pedoman longsor

download pedoman longsor

of 93

Transcript of pedoman longsor

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    1/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    2/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    KATA PENGANTAR

    Bencana tanah longsor merupakan fenomena alam, yang terjadi karena dipicu oleh proses

    alamiah dan aktivitas manusia yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam. Proses

    alamiah sangat tergantung pada kondisi curah hujan, tata air tanah (geohidrologi), struktur

    geologi, jenis batuan, geomorfologi, dan topografi lahan. Sedangkan aktivitas manusia

    terkait dengan perilaku dalam mengeksploitasi alam untuk kesejahteraan manusia, sehingga

    akan cenderung merusak lingkungan, apabila dilakukan dengan intensitas tinggi dan kurang

    terkendali.

    Pemanfaatan ruang sebagai salah satu bentuk aktivitas manusia, dalam wujud penguasaan,penggunaan, serta pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya. Dalam

    Keppres No.32 Tahun 1990 kawasan rawan bencana longsor telah ditetapkan sebagai

    kawasan lindung, namun dalam prakteknya telah terjadi pelanggaran dalam

    pemanfaatannya, sehingga diperlukan upaya pengendalian terhadap pemanfaatan ruang

    pada kawasan tersebut. Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana

    longsor, dilakukan dengan mencermati konsistensi, baik kesesuaian dan keselarasan antara

    rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang.

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor,

    merupakan produk yang diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan dan pegangan bagistakeholders pembangunan di wilayah provinsi/kabupaten/kota, dalam pengendalianpemanfaatan ruang. Dikaitkan dengan kebijakan yang ada, secara umum pedoman inimerupakan penjabaran dai UU No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, serta petunjukteknis terhadap pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, yang tertuang dalam PP No.47tahun 1997 Tentang RTRWN.

    Kedudukan pedoman adalah sebagai bagian dan pelengkap dari Kepmen KIMPRASWILNo.327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Penyusunan dan Peninjauan Kembali RTRWProvinsi/Kabupaten/Kota, dan bersama-sama dengan pedoman lain dapat digunakan sebagaipetunjuk operasional awal bagi pemerintah daerah, dalam pengendalian pemanfaatan ruangdi wilayahnya. Selanjutnya untuk mendapatkan hasil yang lebih operasional dan tepatsasaran, pedoman ini diharapkan dapat ditindaklanjuti dan dikembangkan oleh pemerintahdaerah, sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.

    Demikian pedoman ini disusun dengan harapan dapat bermanfaat dan dikembangkan lebihlanjut.

    Departemen Permukiman dan Prasarana WilayahDirektorat Jenderal Penataan Ruang

    Junius Hutabarat

    i

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    3/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ........................................................................................ iDAFTAR ISI iiDAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ivDAFTAR TABEL .......................................................................................... v

    BAB 1 PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1-11.2 Tujuan dan Sasaran Pedoman ..................................................... 1-11.3 Manfaat Pedoman ..................................................................... 1-21.4 Sistematika Pedoman .................................................................. 1-2

    BAB 2 KETENTUAN UMUM

    2.1 Pengertian .............................................................................. 2-12.2 Kedudukan Pedoman ........................ 2-42.3 Dasar Hukum ................................ 2-4

    BAB 3 KONSEP PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN

    RAWAN BENCANA LONGSOR3.1 Konsep Pengendalian ............................................................... 3-13.2 Pembagian Ruang Yang Mempunyai Potensi Rawan Bencana Longsor

    Dan Banjir ................................................................................... 3-13.3 Kebijakan Pokok Pemanfaatan Ruang .................................... 3-23.4 Permasalahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana

    Longsor ..................................................................................... 3-43.5 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor . 3-4

    BAB 4 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN RAWAN

    BENCANA LONGSOR

    4.1 Karakteristik Kawasan Rawan Bencana Longsor ..... 4-14.2 Klasifikasi dan Faktor Penyebab Bencana Longsor . 4-24.3 Tipologi Kawasan .... 4-24.4 Tingkat Kerawanan Kawasan Rawan Bencana Longsor ... 4-54.5 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Menurut

    Tipologi ................................................................. 4-64.5.1 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan

    Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Tinggi ........... 4-74.5.2 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan

    Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Menengah ...... 4-174.5.3 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan

    Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Rendah ........ 4-184.6 Mekanisme Perijinan ................................................................... 4-18

    4.6.1 Umum ........................................................................... 4-184.6.2 Berdasarkan Tipologi ...................................................... 4-24

    ii

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    4/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    4.7 Kelembagaan dan Peran Masyarakat ......................................... 4-324.7.1 Pemerintah ..................................................................... 4-324.7.2 Peran Serta Masyarakat ................................................. 4-33

    4.8 Rekayasa Teknik ...................................................................... 4-35LAMPIRAN

    L.1 KLASIFIKASI DAN FAKTOR PENYEBAB BENCANA LONGSOR

    iii

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    5/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Kedudukan Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruangdi Kawasan Rawan Bencana Longsor Dalam PenataanRuang . 2-4

    Gambar 3.1 Pembagian Ruang Kawasan Potensi Rawan BencanaBanjir dan Longsor . 3-2

    Gambar 4.1 Prosedur Ijin Lokasi(PMNA/KBPN No.2 Tahun 1999) .. 4-22

    Gambar 4.2 Diagram Prosedur Pengurusan IMB di Kabupaten/Kota 4-23Gambar L.1-1 Gerakan Tanah Jenis Runtuhan L.1-9

    Gambar L.1-2 Gerakan Tanah Jenis Jungkiran L.1-9Gambar L.1-3 Gerakan Tanah Jenis Longsoran Rotasi L.1-10Gambar L.1-4 Gerakan Tanah Jenis Longsoran Translasi L.1-10Gambar L.1-5 Gerakan Tanah Jenis Gerakan Lateral L.1-11Gambar L.1-6 Gerakan Lateral Majemuk L.1-11Gambar L.1-7 Gerakan Tanah Jenis Aliran L.1-12Gambar L.1-8 Gerakan Tanah Jenis Majemuk . L.1-14Gambar L.1-9 Gangguan Kemantapan Lereng Karena Tegangan

    Horisontal Menurun .................................................L.1-14

    Gamb. L.1-10 Perubahan Tegangan Sebelum dan Sesudah

    Pembebanan ..

    L.1-15

    Gamb. L.1-11 Gangguan Kemantapan Lereng Karena TeganganVertikal Meningkat ...................................................

    L.1-15

    Gamb. L.1-12 Retakan Susut Yang Terisi Air, Meningkatkan TeganganGeser ......................................................................

    L.1-15

    Gamb. L.1-13 Gangguan Kemantapan Lereng Karena Tegangan Siklik L.1-16Gamb. L.1-14 Perubahan Kekuatan Geser Tanah Sepanjang Bidang

    Longsoran ...............................................................L.1-17

    Gamb. L.1-15 Perubahan Kekuatan Geser Tanah Pada Waktu HujanAkibat Peningkatan Muka Air Tanah dan Penjenuhan

    Perlapisan Tanah .....................................................

    L.1-17

    Gamb. L.1-16 Peningkatan Tekanan Air Pori pada Bidang LongsoranKarena Perubahan Muka Air Tanah Bebas WaktuPengisian Air Waduk

    L.1-18

    iv

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    6/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    DAFTAR TABEL

    Tabel 4.1 Arahan Pemanfaatan Ruang .. 4-6

    Tabel 4.2 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang KawasanRawan Bencana Longsor (Tipologi A) 4-8

    Tabel 4.3 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang KawasanRawan Bencana Longsor (Tipologi B) 4-11

    Tabel 4.4 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang KawasanRawan Bencana Longsor (Tipologi C) 4-14

    Tabel 4.5 Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan Ruangdi Kawasan Rawan Bencana Longsor (Tipologi A) 4-25

    Tabel 4.6 Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan Ruangdi Kawasan Rawan Bencana Longsor (Tipologi B) 4-27

    Tabel 4.7 Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

    di Kawasan Rawan Bencana Longsor (Tipologi C) 4-29

    Tabel 4.8 Faktor Keamanan Minimum Kemantapan Lereng(KepMen PU No.378/KPTS/1987) 4-36

    Tabel 4.9 Persyaratan Kemiringan Lereng Untuk BerbagaiPeruntukan Budidaya (Marsh, W.M., 1991) 4-38

    v

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    7/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    BAB 1 PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Bencana tanah longsor terjadi karena proses alamiah dalam perubahan strukturmuka bumi, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab:a. Fenomena alam, seperti curah hujan, tata air tanah, struktur geologi,b. Aktivitas manusia (Proses Man-Made) yang tidak terkendali dalam

    mengeksploitasi alam, yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkunganmenjadi rusak.

    Sejalan dengan proses pembangunan yang berkelanjutan, perlu diupayakanpengaturan dan pengarahan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, denganprioritas utama untuk menciptakan kembali keseimbangan ekologis lingkungan.Langkah yang diambil adalah melalui kegiatan penataan ruang, denganpenekanan pada pengendalian pemanfaatan ruang.

    Sehubungan dengan kawasan rawan bencana longsor, kegiatan pengendalianpemanfaatan ruang dilaksanakan melalui upaya penanggulangan untukmeminimalkan dampak akibat bencana yang mungkin timbul. Substansi pedomanmencakup semua aspek yang terkait dengan rencana dan pemanfaatan ruang dikawasan rawan bencana longsor, serta pengendalian pemanfaatan ruang.

    Asumsi yang digunakan dalam pedoman ini adalah pemerintah kabupaten/kotatelah memiliki RTRW yang sepatutnya diacu dalam pemanfaatan danpengendalian pemanfaatan ruang.

    1.2 Tujuan dan Sasaran Pedoman

    Tujuan pedoman ini adalah sebagai rujukan dan pegangan bagi stakeholders

    pembangunan di wilayah provinsi dan kota/kabupaten, dalam rangka:

    1. Pengendalian pemanfaatan ruang, baik di kawasan lindung maupun budidaya,yang rawan terhadap bencana longsor;

    2. Penanganan dalam rangka meminimalkan dampak bencana longsor, padakawasan-kawasan rawan terhadap bencana longsor;

    3. Pengelolaan kawasan rawan bencana longsor.Sedangkan sasaran pedoman adalah:

    1. Terwujudnya pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencanalongsor;

    1 - 1

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    8/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    2. Terciptanya mekanisme perijinan pemanfaatan ruang di kawasan rawanbencana longsor, yang sesuai dan mendukung upaya penerapan rencanapemanfaatan ruang;

    3. Tersusunnya prosedur penanganan yang tepat, dalam rangka meminimalkandampak bencana longsor pada kawasan rawan bencana.

    1.3 Manfaat Pedoman

    Pedoman ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

    1. Pemerintah Daerah, dalam rangka pemanfaatan dan pengendalianpemanfaatan ruang, baik untuk kawasan lindung maupun budidaya, sertamenjadi masukan dalam mekanismen perijinan pemanfaatan ruang di

    kawasan rawan bencana longsor maupun normalisasi pemanfaatan ruang dikawasan rawan bencana longsor yang telah dilandasi oleh mekanismeperijinan yang memadai;

    2. Pemerintah Daerah, sebagai acuan dalam penyusunan Peninjauan KembaliRencana Tata Ruang Wilayah di daerahnya masing-masing;

    3. Pemerintah Daerah dan Masyarakat, sebagai acuan bersama dalampengendalian perijinan dan normalisasi pemanfaatan ruang pada kawasanrawan bencana longsor;

    4. Pemerintah Daerah dan Masyarakat, sebagai acuan bersama dalampengendalian pemanfaatan ruang, baik di kawasan lindung maupun budidaya.

    1.4 Sistematika Pedoman

    BAB 1 PANDAHULUANMemuat penjelasan tentang latar belakang penyusunan pedoman, tujuandan sasaran, manfaat pedoman, serta sistematika pedoman.

    BAB 2 KETENTUAN UMUMPembahasan mencakup pengertian umum yang digunakan dalampedoman, kedudukan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang dikawasan rawan bencana longsor, serta dasar hukum yang menjelaskanketerkaitan dengan kebijakan maupun pedoman yang ada.

    BAB 3 KONSEP PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASANRAWAN BENCANA LONGSORPenjelasan meliputi konsep pengendalian, pembagian ruang yang

    mempunyai potensi rawan bencana longsor dan banjir, kebijakan pokokpemanfaatan ruang, permasalahan pemanfaatan ruang dan pemanfaatanruang kawasan rawan bencana longsor.

    1 - 2

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    9/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    BAB 4 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN RAWANBENCANA LONGSORPada bagian ini dilakukan tinjauan terhadap karakteristik kawasan,tipologi kawasan, tingkat kerawanan kawasan rawan bencana longsor,

    pemanfaatan ruang menurut tipologi, mekanisme perijinan, kelembagaandan peran masyarakat, serta rekayasa teknik.

    1 - 3

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    10/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    BAB 2 KETENTUAN UMUM

    2.1 Pengertian

    Pengertian merupakan penjelasan beberapa istilah yang dipergunakan dalamPedoman Teknis, yaitu terdiri dari:1. Pedoman adalah acuan bersifat umum, yang harus dijabarkan lebih lanjut

    dan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan Daerahsetempat;

    2. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerahotonom yang lain, sebagai badan eksekutif daerah;

    3. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruangudara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnyahidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya;

    4. Tata Ruang adalah wujud dari struktur dan pola pemanfaatan ruang, baikdirencanakan maupun tidak direncanakan;

    5. Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatanruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;

    6. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan struktur dan polapemanfaatan ruang;

    7. Struktur Pemanfaatan Ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuklingkungan secara hirarkis dan saling berhubungan satu dengan lainnya;

    8. Pola Pemanfaatan Ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatantanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya;

    9. Wilayah adalah ruang sebagai kesatuan geografis beserta segenap unsurterkait di dalamnya, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspekadministratif dan atau aspek fungsional;

    10. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya;11. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

    melindungi kelestarian lingkungan hidup, yang mencakup sumber daya alamdan sumber daya buatan;

    12. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamauntuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,sumber daya manusia, dan sumber daya buatan;

    2 - 1

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    11/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    13. Zona adalah kawasan dengan peruntukan khusus yang memiliki potensi ataupermasalahan yang mendesak untuk ditangani dalam mewujudkan tujuanperencanaan dan pengembangan kawasan;

    14. Area adalah bagian (sub-sistem) dari kawasan fungsional;15. Tipologi Kawasan adalah penggolongan kawasan sesuai dengan karakter

    dan kualitas kawasan, lingkungan, pemanfaatan ruang, penyediaanprasarana dan sarana lingkungan, yang terdiri dari kawasan mantap,dinamis, dan peralihan;

    16. Bencana Alam adalah fenomena atau proses alamiah, yang seringdipengaruhi oleh aktivitas manusia, yang mengakibatkan terjadinya korban

    jiwa atau kerugian pada manusia;

    17. Kawasan Rawan Bencana Alam adalah kawasan yang sering atauberpotensi tinggi mengalami bencana alam;

    18. Gerakan Tanah adalah suatu proses perpindahan massa tanah/batuandengan arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula, karenapengaruh gravitasi, arus air dan beban luar. Dalam pengertian ini tidaktermasuk erosi, aliran lahar, amblesan, penurunan tanah karena konsolidasi,dan pengembangan;

    19. Longsoran adalah suatu proses perpindahan massa tanah/batuan denganarah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yangmantap, karena pengaruh gravitasi; dengan jenis gerakan berbentuk rotasidan translasi;

    20. Daerah Berpotensi Longsor adalah daerah dengan kondisi terrain dangeologi tidak menguntungkan, dan sangat peka terhadap gangguan luar,baik yang bersifat alami maupun aktivitas manusia sebagai faktor pemicugerakan tanah;

    21. Longsoran Setempat adalah longsoran lokal yang tidak mencakup daerahluas, dan umumnya sederhana;

    22. Satuan Wilayah Sungai (SWS) adalah kesatuan wilayah tata pengairansebagai pengembangan satu atau lebih daerah pengaliran sungai;

    23. Daerah Pengaliran Sungai (DPS) adalah kesatuan wilayah tata air yangterbentuk secara alamiah, dimana air meresap dan/atau mengalir kepermukaan tanah melalui sungai, anak sungai dalam wilayah tersebut;

    24. Sumber-sumber Air adalah tempat-tempat dan wadah-wadah tampunganair, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah;

    2 - 2

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    12/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    14. Pendayagunaan Sumber Daya Air adalah semua upaya untukmewujudkan kemanfaatan sumber daya air secara berdaya guna, berhasilguna, dan berkelanjutan, untuk kepentingan manusia dan mahluk hidup

    lainnya yang meliputi kegiatan peruntukan, pengembangan, pemanfaatandan pengusahaan dari air, sumber-sumber air dan prasarana pengairan;

    15. Pengelolaan Sumber Daya Air adalah semua upaya untuk merencanakan,melaksanakan, menyelenggarakan, mengendalikan, menggunakan,mengeksploitasi, memelihara, dan mengevaluasi penyelenggaraankonservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air, sertamewujudkan ketersediaannya di setiap waktu, pada lokasi yang diperlukan,dengan jumlah yang memadai, dengan mutu yang memenuhi syarat, danmemberikan manfaat pada masyarakat;

    16. Konservasi Sumber Daya Air adalah semua upaya untuk mengawetkan,melindungi, mengamankan, mempertahankan, melestarikan, danmengupayakan keberlanjutan keberadaan sumber daya air yang serasi,seimbang, selaras dan berguna sepanjang masa;

    17. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah angka perbandingan jumlahluas lantai dasar terhadap luas tanah perpetakan yang sesuai denganrencana kota;

    18.

    Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka perbandingan jumlahluas seluruh lantai terhadap luas tanah perpetakan yang sesuai denganrencana kota;

    19. Peran Serta Masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbulatas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminatdan bergerak dalam penyelenggaraan tata ruang;

    20. Ijin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perorangan atau BadanHukum/ Perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangkapenanaman modal, yang berlaku pula sebagai ijin pemindahan hak atastanah dan untuk menggunakan tanah sesuai dengan tata ruang wilayah;

    21. Prasarana dan Sarana adalah bangunan fisik yang terkait dengankepentingan umum dan keselamatan umum, seperti prasarana dan saranaperhubungan, prasarana dan sarana sumber daya air, prasarana dan saranapermukiman, serta prasarana dan sarana lainnya.

    22. Tingkat kerawanan adalah ukuran yang menunjukkan besarnyakemungkinan suatu kawasan dapat mengalami bencana longsor, sertabesarnya korban dan kerugian yang terjadi akibat bencana longsor tersebut.

    2 - 3

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    13/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    34. Tingkat Kerentanan adalah indikator tingkat kerawanan pada kawasanyang belum dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya, dengan hanyamempertimbangkan aspek kondisi alam, tanpa memperhitungkan besarnyakerugian yang diakibatkan.

    2.2 Kedudukan PedomanPedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsormerupakan :1. Penjabaran dari Undang-Undang No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan

    Ruang, yang menyatakan bahwa penataan ruang terdiri dari tiga tahapankegiatan, yaitu perencanaan, pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tataruang, serta pengendalian pemanfaatan ruang. Secara prinsip ketiga tahapan

    tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satudengan lainnya, mengingat selesainya satu kegiatan harus segera diikutidengan kegiatan berikutnya, atau seluruh tahapan kegiatan harusdilaksanakan secara bersama-sama (simultan), dengan tetap berpijak padasistem perencanaan terpadu.

    2. Penjabaran teknis (Petunjuk Teknis) terhadap pola pengelolaan kawasanlindung dan budidaya, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.47Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).

    Pada Gambar 2.1 disajikan Kedudukan Pedoman Pengendalian PemanfaatanRuang di Kawasan Rawan Bencana Longsor dalam Penataan Ruang.

    2.3 Dasar HukumPedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsordisusun berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, yaituterdiri dari:

    1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang;2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan

    Hidup;3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah;4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan

    antara Pemerintah Pusat dan Daerah;5. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak

    dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalamPenataan Ruang;

    6. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana TataRuang Wilayah Nasional (RTRWN);

    2 - 4

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    14/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    7. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 1993 Tentang Analisis MengenaiDampak Lingkungan;

    8. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 Tentang KewenanganPemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom;

    9. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan KawasanLindung;

    10. Permendagri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran SertaMasyarakat dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah.

    11. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 Lampiran Nomor1 tentang Petunjuk Perencanaan Penanggulangan Longsoran.

    Gambar 2.1

    Kedudukan Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan

    Rawan Bencana Longsor Dalam Penataan Ruang

    PP No.47 Tahun 1997

    Peraturan PemerintahTerkait

    Kepmen KimpraswilNo.327/KPTS/M/2002

    PedomanPenyusunan dan

    Peninjauan Kembali RTRWProvinsi Kabu aten Kota

    PedomanPengendalian PemanfaatanRuang di Kawasan Rawan

    Bencana Longsor

    Rencana Tata RuangWilayah (RTRW)

    Provinsi/Kabupaten/Kota

    Rencana Detail TataRuang (RDTR)

    Rencana TenisRuang (RTR)

    4 3 2 1

    1.11.2

    1.31.4

    Keppres No.32 Tahun 1990

    UNDANG-UNDANGNO.24 TAHUN 1992

    2 - 5

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    15/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    BAB 3 KONSEP PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANGKAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR

    3.1 Konsep Pengendalian

    Seperti halnya penanganan kawasan rawan banjir, dalam kaitannya dengan

    pengelolaan kawasan rawan banjir, terdapat 2 (dua) pendekatan pengendalian

    yang dilakukan, yaitu:

    1. Pengendalian Struktural (Pengendalian Terhadap Longsor)Pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis,terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulanganlongsor (salah satu literatur adalah Keputusan Menteri Pekerjaan UmumNomor 378/KPTS/1987 Lampiran Nomor 1 tentang Petunjuk PerencanaanPenanggulangan Longsoran);

    2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian Terhadap Pemanfaatan Ruang)Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat

    bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui

    pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan banjir, flood proofing,

    penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan,

    serta kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi)

    pemanfaatan lahan dalam rangka mempertahankan keseimbangan

    ekosistem.

    Pedoman yang disusun merupakan bentuk pengendalian pemanfaatan ruang

    kawasan rawan bencana banjir, yang perlu dilakukan sebagai suatu upaya untuk

    menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah

    ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah.

    3.2 Pembagian Ruang Yang Mempunyai Potensi Rawan BencanaLongsor dan Banjir

    Pada Gambar 3.1 disajikan konsep pembagian ruang untuk kawasan yangmempunyai potensi rawan bencana banjir dan longsor, yaitu:

    1. Kawasan Rawan Bencana LongsorMeliputi Kawasan Perbukitan yang berfungsi sebagati Kawasan Lindung;

    2. Kawasan Rawan Bencana Banjir

    3 - 1

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    16/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    Meliputi Kawasan Dataran dan Pesisir yang berfungsi sebagai KawasanBudidaya.

    Pegunungan/Perbukitan Dataran Tinggi Dataran Rendah

    Rawan Longsor Rawan Banjir

    Gambar 3.1Pembagian Ruang Kawasan Potensi Rawan Bencana Banjir dan Longsor

    Berdasarkan gambaran tersebut terlihat adanya keterkaitan antara polapenanganan kawasan rawan longsor dan rawan banjir, karena pola pengelolaankawasan rawan longsor di bagian hulu, mempunyai dampak besar terhadapkawasan rawan banjir yang ada di bagian hilir.

    3.3 Kebijakan Pokok Pemanfaatan Ruang

    Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa strukturdan pola pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Pola pemanfaatanruang disusun untuk mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruangbagi kegiatan budidaya dan non budidaya (lindung). Sedangkan struktur ruangdibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan pusat-pusat permukiman yangsecara hirarkis dan fungsional saling berhubungan.

    Pemanfaatan ruang diwujudkan melalui program pembangunan, dan polapemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana tata ruang akan menciptakan

    terwujudnya kelestarian lingkungan. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasanrawan bencana longsor dilakukan dengan mencermati konsistensi (kesesuaian dankeselarasan) antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang.

    3 - 2

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    17/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    Secara normatif dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 32 Tahun 1990

    tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, pasal 33 menyatakan bahwa kawasan

    rawan bencana, sebagai salah satu kawasan lindung, diidentifikasi sering

    berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempabumi, dan tanah longsor. Dengan demikian, pengelolaan kawasan rawan

    bencana longsor sama dengan pengelolaan kawasan lindung.

    Pada pasal 37 Keppres RI Nomor 32 Tahun 1990, pengendalian kawasan lindung,

    terutama dikaitkan dengan kawasan rawan longsor, meliputi:

    (1) Di dalam kawasan lindung dilarang dilakukan kegiatan budidaya, kecuali yangtidak mengganggu fungsi lindung;

    (2) Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyaidampak penting terhadap lingkungan hidup, dikenakan ketentuan-ketentuanyang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29

    Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

    (3) Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budi dayamengganggu fungsi lindung, harus dicegah perkembangannya, dan fungsi

    sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap.

    Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor harus

    memperhatikan prinsip perlindungan terhadap keseimbangan ekosistem

    dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat, yang penerapannya

    harus dilakukan secara seimbang atau harmonis.

    Sehubungan dengan kedudukannya sebagai bagian dari rencana tata ruang, maka

    konsep dasar pengelolaan kawasan rawan bencana longsor mengacu pada :

    1. Kawasan rawan bencana longsor yang mutlak harus dilindungi, kebijakanharus secara ketat mempertahankan fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan

    lindung;

    2. Kawasan rawan bencana longsor yang tidak mengganggu fungsi lindung danmasih dapat dibudidayakan dengan kriteria dan persyaratan tertentu,

    kebijakan harus memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan

    kawasan tersebut untuk kegiatan budidaya, dengan tetap memperhatikan

    ketentuan-ketentuan yang berlaku dan tetap mempertahankan kawasan

    tersebut sebagai kawasan yang mempunyai fungsi lindung.

    3 - 3

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    18/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    3.4 Permasalahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan BencanaLongsor

    Permasalahan banjir dan longsor yang terjadi selama ini, sangat terkait denganadanya fenomena alam dan perilaku manusia dalam penyelenggaraan/

    pengelolaan alam. Konsep dasar yang harus dipahami dalam penyelenggaraan/

    pengelolaan longsor adalah:

    1. Perlu adanya pemahaman dasar terkait dengan pengertian dan ruanglingkup keseimbangan ekosistem, yang mempunyai limitasi pemanfaatan;

    2. Diperlukan pola pengelolaan ruang kawasan rawan bencana longsor,sebagai langkah nyata dalam mendukung upaya pengendalian;

    3. Terjadinya penyimpangan terhadap konsistensi, terkait dengan kesesuaiandan keselarasan, antara rencana tata ruang dengan pemanfaatannya, baikpada kawasan hulu maupun hilir.

    3.5 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor

    Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung sangat mendukung pemanfaatan ruang

    di kawasan rawan bencana longsor. Bentuk pengendalian pemanfaatan ruang,

    baik pada bagian kawasan hulu maupun hilir, harus bersinergi satu sama lain,

    sebagai kesatuan paket kebijakan.

    Tujuan kebijakan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor adalah:

    1. Pengendalian ruang untuk pemanfaatan, yang sangat terkait dengan polapengelolaan kawasan di sebelah hulu.

    2. Meminimumkan korban jiwa dan harta benda, apabila terjadi bencanalongsor.

    Sedangkan sasaran yang diharapkan adalah tersedianya acuan bagi pemerintah

    daerah dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan yang mempunyaipotensi atau rawan terhadap longsor.

    Ketidaksesuaian antara RTRW dan pembangunan (pemanfaatan ruang),mempunyai kontribusi tinggi sebagai pemicu terjadinya longsor di suatu kawasan.Disamping itu ketetapan kawasan rawan bencana longsor sebagai kawasanlindung, tidak sepenuhnya dapat diterapkan di lapangan, mengingat adanyabeberapa wilayah yang memanfaatkannya sebagai kawasan budi daya, sehinggaterjadi ketidaksesuaian dalam pemanfaatan.

    Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor,diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

    3 - 4

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    19/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    (1) Penetapan tipologi kawasan;(2) Penetapan zona tingkat kerawanan kawasan pada setiap tipologi;(3) Mekanisme perijinan;(4) Sosialisasi;(5) Insentif dan Disinsentif;(6) Penyusunan aspek pendukung untuk mengoptimalkan pengendalian

    pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor.

    3 - 5

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    20/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    BAB 4 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANGKAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR

    4.1 Karakteristik Kawasan Rawan Bencana Longsor

    Pada umumnya kawasan rawan longsor merupakan kawasan :1. Dengan ingkat curah hujan rata-rata yang tinggi, atau2. Kawasan rawan gempa, serta dicirikan dengan kondisi kemiringan lereng lebih

    curam dari 20o.

    Dalam kawasan ini sering dijumpai alur-alur dan mata air, yang pada umumnya

    berada di lembah-lembah dekat sungai. Kawasan dengan kondisi seperti di atas,pada umumnya merupakan kawasan yang subur, sehingga banyak dimanfaatkanuntuk kawasan budidaya, terutama pertanian dan permukiman. Kurangnyapemahaman dan kesadaran masyarakat terkait dengan tingkat kerentanankawasan terhadap longsoran, mengakibatkan masyarakat kurang siap dalammengantisipasi bencana, sehingga dampak yang ditimbulkan apabila terjadibencana longsor, akan menjadi lebih besar.

    Disamping kawasan dengan karakteristik tersebut di atas, beberapa kawasan yangdikatagorikan sebagai kawasan rawan longsor, meliputi:

    Lereng-lereng pada Kelokan Sungai, akibat proses erosi atau penggerusanoleh aliran sungai pada bagian kaki lereng.

    Daerah Tekuk Lereng, yaitu peralihan antara lereng curam ke lereng landai,yang ada permukimaannya, karena berdasarkan penelitian pada kondisihidrologi lereng, (Karnawati, 2000) menjelaskan bahwa daerah tekuk lerengcenderung menjadi zona akumulasi air yang meresap dari bagian lereng yanglebih curam. Akibatnya daerah tekuk lereng sangat sensitif mengalamipeningkatan tekanan air pori, yang akhirnya melemahkan ikatan antar butir-butir partikel tanah dan memicu terjadinya longsoran.

    Daerah yang dilalui Struktur Patahan (Sesar), yang menjadi kawasanpermukiman. Daerah ini dicirikan oleh adanya lembah/sungai dengan lerengcuram (> 40o) dan dan tersusun oleh batuan yang terkekarkan (retak-retak)secara intensif atau rapat, serta ditandai dengan munculnya beberapa mata airpada sungai/lembah tersebut. Retakan-retakan batuan tersebut dapatmengakibatkan lereng mudah terganggu kestabilannya, sehingga dapat terjadi

    jatuhan atau luncuran batuan apabila air meresap dalam retakan saat hujan,atau apabila terjadi getaran pada lereng.

    4 - 1

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    21/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    4.2 Klasifikasi dan Faktor Penyebab Bencana Longsor

    Penjelasan klasifikasi dan faktor penyebab bencana longsor, disajikan secara rincipada Lampiran L.1.

    4.3 Tipologi Kawasan

    Tipologi kawasan rawan bencana longsor, diklasifikasikan menjadi:

    (1) Tipologi ADaerah lereng bukit/perbukitan, atau lereng gunung/pegunungan.

    Kawasan rawan di daerah ini dicirikan oleh beberapa karakteristik berikut :

    1.a. Faktor Kondisi Alam

    1. Lereng relatif cembung dengan kemiringan lebih curam dari 20 (40%).2. Kondisi tanah / batuan penyusun lereng :

    a. Lereng tersusun oleh tanah penutup tebal (> 2 m), bersifat gembur danmudah lolos air, misalnya tanah-tanah residual, yang umumnyamenumpang di atas batuan dasamya (misal andesit, 'breksi andesit, tur,

    napal, dan batulempung) yang lebih kompak (padat) dan kedap air.b. Lereng tersusun oleh tanah penutup tebal (> 2m), bersifat gembur dan

    mudah lolos air, misalnya tanah-tanah residual atau tanah kolovial, yang didalamnya terdapat bidang kontras antara tanah dengan kepadatan lebihrendah dan permeabilitas lebih tinggi yang menumpang di atas tanahdengan kepadatan lebih tinggi dan permeeabilitas lebih rendah.

    c. Lereng yang tersusun oleh batuan dengan bidang diskontinuitas ataustruktur retakan / kekar pada batuan tersebut.

    d. Lereng yang tersusun pleh perlapisan batuan miring ke arah luar lereng(perlapisan batuan miring searah kemiringan lereng), misainya perlapisan

    batulempung, batulanau, serpih, napal dan tuf.

    3. Curah Hujana. Curah hujan yang tinggi (dapat mencapai 100 mm/hari atau 70 mm per

    jam) dengan curah hujan tahunan lehih dari 2500 mm.b. Curah hujan kurang dari 70 mm/ jam, tetapi berlangsung menerus selama

    lebih dari dua jam, hingga beberapa hari.

    4. Keairan lereng.Sering muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng, terutamapada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang lebihpermeabel.

    4 - 2

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    22/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    5. Kegempaan.Lereng pada daerah rawan gempa sering pula rawan terhadap gerakan tanah.

    1.b. Faktor Aktivitas Manusia

    1. Lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat, misalnya ditanamitanaman berakar serabut, dimanfaatkan sebagai sawah./ ladang dan hutanpinus.

    2. Dilakukan penggalian/ pemotqngan lereng, misal untuk jalan atau bangunandan penambangan, tanpa memperhatikan struktur perlapisan tanah / batuanpada lereng dan tanpa perhitungan analisis kestabilan lereng.

    3. Dilakukan pencetakan kolam yang dapat mengakibatkan merembesnya airkolam ke dalam lereng.

    4. Sistem drainase tidak memadai.5. Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang terlalu besar.

    1.c. Jenis Gerakan Tanah (Longsor), yang dapat terjadi:

    1. Jatuhan yaitu jatuhan batuan, robohan batuan, dan rebahan batuan.2. Kuncuran baik berupa luncuran batuan, luncuran tanah, dan bahan rombakan

    dengan bidang gelincir untuk lurus, melengkung atau tidak beraturan.3.Aliran misalnya aliran tanah, aliran batuan dan aliran bahan rombakan batuan.4. Kombinasi antara dua atau beberapa jenis gerakan tanah.5. Dengan gerakan relatif cepat (Iebih .dari 2 m per hari hingga dapat mencapai

    25 m per menit).

    (2) Tipologi BDaerah kaki bukit/perbukitan, atau kaki gunung/pegunungan.

    Kawasan rawan di daerah ini dicirikan oleh beberapa karakteristik berikut :

    2.a. Faktor Kondisi Alam

    1. Lereng relatif landai dengan kemiringan sekitar 10 (20%) hingga 20 (40%).2. Kondisi tanah / batuan penyusun Iereng : umumnya merupakan lereng yang

    tersusun oteh tanah lempung yang mudah mengembang apabila jenuh air(jenis montmorillonite).

    3. Curah hujan mencapai 70 mrn/jam atau 100 mmlhari. Curah hujan tahunanmencapai lebih dari 2500 mm, atau kawasan rawan gempa

    4. Keairan lereng.Sering muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng, terutama

    pada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang lebihpermeable.

    4 - 3

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    23/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    2.b. Faktor Aktivitas Manusia

    1. Dilakukan pencetakan kolam yang dapat mengakibatkan merembesnya airkolam ke dalam lereng.

    2. Sistem drainase tidak memadai.3. Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang melampaui daya

    dukung tanah.

    2.c. Jenis Gerakan Tanah (Longsor)

    1. Jenis gerakan tanah yapg terjadipada kawasan ini umumnya berupa rayapantanah yang mengakibatkan retakan dan amblesan tanah.'

    2. Kecepatan gerakan lat;nbat hlngga .menengah (kecepatannya kurang dari 2 mper hari).

    (3) Tipologi CDaerah tebing/lembah sungai.

    Kawasan rawan di daerah tebing sungai, dicirikan oleh beberapa karakteristikberikut :

    3.a. Faktor Kondisi Alam

    1. Daerah belokan sungai (meandering) dengan kemiringan tebing sungai lebihdari 10 (40%).

    2. Lereng tebing sungai tersusun oleh tBnah residual. tanah kolovial atau batuansedimcn hasil endapan sungai dengan ketebalan lebih dari 2 m.

    3. Curab hujar'l mencapai 70 mm/jam atau 100 mm/ hari Curah hujan tahunanmencapai lebih dari 2500 mm. sehingga debit sungai dapat meningkat danmengerosi kaki tebing sungai.

    4. Keairan lereng.Sering muncul rembesan-rembesa air atau mata air pada lereng, tertitamapada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang lebihpermeable.

    5. Kegempaan.Lereng pad a daerah raw an gempa sering pula rawan terhadap gerakantanah.

    3.b. Faktor Aktifitas Manusia

    1. Lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat, misalnya ditanamitanaman berakar serabut, dimanfaatkan sebagai sawah/ ladang dan hutan

    pinus.

    4 - 4

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    24/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    2. Dilakukan penggalian / pemotongan lereng, msal untuk jalan atau bangunandan penambangan tanpa memperhatikan struktur perlapisan tanah batuanpada lereng dan tanpa perhitungan analisis kestabilan lereng.

    3. Dilakukan pencetakan kolam yang dapat mengakibatkan merembesnya airkolam ke dalam lereng.

    4. Sistem drainase tidak memadai.5. dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang terlalu besar.

    3.c. Jenis Gerakan Tanah (Longsor)

    1. Jatuhan yaitu jatuhan batuan, robohan batuan, dan rebahan batuan.2. Luncuran baik berupa Iuncuran batuan, luncuran tanah, luncuran bahan

    rombakan dengan bidang gelincir berbentuk Iurus, melengkung atau tidakberaturan dengan gerakan rclatif cepat (lehih dari 2 m per hari hingga dapat

    mencapai 25 m per menit).

    4.4 Tingkat Kerawanan Kawasan Rawan Bencana Longsor

    Tingkat kerawanan ditetapkan berdasarkan kajian atau evaluasi terhadap :

    kondisi alam (dalam hal ini kemiringan lereng, lapisan tanah/batuan, strukturgeologi, curah hujan, dan geohidrologi lereng),

    pemanfaatan lereng, kepadatan penduduk dalam suatu kawasan, serta

    kesiapan penduduk dalam mengantisipasi bencana longsor.Pedoman ini disusun secara khusus untuk kawasan rawan bencana longsor, yaitumencakup kawasan yang rentan mengalami gerakan tanah, tetapi masihdimanfaatkan untuk kegiatan atau kepentingan manusia, yang tingkatkewaspadaan dan kesiapan untuk mengantisipasi terjadinya bencana longsor,masih relatif rendah.

    Variasi tingkat kerawanan suatu kawasan rawan bencana longsor, dibedakanmenjadi:

    (1) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan TinggiMerupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakantanah dan cukup padat pemukimannya, atau terdapat konstruksi bangunansangat mahal atau penting. Kawasan ini sering mengalami gerakan tanah(longsoran), terutama pada musim hujan atau saat gempa bumi terjadi.

    (2) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan MenengahMerupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan

    tanah, namun tidak ada permukiman serta konstruksi bangunan yangterancam relatif tidak mahal dan tidak penting.

    4 - 5

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    25/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    (3) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan RendahMerupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakantanah, namun tidak ada resiko terjadinya korban jiwa terhadap manusiaataupun resiko terhadap bangunan. Kawasan yang kurang berpotensi untukmengalami longsoran, namun di dalamnya terdapat permukiman atau

    konstruksi penting/mahal, juga dikatagorikan sebagai kawasan dengantingkat kerawanan rendah.

    Sesuai dengan tipologi dan tingkat kerawanannya, lebih lanjut kawasan rawanbencana longsor dapat dibedakan menjadi:(1) Tipologi A

    a. Tingkat Kerawanan Tinggib. Tingkat Kerawanan Menengahc. Tingkat Kerawanan Rendah

    (2) Tipologi Ba. Tingkat Kerawanan Tinggib. Tingkat Kerawanan Menengahc. Tingkat Kerawanan Rendah

    (3) Tipologi Ca. Tingkat Kerawanan Tinggib. Tingkat Kerawanan Menengahc. Tingkat Kerawanan Rendah.

    4.5 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana LongsorMenurut Tipologi

    Pemanfaatan ruang untuk tiap tipologi kawasan rawan bencana longsor,ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik tiap tipologi dan tingkatkerawanan terhadap bencana longsor.Secara garis besar, rekomendasi pemanfaatan ruang dapat disimpulkan sebagaiberikut.

    Tabel 4.1Arahan Pemanfaatan Ruang

    No Tingkat Kerawanan Arahan

    1. Tingkat Kerawanan Tinggi Untuk Kawasan Lindung(tidak layak dibangun)sehingga MUTLAK DILINDUNGI

    2. Tingkat Kerawanan Menengah Dapat dibangun/dikembangkan

    bersyarat

    3. Tingkat Kerawanan Rendah Dapat dibangun/dikembangkandengan sederhana

    4 - 6

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    26/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    4 - 7

    Arahan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsormenurut tipologi, disajikan pada Tabel 4.2 - 4.4.

    4.5.1 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan RawanBencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Tinggi

    Pemanfaatan kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan tinggilebih diarahkan dengan pendekatan konsep penyesuaian lingkungan, yaitu upayauntuk mengalah atau menyesuaikan dengan kondisi alam, dengan lebihmenekankan pada upaya rekayasa kondisi alam yang ada.

    Untuk kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan tinggi,pemanfaatan ruang diutamakan sebagai Kawasan Lindung (Tidak Layak

    Dibangun), sehingga mutlak dilindungi (Tipologi A). Sedangkan untuk Tipologi Bdan C dengan tingkat kerawanan tinggi, dapat dimanfaatkan sebagai KawasanPertanian dan Pariwisata Terbatas, dengan mempertimbangkan beberapa halsebagai berikut:

    (1) Perlindungan Sistem Hidrologi KawasanUpaya ini bertujuan untuk menghindari terjadinya resapan air hujan yangmasuk dan terkumpul pada lereng yang rawan longsor, dan sekaligusmerupakan upaya terpadu dengan pengendalian banjir.Pelaksanaan perlindungan sistem hidrologi kawasan dilakukan melalui upaya

    penanaman kembali lereng yang gundul dengan jenis tanamanyang tepat pada daerah hulu atau daerah resapan.Penanaman vegetasi yang tepat sangat penting dalam mengendalikan laju airyang mengalir ke arah hilir, atau kearah lereng bawah.

    (2) Menghindari Penebangan Pohon Secara SembaranganPohon-pohon asli (native) dan pohon-pohon yang berakar tunggang,diupayakan untuk dipertahankan pada lereng, guna memperkuat ikatan antarbutir tanah pada lereng, dan sekaligus menjaga keseimbangan sistemhidrologi kawasan.

    (3) Menghindari Pembebanan Terlalu Berlebihan Pada LerengPembebanan pada lereng yang lebih curam dari 40o (kemiringan lereng>80%), dapat meningkatkan gaya penggerak pada lereng, sedangkan padalereng yang lebih landai dari 40o (40o atau >80%), khususnya padatikungan sungai, serta alur sungai yang kering di daerah pegunungan.

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    27/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    28/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    29/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    30/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    31/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    32/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    33/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    34/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    35/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    36/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    (4) Menghindari Penggalian dan Pemotongan LerengPenggalian dan pemotongan lereng pada kawasan rawan bencana longsordengan tingkat kerawanan tinggi harus dihindari, karena dapat berakibat : Mengurangi gaya penahan gerakan tanah dari arah lateral; Menimbulkan getaran-getaran pada saat pelaksanaan, yang dapat

    melemahkan ikatan antar butir tanah pada lereng; Meningkatkan gaya gerak pada lereng karena lereng terpotong semakin

    curam.

    4.5.2 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan RawanBencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Menengah

    Ruang kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan menengah

    tidak layak dimanfaatkan untuk industri (pabrik), namum dapat dimanfaatkanbersyarat untuk beberapa kawasan budidaya.

    (1) Industri/PabrikTidak layak dibangun.

    (2) Permukiman, Transportasi dan PariwisataDapat dibangun dengan beberapa persyaratan sebagai berikut:a. Tidak mengganggu kestabilan lereng dan lingkungan.b. Perlu dilakukan penyelidikan geologi teknik, analisis kestabilan lereng, dan

    daya dukung tanah.c. Perlu diterapkan sistem drainase yang tepat pada lereng, untukmeminimalkan penjenuhan pada lereng.

    d. Perlu diterapkan sistem perkuatan lereng untuk menambah gaya penahangerakan tanah pada lereng.

    e. Meminimalkan pembebanan pada lereng, melalui penetapan jenisbangunan dan kegiatan yang dilakukan.

    f. Memperkecil kemiringan lereng.g. Transportasi direncanakan dengan mengikuti pola kontur lereng.h. Mengupas material gembur (yang tidak stabil) pada lerengi. Mengosongkan Lereng dari Kegiatan Manusia

    (3) Pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, hutan kota/rakyat/produksiDapat dimanfaatkan atau dibudidayakan dengan syarat sebagai berikut:a. Penanaman vegetasi dengan jenis dan pola tanam yang tepat.b. Perlu diterapkan sistem terasering dan drainase yang tepat pada lereng.c. Prasarana dan sarana transportasi direncanakan untuk kendaraan roda 4

    ringan hingga sedang.d. Kegiatan peternakan dengan sistem kandang, untuk menghindari

    terjadinya kerusakan lereng.

    e. Menghindari pemotongan dan penggalian lereng.f. Mengosongkan lereng dari kegiatan manusia.

    4 - 17

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    37/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    (4) PertambanganDapat dimanfaatkan dengan syarat meliputi:a. Memperhatikan kestabilan lereng dan lingkunganb. Didukung dengan upaya reklamasi lereng

    4.5.3 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan RawanBencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Rendah

    Secara umum pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor dengantingkat kerawanan rendah tidak layakuntuk industri, namun dapat dimanfaatkanuntuk permukiman, transportasi, pertanian, pertambangan dan kegiatan budidayalainnya, dengan syarat-syarat seperti telah diuraikan pada sub bab 4.5.2, yaitu

    untuk kawasan dengan tingkat kerawanan menengah.

    4.6 Mekanisme Perijinan

    4.6.1 Umum

    (1) Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan UntukKepentingan Umum

    Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang PengadaanTanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, terdapatbeberapa ketentuan penting menyangkut:

    1. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengancara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut;

    2. Penglepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskanhubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yangdikuasainya, dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah;

    3. Kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat;4. Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap

    saling menerima pendapat dan keinginan, yang didasarkan atas kesukarelaanantara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah,untuk memperolah kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya gantikerugian;

    5. Ganti kerugian adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanahdan atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibatpenglepasan atau penyerahan hak atas tanah.

    (2) Ijin Bangunan2.a. Ijin Mendirikan Bangunan

    a) Permohonan Ijin Bangunan (IMB)4 - 18

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    38/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    a. Permohonan ijin dapat diajukan oleh perorangan, badan hukum,yayasan, dan lain-lain, baik sendiri-sendiri maupun melalui kuasa yangsah.

    b. Permohonan ijin dilakukan secara tertulis, dengan mengisi formulir yangdisediakan di bagian pelayanan (IMB).

    c. Permohonan ijin untuk rumah tinggal perorangan, wajib dilampiridengan : Fotocopy KTP pemohon; Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah; Gambar Rencana Bangunan; Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir; Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.

    d. Permohonan ijin untuk perumahan, perdagangan dan lain-lain dilampiridengan: Fotocopy KTP pemaohon; Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah; Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir; Surat pernyataan ijin tetangga untuk bangunan dua lantai ke atas; Ijin lokasi dan site plan; Upaya pengelolaan lingkungan (AMDAL, UPL, UKL, SPPL, PIL Banjir); Memperhatikan substansi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999

    Tentang Jasa Konstruksi; Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.e. Permohonan ijin yang lengkap persyaratannya selanjutnya diproses olah

    dinas teknik, sedangkan permohonan yang kurang lengkapdikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi.

    b) Putusan Permohonan Ijin Mendirikan Bangunana. Dinas Teknik terkait mengambil keputusan terhadap permohonan ijin

    dalam waktu 14 hari kerja, setelah permohonan diterima lengkap, dandapat diperpanjang selama 2 x 14 hari kerja;

    b. Pemohon membayar retribusi yang besarnya sesuai dengan ketentuanyang berlaku;

    c. Ijin dapat diambil oleh pemohon dengan menunjukkan telah lunasmembayar retribusi.

    c) Penolakan Ijin Mendirikan Bangunana. Penolakan ijin harus disertai dengan alasan-alasan mengenai penolakan

    tersebut;b. Permohonan ijin ditolak apabila:

    4 - 19

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    39/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    Bertentangan dengan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota;

    Bertentangan dengan rencana dan atau perkembangan/perluasankota.

    d) Pencabutan Ijin Mendirikan BangunanBupati/Walikota dapat mencabut ijin yang telah diberikan, apabila:a. Pemegang ijin menjadi tidak berkepentingan lagi;b. Dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah ijin diberikan, belum

    melakukan permulaan pekerjaan;c. Pekerjaan telah dihentikan selama 3 (tiga) bulan dan ternyata tidak

    dilanjutkan;d. Ijin yang telah diberikan ternyata berdasarkan data-data yang tidak

    benar;

    e. Pelaksanaan pembangunan menyimpang dari rencana yang telahdisahkan.

    2.b. Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) atau Ijin Layak Huni (ILH)

    a) Permohonan Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) atau Ijin LayakHuni (ILH)

    a. Permohonan ijin dapat diajukan oleh perorangan, badan hukum,yayasan dan lain-lainnya, baik sendiri-sendiri maupun melalui kuasayang sah.

    b. Permohonan ijin dilakukan secara tertulis, dengan mengisi formulir yangdisediakan di bagian pelayanan (IPB/ILH).

    c. Permohonan ijin untuk rumah tinggal perorangan, wajib dilampiridengan : Fotocopy KTP pemohon; Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah; Gambar Rencana Bangunan; Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir; Fotocopy IMP; Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.

    d. Permohonan ijin untuk perumahan, perdagangan dan lain-lain dilampiridengan: Fotocopy KTP pemaohon; Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah; Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir; Surat pernyataan ijin tetangga untuk bangunan dua lantai ke atas; Ijin lokasi dan site plan; Upaya pengelolaan lingkungan (AMDAL, UPL, UKL, SPPL, PIL Banjir); Fotocopy IMB; Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.

    4 - 20

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    40/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    4 - 21

    e. Permohonan ijin yang lengkap persyaratannya selanjutnya diproses olah

    dinas teknik, sedangkan permohonan yang kurang lengkapdikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi.

    b) Putusan Permohonan Ijin Penggunaan Bangunan atau Ijin LayakHuni

    a. Dinas Teknik terkait mengambil keputusan terhadap permohonan IPBatau ILH dalam waktu 14 hari kerja, setelah permohonan diterimalengkap, dan dapat diperpanjang selama 2 x 14 hari kerja;

    b. Putusan IPB atau ILH dapat diambil oleh pemohon.

    c) Penolakan Ijin Penggunaan Bangunan atau Ijin Layak Hunia. Penolakan IPB atau ILH harus disertai dengan alasan-alasan mengenai

    penolakan tersebut;b. Permohonan IPB atau ILH ditolak apabila:c. Bertentangan dengan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi/

    Kabupaten/Kota;d. Bertentangan dengan rencana dan atau perkembangan/perluasan kota.

    Pada Gambar 4.1 disajikan skema prosedur ijin lokasi, sedangkan pada Gambar4.2 ditampilkan diagram prosedur umum pengurusan IMB di Kabupaten/Kota.

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    41/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    42/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    43/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    4 - 24

    4.6.2 Berdasarkan Tipologi

    Penjelasan mekanisme perijinan berdasarkan tipologi kawasan rawan bencanalongsor, secara umum sesuai dengan mekanisme umum yang ada. Faktor yang

    membedakan adalah terkait dengan beberapa persyaratan teknis yang harusdipenuhi. Pada Tabel 4.5 - 4.7 disajikan arahan mekanisme perijinan menuruttipologi.

    (1) Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan RuangKawasan Rawan Bencana Longsor Dengan Tingkat KerawananTinggi

    Arahan mekanisme perijinan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencanalongsor dengan tingkat kerawanan tinggi, tetap berpegang pada konsep

    penyesuaian lingkungan, yaitu upaya untuk mengalah atau menyesuaian dengankondisi alam, dengan terlebih dahulu menekankan pada upaya rekayasa kondisialam yang ada. Sesuai dengan rekomendasi yang diberikan, yaitu diutamakansebagai kawasan lindung (Tidak Layak Dibangun), maka secara prinsip TidakDiijinkan untuk memanfaatkan kawasan ini.

    Secara rinci prioritas pemanfaatan lahan pada kawasan rawan bencana longsordengan tingkat kerawanan tinggi, meliputi:

    Tipologi A : diutamakan untuk kawasan hutan lindung

    Tipologi B : diutamakan untuk kawasan pertanian Tipologi C : diutamakan untuk kawasan hutan lindung danKawasan pertanian terbatas.

    Dalam rangka mendukung pelaksanaan perijinan, perlu dilakukan beberapa halterkait, yaitu:1. Pengupayakan pengawasan ketat terhadap aktivitas yang dilakukan di kawasan

    rawan bencana dengan tingkat kerawanan tinggi/sangat tinggi.2. Melakukan monitoring di lapangan, terkait dengan pemanfaatan ruang di

    kawasan tersebut.3. Melakukan updating data dan perhitungan kembali (review) terhadap analisis

    yang dilakukan, dengan skala kawasan yang lebih detail atau setempat, yangditunjang dengan pelaksanaan penyelidikan lapangan secara periodik.

    4. Menindak tegas terhadap semua pelanggaran yang terjadi, dengan sisteminsentif dan disinsentif.

    (2) Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan RuangKawasan Rawan Bencana Longsor Dengan Tingkat KerawananMenengah

    Mengingat kawasan ini tidak diijinkan dimanfaatkan untuk industri (pabrik),namun dapat dimanfaatkan secara bersyarat untuk permukiman, transportasi,pertanian dan pertambangan.

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    44/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    45/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    46/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    47/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    48/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    49/93

    Pedoman Pengendalian Pem

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    50/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    2.a. Industri/PabrikTidak diijinkan.

    2.b. Permukiman, Pariwisata dan TransportasiMekanisme perijinan dilakukan sesuai dengan mekanisme standar perijinan

    umum untuk pengadaan tanah dan bangunan. Mendukung rekomendasipemanfaatan ruang yang telah ditetapkan sebelumnya, maka arahan untukmekanisme perijinan adalah sesuai dengan ketentuan berikut:

    a. Memenuhi persyaratan sesuai dengan mekanisme perijinan umum, yangdapat dilihat pada sub bab sebelumnya.

    b. Dilengkapi dengan Laporan yang memuat penjelasan rinci, sehubungandengan hasil dan rekomendasi teknis untuk : Penyelidikan geologi teknik Analisis Kestabilan Lereng Analisis Daya Dukung Tanah/Lereng Untuk kondisi tertentu perlu dilengkapi dengan AMDAL

    c. Dilengkapi dengan gambar dan rencana: Perkuatan lereng dalam rangka penanggulangan longsoran Gambar rencana bangunan < 2 lantai (khusus untuk permukiman,

    dalam rangka meminimalkan pembebanan pada lereng Gambar rencana lintasan (alinemen) jalan, sesuai dengan kontur

    lahan

    Sistem drainase lahan sebagai bagian dari satu kesatuan sistemdrainase yang lebih besar.

    2.c. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, Hutan Kota/Hutan Rakyat/Hutan ProduksiSehubungan dengan rekomendasi untuk pertanian, mekanisme perijinanyang terkait meliputi:a. Memenuhi persyaratan sesuai dengan mekanisme perijinan umum, yang

    dapat dilihat pada sub bab sebelumnya.

    b. Dilengkapi dengan Laporan yang memuat penjelasan rinci, sehubungandengan hasil dan rekomendasi teknis untuk: Jenis tanaman yang akan dibudidayakan Pola tanam Gambar rencana pembuatan terasering Sistem drainase lahan sesuai dengan kontur lahan, sebagai bagian

    dari satu kesatuan sistem drainase yang lebih besar.

    2.d. PertambanganPersyaratan pendukung untuk mekanisme perijinan pemanfaatan kawasanrawan bencana longsor untuk pertambangan, meliputi:

    a. Memenuhi persyaratan sesuai dengan mekanisme perijinan umum, yangdapat dilihat pada sub bab sebelumnya.

    4 - 31

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    51/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    b. Dilengkapi dengan Laporan yang memuat penjelasan rinci, sehubungandengan hasil dan rekomendasi teknis untuk : Penyelidikan geologi teknik Analisis Kestabilan Lereng Analisis Daya Dukung Tanah/Lereng.

    c. Dilengkapi dengan gambar dan rencana rinci, terkait dengan Rencana reklamasi lahan Estimasi volume galian dan timbunan penambangan Rencana penanggulangan longsor atau perkuatan lereng

    (3) Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan RuangKawasan Rawan Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan

    Rendah

    Secara umum mekanisme perijinan pemanfaatan ruang/pengelolaan di kawasanrawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan rendah, sesuai dengan uraianyang dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, yaitu untuk kawasan dengantingkat kerawanan menengah.

    4.7 Kelembagaan dan Peran Masyarakat

    Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor,dilaksanakan dengan tujuan untuk meminimalkan dampak bencana longsor.Dalam rangka mendukung hal tersebut perlu dilakukan upaya untuk memperkuatkelembagaan di masing-masing tingkat pemerintahan dalam lingkup kawasan,baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, serta mengoptimalkan peranserta masyarakat.

    4.7.1 Pemerintah

    Penguatan kelembagaan diwujudkan melalui pembentukan visi dan misi, sertatugas pokok, lengkap dengan rincian tugas dan tanggung jawab lembaga di dalampengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor, baik padaaspek pengawasan maupun penertiban.

    Mengingat dalam aspek penertiban harus melibatkan multi instansi yang ada,maka penguatan kelembagaan dilakukan dengan meningkatkan kemampuanlembaga melakukan koordinasi (sinergi) dengan lembaga lain, baik intern maupunekstern. Dalam kegiatan penertiban pemanfaatan ruang yang telah menyimpangdari rencana tata ruang, maka lembaga terkait yang berwenang harus melakukan

    operasi yang multikompleks secara terkoordinasi.

    4 - 32

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    52/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    Dalam aspek pengawasan, penguatan kelembagaan dilakukan melalui pemberiantugas dan tanggung jawab yang jelas, mulai dari monitoring, pemantauan, danpembuatan laporan yang rutin, menerus, dan berkelanjutan.

    Oleh karena kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, di dalamnya termasukuntuk kawasan rawan bencana longsor, merupakan kegiatan rutin yang sangatpenting untuk dilaksanakan, maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlumengalokasikan dana rutin. Pemenuhan biaya dalam rangka pengendalianpemanfaatan ruang pada dasarnya tidak menyalahi aturan manapun, bahkanmerupakan penunjang terhadap kegiatan yang tercantum dalam Undang-Undang(UU) No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

    Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikaji kembali tugas pokok fungsi(Tupoksi) lembaga pengelola penataan ruang, kemudian diangkat dan diperjelas

    tugasnya berkaitan dengan kondisi lapangan di wilayah masing-masing.Peningkatan kemampuan sumber daya manusia selaku pelaksana pengendalianpemanfaatan ruang perlu terus ditingkatkan, mengingat permasalahanpemanfaatan ruang semakin kompleks dan sulit diatasi, sehingga dapat diperolehhasil yang optimal.

    4.7.2 Peran Serta Masyarakat

    Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahung 1992 Tentang Penataan Ruang

    mengamanatkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan olehpemerintah dengan peran serta masyarakat, seperti masyarakat hukum adat,masyarakat ulama, masyarakat intelektual.

    Dalam penyelenggaraan penataan ruang, pelaksanaan hak dan kewajiban, sertaperan serta masyarakat sangat diperlukan untuk memperbaiki mutu perencanaan,membantu terwujudnya pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruangyang telah ditetapkan, serta mentaati keputusan-keputusan dalam rangkapenertiban pemanfaatan ruang.

    Hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang, adalah terdiri daribeberapa aspek sebagai berikut.

    (1) Hak Masyarakat dalam Penataan Ruanga. Berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan

    ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang;b. Mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah (RTRW),

    rencana tata ruang kawasan (RTRK), melalui pelaksanaan lokakarya dansarasehan;

    c. Menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagaiakibat dari penataan ruang;

    4 - 33

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    53/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    d. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminyasebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai denganrencana tata ruang.

    (2) Kewajiban Masyarakat dalam Penataan Ruanga. Menjaga, memelihara dan meningkatkan kualitas ruang lebih ditekankan

    pada keikutsertaan masyarakat untuk lebih mematuhi dan mentaatisegala ketentuan normatif yang ditetapkan dalam rencana tata ruang,dan mendorong terwujudnya kualitas ruang yang lebih baik;

    b. Berlaku tertib dalam keikutsertaannya pada proses perencanaan tataruang, pemanfaatan ruang, dan mentaati rencana tata ruang yang telahditetapkan.

    (3) Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pemanfaatan RuangWilayah Kabupaten/Kotaa. Pemanfaatan ruang daratan dan ruang udara berdasarkan peraturan

    perundang-undangan, agama, adat atau kebiasaan yang berlaku;b. Bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan wujud

    strukturat dan pola pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan danperdesaan;

    c. Penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tataruang yang telah ditetapkan;

    d.

    Konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara dan sumber daya alamlainnya, untuk tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas;e. Perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana

    Tata Ruang Wilayah Kabupaten;f. Pemberian masukan untuk penetapan lokasi pemanfaatan ruang;g. Kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi

    lingkungan.

    (4) Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam PengendalianPemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota

    a. Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota,termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatanruang;

    b. Bantuan pemikiran atau pertimbangan untuk penertiban kegiatanpemanfaatan ruang dan peningkatan kualitas pemanfaatan ruang.

    (5) Prosedur Peran Serta Masyarakat untuk merealisasikan langkah-langkah Pemanfaatan Ruang

    a. Peran serta masyarakat pada tingkat Kabupaten/Kota dapat berupapenyampaian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan,

    4 - 34

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    54/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    disampaikan kepada Bupati/Walikota selambat-lambatnya 30 (tigaPuluh) hari setelah disoialisasi dan diadaptasikan;

    b. Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan secara tertulis, dantembusannya disampaikan kepada Ketua DPRD, atau secara lisan yangdicatat dan dituangkan dalam berita acara yang dibuat oleh BappedaKabupaten;

    c. Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan melalui seluruh mediakomunikasi yang tersedia;

    d. Untuk menerima saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatanatau masukan dari masyarakat, informasi tentang penentuan arahpengembangan dibahas dalam forum pertemuan yang lebih luas,dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat beserta Bupati,yang dibantu oleh Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah

    Kabupaten/Kota dan instansi terkait;e. Program pemanfaatan ruang yang disusun tidak boleh bertentangan

    dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agama maupunadat dan budaya setempat;

    f. Apabila dengan mekanisme tersebut masih terjadi konflik antarstakeholder dalam memanfaatkan ruang, maka diuapayak cara-caramusyawarah untuk tujuan akhir kemaslahatan warga yang terkenadampak, tetapi dengan tidak meninggalkan manfaat yang lebih luas.

    4.8 Rekayasa Teknik

    Rekayasa Teknik memuat uraian terkait dengan langkah tindak untuk mendukungpengendalian pemanfaatan ruang secara optimal, dengan memasukkan terapanteknologi yang sesuai untuk wilayah masing-masing. Bentuk rekayasa teknikdisampaikan dalam bentuk umum, dan pedoman spesifik dan detail dapatdiperoleh dari Pedoman maupun Petunjuk Teknis, secara khusus pada KeputusanMenteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 Lampiran Nomor 1 tentangPetunjuk Perencanaan Penanggulangan Longsoran.

    Sehubungan dengan arahan pemanfaatan yang telah ditetapkan sebelumnya,secara umum rekayasa teknik yang disampaikan meliputi beberapa aspek sebagaiberikut.

    a. Penyelidikan geologi teknik, analisis kestabilan lereng, dan daya dukung tanah.Dengan pelaksanaan kegiatan ini, lebih lanjut zona-zona kritis dalam kawasantersebut serta daya dukung kawasan dapat diketahui, sehingga upayaantisipasi resiko dalam pemanfaatan ruang pada kawasan tersebut dapatdilakukan. Terkait dengan analisis kestabilan lereng yang akan dimanfaatkansebagai kawasan budidaya, perlu dimasukkan Faktor Keamanan, seperti yang

    disajikan pada Tabel 4.8.

    4 - 35

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    55/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    Tabel 4.8

    Faktor Keamanan Minimum Kemantapan Lereng(KepMen PU. No.378/KPTS/1987)

    Parameter Kuat Geser **)

    Resiko *) Kondisi Beban Maksimum Sisa

    Teliti Kurang Teliti Teliti Kurang Teliti

    Tinggi Dengan Gempa 1,50 1,75 1,35 1,50

    Tanpa Gempa 1,80 2,00 1,60 1,80

    Menengah Dengan Gempa 1,30 1,60 1,20 1,40

    Tanpa Gempa 1,50 1,80 1,35 1,50

    Rendah Dengan Gempa 1,10 1,25 1,00 1,10

    Tanpa Gempa 1,25 1,40 1,10 1,20Keterangan:*) Resiko tinggi bila ada konsekuensi terhadap manusia cukup besar (ada permukiman), dan atau

    bangunan sangat mahal, dan atau sangat penting Resiko menengah bila ada konsekuensi terhadap manusia tetapi sedikit (bukan permukiman),

    dan atau bangunan tidak begitu mahal, dan atau tidak begitu penting Resiko rendah bila tidak ada konsekuensi terhadap manusia dan terhadap bangunan (sangat

    murah).**) Kekuatan geser maksimum adalah harga puncak dan dipakai apabila massa tanah/batuan yang

    berpotensi longsor tidakmempunyai bidang diskontinuitas (perlapisan, retakan/rekahan, sesardan sebagainya), dan belum pernah mengalami gerakan;

    Kekuatan Geser Residual (Sisa) digunakan apabila9 Massa tanah/batuan yang potensial bergerak mempunyai bidang diskontinuitas, dan atau9 Pernah bergerak, walau tidak mempunyai bidang diskontinuitas

    b. Diterapkan sistem drainase yang tepat pada lereng.Tujuan dari pengaturan sistem drainase adalah untuk menghindari air hujanbanyak meresap masuk dan terkumpul pada lereng yang rawan longsor.Dengan demikian perlu dibuat drainase permukaan yang mengalirkan airlimpasan hujan menjauh dari lereng rawan bencana longsor, dan drainasebawah permukaan yang berfungsi untuk menguras atau mengalirkan air hujanyang meresap masuk ke lereng.

    Beberapa hal yang perlu diperhatikan, terkait dengan sistem drainase lereng

    adalah: Jika terjadi rembesan-rembesan pada lereng, berarti air dalam tanah pada

    lereng sudah berkembang tekanannya. Untuk kasus ini disarankan agarsegera dibuat saluran/sistem drainase bawah tanah, yaitu denganmenggunakan pipa/bambu/paralon, untuk menguras atau mengurangitekanan air. Langkah ini hanya efektif dilakukan pada lereng yang tersusunoleh tanah gembur, dan jangan dilakukan pada saat hujan atau seharisetelah hujan, karena sangat mungkin gerakan massa tanah (longsoran)dapat terjadi dan membahayakan keselamatan pekerja.

    Jika telah muncul retakan-retakan tanah berbentuk lengkung agakmemanjang (berbentuk tapal kuda), maka retakan tersebut harus segeradisumbat dengan material kedap air, atau lempung yang tidak mudahmengembang apabila kena air. Hal ini dilakukan untuk menghindari air

    4 - 36

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    56/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    permukaan (air hujan) lebih banyak masuk meresap ke dalam lerengmelalui retakan tersebut. Munculnya retakan menunjukkan bahwa tanahpada lereng sudah mulai bergerak karena terdorong oleh peningkatantekanan air di dalam pori-pori tanah pada lereng. Dengan disumbatnyaretakan atau terhalangnya air meresap ke dalam tanah lereng, maka

    peningkatan tekanan air di dalam pori-pori tanah dapat diminimalkan. Pengaturan sistem drainase sangat vital, terutama untuk lereng yang di

    dalamnya terdapat lapisan batu lempung yang sensitif untuk mengembangapabila jenuh air, misalnya batu lempung jenis montmorillonite. Pada saatkering batu lempung ini bersifat kompat, bersisik dan retak-retak, namunapabila dalam kondisi jenuh, air batulempung akan berubah plastis,sehingga kehilangan kekuatannya.

    c. Diterapkan sistem perkuatan lereng untuk menambah gaya penahan gerakantanah pada lereng.

    Perkuatan kestabilan lereng dapat dilakukan, dengan menggunakan salah satuatau kombinasi dari beberapa konstruksi berikut ini: Tembok/Dinding Penahan Angkor Paku Batuan (Rock Bolt) Tiang Pancang Jaring Kawat Penahan Jatuhan Batuan Shotcrete Bronjong.Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: Penambat berupa tembok penahan atau tiang pancang harus dipancangkan

    hingga menembus batuan/tanah yang stabil. Hal ini berarti harus dilakukanpenyelidikan lereng terlebih dahulu untuk mengetahui kedalaman bidanggelincir. Pembuatan saluran drainase permukaan dan bawah permukaantetap diperlukan, meskipun lereng telah diberi tembok penahan.

    Pemasangan peralatan akan menjadi kurang efektif apabila drainase atautata air pada permukaan dan di dalam lereng, tidak dapat terkontrol. Tanpasistem drainase yang tepat, upaya penanggulangan yang dilakukan identikdengan melawan alam, yang umumnya hanya bertahan sesaat dan kurangefektif untuk penyelenggaraan jangka panjang.

    d. Meminimalkan pembebanan pada lereng.Penetapan batas beban yang dapat diterapkan dengan aman pada lereng perludilakukan dengan menyelidiki struktur tanah/batuan pada lereng, sifat-sifatketeknikan, serta melakukan analisis kestabilan lereng dan daya dukung.Pembebanan pada lereng yang lebih curam dari 40o (>80%) dapatmeningkatkan gaya penggerak pada lereng, meskipun pembebanan jugadapat berperan menambah gaya penahan gerakan pada lereng yang lebihlandai dari 40o (2 ton/ft2, kecuali dilengkapi dengan teknologi perkuatan lereng dan

    pengendalian sistem drainase lereng.

    4 - 37

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    57/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    e. Memperkecil kemiringan lereng.Upaya memperkecil kemiringan lereng dilakukan untuk meminimalkanpengaruh gaya-gaya penggerak dan sekaligus meningkatkan pengaruh gayapenahan gerakan pada lereng. Besarnya kemiringan lereng yang disarankan

    untuk peruntukan budidaya tertentu, disajikan pada Tabel 4.9.

    Tabel 4.9Persyaratan Kemiringan Lereng Untuk Berbagai Peruntukan

    Budidaya (Marsh, W.M., 1991)

    Peruntukan Budidaya Kemiringan LerengMaksimum

    Kemiringan LerengMinimum

    KemiringanOptimum

    Perumahan/Permukiman 20-25% 0% 2%

    Tempat Bermain 2-3% 0,05% 1%

    Septic Drainfield 15% 0% 0,05%

    Transportasi/Jalan:a. Keceppatan 20 mil/jamb. Keceppatan 30 mil/jamc. Keceppatan 40 mil/jamd. Keceppatan 50 mil/jame. Keceppatan 60 mil/jamf. Keceppatan 70 mil/jam

    12%10%8%7%5%4%

    - 1%

    Area Parkir 3% 0,05% 1%

    Industri 3-4% 0% 2%

    f.

    Mengupas material gembur (yang tidak stabil) pada lerengPengupasan material dapat memperkecil beban pada lereng, yang berartimeminimalkan besarnya gaya penggerak pada lereng, dan efektif diterapkanpada lereng yang lebih curam dari 40o (80%).

    g. Mengosongkan Lereng dari Kegiatan ManusiaApabila gejala awal terjadinya gerakan tanah/longsoran telah muncul,terutama pada saat hujan lebat atau hujan tidak lebat tetapi berlangsung terusmenerus mulai pagi hingga siang dan sore/malam, segera kosongkan lerengdari kegiatan manusia. Meskipun hujan telah reda, selama satu atau dua hari,

    jangan kembali terlebih dahulu ke lereng yang sudah mulai menunjukkangejala akan longsor.

    h. Penanaman vegetasi dengan jenis dan pola tanam yang tepatKawasan dengan tingkat kerawanan tinggi dan mengalami penggundulanhutan, dapat diupayakan untuk ditanami kembali, dengan jenis tanamanbudidaya yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Disarankan untuk tidakdipilih jenis tanaman yang tidak terlalu berat dan berakar tunggang.

    Adapun jenis tanaman yang disarankan untuk dapat menguatkan tanah padalereng diantaranya adalah pohon kemiri, laban, dlingsem, mindi, johar, bungur,banyan, mahoni, renghas, jati, kosambi, sonokeling, trengguli, tayuman, asam

    jawa dan pilang (Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, 2001).Penanaman pada lereng juga harus memperhatikan jarak dan pola tanam yangtepat. Penanaman tanaman budidaya yang berjarak terlalu rapat dan lebat

    4 - 38

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    58/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    pada lereng dengan kemiringan lebih dari 40o, dapat menambah pembebananpada lereng sehingga menambah gaya penggerak tanah pada lereng.

    i. Perlu diterapkan sistem terasering dan drainase yang tepat pada lerengPengaturan sistem terasering bertujuan untuk melandaikan lereng, sedangkansistem drainase berfungsi untuk mengontrol air agar tidak membuat jenuhmassar tanah pada lereng. Hal ini mengingat kondisi air yang berlebihan padalereng akan mengakibatkan peningkatan bobot massa pada lereng, atautekanan air pori yang dapat memicu terjadinya longsoran.Sistem drainase dapat berupa drainase permukaan untuk mengalirkan airlimpasan hujan menjauhi lereng, dan drainase bawah permukaan untukmengurangi kenaikan tekanan air pori dalam tanah.

    j. Mengosongkan lereng dari kegiatan manusiaApabila gejala awal terjadinya gerakan tanah/longsoran telah muncul,terutama pada saat hujan lebat atau hujan tidak lebat tetapi berlangsung terusmenerus mulai pagi hingga siang dan sore/malam, segera kosongkan lerengdari kegiatan manusia. Meskipun hujan telah reda, selama satu atau dua hari,

    jangan kembali terlebih dahulu ke lereng yang sudah mulai menunjukkangejala akan longsor.

    4 - 39

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    59/93

    Gambar 4.1Prosedur Ijin Lokasi (PMNA/KBPN No.2 tahun 1999)

    P M A

    UUNO.11/1970

    PEMBANGUNANLAINNYA

    PMDN

    UUNO.12/1970

    PEMOHON

    BUPATI/

    WALIKOTA

    KANTORPERTANAHAN/SEKRETARIAT

    RAKOR

    1. Walikota/Bupati

    2. BPN

    3. Bappeda4. Instansi Terkait

    5. Camat/Lurah/Kades

    1. KTP Pemohon

    2. Akte Pertanahan

    3. Proposal

    4. NPWP

    5. Peta/Sket Lokasi

    6. Pernyataan bersedia

    membebaskan/ganti

    rugi tanah7. Data persyaratan lain

    yang ditetapkan oleh

    Pemerintah Kab/Kota

    PEMOHON INVESTOR

    TANPA MELALUI IL

    1. Tanah sendiri

    2. Sudah dikuasai3. Kawasan industri

    4. Otorita

    5. Perluasan usaha

    6. Kurang 15 Ha Ru

    7. Kurang 1 Ha Ur

    8. Tanah pemegang

    saham

    9. Surat keterangan

    perolehan dan

    penggunaan tanah

    oleh Kepala Kantor

    Pertanahan setempat

    LUAS & WAKTU PEMBEBASAN

    1. Sampai 25 Ha 1 thn

    2. Luas 25-50 Ha 2 thn3. Lebih 50 Ha 3 thn

    BILA DALAM KURUN WAKTU

    TERSEBUT TIDAK SELESAI

    Diperpanjang 1 th bila pembe-

    basan areal mencapai 50%1

    BILA TIDAK BERHASIL

    AREAL TERSEBUT DIBERIKAN

    KE PERUSAHAAN LAIN YANG

    BERMINAT

    IZIN LOKASI

    (IL)

    RTR

    KAB/KOTA

    SURVEIIDENTIFIK

    LAPANGA

    SURAT PERNY

    PERSETUJUAN

    MASYARAKAT

    KELURAHAN

    PROSES S

    IJIN LOKASI

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    60/93

    Gambar 4.2Digram Prosedur Pengurusan IMB di Kabupaten/Kota

    DINAS TEKNIS

    TERKAIT

    PENELITIANPERSYARATAN

    PEMOHON

    LENGKAP PROSES

    IMB

    MEMBAYAR

    RETRIBUSI

    MEMENUHI

    TIDAKLENGKAP

    RTRWKabupaten/

    Kota

    AdvisPlanning

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    61/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    62/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    63/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    64/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    65/93

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

    3. C Daerah Tebing C.1. Tinggi Dapat dibangun Dapat dibangun Dapat dibangun Dapat dibangun Dapat dibangun Dapat dibangun

    Sungai (potensi terjadi dengan syarat: dengan syarat: dengan syarat: dengan syarat: dengan syarat: dengan syarat:

    longsoran tinggi, - Dipilih jenis dan - Dipilih jenis dan - Dipilih jenis dan - Dipilih jenis dan - Dipilih jenis dan - Dipilih jenis dan

    serta ada resiko pola tanam yang pola tanam yang pola tanam yang pola tanam yang pola tanam yang pola tanam yang

    korban jiwa dan tepat tepat tepat tepat tepat tepat

    atau kerusakan - Pemotongan - Pemotongan - Pemotongan - Menggunakan - Menggunakan - Menggunakan

    bangunan dan penggalian dan penggalian dan penggalian sistem terasering sistem terasering sistem terasering

    penting/mahal) lereng harus lereng harus lereng harus dan drainase dan drainase dan drainase

    dihindari dihindari dihindari lahan yang tepat lahan yang tepat lahan yang tepat

    - Transportasi - Transportasi - Transportasi

    untuk pejalan untuk pejalan untuk pejalan

    kaki kaki kaki

    C.2. Menengah Dapat dibangun Dapat dibangun Dapat dibangun Dapat dibangun Dapat dibangun Dapat dibangun

    s.d. Rendah dengan syarat: dengan syarat: dengan syarat: dengan syarat: dengan syarat: dengan syarat:

    (potensi terjadi - Dipilih jenis dan - Dipilih jenis dan - Dipilih jenis dan - Dipilih jenis dan - Dipilih jenis dan - Dipilih jenis dan

    longsoran tinggi pola tanam yang pola tanam yang pola tanam yang pola tanam yang pola tanam yang pola tanam yang

    namun kecil tepat tepat tepat tepat tepat tepat

    resiko atau tidak - Pemotongan - Pemotongan - Pemotongan - Menggunakan - Menggunakan - Menggunakan

    beresiko dan penggalian dan penggalian dan penggalian sistem terasering sistem terasering sistem terasering

    mengakibatkan lereng harus lereng harus lereng harus dan drainase dan drainase dan drainase

    korban jiwa dan dihindari dihindari dihindari lahan yang tepat lahan yang tepat lahan yang tepat

    atau kerusakan - Transportasi - Transportasi - Transportasi

    bangunan; untuk kendaraan untuk kendaraan untuk kendaraan

    atau potensi roda 4 roda 4 roda 4

    terjadi longsoran

    rendah namun

    ada resiko korban

    jiwa dan atau

    kerusakan

    bangunan)

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    66/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    67/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    68/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    69/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    70/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    71/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    72/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    73/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    74/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    75/93

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    76/93

    LAMPIRAN L.1

    KLASIFIKASI DAN FAKTOR PENYEBABBENCANA LONGSOR

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    77/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    L.1 KLASIFIKASI DAN FAKTOR PENYEBAB BENCANALONGSOR

    1. Klasifikasi

    Dalam petunjuk ini gerakan tanah dikelompokkan menurut klasifikasi HighwayResearch Board 1958 dan 1978. Kriteria yang digunakan dalam pengelompokan inipertama adalah tipe gerakan tanah dan kedua jenis materialnya. Tipe gerakantanah dibagi menjadi lima kelompok utama yaitu : runtuhan, jungkiran, longsoran,penyebaran lateral dan aliran. Kelompok keenam adalah majemuk yaitu kombinasidua atau lebih tipe gerakan tersebut di atas.

    Material dibagi menjadi dua kelas yaitu batuan dan tanah. Tanah selanjutnyadibagi menurut ukuran butirannya yaitu bahan rombakan (tanah berbutir kasar)dan tanah berbutir halus.

    Adapun keenam tipe gerakantanah dapat diuraikan sebagai berikut :

    1.1 Runtuhan

    Runtuhan merupakan gerakan tanah yang disebabkan keruntuhan tarik yangdiikuti dengan tipe gerakan jatuh bebas akibat gravitasi. Pada tipe runtuhan inimassa tanah atau batuan lepas dari suatu lereng atau tebing curam dengansedikit atau tanpa terjadi pergeseran (tanpa bidang longsoran) kemudianmeluncur sebagian besar di udara seperti jatuh bebas, loncat ataumenggelundung. (Lihat Gambar L.1-1).

    Runtuhan batuan adalah runtuhan massa batuan yang lepas dari batuan induknya.Runtuhan bahan rombakan adalah runtuhan yang terdiri dari fragmen-fragmenlepas sebelum runtuh.

    Termasuk pada tipe runtuhan ini adalah runtuhan kerikil (ukuran kurang dari 20mm), runtuhan kerakal (ukuran dari 20 mm - 200 mm), dan runtuhan bongkah(ukuran lebih dari 200 mm).

    Runtuhan tanah dapat terjadi bila material yang di bawah lebih lemah (antara lainkarena tererosi, penggalian) dari pada lapisan di atasnya. Runtuhan batuan dapatterjadi antara lain karena adanya perbedaan pelapukan, tekanan hidrostatiskarena masuknya air ke dalam retakan, serta karena perlemahan akibat strukturgeologi (antara lain kekar, sesar, perlapisan).

    L1 - 2

  • 7/29/2019 pedoman longsor

    78/93

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

    1.2 Jungkiran

    Jungkiran adalah jenis gerakan memutar ke depan dari satu atau beberapa bloktanah/batuan terhadap titik pusat putaran di bawah massa batuan oleh gaya

    gravitasi dan atau gaya dorong dari massa batuan di belakangnya atau gaya yangditimbulkan oleh tekanan air yang mengisi rekahan batuan (lihat Gambar L.1-2).

    Jungkiran ini biasanya terjadi pada tebing-tebing yang curam dan tidakmempunyai bidang longsoran.

    1.3 Longsoran

    Longsoran adalah gerakan yang terdiri dari regangan geser dan perpindahan

    sepanjang bidang longsoran di mana massa berpindah melongsor dari tempatsemula dan terpisah dari massa tanah yang mantap.

    Dalam hal ini, keruntuhan geser tidak selalu terjadi secara serentak pada suatubidang longsoran, tapi dapat berkembang dari keruntuhan geser set em pat. Jenislongsoran dibedakan menurut bentuk bidang longsoran yaitu rotasi (nendatan)dan translasi, dan dapat dibagi lagi : (a) material yang bergerak relatif utuh danterdiri dari satu atau beberapa blok dan (b) material yang bergerak dan sangatberubah bentuknya atau te