Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good...

44
PELEMBAGAAN NORMA KESEWADAYAAN MASYARAKAT (GOOD SOCIETAL GOVERNANCE) DALAM PENGELOLAAN GOOD GOVERNANCE 1 Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc. 2 ; Dadan Sidqul Anwar, SE, MBA, MSi 3 ; Widhi Novianto, S.Sos., M.Si 4 “NGO…..This powerful “Third Sector”, existing between the relms of government and business, is bringing an unprecedented vitality and ability to bear on critical issues related to service and world peace. NGOs’ flexibility and connection to grassroots communities aid them in mobilizing resources quickly to affected areas. Their often single minded commitment and strong motivation affords them a civic power that other institutions may lack.” (WANGO) “Apa yang kita miliki (hal-hal kecil) sesungguhnya sesuatu yang unik dan harusnya menjadi sebaik-baiknya ciptaannya. Bahwa orang lain adalah orang lain. Perlu diberi perhatian/perasaan yang baik untuk mengundang perhatian/ perasaan yang baik. Kerja sama terjadi atas dasar saling menguntungkan karenanya keunikan/kelebihan masing- masing adalah dasarnya” (Bupati Wakatobe, Mantan Aktivis LSM) Urgensi Norma Kesewadayaan Masyarakat 1 Sebagian dari hasil kajian Advokasi dan Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Good Governance yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Administrasi Internasional, Kedeputian P2APOAN, LAN tahun 2008. Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari di Mataram, 27 Oktober 2008. 2 Deputi pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomatisasi Administrasi Negara (P2APOAN) LAN RI 3 Peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI) LAN RI, Email: [email protected] . Telp. 081511055016 4 Peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI) LAN RI 1

description

Norma Kesewadayaan masyarakat (Good Societal Governance) merupakan salah satu governing system untuk mensinerjikan antara peran masyarakat, swasta dan pemerintahan dalam pencapaian tujuan negara

Transcript of Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good...

Page 1: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

PELEMBAGAAN NORMA KESEWADAYAAN MASYARAKAT (GOOD SOCIETAL GOVERNANCE)

DALAM PENGELOLAAN GOOD GOVERNANCE1

Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc.2; Dadan Sidqul Anwar, SE, MBA, MSi3; Widhi Novianto, S.Sos., M.Si4

“NGO…..This powerful “Third Sector”, existing between the relms of government and business, is bringing an unprecedented vitality and ability to bear on critical issues related to service and world peace. NGOs’ flexibility and connection to grassroots communities aid them in mobilizing resources quickly to affected areas. Their often single minded commitment and strong motivation affords them a civic power that other institutions may lack.” (WANGO)

“Apa yang kita miliki (hal-hal kecil) sesungguhnya sesuatu yang unik dan harusnya menjadi sebaik-baiknya ciptaannya. Bahwa orang lain adalah orang lain. Perlu diberi perhatian/perasaan yang baik untuk mengundang perhatian/ perasaan yang baik. Kerja sama terjadi atas dasar saling menguntungkan karenanya keunikan/kelebihan masing-masing adalah dasarnya” (Bupati Wakatobe, Mantan Aktivis LSM)

Urgensi Norma Kesewadayaan Masyarakat

Good Governance (GG) yang saat ini menjadi ideologi baru pengelolaan negara merupakan simptom dari dinamika politik ekonomi internasional. Setelah berakhirnya Perang Dingin (Cold War) muncul kecenderungan reaksi negatif dari komunitas internasional terutama di kalangan negara-negara donor terhadap kepemimpinan rejim negara-negara yang dianggap korup. Interaksi global juga berpengaruh terhadap berkembangluasnya demokratisasi di berbagai negara. Proses demokratisasi tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara kapitalis maupun semi-kapitalis tetapi juga negara yang berhaluan komunis atau sosialis seperti China dan Rusia. Di samping itu, proses penyesuain struktural (structural adjustments) di berbagai negara cenderung mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut antara lain disebabkan oleh oleh kapasitas kelembagaan

1 Sebagian dari hasil kajian Advokasi dan Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Good Governance yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Administrasi Internasional, Kedeputian P2APOAN, LAN tahun 2008. Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari diMataram, 27 Oktober 2008.2 Deputi pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomatisasi Administrasi Negara (P2APOAN) LAN RI3 Peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI) LAN RI, Email: [email protected]. Telp. 081511055016 4 Peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI) LAN RI

1

Page 2: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

yang lemah, para aktor negara yang korup dan kurangnya dukungan lingkungan terhadap pembangunan di berbagai negara.

Diadopsinya konsep GG dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia juga merupakan hasil interaksi pemerintah Indonesia dengan negara-negara luar terutama para donor. Berdasarkan pengamatan para donor terhadap perkembangan politik ekonomi Indonesia, penerapan GG dipandang dapat menjadi solusi berbagai persoalan pembangunan Indonesia. Momentum percepatan pembangunan berbangsa dan bernegara paska diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia ternyata secara kelembagaan menghasilkan pemusatan kekuasaan pada satu tangan (executive heavy), sehingga menyebabkan macetnya proses checks and balances dan pada gilirannya menyebabkan keterpurukan ekonomi dan ancaman desintegrasi. Kondisi tersebut selanjutnya mendorong diterapkannya penyesuaian struktural (structural adjustments) yang antara lain berupa deregulasi dan restrukturisasi perbankan. Namun demikian, strategi tersebut tidak menghasilkan perubahan yang positif terhadap pembangunan ekonomi. Salah satu yang dianggap penyebab tidak efektifnya strategi tersebut adalah perilaku para aktor penyelenggara negara yang menyimpang (mis-behavior apparatus). Persoalan tersebut selanjutnya dicoba diresolusi dengan pendekatan yang non-ekonomi yaitu pendekatan reformasi politik melalui penerapan GG.

Secara konsep, berbagai lembaga donor mendefinisikan GG secara bervariasi, namun semuanya menawarkan prinsip-prinsip tata pengelolaan yang baik dan sarat dengan nilai-nilai demokrasi dan ekonomi pasar. Sebagai inisiator GG, World Bank menawarkan 4 (empat) prinsip utama yaitu: (1) akuntabilitas; (2) partisipasi; (3) prediktabilitas; dan (4) transparansi. Namun, dalam penerapannya di berbagai negara prinsip-prinsip tersebut ditafsirkan secara beragam. Dalam konteks Indonesia, beberapa prinsip GG yang dijadikan acuan oleh Bappenas adalah: (1) partisipasi masyakat; (2) tegaknya supremasi hukum; (3) transparasi; (4) peduli pada stakeholders; (5) berorientasi pada konsensus; (6) Kesetaraan; (7) efektifitas dan efesiensi; (8) akuntabilitas; dan (9) visi strategis.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas pengelolaan negara tidak lagi tertuju pada pemerintah sebagai satu-satunya aktor tetapi dilakukan melalui kerjasama 3 (tiga) aktor yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Diantara ketiga aktor tersebut, dalam kenyataannya, tidak semuanya dilengkapi norma yang dilembagakan sebagai kerangka acuan dalam peran masing-masing. Pemerintah dalam hal ini berlandaskan pada norma-norma GG yang sudah banyak didengungkan baik oleh negara-negara maupun lembaga donor dan beberapa instansi pemerintah termasuk Kementerian PAN, LAN, dan Bappenas. Walaupun masih jauh dari ideal, sampai tararan norma GG tertentu, Pemerintah sudah mencoba melaksanakannya, misalnya dengan mendekatkan pelayanan publik pada masyarakat melalui kebijakan Desentralisasi. Sementara itu, dalam lingkungan swasta atau dunia usaha juga sudah terdapat kerangka acuan normatif, yaitu norma-norma Good Corporate Governance (GCG). Sama halnya dengan GG, GCG juga mengandung prinsip-prinsip yang harus diikuti tidak hanya oleh kalangan dunia usaha swasta tetapi juga oleh dunia usaha milik pemerintah. Beberapa prinsip tersebut adalah persyaratan adanya perangkat struktur dan stimulasi bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merefleksikan kepentingan perusahaan termasuk pemegang saham. Untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut maka pengawasan harus dilakukan oleh para pemegang saham (sebagai principals) terhadap manajemen perusahaan (sebagai agents).

2

Page 3: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Di sisi lain, pengelolaan inisiatif masyarakat yang pertama kali diperkenalkan oleh LAN sebagai keswadayaan masyarakat (societal governance) belum memiliki acuan normatif yang dapat menjadi ukuran pengelolaan keswadayaan yang baik (good societal governance/GSG). Kondisi ini dapat menyebabkan ketidakharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aktor masyarakat yang biasanya diorganisir melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dalam melakukan gerakan keswadayaannya dapat melakukan penyimpangan ”tanpa terkendali” untuk kepentingan kelompoknya. Dalam prakteknya, misalnya, LSM yang melakukan pengawasan terhadap transparansi anggaran pemerintah bisa saja mengelola anggaran yang justru tidak transparan. Ketidakharmonisan juga dapat terjadi antar LSM sendiri; antara LSM dengan pemerintah; dan antara LSM/Ormas dengan pihak swasta. Hal ini pada gilirannya dapat memperlemah kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga negara akan sulit untuk mencapai tujuannya dan masyarakat sebagai kiblat pelayanan baik pemerintah, swasta maupun LSM/Ormas hanya dijadikan alat untuk kepentingan para aktor tersebut tanpa memperoleh benefit yang seharusnya diterima.

Ruang Lingkup Sistem Governance

Seiring dengan dinamika globalisasi, konsepsi pendekatan dalam pengelolaan negara mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Pada mulanya, pendekatan dalam pengelolaan negara menggunakan paradigma Weberian dimana Negara berperan sebagai aktor sekaligus mesin utama pembangunan suatu bangsa (state-led development). Pendekatan ini muncul sebagai salah satu cara untuk mengatasi kelemahan pasar pada saat itu. Dalam pendekatan ini, negara betul-betul diorganisasikan layaknya suatu mesin. Pendekatan struktural, prosedural dan birokratis menjadi beberapa karakteristik utama pendekatan ini. Kekuasaan dianggap merupakan domain monopoli negara. Hal ini selaras dengan doktrin Weber (1947) sebagaimana dikutip oleh Batley (2004) “The state is a political community that monopolizes sovereignty over a territory and the legitimate use of force within its boundaries, and claims authority over all the people in it”. Dengan demikian, negara merupakan entitas yang hegemonik dalam suatu bangsa. Yang termasuk ke dalam unsur negara dalam pandangan ini adalah birokrasi, militer dan polisi, institusi legislatif dan yudikatif. Namun, pendekatan ini belum mengakomodasi peran serta yang lebih luas termasuk organisasi sosial dan kemasyarakatan.

Dalam praktiknya, pendekatan ini dianggap gagal dalam menjamin suatu pemerintahan yang dapat memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat. Pemerintah cenderung bergerak sangat lamban dalam merespons kebutuhan masyarakat, prosedur dan birokrasi cenderung menghambat pergerakan pemerintah, organisasi pemerintah cenderung semakin membesar. Dengan kata lain, Negara cenderung lebih memikirkan dirinya (selfish). Bahkan, negara justru dieksploitasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Fenomena ini disebut oleh Hyden (1983) dan Riggs (1964) sebagaimana dikutip oleh Bately (2004) sebagai ‘economy of affection’ dimana negara hanya dijadikan sarana untuk memenuhi kepentingan pihak tertentu dibandingkan dengan kepentingan pencapaian tujuan negara. Kondisi ini dapat memperparah keadaan negara berkembang khususnya yang terlilit hutang dan terlanjur mengikuti aliran Konsensus Washington. Ada dua jenis negara yang dianggap gagal pada masa ini yaitu “state-dominated

3

Page 4: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

development and stateless development” (World Bank, 1997, p.25) atau “too much state and too litle state at the same time” (Larbi, 1999).

Kondisi ini mendorong terjadinya perubahan pendekatan pengelolaan negara dari pendekatan yang berbasiskan negara (Weberian) menjadi pendekatan pengelolaan negara yang berbasiskan market (pasar). Beberapa model pendekatan pengelolaan negara yang berbasiskan pasar ini adalah New Public Management, desentralisasi, privatisasi, dan good governance. Model-model pendekatan tersebut pada prinsipnya semakin mengakomodasi peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan atau pengelolaan negara. Keterlibatan ketiga aktor tersebut dalam penyelenggaraan kepemerintahan dilembagakan dalam Governance (tata kelola pemerintahan)

Setelah sistem intervensi dan dominasi peran pemerintah dianggap gagal dalam mengatasi berbagai permasalahan publik, maka pengelolaan negara melalui Governance dianggap sebagai alternatif perbaikan manajemen kepemerintahan. Governance merupakan pendekatan pengelolaan pemerintahan yang berhaluan rejim kapitalis demokratik (democratic capitalist regime) dimana peran pemerintah dalam pengelolaan negara menjadi lebih kecil (Lihat Adrian, 1993) . Sistem ini juga merupakan entitas sistem tata kelola pemerintahan yang partisipatif tetapi juga relatif kompleks baik ditinjau dari aktor maupun proses tata kelola. Hal ini sebagaimana pandangan UNDP (2002, p. 9) tentang governance sebagai “the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s affairs. It is the complex mechanisms, processes, relationships and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their rights and obligations and mediate their differences. Jadi dalam konteks governance, proses interaksi dalam penyelenggaraan negara lebih kompleks karena melibatkan banyak stakeholders termasuk masyarakat dan kelompok kepentingan. Kompleksitas proses ini pada kondisi masyarakat yang belum matang dapat menyebabkan konflik horisontal. Perjalanan bangsa juga bisa terjadi agak melambat karena pengambilan keputusan negara dilakukan melalui proses yang lebih panjang karena proses tersebut harus konsensual. Namun, sistem ini dapat menjadi arena baru terjadinya checks and balances antar aktor sehingga berbagai kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalisir. Bahkan, dalam kasus di beberapa negara, peran masyarakat sangat besar dalam penyelenggaran kegiatan pembangunan.

Masing-masing aktor baik pemerintah, swasta dan masyarakat memiliki peran dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah memiliki peran utama untuk menjamin lingkungan yang kondusif untuk berkembangnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Pihak swasta dapat berperan dalam penciptaan lapangan kerja. Masyarakat atau LSM dapat berperan dalam interaksi politik dan sosial serta memobilisasi sumber daya masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan politik, sosial dan ekonomi. Khususnya peran masyarakat, tidak hanya melalukan checks and balances terhadap kekuasaan negara dan sektor swasta tetapi juga memperkuat peran kedua sektor tersebut. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap penyelahgunaan kekuasaan, eksploitasi sumber daya alam, pemerataan keadilan dan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (lihat UNDP, 2002).

Dengan dilembagakannya konsep governance tidak berarti menghilangkan struktur hirarkis negara sama sekali. Namun, struktur tersebut dilengkapi dengan penguatan peran masyarakat dan swasta melalui struktur pasar, network dan komunitas (Mrquette, 2004). Melalui sistem pasar, masyarakat sebagai konsumen juga diberi peran.

4

Page 5: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Melalui network, perumusan kebijakan dilakukan secara partisipatif. Melalui komunitas, masyarakat pada level komunitas dapat berperan aktif dalam pembangunan.

Ukuran Keberhasilan Penerapan Governance (Governability)

Penerapan Governance dikatakan berhasil (governable) ketika penerapannya tersebut dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan negara atau pemecahan berbagai permasalahan bangsa. Sound governance is...... wherein public resources and problems are managed effectively, efficiently and in response to critical needs of society (UNDP, 2002, p. 9). Senada dengan pandangan tersebut Koiiman (1999) berpendapat bahwa governance merupakan all of those interactive arrangements in which public as well as private actors participate aimed at solving societal problems, or creating societal opportunities, and attending to the institutions in which these governing activities take place. Dengan kata lain, governance merupakan cara pengelolaan sumber daya secara partisipatif, efektif dan efisien dalam meresponse kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Governance bukanlah suatu model pengelolaan negara dimana fokus pengelolaan adalah negara itu sendiri. Ketika negara yang berfokus pada penataan diri dan tidak terkait dengan sub-sistem pengelolaan negara lainnya termasuk pengelolaan sumber daya dan pemanfaatan hasil pembangunan oleh masyarakat sebagai primary stakeholders maka governance tersebut adalah meaningless. Misalnya, ketika negara baru terfokus pada masalah perubahan struktur maka governance masih meaningless.

Tujuan negara merupakan hasil konsensus bersama yang dapat menjadi faktor yang mengintegrasikan (integrating factor) sekaligus mensinerjikan peran pemerintah, swasta dan masyarakat. Baik LSM maupun swasta merupakan bagian dari governance. Keduanya dapat menjadi agen pelayanan publik (the agen of public services) yang seharusnya diperankan negara. Peran tersebut dimaksudkan untuk menutup keterbatasan negara dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dengan adanya konsensus dan sinerjitas peran tripartit antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam pencapaian tujuan negara maka arena demokrasi dan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat bagi LSM tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan LSM itu sendiri. Demikian pula, hubungan antara ketiga aktor tersebut tidak dapat saling mendesktruksi dan berebut sumber daya.

Dalam konteks Indonesia, telah pula terjadi perkembangan perubahan paradigma peranan serba negara (Statism) atau dominasi pemerintah (Government) menjadi tata kepemerintahan (Governance) yang mencerminkan interaksi sosial-politik antara pra penyelenggara negara dengan masyarakat umum dan dunia usaha (swasta) dalam berbagai kegiatan dalam rangka mewujudkan tujuan negara dan tujuan pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945 (Fernanda, 2008).

Secara konsep, arena interakasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat terjadi pada arena Economic Governance, Political Governance, dan Administrative Governance. Economic Governance merupakan proses decision making yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi aktivitas perekonomian negara atau keterkaitannya dengan perekonomian negara lain; sedangkan Political Governance merupakan proses decision-making dan implementasi kebijakan suatu negara; dan

5

Page 6: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Administrative Governance merupakan sistem implementasi kebijakan sektor publik yang dilakukan secara efisien, efektif dan akuntabel. (UNDP. P. 10).

Namun demikian Konsep tersebut belum menyentuh aspek interaksi antara pemerintah dengan masyarakat (societal governance). Padahal, masyarakat yang direpresentasikan dengan NGO (Non-Government Organization) saat ini merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam pembangunan di berbagai negara. Apabila diakumulasikan, para NGO tersebut mengelola sumber daya fiansial yang tidak sedikit. Daya pengaruh mereka juga tidak hanya pada level lokal tetapi juga level internasional.

Demokratisasi di berbagai negara telah mendorong semakin meningkatnya peran masyarakat (societal movement) di negara-negara tersebut. Peran kemasyarakatan tersebut banyak dimainkan oleh NGO baik pada tingkat nasional maupun internasional. WANGO (2004) menganggap fenomena ini sebagai bangkitnya “kekuatan ketiga” (third sector) dalam kehidupan bernegara maupun lintas negara di samping pemerintah dan swasta. Posisi, peran dan keunggulan entitas tersebut dibandingkan dengan stakeholders lainnya terefleksikan dalam pandangan WANGO (2004) sebagai berikut:

“This powerful “Third Sector”, existing between the relms of government and business, is bringing an unprecedented vitality and ability to bear on critical issues related to service and world peace. NGOs’ flexibility and connection to grassroots communities aid them in mobilizing resources quickly to affected areas. Their often single minded commitment and strong motivation affords them a civic power that other institutions may lack.”

Dengan kata lain, para NGO banyak berperan dalam memberikan pelayanan terhadap komunitas dan menciptakan perdamaian dunia. Dalam menjalankan perannya, dibandingkan dengan institusi-institusi lainnya, NGOs memiliki beberapa keunggulan yaitu : pertama, NGO lebih fleksibel dan memiliki akses langsung ke komunitas akar rumput sehingga memungkinkan aktor tersebut untuk memobilisasi sumber daya secara cepat ke daerah-daerah yang menjadi sasaran pembangunan. Kedua, NGO memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi untuk menjalankan societal governance.

Dengan demikian, konsep Governance membuka ruang interaksi antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam pencapaian tujuan negara. Oleh karena keberhasilan dalam pencapaian tujuan negara ditentukan dengan interaksi yang selaras antar satu dengan lainnya dalam pencapaian tujuan tersebut.

Autotherapetyc Mechanism

Dalam konteks Indonesia, sebagai bagian dari upaya penyelarasan peran antar aktor dalam pencapaian tujuan negara maka telah terdapat komitmen bersama penerapan norma tata kelola baik (Good Governance) di kepemerintahan maupun di dunia usaha. Di kepemerintahan, norma tersebut dikenal dengan istilah Good Public Governance sedangkan di dunia usaha dikenal dengan istilah Good Corporate Governance. Melalui instrumen normatif tersebut, kedua belah pihak dapat saling berinteraksi dan mensinerjikan diri untuk mencapai tujuan bernegara. Sinerjitas dalam pencapaian tujuan tersebut merupakan ukuran governability yaitu suatu ukuran yang menunjukkan

6

Page 7: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

dapat terselenggaranya tata kelola yang baik. Namun, pada ranah masyarakat/LSM acuan normatif yang menjadi komitmen dan disepakati bersama dalam kerangka pencapaian tujuan bernegara masih belum ada. Kalaupun ada, acuan normatif tersebut masih muncul dari inisiasi beberapa LSM, memiliki keterbatasan waktu dan keanggotaan, belum ada kesepahaman antar LSM sendiri maupun antara LSM dengan pemerintah. Bahkan, acuan normatif tersebut belum dapat menjamin harmonisasi interaksi antara pemerintah, swasta dan masyarakat/LSM karena kerangka pengaturannya masih bersifat internal manajerial LSM (inward looking). Oleh karena itu, tata kelola kesewadayaan masyarakat belum dapat dikategorikan governable.

Kevakuman norma kesewadayaan masyarakat (Good Societal Governance) dapat menyebabkan disharmoni antar LSM/Ormas, antara LSM/Ormas dengan pemerintah dan swasta. Disharmoni tersebut dalam konteks Good Governance dapat memperlemah agenda good governance dalam mencapai tujuan negara.

Aura disharmoni saat ini sangat terasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam ranah kesewadayaan masyarakat, kondisi tersebut antara lain terefleksikan dalam beberapa hal berikut:

1. Tidak semua LSM/Ormas betul-betul memperjuangkan kepentingan masyarakat. Banyak diantara lembaga tersebut yang berdalih memperjuangkan kepentingan masyarakat tetapi untuk kepentingannya sendiri5;

2. Belum adanya kesepahaman pendefinisian aktor kesewadayaan masyarakat. Sebagian aktor menyebut dirinya sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)6, sebagian aktor lain menganggap dirinya sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Istilah Ormas tersebut juga diberlakukan oleh pemerintah dan tercatat dalam istilah hukum perundangan. Untuk meneguhkan posisi mereka sebagai pihak yang independen vis a vis pemerintah maka sebagian lainnya menganggap dirinya sebagai Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP). Varian lainnya adalah Organisasi Profesi dan juga masih ada varian-varian lainnya. Kondisi ini dapat menyebabkan ego kesewadayaan dan tidak terintegrasinya gerakan kesewadayaan masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan negara.

3. Belum adanya kesepakatan antar aktor kesewadayaan masyarakat dan antara sebagian aktor kesewadayaan masyarakat dengan pemerintah. Kondisi ini dapat menyebabkan gerakan kesewadayaan masyarakat tidak governable (tidak terkelola dengan baik).

4. Terjadinya stigmatisasi antar aktor. Tanpa ada kejelasan mekanisme governability (mekanisme tata kelola yang baik) di lingkungan kesewadayaan masyarakat maka sebagian aktor kesewadayaan masyarakat dapat dengan mudahnya menganggap aktor kesewadayaan masyarakat lainya sebagai musuh masyarakat. Demikian pula pemerintah dapat dengan mudahnya menganggap sebagian aktor kesewadayaan masyarakat sebagai “musuh pemerintah dan masyarakat”.

5. Saat ini terdapat kecenderungan adanya fenomena saling tidak memahami, tidak saling percaya dan bahkan saling mendestruksi antar actor dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena tersebut terjadi baik dalam kaitannya dengan

5 Beberapa hasil studi yang dilakukan kalangan LSM sendiri, antara lain LPES dan Pirac, telah menunjukkan fenomena mis-behavior LSM.6 Istilah ini sebenarnya tidak dikenal dalam istilah hokum dan perundangan yang berlaku

7

Page 8: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

hubungan antar LSM maupun hubungan antara LSM dengan pemerintah. Kondisi ini daopat memperburuk terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, diperlukan komitmen bersama dan shared values tentang norma yang akan diterapkan.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut maka diperlukan mekanisme Autotheraphetyc Governance Mecanism (lihat gambar di lampiran). Dalam ruang masyarakat, beberapa kelompok masyarakat membentuk “gumpalan-gumpalan keswadayaan masyarakat” yang saat ini diistilahkan secara beragam antara lain yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), Organisasi Profesi, Organisasi Keagamaan, Organisasi Adat dan lain sebagainya. Masing-masing gumpalan tersebut memiliki beragam kepentingan (area of interest) yang antara lain meliputi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam konteks governance, beragam institusi keswadayaan masyarakat yang memiliki beragam kepentingan tersebut dapat didefiniskan sebagai masyarakat terorganisasi (organized society). Organized society hakekatnya adalah masyarakat madani yaitu masyarakat yang memiliki informasi yang cukup (well informed), well society dan well access. Instrumen pengambilan keputusan antar aktor (demokrasi) yang dapat digunakan adalah musyawarah.

Masing-masing sektor boleh mengatur sendiri-sendiri. Tetapi negara bukan hutan rimba yang masing-masing bebas menentukan nasibnya sendiri-sendiri bahkan bebas untuk menghakimi, menghujat dan merugikan pihak lain yang dapat menghambat pelayanan kepada masyarakat yang merupakan tujuan dan esensi dari penyelenggaraan negara . Kondisi ketidakteraturan (dis-order) tersebut dapat dikatakan sebagai keadaan yang tidak governable (tidak terkelola dengan baik). Agar terkelola dengan baik maka diperlukan governing system. Yang dapat menjadi governing system dalam hal ini adalah Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) yang disepakati bersama.

Baik pemerintah maupun dunia usaha/swasta juga memiliki governing system yaitu norma. Dengan berlandaskan pada norma masing-masing, masyarakat terorganisasi, pemerintah dan dunia usaha saling berinteraksi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat (all serve the people at last).

Khususnya dalam hal relasi antara pemerintah dengan masyarakat terorganisasi pada masa lalu, Era Orde Baru, pemerintah memandang masyarakat teorganisasi sebagai musuh yang selalu beroposisi terhadap pemerintah. Sementara saat ini masyarakat terorganisasi diperlakukan sebagai bagian dari governance (kepemerintahan) dalam mencapai tujuan Negara. Prinsip dasar masyarakat terorganisasi pada masa yang lalu adalah Non-Governmentalism. Sedangkan prinsip dasar masyarakat terorganisasi saat ini adalah Auto-Governmentalism atau self-governance.

Pola hubungan antara pemerintah dan masyarakat bukan bersifat hubungan yang terpisah, subyek dan obyek, dan atau hirarkis tetapi merupakan hubungan yang saling memperkuat antara satu dengan lainnya dalam kerangka kemitraan. Hal ini dilandasi oleh asumsi: pertama, baik pemerintah maupun aktor-aktor keswadayaan masyarakat sama-sama memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan keindonesiaan. Kedua, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Pemerintah memiliki kelebihan berupa

8

Page 9: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

otoritas terhadap sumber daya serta pengelolaan negara, namun memiliki kelemahan berupa terbatasnya akses, fleksibilitas dan kapasitas aparatur dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat sampai tingkat akar rumput (grass-root). Sedangkan, aktor kesewadayaan masyarakat memiliki kelebihan dalam akses ke masyarakat akar rumput serta jaringan baik lokal maupun internasional tetapi memiliki kelemahan dalam penguasaan sumber daya. Apabila antara pemerintah dan masyarakat dapat membangun sinerjitas maka dapat menjadi kekuatan yang luar biasa dalam mencapai tujuan pembangunan khususnya dalam mensejahterakan masyarakat.

Norma Keswadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) dan Alternatif Pelembagaannya7

Norma keswadayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai norma-norma peran keswadayaan masyarakat dalam pembangunan yang mencakup norma kemandirian, akuntabilitas, transparansi, responsiveness, pelibatan masyarakat, sinerjitas, dan kearifan lokal dalam rangka memaksimalkan potensi masyarakat serta harmonisasi hubungan peran masyarakat, pemerintah dan swasta untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Norma-norma tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1) Norma kemandirian

Norma kemandirian merupakan sikap keswadayaan masyarakat yang independen dan tidak tergantung kepada pihak lain khususnya negara-negara donor. Norma ini diperlukan untuk mengokohkan keberpihakan lembaga keswadayaan masyarakat terhadap kepentingan masyarakat dan bangsa di atas kepentingan negara-negara donor.

Sejak dimulainya reformasi paska krisis 1997/1998, masyarakat terorganisasi khususnya LSM tumbuh dengan sangat pesat dan beragam dalam partisipasi bernegara. Hakekat dari peran LSM tersebut tentunya meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang juga merupakan tujuan dari pencapaian negara. Sementara itu, sebagaimana pemerintah, LSM juga hidup dalam ruang yang tidak hampa dari kepentingan. Entitasnya juga berada dalam tarik-menarik kepentingan politik ekonomi global. Dinamika politik ekonomi global tidak hanya menawarkan peluang tetapi juga ancaman yang sangat halus (soft threat) terhadap kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia. Tidak sedikit LSM yang menerima bantuan dana dari luar negeri (donor)8. Fenomena ini dapat berimplikasi positip atau negatif. Implikasi potitip terjadi ketika bantuan asing tersebut ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan bangsa. Implikasi negatif terjadi ketika bantuan tersebut disengaja ataupun tidak sarat dengan kepentingan yang sebenarnya tidak sehaluan dengan kepentingan masyarakat dan bangsa. Contoh negatif yang sangat nyata adalah bantuan serta resep donor untuk memulihkan perekonomian Indonesia pada masa krisis ekonomi terbukti hanya menguntungkan segelintir elit ekonomi (kasus BLBI) dan kurang mensejahterakan masyarakat banyak (most people are still worse off). Untuk itu, 7 Konsep Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) ini merupakan hasil kajian Pusat Kajian Administrasi Internasional tahun 2008, Kedeputian P2APOAN Lembaga Administrasi Negara, LAN RI 8 Menurut informasi dari Direktorat Fasilitasi Organisasi Politik dan Kemasyarakatan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Departemen Dalam Negeri dan beberapa Kesbang Linmas Provinsi, data tentang berapa jumlah nominal dana donor yang masuk melalui LSM sulit diketahui karena masuknya dana tersebut langsung melalui LSM yang bersangkutan dan tidak melaporkan.

9

Page 10: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

dengan semangat kemandirian dan keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat dan bangsa, bersama pemerintah, LSM harus dapat menolak segala bantuan yang hanya akan merugikan masyarakat dan bangsa.

Contoh positip antara lain adalah pengalaman YPR (Yayasan Pendidikan Rakyat) di Sulawesi Tengah. Karena sumber daya alam serta posisi geografisnya sebagai ”paru-paru dunia” Sulawesi Tengah menjadi sorotan kepentingan internasional sehingga banyak kucuran dana para donor yang masuk ke daerah ini termasuk ke LSM. Karena semangat kemandiriannya, YPR menolak bantuan donor yang memiliki kepentingan eksploitasi sumber daya alam daerah tersebut.

Gambar 1. Norma Good Societal Governance

2) Norma Akuntabilitas

Sebagai manisfestasi pertanggungjawaban masyarakat terorganisasi/LSM, akuntabilitas merupakan salah satu pilar integritas gerakan keswadayaan masyarakat. Masyarakat teroganisasi yang akuntabel tentunya memperoleh kepercayaan yang tinggi baik dari masyarakat, pemerintah, sesama masyarakat terorganisasi dan donor sehingga dapat menjamin keberlanjutan (sustainability) gerakan keswadayaan masyarakat. Berbeda dengan pendekatan konvensional, norma akuntabilitas masyarakat terorganisai tidak hanya akuntabilitas terbatas pada kerangka prinsipal dan agen (pemiliki dan pelaksana) tetapi norma akuntabilitas dalam makna yang luas. Esensi akuntabilitas masyarakat terorganisasi mencakup tidak hanya akuntabilitas kepada prinsipal tetapi juga

10

Page 11: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

akuntabilitas kepada para penerima manfaat (beneficiaries). Sistem akuntabilitas masyarakat terorganisasi tersebut secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Sistem Akuntabilitas Masyarakat Terorganisasi

Khususnya terkait LSM, kecenderungan penerapan akuntabilitas LSM di Indonesia saat ini masih pada tataran akuntabilitas vertikal yaitu akuntabilitas terhadap donor dan internal manajemen LSM. Dalam lingkup yang terbatas, beberapa LSM sudah mengembangkan akuntabilitas horisontal yaitu akuntabilitas terhadap sesama LSM, seperti yang dikembangkan oleh KPMM dan WALHI di Sulawesi Tengah. Di Sumatera Barat, KPMM mengembangkan norma atau kode etik yang ditegakkan untuk LSM-LSM yang menjadi anggotanya. Begitujuga dengan WALHI telah mengembangkan kode etik yang disepakati dimana apabila dilanggar oleh salah satu LSM maka LSM tersebut dapat dikeluarkan dari keanggotaan paguyuban WALHI tersebut.

3) Norma Transparansi Transparansi merupakan keterbukaan masyarakat terorganisasi terhadap sumber dana dan penggunaannya serta kinerja keberpihakannya ke masyarakat. Keterbukaan ini penting artinya untuk memperkuat akuntabilitas dan integritas masyarakat terorganisai di tengah masyarakat. Setidaknya ada beberapa kegunaan bagi penguatan Good Governance yang dapat diperoleh melalui transparansi masyarakat terorganisasi yaitu:

Transparansi dapat memperkecil asymetric information (kesenjangan informasi) antara masyarakat terorganisasi dengan masyarakat (beneficiaries), pemerintah (mitra).

Transparansi dapat meningkatkan integritas masyarakat terorganisasi di mata stakeholders lainnya.

Akuntabilitas Vertikal

Akuntabilitas Horisontal

Akuntabilitas Downward

Pemerintah, Donor dan Manajemen

MT

Sesama MT Beneficiaries

11

Sistem Masyarakat Terorganisasi (MT)

Page 12: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Transparansi dapat menjadi media bagi masyarakat untuk menuntut akuntabilitas masyarakat terorganisasi dan menjadi arena perdebatan publik (public debate)

Informasi dapat memperkuat transparansi dan keterbukaan masyarakat terorganisasi sebagai media untuk preventing corruption and unethical practices bagi masyarakat terorganisasi dalam berpartisipasi membangun bangsa dan negara.

Dengan kata lain, melalui transparansi, masyarakat terorganisasi dapat lebih terdorong untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Demikian pula pihak pemerintah dan masyarakat dapat lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan negara.

4) Norma Responsiveness Norma responsiveness merupakan norma yang terkait dengan daya tanggap

masyarakat teroraganisasi terhadap persoalan-persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun paska terjadinya krisis ekonomi, Indonesia sangat giat melakukan reformasi dengan membangun nilai demokrasi dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan. Atas kerja keras bangsa ini, pencapaian bangunan demokrasi di Indonesia telah diakui bahkan diapresiasi oleh kalangan dunia internasional sehingga Indonesia pernah dinobatkan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Wajah demokrasi dalam penyelenggaraan negara tercermin dengan diadopsinya mainstream Good Governance yang terefleksikan antara lain dalam penerapan desentralisasi, pemilihan presiden langsung, Pilkada langsung, keterbukaan, gerakan pemberantasan korupsi, privatisasi dan sebagainya.

Namun setelah sepuluh tahun reformasi tersebut, bangsa ini masih belum betul-betul bangkit. Daya saing bangsa dibandingkan dengan negara-negara lainnya masih sangat lemah, bahkan lebih lemah dibandingkan dengan Vietnam. Bahkan semakin liberalnya rejim investasi dan masuknya para investor asing (foreign direct investment) belum dapat menjamin semakin sejahteranya masyarakat Indonesia. Efek positip kebijakan ekonomi hanya dirasakan oleh beberapa elit pelaku ekonomi. Tingkat kemiskinan dan pengangguran masih relatif tinggi sehingga sangat rentan apabila terjadi goncangan politik dan ekonomi baik yang disebabkan oleh dinamika nasional maupun internasional.

Semakin banyaknya masyarakat terorganisasi khususnya LSM sejak paska era krisis dan reformasi pra-era demokrasi dapat mengindikasikan semakin tingginya partisipasi masyarakat dalam bernegara. Tetapi semakin besarnya tingkat partisipasi LSM tersebut ternyata belum betul-betul dapat menjadi pembangkit bangsa dari keterpurukan ekonomi. Ada banyak LSM yang telah betul-betul membantu masyarakat melalui berbagai program pembangunan. Namun, banyak juga LSM yang cenderung self-interested dan donor interested yang kurang berpihak terhadap kepentingan masyarakat atau yang mengatasnamakan masyarakat untuk kepentingan sendiri. Fenomena ini justru dapat memperlemah integritas gerakan keswadayaan masyarakat dan kontra-produktif terhadap pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara.

Beberapa persoalan kebangsaan yang sangat krusial saat ini adalah masalah kemiskinan dan lemahnya daya saing bangsa. Semenjak krisis ekonomi tahun 1997/1998 sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mengarah pada pertumbuhan yang

12

Page 13: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

positip. Biasanya pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan tingkat pengangguran. Namun dalam kasus Indonesia, pertumbuhan ekonomi justru tidak diikuti dengan berkurangnya tingkat pengangguran. Berdasarkan laporan Bank Indonesia, selama tiga tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu mencapai angka di atas 5 persen. Dalam waktu yang bersamaan, namun demikian, tingkat pengangguran dan kemiskinan relatif tinggi. Tingkat pengangguran pada tahun 2006 dan 2007 mencapai 10,9 juta orang (10.3 persen) dan 10.6 juta (9.8 persen). Tingkat kemiskinan pada tahun 2007 sebesar 37.17 juta orang atau 17.75 persen. Tingkat kemiskinan pada tahun 2007 tersebut bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan sebelum krisis Tahun 1997 yaitu sebesar 4.7 persen.

Ancaman goncangan ekonomi masyarakat berpotensi dapat lebih besar seiring dengan kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok. Beberapa anggota masyarakat mengalami keadaan ekonomi yang cukup buruk. Ribuan anak-anak Balita di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Jawa Barat mengalami menderita penyakit busung lapar. Terdapat juga beberapa kasus bunuh diri di beberapa daerah. Semakin tidak menentunya perekonomian global dapat lebih memperburuk keadaan. Ketidaksiapan masyarakat menghadapi dampak negatif globalisasi ekonomi dapat menyebabkan yang miskin semakin miskin. Terlepas dari berbagai kontroversi isu “money politic” menjaleng Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, saat ini pemerintah sudah melakukan intervensi kebijakan melalui program Bantuan Langsung (BL) sebesar 44,16 trilun yang antara lain melalui PNPM (PUAP) sebesar 1 triliun, PNPM Pedesaan (PTK) sebesar 4,3 triliun, PNPM Perkotaan (P2KP) sebesar 1,3 triliun, PNPM BP (P2BTK-SPADA) sebesar 361 milyar, PNPM IP (PPIP) sebesar 550 milyar, BLT dan raskin sebesar 18,15 trilun, subsidi pupuk sebesar 17 trilun, subsidi kedelai sebesar 500 milyar, dan subsidi minyak goreng sebesar 500 milyar9. Namun demikian, intervensi kebijakan pemerintah tersebut belum dapat menjamin keberhasilan pembangunan. Di luar peran aktor pemerintah dan swasta diperlukan peran masyarakat dan LSM untuk secara bersama-sama menyelesaikan persoalan bangsa tersebut sesuai dengan kapasitas dan kompetensi masing-masing sehingga kelemahan dan keterbatasan pemerintah dapat ditutup oleh LSM dan masyarakat.

Oleh karena itu, norma responsiveness, daya tanggap terhadap persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan perlu menjadi parameter gerakan keswadayaan yang baik agar selararas dengan upaya-upaya pencapaian tujuan bernegara.

5) Pelibatan masyarakatPelibatan masyarakat merupakan upaya-upaya masyarakat terorganisasi dalam

melibatkan masyarakat untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan LSM. Pendekatan ini sering juga disebut dengan multy-stakeholders approach. Dengan melibatkan masyarakat maka dapat diperoleh beberapa manfaat yaitu: 1) Program-program masyarakat terorganisasi dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat penerima manfaat (beneficiaries) karena masyarakat yang mengetahui langsung kebutuhannya dapat berpartisipasi dalam perancangan dan pelaksanaan program ; 2) Dapat mengurangi kesenjangan informasi (asymetric information) antara masyarakat terorganisasi yang merepresentasikan kepentingan masyarakat dengan masyarakat sebagai penerima manfaat

9 Sumber Menko Kesra/RAPBN-P 2008 sebagaimana dikutip oleh Media Indonesia, Kamis 12 Juni 2008

13

Page 14: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

(beneficiaries); 3) dapat menjadi arena terjadinya checks and balances antar berbagai aktor yang terlibat dalam pembangunan. 6) Norma Sinerjitas

Dalam kerangka Good Governance, sinerjitas antar aktor merupakan conditio sie quanon dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerjasama yang sinerjik antar aktor diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa secara efektif dan efisien. Ketika dalam mengatasi suatu persoalan masing-masing aktor berjalan sendiri-sendiri maka dimungkinkan terjadinya overlapping, in-efesiensi dan mis-alokasi. Overlapping terjadi ketika pendekatan yang sama digunakan oleh beberapa aktor yang menyelesaikan persoalan yang sama. Dalam hal ini, sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan pada beberapa tujuan akan terbuang untuk mengatasi satu persoalan tanpa ada jaminan efektivitasnya. Kondisi ini dapat menimbulkan in-efesiensi alokasi sumber daya. Akibat lainnya adalah terjadinya mi-alokasi karena masing-masing menganggap dirinya paling tahu sehingga tidak sharing informasi antar satu dengan lainnya.

Sinerjitas dapat ditinjau berdasarkan stakeholdernya. Dalam hal ini, sinerjitas harus terbangun dalam berbagai lapisan. Lapisan pertama, sinerjitas vertikal, yaitu sinerjitas yang terbangun antara masyarakat terorganisasi dengan pemerintah, donor dan manajemen internal. Melalui sinerjitas vertikal ini diharapkan dapat terjalin keterpaduan antara masyarakat terorganisasi, pemerintah, donor dan manajemen internal masyarakat terorganisasi dalam mengatasi persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan. Lapisan kedua, sinerjitas horisontal, yaitu sinerjitas antar masyarakat terorganisasi. Kondisi ini diperlukan untuk memperkuat jejaring kerja masyarakat terorganisasi dalam mengatasi persoalan kemasyarakatan dan meminimalisir terjadinya overlapping kerja antar masyarakat terorganisasi. Lapisan ketiga yang merupakan lapisan inti adalah sinerjitas downward, yaitu sinerjitas antara masyarakat terorganisasi dengan masyarakat atau para penerima manfaat (beneficiaries).

Sinerjitas dapat juga terbangun berdasarkan tahapan penyelenggaraan program. Pada tahapan awal adalah perencanaan. Tahap ini merupakan tahap yang sangat kritis karena dapat menentukan arah dari tahapan selanjutnya. Untuk perencanaan program tersebut harus dilakukan dengan pendekatan multy-stakeholders untuk menjamin efektivitas dan efesiensi dari program yang akan dilakukan. Baik relasi aktor vertikal, horisontal maupun downward perlu dilibatkan dalam perencanaan untuk menjamin keterpaduan program serta efektivitas program. Tahap pelaksanaan juga perlu dibangun sinerjitasnya agar tidak terjadi saling tumpang tindih peran antar aktor. Selanjutnya, sinerjitas dalam eveluasi diperlukan untuk menjamin terjadinya cheks and balances antar aktor sehingga dapat menimalisir bahkan meniadakan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Dalam realitasnya, secara umum, sinerjitas antara pemerintah dan masyarakat terorganisasi/LSM masih belum tercapai. Alih-alih terjadinya sinerjitas, kedua aktor tersebut seringkali melakukan peran yang overlap serta berhadap-hadapan dalam konflik kepentingan.

14

Page 15: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Gambar 3. Peta Sinerjitas Antar Aktor

Sinerjitas juga dapat terbangun dalam pembagian target objek pemberdayaan. Jangan sampai satu tempat terlalu banyak aktor yang menangani masalah di daerah tersebut. Sedangkan daerah lainnya tidak ada aktor sama sekali.

7) Norma Kearifan Lokal Salah satu keberhasilan pengaruh pihak asing terhadap Indonesia adalah modernisasi berbagai sektor kehidupan. Perkembangan ini dalam beberapa aspek memberikan kemanfaatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, terdapat pula dampak negatif modernisasi yang patut diperhitungkan karena dampak tersebut tidak hanya untuk generasi sekarang saja tetapi juga untuk generasi yang akan datang (The future of Indonesia). Akibat modernisasi banyak anggota masyarakat yang teralienasi dalam kehidupan yang individualistis dan materialistis sehingga mendegradasi kehidupan kegotongroyongan, meningkatkan ego individu, agresivitas dan konflik. Kondisi tersebut tentunya dapat memperlemah sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan. Sementara itu, di dalam nilai-nilai lokal sendiri sebebanrnya banyak terkandung kearifan-kearifan yang dapat lebih menjamin kehidupan kebangsaan yang lebih baik. Contoh-contoh kearifan lokal antara lain dapat ditemukan dalam kearifan masyarakat subak, adat bersandi sara dan sara bersandi kitabullah di Padang.

Kerangka Instrumental Norma Kesewadayaan Masyarakat

Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya melaksanakan norma kesewadayaan masyarakat (Good Societal Governance), maka dalam tabel 1 direkomendasikan pedoman instrumental penerapan norma kesewadayaan masyarakat; dan tabel 2 tentang gagasan apa yang benar dan salah (the Do and Don’t) dalam penyelenggaraan kesewadayaan masyarakat , sehingga dapat dinilai apakah para aktor kesewadayaan masyarakat telah secara tepat melaksanakan prinsip-prinsip tersebut.

Sinerjitas Vertikal Sinerjitas Horisontal

Sinerjitas Downward

Pemerintah, Donor dan Manajemen

Masyarakat Terorganisasi

Sesama Masyarakat

Terorganisasi

Beneficiaries

15

Sinerjitas Masyarakat Terorganisasi

Page 16: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Tabel 1: Pedoman Instrumental Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Tata Keswadayaan Masyarakat Yang Baik

NORMA-NORMA PENJELASAN PRINSIP INSTRUMEN INDIKATOR

Norma Kemandirian

Norma kemandirian merupakan sikap keswadayaan masyarakat yang independen dan tidak tergantung kepada pihak lain khususnya negara-negara donor. Norma ini diperlukan untuk mengokohkan keberpihakan lembaga keswadayaan masyarakat terhadap kepentingan masyarakat dan bangsa di atas kepentingan negara-negara donor

Instrumen dasar untuk pelaksanaan prinsip ini adalah komitmen politik untuk menolak bantuan donor yang sarat dengan kepentingan yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah kampanye anti bantuan luar negeri yang merugikan kepentingan masyarakat, checks and balances antar LSM dan antara LSM dengan pemerintah dan konsolidasi gerakan keswadayaan masyarakat pada tingkat nasional dan lokal.

1. Teradvokasikannya kepentingan masyarakat dari kooptasi pihak asing.

2. Meningkatnya soliditas gerakan keswadayaan masyarakat dalam mencapai tujuan negara

3. Meningkatnya rasa nasionalisme LSM

Norma Partisipasi Pelibatan masyarakat merupakan upaya-upaya LSM dalam melibatkan masyarakat untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan LSM.

Instrumen dasar partisipasi adalah komitmen masyarakat terorganisasi untuk melibatkan masyarakat dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan. Instrumen-instrumen pendukungnya adalah pemberian informasi kepada masyarakat, forum konsultasi masyarakat dan multy-stakeholders approach.

1. Meningkatnya kepercayaan masya-rakat kepada masyarakat terorganisasi.

2. Meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat terorganisasi

3. Meningkatnya kuantitas dan kualitas masukan (kritik dan saran) untuk peran keswadayaan masyarakat

4. Terjadinya perubahan sikap masyarakat menjadi lebih peduli terhadap kegiatan keswadayaan

Page 17: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

masyarakat

5. Kesesuaian antara program-program LSM dengan kebutuhan masyarakat penerima manfaat (beneficiaries)

6. Berkurangnya kesenjangan informasi (asymetric information) antara LSM yang merepresentasikan kepentingan masyarakat dengan masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficiaries)

7. Terjadinya proses checks and balances

Norma Transparansi

Transparansi merupakan keterbukaan LSM terhadap sumber dana dan penggunaannya serta kinerja keberpihakannya ke masyarakat. Keterbukaan ini penting artinya untuk memperkuat akuntabilitas dan integritas LSM di tengah masyarakat.

Instrumen dasar dari transparansi adalah komitmen untuk mempublikasikan aktivitas LSM berikut keuangannya, sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah fasilitas database dan sarana informasi dan komunikasi dan bentuk penyebaran luasan produk dan informasi termasuk penyajian neraca keuangan di media masa dan internet serta prosedur pengaduannya.

1. Bertambahnya wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan aktivitas kesewadayaan masyarakat;

2. Meningkatnya kepercayaan masya-rakat terhadap masyarakat terorganisasi;

3. Meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam aktivitas kesewadayaan masyarakat;

4. Berkurangnya pelanggaran terha-dap peraturan perundang-undangan

Norma Daya Tanggap(Responsiveness)

Norma responsiveness merupakan norma yang terkait dengan daya tanggap LSM terhadap persoalan-

Instrumen dasar untuk pelaksanaan prinsip ini adalah komitmen masyarakat terorganisasi/LSM untuk

1. Meningkatnya kepercayaan masya-rakat pada pemerintah;

Page 18: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan. Semakin banyaknya LSM sejak paska era krisis dan reformasi dapat mengindikasikan semakin tingginya partisipasi masyarakat dalam bernegara. Tetapi semakin besarnya tingkat partisipasi LSM tersebut ternyata belum betul-betul dapat menjadi pembangkit bangsa dari keterpurukan ekonomi.

selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat serta berupaya membantu masyarakat dalam mengatasi berbagai persoalan. Sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah pemetaan persoalan kemasyarakatan serta kemungkinan alternative solusinya, pemetaan para aktor governance, kerjasama antar aktor governance, kepenyediaan fasilitas komunikasi, kotak saran dan layanan hotline, prosedur dan fasilitas pengaduan.

2. Tumbuhnya kesadaran masyarakat;

3. Meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam aktivitas kesewadayaan masyarakat

4. Terselesesaikannya berbagai persoalan kemasyarakatan

5. Meningkatnya kesejahteraan dan nilai tambah dari pelayanan masyarakat

Prinsip Akuntabilitas

Para aktivis keswadayaan masyarakat harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerj tidak hanya kepada internal manajemen dan sponsor tetapi juga kepada masyarakat. Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi.

Instrumen dasar akuntabilitas adalah komitmen dan kesepakatan penegakan etika keswadayaan masyarakat. Sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja keswadayaan masyarakat dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.

1. Meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada masyarakat terorganisasi;

2. Tumbuhnya kesadaran masya-rakat;

3. Berkurangnya kasus-kasus penyalahgunaan aktivitas keswadayaan masyarakat.

Norma Sinerjitas Dalam kerangka Good Governance, sinerjitas antara LSM dengan LSM, LSM dengan pemerintah, LSM dengan masyarakat dan LSM dengan aktor lainnya merupakan conditio sie quanon dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerjasama yang sinerjik antar aktor diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa

Instrumen dasar dari norma sinerjitas adalah komitmen bersama antara LSM dan pemerintah serta aktor lainnya untuk saling berkoordinasi dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan. Sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah pusat informasi dan komunikasi antar LSM dan LSM

1. Meningkatnya efektivitas dan efesiensi program kesewadayaan masyarakat dalam mendukung pencapaian tujuan negara.

2. Tidak terjadinya saling tumpang tindih peran antar aktor kesewadayaan masyarakat

3. Berkurangnya penyimpangan-

Page 19: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

secara efektif dan efisien. Ketika dalam mengatasi suatu persoalan masing-masing aktor berjalan sendiri-sendiri maka dimungkinkan terjadinya overlapping, in-efesiensi dan mis-alokasi

dengan pemerintah, pendekatan multy-stakeholders dari mulai tahap perencanaan sampai evaluasi, tersedianya data jejaring kesewadayaan masyarakat.

penyimpangan

Norma Kearifan Lokal

Pelayanan kepada masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan didukung mekanisme pengang-garan serta pengawasan yang rasional dan transparan. Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang jasa pelayanan umum harus menginfor-masikan tentang biaya dan jenis pelayanannya. Untuk menciptakan efisiensi harus digunakan tehnik manajemen modern untuk administrasi kecamatan dan perlu ada desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat kelurahan/ desa.

Instrumen dasar dari prinsip efisiensi dan efektivitas adalah komitmen politik. Sedangkan instrumen-instru-men pendukungnya adalah struktur pemerintahan yang sesuai kepenting-an pelayanan masyarakat, adanya standar-standar dan indikator kinerja untuk menilai efektivitas pelayanan, pembukuan keuangan yang memungkinkan diketahuinya satuan biaya, dan adanya survei-survei kepuasan masyarakat/konsumen.

1. Meningkatnya kesejahteraan dan nilai tambah dari pelayanan masyarakat;

2. Berkurangnya penyimpangan pembelanjaan;

3. Berkurangnya biaya operasional pelayanan;

4. Prospek memperoleh standar ISO pelayanan;

5. Dilakukannya swastanisasi pelayanan masyarakat

Page 20: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance
Page 21: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Tabel 2 :Benar dan Salah Dalam Pelaksanaan Norma Kesewadayaan

Masyarakat (Good Societal Governance)

Prinsip-Prinsip Praktek Salah Praktek Benar

Norma Kemandirian

Bekerjasama dengan donor asing dalam aktivitas kesewadayaan masyarakat yang merugikan kepentingan masyarakat dan bangsa secara langsung ataupun tidak langsung, dalam jangka pendek ataupun jangka panjang (missal: eksploitasi sumber daya alam).

Menerima dana dari pihak tertentu yang memiliki kepentingan politik tertentu untuk mendestruksi/mendisharmoni/mendisintegrasi kerjasama antara masyarakat, pemerintah dan swasta dalam pencapaian tujuan Negara melalui agitasi, provokasi dan mobilisasi masyarakat.

Mengkampanyekan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan tatatan nilai masyarakat setempat untuk melayani kepentingan asing dan memperoleh bantuan dana.

Menolak bantuan asing dalam aktivitas kesewadayaan masyarakat yang merugikan kepentingan masyarakat dan bangsa secara langsung ataupun tidak langsung, dalam jangka pendek ataupun jangka panjang (missal: eksploitasi sumber daya alam).

Koordinasi antar aktor dalam mengintegrasikan dan mensinerjikan gerakan kesewadayaan masyarakat untuk mencapai tujuan negara

Memanfaatkan sumber dana dari manapun untuk kepentingan masyarakat

Mengkampanyekan nilai-nilai yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Norma Partisipasi

Mobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam program kesewadayaan masyarakat dengan cara intimidasi, dan intrik-intrik lainnya.

Penyelenggaraan kesewadayaan masyarakat yang deterministik, monopolisti dan top-down dengan menutup akses bagi masyarakat untuk berperan serta

Memanipulasi peran serta masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat hanya sekedar sebagai alat legitimasi dan formalitas bagi pengambilan keputusan/rencana tertentu

Membangun partisipasi masya-rakat dalam program kesewadayaan masyarakat melalui komunikasi dua arah dan saling memahami kepenting-an masing-masing

Mendelegasikan penyelenggaraan kesewadayaan masyarakat kepada individu atau kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan

Memperoleh persetujuan dan dukungan masyarakat dalam proses konsultasi dan komunikasi dua arah yang setara dan rasional melalui kesepakatan/konsensus dan komitmen bersama.

Norma Transparansi

Memberikan informasi hanya kepada internal manajemen dan

Memberikan informasi tidak hanya kepada internal manajemen

Page 22: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

sponsor/donor.

Menyebarkan informasi dalam bahasa atau formulasi yang tidak dimengerti masyarakat

Memberikan data yang tidak bernilai informasi, atau hanya sekedar formalitas, sementara informasi yang sebenarnya tetap dirahasiakan

Menyediakan fasilitas pengaduan masyarakat, hanya sekedar formalitas, tanpa komitmen tindak lanjut

Berkomunikasi dengan masyara-kat dalam bahasa retorika hanya sekedar untuk menarik simpati.

Membangun sistem informasi berbasis teknologi informatika sebagai simbol kemajuan dan gengsi lembaga semata-mata

dan sponsor/donor tetapi juga kepada masyarakat luas khususnya para penerima manfaat (beneficiaries)

Merumuskan dan menyebarkan informasi dalam bahasa yang sederhana dan dimengerti

Memberikan data yang informatif ,komunikatif, dan terbuka agar masyarakat memahami dan dapat berperan serta atau mengambil kesimpulan yang benar.

Fasilitas pengaduan masyarakat dikelola dengan baik dan proaktif drngan tindak lanjut korektif sesuai pengaduan masyarakat

Berkomunikasi dengan masyarakat dalam bahasa komunikatif dan penuh komitmen

Membangun sistem informasi dengan teknologi informasi yang fungsional, interaktif dan mampu diakses masyarakat secara luas

Norma Daya Tanggap

(Responsiveness)

Sikap kesewadayaan masyarakat yang melaksana-kan tugas dan fungsinya berorientasi kepada perintah atasan dan penyandang dana/sponsor/donor tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat

Aktivitas kesewadayaan masyarakat yang dirancang dan dilaknakan dengan mengatasnamakan masyarakat untuk kepentingan pengurus dan donor

Tidak ada kejelasan dampak kesewadayaan masyarakat terhadap penyelesaian permasalahan kemasyarakatan

Dukungan terhadap LSM yang hanya menguntungkan aparatur pemerintah

Menyelenggarakan forum masya-rakat, talkshow dan sebagainya sebagai media untuk mengem-bangkan popularitas pribadi

Sikap kesewadayaan masyarakat yang melaksana-kan tugas dan fungsinya berorientasi kepada kepentingan masyarakat

Aktivitas kesewadayaan masyarakat yang dirancang dan dilaknakan betul-betul untuk kepentingan masyarakat.

Adanya kejelasan dampak kesewadayaan masyarakat terhadap penyelesaian permasalahan kemasyarakatan

Memberikan apresiasi/insentif/reward terhadap LSM yang berkontribusi dalam penyelesaian persoalan kemasyarakatan

Menyelenggarakan forum masya-rakat, talkshow dan sebagainya untuk membangun konsensus dan kesepakatan dengan masyarakat

Page 23: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Norma Akuntabilitas

Memandang akuntabilitas sebagai kewajiban mempertanggung-jawabkan kinerja kepada atasan, penyandang dana atau siapa yang berkuasa.

Memandang audit kinerja atau evaluasi kinerja sebagai media untuk mencari-cari kesalahan agar bisa menerapkan sanksi kepada pihak-pihak yang tidak disukai.

Merumuskan indikator kinerja secara subyektif dan sumir untuk membuka peluang penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang

Memandang akuntabilitas sebagai hak dan kewajiban mempertang-gungjawabkan kinerja kepada lembaga atasan, penyandang dana maupun kepada masyarakat.

Memandang audit kinerja atau evaluasi kinerja sebagai instrumen akuntabilitas dan instrumen pendidikan serta pemberian motivasi untuk perbaikan dan peningkatan kinerja yang lebih baik dikemudian hari

Merumuskan indikator kinerja secara akurat dan obyektif sebagai tanggungjawab dan komitmen terhadap kepentingan masyarakat.

Norma Sinerjitas

Merancang dan melaksanakan program tanpa mempertimbangkan para aktor terkait sehingga

UNtuk program dan target yang sama, para LSM bergerak masing-masing... Memandang audit kinerja atau evaluasi kinerja sebagai media untuk mencari-cari kesalahan agar bisa menerapkan sanksi kepada pihak-pihak yang tidak disukai.

UNtuk program dan target yang sama, para LSM dan pemerintah bergerak masing-masing... wewenang

Memandang akuntabilitas sebagai hak dan kewajiban mempertang-gungjawabkan kinerja kepada lembaga atasan, penyandang dana maupun kepada masyarakat.

Memandang audit kinerja atau evaluasi kinerja sebagai instrumen akuntabilitas dan instrumen pendidikan serta pemberian motivasi untuk perbaikan dan peningkatan kinerja yang lebih baik dikemudian hari

Merumuskan indikator kinerja secara akurat dan obyektif sebagai tanggungjawab dan komitmen terhadap kepentingan masyarakat.

Norma Kearifan Lokal

Mensosialisasikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu yang tidak sesuai dengan kearifan nilai-nilai lokal untuk pencapaian tujuan tertentu yang menguntungkan kelompok tertentu termasuk pihak asing.

Memberikan bantuan yang berakibat pada ketergantungan, kemalasan dan melunturkan semangat gotong royong dan kebersamaan

Memperkuat tatanan kemasyarakatan dengan mengembangkan kearifan lokal

Memberikan bantuan yang mendidik masyarakat untuk mandiri dan memiliki semangat gotong royong.

Mengkampanyekan pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan serta tidak merusak kearifan lokal

Page 24: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Mengkampanyekan penyebaran teknologi yang berakibat pada kerusakan lingkungan, rusaknya tatanan kemasyarakatan dan termarjinalkannya sebagian anggota masyarakat .

Alternatif Pelembagaan Norma

Norma-norma kemasyarakatan merupakan salah satu cara untuk mengharmonisasikan hubungan antar aktor dalam aktivitas kemasyarakatan. Suatu norma dikatakan sudah melembaga (institutionalized) apabila norma tersebut sudah melalui tahapan-tahapan berikut (Soekanto, 1982):

1. Diketahui2. Dipahami atau dimengerti3. Ditaati4. Dihargai

Tahap diketahui merupakan titik pelembagaan terlemah yang dapat dilakukan sedangkan tahap ditaati merupakan tahap pelembagaan yang sangat kuat. Di luar keempat tahapan proses pelembagaan tersebut terdapat tahap pelembagaan yang lebih tinggi lagi yaitu tahap internalisasi (internalized). Pada tahap ini, norma kemasyarakatan sudah betul-betul mendarahdaging di tengah masyarakat.

Dengan adanya norma tersebut maka diharapkan terjadinya pengendalian sosial (social control). Terjadinya pengendalian sosial tersebut dapat dilakukan melalui hukum tertulis atau perundang-undangan yang merupakan bentuk pengendalian sosial formal (formal-social control). Pengendalian sosial juga dapat terjadi tidak melalui instrumen hukum tertulis tetapi melalui norma-norma atau upaya-upaya lain seperti pendidikan, agama, desas desus dan sebagainya.

Pelembagaan Kesewadayaan Masyarakat (GSG) dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan dari mulai pengaturan diri (self-regulation) yang dilakukan oleh masyarakat terorganisasi tersendiri sampai pengaturan dalam hukum tertulis. Beberapa alternatif pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan (Diklat dan kurikulum perguruan tinggi).Agar dapat terlembagakan di tengah masyarakat maka konsep Good Societal

Governance harus dapat menjadi bagian dari wacana publik (public discourse). Konsep tersebut perlu diketahui dan dipahami sehingga diharapkan menjadi sub-sistem konsep Good Governance. Salah satu instrumen penting dalam mempromosikan konsep tersebut adalah melalui jalur pendidikan. Dalam jalur ini, promosi konsep Good Societal Governance dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (Diklat) dan kurikulum perguruan tinggi. Pelembagaan GSG melalui dunia pendidikan memiliki beberapa karakteristik berikut:

Pendalaman pemahaman serta pencerahan new insight dalam Good Governance

Page 25: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Dapat diterapkan dengan system jejaring diklat dan perguruan tinggi, minimal di lingkungan Diklat Aparatur, Diklat. Pim. serta STIA LAN Jakarta, STIA LAN Bandung dan STIA LAN Makasar.

Namun demikian, pelembagaan melalui jalur pendidikan cenderung memiliki efek/dampak jangka menengah dan panjang

2. Pemantapan Undang-undang OrmasSebagai payung hukum keberadaan LSM, Undang-undang tentang Organisasi

Kemasyarakatan (UU Ormas) No. 8 Tahun 1985 dianggap sudah kurang relevan dengan realitas kekinian yang lebih mengedepankan demokrasi dibandingkan dengan sentralisai kekuasaan yang terjadi pada masa Orde Baru. Oleh karena itu, di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri dengan melibatkan berbagai unsur termasuk beberapa aktivis LSM yang cukup berpengaruh, Undang-Undang tersebut sedang dirancang kembali (re-design) sesuai dengan kebutuhan saat ini. Salah satu penekanan (stressing point) dari perubahan tersebut adalah reposisi hubungan antara ormas dan pemerintah dari hubungan yang antagonistik ke hubungan kemiteraan (partnership). Namun demikian, rancangan tersebut sampai saat ini masih dalam proses perdebatan yang antara lain disebabkan oleh beberapa hal berikut:

RUU tersebut masih dianggap oleh sebagian komunitas LSM sarat dengan nuansa pembinaan dan pengawasan dibandingkan dengan nuansa kemitraan sebagaimana ekspektasi pemerintah dan LSM.

Masih terdapat resistensi dari beberapa komunitas LSM Rancangan tersebut juga kurang jelas memposisikan LSM apakah setara vis a vis

pemerintah atau top-down Perumusan RUU tersebut bersifat top-down dan masih dianggap kurang

mengapresiasi aspirasi akar rumput (grass root aspiration). Dalam rancangan tersebut masih belum mengakomodasi LSM informal.

3. Perancangan Undang-undang PerkumpulanUntuk mengakomodasi keberadaan LSM informal10 yang belum terwadahi dalam

payung UU Ormas No. 8 Tahun 1985 maka Derpartemen Hukum dan HAM memiliki inisiatif untuk merancang Undang-undang tentang Perkumpulan11. Namun demikian proses perancangan Undang-undang Perkumpulan ini masih dalam tahap proses kosntruksi. RUU ini juga cenderung parsial karena tidak ada integrasi antara LSM informal dengan LSM formal. Padahal, baik LSM informal maupun LSM formal keduanya adalah bagian dari organisasi masyarakat. Pemberlakukan RUU ini juga dapat menimbulkan tumpang tindih kebijakan antara UU Perkumpulan dengan UU Ormas.

4. Perancangan Undang-undang Keswadayaan MasyarakatUntuk melengkapi kelemahan baik pada Undang-undang Ormas maupun

Perkumpulan12 maka diperlukan Undang-undang Keswadayaan Masyarakat13. Sebagai

10 Misalnya: perkumpulan arisan 11 Informasi dari Rustam Ibrahim pada Focused Group Discussion (FGD) di LAN tanggal….. 12 Kelemahan tersebut antara lain menyangkut perundangan yang masih parsial, belum terintegrasi, dan tumpang tindih kebijakan. 13 Hasil Focuse Group Discussion (FGD) antara tim peneliti LAN dengan aktivis senior LSM, Rustam Ibrahim di LAN pada tanggal 11 Juni 2008

Page 26: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

wacana baru (new discourse), Undang-undang Keswadayaan Masyarakat memiliki beberapa kelebihan berikut:

spirit perlindungan keswadayaan masyarakat (indiginous governance) inklusif keswadayaan formal maupun informal Prinsip sinerji dan kemitraan antar berbagai aktor14 dalam pencapaian tujuan

negara Selaras dengan prinsip Good Governance Dapat menjembatani berbagai kepentingan Dirumuskan dengan pendekatan multi-aktor (Depdagri, Dep Huk dan HAM,

LAN, MenPAN, Masyarakat)

6. Penerapan mekanisme reward dan punishmentPemerintah dapat memberikan reward dan punishment terhadap LSM sesuai dengan

rekomendasi tim penilai (assessors) yang mewakili berbagai unsur termasuk unsur pemerintah, LSM, tokoh masyarakat dan akademisi. Basis penilaiannya adalah pencapaian norma Good Societal Governance. Bagi LSM yang memiliki nilai kontribusi kemasyarakannya baik akan mendapatkan reward. Sedangkan LSM yang justru mementingkan kepentingan dirinya dan donor dibandingkan kepentingan masyarakat akan mendapatkan punishment.

7. Tax Deduction

Salah satu reward yang dapat diberikan oleh pemerintah adalah fasilitas pengurangan pajak (tax deduction). Pengurangan pajak ini diberikan kepada LSM yang betul-betul memberikan kontribusi dalam membangun masyarakat. Institusi utama yang mengelola insentif ini adalah Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan atas dasar masukan dari Dirjen Kesbang/Kesbanglinmas Prov/Kabupaten Kota dan tim assessor yang terdiri dari berbagai unsur.

8. Model Pendataan dengan Sistem Jejaring Sesuai dengan spirit Good Governance, peran Kesbang Linmas seharusnya tidak

hanya pendataan tetapi juga memfasilitasi kerjasama antara pemerintah dan masyarakat di tingkat daerah. Fasilitasi kerjasama dilakukan terutama pada tingkat pendataan dan mediasi kerjasama. Sifat pendataan tidak hanya menyangkut keberadaan dan status hukum LSM tetapi juga keterkaitannya dengan sektor-sektor terkait dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah. Untuk itu, perlu ada semacam mapping social capital untuk mendata LSM berikut potensi kerjasamanya dengan pemerintah. Untuk mendukung kegiatan tersebut, Kesbang Linmas perlu didukung dengan kompetensi peneliti. Selanjutnya, mediasi dengan antara pemerintah dengan LSM dilakukan antara lain dengan menyediakan fasilitas pertemuan secara fisik dan non-fisik. Fasilitasi pertemuan fisik dapat digunakan untuk LSM secara free atau dengan biaya murah. Di samping itu, Kesbanglinmas juga memfasilitasi stakeholders meeting antara pemerintah dengan LSM untuk membahas berbagai isu dan kemungkinan singkronisasi agenda aksi atau program. Adapun mediasi non-fisik dilakukan melalui media internet. Penutup

14 Baik antara pemerintah dengan LSM maupun antar LSM

Page 27: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara maka diperlukan konsensus bersama yang dapat menjadi faktor yang mengintegrasikan (integrating factor) sekaligus mensinerjikan peran pemerintah, swasta dan masyarakat. Baik LSM maupun swasta merupakan bagian dari governance. Keduanya dapat menjadi agen pelayanan publik (the agen of public services) yang seharusnya diperankan negara. Peran tersebut dimaksudkan untuk menutup keterbatasan negara dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dengan adanya konsensus dan sinerjitas peran tripartit antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam pencapaian tujuan negara maka arena demokrasi dan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat bagi LSM tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan LSM itu sendiri. Demikian pula, hubungan antara ketiga aktor tersebut tidak dapat saling mendesktruksi dan berebut sumber daya.

REFERENSI

Adrian, Leftwich. 1993. Governance, Democracy and Development in The Third World. Third World Quarterly, 1993, Vol. 14 Issue 3, p605, 21p

Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economic Organization. New York, Oxford University Press.

Mrquette. 2004. Governance: Introduction to Concepts, Principles and Institutions. International Development Department, University of Birmingham.

RA Batley. 2002. The Changing Role of the State in Development. The Companion to Development Studies, Editors: V Desai, R B Potter. Arnold: London. 135-139.

Hyden, G. 1983. No Shortcuts to Progress: African Development Management in Perspective. London, Heinemann.

Riggs, F. 1964. Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Societies. Boston, Houghton Miflin.

Riggs, F. 1964. Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Societies. Boston, Houghton Miflin.

WANGO. 2004. Code of Ethics and Conduct for NGOs. World Association of Non-Governmental Organization.

World Bank. 1997. World Development Report 1997: The State in Changing World. New York, N.Y.: Oxford University Press.

UNDP. 1997. Reconceptualising Governance. Discussion paper 2, Management Development and Governance Division, Bureau for Policy and Programme Support, United Nations Development Programme, New York January 1997.

Page 28: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance

Koiiman, J. 1999. Socio-Political Governance: Overview, Reflections and Design. Public Management, Vol. 1, No.1, pp. 67-92.

Larbi, G.A. 1999. The New Public Management Approach and Crisis States. Discussion paper 2 No. 112, Geneva, United Nations Research Institute for Social Development.

Giddens, Anthony. The Third Wave: The Renewal of Social Democracy (ed.) Terjemahan: Jalan Ketiga: Pembaharuan

Ibrahim, Rustam. Agenda LSM Menyongsong Tahun 2000. Jakarta: Cesda, LP3ES, 1997.

Rustam Ibrahim, Zaim Zaidi, Suhardi, Ison Basyuni dan Fadjar Nursahid.Program Perumusan dan Penyusunan Kode Etik bagi LSM yang Bergerak dalam Pengembangan Masyarakat (Pembangunan Sosial dan Ekonomi Masyarakat).

Akuntabilitas Publik dan Ornop: Isu danPelaksanaan" Lokakarya SMERU dengan dukungan dana dari Friedrich Ebert Stiftung (FES) Jakarta dan bekerja sama dengan Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, tanggal 14 November 2001 di Hotel Saphir, Yogyakarta.

Yayasan TIFA : Mengukur Transparansi dan Akuntabilitas LSM

Page 29: Pelembagaan Norma Kesewadayaan Masyarakat (Good Societal Governance) Dalam Pengelolaan Good Governance