BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab...

36
6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika, antara lain tentang Fungsi, Fungsi Genap, Fungsi Ganjil, Limit, Turunan, Turunan Fungsi Trigonometri dan Fungsi Hiperbolik, Persamaan Diferensial, Persamaan Diferensial Biasa, Integral Tentu, Integral Parsial, Teorema Nilai Rata-Rata Integral, Persamaan Diferensial Parsial, Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas, Masalah Sturm- Liouville dan Fungsi Eigen, Orthogonal Fungsi Eigen, Metode Separasi Variabel, Deret Fourier, Sifat-Sifat Perambatan Panas. Berikut ini penjelasannya. A. Fungsi Definisi 2.1 Fungsi (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 76): Sebuah fungsi adalah suatu aturan korespondensi yang menghubungkan setiap objek dalam satu himpunan, yang disebut daerah asal, dengan sebuah nilai tunggal () dari suatu himpunan kedua yag disebut daerah hasil. Contoh 2.1: = {(1, 1), (2, 4), (3, 6), (4, 7), (5, 8)} = {(1, 6), (2, 7), (2, 8), (3, 9), (4, 10)} = {(1, 4), (2, 5), (3, 6)} Berdasarkan Definisi (2.1), himpunan dan merupakan fungsi, sedangkan himpunan bukan merupakan fungsi. Hal ini dikarenakan setiap domain di

Transcript of BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab...

Page 1: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

6

BAB II

KAJIAN TEORI

Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan

dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema,

dan beberapa kajian matematika, antara lain tentang Fungsi, Fungsi Genap,

Fungsi Ganjil, Limit, Turunan, Turunan Fungsi Trigonometri dan Fungsi

Hiperbolik, Persamaan Diferensial, Persamaan Diferensial Biasa, Integral

Tentu, Integral Parsial, Teorema Nilai Rata-Rata Integral, Persamaan

Diferensial Parsial, Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas, Masalah Sturm-

Liouville dan Fungsi Eigen, Orthogonal Fungsi Eigen, Metode Separasi Variabel,

Deret Fourier, Sifat-Sifat Perambatan Panas. Berikut ini penjelasannya.

A. Fungsi

Definisi 2.1 Fungsi (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 76):

Sebuah fungsi 𝑓 adalah suatu aturan korespondensi yang menghubungkan

setiap objek π‘₯ dalam satu himpunan, yang disebut daerah asal, dengan sebuah

nilai tunggal 𝑓(π‘₯) dari suatu himpunan kedua yag disebut daerah hasil.

Contoh 2.1:

𝐴 = {(1, 1), (2, 4), (3, 6), (4, 7), (5, 8)}

𝐡 = {(1, 6), (2, 7), (2, 8), (3, 9), (4, 10)}

𝐢 = {(1, 4), (2, 5), (3, 6)}

Berdasarkan Definisi (2.1), himpunan 𝐴 dan 𝐢 merupakan fungsi, sedangkan

himpunan 𝐡 bukan merupakan fungsi. Hal ini dikarenakan setiap domain di

Page 2: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

7

himpunan A memasangkan tepat satu dengan sebuah nilai tunggal di

kodomain. Begitu juga untuk himpunan 𝐢, namun hal yang berbeda untuk satu

nilai domain pada himpunan 𝐡 yang mempunyai dua anggota di kodomain.

Sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan definisi fungsi.

Selanjutnya akan dibahas tentang fungsi genap dan fungsi ganjil, berikut ini

penjelasannya.

Definisi 2.2 Fungsi Genap (Walter A. Strauss, 1992 : 110):

Sebuah fungsi genap adalah fungsi yang dapat dinyatakan seperti Persamaan

(2.1)

𝑓(βˆ’π‘₯) = 𝑓(π‘₯) (2.1)

artinya bahwa grafik 𝑦 = 𝑓(π‘₯) akan simetris terhadap sumbu 𝑦.

Definisi 2.3 Fungsi Ganjil (Walter A. Strauss, 1992 : 110):

Sebuah fungsi ganjil adalah fungsi yang dapat dinyatakan seperti Persamaan

(2.2)

𝑓(βˆ’π‘₯) = βˆ’π‘“(π‘₯). (2.2)

artinya bahwa grafik 𝑦 = 𝑓(π‘₯) akan simetris terhadap titik asal.

Contoh 2.2:

𝑓(π‘₯) = π‘₯3 (2.3)

𝑓(π‘₯) = π‘₯2016 (2.4)

𝑓(π‘₯) = 𝑠𝑖𝑛(4π‘₯) (2.5)

Page 3: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

8

𝑓(π‘₯) = π‘π‘œπ‘ (14π‘₯) (2.6)

𝑓(π‘₯) = 0. (2.7)

Berdasarkan Definisi (2.3), Persamaan (2.3) pada Contoh (2.2) merupakan

fungsi ganjil, karena 𝑓(βˆ’π‘₯) = (βˆ’π‘₯)3 = βˆ’π‘₯3 = βˆ’π‘“(π‘₯). Persamaan (2.5) juga

merupakan fungsi ganjil, karena 𝑓(βˆ’π‘₯) = 𝑠𝑖𝑛(βˆ’4π‘₯) = βˆ’π‘ π‘–π‘›(4π‘₯) = βˆ’π‘“(π‘₯).

Persamaan (2.4) dan Persamaan (2.6) merupakan fungsi genap, karena

𝑓(βˆ’π‘₯) = (βˆ’π‘₯)2016 = π‘₯2016 = 𝑓(π‘₯) dan 𝑓(βˆ’π‘₯) = π‘π‘œπ‘ (βˆ’14π‘₯) =

π‘π‘œπ‘ (14π‘₯) = 𝑓(π‘₯). Persamaan (2.7) merupakan fungsi genap sekaligus fungsi

ganjil karena 𝑓(βˆ’π‘₯) = 𝑓(π‘₯) = 0.

B. Limit

Definisi 2.4 Limit : (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 118):

Diberikan π‘™π‘–π‘šπ‘₯→𝑐

𝑓(π‘₯) = 𝐿 yang artinya untuk setiap νœ€ > 0 yang nilainya sangat

kecil, terdapat 𝛿 > 0, sedemikian sehingga |𝑓(π‘₯) βˆ’ 𝐿| < νœ€ dengan syarat 0 <

|π‘₯ βˆ’ 𝑐| < 𝛿 atau dengan kata lain

0 < |π‘₯ βˆ’ 𝑐| < 𝛿 β†’ |𝑓(π‘₯) βˆ’ 𝐿| < νœ€.

Contoh 2.3:

Akan dibuktikan bahwa limπ‘₯β†’2

2π‘₯2βˆ’3π‘₯βˆ’2

π‘₯βˆ’2= 5.

Analisis pendahuluan:

Akan ditentukan nilai dari 𝛿, sedemikian sehingga

Page 4: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

9

0 < |π‘₯ βˆ’ 2| < 𝛿 β†’ |2π‘₯2βˆ’3π‘₯βˆ’2

π‘₯βˆ’2βˆ’ 5| < νœ€

sehingga

|2π‘₯2 βˆ’ 3π‘₯ βˆ’ 2

π‘₯ βˆ’ 2βˆ’ 5| < νœ€ ↔ |

(2π‘₯ + 1)(π‘₯ βˆ’ 2)

π‘₯ βˆ’ 2βˆ’ 5| < νœ€

↔ |(2π‘₯ + 1) βˆ’ 5| < νœ€

↔ |2π‘₯ βˆ’ 4| < νœ€

↔ |2(π‘₯ βˆ’ 2)| < νœ€

↔ |2||π‘₯ βˆ’ 2| < νœ€

↔ |π‘₯ βˆ’ 2| <νœ€

2

(2.8)

Berdasarkan Persamaan (2.8) diperoleh nilai dari 𝛿 =πœ€

2.

Bukti baku:

Andaikan nilai dari νœ€ > 0, dan dipilih nilai dari 𝛿 =πœ€

2, sehingga didapatkan

|2π‘₯2 βˆ’ 3π‘₯ βˆ’ 2

π‘₯ βˆ’ 2βˆ’ 5| = |

(2π‘₯ + 1)(π‘₯ βˆ’ 2)

π‘₯ βˆ’ 2βˆ’ 5| = |2π‘₯ + 1 βˆ’ 5|

= |2(π‘₯ βˆ’ 2)| = 2|π‘₯ βˆ’ 2| < 2𝛿 = νœ€

(Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 120).

Page 5: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

10

C. Turunan

Misalkan 𝑃 merupakan titik tetap yang terletak pada kurva 𝑦 = 𝑓(π‘₯) dan 𝑄

merupakan titik yang berdekatan dengan 𝑃 yang melalui 𝑦 = 𝑓(π‘₯) seperti

tampak pada Gambar (2.1).

Kemiringan garis yang melalui titik 𝑃 dan 𝑄 pada Gambar (2.1) adalah

π‘š = 𝑓′(π‘₯) =βˆ†π‘“(π‘₯)

βˆ†π‘₯

π‘š = 𝑓′(π‘₯) =𝑓(π‘₯ + β„Ž) βˆ’ 𝑓(π‘₯)

(π‘₯ + β„Ž) βˆ’ π‘₯

π‘š = 𝑓′(π‘₯) =𝑓(π‘₯ + β„Ž) βˆ’ 𝑓(π‘₯)

β„Ž

(2.9)

Apabila nilai 𝑃 dekat dengan 𝑄, maka nilai limit dari β„Ž β†’ 0, sehingga

Persamaan (2.9) dapat dituliskan

𝑓′(π‘₯) = limβ„Žβ†’0

𝑓(π‘₯ + β„Ž) βˆ’ 𝑓(π‘₯)

β„Ž.

Gambar 2.1 Ilustrasi Garis singgung

π‘₯

𝑦

Page 6: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

11

Definisi 2.5 Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010 : 163):

Turunan pertama fungsi 𝑓(π‘₯) dinotasikan 𝑓’(π‘₯) yang nilainya pada sembarang

π‘₯ adalah

𝑓′(π‘₯) = π‘™π‘–π‘šβ„Žβ†’0

𝑓(π‘₯ + β„Ž) βˆ’ 𝑓(π‘₯)

β„Ž

dengan syarat nilai limit dari 𝑓(π‘₯) ada.

Notasi dari turunan disimbolkan dengan notasi Leibniz 𝑑𝑦

𝑑π‘₯,

𝑑2𝑦

𝑑π‘₯2, 𝑑3𝑦

𝑑π‘₯3... atau notasi

prima 𝑦′, 𝑦", 𝑦′′′, … atau bisa dinotasikan sebagai 𝐷π‘₯𝑦, 𝐷π‘₯2𝑦, 𝐷π‘₯

3𝑦 , ….

atau 𝑓’(π‘₯), 𝑓"(π‘₯), 𝑓′′′(π‘₯) ….

Contoh 2.4:

Akan ditentukan turunan pertama dari 𝑓(π‘₯) = 4π‘₯ βˆ’ 14.

Menurut Definisi (2.5), sehingga

𝑓′(π‘₯) = limβ„Žβ†’0

(4(π‘₯ + β„Ž) βˆ’ 14) βˆ’ (4π‘₯ βˆ’ 14)

β„Ž

𝑓′(π‘₯) = limβ„Žβ†’0

(4π‘₯ + 4β„Ž βˆ’ 14) βˆ’ (4π‘₯ βˆ’ 14)

β„Ž

𝑓′(π‘₯) = limβ„Žβ†’0

4π‘₯ + 4β„Ž βˆ’ 14 βˆ’ 4π‘₯ + 14

β„Ž

𝑓′(π‘₯) = limβ„Žβ†’0

4β„Ž

β„Ž= 4.

Jadi, turunan pertama dari 𝑓(π‘₯) adalah 4.

Page 7: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

12

D. Turunan Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik

Teorema 2.1 Turunan Fungsi Sin (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010

:182):

Jika 𝑓(π‘₯) = 𝑠𝑖𝑛 π‘₯, maka 𝑓’(π‘₯) = π‘π‘œπ‘  π‘₯.

Bukti:

Berdasarkan Definisi (2.5), sehingga

𝑓′(π‘₯) = π‘™π‘–π‘šβ„Žβ†’0

𝑓(π‘₯ + β„Ž) βˆ’ 𝑓(π‘₯)

β„Ž

𝑓′(π‘₯) = π‘™π‘–π‘šβ„Žβ†’0

𝑠𝑖𝑛(π‘₯ + β„Ž) βˆ’ 𝑠𝑖𝑛 π‘₯

β„Ž

𝑓′(π‘₯) = π‘™π‘–π‘šβ„Žβ†’0

𝑠𝑖𝑛 π‘₯ π‘π‘œπ‘  β„Ž + π‘π‘œπ‘  π‘₯ 𝑠𝑖𝑛 β„Ž βˆ’ 𝑠𝑖𝑛 π‘₯

β„Ž

𝑓′(π‘₯) = π‘™π‘–π‘šβ„Žβ†’0

(βˆ’ 𝑠𝑖𝑛 π‘₯ (1 βˆ’ π‘π‘œπ‘  β„Ž

β„Ž) + π‘π‘œπ‘  π‘₯ (

𝑠𝑖𝑛 β„Ž

β„Ž))

𝑓′(π‘₯) = (βˆ’ 𝑠𝑖𝑛 π‘₯) (π‘™π‘–π‘šβ„Žβ†’0

(1 βˆ’ π‘π‘œπ‘  β„Ž

β„Ž)) + (π‘π‘œπ‘  π‘₯) (π‘™π‘–π‘š

β„Žβ†’0(

𝑠𝑖𝑛 β„Ž

β„Ž))

𝑓′(π‘₯) = (βˆ’ 𝑠𝑖𝑛 π‘₯). 0 + (π‘π‘œπ‘  π‘₯). 1 = π‘π‘œπ‘  π‘₯

Terbukti.

Teorema 2.2 Turunan Fungsi Cos (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010

:182):

Jika 𝑓(π‘₯) = π‘π‘œπ‘  π‘₯, maka 𝑓’(π‘₯) = βˆ’π‘ π‘–π‘› π‘₯.

Page 8: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

13

Bukti:

Berdasarkan Definisi (2.5), sehingga

𝑓′(π‘₯) = limβ„Žβ†’0

𝑓(π‘₯ + β„Ž) βˆ’ 𝑓(π‘₯)

β„Ž

𝑓′(π‘₯) = limβ„Žβ†’0

π‘π‘œπ‘ (π‘₯ + β„Ž) βˆ’ π‘π‘œπ‘  π‘₯

β„Ž

𝑓′(π‘₯) = limβ„Žβ†’0

π‘π‘œπ‘  π‘₯ cos β„Ž βˆ’ sin π‘₯ sin β„Ž βˆ’ cos π‘₯

β„Ž

𝑓′(π‘₯) = limβ„Žβ†’0

(βˆ’ cos π‘₯ (1 βˆ’ cos β„Ž

β„Ž) βˆ’ 𝑠𝑖𝑛 π‘₯ (

sin β„Ž

β„Ž))

𝑓′(π‘₯) = (βˆ’ π‘π‘œπ‘  π‘₯) (limβ„Žβ†’0

(1 βˆ’ cos β„Ž

β„Ž)) βˆ’ (𝑠𝑖𝑛 π‘₯) (lim

β„Žβ†’0(

sin β„Ž

β„Ž))

𝑓′(π‘₯) = (βˆ’ π‘π‘œπ‘  π‘₯). 0 βˆ’ (𝑠𝑖𝑛 π‘₯). 1 = βˆ’π‘ π‘–π‘› π‘₯

Terbukti.

Teorema 2.3 Turunan Fungsi Sinh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010

: 541):

Jika 𝑓(π‘₯) = π‘ π‘–π‘›β„Ž π‘₯, maka 𝑓’(π‘₯) = π‘π‘œπ‘ β„Ž π‘₯.

Bukti:

Bentuk lain dari π‘ π‘–π‘›β„Ž π‘₯ adalah 𝑒π‘₯βˆ’π‘’βˆ’π‘₯

2, sehingga

𝑓(π‘₯) =𝑒π‘₯ βˆ’ π‘’βˆ’π‘₯

2

Page 9: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

14

𝑓(π‘₯) =𝑒π‘₯ βˆ’ π‘’βˆ’π‘₯

2

𝑓(π‘₯) =𝑒π‘₯

2βˆ’

π‘’βˆ’π‘₯

2

𝑓(π‘₯) =1

2𝑒π‘₯ βˆ’

1

2π‘’βˆ’π‘₯

𝑓’(π‘₯) =1

2𝑒π‘₯ +

1

2π‘’βˆ’π‘₯

𝑓’(π‘₯) =𝑒π‘₯ + π‘’βˆ’π‘₯

2

𝑓’(π‘₯) = π‘π‘œπ‘ β„Ž π‘₯

Terbukti.

Teorema 2.4 Turunan Fungsi Cosh (Dale Varberg & Edwin J Purcell,

2010 : 541):

Jika 𝑓(π‘₯) = π‘π‘œπ‘ β„Ž π‘₯, maka 𝑓’(π‘₯) = π‘ π‘–π‘›β„Ž π‘₯.

Bukti:

Bentuk lain dari π‘π‘œπ‘ β„Ž π‘₯, adalah 𝑒π‘₯+π‘’βˆ’π‘₯

2, sehingga

𝑓(π‘₯) =𝑒π‘₯ + π‘’βˆ’π‘₯

2

𝑓(π‘₯) =𝑒π‘₯

2+

π‘’βˆ’π‘₯

2

Page 10: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

15

𝑓(π‘₯) =1

2𝑒π‘₯ +

1

2π‘’βˆ’π‘₯

𝑓’(π‘₯) =1

2𝑒π‘₯ βˆ’

1

2π‘’βˆ’π‘₯

𝑓’(π‘₯) =𝑒π‘₯ βˆ’ π‘’βˆ’π‘₯

2

𝑓’(π‘₯) = π‘ π‘–π‘›β„Ž π‘₯

Terbukti.

Berikutnya akan dibahas tentang integral tentu. Integral tentu pada BAB III

digunakan untuk menentukan luasan perambatan panas pada suatu interval

tertutup, berikut penjelasannya.

E. Integral Tentu

Diberikan sebuah fungsi pada interval [π‘Ž, 𝑏] kemudian dipartisi

terhadap sumbu π‘₯ sebanyak 𝑛 seperti tampak pada Gambar (2.2) berikut ini.

Gambar 2.2 Partisi Sumbu π‘₯

Titik Partisi

Titik Sampel

Partisi

βˆ†π‘₯1 βˆ†π‘₯2 βˆ†π‘₯𝑛

π‘₯𝑛 = 𝑏 π‘₯π‘›βˆ’1 π‘₯2 π‘₯1 π‘₯0

π‘₯1βˆ— π‘₯2

βˆ— π‘₯π‘›βˆ—

. . . .

. . . .

Page 11: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

16

Pada Gambar (2.2) merupakan partisi sumbu π‘₯ dengan titik titik partisi π‘Ž =

π‘₯0 < π‘₯1 < π‘₯2 < β‹― < π‘₯π‘›βˆ’1 < π‘₯𝑛 = 𝑏. Apabila disketsakan pada sumbu π‘₯ dan

sumbu 𝑦, diperoleh bentuk partisi berupa persegi panjang, maka jumlahan semua

persegi panjang dengan banyaknya partisi 𝑛 disebut Jumlahan Riemann. Pada

Prinsipnya konsep Integral merupakan Jumlahan Riemann. Langkah-langkah

penyelesaian sebagai berikut ini.

1. Partisi fungsi 𝑓(π‘₯) menjadi beberapa bagian misalkan banyak partisi 𝑛,

dalam hal ini semakin banyak partisinya semakin bagus, karena nilainya

akan mendekati nilai eksak atau dengan kata lain errornya sangat kecil.

2. Apabila kita akan menentukan hasil dari 𝑓(π‘₯) pada interval [a,b], maka

tentukan jarak di setiap partisinya βˆ†π‘₯𝑖 = π‘₯𝑖 βˆ’ π‘₯π‘–βˆ’1, dengan 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛.

3. Setelah itu tentukan nilai dari 𝑓(π‘₯π‘–βˆ—).

4. Kemudian gunakan konsep jumlahan luas persegi panjang yaitu

βˆ‘ 𝑓(π‘₯π‘–βˆ—)(βˆ†π‘₯𝑖)𝑛

𝑖=1 (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010:363).

Definisi 2.6 Integral Tentu (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010: 363):

Andaikan f suatu fungsi yang didefinisikan pada selang tertutup [a,b]. Jika

π‘™π‘–π‘š|𝑃|β†’0

βˆ‘ 𝑓(π‘₯π‘–βˆ—)βˆ†π‘₯𝑖

𝑛

𝑖=1

ada, kita katakan f adalah terintegralkan pada [a,b]. Lebih lanjut ∫ 𝑓(π‘₯)𝑏

π‘Žπ‘‘π‘₯

disebut integral tentu (atau integral Riemann) f dari a ke b, diberikan oleh

Page 12: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

17

∫ 𝑓(π‘₯)𝑑π‘₯

𝑏

π‘Ž

= π‘™π‘–π‘š|𝑃|β†’0

βˆ‘ 𝑓(π‘₯π‘–βˆ—)βˆ†π‘₯𝑖

𝑛

𝑖=1

.

Contoh 2.5:

Akan ditentukan luas daerah 𝑓(π‘₯) = π‘₯ + 2 pada interval [βˆ’1,2].

Apabila grafik 𝑓(π‘₯) = π‘₯ + 2 disketsakan dalam koordinat kartesius, maka

tampak pada Gambar (2.3).

Apabila pada interval [βˆ’1,2] dipartisi sebanyak 𝑛 bagian, maka diperoleh jarak

antar partisi βˆ†π‘₯𝑖 =2βˆ’(βˆ’1)

𝑛=

3

𝑛 dengan βˆ†π‘₯𝑖 = π‘₯𝑖 βˆ’ π‘₯π‘–βˆ’1, 𝑖 = 1,2,3, … 𝑛.

Dengan partisi pada interval [π‘Ž, 𝑏] adalah π‘Ž = π‘₯0 < π‘₯1 < π‘₯2 < π‘₯3 … <

π‘₯π‘›βˆ’1 < π‘₯𝑛 = 𝑏.

Gambar 2.3 Fungsi 𝑓(π‘₯) = π‘₯ + 2 dipartisi sebanyak 𝑛

𝑦

π‘₯ βˆ’1

𝑓(π‘₯) = π‘₯ + 2

2

𝑂 2

Page 13: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

18

π‘₯0 = βˆ’1

π‘₯1 = βˆ’1 + βˆ†π‘₯ = βˆ’1 + (

3

𝑛)

π‘₯2 = βˆ’1 + 2βˆ†π‘₯ = βˆ’1 + 2 (

3

𝑛)

π‘₯3 = βˆ’1 + 3βˆ†π‘₯ = βˆ’1 + 3 (

3

𝑛)

. . .

π‘₯π‘›βˆ’1 = βˆ’1 + (𝑛 βˆ’ 1)βˆ†π‘₯ = βˆ’1 + (𝑛 βˆ’ 1) (

3

𝑛)

π‘₯𝑛 = βˆ’1 + π‘›βˆ†π‘₯ = βˆ’1 + 𝑛 (

3

𝑛) = 2

karena π‘₯π‘–βˆ— merupakan titik-titik di ujung sebelah kanan di setiap partisinya,

sehingga diperoleh π‘₯𝑖 = π‘₯π‘–βˆ— = βˆ’1 + 𝑖 (

3

𝑛) dan 𝑓(π‘₯𝑖

βˆ—) = π‘₯π‘–βˆ— + 2 = (βˆ’1 +

𝑖 (3

𝑛) ) + 2 = 1 + 𝑖 (

3

𝑛). Oleh karena itu diperoleh

∫(π‘₯ + 2)

2

βˆ’1

𝑑π‘₯ = π‘™π‘–π‘š|𝑃|β†’0

βˆ‘ 𝑓(π‘₯π‘–βˆ—)βˆ†π‘₯𝑖

𝑛

𝑖=1

= π‘™π‘–π‘š

|𝑃|β†’0βˆ‘ (1 + 𝑖 (

3

𝑛)) (

3

𝑛)

𝑛

𝑖=1

Page 14: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

19

= lim|𝑃|β†’0

((βˆ‘ (3

𝑛)

𝑛

𝑖=1

) + ((9

𝑛2) βˆ‘ 𝑖

𝑛

𝑖=1

))

= lim

π‘›β†’βˆž((

3

𝑛) 𝑛 + (

9

𝑛2) (1 + 2 + 3 + β‹― + 𝑛))

= limπ‘›β†’βˆž

((3

𝑛) 𝑛 + (

9

𝑛2) (

𝑛(𝑛 + 1)

2))

= lim

π‘›β†’βˆž(3 +

9

2(1 +

1

𝑛)) = 3 +

9

2= 7

1

2.

Jadi, hasil dari ∫ (π‘₯ + 2)2

βˆ’1𝑑π‘₯ = 7

1

2 satuan luas.

Teorema 2.5 Teorema Dasar Kalkulus (Dale Varberg & Edwin J Purcell,

2010 : 372):

Misalkan 𝑓 kontinu pada interval [π‘Ž, 𝑏] dan misalkan 𝐹 antiturunan dari 𝑓,

sehingga

∫ 𝑓(π‘₯)𝑑π‘₯

𝑏

π‘Ž

= 𝐹(𝑏) βˆ’ 𝐹(π‘Ž).

Bukti:

Misalkan 𝑃: π‘Ž = π‘₯0 < π‘₯1 < π‘₯2 < π‘₯3 < β‹― < π‘₯π‘›βˆ’1 < π‘₯𝑛 = 𝑏 adalah partisi

pada interval [π‘Ž, 𝑏], sehingga

Page 15: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

20

𝐹(𝑏) βˆ’ 𝐹(π‘Ž) = (𝐹(π‘₯𝑛) βˆ’ 𝐹(π‘₯π‘›βˆ’1)) + (𝐹(π‘₯π‘›βˆ’1) βˆ’ 𝐹(π‘₯π‘›βˆ’2)) + β‹―

+ (𝐹(π‘₯2) βˆ’ 𝐹(π‘₯1)) + (𝐹(π‘₯1) βˆ’ 𝐹(π‘₯0))

𝐹(𝑏) βˆ’ 𝐹(π‘Ž) = βˆ‘(𝐹(π‘₯𝑖) βˆ’ 𝐹(π‘₯π‘–βˆ’1)).

𝑛

𝑖=1

Menurut Teorema nilai rata-rata turunan 𝐹 pada selang [π‘₯π‘–βˆ’1, π‘₯𝑖] adalah

𝐹(π‘₯𝑖) βˆ’ 𝐹(π‘₯π‘–βˆ’1) = 𝐹′(π‘₯π‘–βˆ—)(π‘₯π‘–βˆ’1, π‘₯𝑖) = 𝑓(π‘₯𝑖

βˆ—)βˆ†π‘₯𝑖

Sehingga diperoleh

𝐹(𝑏) βˆ’ 𝐹(π‘Ž) = βˆ‘(𝑓(π‘₯π‘–βˆ—)βˆ†π‘₯𝑖).

𝑛

𝑖=1

Apabila partisinya diambil sangat kecil |𝑃| β†’ 0, maka

𝐹(𝑏) βˆ’ 𝐹(π‘Ž) = lim|𝑃|β†’0

βˆ‘(𝑓(π‘₯π‘–βˆ—)βˆ†π‘₯𝑖)

𝑛

𝑖=1

= ∫ 𝑓(π‘₯)𝑑π‘₯.

𝑏

π‘Ž

Terbukti.

Contoh 2.6:

Akan ditentukan hasil dari ∫ π‘π‘œπ‘ ((2𝑛 βˆ’ 1)π‘₯)𝑑π‘₯.πœ‹

0

Berdasarkan Teorema (2.5), sehingga diperoleh

∫ π‘π‘œπ‘ ((2𝑛 βˆ’ 1)π‘₯)𝑑π‘₯

πœ‹

0

= (1

2𝑛 βˆ’ 1) 𝑠𝑖𝑛((2𝑛 βˆ’ 1)π‘₯)]

0

πœ‹

Page 16: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

21

∫ π‘π‘œπ‘ ((2𝑛 βˆ’ 1)π‘₯)𝑑π‘₯

πœ‹

0

= ((1

2𝑛 βˆ’ 1) 𝑠𝑖𝑛((2𝑛 βˆ’ 1)πœ‹)) βˆ’ 0

∫ π‘π‘œπ‘ ((2𝑛 βˆ’ 1)π‘₯)𝑑π‘₯

πœ‹

0

= ((1

2𝑛 βˆ’ 1) 𝑠𝑖𝑛((2𝑛 βˆ’ 1)πœ‹)) = (

1

2𝑛 βˆ’ 1) . 0 = 0

Jadi, hasil dari ∫ π‘π‘œπ‘ ((2𝑛 βˆ’ 1)π‘₯)𝑑π‘₯πœ‹

0= 0.

F. Integral Parsial

Misalkan 𝑓(π‘₯) = 𝑒(π‘₯)𝑣(π‘₯), maka turunan pertama dari 𝑓(π‘₯) adalah

𝑓′(π‘₯) = 𝑒′(π‘₯)𝑣(π‘₯) + 𝑒(π‘₯)𝑣′(π‘₯). (2.10)

Apabila Persamaan (2.10) diintegralkan, maka

∫ 𝑓′(π‘₯) 𝑑π‘₯ = ∫(𝑒′(π‘₯)𝑣(π‘₯) + 𝑒(π‘₯)𝑣′(π‘₯))𝑑π‘₯

𝑒(π‘₯)𝑣(π‘₯) = ∫(𝑒′(π‘₯)𝑣(π‘₯)) 𝑑π‘₯ + ∫(𝑒(π‘₯)𝑣′(π‘₯)) 𝑑π‘₯

∫(𝑒(π‘₯)𝑣′(π‘₯)) 𝑑π‘₯ = 𝑒(π‘₯)𝑣(π‘₯) βˆ’ ∫(𝑒′(π‘₯)𝑣(π‘₯)) 𝑑π‘₯ (2.11)

karena 𝑑𝑣 = 𝑣’(π‘₯)𝑑π‘₯ dan 𝑑𝑒 = 𝑒’(π‘₯)𝑑π‘₯, sehingga Persamaan (2.11) menjadi

∫ 𝑒(π‘₯)𝑑𝑣 = 𝑒(π‘₯)𝑣(π‘₯) βˆ’ ∫ 𝑣(π‘₯)𝑑𝑒. (2.12)

Persamaan (2.12) merupakan rumus integral parsial (Dale Varberg & Edwin J

Purcell, 2010 : 579).

Page 17: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

22

Contoh 2.7:

Akan ditentukan hasil dari ∫ 𝑒π‘₯ 𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ 𝑑π‘₯.

Berdasarkan Persamaan (2.12), sehingga diperoleh

∫ 𝑒π‘₯ 𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ 𝑑π‘₯ = βˆ’1

4𝑒π‘₯π‘π‘œπ‘  4π‘₯ +

1

4∫ 𝑒π‘₯π‘π‘œπ‘  2π‘₯𝑑π‘₯ + 𝑐

∫ 𝑒π‘₯ 𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ 𝑑π‘₯ = βˆ’1

4𝑒π‘₯π‘π‘œπ‘  4π‘₯ +

1

4(

1

4𝑒π‘₯𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ βˆ’

1

4∫ 𝑒π‘₯𝑠𝑖𝑛 4π‘₯) + 𝑐

∫ 𝑒π‘₯ 𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ 𝑑π‘₯ = βˆ’1

4𝑒π‘₯π‘π‘œπ‘  4π‘₯ +

1

16𝑒π‘₯𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ βˆ’

1

16∫ 𝑒π‘₯𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ + 𝑐

17

16∫ 𝑒π‘₯ 𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ 𝑑π‘₯ = βˆ’

4

16𝑒π‘₯π‘π‘œπ‘  4π‘₯ +

1

16𝑒π‘₯𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ + 𝑐

∫ 𝑒π‘₯ 𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ 𝑑π‘₯ = βˆ’4

17𝑒π‘₯π‘π‘œπ‘  4π‘₯ +

1

17𝑒π‘₯𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ + 𝑐

∫ 𝑒π‘₯ 𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ 𝑑π‘₯ =1

17𝑒π‘₯(βˆ’4π‘π‘œπ‘  4π‘₯ + 𝑠𝑖𝑛 4π‘₯) + 𝑐.

Jadi, hasil dari

∫ 𝑒π‘₯ 𝑠𝑖𝑛 4π‘₯ 𝑑π‘₯ =1

17𝑒π‘₯(βˆ’4π‘π‘œπ‘  4π‘₯ + 𝑠𝑖𝑛 4π‘₯) + 𝑐.

G. Teorema Nilai Rata-Rata Integral

Teorema ini digunakan untuk membuktikan bahwa dalam suatu

perambatan panas pada suatu interval tertutup, dan proses perambatan

panasnya diasumsikan kontinu, maka terdapat minimal satu titik yang terdapat

dalam interval tertutup tersebut.

Page 18: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

23

Teorema 2.6 Teorema Nilai Rata-Rata Integral (Dale Varberg & Edwin J

Purcell, 2010 : 387):

Jika fungsi 𝑓 kontinu pada interval [π‘Ž, 𝑏], maka terdapat suatu bilangan 𝑐 yang

terletak diantara π‘Ž dan 𝑏, sedemikian sehingga

∫ 𝑓(𝑑)

𝑏

π‘Ž

𝑑𝑑 = 𝑓(𝑐)(𝑏 βˆ’ π‘Ž).

Bukti:

Andaikan didefinisikan suatu fungsi 𝐺(π‘₯) sebagai berikut

𝐺(π‘₯) = ∫ 𝑓(𝑑)𝑑𝑑

π‘₯

π‘Ž

, π‘Ž ≀ π‘₯ ≀ 𝑏

Berdasarkan teorema nilai rata-rata turunan yang mengatakan bahwa andaikan

didefinisikan 𝐺(π‘₯), maka terdapat nilai 𝑐 pada interval (π‘Ž, 𝑏), sehingga

𝐺(𝑏) βˆ’ 𝐺(π‘Ž) = 𝐺′(𝑐)(𝑏 βˆ’ π‘Ž)

∫ 𝑓(𝑑)𝑑𝑑 βˆ’ 0

𝑏

π‘Ž

= 𝐺′(𝑐)(𝑏 βˆ’ π‘Ž)

(2.13)

karena 𝐺′(π‘₯) = 𝐷π‘₯(∫ 𝑓(𝑑)𝑑𝑑π‘₯

π‘Ž). Hal ini akan berakibat nilai dari 𝐺′(𝑐) =

𝑓(𝑐), sehingga Persamaan (2.13) menjadi

𝑓(𝑐) =∫ 𝑓(𝑑)𝑑𝑑

𝑏

π‘Ž

𝑏 βˆ’ π‘Ž

Terbukti.

Page 19: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

24

H. Persamaan Diferensial

Definisi 2.7 Persamaan Diferensial (Ross,L.S, 1984:3):

Persamaan Diferensial adalah persamaan yang memuat turunan-turunan dari

satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.

Secara umum Persamaan Diferensial dibedakan menjadi dua, yaitu Persamaan

Diferensial Biasa(PDB) dan Persamaan Diferensial Parsial(PDP).

Definisi 2.8 Persamaan Diferensial Biasa (Ross, L.S, 1984:4):

Persamaan diferensial biasa (PDB) adalah persamaan yang memuat turunan-

turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.

Definisi 2.9 Persamaan Diferensial Parsial (Ross, L.S, 1984:4):

Persamaan Diferensial parsial (PDP) adalah persamaan yang memuat

turunan-turunan parsial dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih

dari satu variabel bebas.

Persamaan Diferensial Parsial biasanya dinotasikan dengan πœ•π‘’

πœ•π‘₯ untuk turunan

pertama fungsi atas variabel tak bebas 𝑒 terhadap variabel bebas π‘₯. Untuk

turunan parsial kedua, ketiga sampai turunan ke 𝑛 berturut-turut dinotasikan

sebagai πœ•2𝑒

πœ•π‘₯2 ,πœ•3𝑒

πœ•π‘₯3 ,πœ•4𝑒

πœ•π‘₯4 , β€¦πœ•π‘›π‘’

πœ•π‘₯𝑛. Persamaan Diferensial Parsial juga dapat

dinotasikan 𝑒π‘₯π‘₯, βˆ‡2𝑒 untuk turunan kedua fungsi atas 𝑒 terhadap π‘₯.

Contoh 2.8:

Page 20: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

25

𝑑𝑦

𝑑π‘₯+ 5𝑦 = 𝑒π‘₯

(2.14)

𝑑π‘₯

𝑑𝑑+

𝑑𝑦

𝑑𝑑= 2π‘₯ + 𝑦

(2.15)

πœ•2𝑒

πœ•π‘‘2= 𝑐2

πœ•2𝑒

πœ•π‘₯2

(2.16)

πœ•2𝑒

πœ•π‘₯2=

πœ•2𝑒

πœ•π‘‘2βˆ’ 2

πœ•π‘’

πœ•π‘‘

(2.17)

Berdasarkan Contoh (2.8), sesuai dengan Definisi (2.8) dan Definisi

(2.9) tentang Persamaan Diferensial biasa dan Persamaan Diferensial Parsial,

dapat disimpulkan bahwa Persamaan (2.14) dan Persamaan (2.15) merupakan

Persamaan Diferensial biasa. Hal itu karena Persamaan (2.14) terdapat satu

variabel bebas yaitu π‘₯, dan satu variabel tak bebas yaitu 𝑦, sedangkan

Persamaan (2.15) terdapat satu variabel bebas yaitu 𝑑, dan ada dua variabel tak

bebas yaitu π‘₯, 𝑦.

Persamaan (2.16) dan Persamaan (2.17) merupakan Persamaan

Diferensial parsial, karena Persamaan (2.16) terdapat dua variabel bebas yaitu

π‘₯, 𝑑 dan satu variabel tak bebas 𝑒. Untuk Persamaan (2.17) terdapat dua

variabel bebas yaitu π‘₯, 𝑑 dan satu varibel tak bebas 𝑒.

Selanjutnya akan dibahas tentang persamaan Diferensial parsial (PDP).

Definisi 2.10 (James W.B & Ruel V. Churchill 1993:24):

Bentuk umum Persamaan Diferensial parsial linear orde 2 adalah

Page 21: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

26

𝐴𝑒π‘₯π‘₯ + 𝐡𝑒𝑦𝑦 + 𝐢𝑒π‘₯𝑦 + 𝐷𝑒π‘₯ + 𝐸𝑒𝑦 + 𝐹𝑒 = 𝐺 (2.18)

dengan 𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑦), dimana 𝐴, 𝐡, 𝐢, . . . . 𝐺 merupakan konstanta atau fungsi

dalam π‘₯ dan 𝑦. Apabila nilai dari 𝐺 = 0, maka Persamaan (2.18) dikatakan

sebagai persamaan Diferensial parsial homogen. Jika nilai 𝐺 β‰  0, maka

Persamaan (2.18) dikatakan Persamaan Diferensial parsial nonhomogen.

Selanjutnya akan dibahas tentang Prinsip Superposisi.

Teorema 2.7 Prinsip Superposisi (Dennis G Zill, 2005:130):

Jika 𝑦1, 𝑦2, 𝑦3, … π‘¦π‘˜ adalah solusi dari Persamaan Diferensial homogen

berorde 𝑛 dari Persamaan (2.17) pada interval I, maka kombinasi linearnya

adalah

𝑦 = 𝑐1𝑦1(π‘₯) + 𝑐2𝑦2(π‘₯) + 𝑐3𝑦3(π‘₯) + β‹― + π‘π‘˜π‘¦π‘˜(π‘₯)

dimana 𝑐𝑖 untuk 𝑖 = 1,2, . . . . π‘˜ adalah konstanta, juga solusi dalam interval I.

Bukti :

Misalkan 𝐿 didefinisikan sebagai operator Diferensial dan

𝑦1(π‘₯),𝑦2(π‘₯), 𝑦3(π‘₯), … π‘¦π‘˜(π‘₯) adalah solusi dari persamaan homogen, sehingga

𝐿(𝑦(π‘₯)) = 0. Jika didefinisikan 𝑦 = 𝑐1𝑦1(π‘₯) + 𝑐2𝑦2(π‘₯) + 𝑐3𝑦3(π‘₯) + β‹― +

π‘π‘˜π‘¦π‘˜(π‘₯), maka linearitas dari 𝐿 adalah

𝐿(𝑦) = 𝐿(𝑐1𝑦1(π‘₯) + 𝑐2𝑦2(π‘₯) + 𝑐3𝑦3(π‘₯) + β‹― + π‘π‘˜π‘¦π‘˜(π‘₯))

𝐿(𝑦) = 𝑐1𝐿(𝑦1(π‘₯)) + 𝑐2𝐿( 𝑦2(π‘₯)) + 𝑐3𝐿(𝑦3(π‘₯)) + β‹― + π‘π‘˜πΏ(π‘¦π‘˜(π‘₯))

Page 22: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

27

karena nilai dari 𝐿(𝑦(π‘₯)) = 0, maka 𝐿(𝑦) = 𝑐1. 0 + 𝑐2. 0 + 𝑐3. 0 + β‹― +

π‘π‘˜. 0 = 0 (Terbukti).

I. Solusi Persamaan Diferensial Parsial

1. Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas

Untuk ilustrasi yang lebih mudah, dalam hal ini diambil tinjauan sebuah

batang logam dengan panjang 𝑙 yang dipanasi dengan suhu tertentu. Misalkan

𝑒(π‘₯, 0) menyatakan suhu pada posisi π‘₯ saat waktu 𝑑 sama dengan nol dan 0 <

π‘₯ < 𝑙 , sehingga suhu saat 𝑑 = 0 untuk setiap posisi dikatakan masalah nilai

awal.

Secara umum syarat batas dibedakan menjadi tiga yaitu syarat batas

Dirichlet, syarat Neumann, dan syarat batas Robin atau Campuran dari syarat

batas Dirichlet dan Neumann. Syarat batas Dirichlet adalah syarat batas yang

kedua ujung batang logam dipertahankan nol derajat, dalam hal ini yang

digunakan untuk mempertahankan suhunya nol derajat adalah benda yang

bersifat isolator. Misalkan 𝑒(π‘₯, 𝑑) merupakan suhu pada posisi π‘₯ saat waktu ke

𝑑. Apabila syarat batas Dirichlet dituliskan dalam bentuk notasi matematika,

maka 𝑒(0, 𝑑) = 𝑒(𝑙, 𝑑) = 0 dengan 𝑑 > 0.

Syarat batas Neumann adalah syarat batas yang perubahan suhu di kedua

ujung batang logam dipertahankan 0 derajat. Misalkan πœ•π‘’(π‘₯,𝑑)

πœ•π‘₯ merupakan

perubahan suhu terhadap posisi. Apabila syarat batas Neumann dituliskan dalam

notasi matematika, maka πœ•π‘’(0,𝑑)

πœ•π‘₯=

πœ•π‘’(𝑙,𝑑)

πœ•π‘₯= 0 dengan 𝑑 > 0.

Page 23: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

28

Syarat batas Robin adalah syarat batas yang perubahan suhu pada posisi

π‘₯ = 0 dipertahankan nol derajat, sedangkan suhu pada posisi π‘₯ = 𝑙

dipertahankan nol derajat. Apabila dituliskan dalam notasi matematika, maka

πœ•π‘’(0,𝑑)

πœ•π‘₯= 𝑒(𝑙, 𝑑) = 0 dengan 𝑑 > 0. Syarat batas Robin disebut juga syarat batas

campuran. Hal ini dikarenakan, syarat batas Robin merupakan kombinasi linear

dari dari syarat batas Dirichlet dan Neumann (Dean G. Duffy, 2003 : 648).

2. Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen

Definisi 2.11 Masalah Sturm-Liouville (Dean G. Duffy, 2003:501):

Diberikan Persamaan Diferensial linear berorde 2 berikut ini

𝑑

𝑑π‘₯[𝑝(π‘₯)

𝑑𝑦

𝑑π‘₯] + [π‘ž(π‘₯) + πœ†π‘Ÿ(π‘₯)]𝑦 = 0

𝑝(π‘₯)𝑑2𝑦

𝑑π‘₯2+ 𝑝′(π‘₯)

𝑑𝑦

𝑑π‘₯+ [π‘ž(π‘₯) + πœ†π‘Ÿ(π‘₯)]𝑦 = 0, untuk π‘Ž ≀ π‘₯ ≀ 𝑏

(2.19)

dengan syarat batas 𝛼𝑦(π‘Ž) + 𝛽𝑦′(π‘Ž) = 0 dan 𝛾𝑦(π‘Ž) + 𝛿𝑦′(𝑏) = 0. Dalam hal

ini nilai dari 𝑝(π‘₯), π‘ž(π‘₯), dan π‘Ÿ(π‘₯) merupakan fungsi bilangan real atas π‘₯, πœ†

adalah suatu parameter. Nilai dari 𝛼, 𝛽, 𝛾, 𝛿 merupakan suatu konstanta real,

sedangkan nilai dari 𝑝(π‘₯) dan π‘Ÿ(π‘₯) merupakan suatu fungsi yang kontinu dan

positif yang terletak pada interval π‘Ž ≀ π‘₯ ≀ 𝑏, sehingga Persamaan (2.19)

disebut sebagai Masalah Sturm-Liouville.

Ketika 𝑝(π‘₯) atau π‘Ÿ(π‘₯) hilang di salah satu ujung interval [π‘Ž, 𝑏] atau pada interval

tak terbatas, masalah ini merupakan masalah Sturm-Liouville tunggal. Dengan

mempertimbangkan solusi untuk masalah reguler Sturm-Liouville, diperoleh

Page 24: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

29

solusi 𝑦 = 0 untuk semua nilai πœ†. Namun, solusi nontrivial ada jika diambil

nilai tertentu, nilai ini disebut nilai karakteristik atau nilai eigen. Nilai yang

sesuai solusi nontrivial adalah disebut fungsi karakteristik atau fungsi eigen.

(Dean G. Duffy, 2003 : 502).

Selanjutnya, akan ditentukan akar-akar karakteristik dari Persamaan

(2.19). Secara umum, akar-akar karakteristik dari suatu persamaan diferensial

linear homogen orde 2 dibedakan menjadi 3, yaitu:

1. Akar-akar karakteristik riil berbeda

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.19) adalah π‘Ž

dan 𝑏, maka solusi umum dari Persamaan (2.19) adalah

𝑦 = 𝑐1π‘’π‘Žπ‘₯ + 𝑐2𝑒𝑏π‘₯ = 𝑐1π‘π‘œπ‘ β„Ž(π‘Žπ‘₯) + 𝑐2π‘ π‘–π‘›β„Ž (𝑏π‘₯).

2. Akar-akar karakteristik riil kembar

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.19) suatu

akar riil kembar yaitu π‘Ž, maka solusi umum dari Persamaan (2.19) adalah

𝑦 = 𝑐1π‘’π‘Žπ‘₯ + 𝑐2π‘₯π‘’π‘Žπ‘₯ .

3. Akar-akar karakteristik bilangan kompleks

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.19) adalah

π‘Ž + 𝑖𝑏 dan π‘Ž βˆ’ 𝑖𝑏, maka solusi umum dari Persamaan (2.19) adalah

𝑦 = 𝑐1π‘π‘œπ‘ (𝑏π‘₯) + 𝑐2𝑠𝑖𝑛(𝑏π‘₯)

(Ross,L.S, 1984 :126).

Page 25: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

30

Contoh 2.9:

Akan ditentukan solusi umum dari Masalah Sturm-Liouville pada Persamaan

(2.20)

𝑋"(π‘₯) βˆ’ π‘˜2𝑋(π‘₯) = 0. (2.20)

Persamaan karakteristik pada Persamaan (2.20) adalah

π‘š2 βˆ’ π‘˜2 = 0

(π‘š βˆ’ π‘˜)(π‘š + π‘˜) = 0

π‘š1,2 = Β±π‘˜

sehingga solusi umum Persamaan (2.20) adalah

𝑋(π‘₯) = 𝑐3π‘’π‘˜π‘₯ + 𝑐4π‘’βˆ’π‘˜π‘₯

𝑋(π‘₯) = (𝑐1 + 𝑐2

2) π‘’π‘˜π‘₯ + (

𝑐1 βˆ’ 𝑐2

2) π‘’βˆ’π‘˜π‘₯

𝑋(π‘₯) = (𝑐1

2) π‘’π‘˜π‘₯ + (

𝑐2

2) π‘’π‘˜π‘₯ + + (

𝑐1

2) π‘’βˆ’π‘˜π‘₯ βˆ’ (

𝑐2

2) π‘’βˆ’π‘˜π‘₯

𝑋(π‘₯) = (𝑐1

2) π‘’π‘˜π‘₯ + (

𝑐1

2) π‘’βˆ’π‘˜π‘₯ + (

𝑐2

2) π‘’π‘˜π‘₯ βˆ’ (

𝑐2

2) π‘’βˆ’π‘˜π‘₯

𝑋(π‘₯) = 𝑐1 (π‘’π‘˜π‘₯ + π‘’βˆ’π‘˜π‘₯

2) + 𝑐2 (

π‘’π‘˜π‘₯ βˆ’ π‘’βˆ’π‘˜π‘₯

2)

𝑋(π‘₯) = 𝑐1π‘π‘œπ‘ β„Ž(π‘˜π‘₯) + 𝑐2π‘ π‘–π‘›β„Ž(π‘˜π‘₯).

Jadi, solusi umum dari Persamaan (2.20) adalah

Page 26: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

31

𝑋(π‘₯) = 𝑐1π‘π‘œπ‘ β„Ž(π‘˜π‘₯) + 𝑐2π‘ π‘–π‘›β„Ž(π‘˜π‘₯).

Contoh 2.10:

Akan ditentukan solusi umum dari Masalah Sturm-Liouville pada

Persamaan (2.21)

𝑋"(π‘₯) βˆ’ 2π‘˜π‘‹β€²(π‘₯) + π‘˜2𝑋(π‘₯) = 0. (2.21)

Persamaan karakteristik dari Persamaan (2.21) adalah

π‘š2 βˆ’ 2π‘˜π‘š + π‘˜2 = 0

(π‘š βˆ’ π‘˜)2 = 0

π‘š1,2 = π‘˜

Jadi, solusi umum dari Persamaan (2.21) adalah

𝑋(π‘₯) = 𝑐1π‘’π‘˜π‘₯ + 𝑐2π‘₯π‘’π‘˜π‘₯.

Contoh 2.11:

Akan ditentukan solusi umum dari Masalah Sturm-Liouville pada

Persamaan (2.22)

𝑋"(π‘₯) + π‘˜2𝑋(π‘₯) = 0. (2.22)

Persamaan karakteristik dari Persamaan (2.22) adalah

π‘š2 + π‘˜2 = 0

π‘š = Β±βˆšβˆ’π‘˜2

Page 27: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

32

π‘š1,2 = Β±π‘˜π‘–

sehingga solusi umum Persamaan (2.22) adalah

𝑋(π‘₯) = 𝑐3π‘’π‘˜π‘₯𝑖 + 𝑐4π‘’βˆ’π‘˜π‘₯𝑖

𝑋(π‘₯) = 𝑐3(π‘π‘œπ‘ (π‘˜π‘₯) + 𝑖 𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘₯)) + 𝑐4(π‘π‘œπ‘ (π‘˜π‘₯) βˆ’ 𝑖 𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘₯))

𝑋(π‘₯) = 𝑐3π‘π‘œπ‘ (π‘˜π‘₯) + 𝑖𝑐3𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘₯) + 𝑐4π‘π‘œπ‘ (π‘˜π‘₯) βˆ’ 𝑐4𝑖 𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘₯)

𝑋(π‘₯) = 𝑐3π‘π‘œπ‘ (π‘˜π‘₯) + 𝑐4π‘π‘œπ‘ (π‘˜π‘₯) + 𝑖𝑐3𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘₯) βˆ’ 𝑐4𝑖 𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘₯)

𝑋(π‘₯) = (𝑐3 + 𝑐4)π‘π‘œπ‘ (π‘˜π‘₯) + 𝑖(𝑐3 βˆ’ 𝑐4) 𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘₯)

𝑋(π‘₯) = 𝑐1π‘π‘œπ‘ (π‘˜π‘₯) + 𝑐2 𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘₯)

Jadi, solusi umum dari Persamaan (2.22) adalah

𝑋(π‘₯) = 𝑐1π‘π‘œπ‘ (π‘˜π‘₯) + 𝑐2 𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘₯).

3. Ortogonal Fungsi Eigen

Diberikan fungsi 𝑓(π‘₯) yang terdefinisi pada interval π‘Ž < π‘₯ < 𝑏. Kita

dapat menuliskan 𝑓(π‘₯) dalam bentuk fungsi eigen 𝑦𝑛(π‘₯), sehingga

𝑓(π‘₯) = βˆ‘ 𝑐𝑛𝑦𝑛(π‘₯)

∞

𝑛=1

. (2.23)

Setelah itu kalikan Persamaan (2.23) dengan π‘Ÿ(π‘₯)π‘¦π‘š(π‘₯) dengan π‘š adalah

bilangan bulat dan integralkan Persamaan (2.23)dengan batas bawah π‘Ž dan

batas atas 𝑏. Persamaan (2.23) dapat dituliskan menjadi

Page 28: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

33

∫ π‘Ÿ(π‘₯)𝑓(π‘₯)π‘¦π‘š(π‘₯)𝑑π‘₯ =

𝑏

π‘Ž

βˆ‘ 𝑐𝑛 ∫ π‘Ÿ(π‘₯)

𝑏

π‘Ž

𝑦𝑛(π‘₯)π‘¦π‘š(π‘₯)𝑑π‘₯

∞

𝑛=1

(2.24)

Bentuk Orthogonal yang berada di ruas kanan di Persamaan (2.24) nilainya

akan sama dengan 0, kecuali nilai π‘š = 𝑛, sehingga Persamaan (2.24) menjadi

∫ π‘Ÿ(π‘₯)𝑓(π‘₯)π‘¦π‘š(π‘₯)𝑑π‘₯ =

𝑏

π‘Ž

π‘π‘š ∫ π‘Ÿ(π‘₯)

𝑏

π‘Ž

π‘¦π‘š(π‘₯)π‘¦π‘š(π‘₯)𝑑π‘₯

π‘π‘š =∫ π‘Ÿ(π‘₯)𝑓(π‘₯)π‘¦π‘š(π‘₯)𝑑π‘₯

𝑏

π‘Ž

∫ π‘Ÿ(π‘₯)𝑏

π‘Žπ‘¦π‘š

2 (π‘₯)𝑑π‘₯

(2.25)

kemudian Persamaan (2.25) disebut sebagai Koefisien Fourier secara umum

(Dennis & Michael, 2009:401).

4. Metode Separasi Variabel

Metode Separasi Variabel merupakan salah satu metode yang

digunakan untuk menyelesaikan masalah persamaan Diferensial parsial. Pada

prinsipnya metode ini adalah mengkonversikan masalah persamaan Diferensial

parsial ke dalam persaman Diferensial biasa.Langkah-langkah

penyelesaian(Dean G. Duffy, 2003 : 574):

1. Subtitusi fungsi dari solusi Persamaan diferesial parsial dan pisahkan fungsi

yang memuat satu variabel diruas yang berbeda dengan operasi setiap

fungsinya adalah perkalian.

2. Ambil konstanta pemisah, misalkan – πœ† dengan πœ† merupakan bilangan riil.

3. Pisahkan masing-masing variabel, sehingga diperoleh Persamaan

diferensial biasa.

Page 29: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

34

4. Berdasarkan langkah 3, pisahkan menjadi 3 kemungkinan, yaitu nilai πœ† <

0, πœ† = 0 dan πœ† > 0 dengan mengambil subtitusi pada syarat batas.

5. Berdasarkan langkah 4 tentukan nilai eigen dan fungsi eigen.

6. Selesaikan masalah persamaan diferensial biasa untuk variabel yang lain

dengan menggunakan nilai eigen yang diperoleh pada langkah 5.

7. Gunakan prinsip superposisi untuk memperoleh solusi umum persamaan

diferensial linear homogen orde 2.

Contoh 2.12:

πœ•2𝑒

πœ•π‘‘2= 𝑐2

πœ•2𝑒

πœ•π‘₯2.

(2.26)

dengan syarat batas Dirichlet 𝑒(0, 𝑑) = 𝑒(𝑙, 𝑑) = 0.

Langkah penyelesaian:

1. Ambil subtitusi fungsi dari solusi Persamaan diferesial parsial dan pisahkan

fungsi yang memuat satu variabel diruas yang berbeda dengan operasi setiap

fungsinya adalah perkalian.

Ambil substitusi 𝑒(π‘₯, 𝑑) = 𝑋(π‘₯)𝑇(𝑑), sehingga diperoleh πœ•2𝑒

πœ•π‘‘2 =

𝑋(π‘₯)𝑇"(𝑑) dan πœ•2𝑒

πœ•π‘₯2 = 𝑋"(π‘₯)𝑇(𝑑), kemudian hasilnya disubtitusikan ke

Persamaan (2.26), maka diperoleh

πœ•2𝑒

πœ•π‘‘2= 𝑐2

πœ•2𝑒

πœ•π‘₯2

Page 30: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

35

𝑋(π‘₯)𝑇"(𝑑) = 𝑐2(𝑋"(π‘₯)𝑇(𝑑)) (2.27)

2. Ambil konstanta pemisah, misalkan – πœ† dengan πœ† merupakan bilangan riil.

Sehingga, Persamaan (2.27) menjadi

𝑋(π‘₯)𝑇"(𝑑) = 𝑐2(𝑋"(π‘₯)𝑇(𝑑)) = βˆ’πœ†. (2.28)

3. Pisahkan masing-masing variabel, sehingga menjadi Persamaan diferensial

biasa.

𝑇"(𝑑)

𝑐2𝑇(𝑑)=

𝑋"(π‘₯)

𝑋(π‘₯)= βˆ’πœ†.

(2.29)

Berdasarkan Persamaan (2.29), sehingga diperoleh Masalah Sturm-Liouville

𝑋"(π‘₯)

𝑋(π‘₯)= βˆ’πœ†

(2.30)

𝑇"(𝑑)

𝑐2𝑇(𝑑)= βˆ’πœ†.

(2.31)

4. Berdasarkan langkah 3, pisahkan menjadi 3 kemungkinan, yaitu nilai πœ† <

0, πœ† = 0 dan πœ† > 0 dengan mengambil subtitusi pada syarat batas.

Kemungkinan 1: untuk nilai πœ† = βˆ’π‘˜2 < 0, sehingga Persamaan (2.30)

menjadi

𝑋"(π‘₯) βˆ’ π‘˜2𝑋(π‘₯) = 0. (2.32)

Solusi umum Persamaan (2.32) adalah

𝑋(π‘₯) = 𝑐1π‘π‘œπ‘ β„Ž(π‘˜π‘₯) + 𝑐2π‘ π‘–π‘›β„Ž(π‘˜π‘₯).

Syarat batas 𝑋(0) = 0 β†’ 𝑋(π‘₯) = 𝐢1 π‘π‘œπ‘ β„Ž(π‘˜π‘₯) + 𝐢2π‘ π‘–π‘›β„Ž (π‘˜π‘₯)

Page 31: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

36

𝑋(0) = 𝐢1 π‘π‘œπ‘ β„Ž(π‘˜. 0) + 𝐢2π‘ π‘–π‘›β„Ž (π‘˜. 0)

0 = 𝐢1. 1 + 𝐢2. 0

𝐢1 = 0

syarat batas 𝑋(𝑙) = 0 β†’ 𝑋(π‘₯) = 𝐢1 π‘π‘œπ‘ β„Ž(π‘˜π‘₯) + 𝐢2π‘ π‘–π‘›β„Ž (π‘˜π‘₯)

𝑋(𝑙) = 0. π‘π‘œπ‘ β„Ž(π‘˜π‘™) + 𝐢2π‘ π‘–π‘›β„Ž (π‘˜π‘™)

0 = 𝐢2

karena 𝐢1 = 𝐢2 = 0, sehingga untuk nilai πœ† = βˆ’π‘˜2 < 0 diperoleh solusi

trivial.

Kemungkinan 2: untuk nilai πœ† = 0, sehingga Persamaan (2.30) menjadi

𝑋"(π‘₯) = 0. (2.33)

Apabila kedua ruas pada Persamaan (2.33) diintegralkan, maka diperoleh

∫ 𝑋"(π‘₯)𝑑π‘₯ = ∫ 0 𝑑π‘₯

𝑋′(π‘₯) = 𝑐2

∫ 𝑋′(π‘₯)𝑑π‘₯ = ∫ 𝑐2 𝑑π‘₯

𝑋(π‘₯) = 𝑐1 + 𝑐2π‘₯.

Syarat batas 𝑋(0) = 0 β†’ 𝑋(π‘₯) = 𝐢1 + 𝐢2π‘₯

𝑋(0) = 𝐢1 + 𝐢2. 0

𝐢1 = 0

syarat batas 𝑋(𝑙) = 0 β†’ 𝑋(π‘₯) = 𝐢1 + 𝐢2π‘₯

Page 32: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

37

𝑋(𝑙) = 0 + 𝐢2. 𝑙

𝐢2 = 0

karena 𝐢1 = 𝐢2 = 0, sehingga untuk nilai πœ† = 0 diperoleh solusi trivial.

Kemungkinan 3: untuk nilai πœ† = π‘˜2 > 0, sehingga Persamaan (2.30)

menjadi

𝑋"(π‘₯) + π‘˜2𝑋(π‘₯) = 0. (2.34)

Solusi umum Persamaan (2.34) adalah

𝑋(π‘₯) = 𝑐1π‘π‘œπ‘ (π‘˜π‘₯) + 𝑐2 𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘₯)

syarat batas 𝑋(0) = 0 β†’ 𝑋(π‘₯) = 𝐢1π‘π‘œπ‘  (π‘˜π‘₯) + 𝐢2𝑠𝑖𝑛 (π‘˜π‘₯)

𝑋(0) = 𝐢1π‘π‘œπ‘  (π‘˜. 0) + 𝐢2𝑠𝑖𝑛 (π‘˜. 0)

0 = 𝐢1. 1 + 𝐢2. 0

𝐢1 = 0

syarat batas 𝑋(𝑙) = 0 β†’ 𝑋(π‘₯) = 𝐢1π‘π‘œπ‘  (π‘˜π‘₯) + 𝐢2𝑠𝑖𝑛 (π‘˜π‘₯)

𝑋(𝑙) = 0. π‘π‘œπ‘  (π‘˜π‘™) + 𝐢2𝑠𝑖𝑛 (π‘˜π‘™)

0 = 𝐢2 𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘™).

Agar diperoleh solusi nontrivial, maka nilai 𝐢2 β‰  0. Tetapi nilai dari

𝑠𝑖𝑛(π‘˜π‘™) = 0

π‘˜π‘™ = π‘›πœ‹, 𝑛 = 1,2,3 …. (2.35)

Page 33: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

38

5. Berdasarkan langkah 4, tentukan nilai eigen dan fungsi eigen. Nilai dari

π‘˜ pada Persamaan (2.35) bergantung dengan 𝑛, sehingga π‘˜ = π‘˜π‘›. Oleh

karena itu Persamaan (2.35) dapat dituliskan

π‘˜π‘›π‘™ = π‘›πœ‹, 𝑛 = 1,2,3 ….

π‘˜π‘› =π‘›πœ‹

𝑙, 𝑛 = 1,2,3 ….

Karena nilai dari 𝑋(π‘₯) = 𝐢1π‘π‘œπ‘  (π‘˜π‘₯) + 𝐢2𝑠𝑖𝑛 (π‘˜π‘₯), dengan

𝐢1 = 0, sehingga 𝑋(π‘₯) = 𝐢2𝑠𝑖𝑛 (π‘˜π‘₯). Nilai dari π‘˜ bergantung pada 𝑛, hal

tersebut berakibat nilai dari 𝑋(π‘₯) juga bergantung pada 𝑛. Jadi, fungsi eigen

dari Persamaan (2.34) adalah

𝑋𝑛(π‘₯) = 𝐢2𝑠𝑖𝑛 (π‘›πœ‹

𝑙π‘₯) dengan 𝑛 = 1,2,3,4 …. (2.36)

6. Selesaikan masalah persamaan diferensial biasa untuk variabel yang lain

dengan menggunakan nilai eigen yang diperoleh pada langkah 5.

Selanjutnya akan ditentukan solusi dari Persamaan

𝑇"(𝑑)

𝑐2𝑇(𝑑)= βˆ’πœ†.

(2.37)

Mengingat nilai πœ† yang memenuhi adalah πœ† = π‘˜2 > 0 dan nilai π‘˜

bergantung pada 𝑛. Hal itu berakibat nilai dari 𝑇(𝑑) juga bergantung pada

𝑛, sehingga πœ†π‘› = π‘˜π‘›2 = (

π‘›πœ‹

𝑙)

2, 𝑛 = 1,2,3 …. Persamaan (2.37) dapat

dituliskan menjadi

𝑇"(𝑑) + 𝑐2π‘˜2𝑇(𝑑) = 0

Page 34: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

39

dan diperoleh solusi dari Persamaan (2.37) adalah

𝑇(𝑑) = 𝐢3π‘π‘œπ‘ (π‘π‘˜π‘‘) + 𝐢4𝑠𝑖𝑛(π‘π‘˜π‘‘)

𝑇𝑛(𝑑) = (𝐢3)π‘›π‘π‘œπ‘  (π‘›πœ‹π‘π‘‘

𝑙) + (𝐢4)𝑛𝑠𝑖𝑛 (

π‘›πœ‹π‘π‘‘

𝑙)

(2.38)

7. Gunakan prinsip superposisi untuk memperoleh solusi umum persamaan

diferensial linear homogen orde 2. Berdasarkan Persamaan (2.36) dan

Persamaan (2.38) nilai dari 𝑋(π‘₯), 𝑇(𝑑) bergantung pada 𝑛, sehingga nilai

dari 𝑒(π‘₯, 𝑑) juga bergantung pada 𝑛. Oleh karena itu, 𝑒(π‘₯, 𝑑) = 𝑋(π‘₯). 𝑇(𝑑)

dapat dituliskan menjadi

𝑒𝑛(π‘₯, 𝑑) = ((𝐢3)π‘›π‘π‘œπ‘  (π‘›πœ‹π‘π‘‘

𝑙) + (𝐢4)𝑛𝑠𝑖𝑛 (

π‘›πœ‹π‘π‘‘

𝑙)) (𝐢2𝑠𝑖𝑛 (

π‘›πœ‹

𝑙π‘₯))

(2.39)

dengan 𝑛 = 1,2,3 … Apabila Persamaan (2.39) diubah dengan menggunakan

prinsip superposisi, maka didapatkan

𝑒(π‘₯, 𝑑) = βˆ‘ ((𝐢3)π‘›π‘π‘œπ‘  (π‘›πœ‹π‘π‘‘

𝑙) + (𝐢4)𝑛𝑠𝑖𝑛 (

π‘›πœ‹π‘π‘‘

𝑙)) (𝐢2𝑠𝑖𝑛 (

π‘›πœ‹

𝑙π‘₯))

∞

𝑛=1

(Walter A. Strauss, 1992 : 83).

Definisi 2.12 Deret Fourier ( Dennis G Zill & Warren Wright 2013: 427):

Deret fourier pada fungsi 𝑓 yang terdefinisi pada interval (βˆ’π‘, 𝑝)adalah

𝑓(π‘₯) =π‘Ž0

2+ βˆ‘ (π‘Žπ‘›π‘π‘œπ‘  (

π‘›πœ‹π‘₯

𝑝) + 𝑏𝑛𝑠𝑖𝑛 (

π‘›πœ‹π‘₯

𝑝))

∞

𝑛=1

dengan

5. Deret Fourier

Page 35: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

40

π‘Ž0 =1

π‘βˆ« 𝑓(π‘₯)𝑑π‘₯

𝑝

βˆ’π‘

π‘Žπ‘› =1

π‘βˆ« 𝑓(π‘₯)π‘π‘œπ‘  (

π‘›πœ‹π‘₯

𝑝) 𝑑π‘₯

𝑝

βˆ’π‘

𝑏𝑛 =1

π‘βˆ« 𝑓(π‘₯)𝑠𝑖𝑛 (

π‘›πœ‹π‘₯

𝑝) 𝑑π‘₯

𝑝

βˆ’π‘

Contoh 2.13:

Akan ditentukan deret Fourier dari 𝑓(π‘₯) = {βˆ’π‘₯, jika βˆ’ 1 < π‘₯ < 0

π‘₯, jika 0 < π‘₯ < 1.

Berdasarkan Definisi (2.12) tentang deret Fourier, sehingga diperoleh nilai

dari

π‘Ž0 =1

1( ∫ βˆ’π‘₯𝑑π‘₯

0

βˆ’1

+ ∫ π‘₯𝑑π‘₯

1

0

) = βˆ’1

2π‘₯2]

βˆ’1

0

+1

2π‘₯2]

0

1

= 1

π‘Žπ‘› =1

1( ∫ βˆ’π‘₯π‘π‘œπ‘ (π‘›πœ‹π‘₯)𝑑π‘₯

0

βˆ’1

+ ∫ π‘₯π‘π‘œπ‘ (π‘›πœ‹π‘₯)𝑑π‘₯

1

0

)

π‘Žπ‘› =

βˆ’π‘₯

𝑛𝑠𝑖𝑛(π‘›πœ‹π‘₯) βˆ’

1

𝑛2π‘π‘œπ‘ (π‘›πœ‹π‘₯)]

βˆ’1

0

+π‘₯

𝑛𝑠𝑖𝑛(π‘›πœ‹π‘₯) +

1

𝑛2π‘π‘œπ‘ (π‘›πœ‹π‘₯)]

0

1

π‘Žπ‘› =

2

(π‘›πœ‹)2((βˆ’1)𝑛 βˆ’ 1)

𝑏𝑛 =1

1( ∫ βˆ’π‘₯𝑠𝑖𝑛(π‘›πœ‹π‘₯)𝑑π‘₯

0

βˆ’1

+ ∫ π‘₯𝑠𝑖𝑛(π‘›πœ‹π‘₯)𝑑π‘₯

1

0

) = 0

Page 36: BAB II KAJIAN TEORIeprints.uny.ac.id/36905/2/Bab II Kajian Teori.pdf6 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III.

41

𝑏𝑛 =

π‘₯

π‘›π‘π‘œπ‘ (π‘›πœ‹π‘₯) βˆ’

1

𝑛2𝑠𝑖𝑛(π‘›πœ‹π‘₯)]

βˆ’1

0

+βˆ’π‘₯

𝑛𝑠𝑖𝑛(π‘›πœ‹π‘₯) +

1

𝑛2π‘π‘œπ‘ (π‘›πœ‹π‘₯)]

0

1

= 0

Jadi, deret Fourier dari 𝑓(π‘₯) adalah

𝑓(π‘₯) =

π‘Ž0

2+ βˆ‘ (π‘Žπ‘›π‘π‘œπ‘  (

π‘›πœ‹π‘₯

𝑝) + 𝑏𝑛𝑠𝑖𝑛 (

π‘›πœ‹π‘₯

𝑝))

∞

𝑛=1

𝑓(π‘₯) =

1

2+ βˆ‘ (

2

(π‘›πœ‹)2((βˆ’1)𝑛 βˆ’ 1)π‘π‘œπ‘ (π‘›πœ‹π‘₯))

∞

𝑛=1

𝑓(π‘₯) =1

2βˆ’

4

πœ‹2βˆ‘ (

π‘π‘œπ‘ (π‘›πœ‹π‘₯)

𝑛2)

∞

𝑛=1,3,5…

(Mayer Humi & William B. Miller, 1992:80).

J. Sifat-Sifat Perambatan Panas

Menurut Holman(2010:6), dalam proses perambatan panas terdapat

beberapa sifat yang perlu diperhatikan, diantaranya.

1. Panas hanya mengalir dari suhu yang tinggi menuju suhu yang rendah.

2. Kecepatan perambatan panas dipengaruhi oleh konduksi bahan

penyusunnya.

3. Ketebalan batang logam, panjang batang logam, luas penampang, dan

volume penampang.