Pelvic Inflammatory Disease

21
PELVIC INFLAMMATORY DISEASE (PID) BAB I PENDAHULUAN Penyakit Radang Panggul (PID) merupakan peradangan yang mengenai uterus, tu fallopii dan daerah yang berbatasan dengan pelvis. Faktor resiko untuk terjadiny panggul ini diantaranya adalah hubungan intim di usia yang sangat muda, pasangan yang berganti-ganti, pemasangan IUD, dan merokok. Keterlambatan diagnosis ataupu pengobatan pada kasus ini dapat menyebabkan gejala sisa yang lama seperti infert tuba. Patofisiologi PID adalah traktus genitalia bagian atas pada wanita terinfek penyebaran mikroorganisme patogen secara langsung dari vagina dan cervix. Sebena secara alamiah cervix telah memproduksi lendir yang berfungsi untuk mencegah penyebaran secara langsung mikroorganisme dari bawah, tetapi bakteri berhasil me masuk lendir tersebut dan akhirnya menyebabkan infeksi yang luas. Di Amerika Serikat PID mengenai 11% wanita usia prioduktif. Hampir satu juta wa mengalami episode PID setiap tahunnya, dan 20% dari mereka ini sampai memerlukan rawat inap. Diagnosis atau penanganan yang terlambat dapat menyebabkan sekuele reproduk yang panjang seperti infertilitas tuba. Setiap pengulangan terjadinya episode PI meningkatkan peluang terjadinya infertilitas tuba menjadi dua kali lipat. Wanita riwayat PID memiliki peluang untuk mengalami kehamilan ektopik 7-10 kali lipat dibandingkan wanita tanpa riwayat PID. Nyeri pelvis kronis juga dapat terjadi pa pada 25-75% wanita. PID terjadi lebih sering pada wanita usia remaja (15-19 tahun), tetapi pada penyakit ini dapat terjadi pada setiap wanita yang masih aktif berhubungan seksu usia ini juga dipengaruhi oleh etiologi dan geografis.

Transcript of Pelvic Inflammatory Disease

PELVIC INFLAMMATORY DISEASE (PID)BAB I PENDAHULUANPenyakit Radang Panggul (PID) merupakan peradangan yang mengenai uterus, tuba fallopii dan daerah yang berbatasan dengan pelvis. Faktor resiko untuk terjadinya radang panggul ini diantaranya adalah hubungan intim di usia yang sangat muda, pasangan seks yang berganti-ganti, pemasangan IUD, dan merokok. Keterlambatan diagnosis ataupun pengobatan pada kasus ini dapat menyebabkan gejala sisa yang lama seperti infertilitas tuba. Patofisiologi PID adalah traktus genitalia bagian atas pada wanita terinfeksi melalui penyebaran mikroorganisme patogen secara langsung dari vagina dan cervix. Sebenarnya secara alamiah cervix telah memproduksi lendir yang berfungsi untuk mencegah penyebaran secara langsung mikroorganisme dari bawah, tetapi bakteri berhasil menembus masuk lendir tersebut dan akhirnya menyebabkan infeksi yang luas. Di Amerika Serikat PID mengenai 11% wanita usia prioduktif. Hampir satu juta wanita mengalami episode PID setiap tahunnya, dan 20% dari mereka ini sampai memerlukan rawat inap. Diagnosis atau penanganan yang terlambat dapat menyebabkan sekuele reproduksi yang panjang seperti infertilitas tuba. Setiap pengulangan terjadinya episode PID akan meningkatkan peluang terjadinya infertilitas tuba menjadi dua kali lipat. Wanita dengan riwayat PID memiliki peluang untuk mengalami kehamilan ektopik 7-10 kali lipat dibandingkan wanita tanpa riwayat PID. Nyeri pelvis kronis juga dapat terjadi pasca PID pada 25-75% wanita. PID terjadi lebih sering pada wanita usia remaja (15-19 tahun), tetapi pada dasarnya penyakit ini dapat terjadi pada setiap wanita yang masih aktif berhubungan seksual. Faktor usia ini juga dipengaruhi oleh etiologi dan geografis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DefinisiPelvic inflammatory disease adalah Infeksi alat kandungan tinggi dari uterus, tuba, ovarium, parametrium, peritoneum yang tidak berkaitan dengan pembedahan dan kehamilan. PID mencakup spektrum luas kelainan inflamasi alat kandungan tinggi termasuk kombinasi endometritis, salphingitis, abses tuba ovarian dan peritonitis pelvis. Biasanya mempunyai morbiditas yang tinggi. Batas antara infeksi rendah dan tinggi ialah ostium uteri internum.

EpidemiologiAngka kejadian pasti PID tidak dapat diketahui karena penyakit ini tidak dapat ditegakkan diagnosa pastinya dari gejala klinis saja. Biasanya PID bersifat asimtomatis dan subklinis serta sering dikaitkan dengan penyakit menular seksual. Faktor resiko pada PID termasuk usia muda, berganti-ganti pasangan seksual, pemasangan IUD, perokok, servisitis dan vaginitis yang disebabkan chlamidia dan gonokokus.

EtiologiKebanyakan PID merupakan sekuele dari infeksi cerviks karena penyakit menular seksual yang terutama disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae dan Chlamidia trachomatis. Selain kedua organisme ini, mikroorganisme yang dapat menyebabkan terjadinya PID adalah: a. Citomegalovirus (CMV): CMV ditemukan di saluran genital bagian atas pada wanita yang mengalami PID, diduga merupakan penyebab yang penting untuk terjadinya PID. b. Mikroflora endogen c. Gardnerella vaginalis d. Haemophilus inflluenza

e. Organisme enteric gram negative (E.coli) f. Spesies peptococcus g. Streptococcus agalactiae h. Bacteroides fragilis, yang dapat menyebabkan dekstruksi tuba dan epitel

PatogenesisPID biasanya disebabkan karena naiknya infeksi yang bersarang pada traktus genitalis bagian bawah. Manifestasi awal untuk PID adalah endometritis tetapi tidak semua wanita dengan PID mempunyai sel plasma endometritis. Selanjutnya bisa terjadi salfingitis dan akhirnya dapat menjadi pyosalpinx atau terbentuknya abses tuba ovarian. Pada PID, traktus genitalia bagian atas pada wanita terinfeksi melalui penyebaran mikroorganisme pathogen secara langsung dari vagina dan cervix. Sekret serviks mungkin merupakan barier alami yang paling penting terhadap penyebaran mikroorganisme ke uterus secara asendens. Sebenarnya secara alamiah servix telah memproduksi lendir yang berfungsi untuk mencegah penyebaran mikroorganisme secara langsung dari bawah, tetapi bakteri berhasil menembus masuk lendir tersebut dan akhirnya menyebabkan infeksi yang luas. Walaupun jarang, terkadang penggunaan instrumentasi pada cerviks dan uterus saat operasi (seperti aborsi, dilatasi dan kuretase, hysteroskopi, biopsi endometrial dan cerviks, pemasangan IUD dan inseminasi intrauterine) dapat menyebabkan autoinokulasi dari endometrium dengan bakteri endogen yang akan menyebabkan PID. Mekanisme infeksinya sangat tergantung terhadap jenis mikroorganisme yang menginvasi. Pada PID yang disebabkan oleh gonokokus, infeksi mungkin terjadi melalui penyebaran langsung intracavitas dari endoservix ke endometrium dan kadang-kadang ke tuba falopii. Ini dapat menyebabkan udem serta respon leukosit PMN yang hebat. Kajian tentang PID yang disebabkan oleh gonokokus menunjukkan bahwa organisma ini biasanya sembuh sewaktu menstruasi atau langsung sel. Pada PID chlamydia, terjadi proses kompleks reaksi imun yang akhirnya menyebabkan kerusakan tuba. Organisma chlamydia menempel pada sel epitelial tidak setelah waktu menstruasi. Gonokokus menempel pada mikrovilli mukosa sel epitelial yang tidak bersilia yang akhirnya merusak

bersilia. Replikasi intraselular oleh chlamydia menyebabkan dilepaskannya bahan-bahan infeksius yang menyebabkan ruptur pada sel yang terinfeksi. Beberapa penelitian menyatakan bahwa faktor resiko terjadinya PID meningkat saat terjadinya menstruasi dan faktor hormonal itulah yang berperan penting dalam patogenesis PID baik dengan cara mempengaruhi fungsi dan struktur barier untuk mencegah infeksi di alat kandungan bagian atas. Ada tiga jenis jalur penyebaran yang diajukan untuk terjadinya PID ini: a. Penyebaran melalui jalur limphatik, biasanya terjadi pada postpartum, postabortal, dan beberapa infeksi yang terjadi pasca insersi IUD, menyebabkan sellulitis ekstraperitoneal parametrial.

Lymphatic spread of bacterial infection

b. Penyebaran dari endometrial ke endosalpingeal dan kemudian ke peritoneal, kondisi ini biasanya lebih sering terjadi pada PID nonpuerperal, dimana bakteria patogen mendapatkan jalur ke garis tuba uterine, sehingga akan menyebabkan inflammasi yang purulen dan akhirnya pus akan masuk ke rongga abdomen melalui ostium tuba.

Intra-abdominal spread of gonorrhea and other pathogenic bacteria

c. Penyebaran melalui aliran darah, merupakan keadaan yang jarang, biasanya terjadi pada penyakit tertentu seperti TBC.

Hematogenous spread of bacterial infection (eg, tuberculosis).

Manifestasi KlinisManifestasi klinis dari PID bervariasi dari asimptomatis atau endometritis subklinis hingga salpingitis simptomatik, pyosalpinx, abses tuba ovarian dan peritonitis pelvis. Dari anamnesa pasien biasanya datang dengan berbagai macam keluhan, mulai dari nyeri perut bagian bawah sampai nyeri ketika buang air kecil. Dari penelitian yang melibatkan

berbagai populasi didapatkan adanya hubungan langsung antara kejadian infeksi menular seksual dengan PID. 1. Nyeri merupakan keluhan yang paling umum (90%) dari penyakit ini, nyeri bersifat tumpul, rasa tidak nyaman dan terus-menerus, biasanya dimulai beberapa hari setelah onset periode menstruasi yang terakhir dan cenderung bertambah berat karena pergerakan, olah raga ataupun hubungan seksual. Nyeri karena PID ini biasanya berlangsung kurang dari 7 hari, dan jika berlangsung lebih dari 3 minggu biasanya bukan PID. 2. 3. 4. 5. Keputihan, keluhan ini mencapai 75% dari seluruh kasus PID Perdarahan melalui vagina mencapai sekitar 40% dari kasus PID Suhu badan yang tinggi (>38C) mencapai 30% kasus. Mual, muntah merupakan tanda lambat dari PID.

Walau bagaimanapun, gejala simptomatis ini jarang sekali muncul pada kasuskasus PID. Biasanya PID yang muncul lebih bersifat asimptomatis atau atipikal. Dengan gejala yang sangat minimal ini, penderita biasanya mendapatkan pengobatan yang lambat sehingga meningkatkan resiko kerusakan tuba serta sekuele reproduksi. Di sebagian negara membangun, penderita PID seringkali merupakan penderita HIV positif sehingga di Afrika, rata-rata penderita PID dengan HIV positif adalah sebesar 30-40%. Penderita HIV positif dengan PID ini biasanya dengan abses pelvis, mempunyai respon yang lambat terhadap terapi antimikroba dan harus sering berganti antibiotik.

Pemeriksaan FisikSensitivitas dari pemeriksaan fisik pada PID hanya sekitar 60%. Pusat pengendalian dan pencegahan penyakit (CDC) di Amerika merekomendasikan kriteria minimal untuk PID pada wanita muda dengan seksual aktif adalah: nyeri uterus dan adneksanya, atau diapatkan nyeri goyang serviks. Kriteria tambahan yang digunakan untuk menambah spesifitas diagnosis PID: 1. Suhu badan yang lebih dari 38,3 C 2. Cairan mukopurulen dari vagina ataupun serviks yang abnormal

3. Adanya leukosit dalam sekresi vagina 4. Laju endap darah yang meningkat 5. C-reaktif protein yang meningkat 6. Adanya temuan infeksi serviks oleh N. Gonorhoeae atau C. Trachomatis

Klasifikasia. Radang akut disebabkan oleh : b. Radang kronis dari radang akut, TBC Naiknya infeksi dipermudah oleh : 1. Menstruasi (sering radangtimbul setelah menstruasi) 2. Partus atau abortus 3. Operasi ginekologis (kuret) Antara penyakit yang termasuk dalam klasifikasi PID adalah : 1. Endometritis 2. Myometritis 3. Salpingitis akut 4. Adnexitis kronis 5. Sellulitis yang berhubungan dengan IUD - Parametritis - Perimetritis 6. Abses Tuba-Ovarium 7. Abses Pelvis Gonorrhoe (60% disebabkan Go) Kuman-kuman lain : streptokokus aerob maupun staphilokokus anaerob

1. Endometrits a. Endometritis akut Terutama terjadi post partum atau post abortum. Pada endometritis post partum regenerasi endometrium selesai pada hari ke 9, sehingga endometritis post partum pada umumnya terjadi sebelum hari ke 9. Endometritis post abortum terjadi pada abortus provocatus. Endometritis juga dapat terjadi pada masa senil. Gejala-gejala. Demam purulent ada nyeri Terapi Uterotonika Istirahat, letak fowler Antibiotik Endometrits senilis aus dikuret untuk menyampingkan corpus carcinoma. Dapat diberi estrogen. b. Endometritis Kronis Gejala Terapi Fluor albus yag keluar dari ostium Kelainan haid seperti metrorraghi dan menorrhagi Lochia lama berdarahan malahan terjadi metrorrhagi Kalau radang tidak menjalar ke paramerium atau ke perimetrium tidak Lochia berbau : pada endometritis post abortum kadang-kadang keluar flour yang

Perlu dilakukan kuretase untuk DD dengan carcinoma corpus uteri, polyp, atau myoma submucosa. Kadang-kadang dengan kuret ditemukan endometritis TBC. Kuretase juga bersifat therapeutis. 2. Myometritis Biasanya merupakan lanjutan dari endometritis maka gejala-gejala dan terapinya seperti endometritis. Diagnos hanya dapat dibuat secara patolog anatomis. 3. Salpingitis akut Etiologi Paling sering disebabkan oleh gonococus selain oleh staphylococus, streptococus dan bacil TBC. Kriteria diagnosis Adanya keluhan berupa nyeri perut atau panggul, biasanya terjadi pada onset atau ketika berhentinya menstruasi, disertai adanya keputihan, nyeri goyang pada uterus, adnexal, dan cerviks, ditambah salah satu dari kondisi dibawah ini: i. Suhu diatas 38,3 C ii. Leukosit > 10.000/uL atau adanya peningkatan C-reaktive protein. iii. Adanya massa peradangan (dari pemeriksaan fisik atau USG). iv.Adanya diplokokus gram negative intraselular pada sekresi serviks. v. adanya nanah dari rongga peritoneal vi. Peningkatan laju endap darah. Gejala dan Tanda Biasanya didapatkan nyeri perut bagian bawah atau panggul yang akut, bisa bilateral ataupun unilateral. Sering juga kita dapatkan nyeri pada panggul, serta nyeri pada punggung yang menjalar ke bawah sampai ke kedua tungkai. Kebanyakan gejala ini semua muncul segera setelah berhentinya menstruasi. Kadang-kadang disertai dengan keputihan.

Rasa mual juga bisa terjadi dengan atau tanpa muntah, tapi keadaan ini jika terjadi bisa merupakan indikasi dari penyakit yang sudah lebih serius. Sakit kepala dan kelesuan merupakan gejala yang sering muncul. Demam tidak terlalu penting untuk dasar diagnosis dari salpingitis akut, walaupun tidak adanya demam ini bisa menyebabkan kita berfikir untuk terjadinya KET. Ini disebabkan karena dari penelitian didapatkan hanya 30% dari penderita yang didiagnosis sebagai salpingitis akut yang menderita demam. Nyeri tekan perut sangat sering didapatkan, terutama di kuadran bawah. Perut bisa didapatkan sedikit kembung, dan bising usus menurun atau bahkan hilang. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium Leukositosis dengan gambaran shift to the left biasanya ada, walaupun penghitungan sel darah putih masih bisa normal. Dari sediaan apus sekret cervikal bisa didapatkan diplokokus gram negative yang berbentuk ginjal dalam sel PMN. b. Gambaran radiologi Dari pemeriksaan ini bisa kita dapatkan gambaran ileus, walaupun hal ini tidak spesifik. Udara bisa kita temukan di bawah diafragma dengan rupture abses tubo-ovarian atau pelvis, jika hal ini terjadi perlu secepatnya dilakukan laparotomy dan juga penggunaan terapi antibiotik. c. USG Dengan pemeriksaan ini dapat kita bedakan antara PID yang akut dengan yang kronis, dimana pada PID akut akan kita dapatkan pemisahan dinding tuba yang yang incomplete (cogwheel sign), dan pada PID kronis didapatkan dinding tuba yang tipis (beaded string). Jika diagnosis dari USG ini dikuatkan dengan diagnosis dari laparoskopik, akan didapatkan nilai diagnostik yang akurasinya mencapai 90%. USG ini juga merupakan alat yang paling baik dalam menilai progresivitas atau regresivitas dari suatu abses yang telah terdiagnosis.

d. Kuldosentesis Pemeriksaan ini (cul-de-sac tap) bisa membantu dalam mendiagnosis PID., dilakukan jika kita perlu sampel dari rongga peritoneal untuk mendiagnosis PID. Kontra indikasi pemeriksaan ini jika kita dapatkan massa pada cul-de-sac, atau uterus yang retrofleksi.

Tabel 1. Evaluasi cairan dari kuldosentesis Temuan Darah Implikasi diagnosis KET yang rupture Perdarahan dari kista corpus luteum Menstruasi retrograd Rupture limpa atau hepar Perdarahan dari GI traktus Nanah Salpingitis akut Rupture abses tubo-ovarian Rupture apendiks Rupture abses divertikular Keruh Abses uterus dan myoma Pelvis peritonitis Kista adneksa Penyebab peritonitis lainnya Diagnosis banding Salpingitis akut harus didiagnosis banding dengan apendiksitis akut, kehamilan ektopik, rupturnya kista korpus uteri dengan perdarahan, divertikulitis, aborsi sepsis, torsio dari massa adneksal, degenerasi dari leiomioma, endometriosis, infeksi traktus urinarius, enteritis regional, dan kolitis ulserative. Komplikasi Komplikasi dari salpingitis akut termasuk: peritonitis pelvis atau peritonitis generalis, pembentukan abses di rongga pelvis, adesi dan obstruksi usus.

Terapi Seperti infeksi panggul wanita pada umumnya, mikroba penyebab dari infeksi ini tidak didapatkan lagi pada saat munculnya manifestasi klinis, sehingga terapi empiris harus diberikan ketika diagnosis ditegakkan. Mayoritas dari para wanita yang datang dengan salpingitis-peritonitis akut ringan sampai sedang biasanya berespon baik terhadap antibiotik yang diberikan untuk rawat jalan. Rawat inap biasanya dilakukan pada wanita yang menampakkan gejala klinis yang berat atau pada pasien dengan diagnosis yang masih belum jelas, selain itu dengan indikasi tertentu seperti kemungkinan apendiksitis yang emergensi, ataupun kehamilan ektopik masih belum dapat disingkirkan, pasien hamil, kegagalan terapi rawat jalan, pasien yang tidak toleran terhadap regimen pengobatan, wanita dengan immunodefisiensi perlu untuk rawat inap Regimen terapi untuk rawat jalan : - ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal plus - doxycycline 100 mg orally 12 jam selama 14 hari plus - metronidazole 400 mg orally 12 jam selama 14 hari Regimen terapi untuk rawat inap: - Doksisiklin, 100 mg iv atau oral 2 kali per hari plus Cefoksitin, 2 gr iv 4 kali per hari atau cefotetan, 2 gr iv. 2 kali per hari, sedikitnya 24 jam setelah pasien memperlihatkan perbaikan gejala klinis. Diikuti dengan doksisiklin 100 mg per oral 2 kali per hari sampai 14 hari dari hari awal terapi. 4. Adnexitis Kronis

Salpingitis dapat menjalar ke ovarium hingga terjadi juga oophoritis. Salpingitis dan oophoritis diberi nama adnexitis. Adnexitis kronis dapat terjadi sebagai lanjutan dari adnexitis akut atau dari permulaan siftnya kronis seperti adnexitis TBC. Gejala Diagnosa i. Dengan toucher dapat teraba adnex tumor yang dapat berupa pyosalpinx atau hydrosalpinx karena perisalpyngitis dapat terjadi perlekatan dengan alat-alat sekitarnya. ii. iii. LED meningkat, biasanya terjadi leukositosis dan liymphocytosis Salah satu bentuk yang khas ialah yang disebut salphyngitis isthmica nodosa dimana proses radang hanya tampak pada pars sthmica berupa tonjolan kecil yang dapa menyerupai myoma. Diagnosa Banding Jika adnex tumor bilateral maka diagnosa boleh dikatakan pasti. Adnex tumor yang unilateral harus dibedakan dari appendisitis kronis Dari anamnesa telah menderita adnexitis akut Neri di perut bagian bawah ; nyeri ini bertambah sebelum dan sewaktu Dysmenorrhoe Menorrhagi Infertilitas

haid. Kadang-kadang nyeri di pinggang atau waktu buang air besar.

dan kehamilan ektopik terganggu. Terapi Pemberian antibiotik dan istirahat. Jika tidak ada perbaikan, dipertimbangkan terapi operatif. 5. Sellulitis yang berhubungan dengan IUD

i. Parametris Merupakan radang dari jaringan longgar di dalam ligamentum latum yang biasanya unilateral. Etiologi Dapat terjadi : a. Dari endometritis dengan 3 cara : Per continuitatum : endometritis metritis parametritis Lymphogen Haematogen : phlebitis periphlebitis parametritis b. Dari robekan serviks c. Perforasi uterus oleh alat-alat ( sonde, kuret, IUD ) ii. Perimetritis Biasanya terjadi sebagai lanjutan dari salpingoophorotis, kadang-kadang terjadi dari endometritis atau parametritis 6. Abses Tuba-Ovarium Merupakan komplikasi termasuk efek jangka panjang dari salfingitis akut tetapi biasanya akan muncul dengan infeksi berulang atau kerusakan kronis dari jaringan adnexa. Biasanya dibedakan dengan ada tidaknya ruptur. Dapat terjadi bilateral walaupun 60% dari kasus abses yang dilaporkan merupakan kejadian unilateral dengan atau tanpa penggunaan IUD. Abses biasanya polimikroba. Etiologi Dikatakan bahwa nekrosis tuba fallopi dan kerusakan epitel terjadi dikarenakan bakteri patogen menciptakan lingkungan yang diperlukan untuk invasi anaerob dan pertumbuhan. Terdapat salfingitis yang melibatkan ovarium dan ada juga yang tidak. Proses inflamasi ini dapat terjadi spontan atau merupakan respon dari terapi. Hasilnya dapat terjadi kelainan anatomis yang disertai denagn perlengketan ke organ sekitar. Keterlibatan ovarium biasanya terjadi di tempat terjadinya ovulasi yang sering menjadi

tempat masuk infeksi yang luas dan pembentukan abses. Apabila eksudat purulen itu ditekan maka akan menyebabkan ruptur dari abses yang dapat disertai oleh peritonitis berat serta tindakan laparotomi. Perlengketan yang lambat dari abses akan menyebabkan abses cul de sac. Biasanya abses ini muncul ketika penggunaan IUD, atau munculnya infeksi granulomatous ( TBC, aktinomikosis). Gejala Sangat bervariai dari asimptomatis sampai terjadinya akut abdomen sampai syok septik. Karateristik pasian biasanya yang muda serta paritasnya rendah dengan riwayat infeksi pelvis. Durasi dari gejala pada wanita biasanya 1 minggu dan onsetnya biasanya terjadi 2 minggu atau lebih setelah siklus menstruasi. Antara gejala yang khas : Nyeri pelvis dan abdominal Nyeri perut bagian bawah Pada perabaan, teraba massa adnexa Mual dan muntah Demam, takikardi Nyeri lepas pada kuadran bawah

Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari laboratorium kurang bermakna. Hitung jenis sel darah putih bervariasi dari leukopeni sampai leukositosis. Hasil urinalisis memperlihatkan adanya pyuria tanpa bakteriuria. Nilai laju endap darah minimal 64 mm/h serta nilai akut C-reaktif protein minimal 20 mg/L dapat difikirkan ke arah diagnosa TOA. b. Gambaran radiologi Dari foto rontgen abdomen didapatkan gambaran ileus dinamik serta adanya massa pada jaringan adnexal. Gambaran rongga udara didapatkan di bawah diafragma pada TOA yang ruptur.

c. USG Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti terjadinya progressi. regresi, ruptur atau pembentukan pus. d. Kuldosentesis Cairan kuldosentesis pada wanita denagn TOA yang tidak ruptur memperlihatkan gambaran reaction fluid yang sama seperti di salpingitis akut. Apabila terjadi ruptur TOA maka akan ditemukan cairan yang purulen. Diagnosis Penegakan diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang telah didapatkan dan dapat disertai adanya : Riwayat infeksi pelvis Adanya massa adnexa, biasanya lunak Produksi pus dari kuldesintesis pada ruptur

Diagnosa Banding TOA yang tidak ruptur harus dibedakan dari kista ovarium, KET yang tidak ruptur, abses periapendisitis, leimioma uteri, hidrosalfingitis, perforasi dari apendis, perforasi dari abses divertikulum, perforasi dari ulkus peptikum dan semua penyakit sistemik yang menyebabkan distres akut abdomen. Komplikasi TOA yang tidak ruptur dapat disertai penyulit seperti ruptur dengan sepsis, reinfeksi jangka panjang, obstruksi kandung kemih, infertilitas dan kehamilan ektopik. Terapi i. TOA yang tidak ruptur dan asimptomatis Terapi sama dengan salfingitis kronis yaitu terapi antibakteri jangka panjang. Apabila massa tidak mengecil dalam 15-21 hari, perlu di drainase. Dapat dihisterektomi dan adneksektomi bilateral atau salfingo-oorektomi unilateral.

ii. TOA yang tidak ruptur tetapi simptomatis Rawat inap Tirah baring semi fowler Monitor tanda vital dan output urin NGT jika perlu Infus jaga Terapi antimikrobakterial

iii. TOA ruptur Biasanya dapat mengancam jiwa hingga diperlukan terapi segera yaitu operasi. Prosedur yang harus dilakukan : Prognosa Pada TOA yang tidak ruptur biasanya baik. Pada TOA yang ruptur, sekiranya tidak dilakukan terapi yang adekuat dan segara angka kematian dapat mencapai sehingga 8090%. 7. Abses Pelvis Abses pelvis merupakan komplikasi yang jarang pada inflamasi pelvis yang kronis atau berulang dapatbterjadi sebagai sekuel dari pelvis akut atau infeksi post abortus. Formasi abses biasamnya berkaitan dengan organisme selain gonokokus , biasanya spesies anaerob terutama bakteriodes biasanya ditemukan bakteri gram negatif resisten. Gejala Monitor output urin tiap jam Monitor JVP Pemberian oksigen Infus jaga Persiapan operasi

Gejala dari inflamasi pelvis akut atau kronis bisa didapatkan bersama dengan massa fluktuasi yang mengisi cul de sac dan dapat menembus ke septum rectovaginal. Pada pasien ini biasanya didapatkan gejala yang lebih berat seperti keluhan nyeri sewaktu buang air besar, nyeri pinggang yang berat atau nyeri rectal. Beratnya keluhan biasanya berkaitan dengan ukuran abses namun kadangkala abses pelvis yang besar dapat asimtomatik Diagnosa Banding Harus dibedakan dengan TOA, abses periappendeceal, KET, torsio adnexa, neoplasma ovarii, leimuoma uteri, retrofleksi uterus, endometriosis, dan perforasi pada divertikuli. Terapi - Antibiotik spektrum luas baik yang aerob maupun anaerob - Pemeriksaan abdomen yang teratur untuk mendeteksi kemungkinan meluasnya ke daerah peritoneal - Apabila abses menembus septum rectovaginal dan menempel pada membran vagina dilakukan draninase kolpotomi - Apabila kondisi pasien memerlukan penanganan yang intensif maka dapat dilakukan laparotomi eksplorasi. Pada pasien dengan infeksi berulang serta hilangnya fungsi reproduktif, satu-satunya cara penyembuhan adalah total histerektomi abdominal dengan SOB. Prognosis Prognosanya baik pada pengobatan yang dini dan tepat pada pasien yang diketahui lokasi absesnya. Terapi antibiotik adalah suatu pilihan. Dan adanya drainase mungkin diperlukan. Ruptur peritoneum adalah komplikasi yang serius serta memerlukan penanganan eksplorasi abdominal yang cepat. Prognosa fertilitas buruk.

Infeksi Pelvis Berulang atau KronisKriteria Diagnosis Riwayat salfingitis akut, infeksi pelvis atau infeksi pasca persalinan atau pasca abortus Episode ulangan dari reinfeksi akut atau gejala dan temuan fisik ulangan pada kurang dari 6 minggu setelah terapi salfingitis akut. Infeksi kronik bisa tanpa gejala atau dapat menmunculkan keluhan nyeri pelvis kronik atau dyspareunia. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pelvis generalized pelvic tenderness, biasanya lebih ringan dibandingkan infeksi akut. Penebalan jariangan adnexa, dengan atau tanpa hydrosalpinx. Infertilitas (sering terjadi)

Gambaran Umum Penyakit peradangan pelvis berulang (recurrent pelvic inflammatory disease) bermula sebagai penyakit primer, namun adanya kerusakan jaringan tuba dapat terjadi pada infeksi yang berat. Infeksi pelvis kronis secara tidak langsung akan menyebabkan perubahan jaringan pada parametrium, tuba dan ovarium. Biasanya ditemukan penempelan permukaan peritoneum pada adnexa dan perubahan fibrotik pada tuba. Selain itu, dapat ditemukan hydrosalpinx atau kompleks tubo-ovarian. Lesi peradangan kronik biasanya akibat salpingitis akut sebelumnya tapi bisa juga menunjukkan reinfeksi akut. Diagnosis infeksi pelvis kronis biasanya sulit ditegakkan secara klinis. Hanya sekitar kurang dari 50% wanita dengan penyakit ini, ditemukan keluhan nyeri. Gejala dan Tanda Infeksi ulangan biasanya manifestasinya sama dengan salpingitis akut, dan biasanya ditemukan riwayat infelsi pelvis. Nyeri bisa unilateral ataupun bilateral dan seringkali dilaporkan adanya dyspareunia dan infertilitas. Bisa ditemukan demam, takikardi namun pada reinfeksi akut biasanya demamnya minimal. Selain itu, ditemukan nyeri tekan pada

pergerakan servix, uterus atau adnexa. Sering kali ditemukan massa adnexa dan penebalan perametrium. Laboratorium Kultur dari cervix biasanya tidak ditemukan gonokokus kecuali pada reinfeksi. Dapat ditemukan lekositosis bila perubahan kronis terjadi superinfeksi akut. Diagnosis Banding Setiap pasien yang dicurigai adanya infeksi pelvis kronis dengan adanya nyeri tekan pelvis namun tidak disertai dengan demam, harus dicurigai adanya kehamilan ektopik. Selain itu, pertimbangkan adanya endometriosis, relaksasi uterus bergejala, apendisitis, diverkulitis, enteritis regional, kolitis ulseratif, kista atau tumor ovarium dan sistouretritis akut atau kronis. Komplikasi Komplikasinya antara lain hydrosalpinx, pyosalpinx dan abses tubo ovarium; infertilitas atau kehamilan ektopik; dannyeri pelvis kronis. Pencegahan Cara pencegahan utamanya adalah tindakan terapi pada infeksi pelvis kronis yang tepat dan adekuat. Selain itu, penting juga memberikan penyuluhan tentang upaya mencegah penyakit menular seksual. Penatalaksanaan a. Kasus Ulangan Obati untuk salpingitis akut. Bila terdapat IUD, terapi dapat dimulai dan IUD harus dilepas. b. Kasus Kronis Pemberian antibiotik jangka panjang masih dipertanyakan manfaatnya namun bermanfaat bagi wanita muda dengan paritas rendah. Terapi dengan tetrasiklin, ampisilin atau sefalosporin dapat bermanfaat namun berkurangnya

gejala tidak berkaitan langsung dengan infeksi akut. Untuk mengurangi keluhan, dapat diberikan analgesik seperti ibuprofen atau asetaminofen dengan atau tanpa kodein. Tindak lanjut sebaiknya dilakukan dengan cermat untuk mendeteksi adanya gejala penyerta yang serius seperti abses tubo-ovarium. Bila gejala masih ditemukan setelah pemberian antibiotik 3 minggu, maka pertimbangkan penyebab lainnya. Pertimbangkan untuk melakukan laparoskopi atau laparotomi eksplorasi untuk menyingkirkan penyebab lainnya misalnya endometriosis. Bila infertilitas menjadi masalah, periksa tubal patency dengan hysterosalpingography atau laparoscopy adan injeksi larutan metilen biru secara retrograd. Namun sebelum dan saat melalukan tindakan ini, harus diberikan antibiotik karena sering terjadi reinfeksi retrograd akut. Hysterectomy abdominal total dengan adnexectomy bilateral mungkin diindikasikan bila penyakitnya telah lanjut dan bergejala, atau bila ditemukan massa adnexa. Histerektomi total dan adneksektomy terindikasi jika penyakit telah jauh menyebar dan menimbulkan gejala pada pasien, atau ditemukan adanya massa di adneksa. Pertimbangan untuk dilakukan resksi atau drainase abses dilakukan jika ingin mempertahankan kesuburan. Dalam beberapa keadaan CT atau USG langsung perkutaneus dapat menghindari dilakukannya laparotomi. Prognosis Dengan adanya episode infeksi pelvis yang berturut-turut atau berulang, menyebabkan prognosis untuk mempertahankan kesuburan menjadi berkurang. Demikian juga, peluang untuk terjadinya kehamilan ektopik menjadi meningkat dengan terjadinya episode infeksi akut. Sekuele ini tidak diragukan lagi akan menyebabkan terjadinya infeksi kronis, sebagai hasil akhir infeksi tunggal ataupun berulang. Superimpose infeksi akut pada infeksi kronis juga berhubungan dengan insidensi abses tubo-ovarian dan abses pelvis lainnya.