PBL empatblas

40
BAB I PENDAHULUAN Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang di tandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, di mana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik klasik AR adalah poliartritis sistemik yang terutama mengenai sendi- sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ di luar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas. Menegakan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat menurunkan progresifitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas, dan disabilitas. Morbiditas dan mortalitas AR berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi. Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan DMARD biologik, memberi harapan baru dalam penatalaksanaan penderita AR. 1,2

description

makalah blok empat belas

Transcript of PBL empatblas

Page 1: PBL empatblas

BAB I

PENDAHULUAN

Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang di tandai oleh inflamasi

sistemik kronik dan progresif, di mana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik

klasik AR adalah poliartritis sistemik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan

dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ di luar

persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat

adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya

komorbiditas. Menegakan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat menurunkan

progresifitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan piramid terbalik

(reverse pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan

penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas,

dan disabilitas. Morbiditas dan mortalitas AR berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi.

Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan DMARD biologik, memberi harapan baru

dalam penatalaksanaan penderita AR.1,2

Page 2: PBL empatblas

Analisis Masalah

Hipotesis

Nona O, 21 tahun, diduga menderita R.A

Nyeri bengkak pada jari dan pergelangan tangan di sertai kaku pada pagi hari

Pemeriksaan Working Diagnosis

Differential Diagnosis

Etiologi

Komplikasi

Prognosis

Terapi

Patofisiologi Epidemiologi

Medikamentosa

Non Medikamentosa

Umum

khusus Penunjang

Rontgent

Laboratorium

Anamnesis

Fisik

Page 3: PBL empatblas

BAB II

PENDAHULUAN

A. ANAMNESIS

i. Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnosis semua

penyakit, termasuk pula rematik. Sebagaimana biasanya diperlukan

riwayat penyakit yang deskriptif dan kronologis. Ditanyakan pula faktor

yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi

keluhan pasien.

ii. Umur

Penyakit rematik dapat menyerang semua umur, tetapi frekuensi setiap

penyakit terdapat pada kelompok umur tertentu. Misalnya osteoartritis

lebih sering ditemukan pada pasien usia lanjut dibandingkan usia muda.

Sebaliknya SLE lebih sering ditemukan pada wanita usia muda

dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.

iii. Jenis Kelamin

Misalnya pada RA yang lebih terserang yaitu perempuan, ada riwayat

keluarga yang menderita RA dan umur lebih tua.

iv. Nyeri Sendi

Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien rematik. Pasien sebaiknya

diminta menjelaskan lokasi nyeri serta punctum maximumnya karena

mungkin sekali nyeri tersebut menjalar ke tempat jauh merupakan

karakteristik yang disebabkan oleh penekanan radiks saraf. Pentingnya

untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis dengan

nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas akan

hilang setelah istirahat serta tidak timbul di pagi hari merupakan nyeri

mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari

saat bangun tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal

gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas.

Page 4: PBL empatblas

Pada artritis reumatoid, nyeri yang paling berat biasanya pada pagi hari,

membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam hari.

Sebaliknya pada osteoartritis, nyeri paling berat pada malam hari, pagi hari

terasa lebih ringan dan membaik di siang hari. Pada artritis gout, nyeri

yang terjadi biasanya berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi

hari, sedangkan pada malam hari sebelumnya pasien tidak merasakan apa-

apa, nyeri ini biasanya self limiting dan sangat resposif dengan

pengobatan. Nyeri malam hari terutama bila dirasakan seperti suatu

regangan merupakan nyeri akibat peninggian tekanan intra artikular akibat

suatu nekrosis avaskular atau kolaps tulang akibat artritis yang berat. Nyeri

yang menetap sepanjang hari (siang dan malam) pada tulang merupakan

tanda proses keganasan.

v. Kaku Sendi

Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk

menggerakan sendi. Keadaan ini biasanya akibat desakan cairan yang

berada di sekitar jaringan yang mengalami inflamasi (kapsul sendi,

sinovial, atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau setelah

istirahat. Setelah digerak-gerakan, cairan akan menyebar dari jaringan

yang mengalami inflamasi dan pasien merasa terlepas dari ikatan. Lama

dan beratnya kaku sendi pada pagi hari atau setelah istirahat biasanya

sejajar dengan beratnya inflamasi sendi ( kaku sendi pada artritis

reumatoid lebih lama dari osteoartritis, kaku sendi pada artritis reumatoid

berat lebih lama daripada yang ringan).

vi. Gejala Sistemik

Penyakit sendi inflamator baik yang disertai maupun tidak disertai

keterlibatan multisistem lainnya akan mengakibatkan peningkatan reaktan

fase akut seperti peningkatan LED atau CRP. Selain itu terkadang akan

disertai gejala sistemik seperti panas, penurunan berat badan, kelelahan,

lesu dan mudah terangasang.

Page 5: PBL empatblas

vii. Gangguan tidur dan depresi

Faktor yang berperan dalam gangguan pola tidur antara lain seperti nyeri

kronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti inflamasi nonsteroid (seperti

indometasin).3, 4,5

B. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik pada sistem muskuloskeletal meliputi inspeksi pada saat

diam / istirahat, inspeksi pada saat gerak, dan Palpasi. Yang dinilai dalam

pemeriksaan fisik antara lain:

i. Gaya Berjalan

Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel strike phase,

loading / stance phase , toe off phase dan swing phase. Pada heel strike

phase, lengan diayun diikuti gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri

dari fleksi sendi koksae dan ekstensi sendi lutut. Pada loading / stance

phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur melakukan rotasi ke

depan bersamaan dengan akhir gerakan tungkai pada heel strike phase.

Pada toe off phase, sendi koksae ekstensi dan tumit mulai terangkat dari

lantai. Pada swing phase, sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi

talokruralis.

Gaya berjalan abnormal meliputi gaya berjalan antalgik (Gaya berjalan

pada pasien artritis dimana pasien akan segera mengangkat tungkai yang

nyeri), Trendelenburg (Disebabkan oleh abduksi koksae yang tidak efektif

sehingga panggul kontralateral akan jatuh pada swing phase), Waddle gait

(Gaya berjalan tendelenburg bilateral sehingga pasien akan berjalan

dengan pantat bergoyang), Paraparetik Spastik (Kedua tungkai melakukan

gerakan fleksi dan ekstensi secara kaku dan jari-jari kaki mencengkeram

kuat sebagai usaha agar tidak jatuh), Paraparetik flaksid (Gaya berjalan

seperti ayam jantan), hemiparetik (tungkai yang kesemutan akan digerakan

ke samping baru diayun ke depan karena koksae dan lutut tidak dapat

difleksikan), ataktik (Kedua tungkai dilangkahkan secara bergoyang ke

depan dan ditapakkan ke lantai secara ceroboh secara berjauhan satu sama

Page 6: PBL empatblas

lain), parkinson (gerak berjalandilakukan perlahan, setengah diseret,

tertatih-tatih dengan jangkauan yang pendek-pendek), scissor gait (Gaya

berjalan dengan kedua tungkai bersikap genu velgum sehingga lutut yang

satu berada di depan lutut yang lain secara bergantian).

ii. Sikap / Postur Badan

Perlu diperhatikan bagaimana cara pasien menagtur posisi bagian badan

yang sakit. Sendi yang meradang biasanya mempunyai tekanan

intraartikular yang tinggi, oleh karena itu pasien akan berusaha

menguranginya dengan mengatur posisi sendi tersebut seenak mungkin,

biasanya dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal

dengan bantal. Pada sendi bahu dengan cara lengan diaduksi dan

endorotasi.

iii. Perubahan Kulit

Kelainan kulit sering menyertai penyakit rematik atau penyakit kulit sering

pula disertai dengan penyakit rematik. Kelainan kulit yang sering

ditemukan antara lain psoriasis dan eritema nodusum. Kemerahan disertai

deskuamasi pada kulit di sekitar sendi menunjukan adanya inflamasi

periartikular, yang sering pula merupakan tanda artritis septik atau artritis

kristal (gout).

iv. Kenaikan Suhu sekitar Sendi

Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan akan dirasakan

adanya kenaikan suhu di sekitar sendi yang mengalami inflamasi.

v. Bengkak Sendi

Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang.

Cairan sendi yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah

kapsul sendi yang resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk

yang khas pada tempat tersebut.

Page 7: PBL empatblas

vi. Nyeri Raba

Menentukan lokasi nyeri raba yang tepat merupakan hal yang penting

untuk menentukan penyebab keluhan pasien. Nyeri raba kapsular /

artikular terbatas pada daerah sendi merupakan tanda artropati atau

penyakit kapsular.

vii. Atrofi atau Penurunan Kekuatan Otot

Atrofi otot merupakan tanda yang paling sering ditemukan. Pada sinovitis

segera terjadi hambatan refleks spinal lokal terhadap otot yang bekerja

untuk sendi tersebut. Pada artropati berat dapat terjadi atrofi periartikular

yang luas. Sedangkan pada jepitan saraf, gangguan tendon atau otot terjadi

atrofi lokal. Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini lebih penting dari besar

otot.5

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Tes Serologi

i. Tes Faktor reumatoid (FR)

Faktor rematoid merupakan antibodi sendiri terhadap determinan antigenik

pada fragmen fc dari imunoglobulin. Imunoglobulin yang muncul dari

antibodi ini adalah igG, igM, igA, dan igE, tetapi yang diukur dalam faktor

rematoid ini umumnya adalah igM. Istilah reumatoid-nya diberikan karena

faktor ini kebanyakan muncul pada pasien artritis reumatoid.

Telah diketahui bahwa cairan sinovial reumatoid kaya akan igG-FR, igM-

FR, dan igA-FR. Jadi FR pada cairan sendi, kemungkinan besar diproduksi

secara lokal oleh limfosit-limfosit yang terletak dalam membran sinovial

ataupun cairan sendinya sendiri.

ii. Tes C-Reactive Protein (CRP)

CRP merupakan salah satu protein fase akut. CRP terapat dalam

konsentrasi rendah pada manusia. CRP adalah salah satu alfa globulin

yang timbul dalam serum setelah terjadinya proses inflamasi. CRP terdiri

atas berbagai ligan biologik berupa fosfokolin, fosfolipid dan lainnya yang

akan terpapar bila terjadi kerusakan jaringan.

Page 8: PBL empatblas

Adanya stimulus inflamasi akut, konsentrasi CRP akan meningkat secara

cepat dan mencapai puncaknya setelah 2-3 hari. Bila tidak ada stimulus

inflamasi, maka konsentrasi CRP serum akan menurun dengan paruh

waktu sekitar 18 jam. Peningkatan konsentrasi CRP dapat terjadi pada

artritis reumatoid, TBC, dan keganasan.

Pengukuran CRP berguna untuk menegakkan diagnosis dan

penatalaksanaan penyakit rematik seperti halnya pengukuran LED (Laju

Endap Darah).

Berikut ini adalah kondisi yang berhubungan dengan peningkatan CRP:

1. < 1 mg/dL Normal, pada kerja berat, kehamilan, stroke, kejang

2. 1-10 mg/dL Sedang, pada infark miokard, keganasan, pankreatitis,

penyakit rematik

3. > 10 mg/dL Tinggi, pada infeksi bakteri akut, trauma berat, dan

vaskulitis sistemik

iii. Tes Antinuclear Antibodies (ANA)

Antinuklear antibodi merupakan suatu kelompok autoantibodi yang

spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada

connective tissue dissease seperti SLE, sklerosis sistemik, mixed

connective tissue dissease dan sindrom sjorgen’s primer. Pada reumatoid

artritis pemeriksaan ini tidak spesifik.

b. Pencitraan / radiologi

i. Foto polos

Pemeriksaan foto polos merupakan titik tolak sebagian besar pemeriksaan

pencitraan penyakit reumatik walaupun mungkin setelah itu akan

dilakukan pemeriksaan MRI. Biayanya murah dan resolusi spatial tinggi,

sehingga detail trabekula dan erosi kecil tulang dapat dilihat dengan baik.

Meskipun resolusikontrasnya tidak sebaik CT-Scan ataupun MRI, foto

polos merupakan sarana yang berguna untuk menilai pengaruh massa

jaringan lunak terhadap tulang yang berdekatan atau untuk mendeteksi

kalsifikasi dalam jaringan lunak. Namun teknik ini tidak cocok untuk

mengevaluasi jaringan lunak (soft tissue).

Page 9: PBL empatblas

ii. Tomografi

Teknik ini sangat berguna untuk pemeriksaan daerah dengan anatomi yang

kompleks, dimana struktur yang berhimpitan akan mengaburkan gambaran

anatomi. Biasanya hampir sama dengan CT-Scan. Resolusi struktur tulang

sedikit lebih baik, sedangkan visualisasi jaringan lunak jauh lebih buruk.

Dalam prakteknya, teknik ini telah digantikan oleh CT-Scan.

iii. CT-Scan (Computed Tomography)

Meskipun relatif mahal, CT-Scan lebih murah daripada MRI. Resolusi

spasial lebih baik daripada MRI, tetapi lebih buruk daripada foto

konvensional. CT-Scan dapat memperlihatkan kelainan jaringan lunak

yang lebih baik daripada foto konvensional, walaupun tidak sebaik MRI.

CT-Scan merupakan teknik yang sangat baik untuk mengevaluasi penyakit

degenaratif diskus intervertebralis dan kemungkinan herniasi diskus pada

orang tua. Penekanan tulang pada kanalis spinalis dan foramen

intervertebralis lebih muda dievaluasi daripada MRI.

iv. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI membawa keuntungan besar bagi pencitraan muskuloskeletal karena

kesanggupannya memperlihatkan struktur jaringan lunak yang tidak dapat

diperlihatkan oleh pemeriksaan radiologi konvensional. Teknik ini

memperoleh informasi struktur berdasarkan densitas proton dalam jaringan

dan hubungan proton ini dengan lingkungan terdekatnya. MRI dapat

memberi penekanan pada jaringan atau status metabolik yang berbeda-

beda.

MRI relatif lebih mahal daaripada pemeriksaan pencitraan lain, terutama

karena harga peralatan dan waktu yang diperlukan untuk melakukan

pemeriksaan. Struktur jaringan lunak sendi seperti meniskus dan krusiatum

lutut dapat diperlihatkan dengan jelas. Jaringan sinovium juga dapat

dilihat, terutama dengan menggunakan bahan kontras paramagnetik

intravena seperti gadolinium. Demikian juga kelainan lain seperti efusi

sendi, kista poplitea, ganglioma, kista meniskus dan bursitis dapat dilihat

Page 10: PBL empatblas

dengan jelas dan integritas tendo dapat dinilai. MRI makin populer untuk

mengevaluasi ligamen antara tulang karpal dan fibrokartilago trianguler.

Kalsifikasi jaringan ikat terlihat tidak sebaik foto biasa karena pancaran

sinyal yang rendah. Mula-mula diduga bahwa tulang juga mempunya

pancaran sinyal yang rendah akan menimbulkan masalah, tetapi karena

sumsum tulang memiliki sinyal yang tinggi, MRI menjadi sangat sensitif

untuk mendeteksi kelainan tulang.

v. Sintigrafi / Radiografi Nuklir

Teknik ini merupakan cara mudah untuk melihat pola keterlibatan sendi

dan keadaan aktivitas penyakit. Sintigrafi diberikan intravena dengan

memasukan bahan seperti 99m Teknisium Metilen Difosfat untuk scan

tulang, 99Tc Sulfur koloid untuk scan sumsum tulang.

vi. USG (Ultrasonografi)

USG tampak menjanjikan untuk evaluasi osteoporosis. Hantaran

gelombang melalui tulang memberikan informasi mengenai struktur

mikrotrabekula yang berkaitan dengan kekuatan tulang, tetapi tidak dapat

dinilai langsung dengan teknik radiografi. USG juga telah dipakai untuk

menilai sifat permukaan rawan sendi.

vii. Artrografi

Pada artrografi diperlukan suntikan bahan kontras ke dalam sendi diikuti

oleh pemeriksaan radiologi. Pada artrografi konvensional , ruang sendi

diisi dengan bahan kontras yang mengandung yodium dan kadang-kadang

udara. Biaya pemeriksaan lebih murah dibandingkan CT-Scan dan MRI

dan dapat dilakukan jika tersedia fluoroskopi. Tetapi kemungkinan

masuknya bakteri ke dalam sendi ataupun reaksi terhadap bahan kontras

dan anestesi lokal harus dipertimbangkan.

Salah satu alasan utama melakukan artrografi adalah untuk memeriksa

struktur dalam sendi seperti meniskus sendi lutut yang tak dapat dilihat

dengan pemeriksaan radiologi konvensional. Artrografi dengan kontras

digunakan untuk memastikan lokasi jarum intraartikuler setelah aspirasi

Page 11: PBL empatblas

cairan sendi dari sendi yang diduga terinfeksi. Artrografi merupakan satu-

satunya cara yang dapat diandalkan untuk memastikan asal spesimen.

viii.Densitometri Tulang

Densitometri tulang digunakan terutama untuk mengevaluasi osteoporosis.

Dua teknik akurat yang telah dipergunakan secara luas adalah dual energy

x-ray absorptiometry (DEXA) dan quantitive computed tomography

(QCT). Keuntungan teknik ini adalah dapat mengevaluasi bagian tengah

vertebra karena korteks dan bagian posterior vertebra tidak diukur. Bagian

trabekular lebih cepat terpengaruh dibandingkan dengan korteks pada

waktu terjadi kehilangan massa tulang.

ix. Angiografi

Angiografi berguna dalam mendiagnosis penyakit reumatik dimana

terdapat komponen vaskular, misalnya pada SLE angiografi bermanfaat

dalam mendiagnosis keterlibatan susunan saraf pusat.

w. Pemilihan Pemeriksaan Radiologi

Hampir semua pemeriksaan pencitraan dimulai dengan foto polos. Jika

diperlukan informasi diagnostik lain yang mungkin akan mengubah

tindakan klinis, MRI sering merupakan pilihan kedua. Pada kebanyakan

kasus, hasil pemeriksaan MRI harus dikorelasikan dengan foto polos

karena MRI tidak dapat memperlihatkan kalsifikasi atau erosi ringan pada

korteks.5,6

Pemeriksaan Khusus

a. Artrosentesis

Merupakan teknik pengambilan cairan sendi (aspirasi) yang harus disesuaikan

dengan lokasi anatomi dan ukuran sendi. Pemeriksaan artrosentesis

diindikasikan (diagnostik) untuk membantu diagnosa artritis, memperbaiki

fungsi gerak persendian, dan digunakan selama pengobatan artritis septik

secara serial untuk menghitung jumlah leukosit, pengecatan gram dan kultur

cairan sendi. Sedangkan indikasi terapeutik pemeriksaan artrosentesis adalah

Page 12: PBL empatblas

pemberian kortikosteroid intraartikular yang bertujuan untuk membantu terapi

fisik pada kontraktur sendi, menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat,

mempersingkat periode nyeri pada artritis gout, dan mengontrol inflamasi

steril pada sendi (bila obat non steroid telah gagal, kemungkinan akan gagal

atau kontraindikiasi).

Kontraindikasi diagnostik artrosentesis ialah apabila terdapat infeksi

jaringan lunak yang menutupi sendi, bakteremi, secara anatomis tidak dapat

dilakukan (fraktur intra artikuler, sendi yang tidak stabil), dan pasien tidak

kooperatif. Kontraindikasi terapeutik artrosentesis meliputi instabilitas

sendi, nekrosis avakular, artritis septik, dan telah kontraindikasi diagnostik.

b. Tes Makroskopis

Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan pemeriksaan bedside.

Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menentukan cairan sendi tersebut

termasuk dalam kelompok apa. Dalam pemeriksaan makroskopis, cairan sendi

dibedakan menjadi 5 macam kelompok. Kelompok 1 – Normal, Kelompok 2 –

Non Inflamasi, kelompok 3 – Inflamasi, Kelompok 4 – Purulen, dan kelompok

5 – Hemoragik. Diagnosis spesifik jarang bisa ditentukan hanya berdasarkan

pemeriksaan makroskopis saja. Dalam pemeriksaan makroskopis cairan sendi,

yang dilihat meliputi volume, viskositas, kejernihan dan warna, bekuan musin,

dan polimorfonuklear.

i. Volume

Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan sendi, bahkan

pada sendi besar seperti lutut hanya mengandung 3-4 mL cairan sinovial.

ii. Viskositas

Cairan sendi normal sangat kental karena tingginya konsentrasi polimer

hyaluronat. Asam hyaluronat merupakan komponen non protein utama

cairan sinovial dan berperan penting pada lubrikasi cairan sinovial. Pada

penyakit sendi inflamasi , asam hyaluronat rusak dan menurunkan

viskositas cairan sendi. Viskositas merupakan penilaian tidak langsung

dari konsentrasi asam hyaluronat dalam cairan sinovial. Penilaian

viskositas cairan sendi dilakukan dengan pemeriksaan “string test” , yaitu

Page 13: PBL empatblas

melihat cairan sendi pada saat dialirkan dari spuit ke tabung gelas. Pada

cairan sendi normal akan dapat membentuk juluran (string out) 7-10 cm

lebih. Pemeriksaan lain adalah dengan menggunakan viscometer.

iii. Warna dan Kejernihan

Cairan sendi yang normal tidak berwarna ( seperti air atau putih telur).

Pada sendi inflamasi , jumlah leukosit dan eritrosit pada cairan sinovial

meningkat. Eritrosit pada sinovial selanjutnya akan mengalami kerusakan

dan akan memberikan warna kekuningan (xantokrom) pada sendi

inflamasi. Leukosit akan membuat warna cairan sendi menjadi putih ,

sehingga semakin tinggi jumlah leukosit cairan sendi akan berwarna putih

seperti susu. Selain dipengaruhi oleh jumlah eritrosit dan leukosit, warna

cairan sendi juga dipengaruhi oleh kuman dan kristal yang ada dalam

cairan sendi. Staphylococcus aureus akan memberikan pigmen keemasan,

serratia marcescens akan memberikan warna kemerahan dan kristal

monosodium urat akan memberikan warna putih seperti susu.

iv. Bekuan

Cairan sinovial mengandung sedikit sekali kandungan protein pembekuan

seperti fibrinogen , protombin, fakto V, fakto VII dan tromboplastin

jaringan sehingga cairan sinovial normal tidak membeku. Tetapi pada

kondisi inflamasi membran dialisat sendi mnjadi rusak sehingga protein

berat molekul yang lebih besar seperti protein-protein pembekuan akan

menerobos masuk ke cairan sinovial, sehingga cairan sinovial pada

penyakit sendi inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknuya

bekuan tergantung dengan derajat inflamasi sinovial.

v. Bekuan Musin

Pemeriksaan bekuan musin juga merupakan pemeriksaan untuk menilai

konsentrasi polimer asam hyaluronat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan

cara menambahkan 1 bagian sendi ke dalam 4 bagian asam asetat 2 %.

Pada cairan sendi normal atau kelompok 1 akan membentuk bekuan,

sedangkan pada cairan sendi kelompok III dan IV (Inflamasi dan purulen)

akan terbentuk bekuan yang buruk atau kurang baik.

Page 14: PBL empatblas

c. Tes Mikroskopis

i. Jumlah dan Hitung Leukosit

Pemeriksaan jumlah dan hitung sel leukosit sangat membantu dalam

mengelompokan cairan sendi. Paling tidak pemeriksaan ini dapat

membedakan kelompok inflamasi dan non inflamasi. Pada cairan sendi

kelompok II seperti artritis reumatoid, jumlah leukosit umumnya 3000 –

50000 sel / mL sedangkan pada kelompok III , jumlah leukosit biasanya >

50000 / mL. Pada cairan sendi normal, umumnya PMN < 25 %, sedangkan

pada kelompok inflamasi PMN umumnya lebih dari 70%.

ii. Kristal

Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan basah segera setelah

aspirasi cairan sendi. Kristal monosodium urat (MSU) dapat diperiksa

dengan mikroskop cahaya biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik

memerlukan polarisasi. Kristal MSU berbentuk batang dengan ukuran

sekitar 40 µm (4 x leukosit). Kristal ini sangat berpendar sehingga pada

mikroskop polarisasi tampak sangat terang.

d. Tes Mikrobiologi

Artritis septik harus selalu dipikirkan terutama pada artritis inflamasi yang

terjadi bersama dengan infeksi di tempat lain (misalnya endokarditis,

selulitis, pneumonia) atau sebelumnya terdapat kerusakan sendi serta pada

pasien-pasien diabetes pasca transplantasi. Pada pengelompokan cairan

sendi, artritis septik termasuk dalam kelompok III, yang jumlah leukositya

umumnya lebih dari 50000/mL. Tetapi kadang-kadang cairan sendi septik

dapat memberi gambaran sebagai kelompok II, sebaliknya cairan sendi

kelompok III dapat juga terjadi pada artritis inflamasi non infeksi seperti

pada gout. Pada umumnya pengecatan gram dan kultur bakteri cukup

untuk analisis cairan sendi, tetapi beberapa pengecatan dan biakan pada

media khusus saangat membantu pada kondisi tertentu misalnyab

mycobacterium tuberkulosis dan jamur.6

Page 15: PBL empatblas

e. Tes Kimia

i. Tes Glukosa

Tes glukosa sendi harus dilakukan dengan tes glukosa darah untuk

membandingkan peningkatan glukosa pada pasien tersebut pada saat itu.

Tes ini dibagi menjadi 4 kelompok , yakni Normal (apabila perbedaan

antara glukosa serum dan glukosa cairan sendi < 10 mg%), Non

Inflamatorik (Perbedaan < 10 mg%), kelompok inflamatorik ( pada artritis

reumatoid rata-rata 12 mg%, Faktor reumatoid : perbedaan 6 mg%), dan

kelompok septik (Pada artritis tuberkulosa dapat mencapai 57 mg% dan

pada Artritis gonore dapat mencapai 26 mg%)

ii. Laktat dehidrogenase

Nilai normal sekitar 100 – 190 U/L. Meningkat pada reumatoid artritis ,

gout , dan artritis karena infeksi.5,6

D. ETIOLOGI

1. Kompleks Histokompatibilitas Utama Kelas II (MHC Class II)

Bukti terkuat menunjukan bahwa Artritis Reumatoid memiliki predisposisi

genetik diketahui dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks

histokompatibilitas utama kelas II (MHC Class II Determinants), khususnya HLA-

DR4 dengan Artritis Reumatoid Seropositif. Data dari beberapa penelitian

menunjukan bahwa pasien yang mengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif

25% untuk menderita penyakit ini.

2. Hubungan Hormon Seks dengan Artritis Reumatoid

Prevalensi Artritis Reumatoid diketahui 3 kali lebih banyak diderita kaum wanita

dibandingkan kaum pria. Resiko ini dapat mencapai 20% pada wanita dalam usia

subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai pada pasien artritis reumatoid

yang sedang hamil.

3. Faktor Infeksi Sebagai Penyebab Artritis Reumatoid

Sejak tahun 1930, faktor infeksi telah diduga merupakan penyebab artritis

reumatoid. Pada saat itu, Nanna Svartz seorang ahli dari Swedia telah

Page 16: PBL empatblas

menciptakan Sulfasalazine yang terdiri dari 2 gabungan konstituen kimia yakni

Sulfapiridin yang bersifat antimikroba dan asam 5-aminosalisilat yang memiliki

khasiat seperti obat antiinflamasi non steroid. Dugaan faktor infeksi sebagai

penyebab artritis reumatoid juga timbul karena umumnya penyakit ini timbul

secara mendadak disertai gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian,

timbul dugaan kuat bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan oleh

tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen tunggal atau beberapa

antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab artritis

reumatoid antara lain adalah bakteri, mycoplasma, dan virus. Walaupun hingga

saat ini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan

sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu

komponen peptidoglikan atau endotoksin dari mikroorganisme yang dapat

mencetuskan terjadinya artritis reumatoid.

Pada percobaan binatang telah terbukti bahwa mycoplasma arthritidis dapat

menimbulkan gejala artritis pada kelinci dan virus HTLV-1 dapat menimbulkan

artropati inflamatif pada tikus. Pada manusia, gejala artritis dapat juga dijumpai

pada pasien hepatitis virus B dan demam reumatik. Pada pasien yang mengalami

infeksi Epstein Barr Virus (EBV), seringkali dijumpai gejala artralgia, walaupun

jarang dijumpai gejala artritis yang jelas. Infeksi virus rubela dapat pula

menimbulkan berbagai manifestasi artikular, yang walupun jarang dapat pula

menimbulkan gejala poliartritis simetris kronik.1,2,3

E. EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

epidemiologi

Artritis Reumatoid umumnya dijumpai pada wanita. Prevalensi artritis reumatoid

diketahui 3 kali lebih banyak diderita kaum wanita dibandingkan kaum pria. Rasio ini

dapat mencapai 5 : 1 pada wanita dalam usia subur.

Faktor resiko

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain

jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih

tua, paparan salisilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari,

Page 17: PBL empatblas

khusus kopi decaffeinated mungkin juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D,

konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan

resiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang

bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah

melahirkan.1,2

F. PATOFIOLOGI

Membran syinovial pada pasien rheumatoid arthritis mengalami hiperplasia,

peningkatan vaskulariasi, dan ilfiltrasi sel-sel pencetus inflamasi, terutama sel T

CD4+. Sel T CD4+ ini sangat berperan dalam respon immun. Pada penelitian terbaru

di bidang genetik, rheumatoid arthritis sangat berhubungan dengan major-

histocompatibility-complex class II antigen HLA-DRB1*0404 dan DRB1*0401.

Fungsi utama dari molekul HLA class II adalah untuk mempresentasikan antigenic

peptide kepada CD4+ sel T yang menujukkan bahwa rheumatoid arthritis disebabkan

oleh arthritogenic yang belim teridentifikasi. Antigen ini bisa berupa antigen eksogen,

seperti protein virus atau protein antigen endogen. Baru-baru ini sejumlah antigen

endogen telah teridentifikasi, seperti citrullinated protein dan human cartilage

glycoprotein 39.

Gambar 1. Peran sitokin dalam patogenesis artritis reumatoid

Antigen mengaktivasi CD4+ sel T yang menstimulasi monosit, makrofag dan

syinovial fibroblas untuk memproduksi interleukin-1, interleukin-6 dan TNF-α untuk

mensekresikan matrik metaloproteinase melalui hubungan antar sel dengan bantuan

Page 18: PBL empatblas

CD69 dan CD11 melalui pelepasan mediator-mediator pelarut seperti interferon-γ dan

interleukin-17. Interleukin-1, interlukin-6 dan TNF-α merupakan kunci terjadinya

inflamasi pada rheumatoid arthritis.

Arktifasi CD4+ sel T juga menstimulasi sel B melalui kontak sel secara langsung dan

ikatan dengan α1β2 integrin, CD40 ligan dan CD28 untuk memproduksi

immunoglobulin meliputi rheumatoid faktor. Sebenarnya fungsi dari rhumetoid faktor

ini dalam proses patogenesis rheumatoid arthritis tidaklah diketahui secara pasti, tapi

kemungkinan besar rheumatoid faktor mengaktiflkan berbagai komplemen melalui

pembentukan immun kompleks.aktifasi CD4+ sel T juga mengekspresikan

osteoclastogenesis yang secara keseluruhan ini menyebabkan gangguan sendi.

Aktifasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga menstimulasi angiogenesis sehingga

terjadi peninkatan vaskularisasi yang ditemukan pada synovial penderita rheumatoid

arthritis.1,2

G. GEJALA KLINIS

H. DIAGNOSIS

Diagnosis kerja (DIAGNOSIS WORKING)

Artritis Reumatoid

Artritis Reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi kronik dengan manifestasi utama

poliartritis progresif yang melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada

pasien-pasien artritis reumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut

sesuai dengan sifat progresivitasnya. Pasien dapat pula menunjukan gejala

konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah, atau gangguan nonartikular lain.

Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya

sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan

persendian,seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar pasien

menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul. Walaupun faktor genetik,

Page 19: PBL empatblas

hormon seks, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan

pola morbiditas penyakit ini, hingga saat ini, etiologi artritis reumatoid yang

sebenarnya tetap belum dapat diketahui secara pasti.

Diagnosis banding (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)

Penyakit reumatik yang selalu menimbulkan positif palsu dengan reumatik arthritis

adalah:

Ciri-ciri Osteoathritis SLE Athritis Gout Rheumatoid

Athritis

Nyeri + + + +

Kristal - - + -

LED Normal + - + tinggi

CRP - - + tinggi + tinggi

F.Reumatoid Normal - - +

ANA Normal + - +

Inlamasi + + - +

Merah + + - +

Erosi - - - +

Cairan sendi Normal Normal + warna susu

kental

+ tidak jernih

Ada sekitar 200 jenis penyakit artritis, namun yang umum dikenal adalah jenis artritis

reumatoid, osteoatritis dan artritis pirai (gout).

Jenis penyakit artritis yang sering dijumpai antara lain:

Artritis reumathoid

Page 20: PBL empatblas

Adalah suatu penyakit inflamasi sistematik yang paling sering dijumpai, menyerang

sekitar 1% populasi dunia. Penyakit ini menyebabkan sinovitis, nyeri, kerusakan

sendi, dan gangguan fungsional. Dikarenakan kerusakan sendi yang ditimbulkan tidak

dapat diperbaiki, hal ini dapat dicegah dengan intervensi pada bulan pertama setelah

terserang penyakit. Artritis reumatoid menyerang persendian kecil. Penyebabnya

sejenis virus dan juga faktor genetik. Terapi yang diberikan dengan pemberian obat

anti inflamasi non steroid untuk menghilangkan nyeri.

Berbagai keadaan yang menyerupai artritis reumatoid seperti :

1. pseudogout, 2. demam reumatik, 3. osteoatritis, 4. Spondilitis ankilosing , 5.

Penyakit lyme, 6. artritis gonokokal, 7. atritis psoriatic, 8. sindroma reiter, 9. gout

Artritis pirai (gout), penyebab utama

penyakit ini adalah hiperurisemia atau

kelebihan asam urat dalam darah. Biasanya

menyerang ibu jari kaki, dan sering muncul

pada tengah malam. Penyakit ini umumnya

menyerang orang dengan gaya hidup yang

tidak sehat, terkait pula oleh pola makan

seseorang. Misalnya orang yang sering mengonsumsi jerohan, ikan laut,

mengonsumsi alkohol dan berbagai makanan yang tinggi purin (seperti bayam,

buncis, jamur, asparagus, ragi). Penderita disarankan mengkonsumsi makanan rendah

purin seprti buah-buahan, sereal, gelatin, susu, gula, telur, tepung, mentega.

Osteoartritis, penyakit ini merupakan

penyakit artritis kronik yang angka

kejadiannya meningkat seiring dengan

bertambahnya umur oleh karna itu disebut

penyakit degeneratif sendi sinovial. Terdapat

kerusakan kartilago hialin disertai sklerosis,

pembentukan kista dan osteofit pada tulang

subkondral yang mendasari, dan penyempitan

rongga sendi. Ada dua jenis osteoartritis, yaitu osteoartritis primer (tidak diketahui

penyebabnya), dan osteoartritis sekunder (pencetusnya adalah penyakit lain).Baik RA

Page 21: PBL empatblas

maupun OA, keduanya menyebabkan terjadinya radang sendi sehingga

mengakibatkan nyeri (hebat), kaku, kerusakan jaringan sendi dan hilangnya fungsi.

Pada dasarnya RA sangat berbeda dengan OA, RA adalah penyakit autoimun, artinya,

sistem imun tubuh menyerang jaringan sehat sehingga mengakibatkan rusaknya sendi,

inflamasi kronik yang ditambah dengan rusaknya organ-organ lain dan sistem organ.

RA cenderung muncul pada usia yang lebih muda, dan tidak terbatas pada sendi-sendi

penyangga (berat) tubuh. Sebaliknya pada OA, rusaknya sendi dikarenakan oleh

penggunaan dan usia, OA biasanya menyerang sendi penyangga (berat) tubuh, tidak

menyerang organ-organ lain, dan biasanya berkaitan dengan bertambahnya usia. 5,6,7

I. PROGNOSIS

Pada pasien harus diberitahukan bahwa semakin lama diagnosis artritis reumatoid

tidak dapat ditegakkan dengan pasti oleh seorang dokter yang berpengalaman,

umumnya akan semakin baik pula prognosis artritis reumatoid yang dideritanya.1

J. KOMPLIKASI

Kelainan sistem pencernaan yang paling sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus

peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid

(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit / disease modifying antirheumatoid

drugs (DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada

artritis reumatoid.

Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan efek yang jelas, sehingga sukar

dibedakan antara lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan

mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat

vaskulitis.1

K. PENATALAKSANAAN

1. Medika Mentosa

a. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi rasa nyeri akibat inflamasi yang

sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan :

i. Aspirin

Page 22: PBL empatblas

ii. Ibuprofen, Naproksen, Piroksikam, Diklofenak, dan sebagainya

OAINS bekerja dengan cara memungkinkan stabilitas membran

lisosomal, Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi

(seperti histamin, serotonin, enzim lisosomal, dan enzim lainnnya),

Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan, Menghambat proliferasi

selular, Menetralisasi Radikal Oksigen, dan Menekan rasa nyeri.

b. Disease Modifying Antirheumatoid Drugs (DMARD)

DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses

destruksi akibat artritis reumatoid. Khasiatnya baru terlihat setelah 3-12

bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan

reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada

pertimbangan resiko dan manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan

setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan atau bila respon OAINS

tidak baik. Jenis DMARD yang umumnya digunakan ialah :

i. Klorokuin

Paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun

efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Efek samping

bergantung pada dosis harian berupa penurunan ketajaman penglihatan,

dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.

ii. Sulfasalazin

Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya , obat ini dihentikan

dan digantikan dengan yang lain atau dikombinasi. Efek sampingnya

nausea, muntah, dan dispepsia.

iii. D-Penisilamin

Kurang disukai karena kerjanya lambat.

iv. Garam Emas

Merupakan gold Standar bagi DMARD, yakni Auro Sodium Timalat

(AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama

sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg dan

Page 23: PBL empatblas

seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20

minggu. Efek samping terberat ialah aplasia sumsum tulang.

v. Obat Imunosupresif

Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif

pendek dibandingkan dengan yang lain.

vi. Kortikosteroid

Hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi

berat yang mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memilkiki

efek samping yang sangat berat.

2. Non Medika Mentosa

a. Peranan Pendidikan dalam Pengobatan Artritis Reumatoid

Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat

alamiah penyakit dan penatalaksanaan artritis reumatoid kepada pasien

merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan. Dengan penerangan

yang baik mengenai penyakitnya, pasien artritis reumatoid diharapkan

dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional, motivasi, dan kognitif

yang terganggu akibat penyakit ini.

Saat ini telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada

pasien artritis reumatoid. Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika

Serikat dan Kanada adalah The Arthritis Self Management Program.

Peningkatan pengetahuan pasien tentang penyakitnya telah terbukti akan

meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan

sehingga dapat mengurangi rasa nyeri yang dialaminya.

b. Rehabilitasi

Bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien walaupun tidak 100 %

dapat kembali sempurna. Caranya antara lain dengan mengistirahatkan

Page 24: PBL empatblas

sendi yang terlibat, latihan, pemanasan, dan sebagainya. Fisioterapi

dimulai segera setelah rasa sakit pada sendi berkurang atau minimal. Bila

tidak juga berhasil, mungkin diperlukan pertimbangan untuk tindakan

operatif. Sering pula diperlukan alat-alat. Karena itu, pengertian tentang

rehabilitasi termasuk:

i. Pemakaian alat bidai, tongkat penyangga, walking machine, kursi

roda, sepatu, alat.

ii. Alat ortotik protetik lainnya.

iii. Terapi mekanik

iv. Pemanasan baik hidroterapi maupun elektroterapi

v. Occupational theraphy

3. Surgikal / Pembedahan

Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta

terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan dengan

pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien artritis reumatoid umumnya

bersifat ortopedik, misalnya sinovektomi, artrodesis, total hip replacement,

memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.6,7

L. PENCEGAHAN

Selain obat-obatan yang di gunakan untuk menguranggi rasa nyeri,ada juga

tanpa obat seperti :

Kompres es : dapat menurunkan ambang nyeri dan mengguranggi

fungsi ensim

Banyak sayuran yang dapat di konsumsi seperti : jus seledri, wortel

yang bisa mengguranggi gejala rhematik

Beberapa jenis herbal juga bisa membantu melawan rhematik : jahe,

kunyit, biji seledri, daun lidah buaya, atau minyak jupiner untuk

mengguranggi bengkak pada sendi

Menjaga berat badan ideal

Page 25: PBL empatblas

Olahraga ringan : seperti jalan kaki dapat berguna untuk penderita

rhematik

\

BAB III

PENUTUP

Page 26: PBL empatblas

DAFTAR PUSTAKA

1. Aru WS, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus SK, Siti Setiati. Ilmu penyakit

dalam. In : Inyoman Suarjana. Artritis reumatoid. Jakarta : EGC;2009.

2. D Rizasyah. Artritis reumatoid. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi IV

2006;275:1174-81

3. Kasjmir YI, Arnadi, dan Suryadhana NG. Pemeriksaan CRP, Faktor Reumatoid,

Autoantibodi dan Komplemen. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi IV

2006;271:1152-61.

4. Harry I dan Banbang S. Anamnesis dan pemeriksaan fisis penyakit Muskuloskeletal.

Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi IV 2006;269:1139-41.

5. Sumariyono. Artrosentesis dan Analisis Cairan Sendi. Buku ajar ilmu penyakit dalam

edisi IV 2006;270:1147-50

6. Theophilopoulos AN. Autoimmunity. In : Stites DP., Stobo JD., Fudenberg HH., Wells

JV., penyunting. Basic & Clinical Immunology. Edisi kelima, Los Altos, Lange, 1984 :

152-86.

7. Miller ML, Cassidy JT. Juvenile Rheumatoid arthritis. In: Behrman RE, Kliegman RM,

Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004.

pp. 799-804.

8. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/spanish/ency/images/ency/fullsize/17130.jpg

Page 27: PBL empatblas

9. http://www.tripleomega3.es/castellano/fotos/imagen_artritis.jpg