Analisis Perkembangan Daya Saing Sub Sektor Perkebunan Di Kabupaten Jember

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Agar tujuan tersebut terwujud, maka diperlukan komitmen dan oritentasi yang jelas untuk menunjang dan menjaga kesinambungan serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi pembangunan. Pembangunan perkebunan ditujukan untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki mutu hasil, meningkatkan pendapatan, memperbesar nilai ekspor, mendukung industri, menciptakan dan memperluas kesempatan kerja, serta pemerataan pembangunan di semua wilayah. Ada tiga asas yang menjadi acuan dalam pembangunan perkebunan yang mendasari kebijakan pembangunan dalam lingkungan ekonomi dan pembangunan nasional. Ketiga asas tersebut antara lain adalah : (1) Mempertahankan dan meningkatkan sumbangan bidang perkebunan bagi pendapatan Nasional, (2) Memperluas lapangan kerja, (3) Memelihara kekayaan dan kelestarian alam dan meningkatkan kesuburan sumber daya alam. Perkebunan di Kabupaten Jember terdapat komoditas perkebunan yang terdiri dari tebu, kelapa, tembakau, kopi, pinang, kapuk, cengkeh, panili, jambu mete dan lada. Produksi komoditas perkebunan kopi menempati urutan kelima dengan tingkat produksi dalam bentuk kering sebesar 1976,87 ton, setelah produksi komoditas kelapa, komoditas tembakau dan komoditas tebu. Di indonesia yang terdiri dari banyak pulau dengan berbagai sukunya menyimpan kekayaan dan keberanekaragaman budaya kompleks. Oleh sebab itu diperlukan perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Salah satu aspek perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia adalah perencanaan pembangunan regional atau wilayah. Perhatian terhadap pengembangan regional menjadi amat penting mengingat Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki pola persebaran spesial dan kondisi geografis yang luas dengan potensi daerahnya yang beraneka ragam. Dewasa ini, pembangunan regional memiliki tahapan baru yang sangat menentukan, tidak hanya bagi pengembangan potensi ekonomi daerah saja tetapi berpengaruh juga terhadap pembentukan perekonomian nasional dimasa yang akan datang. Permasalahan daerah terbelakang yang berimplikasi harus diperlakukan sebagai masalah nasional, bukan sebagai sekedar masalah. Melepaskan daerah dalam kesulitannya masing-masing merupakan kesalahan fatal, mengingat pertumbuhan ekonomi secara nasional tidak lebih dan tidak kurang merupakan penjumlahan ekonomi daerah. Karena perannya yang demikian strategis baik pada jangka pendek maupun jangka panjang, maka ulasan mengenai perkiraan perubahan lingkungan strategis atau agenda subsektor perkebunan dalam memasuki awal abad ke-21 perlu dicermati. Hal ini disebabkan, agribisnis perkebunan

description

Sektor ekonomi basis

Transcript of Analisis Perkembangan Daya Saing Sub Sektor Perkebunan Di Kabupaten Jember

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk

    meningkatkan taraf hidup dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Agar tujuan tersebut terwujud,

    maka diperlukan komitmen dan oritentasi yang jelas untuk menunjang dan menjaga kesinambungan serta

    meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi pembangunan. Pembangunan perkebunan ditujukan untuk

    meningkatkan produksi dan memperbaiki mutu hasil, meningkatkan pendapatan, memperbesar nilai

    ekspor, mendukung industri, menciptakan dan memperluas kesempatan kerja, serta pemerataan

    pembangunan di semua wilayah. Ada tiga asas yang menjadi acuan dalam pembangunan perkebunan

    yang mendasari kebijakan pembangunan dalam lingkungan ekonomi dan pembangunan nasional. Ketiga

    asas tersebut antara lain adalah : (1) Mempertahankan dan meningkatkan sumbangan bidang perkebunan

    bagi pendapatan Nasional, (2) Memperluas lapangan kerja, (3) Memelihara kekayaan dan kelestarian

    alam dan meningkatkan kesuburan sumber daya alam.

    Perkebunan di Kabupaten Jember terdapat komoditas perkebunan yang terdiri dari tebu, kelapa,

    tembakau, kopi, pinang, kapuk, cengkeh, panili, jambu mete dan lada. Produksi komoditas perkebunan

    kopi menempati urutan kelima dengan tingkat produksi dalam bentuk kering sebesar 1976,87 ton, setelah

    produksi komoditas kelapa, komoditas tembakau dan komoditas tebu.

    Di indonesia yang terdiri dari banyak pulau dengan berbagai sukunya menyimpan kekayaan dan

    keberanekaragaman budaya kompleks. Oleh sebab itu diperlukan perencanaan pembangunan yang sesuai

    dengan kondisi bangsa Indonesia. Salah satu aspek perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia

    adalah perencanaan pembangunan regional atau wilayah. Perhatian terhadap pengembangan regional

    menjadi amat penting mengingat Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki pola persebaran

    spesial dan kondisi geografis yang luas dengan potensi daerahnya yang beraneka ragam. Dewasa ini,

    pembangunan regional memiliki tahapan baru yang sangat menentukan, tidak hanya bagi pengembangan

    potensi ekonomi daerah saja tetapi berpengaruh juga terhadap pembentukan perekonomian nasional

    dimasa yang akan datang.

    Permasalahan daerah terbelakang yang berimplikasi harus diperlakukan sebagai masalah nasional,

    bukan sebagai sekedar masalah. Melepaskan daerah dalam kesulitannya masing-masing merupakan

    kesalahan fatal, mengingat pertumbuhan ekonomi secara nasional tidak lebih dan tidak kurang merupakan

    penjumlahan ekonomi daerah. Karena perannya yang demikian strategis baik pada jangka pendek maupun

    jangka panjang, maka ulasan mengenai perkiraan perubahan lingkungan strategis atau agenda subsektor

    perkebunan dalam memasuki awal abad ke-21 perlu dicermati. Hal ini disebabkan, agribisnis perkebunan

  • 2

    dalam memasuki awal abad ke-21 mengalami berbagai perubahan, baik menyangkut aspek teknis,

    ekonomi, kelembagaan, dan lingkungan. Sebagai contoh, perkembangan teknologi baik pada industri hulu

    dan hilir perkebunan akan sangat berpengaruh terhadap kinerja subsektor perkebunan. Dari aspek

    pemasaran, implementasi liberalisasi perdagangan diyakini akan berpengaruh terhadap kinerja

    perkebunan. Berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan perkebunan dan

    otonomi daerah tentu akan sangat mewarnai keberhasilan subsektor perkebunan pada masa mendatang.

    Akhirnya, gema yang semakin kuat terhadap tuntutan perbaikan lingkungan tentu akan berpengaruh

    terhadap subsektor perkebunan.

    Di Kabupaten Jember saat ini sedang giat membangun sejak awal era orde baru hingga era

    reformasi saat ini. Keberhasilan pembangunan ekonomi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah

    penduduk, karena pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak bisa terkendalikan akan berpengaruh buruk

    terhadap pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup

    tinggi maka harus dapat dicapai dengan kenaikan produksi barang-barang dan jasa di berbagai sektor

    ekonomi, termasuk sub sektor perkebunan dalam penyediaan barang-barang dan jasa yang dibutuhkan

    masyarakat banyak.

    Tabel 1.1 PDRB Kabupaten Jember Atas Harga Konstan 2000 tahun 2009-2013

    No Tahun PDRB Jember (milyar Rp) Pertumbuhan

    1 2009 10.891,61 5,55

    2 2010 11.550,55 6,05

    3 2011 12.359,52 7,00

    4 2012 13.250,98 7,21

    5 2013 14.165,90 6,90

    Rata-rata - 7,23

    Sumber : BPS Kabupaten Jember tahun 2013

    Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa dari perhitungan PDRB pada Kabupaten Jember pada tahun

    2009-2013 dapat diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2012 yaitu sebesar

    7,21 %, dari PDRB Kabupaten jember Rp 13.250,98 Milyar, sedangkan rata rata pertumbuhan ekonomi

    terendah Kabupaten Jember pada tahun 2009, dengan nilai pertumbuhan 5,55% dari nilai PDRB

    kabupaten Jember sebesar Rp 10.891,61 Milyar. Maka Perubahan tersebut menyebabkan pendapatan

    masyarakat meningkat sehingga akan mendorong permintaan konsumsi masyarakat menjadi lebih kuat

    serta menciptakan permintaan baru bagi barang dan jasa.

  • 3

    Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Jember dapat mengalami peningkatan, dengan adanya bantuan

    oleh komoditas lainnya. Saat ini pertumbuhannya terus meningkat, seperti sub sektor perkebunan,

    diperkirakan pertumbuhan ekonomi di Jember di tahun 2012 lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Hal ini

    tentu saja didukung oleh faktor-faktor, salah satunya adalah kemajuan teknologi yang membantu

    masyarakat dalam pengetahuan dan informasi yang dapat mendorong adanya lahan bisnis dikalangan

    masyarakat.

    Dampak perubahan lingkungan strategis terhadap subsektor perkebunan tentu perlu dicermati

    ataupun dianalisis. Dengan analisis tersebut, berbagai pihak yang terlibat dalam agribisnis perkebunan,

    seperti produsen/petani, pedagang, dan pemerintah, dapat mengambil langkah-langkah antisipatif guna

    mengembangkan subsektor perkebunan secara optimal. Dengan demikian alokasi sumberdaya pada

    subsektor perkebunan dapat berjalan secara efisien, sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat

    perkebunan dapat dicapai secara optimal. (Suhadi , 2001) menunjukkan bahwa secara keseluruhan tujuan

    dari suatu pertumbuhan harus konsisten dengan aspirasi dari sebagian besar masyarakat, dalam arti

    menaikkan kemakmuran, distribusi pendapatan dan kualitas hidupnya, dengan sumber-sumber yang

    tersedia. Jadi usaha pertama bagi perencanaan pembangunan adalah memilih target laju pertumbuhan

    produksi yang berarti dan realistis sesuai dengan kapasitas masyarakat dalam membangun capital stock.

    Langkah selanjutnya adalah memperkirakan seberapa besar kapital yang harus diakumulasikan setiap

    tahun agar dapat memberikan kenaikan secukupnya bagi kapasitas produksi.

    Perkebunan di Kabupaten Jember sangat dikenal karena komoditas ekspornya, Luas lahan

    perkebunan di Kabupaten Jember terdiri dari : (1) Perkebunan rakyat dengan luas lahan sebesar 55.000

    hektar (Ha), (2) PTP (BUMN) dengan luas lahan sebesar 26.000 hektar (Ha), (3) Perkebunan swasta besar

    dengan luas lahan sebesar 12.000 hektar (Ha). Usaha yang dilakukan untuk tanaman budidaya adalah

    dengan melaksanakan usaha diversifikasi dan intensifikasi atas areal lahan tanaman semusim seperti

    tembakau, tanaman teh, tanaman kapas biasanya berumur panjang dan banyak diusahakan secara

    monokultur. Salah satu tugas pokok dari pembangunan perkebunan adalah menemukan cara-cara

    berkebun yang baik, yang dapat dipraktekkan secara efektif dan efisien oleh para petani kebun yang

    memiliki kemampuan cara-cara praktis guna peningkatan produksi di satu pihak dan peningkatan

    kesuburan tanah di lain pihak (Mosher, 1968).

    Perkebunan rakyat masih banyak yang bersifat tradisional, sedangkan PTP (BUMN) atau

    perkebunan swasta besar telah menggunakan teknologi maju, meskipun banyak yang terkait adat setempat

    akan tetapi telah menggunakan laboratorium percobaan. Usaha perkebunan swasta besar dan perkebunan

    besar PTP (BUMN) selalu menggunakan teknologi maju yang selalu berubah dan berkembang. Hal ini

    dapat dimengerti karena sifatnya yang profit motive yaitu mengutamakan keuntungan yang tinggi.

  • 4

    Didalam konsep pengembangan daerah, di era otonomi daerah harus mempunyai perencanaan

    pembangunan yang matang dan didasarkan pada potensi-potensi yang dimiliki. Subsektor perkebunan

    yang merupakan bagian dari sektor pertanian, merupakan komponen yang penting dalam menghasilkan

    devisa, menyediakan lapangan kerja, dan sumber penghasilan bagi sebagian masyarakat Jawa Timur.

    Kegiatan subsektor ini dibedakan menjadi dua subsektor yaitu: perkebunan rakyat, yang biasanya

    memiliki lahan kurang dari 25 hektar, dan perkebunan besar, yang biasanya memiliki lahan lebih dari 25

    hektar. Dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas, maka setiap komoditas yang diperdagangkan

    harus mempunyai daya saing yang lebih tinggi dan salah satu keunggulan sub sektor perkebunan adalah

    memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya.

    Di masa yang akan datang setiap Kabupaten di Indonesia diharapkan memiliki suatu produk yang

    diandalkan dan merupakan penentu daya saing daerah. Kemampuan berkompetisi ini merupakan upaya

    untuk infrastruktur yang kuat dengan didasari pola pemetaan yang geografis (Geographical Mapping)

    yang baik untuk mengetahui potensi-potensi daerah yang bisa dikembangkan. Kebijakan-kebijakan yang

    diterapkan oleh Pemerintah daerah haruslah didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan

    (Endogenous Development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan dan

    sumberdaya fisik secara lokal. Bagaimanapun juga pemerintah dan masyarakat berperan dalam mengelola

    sumber daya yang ada dengan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor

    swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan memacu perkembangan kegiatan ekonomi

    dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1997 ; 274).

    1.2 Perumusan Masalah

    Pada dasarnya subsektor perkebunan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap

    pengembangan wilayah. Hal tersebut akan berdampak positif bagi terciptanya kesempatan kerja,

    pemerataan dan peningkatan pendapatan, serta pertumbuhan ekonomi. Didukung oleh fakta bahwa

    subsektor perkebunan mempunyai wilayah yang cukup luas, maka sub sektor ini mempunyai potensi yang

    cukup besar terhadap pembentukan PDRB..

    Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana prospek daya saing sub sector

    perkebunan di Kabupaten Jember :

    a. Bagaimana kondisi daya saing sub sektor perkebunan Kabupaten Jember?

    b. Bagaimana dampak pergeseran sub sector perkebunan terhadap pertumbuhan ekonomi

    Kabupaten Jember?

    c. Bagaimana perkembangan daya saing sub sektor perkebunan di Kabupaten Jember?

  • 5

    1.3 Tujuan Penelitian

    Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai dalam

    penelitian ini adalah :

    a. Untuk mengetahui daya saing sub sektor perkebunan di Kabupaten Jember.

    b. Untuk mengetahui dampak pergeseran sub sektor perkebunan terhadap pertumbuhan ekonomi di

    Kabupaten Jember.

    c. Untuk mengetahui perkembangan daya saing sub sektor perkebunan di Kabupaten Jember.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai :

    1. Bahan pertimbangan dalam usaha meningkatkan potensi sektor perkebunan di Kabupaten Jember;

    2. Bahan pertimbangan bagi Dinas perkebunan Kabupaten Jember, Pemerintah Daerah Kabupaten

    Jember untuk menentukan kebijakan yang lebih baik tentang sektor perkebunan;

    3. Bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya

    Penelitian Priyono (2000) dengan judul Analisis Dampak Pengembangan Komoditas Terhadap

    Perkebunan Tembakau Wilayah Kabupaten Jember. Menyimpulkan dengan alat analisis Input-Output

    bahwa komoditas dilihat dari : 1) keterkaitan antar sektor memberikan peran yang cukup besar dengan

    menempati peringkat ke enam keterkaitan langsung kedepan, dan keterkaitan langsung tidak langsung

    kedepan, sedangkan peringkat kedelapan keterkaitan langsiung kebelakang, dan keterkaitan langsung

    tidak langsung kebelakang; 2) berdasarkan dampak pengganda ouput total dan dampak tenaga kerja tipe

    II, komoditas tembakau memberikan dampak yang tinggi dengan besar koefisien masing-masing sebesar

    2,32 dan 2,48; 3) berdasarkan daya penyebaran dan derajat kepekaan, komoditas tembakau memberikan

    tingkat keterkaitan kebelakang yang cukup besar, dengan indeks penyebaran 1,0040. Sedangkan indeks

    derajat kepekaannya kecil sekali, artinya tingkat keterkaitan kedepan komoditas tersebut terhadap sektor

    lain kecil.

    Penelitian Arifianto (2003) dengan judul Analisis Peranan Sub Sektor Perkebunan Terhadap

    Pengembangan Perekonomian Wilayah di Kabupaten Banyuwangi, menyimpulkan dengan

    menggunakan analisis Input-Output bahwa 1) berdasarkan hasil analisis keterkaitan langsung (kedepan

    0,1765 dan kebelakang 0,1688) maupun sub sektor perkebunan mempunyai nilai koefisien yang rendah

    dibandingkan sektor lainnya dalam perekonomian Kabupaten Banyuwangi. Rendahnya nilai koefisien

    keterkaitan tersebut dikarenakan output subsektor perkebunan tidak bisa dikonsumsi atau digunakan

    langsung oleh masyarakat. Akan tetapi jika dibandingkan dengan subsektor lainnya dalam sektor

    pertanian, nilai koefisien keterkaitan langsung kedepan, langsung dan tidak langsung kedepan sektor

    perkebunan adalah yang tertinggi. 2) berdasarkan angka pengganda output, subsektor perkebunan

    mempunyai nilai koefisien tertinggi dibandingkan sektor ekonomi lainnya di Kabupaten Banyuwangi,

    yakni sebesar 3,23. Implikasi dari pengganda output subsektor perkebunan tersebut adalah apabila kita

    menambah investasi sebesar Rp. 1.000.000 maka output subsektor ini akan naik menjadi Rp. 1.360.000.

    Pada sisi pengganda tenaga kerja tipe II sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (13,37)

    mempunyai nilai koefisien tertinggi dibandingkan sektor lainnya, sedangkan subsektor perkebunan

    menempati urutan kelima dengan nilai koefisien sebesar 2,48. Berdasarkan koefisien pengganda

    pendapatan tipe II, peringkat 1 ditempati oleh sektor industri pengolahan (3,20), sedangkan koefisien

    subsektor perkebunan sebesar 2,15 (peringkat 9). Dampak dari analisis pengganda pendapatan tipe II ini

    yaitu apabila terjadi perubahan permintaan akhir sebesar Rp. 660.000, maka pendapatan subsektor

  • 7

    perkebunan akan meningkat menjadi Rp. 2.150.000 sebagai akibat dari perbandingan antara pengganda

    pendapatan total dengan koefisien rumah tangga tersebut.

    2.2. Landasan teori

    2.2.1 Teori Perencanaan Pembangunan

    Menurut Tjokrohamidjojo (1999), perencanaan pembangunan adalah suatu penggunaan sumber-

    sumber pembangunan yang terbatas adanya untuk mencapai tujuan-tujuan keadaan sosial ekonomi yang

    lebih baik secara lebih efisien dan efektif. Widjojo Nitisasmitro secara jelas memerinci apa yang tercakup

    dalam perencanaan pembangunan yaitu, pertama penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan-tujuan

    yang konkret atas kehendak yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai yang dimiliku

    masyarakat yang bersangkutan dan kedua, adalah pilihan diantara cara-cara alternatif yang efisien dan

    rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.

    Salah satu aspek yang sering kali kurang mendapatkan perhatian di dalam teori-teori perencanaan

    pembangunan adalah kurangnya perhatian kepada persoalan-persoalan regional. Sebagai bagian intergal

    dari sistem nasional, masalah-masalah regional seyogyanya menjadi bagian penting didalam isu

    perencanaan sistem nasional, karena didalamnya menyangkut kondisi-kondisi khusus yang berbeda antara

    satu wilayah dengan wilayah lainnya, kondisi khusus yang mungkin berbeda tersebut adalah menyangkut

    (Wibowo, 2 ; 1998) :

    a. Kualitas dan kuantitas penyebaran dari sumber daya potensial (resources endowment), sehingga

    keunggulan komparatif (comparative advantage) wilayah menjadi sangat berbeda antara wilayah

    yang satu dengan lainnya. Suatu wilayah tertentu tidaklah dapat dipaksakan untuk menjadi wilayah

    pertanian atau industri jika resource base-nya tidak mengijinkan untuk pembangunan sektor-sektor

    tersebut.

    b. Dalam konteks pembangunan nasional, kualifikasi dampak dari pembangunan sering tidak atau

    kurang mendapat perhatian lebih atau maslah yang penting untuk diperhitungkan. Akan tetapi

    dalam konteks regional (wilayah), kualifikasi dampak (impact multiplier) semacam itu menjadi

    masalah yang harus di analisis dan diperhitungkan secara seksama, jika diinginkan resultan

    pembangunan (pertanian) dapat lebih mendorong keterkaitan dengan ekonomi pedesaan, khususnya

    dalam masalah-masalah out-put, pendapatan dan ketenagakerjaan.

    Menurut Wibowo (1998), pembahasan utama di dalam perencanaan pembangunan sudah saatnya

    lebih memperhatikan persoalan bagaimana cara memanfaatkan sumber daya potensial wilayah yang

    bersangkutan agar dapat mendorong pencapaian tujuan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan,

  • 8

    perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan, sera menjaga kelestarian Sumber Daya Alam dan

    lingkungan hidup, yang sejauh mungkin dapat ditangkap oleh wilayah yang bersangkutan.

    Menurut Aziz (1994), paling tidak terdapat 2 kerangka konseptual perencanaan pembangunan

    daerah yang digunakan secara luas, disamping beberapa lainnya yang sedikit banyak merupakan variasi

    keduanya. Pertama adalah konsep basis ekonomi, konsep ini dipengaruhi oleh pemilikan masa depan

    terhadap pembangunan daerah. Teori ini beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat

    meningkatkan melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis (ekspor)

    dan sektor non basis (lokal). Menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penentu

    dalam pembangunan ekonomi. Kedua, beranggapan bahwa tingkat imbalan (rate of return) lebih

    dibedakan oleh perbedaan dalam lingkungan dan prasarana, daripada ketidak seimbangan rasio modal-

    tenaga kerja. Daerah merupakan wilayah terbelakang bukan karena tidak beruntung atau kegagalan pasar,

    tetapi produktivitas yang rendah.

    Seperti halnya sebagian besar ilmu sosial, pemanfaatan ilmu regional dalam kehidupan masyarakat,

    khususnya yang menyangkut formulasi kebijakan dan perencanaan pembangunan, menuntut keterkaitan

    dengan ilmu yang lain. Menurut Arsyad (1997), pengertian daerah berbeda-beda tergantung tinjaunnya,

    dari aspek ekonomi daerah mempunyai tiga pengertian : 1) Satu daerah dianggap sebagai ruang dimana

    kegiatan ekonomi terjadi dan didalam pelosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama (pendapatan

    perkapita, sosial budaya dan geografinya); 2) Satu daerah dianggap suatu ekonomi ruang yang dikuasai

    oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi (disebut daerah nodal); 3) Satu daerah adalah satu

    ekonomi ruang yang berada di bawah administrasi tertentu seperti propinsi, kabupaten, kecamatan, dan

    sebagainya. Daerah seperti ini dibagi berdasarkan administrasi suatu negara.

    Pada dasarnya pembagian wilayah menurut kategorinya menunjukkan kekhususan peubah-peubah

    yang diperlakukan di dalam menyusun pembagian wilayah. Dengan kata lain, berbagai peubah dapat

    dilakukan dalam pembagian wilayah untuk tujuan-tujuan tertentu, sehingga akan menunjukkan tingkat

    diferensiasi atau pembedaan dari wilayah (regionalisasi) berdasarkan kategori-kategori atau peubah-

    peubah yang menyusunnya. Pada umumnya penggolongan yang sangat sering diperlakukan dalam

    regionalisasi wilayah dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok wilayah (Wibowo, 1998 ; 22) :

    a. Wilayah Berdimensi Tunggal (single topic region)

    Wilayah ini merupakan region yang eksistensinya hanya didasarkan pada satu macam peubah atau

    persoalan saja sehingga jenis wilayah ini dapat merupakan wilayah formal atau wilayah fungsional;

    b. Wilayah Berdimensi Gabungan (combined topic region)

    Wilayah ini pada dasarnya hampir sama dengan jenis wilayah berdimensi tunggal, akan tetapi

    mempunyai perbedaan diantara keduanya yakni pada unsur pembentukannya yang terdiri atas

  • 9

    beberapa peubah sehingga mempunyai cakupan analisis yang dirinci (seperti tingkat pendapatan,

    tingkat konsumsi perkapita, aset dan sebagainya);

    c. Wilayah Multi Dimensi (multiple topic region)

    Adalah suatu wilayah yang eksistensinya mendasarkan pada beberapa dimensi yang berbeda satu

    sama lain. Secara umum dapat diidentifikasikan bahwa di dalam wilayah multi dimensi

    mendasarkan pada beberapa topik yang berbeda-beda tetapi masih berhubungan satu sama lain.

    Sebagai contoh adalah dalam rangka untuk mengevaluasi suatu daerah pertanian. Maka faktor-

    faktor yang berhubungan dengan pertanian digunakan sebagai dasar untuk pembagian (iklim,

    keadaan tanah, hidrologi, geomorphologi, dan lainnya);

    d. Wilayah Berdimensi Total (total region)

    Bahwa dalam wilayah tersebut semua unsur wilayah tercakup dalam definisinya untuk membentuk

    suatu wilayah. Salah satu keuntungannya terletak pada kemudahan didalam pelaksanaan

    regionalisasinya, terutama jika ditinjau dari segi administrative convinience-nya, akan tetapi

    luasnya persoalan atau peubah-peubah yang harus diperhatikan atau dicakup didalam pertimbangan

    analisisnya justru menampakkan kesulitan daripada kemudahannya;

    e. Wilayah Compage

    Merupakan suatu wilayah yang bukan terdiri dari banyak atau sedikitnya variable yang menjadi

    pertimbangan utama, akan tetapi menonjolkan kegiatan manusia. Orientasi tidak lagi

    menitikberatkan pada physical setting-nya, melainkan bobot dari kegiatan manusia ditinjau dari

    kepentingan lokal maupun nasional.

    2.2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Pendapatan

    Pertumbuhan ekonomi dapat dinilai sebagai dampak kebijaksanaan pemerintah, khususnya dalam

    bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai

    macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan yang terjadi dan

    sebagai indikator penting bagi daerah untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan (Sirojuzilam, 2008

    : 18).

    Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah peningkatan volume variabel ekonomi dari suatu sub spasial

    suatu bangsa atau negara dan juga dapat diartikan sebagai peningkatan kemakmuran suatu wilayah.

    Pertumbuhan yang telah terjadi dapat ditinjau dari peningkatan produksi sejumlah komoditas yang

    diperoleh suatu wilayah.

    Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah

    ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Pertumbuhan industri-industri yang

  • 10

    menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baki untuk diekspor, akan

    menghasilkan kekayaan daerah penciptaan peluang kerja (Arsyad, 1999: 300). Asumsi ini memberikan

    pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut dapat

    memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan

    ekspor. Untuk menganalisis basis ekoomi suatu wilayah, salah satu teknik yang lazim digunakan adalah

    kuosien lokasi (Location Quotient, LQ) Location Quotient digunakan untuk mengetahui seberapa besar

    tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading sectors). Dalam teknik LQ berbagai peubah

    (faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah, misalnya kesempatan kerja (tenaga

    kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah. Secara garis besar proses

    pertumbuhan perekonomian yang dibayangkan oleh Ricardo ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut (dalam

    Budiono, 1982; 9) :

    a. Tanah terbatas jumlahnya, hal ini akan berakibat pada penurunan pertumbuhan penduduk

    (tenaga kerja), sehingga akan menghasilkan produk marginal yang semakin menurun;

    b. Tenaga kerja yang meningkat (atau menurun) sesuai dengan apakah tingkat upah diatas atau

    dibawah tingkat upah minimum (tingkat upah alamiah). Dari segi faktor produksi tanah dan

    faktor produksi tenaga kerja, ada satu kekuatan dinamis yang selalu menarik perekonomian

    kearah tingkat upah minimum, yaitu bekerjanya the Law of Diminishing Return;

    c. Akumulasi kapital terjadi apabila tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik kapital berada

    diatas keuntungan minimum yang diperlukan untuk menarik mereka melakukan investasi.

    Akumulasi kapital hanya akan dilakukan apabila menerima imbalan (keuntungan) yang cukup.

    Proses akumulasi kapital ini akan berenti apabila tingkat keuntungan yang diperoleh penanaman

    modal turun sampai pada tingkat keuntungan minimum yang diperlukan untuk mendorong

    mereka melakukan investasi;

    d. Adanya kemajuan teknologi dari waktu ke waktu, kemajuan teknologi akan meningkatkan

    produktivitas tenaga kerja dan produktivitas modal;

    e. Sektor pertanian dominan, pada dasarnya inti dari proses pertumbuhan ekonomi (kapitalis)

    menurut Ricardo adalah proses tarik menarik antara dua kekuatan dinamis, yaitu : (1) The Law

    of Diminishing Return dan; (2) Kemajuan teknologi.

    Hampir sama dengan pendapatan yang dikemukakan oleh soemitro bilamana sekarang memikirkan

    lebih lanjut kehidupan manusia dalam perkembangan dunia, maka akan disadari betapa kemajuan dan

    kesejahteraan manusia terpengaruh sekali oleh hubungan timbal balik antar peranan sumber daya manusia

    dan peranan teknologi, yaitu cara teknik bagaimana manusia dapat mempertemukan dan mengandalkan

    keadaan sekitarnya.

  • 11

    Dalam kaitan ini ekonom klasik berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat akan

    menghasilkan pemecahan, permasalahan sosial, ekonomi, politik, sebagaimana juga permasalahan

    pemerataan pendapatan. Akan tetap orientasi pembangunan yang menitikberatkan pencapaian

    pertumbuhan ekonomi dengan cepat tidak serta merta mengindikasikan bahwa pembangunan yang

    dilaksanakan di suatu negara akan tercapai maksimum, bahkan akibat dari pertumbuhan ekonomi yang

    telalu kuat telah menciptakan permasalahan dalam pembangunan yang antara lain : ketidakmerataan

    pendapatan yang semakin tinggi, kesejangan antar golongan masyarakat dan antar wilayah semakin lebar,

    meningkatnya angka kriminalitas sebagai akibat kecemburuan sosial.

    Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat ternyata belum

    mampu menjadi indikator utama keberhasilan pembangunan. Selama ini pertumbuhan ekonomi secara

    positif telah diasosiasikan dengan pengurangan kemiskinan, dimana pengurangan kemiskinan tersebut

    berhubungan dengan pertumbuhan yang sangat bervariasi, seperti halnya yang terjadi pada kemajuan

    sosial dan perbaikan kesejahteraan hidup baik dalam kesehatan maupun pendidikan. Akan tetapi yang

    lebih bermakna dalam pertumbuhan adalah kesejahteraan, yang terdiri dari konsumsi, pembangunan

    manusia, dan kelestarian lingkungan, serta kualitas, distribusi dan stabilitas mereka.

    Fokus pada pertumbuhan ekonomi haruslah dilengkapi oleh suatu kajian atas pola-pola alternatif

    pertumbuhan (yang berkesinambungan). Menurut Bank Dunia (2001) alternatif yang cukup baik adalah

    pertumbuhan yang ditimbulkan oleh perluasan modal manusia, fisik, dan alam yang tidak terdistorsi dan

    seimbang, sehingga dapat dilestarikan untuk jangka waktu yang panjang. Seimbang disini lebih menunjuk

    kepada akumulasi aset sebagai tanggapan terhadap kerangka kerja kebijakan yang tidak terdistorsi. Pola

    seperti itu lebih cenderung bisa mengurangi kemiskinan dan dapat memperbaiki distribusi pendapatan.

    Pada gilirannya, hal ini dapat menciptakan kondisi bagi pertumbuhan yang lebih pesat dan memperbaiki

    kesejahteraan dengan lebih cepat pula. Maka mencegah terjadinya kekurangan investasi dalam modal

    manusia dan alam merupakan salah satu cara untuk mempromosikan pertumbuhan yang pesat dan

    berkesinambungan (Bank Dunia, 2001 : 32).

    Kontribusi akumulasi modal manusia dapat melalui pelatihan, sekolah (pendidikan), dan pelayanan

    kesehatan dimana layanan tersebut bisa disediakan oleh pihak swasta maupun pemerintah sehingga

    masyarakat yang berpendapatan rendah hingga menengah dapat menikmati layanan tersebut. Pada sisi

    investasi lainnya, dimana kebijakan pertumbuhan tanpa mengkaji lingkungan yang komplementer yang

    dapat merusak lingkungan pada saat akumulasi modal fisik mengalami percepatan. Secara khusus, hal ini

    terjadi pada negara-negara dengan keunggulan komparatif dalam industri padat sumber daya alam yang

    juga banyak membutuhkan banyak modal fisik untuk eksplorasinya, seperti pertambangan, kehutanan,

    dan perikanan. Oleh sebab itu, investasi modal terhadap manusia dan alam haruslah sesuai tepat sasaran

    dan melalui suatu kajian yang mendalam.

  • 12

    Masalah pertumbuhan dan pemerataan pendapatan yang terjadi di Indonesia cupuk kompleks. Pada

    umumnya daerah-daerah dengan pusat pertumbuhan tinggi terletak di Pulau Jawa mengingat kebijakan

    pembangunan lebih dikonsentrasikan di Jawa, dengan demikian masyarakat Indonesia yang lebih banyak

    menikmati pemerataan pendapatan adalah penduduk yang tinggal di pulau jawa itu pun lebih terpusat di

    Jakarta.

    Antisipasi dan pemecahan permasalahan pembangunan yang berupa ketimpangan pendapatan

    antara masyarakat dan wilayah, Indonesia menggunakan strategi pembangunan yang berorientasi pada

    pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dengan disertai oleh pemerataan pembangunan dalam

    masyarakat strategi tersebut dirumuskan dakam Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tujuan umum yang

    ingin dicapai oleh pembangunan nasional yang dirumuskan dalam visi pembangunan Indonesia yang

    tercantum dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis,

    berdaya saing, maju, dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang

    didukung oleh manusia Indonesia yang berkualitas (MPR,1999:46).

    2.2.3 Pembangunan Pertanian

    Pertanian adalah proses produksi yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman dan hewan.

    Sedangkan definisi dari pembangunan pertanian adalah suatu proses dalam meningkatkan pola produksi

    dan produktivitas yang terdapat dalam pertanian dengan tujuan meningkatkan produksi, memenuhi

    kebutuhan bahan baku bagi industri dalam negeri maupun luar negeri yang menghasilkan devisa negara,

    memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan pemerataan kesempatan berusaha seta

    mendukung pemerintah daerah dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya (Soeratno,1996 :

    81).

    Menurut mubyarto (1994 : 121) pembangunan ekonomi dengan memberikan prioritas pada sektor

    pertanian tidak merupakan kasus yang khusus, tetapi merupakan garis kebijaksanaan. Dalam keadaan

    demikian, kebijaksanaan dianggap lebih tepat apabila mampu menciptakan daya tukar (term of trade)

    yang lebih menguntungkan sektor industri, supaya sektor ini dapat berkembang lebih cepat. Karena

    bagaimanapun juga sektor pertanian merupakan sektor penyedia bahan-bahan mentah sektor industri.

    Pembangunan sektor pertanian merupakan bagian penting dalam pembangunan dan tidak terpisahkan dari

    pembangunan ekonomi maupun pembangunan nasional. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar

    penduduk Indonesia bekerja dan menggantungkan hidupnya disektor pertanian, yang sebagian besar

    hidup dibawah garis kemiskinan.

    Soekarwati (1996) mengemukakan tanggapannya tentang 5 syarat pembangunan pertanian dari

    Mosher, bahwa adanya kemajuan illmu dan teknologi yang mempengaruhi corak berfikir produsen,

  • 13

    konsumen, dan pelaku pembangunan pertanian yang lain, maka perlu adanya perubahan dan arahan baru,

    yakni :

    1. Pemanfaatan sumberdaya dengan tanpa merusak lingkungannya (Recources Endowment).

    Keberadaan sumberdaya yang dimiliki bangsa Indonesia sudah sepantasnya untuk dimanfaatkan

    secara optimal, namun dalam pemanfaatannya tidak harus terjadi akses kerusakan lingkungan;

    2. Pemanfaatan teknologi yang senantiasa berubah (Technological Endowment). Peningkatan

    produksi pertanian oleh pemakaian cara-cara atau teknik baru dalam usaha tani. Termasuk

    didalamnya berbagai kombinasi jenis-jenis usaha oleh petani agar dapat menggunakan tenaga

    dan tanah mereka sebaik mungkin;

    3. Pemanfaatan institusi (kelembagaan) yang saling menguntungkan. Pengenalan teknologi

    pertanian yang baru seharusnya segera disampaikan kepada masyarakat petani dan hal ini bisa

    dilaksanakan dengan memanfaatkan lembaga-lembaga yang ada (Balai Penyuluh Pertanian);

    4. Pemanfaatan budaya (Cultural Endowment) untuk keberhasilan pembangunan pertanian. Seperti

    adanya sistem subak ataupun sistem gugur gunung.

    Pada saat ini, di Indonesia perkembangan paradigma di bidang pertanian sebagai upaya

    mengantisipasi pertanian masa depan telah mendapat perhatian dari banyak kalangan, hal ini dilandasi

    oleh beberapa faktor kritikal, yaitu (Wibowo,200:43):

    1. Agenda pembangunan ekonomi nasional telah menempatkan pertanian sebagai sektor unggulan

    dan basis kekuatan ekonomi nasional;

    2. Pembangunan pertanian diarahkan pada peningkatan Sumber Daya Manusia dalam mengelola

    Sumber Daya Alam dan Hayati secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

    petani;

    3. Pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan azaz otonomi daerah dan pemerataan

    pembangunan;

    4. Peran pemerintah dalam pembangunan pertanian semakin terbatas pada memfasilitasi dan

    memberdayakan setiap pelaku pembangunan agar mampu melaksanakan kegiatan ekonominya

    secara mandiri.

    Dengan cara berfikir demikian, maka diperlukan penyesuaian-penyesuaian sehingga sasaran

    pembangunan pertanian dapat dicapai secara optimal yakni bagaimana mengantisipasi kebijakan yang

    harus ditempuh sektor pertanian, terutama dalam menghadapi dinamika otonomi, desentralisasi dan juga

    globalisasi.

    Dalam perekonomian sektor pertanian mempunyai peranan penting terutama disebabkan oleh: 1)

    sebagian besar dari penduduk memiliki usaha dan menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian; 2)

  • 14

    sektor pertanian merupakan penyedia utama pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat; 3) sektor pertanian

    merupakan penyedia terbesar untuk menunjang pembangunan sektor-sektor lainnya terutama sektir

    industri (dalam hal tenaga kerja); 4) kemampuan yang tinggi dalam penyediaan Sumber Daya Alam dan

    sumber dana dalam menggerakkan dan memacu pertumbuhan ekonomi; 5) sektor pertanian merupakan

    pasar yang potensial bagi produk-produk dari sektor industri (Kamaludin, 1999: 112).

    2.2.4 Pembangunan Subsektor Perkebunan

    Subsektor perkebunan yang merupakan bagian dari sektor pertanian, dimana subsektor pertanian

    ini juga merupakan komponen penting dalam menghasilkan devisa, menyediakan lapangan kerja, dan

    sumber penghasilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pembangunan perkebunan harus

    memperhatikan kondisi tanah, air, iklim dengan tetap menjaga kelestarian, kemampuan sumber-sumber

    alam dan lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan masyarakat setempat, selanjutnya

    pembangunan perkebunan difokuskan untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan industri

    dalam negeri melalui peremajaan, rehabilitasi, perbaikan mutu tanaman, penganekaragaman jenis dan

    pemanfaatan lahan transmigrasi, lahan kering, dan rawa yang ditangani secara lebih intensif dan

    sistematis (Departemen Pendidikan Budaya, 199: 59).

    Pada tahun 1973 (dalam Mubyarto, 1989) luas perkebunan yang tersebar di wilayah Indonesia

    mencapai 2.225.645 hektar, dimana sebagian besar adalah milik negara. Perkebunan milik negara ini

    umumnya merupakan peninggalan dari penjajahan Belanda yang modalnya sudah dibeli oleh Pemerintah

    Indonesia.

    Pembangunan perkebunan rakyat di Kabupaten Jember terdiri dari tanaman perkebunan semusim

    dan tanaman budidaya perkebunan. a) tanaman semusim: yaitu umur tanaman pada umumnya pendek,

    yang biasanya sama dengan musimnya mulai tanaman hingga dipanen. Misal tembakau, tanaman teh dan

    tanaman kapas. b) tanaman budidaya perkebunan umumnya tidak panjang sehingga dapat berkali-kali

    dipanen, misal kelapa, kopi, cengkeh, dan pirang. Sedangkan komoditi perkebunan besar negara dan

    swasta di Kabupaten Jember terdiri dari karet, kopi, kakao, cengkeh, teh, dan kelapa (Qosyim, 1992: 11).

    Komoditas Produksi Tahun

    1999 (ribu ton)

    Pangsa Produksi

    (%)

    Pertumbuhan

    (1974-1999) %

    per tahun

    Pertumbuhan

    (1989-1999) %

    per tahun

    Karet 1714 9,8 3,01 3,56

    Kelapa sawit 5989 34,4 12,06 11,79

    Kelapa 2778 15,9 2,95 2,26

    Kopi 466 2,7 4,64 1,50

  • 15

    Kakao 461 2,7 22,01 15,36

    Teh 154 0,9 0,52 0,88

    Lainnya 4492 25,8 5,81 7,92

    Total 17424 100,0 5,90 7,09

    Sejalan dengan pertumbuhan areal, produksi perkebunan juga meningkatkan dengan konsistensi

    dengan laju 5,90 persen (%) per tahun dalam 25 tahun terakhir atau 7,09 persen (%) pada dekade terakhir

    (tabel 2). Pada tahun 1974, volume produksi subsektor perkebunan adalah sekitar 4,154 juta ton,

    sedangkan tahun 1999 volume produksi sudah mencapai sekitar 17.424 juta ton. Seperti juga areal,

    pertumbuhan produksi tercepat dicapai oleh tanaman kakao dengan laju 22,01 persen (%) per tahun.

    Pertumbuhan tercepat kedua dicapai oleh kelapa sawit dengan laju peningkatan produksi sekitar 12,06

    persen (%) per tahun. Perkembangan produksi tanaman lainnya berkisar antara 0,05-5 persen, kecuali

    tanaman tebu yang mengalami penurunan produksi dengan laju penurunan -0,45 persen per tahun.

    Penurunan produksi gula disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal seperti penurunan

    produktivitas dan biasa kebijakan pemerintah, maupun pasar gula internasional yang sangat distortif

    sehingga harga gula terus mengalami penurunan (Susila dan Susmiadi ; 2000).

    2.2.5 Analisis Model Input Output

    Analisis model Input-Output diperkenalkan oleh Prof. Wassily W. Liontief 1951 yang merupakan

    pengembangan teknik yang dipergunakan oleh Francois Quesnay, dengan mempublikasikan tableu

    Econimique yang merupakan diagram-diagram yang memperlihatkan bagaimana pengeluaran-

    pengeluaran ekonomi dapat dilacak melalui perekonomian dengan metode sistematis (Kuncoro dkk, 1997

    : 257).

    Menurut Prof. J.R. Hies input adalah sesuatu yang dibeli untuk perusahaan, sedangkan output

    diproduksi. Jadi input merupakan pengeluaran perusahaan, sedangkan output merupakan penerimaannya,

    jumlah nilai uang input merupakan biaya total suatu perusahaan kemudian jumlah nilai uang dari output

    merupakan total penerimaan (Jhingan, 2002 : 592).

    Menurut Soekarwati (1990) keunggulan teknik ini adalah semua sektor ekonomi dan komponen-

    komponennya dapat dipakai semuanya dalam sekali analisis. Dengan demikian semua informasi antar

    subsektor dalam ekonomi dapat dilihat kaitannya satu sama lain agar kebijakan yang dibuat ada sifat

    berkelanjutan (Sustainable) dengan tanpa menimbulkan permasalahan sosial dan ekonomi. Masih

    menurut Soekarwati, ada beberapa asumsi yang lazim digunakan analisis I-O ini adalah sebagai berikut:

  • 16

    1. Bahwa teknologi dianggap tidak ada, karena teknologi tersebut diasumsikan tetap (Fixed

    Technology). Hal ini sebagai akibat adanya analisis yang menggunakan dara kerat silang dan

    juga perubah harga input tidak mempengaruhi komposisi input dipakan dalam proses produksi;

    2. Bahwa proporsi input yang diperlukan untuk memproduksi output dalam tiap-tiap sektor

    dianggap konstan;

    3. Bahwa masing-masing sektor hanya dapat menghasilkan produk;

    4. Bahwa sebagai konsekuensi dari asumsi ketiga tersebut maka gabungan dari beberapa produk

    tidak dapat dihasilkan oleh beberapa sektor.

    Menurut Boediono (dalam Kuncoro, 2001 : 239) daya tarik utama model I-O adalah menyajikan

    gambaran rinci mengenai struktur ekonomi pada suatu kurun waktu tertentu. Struktur ekonomi dapat

    mencakup suatu negara, daerah, maupun antar daerah. Oleh sebab itu, manfaat tabel I-O adalah : (1)

    memberikan gambaran yang lengkap tentang aliran barang, jasa, dan input antar sekolah; (2) dapat

    digunakan sebagai alat peramal mengenai pengaruh suatu perubahan situasi ekonomi atau kebijakan

    ekonomi.

    Pada model perencanaan daerah yang memasukkan unsur keterkaitan antara daerah secara eksplisit,

    dibanyak negara telah terbukti banyak membantu proses pembangunan daerah, karena tabel I-O

    menunjukkan dua fungsi yang terpisah yaitu: 1) menggambarkan hubungan kerangka kerja (frame Work)

    antara industri atau sektor dalam suatu perekonomian dan antara input-output; 2) memberikan kepastian

    asumsi ekonomi tentang fungsi produksi alamiah yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur

    pengaruh gangguan autonomus (Autonomus Disturbance) pada output ekonomi dan pendapatan.

    2.2.6 Metode RAS

    Dalam analisis Input Output digunakan metode RAS (matriks r,a,s) yang merupakan metode non

    survey yang memproyeksikan suatu tabel I-O yang baru dengan menggunakan koefisien-koefisien tabel I-

    O yang lama. Dengan menggunakan metode RAS suatu set angka pengganda dapat diperoleh suatu tabel

    I-O dasar selanjutnya angka pengganda tersebut dapat digunakan untuk melakukan penyesuaian terhadap

    baris maupun kolom pada tabel I-O dasar tersebut sehingga sel-sel dalam tabel I-O baru dapat diperoleh.

    Matriks koefisien tabel I-O, yaitu: A = (aij), terbentuk dua pengaruh, yaitu pengaruh substitusi dan

    fabrikasi (pembuatan). Apabila pengganda subtitusi diberi notasi r dan pengganda fabrikasi diberi notasi

    s, sedangkan A0 adalah matriks koefisien input nasional adalah At adalah matriks regional. Maka secara

    matematis dirumuskan sebagai berikut:

    At = r A0 s

  • 17

    Proses penyusunan matriks dengan menggunakan pengganda baris ke-r dan pengganda kolom ke-s,

    berkelanjut terus sampai diperoleh suatu matriks, dimana jumlah angka untuk masing-masing baris sama

    dengan jumlah permintaan antara masing-masing sektor dan jumlah angka masing-masing kolom sama

    dengan jumlah input antara masing-masing sektor. Koefisien input atau teknologi dari suatu tabel I-O

    diperoleh dengan membandingkan antara output sektor ke-i yang digunakan sebagai input oleh sektor ke-j

    (Xij) dengan input total sektor bersangkutan (Xj). Secara sistematis dirumuskan sebagai berikut:

    Aij = Xij / Xj

    Selanjutnya masing-masing nilai aij tersebut dapat disusun ke dalam bentuk persamaan linear, yaitu:

    A11X1 + a12X2 + .......... + a1nXn + Y1 = X1

    A21X2 + a22X2 + .......... + a2nXn + Y2 = X2

    An1X1 + an2Xn + .......... + anmXn + Yn = Xn atau bentuk matriks:

    AX + Y = X < > Y = X AX < > Y = [ I A ] X .......... (1)

    Dimana

    A = matriks koefisien input teknik

    X = vektor kolom ouput total

    Y = vektor kolom permintaan akhir

    [I A ] = merupakan matriks Leontief

    Dari persamaan (1) dapat diubah menjadi :

    X = [ I A ]-1 Y ....................................... (2)

    Selanjutnya, [ I A ]-1 merupakan matriks kebalikan Leontif atau disebut juga koefisien arah, yang

    berperan penting dalam analisis pembangunan suatu wilayah. Koefisien arah tersebut menunjukkan

    keterkaitan antara tingkat permintaan akhir dengan output yang dihasilkan oleh suatu perekonomian.

    2.3. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

    2.3.1 Persamaan

    Persamaan yang paling menonjol dari penelitian yang penulis lakukan saat ini dengan dua

    penelitian yang terdahulu adalah sama-sama menggunakan Tabel Input-Output, Analisis Keterkaitan, dan

    Analisis Pengganda.

    2.3.2 Perbedaan

  • 18

    Perbedaanya adalah jika penelitian milik Priyono (2000) membahas analisis mengenai kontribusi

    komoditas tanaman perkebunan Tembakau di Wilayah Kabupaten Jember. Kemudian pada Penelitian

    milik Arifianto (2003) membahas mengenai Analisis Subsektor Perkebunan di Wilayah Kabupaten

    Banyuwangi pada periode tahun 2000. Kemudian Penelitian oleh Abdul membahas mengenai Analisis

    Subsektor Perkebunan di Wilayah Kabupaten Jember pada periode tahun 2005. Dan penelitian Mulyono

    membahas mengenai Analisis Perkembangan Daya saing Subsektor Perkebunan di Kabupaten Jember.

  • 19

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1 Rancangan Penelitian

    3.1.1 Jenis Penelitian

    Penelitian ini dilakukan berdasarkan deskriptif, yaitu memberikan gambaran secara sistematik,

    faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, keterkaitan subsektor perkebunan maupun analisis

    penggandanya terhadap sektor lain dalam perekonomian Propinsi Jawa Timur.

    3.1.2 Unit Analisis

    Unit analisis dalam penelitian ini adalah aktivitas ekonomi subsektor perkebunan dan

    keterkaitannya dengan sektor lain di Provinsi Jawa Timur. Dalam aktivitas subsektor perkebunan akan

    diketahui dengan mengukur daya saing sub sektor dan keterkaitannya pada sektor-sektor lain.

    3.1.3 Populasi

    Populasi dalam penelitian ini adalah sektor ekonomi khususnya subsektor perkebunan di Provinsi

    Jawa Timur. Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada tahun 2004, dimana penentuan lokasi ditetapkan

    di Provinsi Jawa Timur dengan pertimbangan wilayah provinsi Jawa Timur yang cukup luas dan kondisi

    geografis yang mendukung untuk dikembangkan lebih baik lagi. Oleh sebab itu perlu dilihat sejauh mana

    pengaruh subsektor perkebunan daya saing terhadap sektor lainnya. Selain itu ketersediaan data tabel I-O

    terakhir adalah tahun 2000, sedangkan tabel I-O 2005 masih belum dipublikasikan oleh Badan Pusat

    Statistik.

    3.2 Jenis dan Sumber Data

    Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mencatat kembali data yang diterbitkan

    oleh instansi-instansi seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Timur, Badan Perencanaan

    Daerah (BAPPEDA) Jawa Timur, dan instansi terkait lainnya serta studi pustakan. Data yang digunakan

    untuk menunjang penelitian ini adalah data sekunder yang berupa:

    a. Data Input-Output Kabupaten Jember 15 x 15 sektor tahun

    b. Data Produk Domestik Regional Bruto PDRB Kabupaten Jember tahun 2011

    c. Data Tenaga Kerja Per sektor Kabupaten Jember tahun 2011

    d. Data Input-Output Propinsi Jawa Timur tahun 2011

    3.3 Spesifikasi Data

  • 20

    Rincian sektor yang digunakan dalam analisis I-O untuk penelitian ini dengan ukuran dimensi

    sebanyak 15 sektor yang meliputi (1) Pertanian tanaman bahan makanan (2) Perkebunan lainnya; (3)

    Tembakau; (4) Peternakan; (5) Kehutanan; (6) Perikanan; (7) Pertambangan dan Penggalian; (8) Industri

    pengolahan; (9) Listrik, gas, dan air bersih; (10) Bangunan (Kontruksi); (11) Perdagangan, hotel, dan

    restoran; (12) Pengangkutan dan komunikasi; (13) Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; (14)

    pemerintahan umum, dan pertahanan; (15) dan jasa.

    3.4 Metode Analisis Data

    3.4.1 Metode Analisis Tabel Input-Output

    Adapun metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode Input-Output.

    Tabel Input-Output.

    Tabel 1. Input-Output

    Alokasi Output

    Susunan Input

    Permintaan Antara Permintaan Akhir

    Jumlah

    Output

    Sektor Produksi

    i . . . j . . . n RT KP I S E

    Input

    Anta

    ra

    Sek

    tor

    Pro

    duksi

    1

    i

    n

    X1i

    Xii

    Xni

    . . .

    . . .

    . . .

    X1j

    Xij

    Xnj

    . . .

    . . .

    . . .

    X1n

    Xin

    Xnn

    RT1

    Rti

    RTn

    KP1

    Kpi

    KPn

    I1

    Ii

    In

    S1

    Si

    Sn

    E1

    Ei

    En

    X1

    Xi

    Xn

    Upah dan Gaji RT Li . . . Lj . . . Ln

    Nilai Tambah Lain Vi . . . Vj . . . Vn

    Impor Mi . . . Mj . . . Mn

    Jumlah Input Xi . . . Xj . . . Xn

    Sumber : Data Pusat Statistik (BPS), 2000

    Xij = Banyaknya output sektor I yang digunakan sebagai input sektor ke-j

    Yi = Permintaan akhir sektor I

    = RTi + KPi + Ii + Si + Ei

  • 21

    Dimana :

    RTi = Konsumsi rumah tangga terhadap sektor ke-i

    KPi = Konsumsi pemerintah sektor ke-i

    Ii = Pembentukan modal tetap (output sektor ke-i menjadi barang modal)

    Si = Perubahan Stock (output dari sektor ke-i yang menjadi perubahan stock)

    Ei = Ekspor barang dan jasa terhadap sektor ke-i

    Bentuk umum tabel Input-Output pada tabel diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

    Tabel baris menunjukkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan, sebagian dialokasikan untuk

    permintaan antara (Intermediate Demand) dan sebagian untuk permintaan akhir (Final Demand).

    Permintaan akhir dalam tabel terdiri dari : (1) Pengeluaran konsumsi rumah tangga; (2) Pengeluaran

    konsumsi pemerintah; (3) Pembentukan modal tetap; (4) Perubahan stock; (5) dan Ekspor. Tabel kolom

    menunjukkan input antara maupun input primer yang disediakan oleh sektor lain untuk pelaksanaan

    produksi (Gazperz, 1990: 218).

    Secara umum, dengan asumsi bahwa perekonomian hanya terdiri dari tiga sektor, dapat dinyatakan bahwa

    struktur input j terdiri dari input antara Xij (i=1, 2, 3) dan input primer Vj dengan demikian alokasi ouput

    sektor i dapat dinyatakan sebagai berikut :

    Struktur input sektor j dinyatakan sebagai :

    3.4.2 Analisis Keterkaitan Antar Sektor

    Untuk mengetahui tingkat keterkaitan antara subsektor perkebunan terhadap sektor-sektor lain

    dalam perekonomian Propinsi Jawa Timur digunakan analisis Back Linkage (keterkaitan kebelakang),

    analisis Forward Linkage (keterkaitan ke depan), analisis keterkaitan langsung tidak langsung ke depan,

    dan analisis kaitan langsung tidak langsung ke belakang.

    1. Analisis Keterkaitan Langsung ke Belakang

    Untuk mengetahui derajat kaitan subsektor perkebunan terhadap sektor lain yang menyumbang

    input kepadanya maka digunakan analisis keterkaitan kebelakang. Formula keterkaitan

    kebelakang dapat dinyatakan sebagai berikut (Kuncoro, 1997 : 337) :

  • 22

    =

    Dimana : KLKB = indeks kaitan ke belakang

    Xj = nilai dari produk ke j

    X ij = nilai input jasa i yang disediakan dari dalam Negeri untuk memproduksi produk

    j

    aij = koefisien input output Leontief

    2. Analisis Keterkaitan Langsung ke Depan

    Untuk mengetahui derajat keterkaitan antara subsektor perkebunan yang menghasilkan output

    bagi sektor-sektor lain yang digunakan sebagai input, digunakan analisis keterkaitan kedepan.

    Formulasi keterkaitan ke depan diperoleh dari invers kaitan ke kebelakang dan dapat dinyatakan

    sebagai berikut (Kuncoro, 1997 : 337) :

    KLKD = ij - 1

    dimana: KLKD = indeks kaitan ke depan

    ij = koefisien input-output Leontif

    3. Analisis Keterkaitan Langsung Tidak Langsung ke Depan

    Keterkaitan langsung tidak langsung ke depan, ditujukan untuk mengukur akibat dari subsektor

    perkebunan terhadap sektor ekonomi lain yang menyediakan output bagi subsektor perkebunan

    baik langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total, dirumuskan dengan :

    Dimana: KLTLKD = keterkaitan langsung tidak langsung ke depan

    Cij = unsur matriks kebalikan Leontif terbuka baris ke-i kolom ke-j

    4. Analisis Keterkaitan Langsung Tidak Langsung ke Belakang

    Keterkaitan langsung tidak langsung kebelakang, ditujukan untuk mengukur dampak dari

    subsektor perkebunan terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi subsektor

  • 23

    perkebunan baik langsung maupun tidak langsung menurut kenaikan permintaan total, dengan

    rumus:

    Dimana: KLTLKB = keterkaitan langsung tidak langsung kebelakang

    Cij = unsur matriks kebalikan Leontif terbuka baris ke-i kolom ke-j

    3.4.3 Analisis Pengganda

    Untuk mengetahui besarnya angka pengganda output, angka pengganda pendapatan, dan angka

    pengganda tenaga kerja subsektor perkebunan di Propinsi Jawa Timur digunakan analisis sebagai berikut

    :

    1. Analisis Pengganda Output

    Analisis pengganda output digunakan untuk menghitung total nilai produksi dari semua sektor

    ekonomi yang diperlukan untuk memenuhi nilai permintaan akhir dari output subsektor perkebunan.

    formulasi matematisnya adalah (Kuncoro, 1997: 348):

    Dimana: Oj = Pengganda output sektor ke-j

    ij = Permintaan akhir yang baru dari sektor lain

    2. Analisis Pengganda Pendapatan

    Analisis pengganda pendapatan digunakan menghitung jumlah total pendapatan yang diterima

    oleh sektor rumah tangga sebagai penyedia faktor produksi sebagai akibat adanya tambahan

    permintaan akhir sebesar satu satuan mata uang. Formulasi matematisnya adalah (Kuncoro, 1997:

    351):

    Dimana: Hj = Angka pengganda pendapatan

  • 24

    n = koefisien teknologi

    ij = permintaan akhir yang baru dari sektor-sektor lain

    3. Analisis Pengganda Tenaga Kerja

    Analisis pengganda tenaga kerja digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi terhadap

    tingkat penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian sebagai akibat dari adanya perubahan

    permintaan akhir sebesar satu satuan mata uang. Formulasi matematisnya adalah (Kuncoro,

    1997:351):

    Dimana: Ej = Angka pendapatan tenaga kerja

    Wn = koefisien input tenaga kerja

    ij = permintaan akhir yang baru dari sektor-sektor yang lain

    3.5 Definisi Variabel Operasional dan Pengukurannya

    Definisi variabel operasional adalah suatu definisi variabel yang akan digunakan dalam operasional

    penelitian. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dan menghindari meluasnya

    permasalahan. Oleh sebab itu, batasan-batasan berupa definisi variabel dari analisis yang digunakan

    antara lain:

    1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat diinterpretasikan menurut 3 pengertian:

    a. Produksi adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai

    unit produksi di dalam suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun);

    b. Pendapatan adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut

    serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun) dalam

    satuan rupiah;

    c. Pengeluaran adalah jumlah semua pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga, konsumsi

    lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah pembentukan modal

    tetap domestik bruto, perubahan stok, dan perubahan netto pada suatu daerah dalam jangka

    waktu tertentu (satu tahun) dalam satuan rupiah;

    2. Total output adalah jumlah seluruh nilai produksi (baik barang maupun jasa) yang dihasilkan

    oleh sektor-sektor ekonomi dalam suatu negara atau daerah dihitung dalam satuan rupiah.

    3. Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya

    kegiatan produksi dalam satuan rupiah.

  • 25

    4. Output domestik adalah nilai produksi dari proses produksi yang dihasilkan dalam suatu negara

    atau daerah dalam satuan rupiah.