Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

12
Peduli Yasmin http://facebook.com/gkiyasmin Edisi Khusus | Agustus 2013 S ekitar 200 orang jemaat GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Gereja Katolik Damai Kristus Tambor, dan Paduan Suara Gereja Protestan Indonesia bagian Barat Paulus Jakarta mengadakan ibadah bersama di halaman Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Minggu, 18 Agustus 2013. Ibadah yang dimulai sekitar pukul 13.30 Wib, dipimpin oleh Pendeta Simarmata dari Gereja Pentakosta di Indonesia Bogor. “Kebebasan beragama dan beribadah harus ditegakkan di Indonesia. Gereja harus menjadi pembawa pesan keadilan dan perdamaian di tengah dunia yang penuh pertentangan,” kata Pendeta Simarmata dalam kotbahnya. Ibadah yang bertemakan Rasa Syukur 68 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia mengingatkan pemerintah agar tidak melakukan diskriminasi terhadap umat yang dianggap minoritas. Sikap diskriminatif itulah yang membuat jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelphia belum dapat kembali beribadah di gereja mereka karena masih disegel dan digembok oleh Pemerintah Daerah Bogor dan Bekasi. Padahal putusan Mahkamah Agung memenangkan dua kelompok masyarakat kristiani ini. Selain kotbah, bergantian paduan suara dari kelompok jemaat menyanyikan lagu-lagu rohani. Sejumlah pemusik Batak mengiringi paduan suara dengan alat musik tradisional Batak. Spanduk bergambar burung Garuda, kutipan naskah Proklamasi, serta tulisan berhuruf besar “SAVE PEACEFUL INDONESIA” diletakkan di sebelah patung Proklamator, Soekarno-Hatta. Meski sempat diguyur hujan dan kemudian berganti dengan terik matahari, jemaat mengikuti ibadah dengan khusuk hingga Korban Diskriminasi Beribadah di Tugu Proklamasi | “Diterbitkan oleh Pengurus Gereja GKI Bapos Yasmin Jl. KH Abdullah bin Nuh Kav 31 Bogor yang dilindungi Putusan PK Mahkamah Agung No.127PK/TUN/2009 tgl 9 Desember 2010 & Rekomendasi Wajib Ombudsman RI No. 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 tanggal 8 Juli 2011”

description

Buletin Update perjuangan GKI Yasmin bagi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di NKRI

Transcript of Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

Page 1: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

Peduli Yasminhttp://facebook.com/gkiyasminEdisi Khusus | Agustus 2013

Sekitar 200 orang jemaat GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Gereja Katolik Damai

Kristus Tambor, dan Paduan Suara Gereja Protestan Indonesia bagian Barat Paulus Jakarta mengadakan ibadah bersama di halaman Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Minggu, 18 Agustus 2013. Ibadah yang dimulai sekitar pukul 13.30 Wib, dipimpin oleh Pendeta Simarmata dari Gereja Pentakosta di Indonesia Bogor.

“Kebebasan beragama dan beribadah harus ditegakkan di Indonesia. Gereja harus menjadi pembawa pesan keadilan dan perdamaian di tengah dunia yang penuh pertentangan,” kata Pendeta Simarmata dalam kotbahnya.

Ibadah yang bertemakan Rasa Syukur 68 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia mengingatkan pemerintah agar tidak melakukan diskriminasi terhadap umat yang dianggap minoritas. Sikap diskriminatif itulah

yang membuat jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelphia belum dapat kembali beribadah di gereja mereka karena masih disegel dan digembok oleh Pemerintah Daerah Bogor dan Bekasi. Padahal putusan Mahkamah Agung memenangkan dua kelompok masyarakat kristiani ini.

Selain kotbah, bergantian paduan suara dari kelompok jemaat menyanyikan

lagu-lagu rohani. Sejumlah pemusik Batak mengiringi paduan suara dengan alat musik tradisional Batak. Spanduk bergambar burung Garuda, kutipan naskah Proklamasi, serta tulisan berhuruf besar “SAVE PEACEFUL INDONESIA” diletakkan di sebelah patung Proklamator, Soekarno-Hatta.

Meski sempat diguyur hujan dan kemudian berganti dengan terik matahari, jemaat mengikuti ibadah dengan khusuk hingga

Korban Diskriminasi Beribadah di Tugu Proklamasi

|

“Diterbitkan oleh Pengurus Gereja GKI Bapos Yasmin Jl. KH Abdullah bin Nuh Kav 31 Bogor yang dilindungi Putusan PK Mahkamah Agung No.127PK/TUN/2009 tgl 9 Desember 2010 & Rekomendasi Wajib Ombudsman RI No. 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 tanggal 8 Juli 2011”

Page 2: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

selesai. Seusai ibadah, para jemaat melanjutkan dengan upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi. Pendeta Palti Panjaitan dari HKPB Filadelfia sebagai Pembina upacara.

Para jemaat membacakan teks Proklamasi versi mereka yang bertajuk Proklamasi Kaum Tertindas. “Dalam segala kepedihan dan ketidakmerdekaan kami untuk beribadah di rumah ibadah kami sendiri yang sah sesuai agama dan kepercayaan kami, dalam segala kegagalan negara saat ini untuk menjamin hak kami sebagai warga negara, kami adalah tetap warga negara yang sah dari Republik Indonesia dan mendukung sepenuhnya Proklamasi Republik Indonesia 1945, Pancasila dan UUD 1945. Hal-hal yang berhubungan dengan segala perbedaan agama dan keyakinan diantara warga negara, seharusnya dikelola negara dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika, dalam rumah besar bersama yang bagi semua yang bernama Indonesia,” para jemaat membacakan teks itu.

Ibadah ini merupakan kelanjutan ibadah-ibadah sebelumnya yang digelar setiap dua minggu sekali di depan Istana Negara. Sekitar pukul 3 sore acara berakhir dengan tertib dibawah penjagaan aparat polisi.

:: Maria Rita

PROKLAMASI KE-INDONESIAAN KAUM YANG

TERPINGGIRKAN

Kami jemaat dari dua gereja yang rumah ibadahnya disegel secara ILEGAL oleh Pemda Kota Bogor dan Pemkab Bekasi secara melawan hukum dan melawan putusan Mahkamah

Agung, yang Presiden negerinya gagal menegakkan Konstitusi dan Putusan MA dalam kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah; yang diperlukan sepert ini

karena dicap sebagai kelompok minoritas di daerah kami masing-masing; yang diintimidasi bahkan disakiti tanpa

perlindungan dari negara, menyatakan dengan ini bahwa dalam segala kepedihn dan ketidakmerdekaan kami untuk beribadah di rumah ibadah kami sendiri yang sah sesuai agama dan kepercayaan kami, dalam segala kegagalan

negara saat ini untuk menjamin hak kami sebagai warga negara, kami adalah tetap warga negara yang sah dari

Republik Indonesia dan mendukung sepenuhnya Proklamasi Republik Indonesia 1945, Pancasila dan UUD 1945.

Hal-hal yang berhubungan dengan segala perbedaan agama dan keyakinan di antara warga negara, seharusnya dikelola

negara dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika, dalam rumah besar bersama yang bagi semua yang bernama

Indonesia, yang mengakui dan menerima perbedaan sebagai rahmat Tuhan Yang Esa; seraya mendesak negara untuk melaksanakan perlindungan hak-hak semua warga negara tanpa kecuali sesuai Konstitusi dan hukum, tanpa diskriminasi, tanpa intimidasi, tanpa pemaksaan relokasi dan pengalihan keyakinan seperti yang dialami saudari-

saudara kami pemeluk Shiah di Sampang, tanpa diburu dan dianiaya seperti yang dialami sadari-saudara kami pemeluk

Ahmadiah, tanpa diskriminasi seperti yang terjadi pada saudari-saudara kami pemeluk agama dan keyakinan asli

Nusantara, dan dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 18 Agustus 2013

Atas nama Jemat GKI Yasmin, HKBP Filadelfia serta Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beribadah/Berkeyakinan lainnya yang juga adalah warga Republik

Indonesia.

2

Page 3: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

Kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama saban tahun semakin meningkat

apabila kita mengikuti laporan tahunan yang berasal dari The Wahid Institute (http://wahidinstitute.org), Setara Institute (http://setara-institute.org) dan KontraS (http://kontras.org). Dalam laporan KontraS terakhir 20 Maret 2013 yang melaporkan kondisi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia disimpulkan: Pertama, angka kekerasan bertahan tinggi. Ada 700 lebih peristiwa kekerasan dengan korban mencapai 2000 orang lebih sepanjang tahun. Polisi masih jadi aktor utama dalam melakukan kekerasan. Kedua, kelompok minoritas dengan mudah menjadi korban kekerasan. Baik minoritas yang tidak memiliki akses informasi penegakan hukum, minoritas keetnisan, minoritas keagamaan, minoritas politik dan minoritas ekonomi. Ketiga, kebijakan negara merespon situasi ini tidak menuju sebuah pembenahan profesionalisme aparatnya, justru yang terjadi adalah penguatan instrumen keamanan atau penindakan. Keempat, dari semua peristiwa yang menghasilkan penderitaan dan kerugian, tidak ada upaya pemulihan atas hak korban dan masyarakat. Tindakan hukum nyaris nol. Kalaupun ada, upaya tersebut sangat selektif; setelah mendapatkan desakan publik dan media. Bahkan kadang sangat teaterikal dan manipulatif yang meringankan aktor keamanan

pelaku kekerasan. Kelima, yaitu tidak ada partisipasi yang genuine bagi masyarakat dalam mendorong perbaikan kondisi negara dalam soal pemenuhan hak. Yang terjadi adalah kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga dengan semata-mata menerapkan aturan hukum yang ahistoris dan diterapkan secara sepihak.

Sebuah laporan yang memotret kondisi hak asasi manusia di Indonesia tahun 2012 yang buram.

Bukti-bukti yang paling nyata dari diskriminasi dengan mudah ditemukan di lapangan: diskriminasi dan kekerasan terhadap pengikut Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) warga Ahmadiyah Lombok sudah 7 tahun hidup di pengungsian di Asrama Transito. Banyak anak yang lahir dan dibesarkan di pengungsian (Kompas, 5 Februari 2013).

Perlakuan sewenang-sewenang terhadap jemaat Ahmadiyah tidak terbatas menimpa pada mereka yang masih hidup, pun pada yang sudah wafat. Pada tanggal 3 Maret 2011 makam almarhum Mulyadi seorang pengikut Ahmadiyah dibongkar di TPU Bunijaya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat. Tak hanya dibongkar, jenazah yang baru dikebumikan diletakkan begitu saja di samping lubang kuburan (tempo.co, 4 Maret 2011).

Mohamad Guntur Romli Penulis Buku “Islam Tanpa Diskriminasi”, 2013

3

Page 4: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

Warga Syiah di Sampang Madura juga menerima kekerasan dan diskriminasi. Pada tanggal 26 Agustus 2012 perkampungan Syiah di Omben, Sampang, Madura diserang. Satu orang tewas. Rumah-rumah dibakar. Warga Syiah sampai saat ini, hidup di pengungsian, mereka dipaksa menerima relokasi yang tujuan sebenarnya: pengusiran dari kampung halaman. Ironisnya justeru pimpinan Syiah Sampang, Tajul Muluk yang divonis penjara 4 tahun atas tuduhan penodaan agama. Seperti halnya Ahmadiyah, di beberapa daerah komunitas Syiah tidak diganggu.

Diskriminasi juga dialami jemaat GKI Yasmin Bogor, Izin Membangun Bangunan (IMB) gereja mereka dicabut oleh Wali Kota yang dulu mengeluarkannya. Pencabutan ini gara-gara tekanan kelompok-kelompok intoleran. Juga terhadap HKBP Filadelfia, Tambun, Bekasi yang setiap kebaktian dilempari air comberan, kotoran hewan, air rendaman jengkol, batu, tanah dan telur. Pada misa Natal 24 Desember 2012 jemaat HKBP Filadelfia dihalang-halangi dan diserang agar tidak melaksanakan kebaktian di lokasi gereja mereka. Namun justeru saat ini Pdt Palti

Panjaitan ditetapkan polisi sebagai tersangka penyerangan dan penganiayaan.

Pertanyaan yang sering diajukan mengapa kasus-kasus pelanggaran kebebasan, tindakan diskrimiatif dan kekerasan sering terjadi? Pertama, tanggung jawab utama dari tragedi ini adalah kegagalan negara menegakkan konstitusi dan melindungi warga negaranya. Pasal 28E UUD 45 ayat (1),(2) , (3), Pasal 29 ayat (2), UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Etnis adalah sederet peraturan dan perundang-undangan

yang memberikan jaminan penuh pada kebebasan dan kemerdekaan warga negara dan perlindungan terhadapnya. Namun konstitusi dan peraturan ini akan menjadi teks yang mati jika pemerintah tidak berani menegakkannya.

Kedua, pemerintah dalam hal ini aparat keamanan sering terlibat dalam kekerasan, baik secara langsung atau tidak langsung (pembiaran tindakan kekerasan), kriminalisasi terhadap korban kekerasan juga terjadi pada proses peradilan melalui tuntutan jaksa dan vonis hakim, yang semestinya memberikan perlindungan hukum terhadap para korban

4

Page 5: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

kekerasan, justeru ditimpakan peraturan-peraturan diskriminatif dan manipulatif agar korban kekerasan terjerat dengan tujuan memuaskan tuntutan para pelaku kekerasan.

Ketiga, tersebarnya “syiar kebencian” (hate speech) baik melalui fatwa keagamaan (MUI), pengajian yang ditunggangi provokasi, pergerakan ormas-ormas garis keras yang mengatasnamakan Islam yang memiliki patron dengan partai-partai politik koalisi pemerintahan yang berkuasa. Kebencian ibarat virus flu yang cepat menyebar kalau tidak dicegah dengan tindakan-tindakan preventif. Ironisnya pemerintah justeru membiarkan bahkan tak jarang terlibat dalam penyebarannya.

Menghadapi kelompok-kelompok berjubah agama ini pemerintah sering gagap saat dihadapkan pada fatwa keagamaan dan hukum agama—seakan-akan Majelis Ulama, Front, Forum dan Gerakan yang mengatasnamakan Islam adalah pihak-pihak yang paling benar mewakili Islam. Fatwa-fatwa keagamaan yang dipakai pun adalah fatwa yang membenci, memusuhi bahkan ingin melenyapkan kelompok yang berbeda, memusuhi tidak hanya pada yang masih hidup, juga pada yang sudah mati.

Berhadapan dengan kasus-kasus pelanggaran kebebasan dan tindakan diskriminatif bukan berarti mengajak untuk bersikap pesimistif dan berpikir buruk: negara akan runtuh, masyarakat akan terus terjebak konflik. Kita tetap harus optimis karena menurut saya ada dua alasan utama yang membuat kita bisa tetap optimis.

Pertama, ajaran dan kampanye yang mengutamakan kedamaian, anti diskriminasi, kasih sayang, kesetaraan merupakan nilai-nilai

yang sesuai dengan cita-cita masyarakat yang berakal sehat. Kita harus percaya: tidak ada satu orang pun yang ingin hidup dalam konflik, yang banyak terjadi mereka yang terseret, terbakar, terjebak akibat provokasi dan fitnah yang didengungkan oleh pihak-pihak yang memang sumber kehidupannya dari konflik dan kekerasan. Ketimpangan sosial, ekonomi dan pendidikan: kemiskinan, kebodohan, eksploitasi, kesewenang-wenangan menguras habis nalar sehat sebagian masyarakat sehingga yang muncul ke permukaan karakter yang emosional, cepat marah, mudah tersinggung dan gampang terprovokasi.

Kedua, kasus-kasus pelanggaran dan kekerasan terjadi di beberapa daerah, namun

kita tidak bisa menafikan dan menutup mata bahwa di beberapa daerah juga masih damai dan kondusif karena ada partisipasi masyarakat yang sangat kuat. Sikap ini sebenarnya representasi dari kelompok mayoritas, meskipun sering disayangkan: “mayoritas yang diam”. Sedangkan kelompok-kelompok yang aktif melakukan kekerasan adalah kelompok minoritas, namun mereka “minoritas yang bising” aksi-aksi mereka lebih populer, karena media massa lebih tertarik pada yang ramai daripada yang damai, mereka pun sukses meneror pemerintah. ::

5

Page 6: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

6

Page 7: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

7

Kemerdekaan Sejati, memerdekakan diri sendiri, sekaligus menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain

(Pdt. Palti Panjaitan: Ketua Koordinator Nasional Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beribadah/Berkeyakinan)

Merdeka bukanlah hanya berarti melepaskan belenggu-belenggu yang

merantai diri sendiri, merdeka juga berarti menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain. Tujuan dari merdeka untuk mewujudkan damai.

Bung Karno pernah mengatakan : “Bangunlah suatu dunia dimana semuanya hidup dalam damai.” Itulah tugas dan tanggungjawab kita sebagai orang merdeka. Namun hal itu masih jauh dari harapan setelah 68 tahun Indonesia merdeka.

Bung Karno pernah mengingatkan : “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Inilah yang terjadi sekarang di Indonesia.

Diskriminasi dan intimidasi dari sekelompok orang yang “Mayoritas” terhadap Minoritas”. Sekelompok orang menjajah bangsanya sendiri.

Namun jangan berkecil hati. Bung Karno juga pernah mengatakan :“Aku lebih suka lukisan samudera yang

gelombangnya memukul dan menggebu-gebu daripada lukisan sawah yang adem ayem tentram”. Tidak kebetulan kalau kita yang berkumpul saat ini, di tempat ini menghadapi pergumulan dijajah bangsa sendiri. Tuhan sengaja memilih kita untuk menghadapinya. Tuhan sengaja memilih kita untuk memperjuangkan kemerdekaan yang sejati. Memerdekakan diri sendiri, sekaligus menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain. Memerdekakan orang lain, memerdekakan seluruh bangsa Indonesia. Kita orang-orang yang dipilih Tuhan.

Terakhir Bung Karno pernah mengatakan: “Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi gitamu : Innallahu la yughoiyiru mabikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim” Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merobah nasibnya.”

Firman Tuhan juga berkata: “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil. Dan juga sebab bagi orang yang percaya tidak ada yang mustahil.”

Merdeka, Merdeka, Merdeka!

Page 8: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

Seperti dua kali hari Minggu dalam setiap bulan yang jemaat GKI Yasmin dan HKBP

Filadelfia lalui sejak Februari 2012 lalu, hari itu ada pertanyaan yang menggayut saat mengemudikan kendaraan salah satu jemaat GKI Yasmin dari Bogor menuju Jakarta: akankah ibadah dua mingguan ditimpa hujan, atau, akankah jemaat bermandi terik mentari seraya memuji Sang Khalik? Pilihan, seringnya, memang hanya dua situasi itu bagi jemaat kedua gereja yang hingga saat ini masih dilarang beribadah oleh negara melalui perangkatnya didaerah di masing-masing gerejanya sendiri yang sah di Bogor dan Bekasi.

Namun hari itu, 18 Agustus 2013, agak istimewa. Hujan dan panas rupanya membagi rata kehadirannya di periode waktu yang biasa kami pakai untuk beribadah. Hujan mengguyur deras diawal kehadiran kami di lokasi ibadah, lalu berganti dengan matahari yang tidak malu-malu menyorotkan sinarnya siang hingga sore hari. Menunya lengkap hari itu. Namun keistimewaan di Minggu itu bukan hanya itu. Lokasi ibadah kamipun berbeda. Biasanya areal parkiran di seberang Istana Merdeka Jakarta, kali itu, kami beribadah di Tugu Proklamasi Jakarta. Biasanya kami hanya beribadah, kali itu, usai ibadah, kami

berupacara bendera, memperingati detik-detik proklamasi. Dan kali itu pula, sesuai tema “nuansa adat”, ada Pendeta Palti, pendeta jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, yang hari itu mengenakan ulos, “topi” batak yang dirangkai dari ulos, dan sebuah tongkat kayu yang membuat penampilannya bak Sisingamangaraja versi 2013. Dan kisah ini, adalah tentang keistimewaan yang terakhir

itu: seorang pendeta yang berperan menjadi pembina upacara usai ibadah di kaki Patung Proklamator Soekarno-Hatta.

Penampilannya hari itu memang sudah istimewa. Tak setiap hari kita bisa melihat penampilan seperti itu, apalagi di acara yang digelar GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Namun yang lebih membuatnya istimewa saat itu adalah isi sambutannya ketika Pendeta Palti menjadi Pembina Upacara 18

Agustus 2013 yang dihadiri oleh rekan-rekan lintas iman, Sekum Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Pendeta Andryan Pitoy, Sekum Gereja Protestan Indonesia (GPI) Pendeta Liesye Sumampow, serta perwakilan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang diwakili oleh Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia, Jeirry Sumampow.

Di Kaki Soekarno-Hatta, “Sisingamangaraja” Bersabda

8

Page 9: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

9

Terus terang, saat membantu rekan Tim Media GKI Bapos Yasmin untuk menyusun susunan acara upacara, saya sudah sempat mengira bahwa Pendeta Palti akan mengulang banyak pidato bertema hari Merdeka, yang terdengar klise ditelinga semua yang mendengar. Mengantisipasi hal tersebut, mencegah kebosanan dan kejenuhan peserta upacara yang saya pikir akan menyergap saat mata acara “Amanat Pembina Upacara” dimulai, maka di alur tata acara yang dikirimkan ke Pendeta Palti pada tengah malam sebelum Minggu pagi, saya mencantumkan tulisan yang saya beri garis bawah: “tidak lebih dari 5 menit”.

Dan singkat cerita, saat upacara berjalan, tibalah peserta upacara pada acara amanat dari pembina upacara. Pendeta Palti, dengan kostum khusus beliau hari itu, menggeser posisinya sedikit, mendekati pengeras suara, menjauh dari barisan kawan-kawan lintas iman yang berbaris rapi didepan, menghadap peserta upacara. Selembar kertas dikeluarkannya, dan suara beliau mulai terdengar. Dan mulai dari larik kedua dari sambutannya yang dibacakannya, saya tahu, saya keliru mengira Pendeta Palti akan mengulang semua kebosanan akan pidato kosong di berbagai upacara tentang arti kemerdekaan. Dilarik itu Pendeta berujar lantang: “Merdeka bukanlah hanya berarti melepaskan belenggu-belenggu yang merantai diri sendiri, merdeka juga berarti menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain”

Seiring bagian pidato itu diucapkan, telinga dan hati saya menjadi miliknya. Saya juga menangkap perasaan yang sama tergambar di wajah para peserta upacara lainnya. Kata-kata dibagian itu seakan men-jadi magnet bagi semua pendengar untuk tidak lepas dari lanjutan isi pidato Pdt. Palti.

Melompat ke bagian lainnya, Pendeta Palti tanpa ragu menyitir Bung Karno, tokoh pendiri negeri yang dikaki patungnya, hari itu kami beribadah. “Bangunlah suatu dunia dimana semuanya hidup dalam damai.” Begitu kutip Pendeta Palti. Dengan mengutip Soekarno, sekali lagi Pendeta Palti mengingatkan jemaat kedua gereja, dan semua peserta lintas iman yang hadir, bahwa kita semua memiliki tugas demi kemanusiaan, demi bangsa yang majemuk ini, bahkan ketika kita, khususnya jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia sendiri, bergumul dalam doa dan perjuangan. Lebih jauh, Pendeta Palti kembali mengutip Soekarno yang pernah mengatakan: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”, seraya merujuk pada peristiwa diskriminasi berbasis agama yang belakangan marak terjadi di Indonesia yang didiamkan oleh negara.

Pidato singkat dan berisi dalam itu diakhir Pendeta Palti dengan mengutip sebuah kalimat dalam bahasa Arab yang terjemahan Bahasa Indonesianya sering saya dengar dari sahabat-sahabat Muslim saya, yang mengatakan bahwa Tuhan hanya akan mengubah nasib bangsa yang mau mengubah nasibnya sendiri. Diujung pidato, Pendeta Palti pun mengingatkan peserta upacara bahwa bagi Tuhan, dan orang percaya, tidak ada yang mustahil.

Tepuk tangan peserta upacara tidak terbendung. Pidato itu singkat, namun isinya sungguh menyentuh hati. Demikian pula di hati saya. Saya kira, selain karena pilihan teks dan gaya penyampaiannya, pidato itu kuat tertancap di hati karena yang terjadi dan dijalani Pendeta Palti selaku gembala jemaat HKBP Filadelfia adalah sepenuhnya

Page 10: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

perwujudan dari tiap untai kata yang disampaikannya.

Dia tidak berpidato sekedar untuk pengisi mata acara upacara. Dia tidak pula berpidato yang hanya merujuk dari referensi ucapan filsuf A, atau tokoh B, atau Rasul C, atau bahkan ucapan Tuhan sendiri dalam Kitab Suci. Dia memang mengutip Soekarno, tetapi sebenarnya, dia mengutip apa yang dijalaninya sendiri.

Dia satu dari sedikit pendeta yang tidak lari meninggalkan dombanya saat serigala mengurung dan menyerang kawanan domba. Dialah satu dari sedikit pendeta yang mau menjalani Via Dolorosa bersama jemaatnya, meski tahu hanya kepahitan dan rasa sakit yang menjadi sahabatnya. Dialah satu dari sedikit pendeta yang bersama-sama anak bangsa lainnya, mau menempuh segala resiko, menjaga tiang bendera merah putih tetap tegak, tidak berganti dengan bendera Bulan Sabit, Bendera Salib, atau swastika Hindu. Dia satu dari sedikit pendeta yang keluar dari zona nyaman gereja, masuk dan bergumul bersama untuk menjaga Indonesia sebagai rumah bersama bagi semua.

Saya bukan hendak mengkultuskannya. Saya hanya sekedar berbagi dengan pembaca bahwa di sore yang terik itu, hati saya dan peserta upacara lainnya dikukuhkan kembali oleh pidato Pendeta Palti, dan oleh pengetahuan akan rekam jejak beliau sementara ini. Bahwa ketika ada pemimpin negara yang tampak begitu sibuk mencoba mematut diri dan bergaya bak pemimpin besar saat berpidato dengan hasil yang mengecewakan karena seringnya jarak tercipta antara teks pidato Sang Pembesar dan realita negeri tercinta, ternyata ada seorang pemimpin umat sederhana yang berikhtiar menyelaraskan Firman Tuhan,

jalan perjuangan yang dia tempuh serta teks pidatonya.

Sore itu, “Sisingamangaraja” berpidato dikaki Soekarno-Hatta. Sore itu, diujung kalimatnya yang mengingatkan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan dan orang percaya, hati saya berucap “amin”.

:: Bona Sigalingging

Marina Noviantidan Sang Proklamator

10

Page 11: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

11

Lihat, BapaWajah mereka sumringahPerut mereka tertumpah ruahDengan lantang dan pongahMereka berseru,”Kami lah pemerintah!”

Dengar, BapaTangis rintih anak kecil dan kaum jelataKelaparan, kedinginanMerindukan pengisi perut dan penutup badan

Kenapa, BapaKau berikan aku mataBila yang kulihat membuatku murka??Kenapa, BapaKau berikan aku telingaBila yang kudengar memberiku nestapa??Kenapa Kau biarkan aku hidup, BapaDan menyaksikan permainan durjanaMereka yang menamakan dirinyaPemerintah dan bapak bangsa???

Bisakah aku jadi wanita itu, BapaYang datang bersimpuh di kakiMuMembasuh nista dan salah bangsaku

Dengan rambut dan airmataku?Bisakah aku jadi martir itu, BapaYang menanggung derita..diam, mati membekuPasrah menerima lemparan batuSatu batu, satu luka, satu dosa negeriku?

Di hari merdeka iniKutangisi kemerdekaan bangsakuKuratapi pembangunan di negarakuMerdeka, tapi menderitaBebas, tapi terbelenggu

Kyrie, eleison…. Christo, eleison….

Ah..aku tahu sekarangTugas yang Kau bisikkanTenaga yang Kau hembuskanRoh yang Kau titipkanPadaku dan anak-anakMu, Bapa

Menjadi mata dan telinga bagiMuBukan untuk menyiksa diri semataTapi agar peka merekam derita dan dilemaYang terjadi di IndonesiaMenjadi hati dan tangan bagiMu

Tidak untuk memerangi si penguasa udaraDengan tinju dan tendanganTapi dengan doa dan puasaTidak untuk menuding pemimpin negaraYang menghisap habis darah dan tenaga bangsa

Tapi memberkati negeri iniAgar susu dan madu mengalirDinikmati semua insan IndonesiaBukan hanya yang kaya dan berjayaMenjadi mulut bagiMuMemberitakan Rencana AgungDan menyatakan kemuliaanMuDengan pujian dan penyembahan

Bukan dengan sumpah serapah dan kutukan

Rindu yang Kau berikan di hatiku, BapaAdalah rindu menantikanAnak Domba duduk di tahtaDi tanah dan airku tercintaMerdeka, Indonesia!Bersiap dan berbenahlahRaja kita akan datang!Datanglah kerajaanMu, Bapa

Jadilah kehendakMu, Di Indonesia.

“Duka Di Hari Merdeka”

Page 12: Peduli Yasmin Buletein Agustus 2013

AKSI DAMAI: JAM DOA

BAGI BANGSASERUAN AKSI DAMAI: Kami dari #GKIYasmin

mengajak semua yang peduli, siapapun, dari suku, agama, keyakinan, latar belakang

apapun untuk bertemu di udara melalui:

“JAM DOA UNTUK BANGSA” pada setiap hari Sabtu Pukul 10 malam WIB

(bagi yang berada di zona waktu lain, silakan menyesuaikan)

Tempat berdoa sesuai dengan keberadaan masing-masing.

Lama waktu berdoa bisa disesuaikan dengan tatacara doa masing-masing.

* Mari kita naikkan doa bagi semua umat di bumi Indonesia yang saat ini masih terpasung dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya.

* Mari kita doakan perdamaian di antara warga negara yang berbeda agama dan kepercayaannya sehingga dapat saling bahu-membahu membangun negara ini untuk kesejahteraan bersama.

* Mari kita doakan pemerintah dan pihak yang berwenang agar dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan secara bijaksana dan adil.

Sampai jumpa di udara melalui doa-doa yang kita naikkan bersama-sama pada setiap Sabtu Pukul 10 malam tepat. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati bangsa dan negara kita. Amin.