PBL Tumbuh Kembang
-
Upload
aditya-satyawan -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
description
Transcript of PBL Tumbuh Kembang
Inkontinensia Urin Pada Geriatri: Diagnosis dan Penatalaksanaan
Aditya Hutomo Satyawan / 102012374 / D7Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJln. Arjuna utara 6, Jakarta Barat - 11510
Pendahuluan
Penuaan atau aging adalah suatu kondisi yang tidak terelakkan untuk semua makhluk
hidup khususnya manusia. Saat manusia masuk pada masa geriatri, kemampuan organ-organ
tubuh akan berkurang dan bahkan pada beberapa kasus bisa hilang. Salah satu kasus dari
banyak kasus yang ditemukan dalam pasien geriatri adalah disfungsi pada traktus urogenital
misalnya tidak bisa menahan urin yang akan keluar. Dikenal dengan nama urinary
incontinence atau inkontinensia urin. Inkontinensia urin adalah disfungsi urinaria yang
begitu parah sehingga sang pasien mengalami masalah sosial dan kebersihan.Variasi dari
inkontinensia urin meliputi kadang-kadang keluar hanya beberapa tetes urin saja sampai
benar-benar banyak. Kebanyakan penderita menganggap inkontinensia urin adalah akibat
yang wajar dari proses usia lanjut, dan tidak ada yang dapat dikerjakan kecuali dengan
tindakan pembedahan dan umumnya orang tidak menyukai tindakan ini.1
Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih,
kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa
terisolasi. Secara tidak langsung masalah-masalah tersebut juga bisa menyebabkan dehidrasi
karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena khawatir akan mengompol.
Dekubitus, infeksi saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya adalah biaya
perawatan yang tinggi untuk pembelian popok. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah ini, baik bersifat nonfarmakologis maupun terapi obat dan pembedahan
jika diketahui dengan tepat jenis atau tipe inkontinensinya.
Dalam kasus PBL kali ini akan membahas tentang seorang pasien geriatri yang
kesulitan menahan kencing. Untuk membatasi pembahasan yang akan dilakukan, maka akan
ada rumusam masalah yaitu ibu berusia 70 tahun sulit menahan kencing. Dengan hipotesa Ibu
berumur 70 tahun menderita mixed incontinence.
Skenario 1:
1 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
Ny. A, 70 Tahun diantar oleh anaknya yang paling kecil (anak ke-8) berobat ke poli
geriatri dengan keluhan tidak dapat menahan kencing sehingga sering ngompol sebelum
sampai ke WC, jalan tidak bisa cepat, harus pelan-pelan nyeri sendi lututnya untuk berjalan
dan takut jatuh, karena pernah jatuh. Kadang saat tertawa, batuk juga ngompol, karena tidak
dapat menahan kencing ibu merasa sangat tidak nyaman, malu sehingga segan/tidak mau
keluar rumah, padahal sebelumnya ibu sangat aktif dalam pergaulan. Riwayat penyakit
jantung, darah tinggi, kencing manis sebelumnya tidak ada.
Anamnesis
Pada anamnesis kita dapat langsung menanyakan pada pasien yang bersangkutan
(auto-anamnesis) maupun keluarga pasien (allo-anamnesis) jika pasien tidak dapat
berkomunikasi dengan baik akibat gangguan yang timbul pada usia lanjut (seperti sering
lupa) atau dengan tujuan memperlengkap data pasien.
Pada anamnesis yang dapat kita tanyakan adalah:
Riwayat penyakit pasien, misalnya memiliki riwayat penyakit diabetes,dll yang
dapat meningkatkan volume urin.
Menanyakan juga bagaimana volume dan frekuensi keluarnya urin.
Menanyakan juga apakah mengkonsumsi obat-obatan golongan tertentu yang dapat
meningkatkan volume urin.
Menanyakan juga apakah pasien merasa ada sisa-sisa urine yang menetes setelah
buang air kecil.
Menanyakan juga apakah disaat pasien melakukan kegiatan yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen seperti tertawa atau batuk tanpa sadar ia
berkemih.
Menanyakan juga apakah ada kemungkinan pasien mengalami trauma tulang
belakang sehingga menimbulkan refleks kencing.
Apakah ada rasa nyeri saat berkemih?
Tetap perhatikan umur pasien. Penyakit ini sangat berhubungan dengan kelompok
usia yang sudah lanjut. Penderita usia muda kemungkinan mengalami ini karena trauma
benturan. Selain itu jangan lupakan kemungkinan komplikasi yang terjadi seperti adanya
infeksi saluran kemih dan ulkus dekubitus. Sedangkan pada wanita, inkontinensia dapat
terjadi akibat melemahnya otot dasar panggul karena sering melahirkan. Kemungkinan ini
juga perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis.2
Pemeriksaan Fisik
2 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, rectum, genital, dan
evaluasi persyaratan lumbosakral. Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan ialah
palpasi dan perkusi. Pada kebanyakan pasien, kandung kemih yang terdistensi dapat
dipalpasi. Perkusi untuk mendeteksi kandung kemih yang terdistensi dapat membantu pada
pasien yang kurus tetapi mempunyai sedikit atau tidak mempunyai manfaat pada pasien yang
gemuk. Pemeriksaan pelvis pada perempuan juga penting untuk menemukan beberapa
kelainan seperti prolaps, inflamasi, keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas pasien,
status mental, kemampuan mengakses toilet akan membantu penanganan pasien yang
holistic. Pencatatan aktivitas berkemih baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap
dapat membantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia urin serta evaluasi respon
terapi. Hasil akhir yang diharapkan didapat dari diagnosa adalah dapat menentukan penyebab
utama dari inkontinensia yang diderita oleh pasien, untuk menentukan apakah adal hubungan
dengan penyakit traktus urogenital lainnya, dan mengevaluasi pasien dari sisi lingkungan dan
keadaan fisiknya.1,3,4,5
Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan inkontenensia, berikut adalah jenis pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk menunjang anamnesis dan pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan Laboratorium
o Kultur Urin
o Sitologi Urin
o Uji fungsi ginjal
o USG ginjal
Pemeriksaan Ginekologik
Pemeriksaan Urologik
Cystouretroskopi
Pemeriksaan dengan prosedur khusus seperti diatas tidak dilakukan setiap saat.
Pemeriksaan dapat dilakukan bila ada kasus dengan riwayat sebagai berikut: operasi atau
radiasi daerah urogenital bawah, infeksi saluran kemih berulang, prolaps berat, hipertrofi
prostat atau kanker, gagalnya kateterisasi, volume residu pasca miksi yang mencapai lebih
dari 200 ml, hematuria tanpa petunjuk infeksi saluran kemih dan gagal terapi yang telah
diberikan.2
Diagnosis Banding
3 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
Diagnosis banding dari inkontinensia yang dialami ibu tersebut ialah jenis inkontinensia
yang lainnya, yaitu:
Inkontinensia overflow
Keadaan dimana pengeluaran urine terjadi akibat overdistensi kandung kemih.
Dengan kata lain aktivitas kandung kemih menurun akibat kandung kemih terlalu
melebar. Inkontinensia overflow dapat diakibatkan oleh trauma pada medula
spinalis, stroke, diabetik neuropati serta pembedahan yang radikal pada pelvis.
Pada laki-laki, dapat terjadi inkontinensia jenis overflow akibat hipertrofi prostat.
Pada hipertrofi prostat, dapat terjadi obstruksi pada uretra pars prostatika. Hal ini
dapat meningkatkan tegangan kandung kemih yang dapat menyebabkan pelebaran
kandung kemih dalam jangka waktu yang terlalu lama. Yang akhirnya memicu
terjadinya inkontinensia.
Inkontinensia ini umumnya diikuti dengan sering berkemih pada malam hari dengan
volume yang kecil. Umumnya sisa urine setelah berkemih (biasanya 450 cc) dapat
menjadi pembeda jenis inkontinensia ini dengan jenis yang lainnya.
Inkontinensia Urgensi
Keluarnya urin disertai dengan keinginan untuk miksi yang kuat secara tiba-tiba.
Inkontinensia urgensi disebabkan oleh detrusor yang overaktif, karena
hiperrefleksia, ketidakstabilan, atau hipertonia, yang menyebabkan urin yaitu
kontraksi detrusor yang tidak terkontrol dan tidak terinhibisi. Hipertonia detrusor
menyebabkan keluarnya urin pada kandung kemih yang tidak dapat meregang.
Inkontinensia urgensi biasanya disertai dengan keluhan miksi lainnya, paling sering
adalah frekuensi tiap dua jam atau kurang, nokturia, dan perasaan yang mengganggu
di suprapubik. Disuria menandakan adanya infeksi saluran kemih atau peradangan
pada kandung kemih atau uretra.
Inkontinensia Stress
Keluarnya urin secara tidak disadari selama pengeluaran tenaga fisik. Volume urin
yang keluar bervariasi dari beberapa tetes sampai jumlah yang masif. Pasien
biasanya tidak mempunyai keluhan urologis lainnya.
Penyebab tersering inkontinensia stress primer pada wanita adalah disfungsi sfingter,
yang dianggap karena kekenduran muskulofascial pelvis dan penurunan resistensi
uretra. Pada wanita, riwayat kehamilan, terutama jika disertai dengan inkontinensia
urin, biasanya penting untuk terjadinya kekenduran pelvis dan inkontinensia stress.
Penyebab lainnya termasuk trauma terhadap uretra proksimal setelah reseksi atau
4 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
insisi, akan menimbulkan devaskularisasi pada uretra, uretritis atropik, dan paralisis
sfingter eksternal. Pada pria, inkontinensia karena gangguan sfingter adalah jarang
dan biasanya disebabkan karena uretra membranosa yang defektif atau tidak lentur
yang disebabkan karena trauma pelvis atau prostatektomi radikal, walaupun keadaan
ini dapat terjadi setelah prosedur transuretra. Paralisis atau kerusakan sfingter
eksternal juga dapat menyebabkan inkontinensia karena penurunan resistensi uretra
total.
Inkontinensia fungsional
Berbagai penyakit seperti demensia berat, gangguan mobilitas (artritis genu,
kontraktur) serta gangguan neurologik dan psikologik dapat menyebabkan
penurunan berat pada fungsi fisik dan kognitif. Hal ini sangat mengganggu
mobilisasi penderita sehingga penderita tidak dapat mencapai toilet pada saat yang
tepat.2
Diagnosis Kerja
Berdasarkan kasus yang ada dapat disimpulkan bahwa ibu tersebut menderita
inkontinensia campuran. Yaitu jenis inkontinensia gabungan antara inkontinensia urgensi dan
inkontinensia stress. Inkontinensia urgensi disebabkan oleh aktivitas kandung kemih yang
berlebihan. Inkontinensia tipe urgensi ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih
setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa urgensi, frekuensi dan
nokturia. Kelainan ini dibagi menjadi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik.
Subtipe motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti yang terjadi pada
stroke, parkinsonism, tumor otak dan sklerosis multipel maupun adanya lesi pada medula
spinalis daerah suprasakral. Subtipe sensorik dapat disebabkan oleh hipersensitivas kandung
kemih akibat cystisis, uretritis dan diverkulitis.
Sedangkan inkontinensia stress disebabkan pengaruh melemahnya otot dasar panggul.
Hal ini dapat terjadi pada lansia karena pengaruh umur yang menyebabkan semakin
lemahnya fungsi otot-otot panggul. Faktor resiko sebagai wanita juga meningkatkan
kemungkinan terjadinya inkontinensia stress. Wanita yang sering hamil dan melahirkan akan
membutuhkan kerja otot panggul yang lebih sering untuk menahan janin selama usia
kehamilan dan untuk membantu kontraksi pada proses partus/melahirkan. Peningkatan resiko
pada wanita lansia juga dapat disebabkan karena penurunan kerja hormon estrogen pasca
menopause.2,4,5
Patofisologi Berkemih
5 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
Secara normal proses berkemih merupakan proses dinamik yang memerlukan
rangkaian koordinasi proses fisiologik yang berurutan. Secara umum terdapat 2 fase yaitu
fase penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen
saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali.
Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunteer dan
disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra
internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks
otak.
Vesika urinaria terdiri atas 4 lapisan, yaitu lapisan serosa, lapisan otot detrusor,
lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Saat otot detrusor berelaksasi terjadi pengisian
kandung kemih, dan bila otot ini mengalami kontraksi maka urine yang telah tertampung
didalamnya akan dikeluarkan. Proses kontraksi ini berlangsung akibat kerja saraf
parasimpatis, sedangkan penutupan sfingter vesika urinaria agar dapat menampung urin
dikerjakan oleh saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin.
Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih.
Mekanisme kerja pada otot detrusor melibatkan kerja otot itu sendiri, saraf pelvis, medula
spinalis dan sistem saraf pusat yang mengontrol jalannya proses berkemih. Ketika kandung
kemih seseorang mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla
spinalis ke pusat saraf kortikal dam subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan
serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa
menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian ini berlanjut,
rasa penggembungan kandung kemih disadari dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja
menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat
atau penyakit dapat mengurangi kemampuan untuk menunda pengeluaran urin. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa aktivitas relaksasi yang menyebabkan pengisian urin ditimbulkan
oleh pusat yang lebih tinggi yaitu korteks serebri atau dengan kata lain bersifat menghambat
proses miksi. Sedangkan pusat yang lebih rendah yaitu batang otak dan saraf supra spinal
memfasilitasi proses miksi dengan mendukung proses kontraksi otot yang terjadi. Gangguan
yang mungkin terjadi pada kedua bagian otak ini yang dapat menyebabkan pengurangan
kemampuan penundaan pengeluaran urin.
Ketika terjadi desakan untuk berkemih, maka rangsang saraf dari daerah korteks akan
disalurkan melalui medula spinalis ke saraf pelvis. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian
menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.
6 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot.
Namun kontraksi ini tidak hanya semata-mata hanya tergantung kepada aktivitas saraf yang
bersifat kolinergik. Otot detrusor juga memiliki reseptor prostaglandin. Obat-obat yang
menyebabkan inhibisi pada prostaglandin tentu saja akan mempengaruhi kontraksi otot
detrusor. Selain itu kontaksi otot detrusor juga bergantung pada calcium-channel. Oleh
karena itu bila pemberian calcium channel blocker seperti pada pasien hipertensi dapat
menyebabkan terjadinya gangguan kontraksi kandung kemih.
Selain faktor dari kandung kemih, juga harus diperhatikan sfingter uretra baik yang
interna dan eksterna. Proses kontraksi pada sfingter uretra dipengaruhi oleh aktivitas dari
adrenergik -alfa. Pengobatan yang sifatnya agonis terhadap adrenergik alfa (pseudoefedrin)
dapat memperkuat kontraksi dari sfingter sehingga menahan urin secara berkelanjutan.
Sedangkan obat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Persarafan adrenergik
beta dapat menyebabkan relaksasi pada sfingter uretra. Obat yang bersifat beta-adrenergic
blocking dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas
kontraktil adrenergik alfa.
Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan
kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang
tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada
posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara
efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar
pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di
medulla spinalis segmen sacral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian
(penyimpanan) kandung kemih, tejadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang
mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta
penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatic pada otot dasar
panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatik dan somatic menurun, sedangkan
parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher
kandung kemih. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu
batang otak, korteks serebri, dan serebelum.
Dapat dikatakan bahwa usia lanjut dapat menjadi faktor predesposisi (faktor
pendukung) terjadinya inkontinensia urin. Proses menua akan menyebabkan perubahan
anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan ini memiliki kaitan
7 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
erat dengan menurunnya kadar estrogen pada wanita dan kadar androgen pada laki-laki.
Perubahan yang terjadi meliputi penumpukan fibrosis dan kolagen pada dinding kandung
kemih sehingga menyebabkan penurunan efektivitas fungsi kontraksi dan memudahkan
terbentuknya trabekula maupun divertikula.
Atrofi pada mukosa, perubahan vaskularisasi pada daerah submukosa dan menipisnya
lapisan otot uretra menyebabkan penurunan pada tekanan penutupan uretra dan tekanan
outflow. Selain itu pada laki-laki terjadi pembesaran prostat dan pengecilan testis sedangkan
pada wanita terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie,
pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta peningkatan pH lingkungan vagina
akibatnya kurangnya lubrikasi.
Melemahnya fungsi otot dasar panggul yang disebabkan oleh berbagai macam
operasi, denervasi dan gangguan neurologik dapat menyebabkan prolaps pada kandung
kemih sehingga melemahkan tekanan akhir kemih keluar. Hal ini dapat memicu terjadinya
inkontinensia.6,7
Etiologi dan Tipe inkontinensia
Pengetahuannya yang tepat akan penyebab inkontinensia sangat diperlukan agar dapat
memberikan penatalaksanaan yang tepat pula. Secara umum ada 4 penyebab pokok, yaitu:
gangguan urologik: misalnya radang, batu, tumor dan divertikel.
gangguan neurologik: misalnya stroke, trauma pada medula spinalis dan
dementia.
8 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
Gambar 1. Patofisiologi Inkontinensia urin
gangguan fungsional: misalnya hambatan pada mobilitas penderita.
gangguan lingkungan: misalnya tidak tersedianya situasi berkemih yang
memadai/sarana yang terlalu jauh.
Inkontinensia yang terjadi akibat gangguan diatas dapat dibagi atas:
Inkontinensia urin akut, biasanya bersifat reversibel. Inkontinensia ini terjadi secara
mendadak dan berkaitan dengan kondisi sakit akut maupun masalah pengobatan
yang diberikan yang akan menghilang bila kondisi akut ini teratasi ataupun obat
diberhentikan penggunaannya.
Untuk mengingat dengan lebih mudah, maka para ahli memakai akronim
DRIP yang dapat dilihat pada tabel 1 atau akronim yang lebih lengkap lagi
DIAPPERS yang dapat dilihat pada tabel 2 sebagai penyebab inkontinensia akut.
Delirium merupakan gangguan kognitif akut dengan latar belakang yang
beragam seperti dehidrasi, infeksi paru, gangguan metabolisme, dan elektrolit.
Delirium menyebabkan proses hambatan refleks miksi berkurang sehingga
menimbulkan inkontinensia yang bersifat sementara. Usia lanjut dengan
kecenderungan mengalami frekuensi, urgensi, dan nokturia akibat proses menua
akan mengalami inkontinensia kalau terjadi gangguan mobilitas oleh karena
berbagai sebab seperti gangguan musculoskeletal, tirah baring, dan perawatan di
rumah sakit. Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah juga akan
meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi, dan dapat mengakibatkan inkontinensia.
Kondisi-kondisi yang mengakibatkan polyuria seperti hiperglikemia, hiperkalsemia,
pemakaian diuretika dan minum banyak dapat mencetuskan inkontinensia akut.
Kondisi kelebihan cairan seperti gagal jantung kongestif, insufisiensi vena tungkai
bawah akan mengakibatkan nokturia dan inkontinensia akut malam hari.2
Tabel 1 . Akronim untuk Penyebab Reversibel Inkontinensia Urin Akut
D Delirium
R Restricted Mobility, retension
I Infection, Inflammation, Impaction
P Polyuria, pharmaceuticals
Tabel 2. Penyebab Inkontinensia Akut
D Delirium or acute confusional state
9 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
I Infection, Urinary
A Athropic vaginitis
P Pharmaceutical
P Psychologic disorders : depression
E Endocrine disorders
R Restricted mobility
S Stoolilmpaction
Delirium : Kesadaran yang menurun yang berpengaruh pada tanggapan rangsang
berkemih, serta mengetahui tempat berkemih. Delirium merupakan penyebab
utama dari inkontinensia bagi mereka yang dirawat di Rumah Sakit, bila
delirium membaik, inkontinensia juga pulih.
Infection : Infeksi saluran kemih sering berakibat inkontinensia, tidak demikian dengan
bakteriuri yang asimtomatik.
Atrophic vaginitis dan atrophic urethritis : pada umumnya atropic vaginitis akan disertai
atrophic urethritis dan keadaan ini menyebabkan inkontinensia pada wanita.
Biasanya ada respon yang baik dengan sediaan estrogen oral setelah beberapa
bulan pemakaian. Penggunaan topical kurang nyaman dan lebih mahal.
Pharmaceutical : Obat-obatan merupakan salah satu penyebab utama dari inkontinensia
yang sementara, misalnya diuretika, antikolinergik, psikotropik, analgesic
opioid, alfa bloker pada wanita, alfa agonis pada pria, dan penghambat
kalsium.
Psychologic factors : Depresi berat dengan retardasi psikomotor dapat menurunkan
kemampuan atau motivasi untuk mencapai tempat berkemih.
Excess urine output : Pengeluaran urin berlebihan dapat melampaui kemampuan orang usia
lanjut mencapai kamar kecil. Selain obat-obat diuretic, penyebab lain yang
sering misalnya pengobatan gagal jantung, gangguan metabolic seperti
hiperglikemia ataupun telalu banyak minum.
Restricted mobility : Hambatan mobilitas untuk mencapai tempat berkemih. Bila mobilitas
belum dapat ditingkatkan, penyediaan urinal atau komodo, dapat memperbaiki
inkontinensia.
Stool impaction : impaksi feses juga merupakan penyebab yang sering dari inkontinensia
pada mereka yang dirawat atau immobile. Bila obstipasi diatasi, akan
memulihkan kontinens lagi.1
10 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
Inkontinensia urin kronik/persisten
Ada dua hal yang melatarbelakangi inkontinensia kronik, yaitu 1). Kegagalan
penyimpanan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas
kandung kemih atau lemahnya tahanan saluran keluar, dan 2). Kegagalan
pengosongan kandung kemih akibat lemahnya otot detrusor atau meningkatnya
tahanan aliran keluar.
Epidemiologi
Kasus inkontinensia urin cenderung tidak dilaporkan, karena penderita merasa malu
dan menganggap tidak ada yang dapat dilakukan untuk menolongnya. Penderita juga
mendapat benturan sosial yaitu kondisi masyarakat sekitar yang akan menjauhinya bila ia
diketahui menderita penyakit ini. Penelitian epidemiologi terhadap penyakit ini pun sulit
untuk dilakukan karena beragamnya subjek penelitian, metode kuisioner dan definisi
inkontinensia yang digunakan. Namun secara umum prevalensinya meningkat sesuai dengan
pertambahan umur. Sekitar 50% lansia di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di
masyarakat mengalami inkontinensia urin. Sedangkan berdasarkan gender, penyakit ini
cenderung lebih sering dialami oleh wanita dengan perbandingan 1,5 : 1 terhadap pria.
Berdasarkan survei oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM tahun
2002 pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta, didapati
bahwa angka inkontinensia stress mencapai 32,2%. Sedangkan survei yang dilakukan oleh
Poliklinik Geriatri RSCM pada tahun 2003 terhadap 179 pasien didapati angka kejadian
inkontinensia urin stress pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5%.
Pada penelitian yang dilakukan di Australia, didapatkan 7% pria dan 12% wanita
diatas usia 70 tahun mengalami inkontinensia. Sedangkan mereka yang dirawat, terutama di
unit psiko-geriatri, 15-50% diantaranya menderita inkontinensia. Sedangkan melalui
penelitiannya, seorang ahli bernama Fonda mendapatkan 10% pria dan 15% wanita diatas 65
tahun di Australia menderita inkontinensia.
Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh National Overactive Bladder
Evaluation (NOBLE) dengan 5204 orang sebagainya sampelnya, menyimpulkan suatu
perkiraan bahwa 14,8 juta perempuan dewasa di Amerika Serikat menderita inkontinensia
urin dengan sepertiganya (34,4%) merupakan inkontinensia urin tipe campuran.
Seorang ahli bernama Dioko serta timnya melakukan penelitian pada 1150 orang
secara acak dan mendapati 434 orang diantaranya menderita inkontinensia urin. Dari mereka
yang mengalami inkontinensia urin, didapati bahwa 55,5% diantaranya merupakan tipe
11 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
campuran, 26,7% merupakan tipe stress saja, 9% tipe urgensi saja dan 8,8% memiliki
komplikasi lain.
Seringkali penderita inkontinensia berpikir dengan mengurangi asupan cairan berupa
minuman akan mengurangi frekuensi miksi. Namun hal ini akan berbahaya karena
menganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Kapasitas kandung kemih pun semakin lama
akan semakin menurun yang justru akan memperberat keluhan inkontinensianya. Sebenarnya
bila penyakit ini diobati secara tepat maka inkontinensianya dapat diupayakan menjadi lebih
ringan sehingga penderita menjadi lebih nyaman dan memudahkan juga bagi yang merawat
serta mengurangi kemungkinan komplikasi serta biaya perawatan.1,2
Penatalaksanaan
Ada beberapa cara untuk menangani pasien dengan kasus inkontinensia urin.
Umumnya dapat berupa tatalaksana farmakologis, non-farmakologis maupun pembedahan.
Prinsipnya adalah penderita inkontinensia tidak dapat ditangani hanya dengan satu modalitas
terapi, tetapi melalui serangkaian terapi yang dilakukan secara simultan.
Spektrum modalitas terapi yang dilakukan meliputi:
Terapi non farmakologis, yaitu:
o Terapi suportif non-spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan
pads tertentu).
o Intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung
kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan).
Terapi medika mentosa
Operasi
Pemakaian kateter
Intervensi pada tingkah laku pasien sangat memerlukan kerja sama yang baik dari
pasien tersebut. Secara umum yang dapat kita lakukan ialah meliputi edukasi pada pasien dan
pengasuhnya. Intervensi perilaku yang dapat meliputi bladder training, habit training,
prompted voiding dan latihan dasar otot panggul. Sedangkan teknik yang menggunakan alat
seperti stimulasi elektrik, biofeedback dan neuromodulasi dapat melengkapi teknik perilaku
ini.
Berikut adalah daftar hal yang dapat dilakukan dalam terapi non farmakologis ini.
a) Bladder training : merupakan suatu jenis terapi yang cukup efektif dibanding teknik
non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih
yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi
12 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
berkemih hanya mencapai 6-7 kali sehari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan
dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada
interval tertentu, misalnya pada mula-mula tiap satu jam, kemudian ditingkatkan
perlahan hingga 2-3 jam. Agar tidak lupa, dapat dibuat catatan harian untuk
berkemih. Apabila pasien tidak mampu lagi menahan sensasi kemihnya, maka ia
diperbolehkan berkemih sebelum waktunya namun akan dicatat dalam catatan
hariannya. Sebisa mungkin catat volume urin yang keluar pada saat miksi dan
jumlah urin yang bocor. Latihan kandung kemih ini terbukti efektif terhadap
inkontinensia tipe stress maupun tipe urgensi.
b) Latihan dasar otot panggul : merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin
tipe stress atau campuran dan tipe urgensi. Latihan dilakukan tiga sampai lima kali
sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik
menunjukkan bahwa 56-77% pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek
dengan latihan tersebut. Terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa
peningkatan perbaikan akan timbul selama paling tidak 10 tahun. Latihan dilakukan
dengan membuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul. Dengan
memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan kekuatan
uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani latihan, harus
diperiksa lebih dahulu vagina atau rektumnya untuk menetapkan apakah mereka
dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.
c) Habit training : memerlukan penjadwalanwaktu berkemih. Diupayakan agar jadwal
berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya
digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan
petugas kesehatan atau pengasuh pasien. Prompted voiding dilakukan dengan cara
mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.
d) Terapi biofeedback : bertujuan agar pasien mampu mengontrol atau menahan
kontaksi involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyai
kendala karena penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk mengikuti
petunjuk pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan
motivasi yang tinggi karena waktu yang diperlukan untuk mendidik satu orang
pasien dengan cara ini cukup lama.
13 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
e) Stimulasi elektrik : merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutann kontraksi
otot pelvis dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rectum. Terapi ini
tidak begitu disukai oleh pasien, karena pasien harus menggunakan alat dan
kemajuan dari terapi ini terlihat lamban.
f) Neuromodulasi : merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sacral.
Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih belum diketahui, tetapi diduga karena
adanya kegiatan interneuron tulang belakang atau neuron adrenergic beta yang
menghambat kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
neuromodulasi merupakan salah satu cara penatalaksanaan kandung kemih
hiperaktif yang berhasil.
g) Penggunaan kateter menetap (indwelling catheter) sebaiknya tidak digunakan secara
rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran
kemih bahkan sampai sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap
ini dapat digunakan bila terjadi retensi urin yang lama sehingga menyebabkan
infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal. Kateter intermiten merupakan alat yang
secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini diajarkan
kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun demikian
teknik ini berisiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih.
Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti efektif
terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat dilaksanakan bila upaya
terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat mengatasi masalah inkontinensia
tersebut. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan menjadi : antikolinergik-
antispasmodik, agonis adrenergic α, estrogen topical, dan antagonis adrenergic α. Berikut
adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia urin:
Tabel 3. Obat Yang Digunakan Untuk Inkontinensia Urin
Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek Samping
Hyoscamin 3 x 0,125 mg Urgensi atau campuran Mulut kering, mata kabur, glaukoma,
derilium, konstipasi
Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi Mulut kering, konstipasi
Imipramin 3 x 25-50 mg Urgensi Derilium, hipotensi ortostatik
Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg Stress Sakit kepala, takikardi, hipertensi
Topikal estrogen Urgensi dan Stress Iritasi lokal
Doxazosin 4 x 1-4 mg Urgensi Hipotensi postural
Tamsulosin 1 x 0,4-0,8 mg
14 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
Terazosin 4 x 1-5 mg
Penggunaan fenilpropanolamin sabagai obat inkontenensia urin tipe stress sekarang
telah dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukkan adanya resiko stroke pasca
penggunaan obat ini. Sebagai gantinya digunakan pseudoefedrin karena dapat meningkatkan
tekanan sfingter uretra, sehingga dapat menghambat pengeluaran urin. Namun penggunaan
pseudoefedrin pun jarang ditemukan pada usia lanjut karena adanya masalah hipertensi,
aritmia jantung dan angina.
Pembedahan merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk masalah
inkontinensia bila terapi secara farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil dilakukan.
Pembedahan yang sering dilakukan ialah berupa pemasangan kateterisasi yang menetap.
Namun penggunaan kateterisasi ini harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang tepat.
Misalnya adanya ulkus dekubitis yang terganggu penyembuhannya karena adanya
inkontinensia urin ini. Komplikasi yang dapat timbul sebagai efek dari penggunaan kateter
ialah timbulnya batu saluran kemih, abses ginjal bahkan proses keganasan pada saluran
kemih.
Pada laki-laki dengan obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat
dilakukan pembedahan untuk mencegah timbulnya inkontinensia tipe overflow di kemudian
hari. Selain itu, ada pula teknik pembedahan yang bertujuan melemahkan otot detrusor
misalnya dengan menggunakan pendekatan postsakral maupun paravaginal. Teknik
pembedahan yang bertujuan untuk merusak struktur dan kekuatan detrusor seperti transeksi
terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sitolisis.2
Pencegahan
Ada beberapa pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terkena inkontinensia urin:
Wanita disarankan untuk tidak melahirkan terlalu sering. Hal ini dikarenakan dapat
melemahkan otot dasar panggul yang memicu prolapsis kandung kemih. Kondisi ini
dapat menyebabkan inkontinensia urin tipe overflow.
Bagi wanita yang sering melahirkan, dapat mengikuti senam kegel sejak dini untuk
menghindari resiko timbulnya inkontinensia di kemudian hari.
Pasien dengan penyakit demensia dan gangguan mobilitas harus mendapat akses ke
kamar kecil yang lebih mudah. Pemasangan kateter sementara dapat dilakukan bila
pasien tidak dapat bergerak sama sekali. Hal ini untuk mengurangi resiko timbulnya
inkontinensia fungsional.
15 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
Komplikasi
Dari segi medis, komplikasi yang timbul dapat meliputi ulkus dekubitus, infeksi
saluran kemih, urosepsis hingga gagal ginjal. Hal ini perlu diperhatikan saat melakukan
pemeriksaan, apakah telah timbul komplikasi dari gejala awal inkontinensia.
Pada penggunaan kateterisasi yang menetap juga dapat timbul komplikasi seperti
infeksi, batu kandung kemih, abses ginjal dan bahkan proses keganasan pada saluran kemih.
Prognosis
Prognosis inkontinensia urin cukup baik bila ditekahui secara cepat dan tepat
penyebabnya sehingga dapat diberikan terapi yang baik. Jarang ada kasus inkontinensia urin
yang berujung pada komplikasi seperti gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
Terapi sangat penting dalam mengatasi hal ini terutama terapi non-farmakologis
sebagai sarana lapis pertama untuk mengatasi inkontinensia urin yang terjadi.
Kesimpulan
Inkontinensia urin merupakan penyakit yang jamak dijumpai pada usia lanjut yang
dicirikan dengan ketidakmampuan menahan sensasi untuk berkemih. Umumnya penyakit ini
dapat ditegakkan diagnosanya melalui anamnesis. Inkontinensia urin dapat bersifat akut
maupun kronik. Inkontinensia akut yang tidak ditangani secara baik dapat menjadi
inkontinensia kronik. Inkontinensia kronik terbagi atas inkontinensia tipe urgensi, stress,
overflow, dan fungsional.
Data yang ada menunjukkan bahwa wanita lebih rentan terhadap inkontinensia urin
dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan berbagai resiko yang dialami wanita seperti
melemahnya otot dasar panggul akibat terlalu sering melahirkan. Penatalaksanaan penderita
inkontinensia urin meliputi terapi non-farmakologis, terapi farmakologis dan pembedahan.
Ketiganya harus dilakukan secara berurutan. Langkah pembedahan melalui kateterisasi
menetap umumnya sebagai jalan terakhir namun tetap memiliki resiko terjadinya komplikasi.
Ada berbagai cara untuk mencegah terjadinya inkontinensia urin seperti senam kegel
bagi wanita dan menjaga fungsi dan kesehatan prostat pada pria. Prognosis inkontinensia urin
juga cukup baik bila ditekahui secara cepat dan tepat penyebabnya sehingga dapat diberikan
terapi yang baik. Jarang ada kasus inkontinensia urin yang berujung pada komplikasi seperti
gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
16 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e
Daftar Pustaka
1. Merkelj I, Quillen JH. Urinary incontinence in elderly. South Med J. 2001;94(10) 2. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC,
2008.h100-8.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L, Simadribata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi ke-5. Jakarta: Internapublishin, 2009.h.2911-23.
4. Abrams WB, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jilid 1. Jakarta : Binarupa
Aksara, 1997.h.137-62.
5. Morgan G, Hamilton C. Obstetric dan ginekologi : panduan praktik. Edisi ke-2.
Jakarta : EGC, 2009.h.292-5.
6. Martono HH, Pranaka K. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-4 . Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.
7. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Jakarta : Erlangga, 2006.h. 181.
8. Martono HH, Pranaka K. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-4 . Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.
17 | U r i n a r y I n c o n t i n e n c e