pbl30-1
-
Upload
danty-danestria -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
description
Transcript of pbl30-1
Kematian Akibat Tindakan Kekerasan
Danty Danestria*
(10.2009.143)
*Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara nomor 6. Kebon Jeruk, Jakarta Barat, 11510
Telp 56942061, Faks 5631731
Email: [email protected]
Pendahuluan
Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik dari ilmu
kedokteran, yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan
penegakan hukum serta keadilan. Di masyarakat kerap terjadi peristiwa pelanggaran
hukum yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Untuk penyusutan dan penyidikan
serta penyelesaian masalah hokum ini di tingkat lebih lanjut sampai akhirnya pemutusan
perkara di pengadilan, diperlukan bantuan berbagai ahli di bidang terkait untuk membuat
jelas jalannya peristiwa serta keterikatan antara tindakan yang satu dengan yang lain
dalam rangkaian peristiwa tersebut. Dalam hal terdapat korban, baik yang masih hidup
maupun yang meninggal akibat peristiwa tersebut, diperlukan seorang ahli dalam bidang
kedokteran untuk memberikan penjelasan bagi para pihak yang menangani kasus
tersebut. Dokter yang diharapkan membantu dalam proses peradilan ini akan berbekal
pengetahuan kedokteran yang dimilikinya yang terhimpun dalam khazanah Ilmu
Kedokteran Forensik.
Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan korban, dokter diharapkan dapat
menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh korban, bilamana kelainan tersebut timbul,
apa penyebabnya serta apa akibat yang timbul terhadap kesehatan korban. Dalam hal
korban meninggal, dokter diharapkan dapat menjelaskan penyebab kematian yang
1
bersangkutan, bagaimana mekanisme terjadinya kematian tersebut, serta membantu
dalam perkiraan saat kematian dan perkiraan cara kematian.
Untuk kesemuanya itu, dalam bidang ilmu kedokteran forensik dipelajari tata
laksana medikolegal, tanatologi, traumatologi, toksikologi, teknik pemeriksaan dan
segala sesuatu yang terkait, agar semua dokter dalam memenuhi kewajibannya membantu
penyidik, dapat benar-benar memanfaatkan segala pengetahuan kedokterannya untuk
kepentingan peradilan serta kepentingan lain yang bermanfaat bagi kehidupan
bermasyarakat.1
Kasus
Seorang laki-laki ditemukan di sebuah sungai kering yang penuh batu-batuan
dalam keadaan mati tertelungkup. Ia mengenakan kaos dalam (oblong) dan celana
panjang yang di bagian bawahnya di gulung hingga setengah tungkai bawahnya.
Lehernya terikat lengan baju (yang kemudian diketahui sebagai baju miliknya sendiri)
dan ujung lengan lainnya terkait kesebuah dahan pohon perdu setinggi 60 cm. Posisi
tubuh relatif mendatar, namun leher memang terjerat oleh baju tersebut. Tubuh mayat
tersebut telah membusuk, namun masih dapat dijumpai adanya satu luka terbuka didaerah
ketiak kiri yang memperlihatkan pembuluh darah ketiak yang putus, dan beberapa luka
terbuka didaerah tungkai bawah kanan dan kiri yang memiliki ciri-ciri yang sesuai
dengan akibat kekerasan tajam. Perlu duketahui bahwa rumah terdekat dari TKP adalah
kira-kira 2 km. TKP adalah suatu daerah perbukitan yang berhutan cukup lebat.
Identifikasi Forensik
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu
penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan
suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal
dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat
fatal dalam proses peradilan.1,3
Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak
dikenal, jenazah yang rusak , membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan masal, bencana
alam, huru hara yang mengakibatkan banyak korban meninggal, serta potongan tubuh
2
manusia atau kerangka.Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai
kasus lain seperti penculikan anak, bayi tertukar, atau diragukan orangtuanya.1,4
Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit 2 metode yang digunakan
memberikan hasil positip (tidak meragukan).1 Penentuan identitas personal dapat
menggunakan metode identifikasi sidik jari, visual, dokumen, pakaian dan perhiasan,
medik, gigi, serologic, dan secara eksklusi. Akhir-akhir ini dikembangkan pula metode
identifikasi DNA.3
Pemeriksaan sidik jari
Metode ini membandingkan sidik jari jenazah dengan data sidik jari antemortem.
Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi
ketepatan nya untuk menentukan identitas seseorang.
Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang sebaik-baiknya terhadap jari
tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik jari, misalnya dengan melakukan pembungkusan
kedua tangan jenazah dengan kantong plastik.3,4
Metode visual
Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang
merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah
yang belum membusuk, sehingga masih mungkin dikenali wajah dan bentuk tubuhnya
oleh lebih dari satu orang. Hal ini perlu diperhatikan mengingat adanya kemungkinan
faktor emosi yang turut berperan untuk membenarkan atau sebaliknya menyangkal
identitas jenazah tersebut.3
Pemeriksaan dokumen
Dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, Paspor) dan sejenisnya yang
kebetulan ditemukan dalam dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu
mengenali jenazah tersebut. Perlu diingat pada kecelakaan masal, dokumen yang terdapat
dalam tas atau dompet yang berada dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang
bersangkutan.3,4
Pemeriksaan pakaian dan perhiasan
3
Dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah, mungkin dapat diketahui
merek atau nama pembuat, ukuran, inisial nama pemilik, badge yang semuanya dapat
membantu proses identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah tersebut.
Khusus anggota ABRI, identifikasi dipemudah oleh adanya nama serta NRP yang tertera
pada kalung logam yang dipakainya.3
Identifikasi medik
Metode ini menggunakan data umum dan data khusus. Data umum meliputi tinggi
badan, berat badan, rambut, mata, hidung, gigi dan sejenisnya.Data khusus meliputi tatto,
tahi lalat, jaringan parut, cacat kongenital, patah tulang dan sejenisnya.3
Metode ini mempunyai nilai tinggi karena selain dilakukan oleh seorang ahli
dengan menggunakan berbagai cara/modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar-X)
sehingga ketepatan nya cukup tingi.Bahkan pada tengkorak/kerangka pun masih dapat
dilakukan metode identifikasi ini.3,4
Melalui identifikasi medik diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, prkiraan
umur dan tingi badan, kelainan pada tulang dan sebagainya.3
Pemeriksaan gigi
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang yang
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar-X dan pencetakan gigi
dan rahang.Odontogram memuat data tentang jumlah,bentuk, susunan, tambalan, protesa
gigi dan sebagainya.3
Seperti hal nya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi
yang khas.Dengan demikian dapat dilakukan indentifikasi dengan cara membandingkan
data temuan dengan data pembanding antemortem.3,4
Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik betujuan untuk menentukan golongan darah
jenazah.Penentuan golongan darah pada jenazah yang telah membusuk dapat dilakukan
dengan memeriksa rambut, kuku dan tulang. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan
sidik DNA yang akurasi nya sangat tinggi.3,4
4
Pada kasus diketahui bahwa korban bernama Tn. M berumur 55 tahun dan tinggal
kira-kira 2km dari tempat kejadian perkara. Hal ini telah dikonfirmasi oleh pihak
keluarga yang telah melaporkan hilangnya Tn. M sejak lima hari yang lalu.
Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP)
Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah tempat ditemukannya benda bukti atau
tempat terjadinya peristiwa kejahatan atau yang diduga kejahatan menurut suatu
kesaksian. Meskipun kelak terbukti bahwa di tempat tersebut tidak pernah terjadi suatu
tindak pidana, tempat tersebut tetap disebut sebagai TKP.
Diperlukan atau tidaknya kehadiran dokter di TKP oleh penyidik sangat
bergantung pada kasusnya, yang pertimbangannya dapat dilihat dari sudut korbannya,
tempat kejadiannya, kejadiannya atau tersangka pelakunya. Peranan dokter di TKP
adalah membentu penyidik dalam mengungkap kasus dari sudut kedokteran forensik.
Dasar pemeriksaan adalah hexameter, yaitu menjawab 6 pertanyaan: apa yang terjadi,
siapa yang tersangkut, dimana dan kapan terjadinya, bagaimana terjadinya, dan
dengan apa melakukannya, serta kenapa terjadi peristiwa tersebut?
Pemeriksaan kedokteran forensik di TKP harus mengikuti ketentuan yang berlaku
umum pada penyidik di TKP, yaitu menjaga agar tidak mengubah keadaan TKP. Semua
benda bukti yang ditemukan agar dikirim ke laboratorium setelah sebelumnya diamankan
sesuai prosedur.
Selanjutnya dokter dapat memberikan pendapatnya dan mendiskusikannya
dengan penyidik untuk memperkirakan terjadinya peristiwa dan merencanakan langkah
penyidikan lebih lanjut.
Bila korban masih hidup maka tindakan yang utama dan pertama bagi dokter
adalah menyelamatkan korban dengan tetap menjaga keutuhan TKP. Namun bila korban
telah mati, tugas dokter adalah menegakkan diagnosa kematian, memperkirakan saat
5
kematian, memperkirakan sebab kematian, memperkirakan cara kematian, menemukan
dan mengamankan benda bukti biologis dan medis.
Pada kasus ditemukan bercak darah yang sudah kering diantara batu-batuan
disekitar area mayat ditemukan. Benda bukti berupa bercak kering ini kemudian dikerok
dan dimasukkan ke dalam amplop atau kantong plastik, diberi label dengan keterangan
tentang jenis benda lalu segera dikirim ke laboratorium. Dan di pakaian korban
ditemukan pula bercak darah dan sehelai rambut yang segera di kirim ke laboratorium
untuk diperiksa.
Teknik autopsi
Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensic,
pemeriksaan harus dilakukan dengan cermat meliputi segala sesuatu yang terlihat,
tercium, maupun teraba, baik terhadap benda yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan,
sepatu, dll. Juga terhadap tubuh mayat sendiri.3
Sistematika pemeriksaan adalah:
1. Label mayat
2. Tutup mayat
3. Bungkus mayat
4. Pakaian
Pakaian mayat dicatat dengan teliti, mulai dari pakaian yang dikenakan pada
bagian tubuh sebelah atas sampai tubuh sebelah bawah, dari lapisan yang terluar
sampai lapisan yang terdalam.
Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan corak /motif dari tekstil,
bentuk /model pakaian, ukuran, merk /penjahit, cap binatu, monogram /inisial
6
serta tambahan atau tisikan bila ada. Bila terdapat pengotoran atau robekan pada
pakaian, maka ini juga harus dicatat dengan teliti dengan mengukur letaknya yang
tepat menggunakan koordinat, serta ukuran dari pengotoran dan atau robekan
yang ditemukan.
5. Perhiasan
Perhiasan yang dipakai oleh mayat harus dicatat pula dengan teliti. Meliputi jenis
perhiasan, bahan, warna, merk, bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda
perhiasan tersebut.
6. Benda di samping mayat
Kadangkala dalam pengiriman mayat terdapat benda di samping mayat seperti tas
atau bungkusan. Inipun dilakukan pencatatan yang teliti dan lengkap
7. Tanda kematian
a. Lebam mayat
Terhadap lebam mayat, dilakukan pencatatan letak/distribusi lebam, adanya
bagian tertentu di daerah lebam mayat yang justru tidak menunjukkan lebam.
Warna dari lebam mayat serta intensitas lebam mayat
b. Kaku mayat
Catat distribusi kaku mayat serta derajat kekakuan pada beberapa sendi
(daerah dagu/tengkuk, lengan atas, siku, pangkal paha, sendi lutut) dengan
menentukan mudah atau sukar dilawan. Apabila terdapat spasme kadaverik
maka ini harus dicatat sebaik-baiknya, karena spasme kadaverik memberi
petunjuk apa yang sedang dilakukan oleh korban saat terjadi kematian.
c. Suhu tubuh mayat
Pengukuran suhu tubuh mayat dilakukan dengan menggunakan thermometer
rectal. Jangan lupa juga melakukan pencatatan suhu pada saat yang sama
7
d. Pembusukan
Tanda pembusukan yang pertama tampak berupa kulit perut sebelah kanan
bawah yang berwarna kehijau-hijauan. Kadang-kadang mayat diterima dalam
keadaan pembusukan yang lebih lanjut.
e. Lain-lain
Catat perubahan tanatologik lain yang mungkin ditemukan, misalnya
mumifikasi atau adipocere
8. Identifikasi umum
Catat tanda umum yang menunjukkan identitas mayat, seperti: jenis kelamin,
bangsa, umur, warna kulit, keadaan gizi, tinggi, dan berat badan, keadaan zakar
yang di sirkumsisi, adanya striae albicantes pada dinding perut.
9. Identifikasi khusus :
a. Tattoo
b. Jaringan parut
c. Kapalan
d. Kelainan pada kulit
e. Anomaly dan cacat pada tubuh
10. Pemeriksaan rambut
11. Pemeriksaan mata
12. Pemeriksaan daun telinga dan hidung
13. Pemeriksaan terhadap mulut dan rongga mulut
14. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan
8
15. Pemeriksaan terhadap tanda-tanda kekerasan / luka : (Letak luka, jenis luka,
bentuk luka, arah luka, tepi luka, sudut luka, dasar luka, sekitar luka, ukuran luka,
saluran luka, dll.)
16. Pemeriksaan terhadap patah tulang1
Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan organ atau alat tubuh biasanya dimulai dari lidah, oesofagus, trakea, dan
seterusnya sampai meliputi seluruh alat tubuh. Otak biasanya diperiksa terakhir.
1. Lidah
2. Tonsil
3. Kelenjar gondok
4. Kerongkongan
5. Batang tenggorok
6. Tulang lidah, rawan gondok, dan rawan cincin
7. Arteri carotis interna
8. Thymus
9. Paru-paru
10. Jantung
11. Aorta thoracalis
12. Aorta abdominalis
13. Anak ginjal
14. Ginjal, ureter, dan kandung kencing
9
15. Hati dan kantung empedu
16. Limpa dan kelenjar getah bening
17. Lambung, usus halus, dan usus besar
18. Pancreas
19. Otak besar, otak kecil dan batang otak
20. Alat kelamin
21. Timbang dan catatlah berat masing-masing alat / organ.
Traumatologi Forensik
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan (ruda paksa), sedangkan yang di maksud
dengan luka adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan
yang bersifat :
Mekanik
- Kekerasan oleh benda tajam
- Kekerasan oleh benda tumpul
- Tembakan senjata api
Fisika
- Suhu
- Listrik dan petir
- Perubahan tekanan udara
10
- Akustik
- Radiasi
Kimia
- Asam atau basa kuat.
Luka akibat kekerasan benda tajam8
Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini adalah
benda yang memiliki sisi tajam, baik berupa garis maupun runcing, yang bervariasi dari
alat-alat seperti pisau, golok dan sebagainya hingga keping kaca, gelas, logam, sembilu,
bahkan tepi kertas atau rumput.
Gambaran umum luka yang diakibatkannya adalah tepi dan dinding luka yang
rata, berbentuk garis, tidak terdapat jembatan jaringan dan dasar luka berbentuk garis atau
titik. Luka akibat kekerasan benda tajam dapat berupa luka iris atau sayat, luka tusuk dan
luka bacok.
Selain gambaran umum luka tersebut diatas, luka iris atau sayat dan luka bacok
mempunyai kedua sudut luka lancip dan dalam luka tidak melebihi panjang luka. Sudut
luka yang lancip dapat terjadi dua kali pada tempat yang berdekatn akibat pergeseran
senjata sewaktu ditarik atau akibat bergeraknya korban. Bila dibarengi gerak memutar,
dapat menghasilkan luka yang tidak selalu berupa garis.
Pada luka tusuk, sudut luka dapat menunjukkan perkiraan benda penyebab, apakah berupa pisau bermata satu atau bermata dua. Bila satu sudut luka lancip dan yang lain tumpul berarti benda penyebabnya adalah benda tajam bermata satu. Bila kedua sudut luka lancip, luka tersebut dapat diakibatkan oleh benda tajam bermata dua. Benda tajam bermata satu dapat menimbulkan luka tusuk dengan kedua sudut luka lancip apabila hanya bagian ujung benda saja yang menyentuh kulit, sehingga sudut luka dbentuk oleh ujung dan sisi tajamnya.
11
Luka akibat kekerasan tumpul8
Luka yang terjadi akibat kekerasan tumpul bisa berupa memar (kontusio,
hematome), luka lecet (ekskoriasi, abrasi), dan luka terbuka atau robek (vulnus
laseratum).
Memar / Hematoma
Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit/kutis akibat pecahnya
kapiler dan vena, yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Luka memar
kadangkala member petunjuk tentang bentuk benda penyebabnya.1
Letak, bentuk dan luas luka memar dipengaruhi oleh berbagai factor seperti
besarnya kekerasan, jenis benda penyebab (karet, kayu, besi), kondisi dan jenis
jaringan (jaringan ikat longgar, jaringan lemak), usia, jenis kelamin, corak dan warna
kulit, kerapuhan pembuluh darah, penyakit penyerta ( hipertensi, diastesis
hemorragik, penyakit kardiovaskular). Akibat gravitasi, lokasi hematom mungkin
terletak jauh dari letak benturan.
Pada bayi, hematome cenderung lebih mudah terjadi karena sifat kulit yang
longgardan masih tipisnya jaringan lemak subkutan, demikian pula pada usia lanjut
sehubungnya dengan menipisnya jaringan lemak subkutan dan pembuluh darah yang
kurang terlindung.
Umur luka memar secara kasar dapat diperkirakan melalui perubahan warnanya.
Pada saat timbul, memar berwarna merah, kemudian berubah menjadi ungu atau
hitam, setelah 4-5 hari akan berwarna hijau yang kemudian akan berubah menjadi
kuning dalam 7-10 hari, dan akhirnya menghilang dalam 14-15 hari. Perubahan
warna tersebut berlangsung mulai dari tepid an waktunya dapat bervariasi tergantung
derajat dan berbagai factor yang mempengaruhinya.1,5
Dari sudut pandang medikolegal, interpretasi luka memar merupakan hal penting,
apalagi bila luka memar itu disertai luka lecet. Dengan perjalanan waktu, baik pada
orang hidup atau mati, luka memar akan memberikan gambaran yang makin jelas.
12
Hematoma ante-mortem yang timbul beberapa saat sebelum kematian biasanya
akan menunjukkan pembengkakan dan infltrasi darah dalam jaringan sehingga dapat
dibedakan dari lebam mayat dengan cara melakukan penyayatan kulit.
Pada lebam mayat, darah akan mengalir keluar dari pembuluh darah yang tersayat
sehingga bila dialiri air, penampang sayatan akan tampak bersih. Sedangkan pada
hematom penampang sayatn tetap berwarna merah kehitaman. Tetapi harus diingat
bahwa pada pembusukan juga terjadi ekstravasasi darah yang dapat mengacaukan
pemeriksaan ini.1
Luka lecet (ekskoriasi / abrasi)
Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda
yang memiliki permukaan kasar atau runcing.1
Manfaat interpretasi luka lecet ditinju dari aspek medikolegal seringkali
diremehkan, padahal pemeriksaan luka lecet yang teliti disertai pemeriksaan TKP
dapat mengungkapkan peristiwa yang sebenarnya terjadi.1
Sesuai dengan mekanisme terjadinya, lika lecet diklasifikasikan sebagai luka lecet
gores (scratch), luka lecet serut (graze), luka lecet tekan (impression) dan luka lecet
geser (friction abrasion).
Luka lecet gores diakibatkan oleh benda runcing (misalnya kuku jari yang
menggores kulit) yang menggesar lapisan permukaan kulit (epidermis)
didepannya dan menyebabkan lapisan tersebut terangkat sehingga dapat
menunjukkan arah kekerasan yang terjadi.1,5
Luka lecet serut adalah variasi dari luka lecet gores yang daerah
persentuhannya dengan permukaan kulit lebih lebar. Arah kekerasan ditentukan
dengan melihat letak tumpukan epitel.1
Luka lecet tekan disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit.
Karena kulit adalah jaringan yang lentur, maka bentuk kula lecet tekan belum
13
tentu sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut, tetapi masih
memungkinkan identifikasi benda penyebab yang mempunyai bentuk yang khas.1
Gambaran luka lecet tekan yang ditemukan pada mayat adalah daerah kulit
yang kaku dengan warna lebih gelap dari sekitarnya akibat menjadi lebih
padatnya jaringan yang tertekan serta terjadinya pengeringan yang berlangsung
pasca kematian.1
Luka lecet geser disebabkan oleh tekananlinier pada kulit disertai gerakan
bergeser. Misalnya pada kasus gantung atau jerat serta pada korban pecut. Luka
lecet geser yang terjadi semasa hidup mungkin sulit dibedakan dari luka lecet
yang terjadi segera pasca kematian.1,5
Luka robek
Merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul yang menyebabkan kulit
teregang ke satu arah dan bila batas elstisitas kulit terlampaui makan akan terjadi
robekan pada kulit. Luka ini mempunyai ciri yang umumnya tidak beraturan, tepi atau
dinding tidak rata, tampak jembatan jaringan antara kedua tepi luka, bentuk dasar
luka tidak beraturan, sering tampak luka lecet atau luka memar di sisi luka.1
Kekerasan benda tumpul yang cukup kuat dapat menyebabkan patah tulang. Bila
terdapat lebih dari 1 garis patah tulang yang saling bersinggungan maka garis yang
terjadi belakangan akan terhenti pada garis patah yang telah terjadi sebelumnya.1
Penjeratan
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai,
stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya., melingkari atau mengikat leher yang
makin lama makin kuat, sehingga saluran pernapasan tertutup.1
Berbeda dengan gantung diri yang biasanya merupakan bunuh diri, maka
penjeratan biasanya adalah pembunuhan. Mekanisme kematian pada penjeratan adalah
akibat asfiksia atau refleks vaso-vagal (perangsangan reseptor pada carotid body).1
14
Pada gantung diri, semua arteri di leher mungkin tertekan, sedangkan pada
penjeratan, arteri vertebralis biasanya tetap paten. Hal inidisebabkan oleh karena
kekuatan atau beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak besar.1
Bila jerat masih ditemukan melingkari leher, maka jerat tersebut harus disimpan
dengan baik sebab merupakan benda bukti dan dapat diserahkan kepada penyidik
bersama-sama dengan Visum et Repertum-nya.
Terdapat dua jenis simpul jerat, yaitu simpul hidup (lingkar jerat dapat diperbesar
atau diperkecil) dan simpul mati (lingkar jerat tidak dapat diubah). Simpul harus
diamankan dengan melakukan pengikatan dengan benang agar tidak berubah pada waktu
mengangkat jerat.1,6
Untuk melepaskan jerat dari leher, jerat harus digunting serong (jangan
melintang) pada tempat yang berlawanan dari letak simpul, sehingga dapat
direkonstruksikan kembali di kemudian hari. Kedua ujung jerat harus diikat sehingga
bentuknya tidak berubah.
Jejas jerat pada leher biasanya mendatar, melingkari leher dan terdapat lebih
rendah daripada jejas jerat pada kasus gantung. Jejas biasanya terletak setinggi atau di
bawah rawan gondok.1
Keadaan jejas jerat pada leher sangat bervariasi. Bila jerat lunak dan lebar seperti
handuk atau selendang sutera, maka jejas mungkin tidak ditemukan dan pada otot-otot
leher sebelah dalam dapat atau tidak ditemukan sedikit resapan darah. Tali yang tipis
seperti kaos kaki nylon akan meninggalkan jejas dengan lebar tidak lebih dari 2-3 mm.1
Bila jerat kasar seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat korban melawan akan
menyebabkan luka lecet di sekitar jejas jerat, yang tampak jelas berupa kulit yang
mencekung berwarna coklat dengan perabaan kaku seperti kertas perkamen (luka lecet
tekan), pada otot-otot leher sebelah dalam tampak banyak resapan darah.1,6
Tanatologi
15
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan
kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik
yang mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor
yang mempengaruhi perubahan tersebut.1
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, antara lain :
1. Mati somatis disebut juga mati klinis yang terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga
sistem penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan
sistem pernapasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan
refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar,
tidak ada gerak pernapasan dan suara nafas tidak terdengar pada auskultasi.
2. Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem
kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan
peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut
masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,
tersengat aliran listrik dan tenggelam.
3. Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang
timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing
organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap
organ atau jaringan tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam transplantasi
organ.
4. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang
otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan
kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat.
5. Mati otak (mati batang otak) adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neronal
intrakranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan
diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.1
16
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan
tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya
kerja jantung dan peredaran darah berhenti, pernapasan berhenti, refleks cahaya dan
refleks kornea mata menghilang, kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu
timbul perubahan pascamati yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian lebih
pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat
(hipostasis atau lividitas pascamati), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh,
pembusukan, mummifikasi dan adiposera.1
Tanda kematian tidak pasti, antara lain :
1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi).
2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin
terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan
kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda.
Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer. Hal ini
mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah belikat dan
bokong pada mayat yang terlentang.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih
dapat dihilangkan dengan meneteskan air.2
Tanda pasti kematian, antara lain :
1. Lebam mayat (livor mortis)
17
Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat
gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak berwarna
merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang
tertekan alas keras. Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal
dari endotel pembuluh darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca
mati, makin lama intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah
8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih hilang (memucat) pada penekanan
dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat
dan sempurna apabila penekanan atau perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan
dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi, walaupun setelah 24 jam, darah masih
tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat mengalir dan membentuk lebam
mayat di tempat terendah yang baru. Kadang-kadang dijumpai bercak perdarahan
berwarna biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat
disebabkan oleh bertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga
sulit berpindah lagi. Selain itu, kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut
mempersulit perpindahan tersebut.1
Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian; memperkirakan sebab
kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracunan CO atau CN, warna
kecoklatan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, sulfonal; mengetahui perubahan posisi
mayat yang dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang menetap; dan
memperkirakan saat kematian.
Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum menetap
dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah beberapa saat akan
terbentuk lebam mayat baru di daerah dada dan perut. Lebam mayat yang belum
menetap atau masih hilang pada penekanan menunjukkan saat kematian kurang dari 8-
12 jam sebelum saat pemeriksaan.1
Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah, maka
keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah akibat trauma
(ekstravasasi). Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian disiram
18
dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar pada lebam mayat,
sedangkan pada resapan darah tidak menghilang.1
2. Kaku mayat (rigor mortis)
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme
tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang
menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP.
Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan
glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin
menggumpal dan otot menjadi kaku.1
Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak
kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke
arah dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar
kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan
selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat
umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku
mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan terjadi
pemendekan otot.1
Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik
sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot-otot kecil dan
suhu lingkungan tinggi. Kaku mayat dapat dipergunakan untuk menunjukkan tanda
pasti kematian dan memperkirakan saat kematian.1
Terdapat kekakuan pada mayatyang menyerupai kaku mayat, antara lain :
a) Cadaveric spasm (instantaneous rigor), adalah bentuk kekauan otot yang terjadi
pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku
mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi
primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang
bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat
19
sesaat sebelum meninggal. Cadaveric spasm ini jarang dijumpai, tetapi sering
terjadi dalam masa perang. Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkkan
sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam erat benda
yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam senjata pada
kasus bunuh diri.
b) Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-
otot berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat
dijumpai pada korban mati terbakar. Pada heat stiffening serabut-serabut ototnya
memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk
sikap petinju. Perubahan sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa
hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.
c) Cold stiffening, yaitu kekauan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak
subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es
dalam rongga sendi.1
3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda
ke benda yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.
Grafik penurunan suhu tubuh ini hamper berbentuk kurva sigmoid atau seperti
huruf S. Kecepatan penurunan suhu dipengaruhi oleh suhu keliling, aliran dan
kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi tubuh dan pakaian. Selain itu, suhu saat mati
perlu diketahui untuk perhitungan perkiraan saat kematian. Penurunan suhu tubuh
akan lebih cepat pada suhu keliling yang rendah, lingkungan berangin dengan
kelembaban rendah, tubuh yang kurus, posisi terlentang, tidak berpakaian atau
berpakaian tipis, dan pada umumnya orang tua serta anak kecil.1
Penelitian akhir-akhir ini cenderung untuk memperkirakan saat mati melalui
pengukuran suhu tubuh pada lingkungan yang menetap di Tempat Kejadian Perkara
20
(TKP). Caranya adalah dengan melakukan 4-5 kali penentuan suhu rectal dengan
interval waktu yang sama (minimal 15 menit). Suhu lingkungan diukur dan dianggap
konstan karena faktor-faktor lingkungan dibuat menetap, sedangkan suhu saat mati
dianggap 37oC bila tidak ada penyakit demam. Penelitian membuktikan bahwa
perubahan suhu lingkungan kurang dari 2oC tidak mengakibatkan perubahan yang
bermakna. Dari angka-angka di atas, dengan menggunakan rumus atau grafik dapat
ditentukan waktu antara saat mati dengan saat pemeriksaan. Saat ini telah tersedia
program komputer guna penghitungan saat mati melalui cara ini.1
4. Pembusukan (decomposition, putrefaction)
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan
kerja bakteri. Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam
keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel
pasca mati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan.1
Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera
masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk
bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang terutama adalah
Clostridium welchii. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana, H2S dan
HCN, serta asam amino dan asam lemak.1
Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca mati berupa warna kehijauan
pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh dengan
bakteri serta terletak dekat dinding perut. Warna kehijauan ini disebabkan oleh
terbentuknya sulf-met-hemoglobin. Secara bertahap warna kehijauan ini akan
menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busuk pun mulai tercium. Pembuluh
darah bawah kulit akan tampak seperti melebar dan berwarna hijau kehitaman.1
Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau membentuk gelembung berisi cairan
kemerahan berbau busuk. Pembentukan gas di dalam tubuh, dimulai di dalam lambung
dan usus, akan mengakibatkan tegangnya perut dan keluarnya cairan kemerahan dari
21
mulut dan hidung. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan
mengakibatkan terabanya derik (krepitasi). Gas ini menyebabkan pembengkakan
tubuh yang menyeluruh, tetapi ketegangan terbesar terdapat di daerah dengan jaringan
longgar, seperti skrotum dan payudara. Tubuh berada dalam sikap seperti petinju
(pugilistic attitude), yaitu kedua lengan dan tungkai dalam sikap setengah fleksi akibat
terkumpulnya gas pembusukan di dalam rongga sendi.1
Selanjutnya, rambut menjadi mudah dicabut dan kuku mudah terlepas, wajah
mengembung dan warna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi tembam,
bibir tebal, lidah membengkak dan sering terjulur di antara gigi. Keadaan seperti ini
sangat berbeda dengan wajah asli korban, sehingga tidak dapat lagi dikenali oleh
keluarga.1
Hewan pengerat akan merusak tubuh mayat dalam beberapa jam pasca mati,
terutama bila mayat dibiarkan tergeletak di daerah rumpun. Luka akibat gigitan
binatang pengerat khas berupa lubang-lubang dangkal dengan tepi bergerigi.1
Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan gas pembusukan nyata, yaitu kira-
kira 36-48 jam pasca mati. Kumpulan telur lalat telah dapat ditemukan beberapa jam
pasca mati, di alis mata, sudut mata, lubang hidung dan di antara bibir. Telur lalat
tersebut kemudian akan menetas menjadi larva dalam waktu 24 jam. Dengan
identifikasi spesies, lalat dan mengukur panjang larva, maka dapat diketahui usia larva
tersebut, yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat mati, dengan asumsi
bahwa lalat biasanya secepatnya meletakkan telur setelah seseorang meninggal (dan
tidak lagi dapat mengusir lalat yang hinggap).1
Alat dalam tubuh akan mengalami pembusukan dengan kecepatan yang berbeda.
Perubahan warna terjadi pada lambung terutama di daerah fundus, usus, menjadi ungu
kecoklatan. Mukosa saluran napas menjadi kemerahan, endokardium dan intima
pembuluh darah juga kemerahan, akibat hemolisis darah. Difusi empedu dari kandung
empedu mengakibatkan warna coklat kehijauan di jaringan sekitarnya. Otak melunak,
hati menjadi berongga seperti spons, limpa melunak dan mudah robek. Kemudian alat
22
dalam akan mengerut. Prostat dan uterus non-gravid merupakan organ padat yang
paling lama bertahan terhadap perubahan pembusukan.
Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal (26.5oC hingga
sekitar suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang cukup, banyak bakteri
pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis. Media tempat
mayat terdapat juga berperan. Mayat yang terdapat di udara akan lebih cepat
membusuk dibandingkan dengan yang terdapat dalam air atau dalam tanah. Bayi baru
lahir umumnya lebih lambat membusuk, karena hanya memiliki sedikit bakteri dalam
tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang cepat dan bayi akan menghambat
pertumbuhan bakteri.1
5. Adiposera atau lilin mayat.
Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau
berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati. Dulu
disebut sebagai saponifikasi, tetapi istilah adiposera lebih disukai karena penunjukan
sifat-sifat di antara lemak dan lilin.1
Adiposera terutama terdiridari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk oleh
hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh
pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat, jaringan saraf yang
termumifikasi dan kristal-kristal sferis dengan gambaran radial. Adiposera terapung di
air, bila dipanaskan mencair dan terbakar dengan nyala kuning, larut dalam alkohol
dan eter.1
Adiposera dapat terbentuk di sembarang lemak tubuh, bahkan di dalam hati, tetapi
lemak superficial yang pertama kali terkena. Biasanya perubahan berbentuk bercak,
dapat terlihat di pipi, payudara atau bokong, bagian tubuh atau ekstremitas. Jarang
seluruh lemak tubuh berubah menjadi adiposera.1
23
Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan hingga
bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan sebab kematian masih
dimungkinkan.1
Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah kelembaban dan
lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang meghambat adalah air yang mengalir yang
membuang elektrolit.1
Udara yang dingin menghambat pembentukan, sedangkan suhu yang hangat akan
mempercepat. Invasi bakteri endogen ke dalam jaringan pasca mati juga akan
mempercepat pembentukannya.1
Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera, karena derajat keasaman dan
dehidrasi jaringan bertambah. Lemak segar hanya mengandung kira-kira 0.5% asam
lemak bebas, tetapi dalam waktu 4 minggu pasca mati dapat naik menjadi 20% dan
setelah 12 minggu menjadi 70% atau lebih. Pada saat ini, adiposera menjadi jelas
secara makroskopik sebagai bahan berwana putih kelabu yang menggantikan atau
menginfiltrasi bagian-bagian lunak tubuh. Pada stadium awal pembentukannya
sebelum makroskopik jelas, adiposera paling baik dideteksi dengan analisis asam
palmitat.1
6. Mummifikasi
Mummifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup
cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan
pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering, berwarna gelap, berkeriput
dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan yang
kering. Mummifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang
baik, tubuh yang dehidrasi dan waktu yang lama (12-14 minggu). Mummifikasi jarang
dijumpai pada cuaca yang normal.1
Aspek hukum
24
Pasal 338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.2
Pasal 339 KUHP
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang
dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari
pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang
yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.2
Pasal 340 KUHP
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh lima tahun.2
Pasal 355 KUHP
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama 15 tahun.
Visum et repertum
Adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter, berisi temuan dan pendapat
berdasarkan keilmuannya tentang hasil pemeriksaan medis terhadap manusia atau bagian
dari tubuh manusia, baik yang hidup maupun mati, atas permintaan tertulis (resmi) dari
25
penyidik yang berwenang yang dibuat atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah, untuk
kepentingan peradilan.
Pada kasus korban luka, jenis kasus yang umumnya diminta visum et repertum
oleh penyidik adalah kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, penganiayaan,
percobaan pembunuhan, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, dan
dugaan malpraktek.
Pasal 133 KUHAP ayat 1
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Pasal 133 KUHAP ayat 2
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Cara dan Sebab Kematian
a. Menentukan kematian atau memperkirakan cara kematian korban
Cara kematian adalah macam kejadian yang menimbulkan penyebab kematian.
Menentukan atau memperkirakan cara kematian korban pada umumnya baru dapat
dilakukan dengan hasil yang baik bila dokter diikut sertakan pada pemeriksaan di TKP,
yang dilanjutkan dengan pemeriksaan mayat oleh dokter yang bersangkutan. Jika hal
tersebut tidak dimungkinkan maka dokter yang melakukan pemeriksaan mayat masih
dapat memperkirakan atau menentukan cara kematian jika para penyidik memberikan
keterangan yang jelas mengenai berbagai hal yang dilihat dan ditemukan pada waktu
penyidik melakukan pemeriksaan di TKP.3,7
26
Dalam ilmu kedokteran forensic dikenal 3 cara kematian, yang tidak boleh selalu
diartikan dengan istilah dan pengertian secara hukum yang berlaku.
Cara kematian tersebut adalah :
1. Wajar (natural death), dalam pengertian kematian korban oleh karena penyakit
bukan karena kekerasan atau rudapakasa; misalnya kematian karena penyakit
jantung, karena perdarahan otak dank arena tuberkulosa.
2. Tidak wajar (un-natural death), yang dapat dibagi menjadi :
Kecelakaan
Bunuh diri
Pembunuh
3. Tidak dapat ditentukan (un-determined), hal ini disebabkan keadaan mayat telah
sedemikan rusak atau busuk sekali sehingga baik luka ataupun penyakit tidak dapat
dilihat dan ditemukan lagi.3,6
b. Memperkirakan saat kematian
Saat kematian korban hanya dapat diperkirakan karena penentuan kematian secara
pasti sampai saat ini masih belum memungkinkan. Perkiraan saat kematian diketahui
dari:
1. Informasi para saksi, dalam hal ini perlu diingat bahwa saksi adalah manusia
dengan segala keterbatasannya.
2. Petunjuk-petunjuk yang terdapat di TKP, seperti jam atau arloji yang pecah,
tanggal yang tercantum pada surat kabar, surat, nyala lampu, keadaan tepat tidur,
debu pada lantai dan alat-alat rumah tangga dan lain sebagainya; yang semuanya
ini dapat dilakukan baik oleh penyidik.
3. Pemeriksaan mayat, yang dalam hal ini ialah:
27
Penurunan suhu mayat (algor mortis). Pada seseorang yang mati, suhu tubuh
akan menurun sampai sesuai dengan suhu disekitarnya. Secara kasar
dikatakan bahwa tubuh akan kehilangan panasnya sebesar 1 C/jam. Semakin
besar perbedaan antara suhu tubuh dengan lingkungan ( udara atau air), maka
semakin cepat pula tubuh akan kehilangan panasnya. Penurunan suhu tubuh
juga dipengaruhi oleh intensitas dan kuantitas dari aliran atau pergerakan
udara. Kematian karena perdarahan otak, kerusakan jaringan otak, perjeratan
dan infeksi akan selalu didahului oleh peningkatan suhu. Lemak tubuh,
tebalnya otot serta tebalnya pakaian yang dikenankan pada saat kematian pula
mempengaruhi kecepatan penurunan suhu tubuh. Selain pengurun suhu rectal,
dokter dapat melakukan pengukuran suhu dari alat-alat dalam tubuh seperti
hati atau otak yang tentunya dapat dilakukan saat pembedahan mayat.
Lebam mayat mulai tampak sekitar 30 menit setelah kematian, intensitas
maksimal tercapai pada 8-12 jam post mortal.
Kaku mayat terdapat sekitar 2 jam post mortal dan maksimal 10-12 jam post
mortal dan menetap selama 24 jam dan setelah 24 jam mulai menghilang
kembali sesuai urutan terdapatnya kaku mayat.
Pembusukan, kecepatan pembusukan pada mayat berbeda-beda tergantung
berbagai faktor, diantaranya factor lingkungan. Pembusukan mayat dimulai 48
jam setelah kematian, dengan diawali oleh timbulnya warna hijau kemerah-
merahan pada dinding perut bagian bawah.3,6
c. Menentukan sebab kematian
Untuk dapat menentukan sebab kematian secara pasti mutlak harus dilakukan
pembedahan mayat (autopsy, otopsi), dengan atau tanpa pemeriksaan tambahn seperti
pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan toksikologis, pemeriksaan bakteriologis dan lain
sebaginya tergantung kasus yang dihadapi.
28
Tanpa pembedahan mayat tidak mungkin dapat ditentukan sebab kematian secara
pasti.
Perkiraan sebab kematian dapat dimungkinkan dari pengamatan yang teliti
kelainan-kelainan yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan luar.
Jadi tanpa pembedahan mayat perkiraan sebab kematian dapat diketahui dengan
menilai sifat luka, lokasi serta derajat berat ringannya kerusakan korban. Misalnya ada
luka tembak dikepala korban sedang pada bagian tubuh lainnya hanya ditemukan luka
lecet kecil-kecil, perkiraan sebab kematian dalam hal ini adalah karena tembakan senjata
api.
Contoh sebab kematian :
- Karena tusukan benda tajam
- Karena tembakan senjata api
- Karena pencekikan
- Karena keracunan morfin
- Karena tenggelam
- Karena terbakar
- Karena kekerasan benda tumpul
Sebab kematian jangan dikacaukan atau disalahartikan dengan mekanisme
kematian. Sebab kematian ditekankan pada alat atau sarana yang dipakai untuk
mematikan korban, sedangkan mekanisme kematian menunjukkan bagaimana korban itu
mati setelah umpamanya tertembak atau tenggelam. Mekanisme kematian, misalnya :
karena perdarahan, hancurnya jaringan otak atau karena refleks vagal.3
29
Kesimpulan
Ditemukan mayat laki-laki yang sudah membusuk di sebuah suangai kering yang
penuh batu-batuan dalam keadaan mati tertelungkup. Lehernya terikat lengan baju dan
ujung lengan baju lainnya terikat ke sebuah dahan pohon perdu. Pada mayat terdapat satu
luka terbuka di daerah ketiak kiri yang memperlihatkan pembuluh darah ketiak yang
putus, dan beberapa luka terbuka di daerah tungkai bawah kanan dan kiri. Kematian yang
dialami korban adalah cara kematian yang tidak wajar yaitu pembunuhan dan sebab
kematiannya adalah karena kekerasan tajam bila dilihat dari luka-luka yang dialami oleh
korban. Diperlukan pemeriksaan autopsi dan pemeriksaan mikroskopik (histolopatologi)
agar dapat menentukan waktu terjadinya perlukaan, di dalam hubungannya dengan
penentuan apakah luka yang terdapat pada korban itu didapat sewaktu hidup ataukah
sesudah korban mati.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto, A.,Widiatmaka, W., Sudiono, S., Winardi, T., Idries, AM., Sidhi, dkk.
Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Universitas
Indonesia; 1997: h. 25-43.
2. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Jilid I. Jakarta : Bagian
Kedokteran Forensik Universitas Indonesia; 1994: h.11-6, 37-9.
3. Idries, A.M., Tjiptomartono, A.L. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses
Penyidikan. Jakarta : Sagung Seto; 2008: h. 1-52.
4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Kapita Selekta
Kedokteran. Ed.3. Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius; 2000: h. 171-82.
5. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik: Pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2000.p141-8.
6. Idries, A.M. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Ed I. Jakarta : Bina Rupa Aksara;
1997 : h. 35-47.
7. Staf Pengajar Bagian Forensik FKUI. Teknik Autopsi Foresik. Jakarta : Bagian
Kedokteran Forensik Universitas Indonesia; 2000: h.7.
8. Abdussalam. Forensik. Restu agung. Jakarta. 2006.
31