PBL blok 22
-
Upload
angkawinata -
Category
Documents
-
view
45 -
download
2
description
Transcript of PBL blok 22
Anita Angkawinata Langie
102012142
Kelompok A7
Makalah Blok 23
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 10
Pendahuluan
Latar Belakang
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama
di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Meningitis adalah
infeksi atau radang yang mengenai piamater, arakhnoid, dan dalam derajat yang lebih
ringan mengenai jaringan otak dan medulla spinalis yang superfisial. Dibandingkan
dengan jenis-jenis tuberkulosa lain, meningitis tuberkulosa adalah yang paling banyak
menyebabkan kematian. Jumlah penderita meningitis tuberkulosa kurang lebih
sebanding dengan prevalensi infeksi oleh mikobakterium tuberkulosa pada umumnya.
Dibandingkan dengan meningitis bakterial akut, maka perjalanan penyakit lebih lama
dan perubahan atau kelainan dalam CSS tidak begitu hebat.1,2
Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi
tuberculosis primer. Secara histologic, meningitis tuberculosis merupakan meningo-
ensefalitis (tuberkulosa) dimana terjadi invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf
pusat.
Tujuan
Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai meningitis tuberculosis
dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik maupun penunjang, gejala klinis,
patofisiologi, tatalaksana, prognosis, dan pencegahan.
Isi
Skenario 5.
Seorang wanita berusia 72 tahun datang ke poliklinik diantar oleh anaknya dengan
keluhan utama kedua mata pandangan kabur dengan mata kanan lebih buruk dari mata
kiri. Keluhan sudah dirasakan selama bertahun-tahun dan dirasakan semakin lama
semakin memburuk. Anak pasien mengatakan bahwa ibunya sering menabrak
perabotan di dalam rumah. Pasien menderita DM dan Hipertensi yang tidak terkontrol
dengan baik.
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter
dengan cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien secara langsung
(autoanamnesis) atau dengan keluarga pasien atau dalam keadaan tertentu dengan
penolong pasien (alloanamnesis). Hasil anamnesis yang didapat pada kasus adalah
sebagai berikut :
Identitas
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, alamat, dan juga pekerjaan.
Keluhan Utama
Seorang wanita dibawa oleh anaknya dengan keluhan pandangan kabur yang
dirasakan bertahun-tahun dan semakin memberat.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pandangan mata kanan lebih buruk dari mata kiri. Wanita tersebut sering
menabrak perabotan di dalam rumah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada kasus tidak diberitahukan apakah pasien pernah mengalami hal seperti
ini sebelumnya. Pada kasus hanya diberitahukan bahwa pasien menderita DM
dan Hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik.
Riwayat Keluarga
Pada kasus tidak diberitahukan apakah keluarga pasien ada yang menderita hal
serupa atau tidak.
Riwayat social-ekonomi
Meliputi suasana dan kebersihan tempat tinggal pasien. Ditanyakan pula
pekerjaan dan kesibukan pasien sehari-hari.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk menegakkan diagnosis bersama
dengan anamnesis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang dilakukan
adalah pengecekan tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan,dan tekanan darah) dan
pemeriksaan neurologis. Penting juga pencatatan antropometri untuk mengetahui
keadaan normal pasien.
Berikut adalah pemeriksaan neurologis yang dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis:
Pada saat pasien datang kita melihat bagaimana keadaan umum dan kesadaran
pasien yang bisa diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Berikut merupakan
tingkatan kesadaran pasien:
1. Compos Mentis : Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa
dengan baik.
2. Apatis : kurang memberikan respon terhadap sekelilingnya atau bersifat
acuh tak acuh terhadap sekelilingnya.
3. Delirium: penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur
bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi
dan meronta-ronta.
4. Somnolen : keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila
dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.
5. Sopor : keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak
terbangun sempurna dan tidak dapat membrikan jawaban verbal yang baik.
6. Coma : tidak sadar, dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan apapun juga.
Tingkat Kesadaran (Kuantitas) dinilai dgn GCS
Terdiri atas respon:
1. Membuka Mata / Eye (E); nilai normal = 4
2. Bicara / Verbal (V); nilai normal = 5
3. Gerakan / Motorik (M); nilai normal = 6
Tabel 1. Glasgow Coma Scale (GCS)2
RESPON NILAI
Respon Membuka Mata / Eye (E)
· Spontan 4
· Dengan rangsangan suara 3
· Dengan rangsangan nyeri ( pada supra orbita, sternum, kuku) 2
· Tidak ada respon 1
Respon Bicara / Verbal (V)
· Baik dan tidak ada disorientasi 5
· Bicara kacau; Dapat bicara kalimat namun disorientasi waktu
dan tempat
4
· Tidak tepat dalam mengucapkan kata-kata dan
pengucapaannya tidak beraturan
3
· Mengeluarkan bunyi tanpa arti ( mengerang ) 2
· Tidak ada jawaban 1
Respon Gerakan / Motorik (M)
· Menurut perintah ( contoh : mengangkat tangan ) 6
· Dapat menunjuk lokasi nyeri 5
· Reaksi menarik ekstremitas ( menghindar ) 4
· Reaksi fleksi abnormal 3
· Reaksi ekstensi abnormal 2
· Tidak ada respon sama sekali (dipastikan dengan rangsangan
yang adekuat )
1
· Interpretasi
1. GCS = E4M6V5 (15) : compos mentis
2. GCS ≤ 8 : koma
3. GCS = E1M1V1 (3) : koma dalam
Setelah itu kita mengukur antopometri (berat dan tinggi badan pasien, serta
lingkar lengan atas karena pasien > 2 tahun), pemeriksaan TTV, dan pemeriksaan
tanda rangsang meningeal
o Berat dan tinggi badan
o Lingkar lengan atas
o Tanda-tanda vital (TTV) :
Suhu (oral, rektal, axila atau telinga)
Tekanan darah
Tekanan nadi
Frekuensi pernafasan
Pemeriksaan rangsang meningeal adalah pemeriksaan yang dilakukan pada
paasien dugaan meningitis dan juga pendarahan sub arachnoid. Pemeriksaan yaitu
meliputi antara lain :2,3
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang, tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala
pasien. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai
dada. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk
kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat
ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat, kepala tidak dapat ditekuk, malah
sering kepala terkedik ke belakang. Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai
dari tahanan yang dialami waktu menekukkan kepala.
b. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul
sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada
persendian lutut. Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 1350,
antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum
mencapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda kernig positif.
c. Pemeriksaan Tanda Lasegue
Pasien diposisikan berbaring dengan kedua tungkai diekstensikan. Lalu
pemeriksa mengangkat salah satu tungkai lurus keatas. Tanda lasegue akan positif
apabila pasien tidak sampai pada > dari 700 dan terdapat nyeri.
d. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)
Tangan ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan
kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya
ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski
positif, maka tindakan ini mengakibatkan fleksi kedua tungkai.
e. Pemeriksaan Tanda brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)
Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persendian
panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Bila
tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi, maka disebut tandan Brudzinski II positif.
Sebagai halnya dalam memeriksa adanya tanda brudzinski I, perlu diperhatikan
terlebih dahulu apakah terdapat kelumpuhan pada tungkai.
f. Pemeriksaan Tanda brudzinski III
Pasien berada dalam posisi tidur terlentang dengan tangan dan kaki
diluruskan. Pemeriksa menekan kedua pipi atau infra orbita pasien dengan kedua
tangannya dan hasil brudzinski III akan memberikan hasil positif jika pada
pemeriksaan tadi bersamaan dengan terdapatnya fleksi pada kedua lengan pasien.
g. Pemeriksaan Tanda brudzinski IV
Pasien berada dalam posisi tidur terlentang dengan kedua tangan dan kaki
diluruskan. Pmeriksa menekan tulang pubis dan hasil brudzinski IV akan positif jika
pada pemeriksaan tadi bersamaan dengan terdapatnya fleksi pada kedua tungkai
bawah.
Gambar 1. Pemeriksaan lasegue.
Sumber : www.google.com
Gambar 2. Pemeriksaan kernig.
Sumber : www.google.com
Gambar 3. Pemeriksaan brudzinski I
Sumber : www.google.com
Gambar 4. Pemeriksaan brudzinski II
Sumber : www.google.com
Pemeriksaan Saraf Kranial2,3
Saraf I. Biasanya pasien meningitis tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
juga tidak mengalami kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan umumnya pada kondisi normal. Pemeriksaan
papilledema mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif disertai abses
serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intracranial yang telah berlangsung lama.
Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada pasien
meningitis yang tidak disertai dengan penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan.
Pada tahap lanjut meningitis, bagi pasien yang telah terganggu kesadarannya, tanda-
tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alas an yang
tidak diketahui, pasien meningitis sering mengeluh fotofobia atau sensitive yang
berlebihan dengan cahaya.
Saraf V. Pada pasien meningitis umumnya tidak didapat paralisis pada otot
wajah dan reflek kornea biasanya tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan umumnya dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan umumnya baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus atau trapezius. Adanya
usaha dari pasien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk (rigiditas nukal)
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Pada kasus diberitahukan bahwa pasien mengalami abnormalitas pada nervus
III, IV, dan VI. Berikut ini adalah cara pemeriksaannya : Pemeriksa menginspeksi
mata pasien, apakah terdapat ptosis, anemis atau kuning. Selanjutnya pemeriksaan
untuk N.III, IV dan VI pemeriksa memperhatikan kelopak mata pasien kemudian
pasien diminta untuk mengikuti gerakan jari yang diberikan oleh pemeriksa dengan
matanya membentuk huruf H, pemeriksa melihat apakah gerakan mata pasien mulus
tidak ada jerky juga nigtasmus. Pemeriksa juga menanyakan pada pasien, apakah ada
diplopia (penglihatan ganda).
Hasil pemeriksaan didapat berat badan pasien 17 kg yang seharusnya 20kg.
Pasien tampak letargi, pucat konjugtiva anemis, ada pembesaran kelenjar getah
bening, suara nafas ronkhi basah halus pada paru kanan bawah, NIII, IV, VI
abnormal. Pada pemeriksaan fisik neurologis didapat brudzinski I dan II (+) dan
Babinsky (+).
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam membantu
penegakkan diagnosa meningitis tuberkulosa adalah :4
- Darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit darah
- Pemeriksaan punksi lumbal bila ada indikasi
Pada punksi lumbal : cairan serebrospinal jernih atau santokrom, sel leukosit
meningkat sampai 500/µl, dengan hitung jenis sel limfosit dominan walaupun
pada keadaan awal dapat polimorfonuklear. Protein meningkat sampai 500
mg/dl, kadar glukosa dibawah normal. Fungsi lumbal ulangan dapat
memperkuat diagnosis.
- Pemeriksaan cairan otak.
Tekanan meningkat, warna jernih atau santokrom, protein meningkat, gula
menurun, klorida menurun, lekosit meningkat sampai 500/ mm3 dengan sel
mononuclear yang dominan. Bila didiamkan beberapa jam akan terbentuk
pelikula yang berbentuk sarang labah-labah. Pada pengecatan Ziehl Neelsen
dan biakan akan ditemukan kuman mikobakterium tuberkulosa. Tes tuberculin
terutama dilakukan pada bayi dan anak kecil, hasilnya sering kali negative
karena anergi, terutama pada stadium terminal.
- Pemeriksaan lainnya meliputi foto dada dan kolumna vertebralis, rekaman
EEG, dan CT Scan.
Diagnosis meningitis tuberkulosa dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR,
ELISA dan aglutinasi Latex. Baku emas diagnosis meningitis TB adalah
menemukan Micobacterium Tuberculosa dalam kultur Cairan Serebro Spinal. Namun
pemeriksaan kultur Cairan Serebro Spinal ini membutuhkan waktu yang lama dan
memberikan hasil positif hanya pada kira-kira setengah dari penderita.
Hasil pemeriksaan penunjang pasien Hb 10g/dl, Ht 35, leukosit 6.000/ul,
trombosit 200.000/ul dan pada pemeriksaan Lumbal Punksi didapat cairan berwarna
kuning jernih, predominan limfosit 30/ul, protein 150mg/dl, glukosa 20 mg/dl, dan
BTA (+)
Gejala Klinis
Meningitis bacterial disebut juga dengan leptomeninges karena organisme
penyebabnya biasanya didapatkan pada subarachnoid dan menyebar ke piamater dan
arachnoid. Penyakit ini timbul bertahap sehingga biasanya terdapat panas yang tidak
terlalu tinggi, nyeri kepala dan nyeri kuduk. Disamping itu juga terdapat riwayat
penurunan berat badan, nyeri otot, nyeri punggung, anoreksia dan mungkin sedikit
demam, kemungkinan dijumpai kelainan jiwa seperti halusinasi, waham. Setelah
beberapa hari, bukti adanya keterlibatan meningen ditandai dengan adanya letargi,
iritabilitas, dan pada pemeriksaan akan dijumpai tanda-tanda rangsangan selaput otak
seperti kaku kuduk, tanda Kernig dan tanda Brudzinsky. Jika diagnosis tidak
ditegakkan pada tahap ini akan terjadi kejang, tanda fokal dan gangguan kesadaran.
Terdapat peningkatan jumlah limfosit dengan peningkatan protein dan glukosa yang
rendah pada LCS.2,3,5
Meningitis TB di bagi dalam 3 stadium.2,6
Stadium I
Stadium prodromal berlangsung < 2 minggu – 3 bulan. Pada anak yang masih
kecil awal penyakit bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanya kenaikan suhu
yang ringan atau hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, tidak ada
nafsu makan, murung, berat badan turun, tak ada gairah, mudah tersinggung, cengeng,
tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Anak yang lebih besar
mengeluh nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, obstipasi, muntah-muntah, pola tidur
terganggu. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi tak ada nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi dan
sangat gelisah.
Stadium II
Gejala terlihat lebih berat. Pada anak kecil dan bayi terdapat kejang umum
atau fokal. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku dan timbul opistotonus, terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Nyeri kepala yang
bertambah berat dan progresif menyebabkan sianak berteriak dan menangis dengan
nada yang khas yaitu meningeal cry. Kesadaran makin menurun. Refleks tendon
meningkat, refleks abdomen menghilang, disertai klonus patela dan pergelangan kaki.
Terdapat gangguan nervi kraniales antara lain N.II, III, IV, VI, VII dan VIII. Dalam
stadium ini dapat terjadi deficit neurologic fokal seperti hemiparesis, hemiplegia
karena infark otak dan rigiditas deserebrasi.
Stadium III
Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh
terganggunya regulasi pada diensefalon. Pernapasan dan nadi juga tak teratur dan
terdapat gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes atau Kussmaul, spasme
klonik dan peningkatan suhu tubuh. Gangguan miksi berupa retensi atau inkotinensia
urin. Di dapatkan pula adanya gangguan kesadaran makin menurun sampai koma
yang dalam. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu 3 minggu
bila tidak memperoleh pengobatan sebagaimana mestinya.
Working Diagnosis
Dilihat dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang bisa kita jadikan diagnosis yaitu meningitis tuberculosis.
Tuberculosis merupakan komplikasi yang paling efektif. Meningitis
tuberculosis biasanya berasal dari pembentukan lesi perkijuan metastatic di dalam
korteks serebri atau meninges yang berkembang selama penyebaran limfohematogen
infeksi primer. Lesi awal ini bertambah besarnya dan mengeluarkan sedikit basil
tuberkel ke dalam ruang subaraknoid. Hasilnya berupa eksudat gelatin yang dapat
menginfiltrasi pembuluh darah kortikomeningeal menimbulkan radang, obstruksi dan
selanjutnya infark korteks serebri. Batang otak sering merupakan tempat keterlibatan
yang paling besar, yang memberi penjelasan seringnya keterkaitan disfungsi syaraf
III, VI dan VII. Eksudat juga menganggu aliran normal CSS kedlam dan keluar sistem
ventrikel pada setinggi sisterna basilar, menimbulkan hidrosefalus komunikan.
Kombinasi vaskulitis, edema otak dan hidrosefalus menimbulkan cedera hebat yang
dapat terjadi secara perlahan-lahan atau cepat. Kelainan metabolisme elektrolit yang
berat, karena pembuangan garam atau sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak
tepat, juga turut membantu pada patofisiologi meningitis tuberculosis.3
Meningitis tuberkulosa mengkomplikasi sekitar 0,3 % infeksi primer yang
tidak diobati pada anak. Meningitis ini paling sering pada anak antara umur 6 bulan
dan 4 tahun. Kadang-kadang meningitis tuberkulosa dapat terjadi beberapa tahun
setelah infeksi primer, bila robekan satu atau lebih tuberkel subependimal
mengeluarkan basil tuberkel kedalam ruang subaraknoid. Perburukan meningitis
tuberkulosa klinis dapat cepat atau perlahan-lahan. Perburukan cepat cenderung
terjadi lebih sering pada bayi dan anak muda, yang dapat mengalami gejala hanya
untuk beberapa hari sebelum mulai hidrosefalus akut, kejang-kejang, dan edema otak.
Tanda-tanda dan gejala-gejala lebih sering memburuk perlahan-lahan selama
beberapa minggu dan dapat dibagi menjadi tiga stadium.3
Differential Diagnosis
Meningitis tipe lain7
Streptococcus grup B (Streptococcus agalactiae)
- Neonatus usia 3 bulan Sebanyak 25% ibu membawa streptococcus serogroup
B di vaginanya. Profilaksis ampisilin selama persalinan pada wanita dengan
resiko tinggi (ketuban yang sudah lama pecah, demam, dll) atau pada wanita
pembawa akan menurunkan kejadian infeksi pada bayi.
Listeria monocytogenes dan Haemophilus influenza type B
- yang terjadi pada periode neonatal.
Escherichia coli
- Merupakan penyebab pada lebih kurang 40% kasus meningitis neonatal.
Haemophilus influenza (HI)
- Anak-anak 5 bulan – 5 tahun Bayi < 3 bulan dapat mengandung antibodi
dalam serum yang diperoleh dari ibunya dan anak umur > 3 – 5 tahun
mempunyai antibodi yang kuat terhadap Haemophilus influenza (HI).
Sehingga selama masa ini infeksi HI jarang terjadi. Pemberian vaksin HIB
dapat menurunkan mikroorganisme HI.
Neisseria meningitidis
- Bayi – 5 tahun dan orang dewasa muda
- Merupakan komplikasi dari meningokoksemia yang tersering yaitu fokal
infeksinya dari nasofaring. Pencegahan dapat diberikan vaksin polisakarida
terhadap serogrouf A, C, Y, dan W135.
Streptococcus pneumonia
- Semua kelompok umur Sering terjadi pada pneumonia, juga pada matoiditis,
sinusitis dan fraktur tulang basiler.
Pseudomonas, Stafilococcus, Salmonella, atau Seratia
- Pada anak-anak > 12 tahun Jika respons penjamu terganggu atau terdapat
kelainan-kelainan anatomik, maka mikroorganisme-mikroorganisme tersebut
dapat menginfeksi.
Tabel 2. Perbedaan meningitis
Epilepsi
Epilepsi adalah penyakit saraf menahun yang menimbulkan serangan
mendadak berulang-ulang tak beralasan. Kata 'epilepsi' berasal dari
bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti 'serangan'.
M. Aseptik M.Piogenik M. Virus M. TBC M. Fungi
Makroskopis Jernih-keruh
Purulen,
kuning
muda,
bekuan
lunak
Jernih
Kuning
muda,
bekuan lunak
Normal
WBC <500
awalnya
PMN lalu
kemudian
MN
25-10000
terutama :
PMN
10-1000
terutama :
MN
10-1000
terutama :
MN
<800
MN>PMN
Protein 20-200 50-1500 Meningkat 45-500 <500
Glukosa Normal 0-45 Normal 10-45 Moderat
Mikrobiologi
/
Serologi
Biakan : -
Biakan,
pewarnaan
gram, PCR
PCR, IgM
spesifik,
biakan
Pewarnaan
tahan asam,
biakan, PCR
Tinta india,
biakan
Gambar 5. serangan epilepsy
Sumber : www.google.com
Otak kita terdiri dari jutaan sel saraf (neuron), yang bertugas
mengoordinasikan semua aktivitas tubuh kita termasuk perasaan, penglihatan,
berpikir, menggerakkan otot. Pada penderita epilepsi, kadang-kadang sinyal-sinyal
tersebut, tidak beraktivitas sebagaimana mestinya. Hal ini dapat diakibatkan oleh
berbagai unsur-unsur, antara lain; trauma kepala (pernah mengalami cedera di daerah
kepala), tumor otak, dan lain sebagainya.6
Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses
kelahiran, luka kepala, stroke, tumor otak, alkohol. Kadang-kadang, epilepsi mungkin
juga karena genetika, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya
tetap belum diketahui.6
Kejang bersifat simetris di kedua sisi dan tanpa didahului kejang lokal,
berdasarkan kontraksi otot yang timbul, kejang umum terbagi lagi menjadi berbagai
jenis:6
Tonik, clonik, or tonik-clonik (grand mal)
Absence (petit mal)
Lennox-Gastaut syndrome
Juvenile myoclonic epilepsy
Spasme pada bayi. (West syndrome)
Atonic (astatic, akinetic) seizures
Kejang sebagian/parsial/fokal
Kejang parsial diawali dari gejala yang bersifat lokal.
- Simpel
Kejang parsial yang timbul tanpa adanya kehilangan/perubahan
kesadaran dan fungsi psikologis Berdasarkan macam-macam sistem
saraf yang dipengaruhi kejang fokal simpel terbagi kembali menjadi
beberapa jenis:
- Kompleks
Jika pasien mengalami hilang kesadaran: Diawali dengan kejang parsial
yang lambat laut bertambah progresif dan akhirnya pasien kehilangan
kesadaran atau dari awal sudah terjadi hilang kesadaran.
Kejang demam kompleks
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai
dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya
infeksi ataupun kelainan yang jelas di intracranial.6,8
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana
dan kejang demam kompleks.
Tabel 3. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks
Etiologi
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh mikobakterium tuberkulos jenis
hominis, jarang oleh jenis bovinum atau aves. Mycobacterium tuberculosis tipe
human merupakan basilus tahan asam yang merupakan penyebab pathogen yang
No KlinisKD
sederhana
KD
kompleks
1 Durasi < 15 menit ≥ 15 menit
2 Tipe kejang Umum Umum/fokal
3 Berulang dalam satu episode 1 kali >1 kali
4 Deficit neurologis - ±
5 Riwayat keluarga kejang demam ± ±
6Riwayat keluarga kejang tanpa
demam± ±
7Abnormalitas neurologis
sebelumnya± ±
banyak menginfeksi sistem nervus. Penyakit ini terdapat pada penduduk dengan
keadaan sosio-ekonomi rendah, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari,
perumahan tidak memenuhi syarat kesehatan minimal, hidup dan tinggal atau tidur
berdesakan, kekurangan gizi, kebersihan yang buruk, faktor suku atau ras, kurang atau
tidak mendapat fasilitas imunisasi.2,4
Epidemiologi
Kuman mikobakterium tuberculosis paling sering menyebabkan infeksi pada
paru-paru, tetapi infeksi pada susunan saraf pusat adalah yang paling berbahaya.
Kekeraban meningitis tuberculosis sebanding dengan prevalensi infeksi dengan
mikobakterium tuberkulosa pada umumnya. Jadi bergantung pada keadaan sosial
ekonomi dan kesehatan masyarakat. Penyakit ini dapat terjadi pada segala umur,
tetapi jarang dibawah 6 bulan. Yang tersering adalah pada anak umur 6 bulan sampai
5 tahun. Pada anak, meningitis tuberkulosa merupakan komplikasi infeksi primer
dengan atau tanpa penyebaran miliar. Pada orang dewasa, penyakit ini merupakan
bentuk tersendiri atau bersamaan dengan tuberculosis ditempat lain. Penyakit ini
dapat menyebabkan kematian dan cacat bila terlambat dalam memberikan
pengobatan.2,7
Patofisiologi
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer
di luar otak. Focus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah
bening, tulang, sinus nasalis, traktus gastro-intestinalis, ginjal, dsb. Dengan demikian
meningitis tuberkulosa terjadi sebagai ganti penyebaran tuberkulosis paru-paru.
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak oleh
penyebaran hematogen, tetapi mulai pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa
mm sampai 1 cm), berwarna putih. Terdapat pada permukaan otak, selaput otak,
sumsum tulang belakang dan tulang. Tuberkel tadi kemudian melunak, pecah dan
masuk ke ruang subaraknoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus.
Secara mikroskopik tuberkel-tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-
tuberkel di bagian lain dari kulit dimana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi
oleh sel-sel raksasa, limfosit, sel-sel plasma dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai
penutup atau kapsul.5-7
Penyebaran dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan organ
atau jaringan di dekat selaput otak seperti proses di nasofaring, pneumonia,
bronkopneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, thrombosis sinus
kavernosus, atau spondilitis. Penyebaran kuman dalam ruang subaraknoid
menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS, ruang subaraknoid dan
ventrikulus. Akibat reaksi radang ini, terbentuknya eksudat kental, serofibrinosa dan
gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuclear,
limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fibroblast. Eksudat ini tidak terbatas di
dalam ruang subaraknoid saja, tetapi terutama terkumpul di dasar tengkorak. Eksudat
juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di
bawah nya, sehingga proses sebenarnya adalah meningo-ensefalitis. Eksudat juga
dapat menyumbat akuaduktus Sylvii, foramen Magendi, foramen Luschka dengan
mengakibatkan terjadinya hidrosefalus, edema papil dan peningkatan tekanan
intracranial. Kelainan juga terjadi pada pembuluh-pembuluh darah yang berjalan
dalam ruang subaraknoid berupa kongesti, peradangan dan penyumbatan, sehingga
selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak terutama pada bagian
korteks, medulla oblongata dan ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan
perlunakan otak dengan segala akibatnya.5-7
Penatalaksanaan
Penderita meningitis tuberkulosa harus dirawat di rumah sakit, dibagian
perawatan intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan setepat mungkin.
Pengobatan dapat segera dimulai.
Saat ini telah tersedia berbagai macam tuberlostatika mempunyai spesifikasi
farmakologik tersendiri.8,9
Isoniazida atau INH, pada dewasa dosis 4-5 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau
terbagi maksimum 300 mg/hari dan anak-anak 10-20 mg/kgBB/hari dosis
tunggal atau terbagi. Obat ini dapat menyebabkan polyneuritis.
Streptomycin, diberikan intramuscular selama lebih kurang 3 bulan, tidak
boleh terlalu lama. Karena bersifat autotoksik harus diberikan dengan hati-
hati. Dosis 25-50 mg/hari.
Rifampisin, diberikan dengan dosis dewasa 600 mg atau 10-20 mg/kgBB/hari.
Khusus anak-anak di bawak 5 tahun harus bersikap hati-hati karena dapat
menyebabkan neuritis optika.
PAS atau para-amino-salycilic-acid, diberikan dengan dosis 200
mg/kgBB/hari. PAS sering menyebabkan gangguan nafsu makan.
Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari sampai 1.500 mg/hari,
selama lebih kurang 2 bulan. Obat ini dapat menyebabkan neuritis optika.
Kortikosteroid biasanya dipergunakan prednisone dengan dosis 2-3
mg/kgBB/hari.
Pemberian tuberculin intratekal, ditujukan untuk mengaktivasi ensim
lisosomal yang menghancurkan eksudat di bagian dasar otak.
Pemberian ensimproteolitik seperti streptokinase secara intratekal mempunyai
tujuan untuk menghalangi adesi. Bila pengobatan diberikan cepat dan tepat,
biasanya berhasil setelah7-10 hari. Secara klinis biasanya ditandai dengan
hilangnya nyeri kepala dan gangguan mental.
Prognosis
Bila meningitis tuberkulosa tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita
dapat meninggal daalm waktu 6-8 minggu. Prognosis ditentukan oleh kapan
pengobatan dimulai dan pada stadium berapa. Umur penderita juga mempengaruhi
prognosis. Anak dibawah 3 tahun dan dewasa di atas 40 tahun mempunyai prognosis
yang jelek.
Komplikasi
Pada stadium prodromal sukar dibedakan dengan penyakit infeksi sistemik
yang disertai kenaikan suhu. Jenis-jenis meningitis bacterial lainnya perlu
dipertimbangkan secara seksama. Hal ini berkaitan erat dengan program terapi.
Berbagai macam komplikasi dari meningitis tuberculosis antara lain :
Hidrosefalus obstruktif
Meningococcal septicemia (mengingocemia) : kondisi di mana dalam darah
terdapat bakteri
Sindrom Water Friderichsen (septic syok, perdarahan adrenal bilateral)
SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone) : gangguan pada
hipofisis posterior akibat peningkatan pengeluaran ADH (Hormon antidiuretik)
sebagai respon terhadap peningkatan osmolaritas darah dalam tingkat yang lebih
ringan.
Efusi subdural
Kejang
Edema dan herniasi serebral (pembengkakan pada otak)
Cerebral Palsy : merupakan gangguan pada otak yang bersifat non progresif
karena suatu kerusakan atau gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf
pusat yang sedang tumbuh atau belum selesai pertumbuhannya.
Gangguan mental
Gangguan belajar, gangguan hiperaktifitas
Attention deficit disorder (kurang perhatian)
Gangguan yang menetap pada penglihatan dan pendengaran
Pencegahan
Penularan perlu diwaspadai dengan mengambil tindakan – tindakan
pencegahan selayaknya untuk menghindarkan droplet infection dari penderita ke
orang lain. Salah satu cara adalah batuk dan bersin sambil menutup mulut atau hidung
dengan sapu tangan atau kertas tissue untuk kemudian didesinfeksi dengan Lysol atau
dibakar. Bila penderita berbicara dianjurkan untuk tidak terlalu dekat dengan lawan
bicaranya. Ventilasi yang baik dari ruangan juga memperkecil bahaya penularan.
Anak – anak di bawah usia 1 tahun dari keluarga yang menderita TBC perlu
divaksinasi.7
BCG sebagai pencegahan. Vaksinasi BCG ( Bacille Calmette – Guerin )
Pemberian BCG meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil
tuberkulosis yang virulen. Imunitas timbul 6 – 8 minggu setelah pemberian BCG.
Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi super infeksi
meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat. Vaksin
ini mengandung basil TBC sapi yang telah dihilangkan virulensinya setelah dibiakkan
di laboratorium selama bertahun – tahun. Vaksinasi meninggalkan tanda bekas luka
yang nyata, biasanya di lengan bawah dan memberikan kekebalan selama 3 – 6 tahun
terhadap infeksi primer dan efektif untuk rata – rata 70 % bayi yang diimunisasi.7
Efektivitas vaksin BCG adalah controversial, walaupun suah digunakan lebih
dari 50 tahun diseluruh dunia. Hasilnya sangat bervariasi, beberapa penelitian baru
telah memperlihatkanperlindungan terhadap lepra, tetapi sama sekali tidak terhadap
TBC. Vaksin BCG diberikan intradermal 0.1 mL bagi anak – anak dan orang dewasa,
bayi 0.05 mL.7
Sekarang pemberian BCG dianjurkan secara langsung tanpa didahului uji
tuberkulin karena cara ini dapat menghemat biaya dan mencakup lebih banyak anak.
Chemoprofilaksis1,4,5 Sebagai kemoprofilaksis biasanya dipakai INH dengan
dosis 10 mg/kgBB/hari selama 1 tahun. Kemoprofilaksis primer diberikan untuk
mencegah terjadinya infeksi pada anak dengan kontak tuberkulosis dan uji tuberkulin
masih negatif yang berarti masih belum terkena infeksi atau masih dalam masa
inkubasi. Kemoprofilaksis sekunder diberikan untuk mencegah berkembangnya
infeksi menjadi penyakit, misalnya pada anak yang berumur kurang dari 5 tahun
dengan uji tuberkulin positif tanpa kelainan radiologis paru dan pada anak dengan
konsensi uji tuberkulin tanpa kelainan radiologis paru.7
Edukasi sangat penting dianjurkan untuk diberitahukan kepada keluarga
dengan penderita TBC aktif di dalamnya. Pentingnya sirkulasi udara yang baik, usaha
menutup mulut pada saat batuk atau bersin, kebersihan dari bahan – bahan pribadi
dari penderita sangat banyak membantu mengurangi penularan dari TBC.7
Edukasi tentang kepatuhan penderita dalam menjalanan terapinya juga perlu
untuk disampaikan, untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Juga bagi ibu – ibu
yang tidak mau mengimunisasikan anaknya dengan alasan takut anaknya menjadi
panas juga perlu untuk dijelaskan lebih jauh mengapa imunisasi diperlukan, dan
resiko yang akan diterima bila anak tidak diimunisasikan.7
Kesimpulan
Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dibawa Ibunya ke UGD RS karena
kejang kaku diseluruh tubuhnya dan berulang sejak 1 hari yang lalu diduga menderita
Meningitis Tuberkulosis. Penyakit ini bisa disembuhkan dam memiliki prognosis
yang baik apabila diberikan terapi yang cepat dan tepat.
Daftar Pustaka
1. Lumbantobing SM. Neurologi klinik: pemeriksaan fisik dan mental. FKUI.
Jakarta. 2013. h. 5-6, 17-20.
2. Gleadle, Jonathan. at a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Erlangga.
Jakarta. 2007. h.1-17.
3. Muttaqin A. Gangguan sistem persarafan. Salemba Medika. Jakarta. 2008. h.
63-132.
4. Osborn AG, Blasser SI, Salzman KI, Katzman GL, Provenzale J, Castillo M,
et all. Osborn diagnostic imaging. Amirsys/Elsevier. Canada. 2006. h. 897-
1021.
5. Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, Ghazali MV, Putra ST. Buku Kuliah
Ilmu Kesehatan Anak, Jilid ke-2. Hassan R, Alatas H, Ed. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UI, Infomedika. Jakarta. 2007. h. 558-62.
6. Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K) et
al. Ilmu Kesehatan Anak. EGC. Jakarta. 2009. h.1028 – 1042.
7. Martin G, Lazarus A. Epidemiology and diagnosis of tuberculosis.
Postgraduate Medicine. 2010. h. 890-920.
8. Soetomenggolo T S, Ismael S. Buku Ajar Neurologi Anak. IDAI, Jakarta.
2009. h. 363- 371.
9. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI. Jakarta. 2005. h. 54-56.