PBL sk 2 Medikolegal.doc

32
Memahami dan Menjelaskan Perubahan-Perubahan Setelah Mati Definisi Kematian manusia berdasarkan dua dimensi yaitu kematian seluler (seluler death) akibat ketiadaan oksigen dan kematian manusia sebagai individu (somatic death). Kematian individu dapat didefinisikan secara sederhana sebagai terhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life) atau dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ vital yaitu paru-paru, jantung dan otak sebagai kesatuan yang utuh yang ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen. Sebagai akibat berhentinya konsumsi oksigen ke seluruh jaringan tubuh maka sel-sel sebagai elemen terkecil pembentuk manusia akan mengalami kematian, dimulai dari sel-sel paling rendah daya tahannya terhadap ketiadaan oksigen. Mati suri adalah penurunan fungsi organ vital sampai taraf minimal untuk mempertahankan kehidupan, sehingga tanda-tanda kliniknya seperti sudah mati yang sifatnya reversibel. Sedangkan mati somatik adalah keadaan dimana ketika fungsi ketiga organ vital sistem saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan berhenti secara menetap. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, kedua sistem lain masih berfungsi dengan bantuan alat. Sedangkan mati batang otak adalah kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Kriteria diagnostik penentuan kematian: 1. Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komando atau perintah, dan sebagainya) 2. Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang berada dibawah pengaruh obat-obatan curare. 3. Tidak ada reflek pupil 4. Tidak ada reflek kornea 5. Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan 6. Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotracheal didorong ke dalam 7. Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yang dimasukkan ke dalam lubang telinga 8. Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup lama walaupun pCO 2 sudah melampaui wilayah ambang rangsangan napas (50 torr)

description

fgfg

Transcript of PBL sk 2 Medikolegal.doc

Page 1: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Memahami dan Menjelaskan Perubahan-Perubahan Setelah Mati

Definisi

Kematian manusia berdasarkan dua dimensi yaitu kematian seluler (seluler death) akibat ketiadaan oksigen dan kematian manusia sebagai individu (somatic death). Kematian individu dapat didefinisikan secara sederhana sebagai terhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life) atau dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ vital yaitu paru-paru, jantung dan otak sebagai kesatuan yang utuh yang ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen. Sebagai akibat berhentinya konsumsi oksigen ke seluruh jaringan tubuh maka sel-sel sebagai elemen terkecil pembentuk manusia akan mengalami kematian, dimulai dari sel-sel paling rendah daya tahannya terhadap ketiadaan oksigen.

Mati suri adalah penurunan fungsi organ vital sampai taraf minimal untuk mempertahankan kehidupan, sehingga tanda-tanda kliniknya seperti sudah mati yang sifatnya reversibel. Sedangkan mati somatik adalah keadaan dimana ketika fungsi ketiga organ vital sistem saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan berhenti secara menetap.

Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, kedua sistem lain masih berfungsi dengan bantuan alat. Sedangkan mati batang otak adalah kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum.

Kriteria diagnostik penentuan kematian:

1. Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komando atau perintah, dan sebagainya)

2. Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang berada dibawah pengaruh obat-obatan curare.

3. Tidak ada reflek pupil

4. Tidak ada reflek kornea

5. Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan

6. Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotracheal didorong ke dalam

7. Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yang dimasukkan ke dalam lubang telinga

8. Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup lama walaupun pCO2

sudah melampaui wilayah ambang rangsangan napas (50 torr)

Tes klinik ini baru boleh dilakukan paling cepat 6 jam setelah onset koma serta apneu dan harus diulangi lagi paling cepat sesudah 2 jam dari tes yang pertama. Sedangkan tes konfirmasi dengan EEG dan angiografi hanya dilakukan jika tes klinik memberikan hasil yang meragukan atau jika ada kekhawatiran akan adanya tuntutan di kemudian hari.

Tanda dan Patofisiologi

Tanda kematian tidak pasti

1. Berhentinya sistem pernafasan dan sistem sirkulasi.

Secara teoritis, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung dan paru berhenti selama 10 menit, namun dalam prakteknya seringkali terjadi kesalahan diagnosis sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dengan cara mengamati selama waktu tertentu. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mendengarkannya melalui stetoscope pada daerah precordial dan larynx dimana denyut jantung dan suara nafas dapat dengan mudah terdengar.

Page 2: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Kadang-kadang jantung tidak segera berhenti berdenyut setelah nafas terhenti, selain disebabkan ketahanan hidup sel tanpa oksigen yang berbeda-beda dapat juga disebabkan depresi pusat sirkulasi darah yang tidak adekuat, denyut nadi yang menghilang merupakan indikasi bahwa pada otak terjadi hipoksia. Sebagai contoh pada kasus judicial hanging dimana jantung masih berdenyut selama 15 menit walaupun korban sudah diturunkan dari tiang gantungan.

2. Kulit yang pucat

Kulit muka menjadi pucat ,ini terjadi sebagai akibat berhentinya sirkulasi darah sehingga darah yang berada di kapiler dan venula dibawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang lebih rendah sehingga warna kulit muka tampak menjadi lebih pucat. Akan tetapi ini bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya. Kadang-kadang kematian dihubungkan dengan spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan. Pada mayat yang mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya karbon monoksida) warna semula dari raut muka akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat.

3. Relaksasi otot

Pada saat kematian sampai beberapa saat sesudah kematian , otot-otot polos akan mengalami relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium ini disebut relaksasi primer. Akibatnya rahang turun kebawah yang menyebabkan mulut terbuka, dada menjadi kolaps dan bila tidak ada penyangga anggota gerakpun akan jatuh kebawah. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga orang mati tampak lebih muda dari umur sebenarnya, sedangkan relaksasi pada otot polos akan mengakibatkan iris dan sfincter ani akan mengalami dilatasi. Oleh karena itu bila menemukan anus yang mengalami dilatasi harus hati-hati menyimpulkan sebagai akibat hubungan seksual perani/anus corong.

4. Perubahan pada mata

Perubahan pada mata meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang menyebabkan kornea menjadi tidak sensitif dan reaksi pupil yang negatif.

Knight mengatakan hilangnya reflek cahaya pada kornea ini disebabkan karena kegagalan kelenjar lakrimal untuk membasahi bola mata. Kekeruhan pada kornea akan timbul beberapa jam setelah kematian tergantung dari posisi kelopak mata. Akan tetapi Marshall mengatakan kornea akan tetap menjadi keruh tanpa dipengaruhi apakah kelopak mata terbuka atau tertutup. Walaupun sering ditemui kelopak mata tertutup secara tidak komplit, ini terjadi oleh karena kekakuan otot-otot kelopak mata. Kekeruhan pada lapisan dalam kornea ini tidak dapat dihilangkan atau diubah kembali walaupun digunakan air untuk membasahinya.

Bila kelopak mata tetap terbuka sclera yang ada disekitar kornea akan mengalami kekeringan dan berubah menjadi kuning dalam beberapa jam yang kemudian berubah menjadi coklat kehitaman. Area yang berubah warna ini berbentuk trianguler dengan basis pada perifer kornea dan puncaknya di epikantus. Area ini disebut’taches noires de la sclerotiques’ yang pertama kali digambarkan oleh Somner pada tahun 1833.

Knight mengatakan iris masih bereaksi dengan stimulasi kimia sampai 4 jam sesudah kematian somatik, tetapi reflek cahaya segera hilang bersamaan dengan iskemik pada batang otak. Pupil biasanya pada posisi mid midriasis yang disebabkan oleh karena relaksasi dari muskulus pupilaris walaupun ada sebagian ahli yang menganggap ini sebagai proses rigor mortis. Diameter pupil sering dihubungkan dengan sebab kematian seperti lesi di otak atau intoksikasi obat seperti keracunan morphin dimana sewaktu hidup pupil menunjukan kontraksi. Akan tetapi Price (1963) memeriksa mata dari 1000 mayat dan menyimpulkan bahwa keadaan pupil tidak berhubungan dengan sebab kematian, dan kematian menyebabkan pupil menjadi dilatasi atau cadaveric position .

Setelah kematian tekanan intra okuler akan turun, tekanan intra okuler yang turun ini mudah menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga pupil kehilangan bentuk sirkuler setelah mati dan ukurannya pun menjadi tidak sama ,pupil dapat berkontraksi dengan diameter 2 mm atau berdilatasi sampai 9 mm dengan rata-rata 4-5 mm oleh karena pupil mempunyai sifat tidak tergantung dengan pupil lainnya maka sering terdapat perbedaan sampai 3 mm.

Page 3: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Nicati (1894) telah melakukan pengukuran terhadap tekanan bola mata posmortem dimana tekanan normal pada bola mata pada waktu hidup adalah 14 g -25g akan tetapi begitu sirkulasi terhenti maka penurunan tekanan bola mata menjadi sangat rendah (tidak sampai mencapai 12g) dan dalam waktu 30 menit akan berkurang menjadi 3g yang kemudian menjadi nol setelah 2 jam kematian. Penurunan tekanan bola mata ini pernah dicoba untuk menentukan perkiraan saat kematian.

Kervokian (1961) berusaha menerangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada retina 15 jam pertama setelah kematian dimana kornea dapat dipertahankan dalam keadaan baik dengan menggunakan air atau larutan garam fisiologis yang kemudian dilakukan pemeriksaan dengan optalmoskop. Pemeriksaan ini tidaklah mudah, ternyata pemeriksaan retina pada mayat  jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan orang hidup. Dan perubahan warna yang terjadi pada retina dicoba dihubungkan dengan perkiraan saat kematian. Dengan berhentinya aliran darah maka pembuluh darah retina akan mengalami perubahan yang disebut segmentasi atau ‘trucking’ dan ini terjadi dalam 15 menit pertama setelah kematian. Pada pemeriksaan dalam 2 jam pertama setelah kematian, dapat dilihat retina tampak pucat dan daerah sekitar fundus tampak kuning, demikian pula daerah sekitar makula. Sekitar 6 jam batas fundus menjadi tidak jelas, dan tampak gambaran segmentasi pada pembuluh darah, dengan latar belakang yang berwarna kelabu kekuningan. Gambaran ini mencapai seluruh perifer retina sekitar 7-10 jam. Setelah 12 jam diskus hanya dapat dilihat sebagai titik yang terlokalisasi dengan sisa-sisa pembuluh darah yang bersegmentasi hingga pada akhirnya diskus dan pembuluh darah retina menghilang yang ada hanya makula yang berwarna coklat gelap. Beberapa pengamat menggambarkan perubahan dini posmortem yang terjadi pada retina mempunyai arti yang kecil untuk dihubungkan dengan perkiraan saat mati. Sedangkan Tomlin (1967) beranggapan bahwa segmentasi pada retina lebih berindikasi pada kematian serebral daripada penghentian sirkulasi.

Wroblewski dan Ellis (1970) mempelajari perubahan mata pada 300 mayat dimana tidak hanya perubahan yang terjadi pada retina tetapi juga perubahan yang terjadi pada kornea juga dicatat. Mereka telah memeriksa 204 fundus dari subjek dan 115 diantaranya terdapat segmentasi atau ‘trucking’ pada satu atau kedua mata setelah satu jam posmortem dan negatif pada 89 lainnya. Bagian yang paling sulit pada pemeriksaan ini adalah kekeruhan kornea yang terjadi dalam 75% pasien dalam 2 jam setelah kematian. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa segmentasi merupakan perubahan posmortem yang alami daripada menghubungkannya dengan perkiraan saat kematian.

Tanda Kematian Pasti

1. Lebam Mayat

Lebam Mayat disebut juga Post Mortem Lividity, Post Mortem Suggilation, Hypostasis, Livor Mortis, Stainning. Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang menggerakan darah mencapai capillary bed dimana pembuluh–pembuluh darah kecil afferent dan efferent saling berhubungan. Maka secara bertahap darah yang mengalami stagnasi di dalam pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ke tempat–tempat yang terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa gravitasi lebih banyak mempengaruhi sel darah merah tetapi plasma akhirnya juga mengalir ke bagian terendah yang memberikan kontribusi pada pembentukan gelembung–gelembung di kulit pada awal proses pembusukan.

Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai perubahan warna biru kemerahan. Oleh karena pengumpulan darah terjadi secara pasif maka tempat–tempat di mana mendapat tekanan lokal akan menyebabkan tertekannya pembuluh darah di daerah tersebut sehingga meniadakan terjadinya lebam mayat yang mengakibatkan kulit di daerah tersebut berwarna lebih pucat.

Lebam mayat ini biasanya timbul setengah jam sampai dua jam setelah kematian, Dimana setelah terbentuk hypostasis yang menetap dalam waktu 10–12 jam ternyata akan memberikan lebam mayat pada sisi yang berlawanan setelah dilakukan reposisi pada tubuh dari pronasi ke supinasi (interpostmorchange).

Lebam mayat ini biasanya berkembang secara bertahap dan dimulai dengan timbulnya bercak-bercak yang berwarna keunguan dalam waktu kurang dari setengah jam sesudah kematian dimana bercak-

Page 4: PBL sk 2 Medikolegal.doc

bercak ini intensitasnya menjadi meningkat dan kemudian bergabung menjadi satu dalam beberapa jam kemudian, dimana fenomena ini menjadi komplet dalam waktu kurang lebih 8–12 jam, pada waktu ini dapat dikatakan lebam mayat terjadi secara menetap. Menetapnya lebam mayat ini disebabkan oleh karena terjadinya perembesan darah kedalam jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh darah akibat tertimbunnya sel–sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Dengan demikian penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8-12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu jari dapat memberi indikasi bahwa suatu lebam belum terfiksasi secara sempurna. Setelah empat jam, kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-butir darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah akan keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga menyebabkan warna lebam mayat akan menetap serta tidak hilang jika ditekan dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika pembalikan posisi dilakukan setelah 12 jam dari kematiannya maka lebam mayat baru tidak akan timbul pada posisi terendah, karena darah sudah mengalami koagulasi.

Fenomena lebam mayat yang menetap ini sifatnya lebih bersifat relatif. Perubahan lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian, bila telah terbentuk lebam primer kemudian dilakukan perubahan posisi maka akan terjadi lebam sekunder pada posisi yang berlawanan. Distribusi dari lebam mayat yang ganda ini adalah penting untuk menunjukan telah terjadi manipulasi posisi pada tubuh. Akan tetapi waktu yang pasti untuk terjadinya pergeseran lebam ini adalah tidak pasti, Polson mengatakan “untuk menunjukan tubuh sudah diubah dalam waktu 8 sampai 12 jam”, sedangkan Camps memberi patokan kurang lebih 10 jam.

Akan tetapi pada kematian wajarpun darah dapat menjadi permanent incoagulable oleh karena adanya aktifitas fibrinolisin yang dilepas kedalam aliran darah selama proses kematian. Sumber dari fibrinolisin ini tidak diketahui tetapi kemungkinan berasal dari endothelium pembuluh darah, dan permukaan serosa dari pleura. Aktifitas fibrinolisin ini nyata sekali pada kapiler-kapiler yang berisi darah. Darah selalu ditemukan cair dalam venule dan kapiler, dan ini yang bertanggung jawab terhadap lebam mayat.

Akumulasi darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah kecil tersebut dan berkembang menjadi petechie (tardieu`s spot) dan purpura yang kadang-kadang berwarna gelap yang mempunyai diameter dari satu sampai beberapa milimeter,  biasanya memerlukan waktu 18 sampai 24 jam untuk terbentuknya dan sering diartikan bahwa pembusukan sudah mulai terjadi. Fenomena ini sering terjadi pada asphyxia atau kematian yang terjadinya lambat.

2. Kaku Mayat (RIGOR MORTIS)

Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi primer. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan kimiawi pada protein yang terdapat pada serabut-serabut otot. Menurut Szen-Gyorgyi di dalam pembentukan kaku mayat peranan ATP adalah sangat penting. Seperti diketahui bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis protein, yaitu aktin dan myosin, dimana kedua jenis protein ini bersama dengan ATP membentuk suatu masa yang lentur dan dapat berkontraksi (gambar II.3). Bila kadar ATP menurun, maka akan terjadi pada perubahan pada akto-miosin, diamana sifat lentur dan kemampuan untuk berkontraksi menghilang sehingga otot yang bersangkutan akan menjadi kaku dan tidak dapat berkontraksi.

Page 5: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Gambar II.3. Kontraksi otot

Oleh karena kadar glikogen yang terdapat pada setiap otot itu berbeda-beda, sehingga sewaktu terjadinya pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi pada saat terjadinya kematian somatic, dimana energi tersebut digunakan untuk resintesa ATP, akan menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP dalam setiap otot. Keadaan tersebut dapat menerangkan mengapa kaku mayat akan mulai nampak pada jaringan otot yang jumlah serabut ototnya sedikit. Atas dasar itulah mengapa pada kematian karena infeksi, konvulsi kelelahan fisik serta keadaan suhu keliling yang tinggi akan dapat mempercepat terbentuknya kaku mayat, demikian pula pada mereka yang keadaan gizinya jelek akan lebih cepat terjadi kaku mayat bila dibandingkan dengan korban yang mempunyai tubuh yang baik.

Secara biokimiawi saat relaksasi primer, pH protoplasma sel otot masih alkalis. Perubahan alkalis menjadi asam terjadi 2-6 jam kemudian karena adanya perubahan biokimia, yaitu glikogen menjadi asam sarkolaktik / fosfor. Perubahan protoplasma menjadi asam menyebabkan otot menjadi kaku (rigor). Relaksasi sekunder terjadi setelah ada perubahan biokimia, yaitu asam berubah menjadi alkalis kembali saat terjadi pembusukan.

Kaku mayat akan terjadi pada seluruh otot (gambar II.4), baik otot lurik maupun otot polos. Dan bila terjadi pada otot rangka, maka akan didapatkan suatu kekakuan yang mirip atau menyerupai papan sehingga dibutuhkan cukup tenaga untuk dapat melawan kekakuan tersebut , bila hal ini terjadi otot dapat putus sehingga daerah tersebut tidak mungkin lagi terjadi kaku mayat.

Gambar II.4. Kaku mayat pada lengan dan leher

Page 6: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortem dan mencapai puncaknya setelah 10-12 jam pos mortem, keadaan ini akan menetap selama 24 jam dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai.

Adanya kejanggalan dari postur pada mayat dimana kaku mayat telah terbentuk dengan posisi sewaktu mayat ditemukan, dapat menjadi petunjuk bahwa pada tubuh korban telah dipindahkan setelah mati. Ini mungkin dimaksudkan untuk menutupi sebab kematian atau cara kematian yang sebenarnya.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi kaku mayat :

a. Kondisi otot

- Persediaan glikogen

Cepat lambat kaku mayat tergantung persediaan glikogen otot. Pada kondisi tubuh sehat sebelum meninggal, kaku mayat akan lambat dan lama, juga pada orang yang sebelum mati banyak makan karbohidrat, maka kaku mayat akan lambat.

- Gizi

Pada mayat dengan kondisi gizi jelek saat mati, kaku mayat akan cepat terjadi.

- Kegiatan Otot

Pada orang yang melakukan kegiatan otot sebelum meninggal maka kaku mayat akan terjadi lebih cepat.

b. Usia

- Pada orang tua dan anak-anak lebih cepat dan tidak berlangsung lama.

- Pada bayi premature tidak terjadi kaku mayat, kaku mayat terjadi pada bayi cukup bulan.

c. Keadaan Lingkungan

- Keadaan kering lebih lambat dari pada panas dan lembab

- Pada mayat dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan berlangsung lama.

- Pada udara suhu tinggi, kaku mayat terjadi lebih cepat dan singkat, tetapi pada suhu rendah kaku mayat lebih lambat dan lama.

- Kaku mayat tidak terjadi pada suhu dibawah 10oC, kekakuan yang terjadi pembekuan atau cold stiffening.

d. Cara Kematian

- Pada mayat dengan penyakit kronis dan kurus, kuku mayat lebih cepat terjadi dan berlangsung tidak lama.

- Pada mati mendadak, kaku mayat terjadi lebih lambat dan berlangsung lebih lama.

Waktu terjadinya rigor mortis (kaku mayat) :

Kurang dari 3 – 4 jam post mortem : belum terjadi rigor mortis

Lebih dari 3 – 4 jam post mortem : mulai terjadi rigor mortis

Rigor mortis maksimal terjadi 12 jam setelah kematian

Rigor mortis dipertahankan selama 12 jam

Rigor mortis menghilang 24 – 36 jam post mortem

Page 7: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Terdapat kekakuan pada pada mayat yang menyerupai kaku mayat :

- Cadaveric spasme (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasme sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.

Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam pada kasus bunuh diri.

- Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tepi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Pada saat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha, dan lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.

- Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin (dibawah 3,5oC atau 40oF), sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, bila cairan sendi yang membeku menyebabkan sendi tidak dapat digerakan. Bila sendi di bengkokkan secara paksa maka akan terdengar suara es pecah. Dan mayat yang kaku ini akan menjadi lemas kembali bila diletakkan ditempat yang hangat, kemudian rigor mortis akan terjadi dalam waktu yang sangat singkat.

3. Pembusukan Atau Decompositio

Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection. Pembusukan adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme, terutama Clostridium welchii.

Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan enzim-enzim akan mengalami proses autolisis lebih cepat daripada organ-organ yang tidak memiliki enzim, dengan demikian pankreas akan mengalami autolisis lebih cepat dari pada jantung. Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu pada mayat yang steril misalnya mayat bayi dalam kandungan proses autolisis ini tetap terjadi. Proses autolisis terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang terkena adalah nukleoprotein yang terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya, kemudian dinding sel akan mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan akan menjadi lunak dan mencair.

Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh pengaruh suhu yang rendah maka proses autolisis ini akan dihambat demikian juga pada suhu tinggi enzim-enzim yang terdapat pada sel akan mengalami kerusakan sehingga proses ini akan terhambat.

Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan tubuh akan hilang, bakteri yang secara normal dihambat oleh jaringan tubuh akan segera masuk ke jaringan tubuh melalui pembuluh darah, dimana darah merupakan media yang terbaik bagi bakteri untuk berkembang biak. Bakteri ini menyebabkan hemolisa, pencairan bekuan darah yang terjadi sebelum dan sesudah mati, pencairan trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan dan pembentukan gas pembusukan. Bakteri yang sering menyebabkan destruktif ini sebagian besar berasal dari usus dan yang paling utama adalah Cl. welchii. Bakteri ini berkembang biak dengan cepat sekali menuju ke jaringan ikat dinding perut yang menyebabkan perubahan warna. Perubahan warna ini terjadi oleh karena reaksi antara H2S (gas pembusukan yang terjadi dalam usus besar) dengan Hb menjadi Sulf-Meth-Hb. Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada dinding abdomen bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka kanan dimana isinya lebih cair, mengandung lebih banyak bakteri dan letaknya yang lebih superfisial. Perubahan warna ini secara

Page 8: PBL sk 2 Medikolegal.doc

bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen sampai ke dada dan bau busukpun mulai tercium. Perubahan warna ini juga dapat dilihat pada permukaan organ dalam seperti hepar, dimana hepar merupakan organ yang langsung kontak dengan kolon transversum. Pada saat Cl.welchii mulai tumbuh pada satu organ parenchim, maka sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami disintegrasi dan nukleusnya akan dirusak sehingga sel menjadi lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel menjadi lepas sehingga jaringan kehilangan strukturnya.

Bakteri ini kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang biak didalamnya yang menyebabkan hemolisa yang kemudian mewarnai dinding pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya sehingga pembuluh darah beserta cabang-cabangnya tampak lebih jelas seperti pohon gundul (arborescent pattern atau arborescent mark) yang sering disebut marbling. Bakteri pembusukan ini banyak terdapat dalam intestinal dan paru, maka gambaran marbling ini jelas terlihat pada bahu,dada bagian atas, abdomen bagian bawah dan paha.

Secara mikroskopis bakteri dapat dilihat menggumpal pada rongga-rongga jaringan dimana bakteri tersebut banyak memproduksi gelembung gas. Ukuran gelembung gas yang tadinya kecil dapat cepat membesar menyerupai honey combed appearance. Lesi ini dapat dilihat pertama kali pada hati . Kemudian permukaan lapisan atas epidermis dapat dengan mudah dilepaskan dengan jaringan yang ada dibawahnya dan ini disebut ‘skin slippage’. Skin slippage ini menyebabkan identifikasi melalui sidik jari sulit dilakukan. Pembentukan gas yang terjadi antara epidermis dan dermis mengakibatkan timbulnya bula-bula yang bening, fragil, yang dapat berisi cairan coklat kemerahan yang berbau busuk. Cairan ini kadang-kadang tidak mengisi secara penuh di dalam bula. Bula dapat menjadi sedemikian besarnya menyerupai pendulum yang berukuran 5 – 7,5 cm dan bila pecah meninggalkan daerah yang berminyak, berkilat dan berwarna kemerahan, ini disebabkan oleh karena pecahnya sel-sel lemak subkutan sehingga cairan lemak keluar ke lapisan dermis oleh karena tekanan gas pembusukan dari dalam. Selain itu epitel kulit, kuku, rambut kepala, aksila dan pubis mudah dicabut dan dilepaskan oleh karena adanya desintegrasi pada akar rambut.

Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan, gelembung-gelembung udara mengisi hampir seluruh jaringan subkutan. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan menyebabkan terabanya krepitasi udara. Gas ini menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, dan tubuh berada dalam sikap pugilistic attitude.

Scrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka dapat menggembung, bibir menonjol seperti “frog-like-fashion”, Kedua bola mata keluar, lidah terjulur diantara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh keluarganya. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114 kg sesudah mati.

Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas pembusukan yang terjadi didalam cavum abdominal menyebabkan pengeluaran udara dan cairan pembusukan yang berasal dari trakea dan bronkus terdorong keluar, bersama-sama dengan cairan darah yang keluar melalui mulut dan hidung. Cairan pembusukan dapat ditemukan di dalam rongga dada, ini harus dibedakan dengan hematotorak dan biasanya cairan pembusukan ini tidak lebih dari 200 cc.

Pengeluaran urine dan feses dapat terjadi oleh karena tekanan intra abdominal yang meningkat. Pada wanita uterus dapat menjadi prolaps dan fetus dapat lahir dari uterus yang pregnan. Pada anak-anak adanya gas pembusukan dalam tengkorak dan otak menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi mudah terlepas.

Organ-organ dalam mempunyai kecepatan pembusukan yang berbeda-beda. Jaringan intestinal,medula adrenal dan pancreas akan mengalami autolisis dalam beberapa jam setelah kematian. Organ-organ dalam lain seperti hati, ginjal dan limpa merupakan organ yang cepat mengalami pembusukan. Perubahan warna pada dinding lambung terutama di fundus dapat dilihat dalam 24 jam pertama setelah kematian. Difusi cairan dari kandung empedu kejaringan sekitarnya menyebabkan perubahan warna pada jaringan sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati dapat

Page 9: PBL sk 2 Medikolegal.doc

dilihat gambaran honey combs appearance, limpa menjadi sangat lunak dan mudah robek, dan otak menjadi lunak.

Pembusukan lanjut dari organ dalam ini adalah pembentukan granula-granula milliary atau ‘milliary plaques’ yang berukuran kecil dengan diameter 1-3 mm yang terdapat pada permukaan serosa yang terletak pada endotelial dari tubuh seperti pleura, peritoneum, pericardium dan endocardium.

Golongan organ berdasarkan kecepatan pembusukannya, yaitu:

1. Early : Organ dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal, medula adrenal, pankreas, otak, lien, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah

2. Moderate : Organ dalam yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal, diafragma, lambung, otot polos dan otot lurik.

3. Late : Uterus non gravid dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap pembusukan karena memiliki struktur yang berbeda dengan jaringan yang lain yaitu jaringan fibrousa.

Pada orang yang mengalami obesitas, lemak-lemak tubuh terutama perirenal, omentum dan mesenterium dapat mencair menjadi cairan kuning yang transluscent yang mengisi rongga badan diantara organ yang dapat menyebabkan autopsi lebih sulit dilakukan.

Disamping bakteri pembusukan insekta juga memegang peranan penting dalam proses pembusukan sesudah mati. Beberapa jam setelah kematian lalat akan hinggap di badan dan meletakkan telur-telurnya pada lubang-lubang mata, hidung, mulut dan telinga. Biasanya jarang pada daerah genitoanal. Bila ada luka ditubuh mayat lalat lebih sering meletakkan telur-telurnya pada luka tersebut, sehingga bila ada telur atau larva lalat didaerah genitoanal ini maka dapat dicurigai adanya kekerasan seksual sebelum kematian. Telur-telur lalat ini akan berubah menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva ini mengeluarkan enzim proteolitik yang dapat mempercepat penghancuran jaringan pada tubuh. Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian dapat kita perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena racun dapat kita ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva lalat.

Insekta tidak hanya penting dalam proses pembusukan tetapi meraka juga memberi informasi penting yang berhubungan dengan kematian. Insekta dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian, memberi petunjuk bahwa tubuh mayat telah dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya, memberi tanda pada badan bagian mana yang mengalami trauma, dan dapat dipergunakan dalam pemeriksaan toksikologi bila jaringan untuk specimen standart juga sudah mengalami pembusukan.

Aktifitas pembusukan sangat optimal pada temperatur berkisar antara 70°-100°F (21,1-37,8°C) aktifitas ini dihambat bila suhu berada dibawah 50°F(10°C) atau pada suhu diatas 100°F (lebih dari 37,8°C). Bila mayat diletakkan pada suhu hangat dan lembab maka proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat. Sebaliknya bila mayat diletakkan pada suhu dingin maka proses pembusukan akan berlangsung lebih lambat. Pada mayat yang gemuk proses pembusukan berlangsung lebih cepat dari pada mayat yang kurus. Pembusukan berlangsung lebih cepat karena kelebihan lemak akan menghambat hilangnya panas tubuh dan pada mayat yang gemuk memiliki darah yang lebih banyak, yang merupakan media yang baik untuk perkembangbiakkan organisme pembusukan.

Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat menghambat pertumbuhan bakteri disamping pada tubuh bayi yang baru lahir memang terdapat sedikit bakteri sehingga proses pembusukan berlangsung lebih lambat. Proses pembusukan juga dapat dipercepat dengan adanya septikemia yang terjadi sebelum kematian seperti peritonitis fekalis, aborsi septik, dan infeksi paru. Disini gas pembusukan dapat terjadi walaupun kulit masih terasa hangat.

Secara garis besar terdapat 17 tanda pembusukan pada jenazah, yaitu :

1. Wajah membengkak.

2. Bibir membengkak.

Page 10: PBL sk 2 Medikolegal.doc

3. Mata menonjol.

4. Lidah terjulur.

5. Lubang hidung keluar darah.

6. Lubang mulut keluar darah.

7. Lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung, dan partus (gravid).

8. Badan gembung.

9. Bulla atau kulit ari terkelupas.

10. Aborescent pattern / morbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan.

11. Pembuluh darah bawah kulit melebar.

12. Dinding perut pecah.

13. Skrotum atau vulva membengkak.

14. Kuku terlepas.

15. Rambut terlepas.

16. Organ dalam membusuk.

17. Larva lalat.

Pembusukan dipengaruhi oleh beberapa faktor interinsik diatas, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik antara lain kelembaban udara dan medium di mana mayat berada. Semakin lembab udara di sekeliling mayat maka pembusukan lebih cepat berlangsung, sedangkan pembusukan pada medium udara lebih cepat dibandingkan medium air dan pembusukan pada medium air lebih cepat dibandingkan pada medium tanah.

Pada keadaan tertentu tanda-tanda pembusukan tersebut tidak dijumpai, namun yang ditemui adalah modifikasi pembusukan. Jenis-jenis modifikasi pembusukan antara lain.

a. Mumifikasi

Mumifikasi dapat terjadi karena proses dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan. Proses mumufikasi terjadi bila keadaan disekitar mayat kering, kelembaban rendah, suhunya tinggi dan tidak ada kontaminasi dengan bakteri. Terjadinya beberapa bulan sesudah mati dengan tanda-tanda sebagai berikut mayat menjadi kecil, kering, mengkerut atau melisut, warna coklat kehitaman, kulit melekat erat dengan tulang di bawahnya, tidak berbau, dan keadaan anatominya masih utuh.

b. Saponifikasi

Saponifikasi dapat terjadi pada mayat yang berada di dalamsuasana hangat, lembab atau basah. Terjadi karena proses hidrolisis dari lemak menjadi asam lemak. Selanjutnya asam lemak yang tak jenuh akan mengalami dehidrogenisasi menjadi asam lemak jenuh dan kemudian bereaksi dengan alkali menjadi sabun yang tak larut. Terbentuk pertama kali pada lemak superfisial bentuk bercak, di pipi, di payudara, bokong bagian tubuh atau ekstremitas. Terjadinya saponikasi memerlukan waktu beberapa bulan dan dapat terjadi pada setiap jaringan tubuh yang berlemak dengan tanda-tanda berwarna keputihan dan berbau tengik seperti minyak kelapa.

4. Penurunan suhu tubuh mayat/algor mortis

Pada saat sel masih hidup ia akan selalu menghasilkan kalor dan energi. Kalor dan energi ini terbentuk melalui proses pembakaran sumber energi seperti glukosa, lemak, dan protein. Sumber energi utama yang digunakan adalah glukosa. Satu molekul glukosa dapat menghasilkan energi

Page 11: PBL sk 2 Medikolegal.doc

sebanyak 36 ATP yang nantinya digunakan sebagai sumber energi dalam berbagai hal seperti transport ion, kontraksi otot dan lain-lain. Energi sebanyak 36 ATP hanya menyusun sekitar 38% dari total energi yang dihasilkan dari satu molekul glukosa (gambar II.1). Sisanya sebesar 62% energi yang dihasilkan inilah yang dilepaskan sebagai kalor atau panas.

Gambar II.1. Metabolisme Glukosa

Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran panas. Proses penurunan suhu pada mayat ini biasa disebut algor mortis. Algor mortis merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang sudah berada pada fase lanjut post mortem.

Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan ada 2 faktor, yaitu :

1. Masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat, yakni karena masih adanya proses glikogenolisis dari cadangan glikogen yang disimpan di otot dan hepar (gambar II.2).

2. Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga suhu.

Page 12: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Gambar II.3. Glikogenolisis

Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat tetapi sesudah itu penurunan menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Jika dirata-rata maka penurunan suhu tersebut antara 0,9 sampai 1 derajat celcius atau sekitar 1,5 derajat Fahrenheit setiap jam, dengan catatan penurunan suhu dimulai dari 37 derajat Celcius atau 98,4 derajat Fahrenheit sehingga dengan dapat dirumuskan cara untuk memperkirakan berapa jam mayat telah mati dengan rumus (98,4oF - suhu rectal oF) : 1,5oF. Pengukuran dilakukan per rectal dengan menggunakan thermometer kimia (long chemical thermometer).

Terdapat dua hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:

1. Faktor internal

a. Suhu tubuh saat mati

Sebab kematian, misalnya perdarahan otak dan septikemia, mati dengan suhu tubuh tinggi. Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati ini akan mengakibatkan penurunan suhu tubuh menjadi lebih cepat. Sedangkan, pada hypothermia tingkat penurunannya menjadi sebaliknya.

b. Keadaan tubuh mayat

Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya menjadi lebih cepat.

2. Faktor Eksternal

a. Suhu medium

Page 13: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin cepat terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di tubuh mayat dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.

b. Keadaan udara di sekitarnya

Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik. Selain itu, Aliran udara juga makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat

c. Jenis medium

Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air merupakan konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak panas dari tubuh mayat.

d. Pakaian mayat

Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin cepat. Hal ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu medium atau lingkungan lebih mudah.

ENTOMOLOGI FORENSIK

Entomologi forensik merupakan salah satu cabang dari sains forensik yang memberikan informasi mengenai serangga yang digunakan untuk menarik kesimpulan ketika melakukan investigasi yang berhubungan dengan kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan dengan manusia atau satwa (Gaensslen, 2009; Gennard, 2007).

Dalam kasus entomologi forensik, Gomes et al. (2006) menyatakan bahwa lalat merupakan invertebrata primer yang mendekomposisi komponen organik pada hewan termasuk juga mayat manusia. Pada saat lalat mengambil materi organik yang ada di dalam tubuh mayat, maka lalat tersebut akan memindahkan telur yang akan berkembang menjadi larva dan pupa (Sukontason et al., 2007). Adanya berbagai perubahan dari berbagai jenis lalat dan serangga lain akan menimbulkan suatu komunitas dalam mayat yang secara ekologi dan evolusi akan terjadi proses kompetisi, predasi, seleksi, penyebaran dan kepunahan lokal dalam tubuh mayat tersebut (Hangeveld, 1989).

Amendt et al. (2004a) menyebutkan bahwa ada empat kategori secara ekologi untuk mengidentifikasi suatu komunitas pada bangkai/mayat, antara lain:

1. Adanya spesies necrophagous yang memakan bangkai/mayat.

2. Adanya predator dan parasit pada terhadap spesies necrophagous yang memakan serangga atau golongan Arthropoda yang lain. Terkadang juga ditemukan spesies Schizophagous, yakni spesies yang hadir untuk memakan pada saat pertama kali, namun akan menjadi predator pada tahap larva.

3. Adanya spesies omnivora seperti semut, lebah, dan beberapa jenis kumbang yang memakan baik pada bangkai maupun pada koloni serangga yang ada.

4. Adanya spesies lain seperti laba-laba yang menggunakan bangkai/mayat untuk tempat tinggalnya.

Tahapan Dekomposisi

Peristiwa dekomposisi melibatkan berbagai aspek selain faktor biotik, yakni faktor abiotik yang meliputi parameter fisik seperti temperatur, kelembaban, dan lain-lain. Menurut Gennard (2007) dan Goff (2003), tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap antara lain:

Tahap1: fresh stage, tahapan dimulai pada saat kematian dan ditandai adanya tanda penggelembungan pada tubuh. Serangga yang pertama kali datang adalah lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae. Lalat betina akan meletakkan telurnya di daerah yang terbuka seperti daerah kepala (mata, hidung, mulut, dan telinga).

Page 14: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Tahap 2: bloated stage, merupakan tahapan pembusukan yang sedang dimulai. Gas yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme bakteri anaerob menyebabkan penggelembungan pada pada perut mayat. Selanjutnya suhu internal naik selama tahapan ini sebagai akibat dari aktivitas bakteri pembusuk dan aktivitas metabolime dari larva lalat. Lalat dari famili Calliphoridae sangat tertarik pada mayat selama tahapan ini. Kemudian selama mengembang akibat adanya gas, cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang tubuh dan meresap ke dalam tanah. Cairan tersebut tersusun oleh senyawa seperti amonia yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme dari larva lalat sehingga akan menyebabkan tanah di bawah mayat itu untuk menjadi alkali (basa) dan fauna tanah menjadi tertarik untuk menuju ke mayat.

Tahap 3: decay stage, tahapan ini ditandai adanya kerusakan kulit dan mengakibatkan gas keluar dari tubuh. Larva lalat membentuk gerombolan yang besar pada mayat. Meskipun beberapa serangga predator, seperti kumbang, tawon, dan semut, pada tahap bloated stage, serangga necrophagous dan predator dapat diamati dalam jumlah besar menjelang tahapan ini berakhir. Pada akhir tahap ini, lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae telah menyelesaikan perkembangan siklusnya dan meninggalkan mayat untuk menjadi pupa. Pada akhir tahap ini, larva lalat akan menghilang dari jaringan tubuh pada mayat.

Tahap 4: postdecay stage, pada tahap ini sisa-sisa tubuh seperti kulit, kartilago dan usus sudah mengalami pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan tubuh yang masih ada akan mengering. Indikator pada tahap ini adalah hadirnya kumbang dan berkurangnya dominansi lalat di dalam tubuh mayat.

Tahap 5: skeletal stage, pada tahap ini hanya tersisa tulang belulang dan rambut. Tahapan ini tidak jelas serangga apa saja yang hadir. Pada kasus tertentu, kumbang dari famili Nitidulidae terkadang ditemukan. Tubuh mayat sudah mengalami akhir dari dekomposisi.

Estimasi Waktu Kematian

Ahli entomologi forensik sering memeriksa bukti serangga pada mayat manusia dan menetukan berapa lama serangga tersebut berada di mayat. Periode waktu tersebut di interpretasikan dalam postmortem interval (PMI) atau waktu sejak kematian. Analsis PMI terbagi menjadi dua, yakni precolonization interval (pre-CI) dan postcolonization interval (post-CI). Adapun penjelasan masing-masing interval tertera pada Gambar 4 (Tomberlin et al., 2011).

Page 15: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Gambar 4. Fase entomologikal pada proses dekomposisi vertebrata (Tomberlin et al., 2011).

Pada Gambar 4 tersebut menggambarkan periode kolonisasi dan aktivitas serangga pada mayat. Adapun perubahan-perubahan pada mayat manusia setelah mengalami kematian disajikan pada Tabel 1. Pola-pola peruabahan pada Tabel 1 dapat digunakan untuk mengetahui estimasi waktu kematian pada manusia. Selain itu, untuk waktu kematian berdasarkan perkembangan serangga disajikan pada Gambar 5. Contoh pada Gambar 5 tersebut adalah menentukan waktu kematian berdasarkan siklus hidup serangga Protophormia terraenovae.

Tabel 1. Perubahan postmortem pada tubuh manusia (pada suhu 21°C dan kelembaban 30%) (Amendt et al., 2004a).

Gambar 5. Kurva pertumbuhan Protophormia terraenovae mulai dari larva, pupa, dan dewasa (adult) pada suhu 15, 20, 25, 30 and 35°C (Amendt et al., 2004a).

Page 16: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Untuk mengukur waktu kematian dapat digunakan suhu yang dibutuhkan oleh serangga untuk hidup. Serangga merupakan hewan poikilotermik atau hewan yang suhu tubuh dan aktivitas metabolismenya dipengaruhi oleh lingkungan. Serangga menggunakan energi panas (thermal unit) untuk pertumbuhan dan perkembangnya. Sehingga kebutuhan energi selama masa hidupnya dapat dikalkulasi. Thermal unit disebut juga hari derajat (degree days – D ) yang mana nilai D dapat ditambahkan bersamaan yang akan menghasilkan nilai accumulated degree days (ADD). Jika periode thermal unit pendek maka bisa digunakan accumulated degree hours (ADH). Dari peristiwa tersebut, maka waktu kematian dpat dihitung dengan menggunakan rumus:

ADH= Waktu(hours) × (temperatur - temperatur basal)

ADD= Waktu(days) × (temperatur - temperatur basal)

Waktu yang digunakan adalah waktu tahapan perkembangan serangga yang dapat diketahui dari literatur yang sudah ada. Sementara temperatur yang digunakan adalah temperatur lingkungan yang bisa diperoleh melalui stasium badan meteorologi. Sementara temperatur basal adalah temperatur fisiologi terendah yang setiap serangga memiliki nilai temperatur yang berbeda-beda (Tabel 2).

Sebagai contoh ditemukan larva instar III dari spesies Calliphora vicina yang periode waktunya selama 68 jam. Kemudian suhu lingkungan adalah 26,7°C dan tempertur basalnya adalah 2°C. Sehingga akan diperoleh nilai:

ADH = 68 × (26,7 – 2) = 1679,6 ADD = 1679,6/24 = 7

Dari perhitungan tersebut dapat diperkirakan waktu kematiannya adalah 7 hari (Gennard, 2007).

Page 17: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Memahami dan Menjelaskan Investigasi Kasus Pembunuhan

Sudden Infant Death Syndrome

Sudden Infant Death Syndrome (SIDS), atau crib death, dikarakteristikkan sebagai suatu keadaan yang terjadi secara mendadak, kematian yang tidak diduga pada seorang bayi yang tampak sehat yang berusia kurang dari 1 tahun, dimana dalam suatu pemeriksaan dari adegan kematian, pengulangan dari riwayat klinik dan pemeriksaan postmortem yang lengkap gagal untuk mengungkapkan penyebab kematian.

Etiologi SIDS

Etiologi SIDS barangkali multifocal dan termasuk tidak hanya penyebab wajar, tetapi kecelakaan dan, lebih jarang, pembunuhan. Teori baru sebagai etiologi berkembang dalam beberapa tahun, kemudian menghilang hanya untuk digunakan pada beberapa tahun yang akan datang. Teori termasuk perpanjangan interval QT; immunopatogenesis; control homeostatic tidak stabil, dll. Dua hipotesis akan disebutkan. Teori pertama bahwa kematian SIDS dapat dihasilkan oleh penyuntikan DPT (diphtheria – pertussis – tetanus). Suatu penelitian oleh National Institute of Child Healt and Human Development menunjukkan bahwa dari 716 kasus SIDS, 40% telah menerima vaksin DPT.11 Dalam suatu kelompok control yang sesuai berdasarkan umur, ras, dan berat badan lahir, 53% anak telah diberikan imunisasi. Jadi, tidak ada hubungan yang ditemukan antara penyuntikan DPT dan SIDS.

Teori kedua bahwa SIDS disebabkan oleh apneu idiopatik herediter. Pada tahun 1972, Steinschneider menjelaskan lima bayi yang menderita sianosis multiple dan episode apneu dengan etiologi yang tidak diketahui selama tidur. Dua anak, saudara kandung, setelah itu meninggal. Steinschneider berhipotesa bahwa sleep apneu yang berlangsung sangat lama dapat menyebabkan SIDS. Kemudian berkembang literature yang luas tentang topic ini. Menyebabkan penonjolan kasus SIDS “hampir – hilang”. Hal ini dikarakteristikkan oleh bayi yang berhasil diresusitasi setelah dibawa ke ruang gawat darurat dengan adanya episode apneu dan sianosis. Pada beberapa anak, terdapat pengakuan berulang selama keadaan ini. Hal ini harus disadari bahwa observasi utama pada apneu dan sianosis di rumah oleh orang observer nonmedis dan kebenaran dari observasi ini terbuka pada setiap pertanyaan. Dalam contoh lain, tidak diragukan dengan mutlak bahwa episode “hampir – hilang” ini muncul kembali dalam episode yang multiple sebagai ancaman pada bayi oleh karena pencekikan, jadi beberapa disebut Munchausen Syndrome oleh Proxy.13-15 Pada tahun 1995, kematian dijelaskan dalam makalah oleh Steinderschneider yang menemukan pembunuhan oleh karena pencekikan.

Setelah penelitian yang lama, masih tidak ada bukti yang pasti bahwa apneu yang singkat yang umumnya tampak pada bayi premature dan SIDS mempunyai hubungan.17,18 Southall dkk. Meneliti pola pernapasan pada 6914 bayi lahir cukup bulan dan 2337 bayi premature setelah periode 24 jam lebih dahulu ke rumah sakit dalam suatu usaha untuk melihat apabila mereka dapat mendeteksi kasus SIDS. Kematian mendadak terjadi pada 29 bayi yang diteliti. Tidak ada yang mempunyai episode apneic yang berlangsung sangat lama sewaktu diteliti. Tidak ada bayi yang mengalami apneu yang berlangsung sangat lama selama pemeriksaan periode kematian.

Oleh karena SIDS dipikirkan oleh beberapa ahli disebabkan apneu sekunder pada perkembangan immature dari batang otak, dan bersifat herediter, menggunakan kembali monitor apneu menjadi suatu kebiasaan. Tidak ada bukti bahwa monitor dapat mencegah setiap kematian dari SIDS.

Diagnosis SIDS

Oleh karena SIDS merupakan suatu diagnosis dari pengecualian, diagnosis tidak dapat dibuat apabila tidak dilakukan pemeriksaan autopsy secara lengkap, dan tidak ada dokter akan memberikan tanda suatu bukti kematian sebagai SIDS tanpa adanya pemeriksaan tersebut. Apabila dokter bekerja pada pengadilan dimana keluarga dapat mencegah pemeriksaan autopsy pada suatu kasus yang dicurigai sebagai kasus SIDS, mereka akan memberikan label penyebab dan cara kematian sebagai “tidak dapat ditentukan”, bukan sebagai SIDS, dan bukan juga “wajar”.

Page 18: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Pemeriksaan autopsy harus meliputi, tidak hanya pemeriksaan organ secara garis besar, tetapi juga mikroskopik dan toksikologi. Penulis memperlihatkan kasus yang jelas SIDS yang dilakukan screening toksikologi rutin menunjukkan kematian yang disebabkan oleh suatu obat. Bagian pemeriksaan screening toksikologi terdiri dari pemeriksaan elektrolit yang diambil dari cairan vitreous. Pada pemeriksaan ini menunjukkan elektrolit yang abnormal atau dehidrasi.

Diagnosis SIDS dibuat ketika suatu investigasi pada keadaan terpaksa sekitar kematian ditambah pemeriksaan autopsy gagal untuk menunjukkan penyebab kematian atau beberapa proses penyakit yang berhubungan dengan zat. Dari luar, gambaran tubuh anak tidak ada yang istimewa. Mungkin terdapat beberapa darah dicampur dengan cairan edema dalam lubang hidung atau mulut. Sering, feses terdapat pada popok. Pada bagian dalam, sering terdapat adanya kongesti paru dengan edema. Sering terdapat adanya petekie pada timus, epikardium, dan permukaan pleura pada paru. Keadaan ini, seperti edema dan kongesti, merupakan suatu keadaan yang tidak spesifik dan mungkin ada pada kasus yang jelas SIDS dan ada pada kasus yang bukan SIDS. Petekie disebabkan oleh anoksia agonal yang tidak spesifik. Sisa pemeriksaan autopsy akan bernilai negative. Terdapat adanya laporan hipertrofi dan hyperplasia otot dari arteri pulmonal kecil, hipertrofi ventrikel kanan, dan gliosis batang otak. Penemuan tersebut, bagaimanapun, telah dibuktikan atau memberikan dugaan yang tinggi.

Dalam beberapa pemeriksaan autopsy, akumulasi kecil dari sel inflamasi kronik mungkin tampak pada laring dan trakea, dengan beberapa endapan yang tersebar disekeliling bronki atau alveoli. Dalam setiap kasus, selalu terdapat adanya suatu kemungkinan bahwa keadaan tersebut dihubungkan dengan kematian oleh karena bronchiolitis. Mereka akan memutuskan apakah besarnya inflamasi disekitar bronki atau di alveoli cukup untuk menjelaskan kematian.

Penyelidikan Kematian

Pada setiap kematian SIDS, ketika dalam setiap kematian yang diselidiki oleh kantor penguji medis, terdapat tiga komponen untuk penyelidikan : penyelidikan tempat kejadian, autopsy, dan pemeriksaan laboratorium. Apabila tubuh tidak dapat digerakkan, penyelidik harus pergi ke tempat kejadian dan melakukan dokumentasi. Orang tua atau orang yang merawat anak tersebut harus ditanya sebagai petunjuk dalam keadaan terpaksa dan seputar kematian: saat terakhir anak masih tampak hidup, saat terakhir anak diberi susu, dan saat terakhir anak diletakkan di atas tempat tidur. Hal tersebut harus ditentukan posisi bayi pada saat ditemukan, muka dibawah atau muka diatas. Apakah kepala bayi ditutup oleh selimut atau mengganjal antara kasur dan plastic yang tipis dan panjang? Apabila tubuh telah digerakkan sebelum dilakukan penyelidikan, orang yang menggerakkan tubuh bayi tersebut harus ditanyakan untuk memperoleh informasi tersebut.

Pertanyaan pada orang tua harus dilakukan dengan sensitive, rasa simpatik, dan pedekatan dengan rasa iba. Orang tua yang kehilangan bayi merupakan seorang yang mempunyai trauma psikologi yang berat dengan, tidak jarang, merasa bersalah bahwa mereka melakukan sesuatu yang menyebabkan kematian bayi. Banyak orang yang tidak mengetahui apa yang dikenal sebagai SIDS atau crib death. Usahakan untuk membuat keadaan dukacita agar menjadi lebih tenang dan mencegah adanya reaksi yang oenuh dengan rasa bersalah. Penyelidik, sebagai tambahan dalam menyelidiki tempat kejadian, harus melakukan yang terbaik untuk meyakinkan orang tua bahwa mereka sama sekali tidak bersalah atau tidak bersalah dalam kematian anaknya dan bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai cara untuk mencegah kejadian tersebut. Apabila, sesudah itu, kasus tidak dihubungkan dengan SIDS, atau ada sesuatu bahwa orang tua dapat melakukan pencegahan terhadap kematian, tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh pendekatan ini.

Kadang-kadang, lebam mayat (postmortem lividity) dianggap keliru sebagai luka memar oleh polisi atau dokter. Kemudian mereka menjadi curiga bahwa orang tua telah membunuh anaknya. Buh bercampur darah dari mulut dan hidung kadang-kadang dianggap keliru sebagai darah dan trauma yang dicurigai. Diaper rash juga kadang-kadang dianggap salah sebagai trauma.

Di tempat kejadian, penyelidik akan mendekati orang tua dengan sensitive, tanpa sikap menuduh dan melakukan wawancara, bukan interogasi. Orang tua harus diberikan kesempatan untuk menceritakan tentang riwayat kejadian tanpa melakukan interupsi. Mereka harus diberikan sebanyak-banyaknya

Page 19: PBL sk 2 Medikolegal.doc

waktu yang mereka perlukan untuk menjelaskan keadaan seputar kematian bayinya. Sering, bagian utama dari informasi yang diperlukan akan dipastikan oleh pendengaran yang sederhana pada orang tua yang sedih. Apabila memerlukan klarifikasi pada keadaan yang sebelumnya atau seputar kematian bayi, pertanyaan pemeriksa harus tidak berkobar-kobar juga tidak menuduh. Selain itu, mereka akan memperkuat perasaan bersalah yang sering muncul pada orang tua dan menyebabkan mereka menjadi jengkel dan tidak kooperatif.

Pertanyaan berikutnya yang harus ditanyakan oleh penyelidik :

Umur, tanggal lahir, berat badan lahir apabila diketahui, ras, dan jenis kelamin. Siapa orang terakhir yang melihat bayi masih hidup (tanggal dan waktu)? Siapa yang menemukan bayi meninggal (tanggal dan waktu)? Tempat bayi meninggal (tempat tidur atau ranjang bayi, tempat tidur orang tua, atau yang

lainnya)? Bagaimana posisi bayi ketika ditemukan meninggal? Apakah posisi sebenarnya bayi telah diubah (mengapa dan siapa)? Apabila dilakukan resusitasi, berikan metode dan nama orang yang melakukan resusitasi

tersebut. Apakah bayi sedang sakit akhir-akhir ini? Apakah sakit demam atau pilek? Atau penyakit kecil

lainnya? Apakah dikonsultasikan ke dokter? Siapa? Apa terapi yang diberikan? Apakah anak sedang menjalani perawatan? Apa jenisnya? Kapan anak terakhir bertemu dengan dokter? Mengapa dan oleh siapa? Apakah bayi ditularkan penyakit belum lama ini? Apakah ada penyakit dalam keluarga belum lama ini? Apakah anak minum ASI atau susu botol? Kapan anak terakhir makan? Apa yang dimakan? Apakah ada perbedaan dalam penampilan atau tingkal laku anak dalam beberapa hari terakhir? Apakah ada kematian SIDS yang lain dalam keluarga? Apabila ada orang lain selain orang tua yang merawat bayi, apakah ada anak lain yang meninggal

dalam pengawasan orang tersebut?

Pembunuhan Bayi Baru Lahir (Neonaticide)

Keadaan ini dapat didefinisikan sebagai pembunuhan pada anak dalam waktu 24 jan setelah kelahiran. Pelaku pada umumnya merupakan ibu. Ia melahirkan anak dan membunuhnya. Kadang-kadang, pelaku dibantu oleh seorang teman, tetapi pembunuhan bayi baru lahir selalu merupakan suatu perbuatan yang dilakuakn oleh seorang wanita yang belum menikah dengan tidak ada saksi. Kebanyak palaku merupakan wanita yang masih muda dan belum menikah. Beberapa tuntutan tidak didapatkan mereka pada saat hamil sampai mereka melahirkan. Tujuannya adalah untuk merahasiakan kenyataan bahwa mereka telah melahirkan bayi atau membuang anak yang tidak diinginkan.

Penemuan bayi yang telah meninggal pada tukang jahit, tempat samaph, dan kamar mandi umum merupakan tempat yang umum ditemukan pada daerah metropolitan. Bayi ini merupakan korban pembunuhan bayi baru lahir atau lahir mati. Ibu tersebut selalu merupakan seseorang yang menelantarkan anak. Apabila dilihat, pembelaannya selalu bahwa bayi lahir mati; ia panic dan cenderung pada tubuh. Jadi, dalam kasus yang dicurigai pembunuhan bayi baru lahir, fakta pertama apakah bayi hidup pada saat dilahirkan. Hal ini merupakan salah satu hal yang paling susah dilakukan. Adanya susu atau sedikit makanan dalam lambung akan menunjukkan bahwa bayi lahir hidup. Sayangnya, dalam kasus pembunuhan bayi baru lahir, pembunuhan selalu terjadi segera setelah bayi dilahirkan dan tidak ditemukan adanya susu atau bahan makanan dalam lambung.

Dasar pemeriksaan untuk menentukan apabila anak telah bernapas biasanya menggunakan tes hidrostatik. Tes ini terdiri dari penentuan apakah paru-paru terapung di air. Apabila paru-paru tenggelam, bayi tersebut dianggap lahir mati, dan apabila paru-paru terapung, bayi tersebut dianggap lahir hidup. Terdapat permasalahan dengan pemeriksaan ini. Apabila telah terjadi pembusukkan,

Page 20: PBL sk 2 Medikolegal.doc

kemudian, meskipun lahir mati, paru-paru mungkin akan terapung. Kedua, beberapa anak yang dilahirkan hidup hanya sedikit bernapas dan tidak dicampuri dengan gas di paru-paru cukup untuk terapung. Oleh karena kedua hal tersebut, dokter memilih untuk melakukan pemeriksaan mikroskopik pada paru-paru. Apabila alveoli mengalami colaps, kemudian hal ini dianggap bahwa anak tidak dicampuri dengan gas. Apabila adanya penekanan yang sempurna dan seragam (kemungkinan oleh udara), dimana anak dengan nyata telah bernapas. Sayangnya, pemeriksaan mikroskopik lebih tidak akurat dibandingkan dengan tes hidrostatik. Apabila telah diberikan resusitasi, kemungkinan terdapatnya distensi pada jalan napas dan alveoli oleh udara dan hal ini tidak mungkin untuk menentukan apakah anak tersebut lahir hidup atau lahir mati. Satu dari beberapa penulis mempunyai suatu kasus seorang anak yang meninggal 10 jam intrauterine, pada pemeriksaan mikroskopik paru-paru, ditunjukkan distensi yang seragam pada semua alveoli, yang mana sesuai dengan anak yang bernapas selama berapa lama. Meskipun paru-paru tidak terapung.

Pada saat sekarang, penulis lebih percaya pada pemeriksaan hidrostatik. Kita tentukan apabila kedua paru terapung in toto dan kemudian kita mencoba bagian terapung dari paru-paru. Apabila semuanya terapung, berdasarkan pendapat kami, anak bernapas dan oleh karena itu lahir hidup. Hal ini, tentunya, asumsikan bahwa tidak ada percobaan resusitasi dan bahwa tidak ada pembusukan. Penemuan lain digunakan untuk menentukan apakah anak yang hidup mempunyai petekie pada paru-paru atau jantung dan udara dalam lambung pada pemeriksaan radiologi. Tidak ada dari criteria ini bernilai valid. Petekie tidak spesifik dan dapat terjadi dari stress intrauterin, dan udara dalam lambung dapat terjadi karena usaha pernapasan seperti pada bayi yang lahir melalui jalan lahir.

Saat telah ditentukan bahwa bayi lahir hidup, kemudian setelah itu tentukan bagaimana bayi tersebut dibunuh. Metode pembunuhan yang paling sederhana, paling tepat, dan paling umum pada usia ini adalah dengan cara mati lemas (suffocation). Tindakan ini dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan tangan pada seluruh wajah, oleh karena sumbatan pada hidung dan mulut dengan suatu benda seperti bantal, atau memasukkan anak ke dalam kantong plastik. Metode yang paling jarang dilakukan adalah dengan cara pencekikan, memasukkan tissue toilet ke dalam mulut, menenggelamkan anak ke dalam toilet, melemparkan anak dari suatu bangunan, dan dengan bebas, dengan kematian disebabkan oleh kurangnya perhatian.

Kematian yang mungkin tidak disengaja yang mana ibu menempatkan anak pada daerah dimana ia mengahrapkan untuk ditemukan, tetapi tidak untuk beberapa alasan, atau perubahan yang radikal dari kondisi lingkungan (seperti suhu). Pada suhu yang sedang, bayi baru lahir dapat bertahan hidup selama 7 – 10 hari tanpa makanan atau minuman. Hal ini diilustrasikan pada saat gempa bumi di Mexico City pada bulan September 1985 dimana 44 bayi baru lahir terkubur dalam puing-puing ketika rumah sakit runtuh.

Metode pembunuhan yang lebih kejam dilakukan pada anak yang lebih tua yang jarang digunakan pada bayi baru lahir. Orang-orang umumnya tidak memukul kepala kearah dinding atau menghentakkan kaki bayi. Sayangnya, suffocation pada bayi baru lahir selalu tidak meninggalkan tanda fisik. Jadi, ahli patologi dapat membuat diagnosis ini hanya apabila ibu meninggalkan bayi di dalam kantong plastic, meninggalkan tissue toilet di dalam mulut, atau adanya pengakuan. Apabila hal ini tidak terjadi, maka seseorang hanya dapat memikirkan sebagai penyebab kematian.

Apabila tubuh bayi baru lahir ditempatkan pada atmsofer kering hangat, hal ini sering menyebabkan terjadinya mumifikasi. Keadaan ini ditambah oleh kondisi bebas bakteri pada bayi baru lahir. Bayi yang mengalami mumifikasi kadang-kadang ditemukan di peti di atas loteng dan dibawah lantai pada sebuah rumah tua.

Pembunuhan Bayi dan Pembunuhan Anak

Pada masa yang lalu pada beberapa hari pertama kehidupan, metode yang digunakan untuk melakukan pembunuhan berubah secara radikal. Sebagai tambahan, ibu yang diikutsertakan oleh suami, teman laki-laki, atau babysitter kemungkinan sebagai pelaku. Kebanyakan pembunuhan anak terjadi pada dua tahun pertama kehidupan, terutama pada tahun pertama, dengan penurunan secara bertahap pada tahun kedua. Pada tahun 1999, sebanyak 280 anak antara umur 1 – 4 tahun dibunuh di

Page 21: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Amerika Serikat. Senjata yang paling sering digunakan adalah tangan, kaki, dan kepalan, sebanyak 123 kasus; senjata api, sebanyak 39 kasus; benda tajam, sebanyak 33 kasus; asfiksia dan pencekikan, sebanyak 16 kasus dan pisau, sebanyak 10 kasus; benda yang lain dan tidak disebutkan, sebanyak 59 kasus.

Pembunuhan pada anak yang muda dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Terdapat kategori klasik anak dibenturkan berulang-ulang, dengan variasinya anak dibuang atau dibuat kelaparan; kategori pembunuhan “impulse” atau “angry”, dengan variasinya anak “punished” (sering anak-anak dengan luka bakar); dan pembunuhan “gentle”, pembekapan, dengan variasi lain berbentuk Munchausen’s Syndrome oleh Proxy. Terdapat juga bermacam-macam kategori untuk kematian yang tidak cocok dengan kategori apapun.

Berlawanan pada apa yang telah disimpulkan dari bacaan literatur medical klinik dan pers terkenal, kematian anak tidak selalu melibatkan sindrom bayi dengan kategori klasik yang dibenturkan berulang-ulang, tetapi lebih sesuai dengan pembunuhan kategori “impulse” atau “angry”. Berdasarkan pengalaman penulis, pembunuhan anak paling tinggi pada kategori ini.

Pada 184 kasus pembunuhan yang berurutan pada anak berusia 5 tahun atau yang lebih muda yang dibunuh karena perlukaan akibat kekerasan tumpul, dalam 10% kasus, anak tersebut menunjukkan secara pasti tidak adanya bukti perlukaan eksternal. Sisanya, perlukaan eksternal terdapat relative ringan dan diikuti hingga kepala dan leher. Pada 184 anak, sebanyak 42,4% berusia 12 bulan atau kurang, sebanyak 78,3% berusia 24 bulan kurang. Perlukaan kraniocerebral dihitung sebanyak 64,1%, perlukaan perut sebanyak 23,4%, perlukaan perut dan kepala sebanyak 4,4%, dan pelukaan pada dada, perut dan kepala sebanyak 2,2% (Tabel 12.2). Apabila menghubungkan umur dengan penyebab kematian:

Pada anak usia 12 bulan atau kurang, dimana perlukaan terbatas pada kepala dijumlahkan sebanyak 85,8% dari kematian, masing-masing sebanyak 2,6% pada setiap perlukaan dada dan perut, dan sebayak 2,6% untuk perlukaan pada kepala, dada dan perut.

Berbeda, pada anak usia 13 – 24 bulan yang perlukaan berat yang terbatas pada kepala berjumlah 53% dari kematian dan perlukaan perut saja sebanyak 34,9%.

Jadi, semakin meningkatnya usia anak, perlukaan di perut menjadi lebih umum sebagai penyebab kematian.

Pada anak yang meninggal karena perlukaan kepala, penemuan yang paling sering adalah hematom subarachnoid atau hematom subdural dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak. Penulis memperlihatkan rangkaian kematian anak yang muda dimana terdapat perdarahan epidural, subdural, atau subarachnoid atau kombinasi dari semuanya. lima kasus hematom epidural semua menunjukkan adanya fraktur. Pada empat anak yang hanya dengan perdarahan subarachnoid, satu anak tidak menunjukkan adanya fraktur. Pada 39 anak yang meninggal dengan hematom subdural, (pada empat kasus bilateral), 17 kasus (43,6%) tidak menunjukkan adanya fraktur tulang tengkorak. Pada empat kasus dengan hematom subdural bilateral terdapat adanya fraktur tulang tengkorak. Fraktur pada tulang tengkorak tampak lebih sering dihubungkan dengan hematom subdural bilateral dan perdarahan subarachnoid dibandingkan dengan hematom subdural pada satu sisi.

Pada anak yang meninggal dengan adanya perlukaan di perut, sebanyak 43% tidak menunjukkan adanya bukti perlukaan eksternal pada dinding perut, meskipun demikian semua menunjukkan adanya bukti trauma eksternal. Dari semua anak-anak ini, sekitar 80% meninggal sebagai akibat laserasi pada hati dengan atau tanpa dihubungkan dengan laserasi pada mesenterium, usus, limpa dan pancreas. 20% sisanya menunjukkan laserasi pada mesenterium, duodenum, pancreas dan limpa.

Page 22: PBL sk 2 Medikolegal.doc

Pada anak yang meninggal akibat perlukaan kekerasan tumpul, selalu terdapat adanya luka memar dan luka lecet yang banyak pada tubuh, yang baru dan mengalami penyembuhan, paling sering di kepala. Luka robek, luka bakar dan bentuk perlukaan disebabkan oleh ikat pinggang, gantungan jas, dan tongkat mungkin juga ada. Garis parallel pada luka memar garis yang mempunyai batas yang mirip dengan ikat pinggang atau tongkat; Tanda bentuk loop member kesan sebagai suatu gantungan jas atau kawat listrik (Gambar 12.1). Luka memar mungkin sangat susah dilihat, khususnya pada anak-anak dengan kulit yang gelap. Oleh sebab itu, keadaan ini memberikan kesan bahwa potongan panjang terbentuk di bagian punggung, bokong, dan ekstremitas menunjukkan adanya perdarahan pada jaringan lunak (Gambar 12.2). Bagian dalam dari mulut akan selalu diperiksa adanya luka robek dan luka memar pada bagian frenulum, gusi dan bibir, seperti pada gigi yang dicabut yang mungkin disebabkan oleh pukulan kearah mulut (Gambar 12.3).

Pada suatu percobaan, pembelaan pengacara mungkin dianggap perlukaan wajah, bibir, dan gusi percobaan resusitasi. Sementara beberapa perlukaan kecil pada bibir dapat terjadi dengan resusitasi, luka lecet multiple dan luka memar pada wajah tidak terjadi. Satu dari penulis (DJD) diperiksa 123 tubuh anak yang telah dilakukan resusitasi kardiopulmonal. Tidak ditunjukkan luka lecet dan luka memar multiple disekitar wajah dan leher yang tampak pada anak disekitar muka.