disisipkan apa-apa tanpa

merusak pemajemukan tersebut.

Ada delapan leksikon kelautan yang berwujud kata majemuk. Leksikon

tersebut berwujud kata majemuk karena merupakan gabungan dua kata atau lebih.

Leksikon eb sus, eb nawai, eb kurungur, dan sawel, yer wat, manwut tahait, bung

ler, dan daun nas merupakan gabungan beberapa kata yang kemudian membentuk

kata majemuk. Leksikon eb sus terbentuk dari kata eb dan kata sus; eb nawai

terbentuk dari kata eb dan kata nawai; eb kurungur terbentuk dari kata eb dan kata

kurungur; dan sawel terbentuk dari kata dan dan kata sawel; yer wat terbentuk

dari kata yer dan kata wat; manwut tahait terbentuk dari kata manwut dan kata

tahait; bung ler terbentuk dari kata bung dan kata ler ; dan daun nas terbentuk

dari kata daun dan kata nas. Adapun leksikon-leksikon tersebut adalah sebagai

berikut.

Tabel 5.4.3

Leksikon Kelautan Bahasa Kei yang Berwujud Kata Majemuk

No Leksikon Gloss Unsur Pembentuk

Unsur

Inti

Pewatas Kategori

1 eb sus teripang susu N sus Nomina

2 eb nawai teripang gosok N nawai Nomina

3 eb kurungur teripang pasir N kurungur Nomina

Page 76: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

76

4 dan sawel bia jala N sawel Nomina

5 manwut tahait bunga karang N tahait Nomina

6 yer wat karang batu N wat Nomina

7 bung ler bunga matahari N ler Nomina

8 daun nas daun nasi N nas Nomina

Pada tabel di atas, kata eb, dan, daun, yer, bung, dan manwut merupakan

unsur inti atau induk, sedangkan kata sus, nawai, nas, sawel, tahait, wat, ler, dan

kurungur merupakan pewatas. Dalam tuturan lisan guyub tutur bahasa Kei,

leksikon-leksikon tersebut dapat berdistribusi secara bebas dalam kalimat. Adapun

contoh tuturannya adalah sebagai berikut.

(1) Dan sawel bias ra-tub naa wat tinan

Bia jala biasa pp3J-tidur di batu bawah

„Bia garu biasanya terletak di bawah batu‟

(2) Am mana daun nas vel fo ma-waik kukat

1J ambil daun nasi sana untuk pp1J-masak nasi

„Kami mengambil daun nasi untuk memasak nasi‟

(3) Koko kikot ra-na eb sus naa hot raan vel

Anak-anak kecil pp3J-ambil teripang susu di teluk dalam sana

„Anak-anak mengambil teripang susu di dalam teluk‟

(4) Vuut kasar li naa manwut tahait

Ikan banyak sekali di bunga karang

„Banyak ikan di bunga karang‟

(5) Tang bi-fan vuut naa yer wat haid

Jangan pp2J-panah ikan di karang batu jangan

„Janganlah menangkap ikan di karang batu‟

Pada leksikon yang berwujud kata majemuk di atas, hanya ditemukan satu

kategori, yaitu kategori dalam bentuk nomina (kata benda). Adanya keseragaman

kategori sebagai nomina dapat dipahami karena seluruh leksikon tersebut

mengacu pada nama-nama ikan, tumbuhan, dan burung di laut dan di sekitarnya.

Page 77: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

77

BAB VI

PEMAHAMAN DAN KEBERTAHANAN LEKSIKON KELAUTAN

GUYUB TUTUR KEI

6.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Kelautan Masyarakat Ohoi Warbal

Tingkat pengetahuan tentang leksikon kelautan bahasa Kei masyarakat Ohoi

Warbal dipengaruhi oleh pengetahuan terhadap lingkungan (ekologi) tersebut.

Sehubungan dengan itu, masyarakat Ohoi Warbal sebagai pemilik dan pengguna

tentunya telah berinterelasi dan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga

memiliki pengetahuan, konsep, dan ideologi yang lahir dan terbangun dalam

komunitas lingkungannya pula, yaitu secara khusus pengetahuan leksikon-

leksikon kelautan. Hal ini senada dengan pendapat Sapir (dalam Fill, 2001) bahwa

“kekayaan bahasa dalam pelbagai tatarannya merupakan gambaran tentang

kekayaan budaya dan kekayaan lingkungan alam lewat leksikon-leksikon yang

dihasilkan. Pandangan Sapir ini menjadi alasan untuk mengadakan tes

kompetensi. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat

pengetahuan dan pemahaman masyarakat Ohoi Warbal tentang leksikon kelautan.

Kondisi lingkungan ragawi turut memengaruhi kekayaan alam dan tingkat

pengetahuan masyarakat Ohoi Warbal tentang objek atau benda yang ditemukan.

Pengenalan, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam adalah fakta interaksi,

interelasi, dan interdepedensi masyarakat Ohoi Warbal sebagai penutur bahasa

Kei dengan lingkungan kelautan itu dikodekan secara lingual dalam wujud

leksikon-leksikon kelautan.

Ada 131 jenis leksikon kelautan yang diujikan kepada informan. Semua

jenis leksikon tersebut terbagi atas tujuh kelompok yang sering digunakan dalam

Page 78: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

78

keperluannya sesuai dengan kekayaan guyub tutur (speech community). Tujuan

pengujian adalah untuk mendapat gambaran yang lebih deskriptif tentang tingkat

pengetahuan leksikon kelautan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan usia yang

ada di Ohoi Warbal. Ada empat pilihan jawaban yang diajukan kepada informan

untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang leksikon kelautan di Ohoi

Warbal, yaitu sebagai berikut.

(A) Tahu, kenal, dan referennya masih banyak ditemukan

(B) Tahu, kenal, dan referennya sedikit/langka

(C) Tahu, kenal, tetapi referennya sudah hilang/punah

(D) Sama sekali tidak kenal

Informan yang diuji dalam penelitian ini berjumlah sembilan puluh orang

yang bermukim di pesisir pantai Ohoi Warbal. Informan terdiri atas kelompok

pria dan wanita usia di atas 46 tahun (KPW usia di atas 46 tahun), kelompok pria

dan wanita usia 25--45 tahun (KPW usia 25--45 tahun), dan kelompok pria dan

wanita usia 15--24 tahun (KPW usia 15--24 tahun). Tiap kelompok jenis kelamin

dan usia berjumlah tiga puluh informan. Penentuan tingkat pemahaman leksikon

kelautan masyarakat Ohoi Warbal didasarkan pada pilihan jawaban “D” (sama

sekali tidak kenal) dan jawaban “A” (tahu, kenal, dan referennya masih

banyak ditemukan) yang diajukan kepada informan. Istilah kenal bermakna

informan dapat mendeskripsikan ciri-ciri leksikon, pernah melihat, mendengar,

dan menggunakan leksikon tersebut. Untuk lebih jelasnya, pada grafik di bawah

ini digambarkan tingkat pemahaman informan terhadap tujuh kelompok leksikon

kelautan di Ohoi Warbal.

Page 79: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

79

Pada grafik di atas, digambarkan kelompok leksikon yang sangat tinggi atau

sering digunakan oleh informan adalah kelompok leksikon tumbuhan di dasar

laut. Hal ini dibuktikan dengan semua atau 100 % informan tahu, kenal,

digunakan dalam keseharian, dan menyatakan referennya masih banyak

ditemukan, kemudian diikuti oleh kelompok leksikon ikan dan hewan lain di dasar

laut 93 %, kelompok leksikon hewan di sekitar laut 87 %, kelompok benda mati di

dalam dan tepi laut 83,3 %, alat penangkap ikan tradisional 83,3 %, dan

kelompok leksikon tumbuhan di sekitar laut 82,1 %. Di pihak lain, kelompok

leksikon yang rendah atau jarang digunakan oleh informan adalah kelompok

leksikon burung di sekitar laut, yaitu sebanyak 43 %.

Tingkat pemahaman kelompok leksikon tumbuhan di dasar laut oleh

informan sangat tinggi karena kelompok leksikon ini digunakan oleh masyarakat

Chart Title

1 Ikan dan Hewan Lain diDasar Laut

2 Hewan di Sekitar Laut

3 Tumbuhan di Dasar Laut

4 Tumbuhan di Tepi Laut

5 Burung di Sekitar Laut

6 Benda Mati di Dalam danTepi Laut

7 Alat Penangkap IkanTradisional

Page 80: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

80

Ohoi Warbal dalam keseharian, misalnya leksikon ivan „rumput laut‟ diolah

menjadi bahan makanan dan dapat digunakan sebagai obat tradisional. Selain itu,

leksikon ubun „lamu-lamu‟ digunakan untuk membersihkan sampan dan perahu.

Di pihak lain, referen kelompok leksikon tumbuhan di dasar laut masih banyak

ditemukan dan sering di gunakan dalam keseharian sehingga terkonsep dalam

pikiran masyarakat Ohoi Warbal, sedangkan tingkat pemahaman yang rendah atau

jarang digunakan oleh informan adalah kelompok leksikon burung di sekitar laut,

hal ini dipengaruhi oleh perluasan lahan untuk perumahan dan pertanian serta

tingginya aktivitas petani budidaya rumput laut di laut menyebabkan referen

leksikon-leksikon tersebut sudah jarang ditemukan karena lingkungan tempat

hidupnya jauh dari pemukiman.

6.1.1 Pemahaman Ikan dan Hewan Lain di dalam Laut

Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang ikan dan hewan

lain di dalam laut, diujikan 57 leksikon kepada 30 informan untuk tiap kelompok

jenis kelamin dan usia di Ohoi Warbal. Leksikon ngilngilan /ŋilŋilan/ „lola‟

adalah sejenis hewan laut yang berbentuk cangkang. Hewan ini memiliki nilai gizi

yang sangat tinggi. Berdasarkan data pada tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30

informan KPW usia di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟. Artinya,

leksikon ngilngilan /ŋilŋilan/ dikenal oleh semua informan, bahkan, 90 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari ke-30 informan, 80 %

informan menjawab „D‟ dan 13,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

15--24 tahun, ditemukan 13,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan, 80 %

informan menjawab „A‟.

Page 81: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

81

Hasil tes kompetensi Leksikon kotbubun /kɔtbubun/ „japing-japing‟.

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun menunjukan bahwa tidak ada yang

menjawab „D‟ atau leksikon kotbubun dikenal oleh semua informan. Bahkan, 86,7

% informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari ke-30 informan, 3,3 %

informan menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan ditemukan 3,3 % menjawab „D‟,

sedangkan, 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon uva /u:vaʔ/ „ikan kulit pasir‟ adalah jenis ikan yang kulitnya

seperti pasir. Jenis ikan ini paling sering dikonsumsi oleh masyarakat Ohoi

Warbal di samping dijual di pasar. Berdasarkan data pada tabel 6.1.1 diketahui

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, 10 % informan menjawab „D‟,

sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30

informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon

uva, bahkan 83,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

dari 30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan

mengenal leksikon uva, bahkan 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon eb sus /ebʔ sUs/ „teripang susu‟ adalah jenis teripang yang

memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Teripang jenis ini biasanya dibeli oleh

pengusaha-pengusaha di kota Langgur dan Tual. Berdasarkan data pada tabel

6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang

menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon eb sus, bahkan 86,7 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 13,3 %

Page 82: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

82

informan menjawab „D‟ sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, 10 % informan menjawab „D‟ sedankan 80 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon eb nawai /ebʔ naway/ ‟teripang gosok‟ adalah jenis teripang yang

hampir sama dengan teripang susu. Teripang ini juga memiliki nilai jual yang

sangat tinggi. Biasanya teripang ini merupakan bahan makanan pengusaha Cina.

Berdasarkan data pada Tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di

atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal

leksikon eb nawai, bahkan 93,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45

tahun, dari 30 informan, 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 80 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang

menjawab „D‟ atau semua informan mengenal eb nawai, dan 90 % informan yang

menjawab „A‟.

Leksikon berikutnya adalah iwar /iwar/ „ikan mata bulan‟. Berdasarkan data

pada tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak

ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon iwar sedangkan

100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak

ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon iwar sedangkan

73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

yang menjawab „D‟ sebanyak 10 %, sedangkan 76,7 % informan menjawab

„A‟.

Leksikon lainnya adalah foo /fɔ:/ „ikan sakuda‟. Berdasarkan data pada tabel

6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, 3,3 % informan

Page 83: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

83

menjawab „D‟, dan 86,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45

tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan

mengenal leksikon foo, sedangkan informan yang menjawab „A‟

ditemukan sebanyak 80 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan yang menjawab

„A‟.

Leksikon kiker /kIkɛr/ „ikan garopa‟ adalah jenis ikan batu yang banyak

digemari oleh masyarakat Ohoi Warbal. Selain itu, juga biasanya dibeli oleh orang

Taiwan, baik dalam keadaan hidup maupun mati. Pada tabel 6.1.1 tergambar

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau

semua informan mengenal leksikon kiker, bahkan yang menjawab „A‟ sebanyak

90 % informan. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan

menjawab „D‟ sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau

semua informan mengenal leksikon kiker, sedangkan 83,3 % informan menjawab

„A‟.

Leksikon mon /mon/ „ikan kakatua‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari

30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon mon, bahkan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk

KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon mon dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, dari 30 informan ada 1 orang (3,3 %) informan menjawab „D‟

dan 86,7 % informan menjawab „A‟.

Page 84: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

84

Leksikon kahu /kahU/ „ikan morea‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari

30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon kahu, bahkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk

KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon leksikon kahu dan 80 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan menjawab „D‟

dan 90 % informan menjawab „A‟.

Leksikon taboub /tabowb/ „penyu belimbing‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau

semua informan mengenal leksikon taboub, bahkan 100 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟

atau semua informan mengenal leksikon leksikon taboub dan 100% informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang

menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon taboub dan 80 %

informan menjawab „A‟.

Leksikon rwin /rwIn/ „ikan duyung‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari

30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa 6,7 % informan menjawab

„D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30

informan, 36,7 % informan menjawab „D‟ dan 43,3 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 90 % informan menjawab „D‟

dan 10 % informan menjawab „A‟.

Leksikon ahot /ahɔt/ „ikan layar‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30

informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

Page 85: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

85

informan mengenal leksikon leksikon ahot dan 70 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau

semua informan mengenal leksikon ahot dan 93,3 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟

atau semua informan mengenal leksikon ahot, sedangkan 63,3 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon yee /yeʔ/ „ikan hiu‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30

informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon yee dan 63,3 % informan menjawab „A‟. Untuk

KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon yee, dan informan yang menjawab „A‟ diketahui

sebanyak 86,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang

menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon yee, dan informan yang

menjawab „A‟ diketahui sebanyak 86,7 %.

Leksikon loor /lo:r/ „ikan paus‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30

informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon loor, bahkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk

KPW 25--45 tahun, dari 30 informan ditemukan 3,3 % informan menjawab „D‟,

sedangkan, 86,7 informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal

leksikon loor, bahkan 93,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon arat /arat/ „ikan lumba-lumba‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa

dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

Page 86: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

86

informan mengenal leksikon arat, bahkan informan yang menjawab „A‟

ditemukan sebanyak 90 %. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui

3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟

ditemukan sebanyak 70 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30

informan, 13,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan, 73,3 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon bisuk /bisUk/ „ikan balobo‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahu 6,7 % informan menjawab

„D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 73,3 %. Untuk

KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan

mengenal leksikon bisuk, bahkan informan yang menjawab „A‟ diketahui

sebanyak 96,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, dan 80 % informan menjawab „A‟.

Leksikon aat /aʔat/ „ikan lema‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30

informan KPW di atas 46 tahun, 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 86,7

% informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui, 6,7 %

informan menjawab „D‟ , sedangkan, 96,7 informan yang menjawab „A‟. Untuk

KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 13,3 % informan yang

menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak

86,7 %.

Leksikon niru /nirUʔ/ „ikan tembang‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa

dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟ ,

sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui

Page 87: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

87

tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan yang

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, tidak ada informan yang menjawab

„D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon kalbuban /kalʔbuban/ „ikan hias‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, 3,3 % informan menjawab „D‟ dan

83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 6,7 %

informan menjawab „D‟ dan 63,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 66,7 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon bin-bin /binʔbin/ „ikan biji nangka‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟,

sedangakan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30

informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟

diketahui sebanyak 83,3 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak

ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon bin-bin dan 83,3

% informan yang menjawab „A‟.

Leksikon ngam /ŋam/ „ikan kepala batu‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa

dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 46,7 % informan menjawab „D‟

dan 53,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 46,7 %

informan menjawab „D‟ dan 50 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--

24 tahun, diketahui 70 % informan menjawab „D‟, sedangkan 20 % informan

menjawab „A‟.

Page 88: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

88

Leksikon kon /kɔn/ „ikan kapas-kapas‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa

dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon kon, bahkan 86,7 % informan yang menjawab „A‟.

Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan menjawab „D‟,

sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 86,7 %. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, diketahui 13,3 % informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon inaha /inahaʔ/ „ikan bulana‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa

dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon inaha, bahkan 70 % informan yang menjawab „A‟.

Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau

semua informan mengenal leksikon inaha, bahkan informan yang menjawab „A‟

diketahui sebanyak 83,3 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak

ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon inaha dan 80 %

informan menjawab „A‟.

Leksikon nadan /nadan/ „ikan sembilan‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau

semua informan mengenal leksikon nadan, bahkan 63,3 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟

atau semua informan mengenal leksikon nadan, bahkan informan yang menjawab

„A‟ diketahui sebanyak 86,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan

tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon nadan dan

86,7 % informan menjawab „A‟.

Page 89: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

89

Leksikon mahain /mahayn/ „bia garu‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa

dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon mahain dan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk

KPW 25--45 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟ , sedangkan informan

yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 80 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 93,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon lanuran /lanuran/ „ikan bubara‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada

yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon lanuran, dan 86,7

informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3 %

informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟diketahui 86,7

%. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟

atau semua informan mengenal leksikon lanuran, dan 80 % informan yang

menjawab „A‟.

Leksikon tanir /taʔnir/ „ikan tuna‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan, diketahui bahwa tidak ada informan yang menjawab „D‟

atau semua informan mengenal leksikon tanir dan 93,3 informan yang menjawab

„A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3, % informan menjawab „D‟,

sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 90 %. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon tanir dan 90 % informan yang menjawab „A‟.

Leksikon harun /harUn/ „udang batu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada informan

Page 90: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

90

yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon harun, sedangkan

informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak

ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon harun,

sedangkan, 76,7 % informan yang menjawab „A‟ berjumlah 86,7 %. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon harun, bahkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon siru /siʔrU/ „ikan serui‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada informan

yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon siru, sedangkan 76,7

informan yang menjawab „A‟ berjumlah 76,7 %. Untuk KPW 25--45 tahun, dari

30 informan, 10 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab

„A‟ diketahui sebanyak 66,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

3,3 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟.

Leksikon kari /kariʔ/ ikan samandar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada informan

yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kari, dan 86,7

informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada

informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kari,

sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 90 %. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon kari dan 86,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon ngarun /ŋarun/ „bia mata tujuh‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada

Page 91: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

91

yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon ngarun, bahkan 93,3

informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada informan yang

menjawab „D‟, sedangkan 93,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--

24 tahun, dari 30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 63,3 %

informan yang menjawab „A‟.

Leksikon kamdii /kamdiʔiʔ/ „bia jalar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 13,3 % informan yang

menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45

tahun, ditemukan 23,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang

menjawab „A‟ diketahui sebanyak 76,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30

informan ditemukan 36,7 % informan yang menjawab „D‟, sedangkan informan

yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 60 %.

Leksikon saf-saf /saf-saf/ „bia mancadu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab

„D‟ atau semua informan mengenal leksikon saf-saf, bahkan 90 informan

menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟

atau semua informan mengenal leksikon safsaf, sedangkan informan yang

menjawab „D‟ diketahui sebanyak 83,3 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30

informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ , sedangkan 80 %) informan

menjawab „A‟.

Leksikon bib /bIb/ „keraka kecil‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30

informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon bib dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk

Page 92: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

92

KPW 25--45 tahun, diketahui 10 % informan menjawab „D‟, dan 76,7 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % informan

menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon dansawel /dansawɛl/ „bia jala‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa

dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon dansawel dan 96,7 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau

semua informan mengenal leksikon dansawel dan 96,7 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab

„D‟ atau semua informan mengenal leksikon dansawel dan 90 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon suk /sUk/ „ikan sontong‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari

30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon suk dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk

KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon suk dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk

KPW usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ dan

93,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon karit /karIt/ „gurita‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30

informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang

menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

Page 93: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

93

diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon sadutil /sadUtil/ „sejenis bia laut‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan

90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada

informan yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun diketahui 10% informan yang menjawab „D‟ dan 70 %

informan yang menjawab „A‟.

Leksikon sik ngol /sik ŋɔl/ „keraka‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari

30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan

yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia

15--24 tahun, diketahui 6,7 %) informan menjawab „D‟, dan 70 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon karluk /karluʔ/ „kuda laut‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari

30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 10% informan yang menjawab „D‟

dan 70 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui

tidak ada informan yang menjawab „D‟. Artinya, semua informan mengenal

leksikon karluk dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24

tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan 6,7 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon bwin /bwIn/ „sejenis bia laut‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa

dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 6,7 % informan menjawab „D‟

Page 94: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

94

dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 10 %

informan menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

15--24 tahun, diketahui 16,7 % informan menjawab „D‟ dan 83,3 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon vuut dom /vuʔut dom/ „ikan tuna‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 6,7 % informan

menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun,

diketahui dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan

mengenal leksikon vuut dom dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

15--24 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 93,3 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon far /far/ „ikan pari‟. Pada tabel 6.1.1tergambar bahwa dari 30

informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada yang menjawab „D‟

dan 86,7 %) informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak

ada informan yang menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada informan menjawab „D‟ atau semua

informan mengenal leksikon far dan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon lain /layn/ „ikan suanggi‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari

30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 10 % informan yang menjawab

„D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui

13,3 % informan menjawab „D‟ dan 63,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, diketahui 33,3 % informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan

yang menjawab „A‟.

Page 95: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

95

Leksikon ven /vən/ „penyu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30

informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟

dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7

% informan menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟.

Leksikon eb kurungur /eb kuruŋur/ „teripang pasir‟. Pada tabel 6.1.1

tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 6,7 %

informan menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45

tahun, diketahui dari 30 informan, 20 % informan menjawab „D‟ dan 66,7 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 26,7 %

informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon widan /wIdan/ „udang batu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 10 % yang menjawab „D‟

dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada yang

menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24

tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟.

Leksikon hangar /haŋar/ „karang cincin‟ Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab

„D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada yang

menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24

tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal

leksikon hangar dan 90 % informan menjawab „A‟.

Page 96: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

96

Leksikon sirsir /sirsir/ „karang piring‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % yang menjawab „D‟

dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 6,7 %

informan menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

15--24 tahun, diketahui 10 % menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon yer wat /yer wat/ „karang batu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab

„D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak

ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

15--24 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon hangarten /haŋartɛn/ „sejenis karang‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun,

diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon harara /harara/ „ubur-ubur‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab

„D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 10

% menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24

tahun, diketahui 10 % menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟.

Page 97: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

97

Leksikon nguran /ŋuran/ „udang merah‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab

„D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui

tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk

KPW usia 15--24 tahun, diketahui 26,7 % menjawab „D‟ dan 70 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon ngaran /ŋaran/ „udang putih‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab

„D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak

ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

15--24 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon rawrawut /rawrawUt/ „duri babi‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun,

diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, diketahui 16,7 % menjawab „D‟ dan 73,3 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon tangangnan /taŋaŋnan/ „bintang laut‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 6,7 % menjawab

„D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 10 %

informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

15--24 tahun, diketahui 13,3 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan

menjawab „A‟.

Page 98: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

98

6.1.2 Pemahaman Hewan di Sekitar Laut

Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang hewan di sekitar

laut, diujikan lima belas leksikon yaitu uwe /uwə/ „buaya‟, kasil /kasIl/ „cicak‟,

silbuk /sIlbUkʔ/„cicak tanah‟, yaha /yahaʔ/ „anjing‟, vav /vav/„babi‟, kus/kUsʔ/

„kus-kus‟, rubai/rubai/ „ular‟, sit/sIt/„kucing‟, karu /kaʔru/ „tikus‟, fan /faʔn/

„cacing‟, fakikik /faʔkiʔkIk/„semut‟, kankan /kankan/ „nyamuk‟, blalang /bla:lang/

„belalang‟, kabur /kaʔbUr/ „lalat‟, dan yabar /yaʔba:r / „kelelawar‟. Kelima belas

leksikon ini diujikan pada 30 informan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan

usia di Ohoi Warbal.

Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, KPW di atas 46 tahun, dari ke-30

informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 53,3 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 40

% informan menjawab „D‟ dan 46,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 86,7 % informan menjawab „D‟ dan

13,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon kasil /kasIl/ „cicak‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap

30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan

73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30

informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 %

menjawab „D‟,sedangkan informan yang menjawab „D‟ diketahui sebanyak 80 %.

Page 99: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

99

Leksikon silbuk /sIlbUkʔ/ „cicak tanah‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab

„D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-

30 informan diketahui 10 % informan yang menjawab „D‟, dan 86,7 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 16,7

%) menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak

76,7 %.

Leksikon yaha /yahaʔ/ „anjing‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap

30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟,

sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari

ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 70 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui

tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon vav /vav/ „babi‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30

informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan

diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % menjawab

„D‟, sedangkan 70 % informan yang menjawab „A‟.

Leksikon kus /kUsʔ/ „kus-kus‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap

30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan

90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30

Page 100: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

100

informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 86,7 %

menjawab „D‟, sedangkan 10 % informan menjawab „A‟

Leksikon rubai /rubay/ „ular‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap

30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan

76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30

informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % yang

menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon sit /sIt/ „kucing‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ dan

76,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30

informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab

„D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟.

Leksikon karu /kaʔru/ „tikus‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap

30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟,

sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari

ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 70 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 13,3

% menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon fan /faʔn/ „cacing‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2 diketahui

dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟,

Page 101: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

101

sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari

30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 3,3 %

informan menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon fakikik /faʔkikIk/ „semut‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2,

diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟

dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30

informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab

„D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon kankan /kankan/ „nyamuk‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2,

diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟

dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30

informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 informan menjawab

„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 16,7 % menjawab

„D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon blalang /blaʔlang/ „belalang‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2,

diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟

dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30

informan, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.

Page 102: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

102

Leksikon kabur /kaʔbUr/ „lalat‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2,

diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟

dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30

informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 23,3 % menjawab

„D‟, sedangkan70 % informan menjawab „A‟.

Leksikon yabar /yaʔbar/ „kelelawar‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2,

diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „D‟. Untuk KPW usia 25--

45 tahun, dari 30 informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui 13 % menjawab „D‟, sedangkan 63,3 % informan menjawab „A‟.

6.1.3 Pemahaman Tumbuhan di Dasar Laut

Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang tumbuhan di dasar

laut, diujikan enam leksikon, yaitu ngeng /ŋeŋ/ „akar bahar‟, ivan /iva:n/ „rumput

laut‟, vur /vur/ ‟padang lamun‟, babat /ba:bat/ „bunga karang‟, manwut tahait /

manwut tahait/ „bunga karang daun‟, dan ubun /ubUn/ „lamu-lamu‟. Enam

leksikon ini diujikan pada 30 informan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan

usia di Ohoi Warbal.

Leksikon ngeng /ŋeŋ/ „akar bahar‟ adalah sebutan untuk tumbuhan yang

berupa ranting kayu berwarna hitam yang biasanya dibuat gelang tangan dan

hiasan dinding (setelah dipanaskan). Berdasarkan data pada tabel 6.1.3, diketahui

Page 103: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

103

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau

semua informan mengenal leksikon ngeng, sedangkan 86,7 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab

„D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-

30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon ivan /iva:n/ „rumput laut‟ merupakan sejenis rumput laut yang

hidupnya di laut dangkal. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan

KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan

diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „D‟.

Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 13,3 % menjawab

„D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟.

Leksikon vur /vur/ „padang lamun‟ adalah sejenis tumbuhan di dasar laut.

Berdasarkan data pada tabel 6.1.3 diketahui semua informan KPW di atas 46

tahun, tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan, diketahui 3,3 informan yang

menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24

tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 73,3 %

informan menjawab „A‟.

Leksikon babat /ba:bat/ „bunga karang‟ adalah sejenis karang berbentuk

bunga yang biasanya sebagai tempat hidup sekumpulan ikan. Berdasarkan data

pada tabel 6.1.3 diketahui bahwa semua informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada

yang menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

Page 104: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

104

25--45 tahun, dari ke-30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ dan 70 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan

tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 66,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon manwut tahait /manwut tahayt/ adalah sejenis karang berbentuk

daun yang biasanya sebagai tempat hidup sekumpulan ikan. Dari hasil tes

kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak

ada yang menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--

45 tahun, dari ke-30 informan, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan

informan menjawab „A‟ diketahu sebanyak 56,7 %. Untuk KPW usia 15--24

tahun, diketahui 6,7 informan menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon ubun /ubUn/ „lamu-lamu‟ adalah sejenis rumput laut yang tumbuh

di dasar laut yang berlumpur. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30

informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3

% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan

tidak ada menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan

76,7 % informan menjawab „A‟.

Banyaknya jumlah informan yang mengenal leksikon tumbuhan di dasar

laut menandakan tingginya interaksi manusia dengan alam. Di samping itu, juga

menunjukkan bahwa kondisi ekologi kelautan di Ohoi Warbal belum banyak

mengalami perubahan.

Page 105: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

105

6.1.4 Pemahaman Tumbuhan di Tepi Laut

Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang tumbuhan di tepi

laut, diujikan dua puluh delapan leksikon, yaitu wakat /wakaʔt/ „bakau‟, talumur

/taʔlumur/ „bunga jamur‟, lalahar /lalahar/ „sejenis buah‟, amor /amo:r/, „tongke‟,

kawuka /kawUkaʔ/ „buah kawuka‟, nur /nUr/ „kelapa‟, karin /karIn/ „daun tikar‟,

warbanglu /warbaŋlU/ „sejenis bunga mawar‟, waren /warən/ „rumput pisau‟,

kabutbutur /kabutbUtur/ „rumput duri babi‟, rii /ri:iʔ/ „alang-alang‟, lafetar

/lafetar/ „bunga lafetar‟, tananan /tananan/ „bunga kupu-kupu‟, dab /dabʔ/

„bunga lidi‟, bung ler /bUŋ lɛr/ „bunga matahari‟, bung mawar /bUŋ mawar/

„bunga mawar‟, bung sapat /bUŋ sapat/ „bunga sepatu‟, mantirun /mantirUn/

„terong‟, muu /muuʔ/ „pisang‟, kustel /kUstel/ ‟pepaya‟, barisan /barIsan/ „cabai‟,

kamatil /kamaʔtIl/ „tomat‟, silar /sIlar/ „jagung‟, tom /tœm/ „kuning‟, daun nas

/daun nasʔ/ „daun nasi‟, ramunil /ramUnIl/ „daun serai‟, fau /faw/ „mangga‟, dan

wew /wɛw/ „ketapang‟. Dua puluh delapan leksikon ini diujikan pada 30 informan

untuk tiap kelompok jenis kelamin dan usia di Ohoi Warbal.

Leksikon wakat /wakaʔt/ „bakau‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--

45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan

86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30

Page 106: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

106

informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7% informan

menjawab „A‟.

Leksikon talumur /taʔlumur/ „bunga jamur‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 43,3%

informan menjawab „D‟ dan 36,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 50 % informan menjawab „D‟ dan 30

% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan

ditemukan 50 % menjawab „D‟ sedangkan informan yang menjawab „A‟

diketahui sebanyak 30 %.

Leksikon amor /amo:r/ „tongke‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟. Artinya, semua informan mengenal leksikon amor dan 90 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan

menjawab „D‟ sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon lalahar /lalahar/ „buah kira-kira‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 %

informan menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 80

% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan

diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.

Page 107: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

107

Leksikon kawuka /kawUkaʔ/ „buah kawuka‟. Berdasarkan data pada Tabel

6.1.4, diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab

„D‟ dan 93,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30

informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 10 % menjawab „D‟,

sedangkan 90 % informan menjawab „A‟.

Leksikon nur /nUr/ „kelapa‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30

informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau

semua informan mengenal leksikon nur, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon nur, bahkan 100 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon

nur, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.

Leksikon karin /karIn/ „daun tikar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 86,7 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan

diketahui 23,3 % menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „D‟

ditemukan sebanyak 66,7 %.

Leksikon warbanglu /warbaŋlU/ „sejenis bunga mawar‟. Dari hasil tes

kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui

Page 108: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

108

51,7 % informan menjawab „D‟ dan 36,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟

dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30

informan diketahui 63,3 % menjawab „D‟ dan 30 % informan menjawab „A‟.

Leksikon waren /warən/ „rumput pisau‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 16,7 % informan

menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 70 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan

diketahui 23,3 % yang menjawab „D‟, sedangkan 63,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon kabutbutur /kabutbUtur/ „rumput duri babi‟. Dari hasil tes

kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui

tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 26,7 % informan menjawab „D‟

dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30

informan diketahui 73,3 % menjawab „D‟ dan 23,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon rii /ri:iʔ/ „alang-alang‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 73,3 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10

% yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Page 109: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

109

Leksikon lafetar /lafetar/ „bunga lafetar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--

45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟.

Leksikon tananan /tananan/ „bunga kupu-kupu‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada

yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan

76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30

informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon dab /dabʔ/ „bunga lidi‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4,

diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, 6,7 % menjawab

„D‟, sedangkan informan menjawab „A‟ adalah sebanyak 80 %. Untuk KPW usia

25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan

informan yang menjawab „A‟ adalah sebanyak 76,7 %. Untuk KPW usia 15--24

tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 80 %

informan menjawab „A‟.

Leksikon bung ler /bUŋ lɛr/ „bunga matahari‟. Berdasarkan data pada tabel

6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui

3,3 % informan menjawab „D‟ dan 83,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk

Page 110: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

110

KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % menjawab „D‟,

sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari

30 informan diketahui 6,7 % menjawab „D‟ sedangkan 73,3 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon bung mawar /bUŋ mawar/ „bunga mawar‟. Berdasarkan data pada

tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun,

diketahui 3,3 % menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan

86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „D‟.

Leksikon bung sapat /bUŋ sapat/ „bunga sepatu‟. Berdasarkan data pada

tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun,

diketahui 3,3 % menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan

86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon mantirun /mantirUn/ „terong‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4,

diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 %

yang menjawab „D‟, dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--

45 tahun, dari 30 informan, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 83,3 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui 16,7 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Page 111: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

111

Leksikon muu /muuʔ/ „pisang‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7

% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon kustel /kUstel/ ‟pepaya‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4,

diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada yang

menjawab „D‟, bahkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari 30 informan, diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 80 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟.

Leksikon barisan /barIsan/ „cabai‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4,

diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada

yang menjawab „D‟, bahwa 86,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--

45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 83,3

% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon kamatil /kamaʔtIl/ „tomat‟. Berdasarkan data pada tabel

6.1.4,diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang

menjawab „D‟, bahkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 %

Page 112: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

112

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak

ada yang menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon silar /sIlar/ „jagung‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟,

sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari

30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab

„A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 10 % informan

menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon tom /tœm/ „kuning‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟,

sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari

30 informan tidak ada menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟.

Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan

menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon daun nas /daun nasʔ/ „daun nasi. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 6,7 %

informan yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟,

dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30

informan ditemukan 6,7 % menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟.

Leksikon ramunil /ramUnIl/ „daun serai‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--

Page 113: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

113

45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan

90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30

informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan

menjawab „A‟.

Leksikon fau /faw/ „mangga‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30

informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟,

sedangkan 86,7 %) informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari

ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7

% informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon wew /wɛw/ „ketapang‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 6,7 % informan

menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan

76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30

informan ditemukan 3 orang (10 %) menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan

menjawab „A‟.

6.1.5 Pemahaman Burung di Sekitar Laut

Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang burung di sekitar

laut, diujikan tujuh leksikon, yaitu kat /katʔ/ „burung camar‟, manwer /manwer/

„bebek laut‟, sum /sUm/ „burung bangau‟, mansiwak /mansiwaʔ/ „burung gereja‟,

Page 114: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

114

tarut /taʔrut/ „burung pombo‟, kilwar /kilwar/ „burung ciu‟, mankaba /mankabaʔ/

„burung laut‟

Leksikon kat /katʔ/ „burung camar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 10 % informan

menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari 30 informan, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui 16,7 % menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟.

Leksikon manwer /manwer/ „bebek laut‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 10 % informan

menjawab „D‟, dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan yang menjawab „D‟,

sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

diketahui 10 % menjawab „D‟ , sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon sum /sUm/ „burung bangau‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.5,

diketahui dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon sum, sedangkan 86,7 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan,

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon

sum, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟. Artinya, semua

informan mengenal leksikon sum dan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Page 115: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

115

Leksikon mansiwak /mansiwaʔ/ „burung gereja‟. Berdasarkan data pada

tabel 6.1.5, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada

yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

25--45 tahun, dari 30 informan diketahui 53,3 % informan menjawab „D‟,

sedangkan 36,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

diketahui 60 % informan menjawab „D‟, dan 36,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon tarut /taʔrut/ „burung pombo‟. Berdasarkan tabel 6.1.5, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟,

atau semua informan mengenal leksikon tarut, dan 86,7 informan menjawab „A‟.

Untuk KPW usia 25--45 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟,

sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

diketahui 56,7 % informan menjawab „D‟, dan 33,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon kilwar /kilwar/ „burung ciu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon kilwar, sedangkan 90 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, 10 % informan

menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

diketahui 20 % informan menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟.

Leksikon mankaba /mankabaʔ/ „burung laut‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 23,3 %

informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ sebanyak 46,7

%. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 50 % informan

Page 116: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

116

menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24

tahun, diketahui 53,3 % menjawab „D‟, dan 13,3 % informan menjawab „A‟.

6.1.6 Pemahaman Benda Mati (Abiotik) di Dalam dan Tepi Laut

Lingkungan biotik dan lingkungan abiotik memiliki keterkaitan yang sangat

erat untuk mendukung kehidupan suatu ekosistem dapat berjalan dengan baik.

Lingkungan abiotik adalah bagian tak hidup dari suatu sistem, sehingga dalam

interaksinya sudah pasti mempengaruhi lingkungan biotik. Dengan demikian,

dalam penggunaan bahasa tergantung juga pada leksikon lingkungan abiotik yang

berada di sekitar masyarakat. Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan

tentang benda mati (abiotik) di dalam dan tepi laut, diujikan enam leksikon, yaitu

ngur /ŋur/ „pasir‟, yerwat /yɛrwatʔ/ „karang‟, bunan /buʔnan/ „lumpur‟, wat /watʔ/

„batu‟, wat apung /watʔ apuŋ/ „batu apung‟, karet ihin /karət ihΙn/ „kulit bia‟

Leksikon ngur /ŋur/ „pasir‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.6, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟ dan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.

Leksikon yerwat /yɛrwatʔ/ „karang‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.6,

diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada

yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-

-45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100

Page 117: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

117

% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.

Leksikon bunan /buʔnan/ „lumpur‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 10 % informan

menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari ke-30 informan diketahui 16,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan

73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30

informan diketahui 23,3 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟.

Leksikon wat /watʔ/ „batu‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.6, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.

Leksikon wat apung /watʔ apuŋ/ „batu apung‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 3,3 %

informan menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ ,

sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon karet ihin /karət ihΙn/ „kulit bia‟. Berdasarkan data pada tabel

6.1.6 diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui

Page 118: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

118

tidak ada menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 25--45 tahun, dari 30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟,

sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

diketahui 56,7 % informan menjawab „D‟, dan 26,7 % informan menjawab „A‟.

6.1.7 Pemahaman Alat Penangkap Ikan Tradisional di Lingkungan Kelautan

Kondisi geografis Ohoi Warbal yang dikelilingi lautan sehingga sebagian

besar masyarakat Ohoi Warbal adalah nelayan. Oleh karena itu, pekerjaan

penangkapan ikan sangat berkembang dan alat-alat penangkap ikan yang

digunakan juga sangat berkembang dan beranekaragam, walaupun alat-alat

penangkap ikan modern yang mencapai efektivitas tinggi, tetapi alat-alat

penangkap ikan tradisional masih tetap digunakan oleh masyarakat Ohoi Warbal.

Leksikon snar /snar/ „tasi‟. Berdasarkan data pada Tabel 6.1.7, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟.

Leksikon alihin /alihin/ „kail‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.7, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % informan

menjawab „D‟, sedangkan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--

45 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan

90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 %

informan yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟.

Page 119: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

119

Leksikon tob /tɔb/ „tombe‟. Berdasarkan data pada Tabel 6.1.7 diketahui

bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟,

sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari

30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 60 %

informan menjawab „D‟, sedangkan 33,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon fanfan /fanfan/ „panahan ikan‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--

45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan

80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 13,3 %

informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon hoho /hohɔ/ „kalawai‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--

45 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan

menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui

tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon sawilat /sawilat/ „jala‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 6,7 % informan

yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk

KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 16,7 % menjawab „D‟,

Page 120: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

120

sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon tuktuk /tUktuk/ „alat tangkap teripang‟. Dari hasil tes kompetensi

leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada

yang menjawab „D‟, dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45

tahun, 6,7 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia

15--24 tahun, 10 % menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon vuv /vuv/ „bubu‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.7, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon vuv, sedangkan 90 %

informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, tidak ada yang menjawab

„D‟, dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, tidak

ada yang menjawab „D‟, dan73,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon ven /vən/ „sero‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.7, diketahui

bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang

menjawab „D‟, sedangkan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--

45 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon

ven, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,

diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, dan 76,7 % informan menjawab „A‟.

Leksikon ail /ayl/ „alat pancing ikan‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 10 % informan

menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟.Untuk KPW usia 25--45

Page 121: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

121

tahun, 1,3 % menjawab „D‟, dan 63,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 15--24 tahun, 50 % menjawab „D‟, dan 43,3 % informan menjawab „A‟.

Leksikon lot /lot/ „pemberat pancing‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon

terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟,

dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, 3,3 %

menjawab „D‟, dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24

tahun, diketahui 20 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟.

Leksikon kular /kular/ „alat tangkap ikan tradisional‟. Dari hasil tes

kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui

bahwa 26,7 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW

usia 25--45 tahun, 56,7 % menjawab „D‟, dan 30 informan menjawab „A‟. Untuk

KPW usia 15--24 tahun, 76,7 % menjawab „D‟, dan 16,7 % informan menjawab

„A‟.

Adanya sejumlah alat tangkap ikan yang tidak dikenal oleh informan usia

25--45 tahun dan usia 15--24 tahun membuktikan bahwa perubahan kondisi

lingkungan ragawi laut, faktor ekonomi, dan kepraktisan ternyata telah

menyebabkan disfungsi alat-alat tradisional pada komunitas Kei di lingkungan

Ohoi Warbal. Dengan menggunakan alat tangkap tradisional, ikan yang diperoleh

lebih sedikit dan dibutuhkan keahlian khusus untuk menggunakan alat-alat

tersebut.

Page 122: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

122

6.1.8 Tabel Tingkat Pemahaman Leksikon Kelautan Berdasarkan Jenis Kelamin dan

Usia di Ohoi Warbal

No Kelompok

Leksikon

Jumlah Nama leksikon yang sama sekali tidak dikenal untuk tiap

kelompok gender dan usia (jumlah dalam %)

Pria dan

Wanita Usia

di atas 46

Pria dan Wanita Usia

25--45

Pria dan Wanita Usia

15--24

1 Ikan dan

hewan lain

di dalam laut

57 - 3 atau 5,3 %, yaitu rwin

„ikan duyung‟ (53,3 %),

ngilngilan „lola‟ (30

%), aat „ikan lema‟ (50

%)

3 atau 5,3 %, yaitu

rwin„ikan duyung‟ (50

%), ngam „ikan puri‟

(70 %), ngilngilan

„lola‟ (36,7%)

2 Hewan di

sekitar laut

15 - 1 atau 6,7 % ,yaitu uwe

„buaya‟(40 %)

2 atau (13,3 %), yaitu

uwe„buaya‟ (96,7 %),

kus „kus-kus‟ (33,3 %)

3 Tumbuhan

di dasar laut

6 - - -

4 Tumbuhan

di tepi laut

28 2 atau 7,1

(%), yaitu

Talumur

„bunga

jamur‟ (33,3

% ),

Warbanglu

„sejenis

bunga‟ (56,7

% ).

3 atau 10,7 % , yaitu

waren „ sejenis rumput‟

(26,7 % ), talumur

„bunga jamur‟ (43,3 %

), warbanglu „sejenis

bunga‟ (40 % ).

5 atau 17,9 %, yaitu

talumur „bunga jamur‟

(36,7 %), tananan

‟bunga kupu-kupu‟

(13,3 %), warbanglu

„sejenis bunga‟ (6,7

%), kabutbutur

„rumput duri babi‟

(23,3 %), lalahar

„buah kira-kira‟(10 %)

5 Burung di

sekitar laut

7 1 atau 14,3

%, yaitu

mansiwak

„burung

gereja‟( 6,7

%).

3 atau 42,9 %, yaitu

mansiwak „burung

gereja‟ (80%), kilawar

„burung laut‟(56,7 %),

mankaba „burung laut‟

(13,3 %)

4 atau 57,1 %, yaitu

mansiwak „burung

gereja‟ ( 60 %), tarut

„burung pombo‟ ( 56,7

%), kilwar„burung

laut‟ (20 %),

mankaba „burung

laut‟ ( 80%)

6 Benda mati

di dalam dan

tepi laut

6 - - 1 atau 16,7 %, yaitu

karet ihin „kulit bia‟

( 56,7 %),

7 Alat

penangkap

ikan

tradisional

12 - 2 atau 16,7 %, yaitu

kular „alat tangkap ikan

tradisional ‟(56,7 %),

ail„alat tangkap ikan

tradisional‟(13,3 %)

2 atau 16,7 %, yaitu

ail „alat tangkap ikan

tradisional‟ (50%),

kular „alat tangkap

ikan tradisional‟(76,7

%)

Page 123: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

123

Tabel di atas menggambarkan bahwa terjadi penurunan tingkat pemahaman pada

sebagian kecil kelompok leksikon kelautan di Ohoi Warbal. Artinya, semakin

muda usia informan penutur Kei, semakin sedikit leksikon kelautan yang dikenal,

didengar, dan digunakan.

6.1.9 Tabel Kebertahanan Leksikon Kelautan Bahasa Kei berdasarkan Pilihan

Jawaban “D” (Penutur Sama Sekali Tidak Kenal)

No % Pengamatan Daftar Leksikon %

1 76 - 100 ail, kular, kus,silbuk,uwe, tangangnan

x100 % = 4,6 %

2 51 - 75 karet ihin, kilwar, talumur, warbanglu,

ngam,lanuran,rwin,karluk,widan, ngaran

vuut dom hangarten,yerwat,sirsir,hoho

x100 % = 11,5 %

3 26 - 50 arat, karit,sik ngol, tanir, harara, fakikik,

yabar, kawuka, karin, dab, mantirun,

manwer, wat apung, sawilat,tob, wat,

mansiwak, aat, kalbuban, inaha, kamdii,

sit, belalang, tom, barisan, ven

x100 % = 19,8 %

4 0 - 25 snar,lot, fanfan, tuktuk, vuv, ven, alihin,

ngur,bunan,kat,sum,taru,mankaba,wakat,

amor, lalahar,nur,rii, lafetar, tananan,

bung matahari, bung mawar, bung sapat,

muu,ketapang,kamatil,silar,daun nas,foo,

fa‟a,ramunil,kustel,mon,ngeng, ubun,vur,

babat,manwut tahait, suk,ivan, kasil, vav,

yaha, rubai,karu, fan ,kankan, kabur,

ngilngilan, kotbubun, uva, eb sus, eb

nawai, iwar, kiker, kahu, tabob, ahot,yee,

loor,bisuk, niru, bin-bin, kon, nadan,

harun, siru, kari, mahain, ngarun, safsaf,

bib, dansawel, sadutil, bwin, far, lain, eb

kurungur, hangar, nguran, rawrawut

x100 % = 64,1 %

Page 124: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

124

Pada tabel di atas digambarkan bahwa leksikon kelautan yang sama sekali

tidak dikenal oleh informan sebanyak 6 (4,6 %) leksikon dan leksikon kelautan

yang dikenal dan referennya masih banyak dikenal oleh informan sebanyak 84

(64,1 %) leksikon.

6.1.10 Tabel Rangkuman Tingkat Pemahaman Leksikon Kelautan di Ohoi Warbal

No Kelompok

Leksikon

Jumlah

Leksikon

Jumlah leksikon

yang sama sekali

tidak dikenal

(dalam %)

Nama leksikon yang sama

sekali tidak dikenal

(dalam %)

1 Ikan dan hewan

lain di dalam laut

57 4 (7 %) rwin „ikan duyung‟ (50

%), ngam„ikan puri‟ (70

%), ngilngilan „lola‟ (36,7

%), aat „ikan lema‟ (50 %)

2 Hewan di sekitar

laut

15 2 (13 %)

uwe „buaya‟ (87,8 %),

kus„kus-kus‟ (75,6 % )

3 Tumbuhan di dasar

laut

6 - -

4 Tumbuhan di tepi

laut

28 5 (17,9 %) talumur „bunga jamur‟

(36,7 %), warbanglu

„sejenis bunga‟ (6,7 %),

kabutbutur „rumput duri

babi‟ (23,3 %), tananan

„bunga kupu-kupu‟ (13,3

%), lalahar „buah kira-

kira‟ (10 %)

5 Burung di sekitar

laut

7 4 (57 %) mansiwak „burung gereja‟

(60 %), tarut „burung

pombo‟ ( 56,7 %), kilwar

„burung laut‟ (20 %),

mankaba „burung laut‟

( 80%)

6 Benda mati di

dalam dan tepi laut

6 1 (16,7 %) karet ihin „kulit bia‟(60 %)

7 Alat penangkap

ikan tradisional

12 2 (16,7 %) ail „alat tangkap ikan

tradisional‟ (50%), kular

„alat tangkap ikan

tradisional‟ (76,7 %),

Page 125: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

125

Tabel di atas menggambarkan bahwa leksikon kelautan yang jarang

digunakan dan didengar penutur bahasa Kei adalah kelompok leksikon tumbuhan

di tepi laut, yaitu 5 (17,9 %), diikuti kelompok leksikon burung di sekitar laut,

yaitu 4 (57 %), serta Ikan dan hewan lain di dalam laut 4 (7 %). Selanjutnya,

berdasarkan tabel di atas dapat diinterpretasikan bahwa untuk pemahaman

informan tentang leksikon kelautan di Ohoi Warbal, maka dari 90 informan

ditemukan 18 orang (20 %) informan dari semua kelompok sama sekali tidak

kenal dan menggunakan leksikon kelautan, sedangkan 72 orang (80 %)

informan dari semua kelompok menyatakan mengenalnya dan referennya

masih banyak ditemukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 72 orang

(80 %) dari 90 informan yang tinggal di pesisir pantai Ohoi Warbal dalam

kesehariannya masih mengenal dan menggunakan leksikon kelautan dalam bahasa

Kei.

6.2 Kebertahanan Leksikon Kelautan Bahasa Kei dan Kelestarian

Lingkungan Kelautan di Kepulauan Kei

Bahasa itu seperti makhluk hidup yang lain. Artinya, bahasa dapat

berkembang dan berubah setiap saat. Di samping itu, bahasa juga mempunyai

kemungkinan untuk mati. Bahasa perlu tempat atau lingkungan untuk hidup,

termasuk bahasa Kei, yaitu penutur sebagai bagian dari guyub tutur dan ekosistem

yang senantiasa dimaknai melalui media bahasa. Peran dan pengaruh bahasa Kei

terhadap keberlangsungan dan keseimbangan lingkungan perlu dijaga dan

dipelihara karena perubahan berbagai bentuk dan fungsi lingkungan dapat juga

diamati dan direkam dalam bahasa. Dengan demikian, bahasa akan selalu hidup,

Page 126: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

126

terpakai, terpelihara dan terwariskan dengan baik melalui penggunaan leksikon

yang berhubungan dengan lingkungan kelautan secara aktif dan ungkapan-

ungkapan bahasa Kei dalam menjaga kelestarian lingkungan alam di Ohoi

Warbal.

6.2.1 Kebertahanan Leksikon Kelautan Bahasa Kei

Perubahan selalu terjadi, baik zaman, peradaban, maupun segalanya

berubah. Tidak ada yang dapat menyalahkan perubahan, hanya tergantung

individu yang mengalami perubahan itu, apakah ia dapat menyikapinya dengan

bijak atau tidak. Perubahan harusnya tidak diterima sepenuhnya dan tidak berarti

meninggalkan kebiasaan yang lama. Kebiasaan lama biasanya sudah berakar kuat

dan selaras menyatu dengan lingkungan sekitar dan menjadi bagian dari adat

budaya. Kondisi geografis Ohoi Warbal yang dikelilingi oleh laut menyebabkan

sebagian besar masyarakat Ohoi Warbal berprofesi sebagai nelayan dan petani.

Sehubungan dengan itu, masyarakat Ohoi Warbal pada umumnya

menggantungkan hidup sepenuhnya pada alam sekitarnya, baik ikan dan hasil laut

maupun tumbuhan dan hewan di sekitarnya yang bermanfaat sebagai bahan

makanan, obat-obatan, bahan baku membuat rumah, dan sebagainya.

Kondisi ini menyebabkan masyarakat mengenal dan mengakrabi jenis-jenis

ikan, hewan (baik di darat maupun di sekitar laut), tumbuhan dan alat tangkap

ikan yang memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi

kehidupan mereka dan akhirnya leksikon-leksikon itu terkonsep ke dalam kognisi

atau pikiran. Dengan demikian, tumbuh perilaku konservatif atau protektif

terhadap lingkungan, khususnya lingkungan kelautan di Ohoi Warbal yang

Page 127: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

127

memang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat secara turun temurun. Hal

ini seperti yang dinyatakan Mbete (2010) bahwa perilaku konservatif sebagai

“perilaku atau tindakan yang menjaga, merawat, juga menggunakan secara terukur

agar tidak punah dan tetap awet. Perilaku tersebut dapat dilihat pada cara

penangkapan ikan di Ohoi Warbal, seperti yang dituturkan Bapak Pit Tawaerubun

(hal. 171) berikut ini.

11. P : Semua ikan apa saja bisa tangkap kapan-kapan saja, cuma skarang karena

ikan di dalam teluk ini su kurang dan masih kecil-kecil jadi dong su atur

bagaimana pi tangkap ikan, supaya skarang pi tangkap atau pancing di

luar teluk saja. Biar dapat ikan yang besar saja to..!

Apabila dikaitkan dengan penangkapan ikan, sebenarnya orang Kei dulu sudah

memiliki satu petuah yang menjadi rambu-rambu bagi mereka sendiri. seperti

yang dikatakan Bapak Pit Tawaerubun (hal. 171).

11. P : Begini…sekarang itu katong su jaga ketat orang pancing deng jaring ikan.

Jadi Raynold to, skarang dong bilang seng boleh pancing di sini, seng

boleh pancing di sana , seng boleh pake alat ini, seng boleh pake alat itu,

par tangkap ikan, karena katong pung anak cucu masih ada lai. Itu kan

berhubungan dengan orang tatua dong punya fangnanan (nasihat) kaya

begini. Teten rasib ne (orang tua berpesan) tabatang nuhu met if o did

koko famur. Kita pelihara hasil darat dan laut ini untuk anak cucu kita.

Data seng boleh pancing di sini, seng boleh pancing di sana, seng boleh

pake alat ini, seng boleh pake alat itu, (tidak boleh pancing di sini, tidak boleh

pancing di sana, tidak boleh pakai alat ini, tidak boleh pakai alat itu), antara lain

berkaitan dengan, larangan pemanfaatan sumber daya laut dengan memanfaatkan

peralatan, semisal pukat harimau, atau bom, atau racun ikan (bore), atau ghost net

yang berlebihan karena dapat merusak biota laut. Peribahasa atau ungkapan ta-

batang nuhu met i fo did koko famur “Peliharalah alam ini untuk anak cucu kita”

Page 128: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

128

mengandung makna menjaga keseimbangan lingkungan darat dan laut agar tetap

lestari untuk generasi berikutnya. Perilaku konservatif guyub tutur terhadap

lingkungan yang menyiratkan kedekatan dan keakraban dengan lingkungan alam

sehingga tumbuh rasa hormat dan takut turun-temurun. Selain itu, dalam

mengolah alam warga guyub tutur seharusnya juga memperhitungkan

keseimbangan alam karena keseimbangan menjadi pendukung kelestarian alam

dan isinya. Kadang-kadang persahabatan manusia dengan alam membuahkan

keuntungan bagi manusia itu sendiri. Hal ini dibuktikan melalui kisah berikut (hal.

172).

12. P: Oh iya, jadi burung gereja itu seng perna terbang sampe di laut. Jadi, kalau

dong ada pancing, lalu ada sekumpulan burung gereja ada terbang bermain

di atas laut, maka pasti dong dapa ikan banyak. Pokoknya kuat tarik ikan

saja. Itu dong pung rejeki sudah.

Berkaitan dengan perilaku konservatif, yang perlu dipertahankan adalah

tidak boleh menyombongkan diri atau kerendahan hati. Contohnya ada hal-hal

tertentu yang sebaiknya dihindari seperti penuturan Bapak Pit Tawaerubun (hal.

172).

13. R : Om, kalau mau pi pancing atau sementara pancing di laut, ada kata-kata

yang tabu yang seng boleh katong bilang ka senga? Kalau ada, apa itu?

P : Kayaknya seng ada, yang penting jangan beribut saja. Kalau dalam

katong pung bahasa itu tang bivir kawit haid (tidak boleh ribut).

R : Oh iya om, lalu kalau beta di tengah laut apa yang tidak boleh beta

bilang? Mungkin seng boleh bilang nama ikan apa ka? Atau nama

tumbuhan apakah begitu?

P : O… kalau itu seng ada, Cuma inga minta permisi untuk penguasa tempat

itu. kalo di sini biasa di tiap tempat di laut sana ada dong punya penjaga.

Jadi katong minta permisi saja, itu pasti katong dapa ikan banyak. Ada

satu lai ini, katong seng boleh berbangga diri, dengan seng bole

berbahasa yang kasar atau bernada keras, dan menunjukkan kebolehan.

Page 129: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

129

Jadi, dengan laut pun penutur bahasa Kei harus bertutur secara lembut dan

ramah, tidak boleh dikasari, atau tidak boleh bising jikalau ada di laut itu.

Kebisingan berarti menyebabkan adanya pencemaran bunyi atau juga berarti

mengusik ketenangan suasana, khususnya akan mengganggu penjaga tempat itu.

Perilaku tak boleh sombong juga menjadi tanda ihwal bersahabat dan sikap rendah

hati dengan alam laut khususnya yang memberikan mereka hidup berupa protein

ikan dan kehidupan rohaniah dalam arti luas. Selain itu, referen tumbuhan, hewan

dan alat tangkap itu masih banyak ditemui dan hidup atau tumbuh di sekitar

lingkungannya, bahkan leksikon-leksikon tersebut sering digunakan dalam

kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, hingga saat ini masyarakat Ohoi Warbal

masih sangat akrab dengan leksikon tumbuhan, hewan, dan alat tangkap, baik

yang berhubungan dengan tumbuhan dan hewan maupun alat tangkap tradisional

tersebut. Sikap setia dan bangga menggunakan bahasa daerah merupakan perilaku

positif yang harus ditanamkan kepada penutur bahasa, dalam hal ini penutur

bahasa Kei di Ohoi Warbal baik generasi muda maupun tua. Hal ini dapat dilihat

dari sikap penutur bahasa Kei di Ohoi Warbal yang lebih menghargai orang yang

menggunakan bahasa Kei dalam percakapan dibandingkan dengan yang

menggunakan bahasa Indonesia, walaupun lawan bicaranya adalah masyarakat

setempat.

Hal lainnya adalah nelayan di Ohoi Warbal juga memiliki rasa empati

terhadap ikan tangkapannya. Untuk mendapatkan ikan (semua jenis) yang banyak,

mereka bisa dikatakan menghindari apa yang dikatakan sebagai pantangan, yaitu

Page 130: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

130

tidak boleh membawa bekal (makan dan minum) jika ingin melaut. Berikut

penuturan Pit Tawaerubun (hal. 172).

15. P: …Kalau mau pi pancing ka atau biking jaring ka atau mau pi cari apa

saja di laut sana seng boleh bawa bekal atau makanan (enbal, nasi,

roti) dan minuman (air). Karena kalau bawa itu pasti katong seng dapa

ikan atau hasil, karena ikan ini dong mangkali seng mau dapa dong

gampang-gampang saja kaapa? Lalu, karena katong pi ini par mencari

bukan pi peknik. Jadi katong betul-betul mau berusaha. Katong susah-

susah dolo to baru dapa barang bai te.

P : Oh iya, satu lai ini, keadaan rumah harus tenang dan kalau ada orang

datang jangan berikan.

6.2.2 Kebertahanan Ungkapan-Ungkapan Bahasa Kei dalam Menjaga

Kelestarian Lingkungan Kelautan

Kehidupan sosialbudaya etnik Kei terjaring secara lingual dalam bahasa Kei

yang digunakan secara teratur. Artinya bahasa Kei digunakan, baik secara

interpersonal maupun secara transaksional (Brown dan Yule, 1996:1), niscaya

bahasa Kei dan masyarakt etnik Kei secara keseluruhan menandai dan „mengikat‟

keberadaan mereka sebagai suatu entitas masyarakat dan kebudayaan yang

membedakannya dari etnik lain. Dalam pelbagai ranah kebudayaan itulah bahasa

Kei termasuk sejumlah ungkapan yang idiomatik dan metaforik “menjalankan”

fungsi sosialnya baik untuk menjalin dan memelihara keserasian hubungan

antarpenutur maupun untuk mewarisi dan menanamkan nilai-nilai antargenerasi.

Sejumlah ungkapan dimaksud dijabarkan sebagai berikut.

1) Vel bi-yoot hasil walein, mu-sikol mu-yanan

Kalau 2J-dapat hasil banyak, 1T-sekolah POSS3T2T-anak

“Kalau dapat hasil banyak, sekolahkan anakmu”

2) Tang bi-na afa naa hot ran ro haid

Jangan 2J-ambil barang Prep teluk dalam sana jangan

“Janganlah ambil hasil di dalam teluk itu”

Page 131: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

131

3) Ta-batang nuhu met i fo it-did koko famur

1J-jaga kampung meti ini untuk POSS1J anak-anak belakang

“Peliharalah alam ini untuk anak cucu kita”

4) Yaha na-efken ni-duan

Anjing 3T-kenal POSS3T-tuan

“Anjing mengenal tuannya”

5) Ulnit na-vil a-tumud

Kulit pp3T-bungkus 1J-tubuh

“Kulit membungkus tubuh kita”

Secara umum ungkapan-ungkapan budaya verbal etnik Kei di atas

mengandung makna dan fungsi melestarikan lingkungan, baik lingkungan ragawi

maupun sosial serta hubungan manusia dengan manusia lainnya. Selain itu, ada

ungkapan yang berhubungan dengan alam semesta, baik dalam hubungan dengan

Tuhan pencipta alam semesta yang keagungan dan kekuasaan-Nya disimbolkan

dengan bumi dan langit maupun hubungan dengan leluhur mereka. Hierarki

kepercayaan mereka dengan Tuhan di jenjang tertinggi dan leluhur di jenjang

bawahnya tampak pada ungkapan berikut

1) Ud na-tauk at vunad

Kepala 3t-bertumpuh pada leher

“Kepala kita bertumpu pada leher kita”

2) Duad i na-dok naa ler ratan

Tuhan 3T 3T-duduk Prep matahari atas

“Tuhan duduk di atas matahari”

3) Duan nit hir rir tanat i

Roh orang mati 3J POSS3J tanah ini

“Tanah ini milik leluhur dan orang tua-tua”

Ungkapan di atas dimaksudkan bahwa Tuhan yang menempati tempat tertinggi di

alam raya hendaknya disembah dan dimuliakan. Sementara itu, para leluhur yang

secara genetis melahirkan mereka, yang dalam masyarakat etnis Kei dikenal

sebagai duan nit hendaknya dihormati pula.

Page 132: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

132

Hal lain yang juga menarik dalam kaitan dengan pelestarian hasil laut,

khususnya ngilngilan „lola‟ dan eb „teripang‟ adalah kekuatan hawer. Hawer

adalah tanda yang bermakna pelarangan, yaitu tidak boleh menyentuh,

mengambil, apalagi mencuri hasil laut, biasanya hasil laut seperti lola dan

teripang. Tanda hawer biasanya berupa daun kelapa muda yang ditancapkan

dengan kain merah. Pelanggarannya berakibat fatal, yakni pelaku akan secara

perlahan-lahan menderita dan pada akhirnya meninggal jika tidak diakui oleh

pelaku dan meminta tua-tua adat untuk mengobati secara adat. Pengobatan secara

adat oleh tua-tua adat ini biasanya dengan berdoa dan mempersembahkan „buk

mam‟ berupa mas adat Kei, sirih pinang, tembakau, dan uang koin. Dengan

melakukan upacara ini maka dipercaya pelaku dapat sembuh. Akan tetapi, jarang

sekali masyarakat melanggar aturan ini karena mereka masih sangat kuat percaya

kepada leluhur mereka. Berikut ini ungkapan tentang penjagaan hasil laut dengan

hawer tersebut.

1) Ler i nuhu met roa i hawear

Matahari ini kampung meti laut ini sasi

“Hari ini laut disasi (dilarang mengambil hasil laut)”

2) Ta-batang nuhu met roa i fo did yanat ubun

1J-jaga kampung meti laut ini untuk POSS2J anak cucu

“Jagalah laut dan darat harus untuk anak cucu”

Paralelisme semantik memang nyata pada kedua ungkapan ini dan di

dalamnya tersirat makna yang sama, yakni agar laut dan darat menjadi lestari.

Larangan hawer ini menjadi norma yang harus ditaati, bahkan tidak boleh

ditawar-tawar. Di samping itu, larangan hawer lebih dimaksudkan agar

Page 133: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

133

masyarakat tidak diperkenankan untuk mengambil hasil laut dan darat secara

sembarangan agar tetap terjaga kelestariannya.

Selanjutnya, ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan pemeliharaan

keserasian hubungan dengan sesama warga etnik Kei. Selain norma dan nilai

pelestarian lingkungan alami, pemeliharaan lingkungan sosial juga terungkap

secara verbal. Hal itu tampak pada ungkapan berikut.

1) Manut anmehe ni tilur, vuut anmehe ni ngivun

Ayam satu POSS3T telur, ikan satu POSS3T telur

“Kita semua bersaudara/sama”

2) Ain ni ain

Satu POSS3T satu

“Kita semua bersaudara”

3) Voing fokut ain mehe, nevaw fo banglu vatu

Kumpul jadi satu sendiri, kawin untuk senjata satu

“Kita semua bersaudara”

Secara metaforik dan paralelisme semantik memang nyata pada kedua

ungkapan ini sebab di dalamnya tersirat makna yang sama yakni agar laut dan

darat menjadi lestari. Ungkapan di atas memiliki daya ungkap dan daya semantik

yang sangat kuat bagi masyarakat penutur bahasa Kei. Ungkapan ini bermakna

bahwa semua manusia sama dan hubungan manusia dan alam harus menjaga

keseimbangan antara satu dan yang lain. Selain itu, ungkapan ini mengamanatkan

bahwa masyarakat dan alam semuanya „bersaudara‟ dan pentingnya kebersamaan

dan kekompakan, keserempakan gerak dalam bekerja, kesatuan dan kebersamaan.

Page 134: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

134

6.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kebertahanan Leksikon Kelautan

Bahasa Kei

Bahasa merupakan gambaran identitas, merekam kearifan lokal, konsep-

konsep kolektif, nilai-nilai historis, religius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis

suatu masyarakat. Sehubungan dengan itu, yang diperlukan masyarakat penutur

bahasa bukan hanya sebuah kognisi atau pengetahuan, melainkan juga sebuah

kompetensi dan performansi yang komunikatif, produktif, dan kreatif, baik lisan

maupun tulisan dengan kekayaan ranah pakai bernuansa etnis (Halliday, 1978:10).

Bahasa dapat hidup atau mati tergantung pada penggunaan dan berkembang atau

tidaknya suatu bahasa. Berkembang dan menyusutnya suatu bahasa tentu

dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal ini disebabkan oleh bahasa hidup dalam

lingkungan sosial suatu masyarakat penutur untuk berinteraksi, interdepedensi,

dan interelasi dengan lingkungan. Suatu bahasa tetap bertahan dan hidup jika

penuturnya selalu menggunakan bahasa tersebut. Dengan demikian, bahasa itu

akan terjaga dan tetap berada dalam pikiran atau kognisi penuturnya. Sebaliknya,

jika penuturnya jarang atau tidak pernah menggunakan bahasanya, maka suatu

saat bahasa itu akan bergeser, menyusut, dan akhirnya mati atau punah dari

masyarakat pendukungnya

Berdasarkan kondisi ini, maka sesungguhnya suatu leksikon dapat bertahan

dan atau menyusut, bergeser, bahkan hilang atau punah dapat dipengaruhi oleh

berbagai faktor yang terjadi di dalam masyarakat. Setelah dicermati dengan baik,

dalam penelitian ini ditemukan faktor-faktor yang memengaruhi kebertahanan dan

pemahaman leksikon kelautan bahasa Kei di Ohoi Warbal, sebagai berikut.

Page 135: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

135

1) Faktor-faktor bertahannya leksikon kelautan bahasa Kei

Secara umum ada dua faktor yang menyebabkan bertahannya leksikon

kelautan bahasa Kei, yaitu lingkungan alam dan lingkungan sosial.

a. Lingkungan Alam

(1) Kondisi alam yang masih terjaga dengan baik sehingga referen tumbuhan,

hewan dalam lingkungan kelautan, dan alat tangkap tradisional pada

umumnya masih ada dan banyak ditemukan serta hidup atau tumbuh di

lingkungan guyub tutur.

(2) Kondisi geografis yang dikelilingi lautan sehingga sebagian besar masyarakat

Ohoi Warbal adalah nelayan, sehingga penutur sangat akrab dengan

tumbuhan dan hewan yang berada di sekitar lingkungan kelautan.

b. Lingkungan Sosial

(1) Sumber Penghidupan Masyarakat Ohoi Warbal

Masyarakat Ohoi Warbal pada umumnya menggantungkan hidup sepenuhnya

pada alam sekitarnya termasuk lingkungan kelautan, baik ikan maupun hasil

laut (tumbuhan dan hewan) lainnya yang bermanfaat sebagai bahan makanan,

obat-obatan, bahan baku membuat rumah, dan sebagainya. Kondisi ini

menyebabkan masyarakat memahami hewan, tumbuhan, dan alat tangkap

ikan yang memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung

bagi kehidupan mereka dan akhirnya leksikon-leksikon itu terkonsep ke

dalam kognisi atau pikiran.

Page 136: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

136

(2) Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty)

Sikap setia dan bangga menggunakan bahasa daerah merupakan perilaku

positif yang harus ditanamkan kepada penutur bahasa dengan tujuan

pelestarian bahasa tersebut, dalam hal ini penutur bahasa Kei di Ohoi Warbal,

baik generasi muda maupun tua. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan sosial

penutur Kei di Ohoi Warbal yang selalu menggunakan bahasa Kei dalam

keseharian dan lebih menghargai orang yang menggunakan bahasa Kei dalam

percakapan dibandingkan dengan yang menggunakan bahasa Indonesia

walaupun lawan bicaranya adalah masyarakat setempat.

(3) Perilaku Konservatif Guyub Tutur Terhadap Lingkungan Kelautan

Perilaku konservatif sebagai “perilaku atau tindakan yang menjaga dan

merawat, lingkungan agar tidak punah dan tetap awet menyiratkan kedekatan

dan keakraban dengan lingkungan alam sehingga tumbuh rasa hormat dan

takut turun-temurun. Selain itu, dalam mengolah alam warga guyub tutur juga

memperhitungkan keseimbangan alam, karena keseimbangan menjadi

pendukung kelestarian alam dan isinya.

2) Faktor-faktor penyebab menyusutnya leksikon kelautan bahasa Kei

Penyusutan dan berkurangnya leksikon-leksikon kelautan dalam bahasa Kei

juga dipengaruhi oleh lingkungan alam dan lingkungan sosial, seperti berikut ini.

a. Lingkungan Alam

(1) Perubahan Ekologi Kelautan

Perubahan ekologi di Ohoi Warbal dapat dilihat dengan adanya perubahan

lingkungan, baik secara alamiah maupun pembangunan fisik. Hal ini terlihat

Page 137: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

137

jelas dengan adanya beberapa jenis ikan laut yang jarang ditemukan karena

banyaknya pengeringan, pembangunan beton di sepanjang pesisir pantai

sehingga ada jenis ikan yang hidup di laut dangkal seperti ikan gete-gete sulit

ditemukan. Hal ini terjadi karena biota laut itu sudah berpindah ke ekosistem

lain, bahkan menjadi punah. Selain itu, pembuangan sampah di pesisir pantai

yang berlebihan juga menyebabkan pencemaran dan pendangkalan laut.

(2) Lingkungan Tumbuh atau Lingkungan Hidup yang Berbeda

Lingkungan hidup hewan dan tumbuhan tertentu berada jauh dari

perkampungan atau tempat tinggal penduduk. Kondisi ini membuat penutur

terutama sebagian generasi muda kurang bahkan ada yang belum pernah

sama sekali berinteraksi dengan tumbuhan dan hewan itu, pada akhirnya

penutur tidak mengenali dan mengakrabi tumbuhan dan hewan itu dengan

baik terutama generasi muda.

b. Lingkungan Sosial

(1) Sistem Kepercayaan

Seperti yang telah dijelaskan bahwa pada dasarnya kepercayaan guyub tutur

Kei adalah animisme, namun masuknya agama Kristen maka kepercayaan

animisme perlahan-lahan ditinggalkan termasuk leksikon-leksikon yang

digunakan dalam ritual keagamaan seperti tembakau dan daun siri sudah tidak

dugunakan lagi, khususnya generasi muda di Ohoi Warbal.

(2) Kurangnya Partisipasi

Partisipasi berbahasa daerah yang kurang oleh penutur khususnya pelajar

yang bersekolah di ibu kota Kabupaten Langgur dan sekitarnya juga ikut

Page 138: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

138

mengurangi integritas bahasa Kei. Sebagian pelajar mengakui bahwa

kurangnya partisipasi mereka dalam bahasa Kei diakibatkan oleh intensitas

dan kebiasaan penggunaan bahasa Indonesia terlebih lagi bahasa Melayu

Ambon di kota sehingga mereka merasa malu untuk berbahasa Kei.

(3) Kurangnya proses penerusan atau transfer dari generasi tua ke generasi muda

Maksudnya adalah leksikon-leksikon dan referen tumbuhan, hewan, dan alat

tangkap tradisional yang tidak ditransfer atau diteruskan dari generasi tua ke

generasi muda sehingga leksikon-leksikon tersebut tidak terkonsep dalam

pikiran generasi muda. Keadaan itu dapat menyebabkan referen-referen

tersebut dapat menyusut, bahkan bisa hilang dari pikiran penutur terutama

generasi muda. Selanjutnya, karena banyak pelajar yang bersekolah di ibu

kota Kabupaten Langgur dan sekitarnya, ada pelajar yang tidak tahu sebagian

leksikon kelautan walaupun referenya masih ada, khususnya tumbuhan dan

hewan di dasar laut, seperti ngilngilan „lola‟, iwar „ikan mata bulan‟, dan

babat „bunga karang‟.

(4) Dominannya Pemakaian Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ambon

Perubahan global yang sangat pesat termasuk komponen bahasa

menyebabkan pertumbuhan dan pemeliharaan bahasa daerah yang satu dan

bahasa daerah yang lain berbeda-beda. Hal ini terjadi karena ada bahasa yang

terawat dengan baik atau secara aktif digunakan dan ada juga bahasa yang

tidak diperhatikan kebertahanannya atau tidak aktif digunakan. Dengan

demikian, bahasa-bahasa daerah akan terpinggirkan karena adanya persaingan

antara bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Dalam konteks

Page 139: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

139

persaingan ini, umumnya bahasa daerah berada dalam posisi lemah. Hal ini

ditandai secara alami dengan merosotnya jumlah penutur karena adanya

persaingan bahasa daerah, desakan bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu

Ambon. Di samping itu, juga semakin berkurangnya loyalitas penutur

terhadap pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan simbol identitas

masyarakat penutur, antara lain sebagai berikut.

(a) Tidak ada bahan pembelajaran bahasa Kei dalam pelajaran muatan lokal

di sekolah, baik tentang alam, sosial, budaya, maupun bahasa. Selain itu,

pelajar diharuskan menggunakan bahasa Indonesia di sekolah.

(b) Leksikon dalam bahasa Kei yang sudah digantikan dengan leksikon

dalam bahasa Indonesia. Contoh leksikon warat dan tali. Masyarakat

Ohoi Warbal lebih mengenal dan menggunakan leksikon tali daripada

leksikon warat.

Page 140: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

140

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Umumnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kei masa silam

senantiasa berupaya mendapatkan berbagai informasi dari lingkungan untuk dapat

mengelola lingkungan secara tepat. Berbagai informasi/pengetahuan lingkungan

tersebut biasanya diwariskan dari leluhurnya secara berkelanjutan dengan

menggunakan bahasa ibu. Misalnya, nama-nama biota sekitar lingkungan laut

dalam bahasa Kei dan istilah-istilah dalam teknologi tradisional perikanan.

Selanjutnya hasil penelitian menyangkut pemahaman leksikon kelautan bahasa

Kei yang berhubungan dengan lingkungan kelautan dapat disimpulkan sebagai

berikut.

Pertama, satuan-satuan lingual ekoleksikal kelautan bahasa Kei berupa suku

kata yang berpola V, VK, KV, KVK, dan KKV. Selain itu, satuan lingual leksikon

kelautan bahasa Kei secara morfologi berupa kata, yang terbagi menjadi kata

monomorfemis, bentuk ulang, dan kata majemuk.

Kedua, saat ini sebagian besar penutur bahasa Kei, baik pria maupun wanita dari

tiap-tiap kelompok usia di Ohoi Warbal masih mengenal, sering mendengar, dan

menggunakan leksikon kelautan bahasa Kei. Pemahaman itu juga didukung

dengan pengetahuan mereka tentang lokasi tempat referen leksikon tersebut

ditemukan. Untuk jenis ikan, mereka mengenal tempat hidup ikan tersebut apakah

di laut dangkal atau di laut dalam. Untuk jenis alat tangkap ikan tradisional,

mereka bisa menyebutkan semua alat tangkap tradisional dan jenis-jenis ikan yang

Page 141: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

141

biasanya ditangkap dengan alat tersebut. Dari alat-alat tangkap tradisional itu

hanya ada dua alat tangkap yang sama sekali tidak dikenal oleh kelompok pria

dan wanita usia 25--45 dan 15--24 tahun, yaitu kular dan ail. Hal ini terjadi

karena sudah tidak ada alat itu lagi, sedangkan, untuk kelompok pria dan wanita

usia di atas 46 tahun masih kenal dan pernah menggunakan alat tersebut serta

masih terekam dalam ingatan mereka.

Selain itu, pada tabel 6.1.8 digambarkan bahwa ada penurunan tingkat

pemahaman pada sebagian kecil kelompok leksikon kelautan di Ohoi Warbal.

Artinya, semakin muda usia informan penutur Kei, semakin sedikit leksikon

kelautan yang dikenal, didengar dan digunakan. Di pihak lain, tabel 6.1.9

digambarkan bahwa leksikon kelautan yang jarang digunakan dan didengar

penutur Kei adalah kelompok leksikon tumbuhan di tepi laut diikuti kelompok

leksikon burung di sekitar laut. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa

untuk pemahaman informan tentang leksikon kelautan di Ohoi Warbal, maka dari

90 informan ditemukan 18 orang (20 %) informan dari semua kelompok yang

sama sekali tidak kenal dan menggunakan leksikon rwin, ngilngilan, arat,

ngam, uwe , kus, waren, talumur , warbanglu ,tananan, lalahar, mansiwak

,kilawar, mankaba ,tarut, karet ihin, kular, dan ail. Di pihak lain, ada 72 orang

(80 %) informan dari semua kelompok menyatakan mengenalnya dan

referennya masih banyak ditemukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

72 orang (80 %) dari 90 informan yang tinggal di pesisir pantai Ohoi Warbal

dalam kesehariannya masih mengenal dan menggunakan leksikon kelautan bahasa

Kei.

Page 142: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

142

Ketiga, leksikon kelautan bahasa Kei dalam lingkungan kelautan sebagian

besar masih dikenal dan digunakan dalam keseharian. Secara umum, ada dua

faktor yang menyebabkan bertahannya leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu

lingkungan alam, yaitu kondisi alam yang masih terawat dan terjaga dengan baik

serta kondisi geografis yang dikelilingi lautan sehingga sebagian besar masyarakat

Ohoi Warbal adalah nelayan, dan lingkungan sosial, yaitu (1) sumber

penghidupan masyarakat Ohoi Warbal, (2) kesetiaan berbahasa (language

loyalty), (3) perilaku konservatif guyub tutur terhadap lingkungan kelautan, dan

(4) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Kei dalam

keseharian. Di pihak lain, penyusutan dan berkurangnya leksikon-leksikon

kelautan bahasa Kei dipengaruhi oleh lingkungan alam, yaitu perubahan ekologi

kelautan dan lingkungan tumbuh atau lingkungan hidup yang berbeda, dan

lingkungan sosial, yaitu (1) sistem kepercayaan, (2) kurangnya partisipasi, (3)

kurangnya proses penerusan atau transfer dari generasi tua ke generasi muda, dan

(4) dominannya pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon

7.2 Saran

Sebagai satu bahasa daerah di Indonesia, bahasa Kei merupakan bagian dari

kebudayaan Indonesia dan merupakan jati diri masyarakat Kei yang perlu

dipelihara, dibina, dan dikembangkan. Leksikon budaya dari bahasa Kei dapat

memperkaya bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Kei perlu dilestarikan

melalui upaya dan tindakan nyata yang berkaitan dengan pelestarian sumber daya

lingkungan kelautan yang melibatkan semua masyarakat, terutama generasi muda.

Page 143: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

143

Upaya ini penting untuk mempertahankan leksikon kekhasan daerah yang

merupakan cerminan sejarah adanya lingkungan alam (ragawi) dan sosial budaya

yang hidup pada zamannya. Tujuannya adalah agar setiap masyarakat ikut

berperan aktif mendukung eksistensi bahasa Kei melalui pemakaian bahasa Kei

dalam berkomunikasi sehari-hari. Khusus bagi sektor perikanan, peternakan, dan

pertanian, temuan penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan dalam

menentukan kebijakan penelitian dan konservasi sumber daya hayati. Dengan

begitu, diharapkan dapat menumbuhkan perilaku penjagaan, pemeliharaan, dan

pelestarian lingkungan ragawi.

Untuk melestarikan bahasa Kei dan lingkungannya, diharapkan ada

penelitian lanjutan, misalnya leksikon bahasa Kei yang berhubungan dengan alat-

alat pertanian, rumah tangga, dan nama-nama tempat, leksikon verba dan leksikon

ajektiva. Dengan demikian, upaya pelestarian melalui penelitian dapat

mengantisipasi ancaman kepunahan bahasa ini. Harapan peneliti bahwa penelitian

ini dapat menjadi rekomendasi untuk diaplikasikan dalam upaya revitalisasi

bahasa dan pelestarian lingkungan.

Page 144: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

144

DAFTAR PUSTAKA

Adisaputra, Abdurahman. 2010. “Ancaman terhadap Kebertahanan Bahasa

Melayu Langkat”. (disertasi). PPS Universitas Udayana. Denpasar .

Al Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Mengenal Ekolinguistik”. http.Ekolinguistik

Diunduh 12 Juni 2012.

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka

Cipta.

Bauer, Peter Thomas. 1983. English Word Formation. City of Cambridge:

Cambridge University Press.

Beatley, T. Brower. D.J. and Schwab. A.K. 1994. An Introduction To Coastal

Zone Management. Washington, DC. Island Press.

Booij, Geert. 2007. The Grammar of Words: An Introduction to Linguistic

Morphology. Great Britain: Oxford University.

Brown, Gillian George Yule. 1996. Analisis Wacana. Discourse Analysis.

Terjemahan E Koeswara dkk. Bandung : Eresco.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta. Kencana Prenda Media.

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka

Cipta.

Chaer, Abdul. 2003. Seputar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:

Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2003. Sosiolinguistik Suatu Pengantar.

Jakarta: Rineka Cipta.

Crystal, David. 2003. Language Death. UK: Cambridge University.

Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th

Edition,

Damanik, Ramlan. 2009. “Pemertahanan Bahasa Simalungun di Kabupaten

Simalungun. Medan”: USU. Tesis tidak dipublikasikan.

Djajasudarma, Hj. T. Fatimah.1993 Semantik I Pengantar Ke Arah Ilmu Makna.

Bandung: Eresco.

Page 145: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

145

Djajasudarma, Hj. T. Fatimah. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode

Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama.

Djardjowidjojo, Soenjono. 1998. Morfologi Generatif:Teori & Permasalahannya.

Jakarta : Lembaga Bahasa Atmajaya.

Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali

Press.

Fasold, Ralph. 1986. The Sociolinguistic of Society. New York: Basil Blackwell.

Fill, Alwin dan Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language,

Ecology and Environment. London: Continuum.

Fishman, J.A. 1968. The Sociology of Language. Massachusett: Newbury House

Plublication.

Gunarto Suhardi, 1990. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Citra

Aditya Bakti: Bandung

Gunarwan, Asim. 2006. “Bebebrapa Kasus Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa:

Implikasinya pada Pembinaan Bahasa Lampung”. Makalah pada Seminar

Nasional Pembinaan Bahasa, Sastra dan Budaya Daerah. Bandar Lampung,

29--30 Oktober 2001.

Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research I. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Halle, Morris. 1973. “Prolegomena to a Theory of Word Formation in English”.

Linguistic Inquiry, Vol. IV, No.1

Halliday , M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1978. Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-

Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Terjemahan: Asruddin

Barori Tou dari Judul Asli:Language, Context, and Text: Aspects of

Language in a Social-Semiotic Perspective). Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Haugen, Einar. 1972. The Ecology of Language. Stanford ,California: Stanford

University Press.

Holmes, Janet. 2001. Introduction to Sociolinguistics. (Ed. Kedua). Harlow,

Essex: Longman.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Edisi Keempat. Departemen Pendidikan

Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Page 146: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

146

Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT

Grasindo.

Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.

Jakarta: Gramedia.

Lauder, H. 2006. „Globalization and Social Change‟. (Paperback)

Lindø, Anna Vibeke dan Jeppe Bundsgaard (eds). 2001. Dialectical Ecolinguistics

Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in

Graz December 2000. Austria: University of Odense Research Group for

Ecology, Language and Ecology.

Lindø, Anna Vibeke dan Simon S. Simonsen. 2000. The Dialectics and Varieties

of Agency-the Ecology of Subject, Person, and Agent. Dialectical

Ecolinguistics. Three Essays for the Symposium 30 Years of Language

and Ecology in Graz December 2000. Austria: University of Odense

Research Group for Ecology, Language and Ecology.

Lyons, J. 1995. Pengantar Teori Linguistik (Terjemahan). Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Maluku Tenggara, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. 2007. Profile Wisata

Kabupaten Maluku Tenggara, Tual : Maluku Tenggara.

Marsono, 2008. Fonetik: Seri Bahasa. Jogyakarta. Gadjah Mada University Press

Matthews, P.H. 1974. Morphology: An Introduction to the Theory of Word

Structure. London: Cambridge University Press.

Mbete, Aron Meko. 2002.“Ungkapan-Ungkapan dalam Bahasa dan Fungsinya

dalam Melestarikan Lingkungan”. Linguistika. Vol.9: No. 17. Program

Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana, September

2002.

Mbete, Aron Meko. 2008. Ekolinguistik : “Perspektif Kelinguistikan yang

Prospektif”“. Bahan Kuliah Matrikulasi Program Magister Linguistik PPS

Universitas Udayana.

Mbete, Aron Meko. 2009. “Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam

Perspektif Ekolinguistik”. Disampaikan dalam Seminar Nasional Budaya

Etnik III, Diselenggarakan oleh USU, Medan 25 April 2009.

Mbete, Aron Meko dan Abdurahman Adisaputera. 2009. “Penyusutan Fungsi

Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di

Stabat”, Langkat.

Page 147: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

147

Mbete, Aron Meko. 2010. “Sekilas tentang Linguistik Kebudayaan”. Bahan

Sederhana untuk Berbagi Pengalaman dengan Mahasiswa Program Studi

Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro,

Semarang, 7 Mei 2010.

Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Ogden, C.K. dan Richard, F.A. 1972. The Meaning of Meaning. London:

Routledge dan Kegau Paul Ltd.

Ohoitimur, Y. 1996. Hukum Adat dan Sikap Hidup Orang Kei. Seminari Tinggi

Pineleng. Manado.

Oldeman, R.L. Irsal Las, and Muladi. 1981. The Agro-climatic Maps of

Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, and Bali West and East Nusa Tenggara

Contrib. No.60. Centr. Res. Inst. Agrc. Bogor.

Parera, J.D. 2004. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Peter, D.F. 1996. Reflections of a Social Ecologist. New York: Harpercollins.

Rahardjo, Mudjia. 2004. Language And Power: A Close Look At Critical

Sociolinguistics. Retrieved June 14, 2010, www.mudjiarahardjo.com.

Ramlan, M. 1985. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono.

Rasna, I Wayan. 2010. “Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat

Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan:

Sebuah Kajian Ekolinguistik”.Jurnal Bumi Lestari, Vol. 10 No. 2, Agustus

2010. hlm.321 – 332.

Rasna dan Binawati. 2012 . “Pemertahanan Leksikal Tanaman Obat Tradisional

untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Kajian Semantik

Ekolinguistik”. Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 1, Februari 2012,

hlm. 173 – 187.

Renjaan, M. Raynold. 2014. Leksikon Bahasa Kei dalam Lingkungan Kelautan:

Kajian Ekolinguistik. Linguistika. Program Studi Magister dan Doktor

Linguistik Universitas Udayana.

Ricklefs, E. Robert .1976. The Economy of Nature, Fifth Edition.

Page 148: pemahaman dan kebertahanan ekoleksikal kelautan guyub tutur ...

148

Sibarani, Robert. 1997. Leksikografi. Medan: Penerbit Universitas Sumatera

Utara.

Sinar, Tengku Silvana. 2010. “Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam

Pemeliharaan Lingkungan. Seminar Language, Literature,and Culture in

Southeast Asia”. Diselenggarakan oleh Prodi Linguistik USU dan Phuket

Rajabhat University Thailand, Thailand Juni 2010.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit CV

Alfabeta.

Sukhrani, Dewi. 2010. “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan

Kedanauan Lut Tawar” (”tesis”). Medan. Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

Sumarsono, 1990. “Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali”. Disertasi

Doktor, Tidak Diterbitkan. Denpasar : Program Studi S3 Linguistik PPS

Universitas Udayana.

Suparwa, I Nyoman. 2009. “Ekologi Bahasa dan Pengaruhnya dalam Dinamika

Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali”. Fakultas Sastra Universitas

Udayana.

Tardas, Gurning. 2004. “Sistem Tatakrama Berbahasa Batak Toba pada Upacara

Adat Perkawinan Medan”.Universitas Sumatera Utara.

Undang-Undang No. 31, Tahun 2007, 10 Juli 2007 tentang Pemekaran Kota Tual,

Kabupaten Maluku Tenggara, 2007

Verhaar, J.W.M. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Gadjah Mada University

Press. Jogyakarta.