Pekerja sosial
-
Upload
lukman-priasmoro -
Category
Documents
-
view
1.436 -
download
4
Transcript of Pekerja sosial
Konferensi Nasional Pekerja Sosial 2013
Dikirim oleh lukas - pada Thursday, 13 June 2013
Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial (Badiklitkesos) Dr. Ir. R.
Harry Hikmat, M.Si pada hari Rabu tanggal 12 Juni 2013, membuka secara resmi
Konferensi Nasional Pekerjaan Sosial 2013 di Hotel Mason Pine Kota Baru
Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat.
Konferensi yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS)
Bandung ini mengusung tema “Urgensi Undang-Undang Praktik Pekerjaan Sosial”.
Ketua STKS Bandung, Dr. Kanya Eka Santi, MSW, dalam laporannya menyampaikan
bahwa pelaksanaan konferensi merupakan bagian dari keterpanggilan STKS Bandung
untuk mendukung terumuskannya Undang-Undang Praktik Pekerjaan Sosial. Sebagai
institusi pendidikan yang sangat lekat dengan praktik pekerjaan sosial, STKS Bandung
sangat merasakan pentingnya kehadiran Undang-Undang tersebut.
Konferensi bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang isu-isu strategis yang
berkaitan dengan praktik pekerjaan sosial; pemikiran-pemikiran dari aspek filosofis,
sosiologis, yuridis dan empiris tentang pentingnya undang-undang praktik pekerjaan
sosial; dukungan legislatif terhadap pentingnya undang-undang praktik pekerjaan
sosial; dan kesepakatan bersama tentang urgensi dari undang-undang praktik
pekerjaan sosial untuk peningkatan kualitas dan akuntabilitas penyelenggaraan sosial.
Konferensi yang berlangsung dari tanggal 12-13 Juni 2013 diikuti oleh 200 orang
peserta representasi dari pilar-pilar penyelenggara kesejahteraan sosial, pengguna
serta penerima manfaat.
Sebagai keynote speaker dalam konferensi tersebut, Kepala Badiklitkesos
menyampaikan bahwa pembangunan Kesejahteraan Sosial mencakup berbagai
pelayanan sosial yang terencana dan terorganisasi secara sistemik dan utuh.
Pelayanan-pelayanan tersebut bukan hanya berorientasi pada pemecahan masalah
klasik seperti keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku,
keterpencilan, melainkan juga permasalahan kontemporer seperti permasalahan sosial
akibat penyebaran HIV/AIDS, permasalahan pekerja migran,kekerasan dalam rumah
tangga, trafiking manusia, maupun perlindungan anak serta masalah kekinian sebagai
imbas dari era teknologi yang sangat pesat.
Dalam konteks yang lebih luas, Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia, juga
mencakup program penanggulangan masalah sosial berskala luas seperti
pemberantasan kemiskinan yang sudah begitu kronis. Angka statistik menunjukkan
bahwa kemiskinan masih begitu besar, yaitu 28,59 juta penduduk atau 11,66%
penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2012). Demikian
pula persoalan bencana alam maupun sosial, ledakan jumlah anak jalanan, dan lanjut
usia menjadi fenomena yang sangat menonjol akhir-akhir ini dan membutuhkan
perhatian serius.
Esensi mendasar dari kemasan Pembangunan Kesejahteraan Sosial melalui berbagai
pelayanan tersebut adalah pemerataan kesejahteraan hidup seluruh komponen bangsa
dengan standar hak ''''asasi manusia. Dengan basis hak asasi, kualitas pelayanan
sudah menjadi tuntutan. Pelayanan sosial sebagai tuntutan hak asasi manusia sangat
penting, dan kualitas pelayanan yang baik menjadi keharusan yang tidak dapat
dipungkiri. Kualitas sudah menjadi conditio cine quanon dalam pelayanan sosial.
Karenanya, pelayanan sosial harus terencana secara sistematis, serta memenuhi
standar kualitas pelayanan yang sesuai dengan filosofi bangsa, dan tuntutan
profesionalisme.
Secara jelas, Zastrow (2004) telah menggambarkan bahwa profesi utama yang paling
berperan dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah Pekerjaan Sosial.
Pekerjaan Sosial adalah sebagai profesi terdepan dalam pemberian pelayanan sosial
untuk membantu orang, baik secara individual, kelompok, keluarga, maupun
masyarakat, dalam memecahkan rnasalah sosial yang dihadapinya. Tanggung jawab
inilah yang menjadi misi utama Pekerja Sosial. Asosiasi Pekerja Sosial Internasional
menambahkan bahwa misi utama Pekerja Sosial bukan sekedar membantu pemecahan
masalah, tetapi juga menciptakan kondisi-kondisi kemasyarakatan pokok yang
menunjang pencapaian tujuan itu. Hal tersebut dibutuhkan manusia agar mampu
mengarungi kehidupan secara funsional dalam menghadapi perubahan sosial yang
cepat ini.
Banyak pilar penting yang telah dibangun untuk mengembangkan praktik Pekerjaan
Sosial di Indonesia. Undang-undang No 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,
menjadi panduan utama dalam penciptaan kerangka sistem kesejahteraan sosial di
Indonesia. Sistem kesejahteraan sosial, sebagaimana terkandung dalam UU No 11 Th
2009 ini merupakan arah sistematis dalam mencapai kondisi yang akan dituju.
Meskipun masih mengandung banyak kelemahan, sekurang-kurangnya UU ini telah
menjadi sistem norma mengenai tatanan Kesejahteraan Sosial komprehensif yang
harus dilaksanakan dan dicapai melalui upaya sistematis pula.
Banyak stakeholders yang terlibat dalam pelaksanaan Pembangunan Kesejahteraan
Sosial, dari sistem pendukung, sistem naungan, serta sistem pelaksana. Namun
demikian, Pekerja Sosial tetap merupakan ujung tombak yang penting dalam sistem
tersebut. Pekerjaan sosial sebagai suatu profesi memiliki fungsi dan tugas pokok untuk
memberikan pelayanan dalam rangka mencapai keberfungsian sosial orang melalui
proses interaksi sosial. Pekerja sosial, menjalankan fungsi seluruh sub sistem yang
sangat kompleks dalam pelayanan sosial ini tidak terpisah dari sistem lain.
Pekerja sosial harus memahami seluruh sub sistem dalam sistem kesejahteraan sosial
secara menyeluruh. Dengan demikian, dia dapat melaksanakan peran sesuai dengan
tanggung jawabnya. Pekerja Sosial harus memiliki suatu kerangka kerja yang dapat
diaplikasikan untuk membimbing pemahaman maupun aksi responsif terhadap
keanekaragaman dalam sistem kesejahteraan sosial maupun tuntutan profesional.
Kemampuan untuk memiliki respons positif ini merupakan tuntutan logis yang harus
dipenuhi oleh Pekerja Sosial. Kemampuan untuk memiliki respons positif inilah yang
disebut dengan kompetensi pokok bagi Pekerja Sosial dalam menjalankan praktik
pertolongannya.
Profesi Pekerjaan Sosial telah memiliki sistem pendidikan yang cukup maju. Sistem
pendidikan Pekerjaan Sosial ini begitu kuat terbangun dalam masyarakat. Pada saat ini
terdapat 37 perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi Pekerjaan
Sosial/Kesejahteraan Sosial, baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta yang diikat
dalam Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial (IPPSI). Perguruan tinggi ini telah
berkembang pesat sejak tahun 1975, terus bertambah keanggotaannya serta semakin
menguat. Anggota IPPSI telah bahu membahu mengembangkan praktik Pekerjaan
Sosial dan terus menerus mengembangkan praktik Pekerjaan Sosial secara terstruktur
dan berlandaskan ilmu Pekerjaan Sosial, Pendidikan Pekerjaan Sosial ini juga selalu
mengembangkan standar yang khas Pekerjaan Sosial. IPPSI telah menyepakati
standar pendidikan Pekerjaan Sosial dan praktik Pekerjaan Sosial. Standar ini adalah
body of knowledge, body of skills, dan body of values yang dibangun bersama demi
pengembangan standar kurikulum minimal dalam pendidikan Pekerjaan Sosial di
Indonesia. Selama Pekerjaan Sosial yang dilakukan oleh pekerja sosial merupakan
aktivitas terapan, maka profesi ini, dan juga kita, tidak boleh memisahkannya dengan
gagasan maupun teori sesuai perkembangannya. Kita harus menggunakan dan
mengembangkan teori dalam kerangka nilai, etik, dan budaya Indonesia sebagai
jantung hati praktik pekerjaan sosial Indonesia.
Lembaga Sertifikasi Pekerja Sosial Indonesia (LSPSI) serta Badan Akreditasi Lembaga
Kesejahteraan Sosial (BALKS) sebagai pilar pengendali praktik pekerjaan sosial
maupun lembaga pelayanan kesejahteraan sosial juga telah terbentuk dan telah
menjalankan'''' funqsinya secara baik, dan akan terus berkembang. Konsorsium Pekerja
Sosial Indonesia, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, Ikatan
Pekerja Sosial Profesional Indonesia, Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia,
dan masih banyak lagi, merupakan mitra yang berperan sebagai bonding solidarity bagi
pelaksanaan praktik Pekerjaan Sosial di Indonesia.
Dengan dukungan seluruh pilar Pekerjaan Sosial, keseriusan pelaksanaan
Pembangunan Kesejahteraan Sosial untuk menjangkau permasalahan sosial yang
memiliki keluasan maupun kedalaman masalah telah dilaksanakan dalam kerangka
nilai budaya Indonesia. Kerangka inilah yang menyatukan seluruh .gerak langkah
Pekerja Sosial, baik proses yang dilakukan, sarana dan prasarana yang digunakan,
maupun sumber daya manusia sebagai inisiator maupun aktivator pelayanan.
Namun demikian, kendala terbesar yang dihadapi oleh para Pekerja Sosial dalarn
melaksanakan praktek pertolongannya adalah belum adanya undang- undang yang
mengatur pelaksanaan praktik Pekerjaan Sosial. Secara umum, undang-undang
berfungsi untuk mengatur substansi untuk memecahkan suatu masalah yang ada
dalam masyarakat. Artinya, peraturan perundang-undangan merupakan instrumen
kebijakan yang membatasi, membagi, serta mengatur para penyelenggaraan praktik
pelayanan negara sehingga tercapai keterkendalian dan keseimbangan (check and
balance). Dikaitkan dengan praktik Pekerjaan Sosial sebagai profesi terdepan dalam
pelayanan dan pertolongan sosial, maka undang- undang berfungsi untuk mengatur
para Pekerja Sosial dalam melaksanakan praktik pelayanannya sehingga tercapai
keterkendalian dan keseimbangan sesuai dengan asas dan prinsip bernegara.
Sebagai ujung tombak dan profesi terdepan dalam pelaksanaan pembangunan
kesejahteraan sosial, Pekerja Sosial harus memiliki visi yang selalu terbarukan sesuai
dengan situasi dan kondisi sosial yang ada. Saya sangat tidak sependapat mengenai
anggapan khalayak yang menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah sosial serta
melaksanakan pelayanan sosial dapat dilakukan secara profesional oleh siapa saja.
Benar bahwa pelayanan sosial rnerupakan pelayanan komprehensif, tetapi perlu
dilakukan secara spesifik dan mendalam oleh profesi Pekerjaan Sosial. Pernyataan
saya ini tidak dimaksudkan sebagai eksklusivitas. Seperti telah saya sebutkan di bagian
awal, upaya Pekerja Sosial untuk mengatasi masalah-masalah yang sangat kompleks
membutuhkan interaksi dan sinergi dengan berbagai pihak termasuk profesi di luar
Pekerjaan Sosial. Saya yakin dengan kerjasama semua pihak, baik lembaga
pendidikan, Kementerian Sosial, Asosiasi Protest, Asosiasi pendidikan pekerjaan sosial,
lembaga pelayanan sosial, maupun masyarakat, kita dapat memajukan profesi
Pekerjaan Sosial sejajar bahkan lebih maju dari profesi lain.
Ada beberapa urgensi perlunya Undang-Undang Praktik Pekerjaan Sosial;
Pertama, saat ini di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 36.000 Pekerja Sosial
professional lulusan dari 37 Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan Sosial. Sebagian besar dari jumlah Pekerja Sosial
profesional tersebut tergabung dalam Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia
(IPSPI). Banyak dari mereka bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nasional
maupun Internasional. Sebagian besar lagi bekerja di Instansi Pemerintah dan lembaga
pelayanan kesejahteraan sosial baik milik pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Berdasarkan data populasi Pekerja Sosial tersebut, diketahui pula data sampai Mei
2012 jumlah Pekerja Sosial fungsional sebanyak 1.154 yang bekerja di instansi
pemerintah pusat dan daerah. Kondisi ini menunjukkan perlunya pengaturan praktik
pekerjaan sosial agar penerima layanan memperoleh hak layanan yang sebaik-baiknya.
Dengan demikian ada kejelasan hak, kewajiban dan sanksi baik Pekerja Sosial,
penerima layanan dan lembaga layananan. Undang-undang tersebut sangat diperlukan
sebagai legal substance dalam melakukan aktivitas praktik pekerjaan sosial di
Indonesia. Kedua, populasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) cukup
besar yaitu sampai tahun 2011 sebanyak 18.210.434 jiwa. Situasi ini menuntut
tersedianya sumber daya manusia yang kompeten untuk meningkatkan keberdayaan
dan membantu mengatasi masalah yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat. Dalam implementasinya, proses tersebut memerlukan standar praktik
sebagai payung hukum bagi para Pekerja Sosial dalam mempraktikan Pekerjaan Sosial
di Indonesia. Dengan demikian, hal itu akan meminimalisir kesalahan praktik pekerjaan
sosial (malpraktik) dan melindungi hak- hak penerima pelayanan. Ketiga, kebutuhan
terhadap standar registrasi, akreditasi, dan sertifikasi. Penyelenggaraan kesejahteraan
sosial yang diamanatkan UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
belum mengatur standar Praktik Pekerjaan Sosial di Indonesia. Keempat, banyaknya
Pekerja Sosial Asing (dari luar Indonesia) yang melakukan praktik Pekerjaan Sosial di
Indonesia juga berdampak pada perlunya menetapkan peraturan perundang-undangan
praktik Pekerjaan Sosial di Indonesia. Aturan dibutuhkan agar dapat mengatur standar
praktik, hak dan kewajiban serta kompetensi dari Pekerja Sosial agar Pekerja Sosial
Indonesia mendapatkan hak dan kewenangan maksimal serta tidak tergerus oleh
kehadiran Pekerja Sosial Asing. Hal ini tentu saja sekaligus akan melindungi para
Pekerja Sosial yang lahir dari negeri sendiri.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Undang-Undang tentang
Praktik Pekerjaan Sosial sangat diperlukan sebagai pedoman formal (legalitas) bagi
Pekerja Sosial dalam melaksanakan praktiknya serta meningkatkan kinerja dan standar
pelayanan Pekerjaan Sosial dalam menangani permasalahan sosial di Indonesia.
Dengan adanya perundang-undangan yang mengatur tentang praktik Pekerjaan Sosial,
aktivitas praktik Pekerjaan Sosial dapat lebih memaksimalkan keberhasilan program
Pembangunanan Kesejahteraan Sosial sebagaimana yang dimanatkan pada
pembukaan UUD 1945.
Mengakhiri penyampaian paparannya Kepala Badiklitkesos mengingatkan bahwa
konferensi ini akan menjadi tonggak penting dalam upaya memajukan Pekerja Sosial
yang sensitif terhadap situasi sosial maupun konteks budaya asli Indonesia. Konferensi
ini akan membuka jalan bagi penguatan eksistensi Pekerjaan Sosial dan Pekerja Sosial
Indonesia. Pekerja Sosial yang selalu memperkuat diri dengan ilmu dan teknologi yang
dipandu oleh instrumen kebijakan secara tepat, dan berada dalam satu payung besar
nilai budaya Indonesia. Gagasan- gagasan brillian, aspirasi komunikatif ekspresif,
dialog konstruktif dalam pengembangan Pekerjaan Sosial dan praktik Pekerjaan Sosial
di Indonesia diharapkan lahir dari konferensi ini.
Sumber : http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=17809