pbl blok 12
-
Upload
merissaarviana -
Category
Documents
-
view
54 -
download
8
description
Transcript of pbl blok 12
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.
Kasus membahaskan tentang keluhan seorang pasien yang demam sejak 6 hari yang lalu
yang berlangsung sepanjang hari dan memburuk pada sore-malam hari. Demam tersebut disertai
nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah. Di samping itu, pasien juga mengalami konstipasi
karena belum BAB sejak 4 hari yang lalu.
Dari gejala yang di alami, disertai pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan,
pasien diduga menderita demam tifoid yang merupakan suatu penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang No.6 tahun 1962 tentang wabah.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
1.2 Tujuan.
a) Memperdalam ilmu dalam melakukan proses anamnesis dengan betul dalam
mendapatkan maklumat yang tepat dan benar sehingga dapat memperoleh diagnosis yang
tepat.
b) Mempelajari gambaran klinis penyakit demam tifoid serta komplikasinya.
c) Mempelajari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang terlibat dalam
membantu WD (working diagnosis).
d) Mempelajari etiologi penyebab penyakit demam tifoid dan patophysiologi mekanisme
abnormal yang terjadi dalam tubuh sehingga timbulnya penyakit yang diduga.
e) Mempelajari penatalaksanaan yang perlu dilakukan terhadap pasien yang diduga
menderita demam tifoid, serta mengetahui prognosis terhadap penatalaksanaan yang
dilakukan.
f) Mengetahui langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 – IDENTIFIKASI ISTILAH.
i. Compos mentis : (conscious, sane, sound of mind)1,2, yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.3
ii. Widal’s Test : ujian aglutinasi yang digunakan untuk membantu diagnosis jangkitan
Salmonella seperti demam tifoid. Ujian ini mengukur tahap agglutinins demam dalam darah
yang menyebabkan sel darah merah untuk tetap melekat bersama pada suhu rendah atau
tinggi. Peningkatan titer empat kali ganda dalam agglutinins terhadap antigen O atau H
sangat sugestif jangkitan yang aktif. Suatu titer yang tinggi dapat bertahan selama bertahun-
tahun selepas penyakit atau selepas imunisasi melawan demam tipus.4
iii. S. typhi O : Antigen O pada tubuh kuman Salmonella typhi.
iv. S. typhi H : Antigen H pada flagella kuman Salmonella typhi.
v. S. paratyphi AO : Antigen AO pada kuman Salmonella paratyphi.
vi. S. paratyphi AH : Antigen AH pada kuman Salmonella paratyphi.
2.2 – ANAMNESIS.
Anamnesis merupakan suatu proses pengambilan maklumat atau keterangan tentang
riwayat penyakit pasien yang dapat diperoleh melalui wawancara antar dokter-pasien atau
dokter-dengan ahli keluarga pasien. Anamnesis pasien merupakan suatu proses yang amat
penting dalam mendapatkan diagnosis yang tepat.
Dari kasus didapatkan anamnesis seperti berikut :
Keluhan demam sejak 6 hari yang lalu
Demam berlangsung sepanjang hari dan memburuk (suhu meningkat lebih tinggi) pada sore-
malam hari.
Demam disertai nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah.
Pasien mengalami konstipasi di mana beliau belum BAB sejak 4 hari yang lalu.
Riwayat pendarahan negatif
Batuk dan pilek juga negatif.
Gambaran Klinis penderita Demam Tifoid.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya
seperti :
Demam : sifat demam adalah kenaikan suhu secara perlahan-lahan (tidak mendadak, naik
secara bertahap pada minggu pertama lalu demam menetap pd minggu kedua) yang terutama
pada sore dan malam hari.
Nyeri kepala dan pusing
Mual dan muntah : Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hati dan limpa sehingga
mengakibatkan terjadinya pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi
rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara
sempurna dan biasanya keluar melalui mulut (muntah).
Nafsu makan menurun dikarenakan perasaan tidak enak pada perut, anoreksia,
sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari/konstipasi : Sifat bakteri yang menyerang
saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun
dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
Setelah minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas yaitu :
Demam yang tinggi terus menerus,
Nafas berbau tak sedap,
Kulit kering,
Rambut kering,
Tubuh menggigil
Denyut jantung lemah (Bradikardia)
Bibir kering pecah-pecah /terkupas,
Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung
dan tepinya kemerahan dan tremor,
Pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba : Hepatomegali. Splenomegali
dan sakit perut è kuman yg sudah berkembang biak dalam makrofag masuk kedalam RES
terutama hati dan limpa. Dan berkembang biak disana.
Disertai gangguan kesadaran dari yang ringan letak tidur pasif,
acuh tak acuh (apati) sampai berat (delier, koma).
nyeri ulu hati dan lambung
pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda
(“rose spots”).5,6,7
Gambar 1 : “rose spots”.
2.3 – PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan:
Kesedaran compos mentis.
Suhu badan : 38.6oC (di atas Normal, menunjukkan pasien demam).
Denyut nadi : 80x/menit (Normal)
Respiratory Rate : 20x/menit (Normal)
Tekanan Darah : 110/80 mmHg (Normal)
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan pada bagian epigastrium :
Hepatomegali, pembesaran hepar yang disebabkan oleh kuman S.typhi yang berkembang
biak di hati, sehingga berasa nyeri apabila ditekan.
Kemungkinan lain ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien Demam Tifoid :
Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan suhu 1 c tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8x/menit)
Lidah berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali,
splenomegali, nyeri abdomen.
Gambar 2 : Graf menyatakan perjalanan penyakit demam tifoid.
2.4 – PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan :
i. Pemeriksaan laboratorium :
- Hemoglobin (Hb) : 14g/dl
- Hematokrit (Ht) : 38%
- Leukosit : 4.000/μl
- Trombosit : 200.000/μl
ii. Widal’s Test :
- S.typhi O : 1/320
- S.typhi H : 1/320
- S.typhi AO : 1/80
- S.typhi AH : -
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
a. Pemeriksaan leukosit (pemeriksaan darah perifer lengkap)
b. Pemeriksaan SGOT (serum glutamic-oxaloacetic transaminase) dan SGPT (serum
glutamic-pyruvic transaminase).
c. Uji Widal
d. Kultur darah
e. Uji Typhidot
f. Uji IgM Dipstick
1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
Selain itu, dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aenosinofilia maupun limfopenia.
LED (laju endap darah) dapat meningkat.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
3. Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi.
Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
Demam Tifoid. Antigen yang digunakan adalah suspensi S.typhi yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium.
Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin)
yaitu:
Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri
Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri
Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakteri.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada masa akut dimulai dengan aglutinin O kemudian diikuti dengan aglutinin
H. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita demam tifoid. Pada orang
yang telah sembuh, aglutinin O tetap dijumpai setelaj 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu, uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.
4. Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi basil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut :
i. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat
antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan basil mungkin negatif;
ii. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu
sedikit basil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung
dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman
iii. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien.
Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif;
iv. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.
5. Uji Typhidot.
Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen
S.typhi seberat 50kD yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji
sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakrishnan dkk(2002) yang dilakukan
pada 144 kasus demam tifoid.
6. Uji IgM Dipstick.
Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.typhi pada specimen
serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida
(LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibody anti
IgM yang dilekati lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan
serum pasien, tabung uji. KOmponen perlengkapan inistabil untuk disimpan selama dua tahun
pada suhu 4-25oC di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan
inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar.
Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif,
diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis
control harus berwarna dengan baik.5,7
2.5 – DIAGNOSIS
Working Diagnosis (WD)
Demam Tifoid
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang
tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting
untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan
tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit
yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala
menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan
suhu IoC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, gangguan mental
berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Differential Diagnos is (DD)
1. Malaria
Demam. Pada infeksi malaria, demam secara periodik berhubungan dengan waktu pecahnya
sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk dalam aliran darah (sporulasi).
Pada malaria vivaks dan ovale (tersiana) skizon setiap brood (kelompok) menjadi matang
setiap 48 jam sehingga periode demamnya bersifat tersian, pada malaria kuartana yang
disebabkan oleh plasmodium malariae, hal ini terjadi dalam 72 jam sehingga demamnya
bersifat kuartan. 5,8
Serangan demam malaria biasanya dimulai dengan gejala prodromal yaitu lesu, sakit
kepala, tidak nafsu makan, kadang-kadang disertai dengan mual dan muntah.
Serangan demam yang khas terdiri atas beberapa stadium :
a. Stadium menggigil : dimulai dengan perasaan dingin sekali, sehingga menggigil.
Nadinya cepat, tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangannya menjadi biru, kulitnya kering
dan pucat. Kadang-kadang disertai dengan muntah.
b. Stadium puncak demam : dimulai pada saat perasaan dingin sekali perlahan berganti
menjadi panas sekali. Muka menjadi merah kulit kering dan terasa panas seperti terbakar,
skit kepala makin hebat, biasanya ada mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut makin
keras. Perasaan haus sekali pada saat suhu naik sampai 41°C (106°F) atau lebih. Stadium
ini berlangsung selama 2-6 jam.
c. Stadium berkeringat : dimulai dengan penderita berkeringat banyak sehingga tempat
tidurnya basah. Suhu turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah ambang
normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan waktu bangun, merasa lemah tetapi
sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam.
Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan berlangsung 8-12 jam.
Kemudian, terjadi stadium apireksia. Lamanya serangan demam ini untuk setiap spesies malaria
tidak sama.
Gejala infeksi yang ditimbulkan kembali setelah serangan pertama disebut relaps yang bersifat:
i. Rekrudesensi (atau relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah (daur
eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu setelah serangan
pertama hilang.
ii. Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur eksoeitrosit (yang
dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam
timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang.
Bila serangan malaria tidak menunjukkan gejala di antara serangan pertama dan relaps, maka
keadaan ini disebut periode laten klinis, walaupun mungkin ada parasitemia dan gejala lain
seperti splenomegali. Periode laten parasit terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah
tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.
Serangan demam makin lama akan berkurang beratnya karena tubuh telah menyesuaikan diri
dengan adanya parasit dalam badan dan karena respon imun hospes.
Splenomegali.
Pembesaran limpa merupakan gejala khas terutama pada malaria yang menahun. Perubahan
limpa biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi kemudian limpa berubah warna menjadi hitam,
karena pigmen yang ditimbun dalam eritsosit yang mengandung kapiler dan sinusoid. Eritsoit
yang tampaknya normal dan yang mengandung parasit dan butir-butir hemozoin tampak dalam
histiosit di pulpa dan sel epitel sinusoid. Pigmen tampak bebas atau dalam sel fagosit raksasa.
Hiperplasia, sinu smelebar dan kadang-kadang trombus dalam kapiler dan fokus nekrosis
tampak dalam pulpa limpa. Pada malaria menahun jaringan ikat bertambah tebal, sehingga
limpa menjadi keras.
Anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang menyebabkannya. Anemia
terutama tampak jelas pada malaria falsiparum dengan penghancuran eritrosit yang cepat dan
hebat dan pada malaria menahun. Jenis anemia pada malaria adalah hemolitik, normokrom dan
normositik. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak.
Anemia disebabkan beberapa faktor :
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit
terjadi di dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun memegang peran.
b. Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung parasit
tidak dapat hidup lama.
c. Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis
dalam sumsum tulang, retikulosit tidak dapat dilepaskan dalam peredaran darah perifer.
2. Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau
lebih menifestasi klinik sebagai berikut :
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Mialgia/artalgia
Ruam kulit
Manifestasi perdarahan(petekie atau
uji banding positif),
Leucopenia
Demam Berdarah Dengue (DBD), berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan
bila semua hal di bawah ini dipenuhi :
Demam atau riwayat demam akut, 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
- uji bendung positif.
- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau pendarahan gusi), atau pendarahan dari
tempat lain
- Hematemesis atau melena.
Trombositopenia (trombosit<100.000)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit>20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.5
Diagnosa didapatkan dari :
i. Anamnesis
ii. Gambaran klinik penyakit
iii. Laboratorik
a. Leukopenia, anesonofilia
b. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja
minggu II, air kemih minggu III
c. Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium
rekonvalescen titer makin meninggi
d. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typhi dengan Tubex TF cukup akurat dengan
e. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M
2.6 – ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S.
Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s.
Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain.
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora,
dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk
menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella
tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent
terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1
jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan
suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adalah komponen
lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil
panas. 9
2.7 – PATOFISIOLOGI
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke tubuh manusia melalui
makanan dan air yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lolos masuk ke usus halus dan berkembang biak. Secara imunologi, humoral lokal, di
usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa
usus. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria.
Di lamina propria, kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag
dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getih mesenterika.
Selanjutnya, melalui ductus thorasikus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (menyebabkan becteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuoendothelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam darah lagi menyebabkan timbulnya gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu
dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses
dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
lagi, berhubung makrofag yang telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menunjukkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi darah. Di dalam plak Peyeri, makrofag
hiperakif menimbulkan hyperplasia (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, hyperplasia jaringan, nekrosis organ dan ulkus).
Pendarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding
usus halus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibat perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan dan gangguan organ lainnya.5
2.8 – PENATALAKSANAAN
Trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu :
i. Istirahat dan perawatan :
o Tirah baring (makan, minum, mandi, BAK dan BAB) dan perawatan professional
(termasuk penjagaan kebersihan pakaian, tidur, dan perlengkapan yang dipakai) bertujuan
mencegah komplikasi dan mempercepat masa penyembuhan.
ii. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) :
o Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring bertujuan menghindari perforasi usus atau komplikasi
pendarahan saluran cerna.
o Diet berperan penting pada saat penyembuhan, sehingga sekiranya kurang, akan
menurunkan keadaan umum dan gizi sehingga memperlambat proses penyembuhan.
iii. Pemberian antimikroba :
Kloramfenikol : merupakan obat pilihan utama mengobati demam tifoid. diberikan
dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena,
selama 14 hari yaitu sampai dengan 7 hari bebas panas.
Tiamfenikol : dosis dan efektivitasnya pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosisnya adalah 4x500mg, di mana
demam rata-rata menurun pada hari yang ke-5.
Kotrimoksasol : dengan dosis 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral,
selama 14 hari(2 minggu).
Ampisilin dan amoksisilin : kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah dari
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara 50-150mg/kgBB selama 2 minggu.
Sefalosporin generasi III : sehingga kini, golongan sefalosporin generasi III yang terbukti
efektif untuk demam tifoid adalah setriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4g
dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam per infuse sekali sehari, diberikan selama
3 hingga 5 hari.
Golongan fluorokuinolon : golongan ini terdiri beberapa bahan sediaan dan aturan
pemberiannya :
- Norfloksasin : dosis 2 x 400mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin : dosis 2 x 500mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin : dosis 2 x 400mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin : dosis 400mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin : dosis 400mg/hari selama 7 hari
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan
nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja
secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid perlu diberikan pada renjatan septik. 5,6,7,8
2.9 – PROGNOSIS
Demam tifoid yang tidak dilakukan pengobatan mempunyai kadar mortalitas mendekati
20%.
Mortalitas dapat dihilangkan atau dikurangkan dengan pengobatan yang tepat.
Kadar kematian yang tinggi yang masih terjadi di negara-negara endemic dapat
diakibatkan oleh rawatan yang tertunda atau perawatan yang tidak bertepatan.6
2.10 – KOMPLIKASI.
Komplikasi Demam Tifoid.
a. Komplikasi intestinal
i. Perdarahan usus (intestinal hemorrhage) – selalunya dalam 3 minggu.
ii. Perforasi usus (suatu obstruksi pada dinding )
iii. Ileus paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
i. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis.
ii. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
iii. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
iv. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
v. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
vi. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
vii. Komplikasi neuropsikiatrik : psikosis, ensefalomielitis5
2.11 – PENCEGAHAN.
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi
karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid.
(Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan
menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.
Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)
minuman/makanan.
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang
diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang
dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak
direkomendasikan, vaksin tifoid hanya direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke
tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier
tifoid dan pekerja laboratorium.
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah
diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada
vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang
memiliki resiko terjangkit.
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang
dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi.
Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk
orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu.
Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang
memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh
mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid
yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin
sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas
yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang
menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang
mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita
kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin
tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan masalah serius seperti
reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau kematian
sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada
vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang
per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi
injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat
terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-
muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).
BAB 3
PENUTUP
3.1 - Kesimpulan
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella typhi yang dapat menular melalui fecal-oral yaitu dari makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Seseorang pasien yang diduga menderita penyakit ini umumnya ditandai dengan
gambaran klinis demam yang menigkat perlahan-lahan, memburuk terutama pada sore-malam
hari, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif
(bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per
menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali,
splenomegali, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Pemeriksaan fisik dan penunjang yang diperoleh dapat memperkuat diagnosis yang
sedang dikerjakan sehingga menjadikan demam typhoid sebagai diagnosis pasti terhadap kasus
yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland’s pocket medical dictionary 28th ed. Elsevier, health Sciences Edu, Marketing,
2009, p189.
2. Definition of compos mentis, 2008, diunduh dari :
http://www.thefreedictionary.com/compos+mentis, 28 November 2010.
3. Definition of sane, 2008, diunduh dari : http://www.thefreedictionary.com/sane, 28
November 2010.
4. Definition of Widal’s Test, 2009, diunduh dari : http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/Wida l’ s+test 28 November 2010.
5. Widodo D. Demam tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S,
editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD FKUI; 2009. h. 2797-2806
6. Elliot T, Worthington T, Osman H, Oill M, Medical microbiology and infection, 4th Ed,
2007, 136-9.
7. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson et al. Salmonellosis. Harrison’s
principle of internal medicine. USA: Mc Graw Hill;2008.p.956-9.
8. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, White RTM. Salmonella infections. Infectious
disease. 6th ed. United Kingdom: Blackwell Publishing; 2004.p931-40
9. Patrick RM, Ken SR, George SK, Michael AP, Medical microbiology.4th Ed, 2007, 273-
4.
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Working diagnosis
Epidemiologi
Etiologi
Gejala dan tanda klinis
Patofisiologi
Penatalaksanaan
Pencegahan