PBL Tumbuh Kembang

28
Inkontinensia Urin Pada Geriatri: Diagnosis dan Penatalaksanaan Aditya Hutomo Satyawan / 102012374 / D7 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jln. Arjuna utara 6, Jakarta Barat - 11510 [email protected] Pendahuluan Penuaan atau aging adalah suatu kondisi yang tidak terelakkan untuk semua makhluk hidup khususnya manusia. Saat manusia masuk pada masa geriatri, kemampuan organ-organ tubuh akan berkurang dan bahkan pada beberapa kasus bisa hilang. Salah satu kasus dari banyak kasus yang ditemukan dalam pasien geriatri adalah disfungsi pada traktus urogenital misalnya tidak bisa menahan urin yang akan keluar. Dikenal dengan nama urinary incontinence atau inkontinensia urin. Inkontinensia urin adalah disfungsi urinaria yang begitu parah sehingga sang pasien mengalami masalah sosial dan kebersihan.Variasi dari inkontinensia urin meliputi kadang-kadang keluar hanya beberapa tetes urin saja sampai benar-benar banyak. Kebanyakan penderita menganggap inkontinensia urin adalah akibat yang wajar dari proses usia lanjut, dan tidak ada yang dapat dikerjakan kecuali dengan tindakan pembedahan dan umumnya orang tidak menyukai tindakan ini. 1 Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi. Secara tidak langsung masalah-masalah tersebut 1 | Urinary Incontinence

description

pbl blok 12

Transcript of PBL Tumbuh Kembang

Page 1: PBL Tumbuh Kembang

Inkontinensia Urin Pada Geriatri: Diagnosis dan Penatalaksanaan

Aditya Hutomo Satyawan / 102012374 / D7Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJln. Arjuna utara 6, Jakarta Barat - 11510

[email protected]

Pendahuluan

Penuaan atau aging adalah suatu kondisi yang tidak terelakkan untuk semua makhluk

hidup khususnya manusia. Saat manusia masuk pada masa geriatri, kemampuan organ-organ

tubuh akan berkurang dan bahkan pada beberapa kasus bisa hilang. Salah satu kasus dari

banyak kasus yang ditemukan dalam pasien geriatri adalah disfungsi pada traktus urogenital

misalnya tidak bisa menahan urin yang akan keluar. Dikenal dengan nama urinary

incontinence atau inkontinensia urin. Inkontinensia urin adalah disfungsi urinaria yang

begitu parah sehingga sang pasien mengalami masalah sosial dan kebersihan.Variasi dari

inkontinensia urin meliputi kadang-kadang keluar hanya beberapa tetes urin saja sampai

benar-benar banyak. Kebanyakan penderita menganggap inkontinensia urin adalah akibat

yang wajar dari proses usia lanjut, dan tidak ada yang dapat dikerjakan kecuali dengan

tindakan pembedahan dan umumnya orang tidak menyukai tindakan ini.1

Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih,

kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa

terisolasi. Secara tidak langsung masalah-masalah tersebut juga bisa menyebabkan dehidrasi

karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena khawatir akan mengompol.

Dekubitus, infeksi saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya adalah biaya

perawatan yang tinggi untuk pembelian popok. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk

mengatasi masalah ini, baik bersifat nonfarmakologis maupun terapi obat dan pembedahan

jika diketahui dengan tepat jenis atau tipe inkontinensinya.

Dalam kasus PBL kali ini akan membahas tentang seorang pasien geriatri yang

kesulitan menahan kencing. Untuk membatasi pembahasan yang akan dilakukan, maka akan

ada rumusam masalah yaitu ibu berusia 70 tahun sulit menahan kencing. Dengan hipotesa Ibu

berumur 70 tahun menderita mixed incontinence.

Skenario 1:

1 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 2: PBL Tumbuh Kembang

Ny. A, 70 Tahun diantar oleh anaknya yang paling kecil (anak ke-8) berobat ke poli

geriatri dengan keluhan tidak dapat menahan kencing sehingga sering ngompol sebelum

sampai ke WC, jalan tidak bisa cepat, harus pelan-pelan nyeri sendi lututnya untuk berjalan

dan takut jatuh, karena pernah jatuh. Kadang saat tertawa, batuk juga ngompol, karena tidak

dapat menahan kencing ibu merasa sangat tidak nyaman, malu sehingga segan/tidak mau

keluar rumah, padahal sebelumnya ibu sangat aktif dalam pergaulan. Riwayat penyakit

jantung, darah tinggi, kencing manis sebelumnya tidak ada.

Anamnesis

Pada anamnesis kita dapat langsung menanyakan pada pasien yang bersangkutan

(auto-anamnesis) maupun keluarga pasien (allo-anamnesis) jika pasien tidak dapat

berkomunikasi dengan baik akibat gangguan yang timbul pada usia lanjut (seperti sering

lupa) atau dengan tujuan memperlengkap data pasien.

Pada anamnesis yang dapat kita tanyakan adalah:

Riwayat penyakit pasien, misalnya memiliki riwayat penyakit diabetes,dll yang

dapat meningkatkan volume urin.

Menanyakan juga bagaimana volume dan frekuensi keluarnya urin.

Menanyakan juga apakah mengkonsumsi obat-obatan golongan tertentu yang dapat

meningkatkan volume urin.

Menanyakan juga apakah pasien merasa ada sisa-sisa urine yang menetes setelah

buang air kecil.

Menanyakan juga apakah disaat pasien melakukan kegiatan yang menyebabkan

peningkatan tekanan intraabdomen seperti tertawa atau batuk tanpa sadar ia

berkemih.

Menanyakan juga apakah ada kemungkinan pasien mengalami trauma tulang

belakang sehingga menimbulkan refleks kencing.

Apakah ada rasa nyeri saat berkemih?

Tetap perhatikan umur pasien. Penyakit ini sangat berhubungan dengan kelompok

usia yang sudah lanjut. Penderita usia muda kemungkinan mengalami ini karena trauma

benturan. Selain itu jangan lupakan kemungkinan komplikasi yang terjadi seperti adanya

infeksi saluran kemih dan ulkus dekubitus. Sedangkan pada wanita, inkontinensia dapat

terjadi akibat melemahnya otot dasar panggul karena sering melahirkan. Kemungkinan ini

juga perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis.2

Pemeriksaan Fisik

2 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 3: PBL Tumbuh Kembang

Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, rectum, genital, dan

evaluasi persyaratan lumbosakral. Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan ialah

palpasi dan perkusi. Pada kebanyakan pasien, kandung kemih yang terdistensi dapat

dipalpasi. Perkusi untuk mendeteksi kandung kemih yang terdistensi dapat membantu pada

pasien yang kurus tetapi mempunyai sedikit atau tidak mempunyai manfaat pada pasien yang

gemuk. Pemeriksaan pelvis pada perempuan juga penting untuk menemukan beberapa

kelainan seperti prolaps, inflamasi, keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas pasien,

status mental, kemampuan mengakses toilet akan membantu penanganan pasien yang

holistic. Pencatatan aktivitas berkemih baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap

dapat membantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia urin serta evaluasi respon

terapi. Hasil akhir yang diharapkan didapat dari diagnosa adalah dapat menentukan penyebab

utama dari inkontinensia yang diderita oleh pasien, untuk menentukan apakah adal hubungan

dengan penyakit traktus urogenital lainnya, dan mengevaluasi pasien dari sisi lingkungan dan

keadaan fisiknya.1,3,4,5

Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien dengan inkontenensia, berikut adalah jenis pemeriksaan yang dapat

dilakukan untuk menunjang anamnesis dan pemeriksaan fisik:

Pemeriksaan Laboratorium

o Kultur Urin

o Sitologi Urin

o Uji fungsi ginjal

o USG ginjal

Pemeriksaan Ginekologik

Pemeriksaan Urologik

Cystouretroskopi

Pemeriksaan dengan prosedur khusus seperti diatas tidak dilakukan setiap saat.

Pemeriksaan dapat dilakukan bila ada kasus dengan riwayat sebagai berikut: operasi atau

radiasi daerah urogenital bawah, infeksi saluran kemih berulang, prolaps berat, hipertrofi

prostat atau kanker, gagalnya kateterisasi, volume residu pasca miksi yang mencapai lebih

dari 200 ml, hematuria tanpa petunjuk infeksi saluran kemih dan gagal terapi yang telah

diberikan.2

Diagnosis Banding

3 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 4: PBL Tumbuh Kembang

Diagnosis banding dari inkontinensia yang dialami ibu tersebut ialah jenis inkontinensia

yang lainnya, yaitu:

Inkontinensia overflow

Keadaan dimana pengeluaran urine terjadi akibat overdistensi kandung kemih.

Dengan kata lain aktivitas kandung kemih menurun akibat kandung kemih terlalu

melebar. Inkontinensia overflow dapat diakibatkan oleh trauma pada medula

spinalis, stroke, diabetik neuropati serta pembedahan yang radikal pada pelvis.

Pada laki-laki, dapat terjadi inkontinensia jenis overflow akibat hipertrofi prostat.

Pada hipertrofi prostat, dapat terjadi obstruksi pada uretra pars prostatika. Hal ini

dapat meningkatkan tegangan kandung kemih yang dapat menyebabkan pelebaran

kandung kemih dalam jangka waktu yang terlalu lama. Yang akhirnya memicu

terjadinya inkontinensia.

Inkontinensia ini umumnya diikuti dengan sering berkemih pada malam hari dengan

volume yang kecil. Umumnya sisa urine setelah berkemih (biasanya 450 cc) dapat

menjadi pembeda jenis inkontinensia ini dengan jenis yang lainnya.

Inkontinensia Urgensi

Keluarnya urin disertai dengan keinginan untuk miksi yang kuat secara tiba-tiba.

Inkontinensia urgensi disebabkan oleh detrusor yang overaktif, karena

hiperrefleksia, ketidakstabilan, atau hipertonia, yang menyebabkan urin yaitu

kontraksi detrusor yang tidak terkontrol dan tidak terinhibisi. Hipertonia detrusor

menyebabkan keluarnya urin pada kandung kemih yang tidak dapat meregang.

Inkontinensia urgensi biasanya disertai dengan keluhan miksi lainnya, paling sering

adalah frekuensi tiap dua jam atau kurang, nokturia, dan perasaan yang mengganggu

di suprapubik. Disuria menandakan adanya infeksi saluran kemih atau peradangan

pada kandung kemih atau uretra.

Inkontinensia Stress

Keluarnya urin secara tidak disadari selama pengeluaran tenaga fisik. Volume urin

yang keluar bervariasi dari beberapa tetes sampai jumlah yang masif. Pasien

biasanya tidak mempunyai keluhan urologis lainnya.

Penyebab tersering inkontinensia stress primer pada wanita adalah disfungsi sfingter,

yang dianggap karena kekenduran muskulofascial pelvis dan penurunan resistensi

uretra. Pada wanita, riwayat kehamilan, terutama jika disertai dengan inkontinensia

urin, biasanya penting untuk terjadinya kekenduran pelvis dan inkontinensia stress.

Penyebab lainnya termasuk trauma terhadap uretra proksimal setelah reseksi atau

4 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 5: PBL Tumbuh Kembang

insisi, akan menimbulkan devaskularisasi pada uretra, uretritis atropik, dan paralisis

sfingter eksternal. Pada pria, inkontinensia karena gangguan sfingter adalah jarang

dan biasanya disebabkan karena uretra membranosa yang defektif atau tidak lentur

yang disebabkan karena trauma pelvis atau prostatektomi radikal, walaupun keadaan

ini dapat terjadi setelah prosedur transuretra. Paralisis atau kerusakan sfingter

eksternal juga dapat menyebabkan inkontinensia karena penurunan resistensi uretra

total.

Inkontinensia fungsional

Berbagai penyakit seperti demensia berat, gangguan mobilitas (artritis genu,

kontraktur) serta gangguan neurologik dan psikologik dapat menyebabkan

penurunan berat pada fungsi fisik dan kognitif. Hal ini sangat mengganggu

mobilisasi penderita sehingga penderita tidak dapat mencapai toilet pada saat yang

tepat.2

Diagnosis Kerja

Berdasarkan kasus yang ada dapat disimpulkan bahwa ibu tersebut menderita

inkontinensia campuran. Yaitu jenis inkontinensia gabungan antara inkontinensia urgensi dan

inkontinensia stress. Inkontinensia urgensi disebabkan oleh aktivitas kandung kemih yang

berlebihan. Inkontinensia tipe urgensi ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih

setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa urgensi, frekuensi dan

nokturia. Kelainan ini dibagi menjadi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik.

Subtipe motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti yang terjadi pada

stroke, parkinsonism, tumor otak dan sklerosis multipel maupun adanya lesi pada medula

spinalis daerah suprasakral. Subtipe sensorik dapat disebabkan oleh hipersensitivas kandung

kemih akibat cystisis, uretritis dan diverkulitis.

Sedangkan inkontinensia stress disebabkan pengaruh melemahnya otot dasar panggul.

Hal ini dapat terjadi pada lansia karena pengaruh umur yang menyebabkan semakin

lemahnya fungsi otot-otot panggul. Faktor resiko sebagai wanita juga meningkatkan

kemungkinan terjadinya inkontinensia stress. Wanita yang sering hamil dan melahirkan akan

membutuhkan kerja otot panggul yang lebih sering untuk menahan janin selama usia

kehamilan dan untuk membantu kontraksi pada proses partus/melahirkan. Peningkatan resiko

pada wanita lansia juga dapat disebabkan karena penurunan kerja hormon estrogen pasca

menopause.2,4,5

Patofisologi Berkemih

5 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 6: PBL Tumbuh Kembang

Secara normal proses berkemih merupakan proses dinamik yang memerlukan

rangkaian koordinasi proses fisiologik yang berurutan. Secara umum terdapat 2 fase yaitu

fase penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen

saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali.

Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunteer dan

disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra

internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks

otak.

Vesika urinaria terdiri atas 4 lapisan, yaitu lapisan serosa, lapisan otot detrusor,

lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Saat otot detrusor berelaksasi terjadi pengisian

kandung kemih, dan bila otot ini mengalami kontraksi maka urine yang telah tertampung

didalamnya akan dikeluarkan. Proses kontraksi ini berlangsung akibat kerja saraf

parasimpatis, sedangkan penutupan sfingter vesika urinaria agar dapat menampung urin

dikerjakan oleh saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin.

Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih.

Mekanisme kerja pada otot detrusor melibatkan kerja otot itu sendiri, saraf pelvis, medula

spinalis dan sistem saraf pusat yang mengontrol jalannya proses berkemih. Ketika kandung

kemih seseorang mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla

spinalis ke pusat saraf kortikal dam subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan

serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa

menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian ini berlanjut,

rasa penggembungan kandung kemih disadari dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja

menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat

atau penyakit dapat mengurangi kemampuan untuk menunda pengeluaran urin. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa aktivitas relaksasi yang menyebabkan pengisian urin ditimbulkan

oleh pusat yang lebih tinggi yaitu korteks serebri atau dengan kata lain bersifat menghambat

proses miksi. Sedangkan pusat yang lebih rendah yaitu batang otak dan saraf supra spinal

memfasilitasi proses miksi dengan mendukung proses kontraksi otot yang terjadi. Gangguan

yang mungkin terjadi pada kedua bagian otak ini yang dapat menyebabkan pengurangan

kemampuan penundaan pengeluaran urin.

Ketika terjadi desakan untuk berkemih, maka rangsang saraf dari daerah korteks akan

disalurkan melalui medula spinalis ke saraf pelvis. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian

menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.

6 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 7: PBL Tumbuh Kembang

Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot.

Namun kontraksi ini tidak hanya semata-mata hanya tergantung kepada aktivitas saraf yang

bersifat kolinergik. Otot detrusor juga memiliki reseptor prostaglandin. Obat-obat yang

menyebabkan inhibisi pada prostaglandin tentu saja akan mempengaruhi kontraksi otot

detrusor. Selain itu kontaksi otot detrusor juga bergantung pada calcium-channel. Oleh

karena itu bila pemberian calcium channel blocker seperti pada pasien hipertensi dapat

menyebabkan terjadinya gangguan kontraksi kandung kemih.

Selain faktor dari kandung kemih, juga harus diperhatikan sfingter uretra baik yang

interna dan eksterna. Proses kontraksi pada sfingter uretra dipengaruhi oleh aktivitas dari

adrenergik -alfa. Pengobatan yang sifatnya agonis terhadap adrenergik alfa (pseudoefedrin)

dapat memperkuat kontraksi dari sfingter sehingga menahan urin secara berkelanjutan.

Sedangkan obat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Persarafan adrenergik

beta dapat menyebabkan relaksasi pada sfingter uretra. Obat yang bersifat beta-adrenergic

blocking dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas

kontraktil adrenergik alfa.

Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan

kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang

tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada

posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara

efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar

pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.

Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di

medulla spinalis segmen sacral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian

(penyimpanan) kandung kemih, tejadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang

mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta

penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatic pada otot dasar

panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatik dan somatic menurun, sedangkan

parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher

kandung kemih. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu

batang otak, korteks serebri, dan serebelum.

Dapat dikatakan bahwa usia lanjut dapat menjadi faktor predesposisi (faktor

pendukung) terjadinya inkontinensia urin. Proses menua akan menyebabkan perubahan

anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan ini memiliki kaitan

7 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 8: PBL Tumbuh Kembang

erat dengan menurunnya kadar estrogen pada wanita dan kadar androgen pada laki-laki.

Perubahan yang terjadi meliputi penumpukan fibrosis dan kolagen pada dinding kandung

kemih sehingga menyebabkan penurunan efektivitas fungsi kontraksi dan memudahkan

terbentuknya trabekula maupun divertikula.

Atrofi pada mukosa, perubahan vaskularisasi pada daerah submukosa dan menipisnya

lapisan otot uretra menyebabkan penurunan pada tekanan penutupan uretra dan tekanan

outflow. Selain itu pada laki-laki terjadi pembesaran prostat dan pengecilan testis sedangkan

pada wanita terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie,

pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta peningkatan pH lingkungan vagina

akibatnya kurangnya lubrikasi.

Melemahnya fungsi otot dasar panggul yang disebabkan oleh berbagai macam

operasi, denervasi dan gangguan neurologik dapat menyebabkan prolaps pada kandung

kemih sehingga melemahkan tekanan akhir kemih keluar. Hal ini dapat memicu terjadinya

inkontinensia.6,7

Etiologi dan Tipe inkontinensia

Pengetahuannya yang tepat akan penyebab inkontinensia sangat diperlukan agar dapat

memberikan penatalaksanaan yang tepat pula. Secara umum ada 4 penyebab pokok, yaitu:

gangguan urologik: misalnya radang, batu, tumor dan divertikel.

gangguan neurologik: misalnya stroke, trauma pada medula spinalis dan

dementia.

8 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Gambar 1. Patofisiologi Inkontinensia urin

Page 9: PBL Tumbuh Kembang

gangguan fungsional: misalnya hambatan pada mobilitas penderita.

gangguan lingkungan: misalnya tidak tersedianya situasi berkemih yang

memadai/sarana yang terlalu jauh.

Inkontinensia yang terjadi akibat gangguan diatas dapat dibagi atas:

Inkontinensia urin akut, biasanya bersifat reversibel. Inkontinensia ini terjadi secara

mendadak dan berkaitan dengan kondisi sakit akut maupun masalah pengobatan

yang diberikan yang akan menghilang bila kondisi akut ini teratasi ataupun obat

diberhentikan penggunaannya.

Untuk mengingat dengan lebih mudah, maka para ahli memakai akronim

DRIP yang dapat dilihat pada tabel 1 atau akronim yang lebih lengkap lagi

DIAPPERS yang dapat dilihat pada tabel 2 sebagai penyebab inkontinensia akut.

Delirium merupakan gangguan kognitif akut dengan latar belakang yang

beragam seperti dehidrasi, infeksi paru, gangguan metabolisme, dan elektrolit.

Delirium menyebabkan proses hambatan refleks miksi berkurang sehingga

menimbulkan inkontinensia yang bersifat sementara. Usia lanjut dengan

kecenderungan mengalami frekuensi, urgensi, dan nokturia akibat proses menua

akan mengalami inkontinensia kalau terjadi gangguan mobilitas oleh karena

berbagai sebab seperti gangguan musculoskeletal, tirah baring, dan perawatan di

rumah sakit. Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah juga akan

meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi, dan dapat mengakibatkan inkontinensia.

Kondisi-kondisi yang mengakibatkan polyuria seperti hiperglikemia, hiperkalsemia,

pemakaian diuretika dan minum banyak dapat mencetuskan inkontinensia akut.

Kondisi kelebihan cairan seperti gagal jantung kongestif, insufisiensi vena tungkai

bawah akan mengakibatkan nokturia dan inkontinensia akut malam hari.2

Tabel 1 . Akronim untuk Penyebab Reversibel Inkontinensia Urin Akut

D Delirium

R Restricted Mobility, retension

I Infection, Inflammation, Impaction

P Polyuria, pharmaceuticals

Tabel 2. Penyebab Inkontinensia Akut

D Delirium or acute confusional state

9 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 10: PBL Tumbuh Kembang

I Infection, Urinary

A Athropic vaginitis

P Pharmaceutical

P Psychologic disorders : depression

E Endocrine disorders

R Restricted mobility

S Stoolilmpaction

Delirium : Kesadaran yang menurun yang berpengaruh pada tanggapan rangsang

berkemih, serta mengetahui tempat berkemih. Delirium merupakan penyebab

utama dari inkontinensia bagi mereka yang dirawat di Rumah Sakit, bila

delirium membaik, inkontinensia juga pulih.

Infection : Infeksi saluran kemih sering berakibat inkontinensia, tidak demikian dengan

bakteriuri yang asimtomatik.

Atrophic vaginitis dan atrophic urethritis : pada umumnya atropic vaginitis akan disertai

atrophic urethritis dan keadaan ini menyebabkan inkontinensia pada wanita.

Biasanya ada respon yang baik dengan sediaan estrogen oral setelah beberapa

bulan pemakaian. Penggunaan topical kurang nyaman dan lebih mahal.

Pharmaceutical : Obat-obatan merupakan salah satu penyebab utama dari inkontinensia

yang sementara, misalnya diuretika, antikolinergik, psikotropik, analgesic

opioid, alfa bloker pada wanita, alfa agonis pada pria, dan penghambat

kalsium.

Psychologic factors : Depresi berat dengan retardasi psikomotor dapat menurunkan

kemampuan atau motivasi untuk mencapai tempat berkemih.

Excess urine output : Pengeluaran urin berlebihan dapat melampaui kemampuan orang usia

lanjut mencapai kamar kecil. Selain obat-obat diuretic, penyebab lain yang

sering misalnya pengobatan gagal jantung, gangguan metabolic seperti

hiperglikemia ataupun telalu banyak minum.

Restricted mobility : Hambatan mobilitas untuk mencapai tempat berkemih. Bila mobilitas

belum dapat ditingkatkan, penyediaan urinal atau komodo, dapat memperbaiki

inkontinensia.

Stool impaction : impaksi feses juga merupakan penyebab yang sering dari inkontinensia

pada mereka yang dirawat atau immobile. Bila obstipasi diatasi, akan

memulihkan kontinens lagi.1

10 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 11: PBL Tumbuh Kembang

Inkontinensia urin kronik/persisten

Ada dua hal yang melatarbelakangi inkontinensia kronik, yaitu 1). Kegagalan

penyimpanan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas

kandung kemih atau lemahnya tahanan saluran keluar, dan 2). Kegagalan

pengosongan kandung kemih akibat lemahnya otot detrusor atau meningkatnya

tahanan aliran keluar.

Epidemiologi

Kasus inkontinensia urin cenderung tidak dilaporkan, karena penderita merasa malu

dan menganggap tidak ada yang dapat dilakukan untuk menolongnya. Penderita juga

mendapat benturan sosial yaitu kondisi masyarakat sekitar yang akan menjauhinya bila ia

diketahui menderita penyakit ini. Penelitian epidemiologi terhadap penyakit ini pun sulit

untuk dilakukan karena beragamnya subjek penelitian, metode kuisioner dan definisi

inkontinensia yang digunakan. Namun secara umum prevalensinya meningkat sesuai dengan

pertambahan umur. Sekitar 50% lansia di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di

masyarakat mengalami inkontinensia urin. Sedangkan berdasarkan gender, penyakit ini

cenderung lebih sering dialami oleh wanita dengan perbandingan 1,5 : 1 terhadap pria.

Berdasarkan survei oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM tahun

2002 pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta, didapati

bahwa angka inkontinensia stress mencapai 32,2%. Sedangkan survei yang dilakukan oleh

Poliklinik Geriatri RSCM pada tahun 2003 terhadap 179 pasien didapati angka kejadian

inkontinensia urin stress pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5%.

Pada penelitian yang dilakukan di Australia, didapatkan 7% pria dan 12% wanita

diatas usia 70 tahun mengalami inkontinensia. Sedangkan mereka yang dirawat, terutama di

unit psiko-geriatri, 15-50% diantaranya menderita inkontinensia. Sedangkan melalui

penelitiannya, seorang ahli bernama Fonda mendapatkan 10% pria dan 15% wanita diatas 65

tahun di Australia menderita inkontinensia.

Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh National Overactive Bladder

Evaluation (NOBLE) dengan 5204 orang sebagainya sampelnya, menyimpulkan suatu

perkiraan bahwa 14,8 juta perempuan dewasa di Amerika Serikat menderita inkontinensia

urin dengan sepertiganya (34,4%) merupakan inkontinensia urin tipe campuran.

Seorang ahli bernama Dioko serta timnya melakukan penelitian pada 1150 orang

secara acak dan mendapati 434 orang diantaranya menderita inkontinensia urin. Dari mereka

yang mengalami inkontinensia urin, didapati bahwa 55,5% diantaranya merupakan tipe

11 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 12: PBL Tumbuh Kembang

campuran, 26,7% merupakan tipe stress saja, 9% tipe urgensi saja dan 8,8% memiliki

komplikasi lain.

Seringkali penderita inkontinensia berpikir dengan mengurangi asupan cairan berupa

minuman akan mengurangi frekuensi miksi. Namun hal ini akan berbahaya karena

menganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Kapasitas kandung kemih pun semakin lama

akan semakin menurun yang justru akan memperberat keluhan inkontinensianya. Sebenarnya

bila penyakit ini diobati secara tepat maka inkontinensianya dapat diupayakan menjadi lebih

ringan sehingga penderita menjadi lebih nyaman dan memudahkan juga bagi yang merawat

serta mengurangi kemungkinan komplikasi serta biaya perawatan.1,2

Penatalaksanaan

Ada beberapa cara untuk menangani pasien dengan kasus inkontinensia urin.

Umumnya dapat berupa tatalaksana farmakologis, non-farmakologis maupun pembedahan.

Prinsipnya adalah penderita inkontinensia tidak dapat ditangani hanya dengan satu modalitas

terapi, tetapi melalui serangkaian terapi yang dilakukan secara simultan.

Spektrum modalitas terapi yang dilakukan meliputi:

Terapi non farmakologis, yaitu:

o Terapi suportif non-spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan

pads tertentu).

o Intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung

kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan).

Terapi medika mentosa

Operasi

Pemakaian kateter

Intervensi pada tingkah laku pasien sangat memerlukan kerja sama yang baik dari

pasien tersebut. Secara umum yang dapat kita lakukan ialah meliputi edukasi pada pasien dan

pengasuhnya. Intervensi perilaku yang dapat meliputi bladder training, habit training,

prompted voiding dan latihan dasar otot panggul. Sedangkan teknik yang menggunakan alat

seperti stimulasi elektrik, biofeedback dan neuromodulasi dapat melengkapi teknik perilaku

ini.

Berikut adalah daftar hal yang dapat dilakukan dalam terapi non farmakologis ini.

a) Bladder training : merupakan suatu jenis terapi yang cukup efektif dibanding teknik

non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih

yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi

12 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 13: PBL Tumbuh Kembang

berkemih hanya mencapai 6-7 kali sehari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan

dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada

interval tertentu, misalnya pada mula-mula tiap satu jam, kemudian ditingkatkan

perlahan hingga 2-3 jam. Agar tidak lupa, dapat dibuat catatan harian untuk

berkemih. Apabila pasien tidak mampu lagi menahan sensasi kemihnya, maka ia

diperbolehkan berkemih sebelum waktunya namun akan dicatat dalam catatan

hariannya. Sebisa mungkin catat volume urin yang keluar pada saat miksi dan

jumlah urin yang bocor. Latihan kandung kemih ini terbukti efektif terhadap

inkontinensia tipe stress maupun tipe urgensi.

b) Latihan dasar otot panggul : merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin

tipe stress atau campuran dan tipe urgensi. Latihan dilakukan tiga sampai lima kali

sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik

menunjukkan bahwa 56-77% pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek

dengan latihan tersebut. Terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa

peningkatan perbaikan akan timbul selama paling tidak 10 tahun. Latihan dilakukan

dengan membuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul. Dengan

memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan kekuatan

uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani latihan, harus

diperiksa lebih dahulu vagina atau rektumnya untuk menetapkan apakah mereka

dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.

c) Habit training : memerlukan penjadwalanwaktu berkemih. Diupayakan agar jadwal

berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya

digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan

petugas kesehatan atau pengasuh pasien. Prompted voiding dilakukan dengan cara

mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia mereka serta dapat

memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini

digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.

d) Terapi biofeedback : bertujuan agar pasien mampu mengontrol atau menahan

kontaksi involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyai

kendala karena penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk mengikuti

petunjuk pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan

motivasi yang tinggi karena waktu yang diperlukan untuk mendidik satu orang

pasien dengan cara ini cukup lama.

13 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 14: PBL Tumbuh Kembang

e) Stimulasi elektrik : merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutann kontraksi

otot pelvis dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rectum. Terapi ini

tidak begitu disukai oleh pasien, karena pasien harus menggunakan alat dan

kemajuan dari terapi ini terlihat lamban.

f) Neuromodulasi : merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sacral.

Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih belum diketahui, tetapi diduga karena

adanya kegiatan interneuron tulang belakang atau neuron adrenergic beta yang

menghambat kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

neuromodulasi merupakan salah satu cara penatalaksanaan kandung kemih

hiperaktif yang berhasil.

g) Penggunaan kateter menetap (indwelling catheter) sebaiknya tidak digunakan secara

rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran

kemih bahkan sampai sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap

ini dapat digunakan bila terjadi retensi urin yang lama sehingga menyebabkan

infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal. Kateter intermiten merupakan alat yang

secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini diajarkan

kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun demikian

teknik ini berisiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih.

Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti efektif

terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat dilaksanakan bila upaya

terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat mengatasi masalah inkontinensia

tersebut. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan menjadi : antikolinergik-

antispasmodik, agonis adrenergic α, estrogen topical, dan antagonis adrenergic α. Berikut

adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia urin:

Tabel 3. Obat Yang Digunakan Untuk Inkontinensia Urin

Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek Samping

Hyoscamin 3 x 0,125 mg Urgensi atau campuran Mulut kering, mata kabur, glaukoma,

derilium, konstipasi

Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi Mulut kering, konstipasi

Imipramin 3 x 25-50 mg Urgensi Derilium, hipotensi ortostatik

Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg Stress Sakit kepala, takikardi, hipertensi

Topikal estrogen Urgensi dan Stress Iritasi lokal

Doxazosin 4 x 1-4 mg Urgensi Hipotensi postural

Tamsulosin 1 x 0,4-0,8 mg

14 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 15: PBL Tumbuh Kembang

Terazosin 4 x 1-5 mg

Penggunaan fenilpropanolamin sabagai obat inkontenensia urin tipe stress sekarang

telah dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukkan adanya resiko stroke pasca

penggunaan obat ini. Sebagai gantinya digunakan pseudoefedrin karena dapat meningkatkan

tekanan sfingter uretra, sehingga dapat menghambat pengeluaran urin. Namun penggunaan

pseudoefedrin pun jarang ditemukan pada usia lanjut karena adanya masalah hipertensi,

aritmia jantung dan angina.

Pembedahan merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk masalah

inkontinensia bila terapi secara farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil dilakukan.

Pembedahan yang sering dilakukan ialah berupa pemasangan kateterisasi yang menetap.

Namun penggunaan kateterisasi ini harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang tepat.

Misalnya adanya ulkus dekubitis yang terganggu penyembuhannya karena adanya

inkontinensia urin ini. Komplikasi yang dapat timbul sebagai efek dari penggunaan kateter

ialah timbulnya batu saluran kemih, abses ginjal bahkan proses keganasan pada saluran

kemih.

Pada laki-laki dengan obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat

dilakukan pembedahan untuk mencegah timbulnya inkontinensia tipe overflow di kemudian

hari. Selain itu, ada pula teknik pembedahan yang bertujuan melemahkan otot detrusor

misalnya dengan menggunakan pendekatan postsakral maupun paravaginal. Teknik

pembedahan yang bertujuan untuk merusak struktur dan kekuatan detrusor seperti transeksi

terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sitolisis.2

Pencegahan

Ada beberapa pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terkena inkontinensia urin:

Wanita disarankan untuk tidak melahirkan terlalu sering. Hal ini dikarenakan dapat

melemahkan otot dasar panggul yang memicu prolapsis kandung kemih. Kondisi ini

dapat menyebabkan inkontinensia urin tipe overflow.

Bagi wanita yang sering melahirkan, dapat mengikuti senam kegel sejak dini untuk

menghindari resiko timbulnya inkontinensia di kemudian hari.

Pasien dengan penyakit demensia dan gangguan mobilitas harus mendapat akses ke

kamar kecil yang lebih mudah. Pemasangan kateter sementara dapat dilakukan bila

pasien tidak dapat bergerak sama sekali. Hal ini untuk mengurangi resiko timbulnya

inkontinensia fungsional.

15 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 16: PBL Tumbuh Kembang

Komplikasi

Dari segi medis, komplikasi yang timbul dapat meliputi ulkus dekubitus, infeksi

saluran kemih, urosepsis hingga gagal ginjal. Hal ini perlu diperhatikan saat melakukan

pemeriksaan, apakah telah timbul komplikasi dari gejala awal inkontinensia.

Pada penggunaan kateterisasi yang menetap juga dapat timbul komplikasi seperti

infeksi, batu kandung kemih, abses ginjal dan bahkan proses keganasan pada saluran kemih.

Prognosis

Prognosis inkontinensia urin cukup baik bila ditekahui secara cepat dan tepat

penyebabnya sehingga dapat diberikan terapi yang baik. Jarang ada kasus inkontinensia urin

yang berujung pada komplikasi seperti gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.

Terapi sangat penting dalam mengatasi hal ini terutama terapi non-farmakologis

sebagai sarana lapis pertama untuk mengatasi inkontinensia urin yang terjadi.

Kesimpulan

Inkontinensia urin merupakan penyakit yang jamak dijumpai pada usia lanjut yang

dicirikan dengan ketidakmampuan menahan sensasi untuk berkemih. Umumnya penyakit ini

dapat ditegakkan diagnosanya melalui anamnesis. Inkontinensia urin dapat bersifat akut

maupun kronik. Inkontinensia akut yang tidak ditangani secara baik dapat menjadi

inkontinensia kronik. Inkontinensia kronik terbagi atas inkontinensia tipe urgensi, stress,

overflow, dan fungsional.

Data yang ada menunjukkan bahwa wanita lebih rentan terhadap inkontinensia urin

dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan berbagai resiko yang dialami wanita seperti

melemahnya otot dasar panggul akibat terlalu sering melahirkan. Penatalaksanaan penderita

inkontinensia urin meliputi terapi non-farmakologis, terapi farmakologis dan pembedahan.

Ketiganya harus dilakukan secara berurutan. Langkah pembedahan melalui kateterisasi

menetap umumnya sebagai jalan terakhir namun tetap memiliki resiko terjadinya komplikasi.

Ada berbagai cara untuk mencegah terjadinya inkontinensia urin seperti senam kegel

bagi wanita dan menjaga fungsi dan kesehatan prostat pada pria. Prognosis inkontinensia urin

juga cukup baik bila ditekahui secara cepat dan tepat penyebabnya sehingga dapat diberikan

terapi yang baik. Jarang ada kasus inkontinensia urin yang berujung pada komplikasi seperti

gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.

16 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e

Page 17: PBL Tumbuh Kembang

Daftar Pustaka

1. Merkelj I, Quillen JH. Urinary incontinence in elderly. South Med J. 2001;94(10) 2. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC,

2008.h100-8.

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L, Simadribata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar

ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi ke-5. Jakarta: Internapublishin, 2009.h.2911-23.

4. Abrams WB, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jilid 1. Jakarta : Binarupa

Aksara, 1997.h.137-62.

5. Morgan G, Hamilton C. Obstetric dan ginekologi : panduan praktik. Edisi ke-2.

Jakarta : EGC, 2009.h.292-5.

6. Martono HH, Pranaka K. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-4 . Jakarta :

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.

7. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Jakarta : Erlangga, 2006.h. 181.

8. Martono HH, Pranaka K. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-4 . Jakarta :

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.

17 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e