PELAYANAN KELOMPOK RENTAN KEKERASAN …eprints.uny.ac.id/21695/9/9. Ringkasan.pdf · publik pada...
Transcript of PELAYANAN KELOMPOK RENTAN KEKERASAN …eprints.uny.ac.id/21695/9/9. Ringkasan.pdf · publik pada...
PELAYANAN KELOMPOK RENTAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DI PUSAT PELAYANAN TERPADU PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN
KEKERASAN REKSO DYAH UTAMI
RINGKASAN SKRIPSI
Oleh:
Aida Septiana
NIM. 09417141034
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
PELAYANAN KELOMPOK RENTAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI PUSAT PELAYANAN TERPADU PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN
KEKERASAN REKSO DYAH UTAMI
Oleh: Aida Septiana dan Dwi Harsono, MPA., MA.
FIS UNY
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pelayanan P2TPA Rekso Dyah Utami dan
mengetahui bentuk-bentuk pelayanan yang diberikan P2TPA Rekso Dyah Utami terhadap kelompok rentan KDRT.
Desain penelitian ini adalah deskripstif kualitatif. Informan penelitian adalah petugas dan para konselor di P2TPA Rekso Dyah Utami, pihak korban atau klien P2TPA Rekso Dyah Utami, serta mitra kerja LSM Rifka Annisa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Validasi instrumen tercermin dari berbagai tindakan yang dilakukan peneliti untuk mempersiapkan diri terjun ke lapangan. Langkah-langkah yang dipersiapkan diantaranya melakukan perencanaan penelitian, menentukan metode penelitian, kemudian pelaksanaan pengumpulan data di lapangan. Pengujian keabsahan data dilakukan melalui triangulasi sumber. Adapun teknis analisis data yang digunakan melalui empat tahap yakni pengumpulan data, reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan.
P2TPA Rekso Dyah Utami memberikan pelayanan terhadap kelompok rentan KDRT karena kelompok rentan khususnya perempuan korban KDRT belum mendapatkan pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan. Pelayanan P2TPA Rekso Dyah Utami terhadap kelompok rentan KDRT meliputi pelayanan pengaduan atau laporan, pelayanan kesehatan, pelayanan rehabilitasi sosial, pelayanan bantuan hukum, serta pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. Pelayanan kelompok rentan KDRT ini bersifat tertutup dan berbeda dengan pelayanan publik pada umumnya, sebab pelayanan terhadap korban KDRT merupakan hal yang privasi dan tidak untuk dipublikasikan. Di dalam memberikan pelayanan, P2TPA Rekso Dyah Utami juga mengalami beberapa hambatan, diantaranya keterbatasan SDM, keterbatasan waktu, keterbatasan ruang, keterbatasan ruang perpustakaan, serta tidak adanya perkumpulan para korban pasca penanganan. Namun ada pula faktor pendukung dalam pelayanan yaitu penanganan yang komprehensif dan pembiayaan yang cukup memadai.
Kata kunci: pelayanan kelompok rentan, KDRT
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Tindak kekerasan merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam
dan terjadi di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Kekerasan dapat menimpa
siapa saja baik itu laki-laki maupun perempuan, dari masyarakat tingkat menengah
ke atas sampai rakyat biasa. Dalam realitanya, mereka yang sering menjadi sasaran
tindak kekerasan kebanyakan merupakan kelompok rentan, yaitu mereka yang tidak
atau kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya sebagai akibat
dari keadaan fisik dan non fisiknya. Kelompok rentan ini salah satunya adalah kaum
perempuan yang sering menjadi sasaran tindak kekerasan. Tindak kekerasan
terhadap perempuan merupakan tindakan yang mengakibatkan kesengsaraan atau
penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang. Kaum perempuan ini sangat rentan terhadap kekerasan disebabkan oleh
adanya fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam
masyarakat. Struktur sosial budaya (patriarki) serta keyakinan agamapun turut
menguatkan hal ini, sehingga berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terjadi
hampir di semua lini kehidupan perempuan.
Kekerasan pada perempuan banyak dijumpai baik itu di depan umum maupun
dalam lingkungan keluarga. Kekerasan yang terjadi di lingkup keluarga atau
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin hari semakin meningkat. KDRT
tidak hanya menimpa kaum perempuan, tapi juga dapat menimpa anggota keluarga
lain seperti suami, anak, orang tua, saudara bahkan pembantu atau orang yang
bekerja dalam suatu keluargapun dapat menjadi korban KDRT, namun hampir dalam
setiap penelitian tentang kekuasaan dan kekerasan, perempuan lebih banyak berada
dalam posisi sebagai korban. KDRT membawa dampak negatif bagi korbannya
khususnya perempuan yang berstatus sebagai istri, baik secara fisik, psikis maupun
sosial.
Kasus KDRT juga telah banyak dijumpai di berbagai negara di dunia. Sebagai
perbandingan, sejarah KDRT terutama kekerasan yang dilakukan oleh suami
terhadap istri pada awalnya berasal dari common law Inggris (1896), yang
memberikan kekuasaan dan hak kepada suami untuk mendidik atau memberi disiplin
kepada istri dengan cara menggunakan alat tongkat, yang disebut dengan istilah
"Rule of Thumb", dengan cara suami boleh memukul istri dengan tongkat yang tidak
lebih besar dari ibu jari. Di Inggris, masalah ini adalah masalah privat dan masalah
yang berat sehingga polisi segan mencampuri pertikaian dalam keluarga. (Skripsi
Juppa Marolob Haloho, 2008). Sementara di Indonesia khususnya di wilayah DIY
kasus KDRT juga banyak ditemui. Berdasarkan data dari Forum Pusat Pelayanan
Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) DIY, jumlah kasus kekerasan yang
ditangani forum tersebut pada 2010 dan 2011 menunjukkan peningkatan, yaitu 1.305
kasus menjadi 1.666 kasus. Peningkatan kasus KDRT di DIY juga tercatat dalam
data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY. Pada tahun
2004, jumlah kasus KDRT tercatat sebanyak 14 kasus dan meningkat menjadi 109
kasus pada tahun 2005. Pada tahun 2006 tercatat sebanyak 113 kasus KDRT. Pada
tahun 2007 sebanyak 118 kasus. Sedangkan tahun 2008 sebanyak 120 kasus.
Sementara tahun 2009 sebanyak 135 kasus. Pada tahun 2010 sebanyak 125 kasus.
Tahun 2011 sebanyak 140 kasus dan tahun 2012 naik menjadi 143 kasus KDRT
(http://edisicetak.joglosemar.co/berita/kasus-kdrt-di-jogja-melonjak-116750.html,
diakses pada hari Jumat, 15 Februari 2013, pukul 10.30 WIB). Sementara itu,
menurut Direktur Women Crisis Center (WCC) Rifka Annisa Suharti, tercatat 239
kasus KDRT selama Januari hingga November 2012. Jumlah tersebut meningkat
dibanding periode yang sama pada tahun 2011 sebanyak 235 kasus dan sebanyak 216
kasus selama tahun 2010 (http://www.harianjogja.com/baca/2012/12/10/dipicu-
perselingkuhan-dan-nikah-siri-kasus-kdrt-di-jogja-meningkat-setiap-tahun-356104,
diakses pada hari Selasa, 5 Februari 2013 pukul 12.30 WIB).
Dengan semakin meningkatnya berbagai kasus KDRT yang terjadi belakangan
ini, maka salah satu bentuk respon pemerintah dalam menanggulangi, melindungi
serta memberdayakan kelompok rentan KDRT, ialah dengan dibuatnya UU Nomor
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selain itu, di
DIY juga dibentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Korban
Kekerasan Rekso Dyah Utami sebagai lembaga pemerintah yang bertugas untuk
memberikan pelayanan terhadap kelompok rentan kekerasan khususnya KDRT.
P2TPA Rekso Dyah Utami memberikan pelayanan terhadap kelompok rentan
KDRT karena selama ini kelompok rentan khususnya perempuan korban KDRT
belum mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Hal ini terlihat
dari masih banyaknya kelompok rentan yang belum tersentuh atau belum
mendapatkan akses pelayanan publik seperti masyarakat pada umumnya. Meskipun
sudah ada UU yang mengatur tentang pelayanan publik bagi kelompok rentan, yakni
UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, namun implementasinya belum
sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga dengan melihat fenomena tersebut, P2TPA
Rekso Dyah Utami berupaya untuk dapat memberikan pelayanan yang dibutuhkan
bagi kelompok rentan tersebut khususnya perempuan korban KDRT, mengingat
P2TPA Rekso Dyah Utami merupakan lembaga pemerintah yang bertugas
memberikan pelayanan terhadap semua orang, yang disini lebih difokuskan kepada
kelompok rentan korban KDRT, dengan tujuan untuk melindungi dan mewujudkan
hak-hak kelompok rentan.
P2TPA Rekso Dyah Utami dalam memberikan pelayanan terhadap kelompok
rentan KDRT tentu berbeda dengan pelayanan yang diberikan oleh lembaga
pemerintah pada umumnya. Hal ini disebabkan karena kasus kekerasan seperti
halnya kasus KDRT memerlukan penanganan khusus seperti adanya perlindungan
terhadap korban baik itu dari segi fisik maupun mental serta penjagaan kerahasiaan
serta keselamatan korban dan keluarganya. Pelayanan yang diberikan oleh P2TPA
Rekso Dyah Utami ini ditujukan untuk dapat melindungi dan memperjuangkan hak-
hak kelompok rentan khususnya kaum perempuan korban KDRT, sehingga dengan
adanya P2TPA Rekso Dyah Utami ini maka diharapkan kelompok rentan KDRT
akan mendapat hal yang lebih baik, merasa terlindungi, mengembalikan keadaan
mereka seperti sediakala, serta mampu mewujudkan kembali hak-hak mereka
sebagai perempuan dalam rumah tangga.
P2TPA Rekso Dyah Utami sendiri mempunyai standar pelayanan dalam
melayani kelompok rentan KDRT, yaitu pelayanan pengaduan atau laporan,
pelayanan kesehatan, pelayanan rehabilitasi sosial, pelayanan bantuan hukum, serta
pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. Akan tetapi pada kenyataannya,
lembaga-lembaga penanganan korban KDRT yang sudah ada seperti P2TPA Rekso
Dyah Utami ini masih belum banyak diketahui keberadaannya oleh masyarakat,
khususnya mereka yang menjadi korban KDRT
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-
diynasional/13/01/15/mgn8j1-layanan-konseling-kdrt-belum-dikenal-masyarakat,
diakses pada hari Minggu, 24 Februari 2013, pukul 10.36 WIB).
Bertolak dari fakta-fakta tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti pelayanan
yang diberikan kepada kelompok rentan KDRT di DIY, oleh karena itu peneliti
mengangkat judul “Pelayanan Kelompok Rentan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
di Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Rekso Dyah
Utami.”
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pelayanan yang diberikan
P2TPA Rekso Dyah Utami kepada kelompok rentan KDRT dan untuk mengetahui
pelayanan kelompok rentan KDRT di P2TPA Rekso Dyah Utami.
II. Kajian Pustaka
A. Konsep Pelayanan Publik
Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan
atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu
produk secara fisik (Kotler dalam Sinambela dkk, 2011: 4). Kata pelayanan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata layan, yang berarti menolong,
menyediakan segala apa yang diperlukan orang lain. Sementara menurut Gronroos
dalam Ratminto (2010: 2) menjelaskan bahwa pelayanan adalah suatu aktivitas atau
serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi
sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain
yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk
memecahkan permasalahan konsumen atau pelanggan. Menurut Peraturan
Pemerintah No. 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal, menjelaskan bahwa pelayanan dasar adalah jenis pelayanan
publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan.
Sementara itu, istilah publik berasal dari Bahasa Inggris public yang berarti
umum, masyarakat, negara. Inu dkk (dalam Sinambela dkk, 2011: 5), mendefinisikan
publik sebagai sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan,
harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai, norma yang
merasa memiliki. Menurut Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan
publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga pelayanan publik
diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah
manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan
atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu
produk secara fisik.
B. Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara langsung dan
terorganisasi, terutama bertujuan untuk membantu individu atau kelompok dan
lingkungan sosial dalam upaya mencapai saling penyesuaian. Perihal tersebut
menunjukkan, bahwa kegiatan pelayanan sosial mengarah pada tercapainya kondisi
sosial individu atau kelompok agar memiliki perasaan harga diri dan kepercayaan
diri, sehingga mampu menjalankan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada dasarnya pelayanan sosial merupakan program kegiatan yang memberikan jasa
kepada orang perorang untuk membantu dalam mewujudkan tujuan serta
menyelesaikan berbagai masalah mereka, dan bukan untuk kepentingan orang-orang
yang memberi pelayanan sosial tersebut. Pernyataan ini ditegaskan di dalam UU No.
11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, bahwa setiap warga Negara berhak atas
kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin
ikutserta dalam mewujudkan kesejahteraan sosial.
C. Kelompok Rentan
Menurut Komnas Perempuan, yang dimaksud dengan kelompok rentan adalah
kelompok miskin (tidak hanya dari segi penghasilan, tetapi juga tidak memiliki akses
kepada fasilitas kesehatan, pendidikan, hukum, lingkungan hidup yang baik, dan
mudah menjadi sasaran kekerasan), perempuan dan anak-anak, para penyandang
cacat dan untuk beberapa konteks adalah mereka yang berasal dari golongan ras,
etnik dan religi yang minoritas.
Dalam UU Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan Dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera, dijelaskan bahwa kelompok rentan adalah
penduduk yang dalam berbagai matranya tidak atau kurang mendapat kesempatan
untuk mengembangkan potensinya sebagai akibat dari keadaan fisik dan non
fisiknya. Pengertian kelompok rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain adalah
orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
D. Pelayanan Kelompok Rentan
Berikut ini dijelaskan beberapa standar pelayanan minimal (SPM) Bidang
Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, antara lain meliputi
pelayanan:
a. Penanganan laporan atau pengaduan korban kekerasan terhadap perempuan dan
anak, dengan indikator:
1) Indikator utama: cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang
mendapatkan penanganan pengaduan oleh petugas terlatih di dalam unit
pelayanan terpadu.
2) indikator penunjang: cakupan ketersediaan petugas di unit pelayanan terpadu
yang memiliki kemampuan untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat
tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, dalam hal ini adalah
kemampuan untuk penjangkauan korban dan menindaklanjuti pengaduan yang
berkaitan dengan dugaan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak.
b. Pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, dengan
indikator:
1) indikator utama: cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang
mendapatkan layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih di puskesmas
atau rumah sakit yang mampu menangani kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak. Pelayanan kesehatan yang dimaksud dalam SPM ini
adalah pelayanan yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih yaitu dokter
spesialis, dokter, dokter gigi, perawat atau bidan yang sudah mendapat
pelatihan tentang tatalaksana medis kekerasan terhadap perempuan dan anak
korban kekerasan. Pelayanan kesehatan dimaksud dilakukan di rumah sakit
yang memberikan pelayanan terpadu dan juga di puskesmas yang memberikan
pelayanan dasar komprehensif.
2) indikator penunjang:
a) Cakupan Puskesmas mampu tatalaksana kekerasan terhadap perempuan
b) Cakupan RSUD atau RSU vertical, RSUD atau RS swasta, RS Polri yang
melaksanakan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban
kekerasan
c) Cakupan tenaga kesehatan terlatih tentang tatalaksana kasus korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak di Puskesmas
d) Cakupan tenaga kesehatan terlatih tentang tatalaksana kasus korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak di RS.
c. Rehabilitasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan, dengan indikator:
1) indikator utama: cakupan layanan rehabilitasi sosial yang diberikan oleh
petugas rehabilitasi sosial terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan
di dalam unit pelayanan terpadu, serta indikator utama yang lain yakni
cakupan layanan bimbingan rohani yang diberikan oleh petugas bimbingan
rohani terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dalam unit
pelayanan terpadu.
2) indikator penunjang:
a) Cakupan petugas rehabilitasi sosial yang terlatih
b) Cakupan petugas yang terlatih dalam melakukan bimbingan rohani
d. Penegakan dan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan,
dengan indikator:
1) indikator utama: cakupan penegakan hukum dari tingkat penyidikan sampai
dengan putusan pengadilan atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
dan anak, serta indikator utama yang lain yakni cakupan perempuan dan anak
korban kekerasan yang mendapatkan layanan bantuan hukum. Penegakan
hukum merupakan tindakan aparat yang diberi kewenangan oleh negara untuk
melakukan tugas dan fungsi sebagai penegakan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Bantuan hukum adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan aspek yang terkait dengan bidang hukum yang diberikan kepada
seseorang dalam proses peradilan pidana maupun perdata.
2) indikator penunjang:
a) Cakupan penyelesaian penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan
dan anak di tingkat kepolisian
b) Cakupan ketersediaan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di
Polda dan Polres/ta
c) Cakupan ketersediaan sarana dan prasarana di UPPA
d) Cakupan ketersediaan polisi yang terlatih dalam memberikan layanan yang
sensitif gender
e) Cakupan ketersediaan jaksa yang terlatih dalam penuntutan kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak
f) Cakupan ketersediaan hakim yang terlatih dalam menangani perkara
kekerasan terhadap perempuan dan anak.
g) Cakupan ketersediaan petugas pendamping hukum atau advokat yang
mempunyai kemampuan pendampingan pada saksi dan/atau korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak.
e. Pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan,
dengan indikator:
1) indikator utama: cakupan layanan pemulangan bagi perempuan dan anak
korban kekerasan, serta indikator utama yang lain, yaitu cakupan layanan
reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Pemulangan
dan reintegrasi merupakan upaya mengembalikan korban ke daerah asal untuk
dikembalikan kepada keluarga inti, keluarga pengganti, atau masyarakat.
2) indikator penunjang: Cakupan ketersediaan petugas terlatih untuk melakukan
reintegrasi sosial (Permeneg. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak No. 01 Tahun 2010).
E. Kekerasan Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu bentuk ketidakadilan gender, atau
suatu konsekuensi dari adanya relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki
sebagai bentukan nilai dan norma sosial (Baso, 2002:15). Dalam Deklarasi PBB
pasal 2 tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, dijelaskan bahwa
kekerasan perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan kelamin yang
berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara
fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi (Soeroso, 2010: 60).
Menurut Peraturan Gubernur DIY Nomor 67 Tahun 2012 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan
Rekso Dyah Utami, kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat atau dapat
mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan baik fisik, seksual, ekonomi, sosial,
dan psikis terhadap korban. Sementara kekerasan terhadap perempuan merupakan
setiap tindakan yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual, ekonomi, sosial, psikis, termasuk
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan, baik yang
terjadi di depan umum atau kehidupan pribadi.
F. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT
dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya kekerasan fisik, penggunaan
kekuatan fisik, kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan,
kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan
yang terjadi terus menerus, serta mengendalikan untuk memperoleh uang dan
menggunakannya.
Lebih jauh lagi bentuk-bentuk KDRT dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat.
b. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
d. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (Rohmat Wahab, 2012: 4-5)
G. Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Arif Gosita dalam Soeroso (2010: 112), dijelaskan bahwa korban
adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang
lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Sedangkan menurut
Muladi dalam Soeroso (2010: 113), korban (victims) adalah orang-orang yang baik
secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik
atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya
yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di
masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
H. Penelitian yang Relevan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian yang relevan sebagai
acuan, yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Rodiyah (2012)
Laporan penelitian Rodiyah berjudul Model Pemberdayaan Kelompok
Rentan KDRT Berbasis Need Asssesment dalam Perspektif Hukum. Penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa kelompok rentan KDRT dihadapkan pada
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis sebagai
dasar hidup layak dalam pemberdayaan perempuan dan anak untuk menciptakan
keadilan dan kesetaraan gender.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Dian Prihatini (2013)
Laporan penelitian Dian Prihatini berjudul Peran Konselor di LSM dalam
Menangani Korban Kekerasan Seksual (Studi Kasus di LSM Sahabat Perempuan
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
konselor di Sahabat Perempuan dalam menangani korban kekerasan seksual
berperan dalam konseling hukum, konseling psikologis, dan trauma healing.
I. Kerangka Pikir
Tindak kekerasan yang terjadi di Indonesia khususnya di DIY belakangan ini
terus mengalami peningkatan. Realitanya, mereka yang sering menjadi sasaran
tindak kekerasan kebanyakan merupakan kelompok rentan, seperti kaum perempuan.
Tindak kekerasan terhadap perempuan ini tidak hanya terjadi di dalam masyarakat
namun juga dalam lingkup rumah tangga. Kelompok rentan khususnya perempuan
korban kekerasan selama ini belum mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan yang
dibutuhkan. Seperti terlihat dari masih banyaknya kelompok rentan yang belum
tersentuh atau belum mendapatkan akses pelayanan publik seperti masyarakat pada
umumnya. Meskipun sudah ada UU yang mengatur tentang pelayanan publik bagi
kelompok rentan, yakni UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, namun
implementasinya belum sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan melihat fenomena tersebut, perlu dibentuk lembaga yang mampu
memperjuangkan hak-hak kelompok rentan, baik lembaga swasta maupun
pemerintah, seperti P2TPA Rekso Dyah Utami. P2TPA Rekso Dyah Utami ini
berupaya untuk dapat memberikan pelayanan yang dibutuhkan bagi kelompok
rentan, khususnya perempuan korban KDRT. Melalui P2TPA Rekso Dyah Utami,
maka kelompok rentan KDRT akan mendapatkan tempat untuk mengadu tentang
permasalahannya. Mereka akan mendapatkan pelayanan terkait dengan permasalahan
yang dihadapi. Pelayanan yang diberikan oleh P2TPA Rekso Dyah Utami meliputi,
pelayanan pengaduan atau laporan, pelayanan kesehatan, pelayanan rehabilitasi
sosial, pelayanan bantuan hukum, serta pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial.
Sehingga dengan adanya P2TPA Rekso Dyah Utami ini diharapkan kelompok rentan
khususnya perempuan korban KDRT akan mendapat hal yang lebih baik, merasa
terlindungi, mengembalikan keadaan mereka seperti sediakala, serta mampu
mewujudkan kembali hak-hak mereka sebagai perempuan dalam rumah tangga.
Gambar 1. Kerangka Pikir
J. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Mengapa P2TPA Rekso Dyah Utami memberikan pelayanan terhadap kelompok
rentan KDRT?
2. Bagaimana pelayanan yang diberikan P2TPA Rekso Dyah Utami terhadap
kelompok rentan KDRT?
3. Bagaimana pelayanan P2TPA Rekso Dyah Utami jika dikaitkan dengan asas-asas
penyelenggaraan pelayanan publik ? Apakah sudah sesuai atau belum?
4. Apa faktor pendukung dan faktor penghambat pelayanan P2TPA Rekso Dyah
Utami terhadap kelompok rentan KDRT?
5. Bagaimana respon korban terhadap pelayanan yang diberikan oleh P2TPA Rekso
Dyah Utami?
Kelompok rentan (perempuan korban KDRT)
Belum medapatkan pelayanan sesuai kebutuhan
Pelayanan P2TPA Rekso Dyah Utami
terhadap kelompok rentan KDRT:
1. pelayanan pengaduan atau laporan
2. pelayanan kesehatan
3. pelayanan rehabilitasi sosial
4. pelayanan bantuan hukum
5. pelayanan pemulangan dan reintegrasi
sosial
Terwujudnya hak-hak kelompok rentan (perempuan
dalam rumah tangga)
III. Metode Penelitian
Desain penelitian ini adalah deskripstif kualitatif. Informan penelitian adalah petugas
dan para konselor di P2TPA Rekso Dyah Utami, pihak korban atau klien P2TPA Rekso
Dyah Utami, serta mitra kerja LSM Rifka Annisa. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Instrumen penelitian adalah
peneliti sendiri. Validasi instrumen tercermin dari berbagai tindakan yang dilakukan
peneliti untuk mempersiapkan diri terjun ke lapangan. Langkah-langkah yang
dipersiapkan diantaranya melakukan perencanaan penelitian, menentukan metode
penelitian, kemudian pelaksanaan pengumpulan data di lapangan. Pengujian keabsahan
data dilakukan melalui triangulasi sumber. Adapun teknis analisis data yang digunakan
melalui empat tahap yakni pengumpulan data, reduksi data, display data dan penarikan
kesimpulan.
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
1. Pelayanan kelompok rentan KDRT di P2TPA Korban Kekerasan Rekso
Dyah Utami
Di P2TPA Rekso Dyah Utami, pelayanan yang diberikan terhadap
kelompok rentan KDRT ada lima bidang pelayanan, yaitu pelayanan laporan atau
pengaduan, pelayanan kesehatan, pelayanan rehabilitasi sosial, pelayanan
bantuan hukum, serta pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. Kelima
bidang pelayanan tersebut sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal Bidang
Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang tercantum
dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan
Anak No. 01 Tahun 2010. Sistem penanganan korban KDRT dilakukan dengan
menggunakan pendekatan terpadu secara berjejaring dalam wadah Forum
Penanganan Korban Kekerasan bagi Perempuan dan Anaka (FPK2PA) DIY.
P2TPA Rekso Dyah Utami dapat melakukan rujukan pelayanan ke lembaga
pelayanan lainnya, namun tetap bertanggungjawab atas keseluruhan proses
rujukan pelayanan yang diperlukan bagi korban.
Dalam hal pembiayaan, semua biaya penyelenggaraan program-program
dan kegiatan P2TPA Rekso Dyah Utami bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah dan sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. Sementara
itu, jangka waktu yang dibutuhkan dalam memberikan pelayanan atau menangani
suatu kasus KDRT tergantung pada tingkat berat atau ringannya kasus. Misalnya,
kasus KDRT yang dialamai cukup ringan, sehingga hanya membutuhkan
pendampingan beberapa kali bisa selesai kasusnya. Namun adapula kasus KDRT
yang cukup berat, seperti sampai pada proses perceraian, sehingga harus melalui
proses persidangan yang membutuhkan waktu yang cukup lama.
2. Faktor pendukung dan penghambat pelayanan kelompok rentan KDRT di
P2TPA Korban Kekerasan Rekso Dyah Utami
a. Faktor Pendukung
1) Penanganan Komprehensif
Maksud dari penanganan yang komprehensif disini ada dua, yakni
intern dan ekstern. Penanganan komprehensif intern maksudnya yaitu
adanya kerjasama yang baik antar bidang pelayanan, mulai dari pelayanan
peengaduan, pelayanan kesehatan, pelayanan psikologi, pelayanan hukum,
sampai pada pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. Sementara
penanganan komprehensif ekstern yakni adanya kerjasama berjejaring
dalam wadah Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak
(FPK2PA).
2) Pembiayaan Cukup Memadai
Biaya penyelenggaraan kegiatan di P2TPA Rekso Dyah Utami
ditanggung oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah dan sumber dana
lain yang sah dan tidak mengikat. Selain itu, untuk korban yang kurang
mampu yang perlu untuk dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit
berjejaring, pembayaran atau pembiayaan dijamin oleh pemerintah kota
melalui Dinas Kesehatan UPT. JAMKESDA (khusus untuk masyarakat
Kota Yogyakarta dengan menunjukkan KTP Kota Yogyakarta), dan
Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos) Provinsi bagi korban baik yang
berasal dari DIY maupun luar DIY, namun tempat kejadian di wilayah
DIY.
b. Faktor Penghambat
1) Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM)
Terdapat ketidakseimbangan antara jumlah korban atau klien yang ada
dibandingkan jumlah SDM yang tersedia di P2TPA Rekso Dyah Utami.
2) Keterbatasan Waktu
Dalam menangani suatu kasus kekerasan khusunya KDRT
membutuhkan jangka waktu yang berbeda-beda tergantung pada berat
ringannya kasus. Akan tetapi yang menjadi kendala di sini adalah waktu
yang dimiliki oleh khususnya para konselor yang ada. Sebab, masing-
masing konselor memiliki pekerjaan yang lain, sehingga tidak setiap hari
konselor berada di kantor.
3) Keterbatasan Ruang
Di P2TPA Rekso Dyah Utami ini hanya tersedia satu ruangan saja
untuk melakukan kegiatan konsultasi, sementara korban atau klien yang
datang dan membutuhkan konsultasi jumlahnya terkadang lebih dari satu
orang. Selain itu, ruangan shelter (rumah aman) yang tersedia di P2TPA
Rekso Dyah Utami juga terbatas, hanya ada lima ruangan saja.
4) Keterbatasan Ruang Perpustakaan
Ruang perpustakaan yang tersedia sangat minim dan koleksi buku juga
terbatas.
5) Tidak adanya perkumpulan para korban pasca penanganan
Di P2TPA Rekso Dyah Utami tidak terdapat suatu perkumpulan atau
pertemuan berapa bulan sekali dari para korban khususnya yang telah
selesai penanganan kasusnya.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil observasi lapangan yang dilakukan peneliti, P2TPA Rekso
Dyah Utami dinilai cepat tanggap ketika ada korban kekerasan yang ingin
melaporkan kasusnya. Ini merupakan salah satu wujud nyata dari tujuan dibentuknya
lembaga tersebut sebagai penyedia pelayanan bagi perempuan dan anak. Pelayanan
di P2TPA Rekso Dyah Utami ini dikhususkan bagi kelompok rentan yaitu
perempuan dan anak korban kekerasan, terutama korban KDRT. P2TPA Rekso Dyah
Utami memberikan pelayanan terhadap kelompok rentan KDRT karena selama ini
kelompok rentan khususnya perempuan korban KDRT pada kenyataannya belum
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Hal ini terlihat dari
masih banyaknya kelompok rentan yang belum tersentuh atau belum mendapatkan
akses pelayanan publik seperti masyarakat pada umumnya. Dengan melihat
fenomena tersebut, P2TPA Rekso Dyah Utami berupaya untuk dapat memberikan
pelayanan yang dibutuhkan bagi kelompok rentan tersebut khususnya perempuan
korban KDRT, mengingat P2TPA Rekso Dyah Utami merupakan lembaga
pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan terhadap semua orang, yang disini
lebih difokuskan kepada kelompok rentan korban KDRT, dengan tujuan untuk
melindungi dan mewujudkan hak-hak kelompok rentan tersebut.
Dalam pelayanannya, P2TPA Rekso Dyah Utami bersifat tertutup oleh umum,
hal ini dikarenakan P2TPA Rekso Dyah Utami merupakan lembaga yang bertugas
memberikan pelayanan dan penanganan bagi korban kekerasan khusunya perempuan
dan anak. Pelayanan dan penanganan bagi korban kekerasan merupakan sesuatu
yang harus dijaga dan dijamin kerahasiaannya, karena menyangkut nama baik
korban bahkan keselamatan dari korban itu sendiri. Oleh karena itu, hanya pihak-
pihak tertentu saja yang dapat mengakses informasi terkait dengan data-data korban.
Pernyataan tersebut diperkuat pula dengan adanya prinsip-prinsip pelayanan yang
diterapkan oleh P2TPA Rekso Dyah Utami, yang salah satunya ialah melindungi
kerahasiaan korban. Dengan demikian korban akan merasa terjamin kerahasiaannya,
baik dari segi nama baiknya maupun keamanan serta keselamatan hidupnya.
1) Pelayanan kelompok rentan KDRT di P2TPA Korban Kekerasan Rekso
Dyah Utami
Bidang pelayanan yang diberikan P2TPA Rekso Dyah Utami antara lain
berupa pelayanan pengaduan, pelayanan kesehatan, pelayanan rehabilitasi sosial,
pelayanan bantuan hukum, serta pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial.
Sistem penanganan korban KDRT di P2TPA Rekso Dyah Utami dilakukan
dengan menggunakan pendekatan terpadu secara berjejaring dalam wadah Forum
Penanganan Korban Kekerasan bagi Perempuan dan Anak (FPK2PA) DIY.
P2TPA Rekso Dyah Utami dapat melakukan rujukan pelayanan ke lembaga
pelayanan lainnya, namun tetap bertanggungjawab atas keseluruhan proses
rujukan pelayanan yang diperlukan bagi korban.
Adapun beberapa layanan yang diberikan P2TPA Rekso Dyah Utami
terhadap korban KDRT, yaitu sebagai berikut:
a. Bidang Pelayanan Pengaduan atau Laporan
Bidang pelayanan pengaduan atau laporan merupakan langkah awal
bagi korban kekerasan untuk mendapatkan pelayanan di P2TPA Rekso Dyah
Utami. Pertama, akan didilakukan administrasi proses pengaduan oleh
pegawai bagian administrasi yaitu Ibu Ediyati, yaitu dengan cara korban akan
disuruh untuk mengisi formulir atau data informasi kasus. Setelah itu, korban
akan diminta untuk menceritakan kronologis kejadian kekerasan yang
dialaminya. Setelah semua kejadian telah diceritakan, maka bagian
penanganan pengaduan ini akan mengetahui atau dapat mengidentifikasi
kebutuhan korban, yang kemudian akan diarahkan ke bagian pelayanan
lanjutan yang dibutuhkan.
b. Bidang Pelayanan Kesehatan
Setelah korban melakukan proses administrasi di bagaian penanganan
pengaduan, maka proses selanjutnya adalah bidang pelayanan kesehatan. Akan
tetapi, bidang ini juga melihat terlebih dahulu kebutuhan korban, jika
memerlukan bantuan medis maka akan diberikan pelayanan medis, namun jika
dirasa tidak perlu maka akan langsung diarahkan ke bagian lain sesuai
kebutuhan korban. Di bagian pelayanan kesehatan ini, hal yang dilakukan oleh
petugas adalah dengan melakukan pertolongan pertama terhadap korban. Di
P2TPA Rekso Dyah Utami sendiri tidak tersedia petugas khusus kesehatan
untuk menangani korban luka fisik berat, melainkan hanya ada konselor medis
kejiwaan atau psikiater yaitu Dr. Arsanti. Sehingga, jika korban mengalami
luka fisik yang cukup parah maka akan segera dirujuk ke puskesmas atau
rumah sakit berjejaring guna mendapatkan penanganan lebih lanjut. Namun,
meskipun korban telah dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit, seluruh proses
penanganan kesehatan tetap menjadi tanggung jawab P2TPA Rekso Dyah
Utami. Setelah proses pelayanan kesehatan selesai, maka korban akan dibawa
kembali ke P2TPA Rekso Dyah Utami untuk mendapatkan pelayanan
selanjutnya. Untuk hal pembiayaan, semua proses medis bagi korban kurang
mampu akan dijamin oleh Badan Pelayanan Jaminan Kesehatan Sosial
(Jamkesos) Provinsi DIY.
c. Bidang Pelayanan Rehabilitasi Sosial
Apabila korban tidak mempunyai luka fisik dan diidentifikasi
memerlukan konseling untuk pemulihan psikisnya, maka korban berhak
mendapatkan layanan rehabilitasi sosial. Dalam memberikan pelayanan
pemulihan kepada korban, di P2TPA Rekso Dyah Utami telah disiapkan
beberapa konselor yaitu konselor psikologi, konselor sosial, dan konselor
kerohanian. Masing-masing konselor akan menggali permasalahan korban
untuk selanjutnya membantu pemecahan masalahnya. Selain itu, akan
diberikan konseling-konseling atau pendampingan secara bertahap guna
memulihkan korban dari kondisi traumatis melalui terapi psikososial. Untuk
pendampingan psikologis, di P2TPA Rekso Dyah Utami disediakan dua
konselor yaitu Dra. Hj. Hafsa Budi A, S. Psi., M. Psi dan Elly Ervinawati, S.
Psi. Sementara untuk konselor spiritual atau kerohanian hanya satu yaitu Didik
Purwodarsono. Adapula konselor kejiwaan atau psikiater yaitu Dr. Arsanti.
Pelayanan rehabilitasi sosial ini merupakan suatu upaya untuk
membangkitkan semangat hidup dan mengembalikan kondisi mental dan
psikis korban yang terganggu akibat kekerasan yang di alaminya agar kembali
normal dan dapat menjalankan aktivitas sehari-hari dengan lebih baik. Dalam
proses pelayanan rehabilitasi sosial, layanan yang diberikan berupa
memberikan konsultasi atau konseling psikis bagi korban KDRT, memberikan
penguatan mental spiritual bagi korban sesuai keyakinan atau agamanya.
Untuk kasus perceraian, konseling atau pendampingan ini dilakukan guna
memberikan pemahaman bagi korban tentang konsekuensi-konsekuensi atau
resiko yang ada dari setiap keputusan yang diambil. Konselor juga melakukan
upaya mediasi, dengan cara menjadi mediator bagi pihak-pihak yang sedang
berkonflik. Kedua pihak diundang datang ke P2TPA Rekso Dyah
Utami,mkemudian diajak untuk membicarakan dan mencari solusi
permasalahan yang sedang dialami. Tugas konselor disini hanya membantu
memberikan solusi dan masukan-masukan tanpa adanya paksaan, sementara
keputusan terakhir tetap ada ditangan korban.
d. Bidang Pelayanan Bantuan Hukum
Setelah melalui tahap rehabilitasi sosial dan jika korban memerlukan
bantuan hukum maka korban akan diberikan layanan bantuan hukum. Layanan
bantuan hukum ini mencakup pemberian layanan konsultasi atau konseling
hukum, pendampingan selama proses hukum selama di lembaga peradilan
sampai terbitnya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan final, melakukan
kerjasama dengan penegak hukum untuk memberikan pembelaan kepada
korban selama proses hukum di lembaga peradilan, serta membuat laporan
perkembangan penanganan hukum.
Jika kasusnya masih ringan maka konselor hukum hanya akan
memberikan konseling atau pendampingan untuk mengambil penyelesaian
secara damai atau kekeluargaan tanpa harus dibawa sampai ke pengadilan.
Namun, jika kasusnya cukup berat, maka tugas konselor hukum akan
mendampingi korban selama proses hukum berlangsung mulai dari awal
sampai terbitnya putusan hukum tetap.
Di P2TPA Rekso Dyah Utami ini, konselor hukum hanya berjumlah
tiga orang, yaitu Rina Irnawati, SH., DR. Y. Sarimurti W, SH., M. Hum., dan
Setyoko, SH. Dalam melakukan penanganan kasus juga sama seperti konselor
psikologi dan spiritual, dimana para konselor tidak selalu berada di kantor
P2TPA Rekso Dyah Utami, melainkan hanya apabila ada korban yang
membutuhkan penanganan dari para konselor hukum tersebut. Jangka waktu
proses penanganannya tergantung pada berat ringan suatu kasus. Seperti
misalnya pada kasus sengketa anak, penanganannya akan membutuhkan
waktu yang cukup lama bahkan sampai bertahun-tahun.
e. Bidang Pelayanan Pemulangan dan Reintegrasi Sosial
Setelah semua tahap pelayanan dilakukan, tahap terakhir adalah
pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. Konselor sosial melakukan
penelusuran keluarga untuk memberikan kepastian keluarga atau keluarga
pengganti yang terbaik bagi korban. Sehingga, setelah semua proses pelayanan
selesai, korban dipulangkan kepada keluarga atau keluarga pengganti serta
diupayakan agar korban diterima kembali oleh keluarga dan masyarakatnya.
Pihak P2TPA Rekso Dyah Utami akan melakukan koordinasi dengan instansi
terkait untuk pemulangan korban tersebut serta membuat laporan
perkembangan proses pendampingan pemulangan dan rehabilitasi sosial.
Setelah korban kembali kepada keluarganya, P2TPA Rekso Dyah
Utami masih akan memonitor atau melakukan pemantauan sekurang-
kurangnya tiga bulan setelah korban dipulangkan ke keluarganya. Hal ini
dilakukan untuk memantau serta menjamin kondisi korban tetap dalam
keadaan baik dan terhindar dari kasus kekerasan serupa.
Dalam pelayanan reintegrasi sosial yakni pemberdayaan korban
selanjutnya khususnya pemberdayaan ekonomi, maka korban yang
diidentifikasi membutuhkan penguatan ekonomi tersebut akan didata dan
kemudian diberikan rekomendasi sesuai kebutuhan korban seperti pemberian
ketrampilan, dan pemberian modal. Namun, di P2TPA Rekso Dyah Utami
sendiri penanganan pemberdayaan ekonomi untuk korban belum optimal,
karena pelayanannya lebih difokuskan pada pemberdayaan psikologis dan
pemberdayaan hukum saja.
2. Faktor pendukung dan penghambat pelayanan kelompok rentan KDRT di
P2TPA Korban Kekerasan Rekso Dyah Utami
a. Faktor Pendukung
1) Penanganan Komprehensif
Maksud dari penanganan yang komprehensif disini ada dua, yakni
intern dan ekstern. Penanganan komprehensif intern maksudnya yaitu
adanya kerjasama yang baik antar bidang pelayanan, mulai dari pelayanan
peengaduan, pelayanan kesehatan, pelayanan psikologi, pelayanan hukum,
sampai pada pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. Sehingga
penanganan suatu kasus tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi
antar pelayanan yang satu dengan pelayanan yang lain. Seperti misalnya
suatu kasus perceraian, tidak cukup hanya dengan melakukan konseling di
bidang hukum saja, melainkan juga memerlukan konseling di bidang
psikologi, kerohanian dan kesehatan jika sebelumnya korban mengalami
kekerasan fisik. Sementara itu, penanganan komprehensif ekstern yakni
adanya kerjasama berjejaring dalam wadah Forum Penanganan Korban
Kekerasan Perempuan dan Anak (FPK2PA). Sehingga dalam menangani
suatu kasus kekerasan khususnya KDRT P2TPA Rekso Dyah Utami
bekerjasama dengan berbagai pihak terkait yang terhubung dalam FPK2PA
tersebut. Dengan kerjasama yang baik antar instansi atau jejaring yang
terlibat dalam upaya penanganan kasus KDRT ini sehingga kasus yang ada
dapat ditangani dengan tuntas.
2) Pembiayaan Cukup Memadai
Biaya penyelenggaraan kegiatan di P2TPA Rekso Dyah Utami
ditanggung oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah dan sumber dana
lain yang sah dan tidak mengikat. Selain itu, untuk korban yang kurang
mampu yang perlu untuk dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit
berjejaring, pembayaran atau pembiayaan dijamin oleh pemerintah kota
melalui Dinas Kesehatan UPT. JAMKESDA (khusus untuk masyarakat
Kota Yogyakarta dengan menunjukkan KTP Kota Yogyakarta), dan
Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos) Provinsi bagi korban baik yang
berasal dari DIY maupun luar DIY, namun tempat kejadian di wilayah
DIY.
b. Faktor Penghambat
Ada beberapa faktor penghambat P2TPA Rekso Dyah Utami dalam
memberikan pelayanan kelompok rentan KDRT, yaitu sebagai berikut:
1) Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM)
Terdapat ketidakseimbangan antara jumlah korban atau klien yang ada
dibandingkan jumlah SDM yang tersedia di P2TPA Rekso Dyah Utami.
Jumlah SDM yang tersedia di P2TPA Rekso Dyah Utami hanya sedikit
yaitu hanya berjumlah 11 orang, dengan rincian pengelola 1 orang, bagian
administrasi 1 orang, konselor psikologi 3 orang, konselor hukum 2 orang,
konselor kerohanian atau perkawinan 1 orang, konselor medis atau psikiater
1 orang, konselor sosial 1 orang, pengasuh 1 orang, dan bidang penanganan
Telepon Sahabat Anak (TESA) 1 orang.
2) Keterbatasan Waktu
Dalam menangani suatu kasus kekerasan khusunya KDRT
membutuhkan jangka waktu yang berbeda-beda tergantung pada berat
ringannya kasus. Akan tetapi yang menjadi kendala di sini adalah waktu
yang dimiliki oleh khususnya para konselor yang ada. Sebab, masing-
masing konselor memiliki pekerjaan yang lain seperti misalnya sebagai
dokter psikologi, dokter psikiater, pengelola pondok pesantren dan
sebagainya, sehingga tidak setiap hari konselor berada di kantor. Para
konselor datang ke kantor hanya apabila ada korban yang datang dan
membutuhkan penanganan dari para konselor tersebut. Dengan kata lain,
para konselor di P2TPA Rekso Dyah Utami ini adalah konselor “on call”.
3) Keterbatasan Ruang
Di P2TPA Rekso Dyah Utami ini hanya tersedia satu ruangan saja
untuk melakukan kegiatan konsultasi, sementara korban atau klien yang
datang dan membutuhkan konsultasi jumlahnya terkadang lebih dari satu
orang. Selain itu, ruangan shelter (rumah aman) yang tersedia di P2TPA
Rekso Dyah Utami juga terbatas, hanya ada lima ruangan saja. Sehingga
apabila jumlah korban atau klien yang membutuhkan penanganan di rumah
aman melebihi kuota, maka korban tersebut akan dirujuk ke shelter mitra
kerja seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rifka Annisa.
4) Keterbatasan Ruang Perpustakaan
Ruang perpustakaan yang tersedia sangat minim dan koleksi buku juga
terbatas sehingga perlu penambahan literatur yang lebih lengkap agar setiap
orang yang ingin mendapatkan bahan bacaan yang diinginkan baik untuk
menambah wawasan pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan
khususnya KDRT maupun untuk bahan penelitian tersedia di sini.
5) Tidak adanya perkumpulan para korban pasca penanganan
Di P2TPA Rekso Dyah Utami tidak terdapat suatu perkumpulan atau
pertemuan berapa bulan sekali dari para korban khususnya yang telah
selesai penanganan kasusnya. Berbeda dengan LSM Rifka Annisa, di Rifka
Annisa telah dibentuk perkumpulan bagi para korban pasca penanganan
yang dapat digunakan sebagai ajang sharing antar korban. Perkumpulan ini
diperlukan, karena dengan adanya perkumpulan ini, maka para korban yang
telah selesai penanganannya dapat saling sharing, tukar pikiran dan saling
menguatkan satu sama lain.
V. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan
yaitu sebagai berikut:
1. P2TPA Rekso Dyah Utami memberikan pelayanan terhadap kelompok rentan
KDRT karena kelompok rentan khususnya perempuan korban KDRT belum
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Hal ini terlihat
dari masih banyaknya kelompok rentan yang belum tersentuh atau belum
mendapatkan akses pelayanan publik seperti masyarakat pada umumnya.
Meskipun sudah dibentuk beberapa lembaga baik lembaga pemerintahan maupun
swasta, namun kasus kekerasan yang terjadi masih tetap tinggi. Di DIY, lembaga
penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan masih terbilang cukup sedikit,
sehingga pemerintah DIY berupaya untuk membentuk suatu lembaga yang
mampu memberikan penanganan dan pelayanan terhadap korban kekerasan
khususnya perempuan. Disamping karena semakin meningkatnya kasus
kekerasan yang ada, dibentuknya lembaga P2TPA Rekso Dyah Utami ini juga
dilandasi karena banyaknya tuntutan dari masyarakat serta LSM-LSM yang ada
untuk segera dibentuk lembaga pemerintah khusus menangani korban kekerasan.
2. Pelayanan yang diberikan P2TPA Rekso Dyah Utami meliputi pelayanan
pengaduan atau laporan, pelayanan kesehatan, pelayanan rehabilitasi sosial,
pelayanan bantuan hukum, serta pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial.
P2TPA Rekso Dyah Utami dalam memberikan pelayanannya tidak terbuka bagi
umum. Tidak terbuka disini, dimaksudkan untuk menjaga dan menjamin
kerahasiaan korban karena menyangkut nama baik korban bahkan keselamatan
dari korban itu sendiri. Seperti diketahui bahwa dalam pelayanan kelompok
rentan KDRT ini memang berbeda dengan pelayanan publik pada umumnya,
sebab pelayanan terhadap korban KDRT merupakan hal yang privasi dan tidak
untuk dipublikasikan. Sehingga disini, hanya pihak-pihak tertentu saja yang
dapat mengakses informasi terkait dengan data-data korban. Di dalam
memberikan pelayanan, P2TPA Rekso Dyah Utami juga mengalami beberapa
hambatan, diantaranya keterbatasan SDM, keterbatasan waktu, keterbatasan
ruang, keterbatasan ruang perpustakaan, serta tidak adanya perkumpulan para
korban pasca penanganan. Namun ada pula faktor pendukung dalam pelayanan
yaitu penanganan yang komprehensif dan pembiayaan yang cukup memadai.
B. Implikasi
Dengan adanya pelayanan yang diberikan P2TPA Rekso Dyah Utami,
memberikan dampak positif dimana kelompok rentan khususnya perempuan korban
KDRT memperoleh pelayanan sesuai dengan yang mereka butuhkan. Selain itu,
dengan adanya P2TPA Rekso Dyah Utami ini dapat mendorong pemerintah untuk
lebih meningkatkan pelayanannnya tidak hanya untuk masyarakat umum, namun juga
dikhususkan bagi kelompok rentan. Pelayanan P2TPA Rekso Dyah Utami juga
mendorong pemberdayaan secara personal bagi individu yang mengalami kekerasan
khususnya KDRT, sebagaimana yang telah diterima oleh Ibu Eneng dan Ibu Fitri
selaku klien atau korban yang telah mendapatkan pelayanan P2TPA Rekso Dyah
Utami.
C. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan, maka untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang ditemukan dan untuk mengoptimalkan pelayanan P2TPA
Rekso Dyah Utami terhadap kelompok rentan KDRT, maka peneliti
merekomendasikan beberapa saran antara lain:
1. Perlu dilakukan rekrutmen atau penambahan SDM.
2. Perlunya perhatian Pemerintah dalam hal peningkatan kualitas pelayanan di
bidang kelengkapan sarana dan prasarana.
3. Perlu diadakan perkumpulan atau pertemuan berapa bulan sekali dari para korban
khususnya yang telah selesai penanganan kasusnya.
4. Perlu dikembangkan program-program pemberdayaan perempuan di bidang
ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Referensi:
Moerti Hadiati Soeroso. 2010. Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam Perspektif
Yuridis-Viktimologis). Jakarta: Sinar Grafika.
Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2010. Manajemen Pelayanan (Pengembangan Model
Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anita Kristiana, dkk. 2009. Lepas dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Panduan untuk
Menolong Diri Sendiri). Jakarta: CV. Tumbuh di Hati.
Komnas Perempuan. 2009. Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
di Lingkungan Peradilan Umum. Jakarta: Komnas Perempuan.
Purniati dan Rita Serena Kolibonso. 2003. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta:
Mitra Perempuan.
Jurnal Ilmiah:
Dian Prihatini. 2013. Skripsi Peran Konselor di LSM dalam Menangani Korban
Kekerasan Seksual (Studi Kasus di LSM Sahabat Perempuan Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah)
Rodiyah. 2012. Model Pemberdayaan Kelompok Rentan KDRT Berbasis Need
Asssesment dalam Perspektif Hukum.
(http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta, diakses pada hari Kamis, 20 Juni
2013 pukul 21.00 WIB)
Peraturan-peraturan:
Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak No. 1
tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 67 Tahun 2012 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan Dan Anak Korban
Kekerasan “Rekso Dyah Utami”.
UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.