PBL Blok 26 - Program Kesehatan Ibu dan Anak

download PBL Blok 26 - Program Kesehatan Ibu dan Anak

of 35

description

Program KIA di Indonesia serta Gerakan pemerintah mengejar target MDGs 2015

Transcript of PBL Blok 26 - Program Kesehatan Ibu dan Anak

Program Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia Andrey SetiawanFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510E-mail: [email protected]

Abstrak: Program Kesehatan Ibu dan Anak adalah salah satu upaya wajib Puskesmas dan juga merupakan masalah global yang telah dicanangkan pada Tujuan Pembangunan Milenium/MDGs 5. Masih tingginya Angka Kematian Ibu menunjukkan bahwa kesehatan ibu di Indonesia masih belum baik. Target yang ingin dicapai pada tahun 2015 adalah 102/100.000 kelahiran hidup, tetapi faktanya tahun 2012 BKKBN mengeluarkan SDKI dengan AKI 359/100.000 kelahiran hidup, hal ini mengejutkan dan segera Menteri Kesehatan Republik Indonesia memerintahkan untuk penghitungan ulang karena mungkin terjadi kesalahan. Untuk mengatasi tingginya Angka Kematian Ibu, Kementrian Kesehatan segera membuat program Rencana Aksi Nasional dalam percepatan penurutan Angka Kematian Ibu tahun 2013-2015. Tinjauan pustaka ini memilih bahan bacaan dari artikel terbitan resmi dari Departemen Kesehatan dan beberapa Pedoman Program lainnya. Hasil yang diharapkan dari tinjauan pustaka ini adalah pengetahuan yang lebih dan menyeluruh lagi bagi penulis, dan pembaca dalam membantu menurunkan Angka Kematian Ibu sesuai dengan program MDGs dan Pemerintah. Kementrian Kesehatan telah membuat buku Panduan Rencana Aksi Nasional ini dan dengan isi yang komprehensif. Dalam tinjauan pustaka ini, akan dibahas mengenai Puskesmas, Pemberdayaan Masyarakat, permasalahan yang mungkin mengambil bagian dari terjadinya Angka Kematian Ibu yang tinggi, dan rencana penanggulangannya serta proses evaluasi keberhasilan program nantinya. Kata kunci: Angka Kematian Ibu, Rencana Aksi Nasional, Puskesmas, Tujuan Pembangunan Milenium.

Abstract:Maternal and Child Health Program is one of many compulsory programs of Community Health Center/Puskesmas and also a global matter as it is also initiated on Millennium Development Goals/MDGs point number 5. The high Maternal Mortality Rate really potrayed that Maternal Health in Indonesia is still inadequate. The target of the program by 2015 is 102/100.000 live births, however the fact is in 2012, National Family Planning Coordinating Board/BKKBN issued Indonesian Demographic and Health Survey/SDKI with a staggering number of 359/100.000 live births, this result make The Minister of Health of the Republic of Indonesia ordered to reevaluate the survey, because it might be because of some errors. To overcome the high number of Maternal Mortality Rate, The Ministry of Health promptly make a program called National Action Plans/RAN that aims to accelerate the decrease of MMR in 2013-2015. This literature review takes its material from official publications of The Ministry of Health and other guidelines. The purpose of this literature review is thorough and comprehensive knowledge for authors and readers to help in decreasing MMR in accordance to MDGs and Government Programs. The Ministry of Health has already made a handbook which has a comprehensive content. In this literature review, the contents are community health center, community empowerment, problems that may take part in the high Maternal Mortality Rate, and management plans also with evaluation of the program for its success.Key words: Maternal Mortality Rate, National Action Plans, Community Health Center, Millennium Development Goals

PendahuluanSalah satu program Millennium Development Goals atau yang biasa disingkat MDGs, yaitu pada urutan ke 5 adalah meningkatkan kesehatan ibu dengan menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI/MMR) sebesar tiga perempatnya antara 1990 sampai 2015, serta mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015. Melalui definisi Angka Kematian Ibu yang nanti akan kita bahas lebih lanjut, maka kesehatan alat reproduksi ibu harus dipersiapkan bahkan sebelum kehamilan dan setelah kelahiran. Untuk Indonesia sendiri target yang ingin dicapai pada tahun 2015 adalah 102/100.000 kelahiran hidup dimana sekarang pada tahun 2015. Sedangkan, menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 Angka Kematian Ibu melonjak menjadi 359/100.000 kelahiran hidup dari 228/100.000 kelahiran hidup pada 2007. Melihat adanya keganjilan dalam hasil SDKI tahun 2012 mengenai Angka Kematian Ibu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dr. Andi Nafsiah Walinono Mboi, Sp. A, M.P.H., menginstruksikan untuk perbaikan segera data tersebut, karena kemungkinan ada kesalahan sistem pada saat survei dilakukan. Meskipun demikian, tetap saja kenyataan angka tersebut masih jauh dari harapan Indonesia untuk tahun 2015. Oleh karena itu Kementrian Kesehatan membuat Rencana Aksi Percepatan Penurunan AKI tahun 2013-2015, yang difokuskan pada 3 Strategi dan 7 Program Utama, yang akan kita bahas lebih mendetail pada tinjauan pustaka ini. Pelaksanaan program kesehatan reproduksi Ibu sebenernya sudah menjadi salah satu program pokok puskesmas dalam Kesehatan Ibu dan Anak atau KIA, yang akan dibahas juga dalam tinjauan pustaka ini.1Pemahaman kita tentang pentingnya AKI juga sangat dibutuhkan, karena dokter umum sangat berperan dalam menanggulangi masalah ini dalam bagiannya di pelayanan primer, yaitu Puskesmas. Tujuan lainnya adalah supaya program Kementrian Kesehatan dalam percepatan penurunan ini dapat dicapai tepat waktu untuk menyesuaikan dengan target yang ditetapkan pada MDGs. Tinjauan pustaka ini akan membahas terlebih dahulu, puskesmas, faktor apa saja yang mempengaruhi Angka Kematian Ibu, dan juga program Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas. Semoga tinjauan pustaka ini, mampu membantu penulis dan pembaca dalam mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam memerangi tingginya Angka Kematian Ibu ini.

Definisi IstilahPuskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan kabupaten/kota (UPTD Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah), Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Dalam pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten/kota adalah Dinas Kesehatan kabupaten/kota, sedangkan Puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya. Secara nasional, standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/ kelurahan atau RW). Masing-masing Puskesmas tersebut secara operasional bertanggungjawab langsung kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota.2Puskesmas Rawat Inap adalah Puskesmas yang letaknya strategis dan mudah diakses dari Puskesmas di sekitarnya, dapat dijangkau melalui sarana transportasi, yang didirikan sesuai dengan analisa kebutuhan kabupaten/kota, dilengkapi fasilitas rawat inap, peralatan medis dan kesehatan serta sarana prasarana yang sesuai standar. Puskesmas mampu PONED adalah Puskesmas rawat inap yang mampu menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi/komplikasi tingkat dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Rumah Sakit Mampu PONEK adalah Rumah Sakit 24 jam yang memiliki tenaga dengan kemampuan serta sarana dan prasarana penunjang yang memadai untuk memberikan pelayanan pertolongan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal dasar maupun komprehensif untuk secara langsung terhadap ibu hamil/ibu bersalin dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di desa, Puskesmas dan Puskesmas mampu PONED.2Sistem Rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. Regionalisasi sistem rujukan PONED adalah pembagian wilayah sistem rujukan dari satu wilayah kabupaten dan daerah sekitar yang berbatasan dengannya, dimana Puskesmas mampu PONED yang berada dalam salah satu regional sistem rujukan wilayah kabupaten, difungsikan sebagai rujukan antara yang akan mendukung berfungsinya Rumah Sakit PONEK sebagai rujukan obstetri dan neonatal emergensi/komplikasi di wilayah kabupaten bersangkutan. Penggerakan Peran Serta dalam Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya melibatkan secara aktif Lintas Sektor, Organisasi Profesi, LSM, dan Masyarakat Peduli serta Media Massa, untuk mendukung upaya peningkatan dan penggerakan demand target sasaran maternal dan keluarganya, agar mencari dan memanfaatkan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi yang disediakan secara mandiri sesuai kebutuhannya.2Pondok Bersalin Desa (Polindes) adalah bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang didirikan dengan bantuan pemerintah atau masyarakat atas dasar musyawarah untuk memberikan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak/Keluarga Berencana (KIA/KB) serta pelayanan kesehatan lainnya yang sesuai dengan kemampuan bidan.3Kematian Ibu, menurut ICD 10 didefinisikan sebagai Kematian seorang wanita yang terjadi saat hamil atau dalam 42 hari setelah akhir kehamilannya, tanpa melihat usia dan letak kehamilannya, yang diakibatkan oleh sebab apapun yang terkait dengan atau diperburuk oleh kehamilannya atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh insiden dan kecelakaan. Definisi tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa kematian ibu menunjukkan lingkup yang luas, tidak hanya terkait dengan kematian yang terjadi saat proses persalinan, tetapi mencakup kematian ibu yang sedang dalam masa hamil dan nifas. Definisi tersebut juga membedakan dua kategori kematian ibu. Pertama adalah kematian yang disebabkan oleh penyebab langsung obstetri (direk) yaitu kematian yang diakibatkan langsung oleh kehamilan dan persalinannya. Kedua adalah kematian yang disebabkan oleh penyebab tidak langsung (indirek) yaitu kematian yang terjadi pada ibu hamil yang disebabkan oleh penyakit dan bukan oleh kehamilan atau persalinannya.4Puskesmas/Pusat Kesehatan MasyarakatPuskesmas, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128 Tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas, merupakan unit pelaksana teknis (UPT) dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas memiliki fungsi sebagai: 1) pusat pembangunan berwawasan kesehatan; 2) pusat pemberdayaan masyarakat; 3) pusat pelayanan kesehatan masyarakat primer; dan 4) pusat pelayanan kesehatan perorangan primer. Wilayah kerja Puskesmas meliputi wilayah kerja administratif, yaitu satu wilayah kecamatan, atau beberapa desa/kelurahan di satu wilayah kecamatan dan di setiap kecamatan harus ada minimal satu unit Puskesmas. Dasar pertimbangan untuk membangun dan menentukan wilayah kerja Puskesmas antara lain faktor luas wilayah, kondisi geografis, dan kepadatan penduduk. Sampai dengan akhir tahun 2012, jumlah Puskesmas di Indonesia yang tercatat sebanyak 9.510 unit, dengan rincian Puskesmas perawatan sejumlah 3.152 unit dan Puskesmas non perawatan sejumlah 6.358 unit. Jumlah ini meningkat dari tahun 2011 dengan peningkatan jumlah Puskesmas berkisar 2-4% setiap tahunnya. Kecenderungan kenaikan jumlah Puskesmas terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia, meskipun terdapat beberapa provinsi yang tidak mengalami kenaikan jumlah Puskesmas dalam kurun waktu 2 tahun terakhir yaitu Provinsi Bengkulu dan DI Yogyakarta. Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, Puskesmas dibantu satu atau beberapa Puskesmas pembantu.1Peningkatan jumlah Puskesmas perawatan yang menyelenggarakan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif telah terbukti mempunyai daya ungkit yang lebih besar terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat, bila diselenggarakan secara baik, melibatkan secara aktif masyarakat, konsisten, dan berkesinambungan. Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan pertama dan terdepan dalam sistem pelayanan kesehatan melaksanakan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Upaya kesehatan wajib harus diselenggarakan oleh setiap Puskesmas dan upaya kesehatan pengembangan diselenggarakan sesuai dengan masalah, kondisi, kebutuhan, kemampuan dan inovasi serta kebijakan pemerintah daerah setempat. Upaya kesehatan wajib meliputi Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak serta KB, Perbaikan Gizi Masyarakat, Pencegahan Pemberantasan Penyakit Menular, dan Pengobatan. Upaya kesehatan pengembangan di Puskesmas antara lain Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED), Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), upaya kesehatan kerja, upaya kesehatan olahraga, dan tatalaksana kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA).1Upaya Kesehatan Bersumberdaya MasyarakatDalam mewujudkan masyarakat sehat, diperlukan kesadaran setiap anggota masyarakat akan pentingnya perilaku sehat, berkeinginan, serta berdaya untuk hidup sehat. Masyarakat bersinergi membangun kondisi lingkungan yang kondusif untuk hidup sehat. Langkah tersebut tercermin dalam pengembangan sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) di desa dan kelurahan, seperti adanya Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), Pos Bersalin Desa (Polindes), dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). UKBM yang ada di desa dan kelurahan menjadi ciri khas bahwa desa dan kelurahan tersebut telah menjadi Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Dinyatakan demikian karena penduduk di desa dan kelurahan tersebut dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar dan mengembangkan UKBM serta melaksanakan survailans berbasis masyarakat (pemantauan penyakit, kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku), kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana, serta penyehatan lingkungan sehingga masyarakatnya menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).1Poskesdes merupakan UKBM yang dibentuk di desa untuk mendekatkan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa sehingga mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan utama Poskesdes yaitu pelayanan kesehatan bagi masyarakat desa berupa pelayanan kesehatan ibu hamil, pelayanan kesehatan ibu menyusui, pelayanan kesehatan anak, pengamatan dan kewaspadaan dini (surveilans penyakit, surveilans gizi, surveilans perilaku berisiko, surveilans lingkungan dan masalah kesehatan lainnya), penanganan kegawatdaruratan kesehatan serta kesiapsiagaan terhadap bencana. Poskesdes merupakan pendorong dalam menumbuhkembangkan terbentuknya UKBM lain di masyarakat serta meningkatkan partisipasi masyarakat dan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan terkait. Pada tahun 2012 terdapat 54.142 unit Poskesdes.1Polindes merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang didirikan rakyat atas dasar musyawarah sebagai kelengkapan dari pembangunan masyarakat desa. Berbeda dengan posyandu yang pelaksanaannya dilakukan oleh kader didukung oleh petugas puskesmas, maka petugas Polindes pelayanannya tergantung pada keberadaan bidan, oleh karena itu pelayanan di polindes merupakan pelayan profesi kebidanan. Kader masyarakat yang paling terkait dengan pelayanan di Polindes adalah dukun bayi, oleh karena itu Polindes dimanfaatkan pula sebagai sarana untuk meningkatkan kemitraan bidan dan dukun bayi dalam pertolongam persalinan. Kader Posyandu dapat pula berperan di Polindes seperti perannya dalam melaksanakan kegiatan Posyandu yaitu dalam penggerakan masyarakat dan penyuluhan. Syarat Polindes adalah tersedianya bidan di desa yang bekerja penuh untuk mengelola Polindes. Tersedianya sarana untuk melaksanakantugas pokok dan fungsi bidan. Memenuhi persyaratan rumah sehat. Lokasi dapat dicapai dengan mudah oleh penduduk sekitarnya dan mudah dijangkau oleh kendaraan roda empat. Ada tempat untuk melakukan pertolongan persalinan dan perawatan postpartum (minimal satu tempat tidur). Polindes berfungsi sebagai tempat pelayanan kesehatan ibu dan anak(termasuk KB), tempat pemeriksaan kehamilan dan pertolonganpersalinan, tempat untuk konsultasi, penyuluhan dan pendidikan kesehatan masyarakat dan dukun bayi maupun kader.5Posyandu merupakan salah satu bentuk UKBM yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat terutama ibu, bayi dan anak balita. Dalam menjalankan fungsinya, Posyandu diharapkan dapat melaksanakan 5 program prioritas yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, imunisasi, gizi serta pencegahan dan penanggulangan diare. Pada tahun 2012 terdapat 276.392 Posyandu di seluruh Indonesia.1Program Kesehatan Ibu dan AnakMenurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa upaya kesehatan ibu ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang tersebut meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.1Upaya kesehatan ibu dan anak diharapkan mampu menurunkan angka kematian. Indikator angka kematian yang berhubungan dengan ibu dan anak adalah Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA). Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan SDKI tahun 2012 menyebutkan bahwa AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Komitmen global dalam MDGs menetapkan target terkait kematian ibu dan kematian anak yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015 dan menurunkan angka kematian anak hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990-2015.1,6Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan antenatal sekurang-kurangnya 4 kali selama masa kehamilan, dengan distribusi waktu minimal 1 kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), 1 kali pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu), dan 2 kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24-36 minggu). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan penanganan dini komplikasi kehamilan.1Pelayanan antenatal diupayakan agar memenuhi standar kualitas 7 T, yaitu penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan, pengukuran tekanan darah, pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri), penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai status imunisasi, pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan, pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk keluarga berencana), dan pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb) dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah dilakukan sebelumnya).1Salah satu permasalahan gizi masyarakat adalah anemia gizi, yaitu suatu kondisi ketika kadar Haemoglobin (Hb) dalam darah tergolong rendah. Rendahnya kadar Hb ini terjadi karena kekurangan asupan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan komponen Hb terutama zat besi (Fe). Sebagian besar anemia yang ditemukan di Indonesia adalah anemia gizi besi yaitu anemia yang disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe). Dalam rangka penanggulangan permasalahan anemia gizi besi, telah dilakukan program pemberian tablet Fe. Pemberian tablet besi ini diintegrasikan dengan pelayanan kunjungan ibu hamil (antenatal care). Cakupan pemberian tablet Fe di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 85%. Persentase ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2011 yang sebesar 83,3%.1Efektivitas upaya pemberian tablet besi juga sangat bergantung pada seberapa besar kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi yang diberikan. Cakupan pemberian tablet besi yang tinggi bisa tidak berdampak pada penurunan anemia besi jika kepatuhan ibu hamil dalam menelan tablet besi masih rendah. Program pemberian tablet besi sangat terkait dengan pelayanan kesehatan pada ibu hamil (K1-K4) karena diberikan pada saat ibu hamil melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan. Pemberian tablet besi juga menjadi salah satu syarat terpenuhinya kunjungan ibu hamil K4. Namun demikian, capaian kunjungan K4 ibu hamil pada tahun 2012 sebesar 90,18%, yaitu lebih besar dibandingkan dengan capaian pemberian tablet besi pada ibu hamil sebesar 85%. Secara ideal, seharusnya capaian dua indikator tersebut sama atau tidak jauh berbeda. Oleh karena itu diperlukan perbaikan pada sistem pencatatan dan pelaporan serta koordinasi antar pengelola program terkait.1

Gambar 1. Cakupan Pelayanan Ibu Hamil K1 dan K4 Di Indonesia.1Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator Cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal pertama kali, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan Cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit 4 kali sesuai jadwal yang dianjurkan, dibandingkan sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan.1Pada Gambar 1 di atas nampak adanya kecenderungan peningkatan cakupan K1 dan cakupan K4 mulai dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2012. Hal ini menunjukkan semakin membaiknya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil yang diberikan oleh tenaga kesehatan.1Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan untuk semakin mendekatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat hingga ke pelosok desa, termasuk untuk meningkatkan cakupan pelayanan antenatal. Dari segi sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan, hingga Desember 2012, tercatat 9.510 Puskesmas di seluruh Indonesia. Dengan demikian rasio Puskesmas terhadap 30.000 penduduk sudah mencapai rasio ideal 1:30.000 penduduk. Demikian pula dengan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) seperti Poskesdes dan Posyandu. Sampai dengan tahun 2012, tercatat terdapat 54.142 Poskesdes yang beroperasi dan 276.392 Posyandu di Indonesia. Upaya meningkatkan cakupan K4 juga makin diperkuat dengan telah dikembangkannya Kelas Ibu Hamil. Sampai saat ini telah terdapat 7.074 Puskesmas yang melaksanakan dan mengembangkan Kelas Ibu Hamil di wilayah kerjanya. Kelas Ibu Hamil akan meningkatkan keinginan di kalangan ibu hamil dan keluarganya, dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu hamil dan keluarganya dalam memperoleh pelayanan kesehatan ibu secara paripurna.1Adanya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan diluncurkannya Jaminan Persalinan (Jampersal) sejak tahun 2011 juga semakin bersinergi dalam berkontribusi meningkatkan cakupan K4. BOK dapat dimanfaatkan untuk kegiatan luar gedung, seperti pendataan, pelayanan di Posyandu, kunjungan rumah, sweeping kasus drop out, serta kemitraan bidan dan dukun. Sementara itu Jampersal mendukung paket pelayanan antenatal, termasuk yang dilakukan pada saat kunjungan rumah atau sweeping. Semakin kuatnya kerja sama dan sinergi berbagai program yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta diharapkan mampu mendorong tercapainya target cakupan K4.1Pelayanan Kesehatan Ibu BersalinUpaya kesehatan ibu bersalin dilaksanakan dalam rangka mendorong agar setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Pertolongan persalinan adalah proses pelayanan persalinan dimulai pada kala I sampai dengan kala IV persalinan. Pencapaian upaya kesehatan ibu bersalin diukur melalui indikator persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih (Cakupan Pn). Indikator ini memperlihatkan tingkat kemampuan Pemerintah dalam menyediakan pelayanan persalinan berkualitas yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Persentase persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih (cakupan Pn) di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 88,64%. Angka ini telah berhasil memenuhi target Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2012 sebesar 88%.1 Kematian ibu terkait erat dengan penolong persalinan dan tempat/fasilitas persalinan. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terbukti berkontribusi terhadap turunnya risiko kematian ibu. Demikian pula dengan tempat/fasilitas, jika persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan, juga akan semakin menekan risiko kematian ibu. Oleh karena itu, kebijakan Kementerian Kesehatan adalah seluruh persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan dan diupayakan dilakukan di fasilitas kesehatan. Kebijakan DAK Bidang Kesehatan menggariskan bahwa pembangunan Puskesmas harus satu paket dengan rumah dinas tenaga kesehatan. Demikian pula dengan pembangunan Poskesdes yang harus bisa sekaligus menjadi rumah tinggal bidan di desa. Sampai tahun 2012, terdapat 54.142 Poskesdes di seluruh Indonesia. Dengan disediakan rumah tinggal, maka tenaga kesehatan termasuk bidan akan siaga di daerah tempat tugasnya. Bidan yang tinggal di desa memberikan kontribusi positif dalam penurunan kematian ibu. Upaya penting dalam program kesehatan ibu di Indonesia adalah Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang menitikberatkan fokus totalitas pemantauan yang menjadi salah satu upaya deteksi dini, menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil serta menyediakan akses dan pelayanan kegawatdaruratan kebidanan dan bayi baru lahir dasar di tingkat Puskesmas (PONED) dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal komprehensif di Rumah Sakit (PONEK). Dalam implementasinya, P4K merupakan salah satu unsur dari Desa Siaga. Sampai dengan tahun 2011, tercatat 61.731 desa (80%) telah melaksanakan P4K.1 Di sebagian daerah di Indonesia, cakupan persalinan ditolong tenaga kesehatan masih rendah dikarenakan masih adanya kepercayaan masyarakat untuk melahirkan ditolong dukun. Selain itu, di daerah dengan kondisi geografis sulit, masyarakat menghadapi kendala untuk dapat mengakses fasilitas pelayanan kesehatan secara cepat. Pada daerah daerah tersebut, kebijakan Kementerian Kesehatan adalah dengan mengembangkan program Kemitraan Bidan dan Dukun serta Rumah Tunggu Kelahiran. Para dukun diupayakan bermitra dengan bidan dengan hak dan kewajiban yang jelas. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan tidak lagi dikerjakan oleh dukun, namun dirujuk ke bidan. Sampai dengan tahun 2011, tercatat sudah 72.963 dukun (68,6%) yang bermitra dengan bidan.1 Ibu hamil yang di daerahnya tidak ada bidan atau memang memiliki kondisi penyulit, maka menjelang hari taksiran persalinan diupayakan sudah berada di dekat fasilitas kesehatan, yaitu di Rumah Tunggu Kelahiran. Rumah Tunggu Kelahiran tersebut dapat berupa rumah tunggu khusus maupun di rumah sanak saudara yang dekat dengan fasilitas kesehatan. Sampai tahun 2011, tercatat 6 Rumah Tunggu Kelahiran di wilayah Puskesmas DTPK dan 2.700 Rumah Tunggu Kelahiran di luar wilayah Puskesmas DTPK. Salah satu hal yang menjadi alasan seorang ibu melahirkan di rumah dan dibantu oleh dukun adalah hambatan finansial. Menyadari hal tersebut, Kementerian Kesehatan sejak tahun 2011 meluncurkan program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang merupakan jaminan paket pembiayaan sejak pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, hingga pelayanan nifas termasuk pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan. Penyediaan Jampersal diyakini turut meningkatkan cakupan Pn di seluruh wilayah Tanah Air. Keberhasilan pencapaian target indikator Pn merupakan buah dari kerja keras dan pelaksanaan berbagai program yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta.1 Pelayanan Kesehatan Ibu NifasNifas adalah periode mulai dari 6 jam sampai dengan 42 hari pasca persalinan. Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan pada ibu nifas sesuai standar yang dilakukan sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali sesuai jadwal yang dianjurkan, yaitu pada 6 jam sampai dengan 3 hari pasca persalinan, pada hari ke-4 sampai dengan hari ke-28 pasca persalinan, dan pada hari ke-29 sampai dengan hari ke-42 pasca persalinan. Jenis pelayanan kesehatan ibu nifas yang diberikan meliputi, pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, nafas, dan suhu), pemeriksaan tinggi puncak rahim (fundus uteri), pemeriksaan lokhia dan cairan per vaginam lain, pemeriksaan payudara dan pemberian anjuran ASI eksklusif, pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas dan bayi baru lahir, termasuk keluarga berencana, pelayanan keluarga berencana pasca persalinan.1Keberhasilan upaya kesehatan ibu nifas diukur melalui indikator cakupan pelayanan kesehatan ibu nifas (Cakupan Kf-3). Indikator ini menilai kemampuan negara dalam menyediakan pelayanan kesehatan ibu nifas yang berkualitas sesuai standar. Capaian indikator Kf-3 dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 menggambarkan kecenderungan yang semakin meningkat, yaitu mulai dari 17,90% pada tahun 2008 menjadi 85,16% pada tahun 2012. Capaian indikator Kf-3 yang meningkat dalam 5 tahun terakhir merupakan hasil dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat termasuk sektor swasta. Program penempatan Pegawai Tidak Tetap (PTT) untuk dokter dan bidan terus dilaksanakan. Selain itu, dengan diluncurkannya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010, Puskesmas, Poskesdes, dan Posyandu lebih terbantu dalam mengintensifkan implementasi upaya kesehatan termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan ibu nifas, diantaranya kegiatan sweeping atau kunjungan rumah bagi yang tidak datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Dukungan Pemerintah makin meningkat sejak diluncurkannya Jampersal pada tahun 2011, dimana pelayanan nifas termasuk paket manfaat yang dijamin oleh Jampersal.1

Penanganan Komplikasi MaternalKomplikasi maternal adalah kesakitan pada ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan atau janin dalam kandungan, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk penyakit menular dan tidak menular yang dapat mengancam jiwa ibu dan atau janin, yang tidak disebabkan oleh trauma/kecelakaan. Pencegahan dan penanganan komplikasi maternal adalah pelayanan kepada ibu dengan komplikasi maternal untuk mendapatkan perlindungan/pencegahan dan penanganan definitif sesuai standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan. Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pencegahan dan penanganan komplikasi maternal adalah cakupan penanganan komplikasi maternal (Cakupan PK). Indikator ini mengukur kemampuan negara dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara profesional kepada ibu (hamil, bersalin, nifas) dengan komplikasi.1Berdasarkan Laporan Rutin Program Kesehatan Ibu Dinas Kesehatan Provinsi Tahun 2012, penyebab kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh Perdarahan (32%) dan Hipertensi dalam Kehamilan (25%), diikuti oleh infeksi (5%), partus lama (5%), dan abortus (1%). Selain penyebab obstetrik, kematian ibu juga disebabkan oleh penyebab lain-lain (non obstetrik) sebesar 32%. Walaupun sebagian komplikasi maternal tidak dapat dicegah dan diperkirakan sebelumnya, tidak berarti bahwa komplikasi tersebut tidak dapat ditangani. Mengingat bahwa setiap ibu hamil/bersalin/nifas berisiko mengalami komplikasi, maka mereka perlu mempunyai akses terhadap pelayanan kegawatdaruratan maternal/obstetrik.1Terdapat tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu dan neonatal yaitu melalui peningkatan pelayanan antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi secara memadai, pertolongan persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan terampil, pelayanan pasca persalinan dan kelahiran, serta pelayanan emergensi obstetrik dan neonatal dasar (PONED) dan komprehensif (PONEK) yang dapat dijangkau.1Sesuai Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014, ditargetkan pada akhir tahun 2014 di setiap kabupaten/kota terdapat minimal 4 (empat) Puskesmas rawat inap mampu PONED dan 1 (satu) Rumah Sakit Kabupaten/Kota yang mampu melaksanakan PONEK. Melalui pengelolaan pelayanan PONED dan PONEK, Puskesmas dan Rumah Sakit diharapkan bisa menjadi institusi terdepan dimana kasus komplikasi dan rujukan dapat diatasi dengan cepat dan tepat. Standardisasi PONEK untuk rumah sakit dilakukan oleh Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan bekerjasama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinik-Kesehatan Reproduksi (Badan Khusus POGI yang menghimpun unit-unit pelatihan klinik organisasi profesi POGI, IDAI, IBI dan PPNI). Lokakarya PONEK dilakukan selama 5 hari, meliputi materi manajemen dan klinik PONEK yang kemudian diikuti dengan latihan on the job training PONEK untuk mengenalkan cara melakukan bimbingan teknis untuk perbaikan kinerja Tim PONEK rumah sakit. Jumlah rumah sakit siap PONEK di Indonesia sampai dengan tahun 2011 sebanyak 388 (87,39%) rumah sakit dari 444 rumah sakit umum milik Pemerintah.1Selain itu dilakukan pula kegiatan Audit Maternal Perinatal (AMP), yang merupakan upaya dalam penilaian pelaksanaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir melalui pembahasan kasus kematian ibu atau bayi baru lahir sejak di level masyarakat sampai di level fasilitas pelayanan kesehatan. Kendala yang timbul dalam upaya penyelamatan ibu pada saat terjadi kegawatdaruratan maternal dan bayi baru lahir akan dapat menghasilkan suatu rekomendasi dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi di masa mendatang.1 Penanganan Komplikasi NeonatalNeonatal komplikasi adalah neonatal dengan penyakit dan atau kelainan yang dapat menyebabkan kecacatan dan atau kematian, seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR (Berat Lahir < 2.500 gram), sindroma gangguan pernafasan, dan kelainan kongenital maupun yang termasuk klasifikasi kuning pada pemeriksaan dengan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM). Yang dimaksud dengan penanganan Neonatal komplikasi adalah neonatal sakit dan atau neonatal dengan kelainan yang mendapat pelayanan sesuai standar oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan atau perawat) baik di rumah, sarana pelayanan kesehatan dasar maupun sarana pelayanan kesehatan rujukan. Pelayanan sesuai standar antara lain sesuai dengan standar MTBM, manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir, manajemen Bayi Berat Lahir Rendah, pedoman pelayanan neonatal essensial di tingkat pelayanan kesehatan dasar, PONED, PONEK atau standar operasional pelayanan lainnya. Penanganan neonatal komplikasi pada tahun 2012 sebesar 48,58%, mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2011 sebesar 39,46%.1 Cakupan penanganan komplikasi neonatal yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa permasalahan diantaranya sistem pencatatan dan pelaporan penanganan neonatal dengan komplikasi yang belum mengakomodir semua laporan fasilitas kesehatan dasar dan rujukan swasta. Rendahnya cakupan penanganan juga dapat disebabkan masih terdapat tenaga kesehatan yang belum memahami definisi operasional dari terminologi penanganan neonatal dengan komplikasi.1Kunjungan NeonatalBayi baru lahir atau yang lebih dikenal dengan neonatal merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan. Beberapa upaya kesehatan dilakukan untuk mengendalikan risiko pada kelompok ini diantaranya dengan mengupayakan agar persalinan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan serta menjamintersedianya pelayanan kesehatan sesuai standar pada kunjungan bayi baru lahir.1Menurut Riskesdas tahun 2007, diketahui bahwa sebagian besar kematian neonatal (78,5%) terjadi pada minggu pertama kehidupan (0-7 hari). Dengan melihat adanya risiko kematian yang tinggi pada minggu pertama ini, maka setiap bayi baru lahir harus mendapatkan pemeriksaan sesuai standar lebih sering dalam minggu pertama. Langkah ini dilakukan agar penyakit dan tanda bahaya dapat dideteksi sedini mungkin sehingga intervensi dapat segera dilakukan untuk mengendalikan risiko kematian. Terkait hal tersebut, pada tahun 2008 ditetapkan perubahan kebijakan dalam pelaksanaan kunjungan neonatal, dari 2 kali yaitu satu kali pada minggu pertama dan satu kali pada 8-28 hari, menjadi 3 kali yaitu dua kali pada minggu pertama dan satu kali pada 8 28 hari. Dengan demikian, jadwal kunjungan neonatal yang dilaksanakan saat ini adalah pada umur 6-48 jam, umur 3-7 hari dan umur 8-28 hari. Indikator ini mengukur kemampuan manajemen program KIA dalam menyelenggarakan pelayanan neonatal yang komprehensif.1 Pelayanan kesehatan neonatal sesuai standar adalah pelayanan kesehatan neonatal saat lahir dan pelayanan kesehatan saat kunjungan neonatal sebanyak 3 kali. Pelayanan yang diberikan saat kunjungan neonatal adalah pemeriksaan sesuai standar Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan konseling perawatan bayi baru lahir termasuk ASI eksklusif dan perawatan tali pusat. Pada kunjungan neonatal pertama (KN1), bayi baru lahir mendapatkan vitamin K1 injeksi dan imunisasi hepatitis B0 bila belum diberikan pada saat lahir. Cakupan KN1 tahun 2012 telah memenuhi target Renstra 2012 yaitu 92,31% dari target 88%.1 Selain KN1, indikator yang menggambarkan pelayanan kesehatan bagi neonatal adalah KN Lengkap yang mengharuskan agar setiap bayi baru lahir mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar sedikitnya 3 kali. Capaian KN lengkap di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 87,79%. Capaian ini telah memenuhi target program tahun 2012 sebesar 84%.1Pelayanan Kesehatan pada BayiBayi juga merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap gangguan kesehatan maupun serangan penyakit. Oleh karena itu dilakukan upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan pada bayi usia 29 hari sampai dengan 11 bulan dengan memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi klinis kesehatan (dokter, bidan, dan perawat) minimal 4 kali. Program ini terdiri dari pemberian imunisasi dasar (BCG, DPT/ HB1-3, Polio 1-4, dan Campak), Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) bayi, pemberian vitamin A pada bayi, dan penyuluhan perawatan kesehatan bayi serta penyuluhan ASI Eksklusif, MP ASI dan lain lain.1 Cakupan pelayanan kesehatan bayi dapat menggambarkan upaya pemerintah dalam meningkatan akses bayi untuk memperoleh pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin adanya kelainan atau penyakit, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit serta peningkatan kualitas hidup bayi. Cakupan pelayanan kesehatan bayi pada tahun 2012 mencapai 87,73% yang berhasil memenuhi target Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2012 sebesar 86%. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2011 dan tahun 2010 yaitu masing-masing sebesar 84,04% dan 85,21%.1Pelayanan Kesehatan pada Anak BalitaSalah satu indikator yang ditetapkan pada Rencana Strategis Kementerian Kesehatan terkait dengan upaya kesehatan anak adalah pelayanan kesehatan pada anak balita. Adapun batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur 12 sampai dengan 59 bulan. Pelayanan kesehatan pada anak balita dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup anak balita dengan melakukan beberapa kegiatan antara lain, pemantauan pertumbuhan dan perkembangan dan stimulasi tumbuh kembang pada anak dengan menggunakan instrumen SDIDTK, pembinaan posyandu, pembinaan anak prasekolah termasuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan konseling keluarga pada kelas ibu balita dengan memanfaatkan Buku KIA, perawatan anak balita dengan pemberian ASI sampai 2 tahun, makanan gizi seimbang, dan vitamin A. Capaian indikator ini pada tahun 2012 sebesar 73,52% yang mengalami penurunan dibandingkan tahun 2011 sebesar 80,96%. Indikator ini juga belum memenuhi target Renstra pada tahun 2012 yang sebesar 81%.1 Kekurangan vitamin A juga menjadi perhatian dalam upaya perbaikan gizi masyarakat. Oleh karena itu dilakukan pemberian kapsul Vitamin A dalam rangka mencegah dan menurunkan prevalensi kekurangan vitamin A (KVA) pada balita. Cakupan yang tinggi dari pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi terbukti efektif untuk mengatasi masalah KVA pada masyarakat. Vitamin A berperan terhadap penurunan angka kematian, pencegahan kebutaan, serta pertumbuhan dan kelangsungan hidup anak.1 Masalah vitamin A pada balita secara klinis bukan lagi masalah kesehatan masyarakat (prevalensi xeropthalmia < 0,5%). Namun demikian KVA subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, masih ada pada kelompok balita. KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium. Selain itu, sebaran cakupan pemberian vitamin A pada balita menurut provinsi masih ada yang dibawah 75%. Dengan demikian kegiatan pemberian vitamin A pada balita masih perlu dilanjutkan, karena bukan hanya untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan, namun lebih penting lagi, vitamin A meningkatkan kelangsungan hidup, kesehatan dan pertumbuhan anak.1 Pemberian kapsul vitamin A dilakukan terhadap bayi (6-11 bulan) dengan dosis 100.000 SI, anak balita (12-59 bulan) dengan dosis 200.000 SI, dan ibu nifas diberikan kapsul vitamin A 200.000 SI, sehingga bayinya akan memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI. Pemberian Kapsul Vitamin A diberikan secara serentak setiap bulan Februari dan Agustus pada balita usia 6-59 bulan. Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita usia 6-59 bulan di Indonesia tahun 2012 mencapai 82,8%. Capaian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2011 yang sebesar 82,66%. Dengan peningkatan yang tidak terlalu tinggi, maka masih diperlukan upaya untuk meningkatkan cakupan pemberian kapsul vitamin A. Upaya tersebut antara lain melalui peningkatan integrasi pelayanan kesehatan anak, sweeping pada daerah yang cakupannya masih rendah dan kampanye pemberian kapsul vitamin A.1Pelayanan Keluarga Berencana (KB)Program Keluarga Berencana (KB) dilakukan dalam rangka mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan kelahiran. Sasaran program KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang lebih dititikberatkan pada kelompok Wanita Usia Subur (WUS) yang berada pada kisaran usia 15-49 tahun. Keberhasilan program KB dapat diukur dengan melihat cakupan KB aktif dan KB baru. Cakupan KB aktif menggambarkan proporsi pasangan usia subur (PUS) yang sedang menggunakan alat/metode kontrasepsi terhadap jumlah PUS yang ada. Sedangkan cakupan KB baru adalah jumlah PUS yang baru menggunakan alat/metode kontrasepsi terhadap jumlah PUS. Cakupan peserta KB aktif di Indonesia pada tahun 2102 sebesar 76,39%.1

Gambar 2. Persentase Peserta KB Aktif 2012.1Penggunaan metode kontrasepsi pada KB terdiri dari beberapa jenis. Kepesertaan KB menurut penggunaan metode kontrasepsi pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sebagian besar peserta KB memilih untuk menggunakan metode kontrasepsi jangka pendek melalui suntikan. Hanya sedikit PUS yang memilih untuk menggunakan Metode Operatif Pria (MOP) pada tahun 2012. Lihat Gambar 2 untuk melihat persentase peserta KB berdasarkan Metode Alat Kontrasepsi.1Pelayanan Kesehatan IbuSeperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Angka Kematian Ibu (AKI) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu perdarahan, preeklampsia, dan infeksi. Selain itu, penyebab kematian ibu secara tidak langsung antara lain gangguan pada kehamilan seperti Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Energi Kronis (KEK), dan anemia. Angka kematian dan komplikasi dalam kehamilan dapat dikurangi dengan pemeriksaan kehamilan Antenatal Care (ANC) secara teratur, yang bermanfaat untuk memonitor kesehatan ibu hamil dan bayinya, sehingga bila terdapat permasalahan dapat diketahui secepatnya dan diatasi sedini mungkin. Selain itu, upaya menurunkan AKI juga pada dasarnya mengacu kepada intervensi strategis Empat Pilar Safe Motherhood dimana 3 diantaranya adalah keluarga berencana, pelayanan antenatal dan persalinan yang aman.1 Menurut World Health Statistics 2013, untuk periode 2005-2012, dari 7 anggota ASEAN (Laos, Malaysia, dan Singapura tidak ada data), Brunei Darussalam merupakan negara dengan persentase pemeriksaan ibu hamil (K4) tertinggi yaitu sebesar 100%. Sedangkan yang terendah tercatat di Myanmar yaitu sebesar 43%. Indonesia dengan persentase 82% berada pada peringkat ke-2 tertinggi dari 10 negara untuk pemeriksaan ibu hamil (K4). Cakupan pertolongan persalinan di negara ASEAN bervariasi dengan cakupan tertinggi di Brunei Darussalam dan Singapura masing-masing sebesar 100% dan yang terendah di Laos dengan cakupan 37%. Indonesia dengan cakupan salinakes 80% berada pada peringkat ke-5 dari 10 negara. Persentase peserta KB aktif pada wanita subur tahun 2012 di negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam dan Malaysia tidak ada data) yang tertinggi dicapai oleh Thailand dengan cakupan sebesar 80%, untuk all methods dan 77% untuk modern methods dan yang terendah di Timor Leste sebesar 21% untuk modern methods dan 22% untuk all methods. Indonesia dengan cakupan peserta KB aktif sebesar 57% untuk modern methods dan 61% untuk all methods berada pada peringkat ke-4 dari 10 negara ASEAN.1Kematian IbuSecara global, lima penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia tetap didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK) dan infeksi. Proporsi ketiga penyebab kematian ini telah berubah, dimana perdarahan dan infeksi semakin menurun sedangkan HDK dalam kehamilan proporsinya semakin meningkat, hampir 30 % kematian ibu di Indonesia pada tahun 2011 disebabkan oleh HDK (Gambar 3).4

Gambar 3. Penyebab Kematian Ibu pada Sensus Penduduk 2010.4Definisi kematian ibu mengindikasikan bahwa kematian ibu tidak hanya mencakup kematian yang disebabkan oleh persalinan tetapi mencakup kematian yang disebabkan oleh penyebab non-obstetri. Sebagai contoh adalah ibu hamil yang meninggal akibat penyakit Tuberkulosis, Anemia, Malaria, Penyakit Jantung, dll. Penyakit-penyakit tersebut dianggap dapat memperberat kehamilan meningkatkan resiko terjadinya kesakitan dan kematian. Proporsi kematian ibu indirek di Indonesia cukup signifikan yaitu sekitar 22% sehingga pencegahan dan penanganannya perlu mendapatkan perhatian. Diperlukan koordinasi dengan disiplin medis lainnya di RS atau antar RS, antara lain dengan Spesialis Penyakit Dalam dan Bedah, dalam menangani kematian indirek.4Indikator peningkatan kesehatan ibu dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) adalah penurunan kematian ibu yang dihubungkan dengan peningkatan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (MDG 5). Namun upaya ini saja tidaklah cukup, karena penurunan kematian ibu tidak dapat dilakukan hanya dengan mengatasi faktor penyebab langsung kematian ibu tetapi juga harus mengatasi faktor penyebab tidak langsungnya. Oleh sebab itu, upaya penurunan kematian ibu juga harus didukung oleh upaya kesehatan reproduksi lainnya termasuk peningkatan pelayanan antenatal, penurunan kehamilan remaja serta peningkatan cakupan peserta aktif KB dan penurunan unmet need KB. Keempat indikator tersebut tertuang di dalam tujuan MDG 5, yaitu akses universal terhadap kesehatan reproduksi, sementara dua indikator tambahan terakhir merupakan upaya dalam program KB. Faktor 4 Terlalu (terlalu muda, terlalu sering, terlalu banyak dan terlalu tua) adalah salah satu faktor penyebab tidak langsung kematian ibu yang dapat diatasi dengan pelayanan KB.4Diperkirakan 15 % kehamilan dan persalinan akan mengalami komplikasi. Sebagian komplikasi ini dapat mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi dapat dicegah dan ditangani bila ibu segera mencari pertolongan ketenaga kesehatan dan tenaga kesehatan melakukan prosedur penanganan yang sesuai, antara lain penggunaan partograf untuk memantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan manajemen aktif kala III (MAK III) untuk mencegah perdarahan pasca-salin, juga tenaga kesehatan mampu melakukan identifikasi dini komplikasi, dan apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat memberikan pertolongan pertama dan melakukan tindakan stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan, dengan proses rujukan yang efektif dan pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.4Dengan demikian, untuk komplikasi yang membutuhkan pelayanan di RS, diperlukan penanganan yang berkesinambungan (continuum of care), yaitu dari pelayanan di tingkat dasar sampai di Rumah Sakit. Langkah-langkah diatas tidak akan bermanfaat bila langkah terakhir tidak adekuat. Sebaliknya, adanya pelayanan di RS yang adekuat tidak akan bermanfaat bila pasien yang mengalami komplikasi tidak dirujuk.4Prinsip Pencegahan Kematian IbuSeharusnya sebagian besar kematian ibu dapat dicegah karena sebagian besar komplikasi kebidanan dapat ditangani. Setidaknya ada tiga kondisi yang perlu dicermati dalam menyelamatkan ibu yaitu pertama, sifat komplikasi obstetri yang tidak dapat diprediksi akan dialami oleh siapa dan kapan akan terjadi, baik dalam kehamilan, persalinan atau pasca persalinan terutama 24 jam pertama. Hal ini menempatkan setiap ibu hamil mempunyai resiko mengalami komplikasi kebidanan yang dapat mengancam jiwanya. Kedua, karena setiap kehamilan beresiko maka seharusnya setiap ibu mempunyai akses terhadap pelayanan yang adekuat yang dibutuhkannya saat komplikasi terjadi. Sebagian komplikasi dapat mengancam jiwa sehingga harus segera mendapatkan pertolongan di rumah sakit yang mampu memberikan pertolongan kegawat-daruratan kebidanan dan bayi baru lahir. Ketiga, sebagian besar kematian ibu terjadi pada masa persalinan dan dalam 24 jam pertama pasca persalinan, suatu periode yang sangat singkat sehingga akses terhadap dan kualitas pelayanan pada periode ini perlu mendapatkan prioritas agar mempunyai daya ungkit yang tinggi dalam menurunkan kematian ibu.4 Dalam kenyataannya, langkah-langkah pencegahan dan penanganan komplikasi tersebut diatas seringkali tidak terjadi, yang disebabkan oleh karena keterlambatan dalam setiap langkah, yaitu:41. Terlambat mengambil keputusan.Keterlambatan pengambilan keputusan di tingkat masyarakat dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu Ibu terlambat mencari pertolongan tenaga kesehatan walaupun akses terhadap tenaga kesehatan tersedia 24/7 (24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu) oleh karena masalah tradisi/kepercayaan dalam pengambilan keputusan di keluarga, dan ketidakmampuan menyediakan biaya non-medis dan biaya medis lainnya (obat jenis tertentu, pemeriksaan golongan darah, transport untuk mencari darah/obat, dll). Kedua, keluarga terlambat merujuk karena tidak mengerti tanda bahaya yang mengancam jiwa ibu. Ketiga, Tenaga kesehatan terlambat melakukan pencegahan dan/atau mengidentifikasi komplikasi secara dini - yang disebabkan oleh karena kompetensi tenaga kesehatan tidak optimal, antara lain kemampuan dalam melakukan APN (Asuhan Persalinan Normal) sesuai standar dan penanganan pertama keadaan GDON (Gawat Darurat Obstetri dan Neonatal). Keempat, tenaga kesehatan tidak mampu mengadvokasi pasien dan keluarganya mengenai pentingnya merujuk tepat waktu untuk menyelamatkan jiwa ibu.42. Terlambat mencapai RS Rujukan dan rujukan tidak efektif.Masalah ini dapat muncul biasanya disebabkan oleh masalah geografis, ketersediaan alat transportasi, stabilisasi pasien komplikasi (misalnya pre-syok) tidak terjadi/tidak efektif, karena keterampilan tenaga kesehatan yg kurang optimal dan/atau obat/alat kurang lengkap, dan monitoring pasien selama rujukan tidak dilakukan atau dilakukan tetapi tidak ditindaklanjuti.43. Terlambat Mendapatkan Pertolongan Adekuat di RS RujukanMasalah ini dapat muncul karena dapat disebabkan oleh sistem administratif pelayanan kasus gawat darurat di RS tidak efektif, tenaga kesehatan yang dibutuhkan (SPOG, Anestesi, Anak, dll) tidak tersedia, tenaga kesehatan kurang terampil walaupun akses terhadap tenaga tersedia, sarana dan prasarana tidak lengkap/tidak tersedia, termasuk ruang perawatan, ruang tindakan, peralatan dan obat, darah tidak segera tersedia, pasien tiba di RS dengan kondisi medis yang sulit diselamatkan, kurang jelasnya pengaturan penerimaan kasus darurat agar tidak terjadi penolakan pasien atau agar pasien dialihkanke RS lain secara efektif, dan kurangnya informasi di masyarakat tentang kemampuan sarana pelayanan kesehatan yang dirujuk dalam penanganan kegawatdaruratan maternal dan bayi baru lahir, sehingga pelayanan adekuat tidak diperoleh.4Pencapaian Program Pemerintah Salah satu upaya masif pemerintah untuk menurunkan AKI adalah Program penempatan bidan di desa, yang telah mulai dilaksanakan sejak tahun 1990-an. Program ini bertujuan untuk mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir terutama pada saat kehamilan dan persalinan. Namun demikian, oleh karena pendidikan Bidan dilakukan dalam waktu yang pendek, lebih kurang 54.000 dalam 6 tahun, kualitas sebagian Bidan masih perlu ditingkatkan agar memenuhi standar kompetensi. Berdasarkan laporan rutin kesehatan ibu dari dinkes provinsi tahun 2011, sampai saat ini tercatat ada 66.442 bidan yang bertugas di desa, namun hanya sekitar 54.369 orang, atau 82%, yang tinggal di desa. Selain itu kemampuan bidan di desa dalam memberikan pertolongan persalinan sesuai standar terkendala dengan sarana tempat tinggal yang bergabung menjadi Poskesdes. Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah Poskesdes pada tahun 2011 baru mencapai 53.152 Poskesdes. Selain itu jumlah bidan desa yang telah mendapatkan pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN) baru mencapai 35.367 orang (52,6%). APN merupakan pelatihan persalinan yang salah satu komponennya adalah manajemen aktif kala III (MAK III) untuk mencegah sebagian perdarahan pasca-salin dan penggunaan Partograf untuk mendeteksi masalah dalam proses persalinan.4Oleh karena tidak semua desa mempunyai Bidan dan hanya separo Bidan telah dilatih agar mempunyai keterampilan yang memadai, hal ini memberikan alasan bahwa pertolongan persalinan yang memenuhi standar dapat dilakukan di fasilitas kesehatan (Puskesmas Perawatan atau Puskesmas PONED). Persalinan di fasilitas kesehatan memberikan beberapa kelebihan yaitu: tenaga kesehatan tidak sendirian menghadapi persalinan, terutama bila terjadi komplikasi, karena ada tenaga lebih dari satu orang maka monitoring pasien dapat dilakukan dengan lebih intensif secara bergantian; mengatasi kekurangan Bidan karena dapat dilakukan rotasi penugasan di fasilitas kesehatan; karena bukan di rumah pasien maka tekanan keluarga dan kondisi rumah pasien yang kurang kondusif bagi Bidan dapat dihindarkan, kelengkapan alat dan obat di fasilitas kesehatan lebih terjamin, dan biasanya fasilitas kesehatan berada di lokasi yang lebih mudah untuk mencapai RS.4Terjadinya kematian ibu dan bayi baru lahir sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan tindakan pada saat kegawat daruratan terjadi. Keberadaan Puskesmas mampu PONED adalah salah satu jawaban untuk mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir untuk mencegah komplikasi dan/atau mendapatkan pelayanan pertama saat terjadi kegawatdaruratan kebidanan dan bayi baru lahir, dengan persyaratan pelayanan yang diberikan memenuhi standar pelayanan yang adekuat. Namun demikian, cakupan dan kualitas pelayanan dasar tampaknya masih perlu ditingkatkan. Dari data Risfaskes 2011 didapatkan fakta bahwa 241 kabupaten di Indonesia (60 %) belum mempunyai 4 buah Puskesmas PONED per kabupaten seperti yang dipersyaratkan. Hanya di 69,7% Puskesmas tersedia alat pemeriksaan Haemoglobin dan hanya di 42,6% puskesmas PONED tersedia MgSO4, sementara perdarahan dan Eklampsia merupakan dua penyebab kematian terbanyak. Dari seluruh Puskesmas perawatan, termasuk PONED, hanya 76,5% Puskesmas perawatan yang mempunyai alat transportasi (ambulans atau perahu motor). Sebagian besar kegawatdaruratan kebidanan dan bayi baru lahir bisa ditangani di fasilitas kesehatan dasar dengan teknologi yang sederhana, sehingga dengan memperbaiki kualitas penanganan gawat darurat kebidanan dan bayi baru lahir di puskesmas seharusnya memberikan kontribusi yang cukup besar untuk pencegahan kematian ibu dan bayi baru lahir.4Rumah sakit sebagai tempat rujukan akhir kasus kebidanan dan bayi baru lahir memegang peranan penting dalam upaya penyelamatan ibu dan bayi baru lahir, karena sekitar 5-15% kasus komplikasi membutuhkan tindakan yang hanya bisa dilakukan di rumah sakit seperti seksio sesaria dan transfusi darah. Risfaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya 7,6% RS pemerintah yang bisa memenuhi 17 kriteria RS mampu PONEK 24 jam 7 hari seminggu (24/7). Kekurangan sarana dan retensi Dokter sepsialis Obstetri dan Ginekologi menjadi penyebab utama ketidak mampuan sebuah RS menyediakan PONEK 24/7.4Salah satu keberhasilan pencegahan kematian ibu terletak pada ketepatan pengambilan keputusan pada saat terjadinya komplikasi. Hal ini bisa terjadi apabila keluarga mempunyai pengetahuan dasar yang baik tentang kehamilan dan persalinan sehingga mereka bisa menyusun perencanaan persalinan dan kesiapan menghadapi komplikasi sedini mungkin. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa sekitar 45 % keluarga yang mengaku mendapat penjelasan tanda bahaya kehamilan saat ANC. Hal ini diperkuat dengan hasil Asesmen Kualitas Pelayanan Maternal tahun 2012 yang menunjukkan bahwa hanya 24 % RS dan 45 % Puskesmas yang melakukan konseling dan edukasi sesuai standar pada saat ANC. Kedua hal ini menunjukkan bahwa peran tenaga kesehatan untuk memberikan informasi dan advokasi kepada ibu dan keluarga pada saat ANC masih lemah sehingga pengetahuan keluarga dan masyarakat untuk membuat perencanaan persalinan juga rendah.4Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang mulai diperkenalkan tahun 2007 telah diimplementasikan di 63.000 desa di seluruh Indonesia pada tahun 2011. Pelaksanaan P4K di desa desa tersebut perlu dipastikan agar mampu membantu keluarga membuat perencanaan persalinan dan membantu mewujudkan rencana itu dengan baik tepat pada waktunya. Kegiatan lain sebelum Program P4K yang melibatkan masyarakat adalah Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang populer pada tahun 2000-an. Sayangnya akhir-akhir ini kegiatan tersebut telah meredup, padahal GSI dirasakan cukup mampu mengangkat isu kesehatan ibu di masyarakat karena meningkatkan kepedulian para pengambil keputusan di semua tingkat pemerintahan. Integrasi penguatan kembali P4K dengan Desa Siaga dan GSI merupakan salah satu solusi pemberdayaan keluarga dan masyarakat dalam kesehatan ibu.4Rencana Aksi Nasional 2013-2015Tujuan dari RAN adalah penurunan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia. RAN dilaksanakan dalam konteks desentralisasi dalam bentuk Rencana Aksi Daerah (RAD) yang menjamin integrasi yang mantap dalam perencanaan pembangunan kesehatan serta proses alokasi anggaran, dengan fokus pada pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir sesuai standar, cost-effective dan berdasarkan bukti pada semua tingkat pelayanan dan rujukan kesehatan baik di sektor pemerintah maupun swasta.4Tiga tantangan utama percepatan penurunan AKI adalah masih kurang optimalnya akses terhadap pelayanan di fasilitas kesehatan yang berkualitas, terbatasnya sumber daya strategis untuk kesehatan ibu dan neonatal, serta rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu. Tiga tantangan utama ini yang kemudian mendasari penentuan tiga strategi dan pemilihan program utama.4Strategi yang digunakan dalam mencapai target AKI tahun 2015 adalah peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu. Bukti bukti sangat kuat menunjukkan bahwa keselamatan nyawa ibu hamil, bersalin dan nifas sangat dipengaruhi oleh aksesnya setiap saat terhadap pelayanan kebidanan yang berkualitas, terutama karena setiap kehamilan dan persalinan mempunyai resiko mengalami komplikasi yang mengancam jiwa. Konsep pelayanan kebidanan berkesinambungan mendasari sangat pentingnya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan, sedemikian rupa sehingga setiap ibu hamil dan bersalin yang mengalami komplikasi mempunyai akses ke pelayanan kesehatan berkualitas secara tepat waktu dan tepat guna. Pelayanan berkesinambungan ini terutama sangat penting pada periode proses persalinan dan dalam 24 jam pertama pasca-salin oleh karena di dalam waktu yang sangat pendek tersebut sebagian besar kematian ibu terjadi. Akses terhadap pelayanan untuk kasus-kasus tertentu yang dapat memperburuk kondisi ibu hamil, bersalin dan nifas, dan kasus-kasus yang mempunyai implikasi kesehatan dan sosial yang luas di masa mendatang, yaitu Anemia, Malaria di daerah endemis, HIV/AIDS, Asuhan Paska Keguguran dan kehamilan pada remaja, sangat perlu mendapatkan perhatian.4Kedua, Peningkatan peran Pemerintah Daerah terhadap peraturan yang dapat mendukung secara efektif pelaksanaan program. Sistem pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sistem pelayanan publik lainnya yang pengaturannya dalam beberapa aspek sangat ditentukan oleh kebijakan dan peraturan daerah (PERDA), seperti penyediaan dan penempatan tenaga kesehatan dan tenaga penunjang kesehatan, serta penyediaan sarana dan prasarana kesehatan. Tenaga kesehatan merupakan ujung tombak dari pelaksanaan program pelayanan kesehatan. Oleh karena itu kebijakan penempatan tenaga kesehatan mempunyai posisi yang sangat strategis sehingga perludiatursecarajelas dan tegas. Kebijakan perlu dilengkapi dengan penerapan reward dan punishment yang jelas,baik terhadap tenaga spesialis, dokter, bidan, dan tenaga terkait kesehatan lainnya. Oleh karena hasil pelayanan kesehatan yang optimal sangat dipengaruhi oleh kualitas pelayanan, maka penjaminan kompetensi tenaga kesehatan perlu mendapatkan perhatian, melalui berbagai upaya yang meliputi pendidikan yang adekuat, pelatihan untuk meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan yang telah bekerja, penerapan kewenangan tenaga kesehatan yang sesuai, sertifikasi tenaga dan fasilitas kesehatan, pemberian ijin praktek tenaga kesehatan dan upaya audit pelayanan terhadap tenaga kesehatan maupun fasilitas kesehatan. Peran PEMDA dan Pemerintah Pusat dalam pengaturan ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan sangat diharapkan untuk dapat berfungsi dengan efektif.4Ketersediaan tenaga yang kompeten saja tidak cukup tanpa didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, termasuk ketersediaan darah 24/7. Perlu dilakukan koordinasi yang baik antara UTD RSUD dengan PMI, UTD RS yang lebih tinggi (provinsi) dan UTD RS swasta dalam penyediaan darah untuk pasien.4 Penguatan sistem rujukan perlu mendapatkan dukungan yang kuat dari PEMDA dan pemangku kepentingan lainnya, sedemikian rupa, sehingga pasien yang dirujuk segera mendapatkan pertolongan. Dukungan sangat diperlukan mengingat proses rujukan memerlukan keterlibatan berbagai pihak yaitu masyarakat, tenaga dan fasilitas kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan dasar, Rumah Sakit (pemerintah maupun swasta) termasuk UTD RS, dan PMI. Perlu dipertimbangkan upaya-upaya regionalisasi daerah yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing, agar ada kejelasan dalam tujuan tempat rujukan. Upaya regionalisasi tersebut antara lain klaster pulau, klaster daerah pantai, klaster wilayah kota dengan kabupaten terdekat, dsb. Untuk hal ini, dukungan melalui Peraturan Gubernur mungkin dapat membantu mempermudah upaya regionalisasi rujukan.4Ketiga, Pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Pengaturan kehamilan dan persalinan seharusnya merupakan keputusan yang dibuat bersama-sama antara seorang calon ibu dengan suami dan keluarganya, bukan merupakan keputusan yang tidak diinginkan oleh ibu, baik oleh karena alasan kesehatan ataupun alasan-alasan kesiapan lainnya. Keluarga perlu mempunyai pengertian bahwa setiap kehamilan harus merupakan kehamilan yang diinginkan oleh ibunya, termasuk kapan kehamilan dikehendaki dan berapa jumlah anak yang diinginkan. Selain itu perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan pengetahuan dan sikap keluarga dan masyarakat pada umumnya mengenai pentingnya memahami bahwa setiap kehamilan beresiko mengalami komplikasi yang mengancam jiwa, oleh karenanya perlu melakukan perencanaan persalinan dengan baik dan perencanaan untuk melakukan pencegahan dan pencarian pertolongan segera bila komplikasi terjadi seperti, kesiapan transportasi, dana, dan calon donor darah.4Program Utama terpilih merupakan program yang dianggap akan mempunyai daya ungkit yang besar dalam upaya percepatan penurunan AKI oleh karena menjamin tersedianya pelayanan berkualitas yang dapat diakses setiap saat, yang meliputi penyediaan pelayanan KIA di tingkat desa sesuai standar, penyediaan fasyankes di tingkat dasar yang mampu memberikan pertolongan persalinan sesuai standar selama 24 jam 7 hr / mgg, penjaminan seluruh Puskesmas Perawatan, PONED dan RS PONEK 24 jam 7 hari / mgg berfungsi sesuai standar, pelaksanaan rujukan efektif pada kasus komplikasi, penguatan pemda Kabupaten/Kota dalam tata kelola desentralisasi program kesehatan, pelaksanaan kemitraan lintas sektor dan swasta, dan peningkatan perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat melalui pemahanan dan pelaksanaan P4K serta Posyandu.4Dalam rangka penjaminan kompetensi Bidan di desa maka perlu dilakukan beberapa hal, meliputi penyediaan sarana pelayanan di desa (Poskesdes) di lokasi dimana akses terhadap pelayanan yang lebih lengkap belum dapat dipenuhi. Perlu kejelasan mengenai fungsi Poskesdes, sesuai dengan kondisi daerah masing-masing dengan cara penyediaan sarana pelayanan di Poskesdes, dan penyediaan Bidan Kit, termasuk alat pemeriksaan Hb. Kedua, meningkatkan keterampilan bidan dalam pertolongan persalinan dan pemeriksaan antenatal care terpadu, melalui pelatihan APN bagi Bidan di desa yang di dalam kurikulum pendidikannya belum menyertakan komponen seperti didalam APN dan bagi Bidan yang kompetensinya belum memenuhi standar, pelatihan ANC terpadu, pelatihan untuk bidan dalam memberikan konseling dan edukasi kepada masyarakat tentang kesehatan dan gizi ibu dan bayi, sehingga bidan dapat lebih efektif dalam mengubah sikap masyarakat agar lebih waspada dalam menyikapi kehamilan dan dapat lebih siaga ketika terjadi komplikasi. Program pelatihan harus dilengkapi dengan komponen Evaluasi Pasca Pelatihan serta monitoring secara periodik, contohnya melalui self assessment. Ketiga, menjaga/meningkatkan mutu pelayanan KIA melalui peningkatan kegiatan supervisi fasilitatif terhadap bidan di desa.4Dalam rangka penjaminan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan mampu pertolongan persalinan 24/7 sesuai standar diperlukan langkah berikut, meningkatkan deteksi dan pertolongan pertama kasus komplikasi dan rujukan efektif, dengan meningkatkan jumlah Puskesmas yang mampu memberikan pertolongan persalinan sesuai standar yang berfungsi 24/7, melakukan ANC terpadu, termasuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), dan melakukan skrining pemeriksaan Hemoglobin bagi setiap ibu yang memeriksakan kandungannya ke fasilitas kesehatan. Kedua, meningkatkan ketersediaan fasilitas yang berfungsi memberikan pelayanan penanganan komplikasi, dengan meningkatkan jumlah Puskesmas yang berfungsi PONED 24/7, dan membentuk Puskesmas mampu PONED yang berfungsi 24/7 bagi daerah terpencildan kepulauan, dengan perhatian dan bimbingan khusus dari RS PONEK, agar fungsi Puskesmas PONED dan rujukan yang efektif dapat terselenggara dengan baik.4Ketiga, melakukan koordinasi dan kerjasama dengan RS rujukan baik yang berada di wilayahnya maupun di wilayah lainnya (RS provinsi, RS di wilayah perbatasan, RS militer, RS swasta) untuk memperluas akses rujukan kasus komplikasi di RS. Keempat, mengoptimalkan pemanfaatan asuransi kesehatan bagi masyarakat yang berhak (Jampersal, SJSN). Kelima, meningkatan kualitas pelayanan, melalui peningkatan keterampilan tenaga kesehatan, RS PONEK melakukan pembinaan ke Puskesmas PONED, melaksanakan Audit Maternal Perinatal (AMP) pada kasus kematian ibu dan bayi baru lahir yang disertai dengan tindak lanjutnya, melaksanakan rujukan balik agar perujuk mendapatkan pembelajaran dari hasil tindakannya dan dapat meneruskan pemantauan pasien pasca rawat, dan melakukan supervisi fasilitatif terhadap pelayanan PONED yang dilaksanakan oleh Bidan koordinator kabupaten atau tenaga kesehatan lainnya yang ditunjuk.4Dalam rangka penjaminan seluruh Puskesmas PONED dan RS PONEK Kabupaten/Kota berfungsi 24/7 sesuai standar diperlukan langkah-langkah berikut, meningkatkan kualitas petugas pelayanan kesehatan di RS rujukan agar dapat menangani kasus komplikasi dengan tepat waktu dan tepat guna, termasuk adanya pedoman standar pelayanan kasus-kasus komplikasi. Kedua, melakukan koordinasi dan kerjasama dengan RS Rujukan lainnya baik di wilayah yang sama atau wilayah lain terdekat, yaitu dengan RS tipe lebih tinggi, RS/RSB swasta, dan RS Militer untuk memperluas akses kasus komplikasi di RS sebagai bagian dari jejaring rujukan. Ketiga, menjamin akses terhadap darah yang aman, melalui kerjasama dengan PMI. Keempat, meningkatkan pelayanan Keluarga Berencana Pasca salin bekerja-sama dengan sektor terkait terutama Rumah Sakit dan BKKBN. Kelima, menjamin ketersediaan pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir setiap saat dengan melengkapi/menambah tenaga untuk menjamin pemberian pelayanan 24/7, melengkapi/menambah ketersediaan sarana dan prasarana, dan melakukan pendekatan inovatif bagi RS yang kekurangan SDM strategis terutama di DTPK. Keenam, meningkatkan Kualitas Pelayanan KIA dengan cara, meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan melalui pelatihan, magang, inhouse training, pembinaan, yaitu Bidan, Dokter, dan Spesialis, melakukan audit pada setiap kematian ibu dan bayi baru lahir yang terjadi di RS, mengoptimalkan pelaksanaan supervisi dan jaga mutu di RS, menggunakan maklumat pelayanan untuk meningkatkan peran masyarakat dalam peningkatan kualitas pelayanan. Ketujuh, memperkuat Sistem Pelayanan di RS, dengan mengembangkan/memodifikasi kebijakan di fasilitas pelayanan dan melaksanakan rujukan balik/back-referral dari RS ke perujuk.4Dalam rangka penjaminan terlaksananya rujukan efektif pada kasus komplikasi adalah dengan menjamin tersedianya Pedoman Rujukan, menjamin tersedianya Sistem Rujukan yang Mantap, dengan mengembangkan/memantapkan sistem jejaring yang disepakati bersama, yang meliputi Jejaring Rujukan Vertikal yaitu antara pelayanan dasar dan pelayanan di jenjang yang lebih tinggi (pelayanan di RS), dan Jejaring Rujukan Horisontal yaitu antar RS (pemerintah dan swasta); antara bidan di desa atau bidan puskesmas dengan BPS, antara Puskesmas PONED dengan RB, dst. Kemudian, mengembangkan/memantapkan sistem jejaring regional yang disepakati bersama, pada daerah-daerah terpencil dan perbatasan, mengembangkan Sistem Komunikasi Rujukan untuk pembimbingan pelayanan oleh SpOG kepada dokter umum atau bidan dan untuk mendapatkan konfirmasi ketersediaan pelayanan RS rujukan, dan memantapkan sistem penerimaan dan pananganan kasus gawat darurat di dalam rumah sakit.4Dalam rangka penjaminan dukungan Pemerintah Daerah terhadap pelaksanaan Program Percepatan Penurunan Kematian Ibu melalui pendekatan District Team Problem Solving/DPTS, yang meliputi regulasi dalam pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan, regulasi dalam pengadaan dan penjaminan ketersediaan alat dan obat yang diperlukan di setiap fasilitas kesehatan, regulasi dalam tata kelola administrasi dan keuangan daerah, regulasi dalam peningkatan kualitas/keterampilan tenaga kesehatan, regulasi dalam sistem informasi kesehatan ibu dan neonatal, dan penjaminan dukungan dalam regulasi lainnya yang diperlukan.4Dalam rangka peningkatan kemitraan dengan lintas sektor dan swasta yaitu dengan bekerjasama selain dengan PEMDA, antara lain institusi pendidikan kedokteran untuk dapat bekerja di RS daerah, sektor swasta yang secara langsung memberikan pelayanan kebidanan, seperti RB, Klinik, dan RS, BKKBN untuk meningkatkan akses informasi mengenai kesehatan reproduksi dan akses terhadap metoda KB, sektor Agama untuk remaja puteri di pesantren, madrasah melalui UKS, maupun kepada calon pengantin KUA terhadap informasi mengenai kesehatan reproduksi, termasuk kesiapan tubuh untuk usia kehamilan pertama, sektor Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk meningkatkan akses semua remaja putri, sektor swasta yang memberikan peran secara tidak langsung, seperti institusi pendidikan tenaga kesehatan, pemanfaatan CSR/Corporate Social Responsibility perusahaan, organisasi Profesi, agar dapat lebih berperan dalam meningkatkan kualitas pelayanan anggotanya, organisasi Keagamaan dalam penyampaian informasi kesehatan dan Jejaring Pelayanan Kesehatan Daerah, serta Mengembangkan/meningkatkan kemitraan lainnya, sesuai dengan situasi dan kondisi di daerah.4Dalam rangka peningkatan pemahaman dan pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di masyarakat dengan cara reorientasi dan mengaktifkan kembali konsep kesiapan masyarakat dalam menghadapi persalinan dan orientasi mengenai pentingnya upaya-upaya dalam periode kehamilan dan persalinan.4Monitor dan Evaluasi Keberhasilan RANPencapaian program Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dapat dilihat dari Indikator Outcome/Keluaran yang meliputi:4 AKI (Angka Kematian Ibu)Jumlah seluruh kematian ibu (sesuai dengan definisi ICD 10) di suatu wilayah dibagi dengan jumlah seluruh kelahiran hidup di wilayah yang sama dalam satu waktu tertentu. Dinyatakan dalam satuan per 100.000 kelahiran hidup.4 Pn (Persalinan oleh Tenaga Kesehatan)Jumlah seluruh persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di suatu wilayah dibagi dengan jumlah seluruh persalinan di wilayah yang sama dalam satu waktu tertentu. Dinyatakan dalam persen.4

Angka Kelahiran RemajaJumlah kelahiran pada remaja puteri dalam suatu wilayah dibagi dengan jumlah seluruh remaja puteri di wilayah yang sama dalam satu waktu tertentu. Dinyatakan dalam persen.4 K4 (Kunjungan ANC 4 kali selama kehamilan)Jumlah kunjungan ANC sebayak 4 kali di suatu wilayah, yaitu sedikitnya 1 kali dalam Trimester 1, 1 kali dalam Trimester 2 dan 2 kali dalam Trimester 3, dibagi dengan jumlah seluruh kehamilan di wilayah yang sama dalam satu waktu tertentu. Dinyatakan dalam persen.4 Persalinan di fasilitas kesehatanJumlah seluruh persalinan yang ditolong di fasilitas kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit) di satu wilayah dibagi dengan seluruh persalinan di wilayah yang sama dalam waktu tertentu. Dinyatakan dalam persen. Perlu dibedakan antara persalinan di fasilitas kesehatan non-RS dan persalinan di RS. Polindes dan Poskesdes tidak dimasukkan kedalam kategori fasilitas kesehatan oleh karena jenis pelayanan yang dapat dilakukan di kedua fasilitas ini tidak sama dengan pelayanan di Puskesmas.4 Proporsi Komplikasi kebidanan yang mendapatkan pelayanan di Rumah Sakit yang memberikan pelayanan Gawat Darurat Kebidanan dan Neonatal Jumlah seluruh komplikasi kebidanan yang mendapatkan pelayanan di RS Gawat Darurat di suatu wilayah, dibagi dengan total perkiraan komplikasi (=jumlah kehamilan * 15%) di wilayah yang sama dalam satu waktu tertentu. Dinyatakan dalam persen.4Sedangkan dilihat dari Proses nya adalah sesuai dengan yang tercantum didalam matriks, termasuk kebijakan dan peraturan daerah. Alokasi dana APBD dengan tren dan besarnya jumlah peruntukan yang sesuai dengan kebutuhan program kesehatan, serta kerjasama lintas sektor dan dengan swasta dengan dokumen kerjasama (MoU) dengan lintas sektor dan swasta.4Pemantauan RAN PP AKI dapat dilakukan melalui laporan kegiatan bulanan program kesehatan ibu melalui pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan terintegrasi yang merupakan konsensus bersama terhadap data/informasi yang perlu dikumpulkan secara rutin atau periodik. Termasuk Format yang sederhana namun memuat informasi yang penting tentang kesehatan ibu (indikator MDG 5 dan indikator output/outcome lain yang dianggap penting), dan jalur pelaporan (vertikal dari Bidan ke Dinkes, dan horisontal antara RS dan Dinkes). Analisa laporan rutin dari dinas kesehatan provinsi tentang indikator-indikator kunci antara lain cakupan persalinan Nakes, persalinan faskes, lokasi persalinan, jumlah kematian ibu serta laporan kegiatan yang sesuai dengan indikator yang ditetapkan. Melakukan diseminasi informasi secara periodik mengenai perkembangan indikator-indikator kunci Kesehatan Ibu dan Neonatal ke berbagai stakeholders. Supervisi yang dilakukan secara berjenjang ke provinsi dan kabupaten/kota untuk melihat secara langsung permasalahan seputar PP AKI dan mencoba melakukan pemecahannya. Rapat tim monitoring dan evaluasi PP AKI dan bayi baru lahir yang melibatkan semua stakeholder terkait yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, BKKBN, Tim Penggerak PKK, Organisasi profesi (POGI, IDAI, IDI, IBI, PPNI, IAKMI,KARS), PERSI, LSM dan Organisasi pemerhati kesehatan ibu. Melaksanakan perencanaan tahunan yang berbasis data dan terintegrasi dengan semua sumber dana yang ada.4

PenutupKasus 1. Puskesmas Argomulyo mendapatkan predikat sebagai Puskesmas yang buruk akibat dari tingkat kematian Ibu yang tinggi. Berdasarkan data tahun lalu AKI (Angka Kematian Ibu) = 500/100.000 kelahiran hidup. Baru-baru ini ada seorang ibu muda usia 18 yang melahirkan premature dan anaknya hanya 1800gram, meninggal setelah 7 hari kemudian. Ibunya menderita anemia dengan Hb 9.5g/dL. Luas wilayah kerja Puskesmas meliputi 6 desa, sebagian besar wilayah hanya dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua. Jenis pekerjaan penduduk terutama bertani dan sebagian besar penduduk hanya buruh tani. Di wilayah kerja puskesmas terdapat 3 posyandu yang dilayani oleh 20 orang kader.Pada kasus yang didapatkan yaitu masalah AKI puskesmas tersebut melebihi batas rata-rata AKI Indonesia, dan juga masih terdapatnya kasus Anemia serta faktor transportasi yang sulit. Dan juga kemiskinan yang sangat berpengaruh terhadap pengetahun dan pendidikan masyarakat. Ditambah lagi kurangnya posyandu. Maka memang mendukung untuk terjadi tingginya AKI di wilayah kerjanya. Solusi yang bisa diberikan antara lain, pelatihan Kader yang lebih banyak lagi, Penambahan posyandu dengan minimal 1 posyandu per desa, adanya Puskesmas pembantu atau Poskesdes atau Polindes yang bisa segera melaksanakan rujukan bila terjadi komplikasi, perlu juga edukasi masyarakat tentang keselamatan persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan bukan dengan dukun beranak, yang semuanya sudah dijelaskan pada program pemerintah diatas.Masih tingginya Angka Kematian Ibu merupakan salah satu indikator bahwa pelayanan kesehatan Ibu di Indonesia masih buruk. Ditambah lagi dengan tuntutan program dunia dalam Millennium Development Goals 5 tahun 2015 yang juga menuntut hal yang serupa, maka pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan segera membuat penanggulanan terhadap berbagai masalah yang terjadi dengan membuat Rencana Aksi Nasional yang di rancang untuk tahun 2013-2015 sehingga target Angka Kematian Ibu 102/100.000 kelahiran hidup bisa dicapai pada tahun 2015. Tentunya ada banyak faktor yang mempengaruhi tingginya Angka Kematian Ibu yang diharapkan dengan kehadiran Rencana Aksi Nasional ini bisa diselesaikan dengan baik dalam semua masalah yang mungkin berpengaruh.

Daftar Pustaka1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan indonesia 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.h.118-129, 148-155, 194-261.2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penyelenggaraan puskesmas mampu poned. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.h.6-9.3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis penggunaan dak bidang kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2008.h.3-5.4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana aksi percepatan penurunan angka kematian ibu di indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.h.3-23.5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pembinaan teknisi bidan di desa. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;1997.6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk pelaksanaan dana dekonsentrasi program bina gizi dan kia 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014.h.43.25