PBL blok 20- SN

28
Sindroma Nefrotik Filadelvia 10.2008.012 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat [email protected] Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal. 1 Istilah sindrom nefrotik kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukan keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukan suatu penyakit yang mendasarinya. 2 1

description

SN blok 20

Transcript of PBL blok 20- SN

Sindroma NefrotikFiladelvia

10.2008.012Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat

[email protected]

Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal.1 Istilah sindrom nefrotik kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukan keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukan suatu penyakit yang mendasarinya.2

Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak masih tinggi yaitu melebihi 50%. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamid dan penicilin tahun 1940an, dan dipakainya obat adrenokortokotropik (ACTH) serta koertikosterid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini mencapai 67%. Dan kebanyakan mortalitas ini disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis. Pada dekade berikutnya mortalitas turun sampai 40%, dan turun lagi menjadi 35%. Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950 untuk mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian turun mencapai 20%. Pasien sindrom nefrotik yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamid umumnya kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik.2

Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta histopatologinya.3 Dalam refrat ini selanjutnya pembahasan mengenai maisfestasi klinik, diagnosis dan penatalaksanaan akan dititk beratkan pada sindrom nefrotik primer. Terutama sub kategori minimal change nephrotic syndrome (MCNS), fokal segmental glomerosclerosis (FSGS) serta membrano proloferatif glomerulonephritis (MPGN).PEMBAHASAN

DefinisiSindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. 1,2,3,4,5Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.

Pemeriksaan penunjangPada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus fokal).6GAMBARAN LABORATORIUM

Darah : - Hipoalbuminemia

- Kolesterol meningkat

- Kalsium menurun

- Ureum Normal

- Hb menurun, LED meningkat

Urin: - Volumenya : normal sampai kurang

- BJ : normal sampai meningkat

- Proteinuria masif (>29gr / 24 jam)

- Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal

- Sediman : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak,

oval fat bodies, leukosit normal sampai meningkat.

- Eritrosit tidak ditemukanKelainan urin,pemeriksaan urin yang didapatkan :

Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat) didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan kekeruhan berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%).

Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapakan hasil proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari.

Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam.

Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama edema masih ada.

Berat jenis urin meningkat.

Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid

ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan Sudan III).

Terdapat sel darah putih

Kelainan Darah

Hipoalbuminemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin terbalik.

HiperkolesterolemiaPembagian Patologi Anatomi

Kelainan minimal

Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun tampak tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG).

Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau penyakit podosit.

Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada anak-anak usia 1-5 tahun.

Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis mayor yang tidak memperlihatkan imunopatologi.1,3Diperlukan untuk menentukan jenis kelainan PA secara pasti, apabila secara klinis tipe kelainan minimal tidak dapat ditegakan.

Indikasi Biopsi : - Umur < 2 tahun atau > 6 tahun

Tidak remisi dengan induksi prednison

Sering relaps (kambuh)

Hipertensi

Hematuria

Fungsi ginjal menurun

Steroid dependenDifferential Diagnostic :

1. Nefrotik Syndrome2. Glomerolus Nefrotik Akut

3. Sirosis Hati

4. Alergi obat

5. Heart FailureSNGNASirosis HatiHeart Failure

Bengkak palpebra++--

Bengkak ekstremitas bawah+-++

Hiperkolestrolemia+-+/-+/-

Usia 4 tahun++-+/-

Shifting dullness+-++

Working Diagnostic : Nefrotic Syndrome.

Etiologi

Sebab pasti belum diketahui; akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit auto imun. Jadi merupakan suatu antigen-antibodi. Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :1,2,4,71. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3

Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema.b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.c.Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.d.Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis.e.Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.Epidemologi

Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. 1,2,4,6Patogenesis

Kelainan patogenetik yang mendasari nefrosis adalah proteinuria, akibat dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus karena rusaknya glomerulus. Akibatnya mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein yang dimiliki oleh membran basal glomerulus ( MBG ) terganggu. Mekanisme penghalang tersebut berdasarkan ukuran molekul ( size barrier ) dan muatan listrik ( charge barrier ). Diduga mekanisme dari kenaikan permeabilitas ini mungkin terkait dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status nefrosis, protein yang hilang biasanya melebihi 2 gr/24 jam dan terutama terdiri dari albumin ; hipoprotinemia pada dasarnya dalah hipoalbuminemia. Umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gr/dL ( 25 gr/L ).

Mekanisme pembentukan edema didahului oleh timbulnya hipoalbuminemia, akibat kehilangan protein urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang intertisial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal yang akan mengaktifkan sistem RAA, kemudian akan merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal. Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah direabsorbsi masuk keruang interstisial dan memperberat edema.

Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak ( kolesterol, trigliserid ) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL ( low density lipoprotein ), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density lipoprotein ). Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.1,2,3,8,9Patofisiologi

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3,8,9

Gejala KlinisEpisode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka. Keluhan jarang selain malaise ringan dan nyeri perut. Edema pada mukosa usus mengakibatkan sang anak diare. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnu akibat efusi pleura. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat.1,3,4PenatalaksanaanSuportif: Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas)

Diett makanan & minuman tinggi protein yang mengandung protein 2 5 gram/kgbb/hari.

Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan.

Diet makanan & minuman rendah lemak

Diet makanan & minuman tinggi kalori

Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hariUntuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut:7Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik

RemisiProteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut

KambuhProteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi

Kambuh tidak seringKambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan

Kambuh seringKambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan

Responsif-steroidRemisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja

Dependen-steroidTerjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan

Resisten-steroidGagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu

Responder lambatRemisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain

Nonresponder awalResisten-steroid sejak terapi awal

Nonresponder lambatResisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.7A. Sindrom nefrotik serangan pertama1. Perbaiki keadaan umum penderita

a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Batasi asupan natrium sampai 1 gram/hari, secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentratc. Berantas infeksid. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasie. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretic perlu dipantau kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolic, atau kehilangan cairan intravascular berat Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hariB. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan2. Perbaiki keadaan umum penderita.5,9a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering

Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan.

1. Induksi

Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu2. Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.b. Sindrom nefrotik kambuh sering

adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan1. Induksi

Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu2. Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.

Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.Komplikasi1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada sindrom nefrotik:

Peningkatan permeabilitas glomerolus mengakibatkan:

a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin.

b) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya fibrinolisis.

Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.

2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus,staphylococcus,

bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.3. Gangguan tubulus renalis

Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal.

Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.4. Gagal ginjal akut.

Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan LFG.5. Anemia

Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap pengaobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang menurun akibat proteinuria.6. Peritonitis

Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral

Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin . Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.

Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria.

Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan.

Hal-hal seperti di atas dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan serta mental anak pada masa pertumbuhan.

Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan.1,2,3PrognosisPrognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut : Disertai oleh hipertensi. Disertai hematuria. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid. Sebagian besar anak dengan SN yang berespon terhadap steroid akan mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara spontan menjelang usia akhir dekade kedua.PENUTUPKesimpulan Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal.Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar 15,5/100.000. Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan teori overfille. Gejala awal pada sindroma nefrotik meliputi; menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropi dan urin berbusa.

Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan pada deskripsi histologi dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui.3

Komplikasi pada sindromnrfrotik antara lain :

1. Infeksi

2. Kelainan koagulasi dan trombosis

3. Pertumbuhan abnormal

4. Perubahan hormon dan mineral

5. Anemia

Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis.Penatalaksanaan1. Terapeutik, obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine.

2. Pengobatan supotif (Hiperlipidemia, Hiperkoagulabilitas, edema, Proteinuria dan hipoalbuminemi) serta terapi dietetik.DAFTAR PUSTAKA1. Agraharkar Mahendra, Nefrotik Syndrome. www.emedicine.com Last Update: september 2, 2004.

2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

3. Travis Luther, Nephrotic Syndrome. www.emedicine.com. Last Update: april14, 2005.

4. Rusdidjas, Ramayati R, 2002. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Buku ajar Nefrologi Anak. 2nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 142-16.

5. Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb NJ.A, Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3rd ED. Great Britain: Oxford Universsity Press.p. 197-22.6. Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical Nephrology. London : Mosby; p. 5 : 21.1-4.

7. Kevin D, Mcbryde, Kershaw DB, Smoyer WE. Pediatric Steroid-Resistant Nephrotic Syndrome. Spain, Mosbu 2001: 275-307.

8. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson esensi pediatri. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010. Hal 1828-31.9. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson essentials of pediatrics. 6th International ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. P.311-2, 315, 317, 452-3, 500-1, 503, 520-1.

2

_1292607915.unknown