pbl blok 12

29
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang. Kasus membahaskan tentang keluhan seorang pasien yang demam sejak 6 hari yang lalu yang berlangsung sepanjang hari dan memburuk pada sore-malam hari. Demam tersebut disertai nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah. Di samping itu, pasien juga mengalami konstipasi karena belum BAB sejak 4 hari yang lalu. Dari gejala yang di alami, disertai pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan, pasien diduga menderita demam tifoid yang merupakan suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang No.6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. 1.2 Tujuan. a) Memperdalam ilmu dalam melakukan proses anamnesis dengan betul dalam mendapatkan maklumat yang tepat dan benar sehingga dapat memperoleh diagnosis yang tepat. b) Mempelajari gambaran klinis penyakit demam tifoid serta komplikasinya.

description

maalah blok 12

Transcript of pbl blok 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang.

Kasus membahaskan tentang keluhan seorang pasien yang demam sejak 6 hari yang lalu

yang berlangsung sepanjang hari dan memburuk pada sore-malam hari. Demam tersebut disertai

nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah. Di samping itu, pasien juga mengalami konstipasi

karena belum BAB sejak 4 hari yang lalu.

Dari gejala yang di alami, disertai pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan,

pasien diduga menderita demam tifoid yang merupakan suatu penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk

penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang No.6 tahun 1962 tentang wabah.

Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang

banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.

1.2 Tujuan.

a) Memperdalam ilmu dalam melakukan proses anamnesis dengan betul dalam

mendapatkan maklumat yang tepat dan benar sehingga dapat memperoleh diagnosis yang

tepat.

b) Mempelajari gambaran klinis penyakit demam tifoid serta komplikasinya.

c) Mempelajari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang terlibat dalam

membantu WD (working diagnosis).

d) Mempelajari etiologi penyebab penyakit demam tifoid dan patophysiologi mekanisme

abnormal yang terjadi dalam tubuh sehingga timbulnya penyakit yang diduga.

e) Mempelajari penatalaksanaan yang perlu dilakukan terhadap pasien yang diduga

menderita demam tifoid, serta mengetahui prognosis terhadap penatalaksanaan yang

dilakukan.

f) Mengetahui langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan.

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 – IDENTIFIKASI ISTILAH.

i. Compos mentis : (conscious, sane, sound of mind)1,2, yaitu kesadaran normal, sadar

sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.3

ii. Widal’s Test : ujian aglutinasi yang digunakan untuk membantu diagnosis jangkitan

Salmonella seperti demam tifoid. Ujian ini mengukur tahap agglutinins demam dalam darah

yang menyebabkan sel darah merah untuk tetap melekat bersama pada suhu rendah atau

tinggi. Peningkatan titer empat kali ganda dalam agglutinins terhadap antigen O atau H

sangat sugestif jangkitan yang aktif. Suatu titer yang tinggi dapat bertahan selama bertahun-

tahun selepas penyakit atau selepas imunisasi melawan demam tipus.4

iii. S. typhi O : Antigen O pada tubuh kuman Salmonella typhi.

iv. S. typhi H : Antigen H pada flagella kuman Salmonella typhi.

v. S. paratyphi AO : Antigen AO pada kuman Salmonella paratyphi.

vi. S. paratyphi AH : Antigen AH pada kuman Salmonella paratyphi.

2.2 – ANAMNESIS.

Anamnesis merupakan suatu proses pengambilan maklumat atau keterangan tentang

riwayat penyakit pasien yang dapat diperoleh melalui wawancara antar dokter-pasien atau

dokter-dengan ahli keluarga pasien. Anamnesis pasien merupakan suatu proses yang amat

penting dalam mendapatkan diagnosis yang tepat.

Dari kasus didapatkan anamnesis seperti berikut :

Keluhan demam sejak 6 hari yang lalu

Demam berlangsung sepanjang hari dan memburuk (suhu meningkat lebih tinggi) pada sore-

malam hari.

Demam disertai nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah.

Pasien mengalami konstipasi di mana beliau belum BAB sejak 4 hari yang lalu.

Riwayat pendarahan negatif

Batuk dan pilek juga negatif.

Gambaran Klinis penderita Demam Tifoid.

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya

seperti :

Demam : sifat demam adalah kenaikan suhu secara perlahan-lahan (tidak mendadak, naik

secara bertahap pada minggu pertama lalu demam menetap pd minggu kedua) yang terutama

pada sore dan malam hari.

Nyeri kepala dan pusing

Mual dan muntah : Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hati dan limpa sehingga

mengakibatkan terjadinya pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi

rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara

sempurna dan biasanya keluar melalui mulut (muntah).

Nafsu makan menurun dikarenakan perasaan tidak enak pada perut, anoreksia,

sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari/konstipasi : Sifat bakteri yang menyerang

saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun

dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).

Setelah minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas yaitu :

Demam yang tinggi terus menerus,

Nafas berbau tak sedap,

Kulit kering,

Rambut kering,

Tubuh menggigil

Denyut jantung lemah (Bradikardia)

Bibir kering pecah-pecah /terkupas,

Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung

dan tepinya kemerahan dan tremor,

Pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba : Hepatomegali. Splenomegali

dan sakit perut è kuman yg sudah berkembang biak dalam makrofag masuk kedalam RES

terutama hati dan limpa. Dan berkembang biak disana.

Disertai gangguan kesadaran dari yang ringan letak tidur pasif,

acuh tak acuh (apati) sampai berat (delier, koma).

nyeri ulu hati dan lambung

pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda

(“rose spots”).5,6,7

Gambar 1 : “rose spots”.

2.3 – PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan:

Kesedaran compos mentis.

Suhu badan : 38.6oC (di atas Normal, menunjukkan pasien demam).

Denyut nadi : 80x/menit (Normal)

Respiratory Rate : 20x/menit (Normal)

Tekanan Darah : 110/80 mmHg (Normal)

Pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan pada bagian epigastrium :

Hepatomegali, pembesaran hepar yang disebabkan oleh kuman S.typhi yang berkembang

biak di hati, sehingga berasa nyeri apabila ditekan.

Kemungkinan lain ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien Demam Tifoid :

Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan suhu 1 c tidak diikuti

peningkatan denyut nadi 8x/menit)

Lidah berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali,

splenomegali, nyeri abdomen.

Gambar 2 : Graf menyatakan perjalanan penyakit demam tifoid.

2.4 – PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaan penunjang ditemukan :

i. Pemeriksaan laboratorium :

- Hemoglobin (Hb) : 14g/dl

- Hematokrit (Ht) : 38%

- Leukosit : 4.000/μl

- Trombosit : 200.000/μl

ii. Widal’s Test :

- S.typhi O : 1/320

- S.typhi H : 1/320

- S.typhi AO : 1/80

- S.typhi AH : -

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :

a. Pemeriksaan leukosit (pemeriksaan darah perifer lengkap)

b. Pemeriksaan SGOT (serum glutamic-oxaloacetic transaminase) dan SGPT (serum

glutamic-pyruvic transaminase).

c. Uji Widal

d. Kultur darah

e. Uji Typhidot

f. Uji IgM Dipstick

1.      Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap

Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal.

Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.

Selain itu, dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.

Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aenosinofilia maupun limfopenia.

LED (laju endap darah) dapat meningkat.

2.      Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.

Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus

3.      Pemeriksaan Uji Widal

Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi.

Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

Demam Tifoid. Antigen yang digunakan adalah suspensi S.typhi yang sudah dimatikan dan

diolah di laboratorium.

Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin)

yaitu:

Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri

Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri

Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakteri.

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam

tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian

meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat dan tetap tinggi selama

beberapa minggu. Pada masa akut dimulai dengan aglutinin O kemudian diikuti dengan aglutinin

H. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita demam tifoid. Pada orang

yang telah sembuh, aglutinin O tetap dijumpai setelaj 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap

lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu, uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan

penyakit.

4.      Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi basil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut :

i. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat

antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan basil mungkin negatif;

ii. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu

sedikit basil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung

dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman

iii. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien.

Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif;

iv. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.

5.      Uji Typhidot.

Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein

membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah

infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen

S.typhi seberat 50kD yang terdapat pada strip nitroselulosa.

Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji

sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakrishnan dkk(2002) yang dilakukan

pada 144 kasus demam tifoid.

6.      Uji IgM Dipstick.

Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.typhi pada specimen

serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida

(LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibody anti

IgM yang dilekati lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan

serum pasien, tabung uji. KOmponen perlengkapan inistabil untuk disimpan selama dua tahun

pada suhu 4-25oC di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan

inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar.

Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif,

diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis

control harus berwarna dengan baik.5,7

2.5 – DIAGNOSIS

Working Diagnosis (WD)

Demam Tifoid

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang

tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting

untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan

tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul

sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit

yang khas disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa

dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat

perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala

menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan

suhu IoC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di

tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, gangguan mental

berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.

Differential Diagnos is (DD)

1. Malaria

Demam. Pada infeksi malaria, demam secara periodik berhubungan dengan waktu pecahnya

sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk dalam aliran darah (sporulasi).

Pada malaria vivaks dan ovale (tersiana) skizon setiap brood (kelompok) menjadi matang

setiap 48 jam sehingga periode demamnya bersifat tersian, pada malaria kuartana yang

disebabkan oleh plasmodium malariae, hal ini terjadi dalam 72 jam sehingga demamnya

bersifat kuartan. 5,8

Serangan demam malaria biasanya dimulai dengan gejala prodromal yaitu lesu, sakit

kepala, tidak nafsu makan, kadang-kadang disertai dengan mual dan muntah.

Serangan demam yang khas terdiri atas beberapa stadium :

a. Stadium menggigil : dimulai dengan perasaan dingin sekali, sehingga menggigil.

Nadinya cepat, tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangannya menjadi biru, kulitnya kering

dan pucat. Kadang-kadang disertai dengan muntah.

b. Stadium puncak demam : dimulai pada saat perasaan dingin sekali perlahan berganti

menjadi panas sekali. Muka menjadi merah kulit kering dan terasa panas seperti terbakar,

skit kepala makin hebat, biasanya ada mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut makin

keras. Perasaan haus sekali pada saat suhu naik sampai 41°C (106°F) atau lebih. Stadium

ini berlangsung selama 2-6 jam.

c. Stadium berkeringat : dimulai dengan penderita berkeringat banyak sehingga tempat

tidurnya basah. Suhu turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah ambang

normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan waktu bangun, merasa lemah tetapi

sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam.

Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan berlangsung 8-12 jam.

Kemudian, terjadi stadium apireksia. Lamanya serangan demam ini untuk setiap spesies malaria

tidak sama.

Gejala infeksi yang ditimbulkan kembali setelah serangan pertama disebut relaps yang bersifat:

i. Rekrudesensi (atau relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah (daur

eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu setelah serangan

pertama hilang.

ii. Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur eksoeitrosit (yang

dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam

timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang.

Bila serangan malaria tidak menunjukkan gejala di antara serangan pertama dan relaps, maka

keadaan ini disebut periode laten klinis, walaupun mungkin ada parasitemia dan gejala lain

seperti splenomegali. Periode laten parasit terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah

tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.

Serangan demam makin lama akan berkurang beratnya karena tubuh telah menyesuaikan diri

dengan adanya parasit dalam badan dan karena respon imun hospes.

Splenomegali.

Pembesaran limpa merupakan gejala khas terutama pada malaria yang menahun. Perubahan

limpa biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi kemudian limpa berubah warna menjadi hitam,

karena pigmen yang ditimbun dalam eritsosit yang mengandung kapiler dan sinusoid. Eritsoit

yang tampaknya normal dan yang mengandung parasit dan butir-butir hemozoin tampak dalam

histiosit di pulpa dan sel epitel sinusoid. Pigmen tampak bebas atau dalam sel fagosit raksasa.

Hiperplasia, sinu smelebar dan kadang-kadang trombus dalam kapiler dan fokus nekrosis

tampak dalam pulpa limpa. Pada malaria menahun jaringan ikat bertambah tebal, sehingga

limpa menjadi keras.

Anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang menyebabkannya. Anemia

terutama tampak jelas pada malaria falsiparum dengan penghancuran eritrosit yang cepat dan

hebat dan pada malaria menahun. Jenis anemia pada malaria adalah hemolitik, normokrom dan

normositik. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak.

Anemia disebabkan beberapa faktor :

a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit

terjadi di dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun memegang peran.

b. Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung parasit

tidak dapat hidup lama.

c. Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis

dalam sumsum tulang, retikulosit tidak dapat dilepaskan dalam peredaran darah perifer.

2. Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam Dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau

lebih menifestasi klinik sebagai berikut :

Nyeri kepala

Nyeri retro-orbital

Mialgia/artalgia

Ruam kulit

Manifestasi perdarahan(petekie atau

uji banding positif),

Leucopenia

Demam Berdarah Dengue (DBD), berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan

bila semua hal di bawah ini dipenuhi :

Demam atau riwayat demam akut, 2-7 hari, biasanya bifasik.

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

- uji bendung positif.

- Petekie, ekimosis, atau purpura.

- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau pendarahan gusi), atau pendarahan dari

tempat lain

- Hematemesis atau melena.

Trombositopenia (trombosit<100.000)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:

- Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis

kelamin.

Penurunan hematokrit>20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai

hematokrit sebelumnya.

Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.5

Diagnosa didapatkan dari :

i. Anamnesis

ii. Gambaran klinik penyakit

iii. Laboratorik

a. Leukopenia, anesonofilia

b. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja

minggu II, air kemih minggu III

c. Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium

rekonvalescen titer makin meninggi

d. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typhi dengan Tubex TF cukup akurat dengan

e. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M

2.6 – ETIOLOGI

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S.

Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s.

Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain.

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora,

dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk

menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella

tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent

terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1

jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan

suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu

dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adalah komponen

lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil

panas. 9

2.7 – PATOFISIOLOGI

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke tubuh manusia melalui

makanan dan air yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan

sebagian lolos masuk ke usus halus dan berkembang biak. Secara imunologi, humoral lokal, di

usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa

usus. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan

menembus sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria.

Di lamina propria, kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag

dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getih mesenterika.

Selanjutnya, melalui ductus thorasikus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (menyebabkan becteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke

seluruh organ retikuoendothelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman

meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan

selanjutnya masuk ke dalam darah lagi menyebabkan timbulnya gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu

dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses

dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang

lagi, berhubung makrofag yang telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman

Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menunjukkan

gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,

instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi darah. Di dalam plak Peyeri, makrofag

hiperakif menimbulkan hyperplasia (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas

tipe lambat, hyperplasia jaringan, nekrosis organ dan ulkus).

Pendarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang

sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding

usus halus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa

usus, dan dapat mengakibat perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi

seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan dan gangguan organ lainnya.5

2.8 – PENATALAKSANAAN

Trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu :

i. Istirahat dan perawatan :

o Tirah baring (makan, minum, mandi, BAK dan BAB) dan perawatan professional

(termasuk penjagaan kebersihan pakaian, tidur, dan perlengkapan yang dipakai) bertujuan

mencegah komplikasi dan mempercepat masa penyembuhan.

ii. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) :

o Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring,

kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.

Pemberian bubur saring bertujuan menghindari perforasi usus atau komplikasi

pendarahan saluran cerna.

o Diet berperan penting pada saat penyembuhan, sehingga sekiranya kurang, akan

menurunkan keadaan umum dan gizi sehingga memperlambat proses penyembuhan.

iii. Pemberian antimikroba :

Kloramfenikol : merupakan obat pilihan utama mengobati demam tifoid. diberikan

dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena,

selama 14 hari yaitu sampai dengan 7 hari bebas panas.

Tiamfenikol : dosis dan efektivitasnya pada demam tifoid hampir sama dengan

kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia

aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosisnya adalah 4x500mg, di mana

demam rata-rata menurun pada hari yang ke-5.

Kotrimoksasol : dengan dosis 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral,

selama 14 hari(2 minggu).

Ampisilin dan amoksisilin : kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah dari

kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara 50-150mg/kgBB selama 2 minggu.

Sefalosporin generasi III : sehingga kini, golongan sefalosporin generasi III yang terbukti

efektif untuk demam tifoid adalah setriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4g

dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam per infuse sekali sehari, diberikan selama

3 hingga 5 hari.

Golongan fluorokuinolon : golongan ini terdiri beberapa bahan sediaan dan aturan

pemberiannya :

- Norfloksasin : dosis 2 x 400mg/hari selama 14 hari

- Siprofloksasin : dosis 2 x 500mg/hari selama 6 hari

- Ofloksasin : dosis 2 x 400mg/hari selama 7 hari

- Pefloksasin : dosis 400mg/hari selama 7 hari

- Fleroksasin : dosis 400mg/hari selama 7 hari

Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan

nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja

secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid perlu diberikan pada renjatan septik. 5,6,7,8

2.9 – PROGNOSIS

Demam tifoid yang tidak dilakukan pengobatan mempunyai kadar mortalitas mendekati

20%.

Mortalitas dapat dihilangkan atau dikurangkan dengan pengobatan yang tepat.

Kadar kematian yang tinggi yang masih terjadi di negara-negara endemic dapat

diakibatkan oleh rawatan yang tertunda atau perawatan yang tidak bertepatan.6

2.10 – KOMPLIKASI.

Komplikasi Demam Tifoid.

a. Komplikasi intestinal

i. Perdarahan usus (intestinal hemorrhage) – selalunya dalam 3 minggu.

ii. Perforasi usus (suatu obstruksi pada dinding )

iii. Ileus paralitik

b. Komplikasi extra intestinal

i. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,

trombosis, tromboplebitis.

ii. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.

iii. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.

iv. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.

v. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.

vi. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.

vii. Komplikasi neuropsikiatrik : psikosis, ensefalomielitis5

2.11 – PENCEGAHAN.

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan

khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi

karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid.

(Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan

menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.

Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)

minuman/makanan.

Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang

diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang

dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak

direkomendasikan, vaksin tifoid hanya direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke

tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier

tifoid dan pekerja laboratorium.

Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak

kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah

diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada

vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang

memiliki resiko terjangkit.

Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang

dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi.

Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya

memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk

orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.

Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu.

Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang

memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh

mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid

yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin

sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas

yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin

tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang

menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang

mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita

kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin

tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.

Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan masalah serius seperti

reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau kematian

sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada

vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang

per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi

injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat

terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-

muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).

BAB 3

PENUTUP

3.1 - Kesimpulan

Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh kuman

salmonella typhi yang dapat menular melalui fecal-oral yaitu dari makanan dan minuman yang

terkontaminasi. Seseorang pasien yang diduga menderita penyakit ini umumnya ditandai dengan

gambaran klinis demam yang menigkat perlahan-lahan, memburuk terutama pada sore-malam

hari, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan

tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif

(bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per

menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali,

splenomegali, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.

Pemeriksaan fisik dan penunjang yang diperoleh dapat memperkuat diagnosis yang

sedang dikerjakan sehingga menjadikan demam typhoid sebagai diagnosis pasti terhadap kasus

yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland’s pocket medical dictionary 28th ed. Elsevier, health Sciences Edu, Marketing,

2009, p189.

2. Definition of compos mentis, 2008, diunduh dari :

http://www.thefreedictionary.com/compos+mentis, 28 November 2010.

3. Definition of sane, 2008, diunduh dari : http://www.thefreedictionary.com/sane, 28

November 2010.

4. Definition of Widal’s Test, 2009, diunduh dari : http://medical-

dictionary.thefreedictionary.com/Wida l’ s+test 28 November 2010.

5. Widodo D. Demam tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S,

editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

IPD FKUI; 2009. h. 2797-2806

6. Elliot T, Worthington T, Osman H, Oill M, Medical microbiology and infection, 4th Ed,

2007, 136-9.

7. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson et al. Salmonellosis. Harrison’s

principle of internal medicine. USA: Mc Graw Hill;2008.p.956-9.

8. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, White RTM. Salmonella infections. Infectious

disease. 6th ed. United Kingdom: Blackwell Publishing; 2004.p931-40

9. Patrick RM, Ken SR, George SK, Michael AP, Medical microbiology.4th Ed, 2007, 273-

4.

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

Working diagnosis

Epidemiologi

Etiologi

Gejala dan tanda klinis

Patofisiologi

Penatalaksanaan

Pencegahan

Komplikasi

Prognosis