PDf lengkap - Desain Interior - UNIKOM

32
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.II No.II Tahun 2010/2011 ISSN 2301-6507 TINJAUAN BANGUNAN PURA DI INDONESIA (oleh : Febry Maharlika) Program Studi Desain Interior UNIKOM Abstrak Penelitian ini merupakan suatu tinjauan mengenai bangunan Pura yang ada di Indonesia khususnya yang ada di Bali sebagai daerah yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Bangunan Pura memiliki bentuk berpola dengan sistem yang diatur dalam pakem- pakem yang ada pada tradisi masyarakat Bali dan mengandung nilai-nilai ajaran agama Hindu salah satunya adalah Asta Kosala Kosali. Penelitian ini menjelaskan konsep, fungsi dan struktur yang berkaitan dengan pola fikir masyarakat Hindu terhadap alam dan Sang Hyang Widi Washa (Tuhan Yang Maha Esa) yang termanifestasikan lewat bangunan Pura. Setiap bangunan yang ada di dalamnya memiliki fungsi berbeda, hal tersebut mempengaruhi bentuk bangunannya sehingga bangunan yang ada di Pura memiliki ciri khas masing-masing. Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dengan menganalisa bentuk bangunan yang dikaitkan dengan dasar pemikiran masyarakat Hindu Bali mengenai pemahamannya terhadap alam dan kepercayaan yang diyakininya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa arsitektur Pura merupakan suatu bangunan yang konsep, struktur serta fungsinya mempertimbangkan pemahaman masyarakat Hindu Bali terhadap alam guna menjaga keseimbangan kosmologi yang diyakininya. Bangunan Pura merupakan bangunan yang mencerminkan salah satu pemikiran masyarakat Hindu Bali mengenai keseimbangan kosmologi yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam, dan manusia, Sang Hyang Widhi Washa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan kepercayaan yang diyakini masyarakat Hindu dengan memasukkan agar terjadi keseimbangan dan keselamatan seluruh umat manusia. Kata kunci : Bangunan Pura, Konsep, Fungsi, Agama Hindu, Asta Kosala Kosali

Transcript of PDf lengkap - Desain Interior - UNIKOM

Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.II No.II Tahun 2010/2011 ISSN 2301-6507

TINJAUAN BANGUNAN PURA DI INDONESIA

(oleh : Febry Maharlika)

Program Studi Desain Interior UNIKOM

Abstrak

Penelitian ini merupakan suatu tinjauan mengenai bangunan Pura yang ada di

Indonesia khususnya yang ada di Bali sebagai daerah yang mayoritas penduduknya beragama

Hindu. Bangunan Pura memiliki bentuk berpola dengan sistem yang diatur dalam pakem-

pakem yang ada pada tradisi masyarakat Bali dan mengandung nilai-nilai ajaran agama

Hindu salah satunya adalah Asta Kosala Kosali.

Penelitian ini menjelaskan konsep, fungsi dan struktur yang berkaitan dengan pola

fikir masyarakat Hindu terhadap alam dan Sang Hyang Widi Washa (Tuhan Yang Maha Esa)

yang termanifestasikan lewat bangunan Pura. Setiap bangunan yang ada di dalamnya

memiliki fungsi berbeda, hal tersebut mempengaruhi bentuk bangunannya sehingga

bangunan yang ada di Pura memiliki ciri khas masing-masing.

Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dengan menganalisa bentuk

bangunan yang dikaitkan dengan dasar pemikiran masyarakat Hindu Bali mengenai

pemahamannya terhadap alam dan kepercayaan yang diyakininya.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa arsitektur Pura merupakan suatu bangunan yang

konsep, struktur serta fungsinya mempertimbangkan pemahaman masyarakat Hindu Bali

terhadap alam guna menjaga keseimbangan kosmologi yang diyakininya. Bangunan Pura

merupakan bangunan yang mencerminkan salah satu pemikiran masyarakat Hindu Bali

mengenai keseimbangan kosmologi yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam,

dan manusia, Sang Hyang Widhi Washa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan kepercayaan yang

diyakini masyarakat Hindu dengan memasukkan agar terjadi keseimbangan dan keselamatan

seluruh umat manusia.

Kata kunci : Bangunan Pura, Konsep, Fungsi, Agama Hindu, Asta Kosala Kosali

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tubuh manusia terdiri dari jasmani dan rohani yang masing-masingnya memiliki

kebutuhan berbeda. Kebutuhan jasmani seperti diantaranya : pakaian, makanan, dan

pemukiman berusaha dicukupi oleh setiap manusia untuk kelangsungan hidupnya. Sedangkan

kebutuhan rohani wujudnya tidak terlihat, tetapi dapat diaplikasikan dalam bentuk kegiatan

pemujaan terhadap apa yang manusia yakini, dan dapat memenuhi kebutuhan spiritual

manusia itu sendiri. Salah satu bentuk aplikasinya adalah agama. Hampir seluruh manusia di

dunia ini memiliki agama dan kepercayaan yang dianut. Agama maupun kepercayaan

dianggap sebagai suatu kebutuhan rohani maupun aturan nyata yang salah satunya memuat

ajaran-ajaran mengenai bagaimana cara manusia seharusnya bersikap secara transendental

yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya maupun secara horizontal yang

mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Menurut UU No.1/PNPS/1965, saat ini

pemerintah Indonesia mengakui enam agama yaitu : Islam, Kristen Katolik, Kristen

Protestan, Budha, Hindu dan Khong Hu Cu. Setiap umat beragama di Indonesia mendapatkan

kebebasan untuk beribadah sesuai dengan agama yang dianut, seperti yang tercantum dalam

pasal 29 ayat 2 dalam UUD 1945.

Salah satu agama tertua yang masih tetap dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia

adalah agama Hindu. Agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang

datang dengan membawa misi perdagangan. Terdapat beberapa daerah di Indonesia yang

masyarakatnya menganut agama Hindu dikarenakan hal tersebut, tetapi dengan masuknya

pengaruh-pengaruh dari bangsa lain, maka masyarakat yang menganut agama Hindu saat ini

berkurang dan menjadi agama dengan jumlah penganut minoritas yang sebagian besar

berdomisili di Bali. Kini agama Hindu lebih dikenal dengan sebutan Hindu Bali dikarenakan

agama Hindu ini sangat merasuk dalam kehidupan masyarakat Bali, bahkan sebaliknya

budaya Bali sepertinya tidak dapat dipisahkan dari agama Hindu di Indonesia.

Berbicara mengenai agama, tidak lepas dari kegiatan peribadatan dan sarana atau

tempat peribadatan. Begitu pula dengan agama Hindu yang tempat peribadatannya disebut

dengan Pura. Pura merupakan salah satu bangunan penting bagi umat Hindu Bali yang

dikenal memiliki kehidupan religius yang tinggi. Masyarakat Bali selalu menempatkan pura

di tempat yang utama atau di tempat yang menurut aturan atau pakem yang berlaku sesuai

dengan nilai-nilai spiritual umat Hindu. Bali sebagai pulau yang masyarakatnya sebagian

besar menganut agama Hindu, memiliki banyak sekali bangunan pura dengan nilai historis

yang tinggi bagi kehidupan spiritual masyarakatnya. Diantaranya Pura Besakih, Pura

Lempuyang Luhur, Pura Uluwatu, Pura Goa Lawah, Pura Batukaru dan Pura Pusering jagad.

Pura-pura tersebut merupakan pura-pura utama yang menurut kepercayaan masyarakat Bali

merupakan sendi-sendi pulau Bali.

Gbr.01. Pura Besakih

Sumber : seputar-bali.blogspot.com/.../pura-di-bali.htm

Jika diperhatikan, setiap bangunan Pura memiliki kesamaan konsep dan struktur.

Arsitektur Pura memiliki konsep lapangan, yakni tiap bangunannya dipisahkan berdasarkan

fungsinya. Pura secara keseluruhan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Nista Mandala (bagian

terluar), Madya Mandala (bagian tengah) dan Utama Mandala (bagian dalam). Jadi, walaupun

kita telah berada di dalam Pura kita tetap dapat menemukan halaman terbuka. Hal tersebut

dikarenakan pada bangunan pura, walaupun bangunan-bangunannya dipisahkan seperti

kompleks bangunan, tetapi tetap dianggap sebagai suatu kesatuan dari pura. Pembatas antara

bagian dalam pura dengan bagian luar pura adalah tembok Panyengker.

Hal ini dikarenakan ada pakem-pakem yang mengatur pembuatan Pura dan harus

dipatuhi dimanapun Pura itu berada. Arsitektur Pura sebagai tempat beribadahpun berbeda

arsitektur Bali lainnya. Walaupun ada pemahaman logika mengenai ruang yang sama dengan

arsitektur tradisional Bali lainnya, tetapi bangunan Pura dari segi konsep maupun struktur

lebih dikaitkan dengan pemahaman masyarakat Bali terhadap ajaran agamanya. Dalam

pemahaman kosmologinya, masyarakat Bali berusaha untuk menyeimbangkan hubungan

keseluruhan elemen dalam alam semesta. Yakni keseimbangan hubungan antara manusia

dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan penciptanya (Sang Hyang Widi

Washa)

1.2. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, maka teridentifikasi masalah bahwa pada setiap Pura,

terdapat suatu konsep dan struktur yang sama satu sama lain. Hal itu dikarenakan ada pakem-

pakem yang diikuti oleh masayarakat Hindu Bali dalam membangun suatu Pura yang

didasarkan oleh logika masyarakatnya yang berdasar pada keyakinan agamanya.

1.3. Rumusan Masalah

Dari indentifikasi masalah di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimana konsep dan struktur Pura

Bagaimana pemahaman masyarakat Hindu Bali terhadap keyakinannya sehingga

mempengaruhi konsep arsitektur Pura

BAB II

TINJAUAN UMUM PURA

2.1. Pengertian dan Fungsi Pura

2.1.1.Pengertian Pura

Pura adalah istilah tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Secara etimologi kata pura

berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -puram, -pore), yang artinya adalah kota,

kota berbenteng atau kota dengan menara atau istana. Pada awalnya, istilah Pura berasal dari

bahasa Sansekerta, yang berarti kota atau benteng yang sekarang artinya berubah menjadi

tempat pemujaan Sang Hyang Widhi. Sebelumnya, tempat suci/ tempat pemujaan disebut

Kahyangan atau Hyang. (Pengertian Pura. diakses pada 10 Nopember 2008

(www.wikipedia.com).

Pura dapat dikelompokkan dalam berbagai jenis, namun walaupun demikian, tidak

mempengaruhi bentuk fisik dari pura tersebut. Pengelompokkan adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan Fungsinya

Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang

Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya atau

dengan segala perwujudannya.

Pura Kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja roh suci

leluhur. Masyartakat Bali percaya bahwa setelah melalui upacara penyucian, roh

leluhur memasuki alam dewata. Secara fisik tidak terlihat perbedaannya, tetapi hal

tersebut dapat dibedakan dengan pedagingannya.

b. Berdasarkan pemuja pura

Pura yang penyungsungnya atau pemujanya berasal dari satu keluarga

atau mempunyai hubungan darah. Kelompok Pura ini adalah Sanggah, sebutan untuk

golongan jaba (diluar Tri Wangsa), Pemerajan (sebutan untuk golongan Tri

Wangsa), Dadia dan Kawitan.

Pura yang penyungsungnya atau pemujanya berasal dari satu wilayah

atau teritorial yang sama. Kelompok Pura ini pura Kahyangan Tiga (Pura Desa dan

Bale Agung, Pura Puseh, Pura Dalem). Pura Kahyangan Tiga memiliki tiga macam

Pura yang masing-masing merupakan tempat pemujaan Trimurthi (perwujudan Sang

Hyang Widhi), yaitu;

-Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Brahma, yaitu

perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta alam semesta. Pura ini

letaknya di pusat desa dan biasa disebut sebagai Pura Desa.

-Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Wisnu, yaitu

perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pemelihara alam semesta. Pura ini

disebut Pura Puseh dan letaknya berdekatan dengan Pura Desa atau satu

tempat dengan Pura Desa.

-Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Siwa, yaitu perwujudan

Ida Sang Hyang Widhi sebagai Sang Pelebur. Pura ini disebut Pura Dalem,

dan biasanya terletak di dekat kuburan desa, di tepi, atau di luar desa.

Pura yang penyungsungnya atau pemujanya mempunyai kepentingan

yang sama atau fungsional. Pura ini biasa disebut sebagai Pura Pengulu. Pura ini

diperuntukkan bagi umat Hindu yang memiliki profesi yang sama, sebagai contoh

petani, nelayan, dan lain-lain.

Pura yang penyungsungnya atau pemujanya mempunyai ikatan

keagamaan secara umum untuk seluruh umat tidak ada batasannya. Kelompok Pura

ini adalah Pura Sad Kahyangan (Pura Besakih, Pura Lempuyang, Goa Lawah, Pura

Luhur Uluwatu, Pura Bukit Pengelengan, Pura Watukaru), Pura Kahyangan jagat

(Pura Batur, Pura Andakasa, Pura Tanah Lot, Pura Pulaki, dan lain – lain termasuk

Pura Sad Kahyangan di atas) yang tersebar di seluruh Bali. Biasanya Pura Sad

Kahyangan dijadikan tempat untuk mengadakan upacara yang diperuntukkan untuk

alam, seperti hutan, kebun, ladang, gunung, laut, danau, dan lain-lain.

c. Pura Penunggu, yaitu Pura yang sengaja dibangun di tempat-tempat yang dianggap

angker atau ada penunggunya, seperti goa,lokasi tempat terjadi kecelakaan, dekat

pohon besar yang dianggap angker, dan lain-lain.

2.1.2. Fungsi dan Kegiatan dalam Pura

Sebagai bagunan suci, Pura merupakan sarana peribadatan bagi umat Hindu dalam

usahanya melakukan penyerahan diri dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi

Wasa sehingga dapat meningkatkan kualitas umat manusia sebagai makhluk individu dan

makhluk sosial. Di tempat suci seperti Pura, diharapkan manusia dapat mengembangkan

dirinya untuk saling mengenal diantara sesama umat sehingga kerukunan intern umat Hindu

dapat terwujud.

Pura digunakan oleh umat Hindu untuk melakukan upacara–upacara yang bersifat

keagamaan. Secara keseluruhan, kegiatan upacara dapat dibagi menjadi lima macam upacara

(Panca-Yadnya). Panca Yadnya merupakan lima pokok penuntun pelaksanaan upacara

yadnya di Bali. Upacara-upacara tersebut dilakukan berdasarkan suatu sistem penanggalan,

yaitu :

Dewa–Yadnya,upacara kepada Dewa-dewa yang bersemayam di pura–

pura, sanggah atau pemerajan. Bagi umat Hindu, Dewa merupakan perantara ketika

Tuhan memberikan berkah-Nya kepada manusia.

Bhuta–Yadnya, upacara korban untuk para Bhuta, yaitu Panca Maha

Bhuta terdiri dari Akaca (Angkasa), Bayu (Angin), Teja (Api), Apah (Air), dan

Pertiwi (Tanah) sampai Bhuta-Kala yang dipercaya ikut menyelamatkan masyarakat

atau roh kekuatan di luar manusia yang kasat mata.

Manusia–Yadnya, upacara terhadap manusia agar menjadi selamat,

sejahtera, luhur budinya, sehingga melahirkan masyarakat susila.

Pitra – Yadnya, upacara untuk roh-roh leluhur yang telah

mengadakan, melahirkan, dan memelihara manusia, guna mendoakan leluhur agar

mendapat tempat yang sebaik-baiknya di alam baka dan cepat mencapai moksa

menyatu dengan Tuhan.

Rsi – Yadnya, upacara untuk para pandita atau orang suci yang telah

memimpin upacara demi keselamatan bersama.

Disamping tempat beribadat Pura juga berfungsi sebagai tempat untuk melakukan

pembinaan rohani, dalam rangka mempertebal keyakinan umat Hindu terhadap ajaran

agamanya. Biasanya teradapat bangunan terpisah semacam kelas di samping Pura yang

dipergunakan sebagai tempat pembinaan keagamaan.

2.2. Arsitektur Pura

Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan

masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun temurun dengan segala aturan-aturan

yang diwarisi sejak zaman dahulu. Masyarakat Bali memiliki aturan atau patokan yang jelas

dalam mendirikan suatu bangunan, yang kini dikenal sebagai arsitektur tradisional Bali. Salah

satu lontar yang berisi aturan-aturan mengenai pembangunan arsitektur tradisional Bali

adalah Lontar Asta Kosala Kosali, dikatakan lontar karena pada zaman Bali Kuna,

masyarakatnya menulis aturan-aturan di sebuah daun lontar.

Asta Kosali dalam bagian utamanya biasanya diisi dengan aturan-aturan yang

menentukan dimensi-dimensi ideal pada bangunan, yang diukur berdasarkan ukuran tubuh

manusia dengan menggunakan satuan ukur Depa, Asta, Musti dan lainnya. Lontar ini paling

banyak digunakan oleh masyarakat Bali dalam pembuatan bangunan tradisional Bali. Salah

satu wujud fisik dari arsitektur Bali yang menggunakan acuan Asta Kosala-Kosali adalah

Pura. Pada arsitektur Pura, para undagi memiliki acuan yang sama dengan bangunan

tradisional Bali lainnya meskipun di dalamnya terdapat perbedaan bangunan berdasarkan

fungsi dari bangunan tersebut. Berikut adalah tiga falsafah yang mendasari perwujudan

arsitektur tradisional Bali, termasuk Pura.

a) Tri Hita Karana

Tri Hita Karana, berasal dari tiga kata, yaitu Tri adalah tiga, Hita adalah

kemakmuran, baik, gembira, senang, dan lestari; dan Karana adalah sebab musabab. Dari

tiga kata tersebut maka arti Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kehidupan (gembira, baik).

Unsurnya adalah atma (jiwa atau zat penghidup), Prana (tenaga), Angga (jasad/fisik). Pada

alam semesta (Bhuwana Agung) memiliki jiwa yaitu praatma (Sang Pencipta) dan Khaya

yaitu segala bentuk tenaga alam yaitu seperti tenaga laut, angin, panas bumi, dan lain-lain,

sedangkan angga yaitu segenap materi yang terdapat dalam bumi yang disebut dengan

sebutan Panca Maha Bhuta. Jika ketiga unsur ini dalam satu kesatuan dan seimbang maka

kehidupan manusia dan alam semesta akan lebih optimal dan kebahagiaan akan tercapai.

Penerapan konsepsi Tri Hita Karana pada arsitektur tradisional Bali adalah pada pola

ruang pemukiman masyarakatnya dalam sebuah desa, hal ini tercermin dengan adanya

Parhyangan (kawasan suci) atau Pura Desa sebagai jiwa dari desa tersebut, Pawongan

(kawasan aktifitas manusia) yakni warga desa sebagai khaya, dan Palemahan (kawasan untuk

memberikan pelayanan) yakni teritorial desa sebagai angga.

b) Panca Maha Bhuta

Panca Maha bhuta adalah lima unsur pembentuk kehidupan manusia, alam, dan

lingkungannya. Lima unsur ini terdiri dari apah (cairan), teja (sinar), bayu (angin), akaca

(udara),pertiwi (zat padat) yang senantiasa dijaga keseimbangannya dengan tujuan

menyeimbangkan kehidupan. Kelima elemen ini digunakan dalam arsitektur tradisional Bali

sebagai salah satu perwujudan kosmos sebagai bhuana agung, untuk manusia sebagai bhuana

alit. Untuk itu arsitektur tradisioanal Bali memperhatikan iklim dengan sebaik-baiknya.

Penataan pekarangan, pola ruang, struktur konstruksi dan pemilihan bahan juga

diperhitungkan untuk keseimbangan pengkondisian manusia dan alamnya.

c) Nawa Sanga

Filosofi dasar selanjutnya adalah Nawa Sanga, yaitu sembilan lintasan yang masing-

masing berkedudukan pada arah tertentu yang menjadi representasi dari alam semesta yang

berpusat di tengah. Masing-masing merupakan arah mata angin yang dilambangkan oleh

dewa-dewa beserta lambang warna serta senjatanya.

Gbr.04 Nawa sanga

Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm

Berikut adalah dewa-dewa yang dilambangkan berdasarkan nawa sanga;

1. Dewa wisnu

Gbr.05 Dewa Wisnu

Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm

Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara,bersenjata Chakra Sudarshana, dan

Garuda sebagai kendaraannya. Dewa Wisnu merupakan salah satu dari dewa

Trimurthi. Selain sebagai kendaraan bagi Dewa Wisnu, Garuda merupakan simbol

atau perlambang pelepasan roh dalam budaya Bali dan visualisasinya dapat

ditemukan ketika diadakan upacara ngaben. Aksara sucinnya “U” dengan shakti Dewi

Sri. Dewa Wisnu dipuja di Pura Batur dan warna perlambangnya ireng (hitam). Dan

biasanya arang digunakan sebagai sumber bahan warna dari lambang tersebut.

2. Dewa Sambhu

Gbr.06 Dewa Sambhu

Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm

Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut, bersenjatakan trisula (tombak

bermata tiga) dan berkendara Wilmana. Aksara sucinya “Na” dengan shakti Dewi

Mahadewi, dan dipuja di Pura Goa Lawah. Simbol warna dari Dewa ini adalah biru

atau abu-abu.

3. Dewa Iswara

Gbr.074 Dewa Iswara

Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm

Dewa Iswara merupakan penguasa arah Timur. Dewa Iswara berkendara Gajah

dengan bersenjatakan Bajra. Simbol warna dari dewa ini adalah warna putih dengan

shakti Dewi Uma. Aksara sucinya “Sa”, di Bali Dewa Iswara dipuja di Pura

Lempuyang. Dalam upacara adat biasanya menggunakan beras putih sebagai lambang

dari warna putih.

4. Dewa Maheswara

Gbr. 08 Dewa Maheswara

Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm

Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara, bersenjatakan Dupa, dengan

berkendara Macan. Simbol warna dari dewa ini adalah merah muda atau Barak

Mude/Dadu, dengan shakti Dewi Lakshmi. Aksara sucinya “Na”, di Bali Dewa

Maheswara dipuja di Pura Goa Lawah.

5. Dewa Brahma

Gbr.09 Dewa Brahma

Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm

Dewa Brahma merupakan salah satu Dewa Trimurthi umat Hindu. Dalam ajaran

Weda, Dewa Brahma dianggap sebagai pencipta dari alam semesta. Dewa Brahma

merupakan penguasa arah selatan dengan bersenjata Gada dan menggunakan simbol

warna merah. Shaktinya Dewi Saraswati, dengan aksara suci “Ba”. Di Bali, Dewa

Brahma di puja di Pura Andakasa. Kendaraan Dewa Brahma adalah angsa atau biasa

disebut Hamsa (simbol dari kebebasan untuk hidup kekal). Dalam penggambarannya

Dewa Brahma berkepala empat, yang masing-masingnya mengarah ke arah mata

angin.

6. Dewa Rudra

Gbr.10 Dewa Rudra

Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm

Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya, bersenjatakan Moksala dengan

berkendara Kerbau. Simbol warna dari Dewa Rudra adalah jingga atau kudrang.

Aksara sucinya adalah “Ma” dengan shakti Dewi Samodhi/Santani, dan di Bali, Dewa

Rudra dipuja di Pura Uluwatu.

7. Dewa Mahadewa

Gbr.11 Dewa Mahadewa

Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm

Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat, bersenjatakan Nagapasa dengan

berkendara Naga. Simbol warna dari Dewa Mahadewa adalah kuning. Aksara sucinya

“Ta”, dengan shaktinya Dewi Sachi. Dewa Mahadewa dipuja di Pura Batukaru.

8. Dewa Sangkara

Gbr.12 Dewa Sangkara

Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm

Dewa Sangkara merupakan penguasa arah Barat Laut, bersenjatakan Angkus atau

Duaja dengan berkendara singa. Simbol warna dari Dewa Sangkara adalah gadang

atau hijau. Aksara sucinya “Si”, dengan shaktinya Dewi Rodri. Di Bali Dewa

Sangkara dipuja di pura Puncak Mangu.

9. Dewa Siwa

-

Gbr.13 Dewa Siwa

Sumber : www.tirtagangga.nl/Sculplan.htm

Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah, bersenjatakan Padma dengan

berkendara Lembu Nandini. Dewa Siwa merupakan salah satu Dewa Trimurthi.

Shaktinya adalah Dewi Durga/Parwati dengan aksara suci “I” dan “Ya”. Dewa Siwa

dipuja di Pura Besakih. Simbol warna dari Dewa Siwa adalah Brumbun yaitu

pencampuran dari kedelapan warna di sekelilingnya.

Selain dari tiga falsafah di atas, arsitektur Pura juga memiliki acuan yang sangat

dipatuhi oleh masyarakat Bali, yaitu :

a) Hireararki Ruang Tri Loka atau Tri Angga

b) Orientasi Kosmologi Nawa Sanga/Sanga Mandala

c) Kosmologi Keseimbangan Manik Ring Cucupu

d) Proporsi Skala Tubuh Manusia

e) Lahan terbuka, Konsep Lapangan

f) Penjelasan struktur

g) Kebenaran Bahan

berikut penjelasan mengenai acuan-acuan tersebut :

a) Tri Loka/ Tri Angga – Hierarki Ruang

Konsep Tri Loka adalah suatu konsep yang menjadi acuan bagi arsitektur tradisional

Bali yang meyakini bahwa segala sesuatunya telah memiliki tempatnya masing-masing.

Konsep ini menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan dari alam semesta ini, yakni; Tuhan

memiliki tempat yang paling tinggi dan dilambangkan dengan Swah Loka (alam atas) atau

atmosfer, gunung. Yang kedua ditempati oleh daratan tempat manusia hidup atau biasa

disebut land/litosfer atau Bhuwah Loka, dan tempat ketiga adalah bagian Bhur Loka atau

laut/hidrosfer yang ditempati oleh setan.

Sedangkan pada konsep Tri Angga membagi suatu bagian arsitektur menjadi bagian

Utama, Mandala, dan Nista. Konsepsi ini merujuk kepada anatomi tubuh manusia yaitu

kepala, badan dan kaki. Perwujudan konsep Tri Angga dalam suatu arsitektur adalah dengan

membagi Pura/Parhyangan sebagai tempat utama, banjar/Pawongan sebagai Mandala, dan

kuburan/Palemahan sebagai Nista.

Gbr.14 Konsep Triloka/Tri Angga

Sumber : (Othman, 2004)

b) Orientasi Kosmologi Nawa Sanga atau Sanga Mandala

Acuan kosmolosi Nawa Sanga atau Sanga Mandala yaitu dengan menempatkan

bagian-bagian arsitektur tradisional Bali berdasarkan arah sumbu gunung-laut dan sumbu

matahari terbit dan tenggelam. Kawasan paling suci mengarah kepada Gunung Agung (kaja)

dan kawasan umum mengarah ke laut (kelod).

Gbr.15 Kosmologi orientasi Nawa Sanga, arah mata angin Bali, warna dan Dewa

Sumber : (Othman, 2004)

c) Keseimbangan Kosmologi Manik Ring Cucupu

Konsep Maning Ring Cucupu ini timbul dikarenakan besarnya penghargaan

masyarakat Bali terhadapa alam. Alam sebagai tempat tinggal manusia dan segala isinya atau

sebagai Bhuana agung diharapkan saling menjaga dengan manusia agar terhindar dari

bahaya. Salah satunya dengan mengadakan upacara-upacara adat ketika akan melakukan

penebangan pohon yang dipergunakan untuk bahan arsitektur. Kemudian pohon yang telah

ditebang diharuskan ditanam sepucuk daun-daunan kayu sehingga akan tumbuh pohon baru

yang lebih baik dan akan berguna lagi kelak.

Bahan yang berasal dari alam atau Bhuana Agung kemudian dijadikan arsitektur bagi

manusia, dan kemudian arsitektur itu menjadi Bhuana Agung bagi manusia selaku Bhuana

Alit. Dalam arsitektur Bali umumnya mahir memadukan antara bahan-bahan yang terdapat di

alam untuk bangunannya.

d) Lahan Terbuka, Konsep Lapangan

Arsitektur tradisional Bali dibangun terpisah dengan fungsi masing–masing. Begitu

pula dengan bangunan Pura, bangunannya dipisah menurut fungsinya dan menggunakan

konsep lahan terbuka. Hal ini dimaksudkan karena tanah bukan saja sebagai suatu elemen

yang bisa dilihat tetapi dapat dirasa oleh orang yang berada dalam bangunan itu.

Gbr.16 Konsep Lahan Terbuka

Sumber : www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/9/17/n1.htm

e) Kejelasan Struktur (Clarity of Structure)

Struktur kerangka bangunan Bali adalah jelas terlihat. Tiang yang menahan beban

dipisahkan dari dinding blok yang tidak menanggung beban. Tidak ada kaidah atau cara

pembangunan rumah dengan menggunakan bambu, kayu, pohon kelapa atau batu.

Penyambungan antar tiang–tiang dan balok jelas terlihat tanpa menyembunyikan sesuatu.

f) Proporsi Skala Tubuh Manusia

Dalam pembuatan arsitektur Pura, ukuran yang diterapkan adalah ukuran bagian

tubuh manusia yang telah ditentukan pada lontar Asta Kosala Kosali, seperti rai

(muka),tampak, tampak ngandang, amusti dst. Satuan ukur setiap elemen dalam arsitektur

Bali disebut gegulak. Dan dalam pembuatannya menggunakan jasa undagi.

Gbr.17 Satuan Ukur Arsitektur Tradisional Bali

Sumber : (Othman, 2004)

g) Keaslian Bahan (Truth of Materials)

Setiap bahan yang digunakan oleh bangunan Bali adalah terpapar dan kelihatan

tekstur bentuk dan warna yang berbeda serta tersendiri. Pandangan atau struktur bangunan

tidak dicat hanya tiang dan balok kayunya dikilatkan. Mereka lebih mengagumi kecantikan

bahan alami daripada bahan buatan manusia dan menggunakannya sebagai bahan bangunan.

Seperti pada pura, bahan yang digunakan adalah batu bata merah dan batu paras untuk

ornamen. Biasanya batu bata di Bali dinamakan cita. Batu bata yang digunakan masyarakat

Bali dipanggang di udara terbuka. Oleh karena itu batu batanya tidak terlalu solid dengan

ukuran yang tidak selalu sama satu dengan yang lainnya

2.2.1. Struktur denah Pura

Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu:

jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan

(halaman dalam). Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu:

jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari

tujuh halaman (tingkatan) seperti pura Agung Besakih. Pembagian halaman pura ini,

didasarkan atas konsepsi makrokosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura

atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari "triloka", yaitu: bhurloka

(bumi), bhuvaaloka (langit) dan svaaloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua)

halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhaa) dan alam bawah (adhaa), yaitu

akauadan pativi.

Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan

melambangkan "saptaloka" yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari:

bhurloka, bhuvaaloka, svaaloka, mahaoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan

pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari "ekabhuvana", yaitu

penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang

pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang

pembagian (loka) pada pelinggih-pelinggih adalah pembagian yang vertikal.

Pembagian horizontal itu melambangkan prakati (unsur materi alam semesta)

sedangkan pembagian yang vertikal adalah simbolis puruua (unsur

kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakati dengan puruua

dalam struktur pura adalah merupakan simbolis dari pada "Super natural power".

Gbr. 18 Denah Pura yang dibagi tiga bagian (Tri Mandala)

Sumber : www.I Made’s site.com

Sebagian besar pura menggunakan struktur denah Pura Tri Mandala, yaitu :

1) Nista Mandala

Nista Mandala atau yang biasa disebut jaba pisan adalah bagian terluar dari arsitektur

Pura. Bagian ini merupakan bagian Nista atau kotor dan tidak sakral dari sebuah pura. Setiap

orang dapat memasuki bagian ini. Bangunan yang terdapat pada mandala ini diantaranya :

Bale Kulkul, sebagai tempat kentongan digantung, Bale Wantilan, yaitu balai tempat

pementasan kesenian yang diadakan di dalam pura, kemudian Bale Pawaregan yaitu

bangunan yang digunakan sebagai dapur tempat sesaji dibuat, dan Lumbung yaitu bangunan

yang digunakan untuk menyimpan beras.

2) Madya Mandala

Madya Mandala atau biasa disebut jaba tengah, adalah bagian tengah dari arsitektur

Pura. Bagian madya mandala adalah bagian dalam pura yang sakral. Pada bagian ini umat

Hindu sudah mulai terfokus untuk menghadap Sang Hyang Widi Wasa. Biasanya pada areal

ini terdiri dari bangunan Bale Agung (Balai Panjang), Bale Pagongan (Balai tempat

gamelan), selain itu juga terdapat Bale Panyimpenan (ruangan tempat menyimpan barang-

barang berharga Pura) biasanya di atas pintu masuk bale panyimpenan terdapat karang

Bhoma,yang berfungsi untuk menjaga barang-barang yang berada dalam ruangan tersebut.

3) Utama Mandala

Utama Mandala atau jeroan adalah bagian terdalam dan tersuci/tersakral dari sebuah

Pura. Pada bagian Utama ini, umat diharuskan benar-benar fokus untuk menghadap Sang

Hyang Widhi dengan meningggalkan nafsu keduniawiannya. Di bagian ini terdapat

pelinggih-pelinggih seperti padmasana untuk menstanakan Sang Hyang Widhi (sebagai

Trimurthi atau Tripurusa) atau pelinggih-pelinggih lain untuk pemujaan roh leluhur. Selain

bangunan pelinggih, juga terdapat bale Piasan, dan bangunan Panglurah (bangunan yang

menempatkan pangawal Sang Hyang Widhi). Untuk memasuki jeroan, umat Hindu satu

persatu masuk melalui pintu pada Kori Agung yang dijaga oleh Karang Bhoma. Biasanya

jika tidak ada upacara keagamaan, umat Hindu memasuki jeroan lewat bebetelan.

2.2.2. Bangunan yang terdapat di dalam Pura

1. Candi Bentar

Candi Bentar merupakan pintu masuk yang membatasi antara bagian Nista Mandala

dengan bagian luar Pura. Candi Bentar dianggap sebagai perwujudan dari pangkal gunung

Maha Meru, oleh karena itu dianggap kurang sakral daripada Kori Agung. Biasanya area

sirkulasi dari candi bentar dibuat lebar. Hal ini dimaksudkan agar para umat Hindu datang

dengan leluasa. Candi Bentar juga merupakan pintu masuk yang membatasi Nista Mandala

dengan Madya Mandala, biasanya area sirkulasinya sama dengan Candi Bentar sebelumnya

yang membatasi antara Nista Mandala dengan bagian luar Pura. Ruangan/pintu candi bentar

dibuat agak lebar,dimaksudkan agar umat dapat lebih banyak masuk jaba tengah sekaligus.

Juga mengandung arti umat boleh dengan leluasa keluar masuk dari jaba sisi ke jaba tengah

atau sebaliknya. Bangunan ini merupakan sebagai pintu masuk penyaring atau penanda

dimana setelah melewati pintu masuk ini, umat Hindu sudah mulai melepaskan

keduniawiannya.

Gbr. 19 Candi Bentar

Sumber : www.mertasarirempoa.org

2. Kori Agung

Merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara jaba tengah (Madya Mandala)

dengan jeroan (Utama Mandala). Ruang/pintu tempat masuk sengaja dibuat kecil, hanya

cukup untuk satu orang. Diatasnya terdapat ornament berupa karang Boma, dan dijaga oleh

dua buah patung Dwara Pala. Hal ini mengandung pengertian untuk masuk jeroan (Utama

Mandala), tidak setiap orang bebas leluasa melainkan masuk satu persatu,maksudnya agar

mereka yang masuk ke dalam jeroan atau (Utama Mandala) benar-benar orang yang satu

antara bayu (tenaganya), Sabha (perkataannya), Idep (pikirannya), dan bulat tertuju hanya

untuk memuja Tuhan.

Gbr. 20 Kori Agung

Sumber : Dokumentasi Penulis

3. Padmasana

Padmasana merupakan bangunan pelinggih atau bangunan suci yang dikembangkan

oleh Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Ia seorang sastrawan Majapahit

sekaligus pendeta yang memperkenalkan arsitektur pura. Beliau datang ke Bali untuk

menyebarkan agama Hindu Siwa Sidhanta pada abad ke-15 ketika kekuasaan kerajaan

Majapahit mulai memudar.

Ajarannya yang pertama adalah mendirikan padmasana di setiap komplek pura

maupun pamerajan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa. Pembangunan

padmasana ini dilakukan untuk memperbaiki kesalahan persepsi masyarakat terhadap Sang

Hyang Widhi. Sebelumnya masyarakat Bali membuat pelinggih dari bambu atau pohon

pinang yang tidak permanen dan biasanya dicabut kembali setelah upacara selesai. Hal

tersebut menyababkan timbulnya pura-pura fungsional yaitu pura yang memiliki fungsi

khusus, sebagai contoh : Pura Ulun Siwi untuk menyembah-Nya sebagai penguasa

kemakmuran, Pura Melanting untuk menyembah-Nya sebagai penguasa pasar dan

sebagainya. Timbulnya pura-pura tersebut menyebabkan persepsi bahwa Tuhan itu banyak.

Maka Danghyang Nirartha menganjurkan pendirian padmasana untuk memperbaiki persepsi

yang salah tersebut.

Sebutan Padmasana berasal dari kata Padma yang berarti bunga Teratai, dan Asana

berarti sikap yang terbaik dalam memuja. Teratai/Padma adalah salah satu simbol kesucian

dalam agama Hindu, karena bunga Teratai ini dianggap dapat bertahan hidup walaupun hidup

dalam lumpur, tidak sedikitpun lumpur yang menempel pada bunganya. Dengan tidak adanya

kotoran yang melekat ini merupakan simbol bahwa kesucian itu akan bebas dari segala

kemelekatan atau noda. Pada bagian kepala/sari terdapat Singghasana seperti kursi yang

diapit oleh naga tatsaka. Pada bagian belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya

terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang

Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa

Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.

Sebenarnya posisi Padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki

dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Hal ini tidak sesuai

dengan apa yang terlihat di lapangan bahwa pada puncak padmasana terdapat Singghasana

yang berupa kursi berkaki empat. Jadi nama Padmasana sebenarnya digunakan karena isi dari

pedagingan yang ditanamkan pada puncak bangunan tersebut berupa padma yang terbuat

dari emas. Sedangkan pada padmasana yang menggunakan Bhedawang Nala, pedagingan

berjumlah tiga buah, yang ditanamkan pada dasar, tengah, dan puncak.

Gbr. 21 Padmasana

Sumber : Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008

Fungsi utama padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa

atau Sang Hyang Widhi Wasa sehingga tidak ada padmasana yang dijadikan sebagai

pemujaan roh leluhur. Pelinggih padmasana adalah simbol stana Sang Hyang Widhi dengan

berbagai sebutan, yaitu Sanghyang Siwa Raditya, dalam manifestasi yang terlihat atau

dirasakan manusia sebagai matahari atau surya dan Sanghyang Tri Purusa dalam tiga

manifestasi yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa. Oleh karena itu, padmasana

merupakan pelinggih yang digunakan oleh umat Hindu sekte Siwa Sidhanta karena sentral

manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa.

Berdasarkan lokasi atau tata letak, padmasana dibedakan berdasarkan arah mata

angin, yang terbagi menjadi sembilan jenis, yaitu :

1. Padma Kencana, di timur (purwa) menghadap ke barat (pascima)

2. Padmasana, di selatan (daksina) menghadap ke utara (uttara)

3. Padmasari, di barat (pascima) menghadap ke timur (purwa)

4. Padma Lingga, di utara (uttara) menghadap ke selatan (daksina)

5. Padma Asta Sedhana, di tenggara (agneya) menghadap ke barat laut (wayaba)

6. Padma Noja, di barat daya (nairity) menghadap ke timur laut (airsaniya)

7. Padma Karo, di barat laut (wayabya) menghadap ke tenggara (agneya)

8. Padma Saji, di timur laut (airsanya) menghadap ke barat daya (nairity)

9. Padma Kurung, di tengah-tengah pura (madya) menghadap ke pintu masuk/keluar

(pemedal)

Pemilihan letak padmasana berdasarkan pertimbangan letak pura dan konsep hulu-

teben. Dikarenakan manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, maka Hyang Widhi

dianggap seperti organ tubuh manusia yaitu memiliki kepala, badan, dan kaki. Kepala

dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu

berada di hulu. Hal tersebut mempengaruhi pembagian mandala pada pura yang dibagi

menjadi bagian nista, madya, utama. Hulu teben memakai dua acuan yaitu timur sebagai

hulu dan barat sebagai teben, atau gunung sebagai hulu dan laut sebagai teben. Sedangkan

berdasarkan bentuk pepalihan (undakan) dan rong (ruang) bangunan padmasana terdiri dari

:

1. Padma Anglayang, bangunan padmasana yang memakai Bhedawang Nala,

bertingkat tujuh / berpalih tujuh dan di puncaknya terdapat tiga ruang.

Digunakan selain sebagai tempat distanakannya Sang Hyang Siwa Raditya atau

Sang Hyang Tripurusa, juga Trimurti

2. Padma Agung, memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima

dan di puncaknya terdapat dua ruang. Dipakai sebagai tempat distanakannya

Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga stana Ardanareswari

yaitu kekuatan/kesaktian Hyang Widhi sebagai pencipta segala yang berbeda

misalnya, lelaki-perempuan, siang-malam, kiri-kanan dan seterusnya.

3. Padmasana, memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima dan

di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan selain sebagai stana Sang Hyang

Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga sebagai stana Sang Hyang

Tunggal yaitu Hyang Widhi/ Yang Maha Esa.

4. Padmasari, tidak memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat/ berpalih tiga dan

di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan hanya untuk stana Sang Hyang

Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa.

5. Padma Capah, tidak memakai dasar Bhedawang Nala bertingkat/berpalih dua

dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan sebagai Baruna (Dewa Lautan)

1. Gedong

Bentuknya serupa dengan tugu hanya bagian kepalanya terbuat dari konstruksi kayu,

atapnya alang-alang, ijuk atau bahan-bahan penutup lain mengikut bentuk dan fungsinya.

Bagian badan dan kaki, pasangan batu halus tanpa atau sedikit perekat siar-siar pasangan.

Denah bujur sangkar dengan ukuran sisi dasar sekitar 1m dan tinggi sekitar 3m. Fungsi

Gedong beragam sesuai dengan tempatnya di pamrajan, pura, kahyangan atau dilain tempat

tertentu. Tata letak gedong, bentuk konstruksi atap dan ketentuan lain mengikut fungsi

gedong tersebut. Pemakaian bahan, penyelesaian konstruksi dan hiasannya sesuai dengan

tingkatan utama, madya dan sederhana dari suatu pura yang ditempatinya.Terdapat juga

gedong kembar dengan dua ruangan dan gedong tiga ruangan atau rong telu untuk kemulan

di sanggah atau pamerajan. Gedong dengan atap bertumpang disebut gedong sari untuk

kahyangan jagat dari suatu pura tertentu.Dasar ukuran gedong, proporsi berbaturan dan

rangka ruangnya didasarkan pada ketentuan tradisional. Bentuk penyelesaian, bagian-bagian

dan hiasannya bervarisi mengikuti kreasi logika dan estetika perancangnya.

2. Meru

Bentuknya menonjolkan keindahan atap bertingkat-tingkat yang disebut atap

tumpang. Jumlah tumpang atap selalu ganjil, yaitu tumpang 5,7,9, dan tumpang 11 yang

tertinggi. Keindahan banguanan meru timbul dari ketepatan proporsi, teknik konstruksi dan

hiasannya. Tata letak meru di suatu pura adalah di halaman jeroan bagian utara. Meru

umunya menghadap kearah barat di sisi timur senagai tempat pemujaan utama. Menurut

mitologi Hindu, Meru merupakan nama sebuah gunung di Sorgaloka. Salah satu puncaknya

disebut Kailasa, yang merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Gunung tersebut

lalu diturunkan ke dunia menjadi gunung Himalaya di India, Gunung Mahameru di Jawa, dan

gunung Agung di Bali.

Gbr. 22. Meru

Sumber : Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008

3. Aling-aling

Aling-aling pada pura adalah bangunan berbentuk persegi panjang yang berada di depan

pintu masuk Kori Agung. Aling-aling ini berfungsi sebagai penhalang pandangan dari arah

pintu masuk Kori Agung.

4. Pelinggih-pelinggih Runtutan

Meru, Padmasana, Gedong dan Kemulan merupakan bangunan-bangunan pelinggih

tempat pemujaan utama. Untuk bangunan pelengkap dengan fungsi tertentu di suatu Pura

atau Pamerajan dibuat bangunan-bangunan runtutan sebagai berikut :

Tajuk atau pepelik ; bentuk dan konstruksinya serupa bangunan gedong

terbuka tiga sisi ke depan dan sisi samping. Fungsinya untuk penyajian sarana dan

perlengkapan upacara.

Bangunan dan paliangan ; bentuk dan konstruksinya serupa dengan

gedong, sedikit lebih besar dan ada yang memakai tiang jajar. Fungsinya untuk

menstanakan symbol-simbol dan saran upacara.

Taksu nenggeng ; semacam gedong bertiang satu dan taksu nyangkil

semacam gedong ruang dua empat tiang, dua tiang gantung di tepi kanan.

Manjangan salu wang ; Serupa dengan gedong, terbuka tiga sisi,

didepan memakai tiang tengah dengan kepala manjangan.

Gedong Mas Catu dan Mas Sari ; bentuk dan konstruksinya sama

dengan gedong. Mas Catu puncak atapnya tumpul dan Mas Sari puncaknya kerucup

lancip. Fungsinya untuk tempat pemujaan Sri Sedana, harta kekayaan untuk

kesejahteraan.

Gedong Agung, Gedong Ibu dan Gedong Batu ; bangunan gedong

besar dengan dinding batu berhias ornament pepalihan. Fungsinya tempat pemujaan

leluhur di sanggah dan pamerajan. Terdapat juga di Pura Kahyangan Tiga.

Selain bangunan-bangunan itu terdapat juga bangunan-bangunan yang digunakan

sebagai pelengkap upacara, yaitu ;

Bale Piyasan :sebuah bangunan tipe sakepat, sakenem, astasari, atau

sakaroras sesuai dengan besarnya tingkatan pura. Fungsinya untuk tempat

penyajian sarana-sarana upacara. Terbuka pada keempat sisinya. Letaknya di sisi

barat halaman atau sisi lain menghadap meru, gedong atau padmasana. Atap dari

alang-alang dan bahannya dari klas khusus untuk bangunan pemujaan.

Bale Pawedaan : bangunan sakepat atau lebih besar, letaknya di sisi

sehadapan dengan bangunan pemujaan. Bale Pawedaan dibangun di pura-pura

besar yang sering menyelenggarakan upacara tingkat utama.

Pewaregan Suci, letaknya di Jaba tengah atau jaba sisi. Bentuk

bangunannya memanjang deretan tiang dua-dua,luas bangunan tergantung

keperluan dari besarnya suatu pura. Fungsi bangunan untuk dapur mempersiapkan

keperluan sajian upacara di Pura yang jauh dari desatempat pemukiman.

Bale Gong, terletak di jaba tengah atau jaba sisi, bangunan tanpa balai-

balai jajaran tiang tepi tanpa tiang tengah. Fungsi bangunan untuk tempat

menabuh gamelan gong atau gamelan lainnya.

Bale Kul-kul, letaknya di sudut depan pekarangan pura. Fungsinya

untuk tempat kulkul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu pada upacara.

Penggunaan, letaknya dibagian selatan menghadap ke utara atau

jabaan. Bentuk bengunan sederhana, fungsinya untuk tempat penyajian banten

upacara.

BAB III

KESIMPULAN

Konsep bangunan Pura mengacu pada pemahaman umat Hindu Bali terhadap Alam

dan ajaran agama yang diyakininya. Konsep pembuatan arsitektur Pura mengacu pada Lontar

Asta Kosala-Kosali yang di dalamnya terdapat falsafah perwujudan arsitektur Pura yaitu Tri

Hita Karana, Panca Maha Bhuta, Nawa Sanga. Ketiga falsafah tersebut menjadi dasar

pembuatan arsitektur Pura yang di dalamnya terdapat suatu pemahaman mengenai alam yang

dikaitkan dengan kepercayaan umat Hindu, seperti keterlibatan pengaruh Dewa- dewa yang

terdapat pada setiap penjuru mata angin. Selain itu, bangunan Pura juga memiliki satuan

ukur bangunan yang mengacu pada ukuran anatomi manusia itu sendiri. Hal tersebut

mengacu pada logika manusia sebagai pengguna bangunan. Pemahaman tentang alam juga

mempengaruuhi struktur Pura yang dilihat dari denahnya juga mengacu pada pemahaman

masyarakat Hindu Bali mengenai pembagian alam.

Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu:

jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan

(halaman dalam). Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu:

jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari

tujuh halaman (tingkatan). Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi

makrokosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian

(halaman) itu adalah lambang dari "triloka", yaitu: bhurloka (bumi), bhuvaaloka

(langit) dan svaaloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat)

melambangkan alam atas (urdhaa) dan alam bawah (adhaa), yaitu akauadan pativi.

Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan

"saptaloka" yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhurloka,

bhuvaaloka, svaaloka, mahaoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan pura yang

terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari "ekabhuvana", yaitu penunggalan

antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya

menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang pembagian (loka) pada

pelinggih-pelinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu

melambangkan prakati (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang

vertikal adalah simbolis puruua (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta).

Penunggalan konsepsi prakati dengan puruua dalam struktur pura adalah merupakan

simbolis dari pada "Super natural power".

Pemahaman masyarakat Hindu terhadap keyakinannya jelas tercermin ke dalam

konsep bangunan Pura. Dilihat dari struktur pembagian denah Pura maupun

bangunan yang ada di dalamnya merupakan cerminan dari pengertian alam yang di

pahami masyarakat Hindu Bali. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat Hindu

Bali menginginkan suatu keseimbangan antara hubungan antara manusia dengan

manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Hyang Widi Washa agar

kebahagiaan dapat tercapai bagi seluruh manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Dwijendra,A N.K.A. (2008). Arsitektur Bangunan Suci Hindu Berdasarkan Asta Kosala-

Kosali. Denpasar: Udayana University Press

Herdita, P. (2008). Identifikasi Dan Pemaknaan Warna Dalam Konteks Simbol Religi

Agama Hindu Pada Arsitektur Tradisional Bali. Skripsi- Jurusan Desain Interior. Institut

Teknologi Bandung. Bandung.

Kagami,H (1988). Balinese Traditional Architecture In Process. Nagoya: The Little World

Museum of Man

Moh. Nor, O.H. (2004). Unsur-Unsur Pada Rumah Tinggal Melayu Di Selangor Malaysia.

Thesis- Program Magister Desain Program Pasca Sarjana. Institut Teknologi Bandung.

Bandung.

Pudja,G. Kena Upanisad (Kenopanisad) Naskah-Terjemahan-Penjelasan. Jakarta :Lembaga

Penterjemah Kitab Suci Weda

Swasty, W. (2004). Pengungkapan Kembali Nilai Lokal Bali Dengan Idiom Neo-

Vernacular Pada Arsitektur Dan Interior Restoran. Skripsi- Jurusan Desain Interior. Institut

Teknologi Bandung. Bandung.

Titib,I.M. (2007). Pengertian Dan Fungsi Pura. Diakses pada 10 Nopember 2008 dari

w.w.w : http:e-Banjar.com

Udiana,Tjokorda N.P. (2003). Motif Garuda Dalam Seni Budaya Bali. Denpasar :

Universitas Udayana